Triple Bottom Line
September 20, 2017 | Author: Adrian Israni | Category: N/A
Short Description
Download Triple Bottom Line...
Description
A. TEORI TRIPLE BOTTOM LINE
Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007).
a. Profit (Keuntungan) Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi biaya.Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin (Yusuf wibisono, 2007).
1
b. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan) People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat (Yusuf wibisono, 2007).
c. Planet (Lingkungan) Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya. Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya (Yusuf wibisono, 2007).
2
B. PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE
Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek ekonomi saja, tetapi harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, setiap perusahaan berusaha untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang berkelanjutan bukan hanya mengejar keuntungan financial, bukan hanya peningkatan nilai pemegang saham. Namun yang paling baik adalah dicapai melalui kerangka kerja yang luas di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan nilai-nilai etika serta tujuan bersama yang melibatkan interaksi antara perusahaan dan berbagai pemangku kepentingan. Selanjutnya, konsep ini dikembangkan seperti penelitian Zu (2009) dalam Sandra (2011) mengungkapkan tentang teori triple bottom line dengan tiga aspek utama yaitu, ekonomis, sosial dan lingkungan. Triple bottom line menangkap spektrum yang lebih luas dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan organisasi yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Hal ini berarti memperluas kerangka kerja pelaporan sederhana untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan disamping kinerja keuangan. Ini juga menangkap esensi pembangunan berkelanjutan (sustainability development) dengan mengukur dampak ketiga aspek tersebut dari kegiatan operasi perusahaan. Konsep disampaikan oleh Solihin (2008) menyatakan bahwa pengenalan konsep sustainability development memberi dampak besar kepada perkembangan konsep triple bottom line selanjutnya. Sebagai contoh the organization for economic cooperation and development (OECD merumuskan”kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian kepada para pemegang saham, upah bagi karyawan dan pembuatan produk serta jasa bagi para
3
pelanggan melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat”. Solihin (2008) juga menyatakan paparan tentang triple bottom line. Yaitu menyatakan bahwa semua konsep ini sebagai adopsi dari atas konsep sustainability development, saat ini perusahaan secara sukarela menyusun laporan setiap tahun yang dikenal dengan sustainability report. Laporan tersebut menguraikan dampak organisasi perusahaan terhadap ekonomi, sosial, lingkungan. Salah satu model awal yang digunakan oleh perusahaan dalam menyusun suistanability report mereka adalah dengan mengadopsi metode akuntansi yang dinakaman triple bottom line. Menurut John Elkington (1997) dalam Solihin (2008) konsep triple bottom line merupakan perluasan dari konsep akuntansi tradisional yang hanya membuat single bottom line tunggal yakni hasil-hasil keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Secara lebih rinci, Elkington menjelaskan triple bottom line sebagai berikut. “The three lines of the triple bottom line represent society , the economy and the environment. Societ depend on the global ecosystem, whose hearh represents ultimate bottom line. The three line are not stable; they are in constant flux, due to social, political, economic and environmental pressures, cycle and conflicts.” Dari pengertian dan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas perusahaan yang berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkaitan dengan masyarakat. Terutama pada aktivitas sosial dan lingkungan sesuai dengan definisi OCED dan dari John Elkington (1997) dalam Sandra (2011) tersebut bahwa tidak ada pengembalian secara langsung yang dapat dirasakan oleh perusahaan. Oleh karena itu pengungkapan TBL sangat penting diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan.
C. TRIPLE BOTTOM LINE: Lebih dari Sekadar Profit
4
Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas. Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global warming. Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009, Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam waktu lima bulan. Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P – People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial. Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk implementasi TBL.
5
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham). Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa perusahaan menerapkan program ini karena “terpaksa” untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan, hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi tentang penyajian pelaporannonfinansial. Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus program tanggung jawab dipotong lebih dulu.
D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE
Berdasarkan telaah pustaka dan beberapa kajian mengenai pengungkapan triple bottom line yaitu pengungkapan ekonomi sosial dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi
6
pengungkapan triple bottom line dalam penelitian dapat dianalisa dari 3 sisi yaitu: karaktristik perusahaan, struktur kepemilikan, dan good corporate governance. Dalam analisa mengenai pengaruh kerakteristik perusahaan terhadap pengungkapan TBL diukur dengan beberapa variabel antara lain, leverage, profitabilitas, likuiditas, dan jenis industri. Dan pada masing-masing variabel jenis pengukurannya juga berbeda-beda. Sehingga masing-masing variabel diharapakan bisa menjelaskan keterkaitan antara karakteristik perusahaan dan pengungkapan TBL. Pengungkapan TBL selanjutnya juga dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan. Dan bagaimanapun juga struktur kepemilikan perusahaan berhubungan langsung dengan aktivitas perusahaan, salah satunya adalah dalam pengungkapan TBL dilaporan tahunan perusahaan. Karakteristik kepemilikan perusahaan dapat diukur dengan beberapa variabel yaitu, kepemilikan asing, kepemilikan manajemen, dan kepemilikan institusional.
1. Leverage dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko memiliki biaya monitoring yang tinggi pula. Sehingga manajemen secara konsisten mengungkapkan untuk tujuan monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk membayar. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya agensi. Jika perusahaan mempunyai tingkat utang yang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan kegiatan dalam rangka penungkapan triple bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi cenderung untuk menurunkan pelaporan pengungkapan triple bottom line. Faktor tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.
2. Profitabilitas dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
7
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga perusahaan dapat bertahan selama-lamanya. Sehingga besar kecilnya suatu perusahaan itu dinilai dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dari agen yang memegang kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti melakukan pengungkapan ekonomi, sosial dan lingkungan serta pelaporannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) yang menyatakan bahwa profitabilitas mendukung keyakinan kepada perusahaan agar melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial. Hubungan profitabilitas dalam kinerja keuangan dengan tanggung jawab sosial saling berkaitan. Investor menangkap setiap informasi yang disampaikan dapat membandingkan kegiatan dan pengungkapan triple bottom line yang sudah dilakukan oleh perusahaan dengan profit yang dimilikinya. Konsep legitimasi juga menghubungkan antara laba yang dihasilkan perusahaan dengan pengungkapan triple bottom line. Jika perusahaan memiliki laba yang tinggi, manajemen juga harus memberikan akstifitas sosial dan lingkungannya sebagai perwujudan kontrak sosial yang terjadi dalam interaksi dimasyarakat.
3. Likuiditas`dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi pengungkapan yang dilakukan perusahaan, karena investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya sangat memperhatikan status going concern perusahaan. Sesuai konsep agensi, manajer perusahaan sebagai agen berusaha untuk memenuhi kepentingan para investor (prinsipal) antara lain dengan meningkatkan nilai perusahaan dan menjaga kelangsungan operasi perusahaan dengan menjaga likuiditasnya agar perusahaan dapat bertahan lama. Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi selalu menciptakan nilai berupa image positif terhadap prinsipalnya. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk memperluas pegungkapkan seluruh informasi tentang perusahaan, terutama tentang triple bottom line. Perusahaan sangat likuid
8
mungkin memiliki insentif yang kuat untuk memberikan rincian lebih lanjut dalam pengungkapan perusahaan mereka tentang kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban jangka pendek keuangan. Sehingga semakin tinggi tingkat likuiditasnya maka semakin luas pula pengungkapan triple bottom line perusahaan.
4. Jenis Industri dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Perusahaan pada jenis industri yang sejenis mempengaruhi penuh kebijakan pengungkapan informasi dan informasi yang disampaikan cenderung serupa, baik isi dan pengungkapannya. Jenis industri dikategorikan berdasarkan low profile dan high profile. Perusahaan dengan kategori high profile berusaha memberikan pengungkapan informasi yang cenderung lebih luas. Hal ini dilakukan perusahaan untuk melegitimasi kegiatan usahanya agar mengurangi tekanan dari masyarakat. Senada dengan pernyataan tersebut Anggraini (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa jenis industri berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.
5. Kepemilikan Asing dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Hubungan pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan asing adalah untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal yaitu investor asing dipertanggungjawabkan oleh maanajemen yang bersangkutan. Dalam penelitian indah (2009) menyebutkan bahwa kepemilikan asing tak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial atau triple bottom line, padahal dalam fakta sekarang banyak investor yang mensayaratkan adanya laporan sosial pada perusahaannya. Selanjutnya investor asing sebagai pemegang saham dihadapkan pada besarnya tingkat informasi asimentri, sehingga untuk menghindari potensi kerugian yang ditimbulkan dengan
9
adanya asimetri informasi, berlandaskan teori agensi maka perusahaan juga harus memperhatikan faktor ini.
6. Kepemilikan manajemen dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula untuk melakukan program tanggung jawab sosial perusahaan. Rawi (2010) juga mengatakan bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program tanggungjawab sosial dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Namun pada suatu titik yang mana mengurangi nilai perusahaan dan batasan yang telah dicapai ditemukan hubungan negatif. Hal ini berhubungan dengan kepemilikan saham perusahaan. Akan berbeda jika prinsipalnya adalah orang-orang yang duduk dalam manajemen perusahaan itu sendiri. Bila dihubungkan dengan konsep agensi, jadi prinsipal dan agen menjadi satu pihak yang tidak terpisahkan. Sehingga manajemen cenderung untuk berbuat semaunya sendiri. Oleh karena itu, luas pengungkapan triple bottom line pasti rendah. Informasi pengungkapan yang disampaikan juga berbeda bila penerima informasi bukan orang yang menyampaikan informasi tersebut.
7. Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh karena itu, semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab sosial dan lingkungan semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal dalam hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga pengungkapan triple bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki kekuatan dan pengalaman serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good corporate governance untuk mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut perusahaan melakukan komunikasi secara transparan oleh manajemen. Oleh karena itu,
10
kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan triple bottom line. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan triple bottom line.
8. Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur independen dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik terhadap legitimasi perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu perusahaan jika memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan perusahaan, karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam aktivitas managemen perusahaan. Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi pengawasan dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.
9. Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line. Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat dilakukan oleh manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme perusahaan. Salah satu aspek dari pelaksanaan good corporate governance adalah pembentukan komite audit. Dasar pembentukan komite audit juga berdasarkan atas keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
11
Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan komisaris yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam hal ini diwakili oleh dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol manajemen. Sehingga biaya agensi yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih dapat diminimalkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sembiring (2005) yang menyatakan bahwa ukuran komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.
Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki tanggung jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama kali diperkenalkan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Elkington menganjurkan agar dunia usaha perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan), namun juga dengan pengaruh terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Disebut triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: Economic, Environmental, Social (EES) atau istilah umumnya 3P: “Profit-Planet-People”. Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi Corporate Social Responsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Secara tegas dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, dunia usaha, masyarakat, dan 12
sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia usaha saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan melakukan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1) perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan, (2) kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja, (3) perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, (4) perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar. Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi suatu keharusan bagi perusahaan dalam mendukung aktivitas dunia usahanya, bukan hanya sekedar pelaksanaan tanggung jawab tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha. Dalam megimplemetasikan CSR, oreantasi perusahaan bukan hanya pada pencapaian laba maksimal tetapi juga menjadi suatu organisasi pembelajaran, dimana setiap individu yang terlibat di dalamnya memiliki kesadaran sosial dan rasa memiliki tidak hanya pada lingkungan organisasi melainkan juga pada lingkungan sosial dimana perusahaan berada. Meskipun kegiatan tampak sederhana dan cakupan masalah sempit tetapi memiliki dampak positif yang sangat besar bagi masyarakat sekitar
perusahaan.
Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
untuk
meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap isu-isu sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan,
13
kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit. Berangkat dari perspektif CSR di atas ada pertanyaan tantangan yang harus dijawab yaitu “bagaimana perusahaan meraih profit semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan (environmental) dan sosial kemasyarakatan dengan lebih baik lagi?”.
14
DAFTAR REFERENSI
Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia. Jakarta:
Elex Media Computindo.
Elkington, John. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers
http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/
PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN, STRUKTUR KEPEMILIKAN, DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE DI INDONESIA oleh ADHY KARYO NUGROHO
15
View more...
Comments