TRADISI PERNIKAHAN KATOLIK
August 9, 2017 | Author: Gregorius Aldrin Candra | Category: N/A
Short Description
Download TRADISI PERNIKAHAN KATOLIK...
Description
TRADISI PERNIKAHAN KATOLIK http://upacarapernikahan.com/adat/tradisi-pernikahan-katolik/
Tradisi pernikahan katolik memang telah ada sejak awal, dalam arti syarat pernikahan katolik dan tata caranya telah digariskan dan diatur dan harus diikuti. Oleh sebab itu, jika Anda ingin menikah secara katolik harus mengikuti tradisi pernikahan katolik dan memenuhi persyaratannya dengan lengkap. Hal pertama yang perlu dilakukan dalam persiapan pernikahan katolik adalah menentukan di gereja mana Anda akan menikah. Setelah itu, Anda perlu berkunjung ke bagian sekretariat dan memesan tanggal dan waktu untuk misa pemberkatan pernikahan. Hal ini penting dilakukan dan harus sesegera mungkin karena sebuah gereja biasanya sangat terbatas kapasitasnya dalam mengadakan misa pernikahan, dalam satu hari paling hanya untuk 2 sampai 4 pasangan saja. Anda harus bertanya juga mengenai syarat pernikahan katolik apa saja yang harus dipenuhi menurut gereja tersebut. Syarat pernikahan katolik dalam tradisi pernikahan katolik secara umum sama namun mungkin ada perbedaan kecil dalam hal-hal teknis menyesuaikan dengan tata tertib gereja yang bersangkutan. Syarat pernikahan katolik secara umum adalah harus memiliki surat salinan baptis, wajib mengikuti kursus pernikahan katolik dan mendapat sertifikat, mendaftarkan diri segera ke gereja setelah memiliki dua syarat sebelumnya itu, dan membuat janji dengan pastor untuk persiapan perkawinan atau penyelidikan kanonik. Sertifikat kursus pernikahan katolik memang wajib dipunyai oleh pasangan yang akan menikah. Kursus ini merupakan kursus persiapan pernikahan yang menjelaskan mengenai keadaan hidup berkeluarga, tantangannya dan bagaimana mengatasinya. Melalui kursus ini, Anda pun akan lebih mengenal calon suami atau calon istri Anda dan memahami apa itu hidup rumah tangga dan bagaimana seharusnya dijalani menurut pandangan gereja katolik. Kursus pernikahan katolik ini penting untuk modal pengetahuan dan kesiapan dalam menjalani kehidupan pernikahan nantinya. Dalam tradisi pernikahan katolik, salah satu pasangan harus telah dibaptis secara katolik. Jika berbeda agama maka akan ada syarat atau aturan tambahan lain sesuai dengan gereja yang bersangkutan. Persiapan pernikahan katolik memang sangat penting karena lebih ke persiapan mental dalam menempuh hidup baru nantinya.
1. DasarBiblis http://alipsuwito.multiply.com/journal/item/2/Sakramen-Perkawinan-danTeologinya?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem Kitab Suci memberikan dasar atau landasan untuk menggali lebih dalam maksud dan tujuan dari sakramen perkawinan. Dua teks pokok dalam Perjanjian Lama yang menjadi rujukan untuk membicarakan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan adalah Kej 1,26-30 dan Kej 2,18-25. Dalam Kej 1,26-30 disebutkan bahwa hakekat sebuah perkawinan adalah kebersatuan antara seorang pria dan wanita yang diberkati oleh Allah sendiri dan mendapat tugas bersama untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Tekanannya adalah tujuan prokreasi. Dasar dari tujuan perkawinan kristiani, yakni sikap keterbukaan terhadap keturunan. Kej 2,18-25 memberi tekanan pada kesatuan hidup suami dan istri dalam ikatan perkawinan. Perkawinan adalah persatuan erat antara seorang pria dan wanita, atas dorongan Allah sendiri, yang mendorong suami untuk meninggalkan ayah dan ibunya serta bersatu hidup dengan istri sehingga keduanya menjadi satu manusia baru. Tekanannya adalah tujuan kebersamaan dari seluruh hidup. Inilah yang juga menjadi salah satu tujuan perkawinan kristiani. Keberadaan laki-laki dan perempuan dipandang sebagai anugerah dan kehendak Sang Pencipta (Kej 1,27; 5,2). Sejak awal laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah sebagai manusia yang dipanggil untuk saling membutuhkan, dan bahkan untuk hidup bersama (Kej 2,21-24). Dalam Perjanjian Lama, perkawinan dilihat sebagai yang dikehendaki oleh Allah sendiri. Perkawinan melambangkan sejarah hubungan antara Yahwe dan umat-Nya Israel. Perjanjian Baru mengungkapkan makna luhur dari perkawinan. Yesus sendiri sangat menghargai perkawinan dan menolak perceraian. Bagi Yesus, kesetiaan mutlak itu adalah hakikat perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Injil Matius mengungkapkan ajaran Yesus melalui sabda-Nya, “Karena ketegaran hatimu, Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat 19.8). Hal ini semakin menegaskan bahwa sejak semula kesetiaan yang tak terputuskan merupakan esensi hidup perkawinan. Akan tetapi, berpijak dari kutipan Injil Matius muncul beberapa penafsiran mengenai kata “zina” yang belum jelas dan tegas artinya. Ada kemungkinan kata “zina” merupakan tambahan dalam jemaat Matius yang mau bersikap terbuka terhadap perasaan orang Yahudi yang kiranya tidak bisa membayangkan untuk tidak menceraikan seorang istri yang tidak setia. Jawaban yang mendekati kepastian tentang tafsiran kata “zina” yaitu menunjuk pada keprihatinan Yesus akan makna kesetiaan mutlak dalam perkawinan. Paulus memiliki pandangan yang agak berlainan dengan penulis Injil Matius. Di satu sisi Paulus tidak menganjurkan perkawinan sebagai pilihan utama dalam hidup (1Kor 7,7), akan tetapi di lain sisi Paulus sangat menghargai perkawinan. Paulus menegaskan pada jemaatnya bahwa perintah Yesus agar orang yang telah menikah tidak bercerai (1Kor 7,10-11). Akan tetapi, Paulus juga terbuka pada berbagai persoalan yang terjadi dalam perkawinan. Salah satu tanggapannya adalah memperkenankan adanya perceraian dari orang kristiani yang menikah dengan orang yang non-kristiani dengan syarat-syarat tertentu.
Perkawinan kristiani bukan hanya merupakan tanda hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya, melainkan kehidupan bersama dalam perkawinan ikut ambil bagian dalam misteri agung dari kasih Kristus yang tak terputuskan dengan Gereja-Nya. Jadi, cinta kasih antara Kristus dan Gereja-Nya kini hadir dan terpantul dalam cinta kasih suami-istri dalam sakramen perkawinan.
2. Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-Sifat Perkawinan http://gayamsari.multiply.com/journal a) Arti dan hakikat perkawinan secara umum Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-membiara (sebagai biarawanbiarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum. Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan. Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan. b) Tujuan dan sifat dasar perkawinan Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitij). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri. Terarah pada keturunan (segi prokreatij). Kesatuan sebagai pasutri dianugerahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan. Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9). Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan rahmat Allah melulu.
Monogami http://yesaya.indocell.net/id814.htm a. Arti Monogami Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri. b. Implikasi atau konsekuensi Monogami Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan: (1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama. (2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga. c. Dasar Monogami Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif. Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit. Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.
TUJUAN Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri). Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).
TUJUAN http://mthframe.blogspot.com/2009/08/arti-perkawinan-katolik.html Tujuan perkawinan Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).
Tujuan dan sifat dasar perkawinan http://kuperper.blogspot.com/2009/02/ajaran-gereja-katolik.html ~*~ Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitij). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri. ~*~Terarah pada keturunan (segi prokreatij). Kesatuan sebagai pasutri dianugerahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan. ~*~ Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9). ~*~ Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan rahmat Allah melulu.
View more...
Comments