WRAP UP SK 1 EMERGENCY A-8.docx

September 11, 2017 | Author: Dita Evita Hersafitri | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download WRAP UP SK 1 EMERGENCY A-8.docx...

Description

BLOK EMERGENSI SKENARIO I “Perdarahan Persalinan”

Kelompok : A –8 Ketua

: Hendris Utama Citra W.

(1102011118)

Sekertaris

: Hoiriyah

(1102011119)

Anggota

: Airlangga Luibis

(1102008)

Inneke Jasmine

(1102009142)

Hanifa

(1102011116)

Hersa Firda Kartika

(1102011118)

Husna

(1102011120)

Ika Yuniarti

(1102011121)

Indah Ariyanti

(1102011124)

Inge Angelita

(1102011126)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2014/2015 1

Skenario 1 Perdarahan Persalinan Seorang pasien 17 tahun datang ke IGD RSUD dengan hamil pertama dan keluhan nyeri perut dan perdarahan pervaginam. Pasien mengaku hamil 32 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhirnya (HPHT). Pasien tidak pernah melakukan antenatal care (ANC) sebelumnya. Pasien mengalami kenaikan berat badan sampai 25 kg selama kehamilan ini diikuti edema tungkai dalam 4 minggu terakhir. Pasien tidak pernah mengkonsumsi suplemen besi atau vitamin lainnya. Dari riwayat penyakit keluarga diketahui tidak ada riwayat penyakit ginjal, DM dan hipertensi dikeluarganya. Dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil : keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah 135/85 mmHg; frekuensi nadi 98x/ menit; frekuensi nafas: 26x/ menit; suhu afebris. Dari status obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 42 cm; denyut jantung janin I: 166x/ menit dan II: 176x/ menit simultan. Dilakukan pemeriksaan inspekulo tampak darah berwarna kehitaman mengalir dari OUI, pembukaan tidak ada. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang USG dengan hasil: kehamilan ganda letak sungsang dan hasil pemeriksaan laboratorium urin didapatkan protein +2. Dilakukan pemeriksaan CTG didapatkan tanda-tanda gawat janin.

2

Kata Sulit 1. Cardiotocography (CTG) adalah metode yang digunakan untuk evaluasi kondisi janin selama kehamilan dengan cara mengukur denyut jantung janin baik saat kontraksi maupun tidak. 2. Afebris adalah tidak demam 3. Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin ( kadar oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada antepartum maupun intrapartum.

3

Pertanyaan 1. Kenapa keluar darah berwarna hitam dari OUI ? 2. Adakah hubungan keluhan pasien dengan tidak pernahnya pasien konsumsi suplemen besi dan vitamin ? 3. Apa penyebab edema tungkai ? 4. Kenapa ditemukan adanya proteinuria ? 5. Adakah pengaruh tekanan darah ibu yang meningkat dengan keluhannya ? 6. Adakah hubungan tinggi fundus uteri yang 42 cm dengan kehamilan ganda letak sungsang pasien ? 7. Berapa normal penambahan berat badan ibu selama kehamilan ? 8. Adakah hubungan tidak adanya riwayat hipertensi dengan keluhan pasien ? 9. Bagaimana cara pemeriksaan CTG ? 10. Adakah hubungan tidak dilakukannya antenatal care dengan perdarahan yang dialami pasien ? 11. Apa tanda gawat janin ? Jawaban 1. Karena yang terlepas adalah desidua basalis dan telah tercampur dengan cairan amnion. 2. Ada hubungannya,karena jika kekurangan suplemen besi dan vitamin maka janin akan kekurangan suplai oksigen. 3. Karena terdapat proteinuria. 4. Karena terjadi kerusakan glomerulus sehingga meningkatkan permeabilitas membran basal sehingga terjadi kebocoran protein. 5. Ada tapi secara tidak langsung. 6. Tidak ada hubungannya, justru , menandakan adanya kelainan pada kehamilannya. 7. Maksimal penambahan normal berat badan ibu hamil adalah 14 kg. 8. Tidak ada karena hipertensinya saat hamil saja. 9. Pemeriksaan dilakukan selama 20 menit. 10. Tidak ada hubungannya, karena ANC hanya sebagai skrining saja. 11. Tanda gawat janin : a. DJJ > 160 x/ menit atau < 100x/ menit b. adanya mekonium

4

Hipotesis Pasien wanita hamil ganda letak sungsang usia kehamilan 32 minggu, mengalami preeclampsia. Pasien tidak pernah konsumsi suplemen besi dan vitamin serta tidak pernah melakukan antenatal care. Tekanan darah pasien meningkat mengakibatkan gagalnya fungsi ginjal sehingga terdapat proteinuria yang mengakibatkan terdapatnya udem pada pasien. Pasien juga mengalami perdarahan berwarna hitam dari OUI karena terdapat hematom desidua. Perdarahan dari OUI menyababkan hipoksia janin sehingga menyebabkan kondisi gawat janin.

5

Sasaran Belajar LO.1 Memahami dan Menjelaskan Hipertensi dalam Kehamilan. LO.2 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Antepartum. LO.3 Memahami dan Menjelaskan Gawat Janin.

6

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Hipertensi dalam Kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Ben-zion, 1994). Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 % kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu (Prawihardjo, 2009). Angka Kematian Ibu (AKI) Berdasarkan data resmi Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, terus mengalami penurunan. Pada tahun 2004 yaitu 270 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2005 yaitu 262 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2006 yaitu 255 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2010), walaupun sudah terjadi penurunan AKI di Indonesia, namun angka tersebut masih menempatkan Indonesia pada peringkat 12 dari 18 negara ASEAN dan SEARO (South East Asia Region, yaitu: Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Maladewa, Myanmar, Nepal, Timor Leste, dan lain-lain). Negara- negara didunia memberikan perhatian cukup besar terhadap AKI sehingga menempatkan kesehatan ibu diantara delapan tujuan yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai sebelum 2015, AKI di Indonesia harus mencapai 125 per 100.000 kelahiran hidup. Komitmen yang ditanda tangani 189 negara pada September 2000, pada prinsipnya bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Yustina, 2007). Angka Kematian Ibu di Provinsi Sumatera Utara dalam 4 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 320 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2006 menjadi 315 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 menjadi 275 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 sebesar 260 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2009 sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Propsu, 2009). Angka Kematian Ibu di Kabupaten Langkat pada tahun 2010 yaitu 238 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Indonesia masih disebabkan oleh trias klasik (perdarahan, infeksi dan eklamsi), dan non medis (status gizi, faktor ekonomi, sosial budaya). Salah satu kasus dari komplikasi kehamilan sebagai penyumbang AKI di Indonesia adalah hipertensi dalam kehamilan. Menurut Cunningham, dkk (1995) kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Hipertensi sebagai penyulit dalam kehamilan sering ditemukan dan merupakan salah satu dari tiga besar, selain pendarahan dan infeksi, yang terus menjadi penyebab utama sebagian besar kematian ibu di Amerika serikat. Menurut Bobak (2004), hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10% seluruh kehamilan.

7

Lebih lanjut data kejadian hipertensi pada kehamilan juga diungkapkan oleh WHO yang dikutip oleh Khan dan rekan dalam Boestari (1998) bahwa secara sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia disebabkan karena hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lainnya yaitu perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 %. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-1997, Berg dan rekan dalam Cuningham (1995) melaporkan bahwa hampir 16 % dari 3.201 kematian ibu berasal dari komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Dalam Profil Kesehatan Indonesia (2008) diketahui bahwa eklampsia (24%) adalah persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu setelah perdarahan (28%). Kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi ini dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun, ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Menurut Zweifel dalam Manuaba (2007) mengungkapkan bahwa cukup banyak teori tentang bagaimana hipertensi pada kehamilan dapat terjadi sehingga disebut sebagai “disease of theory”. Beberapa landasan teori yang dikemukakan yaitu teori genetik, teori immunologis, teori iskemia region uteroplasenter, teori kerusakan endotel pembuluh darah, teori radikal bebas, teori trombosit dan teori diet. Ditinjau dari teori yang telah disebutkan di atas, maka teori diet merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dikendalikan dengan melakukan upaya pencegahan oleh ibu hamil. Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang berhubungan dengan diet seseorang. Konsumsi lemak yang berlebih, kekurangan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) sering dihubungkan pula dengan terjadinya ateroklerosis, antara vitamin C, vitamin E dan vitamin B6 yang meningkatkan kadar homosistein. Tingginya konsumsi vitamin D merupakan factor terjadinya asteroklerosis dimana terjadi deposit kalsium yang menyebabkan rusaknya jaringan elastis sel dinding pembuluh darah (Kurniawan, 2002). Berbagai faktor defesiensi gizi juga diperkirakan berperan sebagai penyebab eklampsia. Banyak saran yang diberikan untuk menghindarkan hipertensi misalnya dengan menghindari konsumsi daging berlebihan, protein, purine, lemak, hidangan siap saji (snack), dan produkproduk makanan instan lain. Hasil penelitian Sastrawinata, dkk (2003) bahwa faktor gizi memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil karena disebabkan kekurangan kalsium, protein, kelebihan garam natrium, atau kekurangan asam lemak tak jenuh “Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA)” dalam makanannya. John, dkk (2002) dalam Rozikhan, (2007) menemukan bahwa diet buah dan sayur banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat menurunkan tekanan darah. Zhang, dkk (2002) dalam Rozikhan, (2007) menemukan kejadian pre-eklampsia pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari 85 mg dapat meningkat menjadi 2 kali lipat. Menurut.Blum dalam Notoatmojo (2007) bahwa status kesehatan individu/masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan herediter/keturunan. Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa status kesehatan ibu hamil dapat dipengaruhi oleh perilaku ibu dalam memelihara/merawat kesehatan selama hamil. Dalam program perawatan kehamilan (antenatal care) terdapat beberapa perilaku sehat yang dianjurkan agar ibu hamil dan janin sehat selama kehamilan dan persalinan. Perilaku sehat 8

tersebut antara lain pemeriksaan kehamilan, kebiasaan makan, aktivitas fisik dan senam hamil. Kebiasaan makan ibu hamil sangat mempengaruhi kondisi fisik ibu maupun janinnya. Gizi yang baik membantu ibu mengurangi terjadinya kesulitan dalam kehamilan dan kelelahan yang biasanya akan menyebabkan ketegangan dan bertambahnya rasa sakit pada proses persalinan. Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Manuaba, (2004), bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan antenatal care adalah gizi saat hamil yang dapat memperburuk kehamilan. Untuk mengetahui keterkaitan antara faktor gizi ibu hamil dengan kejadian komplikasi kehamilan seperti hipertensi pada kehamilan dapat dijelaskan oleh Sastrawinata, dkk (2003) bahwa faktor nutrisi memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil karena disebabkan kekurangan kalsium, protein, kelebihan garam natrium, atau kekurangan asam lemak tak jenuh “Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA)” dalam makanannya. Berdasarkan hasil penelitian Paramitasari (2005) dalam Rozikhan, (2007) tentang hubungan antara gaya hidup selama masa kehamilan dan kejadian pre-eklampsia diketahui bahwa pola makan sebagai salah satu bentuk dari gaya hidup yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian pre-eklampsia pada ibu hamil. Untuk itu, perlu disarankan pada ibu hamil agar memastikan pola makannya memenuhi kebutuhan gizi yang dianjurkan. Faktor predisposisi lain yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia diantaranya adalah primigravida, obesitas, dan kenaikan berat badan yang berlebihan. Menurut Husaini (1992) kenaikan berat badan yang dianggap baik untuk orang Indonesia ialah 9 kg. Kenaikan berat badan ibu tidak sama, tetapi pada umumnya kenaikan berat badan tertinggi adalah pada umur kehamilan 16–20 minggu, dan kenaikan yang paling rendah pada 10 minggu pertama kehamilan. Dalam penelitian Riestyawati (2004) menjelaskan tentang pengaruh jumlah kehamilan, pertambahan berat badan dan tingkat kecukupan gizi (protein,kalsium) terhadap kejadiaan preklampsia pada kehamilan yaitu ada pengaruh yang signifikan antara jumlah kehamilan dan pertambahan berat badan dengan kejadian pre-eklampsia. Dari uji hubungan asosiasi diperoleh hasil bahwa jumlah kehamilan dan pertambahan berat badan merupakan faktor risiko terhadap kejadian pre-eklampsia. Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi pemompaan jantung, sehingga dapat menyumbangkan terjadinya pre-eklampsia (Rozikhan, 2007). Salah satu penilaian status gizi secara langsung adalah antropometri (ukuran tubuh manusia). Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan erat dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran yang sering digunakan untuk pengukuran antropometri (selain lingkar lengan atas/LILA, tinggi badan/TB dan tebal lemak bawah kulit). Berat badan mengambarkan jumlah dari protein, lemak air dan mineral pada tubuh dan menjadi parameter yang baik untuk melihat perubahan massa tubuh akibat perubahanperubahan konsumsi makanan dan perubahan kesehatan (Supariasa, 2001). Berdasarkan hasil survei pendahuluan di RSU. Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada tahun 2010 diketahui bahwa dari 970 orang ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan di RS tersebut terdapat 9

107 orang ibu mengalami hipertensi yang ditandai dengan kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (11,0%), 7 orang ibu hamil (6,54%) diantaranya sudah terdiagnosa menderita pre-eklampsia dan 4 orang ibu hamil (3,73%) menderita eklampsia. Klasifikasi Menurut The National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group, penyakit hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi empat grup yaitu (Lim, 2009) : Hipertensi dalam kehamilan (Gestational hipertensi) Gejala yang timbul adalah peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada awal kehamilan, tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu setelah kelahiran dan diagnosis bisa ditegakkan jika setelah pasien melahirkan. Hipertensi Kronis Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang terjadi sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20 minggu dan bukan merupakan penyebab dari penyakit tropoblastik kehamilan. Hipertensi yang terdiagnosa setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap selama lebih dari 12 minggu setelah melahirkan termasuk dalam klasifikasi hipertensi kronis. Preeklampsia atau Eklampsia Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah usia kehamilan 20 minggu dengan sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan disertai proteinuria (≥ 0,3 gram protein dalam spesimen urin 24 jam). Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang yang bukan merupakan dikarenakan penyebab apapun pada wanita dengan preeklampsia. Superimposed Preeklampsia (dalam Hipertensi Kronis) Proteinuria dengan onset yang cepat (>300 mg dalam urin 24 jam) dengan wanita hamil dengan hipertensi tetapi tidak terjadi proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu. Peningkatan tekanan darah atau proteinuria atau penurunan jumlah platelet hingga dibawah 100.000 secara tiba-tiba pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu Etiologi HDK seringkali terjadi pada : 1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara ) 2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar atau mola ) 3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan. 4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi . Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi : a. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina. b. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto-maternal . c. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama kehamilan. d. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ). e. Pengaruh genetik.

10

Perubahan Sistem dan Organ Pada Preeklampsi 1. Volume Plasma Pada hamil normal volume plasma meningkat (disebut hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada preeklamsia terjadi penurunan volume plasma antar 30% - 40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting. Preeklampsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklampsia sangat peka terhadap kehilangan darah waktu persalinan. Oleh karena itu, observasi cairan masuk ataupun keluar harus ketat. 2. Hipertensi Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik, menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat kembalinya tekanan darah normal dapat terjadi 2- 4 minggu pasca persalinan. Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan viskositas darah. 3. F ungsi G injal Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut: 1. Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hypovolemia sehingga terjadi oliguria, bahkan anuria. 2. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin lebih dulu lahir. 3. Terjadi Glomerular Capilarry Endotheliosis akibat sel endotel glomerular membengkak disertai deposit fibril. 4. Gagal ginjal akut terjadi akibat akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi ”nekrosis korteks ginjal” yang bersifat irreversibel. 5. Dapat terjadi kerusakan instrinsik jaringna ginjal akibat vasopasme pembuluh darah. Dpat diatasi dengna pemberian DOPAMIN agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal. Proteinuria Bila poteinuria timbul : 1. Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal. 2. Tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan. 11

3. Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ³ 90 mmHg, umumnya ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik < 90 mmHg. 4. Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia, tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampaia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir lebih dulu. 5. Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik: 100 mg/l atau + 1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan (b) pengumpulan poteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ³ 300 mg/ 24 jam. Asam urat serum ( uric acid serum ) : umumnya meningkat ³ 5 mg/ cc. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. peningkatan asam urat dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan. Kreatinin Sama halnya dengan kadar asam urat serum, kadar kreatinin plasma pada preeklampsia juga meningkat. hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan kreatinin plasma. dapat mencapai kadar kreatinin plasma ³ 1 mg/cc, dan biasanya terjadi preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal. Oliguria dan anuria Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urine menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hali ini berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklampsia. Pemberian cairan intravena hanya karena oliguria tidak dibenarkan. 4. El e ktrolit Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada preeklampsia kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali jika diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik. Preekalmpsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang klampsia kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida. Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklampsia, maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada preeklampsia tidak diperlukan restriksi konsumsi garam. 5. Tekanan osmotik koloid plasma/ tekanan onkotik Osmolaritas serun dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.

12

6. Koagulasi dan fibrinolis Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya trombositopenia, jarang yang berat, tetapi sering dijumpai. Pada preeklampsia terjadi peningkatan FDP, penurunan antitrombin III, dan peningkatan fibronektin. 7. Viskositas darah Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro: fibrinogen dan hematrokit. Pada preeklampsia viskositas darah meningkat, mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ. 8. Hematrokit Pada hamil normal hematrokit menurun karena hipervolemia, kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada preeklampsia hematrokit meningkat karena hipovomlemia yang menggambarkan beratnya preeklampsia. 9.

Edema Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema yang terjadi pada kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai pada hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.

10.

Hematologi Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik, akibat spasme arteriole dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematrokit akibat hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit < 100.000 sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit. 11. Hepar Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia dan perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu pembedahan. 12. Neurologik Perubahan neurologik dapat berupa : Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema. Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanoa jelas adanya kelainan dan ablasio retinae (retinal detachment). Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia. Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui dengan jelas. Faktor – faktor yang menimbulkan kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme serebri dan iskemia serebri. Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.

13

13. Kardiovaskular Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia. 14. Paru Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan menurunnya diuresis. Dalam menangani edema paru, oemasangan Central Venosus Preeure (CVP) tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari pulmonary capillary wedge pressure. 15. Janin Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah Intrauterine growth restrcition (IUGR) dan oligohidramnion. Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat intrauterine growth restriction, prematuritas, oligohidramnioan dan solusio plasenta. (Sarwono, 2010: 537-541) Preeklampsia Definisi Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel (Cunningham, 2005). Penyakit ini merupakan penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul akibat kehamilan yang biasanya terjadi pada triwulan ketiga kehamilan tetapi dapat timbul juga sebelum triwulan ketiga seperti pada pasien mola hidatidosa (Wiknjosastro, 2006). Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsi dapat dibagi menjadi preeklampsi ringan dan berat. Pembagian preeklampsi ringan dan berat tidaklah berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali penderita demgan preeklampsi ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma. (Sarwono, 2010:542). Epidemiologi Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 6 % dari ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4 – 18 %. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75 % dan preeklampsia berat terjadi 25 %. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10 % kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal (Lim, 2009). Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida (Wiknjosastro, 2006). Faktor predisposisi lainnya adalah ras hitam, usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes (Pernoll, 1987). Etiologi Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat 14

menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, penyebab jarang timbul kembali preeklampsia pada kehamilan berikutnya dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknjosastro, 2006). Patogenesis Preeklampsia telah dijelaskan oleh Chelsey sebagai “disease of theories” karena penyebabnya tidak diketahui. Banyak teori yang menjelaskan patogenesis dari preeklampsia, diantaranya adalah (1) fenomena penyangkalan yaitu tidak adekuatnya produksi dari blok antibodi, (2) perfusi plasenta yang tidak adekuat menyebabkan keadaan bahaya bagi janin dan ibu, (3) perubahan reaktivitas vaskuler, (4) ketidakseimbangan antara prostasiklin dan tromboksan, (5) penurunan laju filtrasi glomerulus dengan retensi garam dan air, (6) penurunan volume intravaskular, (7) peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat, (8) penyebaran koagulasi intravaskular (Disseminated Intravascular Coagulation, DIC), (9) peregangan otot uterus (iskemia), (10) faktor-faktor makanan dan (11) faktor genetik. Dari teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, belum ada satupun yang dapat membuktikan proses patogenesis preeklampsia yang sebenarnya (Pernoll, 1987). Faktor Resiko  Primigravida  Riwayat preeklampsi  Riwayat preeklampsi pada keluarga  Tekanan darah yang meningkat di awal kehamilan dan badan yang gemuk  Adanya riwayat darah tinggi pada maternal  Kehamilan ganda  Diabetes pregestasional  Sindroma antifosfolipid  Usia maternal yang ekstrem 35 tahun Klasifikasi Preeklampsi Ringan a. Definisi Adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. b. Kriteria diagnosa  Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg < 160/110 mmHg. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam. Tekanan darah diastolik 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.  Proteinuria : proteinuria ≥300 mg/24 jam atau dipstick ≥ 1 + dipstik.  Edema : edema lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik preeklampsia kecuali pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.  Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.

15

c. Penanganan 1. Rawat jalan (ambulatoir) Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan. Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), Tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring. Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendiriya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim. Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada preeclampsia, ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan robonsia prenatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan refleks, kondisi janin, laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal. 2. Rawat inap (dirawat di rumah sakit) Pada keadaan tertenTu ibu hamil dengan preeclampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria preeklampsia ringan dirawat di rumah sakit, ialah (a) bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu; (b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsi berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesej lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsi berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya unahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung, dan lain-lain. 3. Penanganan Obstetrik  Kehamilan < 37 minggu: kehamilan dipertahankan sampai aterm  Kehamilan > 37 minggu: jika serviks sudah matang, dilakukan amniotomi dan kemudian induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin, jika serviks belum matang, dilakukan pematangan dengan prostaglandin, atau sectio caesarea. (Sarwono, 2010: 543-544) 16

Preeklampsi Berat a. Definisi Preeklampsi berat ialah preeklampsi dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmhg dan tekanan diastoik ≥110 mmhg disertai proteinuria lebih 5 g/24jam. b. Kriteria diagnose Preeklamsia disrtai salah satu atau lebih gejala dan tanda : 1. Tekanan darah ≥160/110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring. 2. Proteinuria : proteinuria ≥ 5 gram/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif. 3. Oliguria : produksi urine < 400 – 500cc/24 jam. 4. Kenaikan kadar kreatinin plasma. 5. Edema paru dan sianosis. 6. Nyeri epigastrum dan nyeri kuadran kanan atas abdomen : disebabkan teregangnya kapsula Gilsone. Nyeri dapat sebagai gejala awal rupture hepar. 7. Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran, nyeri kepala, skotomata, dan pandangan kabur. 8. Gangguan fungsi hepar : peningkatan SGOT dan SGPT 9. Hemolisis mikroangiopatik 10. Trombositopenia: < 100.000 sel/mm3 11. Sindroma HEELP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platele Count) c. Klasifikasi 1) Preeklampsi berat tanpa impending eclampsia 2) Preeklampsi berat dengan impending eclampsia Dikatakan impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai dengan tanda dan gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, nyeri epigastrium, muntah-muntah, dan kenaikan progresif tekanan darah. d. Penanganan Terapi Medikamentosa: · Penderita eklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring kesatu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan. Karena penderita eklamsia dan preeklamsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya dua keadaan tersebut belum jelas, tetapi factor yang sangat menetukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endosel. Penurunan gradient tekanan onkoik koloid/pulmonarycapilarry wedge pressure. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse)dan output (melalui urin) menjadi sangat penting.Artinya harus dilakuakan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukan dan dikeluarkan melalui urin . · Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi cairan yang diberikan dapat berupa :  5% Ringer Dextrose atau cairan garam yang faali jumlah tetesan :< 125 cc/jam atau  Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam)500 cc. Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin.Oliguria terjadi bila produksi urin 16x/menit, tidak ada tanda-tanda distress nafas.  Magnesium sulfat dihentikan bila: 1. Ada tanda-tanda intoksikasi 2. Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang berakhir.  Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 1. Dosis Terapeutik 4-7 mEq/liter 4,8-8,4 mg/dl 2. Hilangnya reflex tendon 10 m Eq/liter 12 mg/dl 3. Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter 18 mg/dl 4. Terhentinya Jantung >30 mEq/liter>36 mg/dl  Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannnya menimbulkan efek flushes (rasa panas). 18



Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, paying jantung kongestif atau anasarka.

Diuretikum yang dipakai furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin dan menurunkan berat janin. Pemberian antihipertensi Masih banyak pendapat dari beberpa Negara tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Di RSU Dr,Soetomo Surabya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik >180 mmHg dan atau tekanan diastolic )110 mmHg Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah yang drunkan mencapai < 160/105 atu MAP 50.000 ≤100.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l  Klas 3 : kadar trombosit >100.000 ≤150.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l Diagnosa Banding Pre-eklampsia-Syndrma HELLP  Trombotik angiopatik  Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya 1. Acute fatty liver of pregnancy 2. Hipovolemia berat/perdarahan berat 3. sepsis  Kelainan jaringan ikat: SLE  Penyakit ginjal primer

25

Pengobatan a. Terapi Medikamentosa Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan melakukan monitoring trombosit setiap 12 jam. Bila trombosit < 50.000/ml atau danya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen. Pemberian dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double strength dexamethasone (double dose). Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000- 150.000/ml dengan disertai tanda-tanda eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan dexametason 10mg i.v. tiap 12 jam. Pada postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi dexametason dihentikan bila terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala klonik preklamsiaeklampisa. Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan. b. Sikap Pengelolaan Obstetrik Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal. (Sarwono, 2010, 554-556) LO.2 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Antepartum. Definisi Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28 minggu. Karena perdarahan antepartum terjadi pada kehamilan di atas 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada trimester ketiga, akan tetapi tidak jarang juga terjadi sebelum kehamilan 28 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan. Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Hal ini disebabkan perdarahan yang bersumber pada kelainan plasenta biasanya lebih banyak, sehingga dapat mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti kelainan serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta. Klasifikasi Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta yang secara klinis biasanya 26

tidak terlalu sukar untuk menentukannya adalah plasenta previa dan solusio plasenta. Oleh karena itu, klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut : 1. Plasenta Previa Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum). Klasifikasi plasenta previa dibuat atas dasar hubungannya dengan ostium uteri internum pada waktu diadakan pemeriksaan. Dalam hal ini dikenal empat macam plasenta previa, yaitu : a) Plasenta previa totalis, apabila seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum) tertutup oleh plasenta. b) Plasenta previa lateralis, apabila hanya sebagian dari jalan lahir (ostium uteri internum) tertutup oleh plasenta. c) Plasenta previa marginalis, apabila tepi plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal). d) Plasenta letak rendah, apabila plasenta mengadakan implantasi pada segmen bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm di atas pinggir pembukaan sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir. Penentuan macamnya plasenta previa tergantung pada besarnya pembukaan jalan lahir. Misalnya plasenta previa marginalis pada pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta previa lateralis pada pembukaan 5 cm. Begitu juga plasenta previa totalis pada pembukaan 3 cm dapat menjadi lateralis pada pembukaan 6 cm. Maka penentuan macamnya plasenta previa harus disertai dengan keterangan mengenai besarnya pembukaan, misalnya plasenta previa lateralis pada pembukaan 5 cm. 2. Solusio Plasenta Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio plasentae, accidental haemorrhage dan premature separation of the normally implanted placenta. Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Berdasarkan gejala klinik dan luasnya plasenta yang lepas, maka solusio plasenta dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu : a. Solusio plasenta ringan Luas plasenta yang terlepas kurang dari 1/4 bagian, perut ibu masih lemas dan bagian janin mudah teraba, janin masih hidup, tanda persalinan belum ada, jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250 ml, terjadi perdarahan pervaginam berwarna kehitamhitaman. b. Solusio plasenta sedang Luas plasenta yang terlepas lebih dari 1/4 bagian tetapi belum sampai 2/3 bagian, perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit diraba, jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tapi belum mencapai 1000 ml, ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, janin 27

dalam keadaan gawat, tanda-tanda persalinan biasanya telah ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam. c. Solusio plasenta berat Luas plasenta yang terlepas telah mencapai 2/3 bagian atau lebih, uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri, serta bagian janin sulit diraba, ibu telah jatuh ke dalam syok dan janin telah meninggal, jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000 ml lebih, terjadi gangguan pembekuan darah dan kelainan ginjal. Pada dasarnya disebabkan oleh hipovolemi dan penyempitan pembuluh darah ginjal. 3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya Perdarahan anterpartum yang belum jelas sumbernya terdiri dari : a. Pecahnya sinus marginalis Sinus marginalis adalah tempat penampungan sementara darah retroplasenter. Perdarahan ini terjadi menjelang persalinan, jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak membahayakan janin dan ibunya, karena persalinan akan segera berlangsung. Perdarahan ini sulit diduga asalnya dan baru diketahui setelah plasenta lahir. Pada waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa sakit dan menjelang pembukaan lengkap yang perlu dipikirkan kemungkinan perdarahan karena sinus marginalis pecah. b. Pecahnya vasa previa Perdarahan yang terjadi segera setelah ketuban pecah, karena pecahnya pembuluh darah yang berasal dari insersio vilamentosa (keadaan tali pusat berinsersi dalam ketuban). Epidemiologi 1. Distribusi Frekuensi Perdarahan antepartum terjadi kira-kira 3% dari semua persalinan, yang terdiri dari plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya. Seperti yang dikutip oleh D.Anurogo, Insidence Rate (IR) plasenta previa di Amerika Serikat terjadi pada 0,3-0,5% dari semua kelahiran. Menurut FG Cuningham di Amerika Serikat (1994) ditemukan IR perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa 0,3% atau 1 dari setiap 260 persalinan. Di Indonesia, plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan (IR 0,5%). Menurut penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001 tercatat proporsi plasenta previa 82,9% atau 92 kasus dari 111 perdarahan antepartum. Di RS Santa Elisabeth Medan (1999-2003), ME Simbolon menemukan 90 kasus plasenta previa dari 116 kasus perdarahan antepartum (proporsi 77,6%) dengan kematian perinatal 4,4%. Perdarahan antepartum yang diakibatkan solusio plasenta di Indonesia terjadi kira-kira 1 diantara 50 persalinan (IR 2%). Menurut penelitian Gunawan di RSU Padang (1997) dalam FR Bangun ditemukan proporsi solusio plasenta 0,48% atau 1 diantara 210 persalinan. Menurut penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001 tercatat proporsi solusio plasenta 5,4% atau 6 kasus dari 111 perdarahan antepartum.

28

2. Faktor Determinan a. Umur Umur yang lebih tua dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan antepartum. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Wanita pada umur kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan antepartum karena alat reproduksi belum sempurna atau matang untuk hamil. Selain itu, kematangan fisik, mental dan fungsi sosial dari calon ibu yang belum cukup menimbulkan keragu- raguan jaminan bagi keselamatan kehamilan yang dialaminya serta perawatan bagi anak yang dilahirkannya. Sedangkan umur di atas 35 tahun merupakan faktor yang dapat meningkatkan kejadian perdarahan antepartum karena proses menjadi tua dari jaringan alat reproduksi dari jalan lahir, cenderung berakibat buruk pada proses kehamilan dan persalinannya. Perdarahan antepartum lebih banyak pada usia di atas 35 tahun. Wanita yang berumur 35 tahun atau lebih mempunyai resiko besar untuk terkena dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Di RS Sanglah Denpasar Bali (2001-2002) ditemukan bahwa resiko plasenta previa pada wanita dengan umur ≥35 tahun 2 kali lebih besar dibandingkan dengan umur 35 tahun - Wanita dengan riwayat: o Bayi lahir mati o Pertumbuhan janin terhambat o Oligohidramnion atau polihidramnion o Kehamilan ganda/ gemelli o Sensitasi rhesus o Hipertensi o Diabetes dan penyakit-penyakit kronis lainnya o Berkurangnya gerakan janin o Kehamilan serotinus Tanda dan Gejala Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin. Ibu dapat melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara menghitung jumlah tendangan janin/ ’kick 36

count’. Janin harus bergerak minimal 10 gerakan dari saat makan pagi sampai dengan makan siang. Bila jumlah minimal sebanyak 10 gerakan janin sudah tercapai, ibu tidak harus menghitung lagi sampai hari berikutnya. Hal ini dapat dilakukan oleh semua ibu hamil, tapi penghitungan gerakan ini terutama diminta untuk dilakukan oleh ibu yang beresiko terhadap gawat janin atau ibu yang mengeluh terdapat pengurangan gerakan janin. Bila ternyata tidak tercapai jumlah minimal sebanyak 10 gerakan maka ibu akan diminta untuk segera datang ke RS atau pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.6 Tanda-tanda gawat janin:4,5  Mekonium kental berwarna hijau terdapat di cairan ketuban pada letak kepala  Takikardi/ bradikardi/ iregularitas dari denyut jantung janin Untuk mengetahui adanya tanda-tanda seperti di atas dilakukan pemantauan menggunakan kardiotokografi  Asidosis janin Diperiksa dengan cara mengambil sampel darah janin. Mekonium Adanya mekonium saja tidak mampu untuk menegakkan suatu diagnosis gawat janin. Mekonium adalah cairan berwarna hijau tua yang secara normal dikeluarkan oleh bayi baru lahir mengandung mukus, empedu, dan sel-sel epitel. Bagaimanapun, dalam beberapa hal, mekonium dikeluarkan dalam uterus mewarnai cairan ketuban. Adanya mekonium pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin mencapai maturitas dan dengan sendirinya bukan merupakan tanda-tanda gawat janin. Mekonium dapat mewarnai cairan ketuban dalam beberapa tingkat, mulai dari mewarnai ringan sampai dengan berat. Adanya mekonium dianggap signifikan bila berwarna hijau tua kehitaman dan kental. Mekonium kental merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang lebih cepat dan penanganan mekonium pada saluran napas atau neonatus untuk mencegah aspirasi mekonium. Pada presentasi sungsang, mekonium dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada persalinan. Hal ini bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada awal persalinan/ saat bokong masih tinggi letaknya.7 Pada tahun 1903, J. Whitridge Williams mengamati dan menganggap keluarnya cairan mekonium sebagai relaksasi otot sfingter ani diakibatkan aerasi yang kurang dari darah janin. Para ahli obstetri sudah lama menyadari bahwa deteksi mekonium dalam persalinan merupakan suatu hal yang problematis dalam memprediksi gawat janin atau asfiksia.8 Terdapat 3 teori yang telah diajukan untuk menjelaskan tentang keluarnya mekonium:8 -

Janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dan mekonium merupakan hasil dari suatu usaha janin untuk mengkompensasi. Mekonium merupakan tanda maturasi yang normal dari traktus gastrointestinal di bawah pengaruh persarafan yang mempersarafinya Mekonium dapat keluar sebagai stimulasi vagal dari terjepitnya tali pusat dan gerakan peristalsis yang meningkat

Komponen mekonium seperti garam empedu dan enzim-enzim yang terkandung di dalamnya dapat menyebablan komplikasi serius bila terinhalasi atau teraspirasi oleh janin, dapat mengakibatkan sindrom aspirasi mekonium yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, 37

kehilangan surfaktan paru, pneumonitis kimia. Mekonium dalam cairan ketuban terdapat pada 13 % kelahiran hidup, kurang dari 5 % persalinan di bawah 37 minggu, 30 % pada bayi > 42 minggu. Faktor resikonya meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu dan pre-eklamsi, oligohidroamnion, ibu perokok, penggunaan obat-obatan terlarang. (internet) Ramin dkk. mempunyai hipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium termasuk hiperkapnia janin, yang menstimulasi respirasi janin mengakibatkan aspirasi mekonium ke dalam alveoli, dan trauma parenkim paru sekunder dari kerusakan sel alveolar karena asidemia.7 Kesimpulannya, insidensi tinggi dari mekonium pada cairan amnion selama persalinan seringnya merupakan proses fisiologis yang normal. Meskipun normal, mekonium dapat menjadi berbahaya bila asidemia janin. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak bayi dengan sindrom aspirasi mekonium ternyata menderita hiposia kronis sebelumnya/ saat dilahirkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kadar eritropoetin janin dan penghitungan eritrosit.8 Kardiotokografi Kardiotokografi adalah alat elektronik yang digunakan untuk tujuan memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan hipoksia janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan menetukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Pemantauan dilakukan melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungan dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin dalam rahim. Kardiotokografi merupakan suatu metode pemeriksaan yang telah ditetapkan sebagai suatu pemeriksaan standar rutin untuk menentukan kesejahteraan janin. Meskipun pemeriksaan kardiotokografi menunjukkan hasil dengan tingkat positif palsu yang tinggi, yaitu sekitar 64 % dan evaluasinya juga sangat subyektif, tetapi saat ini tetap menjadi metode penapisan diagnosis hipoksia akut pada janin, karena tidak ada cara pemeriksaan lain yang lebih obyektif dan non invasif.9 Gambar 1. Kardiotokograf9

Pemantauan dapat dilakukan dengan 2 cara:  Pengukuran eksternal Dengan menggunakan alat yang dipasang pada dinding perut ibu, terdapat 2 elektroda: elektroda jantung yang ditempatkan tepat di tempat terdengarnya denyut jantung janin dan elektroda kontraksi yang ditempatkan untuk mengukur tegangan dinding perut, yang merupakan cara pengukuran tekanan intra uterus secara tidak langsung. Ketua elektroda dipasang dengan menggunakan suatu sabuk, untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebelumnya digunakan jeli dengan tujuan menghilangkan pengaruh udara. Cara pengukuran ini harus lebih cermat, karena dapat dikacaukan oleh denyut aorta ibu. 38

Cara eksternal lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal maupun intranatal, praktis, aman ( mencegah terjadinya ruptur membran dan invasi uterus), dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang lebih invasif.8 Gambar 2. Diagram yang menunjukkan penggunaan pemantauan eksternal10

Gambar 3. Skema penggunaan elektroda untuk memantau denyut jantung janin. Denyut aorta ibu juga dapat terdeteksi dan terhitung.8

Gambar 4. Gambaran denyut jantung janin yang diukur dengan elektroda yang ditempatkan di kulit kepala janin, dan dicatat pada kecepatan kertas 1 cm/ menit dan 3 cm/ menit.8

39

 Pengukuran internal Cara ini lebih invasif, alat pemantau dimasukkan ke dalam rongga rahim ibu dan membutuhkan dilatasi serviks, dan memasukkan kateter bertekanan serta menempelkan elektroda spiral ke kulit kepala janin. Elektroda bipolar diletakkan pada kulit janin bagian terdepan secara langsung. Pengukuran internal lebih tepat dan mungkin lebih dipilih pada keadaan tertentu dimana diperkirakan akan terjadi persalinan yang terkomplikasi.8 Gambar 5. Gambaran skematik pemantauan internal dimana elektroda bipolar terpasang pada kulit kepala janin, untuk mendeteksi kompleks QRS ( F), juga menunjukkan denyut jantung ibu ( M)8

A. Uji Tanpa Beban / Non Stress Test ( NST) NST adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan kardiotokografi pada umur kehamilan ≥ 32 minggu. Menurut American Pregnancy Association, NST dilakukan pada umur kehamilan lebih atau sama dengan 28 minggu. Sebelum usia 28 minggu, janin belum cukup berkembang untuk memberikan respons terhadap tes. Pemeriksaan ini dilakukan dengan maksud menilai kesehatan janin melalui hubungan perubahan denyut jantung janin dengan gerakan janin yang dirasakan oleh ibu Persiapan uji tanpa beban:  Ibu hamil telah makan 1- 2 jam sebelum prosedur dilakukan  Ibu tidak sedang memakai obat-obatan sedativa  Kandung kemih dikosongkan  Informed consent Indikasi: Semua kondisi yang dapat menyebabkan janin lahir dalam keadaan buruk, antara lain: 40

Kondisi ibu:  Hipertensi kronis  Diabetes mellitus  Anemia berat ( Hb < 8 gr % atau Ht < 26 %)  Penyakit vaskuler kolagen  Gangguan fungsi ginjal  Penyakit jantung  Pneumonia dan penyakit paru-paru berat  Penyakit dengan kejang Kondisi janin:  Pertumbuhan janin terhambat  Kelainan kongenital minor  Aritmia jantung  Isoimunisasi  Infeksi janin  Pernah mengalami kematian janin dalam rahim yang tidak diketahui penyebabnya Kondisi yang berhubungan dengan kehamilan:  Kehamilan multipel  Ketuban pecah pada kehamilan kurang bulan  Polihidramnion  Oligohidramnion  Plasentasi abnormal  Solusio plasenta  Kehamilan lewat waktu Prosedur:  Pasien ditidurkan secara santai semi Fowler, 45o miring ke ke kiri  Tekanan darah diukur tiap 10 menit  Dipasang kardiotokografi  Pada i;bu diberikan tombol penanda yang harus ditekan apabila ibu merasakan gerak janin  Frekuensi denyut jantung janin dicatat selama 10 menit pertama untuk mendapat data dasar denyut jantung janin  Pemantauan tidak boleh kurang dari 20 menit. Apabila pada 20 menit pertama didapatkan hasil non reaktif, lanjutkan pemantauan 20 menit lagi. Pastikan bahwa tidak ada hal-hal yang mempengaruhi hasil pemantauan apabila hasilnya tetap nonreaktif  Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil NST secara individual Komplikasi: supine hypotension Hasil reaktif, bila: 41

  

Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali permenit Variabilitas denyut jantung janin 6 -25 permenit Ada gerakan janin, terutama gerakan multipel dan berjumlah 5 gerakan atau lebih dalam pemantauan 20 menit, dengan kenaikan minimal 15 dpm selama minimal 15 detik

Hasil tidak reaktif, bila:  Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali permenit  Variabilitas kurang dari 6 denyut/ menit  Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit  Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan rangsang dari luar Ada juga hasil yang meragukan ( non reassuring), keadaan ini interpretasinya sukar, dapat disebabkan oleh pemakaian obat yang mendepresi susunan saraf pusat. Pada keadaan hasil yang meragukan dimana pasien sudah dipastikan tidak sedang dalam pengaruh obat, dianjurkan agar NST diulang keesokan harinya. Bila reaktivitas tidak membaik, dilakukan pemeriksaan uji beban kontraksi ( OCT) Deselerasi variabel dapat terdeteksi selama pemantauan. Apabila tidak berulang dan lamanya tidak lebih dari 30 menit, biasanya tidak menunjukkan keadaan janin yang buruk dan tidak memerlukan intervensi obstetri. Deselerasi lambat yang berlangsung lebih dari 1 menit pada pemeriksaan NST biasanya berhubungan dengan keadaan janin yang buruk.11

B. Uji Beban Kontraksi ( Contraction Stress Test/ CST) atau Uji Dengan Oksitosin ( Oxytocin Challenge Test/ OCT) CST/ OCT adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan kardiotokografi yang menilai perubahan denyut jantung janin pada saat kontraksi rahim. Tujuan dilakukannya tes ini adalah untuk memantau kondisi janin pada kehamilan usia lanjut sebelum janin dilahirkan, menilai apakah janin sanggup mentolerir beban persalinan normal serta menilai fungsi plasenta. Indikasi: Bila terdapat dugaan insufisiensi plasenta:  Uji beban yang tidak reaktif  Diabetes mellitus  Preeklamsia  Hipertensi kronis  Pertumbuhan Janin Terhambat  Kehamilan lewat waktu  Pernah mengalami lahir mati  Ketagihan narkotika  Hemoglobinopati akibat sel sickle  Penyakit paru kronis  Gangguan fungsi ginjal 42

Kontraindikasi:  Luka parut pada rahim  Kehamilan ganda sebelum 37 minggu  Ketuban pecah sebelum 37 minggu  Risiko tinggi untuk persalinan kurang bulan  Perdarahan antepartum  Serviks inkompeten atau paska operasi serviks  Kelainan bawaan atau cacat janin berat  Indikasi untuk seksio sesarea Komplikasi: persalinan kurang bulan Prosedur: a. Pasien ditidurkan secara semi Fowler dan miring kiri b. Tekanan darah diukur setiap 10 -15 menit, dicatat di kertas monitor c. Kardiotokografi dipasang d. Selama 10 menit pertama dicatat data dasar e. Pemberian tetes oksitosin untuk mengusahakan terbentuknya 3 kontraksi rahim dalam 10 menit. Bila telah ada kontraksi uterus spontan tapi kontraksi < 3 kali/ 10 menit, tetesan dimulai dengan 0.5 mU/ menit. Bila belum ada kontraksi rahim, tetesan dimulai dengan 1 mU/ menit ( 20 tetes/ menit). Bila kontraksi yang diinginkan belum tercapai, setiap 15 menit tetesan dinaikkan 5 tetes/ menit, sampai maksimal 60 tetes/ menit Tetesan oksitosin dihentikan bila:  Lima kontraksi atau lebih dalam 10 menit  Dalam 10 menit terjadi 3 kontraksi yang lamanya lebih dari 50-60 detik  Kontraksi uterus hipertonus  Deselerasi yang memanjang  Terjadi deselerasi lambat yang terus-menerus  Selama 1 jam pemantauan, hasilnya tetap mencurigakan

Interpretasi hasil: Negatif  

Tidak terjadi deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang nyata Denyut jantung janin normal, variabilitas 6-25 dpm Bila hasil OCT negatif, maka kehamilan dapat diteruskan sampai 7 hari lagi, selanjutnya dilakukan OCT ulangan, atau diartikan bahwa janin dapat mentolerir beban persalinan normal. Positif

43



Terjadi deselerasi lambat yang menetap pada sebagian besar kontraksi rahim, meskipun tidak selalu disertai dengan variabilitas yang menurun dan tidak ada akselerasi pada gerakan janin. OCT positif menunjukkan adanya insufisiensi uteroplasenta. Kehamilan harus segera diakhiri, kecuali bila paru-paru belum matang

Mencurigakan    

Terjadi deselerasi lambat yang tidak menetap, atau deselerasi variabel yang terus-menerus Deselerasi lambat terjadi hanya bila ada kontraksi rahim hipertonus Bila dalam 10 menit meragukan ke arah positif atau negatif Adanya takikardi

Bila hasilnya mencurigakan, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang 1-2 hari kemudian Tidak memuaskan  Kontraksi rahim kurang dari 3 kali dalam 10 menit  Pencatatan tidak baik, terutama pada akhir kontraksi Bila demikian, pemeriksaan harus diulang pada hari berikutnya Hiperstimulasi  Terjadi 5 atau lebih kontraksi rahim dalam 10 menit  Lama kontraksi 90 detik atau lebih  Tonus basal uterus meningkat ( > 20 mmHg) Bila demikian, tetesan oksitosin harus dikurangi atau dihentikan11 Gambar 6. Hasil yang menunjukkan baseline rate normal:10

Seiring dengan maturasi janin, denyut jantung menurun. Penurunan denyut jantung janin berkisar antara 1 denyut/ menit per minggu atau 24 denyut/ menit dari antara usia 16 minggu sampai dengan aterm. Hal ini disebabkan karena respons terhadap maturasi pusat pengaturan parasimpatis ( vagal) jantung. Denyut jantung normal adalah antara 110 – 160 denyut/ menit. 44

Denyut jantung diatur oleh keseimbangan antara pusat akselerator ( saraf simpatis) dan deselerator ( saraf vagal parasimpatis) pada sel pacemaker, selain itu juga dipengaruhi oleh kemoreseptor kimia yang dapat mendeteksi adanya hipoksia dan hiperkapnia.

Gambar 7. Hasil yang menunjukkan adanya bradikardi:10

Denyut jantung janin dikatakan bradikardi bila baseline heart rate kurang dari 110 dpm. Jika antara 110 dan 100 dikatakan mencurigakan, sementara di bawah 100 dikatakan patologis. Penurunan bertahap yang terus-menerus adalah suatu tanda gawat janin.

Gambar 8. Hasil yang menunjukkan gambaran takikardi10

Suatu gambaran dikatakan mencurigakan takikardi bila denyut jantung janin berkisar antara 150 dan 170 sementara bentuk yang patologis adalah bila denyut jantung janin di atas 170. Takikardi dapat merupakan suatu tanda dari infeksi janin atau demam dan juga gawat janin. Sebab yang paling sering terjadi adalah karena demam pada ibu yang disebabkan oleh amnionitis, meskipun demam yang disebabkan oleh apapun dapat meningkatkan denyut 45

jantung. Takikardi yang disebabkan oleh infeksi ibu biasanya tidak berhubungan dengan kompensasi janin kecuali terdapat perubahan denyut jantung periodik atau sepsis janin. Penyebab lain dari takikardi janin termasuk kompensasi janin, aritmia jantung, pemberian obat-obatan parasimpatetik ( atropin) atau simpatomimetik ( terbutalin).Anestesi epidural juga dapat menyebabkan takikardi pada janin. Cara untuk membedakan antara kompensasi janin dengan takikardi adalah dengan deselerasi denyut jantung yang menyertai. Penghilangan hal-hal yang membuat janin harus mengkompensasi, seperti pemulihan hipotensi ibu yang disebabkan analgesia epidural dapat menyebabkan pemulihan keadaan janin juga.8 Gambar 9. Gambaran variabilitas8

Gambar 10. Gambaran bermacam-macam tingkat variabilitas8

46

1. Tidak tampak adanya variabilitas 2. Variabilitas minimal ≤ 5 denyut/ menit 3. Variabilitas moderat ( normal) 6-25 denyut/ menit 4. Bermakna, variabilitas ≥ 25 denyut/ menit 5. Pola sinusoidal 47

Variabilitas adalah penanda penting dari fungsi kardiovaskuler dan diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu sistem saraf simpatis dan parasimpatis, diperantarai oleh nodus sinoartrial, yang menghasilkan osilasi denyut ke denyut dari denyut jantung dasar/ baseline. Iregularitas denyut jantung tersebut didefinisikan sebagai variabilitas. Variabilitas dibagi menjadi variabilitas dini dan variabilitas lanjut. Variabilitas dini

: bila perubahan instan denyut jantung terjadi dari denyut jantung satu langsung ke denyut jantung atau gelombang R berikutnya Variabilitas ini adalah interval waktu antara sistole jantung

Variabilitas lanjut

: bila perubahan denyut jantung terjadi dalam waktu 1 menit. Normal bila terdapat 3-5 perubahan dalam 1 menit

Variabilitas ini normal terdapat dengan batasan 6 – 25 denyut/ menit. Tidak adanya variabilitas biasanya berhubungan dengan asidemia metabolik yang mendepresi batang otak janin atau jantung itu sendiri. Penyebab yang sering menyebabkan tidak adanya variabilitas adalah penggunaan obat-obat analgesia, dan obat-obat yang mendepresi susunan saraf pusat ( narkotik, barbiturat, fenotiazin, obat penenang).8 Gambar 10. Gambaran variabilitas yang menurun ( < 10 dpm):10

Variabilitas normal seharusnya di antara 10 sampai dengan 15 dpm ( kecuali selama janin tertidur yang seharusnya tidak lebih lama dari 60 menit). Gambar 10. Gambaran akselerasi pada respons terhadap stimulus10

48

Gambaran di atas menunjukkan peningkatan transien dari denyut jantung yang lebih besar dari 15 dpm untuk sekurangnya dari 15 detik. Dua akselerasi dalam 20 menit dianggap hasil reaktif. Akselerasi adalah pertanda baik karena menunjukkan bahwa janin responsif dan mekanisme pengontrolan jantungnya baik. Gambar 11. Gambaran deselerasi awal, lambat dan variabel10

49

Deselerasi dapat normal atau patologis. Deselerasi awal timbul bersamaan dengan kontraksi uterus dan biasanya berhubungan dengan dengan kompresi kepala janin, oleh karena itu timbul pada persalinan seiring dengan turunnya kepala. Deselerasi lambat bila deselerasi persisten setelah kontraksi selesai, hal ini mengarah pada keadaan gawat janin. Deselerasi dikatakan variabel bila bervariasi dengan waktu dan bentuk antara satu sama lain, gambaran ini mengarah pada keadaan hipoksia atau kompresi tali pusat. Tabel 2. Klasifikasi gambaran dari kardiotokografi12

Pasti normal

Denyut jantung

Variabilitas

Deselerasi

Aselerasi

110-160

≥5

Tidak ada

Ada

50

Tidak pasti

100-109 161-180

Abnormal

< 100 atau

-

atau < 5 untuk ≥ 40 Deselerasi awal menit tapi < 90 atau deselerasi menit variabel atau satu deselerasi yang lama ≤ 3 menit

Tidak ada akselerasi pada gambaran normal atau meragukan

< 5 selama ≥ 90 Deselerasi menit variabel atipik > 180 atau atau deselerasi lanjut atau satu Bentuk deselerasi lama sinusoid selama > 3 menit ≥ 10 menit

Tidak ada akselerasi pada gambaran normal atau meragukan

Normal bila 4 di atas termasuk dalam golongan pasti normal Mencurigakan bila ada 1 golongan tidak pasti Tidak normal bila ≥ 2 golongan tidak pasti atau ≥ 1 tidak normal

Pengambilan sampel darah janin Sesuai dengan American College Of Obstetricians and Gynecologists, pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat membantu untuk mengidentifikasi keadaan gawat janin. Prosedur ini memang jarang dilakukan, tetapi merupakan pemeriksaan penyerta untuk menegakkan diagnosis gawat janin pada hasil NST yang meragukan.8 Pengambilan darah janin harus dilakukan di luar his dan sebaiknya ibu dalam posisi tidur miring. Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut: o o o o o

Deselerasi lambat berulang Deselerasi variabel memanjang Mekonium pada presentasi kepala Hipertensi ibu Osilasi/ variabilitas yang menyempit

Kontraindikasi: o Gangguan pembekuan darah janin o Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai o Infeksi pada ibu Syarat: o Pembukaan lebih dari 2 cm o Ketuban sudah pecah o Kepala sudah turun hingga dasar pelvis

51

Cara pengambilan sampel darah:13 1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah ruptur membran 2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada tempat insisi 3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis 4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin 5. Periksa pH darah 6. Setelah insisi, hentikan perdarahan

Gambar 12. Teknik pengambilan sampel darah dari kulit kepala janin menggunakan amnioskopi8

Tabel 3. Interpretasi dari sampel pH darah janin berdasarkan pedoman RCOG dan NICE yang terbaru:12

Hasil sampel pH darah janin

Tindakan

≥ 7.25

Ulangi pengambilan sampel darah jika abnormalitas denyut jantung janin persisten

7.21 – 7.24

Ulangi pengambilan sampel darah dalam 30 menit atau pertimbangkan terminasi kehamilan jika terjadi penurunan pH yang cepat dibandingkan sampel yang terakhir

≤ 7.20

Indikasi terminasi kehamilan

Semua perkiraan hasil sampel tersebut harus diinterpretasi bersama dengan hasil pengukuran pH terdahulu, tingkat kemajuan dalam persalinan dan gambaran klinis ibu dan janin. Dalam interpretasi, dapat terjadi hasil yang abnormal atau normal palsu.

52

Keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya hasil abnormal palsu:    

Asidosis ibu Respons susunan saraf pusat janin terhadap asidosis Kontaminasi sampel darah Sampel darah terlalu lama didiamkan sebelum dianalisis

Keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya hasil normal palsu:        

Narkose Infeksi Asfiksia saat pengambilan sampel Prematuritas Obstruksi jalan nafas neonatal Trauma persalinan Anomali kongenital Recovery incomplete asphyxia

Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan pemeriksaan:  Perdarahan  Insisi terlalu dalam  Infeksi Profil Biofisik Konsep dasar dari profil biofisik adalah penilaian beberapa variabel dari kegiatan biofisik fetus yang lebih sensitif dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan satu parameter saja. Pemantauan kegiatan biofisik fetus, memainkan peranan dalam mengidentifikasi janin yang mengalami asfiksia. Profil biofisik terdiri dari 5 komponen, salah satunya adalah standar tes non stress. Empat parameter lainnya dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonik.

Adapun komponen profil biofisik meliputi:14 1. Reaksi jantung fetus 2. Pergerakan pernafasan 3. Pergerakan badan 4. Tonus 5. Kedalaman cairan amnion Setiap komponen diberi nilai 0 sampai dengan 2, sehingga skor total minimal adalah 0 dan maksimal 10.13 Tabel 4. Skor biofisik janin13 Parameter

Skor= 2

Skor= 0 53

Reaktif NST

Non reaktif

Sekurang-kurangnya 2 Tidak ada akselerasi dari > 15 dpm, berlangsung > 15 detik, berhubungan dengan gerakan janin dalam periode 20 menit

Gerakan pernafasan janin

Paling sedikit satu periode pernapasan dengan lamanya 60 detik dalam periode observasi Tidak ada 30 menit 3 atau lebih gerakan badan dalam waktu 30 menit Paling sedikit satu gerakan kaki dari fleksi ke ekstensi dan kembali lagi < 3 gerakan

Gerakan janin

Satu kantong cairan sekurangkurangnya 2 cm dalamnya Tonus

Tidak ada gerakan

Voume cairan amnion

< 1 cm

Normal

: 8 atau 10

Ragu-ragu

: 4 atau 6

Abnormal

: 0 atau 2

Profil biofisik kurang begitu menyita waktu bila dibandingkan dengan OCT ( Oxytocin Contraction Test), dan ada beberapa peneliti yang menganjurkan pemeriksaan biofisik sebagai langkah selanjutnya setelah tes non stress dan bukannya OCT. Bila tes kedua setelah NST yang non reaktif adalah skor biofisik, maka pengelolaannya sebagai berikut: 1. Skor 0-2 biasanya merupakan indikasi adanya gangguan terhadap janin dan cukup alasan untuk melahirkan janin 2. Skor 4-6 setelah NST yang non reaktif, hendaknya tes diulangi atau lakukan OCT 3. Skor 8 atau lebih setelah NST yang non reaktif menunjukkan janin tersebut sehat dimana NST dapat diulangi pada interval tertentu. Tata Laksana 54

Tabel 4. Kriteria Tata Laksana Untuk Pola Denyut Jantung Janin yang Meragukan8 Tindakan berikut harus dicatat dalam rekam medis: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Reposisi pasien Hentikan stimulansia uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus Pemeriksaan vaginal Koreksi hipotensi ibu yang berhubungan dengan anestesi regional Pemberitahuan tenaga anestesi dan perawat untuk kebutuhan persalinan darurat Monitor denyut jantung janin – dengan monitor janin elektronik atau auskultasi – di ruang operasi sebelum menyiapkan kelahiran per abdominal 7. Adanya tenaga kompeten yang hadir untuk resusitasi dan penanganan neonatus 8. Pemberian oksigen ke ibu 1. Tokolitik Injeksi subkutan atau intravena tunggal dari 0.25 mg terbutalin sulfat diberikan untuk relaksasi uterus telah dijelaskan sebagai tindakan sementara dari penanganan denyut jantung yang meragukan selama persalinan. Inhibisi kontraksi uterus dapat meningkatkan oksigenasi janin, dan menghasilkan resusitasi intrauterus. Cook dan Spinato ( 1994) menjabarkan pengalaman mereka menggunakan tokolitik terbutalin untuk resusitasi intra uterus pada 368 kehamilan selama 10 tahun. Resusitasi seperti ini dapat meningkatkan nilai pH darah dari kulit kepala janin, dan terbukti menolong keadaan seperti disebutkan di atas. Dosis kecil nitrogliserin intravena ( 60 sampai dengan 180 μg) juga dilaporkan dapat memberikan keuntungan.8 2. Amnioinfusion Gabbe dkk. melakukan percobaan pada monyet dengan cara mengeluarkan cairan amnion yang ternyata menghasilkan deselerasi variabel dan penggantian dengan cairan fisiologis menghilangkan deselerasi tersebut. Miyazaki dan Taylor ( 1983) memasukkan cairan fisiologis melalui kateter bertekanan pada wanita melahirkan yang mengalami deselerasi variabel atau deselerasi lama berhubungan dengan terjepitnya tali pusat. Terapi ini terbukti meningkatkan pola denyut jantung pada setengah dari jumlah sampel yang diteliti. Berdasarkan laporan-laporan terdahulu, amnioinfusion transvaginal kini digunakan untuk:  Penanganan deselerasi variabel atau deselerasi lama  Profilaksis kaus-kasus oligohidroamnion, seperti ketuban pecah dini  Usaha untuk mengencerkan atau ’mencuci’ mekonium yang kental. Protokol pemberiannya sendiri masih belum ada ketentuan baku hingga sekarang. 500 sampai 800 ml bolus cairan fisiologis hangat diikuti dengan infus kontinyu 3 ml per menit. Pada penelitian lain, Rinehart dkk menyarankan cukup hanya dengan pemberian 500 ml bolus cairan fisiologis dalam temperatur ruangan, atau 500 ml bolus ditambah infus kontinyu 3 ml per menit.8 Tabel 4. Komplikasi Amnioinfusion Berdasarkan Survei dari 186 Pusat Pelayanan Obstetri8 Komplikasi

Jumlah laporan ( %) 55

Hipertonus uterus

27

Denyut jantung janin abnormal

17 ( 9)

Amnionitis

7 ( 4)

Prolaps tali pusat

5 ( 2)

Ruptur uterus

4 ( 2)

Kompensasi respiratorius atau jantung 3 ( 2) maternal Abrupsi plasenta Kematian ibu

2 ( 1) 2 ( 1)

Tata laksana umum untuk keadaan gawat janin:    



Reposisi pasien ke sisi kiri Hentikan pemberian oksitosin Identifikasi penyebab maternal ( demam ibu, obat-obatan), dan diterapi sesuai dengan penyebab Jika penyebab ibu tidak ada tetapi denyut jantung tetap abnormal minimal 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan vaginal o Perdarahan dengan nyeri konstan atau intermiten, curigai solusio plasenta o Tanda infeksi ( demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotik sesuai dengan penatalaksanaan amnionitis o Bila tali pusat di bawah bagian yang terendah, atau ada di vagina, tangani sesuai dengan penanganan tali pusat prolaps Jika denyut jantung abnormal menetap atau ada tanda tambahan gawat janin, rencanakan persalinan: o Jika serviks terdilatasi penuh dan kepala janin tidak lebih dari 1/5 di atas simfisis pubis atau ujung tulang terendah dari kepala pada stasion 0, lahirkan dengan ekstraksi vakum atau forsep. o Jika serviks tidak terdilatasi penuh atau kepala janin lebih dari 1/5 di atas simfisi pubis atau ujung tulang terendah dari kepala di atas stasion 0, lahirkan dengan seksio sesarea. DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams Obstetrics, 22 nd ed, Connecticut: Appleton & Lange, 2002. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam : Ilmu Bedah Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006. Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam : Ilmu Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010. 56

Hidayat Wijayanegara. Dalam: Makalah Lengkap Kursus Kardiotokografi. Malang : RSUD DR. Saiful Anwar. 2002.

Dasar

Ultrasonografi

ml.scribd.com/doc/78502167/referat-gawat-janin-2 repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23913/2/Reference.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14695/1/09E02639.pdf http:///scribd.com/doc/189465626 http://www.fetal.freeserve.co.uk/meconium.html http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html

57

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF