Tugas Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

March 7, 2018 | Author: ekasucimauliyani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Tugas Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil...

Description

EMPAT MODEL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DISUSUN OLEH: AZRINA DARWIS

(B111 07 034)

MUH. RISWAN AMIR

(B111 07 160)

MUH. NUR UDPA

(B111 07 173)

ANDI NUR AULIYAH

(B111 07 184)

SARAH MAHARDHIKA

(B111 07 185)

AYU AMALIA

(B111 07 187)

WINDA DEVI MUNTU

(B111 07 202)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau, menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004, adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Jumlah pulau yang tidak sedikit inilah yang menjadi salah satu faktor banyaknya jumlah nelayan yang tersebar di bumi Nusantara Indonesia, yang berjumlah sekitar dua juta nelayan. Indonesia juga akrab dikenal sebagai negara maritime yang memiliki wilayah laut 2/3 dari seluruh luas wilayah Negar dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih prasejahtera. Keadaan pantai di Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal, bervegetasiberlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan berbagai peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri perhotelan, turisme, dan lain-lain. Sumber daya pesisir merupakan modal dasar pembangunan yang penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Ekosistem Pesisir dan keanekaragaman hayatinya berperan dalam menyangga dan merespon perubahan iklim nasional dan global terutama di pulau yang sangat kecil (< 100 ha) yang rawan tenggelam. Dalam kondisi yang demikian, upaya pengelolaan pesisir untuk memanfaatkan sumber dayanya secara lestari belum memadai. Pemanfaatan yang berlebih (over exploitation) telah mengakibatkan degradasi sumber daya

pesisir. Tekanan pemanfaatan sumber daya pesisir semakin parah dengan adanya krisis ekonomi, sehingga mendorong banyak pihak bersaing mendapatkan sumber daya yang masih tersisa dengan berbagai cara. Situasi ini mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menimbulkan marginalisasi masyarakat pesisir. Permasalahan ini disebabkan banyak faktor, antara lain belum diadopsi pendekatan Pengelolaan Pesisir terpadu. Suatu hal yang wajarlah ketika pemerintah mengatasnamakan negara berjuang mati matian untuk memberikan kesejahteraan masyarakat di daerah pesisir. Salah satu pembuktian akan keseriusan pemerintah dalam menunjang kesejahteraan daerah pesisir yaitu dengan disahkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana dalam salah satu pasalnya, Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah: Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, Pengaturan kepentingan administratif, Pengaturan tata ruang, Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah, dan Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Undang Undang ini dengan jelas memberikan kewenangan akan pemanfaatan sebesar-besarnya daerah pesisir dengan tetap memerhatikan keseimbangan di daerah tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan untuk memfokuskan penulisan ini, masalah yang terumuskan yaitu: 1. Bagaimana model pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara sentralistik, desentralistik, co-management, dan pengelolaan terpadu? 2. Diatara model pengelolaan yang ada, manakah yang menjadi model pengelolan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Definisi Wilayah Pesisir Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifatsifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerahpaparan benua yang masih dipengaruhi oleh prosesproses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri et al., 1996). Rokhmin Dahuri (2001) lebih menjelaskan mengenai definisi dan pengertian Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan menggunakan beberapa pemahaman: Definsi (1) “Proses Pengelolaan yang mempertimbangkan hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan (manusia) yang terdapat diwilayah pesisir dan lingkungan alam (ekosistem) yang secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut. Definisi ke (2) “adalah suatu proses penyusunan dan pengambilan keputusan secara rasional tentang pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terkandung didalamnya secara berkelanjutan”. Definisi ke (3) “Suatu proses kontinu dan dinamis dalam penyusunan dan pengambilan keputusan tentang pemanfaatan berkelanjutan dari wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat didalamnya”. Definisi ke (4) “Suatu proses kontinu dan dinamis yang mempersatukan/ mengharmoniskan kepentingan antara berbagai stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat lokal dan LSM); dan kepentingan ilmiah dengan pengelolaan pembangunan dalam menyusun dan mengimplementasikan suatu rencana terpadu untuk membangun (memanfaatkan) dan melindungi ekosistem pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat didalamnya, bagi kemakmuran/kesejahteraan umat manusia secara adil dan berkelanjutan.

Robert Kay, 1999 mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut akademik keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sisi keilmuan Ketchum, 1972 dalam Kay 1999 mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tergantung dari issue yang diangkat dan faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Hildebrand and Norrena, 1992 dalam Kay,1999). Pengelolaan wilayah pesisir menyangkut pengelolaan yang terus menerus mengenai penggunaan wilayah pesisir dan sumberdaya didalamnya dari area yang telah ditentukan, dimana batas-batas secara politik biasanya dihasilkan melalui keputusan legislatif atau eksekutif (Jones and Westmacott, 1993 dalam Kay 1999). 2.2 Isu Perencanaan Wilayah Pesisir Terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang : •

Antar wilayah otonom yang saling berbatasan



Antar sektor (pertambangan, pariwisata, permukiman, infrastruktur, perikanan, dsb)



Antara private dengan public domain



Antara pembangunan ekonomi (development forces) dengan lingkungan (conservation forces)



Antara daerah hulu (upstream) dan daerah hilir (downstream)



Antara urban culture dengan local culture



Antara visi dan misi ‘Pusat’ dengan ‘Daerah’

2.4 PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR Keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini mencakup 4

(empat) aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder. a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya, demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan limbah rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di kawasan pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai (DAS). Menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap jika tidak diimbangi dengan perencanaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan. b. Keterpaduan Sektor Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horizontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan

panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya. c. Keterpaduan Displin llmu Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja, tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan system dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula seperti hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. d. Keterpaduan Stakeholder Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir dan laut (Stakeholder). Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "top down" dan pendekatan "bottom up".

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Sentralistik Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana kebijakan pengelolaan lingkungan di Indonesia lainnya bahwa pengelolaan lingkungan dengan pendekatan stated-based didasarkan pada pendekatan ”top down”, dimana dilaksanakan karena ada anggapan bahwa penduduk yang berpenghasilan rendah tidak memiliki pengetahuan teknis yang dibutuhkan untuk memberikan kontribusi efektif dalam proses perencanaan (William,1997). Pendekatan state-based mengandung arti bahwa komitmen pemerintah terhadap partisipasi masyarakat sangat terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya alokasi budget yang digunakan untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam hal ini tanggung jawab untuk membentuk partisipasi masyarakat seringkali dibebankan secara tumpang tindih, sehingga akan memperlemah fisibilitas dan efektifitas upaya suatu badan pemerintah (Gilbert dan Ward,1984). Pendekatan State-based tersebut juga kurang memberikan kesempatan/ kekuasaan kepada masyarakat untuk memiliki bagaimana mereka harus terlibat, bagaimana sumber daya dialokasikan/ bagaimana keputusan kunci harus dibuat (Gilbert dan Ward,1984), sehingga dalam pelaksanaan seringkali mengalami kegagalan/ hambatan yang disebabkan oleh pendekatan yang tidak fleksibel, lemahnya kapasitas kelembagaan, kurang tepatnya design dan implikasi serta kurangnya partisipasi mayarakat (Davidson dan Pelternburg,1993; utomo,1997 dan Slingsby,1986). Strategi yang berdasarkan pada state-based bukan suatu alternatif, terlebih bila ditujukan pada suatu kasus dengan kompleksitas permasalahan yang tinggi, maka kurang tepat

dan

relatif

tidak

memenuhi

sasaran

dalam

implementasinya

(Hamel,1996).

Sebagaimana dinyatakan oleh Ueta (1994) dalam laporannya menyebutkan tentang beberapa hambatan yang terkait dengan penerapan kebijakan yang bersifat state-based/top down sebagai berikut: a. Bahwa kebijakan top down akan lebih efisien diterapkan untuk program jangka pendek. b. Bahwa kebijakan tersebut belum mampu memulihkan kualitas hidup yang rusak, sehingga sulit untuk memperolah strategis perlindungan lingkungan yang bersifat ekonomis dan efektif. c. Bahwa kebijakan tersebut pada umumnya mengabaikan prinsip”polluters pays principle” dan sebaiknya dana negara yang digunakan untuk mengatasi polusi. d. Bahwa kebijakan tersebut ditujukan untuk media lingkungan tertentu dengan tidak mempertimbangkan koordinasi aksi, sehingga kebijakan ini tidak mengatasi masalah dasar akan tetapi hanya mengatasi gejalanya, yang pada akhirnya masalah lingkungan hanya bergeser tanpa

ada penyelesaiannya. Kelamahan top down dan bottom up Model pengelolaan wilayah PPPK top-down lebih cendrung digunakan pada negara berkembang karena kuatnya pemerintah dalam mengelola aset strategisnya (1). Model top-down bertumpu pada format perencanaan, metode pelaksanaan dan manfaatnya di pusatkan ke pemerintah nasional dan pemerintah daerah melaksanakan program tersebut. Pemerintah nasional membagi rata manfaat pengelolaan sumberdaya wilayah PPPK ke pemerintah daerah, walau daerha tidak memiliki wilayah pesisir. Kelemehan model top-down adalah minimnya muatan karakter lokal (kearifan lokal) di dalam pelaksanaanya sehingga seringkali berbenturan dengan realita dan masalah yang ada. Benturan tersebut berakibat terjadi dualisme pengelolaan yaitu pengelolaan berbasis masyarakat yang telah berlangsung sejak dulu dengan konsep top-down. Sedangkan hal positif model ini yaitu besarnya persediaan pendanaan dan efektifnya instrumen pengelolaan, seperti pengawasan dan penegakan hukum. Model bottom-up adalah model pengelolaan yang telah lama digunakan oleh sebagian besar masyarakat PPPK yang memiliki hak tradisional dan begitu kuat diakui. Saat sekarang model pengelolaan berbasis masyarakat ini masih ada, seperti sistem pengelolaan sasi, ondoapi, lebak bulung, panglima laot atau sistem ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan (2). Kelemahan model bottom-up adalah mengenai pertanyaan tentang kesejahteraan masyarakat PPPK, instrumen yang tersedia makin sulit melakukan penegakan hukum yang disepakati (3), legalitasnya masih sulit dipenuhi landasannya, hanya sedikit masyarakat yang memahami prinsip pengelolaan model ini. Kelebihan model ini adalah dibentuk oleh masyarakat PPTK sendiri dimana pelaksanaannya berdasarkan sistem norma, kepatuhan dan loyalitas. 3.2 Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan sudah saatnya memang paradigm tersebut diubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir mereka juga adalah warga negara Indonesia. Konsekuensinya justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigm masa lampau,

yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir. Karena arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (depelopment) dalam arti memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu akan tetapi perlu waktu bertahun-tahun agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan), jadi kebijakan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dikaji lebih menekankan pada kebijakan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil lengkap dengan segala visi dan misinya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi msyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah : •

Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut.



Pengaturan kepentingan administratif.



Pengaturan tata ruang.



Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.



Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota. Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut berada dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999 yang menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah

Kabupaten atau Kota setempat. Sejalan dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Daerah. Untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di Daerah maka seluruh potensi sumber daya yang tersedia di Daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki Sebagian Daerah adalah potensi daerah pesisir. Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan baru terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di Daerah. Mengingat kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi Daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir. Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil: 1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan

Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya. 2. Kompensasi Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi. 3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakankebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum. 4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut : - Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu

rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir. - Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil. - Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif. 5. Penentuan Sektor Unggulan Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll. 6. Penentuan Struktur Tata Ruang Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll. 7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir. 8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negative (pencemaran, sedimen, dlll) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :

St = Vt x t St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya Vt = Kecepatan sebar pencemar t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut 9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat. Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu : - Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana - Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro - Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas) - Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum - Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi. Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat

ataupun pelaku pembangunan.*** sumber: jchkumaat.wordpress.com 3.3 Co-management ( Kemitraan Antara 2 pihak yang bekepentingan terhadap wilayah PPPK UU PWP3K meberi kepastian

dan perlindungan hukum untuk memperbaiki kemakmuran,

menjalin akses dan hak-hak masyarakat pesisir termasuk dunia pengusaha. Asas peranserta masyarakat mengandung makna membuka peluang bagi masyarakat berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, bahkan sampai pengawasan dan pengendalianya (community based management). Ini ditunjang dengan adanya peluang masyarakat memiliki kesempatan untuk tahu kebijakan pemerintah; selain itu terbukanya Representasi suara masyarakat ikut menentukan putusan kebijakan sebenarnya cukup strategis didalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara rasional dan berkelanjutan; ujung-ujungnya melindungi masyarakat pesisir Ketentuan menetabkan bahwa pemberian

HP-3 wajib mempertimbangkan kepentingan

kelestarian ekosistem pesisir, masyarkat adat maupun kepentingan nasional. Rambu-rambu semacam ini menunjukan bahwa arah pengelolaannya bermuara pada upaya penyelamatan masyarakat pesisir dari dampak kesewenangan-wenangan penetapan HP3. Apabila penetapan HP3 dibuat rancu untuk maksud tertentu, maka pada gilirannya secar sadar atau tidak, sertifikat yang terbitkan jelas merugikan keberadaan nelayan disepanjang pantai. Dalam Pasal 41 mengisyaratkan a danya Forum Mitra Bahari yang dibentuk sebagai upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir. Mitra Bahari merupakan forum kerja sama pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga suadaya masyarakat, organisasi profesi , dan tokoh masyarakat termasuk dunia usaha. Kegiatannya difokuskan pada bentuk pendampingan/penyuluhan, pendidikan/pelatihan, penelitian terapan, termasuk rekomendasi kebijakan. Artinya forum mempunyai beban moral

dan harus

bertanggung jawab mengeliminasi dampak negative kehadiran HP3 bagi masyarakat pesisir/nelayan dikawasan tertentu. Sekarang tinggal kemauan dan niat baik semua pihak yang terkait penetapan HP3 maupaun para pemangku kepentingan, karena aturan main sudah ada; berupa rambu-rambu hukum; dan ini bias dipakai sebagai pedoman. Apabila objektifitas tetap digunakan sebagai “iming-iming” yang ujungnya berdampak menyesatkan dalam menentukan

ketetapan sertifikat HP3, niscaya masyarakat pesisir/nelayan masih bisa terselamatkan dari dampak negatifnya. 1 Alternatif Pendekatan Co-Management Pendekatan Co-management adalah merupakan alternatif yang potensial untuk mengisi kelemahan dari pendekatan State-based dan Community-based dalam pengelolaan RTH di pesisir pantai utara Surabaya, dimana pendekatan Comanagement didasarkan pada kebersamaan dan kemitraan yang diyakini tepat untuk mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Co-Management atau pengelolaan bersama merupakan paradigma yang sedang berkembang dengan pesat dalam pengelolaan sumber daya alam dimana Ruang terbuka hijau merupakan lahan konservasi yang perlu pengelolaan bersama (kemitraan) antara pemerintah, masyarakat dan stake holder. Co-management juga dinamakan pengelolaan kolaboratif, pengelolaan partisipatif atau pengelolaan berbasis masyarakat. Pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian utama (Wells, etal.,1992): - Semua pemangku kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi mereka dan untuk menampung pengetahuan, aspirasi dan pengalaman mereka dalam pengelolaan. - Pembagian peran dan tanggung jawab di dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan. Dalam beberapa kasus, kewenangan lebih banyak pada lembaga masyarakat, pada kasus yang lain kewenangan lebih banyak pada instansi pemerintah. - Kerangka kerja pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis konservasi, melainkan juga mencakup tujuan-tujuan ekonomi, social dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap kebutuhan mereka yang tergantung terhadap sumberdaya, keseimbangan dan partisipasi. Manfaat adanya co-management Manfaat adanya co-management menurut Wiyanto (pada Workshop Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek,2004) akan terwujud bila selaras dengan proses dan tujuannya,yaitu: - Untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang bertumpu pada prakarsa dan kemampuan masyarakat. - Untuk mengalihkan kewenangan dalam menetapkan keputusan pengelolaan sumber daya/ruang terbuka hijau. - Sebagai cara untuk mengurangi terjadinya perselisihan melalui keikutsertaan seluruh pihak 1

Diakses pada tanggal 6 Oktober 2010. http://mukhtar-api.blogspot.com. Pukul 13.00 WITA

yang terlibat secara demokratis. Pemanfaat sumber daya menerima manfaat dengan ikut serta dalam menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, sedangkan pemerintah menerima manfaat dari berkurangnya kewenangan. Pemerintah juga akan menetapkan hak dan kewenangan atas hukum yang setara dan mengalihkan sebagian kewenangannya. Ciri-ciri Co-management Menurut Wiyanto (Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek,2004) bahwa cirri-ciri dari CoManagement adalah: - Sebagai jalan tengah antara pengelolaan tanaman pantai secara terpusat sepenuhnya oleh pemerintah dengan tujuan efisiensi dan pemerataan serta pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengelola dan mengatur diri sendiri dan ikut serta secara aktif. - Sebagai proses pengelolaan sumber daya, dengan melakukan penyesuaian/ perubahan dari waktu ke waktu, yang mencakup segi pemberdayaan masyarakat, pengalihan kewenangan, pembagian kekuasaan dan kesetaraan (demikratisasi). - Sebagai strategi pengelolaan yang luwes, yang merupakan wahana untuk ikut serta, membuat aturan, mengatasi perselisihan, membagi kewenangan, kepemimpinan, dialog, membuat keputusan, menambah dan membagi pengetahuan, belajar serta pembinaan diantara para pemanfaat sumber daya pemangku kepentingan dan pemerintah. Peran Pemerintah dalam Co-management Peran Pemerintah dalam co-management sangat besar sekali menurut Wiyanto (Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek,2004), bahwa peran tersebut antara lain: - menyediakan peraturan/kebijakan seperti desentralisasi kekuasaan/ kewenangan, - Mendorong keikutsertaan dan melakukan dialog dengan masyarakat; - Mengakui/mengesahkan hak-hak masyarakat; - Melakukan prakarsa; - Melakukan penegakan hukum; - Mengatasi masalah yang berada di luar kewenangan masyarakat; - Memadukan kegiatan pada berbagai tingkatan pemerintah; - Menyediakan bantuan dan layanan teknis, adminstrasi dan keuangan untuk menunjang lembaga kemasyarakatan setempat.

Pengelolaan co-Management mensyaratkan adanya dua kelompok besar pemangku kepentingan untuk bersama-sama berbagi peran dalam pengelolaan. Kedua kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah kelompok masyarakat dan kelompok instansi pemerintah. Masyarakat pantai merupakan kelompok pemangku kepentingan yang merasakan langsung dampak dari pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di pantai Surabaya. Sedangkan kelompok instansi pemerintah merupakan pemegang mandate dari undang-undang untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang ada berupa tanaman pantai/mangruf dan lain-lain, agar dapat bermanfaat secara lestari (sustainable). Pada dasarnya kedua kelompok tersebut dapat bekerja secara sinergi, karena mempunyai kepentingan yang sama. Tetapi kekurangpahaman dan kurang komunikasi antar keduanya bisa menimbulkan perbedaan peran yang saling bertentangan. Sehingga perlu adanya pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan Sumber daya berupa Tanaman pelindung pantai, mitra kolaborasi yang berupa sebuah lembaga yang dapat mewakili dan diakui oleh masyarakat. Badan Perwakilan Pantai bisa merupakan lembaga yang mewakili dan diakui oleh masyarakat. Setelah terbentuk lembaga pengelola, maka pemerintah daerah perlu membuat jalinan kerjasama dengan lembaga pengelola tersebut. Karena jalinan kerjasama ini dibatasi dalam hal pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pantai, maka pemerintah daerah yang di wakili oleh Dinas Pertamanan dan Dinas Pemantapan pangan. Jalinan tersebut harus dibuat dalam SK Kepala Dinas tersebut yang mengesahkan keberadaan lembaga pengelola tanaman pantai tersebut dan menjelaskan kewenangan yang diberikankepada mereka. Dinas juga perlu mengambil inisiatif untuk memungkinkan terjadinya pengelolaan partisipatif. White (1994) telah merinci dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif sebagai berikut: a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif. b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bias mengakomodasi aspirasi masyarakat. c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder) dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis. d. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok masyarakat yang

berhasil. e. Menegakkan hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal, maka pemerintah perlu mendelegasikan kepada kelompok masyarakat. Tetapi pemerintah harus siap memberikan bantuan dalam penegakan hukum, jika masyarakat membutuhkannya. Hal ini berarti bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan partisipatif oleh masyarakat. f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan. g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, partisipasi muncul dalam siklus perencanaan pembangunan meliputi beberapa tahap, yaitu: • Kemitraan Merupakan suatu kegiatan awal, mengenai penjajakan dan pendekatan kepada masyarakat sasaran. Melalui penjajakan dan pendekatan yang ada, dibangun kesadaran masyarakat terhadap masalah dan kondisi yang ada terhadap lingkungannya. Kesadaran tersebut akan menghasilkan visi komunitas, yang merupakan perumusan pandangan masyarakat yang menggambarkan masa depan masyarakat yang ideal. • Isu Analisis Berdasarkan Komunitas Visi komunitas yang tercipta diikuti dengan usaha mengidentifikasi masalah-masalah yang ada dan prioritas yang harus ditangani. Penyelesaian masalah tentumemerlukan bantuan dari pihak luar, baik dukungan pemerintah maupun pihak-pihak yang menguasai dan berpengalaman terhadap suatu masalah. • Rencana Tindak Merupakan tahap perencaan aksi, meliputi penetapan target, tujuan dan strategi atau cara pelaksanaan. Semuanya merupakan hasil kesepakatan bersama. • Pelaksanaan dan Kontrol Tahap pelaksanaan program dengan pemantauan masyarakat pada setiap pelaksanaan. • Evaluasi dan timbal balik Hasil monitoring berguna untuk mengevaluasi pelaksanaan terhadap target yang telah disepakati. Informasi evaluasi juga sebagai bahan untuk melanjutkan rencana-rencana program selanjutnya.

3.4 pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil terpadu berbasis masyarakat Dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan (Gambar1).

Gambar 1. Proses Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat (Sumber: Dahuri et al (2001) yang telah dimodifikasi

-

Tahap Perencanaan

Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam, konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut. Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional. Dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep pengelolaan sumber daya pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentukbentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000). -

Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana

Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya. Selain

itu

juga

diperlukan

koordinasi

dan

keterpaduan

antar

sektor

dan stakeholder yang ada sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, Investor/swasta, instansi

sektoral, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah: (1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. (2) pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan (3) memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan (4) penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku. -

Tahap Monitoring dan Evaluasi

Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan prinsip Ko-manajemen perikanan yaitu pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Oleh sebab itu keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat mengacu kepada indikator keberhasilan Ko-manajemen perikanan. Menurut Dahuri et al (1998) Indikator keberhasilan

Ko-manajemen adalah seperti pada Tabel Lampiran 1.2 3.5 Model yang Dapat Diterapkan Di Indonesia Secara umum model-model pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPPK) yang digunakan di beberapa wilayah pesisir yaitu model top-down (inisiasi dan kontrol di pihak pemerintah) atau sentralistik, bottom-up (inisiasi dan kontrol di pihak masyarakat pesisir) atau desentralistik, co-management (kemitraan antara dua pihak berkepentingan terhadap wilayah PPPK, misalnya antara masyarakat dan pemerintah), dan pengelolaan terpadu yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya wilayah PPPK. Model pengelolaan wilayah PPPK top-down lebih cendrung digunakan pada negara berkembang karena kuatnya pemerintah dalam mengelola aset strategisnya. Model top-down bertumpu pada format perencanaan, metode pelaksanaan dan manfaatnya di pusatkan ke pemerintah nasional dan pemerintah daerah melaksanakan program tersebut. Pemerintah nasional membagi rata manfaat pengelolaan sumberdaya wilayah PPPK ke pemerintah daerah, walau daerha tidak memiliki wilayah pesisir. Kelemahan model top-down adalah minimnya muatan karakter lokal (kearifan lokal) di dalam pelaksanaanya sehingga seringkali berbenturan dengan realita dan masalah yang ada. Benturan tersebut berakibat terjadi dualisme pengelolaan yaitu pengelolaan berbasis masyarakat yang telah berlangsung sejak dulu dengan konsep top-down. Sedangkan hal positif model ini yaitu besarnya persediaan pendanaan dan efektifnya instrumen pengelolaan, seperti pengawasan dan penegakan hukum. Model bottom-up adalah model pengelolaan yang telah lama digunakan oleh sebagian besar masyarakat PPPK yang memiliki hak tradisional dan begitu kuat diakui. Saat sekarang model pengelolaan berbasis masyarakat ini masih ada, seperti sistem pengelolaan sasi, ondoapi, lebak bulung, panglima laot atau sistem ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan. Kelemahan model bottom-up adalah mengenai pertanyaan tentang kesejahteraan masyarakat PPPK, instrumen yang tersedia makin sulit melakukan penegakan hukum yang disepakati, 2

Diakses pada tanggal 7 Oktober 2010. http://rudyct.com/PPS702ipb/05123/group2_123.htm. Pukul 05.53 WITA

legalitasnya masih sulit dipenuhi landasannya, hanya sedikit masyarakat yang memahami prinsip pengelolaan model ini. Kelebihan model ini adalah dibentuk oleh masyarakat PPTK sendiri dimana pelaksanaannya berdasarkan sistem norma, kepatuhan dan loyalitas. Model pengelolaan Co-management yang berpola kemitraan, menganggap masyarakat PPPK dan pemerintah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang sumberdaya wilayah PPPK. Model ini menitikberatkan bahwa masyarakat harus berkelompok sehingga koordinasi, pemilihan prioritas dan pengambilan keputusan lebih akomodatif dalam meminimalkan bias dalam pencapaian tujuan. Proses dalam model ini biasa lebih menyita banyak waktu untuk tawarmenawar antara pihak pemerintah dan kelompok tentang hal-hal penting yang akan disepakati, sehingga kedua pihak ini seringkali sulit disinergikan. Model yang terakhir adalah model pengelolaan terpadu. Model ini adalah suatu mekanisme dimana setiap elemen mempunyai peran yang saling mendukung agar terlaksananya tujuan pengelolaan. Multi disiplin ilmu bersinergis dalam suatu wadah tim kerja (teamwork) sehingga alokasi waktu untuk menciptakan kesamaan persepsi, prinsip dan tujuan nampak lebih lama. Model terintegrasi (terpadu) ini memerlukan dukungan kelembagaan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat pesisir itu sendiri, disamping validasi daya dukung sumberdaya bagi terselenggaranya tujuan ini.3

3

Diakses pada tanggal 5 Oktober. http://www.abdulmuthalib.co.cc/2009/08/4-modelpengelolaan-pesisir-dan-pulau.html. Pukul 14.30 WITA

BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan 1. Sumber daya pesisir menjadi modal dasar pembangunan yang penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Ekositem pesisir dan keanekaragaman hayatinya berperan dalam merespon perubahan iklim nasional dan global terutama di pulau yang sangat kecil (< 100 ha) yang rawan tenggelam. Dalam kondisi yang demikian, upaya pengelolaan wilayah pesisir untuk memanfaatkan sumber dayanya secara lestari belum memadai. Pemanfaatan yang berlebih (over exploitation) telah mengakibatkan degradasi sumber daya pesisir. Tekanan pemanfaatan sumber daya pesisir semakin parah dengan adanya krisis ekonomi, sehingga mendorong banyak pihak bersaing mendapatkan sumber daya yang masih tersisa dengan berbagai cara. Situasi ini mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menimbulkan marginalisasi masyarakat pesisir. Permasalahan ini disebabkan banyak faktor, antara lain belum diadopsi pendekatan Pengelolaan Pesisir terpadu. -Sentralistik. Sebagaimana kebijakan pengelolaan lingkungan di Indonesia lainnya bahwa pengelolaan lingkungan dengan pendekatan stated-based didasarkan pada pendekatan ”top down”, dimana dilaksanakan karena ada anggapan bahwa penduduk yang berpenghasilan rendah tidak memiliki pengetahuan teknis yang dibutuhkan untuk memberikan kontribusi efektif dalam proses perencanaan (William,1997). Pendekatan state-based mengandung arti bahwa komitmen pemerintah terhadap partisipasi masyarakat

sangat terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya alokasi budget yang digunakan untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam hal ini tanggung jawab untuk membentuk partisipasi masyarakat seringkali dibebankan secara tumpang tindih, sehingga akan memperlemah fisibilitas dan efektifitas upaya suatu badan pemerintah (Gilbert dan Ward,1984). -Desentralisasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi msyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah : •

Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas

wilayah laut tersebut. •

Pengaturan kepentingan administratif.



Pengaturan tata ruang.



Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau

yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. -Co management, Dalam Pasal 41 mengisyaratkan a danya Forum Mitra Bahari yang dibentuk sebagai upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir. Mitra Bahari merupakan forum kerja sama pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga suadaya masyarakat, organisasi profesi , dan tokoh masyarakat termasuk dunia usaha. Kegiatannya difokuskan pada bentuk pendampingan/penyuluhan, pendidikan/pelatihan, penelitian terapan, termasuk rekomendasi kebijakan. Artinya forum mempunyai beban moral dan harus bertanggung jawab mengeliminasi dampak negative kehadiran HP3 bagi masyarakat pesisir/nelayan dikawasan tertentu. -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil terpadu berbasis masyarakat. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat

diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan. 2. Model pengelolaan wilayah PPPK top-down lebih cendrung digunakan pada negara

berkembang karena kuatnya pemerintah dalam mengelola aset strategisnya. Model bottom-up adalah model pengelolaan yang telah lama digunakan oleh sebagian besar masyarakat PPPK yang memiliki hak tradisional dan begitu kuat diakui. Model pengelolaan Co-management yang berpola kemitraan, menganggap masyarakat PPPK dan pemerintah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang sumberdaya wilayah PPPK. Model ini menitikberatkan bahwa masyarakat harus berkelompok sehingga koordinasi, pemilihan prioritas dan pengambilan keputusan lebih akomodatif dalam meminimalkan bias dalam pencapaian tujuan. Model yang terakhir adalah model pengelolaan terpadu. Model ini adalah suatu mekanisme dimana setiap elemen mempunyai peran yang saling mendukung agar terlaksananya tujuan pengelolaan.

DAFTAR PUSTAKA http://www.beritamaritim.com/berita/01/11.shtml www.indoprogress.com www.makassarkota.go.id/index.php?option=com_content. www.depkominfo.go.id/.../hak-pengusahaan-perairan-pesisir-dapat-ditolak-jikaancam-kelestarian/ www.dkp-banten.go.id/berita/02/08-liput.rtf www.wikipedia.com/jumlahpulau http://mukhtar-api.blogspot.com http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/group2_123.htm. http://www.abdulmuthalib.co.cc/2009/08/4-model-pengelolaan-pesisir-dan-pulau.html.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF