Trakeostomi Dan Dekanulasi
July 17, 2019 | Author: Fahrurido Kusbari | Category: N/A
Short Description
Trakeotomi dan dekanulasi...
Description
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernafas. Trakeostomi per definisi adalah suatu insisi yang dibuat pada trakea, sementara trakeostomi merupakan membuat stoma agar udara dapat masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas bagian atas. Menurut waktu dilakukan tindakan trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan 2) trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (lege artis). 2.1.1
Sejarah Trakeostomi
Tindakan bedah ini memiliki reputasi yang panjang sampai baru-baru ini kurang baik. McClelland percaya terdapat lima periode dalam perkembangan dan penerimaan tindakan trakeostomi yang dapat dilihat. Catatan trakeostomi yang paling awal terkubur dalam legenda. Buku suci agama Hindu Rig Veda yang ditulis antara tahun 200 0 dan 1000 SM menjelaskan “satu tindakan yang dapat menyatukan kembali pipa udara bila rawan leher dipotong.” Namun, dipotong.” Namun, para ahli sejarah menganggap Asclepiades yang lahir sekitar 124 SM merupakan orang pertama yang melakukan operasi ini. Tidak ada catatan bedah mengenai keberhasilan tindakan ini sebelum Brasalova (1500-1570) mengemukakan penanganan bedah yang berhasil pada angina Ludwig pada tahun 1546. Pada era kedua, dari tahun 1546 hingga 1833, tindakan bedah seperti ini sangat ditakuti, dan hanya 28 trakeostomi yang dilaporkan berhasil selama tiga abad ini. Trousseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis. Mereka melakukannya untuk menangani kasus difteri dengan angka keberhasilan 25% (angka penyembuhan yang cukup tinggi pada saat itu). Era trakeostomi yang yang ketiga terangkat pada tahun 1921 saat Chevalier Jackson mengemukakan teknik-teknik modern dan menentang
1
insisi kartilago krikoid atau cincin trakea pertama. Saran ini, bila diikuti, me ngurangi angka komplikasi yang tinggi akibat stenosis subglotis iatrogenic. Selama masa ini, indikasi untuk trakeostomi hamper eksklusif merupakan sumbatan jalan nafas bagian atas. Era keempat dimulai tahun 1932 dengan usulan Wilson bahwa koreksi jalan nafas dapat dilakukan pada kasus-kasus paralisis pernafasan yang sulit, khususnya poliomyelitis. Galloway juga ikut berperan dalam mengarahkan pemikiran dalam era ini, dengan melakukan trakeostomi untuk indikasi seperti cedera kepala, cedera dada yang berat, intoksikasi barbiturate, dan control jalan nafas pasca bedah. Era ini merupakan masa-masa yang penuh rasa antusias. Selama tahun-tahun tahun-tahun ini, lahirlah ungkapan “jika anda mempertimbangkan trakeostomi, lakukanlah”, dan pepatah ini masih diikuti sebagian dokter untuk menghindari trakeostomi pada saat kritis. Sejak awal 1960-an, kecenderungan melakukan trakeostomi guna memintas sumbatan dan mengatasi akumulasi secret atau kegagalan ventilasi mulai muncul ke permukaan. Intubasi endotrakea telah menjadi lebih kompetitif, dimana perawatannya dapat lebih baik termasuk penghisapan trakea yang sering, serta pemakaian udara lembab dan tube baru yang dibuat dari plastic guna mengurangi pembentukan keropeng, dengan demikian tidak lagi dapat dihindarkannya komplikasi trakeostomi membuat teknik ini menarik. 2.1.2
Anatomi
Trakea merupakan suatu tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago (elastin) yang tidak penuh dibagian posterior. Trakea berawal di bawah kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada esophagus, turun ke dalam toraks dimana membelah menjadi 2 bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea disebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismus melintas trakea di sebelah anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekurens terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot leher suprasternal, yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid. 2
2.1.3
Penanggulangan Sumbatan Laring
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan nafas baru yang dapat menjamin vetilasi. Sumbatan laring dapat menjamin ventilassi. Sumbatan laring dapat disebabkan oleh 1) radang akut dan radang kronis, 2) benda asing, 3) trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam, 4) trauma akibat tindakan medic, 5) tumor laring, baik berupa tumor jinak ataupun tumor ganas, 6) kelumpuhan nervus rekuren bilateral. Gejala dan tanda sumbatan laring ialah : 1. Suara serak (disfoni) sampai afoni 2. Sesak nafas (dipsnea) 3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada wak tu inspirasi
3
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan intercostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otototot pernafasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat. 5. Gelisah karena pasien haus udara 9air hunger) 6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda dan gejala : Stadium 1
: Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor
pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang. Stadium 2
: Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin
dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi. Stadium 3
: Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat
di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dipsnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Stadium 4
: Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah,
tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan supaya jalan nafas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotic, serta pemberian oksigen intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif untuk membebaskan saluran nafas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbata n laring stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4. Jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi. 4
2.1.4
Indikasi Trakeostomi
1. Mengatasi obstruksi laring 2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas bagian atas seperti daerah raongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang. 3. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma. 4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernafasan) 5. Untuk mengambil benda asing d ari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi. Obstruksi jalan nafas bagian atas menakutkan baik bagi pasien maupun dokternya. Timbul dipsnea dan stridor, biasanya inspirasi (bunyi gagak) bila lesi terletak pada atau di atas pita suara sejati. Stridor ekspirasi yang khas pada obstruksi setinggi atau di bawah rima glotidis, bernada tinggi dan menimbulkan mengi. Retraksi pada insisura suprasternal dan supraklavikula dan celah iga mencerminkan suatu usaha untuk menciptakan tekanan negative intratoraks guna menarik udara ke dalam paru-paru. Pasien dapat tampak pucat atau sianotik, sementara disfagia atau mengiler memberi kesan adanya obstruksi mekanis saat menelan. Kegelisahan yang menyertai tanda-tanda ini adalah khas pada anak-anak dan harus mewaspadakan dokter akan kemungkinan perlunya mengendalikan jalan nafas segera. Sedasi berat merupakan kontraindikasi absolut pada anak yang gelisah dengan distress pernafasan, sampai jalan nafas yang tersumbat dapat dipintas, kekecualian pada saat pembedahan. Pada obstruksi mekanis pernafasan, anak yang semula gelisah namun kemudian menjadi tenang tanpa tanda-tanda kelegaan, berada dalam bahaya kematian, sehingga memerlukan tindakan segera. Pasien kategori kedua tidak mengalami obstruksi jalan nafas bagian atas, namun kemampuan membersihkan secret atau ventilasi yang tidak efektif atau kedua-duanya, menjadi berkurang. Pasien dengan obstruksi secret akibat hilangnya silia, ketidakmampuan batuk oleh karena nyeri (fraktur iga) atau akibat cedera SSP dapat tenggelam dalam secret 5
yang dihasilkannya. Kegagalan membersihkan secret menimbulkan sumbatan mucus yang shunt darah arteri pulmonalis. Shunt ini menyebabkan hipoksia oleh karena alveoli yang mengalami ventilasi tidak mampu mentransfer cukup oksigen. Pengambilan sampel darah arteri menunjukkan PO2 yang rendah, PCO2 rendah minimal (oleh karena rasio kemampuan difusi karbondioksida yang 20:1 terhadap oksigen), dan peninggian pH. Pemberian oksigen serta koreksi patofisiologi dengan jalan trakeostomi yang memungkinkan penghisapan secret dan dengan demikian dapat mengatasi masalah hilangnya reflex batuk, merupakan terapi yang memadai. 2.1.5
Intubasi yang lama
Menimbulkan beberapa komplikasi dengan angka kesakitan dan bahkan kematian bermakna. Antara lain sinusitis akut ; destruksi hidung, mukosa dan kartilago; otitis media serosa; dan gangguan laring dan subglotis. Gangguan laring dapat lebih sukar diatasi dibandingkan stenosis trakea akibat trakeostomi, karena laring merupakan organ berotot fungsional dan bukan hanya suatu tube berongga untuk menghantarkan udara. Rekonstruksi laring mungkin sukar dan rehabilitasi terkadang tidak memuaskan. Saat ini, diberbagai pusat, intubasi dilakukan pada kasus-kasus darurat atau jika tube dianggap dapat dilepaskan dalam satu minggu. Setelah 24 jam, bila tube masih diperlukan, barulah dilakukan trakeostomi. Telah terjadi sedikit komplikasi pada daerah laring dan subglotis bilamana menjalankan protocol ini. Namun intubasi dewasa yang lama jelas meingkatkan resiko dan keparahan komplikasi. Pada anak dan bayi, intubasi yang lebih lama ternyata cukup berhasil. Tube dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama hingga enam hari, seperti yang diperlihatkan penelitian klinis. Bayi dapat ditangani untuk waktu yang lebih lama, oleh karena akan lebih sulit melakukan dan merawat trakeostomi pada kelompok usia ini. Bahkan pada neonates, intubasi hingga lebih dari 6 bulan telah dilaporkan berhasil. Namun adakalanya terjadi komplikasi laring setelah intubasi yang lama pada anak. Frekuensi stenosis subglotis dapat meningkatkan dengan semakin banyaknya bayi yang menderita berbagai sindrom distress pernafasan yang diatasi dengan tindakan ini, dan perlu berhati-hati terhadap dorongan untuk melakukan intubasi. Ungkapan lebih b aru, ‘jika 6
anda mempertimbangkan trakeostomi, lakukanlah intubasi, dan pertimbangkan lagi’ cukup bijaksana, namun harus mengingat kenyataan bahwa intubasi adalah suatu tindakan sementara dan harus dihentikan atau digantikan dengan tube trakeostomi. Argumentasi mengenai intubasi vs trakeostomi masih belum dapat diselesaikan. Namun demikian, jika memilih intubasi, maka peralihan menjadi trakeostomi setelah 6 hari pada anak, dan setelah 72 hingga 96 jam pada dewasa memberikan hasil yang paling memuaskan saat ini. 2.1.6
Alat Trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah semprit dengan obat analgesia (novokain), pisau (scalpel), pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien.
2.1.7
Teknik Trakeostomi Pada Orang Dewasa
Bila pembedahan tidak mendesak, maka trakeostomi dilakukan di ruang operasi, kecuali bila kondisi pasien memerlukan peralatan yang tidak praktis sehingga menyusahkan perjalanan ke ruang operasi. Pasien berbaring terlentang dengan bagian kaki tempat tidur direndahkan 30 derajat guna menurunkan tekanan vena sentral pada vena-vena 7
leher. Suatu selimut terlipat ditempatkan diantara scapula a gar leher cukup terekstensi, dan leher anterior dibersihkan secara antisepsis dan ditutup. Ahli bedah dan asistennya mengenakan sarung tangan dan masker bila mengoperasi di tempat, serta mengenakan baju kamar bedah bila mengoperasi di ruang operasi. Setelah penerangan ruangan dipastikan memadai, jaringan subkutan diinfiltrasi dengan lidokai dan epinefrin 1:100.000. Insisi kulit sebaiknya horizontal. Insisi dibuat dengan scalpel tajam setinggi pertengahan antara tonjolan krikoid dan insisura suprasternalis. Insisi sedikitnya 2 inci dan mencapai batas batas medial otot sternokleidomastoideus. Setelah insisi kulit mencapai otot plastima, diseksi dilakukan vertical tetap pada garis tengah. Diseksi dilakukan secara tajam dan tumpul memakai gunting dan hemostat. 2 klem allis merupakan retractor otot-otot leher yang baik, otot ini dibelah pada garis tengah dan diretraksi ke lateral hingga terlihat fasia pretrakealis. Palpasi yang sering pada trakea selama melakukan insisi akan memastikan bahwa diseksi dilakukan tetap pada garis tengah.diseksi vertical pada gars tengah menghindari sebagian besar vena, dan seandainya ada yang ditemukan, maka segera di kauterisasi atau dipotong, atau diligasi dan retraksi. Kelenjar tiroid dengan ismus yang terletak di atas trakea, biasanya dapat diretraksi ke bawah, dengan demikian dapat langsung mencapai keempat cincin trakea yang pertama. Bila kelenjar tidak mudah diretraksi, maka ismus harus diklem, dipotong dan ditambahkan jauh dari garis tengah lapangan operasi. Sampai dengan tahap operasi pasien yang sadar, diinjeksikan lidokain 4% transtrakea untuk mencegah spasme batuk hebat setelah insisi dan intubasi. Bilamana digunakan suatu tube trakeostomi dengan bermanset, maka manset harus dikembangkan pada saat ini dan diperiksa dalam air apakah ada kebocoran sebelum dilakukan insisi pada dinding trakea. Palpasi kartilago krikoid dan tiroid serta identifikasi keduanya dapat mencegah trakeostomi tinggi. Cincin kedua dan ketiga diidentifikasi dan setelah kait krikoid ditempatkan di bawah krikoid guna menarik trakea ke atas da n ke dalam luka, insisi trakea dapat dimulai di sebelah anterior, dengan segera di bawah cincin kedua. Jaringan dian gkat berukuran cukup besar agar memadai untuk lumen tube, sedikitnya pada cincin ketiga atau bila perlu cincin keempat. Dapat pula dibuat insisi vertical tanpa perlu mengangkat jaringan kartilago. Eksisi tiga atau lebih cincin terlalu beresiko, dan percobaan binatang 8
memperlihatkan kejadian stenosis trakea yang cukup bermakna setelah tindakan ini. Tube trakeostomi yang dipakai pada orang dewasa adalah Jackson No.7 atau tube lain dengan diameter sebelah dalam yang sebanding (8mm). Hemostasis absolut dapat tercapai pada tahap ini, dan pita umbilicus yang mengikat tube trakeostomi di sekeliling leher, diikat erat sambil memfleksikan kepala. Insisi kulit tidak dijahit. Balon yang harus lentur, kemudian dikembangkan. Tersedia manset yang telah diproduksi secara tepat dan tersedia cukup lentur; bila tidak menggunakan man set tersebut, manset dapat diregang sebelumnya dengan metode Geffin.
9
10
2.2
Perawatan Segera Pasca Operasi
Jalan nafas atas telah dipintas dan fungsinya sebagai sarana penghangat udara inspirasi hingga 36 C, humidifikasi, dan pengeluaran partikel-partikel asing telah hilang. Silia pada trakea telah kehilangan fungsi dan reflex batuk menjadi tidak efektif. Pada perawatan awal dari stoma perlu dilakukan auskultasi dada dan pada anak juga memerlukan radiogram dada segera untuk mencek posisi tube agar tidak melampaui karina sehingga masuk ke bronkus kanan dan menyumbat bronkus kiri, serta untuk memastikan bahwa tidak terjadi pneumotoraks. Radiogram perlu diperiksa oleh ahli bedah setelah prosedur selesai dilaksanakan. Emfisema mediastinum sering ditemukan pada radiogram dada dan film ilangan setelah 48 jam seharusnya tidak memperlihatkan perluasan emfisema. Suatu kerah pelembab yang mengalirkan udara dingin jenu h air atau oksigen dipasang pada stoma. Disamping tempat tidur perlu dipersiapkan peralatan trakeostomi dan suatu tube pengganti, gunting serta tersedia alat penghisap, demikian pula bel untuk meminta pertolongan. Secret di trakea dan kanul harus sering dihisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurangkurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Pasien dapat dirawat di ruang perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangatlah penting. Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu lama, maka kanul luar harus dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kassa di bawah kanul harus diganti setiap basah, untuk menghindari terjadinya dermatitis. Secret trakea banyak selama 24 hingga 48 jam pertama setelah pembedahan tanpa memandang penyakit primer yang memerlukan trakeostomi. Bronkore perlu dibersihkan karena secret tersebut dapat menyumbat dan menimbulkan atelectasis, pneumonia dan shunt pembuluh pulmonalis. Reflex batuk tidak memadai dan secret perlu diaspirasi melalui tube. Tindakan ini perlu dilakukan berulangkali, setidaknya tiap 15 menit dalam beberapa jam pertama. Setelah itu dapat dilakukan dalam frekuensi sesuai kebutuhan perorangan berd asarkan banyaknya secret, hasil auskultasi dada dan mendengarkan pernafasan pasien. Pasien trakeostomi yang berbunyi menggelegak berada dalam resiko besar dan harus dilakukan penghisapan. Teknik ini dilakukan dalam kondisi steril, setiap kalinya menggunakan kateter sekali pakai yang baru. Operator harus mengenakan sarung tangan dan mencuci tangann ya sebelum dan setelah melakukan tindakan pada penderita.
11
Secret cenderung mengumpul pada trakea, seringkali tepat dibawah tube. Aspirasi bronkus juga perlu dan dapat dicapai dengan teknik penghisapan ini. Kateter dihubungkan dengan perangkat vakum melalui suatu penghubung V. Tekanan jangan dibuat negative sebelum penghubung V disumbat. Cara yang dipilih adalah dengan memasukkan kateter lewat lumen tube trakeostomi tanpa tekanan hisap negative. Bila tube trakeostomi memiliki kanula dalam, maka kanula ini harus dikeluarkan sebelum tindakan dilakukan. Setelah kateter penghisap tidak lagi dapat masuk lebih jauh ke dalam bronkus, maka kateter tersebut ditarik perlahan-lahan dengan memutar pergelangan tangan sambil ujung jari menutup penghubung V hingga seluruh kateter dikeluarkan. Tindakan ini kemudian diulangi pada bronkus satunya stelah suatu periode istirahat. Periode istirahat ini perlu karena penghisap vakum mengeluarkan udara dari paru-paru dan jika penghisapan diulangi dalam selang waktu yang berdekatan, volume residu paru-paru akan berkurang. Penghisapan ulang pada sisi yang sama dilanjutkan hingga auskultasi menjadi bersih atau respirasi menggelegak lewat tube trakeostomi menjadi reda. Tube dengan kanula dalam memerlukan pengeluaran dan pembersihan kanula yang sering. Tube PVC dan Silastic merupakan tabung yang kompak dan tidak menyebabkan pengumpulan mucus ataupun krusta seperti halnya tube logam. Tube ini harus dikeluarkan dan diperiksa 48 jam setelah pembedahan, diganti dan diperiksa ulang setiap minggu untuk memastikan tidak ada bolus mucus yang menyumbat lumen. Tube plastic kini dirancang agar paling lunak pada suhu tubuh. Sifat ini lebih lanjut akan mengurangi resistensi kekakuan ukuran dan arah trakea yang merupakan masalah dengan tube logam. Kini tersedia manset plastic bertekanan rendah untuk tube trakeostomi. Manset ini dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap dibawah 25 cm H2O. Tekanan demikian mengurangi insidens stenosis akibat manset trakea. Orang dewasa yang awas dan berpendidikan dapat diajarkan perawatan stoma yang menyeluruh, dan perawatan trakeostomi pada anak di atas 6 bulan dapat dilakukan dirumah. Dokter perlu sangat berhati-hati dan harus memikirkan dengan cermat sebelum memulangkan an ak yang berusia kurang dari 6 bulan sementara anak tersebut masih mengenakan tube trakeostomi.
2.3
Dekanulasi 12
Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang diperlukan, terutama pada anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk mengurangi timbulnya trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea, trakeomalasi, dan fistula trakeokutan menetap. Segera setelah keadaan pasien membaik, ukuran pipa trakeostomi diperkecil sampai ukuran yang memungkinkan udara dapat memintas pipa menuju saluran nafas bagian atas. Hal ini menolong menghindari ketergantungan fisiologik pada pipa yang besar akibat menurunnya resistensi pernafasan. Kemudian pipa ditutup dan dinilai apakah jalan nafas adekuat, kemampuan menelan dan mengeluarkan sekret. Jika pipa dapat ditutup selama 8 – 12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel trakeokutan ditutup. Segera setelah dekanulasi, pasien harus diamati dengan ketat dan alat yang diperlukan untuk mendapatkan jalan nafas kembali selalu harus tersedia.
2.3.1
Pengambilan Keputusan Dekanulasi
Proses pengambilan keputusan dekanulasi pada pasien obstruksi saluran pernapasan atas akut sangat berbeda dari pengambilan keputusan dekanulasi pada pasien dengan abnormalitas saluran pernapasan yang kompleks atau pada pasien dengan ventilasi
13
mekanik jangka panjang. Sebagai contoh, pada pasien trakeostomi dengan obstruksi akut saluran pernapasan atas, lebih baik dilakukan pemeriksaan endoskopik untuk mengonfirmasi bahwa abnormalitas telah diatasi. Apabila saluran pernapasan sudah baik maka dekanulasi dan observasi pasien dapat dilakukan. Contoh dari obstruksi akut saluran pernapasan atas meliputi teraspirasinya benda asing yang mengancam nyawa, angioedema, dan epiglositis. Terkadang apa yang terlihat sebagai obstruksi saluran pernapasan akut yang disebabkan etiologi organik dapat disebabkan kelaianan psikologis yang non organik. Pasien dengan disfungsi pita suara psikogenik dapat terlihat seperti memiliki obstruksi saluran pernapasan akut2 yang memerlukan trakeostomi emergensi. Disfungsi pita sura dapat diperhatikan apabila tidak ada etiologi organik yang ditemukan dan pemeriksaan endoskopi memberikan hasil yang normal. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa trakeotomi tidak diperlukan pada pasien dengan disfungsi pita suara psikogenik dan pasien biasanya mengalami kesulitan saatdekanulasi seiring dengan meningkatnya keparahan gejala. Klinisi harus fasih dengan temuan endoskopik glotik pada disfungsi pita suara.2 Dekanulasi pasien dengan trakeostomi janga panang tidak semudah pada pasien dengan obstruksi akut. Pasien dengan ventilator jangka panjang memiliki penyakit kritis, komorbiditas medis multipel, dan status respirasi marginal. pada periode pasca ventilasi mekanik, pasien memiliki predisposisi untuk keletihan otot,dorongan bernapas yang abnormal, dan kembalinya kegagalan pernapasan. Individu dengan trakeostomi jangka panjang beresiko terhadap aspirasi yang disebabkan komplikasi trakeostomi. Beberapa abnormalitas saluran napas atas yang terjadi pada pasien dengan trakeostomi telah dijelaskan oleh Epstein.3 Komplikasi trakeostomi pada saluran pernapasan atas dapat menyebabkan kesulitan dekanulasi kanul trakea. Bahkan, pada beberapa kondisi klinis tidak disarankan untuk dekanulasi. Selain itu, mungkin juga tedapat abnormalitas saluran pernapasan atas yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan dekanulasi. Pasien dapat mengalami kompromis saluran pernapasan atas yang mengancam nyawa sehingga perlu dilakukannya reinsersi kanul trakea. Klinisi haruslah memiliki kewaspadaan terhadap halhal tersebut. Beberapa klinisi menganjurkan evaluasi rutin endoksopi,4 dan intervensi
14
bedah atau medis cenderung dibutuhkan untuk mengidentifikasi obstruksi saluran pernapasan sebelum dekanulasi dilakukan. 2.3.2
Prosedur Deflated-Cuff Tracheostomy Occlussion
Terapis respirasi telah menemukan bahwa prosedur deflated-cuff tracheostomy procedure merupakan prosedur yang praktis dilakukan untuk mengevaluasi obstruksi saluran pernapasan atas. Pasien terhubung dengan alat monitor yang sesuai dengan detak oksimetri sesuai rekomendasi minimal. Prosedur harus dijelaskan pada pasien. Setelah pengempisan cuff , jari yang sudah dipakaikan glove untuk sesaat mengoklusikan pembukaan kanul trakea dan klinisi memeriksa apakah terjadi pernapasan melalui hidung atau mulut. Klinisi harus memperhatikan apakah ada tanda-tanda gangguan pernapasan dan mendorong pasien untuk melakukan fonasi. Umumnya pasien yang dalam jangka panjang tidak bernapas melalui saluran pernapasan atas akan merasakan sensasi pernapasan yang berbeda. Hal ini harus dapat dibedakan dari gangguan pernapasan yang disebabkan obstruksi. Adanya stridor, suara pernapasan yang minim atau tidak ada saat auskultasi pada leher, tidak adanya aliran udara di hidung atau mulut, retraksi supraklavikular atau intrakostal, sesak napas, diaphoresis (ketingat berlebihan), dan fase inspirasi yang lama merupakan tanda adanya obstruksi saluran pernapasan atas berat. Apabila ada indikasi bahwa pasien mengalami obstruksi makan kanul trakea dipasangkan kembali pada oasien dengan oksigen suplemental atau support ventilasi mekanik. Pemeriksaan e ndoskopik akan menentukan lokasi obstruksi. Apabila tidak ada lesi yang terlihat maka dapat dipertimbangkan apakah ukuran kanul trakea terlalu besar dan perlu atau tidaknya penggantian ukuran kanul. 2.3.3
Keuntungan Dekanulasi
Walaupun dekanulasi memiliki resiko namun ia juga memiliki keuntungan. Kanul trakea merupakan benda asing yang dapat menyebabkan bronkore atau batik berlebihan. Kanul trakea dapat menyulitkan penelanan. Fisiologi yang normal ketika menelan menyebabkan terangkatnya trakea agar laring dapat berbatasan dengan epiglotis sehingga menghindari aspirasi makanan atau sekresi. Adanya kanul trakea menghalangi elevasi trakea yang normal ketika menelan. 15
Mengalihkan pernapasan dari saluran pernapasan atas ke kanul trakea memeliki beberapa efek buruk. Keuntungan dari pernapasan dengan biir tertutup hilang. Pita suara tidak dilewati dan tidak adanya laryngeal blast untuk memfasilitasi batuk yang efektir. Selain itu, laring juga merupakan regulator fisiologis pernapasa. Penutupan sebagian dari pita suara mempertahankan tekanan subglotis yang disebut positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien dengan obstruksi saluran napas intratorak menunjukkan adanya penutupan sebagian dari glotis5,6 yang merupakan mekanisme kompensasi ketika bronkokonstriksi.6 Tekanan subglotis juga mempengaruhi mekanisme penelanan dan mengurangi resiko aspirasi. Yang paling penting adalah ketidak mampuan pasien untuk berbicara apabila kanu l trakea tidak melewati laring. Afonia menjadi halangan bagi pasien untuk turut serta dalam perawatannya. Perawatan juga dapat terkendala apabila pasien tidak dapat menjelaskan gejala yang biasanya akan menyebabkan investigasi atau intervensi lebih lanjut. Peniliaian klinis juga terkompromis apabila status mental tidak dapat dinilai karena ketidak mampuan komunikasi verbal. Informed consent juga menjadi terganggu. Ketidak mampuan berbicara menyebabkan sebuah perasaan terisolasi, frustrasi, anxietas, dan depresi, terutama pada pasien dengan ventilasi mekanik jangka panjang yang tidak dapat berbicara selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Agitasi tersebut dapat diatasi dengan anxiolitik atau hipnosedatif yang kemudian dapat memiliki pengaruh n egatif terhadap rehabilitasi dan pemulihan. 2.3.4
Dekanulasi Sesuai Protokol
Penelitian yang evidence-based telah mengonfirmasi keuntungan dari adanya protokol
weaning
(menghentkan
secara
perlahan).9 Protokol
weaning
yang
diimplementasikan oleh terapis pernapasan efektif bagi pasien trakeostomi dengan ventilasi mekanik jangka panjang.8 Sehingga implementasi protokol ini untuk dekanulasi pasien trakeostomi jangka panjang dapat berguna. Ceriana et al7 meneliti mengenai evaluasi hasil dari implementasi protokol menggunakan flow chart untuk dekanulasi trakeostomi setelah pasien terbebas dari ventilasi mekanik jangka panjang. Reintubasi pada pasien setelah 3 bulan hanya 3%.
16
Sebanyak 108 pasien dengan ventilator dievaluasi selama 18 bulan. Sesuai karakteristik pasien dengan ventilator mekanik jangka panjang yang memiliki penyakit kritis yang kronis,7 60% pasien memiliki komorbiditas, hanya 60% yang berhasil terlepas dari ventilator mekanik jangka panjang, dan 33% meninggal dengan ventilator mekanik. Kegagalan dekanulasi dapat dikaitkan dengan sekresi tidak terkontrol dan stenosis glotis berat. Tabel 1 menjelaskan kriteria dekanulasi menurut Ceriana et al.7
Tabel 1. Kriteria Protokol Dekanulasi Trakeostomi Setelah Terlepas dari Ventilasi Mekanik Jangka Panjang
Ketiadaan gangguan pernapasan dan gas darah arteri yang stabil pada ventilasi mekanik selama 5 hari Keadaan klinis yang stabil 1.
Stabilitas hemodinamik
2.
Tidak ada demam, sepsis, atau infeksi aktif
3.
PaCO2 < 60 mm Hg
Pemeriksaan endoskopi menunjukkan hasil yang normal atau lesi stenotik pada 30%. 2.3.6
Tahapan Pra-Dekanulasi
Pada pasien dengan trakeostomi jangka panjang, umumnya dilakukan tahapan sebelum melepas kanul trakea. Percobaan “dekanulasi fisiologis” memberikan waktu tambahan bagi klinisi untuk mengobservasi efektivitas batuk, menelan, kualitas suara, dan kemampuan pasien untuk bernapas melalui saluran pernapasan atas. Heffner 1 menyarankan penggunakan tombol trakeostomi. Beberapa peneliti lain mendukung penggunaan kanul fenestrasi bercap dengan cuff yang mengempis. Hussy dan Bishop11 melakukan penelitian mengenai trakea dewasa dan model paru mekanik untuk membandingkan tekanan yang dibutuhkan untuk bernapas, menggunakan beberapa kanul trakea dengan fenestrasi atau tanpa fenestrasi, dibutuhkan usaha besar untuk bernapas tanpa adanya fenestrasi, namun hal ini masih merupakan pendapat klinis. Penulis juga berpendapat bahwa kanul trakea dengan fenestrasi direkomendasiikan kecuali jika kanul yang digunakan berukuran kecil (contohnya berdiameter dalam 4 mm). Klinisi harus waspada terhadap obstruksi fenestrasi yang dapat disebabkan jaringan granulasi atau abnormalitas trakea lainnya sehingga penggunaan menjadi tidak efektif. Jaringan abnormal dapat herniasi melalui fenestrasi yang dapat menyebabkan trauma dan kesulitan untuk insersi serta melepas kanula dalam, dan juga perdarahan. Tindakan umum lainnya adalah penggunaan kanul trakea berukuran lebih kecil dengan cuff mengempis, baik dengan fenestrasi atau tanpa fenestrasi dengan cap sebagai percobaan intermediat sebelum dekanulasi. Klinisi harus memahami bahwa kanul yang lebih kecil memiliki diameter luar dan dalam yang lebih kecil serta didesain untuk pasien yang berukuran lebih kecil, dengan panjang, lengkung, dan dimensicuff yang sesuai. Selain
19
itu, kanul berukuran kecil yang terbuat dari plastik fixed atau rigid dapat menghasilkan beberapa masalah. Tahapan lainnya untuk dekanulasi adalah penggunaan speaking valve seperti yang dibahas oleh Hess.12 Walaupun tekanan subglotis dan kemampuan berbicara terestorasi, valve dengan resistensi rendah dapat mengarahkan inspirasi menjauhi saluran pernapasan atas dan melalui trakeostomi. Percobaan “dekanulasi fisiologi” tidak tercapai dan dapat menyebabkan kesalah dari klinisi bahwa kemampuan bicara pasien dan tidak adanya gangguan mengonfirmasi saluran pernapasan atas yang paten.
2.4
Komplikasi
1. Cepat
Perdarahan Dapat dicegah dengan diseksi garis tengah elektif, dengan mengikat semua pembuluh darah dan pemeriksaan yang cermat pada tiap permukaan di mana darah merembes. Biasanya terjadi pada 5% kasus, perdarahan biasanya berasal dari vena atau insisi ismus tiroid. Untuk mengatasi perdarahan sedang bisa dilakukan mengangkat kepala untuk menurunkan tekanan vena atau menggunakan kassa (gauze) pada daerah perdarahan. Jika perdarahan mayor, biasanya berasal dari arteri tiroid superior jadi untuk mengatasinya dilakukan eksplorasi kemudian ligasi pembuluh darah.
Pneumothorak Merupakan komplikasi trakeostomi pada anak-anak akibat p osisi pleura, ini dapat dicegah seperti yang telah dijelaskan diatas, dapat ditemukan secara dini melalui auskultasi dan radiogram dada serta diatasi dengan pemasangan tube dada. Insidens pada anak adalah 3%, komplikasi ini jarang terjadi pada dewasa, namun bila terjadi biasanya dengan tekanan intratoraks yang tinggi dan dengan rupture bleb emfisematosa.
Obstruksi tube
20
Obstruksi tube merupakan yang paling umum penyebab insufisiensi ventilasi dalam post trakeostomi dan paling sering ialah hasil dari lendir. Sekret lendir, cairan di dalam dan sekitar tube trakeostomi dapat membentuk kerak-kerak (plug) yang menjadi besar sehingga menyumbat lumen tabung. Terdengarnya aliran udara dan adanya kesulitan melewati suction kateter melalui tube adalah tandatanda akan terjadinya obstruksi tube. Tindakan irigasi, frekuensi suction yang berulang,
dan
pembersihan
kanula
dapat
membantu
mengurangi
risiko
penyumbatan dan obstruksi tube.
Henti jantung Dapat diakibatkan hilangnya rangsangan hipoksia terhadap respirasi, dapat diatasi dengan tindakan yang lazim, antara lain berupa bantuan pernafasan hingga CO2 dapat dibersihkan dari medulla oblongata. Pneumomediastinum tidak tergolong sebagai komplikasi, namun merupakan akibat. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak, dan harus ditindak lanjut guna memastikan tidak adanya perkembangan kearah pneumotoraks.
2. Lambat Komplikasi ini cukup bermakna dalam hal variasi dan jumlahnya, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan. Perdarahan lanjut adalah akibat erosi trakea pada pembuluh utama, biasanya arteri inominata. Tindakan mengekstensikan kepala pasien dan menarik trakea ke atas dengan suatu pengait trakea dapat menggambarkan cincin trakea ke sembilan. Trakeostomi rendah (dibawah cincin kelima) seringkali salah. Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding trakea juga ikut berperan dalam erosi pembuluh darah. Mathog menganjurkan pemakaian tube plastic lunak lebih aman. Penanganan dari perdarahan mayor tindakan darurat dan memerlukan pemakaian tube yang cukup panjang untuk mencapai bagian distal dari pembuluh yang tererosi. Tindakan ini dapat mencegah aspirasi darah ke dalam paru. Kesalahan dalam membedah dan menjahit pembuluh darah mungkin mengharuskan tindakan sternotomi parsial.
Infeksi Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi. Antibiotic profilaksis
harus
dilarang
karena
memungkinkan
perkembangan
bakteri
oportunistik. Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi 21
trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu dilakukan mungkin hanyalah membasahi kassa dengan larutan asam asetat 0,5%. Pasien mendapat banyak antibiotic mungkin mengalami kontaminasi candida albicans pada lokasi trakeostomi. Namun, sebelum memulai pengobatan sistemik, harus di coba perawatan luka secara local.
Tube yang tergeser Penanganan obstruksi jalan nafas akibat posisi tube yang tergeser atau oklusi lumen adalah berbeda, tergantung pada berapa lama terjadinya setelah pembedahan. Bila melampaui 48 jam dilakukan trakeostomi, maka perawat dapat diperintahkan untuk memotong tali pengikat leher, mengeluarkan tube, dan memeriksa lumen dan tube. Sumbat mucus yang menutup lumen tube harus dibersihkan. Memasukkan kembali tube dapat dilakukan setelah dokter datang. Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini dilakukan sendiri oleh dokter. Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik dengan hati-hati ke lateral akan mempertahankan jalan nafas dan menunjukkan jalur kembali ke stoma untuk penggantian tube.
Fistula trakeoesofagus Biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan telah menjalani intubasi yang lama dengan tube bermanset dan ventilasi terkontrol. Pasien demikian memerlukan tube nasogastric, namun seringkali meninggal akibat penyakit primernya ataupun pneumonia aspirasi lewat fistula. Perbaikan bedah amat kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot leher di antara trakea dan esophagus setelah perbaikan primer pada fistula.
Stenosis trakea Frekuensi komplikasi ini semakin meningkat karena pasien seringkali memerlukan ventilasi terkontrol jangka lama dengan tube bermanset. Menurut fearon, stenosis stoma bukanlah suatu komplikasi melainkan suatu parut pasca operasi yang telah diperkirakan, dan bahwa gejala hanya akan timbul bila diameter lumen sama dengan atau kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi diatas stoma atau kartilago dalam lumen, maka masalah dapat diatasi dengan eksisi endoskopik atau memasang stent pada jalan nafas. Tube bermanset menyebabkan obstruksi mukosa sirkumferensial dalam beberapa jam. Manset harus dikembangkan dan kemudian 22
sejumlah udara dilepaskan hingga menimbulkan bunyi. Manset bertekanan rendah juga bersifat protektif. Perbaikan stenosis trakea menjadi semakin sulit bilamana sikatriks makin panjang.
DAFTAR PUSTAKA 23
1. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher . Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 243-253 2. Maisel, Robert, H. Trakeostomi dalam Boeis Buku Ajar Penyakit THT . Edisi Enam. Jakarta : EGC, 1997. 473-485 3. Jacob Ballenger, John. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi enam belas. : BC Decker, 2003.1155 – 1159. 4. Jacob J. Penyakit Telinga Hidung Tengggorokan, Kepala dan Leher. Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa aksara;1998. hlm. 424-462. 5. Dean R Hess NPA. Tracheostomy Tubes. RESPIRATORY CARE. 2014;59:956-73. 6. Epstein SK. Anatomy and Physiology of Tracheostomy. RESPIRATORY CARE. 2005;50:476-82. 9. Claudia Russell BM. TRACHEOSTOMY A MULTIPROFESSIONAL HANDBOOK. London: Greenwich Medical Media Limited; 2004. 10. Efianty A S NI, Jenny B, Ratna D R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL. Jakarta: FKUI; 2007.
24
View more...
Comments