Tuli Persepsi Konduksi
December 5, 2017 | Author: Ratih | Category: N/A
Short Description
HN...
Description
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pendengaran tuli dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor keturunan, kongenital, virus, peradangan selaput otak, efek dari obat ototoksik yang dapat merusak sel sensori pendengaran, dapat juga karena bising (noise induced hearing loss / NIHL) serta presbikusis atau degenerasi fungsi pendengaran pada lansia. Secara garis besar ketulian dibagi menjadi dua yakni tuli konduksi dan tuli persepsi.Tuli konduksi adalah kelainan yang terletak antara meatus akustikus eksterna sampai dengan tulang pendengaran stapes. Sedangkan tuli persepsi (sensori neural hearing-loss) yaitu kelainan yang terletak dimulai dari organ korti di koklea sampai dengan pusat pendengaran di otak. Jika tuli konduksi dan tuli persepsi timbul bersamaan, disebut mix-hearing loss atau tuli campuran. Untuk mengetahui jenis ketulian diperlukan pemeriksaan pendengaran, yang dapat dideteksi dengan cara yang paling sederhana sampai dengan alat elektro - akustik yang disebut audiometri atau timpanometri. Menurut John Hopkins Medicine pada Hearing Loss Association of America bahwa sekitar 20% orang dewasa US, 48 juta dilaporkan mengalami ketulian. Sekitar 23 dari 1000 anak dilaporkan mengalami ketulian berat. Prevalensi tuli saraf yang disebabkan oleh presbikusis hasilnya bervariasi, diperkirakan terjadi pada 30-45% orang dengan usia di atas 65 tahun. Mengetahui hal tersebut, maka tenaga perawat perlu mengenali gangguan pada fungsi pendengaran sesorang dan mengetahui cara memberikan suatu asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan tuli konduksi ataupun tuli persepsi. B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari tuli persepsi dan konduksi ? 2. Apa sajakah faktor yang dapat menyebabkan tuli persepsi dan konduksi ? 3. Bagaimanakah patofisiologi dari tuli persepsi dan konduksi ? 4. Bagaimanakah manifestasi klinis dari tuli persepsi dan konduksi ? 5. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik dari tuli persepsi dan konduksi ? 6. Bagaimana penatalaksanaan dari tuli persepsi dan konduksi ? 7. Bagaimanakah Asuhan keperawatan dari tuli persepsi dan konduksi ? 1
C. Tujuan 1. Mengidentifikasi pengertian tentang tuli persepsi dan konduksi. 2. Menjelaskan etiologi yang menyebabkan terjadinya tuli persepsi dan tuli konduksi. 3. Menjelaskan patofisiologi dari tuli persepsi dan konduksi. 4. Menjelaskan manifestasi klinis tuli persepsi dan tuli konduksi. 5. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari tuli persepsi dan konduksi. 6. Menjelaskan penatalaksanaan dari tuli persepsi dan konduksi. 7. Menjelaskan asuhan keperawatan dari tuli persepsi dan konduksi.
2
BAB II TINJAUAN TEORI TULI KONDUKSI DAN PERSEPSI A.
DEFINISI 1. Tuli Konduksi Tuli konduksi adalah gangguan yang terjadi pada telinga bagian luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga. Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduksi antara lain, otalgia, atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna maligna, dan osteoma liang teliga. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduksi anatara lain sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanisklerosia, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran (Soetirto, 2003). Tuli konduksi terjadi ketika gelombang suara terhambat dan tidak terjadi kontak dengan nerves fiber di teliga bagian dalam karena inflamasi atau obstruksi pada telinga bagian dalam atau tengah oleh serumen atau benda asing, otitis media, tumor, maupun peningkatan jaringan lunak pada ossicles (Ignatavicius, 2010). 2. Tuli Persepsi Tuli perseptif yaitu gangguan pendengaran berupa berkurangnya pendengaran disebabkan kelainan pada telinga tengah, nervus vestibulochohlearatau pada proses sentral diotak dan tidak bisa kembali ke normal (Hearing Loss Association of America). Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.Tuli sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirinitis, intoksikasi obat ototoksik atau alkohol. Disebabkan jugaoleh tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik dan pemaparan bising. Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuoroma akustik, tumor sudut pons serebellum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya (Soetirto, 2003).
B.
ETIOLOGI 1. Tuli Konduksi a Menurut anatomi organ telinga 1) Dalam meatus akustikus eksterna : atresia liang telinga, cairan (sekret, air) dan benda padat (serumen, benda asing) atau tumor, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga. 3
2) Kerusakan membrana timpani : otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran, perforasi, ruptur membrane tympani. 3) Dalam kavum timpani : kelebihan (kekurangan) udara pada okiusi tuba, (darah, sekret pada otitis media), tumor. 4) Pada osikula : gerakannya terganggu oleh sikatriks, destruksi karena otitis media, ankilosis stapes pada otosklerosis dan luksasi oleh trauma. 5) Tuba katar/ sumbatan tuba eusthacius b Proses degeneratif 1) Berkurangnya elastisitas dan bertambah besarnya ukuran daun telinga (pinna) 2) Atropi dan bertambah kakunya liang telinga 3) Membrane tympani bertambah tebal dan kaku 4) Kekuatan sendi tulang-tulang pendengaran menurun c Kelainan bawaan / Kongenital Atresia liang telinga, hipoplasia telinga tengah, kelainan posisi tulang-tulang pendengaran dan otosklerosis. Mutasi gen GJB2 pada kromosom13. Gangguan ini memiliki hubungan autosomal dominan pada penurunan keturunan. d Gangguan pendengaran yang didapat, misal otitis media dan adanya tumor. 2. Tuli Persepsi a Konginetal 1) Aplasia kokhlea. 2) Kelainan kromosom. 3) Kolesteatom conginetal. b Proses inflamasi: labiryinitis, mumps, meningitis, measles, syphilis. c Obat-obatan yang bersifat ototoxic 1) Aminoglikosid (tersering: tobramycin). 2) Loop diuretic (tersering: furosemid). 3) Antimetabolik (methotrexate). 4) Salisilat (aspirin). d Trauma rudapaksa atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan ruptur labirin e
atau komosio labirin. Operasi: karena kurang hati-hatinya operator dalam pemakaian alat seperti bor
f
frekuensi tinggi. Noise induce (trauma suara): sering terpapar dengan suara yang keras dalam
g h
i
waktu yang lama (>90 db) dapat menyebabkan SNHL. Faktor usia atau degeneratif (presbyacusis). Tuli tiba-tiba (sudden hearing loss) bisa disebabkan oleh: 1) Idiopatic. 2) Pembuluh darah yang iskemic di telinga dalam. 3) Fistula perilimfa: biasanya disebabkan karena rupturnya tingkap lonjong atau bulat yang berakibat pada bocornya perilimfe. Autoimun: seperti Wegener's granulomatosis.
4
j
Tumor
acustik
neuroma
(Vestibular
schwannoma),
tumor
sudut
k
(cerebellopontine) dan meningioma. Penyakit lain 1) Penyakit meniere sebabkan tuli perspektif nada rendah (125 Hz to 1000 Hz). 2) Measles (jika terjadi kerusakan pada saraf pendengaran). 3) Fetal alkohol syndrome (efek ototoxic). 4) Otitis media supurativ kronik yang berlanjut penyakit sistemik kronik yang lain. 5) Diabetes.
C.
PATOFISIOLOGI 1. Tuli konduksi Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah. Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah otalgia, atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna maligna, dan osteoma liang telinga. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif ialah sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanisklerosia, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran. 2. Tuli persepsi Menurut Boies &Adams (1997) mekanisme terjadinya tuli perseptif tergantung faktor penyebabnya: 1. Presbikusis. Pada kasus ini terjadi perubahan struktur pada koklea dan nervus akustik, berupa atrofi dan degenerasi sel - sel penunjang organocorti, disertai perubahan vaskuler pada stria vaskularis, dimana jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf berkurang. 2. Tuli akibat bising (noise induced). Tuli yang terjadi diakibatkan oleh bising dengan intensitas 85db atau lebih yang mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran corti di telinga dalam terutama yang berfrekuensi 3000 – 6000 Hz. 3. Tuli mendadak. Penyebab paling sering dari tuli mendadak ini adalah iskemia koklea yang berakibat pada degenerasi yang luas pada sel-sel ganglion stria vasikularis dan ligamen spiral. Selanjutnya diikuti dengan pembentukan jaringan ikat dan penulangan. Pada kasus ini kerusakan sel rambut yang terjadi tidaklah luas dan membran basal jarang terkena. 4. Tuli akibat obat -obatan yang ototosik seperti aminoglisida obat ini menyebabkan tuli yang biasanya bersifat bilateral dan bernada tinggi dikarenakan hilangnya sel rambut pada putaran basal koklea. Sedangkan obat-obat diuretik menyebabkan tuli yang sebagian besar bersifat sementara dengan cara menyebabkan perubahan komposisi elektrolit cairan dalam endolimfe. 5
5. Penyakit Meniere. Tuli yang terjadi adalah tuli nada rendah, disebabkan karena adanya hidrops endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hidrops ini dapat disebabkan karena: a) Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri. b) Berkurangnya tekanan osmotik didalam kapiler, dan meningkatnya tekanan osmotik extrakapiler. c) Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa. Hal-hal tersebut menyebabkan pembengkakan pada skala media yang dapat berakibat pada ruptrunya membran Reisner dan terjadilah percampuran cairan endolimfe dan perilimfe. 6. Neuroma Akustik. Pada kasus ini terdapat tumor jinak yang membungkus nervus vestibulochochlear yang berakibat pada tuli sensorineural yang unilateral, dengan gejala mula-mula ringan. Tumor ini menyebabkan gangguan pendengaran dengan cara menghancurkan saraf-saraf saluran telinga dalam. D.
MANIFESTASI KLINIS 1. Tuli Konduksi: a. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya. b. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan perubahan posisi kepala. c. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung). d. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis. 4) Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai. 5) Menurut Lalwani, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampaknormal pada otosklerosis.
Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang
pendengaran. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang(Soepardi dan Iskandar, 2001). 2. Tuli sensorineural
6
a. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang normal.
Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan
suara yang lembut dari penderita
gangguan pendengaran jenis hantaran,
khususnya otosklerosis. b. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi. c. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obatobat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya. d. Menurut Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, pada
pemeriksaan fisik atau
otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga tampak normal. e. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak
lima meter dan sukar mendengar
katakata yang mengandung nada tinggi (huruf konsonan). f. Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang. E.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan Dengan Garputala Pada orang dewasa, pendengaran melalui hantaran udara dinilai dengan menempatkan garputala yang telah digetarkan di dekat telinga. Penurunan fungsi pendengaran bisa menunjukkan adanya kelainan pada saluran telinga, telinga tengah, telinga dalam, sarat pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak. Getaran akan diteruskan ke seluruh tulang tengkorak, termasuk tulang koklea di telinga dalam. Koklea mengandung sel-sel rambut yang merubah getaran menjadi gelombang saraf, yang selanjutnya akan berjalan di sepanjang saraf pendengaran. Pemeriksaan ini hanya menilai telinga dalam, saraf pendengaran dan jalur saraf pendengaran di otak. Jika pendengaran melalui hantaran udara menurun, tetapi pendengaran melalui hantaran tulang normal, dikatakan terjadi tuli konduktif.Jika pendengaran melalui hantaran udara dan tulang menurun, maka terjadi tuli sensorineural. Kadang pada seorang penderita, tuli konduktif dan sensorineural terjadi secara bersamaan.Terdapat tiga macam test yang dilakukan menggunakan garpu tala, antara lain: a Test Weber Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada vertex dahi/ puncak dahi. Pada penderita tuli konduktif, suara akan terdengar pada telingan yang sakit. Hal 7
tersebut biasa disebut dengan weber lateralisasi ke kanan. Namun pada penderita dengan tuli persepsi, getaran garputala akan terdengar pada telinga yang normal. b Test Rinne Test ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan udara. Garputala digetarkan dan diletakkan pada prosesus mastoideus, kemudian dipindah ke depan liang telinga setelah getaran tidak terdengar. Tanyakan penderita apakah masih mendengar suara dari garputala tersebut. Hasil normal pada konduksi melalui udara adalah 85-90 detik. Konduksi melalui tulang adalah 45 detik. Hasil rinne positif (+) adalah pendengaran penderita baik juga pada penderita tuli persepsi. Hasil rinne negatif (-) adalah yang didapat pada penderita tuli konduksi dimana jarak waktu konduksi tulang mungkin sama atau lebih panjang. c Test Schwabach Membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui verteks atau prosesus mastoideus penderita dengan konduksi tulang pemeriksa. Pada kondisi tuli konduksi, konduksi tulang penderita lebih panjang dari pada pemeriksa. Pada tuli persepsi, konduksi tulang penderita sangat pendek. 2. Audiometri Audiometri dapat mengukur penurunan fungsi pendengaran secara tepat, yaitu dengan menggunakan suatu alat elektronik (audiometer) yang menghasilkan suara dengan ketinggian dan volume tertentu. Ambang pendengaran untuk serangkaian nada ditentukan dengan mengurangi volume dari setiap nada sehingga penderita tidak lagi dapat mendengarnya.Telinga kiri dan telinga kanan diperiksa secara terpisah.Untuk mengukur pendengaran melalui hantaran udara digunakan earphone, sedangkan untuk mengukur pendengaran melalui hantaran tulang digunakan sebuah alat yang digetarkan, yang kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus. 3. Audiometri Ambang Bicara Audiometri ambang bicara mengukur seberapa keras suara harus diucapkan supaya dapat dimengerti. Kepada penderita diperdengarkan kata-kata yang terdiri dari 2 suku kata yang memiliki aksentuasi yang samapada volume tertentu. Dilakukan perekaman terhadap volume dimana penderita dapat mengulang separuh kata-kata yang diucapkan dengan benar. 4. Diskriminasi Dengan diskriminasi dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama. Digunakan kata-kata yang terdiri dari 1 suku kata, yang bunyinya hampir sama.Pada tuli konduktif, nilai diskriminasi (persentasi kata-kata yang diulang dengan benar)biasanya berada dalam 8
batas normal.Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada di bawah normal.Pada tuli neural, nilai diskriminasi berada jauh di bawah normal. 5. Timpanometri Timpanometri merupakan sejenis audiometri yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah.Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif.Prosedur in tidak memerlukan partisipasi
aktif
dari
penderita
dan
biasanya
digunakan
padaanak-
anak.Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga.Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapabanyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa: a) Penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan hidung bagian belakang). b) Cairan di dalam telinga tengah. c) Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui telinga tengah. Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot stapedius, yang melekat pada tulang stapes. Dalam keadaan normal, otot ini memberikan respon terhadap suara-suara yang keras atau gaduh (refleks akustik) sehingga mengurangi penghantaran suara dan melindungi telinga tengah. Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neural, maka refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat. Dengan refleks yang lambat, otot stapedius tidak dapat tetap berkontraksi selama telinga menerima suara yang gaduh. 6. Respon Auditoris Batang Otak Pemeriksaan ini mengukur gelombang saraf di otak yang timbul akibat rangsangan pada saraf pendengaran.Respon auditoris batang otak juga dapat digunakan untuk memantau fungsi otak tertentu pada penderita koma atau penderita yang menjalani pembedahan otak. 7. Elektrokokleografi Elektrokokleografi digunakan untuk mengukur aktivitas koklea dan saraf pendengaran. Pemeriksaan ini bisa membantu menentukan penyebab dari penurunan fungsi pendengaran sensorineural. Elektrokokleografi dan respon auditoris batang otak bisa digunakan untuk menilai pendengaran pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memberikan respon bawah sadar terhadap suara. Misalnya untuk mengetahui ketulian pada anak-anak dan bayi atau untuk memeriksa hipakusis 9
psikogenik (orang yang berpura-pura tuli). Beberapa pemeriksaan pendengaran bisa mengetahui adanya kelainan pada daerah yang mengolah pendengaran di otak. Pemeriksaan tersebut mengukur kemampuan untuk: a) Mengartikan dan memahami percakapan yang dikacaukan. b) Memahami pesan yang disampaikan ke telinga kanan pada saat telinga kiri menerima pesan yang lain. c) Menggabungkan pesan yang tidak lengkap yang disampaikan pada kedua telinga menjadi pesan yang bermakna. d) Menentukan sumber suara pada saat suara diperdengarkan di kedua telinga pada waktu yang bersamaan. Jalur saraf dari setiap telinga menyilang ke sisi otak yang berlawanan, karena itu kelainan pada otak kanan akan mempengaruhi pendengaran pada telinga kiri. Kelainan pada batang otak bisa mempengaruhi kemampuan dalam menggabungkan pesan yang tidak lengkap menjadi pesan yang bermakna dan dalam menentukan sumber suara. Beberapa pemeriksaan yang khusus dilakukan pada anak-anak adalah: 1. Free Field Test Dilakukan pada ruangan kedap suara dan diberikan rangsangan suara dalam berbagai frekuensi untuk menilai respons anak terhadap bunyi. 2. Behavioral Observation (0 – 6 bulan) Pada pemeriksaan ini diamati respons terhadap sumber bunyi berupa perubahan sikap atau refleks pada bayi yang sedang diperiksa. 3. Conditioned Test (2 – 4 tahun) Anak dilatih untuk melakukan suatu kegiatan saat mendengar suara stimuli tertentu.B.E.R.A (Brain Evoked Response Audiometry). Dapat menilai fungsi pendengaran anak atau bayi yang tidak kooperatif. Tabel perbandingan ciri-ciri tuli konduksi dan tuli persepsi Tuli konduksi
Tuli persepsi
10
Patologi
Kanalis eksternus
Koklea
telinga tengah
Saraf koklearis Batang otak
Kuat suara
Kurang dari normal
Lebih besar dari normal
Kanalis eksternus
Mungkin abnormal
Normal
Membran timpani
Biasanya abnormal
Normal
Test rinne
Negatif
Positif
Test weber
Terdengar pada telinga yang Terdengar pada sisi yang sakit
lebih baik (hanya pada tuli berat unilateral)
Test schwabach
Lebih panjang
Lebih pendek
Alur diagnosis Tuli Konduktif 11
Audiogram abnormal
Telinga luar abnormal
Anomali kranio fasial
Telinga tengah abnormal
Sumbatan serumen
Ya
Tidak Atresia : meatus/ pinna unilateral
Anamnesis palatum sumbing
Anamnesis perubahan tekanan akut
Anamnesis : Riwayat pembedahan, luka bakar, Otitis Eksternus Kronika
Ya
Ya
tidak
OMS Sinar X
Efusi telinga tengah, Membrana Tympani Abnormal, Membrana Perforasi
Tidak
Ya Stenosis meatus
Anamnesis berenang dalam air dingin ±, ekosostosis
Benda asing: trauma pada MAE atau MAE kolaps Tidak k
Diplasia fibrosa, penyakit paget
Ya Aerotitis (Bantrauma)
Tidak Otalgia akuta, hiperuremia
Alur diagnosis Tuli Persepsi MAE, Otore Audiogram abnormal
Otitis Eksternus Tuli unilateral Ya Ada sejak lahir Ya Deraan pra kelahiran, hipoksia, infeksi Kelainan kongenital Ya
Deraan pasca kelahiran : Tidak Trauma Terpapar bising
Metabolic Kelahiran Proses penuaan herediter Trauma SSPtinitus vertigo, Tidak normal, Presbikusis Tidak
Tuli bilateral
Riwayat gerak badan disertai tinnitus dan vertigo, tuli mendadak
Tidae k Trauma kapitis
Ya Ya
Tidak 12
Fistula peryelimphe Tuli berfluktuasi, tinnitus Tumor ACeP vertigo vertigo, riwayat Disertai tinnitus, (Angulus Tulidan berfluktuasi, tinnitus, Frakture Os. temporale keluarga ±, bilateral neuropati saraf otak lain±. Cerebro Partin) riwayat infeksi PenyakitYameniere Ya vertigo, Etiologi Yavirus Tidak
Infeksi Ototoksik
F.
PENATALAKSANAAN Pengobatan
untuk
penurunan
fungsi
pendengaran
tergantung
kepada
penyebabnya. Jika penurunan fungsi pendengaran disebabkan oleh adanya cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan cairan dan kotoran tersebut. Jika penyebabnya tidak dapat diatasi, maka digunakan alat bantu dengar atau kadang dilakukan pencangkokan koklea. 1. Alat bantu dengar Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan dengan baterai, yang fungsinya memperkuat dan merubah suara sehingga komunikasi bisa berjalan dengan lancar. Alat bantu dengar terdiri dari: a Sebuah mikrofon untuk menangkap suara. b Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara. c Sebuah speaker untuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkan. Berdasarkan hasil tes fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa menentukan apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau belum. Alat bantu dengar sangat membantu proses pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita penurunan fungsi pendengaran sensorineural. Adapun macam-macam alat bantu dengar, diantaranya adalah: a Alat Bantu Dengar Hantaran Udara Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka. b Alat Bantu Dengar yang Dipasang di Badan Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga.Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak. 13
c Alat Bantu Dengar yang dipasang di Belakang Telinga Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai berat.Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain. d CROS (contralateral routing of signals) Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga yang tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada telinga yang berfungsi melalui sebuah kabel atau sebuah transmiter radio berukuran mini. Dengan alat ini, penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi. e BICROS (bilateral CROS) Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penurunan fungsi pendengaran yang ringan,maka suara dari kedua telinga bisa diperkeras dengan alat ini. f Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari telinganya keluar cairan otore. Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis .Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga. 2. Pencangkokan Koklea Pencangkokan koklea (implankoklea) dilakukan pada penderita tuliberat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian: a. Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar. b. Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap oleh mikrofon. c. Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik. d. Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak. Suatu implant tidak mengembalikan atau pun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bias memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan. Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim keotak dan kita 14
menerimanya sebagai suara. Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara elektronik, implant koklea menemukan bunyi yang bermakna dan kemudian mengirimnya ke otak. H.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Meliputi riwayat pasien, yang mencakup: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Identitas pasien, Riwayat adanya kelainan nyeri, Infeksi saluran nafas atas yang berulang, Riwayat infeksi, Nyeri telinga, Rasa penuh dan penurunan pendengaran, Suhu meningkat, Malaise, Vertigo, tinitus Aktifitas terbatas, Takut mengahadapi tindakan pembedahan.
2. Pemeriksaan fisik B1(breathing) : infeksi saluran pernafasan atas yangberulang. B2(blood)
: tidak ada kelainan pada sistemkardiovaskuler.
B3(brain)
: pusing, vertigo,nyeri, rasa penuh pada telinga.
B4(bladder) : tidak ada kelainan. B5(bowel)
: tidak ada kelainan.
B6 (bone&muskuloskeletal) : malaise, aktivitas terbatas, suhu meningkat. 3. Diagnosa keperawatan a. b. c. d.
Nyeri berhubungan dengan kerusakan telinga bagian luar, tengah, dalam. Risiko cidera berhubungan dengan kerusakan telinga luar, tengah, dalam. Isolasi sosial berhubungan dengan kerusakan pendengaran. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan, penatalaksanaan,
dan
pencegahan. e. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi. f. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan berkurangnya pendengaran. 4. Intervensi Keperawatan a. Nyeri berhubungan dengan kerusakan telinga bagian luar, tengah, dalam. 15
Tujuan : Pasien mengambarkan nyeri dalam keadan minimal atau tidak ada nyeri Intervensi: 1) Kaji nyeri, lokasi,karasteristik, mulai timbul, frekuensi dan intensitas, gunakan tingkat ukuran nyeri. R/ : untuk mengukur tingkat/kualitas nyeri guna intervensi selanjutnya 2) Ajarkan dan bantu dengan alternative teknik pengurangan nyeri (misalnya imajinasi, relaksasi). R/ : pengalihan perhatian dapat mengurangi nyeri 3) Ubah posisi setiap 2 sampai 4 jam. R/ : posisi yang nyaman dapat membantu mengurangi tingkat nyeri. 4) Berikan analgesik R/ : analgesic dapat mengurangi nyeri. b. Risiko cidera berhubungan dengan kerusakan telinga luar, tengah, dalam. Tujuan : Klien terhindar dari cidera. Intervensi: 1) Kaji tingkat gangguan persepsi pendengaran klien. R/ : untuk mengukur tingkat pendengaran pasien guna intervensi selanjutnya 2) Berbicara pada bagian sisi telinga yang baik. R/ : berbicara pada bagian sisi telinga yang baik dapat membatu klien dalam proses komunikasi. 3) Bersihkan telinga klien teratur. R/ : telinga yang bersih dapat membantu dalam proses pendengaran yang baik. 4) Kolaborasi dengan dokter dengan tindakan pembedahan . R/: tindakan pembedahan dapat membatu klien memperoleh pendengaran yang baik. 5) Bantu klien untuk melakukan aktifitas sehari-hari. R/ : Bantuan terhadap aktifitas klien dapat mempermudah pemenuhan kebutuhan klien. 6) Libatkan keluarga untuk proses perawatan dan aktifitas klien. R/ : Keluarga memiliki peranan penting dalam aktifitas sehari-hari klien selama perawatan. 7) Pasang pengaman tempat tidur pada bed klien R/ : Pengaman tempat tidur di sisi bed klien dapat meminimalisir klien jatuh. c. Isolasi sosial berhubungan dengan kerusakan pendengaran. Tujuan : pola koping klien adekuat Intervensi: 1) Kaji tingkat koping klien terhadap penyakit yang dialaminya. R/ : Untuk mengetahui tingkat koping pasien terhadap penyakitnya guna intervensi selanjutnya. 2) Kaji tingkat pola koping keluarga terhadap penyakit yang dialami klien. R/ : Pola koping keluarga mempengaruhi koping pasien terhadap penykitnya. 3) Berikan informasi yang adekuat mengenai penyakit yang dialami klien. 16
R/ : Informasi adekuat dapat memperbaiki koping pasien terhadap penyakitnya. 4) Berikan motivasi kepada klien dalam menghadapi penyakitnya. R/ : Motivasi dapat membantu pasien dalam menghadapi penyakitnya dan menjalani pengobatan sehingga klien tidak merasa sendirian. 5) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien. R/ : Motivasi dari keluarga sangat membantu proses koping pasien. d. Kurangnya
pengetahuan
mengenai
pengobatan,
penatalaksanaan,
dan
pencegahan. Tujuan : klien dapat mengerti mengenai penyakitnya. Intervensi: 1) Kaji tingkat pendidikan klien. R/ : Untuk mengetahui tingkat pendidikan klien guna intervensi selanjutnya. 2) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang prognosis penyakitnya. R/ : untuk mengukur sejauh mana klien mengetahui tentang penyakitnya. 3) Berikan informasi yang lengkap mengenai penyakit klien. R/ : informasi yang lengkap dapat menambah pengetahuan klien sekaligus mengurangi tingkat kecemasan. 4) Berikan informasi yang akurat jika klien membutuhkan informasi tentang penyakitnya. R/ : pemberian informasi yang akurat dapat menambah informasi tentang penyakit yang dialami klien. Tujuan : klien memperlihatkan ekspresi wajah yang rileks. Intervensi: 1) Kaji tingkat ansietas klien terhadap penyakitnya. R/ : untuk mengukur tingakt kecemasan klien terhadap penyakitnya guna implementasi selanjutnya. 2) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya. R/ : sebagai tolak ukur untuk memberikan informasi selanjutnya mengenai penyakit yang di alaminya. 3) Berikan informasi klien tentang penyakitnya. R/: Informasi yang adekuat dapat mengurangi kecemassan klien terhadap penyakitnya. 4) Berikan dorongan pada klien dalam menghadapi penyakitnya. R/: Dorongan yang adekuat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien sekaligus memberikan perhatian kepada klien. 5) Libatkan keluarga klien dalam proses pengobatan. R/: Keluarga klien memiliki peranan penting dalam proses penyembuhan dan menurunkan tingkat kecemasan klien. 17
e. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi. Tujuan Kriteria hasil
: Rasa cemas klien akan berkurang/hilang. : Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekhawatirannya.
Intervensi: 1) Kaji tingkat ansietas klien terhadap penyakitnya. R/ : untuk mengukur tingakt kecemasan klien terhadap penyakitnya guna implementasi selanjutnya. 2) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya. R/ : sebagai tolak ukur untuk memberikan informasi selanjutnya mengenai penyakit yang di alaminya. 3) Mengatakan hal sejujurnya kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi. R/ Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya. 4) Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien. R/ Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien. 5) Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien. R/ Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi. 6) Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan berkurangnya pendengaran. Tujuan
: Pendengaran menjadi normal, sehingga meningkatkan rasa percaya
diri klien Kriteria Hasil : Percaya diri klien meningkat karena dapat mendengar dengan normal. Intervensi : 1) Anjurkan pasien untuk menggunakan alat bantu pendengaran atau melakukan implant koklea.
18
R/ dengan menggunakan alat bantu pendengaran meningkatkan respon pendengaranklien, sehingga klien dapat mendengar suara dengan normal, sehingga komunikasi klien dengan orang lain tetap lancar. 2) Ajari klien menggunakan bahasa isyarat, atau body language dan media tulisan. R/ Klien dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan bahasa tubuh atau bahasa isyarat lainnya dan bisa juga dengan ditulis, sehingga komunikasi klien tetap lancar. 3) Ajari keluarga dan kolega klien untuk berbicara lebih keras atau cenderung mendekat ke telinga yang sehat. R/ Memudahkan klien untuk mendengar, sehingga komunikasi klien tetap lancar, harga diri klien meningkat. 5. Implementasi Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat dengan menyesuaikan kondisi klien. 6. Evaluasi a. b. c. d. e. f.
Pasien mengambarkan nyeri dalam keadan minimal atau tidak ada nyeri. Klien memperlihatkan persepsi pendengaran yang baik. Klien dapat melakukan aktivitas dengan baik. Pola koping klien adekuat. Klien dapat mengeti dengan penyakitnya. Klien memperlihatkan ekspresi wajah yang rileks dan ceria.
19
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tuli konduksi adalah gangguan yang terjadi pada telinga bagian luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga. Tuli perseptif yaitu gangguan pendengaran berupa berkurangnya pendengaran disebabkan kelainan pada telinga tengah, nervus vestibulochohlearatau pada proses sentral diotak dan tidak bisa kembali ke normal. Etiologi dari tuli konduktif yaitu menurut anatomi organ telinga, proses degeneratif, kongenital, gangguan pendengaran yang didapat. Sedangkan etiologi tuli persepsi yaitu konginetal, proses inflamasi, obat-obatan yang bersifat ototoxic, trauma rudapaksa, operasi, noise induce, presbyacusis, tuli tiba-tiba, autoimun, tumor, penyakit lain.Patofisiologi dari kedua jenis tuli ini mengikuti etiologinya. Manifestasi yang ditimbulkan juga berbeda. Pada pengkajian tuli, perawat dapat mengkaji fisik maupun dengan alat berupa otoskop, audiometri, timpanometri, dll. Penatalaksanaan dari tuli berupa dua yaitu alat bantu dengar dan cangkok koklea. Diagnosa keperawatan yang dapat diambil yaitu nyeri, risiko cidera, isolasi sosial, kurangnya pengetahuan, cemas, gangguan harga diri rendah. Intervensi keperawatan yang dilakukan disesuaikan dengan respon yang ditampakkan pasien tuli dan dampingi pasien dalam beraktifitas sehari-hari. Evaluasi dari asuhan keperawatan yaitu mulai berkurangnya atau bahkan hilangnya semua yang dikeluhkan pasien. B. Saran Sebagai perawat, haruslah mampu mengkaji gangguan pendengaran pada pasien dengan teliti karena jenis tuli itu bisa berbeda tiap individu. Disarankan selalu mendampingi pasien tuli, dikarenakan dapat terjadi cidera yang disebabkan oleh kerusakan organ telinga bagian luar, tengah, dalam, atau sarafnya. Disarankan juga, keluarga serta pasien diberikan penjelasan mendetail mengenai gangguan pendengaran yang dialami pasien serta cara merawat pasien di rumah.
DAFTAR PUSTAKA 20
Boies, Adams. (1997). Buku ajar penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC. Carpenito, L, J. (2001). Buku saku diagnosis keperawatan.Jakarta: EGC. Ereoschenko, Viktor P. (2003). Atlas Histologi di Fiore edisi 9. Jakarta: EGC. Gabriel,J. F. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC. George L, A. (1997). BOEIS :Buku ajar penyakit THT. Edisi 6.Jakarta: EGC. Hearing Loss Association of America. (tanpa tahun). Types, causes, and treatment. Diakses dari http://www.hearingloss.org/content/types-causes-and-treatment pada 10 November 2013. Ignatavicius. (2010). Medical Surgical Nursing - Patient Center Collaborative Care. Canada: Saunders El Savier. Iskandar, H, N,dkk.(1997). Buku ajar ilmu penyakit THT. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Mukmin, S dan Herawati, S. (1999). Teknik pemeriksaan THT. Surabaya: Laboratorium Ilmu PenyakitTHTFK UNAIR. Soetirto, I. (2003). Tuli akibat bising dalam buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok Ed.3 Editor: H. Efiaty A.Soepardi dkk. Jakarta: FKUI. Swartz, Mark H.1997. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC.
21
MAKALAH KEPERAWATAN PERSEPSI SENSORI TULI KONDUKSI & PERSEPSI
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5 Noviani Nastiti S Achmad Luky A. F Agida De Argarinta Siti Hidayati Al Indasah Yeny Rachmawati Thurfah Kustiati Azmi
1313 1112 3034 1313 1113 3035 1313 1112 3037 1313 1112 3039 1313 1112 3041 1313 1112 3045
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2013 DAFTAR ISI BAB I Pendahuluan 22
A. Latar Belakang ................................................................... B. Tujuan ............................................................................... C. Rumusan Masalah ................................................................
1 1 1
BAB II Tinjauan Teori A. Konsep Dasar ..................................................................... 1. Definisi ........................................................................ 2. Etiologi ......................................................................... 3. Patofisiologi (WOC) ....................................................... 4. Manifestasi Klinik ........................................................... 5. Pemeriksaan Diagnostik ................................................. 6. Penatalaksanaan ............................................................. B. Asuhan Keperawatan ............................................................
3 3 4 5 7 8 15 17
BAB III Penutup A. Simpulan ............................................................................ B. Saran ..................................................................................
23 23
Daftar Pustaka .....................................................................................
24
23
View more...
Comments