tugas komunitas 3
June 1, 2016 | Author: Wahyu Nurse | Category: N/A
Short Description
tugas komunitas 3 lansia...
Description
TELAAH JURNAL DENGAN JUDUL ”PENGARUH SOCIAL ENGAGEMENT TERHADAP FUNGSI KOGNITIF LANJUT USIA DI JAKARTA” Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Komunitas 3
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Oleh : Aris Septiana Cahyo Sang Wahyu Isabella eyen mansen Lili Yati Da Costa Rido Tatak Triyono Waluyo Dwi Oktavianto
( 1211032 ) ( 1211016 ) ( 1212082 ) ( 1212085 ) ( 1211005 ) ( 1211036 )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PATRIA HUSADA BLITAR 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Telaah Jurnal dengan judul “PENGARUH SOCIAL ENGAGEMENT TERHADAP FUNGSI KOGNITIF LANJUT USIA DI JAKARTA ”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas semester VI mata kuliah Komunitas 3. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memenuhi kriteria penilaian dan bermanfaat bagi pembaca. Blitar, Juni 2015 Penyusun
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Peningkatan umur harapan hidup akan berdampak pada meningkatnya jumlah populasi usia lanjut. Berdasarkan data sensus penduduk di Indonesia dari tahun 1990-2000 jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas meningkat menjadi 7,4% dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 2005 diperkirakan penduduk usia lanjut berjumlah 19,9 juta jiwa atau 8,48% dan meningkat lagi menjadi 24 jiwa atau 9,77% dari total penduduk pada tahun 2010 (Depkes RI., 2005). Jumlah usia lanjut yang meningkat tampak pada struktur pertumbuhan penduduk umur tua (population ageing). Indonesia mengalami laju pertumbuhan penduduk usia lanjut tercepat dibandingkan negara lain di dunia, sehingga abad duapuluh satu akan menjadi ’Era Usia lanjut’ (Sirait & Riyadina, 1999; Biro Pusat Statistik, 1997, dalam Riasmini, 2002). Berkaitan dengan umur usia lanjut tersebut, Lueckenotte (2000) menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka prosentase untuk mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga semakin meningkat. Penurunan kondisifisik dan mental pada usia lanjut juga akan meningkatkan tingkat ketergantungan. Penurunan produktivitas karena sudah masuk masa pensiun akan menimbulkan penurunan kondisi ekonomi, berkurangnya kontak sosial dan secara psikologis akan terjadi kesepian, kebosanan serta kurang percaya diri. Penyebab dari perubahan tersebut adalah karena adanya proses menua (ageing process). Kondisi inilah yang menjadi penyebab usia lanjut termasuk pada kelompok yang beresiko (Mc. Murray, 2003; Gallo, Reichel & Anderson, 1998; Kuntjoro, 2002). Perawatan pada usia lanjut di rumah, diberikan keluarga dalam rangka menjalankan fungsi keluarga yaitu sebagai pemberi perawatan kesehatan (Friedman, Bowden & Jones, 2003). Fungsi perawatan kesehatan merupakan kesanggupan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan pada anggota keluarga. Kemampuan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan pada usia lanjut dapat dilihat dari tugas kesehatan yang dilaksanakan. Tugas tersebut terdiri
dari mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat, memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit, mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat dan menggunakan fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2005;Friedman, Bowden & Jones, 2003). Salah satu keberhasilan terbesar kebijakan kesehatan masyarakat adalah peningkatan harapan hidup. Di tahun 2025 akan terdapat sekitar 1.2 milyar penduduk dunia berusia 60 tahun ke atas, yang akan menjadi 2 milyar di tahun 2050; 80% tinggal di negara-negara berkembang1. Indonesia yang berpenduduk 231.4 juta jiwa juga akan mengalami peningkatan penduduk lanjut usia. Jumlahnya pada tahun 2010 diperkirakan 18,575,000 jiwa,2 sekitar 7% dari jumlah seluruh penduduk. Proporsi populasi lanjut usia tersebut akan terus meningkat mencapai 11.34% di tahun 2020. Salah satu masalah kesehatan utama di kalangan lanjut usia adalah kemunduran. Peningkatan harapan hidup manusia akan menambah populasi lanjut usia diikuti dengan peningkatan masalah, antara lain penurunan fungsi kognitif. Salah satu faktor risiko penurunan fungsi kognitif ialah social engagement yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal. Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional di kelurahan Jelambar dan Jelambar Baru, Jakarta atas 286 lanjut usia yang tinggal di keluarga. dan di panti werdha menunjukkan adanya pengaruh social engagement terhadap fungsi kognitif lanjut usia, terutama di kalangan panti werdha. Social engagement buruk berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif, social engagement buruk berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih rendah. Komponen social engagement yang paling berperan terhadap fungsi kognitif para lanjut usia adalah aktivitas di masyarakat dan keanggotaan di kelompok masyarakat lain (selain posyandu). Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta factor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif berupa ekspektasi/penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan factor social mencakup pengamatan siswa terhadap Albert Bandura
perilaku
merupakan salah satu perancang teori
orang
tuanya
kognitif
social.
Menurut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat merepresentasikan atau mentrasformasi mengembangkan
pengalaman mereka model
secara
deterministicresipkoral
kognitif. yang
Bandura terdiri dari
tiga faktor utama yaitu perilaku person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif terutama
pembawaan personalitas
temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi,
dan
keyakinan, strategi
pemikiran dan kecerdasan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana mampu menjelaskan definisi Lansia.? 2. Bagaimana mampu menjelaskan fungsi kognitif dengan baik.? 3. Bagaimana mampu menjelaskan proses menua pada lansia? 4. mampu menjelaskan gangguan kognitif pada lansia? 5. Bagaimana mampu menjelaskan asuhan keperawatan dan gangguan kognitif pada lansia? 1.3 Tujuan a. Tujuan Umum Secara umum makalah ini dibuat untuk mempelajari lebih dalam tentang pengaruh social engagement terhadap fungsi kognitiflanjut usia di jakarta. Disamping itu, penulisan juga bertujuan untuk memenuhi tugas yang bertujuan untuk menerapkan konsep materi keperawatan lansia. b. Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Lansia. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi kognitif dengan baik. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan proses menua pada lansia 4. Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan kognitif pada lansia 5. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan dan gangguan kognitif pada lansia 1.4 Manfaat Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat : 1. Bagi mahasiswa agar sebagai perawat nantinya bisa mengaplikasikan ilmu
tersebut
atau
menerapkannya
dalam
keperawatan Lansis dengan baik dan benar.
memberikan
asuhan
2. Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Defenisi Usia lanjut menurut UU nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke atas. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa usia lanjut mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa usia lanjut mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Depkes RI, 2005; Partini, 2005, diperoleh tanggal 14 April 2009). Menurut Wirakartakusumah
(2001,
dalam Riasmini, 2002) usia lanjut adalah seorang pria atau wanita yang berusia enam puluh tahun keatas baik secara fisik masih berkemampuan maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu berperan aktif dalam pembangunan.
Berdasarkan
pengertian-pengertian
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa usia lanjut adalah seorang pria atau wanita yang berusia enam puluh tahun ke atas baik yang aktif maupun non aktif dalam pembangunan dan mempunyai hak serta tanggungjawab yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengelompokkan usia lanjut menjadi tiga katagori yaitu usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) adalah usia di atas 90 tahun. Depkes RI (2005) juga mengelompokkan usia lanjut menjadi 3 (tiga) katagori yaitu usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun, usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas, dan usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan. Di Indonesia, data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 1996, menunjukkan bahwa dari 7,1 juta penduduk usia lanjut perempuan diperkirakan sekitar 40,8% berusia 60-64 tahun dan sekitar 59,2% berusia 65 tahun ke atas. Sedangkan dari 6,2 juta penduduk usia lanjut laki-laki, diperkirakan sekitar 40,3% berusia 60-64 tahun dan 59,7%
berusia 65 tahun ke atas (Depsos, 1996, dalam Riasmini, 2002). Data tersebut menunjukkan
prosentase penduduk usia lanjut
baik pada
perempuan maupun laki-laki lebih banyak yang berusia diatas 65 tahun. A Profil of Older Americans, Washington DC (1997, dalam Lueckenotte, 2000) menyatakan semakin tua umur seseorang maka prosentase untuk mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seharihari juga semakin meningkat. Kondisi ini akan meningkatkan tingkat ketergantungan usia lanjut pada keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang yang berusia lanjut secara fisiologis akan terjadi proses menua (ageing process). Proses menua merupakan suatu proses alami dan komplek, berjalan sepanjang hidup tidak dimulai dari suatu waktu yang pasti. Masing-masing individu mempunyai manifestasi yang berbeda dari proses penuaan yang terjadi dan belum ditemukan secara pasti fenomena yang melandasi mekanisme penuaan tersebut (Lefrancois, 1996, dalam Hitchock, Schubert & Thomas, 1999; Rochmah & Aswin, 2001). Beberapa aspek yang dipertimbangkan dalam proses menua adalah aspek biologis, psikologis dan sosial. Penduduk usia lanjut
telah mengalami proses penuaan secara
biologis. Artinya menurunnya daya tahan fisik ditandai dengan semakin rentannya tubuh pada serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena perubahan anatomis dan fisiologis, sehingga usia lanjut mengalami gangguan (impairment), ketidakmampuan (disability), tidak dapat menjalankan fungsi (disfunction), dan timbulnya rintangan (handicap) (Rochmah & Aswin, 2001). Perubahan biologis yang terjadi pada usia lanjut diantaranya perubahan struktur dan fungsi sel, jaringan, dan sistem organ serta adanya pengurangan kekuatan otot dan kecepatan gerak (Rochmah & Aswin, 2001; Sunyoto,1994, dalam Purwanto, 2002). Hal ini sesuai dengan teori penuaan antara lain: Teori pemakaian dan rusak atau Wear and Tear Theory menyatakan
bahwa proses penuaan terjadi sebagai akibat
penggunaan secara normal dari tubuh. Bertambahnya usia menyebabkan penggunaan yang terus menerus sehingga tubuh tidak lagi berfungsi sesuai dengan kapasitasnya (Stanhope & Lancaster, 1996). Teori lain yang mendukung adalah Genetic Programming and Errors Theory, merupakan
teori intrinsik yang menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses penuaan. Setiap individu mempunyai batas jam biologis sendiri-sendiri (Hayflick, 1965, dalam Eliopoulos, 2005). Teori-teori tersebut menjelaskan bahwa organ tubuh yang telah dipakai oleh usia lanjut dalam jangka waktu yang lama akan mengalami penurunan efisiensi fungsi, namun terdapat perbedaan pada masingmasing individu (Eliopoulos, 2005). Teori lain yang menjelaskan tentang penuaan adalah teori kekebalan. Menurut Stanley, Blair dan Beare (2005) menjelaskan pada usia lanjut akan terjadi perubahan limfoid yang mengakibatkan tidak adanya keseimbangan dalam sel T dan B sehingga produksi antibodi dan kekebalannya menurun. Kondisi ini menyebabkan usia lanjut menjadi kelompok yang berisiko karena rentannya terhadap penurunan status kesehatan. Manifestasi dari menurunnya status kesehatan pada usia lanjut adalah adanya penyakit kronis yang diderita. Masalah kesehatan kronis dapat mempengaruhi kemampuan fungsional dari usia lanjut. Hal ini dapat mengganggu kesehatan fisik, emosional, kemampuan merawat diri dan kemandiriannya (Akkar et al., 1998, dalam Lueckenotte, 2000). Kondisi tersebut dapat meningkatkan keterlibatan keluarga dalam memberikan perawatan pada usia lanjut di rumah. Tinjauan aspek psikologis pada usia lanjut berfokus pada perilaku dan sikap. Perubahan psikologi pada usia lanjut terjadi akibat perubahan umur, kemunduran fungsi anatomi tubuh dan adanya kenyataan sosial yang baru seperti pensiun, ditinggal mati pasangan hidup dan temantemannya. Manifestasi yang ditunjukkan dari tersebut
adalah
kesepian,
kebosanan,
perubahan psikologi
kurang
percaya
diri,
ketidakberdayaan, ketergantungan dan post power syndrome (Kuntjoro, 2002b,1 diperoleh tanggal 20 April 2009; Partini, 2005, diperoleh tanggal 14 April 2009; Stanley, Blair & Beare, 2005; Miller, 2004). Teori psikologi yang dapat menjelaskan terjadinya perubahan tersebut diantaranya adalah teori aktifitas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari bagaimana seorang usia lanjut merasakan kepuasan dalam melaksanakan aktifitas. Beberapa studi
menjelaskan bahwa, aktifitas mempunyai hubungan yang positif dengan kesehatan fisik dan mental pada usia lanjut. Memberikan kesempatan untuk melakukan suatu aktifitas/latihan merupakan komponen yang memberikan
kontribusi
optimalnya
kesehatan
fisik,
mental
dan
kesejahteraan pada usia lanjut (Hunt, 2005; Stone, McGuire & Eigsti, 2002; Stanley, Blair & Beare, 2005). Dipandang dari aspek sosial, usia lanjut merupakan suatu kelompok sosial tersendiri. Pada masyarakat Indonesia, penduduk usia lanjut menduduki kelas sosial yang tinggi karena harus dihormati oleh masyarakat yang lebih muda. Namun di negara barat, penduduk usia lanjut menduduki strata yang lebih rendah dari kaum muda. Hal ini ditandai oleh kurangnya keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh dalam pengambilan keputusan serta kurang luasnya hubungan sosial (Riasmini, 2002). Perubahan sosial yang terjadi pada usia lanjut dapat dijelaskan dengan salah satu teori yaitu teori pelepasan (Disengagement Theory). Perubahan sosial merupakan suatu periode menarik diri yang tidak terhindarkan, ditandai dengan menurunnya interaksi antara usia lanjut dengan orang lain disekitarnya. Menarik diri ini memberikan kesempatan pada individu untuk mempersiapkan dirinya menghadapi penyakit, ketidakmampuan dan kematian (Logan & Dawkins, 1986). Kontak sosial usia lanjut dengan masyarakat dan teman berkurang karena pensiun dan terjadinya perubahan nilai sosial pada masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat individualistik. Hal ini mengakibatkan usia lanjut kurang perhatian, kurang dukungan dan sering tersisih dari kehidupan bermasyarakat (Partini, 2005, 4, iperoleh tanggal 14 April 2009). Uraian tersebut di atas dapat menunjukkan bahwa usia lanjut adalah termasuk kelompok yang beresiko. Adanya peoses menua, rentannya terhadap serangan penyakit, trauma dan ketidakmampuan fisik akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan pada faktor sosial ekonomi, kesehatan fisik dan mental, serta kesehatan sosial. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya
tindak
kekerasan,
penganiayaan
dan
penelantaran pada usia lanjut, sehingga dukungan keluarga merupakan
komponen penting untuk mencegahnya. Dukungan keluarga juga diperlukan agar tujuan dari kesehatan fisik, sosial, emosi, spiritual dan perawatan kesehatan yang adekuat serta tempat yang aman dan nyaman untuk usia lanjut dapat tercapai (Mc. Murray, 2003). Lanjut usia (lansia) adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Dalami, 2009). Pembagian lansia menurut Depkes yaitu lansia dengan usia pertengahan adalah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun). Lansia dini adalah lansia dengan usia 55-64 tahun. 2.1.2 Batasan Lansia Menurut Organisasi Kesehatan Dunia ,lanjut usia dikelompokkan menjadi: 1. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun. 2. Lanjut usia (elderly) : antara 60 dan 74 tahun. 3. Lanjut usia tua (old) : antara 75 dan 90 tahun 4. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
2.1.3 Permasalahan Pada Lanjut Usia Berbagai permasalahan yang
berkaitan
dengan
pencapaian
kesejahteraan lanjut usia antara lain (Setiabudhi,1999: 40 - 42): 1.
Permasalahan Umum : a. Makin besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis b.
kemiskinan. Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan
c. d.
dihormati. Lahirnya kelompok masyarakat industri. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional
e.
pelayanan lanjut usia. Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan
kesejahteraan lansia. 2. Permasalahan khusus : a. Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya b. c. d. e.
masalah baik fisik, mental maupun sosial. Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia. Rendahnya produktivitas kerja lansia. Banyaknya lansia yang miskin, telantar dan cacat. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada
f.
tatanan masyarakat individualistik. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu kesehatan fisik lansia.
2.1.4 Teori Proses Menua a. Teori-Teori Biologi 1. Teori Genetik dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory) Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin. (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel). a) "Pemakaian dan Rusak" kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai). b) Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap c)
zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Teori "Immunologi Slow Virus" (Immunology Slow Virus Theory) Sistem immun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh. d) TeoriStres Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi
jaringan
tidak
dapat
mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres e)
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai. Teori RadikalBebas Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini
f)
menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi. Teori RantaiSilang Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi. g) TeoriProgram Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-sel tersebut mati.
2. Teori Kejiwaan Sosial Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory) a. Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. b. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. c. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lnjut usia. 3.
Kepribadian berlanjut (Continuity Theory) Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.Teori ini merupakan gabungan dari teori di atas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.
4. Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (Triple Loos), yakni : a. Kehilangan peran (Loos of Role) b. Hambatan kontak sosial (Restraction of Contact and Relation Ships) c. Berkurangnya komitmen (Reduced commitment to Social Mores and Values) 2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan adalah (Nugroho, 2000:19): a. b. c. d. e.
Hereditas = ketuaan genetik Nutrisi = makanan Status kesehatan Pengalaman hidup Lingkungan
f. Stres Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia 1. Perubahan-perubahan Fisik Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ
tubuh
diantaranya
sistem
pernafasan,
pendengaran,
penglihatan, kardio vaskuler, sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem respirasi, muskuloskletal, gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan integumen 2. Perubahan-perubahan mental Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental a. b. c. d. e. f. g. h.
Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa Kesehatan umum Tingkat pendidikan Keturunan (Hereditas) Lingkungan Gangguan saraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian Gangguan gizi akibat kehilakngan jabatan Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
i.
teman-teman dan family Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik : perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.
3. Perkembangan Spiritual a.
Agama
atau
kepercayaan
makin
terintegrasi
dalam
b.
kehidupannya (Maslow, 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari. (Murray dan Zentner, 1970).
4. Penyakit yang sering dijumpai pada lansia Menurut "The national Old People's Welfare Council, Di Inggris mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12 macam, yakni (Nugroho, 2000: 42): a. b. c. d. e. f. g.
Depresi mental Gangguan pendengaran Bronkitis kronis Gangguan pada tungkai / sikap berjalan Gangguan pada koksa / sendi panggul Anemia Demensia
Gambar 1 Hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada para lanjut usia 2.
Faktor resiko dan penyakit degeneratif seringkali bersamaan sehingga memungkinkan terjadinya banyak penyakit pada satu penderita (multi patologi) maka faktor resiko tadi harus-lah dicegah dan dikendalikan. Dalam kaitan dengan proses penuaan, beberapa teori menjelaskan tentang hal tersebut, antara lain : a. Teori genetik adalah menua telah terpro-gram secara genetik untuk spesies tertentu, menua terjadi sebagai akibat dari peru-bahan biokimia yang diprogram oleh mo-lekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi, jam ini akan menghitung mitosis hancurkannya. Peristiwa inilah yang menja-di dasar terjadinya peristiwa autonium (Darmojo & Martono, 2000). b. Teori metabolisme, dikatakan bahwa pengurangan asupan kalori pada
rodentia
muda
akan
menghambat
memperpanjang
umur
(Goldstein
et
al,
pertumbuhan 1989).
dan
Pentingnya
metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang dikemukakan pula oleh Ballin dan Allen (1989), (dikutip oleh Suhana 1994). Menurut me-reka ada hubungan antara tingkat me-tabolism dengan panjang umur. Hewan-hewan di alam bebas dikatakan lebih pan-jang umurnya daripada hewan laboratorium (Suhana 1994). Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri, antara lain karena kalori yang berlebihan, kurang akti-vitas dan sebagainya (Darmojo & Martono, 2000).dikatakan bahwa pengurangan asupan kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur
(Goldstein
et
al,
1989).
Pentingnya
metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang dikemukakan pula oleh Ballin dan Allen (1989), (dikutip oleh Suhana 1994). Menurut me-reka ada hubungan antara tingkat me-tabolism dengan panjang umur. Hewan-hewan di alam bebas dikatakan lebih pan-jang umurnya daripada hewan laboratorium (Suhana 1994). Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri, antara lain ka-
rena kalori yang berlebihan, kurang akti-vitas dan sebagainya (Darmojo & Martono, 2000). c. Teori rusaknya sistem imun tubuh, dimana mutasi yang berulang atau
perubahan
pro-tein
pascatranslasi
dapat
menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tu-buh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi somatic menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami peruba-han tersebut sebagai sel asing dan meng-hancurkannya. Adanya kerusakan sistem imun tubuh ber-bentuk sebagai proses heteroimunitas mau-pun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemam-puan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self recognition). 2.1.6 Hubungan Social Engagement terhadap Fungsi Kognitif Social engagement Social engagement diartikan sebagai kemampuan memelihara hubungan social (jaringan sosial) dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial (aktivitas sosial). Jaringan sosial (social network) dinilai dari struktur dan kualitas hubungan interpersonal, sedangkan aktivitas sosial dicirikan dari partisipasi dalam aktivitas masyarakat yang bermakna dan produktif. Social engagement mempunyai komponen bjaringan sosial, yaitu kemampuan memelihara luasnya hubungan sosial dan aktivitas sosial,yaitu tingkat partisipasi dalam kegiatan di masyarakat. Lebih banyak mempunyai jaringan sosial dan lebih banyak aktivitas sosial diasosiasikan dengan lebih lambatnya penurunan kognitif dan mereka yang menerima dukungan emosional mempunyai fungsi kognitif lebih baik.Pada penelitian ini lanjut usia dengan social engagement buruk memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk mendapatkan fungsi kognitif buruk (HR 2.09; 95%IK: 1.57– 2.80) dengan hasil penelitian epidemiologis yang sebagian besar menunjukkan bahwa social engagement merupakan faktor protektif terhadap penurunan fungsi kognitif meskipun ada juga yang tidak
menemukan hubungan antara dukungan sosial dengan risiko penurunan fungsi kognitif. Social engagement dianggap dapat memelihara fungsi kognitif1 melalui mekanisme scaff olding – berupa pengaktifan jaringan tambahan sehingga jaringan otak menjadi lebih efi sien; makin banyak jaringan tambahan yang tersedia, akan makin efisien mekanisme kompensatorik tadi, dan stimulasi lingkungan telah terbukti bisa menambah tersedianya jaringan tambahan tersebut. Social engagement melibatkan fungsi kognisi sosial. Kognisi sosial didukung oleh jaringan ekstensif yang melibatkan sistim limbik dan area asosiasi kortikal maupun subkortikal. Daerahdaerah tersebut juga mendukung memori episodik, memori semantik dan fungsi kognitif lainnya.
Sistem
ini memungkinkan
terbentuknya
representasi simbolik atas karakteristik self-non self, pikiran dan perasaan, dan aspek lain lingkungan sosial, dan memberikan kemampuan melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain (theory of mind).Pentingnya interaksi hubungan sosial telah lama diketahui; meskipun demikian tidak semua individu berkemampuan sama dalam hal membangun dan mempertahankan persahabatan dan ikatan sosial. Beberapa gangguan neurodevelopmental sebagian dicirikan dari ketidakmampuan membangun ikatan sosial seperti pada autism, fragile X syndrome dan skizofrenia; orang dengan diagnosis tersebut mempunyai defi sit kognisi sosial. Pengaruhnya terutama pada fungsi semantic memory, dibandingkan dengan fungsi episodic memory, working memory, perceptual speed, visuospatial ability. Lesi otak fokal termasuk stroke dapat menghambat aspek tingkah laku social sementara aspek kognitif lainnya relative intak. Penyakit neurodegeneratif termasuk Parkinson, demensia frontotemporal dan Alzheimer diketahui dikaitkan dengan gangguan aspek tingkah laku sosial. Oleh karena itu mungkin saja aspek proses kognitif yang membangun dan mempertahankan jaringan sosial juga dapat berlaku sebagaicadangan terhadap risiko gangguan kognitif akibat adanya akumulasi patologi jaringan otak, atau dengan mengkompensasi efek degenerasi sistem kognitif nonsosial.
Ada beberapa alasan mengapa aktivitas social dalam bentuk apapun berhubungan dengan fungsi kognitif di usia lanjut; di antaranya bahwa aktivitas tersebut juga memperbaiki kondisi kesehatan umum, mengurangi depresi dan memperbaiki kebiasaan hidup sehat. Menghindari isolasi sosial dan mempertahankan berbagai jenis aktivitas social agaknya bersifat protektif terhadap gangguan kognitif dan demensia di kemudian hari; meskipun demikian, kemungkinan sebaliknya bahwa gangguan kognitif menyebabkan penurunan aktivitas sosial juga harus dipertimbangkan mengingat neuropatologi yang diakitkan dengan gangguan kognitif dan demensia sudah terlihat berpuluh tahun sebelum gejala muncul. Secara umum, aktivitas sosial di masyarakat ataupun keanggotaan di kelompok masyarakat yang merupakan komponen social engagement dapat mempertahankan
kesehatan
mental
seseorang
melalui
beberapa
mekanisme: menyediakan dukungan sosial, memberikan pengaruh positif berupa rasa berguna, menyediakan bantuan praktis bagi kegiatan seharihari seperti membantu bepergian, dan membentuk keterikatan emosional. 2.1.7 Fungsi Kognitif Pada Usia Lanjut Pada kondisi umumnya lansia mudah dikelompokkan dengan melihat secara fenotip atau fisikal, seperti bentuk tubuh khas lansia yang berkaitan dengan keadaan degeneratif tulang, sendi, kulit dan ototnya. Disertai perubahan fungsi organ-organ dalamnya, menghasilkan kesulitan terbesar kelompok usila yaitu keterbatasan ADL (activity daily living). ADL berkaitan erat sekali dengan fungsi kognisi, secara fisiologis fungsi ini juga mengalami degenerasi pada kelompok lansia. Diantara fungsi otak yang menurun secara linier (seiring) dengan bertambahnya usia ada-lah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory). Penu-runan fungsi memori secara linier itu terjadi pada kemampuan kognitif dan tidak mem-pengaruhi rentang hidup yang normal (Besdin, 1987 ) (Strub & Black,1992). Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (me-mori jangka
pendek/ Short term memory) relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory) mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan infor-masi dari memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan penambahan usia. Dari sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal berusia 62-100 tahun, disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning) atau perolehan (acquisition) me-ngalami penurunan yang sama secara bermakna pada penambahan usia, tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan kemampuan ingatan tertunda (delayed recall atau forgetting) sedikit menurun tetapi lazim-nya tetap, terutama kalau faktor pembelajaran awal dipertimbangkan (Petersen et al., 1992). Proses penerimaan informasi diawali dengan diterimanya informasi melalui pengli-hatan (visual input) atau pendengarannya (auditory input) kemudian diteruskan oleh sen-sory register yang dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima dan masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian dan minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Bila se-waktu-waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali (Ellis, 1993). 2.1.8 Gangguan Fungsi Kognitif Pengelompokkan tingkat gangguan fungsi kognitif dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Menurut Kurlowiez (1999), berdasarkan tingkat keparahan (severity), gangguan fungsi dapat dibagi 3 yaitu : a. Tidak ada gangguan fungsi kognitif 1. Tidak ada keluhan subyektif defisit memori 2. Tidak ada defisit memori pada wawancara klinis b. Gangguan kognitif ringan 1. Pasien tersesat pada saat berpergian ke daerah yang kurang dikenal. 2. Orang dekatnya mulai mengetahui ada-nya performans pasien yang 3. 4.
relatif buruk. Defisit penemuan kata dan nama mulai tampak nyata. Pasien membaca bagian atau sebuah buku tetapi hanya ingat
5.
sebagian kecil saja. Pasien menunjukkan penurunan ke-mampuan mengingat nama, saat diper-kenalkan orang baru.
6. 7. 8.
Pasien kehilangan atau salah taruh ben-da berharga. Defisit konsentrasi mulai tampak nyata saat dilakukan tes klinis. Bukti nyata adanya defisit memori ha-nya tampak pada wawancara
intensif. 9. Penurunan performans pada tuntutan pekerjaan dan keadaan sosial. 10. Gejala pengabaian mulai tampak pada pasien 11. Ansietas ringan sampai sedang me-nyertai gejala. c. Gangguan kognitif berat. 1. Kadang-kadang lupa nama istri yang merupakan sandaran bagi hidupnya. Tidak menyadari semua peristiwa baru dan pengalaman hidupnya. Mereka masih mempunyai pengetahuan tentang hidup mereka yang dahulu, tetapi ini sangat terencana. Umumnya tidak me-nyadari lingkungan, tahun, musim dan sebagainya. 2. Mendalami kesulitan menghitung dari angka 10 secara mundur dan kadang-kadang maju. 3. Memerlukan beberapa bantuan untuk aktifitas hidup sehari-hari, misalnya
menjadi
inkonitun.
Memerlukan
bantuan
untuk
berpergian dan mengunjungi tempat keluarga. 4. Sering terganggu masalah diurnal. 5. Hampir selalu mengingat kembali nama
sendiri.
Sering
melanjutkan kemampuan untuk membedakan orang yang dikenal dan tidak dikenal dalam lingkungannya. 6. Terjadi perubahan kepribadian dan emosional. Hal ini amat beragam mencakup 7. Tingkah laku delusional 8. Gejala obsesi 9. Dapat timbul gejala cemas, agitasi bah-kan tingkah laku keras yang sebelum-nya tidak ada.
2.1 1.3 Tingkat Kognitifitas Menurut Teori ALBERT BANDURA 1.3.1. Biografi ALBERT BANDURA Profil Albert Bandura Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada tanggal 04 Desember 1925. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di desa kecil dan juga mendapat pendidikan disana. Pada tahun 1949 beliau mendapat pendidikan di University of British Columbia, dalam Jurusan Psikologi. Dia
memperoleh gelar Master di dalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi klinik, setelah lulus ia bekerja di Standford University. Bandura banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen.Pada tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor dan seterusnya menerima anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahu 1980.
Gambar 2.1. Albert Bandura 1.3.2. Teori Kepribadian Bandura Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial ( Social Learning Teory ) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan evaluasi. Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Belajar Sosial : perilaku dibentuk melalui konteks sosial, perilaku dapat dipelajari, baik sebagai hasil reinforcement maupun reinforcement itu sendiri. a. Pertama : manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri. b. Kedua : banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peranan penting. Faktor person (kognitif) yang dimaksud saat ini adalah self-efficasy atau efikasi diri. Efikasi diri adalah
keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif.Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar.Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. 1.3.3. Teori Peniruan ( Modeling ) Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya.Perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan,
strategi
pemikiran dan kecerdasan. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. BAB III ULASAN JURNAL 3.1 Judul Jurnal PENGARUH SOCIAL ENGAGEMENT TERHADAP FUNGSI KOGNITIF LANJUT USIA DI JAKARTA 3.2 Peneliti Budi Riyanto Wreksoatmodjo 3.3 Sumber Google dengan kata kunci : jurnal keperawatan gerontic pengaruh social engagement fungsi kognitif lanjut usia
3.4 Abstrak Penulis sudah menjelaskan secara ringkas mengenai isi dari jurnal mulai dari definisinya, tujuan, metode penelitian yang digunakan hingga hasil yang dicapai. Jurnal juga telah dilengkapi dengan kata kunci yang digunakan dalam jurnal. 3.5 Latar Belakang Penjelasan
mengenai
latar
belakang
penelitian
sudah
jelas
digambarkan pada bab Pendahuluan. Namun, seharusnya latar belakang diletakkan pada bab tersendiri sehingga pembaca langsung memahami latar belakang dari penelitian. 3.6 Tujuan Penelitian Tujuan telah dijelaskan pada bab Pendahuluan pada paragraph terakhir yaitu, “Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh social engagement terhadap fungsi kognitif lanjut usia di jakarta Namun sepertinya halnya latar belakang, seharusnya tujuan diletakkan pada bab tersendiri. 3.7 Metodologi Penelitian Metode, lokasi dan jumlah sampel penelitian telah dijelaskan secara terperinci dalam bab “Metode Penelitian”. Jenis penelitian adalah penelitian dengan desain quasi-eksperiment. Penelitian dilakukan
di Unit kelurahan
jelambar baru, jakarta barat. Populasi dalam penelitian ini adalah para lanjut usia yang tinggal di lingkungan masing-masing, baik dikeluarga maupun dipanti werdha di wilayah kelurahan Jamber. Jumlah sampel minimal pada 1 kelompok adalah 118, karena pada penelitian ini ada 2 kelompok maka sampel menjadi 236 respoden. 3.8 Hasil Hasil penelitian telah diberikan dalam table dan telah diberikan penjelasan mengenai table tersebut secara terperinci. Hasil yang didapatkan yaitu, pada penelitian ini mengunakan MMSE (Mini Mental State
Examination) didasarkan atas nilai potong yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan responden.
Penulis juga menjelaskan
mengenai kelemahan dari penelitian yang dilakukan pada bab ini.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Simpulan yang didapat yaitu, rata-rata social engagement terbukti berpengaruh terhadap fungsi kognitif yaitu social engagement buruk meningkatkan resiko terjadinya gangguan fungsi kognitif. Usia dengan social engagement buruk memiliki resiko 2.093 ( 1.565 – 2.799 ) kali lebih besar buruk untuk mempunyai fungsi kognitif buruk dibandingkan lanjut usia dengan engagement baik. 4.2 Saran Saran terhadap jurnal tersebut antara lain : 1.
Melakukan penelitian lanjutan pada populasi yang lebih luas, meliputi
2.
masyrakat dengan latar belakang kultur yang berbeda. Melakukan penelitian lanjutan berupa intervensi manipulasi social engagement untuk melihat pengaruh terhadap perubahan fungsi kognitif dikalangan lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA Riyanto, Budi Wreksoatmodjo. 2014. Pengaruh Social Engagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut Usia di Jakarta. Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Indonesia. CDK-214 vol. 41 no. 3, hlm.171-180, (Online), (http://repository.usu.ac.id), diakses pada 23 Mei 2015
View more...
Comments