Ushul Fiqh Al Masyaqqah at Tajlib at Taysir

November 8, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Ushul Fiqh Al Masyaqqah at Tajlib at Taysir...

Description

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan  sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal ( Rahmatan li li al-„Alamin al-„Alamin), ), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit. Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu‟amalah), mu‟amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek  yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya. Dalam  penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “ Kesulitan itu mendatangkan kemudahan”. kemudahan ”. Yang dikenal dengan nama:

.

Qa‟idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar‟i didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa‟idah fiqhiyah, Qa‟idah ini juga menjadi Qa‟idah ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa‟idah yang memiliki sifat qath‟y, qath‟y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan tumpuannya sangant sempurna. Sesungguhnya syari‟ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai

1

dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik syari‟ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari‟ah Islam. Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh  berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan. B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah: 1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir ? 2. Bagaimanakah tanggapan Al-Qur‟an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir ? 3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi? C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh  penyusun adalah untuk mengetahui: 1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir  dan memahaminya. 2. Mengetahui tanggapan Al-Qur‟an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir. 3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.

2

BAB II PEMBAHASAN

1.1

Pengertian Kaidah

Secara

bahasa,

al-masyaqqat   berarti

al-ta‟b

(kelelahan,kepenatan,

keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir  adalah al-subulat  (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah). 1 Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :

“ Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan  sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari‟at meringankannya sehingga bebab tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesus ahan.” 2 Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari‟ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. 3 2.1

Sumber Hukum

2.1.1 Al Qur‟an4 a. Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan:

‫ﷲ‬ 1

Mubarok, Jaih,  Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 139. 2 Ibid., hlm 139. 3 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55. 4 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 173-175

3

Artinya: “Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak  mencintai kesulitan bagimu sekalian”.  b. Surat Al Hajj ayat 78 dinyatakan:

Artinya: “Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian  suatu kesempitan dalam urusan agama”. c. Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

‫ﷲ‬ Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu  sekalian”. d. Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat 28 dinyatakan:

‫ﷲ‬ Artinya: “Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian” . 2.1.2 Al Hadits5 Banyak

sekali

hadits

Nabi

saw.

yang

menjadi

dasar 

terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah: a.



﴿

“Kalian semua (  kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan” . (H.R. Bukhari-Muslim)  b. Hadits riwayat Imam Ahmad ra.:

‫ﷲ‬

:

‫ﷲ‬

‫ﷲ‬

 Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah.” (kata -kata itu) diucapkan tiga kali. c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:

‫ﷲ‬

5

‫ﷲ‬

‫ﷲ‬

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177

4

“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama  yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”. d. Hadits yang berbunyi:

“Permudahlah dan jangan menyulitkan” . e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:

“Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak  berhak dan dengan membawa ajaran yang mudah” . Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang seputar kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi saw. Namun kelima hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan  parameter, bahwa Islam bukanlah agama yang sulit. Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas, maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir  yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan  besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan al-Sya‟bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt.  Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat dip eroleh. 3.1

Masyaqqah

3.1.1 Definisi Masyaqqah

5

Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan  syaqqa alayhi al- syai‟  berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam Al Qur‟an terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni  syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6 Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf  ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini. (2)  Masyaqqah dimaknai sebagai  perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat. 7 (3)  Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai „keluar‟ dari kebiasaan umum. (4)  Masyaqqah yang dimaknai sebagai „melawan hawa nafsu‟.8 3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah Berdasarkan

analisa

al-Suyuthi,

karakteristik

kesulitan

(masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok: 9 1)  Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya: rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak  secara otomatis menggugurkan kewajiban haji. 2)  Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban.  Masyaqqah  jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan: 6

Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma‟rifah, Beirut. 7 Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian.  Pertama, berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah.  Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan „sifat asli‟ dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 120 8  Ibid , II/ 121 9 Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair , ed. Muhammad alMu‟tashim Billah. Dar al-Kitab al-„Arabi, cet.IV, 1998, hal. 1 68, dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit ., hal. 234

6

a.  Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a‟la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, demikian tulis al-Suyuthi, pemeliharaan  jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama sekali.

Artinya,

jika

umat

Islam

masih

„dipaksa‟

melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak  mampu

dikerjakan,

maka

akan

berakibat

fatal

pada

keselamatan jiwa maupun raganya.  b.  Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal,  pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari

mafsadah

(kerusakan)

yang

timbul

dari

masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal

seperti

ini

masih

sangat

minim,

sehingga

kemaslahatan ibadah yang nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan. c.  Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada  pada titik interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urusan yang tertinggi (a‟la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah. 3.1.3 Metode Taqribi 10  Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A 10

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 180

7

merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum. Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar  masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar  masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak  ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah,  baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a‟la), maka ia akan mendapat rukhshah. Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya  bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit.  Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11 Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa  beratnya melakukan perjalanan.12 4.1 Rukhshah (Toleransi)

4.1.1 Definisi Rukhshah dan „Azimah Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf  yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif  yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari  bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi,

11 12

dan

tempat

tertentu.

Bisa

pula

dimaknai

sebagai

Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit ., hlm. 232-233 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181

8

diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang. 13 Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami  perubahan, maka ia dinamakan „azimah. Atau dapat dikatakan, „azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syariat yang  bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, „azimah adalah sebentuk  kerangka hukum dasar ( fundamental ) yang belum mengalami  perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.14 Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti sedia kala, maka ia dinamakan „azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.15 4.1.2 Hukum-hukum Rukhshah 16 Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:17 a.  Rukhshah wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr ) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan  bangkai atau minum arak yang notabene haram merupakan satusatunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.  b.  Rukhshah sunnah. Misalnya, shalat qashar  bagi seorang musafir  yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat dhuhur, karena cuaca pada awal waktu dhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak 

13

Baca al-Syathibi, Op.cit., I/301  Ibid. 15 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181 16  Ibid. 17 Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit ., hlm. 171 14

9

tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh diatas merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan. c.  Rukhshah mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan ( salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad  salam pada permulaanya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak  wujud (ma‟dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma‟dum. d.  Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), men jama‟  shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak  mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai diatas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh diatas lebih utama untuk tidak  dikerjakan. e.  Rukhshah

makruh.

Contohnya

mengqashar  shalat

dalam

 perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk menghindari khilaf  Imam Hanafi yang tidak  memperbolehkan qashar  sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara al-Syafi‟i menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar . 4.1.3 Bentuk-bentuk Rukhshah Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:18 a. Takhfif Isqath (keringanan pengguguran). Yaitu: Keringanan dalam bentuk penghapusan, seperti tidak wajib Sholat bagi wanita yang mentruasi atau nifas. Tidak wajib Haji  bagi yang tidak mampu (istitha‟ah).19 18 19

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 183 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit ., hlm. 19

10

 b. Takhfif Tanqish (keringanan pengurangan). Misalnya: Sholat qashar bagi orang berpergian yang telah mencukupi syarat, seperti disebut dimuka. 20 c. Takhfif Ibdal (keringanan penggantian). Misalnya: Salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu‟ tetapi karena adanya halangan, maka orang dapat mengganti wudlu‟ dengan tayamum. 21 d. Takhfif Taqdim (keringanan mendahulukan). Misalnya: Melakukan sholat „Ashar di waktu dhuhur, atau sholat „Isya‟ di dalam waktu Magrib bagi orang yang sedang berpergian (ini yang disebut jama‟Taqdim).22 e. Takhfif ta‟k hir (keringanan mengakhirkan). Misalnya: kebalikan dari contoh no. 4, yakni jama‟ takkhir, yaitu melakukan

sholat

Dhuhur

di

dalam

waktu

„Ashar,

atau

mengerjakan sholat Magrib didalam waktu „Isya‟. 23 f. Takhfif Tarkhish (keringanan kemurahan). Misalnya: orang sedang sangat kehausan, kalau tidak cepat minum mungkin bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang itu di beri keringanan boleh meminum arak tersebut. 24 4.1.4 Obyek-obyek Rukhshah 25 a.  Ikrah (terpaksa) Yaitu: Sesuatu keadaan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah. 26 Seperti dalam surat al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman: 27

‫ﷲ‬ 20

 Ibid.,  Ibid., 22  Ibid., 23  Ibid., 24  Ibid., 25 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 185 26 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit ., hlm. 56. 27 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189 21

11

Arttinya: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tenang...” Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak  mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram. 28  b.  Nis-yan (lupa) Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap

hal-hal

yang

sudah

diketahui

(ma‟lum).

Untuk 

mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan  sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang  bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan memori yang sempat hilang. 29 Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannay karena lupa, maka puasanya tidak batal. c.  Jahl (ketidaktahuan) Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak  dikenai sanksi.30 d.  Al-„Usr (kesulitan) Yaitu: Suatu kondisi yang sulit dihindari. Misalnya: Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran, pada hakekatnya adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari debu itu, maka hukumnya menjadi tidak apa-apa. 31 e. Safar (bepergian)

28

Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh , Kudus, Menara Kudus, 1977, hlm. 18. 29 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189 30 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit. 31 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.

12

Misalnya: Sholat Dhuhur, „Ashar, Isya, masing-masing mestinya empat raka‟at, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi syari‟at maka masing-masing bisa diqashar menjadi dua raka‟at. f.  Maradl (sakit) Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna (berdiri).32 g.  Naqish (nilai minus) Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot ( safih), hamba sahaya. 33 4.1.5 Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu‟ al -Rukhas) Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk  melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya, seseorang dengan sengaja memilih salah satu alternatif

yang

mungkin

untuk

dilakukan

demi

mendapatkan

keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif   jalan, misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang diperbolehkan untuk meringkas sholat dan yang lain tidak, namun kemudian dia memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata mata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa mendapatkan rukhshah.34

32

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 194  Ibid. 34 Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit , hal . 474 33

13

BAB III ANALISIS KASUS

1.1

Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah

35

Banyak aspek yang mendasari diterapkannya mu‟amalah,

diantaranya

 gharar 

rukhshah dalam

(ketidakjelasan).

Gharar 

secara

terminologis adalah sesuatu yang yang masih bersifat kabur dan tidak jelas akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam setiap mu‟amalah,  gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil. Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam mu‟amalah, gharar (ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan: a.

Ketidakjelasan yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak   boleh dilakukan. Contohnya, penjualan janin binatang yang masih  berada dalam kandungan induknya dan penjualan sperma hewan  pejantan.

 b.

Ketidakjelasan yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya, menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan  barang-barang sejenis yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan  barang-barang konsumsi diatas tidak diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada, kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi diatas  juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan).

c.

Ketidakjelasan tingkat antara maupun tingkat kedua.

Ketidakjelasan

( gharar ) jenis ini terbagi menjadi dua:

35

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196

14

1.  Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah  jenis ini walaupun kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa  bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak  ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara dua baju atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat transaksi. 2.

Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak  dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli  biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya. Contoh lain adalah membeli barang hanya dengan melihat contohnya (sample atau master), dimana contoh itu telah dianggap mewakili kualitas barang-barang lain yang sejenis.

1.2

Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan

a.

36

Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk  dipertahankan.

 b.  Khulu‟  dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem fasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama). Toleransi ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak   punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami. c.

Disyariatkannya

ruju‟ 

setelah

terjadinya

perceraian,

karena

dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang matang. 1.3

Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid

37

Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid,  juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup  berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi 36

 Ibid.  Ibid.

37

15

yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukum yang  benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya.

Walaupun

demikian,

dia

tetap

harus

berusaha

memutuskan hukum yang sesuai dengan „kebenaran‟ semaksimal mungkin. 1.4

Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah

Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai  pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna.

16

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan:

1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir  adalah bahwa hokumhukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran  bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari‟ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar‟i tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hokum-hukum- Nya (yang termuat dalam syari‟ah Islam), pada hakikatnya  bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba Nya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang  berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang mukallaf . 2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

‫ﷲ‬ Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu  sekalian”. Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup  berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya. 3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau

toleransi.

Seperti:  Ikrah

(terpaksa),  Nis-yan

(lupa),  Jahl 

(ketidaktahuan),  Al-„Usr  (kesulitan), Safar  (bepergian),  Maradl  (sakit),  Naqish (nilai minus).

17

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar alFikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997 Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh , Kudus: Menara Kudus, 1977. Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007. Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005 Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas , Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002. Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, Jakarta: Anglo Media, 2004.

18

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF