unud-1583-10507305-bab i

October 14, 2017 | Author: harum | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

kknjkj...

Description

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Di Bali, pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan selain sektor pertanian dan industri kecil dan menengah (Wihadanto dan Firmansyah, 2013). Pariwisata Bali telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan daerah dan masyarakat Bali baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan sektor ini menjadi salah satu langkah dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat (Widiastuti, 2013). Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di Bali untuk mengembangkan potensi-potensi lokal untuk membuat wisatawan domestik maupun mancanegara tetap tertarik mengunjungi pulau dewata. Pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya. Hal ini menjadi salah satu keunikan yang khas dibandingkan dengan destinasi-destinasi lainnya yang ada di Indonesia. Penetapan pengembangan pariwisata budaya sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Peraturan ini menggantikan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebijakan kepariwisataan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Namun demikian, pada kenyataannya kebijakan pengembangan pariwisata semata-mata dilakukan dengan pendekatan ekonomi dan mengabaikan kelestarian

2

lingkungan serta kepentingan masyarakat lokal. Sutjipta (2005) mengatakan bahwa pendekatan pembangunan pariwisata Bali terlalu mengagung-agungkan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Berbagai kegiatan pembangunan pariwisata seringkali berdampak pada degradasi lingkungan dan budaya, seperti alih fungsi lahan pertanian, pencemaran tanah dan air, kerusakan lingkungan, dan komodifikasi budaya. Atas kondisi ini tentu pariwisata dituntut untuk dapat memberikan interaksi yang lebih positif dan juga memberikan kontribusi pada pelestarian lingkungan alam dan budaya. Berbagai dampak negatif yang muncul sebagai respon

terhadap

kegiatan

pariwisata,

memunculkan

upaya-upaya

untuk

mengembangkan pariwisata alternatif. Hal ini didukung oleh kecenderungan yang terjadi pada tahun 1990-an, tren pariwisata Bali bergeser dari pariwisata massal menjadi pariwisata alternatif. Pariwisata massal yaitu kegiatan pariwisata yang melibatkan banyak orang dalam kegiatan wisatanya atau kegiatan yang dilakukan bersifat besar. Chafe (2005) menyebutkan bahwa pariwisata massal (mass tourism) adalah Large scale tourism, typically associated with sea, sand, sun, resorts and characteristics such as transnational ownership, minimal direct economic benefit to destination communities, seasonality, and package tours Pariwisata massal berskala besar dan pada umumnya identik dengan laut, tanah, matahari, minimnya dampak ekonomi langsung kepada masyarakat lokal, bersifat musiman dan berbentuk paket wisata. Kondisi ini menjadikan pengembangan

pariwisata

hanya

mengesampingkan masyarakat lokal.

menguntungkan

pelaku

bisnis

dengan

3

Hal berbeda dengan pengembangan pariwisata alternatif. Dari ukuran kegiatan, pariwisata alternatif jauh lebih kecil dari pariwisata masal. Koslowski dan Travis (dalam Kusuma Negara, 2012) menyebutkan bahwa pariwisata alternatif adalah suatu bentuk kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak lingkungan, berpihak pada ekologis dan menghindari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar yang dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya. Seiring dengan adanya kecenderungan masyarakat global, regional dan nasional untuk kembali ke alam maka minat masyarakat untuk berwisata ke tempat-tempat yang masih alami semakin besar.1 Minat tersebut merupakan pendorong bagi berkembangnya bentuk pariwisata alternatif atau pariwisata yang mengutamakan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat serta menikmati pengalaman secara bersama-sama. Bentuk pariwisata alternatif telah banyak dikembangkan di Bali. Bentuk pariwisata ini mencakup kegiatan agrowisata, wisata spiritual, desa wisata dan ekowisata. Agrowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap sektor pertanian dan perkebunan seperti kebun strawberry di Bedugul. Wisata spiritual merupakan perjalanan wisata menuju tempat-tempat suci untuk melakukan kegiatan spritual berupa sembahyang, yoga, meditasi, konsentrasi, dan istilah lainnya sesuai dengan kepercayaan masing-masing (Dana, 2008).

1

http://koran.bisnis.com/read/20141230/251/386642/tren-ekowisata-2015 diakses tanggal 19 April 2015.

4

Desa wisata merupakan kegiatan wisata yang ditujukan kepada wisatawan yang ingin menikmati suasana pedesaan sebagai tempat untuk beristirahat, sebagai tempat belajar suatu daerah (seperti belajar menari, melukis, memahat) dan tempat untuk mendapatkan pengalaman hidup yang berbeda dari daerah asalnya. Konsep pengembangan desa wisata sejalan dengan program Bali Mandara yang digagas oleh Gubernur Bali untuk mencetak 100 desa wisata di Bali.2 Pengembangan desa wisata dianggap menjadi salah satu strategi dalam memutus rantai kemiskinan di pedesaan.3 Ekowisata merupakan bentuk wisata alternatif yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumber daya wisata atau perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan lokal (TIES dalam Damanik dkk, 2006). Ekowisata merupakan salah satu tren pariwisata di tahun 2015.4 Konsep ini berawal dari keprihatinan dunia terhadap kerusakan lingkungan yang salah satunya diakibatkan oleh pembangunan pendukung pariwisata. Termasuk juga mulai terkikisnya nilai tradisi dan budaya lokal akibat komersialisasi wisata. Kota Denpasar merupakan salah satu daerah yang mengembangkan konsep ekowisata melalui pengembangan Desa Budaya Kertalangu. Sukarji Putra dkk (2008) mengatakan bahwa pengembangan Desa Budaya Kertalangu telah memenuhi sebagian besar prinsip-prinsip pengembangan ekowisata sesuai dengan 2

http://www.stpbali.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=196:tfs-2014qeksistensi-desa-wisata-di-baliq&catid=50:event diakses tanggal 110 Juli 2015 3 http://ipec2014.sinergi-indonesia.org/wp-content/uploads/2014/12/Press-Release-MalamPembukaan-IPEC-2014.pdf diakses tanggal 10 Juli2015 4 http://travel.kompas.com/read/2014/12/26/143722227/Perkiraan.Tren.Pariwisata.Indonesia.2015. Diakses tanggal 19 April 2015.

5

hasil lokakarya ekowisata se-Bali. Prinsip-prinsip tersebut yaitu memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya, peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengembangannya didasarkan atas persetujuan masyarakat setempat melalui musyawarah, serta sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.5 Desa Budaya Kertalangu merupakan salah satu daya tarik wisata yang ada di Kota Denpasar yang berorientasi upaya pelestarian lingkungan dan seni budaya. Menurut data pariwisata Kota Denpasar tahun 2013, di Kota Denpasar terdapat empat belas daya tarik wisata yang dapat dijadikan referensi kunjungan bagi wisatawan baik domestik maupun luar negeri. Di antaranya yaitu Museum Bali, Museum Le Mayeur, Taman Budaya (Art Center), Pulau Serangan, Prasasti Blanjong, Pasar Kumbasari, Pasar Badung, Museum Lukis Sidik Jari, Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Mangrove, Pura Dalem Sakenan, Desa Budaya Kertalangu, Pura Mospahit Tonja dan Pura Prasada Maospahit Grenceng. Desa budaya ini merupakan sebuah kawasan hijau yang dibuat sebagai kawasan terpadu untuk program pelestarian. Konsep awal berdirinya desa ini sebagaimana tercantum dalam dokumen legalitas rencana induk Desa Budaya Kertalangu adalah untuk melestarikan subak, memberdayakan masyarakat 5

Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. (Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029)

6

petani/pengrajin, pelestarian seni budaya, penyelamatan jalur hijau dari alih fungsi lahan, memasarkan produksi petani/pengrajin serta mengemas potensi lokal sebagai produk wisata. Jadi, pada intinya, usaha ini merupakan suatu bentuk upaya untuk melestarikan dan mempertahankan kawasan ini dari alih fungsi lahan yang terjadi, seiring dengan meningkatnya perkembangan pariwisata di Bali khususnya di Kota Denpasar. Berdirinya Desa Budaya Kertalangu ini didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penetapan Desa Kesiman Kertalangu Kecamatan Denpasar Timur sebagai Desa Budaya. Hal ini diperkuat dengan ditetapkannya Desa Kesiman Kertalangu sebagai salah satu dari enam desa wisata yang ada di Kota Denpasar sesuai dengan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/472/HK/2015 tanggal 23 Maret 2015 tentang Penetapan Desa Wisata di Kota Denpasar. Ke enam desa wisata tersebut yaitu di antaranya Desa Sanur Kauh, Desa Sanur Kaja, Kelurahan Sanur, Kelurahan Penatih, Desa Kesiman Kertalangu, dan Kelurahan Serangan. Saat ini, belum ada tindak lanjut terhadap keputusan walikota tersebut. Nantinya, desa wisata yang telah ditetapkan akan dibentuk kelompok sadar wisata yang berperan dan berkontribusi dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya. Untuk memudahkan adanya koordinasi dalam pembinaan dan pengembangan masing-masing desa wisata maka difasilitasi melalui forum komunikasi yang disebut forum desa wisata. Forum desa wisata merupakan sebuah wadah untuk bertukar pikiran, pengalaman, koordinasi, komunikasi serta berbagi informasi untuk melestarikan dan mengembangkan daya tarik wisata.

7

Sejak diresmikan pada tahun 2007, Desa Budaya Kertalangu tumbuh dan berkembang menjadi salah satu wisata alternatif yang mampu menarik kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kota Denpasar, pada tahun 2013, desa budaya ini menjadi destinasi/tempat kunjungan wisatawan terbanyak ketiga setelah Pulau Serangan dan Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Total kunjungan wisatawan berjumlah 62.906 orang dengan rincian sebanyak 11.166 orang wisatawan asing, dan 51.740 orang wisatawan domestik. Tingginya tingkat kunjungan wisatawan tentu memberikan pengaruh positif terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi berbeda terjadi pada objek wisata Pasar Kumbasari, Pasar Badung maupun Mangrove. Kunjungan wisatawan relatif sedikit. Pada tahun 2013, objek wisata Pura Mospahit Tonja dan Pura Prasada Maospahit Grenceng sama sekali tidak pernah dikunjungi wisatawan. Hal ini tidak menjamin bahwa Bali dengan julukan Pulau Seribu Pura akan menjadikan Pura sebagai salah satu objek wisata tujuan wisatawan. Eksistensi Desa Budaya Kertalangu sebagai salah satu daya tarik wisata “baru” semakin terasa ketika memperoleh Peringkat III Nasional tentang pengelolaan daya tarik wisata (DTW) berwawasan lingkungan yang bertajuk “Citra Pesona Wisata atau Cipta Award 2011”. Penganugerahan ini diberikan oleh Kementerian

Kebudayaan

dan

Pariwisata

melalui

Direktorat

Jenderal

Pengembangan Destinasi Pariwisata. Tentu hal ini menjadi kebanggaan bagi Pemerintah Kota Denpasar pada umumnya, dan masyarakat Desa Kesiman Kertalangu pada khususnya, mengingat peringkat ini diperoleh dari 131 DTW di

8

17 Provinsi se-Indonesia. Peringkat ini pun diperoleh setelah Candi Borobudur dan Taman Mini Indonesia Indah yang merupakan daya tarik wisata yang telah dikenal di seluruh Indonesia.6 Cipta Pesona Wisata (Cipta Award) merupakan suatu ajang yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang bertujuan untuk mendongkrak pengelola daya tarik wisata agar meningkatkan kualitas daya tarik wisata dan kapasitas pengelolaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penghargaan ini diberikan sebagai wujud apresiasi pemerintah terhadap

pengelola daya tarik wisata agar senantiasa berkomitmen dalam

mengimplementasikan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial budaya dalam pengelolaan daya tarik wisata sehingga menghasilkan daya tarik wisata yang berkualitas, berkelanjutan dan berdaya saing internasional. Kriteria penilaian dari Cipta Award ini meliputi tiga aspek yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Dari segi aspek lingkungan, ada tiga indikator yang menjadi penilaian yaitu daya dukung, pengelolaan dampak akibat aktivitas pariwisata dan mekanisme monitoring. Dari segi aspek ekonomi, penilaiannya dilihat dari sisi peningkatan pendapatan bagi lokal, tenaga kerja, kepuasan pengunjung dan nilai jual. Dari aspek sosial budaya, ada tujuh indikator yaitu pemeliharaan dan mempertahankan kelestarian, keaslian budaya lokal, mempertahankan nilai warisan budaya, kemampuan nilai interpretasi tentang nilai warisan dan daya tarik wisata budaya, tata kelola warisan budaya, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap karakteristik sosial masyarakat, peran serta 6

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=32&id=57119 yang diakses pada tanggal 24 Desember 2014.

9

masyarakat dan mekanisme dan peran aktif dalam memelihara tempat yang memiliki nilai geologi, arkeologi, sejarah dan budaya. Sebagai salah satu daya tarik wisata di Kota Denpasar, Desa Budaya Kertalangu memiliki berbagai potensi wisata yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung kesana. Potensi tersebut terbagi menjadi dua yaitu potensi budaya dan potensi alamiah (Agustina, 2012). Potensi budaya meliputi seni arsitektur, pementasan seni dan aktivitas budaya lainnya seperti kegiatan bercocok tanam, paket program edukasi seperti belajar membuat kerajinan tangan berupa keramik, lilin, gerabah, dan lain sebagainya. Potensi alamiah meliputi bentangan alam dan lahan pertanian yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti jogging track, fasilitas outbound, bale bengong7 dan lahan edukasi pertanian. Tentu jika kondisi ini mampu dikelola dengan baik, maka desa budaya ini akan menjadi salah satu daya tarik wisata alternatif yang paling diminati oleh wisatawan yang berkunjung ke Kota Denpasar. Namun saat ini dalam perkembangannya, Desa Budaya Kertalangu belum sepenuhnya mampu menjadi daya tarik wisata andalan dan bahkan seakan kurang mendapat perhatian. Hal ini bisa dilihat dari kondisi fisik yang ada di Desa Budaya Kertalangu. Minimnya perawatan dan pemeliharaan menyebabkan kerusakan terhadap fasilitas pendukung wisata di antaranya zona jogging track, bale bengong di kawasan jogging track, terbengkalainya beberapa bangunan dan tidak termanfaatkan serta kurangnya pemeliharaan lingkungan di sekitar kawasan desa budaya. Selain itu, ada beberapa program-program yang terhenti dan bahkan 7

Bale bengong merupakan sebuah bale yang biasa digunakan untuk bersantai, duduk dan bengong atau melamun (Enrike Puspita Indrianto, 2013. Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari-Bali. Jurnal Intra Vol. 1, No. 1 (2013) hal. 1-10).

10

belum terlaksana sebagaimana konsep awal pendirian desa budaya ini. Hal ini tentu bertolak belakang atas prestasi yang diraih pada tahun 2011. Dari apa yang telah diuraikan, maka penting untuk dievaluasi sejauhmana pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai salah satu daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar. Evaluasi tersebut dilakukan dalam rangka pembenahan kualitas daya tarik wisata yang ada di Kota Denpasar pada khususnya, dan Bali pada umumnya. Pembenahan yang dilakukan meliputi peningkatan kualitas dan jenis atraksi wisata, pembenahan dan pemeliharaan aksesibilitas, pembenahan sarana dan prasarana penunjang serta membangun masyarakat sadar wisata. Melalui pembenahan ini diharapkan

mampu

mewujudkan harapan Pemerintah Provinsi Bali untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata mencapai 30 juta orang pada tahun 2029.8 Target tersebut bukan berarti mengarah pada parwisata massal namun tetap selektif terhadap wisatawan yang masuk atau menuju wisatawan yang berkualitas. Untuk itulah perlu dihidupkan kembali daya tarik wisata yang mulai surut keberadaannya

ataupun

menurun

kualitasnya

dengan

mengupayakan

pengembangan dengan tetap mengedepankan konsep hijau dan tidak merusak lingkungan melalui evaluasi. Evaluasi dimaksud adalah menilai ulang apakah pelaksanaannya sudah berjalan dengan baik atau buruk, mengetahui kendalakendala yang dihadapi serta mengetahui dampak yang ditimbulkan.

8

Majalah Dinamika DPRD Provinsi Bali Edisi 2.2015 Hal.14-16.

11

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar dilihat dari aspek konteks, input, proses dan produk? b. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar? c. Bagaimanakah dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada masyarakat

dari

pelaksanaan

program

pengembangan

Desa

Budaya

Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai salah satu daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengevaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya

Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar dilihat dari aspek konteks, input, proses dan produk.

12

b. Untuk menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan

program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar. c. Untuk menganalisis dampak-dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan

yang ditimbulkan sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan akan memberikan manfaat berupa manfaat akademis dan manfaat praktis. 1.4.1

Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan pengembangan daya tarik wisata dan sebagai bahan acuan bagi peneliti berikutnya. 1.4.2

Manfaat Praktis Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

masukan kepada Pemerintah Kota Denpasar, khususnya instansi terkait sebagai upaya untuk menyusun rencana strategis dalam mengembangkan kepariwisataan di Kota Denpasar, khususnya di Desa Budaya Kertalangu. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pariwisata alternatif dan bagi Pengelola Desa Budaya Kertalangu, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam pengelolaan dan pengembangan Desa Budaya Kertalangu.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF