Wrap Up Jurnal Reading Medikolegal
October 24, 2017 | Author: Khairul Huda Pgdgn | Category: N/A
Short Description
k...
Description
Asia Pacific Coroners Society Conference Noosa, Queensland, 7-10 November 2011 David Zimmerman Virtopsy & Forensic Imaging : Legal Parameter And Impact Abstrak : Projek Virtopsy telah dimulai oleh institute kesehatan forensic di Bern, Switzerland, lebih dari 15 tahun silam dengan tujuan mengganti atau menambahkan otopsi forensic yang tradisioal dengan dasar fotometri 3 dimensi dengan scan pada permukaan tubuh, postmortem computer tomography (pmCT), postmortem magnetic resonance imaging (pmMRI), CTguide postmortem angiography (pm CT angio) dan CT-guided postmortem biopsy (pm biopsy). Keduanya baik virtopsy dan pencitraan forensic dengan pmCT (atau pmMRI) mungkin mengurangi cara otopsi yang tradisional dalam menentukan penyebab kematian tanpa pembedahan. Keuntungan lainnya dari virtopsy dan pencitraan forensic bias meliputi demonstrasi gambaran 3D yang sangat complex dalam menunjukan proses patologi untuk bukti atau tujuan pengadilan dimana dapat di muat dalam data digital yang menyimpan data tubuh korban saat itu, sehingga tidak terpengaruh waktu. Focus utama adalah (yang mungkin) dampak dari virtopsy dan pencitraan forensic dengan pmCT (pmMRI) pada system investigasi yang berbeda dalam kedua Negara dan meliputi investigasi criminal, prosedur criminal sama seperti hukum yang berlaku. 1. Latar belakang: pendekatan Swiss Virtopsy Virtopsy mengombinasikan teknologi survei, patologi, radiologi, pengolahan gambar, ilmu sains komputer, telematika, fisika dan biomekanika. Virtopsy terdiri atas alat-alat berikut: 3D photogrammety-based optical surface scanning (dikenal sebagai: 3D surface scan) Postmortem computed tomography (dikenal sebagai: pmCT) Postmortem magnetic resonance imaging (dikenal sebagai: pmMRI) Postmoretm CT guided biopsy (dikenal sebagai: pm biopsi) Postmortem CT guided angiography (dikenal sebagai pm CT angio) Penggabungan data dari 3D surface scan dan pmCT dan pmMRI untuk rekonstruksi 3D merupakan elemen “kunci” dari proyek ini. Virtopsy terutama digunakan pada forensik patologi untuk menemukan penyebab dan cara terjadinya kematian, juga untuk menentukan identitas dari mayat. Virtopsy dapat menunjang autopsi (tradisionil) atau berfungsi sebagai triase untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan autopsy. Tujuan dari proyek Swiss Virtopsy ini adalah untuk menggantikan autopsi forensik yang sangat invasif dengan teknologi baru invasif minimal ini dikemudian hari. Seperti pada saat ini sekitar 80% penyebab kematian yang relevan dengan kasus forensik. Terdapat beberapa kekurangan dari teknologi pencitraan ini seperti resolusi jaringan yang terbatas oleh teknologi pemindaian saat ini, tidak dapat terlihat warna organ dan biaya yang tinggi dari Virtopsy tergantung dari penggunaan prosedur non/minimally invasif dan jumlah prosedur yang dikerjakan. Biaya rata-rata untuk autopsi forensik secara keseluruhan ialah sekitar 2500 AUD.-, sedangkan biaya untuk seluruh prosedur Virtopsy termasuk 3D surface scan, pmCT, pmMRI, pmCT angio, dan pm biopsi pada institusi kedokteran forensik di Bern dihargai
sekitar 5000 AUD.-. namun, dalam praktiknya kebanyakan hanya mempergunakan pmCT, yang dikenakan biaya jauh lebih rendah (sekitar 400-500 AUD per jam tergantung dari negara dan tingkat kerumitan kasus). Akan tetapi, kekurangan ini dihadapkan dengan banyak kelebihannya, termasuk:
Ilustrasi 3D dan dokumentasi ukuran sebenarnya untuk memudahkan komunikasi misalnya antara pengacara dan ahli forensik. Ilustrasi 3D dan animasi saintifik yang nyata berdasarkan pada perubahan data yang nyata, juga pengertian dari penemuan patologik yang kompleks sebagai bukti forensik di pengadilan; Data tersimpan secara digital (gambar 3D) pada komputer dan dapat diakses kapan saja. Hal ini memungkinkan pemeriksaan kembali dari tubuh secara digital dan kemungkinan kejahatan misalnya pada kasus percobaan kembali/persidangan ulang atau pengajuan bukti de novo. Karena keadaan tubuh dapat diperiksa kapanpun setelah meninggalkan TKP, penguburan maupun pembusukkan mayat beberapa dekade kemudian, ekshumasi seringkali tidak diperlukan; Tidak adanya risiko infeksi (misalnya tuberkulosis, bahan toksik) dan Penerimaan yang lebih baik dari relasi, yang tidak menoleransi dan menolak autopsi tradisonil karena alasan agama maupun budaya (misalnya Muslim, orang Yahudi).
2. Praktik saat ini dalam Virtopsy/pencitraan forensik: sebuah ringkasan a) Virtopsy/pencitraan forensik sebagai tambahan pada autopsi: - Swiss: Praktek sehari-hari dari pencitraan forensik pada institusi forensik klinis di Bern dan Zurich, Swiss, adalah sebagai berikut: dalam sekitar 1/3 kematian yang dilaporkan (“extraordinary deaths”) di Bern, pmCT dilakukan sebagai tambahan terhadap autopsi, berarti setelah jaksa yang bertanggung jawab membuat keputusan untuk dilakukan autopsi. Praktek penggunaan pencitraan forensik sebagai tambahan terhadap autopsi setelah diambil keputusan oleh jaksa setempat- juga dapat ditemukan pada institusi forensik Swiss lainnya, dimana Institusi Forensik Zurich menggunakan pmCT pada setiap kasus kematian dibandingkan dengan di Bern, tetapi pmMRI juga hanya digunakan pada kasus tertentu. -
Denmark: Setelah pemeriksaan eksternal polisi menentukan bersama dengan ahli forensik apakah autopsi perlu untuk dilakukan. Seluruh kasus (diduga) pembunuhan, penyebab kematian tidak diketahui dan kasus yang berhubungan dengan obat-obatan ilegal dan kematian sangat tiba-tiba dan tidak diduga dalam penjara dan rumah sakit harus dilaksanakan autopsi dan pmCT (atau pmMRI) sebagai penunjang.
-
Swedia: Swedia, institut forensik menggunakan pmCT yang ditempatkan di pusat riset-nya sebagai tambahan untuk autopsi. Departemen kepolisian menentukan metode pemeriksaan, yang pada sebagian besar kasus merupakan autopsi yang dapat termasuk pmCT.
-
Perancis, Australia (tanpa Victoria), Singapur, Malaysia, Arab Saudi, Israel, Amerika, Jepang (departemen mediko-legal): Fasilitas forensik di negara Eropa lainnya menggunakan CT (atau MRI) di rumah sakit sebagai penunjang untuk autopsy.
b) Virtopsy/pencitraan forensik pm sebagai triase untuk autopsi: - Victoria, Australia: Praktek pmCT berikut ditemukan pada Victorian Institute of Forensic Medicine (VIFM), Melbourne, Australia, sebagai salah satu institusi terkemuka dalam pencitraan forensik: pada tahun 2005. PmCT digunakan untuk menyediakan informasi bagi ahli forensik untuk autopsi forensik mereka, misalnya mengenai penyebab kematian, juga untuk tujuan identifikasi (misalnya “Black Saturday”, 2009). Ahli forensik telah dilatih dalam membaca gambaran pencitraan hasil pmCT. Terlebih lagi, terdapat ahli radiologi yang bekerja pada VIFM untuk memantau (secara spesifik) kasus dan sebagai konsultan dan “pelatih” untuk ahli forensik dan pendaftar. Teknisi forensik di kamar mayat dilatih dalam radiografi dan juga dalam melaksanakan pmCT angio. Peningkatan dari pemindai CT ini memungkinkan pemindaian tubuh yang lebih cepat, pemeriksaan tubuh yang lebih besar dan lebih berat, dan membantu diagnosis yang lebih baik secara umum. Hanya sedikit kasus (1-2%) yang menjalani pmCT angio, baik untuk penunjang autopsi forensik atau pada kasus tertentu, dimana terdapat objeksi dari relasi, informasi tambahan dapat ditemukan menggunakan pmCT angio dengan persetujuan koroner untuk menghindari autopsi forensik. PmCT pada VIFM digunakan pada pemeriksaan pendahulu dan sebelum keputusan autopsi oleh koroner dibuat. pmCT (dan dengan persetujuan koroner pmCT angio) merupakan alat triase yang penting untuk memfasilitasi keputusan koroner dalam menentukan apakah autopsi diperlukan atau tidak. -
Jerman: Kebanyakan institusi forensik di Jerman menggunakan perlengkapan CT (atau terkadang MRI) di rumah sakit untuk tujuan postmortem. Karena itu, pmCT langsung digunakan di Bremen untuk menghindari autopsi forensik pada kasus SIDS. Pada institusi forensik di Hamburg, pmCT bahkan digunakan secara rutin sebagai triase selama inspeksi, untuk menentukan apakah autopsi perlu dilakukan atau tidak.
-
Jepang: Kepolisian di Jepang dan kantor pemeriksa medis di lima kota terbesar seperti Tokyo, Osaka, dll menggunakan data pemindaian tubuh CT (atau MRI) yang sudah ada di rumah sakit (pada kasus dimana orang tersebut meninggal di rumah sakit) atau meminta rumah sakit untuk melakukan pemindaian tubuh menggunakan CT (atau MRI) pada kasus tidak-mencurigakan atau tidak-kriminal selama inspeksi administratif, Namun, autopsi (administratif) tambahan oleh dokter klinis dapat dilaksanakan, apabila relasi setuju untuk dilakukan atau diperlukan oleh pihak kepolisian atau jaksa atau dalam kasus investigasi pemeriksaan medis tubuh yang bersangkutan diberikan pada departemen mediko-legal untuk dilakukan autopsi (yudisial) oleh ahil forensik (termasuk pmCT atau pmMRI).
-
Inggris: Pemeriksaan ini dapat menghindari dilakukannya autopsi, jika tidak dideteksi adanya tindak kriminal selama pmMRI (di sekitar 13% kasus). Di Oxford, pmCT (atau pmMRI) digunakan untuk menghindari autopsi tradisionil dalam kasus risiko tinggi, seperti HIV. Namun, dalam kasus yang dilaporkan mengenai kematian mencurigakan atau (diduga) pembunuhan, pmCT (atau pmMRI) lazim digunakan sebagai tambahan untuk autopsi di Inggris.
-
Itali: Secara umum, ahli forensik di Itali dapat diberi wewenang oleh jaksa untuk melakukan pmCT atau pmMRI sebagai tambahan/penunjang untuk autopsi. Namum, pada kasus bencana alam, seperti misalnya gempa bumi, dengan lebih dari 10 korban, pmCT atau pmMRI sudah menggantikan autopsi tradisional forensik.
3. Sisi legal dari Virtopsy/forensic imaging: a) Pengenalan: Tidak ada keputusan persidangan tertentu yang membahas penerimaan Virtopsy atau pencitraan forensic sebagai bukti dibandingkan dengan autopsy tradisional atau penerimaan secara umum Virtopsy atau pencitraan forensic sebagai bukti persidangan. Lebih jauh penggunaan Virtopsy / pencitraan forensik, seperti pmCT, sebagi bukti persidangan maupun permintaan penyidik sebagi pemeriksaan tambahan untuk melengkapi hasil autopsy, dan sangat jarang berdiri sendiri kecuali dinegara Australia, Swiss atau Jepang. Pada buku “The Virtopsy approach” karangan Michael J. Thali dkk., Graham P. Segal membahas mengenai sisi legalitas, budaya dan secara agamis dari Virtopsy, terlepas dari semua keuntungan yang didapat terutama pada kasus dimana adanya keberatan dari keluarga terdekat dari komunitas muslim dan yahudi mengenai autopsi untuk kepentingan forensic, dan analisa yang relevan terhadap kasus hukum di Australia. Namun, penggunaan pmCT and 3D surface scan pada investigasi kematian (dan scan MRI pada keilmuan forensic pada korban yang tewas tercekik) sudah digunakan namun belum menjadi dasar dapri pmeriksaan keduanya. Lebih lanjut, jaksa penuntut juga mengakui bahwa banyak hal yang telah disebutkan diatas merupakan keuntungan dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan secara tradisional (dan laporan), terutama untuk autopsy (laporan). Disisi lain, berdasarkan hasil pemeriksaan apakah laporan prosedur non invasive pmCT dapat sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti polisi, jaksa penuntut, penyidik dan pengacara. Dengan tujuan itu, hanya laporan pmCT yang disediakan kepada 5 orang hukum (hakim, pengacara, dan jaksa penuntut, penyidik, dan petugas polisi senior) yang menjawab kuesioner (termasuk kemungkinan jawaban bebas). Dari hasil ditemukan tidak ada kekhawatiran berarti mengenai penerimaan dan kelengkapan dari laporan pmCT pada siding pidana mengenai trauma yang secara langsung menyebabkan kematian seperti kasus kecelakaan beruntun yang timbul dari transportasi. Perlindungan hukum terhadap pribadi serts hak kebebasan individu dan serta batasan akhir hak individu (juga disebut perlindungan terhadap individu post mortem pada undang- undang pertanyaan mengenai informed consent pada pencitraan forensic secara klinis, pertanyaan mengenai masalah kerahasiaan data penyimpanan dan bukti hukum, seperti penerimaan laporan Virtopsy/pm forensic imaging tanpa perlu meyediakan bukti autopsy tambahan pada proses persidangan, dan masalah utama yaitu mencari dasar hukum pada undang- undang agar dapat dilaksanakan Virtopsy/forensic imaging pada penuntutan kasus criminal serta pada investigasi oleh penyidik dan pemeriksa secara medis.
b) Perbedaan Investigasi Kematian di Australia dan Switzerland. Perbedaan yurisdiksi yang ada telah menyediakan system investigasi kematian yang berbeda-beda. Harus ada system untuk persetujuan terhadap keperluan otopsi ini dengan pihak keluarga yang bersangkutan (contoh dokter yang melakukan otopsi dan administrasi untuk otopsi ini). Ada investigasi kematian yang tidak memerlukan persetujuan untuk dilakukannya pemeriksaan otopsi. Pemeriksa mayat, dokter yang memeriksa atau otoritas pengadilan seperti polisi atau jaksa atau pengacara dapat memerintahkan agar dilakukan pemeriksaan termasuk otopsi tanpa persetujuan (tetapi kebanyakan hak untuk objek biasanya diperlukan). Sistem investigasi kematian yang wajib telah banyak diterapkan pada Negara berkembang (seperti Australia, Japan, USA, dan Eropa).
Sistem memeriksa mayat sudah diberlakukan, sedangkan di Switzerland investigasi kematian oleh pengadilan masih dilakukan oleh jaksa Negara. Australia memfokuskan investigasi kematian pada hal penyebab kematian / sebab mati, pada Swiss investigasi kematian lebih difokuskan dalam hal cara mati. Disamping investigasi kematian oleh pemeriksa mayat atau oleh jaksa Negara, departemen kesehatan public di kedua Negara atau mentri kesehatan Negara, wilayah yang memilki kekuasaan dalam aksi relevan untuk dilakukan nya otopsy tanpa persetujuan dengan pihak keluarga, jika penyakit infeksius yang dapat mencakup kesehatan publik. Meskipun itu artikel inin focus pada investigasi kematian oleh jaksa Negara. Prosedur investigasi kematian pada criminalitas di kedua Negara seperti Swiss dan Australia masih perlu peresmiannya, dalam arti coroner Australia dan hakim criminal di Swiss harus aktif dan terlibat dalam investigasi kasus. Di Switzerland investigasi kematian. Dalam kesimpulan investigasi kematian di Swiss merupakan bagian dari prosedur criminal, sedangkan di Australia investigasi kematian merupakan campur tangan coroner.
c) Virtopsy and pencitraan forensic post mortem pada legislasi Australia dan Swiss: Tidak pernah disebutkan dimanapun “Virtopsy” diatur oleh hukum. Seperti yang disebutkan diatas, hanya beberapa literature dan keputusan pengadilan yang menyebutkan pmCT (atau pmMRI atau photogrammmetry/3D surface scan) dapat digunakan sebagai bukti pemeriksaan forensic atau pengadilan criminal (atau perdata). Namun keputusan pengadilan juga tidak membahas secara detail mengenai Virtopsy/pm forensic. Tidak ada keputusan pengadilan sebelumnya yang dapat dijadikan contoh atau kasus yang mengarah kepertanyaan mengenai pencitraan untuk forensic. Beberapa undang- undang seperti di U.S.A mengatur tentang penggunaan radioraf atau x ray untuk investigasi kematian, terutama untuk tujuan identifikasi. Coroners Act 2009 NSW dalam ayat 88 mengatur ‘pemeriksaan radiologi’ sebagai prosedur yang paling tidak invasive. Pemeriksaan radiologi seperti CT dan MRI. Sepanjang pengetahuan penulis, hanya ayat 3 dari Coroners Act 2008 VIC yang mengatur pencitraan terhadap jasad dan pmCT serta pmMRI secara jelas diseluruh dunia. Untuk semua tindakan forensic, undang- undang prosedur criminal dll serta interpretasi legalitas
diperlukan. Untuk tujuan itu penerapan peraturan interpretasi dan tindakan harus dipertimbangkan. Di negara Swiss interpretasi legal berdasarkan literal, sejarah, sistematis, teologi (tujuan). Sedangkan dinegara Australia, interpretasi legal didasarkan pada undangundang negara dan wilayah dan diats semua itu tujuan pendekatan. Berdasarkan peraturan interpretasi yang relevan, tidak ada masalah yang muncul untuk menyertakan Virtopsy/pm forensic imaging termasuk pmCT, pmMRI, 3D surface scan, pm CT angio and pm biopsy dibawah regulasi autopsy atau pemeriksaan post mortem (termasuk juga pemeriksaan atau investigasi, penelitian atau tes lanjutan) dari jurisdiksi yang berbeda, termasuk Australia, Swiss, Jerman, Austria dan U.S.A sebagai contohnya. Khusus untuk Australia dan swiss, pemeriksaan Virtopsy/forensic imaging dilegalkan sebagai autopsy atau pemeriksaan kematian dengan peraturan coroners acts of the Australian states and territories dan pada artikel 253 ayat 3 SCCP sebagai pemeriksaan lanjutan (jika autopsy diperlukan). Namun, dirasa perlu penggunaan Virtopsy/pm forensic imaging sebagai triase dan bukan hanya sebagai pemeriksaan tambahan untuk autopsy. Kemungkinan terjadinya kesalahan penilaian atau penemuan meningkat jika hanya dilakukan pemeriksaan luar saja. Hal ini disadari tidak hanya oleh patolg dan ahli forensic saja melainkan juga oleh penyidik dan dan hakim. Mereka menyadari bahwa pemeriksaan luar saja tidak dapat dianggap sebagai pemeriksaan yang tepat. Seperti contoh, sering pada penyebab dan cara kematian, alami atau tidak, contohnya kemungkinan pembunuhan tidak dapat ditentukan. Tambahan pemeriksaan Virtopsy/pm forensic imaging pada fase inspeksi/pemeriksaan luar dapat meyakinkan terhadap penyebab dan cara kematian dari pembunuhan (yang tersamar) atau bentuk malpraktek medis secara substansial. Ini juga mengingkatkan keamanan dan legalitas. Pencitraan non invasive dan prosedur yang kurang invasive seperti pm CT angio dan pm biopsy jika dibutuhkan dapat memberikan patolog informasi yang lebih luas dan dalam kepada penuntut atau penyidik selama investigasi sebelum diputuskan perlu tidaknya dilakukan autopsy. DenganVirtopsy/pm forensic imaging, ahli forensic dapat melihat gambaran dalam tubuh utnuk mengetahui cedera, benda asing dll. Tanpa harus melakukan diseksi. Ini juga dapat memfasilitasi komunikasi dengan keluarga korban dan membantu pengambilan keputusan autopsy sendiri. dengan penggunaan Virtopsy/pm forensic imaging sangat membantu keluarga dekat korban agar mereka mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai penyebab kematian keluarga mereka sekaligus menjaga norma agamis (seperti yahudi atau muslim) atau kebudayaan mereka. seringkali, dengan penggunaan Virtopsy/pm
dapt menghindari dilakukan autopsy dan keberatan dari pihak keluarga, prosedur legalitas autopsy sendiri dan terutama biaya yang perlu dikeluarkan. Dikarenakan alasan ini, dirasa perlu untuk melakukan pemeriksaan Virtopsy/pm forensic imaging (setidaknya dengan yang paling murah dan banyak penggunaannya yaitu pmCT) pada saat inspeksi/ pemeriksaan luar secara rutin pada setiap kasus.
4. Kesimpulan: Virtopsy/pm forensic imaging dengan segala kelebihannya dapat digunakan dalam penyelidikan kematian modern, sebagai tambahan untuk pemeriksaan tradisional seperti otopsi serta triase untuk keputusan otopsi selama pemeriksaan atau pemeriksaan pendahuluan. Tidak ada penolakan atau hambatan terhadap virtopsy/pm forensic imaging sebagai pemeriksaan otopsi atau postmortem atau pemeriksaan/investigasi/pengujian/sebagai studi dll. Ada pula alasan yang berbeda seperti untuk menjamin keamanan hukum (pembunuhan yang tersamar dan malpraktik medis), untuk memenuhi keprihatinan agama atau budaya mengenai otopsi, untuk memfasilitasi keputusan otopsi karena lebih luas dan kedalaman informasi pada tahap penyelidikan awal dan lebih tinggi penerimaan oleh keluarga terdekat karena non/invasi minimal, menjadi nilai tambah dari virtopsy/pm forensic imaging selama pemeriksaan (pemeriksaan luar) atau pemeriksaan awal dan sebelum keputusan otopsi. Misalnya virtopsy/pm forensic imaging tersebut dapat menghindari banyak otopsi. Swiss, Victorian dan undang-undang NSW (dan mirip 'sistem 2 langkah investigasi kematian' di seluruh dunia) memberikan dasar hukum bagi non-invasif virtopsy/pm forensic imaging, misalnya pmCT, pmMRI selama inspeksi/pemeriksaan luar. Namun demikian, kecuali The Coroners Act in NSW kebanyakan regulasi tentang inspeksi (pemeriksaan eksternal) termasuk 'pemeriksaan pendahuluan' di bawah The Coroners Act 2008 VIC or the ‘legalinspection’ under the Swiss Code of Criminal Procedure perlu perubahan regulasi yang mencakup penggunaan minimally-prosedur invasif termasuk pm CT angio dan pm biopsi. Kegunaan virtopsy/pm forensic imaging harus menjadi pertimbang untuk amandemen undang-undang saat ini, misalnya di negara bagian dan teritori Australia kecuali VIC dan NSW. Sebuah peraturan untuk pemeriksaan inspeksi termasuk virtopsy / pm pencitraan forensik mungkin dapat mencontoh dari the ‘preliminary examinations’ in the Coroners Act 2008 VIC, Sect 88, 89 of the Coroners Act 2009 NSW, the Swiss Virtopsy®-project dan bagus untuk diikuti :
(1) Dalam laporan penyebab kematian dari pihak yang berwenang (Coroner / Jaksa / Polisi / Pemeriksa Medis) harus mendapat izin dari lembaga forensik atau dokter forensik yang memenuhi syarat atau ahli patologi untuk melakukan pemeriksaan untuk mencari sebab kematian, cara atau keadaan kematian dan identitas jenazah, sebelum ia memutuskan, apakah otopsi harus dilakukan untuk tujuan yang sama atau tidak. (2) Sebuah pemeriksaan tubuh termasuk (namun tidak terbatas pada): 1. pemeriksaan luar tubuh termasuk rongga tubuh dan pemeriksaan gigi. 2. pencitraan tubuh (virtopsy) termasuk CT-scan, MRI-scan, x-ray, fotografi, fotogrametri, surface scan, USG. 3. pengumpulan informasi, termasuk informasi pribadi dan kesehatan, polisi dan laporan medis. 4. pengambilan sampel dari permukaan tubuh dan cairan tubuh termasuk darah, urin, air liur dan lendir dari tubuh dan pengujian sampel tersebut 5. prosedur invasif minimal lainnya, yang kurang invasif dari otopsi parsial atau penuh, termasuk biopsi jarum halus dan angiografi Selain itu, prosedur forensik dapat berfungsi sebagai dasar hukum untuk pencitraan forensik klinis, misalnya CT atau MRI, sebagai prosedur wajib tanpa persetujuan dari tersangka. Pada dasarnya, virtopsy atau CT atau MRI dll gambar dapat digunakan sebagai bukti dan diterima di pengadilan. Penilaian saksi ahli dalam persidangan perlu mengikuti aturan mengenai saksi ahli. Untuk melengkapi hasil otopsi dalam kasus kematian dan secara umum pada orang yang hidup, virtopsy/pm forensic imaging dapat diterima di ruang pengadilan sebagai alat bukti. Virtopsy/pm forensic imaging dapat pula disertai dengan hasil pemeriksaan toksikologi dan histologi tetapi tanpa hasil otopsi bisa virtopsy/pm forensic imaging dapat berfungsi sebagai bukti yang relevan dan diterima dalam kasus2 tertentu. Hakim sebagai “gatekeeper” harus mempertimbangkan kelengkapan, relevansi bukti, aturan eksklusif, misalnya aturan pendapat dan standar yang relevan (bukti) yang tergantung pada yurisdiksi dan jenis pengadilannya. Pada akhirnya, pembaca tidak boleh lupa bahwa temuan otopsi penuh invasif maupun oleh virtopsy/pm forensic imaging dilihat sebagai bagian dari keseluruhan proses terhadap semua bukti yang tersedia dan dapat diterima (misalnya saksi, video , dokumen, hasil pemeriksaan laboratorium kejahatan 'seperti balistik senjata atau noda darah dll).
View more...
Comments