tugas PI
March 4, 2018 | Author: ElianaMendoza | Category: N/A
Short Description
Download tugas PI...
Description
Nama : Eliana Eka Kurniawati NPM : 1006816382
Program Sarjana Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik Universitas Indonesia Depok 2011
KONSEP BENEFICIAL OWNER DI INDONESIA •
Ps 26 UU PPh Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Istilah ini dimuat dalam Pasal 26
ayat (1a) Undang-undang tersebut. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : “Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).” Adapun penjelasan dari Ps 26 ayat (1a) berbunyi : “Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima
penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud. Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, Negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah Negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersamasama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.” Mengenai pengertian Beneficial Owner menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005, Direktorat Jenderal Pajak memandang perlu untuk memberikan penjelasan guna menciptakan kepastian hukum mengenai pengertian dan kriteria tentang "beneficial owner" sebagai berikut : a. Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan
maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. b. Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company","pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas. c. Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.
•
PER-61/PJ./2009 dan PER-62/PJ./2009 Berdasarkan PER-62/PJ./2009. yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas
manfaat ekonomis (beneficial owner, pen) adalah penerima penghasilan yang: 1. bertindak tidak sebagai Agen; 2. bertindak tidak sebagai Nominee; dan 3. bukan Perusahaan Conduit Tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner adalah perusahaan dalam bentuk special purpose company,conduit company, paper box company atau pass-trough company. Tidak termasuk beneficial owner juga adalah orang atau badan yang bertindak sebagai agen (agent) atau nominee. Pengertian agen, nominee dan conduit company sendiri terdapat dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009. Dalam ketentuan tersebut agen (agent) didefinisikan sebagai orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain. Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan. Sementara itu, conduit company adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat
ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung. Namun demikian, jika kita mengacu kepada ketentuan yang berlaku sekarang yaitu PER-62/PJ./2009, maka tidak ada definisi resmi tentang beneficial owner tersebut. Ketentuan tersebut hanya menyatakan bahwa beneficial owner itu bukan agen, bukan nominee dan bukan conduit company. Yang diberi defnisi adalah agen, nominee dan conduit company seperti dikutip dalam paragraf sebelumnya.. Dengan demikian, jika penerima penghasilan berupa bunga, dividen atau royalty yang diterima oleh residen Negara mitra P3B memenuhi defininisi agen, nominee atau conduit company
maka
penerima
penghasilan
tersebut
bukanbeneficial
owner dari
penghasilan tersebut sehingga ia tidak berhak atas manfaat dari P3B antara Indonesia dengan Negara mitra tersebut. Pengertian penyalahgunaan P3B yang dimaksud dalam PER-61, dapat terjadi apabila : 1)
Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
2)
Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (Economic subsctance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
3)
Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner). PER-62/PJ./2009 secara jelas dan tegas mengaitkan istilah beneficial owner dengan
penyalahgunaan P3B di mana dinyatakan bahwa penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam tiga hal. Pertama adanya transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Kedua, transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Terakhir, penyalahgunaan
P3B dapat terjadi dalam hal penerima penghasilan bukan merupakan pemilik sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner). Sebagai
konsekuensi
dari
adanya
penyalahgunaan
P3B,
PER-62/PJ./2009
menegaskan bahwa P3B tidak dapat diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B yang salah satunya adalah penerima penghasilan yang bukan beneficial owner. Ketentuan tentang beneficial owner dibuat sebenarnya dalam rangka pencegahan penyalahgunaan P3B di mana jika penerima penghasilan bukan beneficial owner maka ketentuan P3B tidak dapat diterapkan. Secara umum,beneficial owner adalah orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak dalam negeri suatu Negara yang merupakan pemilik sebenarnya dari penghasilan berupa bunga, dividend dan royalty yang bersumber dari Indonesia sehingga orang pribadi atau badan tersebut berhak untuk menikmati ketentuan P3B antara Indonesia dengan Negara tempat orang pribadi atau badan tersebut berdomisili. Namun demikian, berdasarkan ketentuan PER-62/PJ./2009 yang berlaku sekarang, tidak
ada
definisi
tentang
beneficial
owner.
Yang
ada
adalah
definisi
agen, nominee dan conduit company yang bukan merupakan beneficial owner. Orang Pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B yang tidak dianggap melakukan penyalahgunaan P3B adalah sbb : a.
Individu yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b.
Lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di Negara Mitra P3B;
c.
WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan
penghasilan
dari
transaksi
pengalihan
saham
atau
obligasi
yang
diperdagangkan atau dilaporkan di pasal modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee; d.
Perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e.
Bank; atau
f.
Perusahaan yang memenuhi persyaratan :
1)
Pendirian perusahaan di Negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
2)
Kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
3)
Perusahaan mempunyai pegawai; dan
4)
Penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di Negara penerimanya; dan
5)
Tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk seperti: bunga, royalty, atau imbalan lainnya.
Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, maka : 1. Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan UU PPh; 2. WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang.
TERKAIT KASUS PREVOST Jika dikaitkan dengan kasus Prevost, Perusahaan Dutchco merupakan pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya atau disebut dengan custodian. Dutchco dikatakan custodian karena tidak ada perjanjian yang menyatakan bahwa Dutchco wajib mendistribusikan dividend yang diterima dari Prevost kepada kepada Volvo dan Henlys. Jadi, Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Wajib Pajak Luar Negeri yang ingin memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif yang terdapat dalam
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) wajib disertai dengan Surat Keterangan Domisili yang telah diisi dan ditangani oleh Wajib Pajak serta telah disahkan oleh pejabat yang berwenang di negara mitra P3B, adapun dasar hukum yang mengatur mengenai Surat Keterangan Domisili adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ./2009. Bukan hanya itu saja, Wajib Pajak Luar Negeri tersebut juga merupakan Beneficial Owner yaitu pemilik sebenarnya dari dividen, bunga dan royalti yang berhak sepenuhnya untuk langsung menikmati penghasilan dimaksud. Yang termasuk dalam Beneficial Owner dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005 tentang petunjuk penetapan kriteria "beneficial owner" sebagaimana tercantum dalam persetujuan penghindaran pajak berganda antara indonesia dengan negara lainnya dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER25/PJ./2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi, maka Wajib Pajak Luar Negeri yang memperoleh manfaat atas penghasilan yang diterima dari Indonesia dalam bentuk bunga, royalty dan dividen dipotong PPh Pasal 26 sebesar tarif yang terdapat dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara mitra yang mengikat perjanjian tersebut dengan Indonesia. Dan apabila Penerima Penghasilan bukan merupakan Beneficial Owner atau yang tidak sepenuhnya menikmati manfaat atas Penghasilan tersebut maka dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
PERBANDINGAN DENGAN KONSEP : LEGAL/ECONOMIC MEANING dan DOMESTIC/INTERNATIONAL MEANING Terkait dengan kasus Prevost, otoritas pajak Kanada (CRA), Dutchco dianggap bukan sebagai beneficial owner berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda KanadaBelanda. Alasan yang diberikan oleh otoritas pajak Kanada adalah bahwa Dutchco bertindak sebagai perusahaan conduit. Pendirian Dutchco hanya ditujukan untuk menampung penghasilan dividen yang diperoleh oleh Volvo dan Henlys dari Prevost. Oleh karena itu, Prevost harus mengenakan withholding tax sebesar : 1. 15% atas pembayaran dividen kepada Volvo berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda Kanada-Swedia.
2. 10% atas pembayaran dividen kepada Henlys berdasarkan perjanjian penghindaran
pajak berganda Kanada-Inggris.1 Ketentuan domestik negara Kanada apabila dividen yang dibayarkan bukan kepada resident tanpa memperhatikan hubungan anatara negara pemberi dividend dan negara yang memperoleh manfaat dari penghasilan berupa dividend yang diperoleh (beneficial owner) maka dipotong pajak sebesar 15%. Sesuai dengan United Nations Commentaries yang menyatakan : Canada reserves the right to apply a 15 percent rate of tax at source on dividends paid to non-residents without regard to the relation between the company paying the dividends and the beneficial owner.2 Dalam memutuskan kasus Prevost Hakim Gerald Rip melihat pengertian beneficial owner dalam OECD commentary tahun 1977 sebagai berikut ini : “Under paragraph 2, the limitation of tax in the state of source is not available when an intermediary, such as an agent or nominee, is interposed between the beneficiary and the payer, unless the beneficial owners are resident of the other contracting state … state which wish to make this more explicit are free to do so during bilateral negotiations. Stef Van Weeghel menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan pajak Belanda. Dutchco merupakan beneficial owner. Argumentasi didasarkan atas putusan Dutch Supreme Court tanggal 6 April 1994 atas kasus BNV 1994/21 sebagai berikut : “A clear and simple rule emerges. A person is the beneficial owner of dividend if (i) he is the owner of the dividend coupon, (ii) he can freely avail of the coupon, and (iii) he can freely avail of money distributed.” Jadi, berdasarkan ketentuan domestik Belanda, suatu pihak dikatakan sebagai beneficial owner dari penghasilan dividen yang diterimanya apabila : 1.
pihak tersebut merupakan pemilik dari kupon dividen;
2.
pihak tersebut mempunyai hak untuk memanfaatkan kupon dividen yang dimilikinya; dan
3.
pihak tersebut mempunyai hak untuk memanfaatkan unag dari dividen yang diterimanya.
1
Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, “Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, Danny Darussala Tax Center, 2010, Hal 144. 2
Department of International Economic and Social Affairs, “United Nations Model Double Taxation Convention Between Developed and Developing Countries”, United Nations, New York, 1980, Hal 119.
Disamping penggunaan pendekatan pengertian domestik
(domestic meaning),
digunakan juga pendekatan pengertian internasional meaning (international meaning), yaitu OECD commentary tahun 1977 dan OECD Conduit Companies Report tahun 1986. Dari dua sumber pengertian internasional tersebut disimpulkan bahwa : 1. Agen dan nominee tidak dapat diklasifikasikan sebagai beneficial owner; 2. Perusahaan conduit bukan merupakan beneficial owner karena tidak mempunyai
wewenang untuk menentukan penghasilan yang diterimanya; 3. Pendirian perusahaan (interposed company) tidak dipergunakan sebagai alat untuk
melakukan penghindaran pajak (treaty abuse). Dengan demikian, suatu pihak tertentu, sepanjang tidak menyimpang dari pengertian internasional dari beneficial owner sebagaimana diatur dalam OECD Commentary dan OECD Conduit Companies Report, dapat diklasifikasikan sebagai beneficial owner.3 Pendekatan legal atau legal meaning dari beneficial owner menurut Pertaturan Perundang-undangan perpajakan di Indonesia tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-04/PJ.34/2005 sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.”4 Dalam peraturan tersebut untuk mendapatkan manfaat P3B, penerima penghasilan selain menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri negara mitra runding harus juga menjadi beneficial ownership (pemilik ekonomis dan bukan hanya pemilik legal) atas penghasilan. Economic Meaning dijabarkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang: a.
bertindak tidak sebagai Agen;
3
Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, “Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, Danny Darussala Tax Center, 2010, Hal 145-146. 4
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005 tentang petunjuk penetapan kriteria "beneficial owner" sebagaimana tercantum dalam persetujuan penghindaran pajak berganda antara indonesia dengan negara lainnya.
b.
bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c.
bukan Perusahaan Conduit.”5 Jadi, pengertian mengenai beneficial owner tidak dijelaskan secara pasti oleh OECD
Model Tax Convention atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), sehingga suatu pihak tertentu dapat dikatakan sebagai beneficial owner sesuai dengan Peraturan Perundangundangan Domestik di negara yang menlakukan Perjanjian Penghidaran Pajak Berganda (P3B) selama tidak menyimpang dari pengertian internasional dari beneficial owner sebagaimana diatur dalam OECD Commentary dan OECD Conduit Companies Report. Selain itu Penerima penghasilan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner). Dalam hal transaksi dengan struktur / skema yang format hukumnya (legal form) harus sama dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sehingga dapat memperoleh manfaat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Hal ini tercantum dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
5
Pasal 4 ayat 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
DAFTAR PUSTAKA Buku: Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi. “Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”. Danny Darussala Tax Center. Jakarta : 2010.
Jaja Zakaria. “Perjanjian penghindaran pajak berganda serta penerapannya di Indonesia”. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 2005 D. Larry Crumbley, Jack P. friedman, and Susan B Anders, “Dictionary of Tax Terms”. Barron’s Educational Series, Inc. 1994. Department of International Economic and Social Affairs. “United Nations Model Double Taxation Convention Between Developed and Developing Countries”. United Nations, New York, 1980.
Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005 tentang petunjuk penetapan kriteria "beneficial owner" sebagaimana tercantum dalam persetujuan penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan negara lainnya.
View more...
Comments