Wilda Agustia_Tesis_Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.pdf

June 24, 2018 | Author: BAZNAS Center of Strategic Studies | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Wilda Agustia_Tesis_Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.pdf...

Description

TINJAUAN MAQĀṢID ASY-SYARĪ’AH TERHADAP PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI BAITUL MAL ACEH

Oleh: Wilda Agustia, S.Sy NIM: 1520310006

TESIS

Diajukan kepada Program Studi Magister Hukum Islam Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum Islam

YOGYAKARTA 2017

ii

iii

iv

v

vi

ABSTRAK

Zakat adalah salah satu pilar agama Islam yang berperan besar dalam pemberdayaan ekonomi umat, zakat dikelola bukan berdasarkan perintah UndangUndang dengan segala peraturan turunannya, namun zakat dikelola berdasarkan perintah al-Qur‟ān dan ḥadīṡ. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis membahas tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh. Adapun tujuan penelitian ini untuk menjelaskan problematika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh dan menjelaskan pandangan maqāṣid asy-syarī’ah terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan ( field research) yang bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis dokumen, laporan kegiatan dan arsip-arsip yang relevan dengan penelitian ini, wawancara dengan pihak Baitul Mal Aceh yang memahami permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa problematika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh adalah dalam mekanisme pencairan dana zakat yang telah dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah harus mengikuti aturan keuangan daerah dan disamakan dengan Pendapatan Asli Daerah lainnya, pada penyaluran dana zakat Baitul Mal Aceh harus menunggu pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh sedangkan mustahiq secara terus menerus memerlukan bantuan dana zakat, jumlah zakat yang disalurkan tidak harus sama dengan jumlah yang diterima karena wajib terikat dengan platform yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh, Dalam hal pengadaan barang dan jasa pada program zakat produktif yang dilakukan oleh Baitu Mal masih menuai kontroversi karena harus mengikuti mekanisme pengadaan barang dan jasa sehingga Baitul Mal Aceh mengalami kesulitan dalam merealisasikan program tersebut. Dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah tersebut jika ditinjau dari maqāṣid asysyarī’ah maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal Aceh lebih banyak menimbulkan problematika yang dapat membahayakan jiwa mustahiq zakat, karena mustahiq zakat khusunya fakir dan miskin adalah pihak yang paling merasakan efek dari peraturan tentang zakat yang dijadikan Pendapatan Asli Daerah, ketika Baitul Mal Aceh mengalami kendala dalam pencairan dana zakat dari Kas Umum Aceh yang berimbas pada terkendalanya proses penyaluran zakat kepada mustahiq, sedangkan mustahiq memerlukan dana zakat tersebut untuk bertahan hidup dan tidak boleh terjadi keterlambatan penyaluran dana zakat, apabila terjadi keterlambatan maka akan mengancam kehidupan (jiwa) mustahiq. Hal tersebut telah mengakibatkan pemeliharaan jiwa mustahiq terabaikan. Hal ini tentu berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh syariat zakat yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan mustahik guna untuk menyelamatkan jiwa manusia ( ḥifẓu an-nafs) yang merupakan salah satu dari tujuan maqāṣid asy-syarī’ah.

Kata Kunci : Pengelolaan Zakat, Pendapatan Asli Daerah, Maqāṣid Asy-Syarī’ah vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB –LATIN Be r das a rka n

Menteri

Surat Keputusan Bersama Menteri Agama R I dan

Pendidikan

dan

Kebudayaan

RI

Nomor

158 / 1987

0543b/U/1987, tanggal 10 September 1987. A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab

Nama

Huruf Latin

Keterangan

alif

tidak dilambangkan

tidak dilambangkan

bbā‟

be

t tā‟

te

ṡā‟



es (dengan titik di atas)

Jim

j

ḥā‟



khā‟

je ha (dengan titik di bawah)

kh

ka dan ha

dāl

d

żāl

ż

r rā‟

de zet (dengan titik di atas) er

zāi

z

zet

Sīn

s

es

syīn

sy

es dan ye

ṣād



es (dengan titik di bawah)

ḍād



de (dengan titik dibawah)

ṭā‟



te (dengan titik dibawah)

ẓā‟



zet (dengan titik dibawah)

„ain



gain

g

koma terbalik di atas

f fā‟

ge ef

qāf

q

qi

kāf

k

ka

Lām

l

el

mī m

m

em

viii

dan

nūn

n

en

wāwu

w

we

hhā‟ hamzah

ha „

apostrof

yyā‟

ye

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis rangkap

ditulis

muta‟aqqidin

ditulis

„iddah

C. Tā’ Marbūṭah

1. Bila dimatikan ditulis h ditulis

Hibbah

ditulis

Jizyah

(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab

yang sudah

terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya). 2. Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h. ditulis

karāmah

al-auliyā‟

Bila hidup tā marbūṭah atau dengan ḥarkat, fatḥah, kasrah, dan ḍammah ditulis t. ditulis

ix

zakātul

fiṭri

D. Vokal Pendek

Kasrah

ditulis

fatḥah

ditulis

ḍammah

ditulis

i a u

E. Vokal Panjang

+fatḥah alif

ditulis

ā ditulis

fatḥah mati+ yā‟

ditulis

kasrah + yā‟ mati

dammah + wāwu mati

F.

Jāhiliyyah ā

ditulis

yas‟ā

ditulis

ī

ditulis

Karīm

ditulis

ū

ditulis

furūḍ

Vokal Rangkap

fatḥah mati+ yā‟

ditulis

fatḥah + wāwu mati

G. Vokal

Pendek

yang

Berurutan

Ai ditulis

Bainakum

ditulis

Au

ditulis

Qaulum

dalam

Satu

KataDipisahkan

dengan Apostrof

x

ditulis

a'antum

ditulis

u'idat

ditulis

la'in syakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti Huruf Qamariyah ditulis

al-Qur‟ān

ditulis al-Qiyās 2. Bila diikuti Huruf Syamsiyah ditulis dengan menggandakan

huruf

syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l ( el)-nya.

I.

ditulis

as-Samā‟

ditulis

asy-Syams

Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

ditulis ditulis

xi

ẓawī al-furūḍ ahl as-sunnah

PERSEMBAHAN

Tesis ini dipersembahkan untuk:

Almamater Program Magister Hukum Bisnis Syariah 2015 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

xii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan waktu yang ditargetkan. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah bersusah payah menyampaikan ajaran Islam kepada ummatnya sebagai pedoman hidup di dunia dan untuk keselamatan di akhirat kelak. Penulis tesis dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh (Studi Implementasi Pasal 24 Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal)” ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh derajat Magister di bidang ilmu hukum Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah pada Magister Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penulisan tesis ini tidak sedikit hambatan dan kendala yang dihadapi penulis karena kurangnya ilmu pengetahuan dan literature yang ada pada pada penulis. Namun berkat kerja keras dan arahan dari dosen pembimbing dan yang lainnya, akhirnya tesis ini tidak lepas dari peran serta orang-orang disekitar penulis, oleh karena itu penulis ucapkan terimakasih kepada: 1.

Bapak Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

2.

Bapak Dr. H. Agus Moh. Najib, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yang telah memberikan kemudahan bagi penulis di dalam proses penandatanganan berkas-berkas serta hal-hal berkaitan dengan administrasi secara umum.

3.

Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA selaku Pembimbing I, yang dengan penuh kesabaran bersedia mengoreksi secara teliti seluruh isi tulisan, yag telah menyempatkan waktunya untuk menelaah dari bab perbab dalam pembuatan

xiii

tesis ini serta membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini 4.

Bapak Dr. Ahmad Bahiej, SH, M.Hum. selaku pembimbing II, atas arahan dan nasehat yang diberikan, di sela-sela kesibukan waktunya, membaca, mengoreksi dan memberikan arahan, sehingga dapat terselesaikannya penyusunan tesis ini.

5.

Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh civitas akademika Program Magister Hukum Islam Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sebagai tempat interaksi Penulis selama menjalani studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

6.

Kepala Baitul Mal Aceh dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan sesuai harapan.

7.

Teristimewa kepada almarhum Ayahanda tercinta Muhammad Yusuf dan Ibunda tersayang Jumiati yang dengan ikhlas selalu memberikan nasehat dan dukungan serta doa yang selalu mengiringi langkah penulis. Teruntuk suami tercinta Muhammad Ediyani, M.Pd yang selalu bersama dalam menempuh pendidikan ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kelemahan dan kekurangan bahkan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri atas segala usaha dan doa dalam penyusunan tesis ini. Semoga tulisan ini memberi manfaat kepada kita semua

Yogyakarta,12 April 2017 Penulis,

Wilda Agustia NIM: 1520310006

xiv

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................

ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ...........................................................

iii

PENGESAHAN TUGAS AKHIR................................................................. NOTA DINAS PEMBIMBING I ..................................................................

iv v

NOTA DINAS PEMBIMBING II ................................................................

vi

ABSTRAK ......................................................................................................

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................

viii

PERSEMBAHAN...........................................................................................

xii

KATA PENGANTAR ....................................................................................

xiii

DAFTAR ISI ...................................................................................................

xv

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xvii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xviii

BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................... A. Latar Belakang Masalah .............................................................

1 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................

7

D. Kajian Pustaka ............................................................................

8

E. Kerangka Teoretik ......................................................................

12

F.

Metode Penelitian .......................................................................

14

G. Sistematika Pembahasan .............................................................

17

BAB II :

ISLAM DAN PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH ...........................................

19

A. Pengertian Zakat .........................................................................

19

B. Tujuan Pensyariatan Zakat..........................................................

21

C. Muzakki dan Mustahik Zakat .....................................................

24

D. Pengelolaan Zakat dalam Islam ..................................................

31

1.

Pengelolaan Zakat pada Masa Rasulullah ...........................

31

2.

Pengelolaan Zakat pada Masa Khulafaur Rasyidin .............

34

a.

35

Masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ..........................

xv

b.

Masa Khalifah Umar bin Khattab .................................

35

c.

Masa Khalifah Usman bin Affan ..................................

36

d.

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ................................

36

3.

Pengelolaan Zakat pada Masa Tabi‟in.................................

4.

Pengelolaan Zakat di Indonesia ...........................................

37 39

E. Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Zakat ...............................

43

F.

Sumber-sumber Pendapatan Negara dalam Islam ......................

47

G. Pengertian Pendapatan Asli Daerah ............................................

53

H. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah ...................................

54

I.

BAB III :

Kemashlahatan sebagai Tujuan Hukum Islam (Maqāṣid asySyarī’ah).....................................................................................

58

REALITA PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI BAITUL MAL ACEH

66

A. Qanun Aceh ................................................................................

66

B. Baitul Mal Aceh ..........................................................................

72

C. Visi dan Misi Baitul Mal Aceh ...................................................

76

D. Struktur Organisasi Baitul Mal Aceh ..........................................

78

E. Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh.....................................................................................

86

BAB IV :

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI BAITUL MAL ACEH ............................ 101

A. Permasalahan yang Timbul dalam Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh .............................. 101 B. Tinjauan Maqāṣid asy-Syarī’ah Terhadap Permasalahan yang Timbul dalam Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh ......................................................... 107 BAB V : PENUTUP.................................................................................. A. Kesimpulan .................................................................................

112 112

B. Saran ...........................................................................................

113

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

115

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Klasifikasi Sumber dan Tujuan Pendapatan Negara Menurut Sistem Ekonomi Islam, 51.

Tabel 2

Daftar Regulasi Dasar Pembentukan Baitul Mal Aceh, 74.

Tabel 3

Kriteria Mustahiq dan Prosentase Zakat, 100.

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Terjemahan Al-Qur‟an

Lampiran 2

Daftar Riwayat Hidup

xviii

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Dalam Islam, pemberantasan kemiskinan dilembagakan dalam salah satu 1

rukunnya, yaitu zakat. Di Indonesia zakat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan serta fungsi Lembaga Amil Zakat. Hal ini penting karena zakat merupakan salah satu pemasukan bagi negara yang memiliki potensi sangat besar dalam membangun perekonomian masyarakat. Dalam teori ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat diserahkan kepada pemerintah. Hal ini berdasarkan firman al-Qur’ān Surat At-Taubah [9] ayat 103.

Kata “khuż” pada ayat tersebut merupakan kata perintah yang ditujukan kepada perseorangan. Sedangkan perintah tersebut ditujukan kepada Rasulullah SAW yang pada waktu itu di samping sebagai utusan Allah juga sebagai pemimpin Negara (penguasa). Oleh karena itu perintah dalam ayat tersebut juga ditujukan kepada setiap pemimpin Negara saat ini dan seterusnya.

2

1 Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 83-84. 2

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 92.

1

2

Pada ayat lain yaitu al-Qur’ān Surat at-Taubah [9]:60

Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa

„āmil itu adalah orang-orang yang ditugaskan atau diutus oleh Imam/pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakkī untuk kemudian diberikan kepada yang berhak 3

menerimanya. Dalam hal ini, Baitul Mal merupakan Lembaga Independen yang dibentuk oleh pemerintah yang mewakili pemerintah dalam mengelola zakat. Aceh merupakan daerah Istimewa dan otonomi khusus yang memiliki kewenangan untuk menerapkan pelaksanaan Syari’at Islam. Kewenangan tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA No.11/2006), kewenangan tersebut memberikan otonomi yang cukup besar kepada pemerintah Aceh baik ditingkat provinsi maupun 4

kabupaten/kota.

Pemberian hak meliputi empat bidang utama, yaitu pelaksanaan kehidupan beragama, pelaksanaan kehidupan adat, pelaksanaan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Hak istimewa pertama sebagai organisasi

3 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern ( Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm.125. 4 Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 44 tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh dan Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

3

kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan hukum Islam bagi masyarakat Aceh.

5

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Daerah membuat Perda nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, yang termasuk di dalamnya Baitul Mal sebagai lembaga pengelola zakat. Sesuai Peraturan Daerah (PERDA) di atas, Gubernur Aceh mengeluarkan surat Keputusan nomor 18 tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal provinsi Aceh. Mengingat putusan Gubernur itu tidak cukup kuat, maka dengan kesepakatan DPRA dan Gubernur dikeluarkanlah Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1), bahwa Badan Baitul Mal merupakan lembaga daerah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat dan harta agama lainnya di provinsi NAD. Pemerintah

Aceh

menyempurnakan

Qanun

Pengelolaan

6

Selanjutnya

Zakat

dengan

mengeluarkan satu Qanun khusus Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal.

7

Zakat merupakan salah satu bagian dari otonomi khusus yang dikelola oleh Baitul Mal. Ada hal menarik terkait dengan zakat yang diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu pada Pasal 180 5 Fuadi, “Urgensi Pengaturan Zakat: Evaluasi Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan Terhutang ( Taxes-Credit ) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh”, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum , Asy-Syir‟ah, No. 2, Th. XLVIII Desember 2014, hlm.426. 6 TM. Daniel Djuned, Baitul mal Lembaga Resmi Pengelola Zakat makalah disampaikan pada Raker Bimtek Baitul Mal se-Prov NAD 11-12 Juli 2006, Asrama Haji Banda Aceh, hlm. 2. 7 Secara tidak langsung di Aceh berlaku lex specialis degorat lex generale, dengan demikian di Aceh peraturan yang berlaku tentang pengelolaan zakat tunduk pada Qanun Nomor 10 tahun 2007.

4

ayat (1) huruf d menyatakan: “Zakat merupakan salah satu Sumber Pendapatan 8

Daerah Aceh dan Kabupaten/Kota”. Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 24 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal sebagai berikut: (1) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf g dilakukan melalui tempat muzakki bekerja. (2) Semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh merupakan sumber PAD Aceh yang harus disetor ke Kas Umum Daerah Aceh. (3) PAD Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan dalam rekening tersendiri Bendaharawan Umum Daerah (BUD) Aceh yang ditunjuk Gubernur. (4) Pengumpul dana hasil zakat disampaikan pada rekening tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dicairkan untuk kepentingan program dan kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal Aceh sesuai dengan asnaf masing-masing. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran zakat oleh Muzakki dan pencairan dana zakat oleh Baitul Mal Aceh dari Bendaharawan Umum Daerah (BUD) diatur dengan peraturan Gubernur. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengelolaan zakat di Aceh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Berdasarkan Pasal 180 ayat 1 Pemerintah Aceh telah diberi kewenangan untuk mengelola zakat dan karena melihat potensi zakat yang sangat besar bagi daerah, maka pemerintah memasukkan zakat ke dalam salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sedangkan di luar Aceh zakat yang dikelola oleh BAZNAS dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat atas persetujuan pemerintah tidak dimasukkan sebagai sumber PAD. Baitul

Mal

adalah

lembaga

daerah

non

struktural

yang

dalam

melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariah yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta 8

Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, 2006.

5

agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syariat Islam yang berada pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kemukiman.

9

Keberadaan Baitul Mal sangat strategis dan penting dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan harta umat khususnya zakat sebagai potensi ekonomi umat Islam yang perlu dikelola secara efektif oleh sebuah lembaga profesional yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, Baitul Mal haruslah semaksimal mungkin dalam menjalankan perannya dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah yang telah diatur dalam Islam, karena zakat merupakan amanah yang dititipkan kepada Baitul Mal untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya. Walaupun Baitul Mal merupakan lembaga non struktural yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen, namun berdasarkan Pasal 180 ayat 1 UUPA No.11 Tahun 2006 yang dijelaskan dalam pasal 24 Qanun Aceh No.10 Tahun

2007

dalam

mengelola

zakat

Baitul

Mal

harus

mempertanggungjawabkan/melaporkan dana zakat kepada pemerintah dengan terlebih dahulu memasukkannya ke dalam Pendapatan Asli Daerah, kemudian dana zakat baru bisa disalurkan ke program-program yang telah dirancang oleh Baitul Mal. Adapun salah satu konsekuensi zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah adalah zakat wajib disetor ke kas daerah dan penyalurannya harus tunduk kepada

9

Pasal 1 Ayat 11 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.

6

aturan tentang pengelolaan keuangan daerah seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan sejumlah aturan lainnya yang berhubungan dengan Pendapatan Asli Daerah. Jika ketentuan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah sudah diatur demikian maka konsekuensi logisnya adalah zakat boleh digunakan untuk membiayai belanja daerah sebagaimana Pendapatan Asli Daerah lainnya. Hal ini berbeda dengan ketentuan syariah yang telah mengatur pengelolaan zakat yang dilakukan oleh„āmil (Baitul Mal) dan diperuntukan khusus untuk masing-masing asnaf yang telah ditentukan dalam al-Qur’ān . Setiap kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah dalam aplikasinya pasti akan menimbulkan efek positif dan negatif. Hal ini juga terjadi pada kebijakan yang menjadikan zakat sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah/ memudharat yang lebih besar daripada manfaatnya maka kebijakan ini akan bertolak belakang dengan tujuan dari pensyariatan zakat itu sendiri. Karena zakat dikelola bukan berdasarkan perintah Undang-Undang dengan segala peraturan turunannya, namun zakat dikelola berdasarkan perintah al-Qur’ān dan ḥadīṡ. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dengan melakukan penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan tersebut yang dituangkan dalam judul Tinjauan Maqāṣid asy-Syarī‟ah Terhadap Pengelolaan

Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh

7

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana problematika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh? 2. Bagaimana tinjauan maqāṣid asy-syarī‟ah terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh? C.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan penelitian a. Menjelaskan problematika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh. b. Menjelaskan pandangan maqāṣid asy-syarī‟ah terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Ilmiah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang ekonomi Islam, khususnya dalam masalah problematika pengelolaan zakat yang dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh dan menjelaskan bagaimana teori maqāṣid asy-

syarī‟ah menilai permasalahan tersebut.

8

b. Kegunaan Terapan Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya memecahkan masalah yang melingkupi pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah oleh Baitul Mal Aceh berdasarkan

maqāṣid asy-syarī‟ah. D.

Kajian Pustaka

Zakat merupakan salah satu objek studi yang menarik untuk diteliti sehingga telah banyak penelitian yang berhubungan dengan zakat, baik pada dataran teoritik maupun pada dataran empirik, dari segi fiqh, ekonomi, politik maupun sosial. Sebagai barometer bagi penulis, maka akan dikemukakan beberapa hasil penelitian terdahulu. Penelitian tentang zakat pada dataran empirik yang menggunakan pendekatan dari segi ekonomi adalah penelitian yang dilakukan oleh Faqih El Wafa dalam tesisnya dengan judul “Pemahaman Zakat Produktif Pada Lembaga

Amil Zakat di Kota Yogyakarta (Studi Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat)”10. Pada penelitian ini penulis lebih terfokus pada zakat produktif yang dipraktekkan di masyarakat. Penulis menemukan bahwa pendayagunaan zakat untuk usaha produktif yang dipahami oleh„āmil zakat ialah pendayagunaan zakat yang diberikan kepada mustahik untuk menjalankan usaha yang bertujuan untuk memperbaiki pendapatan mustahik untuk memenuhi kebutuhannya serta membuat mustahik lebih partisipatif dalam 10 Faqih El Wafa, Pemahaman Zakat Produktif Pada Lembaga Amil Zakat di Kota Yogyakarta (Studi Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat), Tesis Program Pascasarjana Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

9

proses usaha mereka untuk meningkatkan taraf hidup mereka dengan merubah rangka berfikir mustahik untuk lebih giat beribadah dan berusaha. Kemudian penelitian tentang zakat pada dataran empirik yang menggunakan pendekatan dari segi sosial yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nahara Eriyanti yaitu penelitian yang membahas tentang Pelaksanaan Penghimpunan Zakat pada

Baitul Mal Kota Banda Aceh (Studi Terhadap Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007).11 Penulis menemukan bahwa keberadaan Qanun Nomor 10 tahun 2007 belum berhasil memikat minat masyarakat untuk membayar zakat di Baitul Mal terbukti dengan masih tidak seimbangnya antara potensi zakat yang ada dengan zakat yang berhasil dikumpulkan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat enggan membayar zakat yaitu 1). Faktor Hukum 2). Faktor penegak hukum dan 3). Faktor budaya. Baitul Mal Kota Banda Aceh dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang bernaung di bawah pemerintah Kota Banda Aceh dalam hal mengelola harta zakat tidak terlalu tergesa-gesa dalam menghadapi masyarakat pada saat ini, hal yang prioritas dilakukan oleh Bitul Mal adalah menyadarkan masyarakat agar membayarkan zakatnya melalui Baitul Mal Kota Banda Aceh agar dikelola dengan semestinya dan tidak ada tindakan seperti yang tertera pada Pasal 50 Qanun Nomor 10 Tahun 2007 yang dilakukan oleh Baitul Mal terhadap Muzakki yang enggan membayarkan zakatnya. Pada penelitian Nahara Eriyanti lebih memfokuskan pada pelaksanaan penghimpunan zakat di

11 Nahara Eriyanti, Pelaksanaan Penghimpunan Zakat pada Baitul Mal Kota Banda Aceh (Studi Terhadap Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007), Tesis Program Pascasarjana Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.

10

Baitul Mal Kota Banda Aceh (Studi Terhadap Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007), sedangkan penulis dalam penelitian ini lebih memfokuskan dinamika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Aceh serta bagaimana tinjauan maqāṣid asy-syarī‟ah terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah. Kemudian penelitian tentang zakat pada dataran teoritik yang menggunakan pendekatan dari segi hukum yaitu penelitian yang dilakukan oleh Imam Setya Budi yang membahas tentang Tata Kelola Zakat dalam Perspektif Hukum Islam

dan Hukum Positif.

12

Penulis menemukan bahwa tata kelola zakat menurut

perspektif hukum Islam mengacu pada QS. Surah al-Taubah [9] ayat 60 yang menjelasakan tentang delapan kelompok penerima zakat, yaitu: fakir miskin,

„āmil (petugas) zakat, muallaf, para budak untuk dimerdekakan, orang-orang yang berhutang, fī sabīlillah dan ibn al-sabīl. Dalam pandangan Yusuf Qardhawi, tujuan zakat ialah hendak menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dari kehidupan masyarakat Islam. Dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, persoalan pendayagunaan zakat diatur dalam Pasal 16, uraiannya sebagai berikut: a) Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq, sesuai dengan ketentuan agama (Pasal 16 ayat 1). b) Pendayagunaan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha produktif (Pasal 16 ayat 2). c) Hasil penerimaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, didayagunakan terutama untuk usaha produktif

12

Iman Setya Budi, Tata Kelola Zakat - Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.

11

(pasal 17). Penelitian ini lebih terfokus pada pengelolaan zakat secara umum dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif dan merupakan penelitian kepustakaan, sedangkan dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian tentang implementasi Pasal 24 Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapat Asli Daerah pada Baitul Mal Aceh, namun penelitian ini lebih spesifik yaitu melihat tinjauan terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah berdasarkan teori maqāṣid asy-syarī‟ah dan penelitian ini lebih memfokuskan pada zakat yang dijadikan Pendapatan Asli Daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Indah Purbasari dengan judul Pengelolaan

Zakat oleh Badan dan Lembaga Amil Zakat di Surabaya dan Gersik. 13 Penelitian ini bertujan untuk menggali potensi zakat perusahaan di Surabaya dan Gresik, dengan menggunakan metode penelitian sosio legal. Kedua wilayah ini dipilih sebagai basis industry. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberdayaan zakat masih berorientasi pada zakat individu. Perusahaan BUMN maupun bank syariah menyalurkan dana tanggungjawab sosial perusahaan tetapi tidak menyalurkan zakat perusahaannya, padahal potensi zakat perusahaan tentunya lebih besar. Oleh karena itu, model regulasi pengelolaan diperlukan untuk mengoptimalkan pemberdayaan zakat baik individu maupun perusahaan sebab Undang-Undang Pengelolaan Zakat hanya mengatur manajemen zakat, bukan pada kewajiban menunaikannya. Pada penelitian ini walaupun memiliki 13

Indah Purbasari, Pengelolaan Zakat oleh Badan dan Lembaga Amil Zakat di Surabaya dan Gersik, Jurnal Mimbar Hukum, No. Th. XXVII, Februari 2015.

12

persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu melihat pengelolaan zakat, namun terdapat perbedaan yaitu dari segi tempat/wilayah penelitian. Selain itu penulis lebih terfokus pengelolaan zakat sebagai pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh. Dengan demikian, setelah penulis membandingkan dengan hasil penelitianpenelitian terdahulu, maka penulis berasumsi bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan masih layak untuk dilanjutkan penelitiannya. Perbedaan ini tampak dari segi pokok bahasannya, lokasi, fokus penelitian, dan subjek penelitian. E.

Kerangka Teoritik

Kerangka teori dalam sebuah penelitian berfungsi sebagai acuan analisis, kerangka teoritik dalam penelitian ini digunakan sebagai tindakan dalam menganalisis data-data penelitian. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.

Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Pengelolaan zakat saat ini di berbagai Negara Islam memiliki bermacam bentuk, ada yang dikelola pemeritah ada yang dikelola oleh masyarakat langsung, serta ada yang dikelola oleh lembaga yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah.

13

Pendapatan yang diperoleh dari zakat oleh pemerintah Islam tidak dapat digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan Negara karena pemerintah Islam telah diberikan petunjuk khusus dalam al-Qur’ān tentang bagaimana dan kemana membelanjakan

hasil yang

diperoleh

dari pengumpulan

zakat sehingga

pemerintah tidak mempunyai pilihan dan harus membelanjakan dana zakat sesuai dengan ketentuan yang telah disebutkan dalam al-Qur’ān .

14

Zakat bukan merupakan jenis pembayaran yang baru diperintahkan pada 15

masa Rasulullah , Islam telah mewajibkan zakat dan zakat dikumpulkan dan didistribusikan oleh pemerintah. Institusi zakat harus dibentuk, diorganisasi dan dipelihara oleh pemegang kekuasaan karena merupakan salah satu sarana penting untuk membangun ekonomi Negara. 2.

Maqāṣid asy-Syarī‟ah Syariat Islam datang membawa rahmat bagi umat manusia, menurut

Muhammad Abu Zahra ada tiga tujuan/sasaran hukum Islam, yaitu: a. Penyucian jiwa, membina setiap individu agar menjadi sumber kebaikan bukan sumber keburukan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini ditempuh dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan. b. Menegakkan keadilan dalam masyarakat, baik sesama muslim maupun non muslim. Konsep keadilan dalam Islam adalah menempatkan

14 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, cet.ke-2 (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), hlm. 243. 15 Perintah menunaikan zakat telah ada dari masa Nabi-nabi terdahulu sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’ān yaitu dalam Surah al-Anbiya [21] : 73, Maryam [9] : 55 dan 31, dan alBaqarah [2] : 83.

14

manusia pada posisi yang sama di depan hukum. Maka tidak ada keistimewaan antara si kaya dan si miskin. c. Merealisasikan kemaslahatan. Tujuan ini merupakan tujuan puncak yang melekat pada hukum Islam secara keseluruhan. Maka tidak ada syariat yang berdasarkan kepada al-Qur’ān dan ḥadīṡ kecuali di dalamnya terdapat kemashlahatan yang hakiki dan berlaku secara 16

umum.

Teori maqāṣid asy-syarī‟ah cukup relevan untuk membedah urgensi pengelolaan zakat sebagai perwujudan keadilan secara holistik dalam berbagai dimensi sosial, terutama dalam menjamin kelangsungan hidup. Teori ini juga sangat tepat digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan maqāṣid pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh sebagai wujud perlindungan terhadap jiwa para mustahiq melalui jaminan perlindungan terhadap harta, serta membangun kepastian hukum berupa jaminan ketepatan dan kemanfaatan zakat yang diambil dari harta muzakki. F.

Metode Penelitian

Dalam setiap penulisan karya ilmiah, metode dan pendekatan penelitian merupakan hal yang sangat penting, dengan adanya metode dan pendekatan penelitian maka data-data yang diperoleh akan lengkap dan objektif, sesuai dengan permasalahan yang hendak dibahas, sehingga menjadi sebuah penelitian yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan itu maka perlu adanya penentuan langkah-langkah pengembangan metode penelitian sebagai berikut : 16 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Mashum, dkk, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 543-548.

15

1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif yaitu penulis mendeskripsikan tentang permasalahan yang terjadi di lapangan terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh serta tinjaun hukum Islam terhadap permasalahan pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembagalembaga atau pejabat yang berwenang. Penelitian ini akan mencoba memaparkan dinamika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah pada Baitul Mal Aceh ditinjau dari hukum Islam 3. Sumber dan teknik pengumpulan data Jenis data yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber asli.

17

Dalam hal ini data primer bersumber dari naṣ al-Qurān, al-ḥadiṡ, serta

kitab-kitab fiqh. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi yang akan menjadi penunjang penelitian ini.

18

Jadi sumber data

17

Suharsimi Arikanto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), hlm. 11. 18

Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo, 2008), hlm. 103.

16

sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen dan arsip yang ada pada Baitul Mal Aceh, literature-literatur, hasil penelitian, artikel, majalah dan data yang ditelusuri melalui penelusuran data online yang berkaitan dengan penelitian yang penulis teliti. Adapun sumber pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi yaitu pengumpulan data melalui peninggalan tertulis berupa tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, literature, arsip-arsip, dokumendokumen dan termasuk teori, dalil atau hukum dan bahan kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. 4.

Teknik Analisis Data Data yang terkumpul dari hasil penelitian, maka akan dilakukan analisis

data serta melakukan pengambilan kesimpulan dari data yang sudah terkumpul. Adapun anailisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk dianalisis yang kemudian data tersebut diinterpretasikan kemudian diambil kesimpulan.

19

Untuk melakukan analisis dari data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian, kemudian dilakukan pengelolaan data bertahap di antaranya : a. Editing, yaitu melakukan persiapan melalui pengecekan data yang sudah terkumpul di lapangan, apakah telah memenuhi sumber-sumber yang dibutuhkan secara lengkap atau belum.

19

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, hlm. 208.

17

b. Tabulasi, setelah melakukan pengecekan terhadap data yang terkumpul, kemudian akan diadakan pengklasifikasian data dengan tujuan data-data yang anggap relevan dapat digunakan. c. Analisa, untuk tahap akhir dilakukan analisis data hasil dari pengumpulan data yang diperoleh. Peneliti melakukan analisis terhadap data-data yang telah dikumpulkan kemudian diinterpretasikan dalam bentuk uraian sehingga

diperoleh

suatu

kesimpulan

terhadap

permasalahan-

permasalahan yang telah ada. G.

Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan tesis ini, sistematikanya akan disajikan secara integral dan saling berkaitan antara satu bab dengan bab lainnya. Pada Bab pertama yang merupakan pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang permasalahan yang dijadikan dasar dalam merumuskan pokok masalah, dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka sebagai bahan referensi kemudian kerangka teoritik sebagai pisau analisis dilanjutkan dengan metode penelitian serta diakhiri dengan sistematika pembahasan. Bab kedua, adalah sebagai pembahasan lebih lanjut dari kerangka teoritik yang telah dijelaskan pada bab pertama dengan menguraikan gambaran umum tentang zakat yang meliputi: pengertian zakat, tujuan pensyariatan zakat, pembagian mustahiq, sistem pengelolaan zakat dalam Islam, peran pemerintah dalam pengelolaan zakat, dan sumber-sumber

18

pendapatan Negara dalam Islam, pengertian Pendapatan Asli Daerah dan sumber-sumbernya serta teori maqāṣid asy-syarī‟ah. Bab ketiga, berisi tentang realita Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah Di Baitul Mal Aceh meliputi Qanun Aceh, lembaga Baitul Mal Aceh yang meliputi sejarah berdirinya, visi dan misi dan struktur organisasi Baitul Mal, serta kelebihan dan kendala dalam pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh Bab keempat, berisi tentang tinjauan maqāṣid asy-syarī‟ah terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh meliputi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan zakat oleh Baitul Mal Aceh serta pandangan maqāṣid asy-syarī‟ah terhadap pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah. Bab kelima, adalah penutup yang beirisi kesimpulan dari analisis yang selanjutnya menjadi jawaban atas pokok masalah dari penelitian yang dilakukan dan juga memuat saran-saran.

BAB II ISLAM DAN PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH A.

Pengertian Zakat

Zakat ditinjau dari segi bahasa kata zakat merupakan kata dasar ( maṣdar) dari

zakā

yang

berarti,

yaitu

al-barakatu

“berkah”,

an-namā‟

“tumbuh

dan

berkembangan”, at-ṭahāratu “suci”.20 sebagaimana dalam firman Allah dalam surat asy-Syam [91] ayat 9:

Menurut lisān al-„arab arti dasar dari kata zakat, ditinjau dari segi bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Semuanya digunakan dalam al-Qur‟ān dan al-ḥadīṡ. Namun pendapat yang terkuat menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar zakā berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu zakā artinya 21

tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut zakā artinya bertambah.

Dari segi istilah fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah harta yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena dikeluarkan itu menambah banyak, membuat 20 Wahbah Zuhaili, Zakat dalam Berbagai Mazhab, terj. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.82. 21 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat; Studi Komparatif Mengenal Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan al-Qur‟ān dan al-Hadīṡ, terj. Salman Harun, dkk, cet.ke-11 (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2010), hlm.34.

19

20

lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Arti “tumbuh” dan “suci” tidak hanya pada kekayaan tetapi juga terhadap jiwa orang yang menzakatkannya.

22

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur‟ān Surat At-Taubah [9] ayat 103:

Adapun pengertian zakat secara syara‟ adalah penyerahan (pemindahan) pemilikan tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula. Ini berarti bahwa orang-orang yang memiliki nisab zakat wajib memberikan kadar tertentu dari hartanya kepada orang-orang miskin dan yang semisal dari mereka yang berhak menerima zakat. 23 Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Berdasarkan gagasan tersebut zakat dapat didefinisikan sebagai suatu harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim kepada yang berhak menerimanya dengan ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan oleh agama.

22 23

Ibid. hlm. 35.

Nurul Huda, dkk, Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.88.

21

B.

Tujuan Pensyariatan Zakat

Dalam pensyariatan zakat yang merupakan rukun Islam ketiga tidak terlepas dari tujuan dan makna yang dalam, baik yang bersifat rohaniah maupun filosofis. Dalam hal ini Yusuf Qardhawi telah menyebutkan dua macam tujuan penting dari pensyariatan zakat yaitu tujuan zakat untuk kehidupan individu dan tujuan zakat untuk kehidupan sosial.24 Zakat memiliki manfaat yang besar baik dari sisi muzakki, mustahik, harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun masyarakat secara keseluruhan. Tujuan yang dimaksud di sini adalah sasaran praktisnya. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Dilihat dari sisi muzakki maka zakat sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT dan mensyukuri nikmat-Nya, membersihkan jiwa dari sifat iri, dengki, kikir dan sifat-sifat buruk lainnya serta mengembangkan dan membersihkan harta.25 Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah alBaqarah [2] ayat 261:

2) Dari sisi mustahik zakat berfungsi untuk mengangkat derajat fakir miskin, membantu mustahik untuk memenuhi kebutuhan hidup agar memiliki

24

Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas (Malang: UIN Malang Press, 2007),

25

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, hlm. 41.

hlm. 52.

22

kehidupan yang lebih baik sehingga mustahik dapat beribadah kepada Allah, karena salah satu penyebab kekufuran adalah kemiskinan. Selain itu untuk membersihkan sifat iri dan dengki (kecemburuan sosial) dari orang-orang miskin.26 Kebakhilan dan ketidakpatuhan dalam membayar zakat akan mengundang azab Allah. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah an-Nisā‟ [4] ayat 37:

3) Menumbuhkan rasa tanggungjawab sosial pada diri seseorang yang memiliki kekayaan/harta serta mendidik manusia untuk disiplin dalam menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang terdapat dalam hartanya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Ma‟ārij [70] ayat 24-25:

4) Zakat sebagai salah satu bentuk manifestasi kegotongroyongan dan tolong menolong dalam kebaikan dan takwa untuk membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya serta mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang antara sesama manusia. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Māidah [5] ayat 2:

26

Nurul Huda, dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro; Pendekatan Riset (Jakarta: Kencana, 2015), hlm.7.

23

5) Zakat sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana dan prasarana untuk

umat

Islam

seperti

sarana

ibadah,

pendidikan,

serta

sarana

pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim. Sebagaimana yang telah disepakati oleh sebagian besar ulama bahwa orang yang menuntut ilmu berhak menerima zakat atas nama golongan fakir dan miskin maupun fī

sabīlillāh. 6) Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat menjadi sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Zakat yang dikelola dengan baik dan profesional dapat menjadi salah satu sarana membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Monzer Kahf bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam merupakan salah satu instrument dalam distribusi harta yang egaliter, oleh karena itu manfaat dari harta zakat akan selalu beredar. 27 Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada orang kaya saja. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Hasyr [59] ayat:

. 27 Monzar Kafh, Ekonomi Islam, Tela‟ah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1955), hlm. 88.

24

7) Kewajiban menunaikan zakat merupakan wujud dari dorongan kepada umat Islam untuk selalu bekerja dan berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Zakat yang telah ditunaikan oleh umat Islam harus dikelola dengan baik sehingga dengan begitu akan membuka lapangan pekerjaan yang baru dan usaha yang luas bagi mereka yang membutuhkannya, sekaligus umat Islam bisa menguasai aset-aset zakat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Yusuf Qardhawi bahwa zakat merupakan ibadah māliyah

al-ijtimā‟iyyah yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki fungsi strategis yang sangat berperan dalam membangun kesejahteraan masyarakat. C.

Muzakki dan Mustahik Zakat

Kewajiban zakat memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muzakki:

28

1. Islam, zakat tidak diwajibkan kepada orang kafir termasuk juga kafir ḍimmi, serta harta orang murtad.

28

Thāha „Abdullah al-„Afifi, Ḥaq al-Sāili wa al-Marhūm, terj. Zaid Husein al-Hamid (Jakarta: Dār al-fikr, 1987), hlm. 29-36.

25

2. Taklīf

atau

bālig dan

berakal

(sehat

jiwanya).

Ulama

Hanafiah

mensyaratkan taklīf bagi muzakki sehingga anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan untuk berzakat, kecuali dalam zakat pertanian dan zakat fitrah. 3. Merdeka, mayoritas ulama berpendapat zakat tidak wajib atas budak atau hamba sahaya, hal ini karena zakat ditujukan untuk menolong orang yang lemah dalam hal harta benda, sementara budak termasuk orang yang lemah. 4. Pemilikan sempurna, dalam pandangan Maliki muzakki harus mempunyai hak bertindak dalam harta yang dimilikinya. 5. Harta harus mencapai nisab (kadar yang telah ditentukan), para ulama sepakat bahwa harta yang wajib dizakati adalah harta yang telah mencapai kadar kewajiban zakat. 6. Harta yang dimiliki dan mencapai nisab harus berumur setahun ( ḥaul). Dalam al-Qurān telah ditentukan golongan-golongan tertentu yang berhak menerima zakat. Adapun golongan-golongan tersebut adalah sebagai berikut: 1.

Fakir , menurut mazhab Syaf‟i dan Hambali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Misalnya kebutuhannya berjumlah sepuluh, tetapi dia hanya mendapatkan tidak lebih dari tiga. Orang fakir tidak memiliki harta benda dan pekerjaan, atau memiliki sesuatu dan bekerja tetapi tidak melebihi daripada setengah

26

kebutuhan

hidupnya

tanggungjawabnya.

dan

orang-orang

yang

berada

di

bawah

29

Menurut ulama Hanafiah, fakir adalah orang yang harta kekayaannya berada di bawah nisab zakat atau mempunyai harta kekayaan di atas nisab tetapi dalam bentuk rumah untuk tempat tinggal, peralatan untuk berusaha (misalnya peralatan pertanian, cangkul, parang, atau peralatan mencari ikan, perahu, alat pancing) yang dia gunakan untuk berusaha/bekerja untuk memenuhi keperluan hidup yang dasariah. Jadi bukan harta untuk dikonsumsi, guna memenuhi keperluan sehari-hari.30 2.

Miskin, merupakan orang yang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Misalnya kebutuhannya berjumlah sepuluh, tetapi dia hanya mendapatkan delapan sehingga masih belum dianggap baik dari segi sandang, pangan dan papan. Orang miskin memiliki pekerjaan dan mampu bekerja namun pendapatannya hanya mampu memenuhi lebih dari sebagian kebutuhannya tetapi tidak mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Menurut mazhab Syafi‟i dan Hambali fakir lebih sengsara dari miskin.

31

29

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu Jilid 3, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 282. 30

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm.513.

31

Wahbah az-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, hlm.281.

27

3.

Panitia zakat (āmil), adalah orang yang bekerja/diberi wewenang dan diangkat oleh

pemimpin

untuk

mengurusi

zakat.

Mengurusi

zakat

meliputi

mengumpulkan, menghitung, mengawasi, mengelola, menyalurkan dan lain32

lain. 4.

Muallaf, yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang lemah niatnya untuk masuk Islam. Tujuan diberikan zakat adalah agar niat mereka untuk masuk Islam menjadi kuat. 33 Kelompok muallaf terbagi ke dalam beberapa golongan, yaitu a) orang yang akan masuk Islam atau dapat menggunakan pengaruhnya untuk mendorong para pengikutnya masuk menjadi muslim; b) orang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh tetapi tidak dekat dengan Islam (bahkan mungkin mengganggu umat Islam, yang dengan memberikan zakat kepada mereka), maka mereka tidak lagi mengganggu umat Islam; c) orang yang baru masuk Islam yang keislaman/ kedekatannya dengan umat belum kuat, yang dengan pemberian zakat kepada mereka, diharapkan akan lebih mendekatkan mereka dengan umat Islam; d) para tokoh dan pemimpin atau bahkan umat Islam yang iman dan kesadaran keislamannya relatif masih lemah; pemberian zakat diharapkan akan meneguhkan mereka di dalam Islam dan bahkan akan menjadikan mereka dapat membantu umat Islam yang lain;

32 Noor Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPress), 2009), hlm.186. 33

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu , hlm. 283.

28

e) orang yang diperlukan bantuan dan pengaruh mereka untuk mendorong orang lain mau mengeluarkan zakat atau mendorong orang lain untuk mampu mengumpulkan zakat.34 5.

Riqāb, dalam kajian fikih klasik dalam hal ini menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan para budak adalah perjanjian seorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi kepada majikannya dan budak tersebut dapat dibebaskan bila dia dapat memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang, namun budak tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk membayar tebusan atas dirinya tersebut. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk memberikan zakat agar dia dapat memerdekakan dirinya.

6.

35

Gārim secara bahasa artinya adalah orang yang berutang. Asal pengertian gārim menurut bahasa adalah tetap dengan makna utang bersifat tetap. Menurut mazhab Hanafiah, gārim adalah semua orang yang berutang dan tidak mempunyai uang untuk membayarnya. Sedang tiga mazhab lainnya membedakannya kepada dua kelompok: orang yang berutang untuk kepentingan dirinya dan orang yang berutang untuk kepentingan umum. Utang untuk kepentingan pribadi yang menjadikannya berhak menerima zakat adalah utang yang tidak dapat dihindari, yaitu utang yang secara tiba-tiba terpaksa dilakukan karena tertimpa musibah, atau untuk memenuhi keperluan

34 35

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm. 564.

Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat; Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 200.

29

dasar yang sangat mendesak (tidak biasa, di luar perhitungan dan tidak dapat dihindari) dan tidak dapat dipenuhi dengan penghasilan biasa. Jumlah utang ini harus dalam batas yang wajar, bukan untuk membiayai sesuatu yang berlebihan atau kemubaziran. Sedang utang untuk kemaslahatan/kepentingan umum, adalah utang yang timbul karena kepentingan umat, seperti biaya (utang) yang dikeluarkan untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang bertengkar di tengah masyarakat, memperbaiki sarana umum, membiayai panti penyantunan, dan sebagainya. Utang inipun harus dalam batas yang wajar, bukan utang karena kemewahan atau pembiayaan secara berlebihlebihan, yang dapat dianggap sebagai kemubaziran.

36

Gārim, yang dimaksud di sini ada 3 macam yaitu 1). Orang yang meminjam guna menghindarkan fitnah atau mendamaikan pertikaian/permusuhan. 2). Orang yang meminjam guna keperluan diri sendiri atau keluarganya untuk hajat yang mubah, 3). Orang yang meminjam karena tanggungan. 7.

37

Fī sabīlillāh, menurut Syafiiah bagian ini hanya boleh diserahkan kepada para sukarelawan, yaitu mereka yang pergi berperang dan tidak dibiayai oleh pemerintah, dengan ketentuan tambahan, mereka merupakan penduduk di lokasi zakat dipungut. Yusuf Qaradhawi menyebutkan beberapa hal yang disepakati para ulama mazhab tentang penyaluran zakat untuk bagian fī

36 37

Ibid,. hlm. 206.

Umrotul khasanah, Manajemen Zakat Modern; Instrument Pemberdayaan Ekonomi Umat (Malang; UIN-Maliki Press, 2010), hlm.42.

30

sabīlillāh ini yaitu: (a) Jihad (perang) termasuk dalam pengertian bagian fī sabīlillāh; (b) uang zakat tersebut adalah untuk biaya/belanja orang yang pergi berperang; sedang kebolehan menggunakan uang zakat untuk mengadakan/ merawat peralatan atau senjata masih mereka perselisihkan; (c) tidak boleh untuk membiayai kegiatan yang merupakan kepentingan umum seperti membangun sebagainya.

38

sekolah,

masjid,

saluran/tali

air,

jalan,

jembatan

dan

Menurut ulama Hanafiah kegiatan umum ini tidak boleh

dibiayai dengan zakat karena tidak jelas siapa yang menerimanya; sedang menurut mazhab lainnya zakat tidak boleh diberikan untuk membiayai kegiatan umum ini karena kegiatan-kegiatan tersebut tidak masuk dalam pengertian fī sabīlillāh, bahkan tidak masuk dalam pengertian salah satu dari bagian yang delapan. ulama

masa

Selanjutnya al-Qaradhawi mengutip pendapat para

sekarang

tentang

pengertian



sabīlillāh

dan

lantas

mendiskusikannya, dan membandingkannya dengan pendapat para ulama mazhab empat. Akhirnya beliau mengambil kesimpulan yang

intinya, fī

sabīlillāh adalah kegiatan-kegiatan yang secara substansial akan menguatkan kedudukan kaum muslmin, bukan hanya dalam bentuk perang fisik bersenjata, tetapi termasuk semua upaya di bidang pendidikan, pemikiran, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Kagiatan ini dapat dilakukan dalam

38

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm. 618.

31

berbagai bentuk seperti penerbitan, pendidikan, pelatihan, media massa (cetak dan elektronik), perpustakakan, laboratorium, dan seterusnya. 8.

39

Ibnu sabīl, menurut jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir, yaitu orang yang melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain untuk menjalankan sebuah ketaatan bukan kemaksiatan. Ibnu sabīl diberi zakat sesuai dengan kebutuhannya untuk mencapai tempat tujuan, walaupun pada asal kondisi ekonominya berkecukupan.

D.

40

Pengelolaan Zakat dalam Islam

Islam turun ke dunia sebagai rahmatal lil „ālamin. Salah satu misi Islam adalah untuk mengentaskan kemiskinan. Ajaran zakat dalam Islam adalah simbol kepedulian sosial terhadap kesenjangan ekonomi, perhatian atas fenomena kemiskinan, dan citacita akan kesejahteraan umat. Melalui zakat, Islam tidak akan membiarkan kemiskinan merajalela di atas permukaan bumi. Berikut ini adalah gambaran historis bagaimana pengelolaan zakat sebagai salah satu ajaran Islam. 1.

Pengelolaan Zakat pada Masa Rasulullah Al-Qur‟ān dan al-hadis telah menerangkan sedemikian rupa tentang zakat

agar dana zakat bisa sampai kepada yang berhak menerimanya. Dalam al-Qur‟ān

39

Al Yasa‟ Abu Bakar , Bagian Penerima Zakat: Sebuah Upaya Untuk Reinterpretasi, Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Pengelolaan Zakat, Jurnal Media Syari‟ah dan Fakultas Syariah & Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh, di Banda Aceh 13-14 Agustus 2014 M., bertepatan 17-18 Syawwal 1435 H. 40

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, hlm.287.

32

terdapat dua ayat induk yang secara eksplisit mengatur tentang pengelolaan zakat. 41 Dalam surat At-Taubah [9]:60 terdapat kata “al-āmilīna „alayhā” kata ini merupakan kata jamak (plural) dari kata „āmil yang secara harfiah berarti para pekerja, maksudnya adalah orang-orang yang secara spesifik, serius dan profesional terlibat dalam pengelolaan zakat, baik dalam pengumpulan maupun pendistribusian dan sebagainya. Berikut beberapa pemahaman yang berkenaan dengan pengurusan zakat: a.

Dalam hal pengelolaan zakat, Rasulullah SAW mengangkat orang lain yaitu Mu‟adz bin Jabal sebagai „āmil di samping Rasulullah SAW sendiri sebagai

„āmil. Mua‟dz bin Jabal dikenal sebagai salah seorang sahabat yang sangat piawai dalam bidang hukum halal dan haram dan berijtihad, kecerdasan Mu‟adz dan ketangguhannya dalam beijtihad antara lain dapat ditelusuri lewat dialog singkatnya ketika hendak dilepas Rasulullah SAW untuk menjadi wali di Yaman sekaligus juga sebagai „āmil. Cuplikan dialog Mu‟az dengan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

: :

41

:

.

:

Surat Al-baqarah [2] : 267, dalam ayat ini berisi perintah pengambilan zakat yang meliputi seluruh jenis harta dan bentuknya. Surat At-taubah[9]:60 dan Surat At-taubah[9]:103 yang berisi tentang perintah memungut zakat dan pihak-pihak yang berhak menerima dana zakat yang disebut dengan delapan asnaf (mustahik zakat). Lihat Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, Zakat dan Peran Negara (Jakarta: Forum Zakat (FOZ), 2006), hlm.5

33

.

:

:

.

: 42

b.

.(

( .

Pengangkatan„āmilin tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pemerintah pusat tetapi pada tingkat daerah juga diangkat „āmilin. Raulullah SAW sebagai „āmilin pusat di Madinah dan Mu‟adz bin Jabal sebagai „āmilin di daerah Yaman.

c.

Dalam mengangkat„āmilin Rasulullah SAW tidak hanya memilih orang yang memiliki sifat jujur, amanah dan adil tetapi juga memiliki pemahaman tentang zakat khususnya dan perkara hukum Islam pada umumnya.

d.

Penarikan zakat pada dasarnya bersifat proaktif tanpa menghalangi partisipasi aktif dari muzakki yang menyerahkan sendiri zakatnya kepada „āmilin, karena Rasulullah SAW sendiri sering menerima zakat ditempat tinggal beliau.

e.

Alokasi penyaluran dana zakat lebih diutamakan kepada mustahik yang ada di daerah sumber zakat itu sendiri. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Mu‟adz bin Jabal untuk membagikan zakat kepada para fuqaha yang ada di Yaman, hal ini mengisyaratkan upaya kesejahteraan sosial berdasarkan sumber ekonomi tersebut diperoleh.

42

Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah, al-J āmi‟ al-Saḥīḥ Wa Huwa Sunan al-Tirmiżi (Beirut, Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M), Jilid III, hlm.616.

34

f.

Rasulullah memberikan informasi yang jelas dan detail serta tegas menyangkut dengan hukum, objek, besar penarikan zakat dan lain-lain yang berkaitan dengan seluk beluk perzakatan.

g.

Rasulullah selalu mendorong „āmil bekerja keras untuk memungut zakat agar setiap muzakki mau mengeluarkan zakatnya.

43

Dalam bidang pengelolaan zakat, Rasulullah memberikan contoh dan petunjuk operasionalnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya konsep pembagian tugas

„āmil yang dibagi menjadi beberapa bagian: (1) Katabah, yaitu petugas untuk mencatat para wajib zakat. (2) Hasabah, yaitu petugas untuk menghitung zakat. (3)

Jubah, yaitu petugas yang mengambil zakat dari muzakki. (4) Khazanah, yaitu petugas yang menghimpun dan memelihara harta. (5) Qasamah, yaitu petugas yang 44

menyalurkan zakat kepada mustahik. 2.

Pengelolaan Zakat pada Masa Khulafaur Rasyidin Untuk mengetahui dengan lebih jelas pola operasional, aplikasi dan

implementasi zakat pada masa Khulafaur Rasyidin dapat dilihat dalam periodeperiode berikut ini:

43

Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, Zakat dan Peran Negara (Jakarta: Forum Zakat (FOZ), 2006), hlm.7-12 44

Mustafa Edwin Nasution,dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 214.

35

a.

Masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq Pengelolaan zakat pada masa Abu Bakar sedikit mengalami kendala.

Pasalnya, beberapa umat muslim menolak membayar zakat. Mereka meyakini bahwa zakat adalah pendapat personal Rasululllah SAW. Menurut golongan ingkar zakat ini, zakat tidak wajib ditunaikan pasca wafatnya Rasululllah SAW. Pemahaman yang salah ini hanya terbatas di kalangan suku-suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap pembayaran zakat sebagai hukuman atau beban yang merugikan.45 b.

Masa Khalifah Umar bin al-Khattab Umar bin al-Khattab adalah salah satu sahabat Rasululllah SAW yang

menetapkan suatu hukum berdasarkan realitas sosial. Di antara ketetapannya adalah menghapus zakat bagi golongan mu‟allaf dan mewajibkan kharaj (sewa tanah), serta menerapkan zakat kuda yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Tindakan Umar menghapus kewajiban zakat pada muallaf bukan berarti mengubah hukum agama dan mengenyampingkan

ayat-ayat

al-Qur‟ān.

Ia

hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas berbeda dari zaman Rasulullah SAW. Sementara itu Umar tetap membebankan kewajiban zakat dua kali lipat terhadap orang- orang Nasrani Bani Taglab, hal ini disebut zakat muḍā„afah. 45 Ahmad Dakhoir, Hukum Zakat: Pengaturan dan Integrasi Kelegembaan Pengelolaan Zakat dengan Fungsi Lembaga Perbankan (Surabaya: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 72.

36

Zakat muḍā„afah itu adalah terdiri dari jizyah (cukai perlindungan) dan beban tambahan. Jizyah sebagai imbangan kebebasan bela Negara yang diwajibkan kepada warga negara muslim. Sedangkan beban tambahannya adalah sebagai imbangan zakat yang diwajibkan secara khusus kepada umat Islam. Umar tidak merasa ada yang salah dalam menarik pajak atau jizyah dengan nama zakat dari orang-orang Nasrani karena mereka tidak setuju dengan istilah jizyah tersebut. c.

Masa Khalifah Usman bin Affan Pengelolaan zakat pada masa Usman bin Affan dibagi menjadi dua macam:

(1) Zakatu al-amwāl az- ẓāhiriyah (harta benda yang tampak), seperti binatang ternak dan hasil bumi, dan (2) Zakatu al- amwāl al-bātīniyah (harta benda yang tidak tampak atau tersembunyi), seperti uang dan barang perniagaan. Zakat kategori pertama diurus langsung oleh negera baik dalam pemungutan maupun pembagiannya, sedangkan yang kedua diserahkan kepada

masing-masing

individu yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya sendiri. d.

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib tetap mencurahkan perhatiannya yang sangat serius dalam mengelola zakat. Ia melihat bahwa zakat merupakan urat nadi kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Ketika Ali bin Abi Thalib bertemu dengan orang-orang

37

fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non-muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh Baitul Mal. Ali bin Abi Thalib juga ikut terjun langsung dalam mendistribusikan zakat kepada para mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Harta kekayaan yang wajib zakat pada masa Khalifah „Ali bin Abi Thalib ini sangat beragam. Jenis barang-barang yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat. 3.

46

Pengelolaan Zakat Pada Masa Tabi‟in Pengelolaan zakat pada masa tabi‟in terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah

dalam catatan sejarah yang berlangsung selama hampir 90 tahun (41-127H). Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 M) adalah tokoh terkemuka dalam sejarah Islam, khususnya dalam hal pengelolaan zakat di mana masa ini merupakan puncak kejayaan dan kegemilangan peradaban zakat. Pada masa pemerintahannya pengelolaan zakat mengalami reformasi yang sangat signifikan. Semua jenis harta kekayaan wajib dikenai zakat. Pada masanya, sistem dan manajemen zakat ditangani dengan amat profesional. Jenis harta dan kekayaan yang dikenai wajib zakat semakin beragam. Pendapatan zakat yang ada di kas Baitul Mal telah melimpah dan surplus, kondisi masyarakat lebih banyak muzakki sampai sulit menemukan mustahik dari kalangan fakir miskin.

46 Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya: Sebuah Tinjauan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.71-75.

38

Umar bin Abdul Aziz adalah orang pertama yang mewajibkan zakat dari harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil jasa, termasuk gaji, honorarium, penghasilan berbagai profesi dan sumber-sumber lainnya, sehingga pada masa kepemimpinannya, dana zakat melimpah ruah tersimpan di Baitul Mal. Bahkan petugas„āmil zakat kesulitan mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat. Beberapa faktor utama yang melatarbelakangi kesuksesan manajemen dan pengelolaan zakat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah sebagai berikut: 1) Adanya kesadaran kolektif dan pemberdayaan Baitul Mal dengan optimal. 2) Komitmen tinggi seorang pemimpin dan didukung oleh kesadaran umat secara

umum

untuk

menciptakan

kesejahteraan,

solidaritas,

dan

pemberdayaan umat. 3) Kesadaran di kalangan muzakki (pembayar zakat) yang relatif mapan secara ekonomis dan memiliki loyalitas tinggi demi kepentingan umat. 4) Adanya kepercayaan terhadap birokrasi atau pengelola zakat yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Dengan kata lain, para pembayar zakat meyakini tidak akan terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan dana zakat yang mereka kumpulkan di Baitul Mal.

47

Ibid., hlm.76.

47

39

4.

Pengelolaan Zakat di Indonesia Sebelum Indonesia merdeka permasalahan zakat di atur dalam Ordonantie

Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905. Pemerintah tidak ikut campur dalam masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam. Pada tanggal 8 Desember 1951, Kementrian Agama mengeluarkan surat edaran Nomor : A/VII/17367 tentang pelaksanaan Zakat Fitrah.48 Pada masa orde baru tepatnya tanggal 5 Juli 1967 Menteri Agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Zakat dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan surat Nomor : MA/095/1967. Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ). Pada tahun ini juga dikeluarkan PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal.

49

Baitul Mal tersebut

yang menampung dan menerima zakat yang disetorkan oleh Badan Amil Zakat seperti yang dimaksud dalam PMA Nomor 4 tahun 1968.

50

Pada tahun 1968 di Ibu Kota berdiri Badan Amil Zakat Infak dan Sadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh pemerintah daerah Jakarta yang waktu itu dipimpin

48

Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang: UIN-Malang Press, 2008),

hlm. 244. 49

Maksud Baitul Mal dalam Peraturan Menteri Agama ini adalah berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. 50 Armiadi Musa, Kontribusi Pemerintah dalam Pengelolaan Zakat di Aceh (kontentasi Penerapan Asas Lex Specialis dan Lex Generalis), Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Pengelolaan Zakat, Jurnal Media Syari‟ah dan Fakultas Syariah & Ekonomi Islam UIN Ar -Raniry bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh, di Banda Aceh 13-14 Agustus 2014 M., bertepatan 17-18 Syawwal 1435 H.

40

oleh Gubernur Ali Sadikin. Di berbagai daerah tingkat provinsi, berdiri pula badan serupa yang dipelopori oleh pejabat atau unsur pemerintah setempat dengan dukungan para ulama dan pemimpin Islam, maka terbentuklah Badan „Amil Zakat bersifat semi pemerintah, berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur, BAZIS kemudian mulai dikenal di beberapa wilayah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya. Badan tersebut tampil dengan nama yang berbeda, hanya saja nama yang umum digunakan adalah BAZ, BAZIS dan nama-nama lain, seperti Badan Harta Agama (Aceh), Lembaga Harta Agama Islam (Sumut), atau Yayasan Sosial (Sumbar). Di berbagai daerah lain, perkembangan zakat itu berbeda-beda, misalnya ada yang baru pada tataran konsep seperti di Jawa Timur, atau hanya dilakukan oleh Kanwil agama setempat, atau belum ada perkembangannya atau ada perkembangan tetapi belum berjalan sebagaimana mestinya. Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan zakat ini sangat penting, hal ini dapat terlihat dari pasal 3 bab I Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yag mengatakan bahwa pemerintah berkewajiban memberi perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahik, dan „āmil zakat. Dengan merujuk pada pasal 29 UUD 1945, yaitu: (a) menjamin terselenggaranya syariat zakat dengan baik, (b) pemerataan agar tidak terjadi seseorang menerima zakat dari beberapa sumber, sementara orang lainnya tidak menerimanya, (c) menjaga beban psikologi penerimanya, mereka tidak perlu berhadapan langsung dengan pemberi zakat dan

41

tidak perlu dating memintanya, (d) sektor penerima zakat tidak terbatas individu, tetapi juga untuk kepentingan umum dan sektor itu hanya dapat ditangani oleh pemerintah.51 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat. Untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat maka pada tahun 2001 pemerintah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan keputusan presiden. Di setiap daerah juga diberlakukan pembentukan Badan Amil Zakat Provinsi, Badan Amil Zakat Kabupaten/Kota hingga Badan Amil Zakat Kecamatan. Pemerintah juga mengukuhkan Lembaga Amil

Zakat (LAZ) yang

didirikan oleh masyarakat. LAZ tersebut melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat sebagaimana yang dilakukan Badan Amil Zakat (BAZ). Pembentukan Badan Amil Zakat baik di tingkat nasional maupun daerah menggantikan pengelolaan zakat oleh BAZIS yang sudah berjalan di hampir semua daerah di Indonesia.

52

Pada periode kepemimpinan empat Presiden pasca Soeharto, gerakan monumental zakat di tanah air dapat dicatat sebagai berikut : 1. Presiden B.J. Habibie pada tanggal 23 September 1999 atas persetujuan DPR telah mensahkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

51

Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya , hlm. 81

52

Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia , hlm.251.

42

2. Presiden

Abdurrahman

Wahid

pada

tanggal

17

Januari

2001

mengeluarkan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat nasional 3. Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 2 Desember 2001 melakukan pencanangan Gerakan Sadar Zakat dalam acara peringatan Nuzulul Qur‟an di Masjid Istiqlal Jakarta. 4. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Oktober 2005 melakukan pencanangan Gerakan Zakat Infak dan Shadaqah Nasional dan mengukuhkan Kepengurusan BAZNAS periode 2004-2007 di Istana Negara.

53

Pada Tahun 2011 telah diberlakukan tiga regulasi yang berkaitan dengan zakat yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infaq/Sedekah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014. Dengan adanya tiga regulasi ini diharapkan akan meningkatkan responsibilitas dan akuntabilitas BAZNAS di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ). Walaupun Negara Indonesia tidak didasarkan pada suatu ajaran agama tertulis tertentu namun falsafah Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memberi kemungkinan kepada pejabat-pejabat Negara untuk membantu

53

Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 70-71.

43

pelaksanaan pemungutan dan pemberdayaan zakat. Menurut Hazairin, makna Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tercantum dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain adalah Negara Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat (norma hukum) Nasrani bagi orang Kristen dan syariat Hindu bagi orang hindu, sehingga Negara wajib menjalankan syariat masing-masing agama yang diakui oleh Negara Indonesia karena syariat agama yang berasal dari masing-masing agama yang dianut oleh masyarakat merupakan kebutuhan hidup para pemeluknya. 54 Ada beberapa alasan mengapa zakat harus diberikan melalui organisasi pengelola zakat. Pertama, untuk menjamin kepastian dan kedisiplinan para muzakki dalam membayar zakat. Kedua untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efesiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu titik tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan islami. 55 E.

Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Zakat

Dalam pengelolaan zakat harus diawasi oleh pemerintah hal ini dikarenakan terdapat banyak hadist yang menjelaskan tentang Rasulullah yang mengutus petugas 54

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1998), hlm.33. 55

hlm. 170.

Didin Hafidhudin, Agar Harta Berkah dan Bertambah (Jakarta: Gema Insani Press, 2007),

44

untuk memungut zakat. Salah satu hadist tersebut adalah ketika Rasulullah mengutus Mu‟azd ke Yaman, beliau berkata:

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa sedekah wajib diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir. Kemudian hadis ini juga menjelaskan bahwa urusan zakat itu diambil oleh petugas untuk dibagikan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Islam Hafiz Ibnu Hajar bahwa hadis tersebut bisa dijadikan alasan, bahwa penguasa/pemerintah adalah orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, baik dilakukan oleh penguasa langsung ataupun mewakilinya. Maka barang siapa menolak mengeluarkan zakat maka boleh diambil dengan cara paksa. 56 Dari hadis Rasulullah dapat diketahui dengan jelas bahwa sejak zaman Nabi yang mengurus masalah zakat adalah urusan dan tugas pemerintah. Karena pada dasarnya sangat diperlukan petugas zakat untuk setiap kaum dan suku bangsa yang telah masuk Islam untuk mengambil zakat dari orang kaya dan membagikannya untuk mustahik. Begitu juga dengan para khalifah sesudah Rasulullah, mereka mengutus petugas-petugas khusus untuk mengurus zakat. Atas dasar ini juga ulama

56 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat; Studi Komparatif Mengenal Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan al-Qur‟ān dan al-Hadīṡ, hlm. 735.

45

mewajibkan kepada Imam/pemerintah untuk menugaskan petugas yang akan mengambil zakat karena di antara manusia ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib baginya, ada juga yang kikir sehingga diperlukan petugas khusus untuk mengambilnya.57 Beberapa faktor yang mendasari kewajiban pemerintah Islam untuk mewakilkan penugasan menarik zakat dan membagikannya kepada mustahik, yaitu sebagai berikut: 1) Kebanyakan manusia telah mati hatinya atau terkena penyakit dan lemah/kurus kering, oleh karena itu diperlukan jaminan bagi si fakir dan haknya tidak diabaikan begitu saja. 2) Fakir meminta kepada pemerintah, bukan kepada pribadi orang kaya untuk memelihara kehormatan dan perasaannya dari kata-kata yang menyakitkan. 3) Zakat yang dipungut dan dibagikan oleh pemerintah akan samarata dan tidak menumpuk pada satu pihak saja. 4) Zakat tidak hanya diberikan kepada fakir miskin saja akan tetapi ada di antara sasarannya yang berhubungan dengan kemashlahatan kaum muslimin bersama, hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh perorangan tetapi dilakukan oleh pemerintah seperti memberi zakat pada golongan muallaf dan mempersiapkan para da‟i untuk menyampaikan risalah Islam.

57

Ibid., hlm.739.

46

5) Sesungguhnya Islam adalah agama dan pemerintahan. Untuk tegaknya kekuasaan dan pemerintahan serta dilaksanakan syariat Islam maka dibutuhkan harta dan penghasilan, dan zakat merupakan salah satu penghasilan yang penting dan tetap untuk kas Negara dalam Islam. 58 Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa zakat dalam aturan Islam adalah mempunyai aturan yang khusus. Zakat diambil dari penghasilan tertentu dan dikeluarkan pada sasaran tertentu dan terbatas yaitu sasaran kemanusiaan dan keislaman saja, tidak disatukan pada aturan pemerintahan yang bersifat umum dan besar yang meluas di berbagai macam program yang dikeluarkan untuk berbagai macam sasaran sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qur‟an surat at-Taubah ayat 60. Hal itu sesuai dengan pemahaman kaum muslimin sejak dahulu dan menjadikan Baitul Mal tersendiri untuk zakat. Baitul Mal sendiri terbagi atas empat bagian: 1) Baitul Mal khusus untuk sedekah/zakat. Misalnya di dalamnya terdapat zakat hewan ternak yang dilepaskan, sepersepuluh zakat tanaman dan apa yang diambil oleh petugas dari pedagang kaum muslimin yang melewatinya. 2) Baitul Mal khusus untuk menyimpan pajak dan upeti. 3) Baitul Mal khusus untuk ghanimah dan rikaz.

58

Ibid., hlm. 743.

47

4) Baitul Mal khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau ada ahli waris akan tetapi tidak bisa dikembalikan dan barang temuan yang tidak diketahui pemiliknya.59 F.

Sumber- Sumber Pendapatan Negara dalam Islam

Pendapatan primer Negara dalam sistem ekonomi Islam, menurut Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal, berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) Ghanimah, (2) Shadaqah, (3) Fa‟i. Klasifikasi seperti ini juga dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya

Majmu‟atu al-Fatawa, Ibnu Taimiyah dalam mengklasifikasikan seluruh sumber pendapatan negara mempertimbngkan asal-usul sumber pendapatan serta tujuan pengeluarannya. Seluruh sumber pendapatan di luar ghanimah dan sedekah, berada di bawah nama fa‟i. Hal ini juga senada dengan pendapat Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj yaitu melakukan klasifikasi seperti ini sangat penting, karena pendapatan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur sama sekali.60 Berdasarkan gagasan di atas, dapat disimpulkan secara garis besar pendapat utama Negara Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: a.

Ghanimah, pada waktu perang badar di tahun dua hijriah Negara mulai mempunyai pendapatan dari hasil rampasan perang ( ghanimah) yang disebut

59

Ibid., hlm. 744.

60

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hlm.83.

48

dengan khums (seperlima)61, berupa kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang diperoleh dalam peperangan. Selain dari khums, sistem pengeluaran harta ghanimah hanya untuk lima kelompok. 62 Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Anfāl [8] ayat 1.

b.

Zakat, sumber pendapatan zakat sudah di undangkan sebagai pendapatan Negara sejak tahun kedua hijriah namun baru bisa dipungut sebatas zakat fitrah, kewajiban atas zakat mal masih bersifat sukarela. Pada tahun kesembilan hijrah pelaksanaan zakat mal baru terwujud secara efektif. Ketika Islam telah kokoh dan wilayah Negara meluas dengan cepat maka disusunlah peraturan yang meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat dan tingkat presentase sistem penggajian (hak-hak „āmil zakat).63 Zakat terdapat dalam surah AtTaubah [9] ayat 103, hanya boleh diperuntukkan bagi delapan asnaf.

61 Seperlima dibagikan kepada: 1).Allah dan Rasul-Nya, 2).Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib), 3).Anak yatim, 4).Fakir miskin, dan 5).Ibnu Sabil. Sedangkan empat perlima dibagikan kepada yang ikut berperang. 62 Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 46. 63

Ibid., hlm.51.

49

c.

Fa‟i, kekayaan pertama yang merupakan sumber pendapatan resmi Negara adalah setelah diperoleh fa‟i yaitu harta peninggalan Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang tinggal di pinggir kota Madinah. Harta yang mereka tinggalkan tidak disebut ghanimah karena harta tersebut diperoleh dengan tidak dari pertempuran. Fay‟i dapat digunakan untuk pembiayaan umum Negara. Ini merupakan ketentuan penggunaan anggaran dalam sistem ekonomi Islam yang membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional. 64 Seperti yang tercantum dalam surah al-Hasyr [59] ayat 6-7

.

Pendapatan Negara jika diklasifikasikan berdasarkan tujuan penggunaannya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok saja, yaitu: 64

Ibid., hlm. 48.

50

1. Pendapatan Tidak Resmi Negara Pendapatan

tidak

resmi

Negara

merupakan

pendapatan

yang

diperuntukkan hanya untuk manfaat tertentu, pendapatan ini terdiri dari ghanimah dan shadaqah. 2. Pendapatan Resmi Negara Pendapatan resmi Negara merupakan pendapatan di mana Negara berhak membelanjakannya untuk kepentingan umum, seperti keamanan, transportasi, pendidikan, dan sebagainya. Pendapatan ini terangkum dalam satu kesatuan dengan nama fa‟i yang terdiri dari: a.

Jizyah yaitu jenis pajak yang dikenakan khusus untuk kafir dhimmi, yaitu orang kafir yang meminta perlindungan kepada pemerintahan Islam dengan perjanjian untuk mematuhi peraturan dan Undang-Undang yang berlaku di wilayah tersebut. Jizyah dianggap sebagai imbalan atas jaminan perlindungan keselamatan jiwa, kemerdekaan dan hak-hak asasi mereka. Besarnya jizyah 1 dinar pertahun. 65

b.

Kharaj yaitu pajak bumi yang berkaitan dengan tanah yang diperoleh oleh kaum muslimin dari peperangan dan pengolahannya diserahkan kepada pemiliknya. Sebagai imbalan para pengolah tanah harus menyerahkan pajak bumi kepada pemerintah Islam yaitu setengah dari hasil produksi

65

hlm.106.

Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Moderenitas (Malang: UIN Malang Press, 2007),

51

„Ushr (bea cukai) yaitu pajak perdagangan yang berkaitan dengan biaya

c.

ekspor-impor yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan Negara, pedagang tersebut wajib membayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200

dirham. Tingkat bea cukai yang diberikan kepada non-muslim adalah 5% dan kepada muslim 2,5%.66 Berdasarkan penjelasan di atas sumber dan tujuan pendapatan Negara menurut sistem ekonomi Islam dapat diklasifikasikan dalam table berikut ini:

No

1

Nama

Sumber

Kelompok

Tujuan

Pendapatan

Pendapatan

Pendapatan

Penggunaan

Ghanimah

Non Muslim

Shadaqah 2 3

(Zakat)

Fa‟i

Muslim Non Muslim

Pendapatan Tidak

Tujuan Khusus

Resmi Negara

(5 Kelompok)

Pendapatan Tidak

Tujuan Khusus

Resmi Negara

(Asnaf 8)

Pendapatan Resmi

Kepentingan

Negara

Umum

Tabel 1 Klasifikasi Sumber dan Tujuan Pendapatan Negara menurut Sistem Ekonomi Islam Selain sumber-sumber pendapatan Negara tersebut, terdapat beberapa sumber pendapatan lainnya, yang bersifat tambahan (sekunder). Pendapatan sekunder ini diperoleh tidak tetap jumlah dan waktunya tergantung situasi. Di antara sumber pendapatan sekunder adalah:

66

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hlm.84.

52

a. Uang tebusan dari para tawanan perang, hanya dalam kasus perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang, bahkan 6000 tawanan perang Hunain dibebaskan tanpa uang tebusan. b. Pinjaman-pinjaman setelah penaklukan kota Mekkah untuk pembayaran uang tebusan kaum muslimin dari Bani Judzhaymah atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan Bin Umaiyah. c. Amwal fadhla, berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkannya. d. Waqaf, harta benda yang didedikasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul Mal. e. Nawaib, pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat, seperti yang pernah terjadi pada masa perang Tabuk. f. Zakat fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan Ramadhan dan dibagi sebelum shalat „id.

53

g. Bentuk lain sedekah seperti qurban dan kaffarat yaitu denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah, seperti berburu pada musim haji .67 G.

Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang 68

berlaku.

Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bertujuan untuk

memberikan

keleluasaan

kepada

daerah

dalam

menggali

pendanaan

dalam

melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil restrebusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah 69 dispisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah yang merupakan sumber penerimaan daerah sendiri perlu ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintah dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat

sehingga

kemandirian

otonomi

daerah

yang

luas,

nyata

dan

bertanggungjawab dapat dilaksanakan.

67

Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 53.

68

Pasal 1 Ayat 17 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 69 Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah: Pedoman untuk Eksekutif dan Legislatif, Rangkuman 7 Undang-Undang, 30 Peraturan Pemerintah dan 15 Permendagri, edisi ke-2, (Jakarta: Indeks, 2009), hlm. 48.

54

Berdasarklan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat 15 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pendapatan Asli Daerah adalah hak pemerintah daerah yang di akui sebagai penambah nilai kekayaan yang bersih.

70

Pasal 1 Ayat 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang di maksud dengan Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagaimana penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.71 Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan p otensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi H.

.

72

Sumber-Sumber Pendapatan Asli Derah

Sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan sumber-sumber Pendapat Asli Daerah terdiri dari:

70

Pasal 1 Ayat 15 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

71

Pasal 1 Ayat 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

72

Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

55

1. Pajak daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan

untuk

membiayai

penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

dan

pembangunan daerah.73 Adapun jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah provinsi terdiri dari: a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. b) Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air c) Pajak Bahan Bakar Bermotor, dan d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air 74

Permukaan. 2. Retribusi daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi daerah terbagi dalam empat jenis, yaitu:

73 74

Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.

Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah: Pedoman untuk Eksekutif dan Legislatif, Rangkuman 7 Undang-Undang, 30 Peraturan Pemerintah dan 15 Permendagri, hlm. 50.

56

a) Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b) Retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. c) Retribusi perizinan tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau

badan

yang

dimaksudkan

untuk

pembinaan,

pengaturan,

pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.75 3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Adapun jenis-jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terdiri dari: a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD. b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN. 75 Nurlan Darise, Pengelolaan Keuangan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Badan Layanan Umum (Jakarta: Indeks, 2009), hlm. 34-36..

57

c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan mencakup: a) Hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan. b) Jasa giro. c) Pendapatan bunga. d) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah. e) Penerimaan komisi, potongan atau bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan / atau pengadaan barang dan / atau jasa oleh daerah. f) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. h) Pendapatan denda pajak dan denda retribusi. i) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan. j) Pendapatan dari pengembalian. k) Fasilitas sosial dan fasilitas umum. l) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.

58

m) Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). 76 Dari penjelasan di atas jelas tidak terdapat zakat dalam komponen-komponen Pendapatan Asli Daerah, namun memasukkan zakat menjadi Pendapatan Asli Daerah yang dilaksanakan di Aceh merupakan kekhususan bagi Aceh yang memiliki otonomi khusus sehingga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

I.

Kemaslahatan Sebagai Tujuan Hukum Islam

Secara bahasa, maqāṣid asy-syarī‟ah terdiri dari dua kata, yakni maqāṣid dan

syarī‟ah. Maqāṣid adalah bentuk plural dari maqṣad yang merupakan bentuk kata dari qaṣada yaqṣudu dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah- tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekuarangan.77 Adapun syari‟ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikaitkan sebagai jalan ke sumber pokok kehidupan.

76

78

Ibid., hlm.38.

77

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid a lSyari‟ah dari Konsep ke Pendekatan (Yogyakarta:Lkis, 2010), hlm. 178-179. 78 Asafri Jaya, Persada, 1996), hlm. 61.

Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syatibi (Jakarta: Raja Grafindo

59

Dari defenisi di atas, dapat dianalogikan bahwa yang dimaksud dengan

maqāṣid asy-syarī‟ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia. Sedangkan secara terminologis, makna maqāṣid asy-syarī‟ah berkembang dari makna yang paling sederhana sampai pada makan yang holistik. Dikalangan ulama klasik belum ditemukan definisi yang konkrit dan komperhensif tentang

maqāṣid asy-syarī‟ah, definisi mereka cenderung mengikuti makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan maknanya. Al-Bannani memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnawi mengartikanya dengan tujuan-tujuan hukum, al-Samarqandi menyamakanya dengan makna-makna hukum, sementara al-Ghazali, al-Amidi dan alHajib mendefinisikanya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat. Dari definisi-definisi tersebut mengindikasikan kaitan erat maqāṣid

asy- sy ar ī‟ ah

dengan hikmah, illat, tujuan atau niat, dan kemaslahatan. 79 Sedangkan menurut Imam al-Syatibi, maqāṣid asy-syarī‟ah adalah tujuantujuan disyari‟atkanya hukum oleh Allah SWT yang berintikan kemaslahatan umat manusia di dunia dan kebahagian di akhirat. Setiap penyari ‟atan hukum oleh Allah mengandung maqāṣid (tujuan-tujuan) yakni kemaslahatan.80

79 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid a lSyari‟ah dari konsep ke pendekatan (Yogyakarta:Lkis, 2010) Hal. 180. 80

Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, hlm. 5.

60

Dari penjelasan di atas maqāṣid asy-syarī‟ah adalah tujuan yang dikendaki oleh pembuat hukum (al-ḥākim) untuk menciptakan kemanfaatan dan keteraturan hidup manusia serta terpeliharanya kesejahteraan di dunia dan kebahagian di akhirat. Maslahah yang diwujudkan melalui hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash adalah maslahah hakiki. Maslahah ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima pokok tersebut dinamakan dengan kulliyah al-khams atau al-qawaid al-kulliyat. Untuk kepentingan menetapkan hukum, kelima tujuan pokok tersebut dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu: 1. Ḍarūriyāt, yaitu memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dengan batas jangan sampai terancam. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima tujuan pokok tersebut. 2. Ḥājiyāt, yaitu kebutuhan yang tidak bersifat esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukhshah.

61

3. Taḥsīniyāt, yaitu kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan-Nya sesuai dengan kepatuhan.81 Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang maqāṣid asy-syarī‟ah, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan berdasarkan peringkatnya. 1.

Memelihara agama Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara agama dalam peringakat ḍarūriyāt, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. b. Memelihara agama dalam peringkat ḥājiyāt, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat jama‟ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. c. Memelihara agama dalam peringkat taḥsīniyāt, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi

pelaksanaan

kewajiban

terhadap

membersihkan badan, pakaian dan tempat. 2.

81

Memelihara jiwa

Mardani, Ushul Fiqh (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 337.

tuhan,

misalnya

62

Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara jiwa dalam peringakat ḍarūriyāt seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Apabila

kebutuhan

pokok

diabaikan,

maka

akan

berakibat

terancamnya eksistensi jiwa manusia. b. Memelihara jiwa dalam peringakat ḥājiyāt, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Apabila kegiatan ini diabaian, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. c. Memelihara

jiwa

dalam

peringkat

taḥsīniyāt,

yaitu

seperti

ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia ataupun mempersulit kehidupan seseorang. 3.

Memelihara akal Memelihara akal berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara akal dalam peringakat ḍarūriyāt seperti diharamkannya meminum minuman keras. Jika hal ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

63

b. Memelihara jiwa dalam peringakat ḥājiyāt seperti anjuran untuk menuntut ilmu pengetahuan. Jika tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit hidup seseorang dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. c. Memelihara akal dalam peringkat taḥsīniyāt seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini berkaitan erat dengan etika dan tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung. 4.

Memelihara keturunan Memelihara

keturunan

berdasarkan

tingkat

kepentingannya

dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara

keturunan

dalam

peringakat

ḍarūriyāt,

seperti

disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Jika aturan ini tidak dipatuhi maka akan mengancam keutuhan keturunan. b. Memelihara

keturunan

dalam

peringakat

ḥājiyāt,

seperti

ditetapkannya ketentuan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak kepada suami. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan karena harus membayar mahar misil. Sedangkan dalam kasus

talak,

suami

akan

mengalami

kesulitan,

jika

tidak

64

menggunakan hak talaknya padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis. c.

Memelihara

keturunan

dalam

peringakat

taḥsīniyāt,

seperti

disyariatkan khitbah (meminang) atau walimah dalam perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. 5.

Memilihara harta Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga pringkat: a. Memelihara harta dalam peringakat ḍarūriyāt, seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancam eksistensi harta. b. Memelihara harta dalam peringakat ḥājiyāt, seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. c. Memelihara harta dalam peringakat taḥsīniyāt, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan

65

berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli tersebut, karena peringkat yang ketiga ini merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan yang pertama.82 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum biasa disebut dengan maqāṣid asy-syarī‟ah adalah tujuan asy-syāri‟ dalam menetapkan hukum. Tujuan hukum itu dapat dipahami melalui penelusuran terhadap ayat al-Qur‟ān dan sunnah Rasulullah SAW. Penelusuran yang dilakukan ulama ushul fiqh tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa tujuan asy-syar‟i menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.83

82

Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 227-230.

83

Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 304.

BAB III REALITA PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI BAITUL MAL ACEH A.

Qanun Aceh

Secara etimologi, Qanun bermakana ( dasar dan juga bisa bermakna

(

) yang artinya adalah akar atau ) yang artinya adalah ukuran segala



sesuatu. Sedangkan secara terminologi, Qanun diartikan sebagai kumpulan dari ketentuan yang menjadi hukum atau mengatur perilaku individu pada masyarakat, dimana ketentuan tersebut memaksa individu untuk mematuhinya dengan kekuatan ketika ditetapkan.

84

Secara umum, istilah Qanun diartikan sebagai undang-undang, peraturan, ketetapan, regulasi, dan juga hukum.

85

Sehingga pada lingkungan masyarakat Aceh

sendiri, makna dari Qanun diartikan sebagai peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Makna tersebut juga selaras dengan pengertian Qanun yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Aceh merupakan tatanan hukum dalam sistem hukum dan sistem perundang-undangan 84

Ahmad Sukardja dan Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih dan Qanun,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 120-121. 85 Al-Yasa‟ Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syraiat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syraiat Islam), (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam NAD, 2005), hlm. 107.

66

67

nasional. Dalam Pasal 1 angka 21 ditentukan bahwa : “Qanun Aceh adalah peraturan

perundang-undangan

sejenis

peraturan

daerah

provinsi

yang

mengatur

penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh”. 86 Selanjutnya dalam Pasal 233 ayat (1) ditentukan bahwa: “Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh, pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan”.87 Pada Pasal 136 ayat (2) ditegaskan bahwa: “Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah provinsi/kabupaten/Kota dan tugas

pembantuan”.88 Pada ayat (3) pasal yang sama ditentukan lebih lanjut bahwa peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dariperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam Pasal 1 angka 7 ditentukan bahwa: “Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.”89 Kemudian dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa:

86

Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

87

Ibid.

88

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Khusus.

89

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.

68

“Materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Dari gagasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Qanun merupakan salah satu bentuk hukum tertulis dalam sistem perundang-undangan nasional, yang sejenis dengan Peraturan Daerah. Numum secara khusus isinya berbeda, oleh karena kewewenangan mengatur dan materi muatan tertentu dalam qanun didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Sedangkan materi muatan “peraturan daerah” yang secara umum berpedoman pada ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Pemerintah Aceh berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mempunyai kewewenang spesifik untuk mengatur beberapa hal tertentu sebagai materi muatan qanun, misalnya tentang pelaksanaan syari‟at Islam. Kewenangan ini secara hukum adalah sah, sebagai kewenangan atribusi ( attributie van bevoegheid), yang diciptakan atau dibentuk oleh pembentuk undang-undang (DPR), yang sebelumnya tidak ada, dan secara khusus diadakan untuk itu. Dengan demikian, Qanun merupakan bagian dari sistem perundang-undangan nasional, dan oleh karena itu norma atau kaedah hukum yang diatur atau materi muatan dalam Qanun merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Disebut “sub sistem” oleh karena wilayah berlakunya adalah khusus atau bersifat lokal.

69

Walaupun berlakunya pada wilayah khusus akan tetapi penegakan hukumnya tetap melibatkan institusi dalam sistem peradilan nasional.

90

Secara umum, materi muatan yang ada di dalam Qanun sama dengan materi muatan peraturan daerah, rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantua. Namun ada beberapa hal untuk materi muatan qanun berbeda dengan “peraturan daerah” pada umumnya, yang berdasarkan UU PA, materi muatan Qanun antara lain: (1) Qanun

dibentuk

(materi

muatan)

dalam

rangka

penyelenggaraan

pemerintahan Aceh, yang terkait dengan semua kewenangan pemerintahan Aceh yang tercantum dalam Pasal 7 UU PA. (2) Dapat mengatur semua urusan wajib yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) UU PA (3) Dapat mengatur urusan wajib yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (2), yang meliputi : a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari‟at Islam; b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah muatan lokal sesuai dengan syari‟at Islam; d. peran ulama dalam penetapan kebijakan; dan 90

Faisal A Rani, Makalah Yang Disampaikan pada Muzakarah Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh, Kamis Tanggal 03 Desember 2009, di Banda Aceh.

70

e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji. (4) Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan yang secara nyata berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan. (5) Materi muatan pelaksanaan syari‟at Islam sebagaimana tercantum dalam Pasal 125, yang meliputi: a. Ibadah b. Ahwal al syakhshiyah; c. Muamalah; d. Jinayah; e. Qadha’ (peradilan); f. Tarbiyah (pendidikan); dan g. Dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. (6) Materi muatan dalam rangka penyelenggaraan syari‟at Islam, sebagaimana tercantum dalam Pasal 127. (7) Materi muatan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Suatu hal yang sangat spesifik materi muatan Qanun adalah ketentuan tercantum dalam ketentuan Pasal 241 ayat 4 UU PA. Dalam Pasal 143 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perda dapat memuat ancaman pidana

71

kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).” Pasal 241 UU PA berbunyi: (1) Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. (4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 241 ayat (4), UU PA membedakan materi muatan Qanun dari segi pengaturan sanksi. Untuk Qanun yang materi muatannya mengatur tentang pelaksanaan syari‟at Islam di bidang jinayah (hukum pidana), sistem sanksi dikeculikan dari ketentuan ayat (1), (2), dan (3). Sedangkan untuk Qanun yang materi muatannya bukan di bidang jinayah, sanksi dan denda mengacu kepada ketentuan yang tercantum dalam ayat (1), (2), dan (3) Pasal 241 UU PA. Dapat disimpulkan bahwa Qanun merupakan salah satu bentuk hukum tertulis dalam sistem perundang-undangan nasional, yang sejenis dengan Peraturan Daerah.

72

Numum, secara khusus isinya berbeda, oleh karena kewewenangan mengatur dan materi muatan tertentu dalam Qanun didasarkan pada ketentuan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006. Sedangkan materi muatan peraturan daerah yang secara umum berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pemerintah Aceh berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 mempunyai kewewenang spesifik untuk mengatur beberapa hal tertentu sebagai materi muatan qanun, misalnya tentang pelaksanaan syari‟at Islam. Kewenangan ini secara hukum adalah sah, sebagai kewenangan atribusi ( attributie van bevoegheid), yang diciptakan atau dibentuk oleh pembentuk undang-undang (DPR), yang sebelumnya tidak ada, dan secara khusus diadakan untuk itu. Dengan demikian, Qanun merupakan bagian dari sistem perundang-undangan nasional, dan oleh karena itu norma atau kaedah hukum yang diatur atau materi muatan dalam Qanun merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Disebut sub sistem oleh karena wilayah berlakunya adalah khusus atau bersifat lokal. Walaupun berlakunya pada wilayah khusus, akan tetapi penegakan hukumnya tetap melibatkan institusi dalam sistem peradilan nasional. B.

Baitul Mal Aceh

Rintisan awal pembentukan lembaga formal pengelola zakat di Aceh dimulai tahun 1973 melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 5/1973 tentang Pembentukan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA). BPHA ini kemudian dirubah pada tahun 1975 menjadi Badan Harta Agama (BHA). Sehubungan dengan

73

adanya Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1991 tentang Pembentukan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah). Perubahan BHA menjadi BAZIS di Aceh dilakukan pada tahun 1998, dengan struktur yang agak sedikit berbeda dengan BAZIS di daerah lain secara nasional, yaitu mulai BAZIS Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan. BAZIS Aceh terdiri dari Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Gampong/Kelurahan. Perubahan BAZIS menjadi Badan Baitul Mal Prov. NAD dilakukan melalui Keputusan Gubernur No. 18/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Prov. NAD, yang mulai beroperasi pada bulan Januari 2004. Khusus di Aceh BAZIS dinamakan Baitul Mal yang merupakan lembaga resmi pengelola zakat yang di atur dalam pasal 191 UUPA. Sedangkan untuk tingkat nasional dan daerah (provinsi-kab/kota) lain lembaga ini disebut dengan BAZNAS yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Nasional. Selanjutnya pada tahun 2007, lahirnya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tanggal 17 Januari 2008 tentang Baitul Mal sebagai turunan dari UUPA di mana dalam pasal 3 ayat 1 menyebutkan bahwa Baitul Mal adalah lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat dan bertanggung jawab kepada Gubernur.

91

91 Laporan Penyaluran Zakat dan Infaq Baitul Mal Aceh Annual Report , (Banda Aceh: Badan Umum Sekretariat Baitul Mal Aceh, 2015) hlm. 1

74

Tahun

Nama

Keterangan

Badan Penertiban April 1973

Harta Agama

Keputusan Gubernur Nomor 05/1973

(BPHA) Badan Harta Januari 1975

Agama (BHA)

Keputusan Gubernur

Februari 1993

BAZIS / BAZDA

Keputusan Gubernur Nomor 02/1993

Januari 2004

Badan Baitul Mal

Keputusan Gubernur Nomor 18/2003

Januari 2008

Baitul Mal

Qanun Aceh Nomor 10/2007

Tabel 2: Daftar Regulasi Dasar Pembentukan Baitul Mal Aceh Dalam menjalankan tugasnya Baitul Mal Aceh berpedoman kepada UndangUndang dan Qanun berikut ini: 1. UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Hal Penyelenggaraan Syariat Islam: Baitul Mal adalah bagian dari pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Aceh. 2. UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Outsus NAD 3. UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebagai pengganti UU Nomor 38 tahun 1999. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2011. 5. UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. 6. Qanun Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal sebagai pengganti Qanun Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.

75

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2009 tentang Pedoman Organisasi Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kab/Kota pada Pemerintah Aceh. 8. Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 33 tahun 2008 tentang

Susunan

Organisasi

dan

Tata

Kerja

Sekretariat

Lembaga

Keistimewaan Aceh. 9. Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 92 tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh. 10. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 55 tahun 2010 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pencairan Dana Zakat pada Kas Umum Daerah. 11. Peraturan Gubernur Nomor 02 tahun 2011 tentang Dewan Pertimbangan Syariah Baitul Mal Aceh. 12. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 06 tahun 2011 tentang perubahan atas Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 60 tahun 2008 tentang Mekanisme Zakat. Adapun fungsi dan kewenangan Baitul Mal tercantum dalam Qanun pasal 8 ayat 1 Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal Aceh yaitu: 1. Mengurus dan mengelola zakat, wakaf, dan harta agama; 2. Melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat; 3. Melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama lainnya;

76

4. Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum; 5. Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syari‟ah; dan 6. Membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling menguntungkan. Pada ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan syari‟at dan peraturan perundangundangan. Pada Pasal 9 dinyatakan bahwa dalam menjalankan kewenangannya yang berkaitan

dengan

syar‟iat,

Baitul

Mal

berpedoman

pada

fatwa

Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. C.

Visi dan Misi Baitul Mal Aceh

Baitul Mal Aceh merupakan organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Aceh, Baitul Mal Aceh merupakan bagian dari lembaga keistimewaan Provinsi Aceh. Secara umum Baitul Mal dibagi ke dalam empat tingakatan: 1. Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Gubernur.

77

2. Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Bupati/Wali Kota. 3. Baitul Mal Mukim adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota. 4. Baitul Mal Gampong

92

adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam

melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota. 93 Dalam menjalankan fungsinya sebagai badan yang mengelola harta agama, Baitul Mal Aceh memiliki visi yaitu menjadi lembaga yang amanah, transparan dan kredibel, visi ini dijabarkan dalam misi yang dirumuskan : 1. Memberikan

pelayanan

berkualitas

kepada

muzakki,

mustahik,

dan

masyarakat yang berhubungan dengan Baitul Mal. 2. Memberikan konsultasi dan advokasi bidang zakat, harta waqaf, harta agama, dan perwalian/pewarisan

92

Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim

dan dipimpin oleh Keuchik (kepada desa) atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. 93

Pasal 3 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.

78

3. Meningkatkan assessment dan kinerja Baitul Mal Aceh (BMA), Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK), Baitul Mal Kemukiman (BMKM), Baitul Mal Gampong (BMG).94 D.

Struktur Organisasi Baitul Mal Aceh

Pengaturan tentang susunan Organisasi Baitul Mal Aceh diatur di bagian kedua pasal 4 Qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal yaitu: 1. Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh terdiri atas Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan, Bidang Sosialisasi dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub Bagian. 2. Jabatan Kepala, Wakil Kepala, Sekretaris, Bendahara, Kepala Subbag dan Kepala Sub Bidang Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 3. Untuk dapat diangkat sebagai pejabat/pimpinan Baitul Mal Aceh harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Bertaqwa kepada Allah SWT dan taat beribadah; b. Amanah, jujur dan bertanggungjawab; c. Memiliki kredibilitas dalam masyarakat;

94

Laporan Penyaluran Zakat dan Infaq Baitul Mal Aceh Annual Report , hlm. 2

79

d. Mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, harta agama dan harta lainnya serta manajemen; e. Memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengelolaan zakat, waqaf, harta agama dan harta lainnya, dan f. Syarat-syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4. Sebelum

diangkat

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(3),

Gubernur

membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Aceh. 5. Tata cara uji kelayakan dan kepatutan pemilihan kepala dan wakil kepala Baitul Mal Aceh ditetapkan dengan keputusan Gubernur. 6. Calon kepala dan wakil kepala Baitul Mal Aceh, sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu harus mendapat persetujuan Pimpinan DPRA, melalui telaahan Komisi terkait. 7. Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Gubernur.

95

Secara kelembagaan, struktur organisasi Baitul Mal Aceh terdiri dari 3 (tiga) unsur pelaksana, yaitu 95

Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.

80

1.

Pengurus pelaksana Kepala pengurus pelaksana dipilih oleh tim indepnden yang dibentuk

oleh Gubernur Aceh melalui fit and proper test dan telah mendapatkan persetujuan dari DPRA dan setiap Kepala Bagian dipilih oleh Kepala Pengurus Pelaksana. 2.

Sekretariat Bagian yang menduduki di bagian sekretariat merupakan Pegawai

Negeri Sipil dari satuan unit kerja pemerintah provinsi Aceh. 3.

Dewan Pertimbangan Dasar pembentukan Dewan Pertimbangan Syariah adalah Peraturan

Gubernur Nomor 02 Tahun 2011 tentang Dewan Pertimbangan Syariah Baitul Mal, pengertian Dewan Pertimbangan Syariah terdapat pada pasal 1 angka 6 Peraturan Gubernur tersebut, yang menyebutkan bahwa: “Dewan Pertimbangan Syariah yang selanjutnya disebut Dewan Pertimbangan adalah unsur kelengkapan Baitul Mal Aceh yang berwenang memberikan pertimbangan syar‟i, pengawasan fungsional dan menetapkan pengelolaan zakat, harta wakaf dan harta agama kepada Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.” Pada awalnya manfaat Dewan Syariah ini dirasakan sangat besar manfaatnya, karena dapat mengakomodir semua permasalahan yang timbul dalam

96

12.

kegiatan pelaksanaan Baitul

Mal96, namun dalam

perjalanan

Amrullah, Kisi-kisi Perjalanan Baitul Mal Aceh (tanpa penerbit:, Banda Aceh,2009), hlm.

81

pembentukan dasar hukum Baitul Mal yang berbentuk Qanun seperti yang perintahkan oleh Undang-Undang Nomor 48 tahun 2007, keberadaan Dewan Syariah ini diusulkan dalam rancangan qanun menjadi Dewan Pertimbangan untuk Provinsi dan Dewan pengawas untuk kabupaten/Kota, namun ketika rancangan qanun ini dibahas di legislatif atau Dewan Permusyawaratan Rakyat Aceh (DPRA) justru menghilangkan usulan dewan pertimbangan dan dewan pengawas dengan alasan bahwa fungsi tersebut dapat dilaksanakan secara ex officio oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di masingmasing tingkatan pemerintahan.97 Dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur di atas menandakan eksistensi DPS pada Baitul Mal. Adapun susunan organisasi dari DPS terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota.

98

Sebagai organisasi yang

mempunyai fungsi pengawasan dan pertimbangan atas Baitul Mal, maka Dewan Pertimbangan diberikan tugas melakukan pembinaan, pengawasan, dan pertimbangan syar‟i kepada Baitul Mal dalam melakukan pengelolaan zakat, wakaf, infak dan sedekah serta harta agama lainnya. 99 Sedangkan fungsi Dewan Pertimbangan adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan pemberian pertimbangan syar‟i kepada Baitul Mal Aceh.

97

Ibid.

98

Pasal 2 Peraturan Gubernur Nomor nomor 2 tahun 2011.

99

Pasal 4 Peraturan Gubernur Nomor nomor 2 tahun 2011.

82

b. Pelaksanaan pemberian pertimbangan, nasehat, baik asistensi maupun advokasi. Pelaksanaan penetapan pendayagunaan zakat, wakaf, infak dan sedekah serta harta agama lainnya. c. Pelaksanaan pemberian rekomendasi kepada Gubernur terhadap kinerja Baitu Mal.

100

Sedangkan Tugas DPS yang berfungsi sebagai Dewan Pertimbangan adalah: a. Merumuskan kebijakan umum dibidang pengelolaan zakat, wakaf, infak dan sedekah serta hart agama lainnya. b. Menetapkan nishab zakat penghasilan/profesi sesuai dengan tingkat perkembangan harga emas dipasaran seluruh aceh; dan c. Menyelesaikan perbedaan penafsiran tentang „āmil

zakat, muzakki,

mustahik dan harta kena zakat, infaq, pengelolaan harta wakaf, serta harta agama lainnya.

101

Disahkannya Peraturan Gubernur ini sebagai penunjang kegiatan operasional Baitul Mal Aceh guna terwujudnya efesiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas lembaga Baitul Mal dalam mengelola harta publik yang dipercayakan pengelolaannya

kepada

Baitul Mal

serta dapat

menyelesaikan

100

Pasal 5 Peraturan Gubernur Nomor nomor 2 tahun 2011.

101

Pasal 6 Peraturan Gubernur Nomor nomor 2 tahun 2011.

permasalah-

83

permasalahan yang timbul dalam pelaksanaanya melalui pertimbangan-pertimbangan Dewan Syariah. Adapun struktur organisasi Baitul Mal Aceh sebagai berikut: 102 1. Dewan pertimbangan syariah Ketua

: Prof. DR. H. Alyasa‟ Abu bakar, MA

Wakil Ketua

: Drs. Tgk. H. Ghazali Muhammad Syam

Sekretaris

: T. Sulaiman, SE

Anggota

: Drs. H. M. Jamil Ibrahim, SH, MH Islahuddin, M.Ec Drs. H. Said Mahdar Drs. T.Harmawan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Ph.D

2. Badan pelaksana 

Kepala Baitul Mal



Bidang Pengawasan

: Dr. H. Armiadi Musa, MA

Kepala Bidang

: Lisa Farida, SE

Kasubbid Monitoring dan Evaluasi

: Dina Setia Ningsih, A.Ma

Kasubbid Pengendalian dan Verifikasi: Mucshsin, A.Md

102

Baitul Mal Directory 2016, hlm. 1-3

84



Bidang Pengumpulan Kepala Bidang

: Jusma Ery, SH.I, MH

Kasubbid Pembukuan dan Pelaporan : Nurma, SE.Ak Kasubbid Inventarisasi dan Pendataan: Muhammad Iqbal, SE







Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Kepala Bidang

: Rizky Aulia, S.Pd.I

Kasubbid Pendistribusian

: Syukriah Fahdriani, SP, MM.

Kasubbid Pendayagunaan

: Safwan Bendadeh, SH.I, MSh

Bidang Sosialisasi dan Pengembangan Kepala Bidang

: Ade Irnami, ST

Kasubbid Sosialisasi

: Hayatullah Zuboidi, S.Sos.I

Kasubbid Pengembangan

: Bobby Novrizan, S.Si

Bidang Perwalian Kepala Bidang

: Putra Misbah, SH.I

Kasubbid Hukum dan Advokasi

: Maulizan, SH.I

Kasubbid Sertifikasi dan Perwalian : Murdani, S.Pd.I

3. Sekretariat 



Kepala Sekretariat Bagian Umum

: T. Sulaiman, SE

85

Kepala Bagian

: Adnan, S.Sos, MM

Kasubbag Umum dan Kepegawaian : Fachrur Razi, SP, MM. Kasubbag Rumah Tangga dan Perlengkapan : Yuwita, SH 

Bagian Keuangan Kepala Bagian

: Dra. Sabriana, M.Si

Kasubbag Anggaran

: Dra. Haslinda, M.Si

Kasubbag Verifikasi dan Perbendaharaan: Chairai Yarah, SE.Ak 



Bagian Persidangan dan Risalah Kepala Bagian

: Drs. Abdullah

Kasubbag Persidangan

: Dra. Rahmi

Kasubbag Risalah

: Dra. Hasmili Suarni, MM

Bagian Hukum dan Hubungan Umat Kepala Bagian

: T.M. Ridwan, SH

Kasubbag Hukum

: Juanda, ST

Kasubbag Hubungan Ummat

: Drs. Permata



Bendahara Penerimaan

: Yenni Elvira Watimena, A.Md



Bendahara Pengeluaran

: Muaffat, SH.I

Ketiga unsur utama organisasi Baitul Mal Aceh tersebut yaitu Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan Syari‟ah dan Sekretariat, menjalankan fungsi dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan penyaluran dana zakat dan infaq Baitul Mal Aceh. Badan Pelaksana adalah unsur pengelola zakat, infaq,

86

sedekah, waqaf, dan harta agama lainnya, serta perwalian yang dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur Aceh. Dewan Pertimbangan Syari‟ah adalah unsur yang memiliki kewenangan untuk memberikan

pertimbangan

syar‟i,

pengawasan

fungsional,

dan

menetapkan

pengelolaan zakat, wakaf, dan harta agama lainnya kepada Baitul Mal Aceh, termasuk Baitul Mal Kabupaten/Kota. Sekretariat adalah penyelenggara administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung tugas dan fungsi Baitul Mal Aceh dan menyediakan serta mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Ketiga unsur organisasi ini, secara sinergis menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing dengan berpedoman kepada visi dan misi Baitul Mal Aceh yang telah ditetapkan sehingga seluruh program penyaluran zakat dan infaq dapat dilaksanakan secara optimal. E.

Pengelolaan Zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh

Berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Baitul Mal Aceh merupakan lembaga yang memiliki wewenang dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat. 1.

Pengumpulan Zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh Baitul Mal Aceh memiliki kewenangan dalam pengumpulan zakat yang

bersumber dari berbagai jenis zakat berikut ini:

87

1) Zakat penghasilan dari PNS/Pejabat/Karyawan yang beragama Islam dalam lingkup Pemerintah Provinsi Aceh yang pembayarannya melalui APBA, a.

Setiap pembayaran penghasilan berupa gaji/honorarium/tunjangan dan sebagainya untuk PNS/karyawan/pejabat yang bekerja di lingkungan pemerintah provinsi Aceh dikenakan pemotongan zakat penghasilan sebesar 2,5% dari jumlah masing-masing pada kolom zakat dari daftar pembayaran tersebut. Pemotongan zakat penghasilan dilakukan oleh bendaharawan pembuat daftar gaji/daftar honorarium/daftar tunjangan SKPA dan sekaligus ditunjuk sebagai UPZ Instansi/Lembaga yang bersangkutan.

b.

Hasil

pemotongan

zakat

penghasilan

yang

berasal

dari

daftar

pembayaran gaji/honorarium/tunjangan yang bersumber dari APBA disetor ke rekening khusus zakat pada rekening Kas Umum Aceh serta dicatat sebagai penerimaan Pendapatan Asli Aceh. 2) Zakat penghasilan dari PNS/Pejabat/Karyawan yang beragama Islam pada Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah lingkup Pemerintah Pusat/Lembaga lainnya Tingkat Provinsi Aceh yang pembayarannya melalui APBN atau sumber dana lainnya. a.

Setiap

pembayaran

gaji/honorarium/tunjangan

untuk

PNS/Karyawan/Pejabat yang bersumber dari APBN/sumber lainnya, dipotong

zakat

penghasilan

sebesar

2,5%

dari

jumlah

88

gaji/honorarium/tunjangan yang jumlahnya di atas nishab zakat penghasilan sebesar Rp 1.800.000,- atau sesuai dengan penetapan Dewan Pertimbangan Syariah. b.

Hasil pemotongan zakat penghasilan yang pembayarannya berasal dari APBN atau sumber lainnya disetor pada Bendaharawan Penerimaan Baitul Mal Aceh pada Bank yang ditetapkan Kepala Baitul Mal Aceh, setiap akhir bulan dipindahkan ke rekening khusus zakat pada rekening Kas Umum Aceh dan dicatat sebagai penerimaaan Pendapatan Asli Aceh.

3) Zakat mal pada tingkat provinsi meliputi BUMN, BUMD Aceh dan perusahaan swasta besar. a.

Pengumpulan zakat mal lingkup provinsi yang tidak disetor ke rekening khusus zakat pada rekening Kas Umum Aceh, dapat disetor pada Bendahara Penerimaan Baitul Mal Aceh atau rekening Baitul Mal Aceh pada Bank yang ditujukan.

b.

Setiap bulan zakat tersebut dipindahkan ke rekening khusus zakat pada rekening Kas Umum Aceh dan dicatat sebagaimana penerimaan Pendapatan Asli Aceh.

Zakat

yang

telah

dikumpulkan

oleh

UPZ

pada

Dinas/Lembaga

Pemerintah/Swasta dan Baitul Mal Aceh termasuk zakat yang dipungut oleh kuasa

89

BUA (Bendahara Umum Aceh) disetor ke rekening penerimaan zakat Kas Umum Aceh pada Bank Syariah yang ditunjuk. Dinas Keuangan Aceh melalui Bidang Perbendaharaan membuat dan menyampaikan

laporan

bulanan

(laporan

konsolidasi

yang

memuat

semua

penerimaan zakat pada Rekening Kas Umum Aceh, baik yang disetor oleh UPZ/Baitul Mal/Masyarakat maupun yang disetor oleh Kuasa BUA) tentang penerimaan zakat kepada Baitul Mal Aceh paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Pegawai pada bidang perbendaharaan yang bertugas dan terlibat sebagai pengumpul zakat dan pembuatan laporan bulanan diberikan hak „āmil sebesar 1% (satu perseratus) dari jumlah zakat yang terkumpul pada setiap akhir tahun anggaran yang dibayar oleh bendahara pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu Baitul Mal Aceh. Pengumpul zakat adalah kegiatan memverifikasi potongan zakat pada setiap Surat Perintah Membayar (SPM), memverifikasi adanya surat setoran zakat yang dilampirkan, memverifikasi besaran nominal zakat yang dipotong, dan memungut/menyetorkan zakat ke rekening penerimaan zakat Kas Umum Aceh serta kegiatan lainnya yang bertujuan meningkatkan kepatuhan pembayaran zakat dan meningkatkan penerimaan zakat dalam rangkaian proses penerbitan Surat Perintah Pembayaran Daerah (SP2D). Pencairan dana zakat dari Kas Umum Aceh dilakukan oleh sekretariat Baitul Mal Aceh dengan mengajukan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada Kuasa Bendahara Umum Aceh (BUA) sesuai jumlah anggaran dalam Dokumen Pelaksanaan

90

Anggaran (DPA) dengan persyaratan dilampirkan rencana pembagian kepada asnaf-

asnaf dan surat pernyataan dari Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh sebagai Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sebelum menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Daerah (SP2D) kuasa Bendahara Umum Aceh (BUA) memindahkan dana dari rekening penerimaan zakat ke rekening pengeluaran Kas Umum Aceh sebesar yang tercantum pada Surat Perintah Membayar (SPM) yang diajukan oleh pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Sekretariat Baitul Mal Aceh. Pencairan dana zakat tahun anggaran berjalan dapat dilakukan secara sekaligus atau berkala sesuai dengan realisasi penerimaan dana zakat. Apabila pencairan dana zakat dalam tahun anggaran berjalan tidak dapat dilaksanakan karena penerimaan dana zakat baru diketahui pada akhir tahun anggaran, maka pencairannya dapat dilakukan pada tahun anggaran berikutnya. Dalam hal realisasi dana zakat tidak habis disalurkan oleh Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh, harus disetor kembali ke rekening penerimaan zakat Kas Umum Aceh sebelum tanggal 31 Desember tahun berjalan dan menjadi saldo awal penerimaan zakat tahun berikutnya. Untuk menjaga kesinambungan penyaluran zakat kepada mustahik, Baitul Mal dapat mencairkan dana zakat yang sudah disetor ke Kas Umum Aceh tanpa menunggu pengesahan Qanun APBA, setinggi-tingginya sebesar sisa realisasi penerimaan zakat tahun anggaran sebelumnya.

91

Namun hal ini belum bisa direalisasikan oleh badan pelaksana Baitul Mal Aceh karena untuk mencairkan dana zakat yang telah disetor ke Kas Umum Aceh harus mengikuti prosedur/ membutuhkan peraturan yang lebih jelas dan terperinci, bagaimana tata caranya. Pada setiap akhir tahun Kepala Baitul Mal Aceh bertanggungjawab memberikan laporan arus kas kepada Gubernur Aceh dan Dewan Pertimbangan Syariah sebagai laporan. Gubernur akan menyampaikan laporan tentang pengelolaan zakat tingkat provinsi kepada DPRA Provinsi. Tebusan laporan itu disampaikan ke Dinas Pendapatan setempat untuk dibukukan, sebagai tertib administrasi menjadikan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan demikian diharapkan pengelolaan zakat akan terlaksana sesuai dengan tuntutan Syariat di satu segi, dan berada di bawah pengawasan pemerintah dan masyarakat luas di segi lain, sehingga terhindar dari kesewenang-wenangan, penyelewengan atau praktek-praktek KKN.

103

Dalam hal pemungutan/pengumpulan zakat dari masyarakat Baitul Mal tidak memiliki kewenangan untuk memaksa muzakki dalam membayar zakat, walaupun pihak Baitul Mal mendatangi langsung muzakki untuk meminta zakat namun ketika muzakki menolak untuk membayar zakat maka pihak Baitul Mal tidak bisa memaksa/memberikan sanksi yang tegas. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 10 Qanun

103 Al Yasa‟ Abu Bakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm,302.

92

Aceh No.10 Tahun 2007 di satu sisi telah memberikan kewenangan untuk mengumpulkan zakat, di sisi lain tidak ditentukan sanksi hukum bagi yang tidak membayar zakat, sehingga Baitul Mal hanya bisa menunggu tanpa ada kewenangan memaksa. 2.

Pendistribusian Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh Dana yang sudah terkumpul di Baitul Mal Aceh akan disalurkan kepada

mustahik yang telah ditetapkan sebagai berikut: 1) Sektor Pendidikan Pendidikan dalam Islam sangatlah penting di mana menjadi sebuah sarana mencari kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Baitul Mal Aceh dalam hal ini memiliki komitmen yang kuat dalam mencerdaskan anak bangsa dan membantu memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu di Aceh. Program Pendidikan mulai dirintis sejak tahun 2007 dengan sumber dana dari bagian ibnu sabil dan bagian miskin. Kriteria umum penerima beasiswa adalah pelajar/mahasiswa dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi termasuk santri yang belajar di Pondok Pesantren yang berasal dari keluarga miskin/anak yatim. Sedangkan kriteria khusus ditentukan sesuai dengan program kegiatan yang dilaksanakan.

93

a. Bagian Ibnu Sabil 1) Beasiswa penuh tahfidh al-Qur‟ān tingkat SLTP dan SLTA. Sasaran program beasiswa ini adalah calon siswa tingkat SMP dan SMA dari keluarga miskin yang berdomisili di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar dan para penerima beasiswa penuh Tahfidh al-Qur‟ān Tingkat SMP dan SMA lanjutan program tahun 2012, 2013, dan 2014. 2) Beasiswa penuh untuk anak miskin di pesantren kewirausahaan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan generasi muda Aceh dari keluarga msikin dan menciptakan kemandirian dan produktifitas serta semangat kewirausahaan yang kompetitif bagi penerima beasiswa. 3) Beasiswa berkelanjutan tahfidh al-Qur‟ān

tingkat mahasiswa.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan generasi muda Aceh dari keluarga miskin guna melahirkan sarjana yang mampu menghafal al-Qur‟ān serta untuk meringankan beban ekonomi keluarga dalam menyediakan pendidikan bagi anak-anaknya. 4) Beasiswa penuh tingkat mahasiswa D3/D4 dari keluarga miskin. Beasiswa ini ditujukan untuk meningkatkan skill dan keterampilan bagi generasi muda Aceh untuk bersaing secara kompetitif dalam dunia kerja kelak. Program ini dapat mengurangi jumlah mahasiswa putus kuliah karena keterbatasan ekonomi.

94

5) Bantuan biaya pendidikan untuk santri dari keluarga miskin se-Aceh. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan berbasis pesantren/dayah yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di Aceh. 6) Bantuan untuk 800 anak yatim kurang mampu tingkat SD/SLTP Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Tujuan program ini adalah untuk memberikan perlengkapan sekolah yang layak untuk anak yatim dari keluarga miskin dan membantu meringankan biaya pendidikan anak yatim. 7) Beasiswa pendidikan berkelanjutan siswa berprestasi dari keluarga miskin tingkat SD, SMP, dan SMA. Program ini adalah program lanjutan tahun 2012, 2013, dan 2014, penerima beasiswa ini sebanyak 258 orang untuk tahun 2015. 8) Bantuan pendidikan untuk mahasiswa D3/S1 dari keluarga miskin yang sedang menyelesaikan studi akhir. Tujuan program ini untuk membantu mahasiswa berprestasi yang sedang melaksanakan tugas akhir dan mengalami masalah keuangan. b.

Bagian Miskin 1) Pelatihan baby sitter untuk remaja putri dari keluarga kurang mampu. Program ini brtujuan untuk memberikan pelatihan keterampilan perawatan bayi dan balita untuk membuka lapangan kerja baru bagi

95

remaja putri dari keluarga kurang mampu agar menciptakan kaum perempuan yang mandiri. 2) Pelatihan dalam mendidik anak yang berkebutuhan khusus untuk remaja/pemuda dari keluarga kurang mampu. 3) Pelatihan komputer untuk remaja putri dari keluarga kurang mampu. Program ini bertujuan untuk memberikan pelatihan agar generasi muda dari keluarga kurang mampu memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menguasai perangkat teknologi informasi sebagai bekal dalam memasuki dunia kerja. 2) Sektor Sosial a.

Bagian Fakir 1) Santunan bulanan fakir uzur di Banda Aceh dan Aceh Besar. Fakir uzur adalah masyarakat yang kondisi sosial ekonominya sangat memprihatinkan, karena selain tidak memiliki harta dan pekerjaan juga usianya yang tua (manula) serta sakit-sakitan. Santunan ini diberikan seumur hidup mustahik. 2) Bantuan dana untuk pembelian alat kesehatan bagi fakir uzur. Program ini bertujuan untuk memberikan fasilitas kesehatan kepada fakir uzur untuk pendukung dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

96

b.

Bagian Miskin Bantuan insidentil (tidak terduga) adalah program yang disiapkan

untuk mereka yang mendapat kesulitan hidup pada waktu yang tidak diharapkan yaitu masyarakat miskin yang membutuhkan biaya hidup dikarenakan tidak mampu bekerja lagi atau tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok. c.

Bagian fī sabīlillāh 1) Bantuan renovasi mesjid/meunasah di daerah rawan aqidah. Tujuan program ini adalah untuk memperlancar dan menjamin aktivitas dakwah Islam di wilayah yang didominasi oleh masyarakat Kristen selain itu untuk membendung arus pendangkalan aqidah umat Islam. 2) Santunan untuk 100 anak yatim/piatu di Kota Banda Aceh. 3) Santunan bagi keluarga narapidana dan penderita gangguang jiwa yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga dan tidak bisa lagi menopang kehidupan ekonomi. 4) Santunan 1000 anak miskin, yaitu membantu masyarakat miskin dalam melaksankan sunnah rasul yaitu khitan kepada anak laki-laki, pelaksanaan program ini bekerjasama dengan LKC Dompet Duafa 5) Santunan

ramadhan

keluarga

miskin,

program

ini

membantu

mencukupi kebutuhan masyarakat miskin dalam pelaksanaan ibadah

97

puasa Ramadhan serta membantu meringankan beban yang akan dihadapi masyarakat miskin dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri d.

Bagian Gārimīn 1) Bantuan untuk orang terlantar/kehabisan bekal. Tujuannya untuk memfasilitasi orang terlantar yang membutuhkan biaya kembali ke daaerah asal namun kehabisan uang/bekal. Bantuan yang diberikan berupa tiket dan uang makan di jalan. 2) Bantuan tanggap darurat musibah bencana alam.

e.

Bagian Muallaf 1) Bantuan

untuk

muallaf

baru,

program

ini

untuk

membantu

meringankan biaya hidup muallaf yang baru memeluk Islam. 3) Sektor Ekonomi Bagian Miskin 1) Bantuan dana untuk pembelian alat-alat/peralatan kerja kepada masyarakat miskin, program ini dibagi lima sektor yaitu sektor pertukangan, perbengkalan, industri rumah tangga, alat-alat pertanian, dan perdagangan 2) Penyaluran bantuan modal usaha untuk masyarakat miskin melalui Baitul Mal Gampong. Program ini bertujuan untuk memberikan stimulasi (rangsangan) kepada Baitul Mal Gampong untuk lebih maksimal dalam pengelolaan zakat yang ada di gampong dengan

98

memberikan bantuan modal usaha bagi masyarakat miskin yang ada di gampong tersebut guna meningkatkan pendapatan keluarga serta memberdayakan masyarakat miskin dengan zakat produktif melalui program ini. 4) Sektor Dakwah dan Syiar a. Bagian fī sabīlillāh Bantuan program kegiatan organisasi Islam. Program ini bertujuan untuk membantu organisasi/lembaga kemahasiswaan/OKP/Ormas yang akan melaksanakan program-program berbasis syariat Islam dan pengentasan kemiskinan dengan memberikan stimulus anggaran dana sehingga kegiatan yang dijalankan dapat terlaksana dengan baik. b. Bagian Muallaf Program

pendampingan

syariah

bagi

muallaf.

Program

ini

memberikan pemahaman tentang dasar-dasar agama Islam bagi para muallaf, khususnya berkaitan dengan aqidah, ibadah, dan muamalah. Menghilangkan citra negatif seolah-olah tidak ada perbedaan antara sebelum menjadi muslim dengan sesudah muslim. Memfasilitasi para muallaf belajar Islam dan peningkatan kualitas diri.104

104

Laporan Penyaluran Zakat dan Infaq Baitul Mal Aceh Annual Report, hlm. 11-20.

99

Dalam penyaluran zakat, Baitul Mal telah menetapkan berbagai usaha dan prioritas, sehingga tujuan zakat dapat tercapai, sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut ini:105 No. 1

Ashnaf Fakir

Prosentasi 15,62 %

Kriteria Mustahiq 1) Orang yang tidak mempunyai harta dan tidak sanggup berusaha sama sekali. 2) Tidak mendapat bantuan dari pihak lain.

2

Miskin

44,08%

Orang yang mempunyai harta dan usaha tetapi penghasilannya

tidak

mencukupi

kebutuhan

hidupnya baik untuk diri sendiri dan keluarganya. 3

Amil

1,88%

1) Biaya hidup untuk pengelola zakat yang tidak digaji oleh Pemerintah Daerah. 2) Untuk mendukung kegiatan pengelolaan zakat yang tidak dibiayai/tidak cukup dibiayai oleh pemerintah.

4

Muallaf

6,14%

Orang yang baru masuk Islam/mereka yang diharapkan

kecenderungan

hatinya

terhadap

Islam. 5

Riqāb

6

Gārimīn

0% 0,33%

Sementara tidak disediakan 1) Orang

miskin

yang

memerlukan

atau

mempunyai pengeluaran yang tidak terduga atau tidak dapat diatasi seperti biaya berobat dan musibah/bencana alam. 2) Bantuan darurat karena bencana alam.

105

Laporan Realisasi Penyaluran Zakat Per Desember 2016 Baitul Mal Aceh.

100

7

Fīsabīlillah

1,97%

Kegiatan menegakkan akidah umat; 1) Da‟i di daerah rawan. 2) Bantuan sarana dan operasional lembaga pendidikan pada masyarakat yang belum berdaya. 3) Membangun

tempat

peribadatan

yang

disesuaikan dengan kebutuhan mendesak. 4) Bantuan publikasi untuk penguatan akidah. 8

Ibn Sabīl

29,98%

1) Lebih ditekankan kepada beasiswa untuk; a) Pelajar miskin berprestasi. b) Pelajar miskin biasa dimulai dari tingkat SD s/d S1. c) Program

pelatihan

untuk

sebuah

kegiatan/keterampilan. 2) Bantuan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Tabel 3: Kriteria Mustahiq dan Prosentase Zakat Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa salah satu bagian yang mendapatkan prosentase zakat terbanyak dan diutamakan adalah bagian miskin, ibn sabīl dan fakir. Untuk bagian fakir dan miskin disalurkan di daerah Banda Aceh dan Aceh Besar sedangkan bagian yang lainnya dapat disalurkan di luar Banda Aceh dan Aceh Besar.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN ZAKAT SEBAGAI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI BAITUL MAL ACEH

A.

Permasalahan

yang

Terjadi

dalam

Pengelolaan

Zakat

Sebagai

Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh

Zakat merupakan salah satu pilar agama yang wajib ditunaikan bagi setiap umat Islam yang mampu. Islam menempatkan zakat sebagai rukun Islam memiliki tujuan yang sangat fundamental dalam kehidupan ekonomi masyarakat yaitu sebagai instrumen kepastian hukum untuk menjamin aliran kekayaan kepada kelompokkelompok yang membutuhkan yang berguna untuk menyelematkan jiwa manusia. Ketentuan pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Aceh adalah seperti sebuah kebijakan fiskal atau yang sering disebut dengan politik fiskal yang pernah diterapkan oleh Rasulullah SAW. Kebijakan fiskal sendiri adalah langkahlangkah pemerintah untuk mengelola perekonomian ke kondisi yang lebih baik dengan cara merubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.

106

Oleh karena itu pemerintah

dalam menentukan kebijakannya harus menyesuaikan pengeluaran dan pendapatan yang diperoleh dari berbagai jenis pajak dan pendapatan lainnya agar tidak terjadi defisit anggaran. Dengan begitu kebijakan fiskal juga bisa diartikan sebagai tindakan

106

Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam, hlm. 149.

101

102

yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara yang bertujuan untuk memperlancar jalannya perekonomian. Pada zaman Rasulullah sendiri penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara terdiri dari kharaj (sejenis pajak tanah), zakat, khums (pajak 1/5), jizyah (sejenis pajak atas badan orang nonmuslim) dan penerimaan lainnya seperti kaffarah. Sedangkan pengeluaran Negara terdiri dari pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan ahkam, kesejahteraan sosial dan belanja pegawai. 107 Namun sistem pemerintahan pada masa tersebut sangat berbeda dengan kondisi dan sistem pemerintahan sekarang. Pada masa Rasulullah zakat yang terkumpul langsung dibagikan kepada yang berhak menerima berdasarkan instruksi Rasulullah SAW, tidak ada pencatatan yang rinci dan rumit, karena pendapatan dari zakat juga belum melimpah seperti pada saat ini. Hukum Islam yang memerintahkan kepada penguasa/pemerintah untuk mengatur, mengelola, menyalurkan zakat kepada mustahik, sebagaimana praktek yang telah dilakukan oleh Rasulullah, sahabat serta tabi’in terdahulu, hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat at-taubah ayat 130. Namun sistem pemerintahan di orde ini tentu saja berbeda dengan sistem pemerintahan pada masa Rasulullah SAW, yang telah terpisah oleh jarak dan waktu yang sangat jauh serta sosial ekonomi masyarakat pun juga berbeda.

107

Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 25.

103

Dengan dijadikan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah Aceh telah berimbas langsung terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal Aceh sebagai lembaga resmi pemerintah yang berwewenang mengelola zakat, baik hal positif maupun berimbas negatif. Adapun hal positif yang diperoleh oleh Baitul Mal Aceh dalam mengelola zakat adalah sebagai berikut: a. Dalam hal pemungutan zakat penghasilan dari muzakki Baitul Mal Aceh mendapatkan kemudahan karena dengan dijadikan zakat sebagai PAD telah dapat memberikan pemahaman kepada semua kalangan bahwa zakat yang selama ini dipungut oleh pemerintah didominasi dari zakat penghasilan para PNS dan penghasilan dari jasa serta profesi-profesi lainnya yang masih diperselisihkan. Dengan begitu diharapkan polemik yang terjadi terhadap kewajiban zakat dari sumber-sumber tersebut dapat dihilangkan108 dan dapat menigkatkan pendapatan zakat dari sumbersumber tersebut. b. Dengan menjadikan zakat sebagai PAD maka bisa menjadi salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam upaya penguatan kelembagaan Baitul Mal Aceh, sehingga zakat bisa disejajarkan dengan pajak dari segi pemungutannya yaitu dapat diawasi secara ketat dan dapat dipungut dengan tegas. Pemerintah bahkan bisa memaksakan setiap muzakki yang tidak membayar zakat, karena berdasarkan filosofi zakat pada dasarnya 108

Zakat profesi menjadi salah satu jenis zakat yang masih diperselisihkan/terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Aceh.

104

harus dijemput dan dapat diberikan sanksi kepada orang muzakki yang tidak membayar zakat. oleh karena itu dapat dipahami bahwa dijadikannya zakat sebagai PAD merupakan salah satu cara pemerintah untuk pemungutan zakat yang terintegrasi dalam sistem keuangan daerah dan merupakan sebuah kontribusi pemerintah dalam perzakatan di Aceh. c. Baitul Mal Aceh mendapatkan dukungan dana dan fasilitas penuh dari pemerintah provinsi, baik untuk biaya pemungutan, penyaluran dan pendayagunaan zakat, serta biaya oprasional Baitul Mal lainnya, sehingga dana zakat lebih banyak yang bisa disalurkan karena tidak adanya pemotongan terhadap bagian ‘āmil jadi semua zakat sepenuhnya untuk mustahik.109 Sedangkan imbas negatif/kendala yang dihadapi oleh Baitul Mal Aceh dalam mengelola zakat sebagai Pendapatan Daerah di antaranya adalah sebagai berikut: a. Pengelolaan zakat dalam Islam pada dasarnya bukan berdasarkan UndangUndang atau Perda (Qanun), tetapi berdasarkan ketentuan syariah (alQurān dan ḥadīṡ). Namun dalam pengelolaan zakat di Baitul Mal Aceh harus tunduk sepenuhnya kepada Undang-Undang dan Qanun serta aturan-aturan lain yang berkaitan dengan pengelolaan zakat dan ketentuan keuangan daerah. Hal ini dapat dilihat dari prosedur/mekanisme pencairan dana zakat yang telah dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah harus 109

Wawancara dengan Bobby Novrizan, S.Si sebagai Kepala Sub Bidang Pengawasan Baitul Mal Aceh, pada hari Kamis 09 Februari 2017 di Kantor Baitul Mal Aceh.

105

mengikuti aturan keuangan daerah dan disamakan dengan Pendapatan Asli Daerah lainnya, kendatipun mekanisme pemungutan dan penyalurannya tetap sesuai dengan ketentuan syariah. b. Dalam hal menyalurkan dana zakat, Baitul Mal Aceh harus menunggu pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh, setelah itu Baitul Mal Aceh baru dapat melaksanakan penyaluran zakat, sedangkan mustahik secara terus menerus memerlukan bantuan dana zakat, ketika menunggu pengesahan APBA maka program Baitul Mal yang bersifat berkelanjutan, seperti

beasiswa santri/mahasiswa binaan tidak bisa melanjutkan

pendidikan karena dana yang disalurkan oleh Baitul Mal tersendat dan pada tahun 2016 Baitul Mal tidak dapat menjalankan programnya selama lima bulan karena harus menunggu proses pencairan dana zakat sehingga akan menghambat penyaluran dana zakat dan hal ini menimbulkan

mudharat yang cukup besar kepada mustahik. c. Jumlah zakat yang disalurkan tidak harus sama dengan jumlah yang diterima karena wajib terikat dengan platform yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh. Apabila realisasi penerimaan zakat lebih besar dari zakat yang direncanakan sebagaimana yang disahkan dalam DPA Sekretariat Baitul Mal Aceh, maka dana zakat yang lebih dari perencanaan tidak dapat ditarik atau dicairkan menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk anggaran tahun mendatang. Hal ini

106

disebabkan proses pencairan dana zakat tersebut harus mengikuti mekanisme perencanaan yang sudah ada. Demikian juga jika jumlah zakat yang diterima lebih sedikit dari yang direncanakan (sedangkan platform anggaran sudah ditetapkan dalam DPA), maka pengeluaran pada pos zakat dalam DPA tersebut bukanlah semuanya dana zakat, melainkan dari sumber lain yang tidak diketahui namun sah digunakan menurut aturan tata kelola keuangan negara. d.

Dalam hal pengadaan barang dan jasa pada program zakat produktif yang dilakukan oleh Baitu Mal masih menuai kontroversi karena harus mengikuti mekanisme pengadaan barang dan jasa seperti yang di atur dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015, perubahan keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Pilihannya harus melalui pola tender, penunjukan langsung, dan swakelola, harus melalui kepanitiaan yang bersertifikat. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan syariah karena uang zakat yang digunakan untuk menanggung biaya administrasi tender, jasa konsultan dan pengawas, insentif panitia tidak ada hubungannya dengan mustahik zakat. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2016, ketika masuk pada masa anggaran penyaluran dana tunai. Adapun program yang ingin dijalankan oleh Baitul Mal adalah kegiatan penyaluran alat kerja, namun dana zakat yang akan digunakan terdapat pada kode rekening uang tunai sehingga

107

pihak Baitul Mal mengalami kesulitan untuk mencocokkannya. Baitul Mal harus mengundang mustahik datang ke Baitul Mal untuk mengambil zakat berupa dana tunai untuk membeli sendiri barang/alat kerja yang diperlukan sesuai dengan arahan Baitul Mal. Ketika uang telah diserahkan maka mustahik tersebut memberikan KTP dan dalam waktu dua hari setelah penyerahan dana tunai mustahik berkewajiban melaporkan kembali ke Baitul Mal dengan menyerahkan bukti pembelian barang beserta foto barang tersebut. Dalam hal ini seharusnya Baitul Mal bisa membeli sendiri barang yang ingin disalurkan ke mustahik, namun karena pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah

dan harus tunduk

kepada Peraturan Daerah maka Baitul Mal tidak dapat melakukannya. 110 B.

Tinjaun Maqāṣid Asy-Syarī’ah Terhadap

Permasalahan yang Terjadi

dalam Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa walaupun dijadikan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah memiliki beberapa kelebihan, namun ternyata kendala yang dihadapi oleh Baitul Mal Aceh lebih besar dan telah berimbas langsung terhadap muzakki dan mustahiq zakat. Dapat dipahami adalah satu tujuan zakat dijadikan Pendapatan Asli Daerah adalah usaha preventif pemerintah terhadap dana

110

Wawancara dengan Ade Irnami, ST sebagai Kepala Bidang Sosialisasi dan Pengembangan Baitul Mal Aceh, pada hari Kamis 09 Februari 2017 di Kantor Baitul Mal Aceh.

108

zakat agar dapat dikelola dengan baik dan bisa terhindar dari penyalahgunaan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, namun yang tidak kalah penting adalah melihat akibat yang ditimbulkan khususnya bagi Baitul Mal Aceh sebagai pengelola zakat, muzakki sebagai pihak yang mengeluarkan zakat dan mustahiq sebagai pihak yang paling membutuhkan dana zakat tersebut. Pengumpulan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal Aceh telah sesuai dengan ketentuan syariah sebagaimana yang di terangkan dalam surat at-Taubah ayat 103, yang memerintahkan pemungutan zakat oleh penguasa, dan dalam hal ini Baitul Mal Aceh adalah amilnya pemerintah Aceh. Adapun jenis-jenis zakat yang dipungut oleh Baitul Mal Aceh meliputi zakat penghasilan dan zakat mal. Dalam pengumpulan zakat Baitul Mal Aceh tidak mengalami kendala, namun karena zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah maka zakat tersebut harus disetor ke Bendahara Umum Aceh. Dalam hal pemungutan zakat penghasilan dari muzakki khususnya Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 6 Tahun 2011 bahwa pemotongan gaji secara langsung dilakukan jika terpenuhinya syarat nishab yaitu jumlah penghasilan yang dikenakan zakat dalam satu tahun setara dengan 94 gram emas murni atau setiap bulan dikenakan zakat 1/12 dari 94 gram emas yaitu 7,83 gram, di mana nilai uangnya ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Baitul Mal Aceh sesuai dengan perkembangan harga emas rata-rata yang sedang berlaku di pasaran.

109

Berdasarkan gagasan di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam memungut zakat penghasilan khususnya dari PNS hanya melihat dari syarat terpenuhinya nishab zakat tanpa memperimbangan persyaratan lainnya seperti terbebas dari hutang dan lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Padahal Islam sendiri tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nisab, bersih dari hutang serta kelebihan dari kebutuhan pokok pemiliknya. Ketiga syarat tersebut harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menentukan muzakki yang wajib zakat karena apabila zakat diwajibkan kepada PNS tanpa mempertimbangkan syarat lain selain nishab maka akan menimbulkan kedhaliman sehingga dapat membahayakan jiwa dan harta muzakki beserta tanggungannya (keluarganya). Pada dasarnya dalam kewajiban zakat harus terwujudnya keadilan secara holistik dalam berbagai dimensi sosial, terutama dalam menjamin kelangsungan hidup baik dari sisi muzakki maupun mustahiq sebagaimana tujuan maqāṣid asy-syarī’ah. Baitul Mal Aceh sebagai pihak pengelola zakat mengalami kesulitan dalam mengelola zakat yang dijadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah, khususnya dalam melakukan pencairan dana dari Kas Umum Aceh yang berimbas langsung pada penyaluran zakat yang tertunda, sehingga akibat yang ditimbulkan adalah kemudharatan yang lebih besar daripada kemashlahatannya. Hal ini tentu berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh syariat zakat yaitu menjamin terpenuhinya

110

kebutuhan mustahik guna untuk menyelamatkan jiwa manusia (ḥifẓu an-nafs) yang merupakan salah satu dari tujuan maqāṣid asy-syarī’ah. Dalam pendistribusian zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah, tetap diperuntukkan untuk mustahik zakat sebagaimana dalam surat at-taubah ayat 60 dan tidak disalurkan kepada kepentingan umum, selain itu zakat juga memiliki rekening khusus tersendiri dan tidak bercampur dengan Pendapatan Asli Daerah lainnya seperti pajak dan lain-lain. Namun dalam mekanisme pencairan dana zakat yang telah di catat sebagai Pendapatan Asli Daerah masih mengikuti aturan sebagaimana mekanisme pencairan dana Pendapatan Asli Daerah lainnya. Hal ini berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh syariat yaitu mencapai kesejahteraan dan memberantas

hal-hal

yang merusak dan membahayakan

masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa kepentingan umum (maṣālih mursalah) harus dijadikan patokan hukum di samping usaha 111

preventif (saddul żarī’ah).

Dalam al-Qur’ān tentang zakat disebutkan dengan singkat, tidak dijelaskan harta apa saja yang wajib zakat, besar zakat serta syarat-syarat zakat, hal ini dijelaskan dalam sunnah Rasulullah SAW. Namun al-Qur’ān telah memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu harus diberikan yang tertuang dalam surat at-Taubah ayat 60. Hal ini mengidentifikasikan bahwa sangat penting ke

111

Yususf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm. 28.

111

mana harta zakat itu harus dikeluarkan, sehingga perhatian pertama ditujukan kepada golongan

yang

sangat

membutuhkan,

bagian

terbesar

harta

zakat

khusus

diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerima.

Dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah jika ditinjau dari maqāṣid asy-syarī’ah maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal Aceh lebih banyak menimbulkan problematika yang dapat membahayakan jiwa mustahiq zakat, karena mustahiq zakat khusunya fakir dan miskin adalah pihak yang paling merasakan efek dari peraturan tentang zakat yang dijadikan Pendapatan Asli Daerah, ketika Baitul Mal Aceh mengalami kendala dalam pencairan dana zakat dari Kas Umum Aceh maka zakat yang harus disalurkan juga tertahan, sedangkan mustahiq memerlukan dana zakat tersebut untuk bertahan hidup dan tidak boleh terjadi keterlambatan penyaluran dana zakat, apabila terjadi keterlambatan maka akan mengancam

kehidupan (jiwa)

mustahiq. Hal

pemeliharaan jiwa mustahiq terabaikan.

tersebut

telah mengakibatkan

BAB V PENUTUP A.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan diuraikan sebelumnya sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Adapun Problematika pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh adalah dalam mekanisme pencairan dana zakat yang telah dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah harus mengikuti aturan keuangan daerah dan disamakan dengan Pendapatan Asli Daerah lainnya, pada penyaluran dana zakat Baitul Mal Aceh harus menunggu pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh sedangkan mustahiq secara terus menerus memerlukan bantuan dana zakat, jumlah zakat yang disalurkan tidak harus sama dengan jumlah yang diterima karena wajib terikat dengan platform yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh. Dalam hal pengadaan barang dan jasa pada program zakat produktif

yang dilakukan oleh Baitu Mal masih menuai kontroversi

karena harus mengikuti mekanisme pengadaan barang dan jasa sehingga Baitul Mal Aceh mengalami kesulitan dalam merealisasikan program tersebut. 2. Dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah jika ditinjau dari maqāṣid asy-syarī’ah maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal

Aceh

lebih

banyak

menimbulkan

112

problematika

yang

dapat

113

membahayakan jiwa mustahiq zakat, karena mustahiq zakat khusunya fakir dan miskin adalah pihak yang paling merasakan efek dari peraturan tentang zakat yang dijadikan Pendapatan Asli Daerah, ketika Baitul Mal Aceh mengalami kendala dalam pencairan dana zakat dari Kas Umum Aceh yang berimbas pada terkendalanya proses penyaluran zakat kepada mustahiq, sedangkan mustahiq memerlukan dana zakat tersebut untuk bertahan hidup dan tidak boleh terjadi keterlambatan penyaluran dana zakat, apabila terjadi keterlambatan maka akan mengancam kehidupan (jiwa) mustahiq. Hal tersebut telah mengakibatkan pemeliharaan jiwa mustahiq terabaikan. Hal ini tentu berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh syariat zakat yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan mustahik guna untuk menyelamatkan jiwa manusia ( ḥifẓu an-nafs) yang merupakan salah satu dari tujuan maqāṣid asy-syarī’ah. B.

Saran

Adapun beberapa saran yang bisa disampaikan ke berbagai pihak sebagai berikut: 1. Zakat merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan ekonomi, khususnya ekonomi mustahiq zakat, dijadikan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24 Qanun Aceh No.10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal harus dilihat kembali oleh pemerintah Aceh, sehingga Qanun ini dapat direvisi berdasarkan berbagai pertimbangan permasalahan yang timbul dalam implementasinya.

114

2. Penelitian tentang implementasi zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah dari tinjauan hukum Islam masih memiliki peluang untuk diteliti lebih lanjut oleh peneliti yang lain yaitu dengan membandingkan pengelolaan zakat yang ada di Aceh dengan pengelolaan zakat di wilayah lain Indonesia, hal ini untuk melihat kinerja dan keberhasilan lembaga-lembaga pengelola zakat, sehingga diharapkan bisa menjadi salah satu referensi bagi pemerintah untuk kemajuan perzakatan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA A. Al-Qur’an

Departemen Agama RI, Al-Qur ān dan Terjemah, Semarang: Toha Putra, TT. B. Al-Hadis

Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah, al-Jami’ as- Ṣahih Wa Huwa Sunan alTirmiżi, Jilid III, Beirut, Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M C. Fikih

Abu Bakar, Al Yasa’, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Aflah, Kuntarno Noor dan Mohd. Nasir Tajang, Zakat dan Peran Negara, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), 2006. Aflah, Noor, Arsitektur Zakat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2009. Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1998. Arif, M. Nur Rianto Al, Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori, dan Analisis , Bandung: Alfabeta, 2010. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Reineka Cipta, 1998. Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Dakhoir, Ahmad, Hukum Zakat: Pengaturan dan Integrasi Kelegembaan Pengelolaan Zakat dengan Fungsi Lembaga Perbankan Surabaya: Aswaja Pressindo, 2015. Darise, Nurlan, Pengelolaan Keuangan Daerah: Pedoman untuk Eksekutif dan Legislatif, Rangkuman 7 Undang-Undang, 30 Peraturan Pemerintah dan 15 Permendagri, edisi ke-2, Jakarta: Indeks, 2009. ____________, Pengelolaan Keuangan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Badan Layanan Umum Jakarta: Indeks, 2009. Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

115

116

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Hadi, Muhammad, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya: Sebuah Tinjauan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. ___________, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta: Gema Insani Press, 2007. Halim ,Abdul dan Muhammad Syam Kusufi, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, (Jakarta: Salemba Empat, 2014. Huda, Nurul, dkk, Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta: Kencana, 2012. ______________, Zakat Perspektif Mikro-Makro; Pendekatan Riset, Jakarta: Kencana, 2015. Inayah, Gazi, Al-Iqtisad Al-Islami Az-Zakah wa Ad-Daribah, terj. Zainudin Adnan dan Nailul Falah, Teori tentang Zakat dan Pajak , Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003. Jaya, Asafri, Konsep Maqashid Grafindo Persada, 1996.

Syari'ah

Menurut al-Syatibi Jakarta: Raja

K. Lubis, Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Kafh, Monzar, Ekonomi Islam, Tela’ah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1955. Karim, Adiwarman Aswar, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Mawardi, Ahmad Imam, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan Yogyakarta:Lkis, 2010. Mardani, Ushul Fiqh Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013. Mufraini, Arief, Akuntansi dan Manajemen Zakat; Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006. Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo, 2008. Mujahidin, Ahmad, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

117

Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusis Ekonomi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2007. Qadir, Abdurrachman, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, cet.ke-2, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002. Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh Jakarta: Kencana, 2011. Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas Malang: UIN Malang Press, 2007. Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta:Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2005.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cet. ke-23, Bandung: Alfabeta, 2016. Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat; Studi Komparatif Mengenal Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan al-Qur’ān dan al-Hadīṡ, terj.Salman Harun, dkk, cet.ke-11, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2010. Zuhaili, Wahbah az-, Fiqh Islam wa Adillatuhu,Jilid 3, terj. Abdul Hayyie alKattani, dkk Jakarta: Gema Insani, 2011. _____________, Zakat dalam Berbagai Mazhab, terj.Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.

D. Peraturan Perundang-undangan

Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 44 tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh. Departemen Dalam Negeri, Undang-undang RI, Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.

118

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. E. Lain-lain

Abu Bakar Al Yasa’ , Senif Penerima Zakat: Sebuah Upaya Untuk Reinterpretasi, Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Pengelolaan Zakat, Jurnal Media Syari’ah dan Fakultas Syariah & Ekonomi Islam UIN Ar Raniry bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh, di Banda Aceh 13-14 Agustus 2014 M., bertepatan 17-18 Syawwal 1435 H. Armiadi, Musa, Kontribusi Pemerintah dalam Pengelolaan Zakat di Aceh (kontentasi Penerapan Asas Lex Specialis dan Lex Generalise), Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Pengelolaan Zakat, Jurnal Media Syari’ah dan Fakultas Syariah & Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh, di Banda Aceh 13-14 Agustus 2014 M., bertepatan 17-18 Syawwal 1435 H. Djuned, TM. Daniel, Baitul Mal Lembaga Resmi Pengelola Zakat, makalah disampaikan pada Raker Bimtek Baitul Mal se-Prov NAD 11-12 Juli 2006, Asrama Haji Banda Aceh. El Wafa, Faqih, Pemahaman Zakat Produktif Pada Lembaga Ami Zakat di Kota Yogyakarta (Studi Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat), Tesis Program Pascasarjana Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Fuadi, “Urgensi Pengaturan Zakat: Evaluasi Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan Terhutang ( Taxes-Credit ) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh” , Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Asy-Syir’ah, No. 2, Th. XLVIII, Desember 2014. Purbasari, Indah, Pengelolaan Zakat oleh Badan dan Lembaga Amil Zakat di Surabaya dan Gersik’, Jurnal Mimbar Hukum No 1, Th. XXVII Februari 2015. Setya Budi, Iman, Tata Kelola Zakat - Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.

Lampiran 1: Terjemahan Al-Qur’an TERJEMAHAN

No

Hal

Terjemahan BAB I

1

1

2

2

No

Hal

3

19

4

20

5

21

6

22

7

22

8

23

9

23

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

BAB II

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya jiwa itu. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan Menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan yang dalam dan hartanya bagian tertentu, bagi orangorang-orang (miskin) yang meminta orangtersedia yang tidak mempunyai apaapa (yang tidak mau meminta). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa Dan dan apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-

10

32

11

44

12

48

13

49

14

49

Nya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. Sesungguhnya Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an? Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhai-Nya”. Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan dari sebagian harta-harta mereka untuk disedekahkan. Diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir. Apabila mereka menaatimu dalam hal ini, maka peliharalah akan kedermawaan harta mereka dan takutlah akan doa orang yang teraniaya. Sungguh tidak ada penghalang antara doa mereka itu dengan Allah. Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang, katakanlah harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan dan apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Lampiran 2 : Daftar Riwayat Hidup DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin No HP e-mail Kebangsaan Status Agama Alamat Nama Ayah Nama Ibu Nama Suami

: Wilda Agustia, S.Sy : Meureudu/08 Agustus 1992 : Perempuan : 0852 6011 1801 : [email protected] : Indonesia : Menikah : Islam : Jl.Iskandar Muda, Meureudu, Pidie Jaya, Aceh. : M.Yusuf (Alm) : Jumiati : Muhammad Ediyani, M.Pd.

B. Riwayat Pendidikan Pendidikan Formal a. SD b. SMP

: Sekolah Dasar Negeri 5 Meureudu : SMP Negeri 1 Meureudu

(1998-2004) (2004-2007)

c. SMA : MA Swasta Ruhul Islam Anak Bangsa Aceh Besar (2007-2010) d. S1 : UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2010-2015) e. S2 : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2015-2017) C. Prestasi/Penghargaan Predikat Cumlaude Terbaik dalamWisuda Periode Semester Ganjil Tahun Akademik 2014/2015 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh. D. Penelitian a. Analisis Pertanggungjawaban Risiko Pada Akad Mudharabah (Studi Kasus Toko Mabrur Jaya, Meureudu) b. Tinjauan Maqāṣid asy-Syarī’ah Terhadap Pengelolaan Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah di Baitul Mal Aceh

Yogyakarta, 12 April 2017

Wilda Agustia, S.Sy

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF