Edisi 3 No. 2, Apr – Jun Jun 2016, p.01-13
Paper Riset Singkat
Pengaruh Religiusitas terhadap Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta Andhika Utama 1 dan Dudi Wahyudi 2 1 Direktorat
2 Pusat
Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Pendidikan dan Pelatihan Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Slipi, Jakarta Barat 11480
(Diterima 23 Maret 2016; Diterbitkan 21 Mei 2016)
Abstract: Penelitian perilaku kepatuhan Wajib Pajak lebih banyak terfokus pada faktor nilai
eksternal individu. Faktor lain yang patut mendapat perhatian terkait perilaku kepatuhan Wajib Pajak adalah nilai internal individu. Salah satu nilai internal yang dapat menjadi faktor penentu kepatuhan perpajakan perpajakan adalah religiusitas. Religiusitas Religiusitas yang berwujud ajaran agama, mengajarkan hal-hal yang berguna untuk menjaga kejujuran individu dalam hal ini adalah Wajib Pajak. Penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa Religiusitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris bahwa religiusitas berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Dengan menggunakan responden Wajib Pajak yang berada di Provinsi DKI Jakarta, diperoleh bukti bahwa religiusitas mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak sukarela . kepatuhan wajib pajak, kepatuhan sukarela wajib pajak . Keywords: religiusitas, kepatuhan ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Corresponding author: Dudi Wahyudi, E-mail:
[email protected] [email protected],, Tel. +62-21-5481155.
Pendahuluan Kepatuhan perpajakan telah lama menjadi permasalahan bagi pemerintahan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Tingkat kepatuhan pajak yang rendah di Indonesia tercermin dari rendahnya tax ratio dalam beberapa tahun terakhir. Tax ratio Indonesia ratio Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dibandingkan dengan ratarata negara OECD di mana tax ratio negara-negara ratio negara-negara tersebut berkisar pada angka 30%. Sementara itu, jika dibandingkan dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih berada di bawah Malaysia (20,2%), Thailand (20,1%) dan Australia (33,3%). Selain tax ratio ratio yang masih rendah, kepatuhan pajak yang masih rendah ditandai dengan belum optimalnya kinerja penerimaan pajak berupa tidak tercapainya target penerimaan pajak selama lima tahun terakhir. Realisasi penerimaan pajak dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 tidak pernah mencapai target penerimaan.
1
Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com ) Edisi 3 No. 2, Apr – Jun 2016, p.01 – 13 ISSN: 2355-4118
Penerimaan pajak yang tidak mencapai target dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya tingkat kepatuhan perpajakan yang rendah. Penelitian mengenai kepatuhan perpajakan saat ini lebih menekankan pentingnya dampak dari faktor nonekonomi pada kepatuhan pajak. Faktor nonekonomi tersebut berasal dari dua perspektif (Mohdali, 2013). Perspektif pertama berasal dari nilai eksternal Wajib Pajak yang meliputi dampak atas tindakan pemerintah dan perlakuan otoritas pajak kepada Wajib Pajak. Perspektif kedua yaitu nilai internal yang berasal dari individu itu sendiri, terutama berasal dari nilai keluarga, budaya dan agama. Salah satu faktor nonekonomi yang kurang mendapatkan perhatian adalah religiusitas atau nilai agama (Mohdali, 2014). Nilai agama yang dianut oleh masyarakat diharapkan dapat mencegah sikap negatif serta mendorong sikap positif dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi religiusitas, hal ini dibuktikan dengan meletakkan Ketuhanan sebagai sila pertama sebagai dasar negara (Panggabean, 2015). Sila pertama Pancasila mengandung arti bahwa sila-sila yang lain harus berdasarkan nilai Ketuhanan. Oleh karenanya, nilai-nilai Ketuhanan yang berakar dari ajaran agama sangat erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sementara itu, hasil peta yang dirilis oleh Gallup International, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan religiusitas tinggi. Nilai religiusitas berdasarkan beberapa penelitian di luar negeri berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan Wajib Pajak, seperti Titel dan Welch (1983), Torgler (2006), serta Raihana Mohd Ali dan Jeff Pope (2014). Religiusitas berasal dari nilai-nilai keagamaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang mengajarkan perilaku kejujuran dan integritas terhadap setiap penganutnya (Panggabean, 2015). Mohdali (2013) menyebutkan dengan adanya peranan nilai agama, diharapkan dapat memacu perilaku positif dan mencegah perilaku negatif terhadap kepatuhan perpajakan sehingga mendorong naiknya perilaku kepatuhan Wajib pajak. Religiusitas menurut definisi Johnson et al. (2001) adalah “the extent to which an individual is committed to the religion he or she professes and its teachings, such that individual attitudes and behaviour reflect this commitment ”. Religiusitas menurut Johnson dipandang sebagai sejauh mana individu berkomitmen terhadap agamanya serta keimanan dan menerapkan ajarannya, sehingga sikap dan perilaku individu mencerminkan komitmen ini. Worthington et al. (2003), menyebut religiusitas atau komitmen beragama sebagai “the degree to which a person adheres to his/her religious values, beliefs and practices, and uses them in daily living . Religiusitas atau komitmen beragama dibagi menjadi dua jenis komitmen yaitu keagamaan intrapersonal yang berasal dari keyakinan dan sikap individu, dan komitmen agama interpersonal yang berasal dari keterlibatan individu dengan komunitas atau organisasi keagamaan. ”
Kepatuhan pajak pada umumnya didefinisikan sebagai situasi di mana Wajib Pajak membayar semua pajak yang diwajibkan pada waktu yang tepat dan melaporkan secara akurat sesuai dengan aturan, undang-undang dan keputusan pengadilan yang berlaku pada saat melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (Roth et al., 1989). Kepatuhan pajak juga dipengaruhi oleh niat yang mendasari Wajib Pajak baik berupa kepatuhan sukarela atau dipaksa oleh otoritas pajak (Kirchler dan Wahl, 2010). Perbedaan antara kepatuhan pajak sukarela dan dipaksakan dijelaskan dalam kerangka teori slippery slope yang menunjukkan interaksi dinamis antara pembayar pajak dan otoritas yang mengarah ke tugas yang dapat diterima dengan baik atau tugas berat (Kirchler, Hoelzl, dan Wahl, 2008). Mirip dengan kepatuhan pajak sukarela, moral pajak didefinisikan sebagai motivasi intrinsik untuk membayar
2
Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com ) Edisi 3 No. 2, Apr – Jun 2016, p.01 – 13 ISSN: 2355-4118
pajak seperti yang didefinisikan oleh Torgler dan Murphy (2004), mengacu pada prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang dipegang oleh individu mengenai pembayaran pajak mereka. Kepatuhan pajak dibedakan menjadi dua menurut Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008), yaitu Kepatuhan Pajak Sukarela (Voluntary Tax Compliance) dan Kepatuhan Pajak dipaksakan ( Enforced Tax Compliance). Kepatuhan Pajak sukarela merupakan keyakinan atau prinsip bahwa Wajib Pajak akan membayar pajak sesuai peraturan dan melaporkan penghasilan dan biaya dengan jujur. Wajib Pajak termotivasi untuk membayar pajak dengan benar dan tidak ada keinginan untuk melakukan kecurangan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008) mendefinisikan Kepatuhan Pajak Dipaksakan adalah kepatuhan yang timbul dari ketakutan terhadap pengawasan, pemeriksaan dan denda atau hukuman yang sangat berat bila tidak bekerjasama. Perbedaan antara kepatuhan pajak secara sukarela dan dipaksakan tercermin dalam motivasi untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan.
Religiusitas dan Kepatuhan Pajak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah religiusitas berpengaruh terhadap perilaku Kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi ketentuan Perundang-undangan Perpajakan. Religiusitas menjadi salah satu elemen potensial untuk menjelaskan perilaku kepatuhan pajak diawali dengan munculnya beberapa penelitian seperti Torgler (2003), Welch et al. (2005) dan Stack dan Kposowa (2006) yang menekankan pentingnya religiusitas. Dalam penelitian tersebut, religiusitas dipandang sebagai kepercayaan pada Tuhan atau keyakinan spiritual lainnya dalam menentukan sejauh mana orang memenuhi kewajiban pajak mereka sesuai hukum yang berlaku. Tittle dan Welch (1983) meneliti persepsi individu yang berupa hubungan religiusitas dan tindakan penyimpangan, yaitu penggelapan pajak. Penelitian tadi menyebutkan bahwa dengan mengetahui karakteristik umat beragama, maka akan diketahui pengaruh religiusitas individu pada perilaku menyimpang di masa yang akan datang. Welch, Tittle dan Petee (1991) menggunakan data yang dikumpulkan dari umat Katolik dan menjelaskan bahwa penggelapan pajak secara negatif berhubungan dengan religiusitas pribadi individu. Keyakinan agama yang kuat berpengaruh terhadap tindakan untuk mencegah perilaku ilegal melalui self-imposed guilt , khususnya dalam kasus penggelapan pajak (Grasmick, Bursik dan Cochran, 1991). Grasmick, Kinsey dan Cochran (1991) menjelaskan bahwa tidak hanya akibat dari banyaknya kehadiran di gereja terhadap kecurangan pajak, tetapi juga tingkat afiliasi agama sebagai indeks kepatuhan dalam beragama berpengaruh terhadap perilaku kecurangan pajak. Penelitian tadi menyebut bahwa orang yang tidak memiliki afiliasi beragama lebih cenderung untuk melakukan kecurangan pajak. Torgler (2003, 297) melakukan penelitian yang lebih luas mengenai peran religiusitas dan penelitiannya mengungkapkan bahwa moral pajak ( Tax Morale) dipengaruhi secara positif oleh religiusitas dengan menggunakan data World Value Survey (WVS) untuk tahun 1990 di Kanada. Torgler juga mengeksplorasi norma agama dalam rangka untuk memahami masalah kepatuhan pajak dengan mencakup lebih dari 30 negara menggunakan data dari WVS (Torgler, 2006). Penelitian dari Stack dan Kposowa (2006, 349) memperkuat kesimpulan bahwa orang-orang tanpa afiliasi keagamaan lebih mungkin untuk melakukan penipuan pajak sebagai kegiatan yang dapat diterima. Richardson (2008, 75) menggunakan sampel yang lebih besar dari 47 negara, menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara individu dengan tingkat religiusitas dan penggelapan pajak.
3
Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com ) Edisi 3 No. 2, Apr – Jun 2016, p.01 – 13 ISSN: 2355-4118
Penelitian mengenai kepatuhan pajak secara umum menunjukkan hubungan yang positif antara religiusitas dengan kepatuhan pajak atau hubungan negatif antara religiusitas dan penggelapan pajak. Namun demikian, penelitian oleh Welch et al. (2005) dan McKerchar et al. (2013) menunjukkan hasil yang berlawanan dengan penelitian sebelumnya. Persepsi penggelapan pajak dalam suatu masyarakat memiliki efek yang sama dalam anggota masyarakat terlepas dari tingkat kereligiusannya. Demikian pula, belum ditemukan bukti yang mendukung religiusitas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi moral pajak (McKerchar et al. 2013, 18). McKerchar menemukan bahwa integritas pribadi dianggap memiliki efek yang lebih kuat pada sikap kepatuhan pajak mereka dibandingkan dengan keyakinan agama. Meskipun masih menjadi perdebatan, penelitian secara umum menunjukkan bahwa religiusitas dapat memainkan peran penting dalam membantu pemerintah untuk memenuhi targetnya dalam membina kepatuhan pajak secara sukarela.
Metodologi Penelitian ini disusun dengan menggunakan responden Wajib Pajak Orang Pribadi yang berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota negara sekaligus sebagai miniatur Indonesia di mana penduduknya berasal dari berbagai Provinsi dan berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, Provinsi DKI Jakarta mempunyai penduduk dengan berbagai macam keyakinan agama yang dianut oleh penduduk Provinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta menurut Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2015 sejumlah 9.988.495 jiwa. Sementara itu, untuk jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 sejumlah 3.120.584 Wajib Pajak. Penelitian ini merujuk pada penelitian Mohdali dan Pope (2014) yang menggunakan metode kuantitatif dalam rangka menentukan hubungan antara religiusitas dengan kepatuhan pajak. Dengan demikian, penulis dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan survei kepada Wajib Pajak. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil survei. Data tersebut merupakan data yang diperoleh peneliti secara langsung. Data kuantitatif adalah data yang diukur dalam skala numerik (angka). Sumber data utama dalam penelitian ini diperoleh dari Wajib Pajak di Provinsi DKI Jakarta dan Direktorat Jenderal Pajak, mengenai data tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Data diperoleh dengan menggunakan survei dengan membagikan kuesioner kepada responden. Pengukuran menggunakan Skala Likert untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang tentang fenomena sosial (Soegeng 2006, 37). Dalam desain pengukuran ini, penulis menetapkan nilai untuk masing-masing titik skala, antara 1 sampai dengan 5. Jumlah populasi atau Wajib Pajak Orang Pribadi pada semua Kantor Wilayah di lingkungan Provinsi DKI Jakarta adalah 3.120.584 Wajib Pajak. Ukuran sampel ditentukan dengan mengacu pada tabel yang dibuat oleh Krejcie dan Morgan (1970). Berdasarkan tabel ini, ukuran sampel ditentukan menjadi 384 untuk populasi 800 ribu Wajib Pajak Orang Pribadi. Namun demikian, ukuran sampel antara 150 sampai dengan 200 dianggap sudah cukup untuk menggambarkan populasi yang besar karena ukuran sampel tambahan hanya akan memberikan dampak yang tidak signifikan (Fowler, 1993 dalam Mohdali, 2013). Fowler menyarankan bahwa populasi 15.000 atau 15 juta dapat dijelaskan dengan hanya 150200 responden karena tingkat akurasinya sama. Atas dasar ini, ukuran sampel penelitian dianggap memadai dengan jumlah 150 sampai 200.
4
Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com ) Edisi 3 No. 2, Apr – Jun 2016, p.01 – 13 ISSN: 2355-4118
Teknik pengambilan sampel yang penulis gunakan adalah teknik sampel nonprobabilitas, yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono 2008, 122). Teknik sampel nonprobabilitas yang digunakan adalah sampling insidental ( convenience sampling) dan sampel terpilih ( judgement sampling ). Sampling insidental didefiniskan (convenience sampling) sebagai teknik penentuan secara insidental responden bertemu dengan peneliti dan dipandang cocok sebagai sumber data. Sampel terpilih dapat didefinisikan sebagai tipe penarikan sampel yang mana sumber data yang hendak diteliti dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti (Sugiyono 2008, 122). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis kuantitatif. Metode analisis data yang akan digunakan adalah regresi linier sederhana yang digunakan untuk mengukur pengaruh antara variabel bebas (independent variable) yaitu religiusitas terhadap variabel terikat ( dependent variable) yaitu kepatuhan Wajib Pajak. Penjelasan tambahan akan penulis lakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda untuk mengukur pengaruh religiusitas intrapersonal dan religiusitas interpersonal terhadap Kepatuhan Pajak Sukarela ( Voluntary Tax Compliance) pada model I dan Kepatuhan Pajak Dipaksakan ( Enforced Tax Compliance) pada model II. Penulis juga melakukan uji asumsi klasik sebagai prasyarat uji regresi linear. Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Sementara itu, uji statistik t dan uji statistik f juga dilakukan. Uji t digunakan untuk menguji secara parsial masing-masing variabel. Hasil uji t dapat dilihat pada tabel coefficient s pada kolom sig (significance). Uji statistik F menunjukkan apakah semua variabel independen mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali 2013, 98). Penulis juga mengamati koefisien korelasi maupun koefisien determinasi pada hasil pengujian statisktik.
Hasil Responden dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta. Jumlah keseluruhan responden dalam survey adalah 296 responden. Mayoritas responden yang menjadi sample dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 78,72% dari total responden. Kelompok rentang usia responden terbesar adalah 25-44 tahun berjumlah 256 orang atau 86,5% total responden. Mayoritas responden dalam penelitian ini berasal dari suku jawa yang berjumlah 209 orang atau 70,61 %. Mayoritas agama responden, beragama Islam, dengan jumlah responden sebanyak 88,51% dari sampel. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden, 127 orang atau 42,91% total responden, memiliki tingkat pendidikan Diploma (DI atau Dimploma III). Jenis pekerjaan terbanyak pada responden adalah sebagai pegawai baik pegawai negeri sipil atau pegawai swasta yang berjumlah 98,99%. Dari data responden yang telah diolah, diberikan penjabaran atas masing-masing komponen dari kepatuhan Wajib Pajak maupun religiusitas, baik interpersonal dan intrapersonal. Dimensi Kepatuhan Perpajakan Sukarela (Voluntary Tax Compliance) menunjukkan bahwa mayoritas responden setuju jika membayar pajak yang berlaku merupakan tugas sebagai warga negara, tanggung jawab dan untuk mendukung/support negara. Untuk dimensi Kepatuhan Perpajakan Dipaksakan ( Enforced Tax Compliance) menunjukkan bahwa mayoritas responden setuju untuk membayar pajak jika ada hukuman yang berat bagi penggelap pajak serta ketakutan akan hancurnya reputasi jika tertangkap jika tidak mengikuti aturan perpajakan.
5
Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com ) Edisi 3 No. 2, Apr – Jun 2016, p.01 – 13 ISSN: 2355-4118
Dimensi religiusitas intrapersonal menunjukkan bahwa mayoritas responden setuju jika agama menjawab banyak pertanyaan mengenai makna kehidupan. Sementara itu dari dimensi religiusitas intrapersonal, menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 248 partisipan atau sekitar 83,8% merasa nyaman jika menghabiskan waktu bersama orang-orang dan kelompok agama. Hal tersebut menunjukkan peranan afiliasi/ kelompok yang sangat besar bagi responden. Tabel 1. Hasil Uji Beda Jenis Pekerjaan. Item Pekerjaan Mean Standar Deviasi PNS
31,16
4,49
Swasta
31,95
3,77
Usaha Sendiri
27,0
10,15
T-statistik (p-value) PNS Pegawai Swasta Usaha Sendiri -0,841 1,57 (0,401) (0,12) 0,841 1,75 (0,401) (0,09) -1,57 -1,75 (0,12) (0,09)
Sumber: olahan data SPSS Uji beda (t-test) digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda (Ghozali, 2013). Tujuan penggunaan uji beda t-test ini adalah untuk membandingkan rata-rata antara dari beberapa faktor demografi untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata dan seberapa signifikan perbedaan tersebut. Pada penelitian ini penulis melakukan uji t-test pada faktor demografi berupa tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Hasil uji beda t-test untuk faktor demograsi jenis pekerjaan ditampilkan dalam Tabel 1. Perbedaan tingkat kepatuhan pada PNS tidak signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan pegawai swasta dan usaha sendiri dengan t-statistik sebesar 0,841 dan p-value 0,401 untuk PNS dan Swasta serta untuk PNS dan Usaha Sendiri dengan t-statistik sebesar 1,75 dan p-value 0,09. Selain itu, perbedaan pegawai swasta dan usaha sendiri tidak signifikan secara statitik dengan t-statistik sebesar 1,75 dan p-value 0,09. Tingkat kepatuhan PNS dan pegawai swasta lebih tinggi jika dibandingkan dengan usaha sendiri. Penulis melakukan uji asumsi klasik sebagai prasyarat analisis regresi linear. Penulis melakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data terdistribui normal dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Nilai signifikansi hasil uji Kolmogorov-Smirnov (Asymp. Sig. [2-tailed]) untuk persamaan regresi linear sederhana adalah 0,695, melebihi batas signifikansi 0,05. Sedangkan untuk persamaan regresi linear berganda pada model I nilai signifikansi hasil uji Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,056 dan pada model II nilai signifikansi hasil uji Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,509. Hasil tersebut menyatakan bahwa baik untuk persamaan regresi linear sederhana dan persamaan regresi linear berganda (model I dan model II), datanya terdistribusi normal. Uji linearitas untuk mengetahui apakah spesifikasi model yang digunakan sudah bersifat linear. Penulis menggunakan Uji Durbin Watson pada pada taraf signifikansi 0,05. Jika nilai dari uji D-W (d) kurang dari dL maka terdapat autokorelasi positif, jika dU