Titik Singgung Antara Wayang Dan Keris
December 12, 2017 | Author: Mahendra 'itempoeti' Uttunggadewa | Category: N/A
Short Description
Download Titik Singgung Antara Wayang Dan Keris...
Description
TITIK SINGGUNG ANTARA WAYANG DAN KERIS oleh Ir. Haryono Haryoguritno Dunia pewayangan tanpa sastra, karawitan, batik, candi, pertanian, falsafah, kesaktian dan keris tidaklah lengkap; dan juga tidak mungkin terwujud sebuah pakeliran yang agung. Peranan sastra dan karavvitan sudah jelas, sedangkan unsur batiknya dimanifestasikan baik secara wantah maupun tergubah dalam pakaian wayang (wayang orang, golek dan kulit). Lebih dari pada itu, bentuk manifestasi visuaInya pun masih dilengkapi lagi dengan narasi oleh Ki Dalang yang berupa janturan dan pocapon, antara lain berbunyi : punapa to busana nira Sang Noto ing Ngastina … dan seterusnya. Arjuna dikenal sebagai pemakai kain batik berpola Limar Ketanggi, Yudistira dengan Limar Jobin, Kresna dengan Parang Modang, Werkudara dengan Poleng Bang Bintulu, Suyudana dengan Parang Barong, dan seterusnya. Di dalam hal candi, usaha pemvisualisasian hanya dilakukan dengan memakai gunungan, yang sering dipakai untuk menggambarkan kayu, gunung, laut, mega, gapura, dan lain lainnya. Jadi dalam hal candi, usaha Ki Dalang dititikberatkan pada janturan, pocapan maupun kombangan; dan bahkan sempat pula tercipta lakon 'mBangun Candhi Saptorenggo'. Unsur pertanian berkaitan dengan pranata mangsa, ulu wetu, polo kesimpar, polo gumantung, polo kependhem, dan lain-lainnya (Gemah Ripah Loh Jinowi), sudah merupakan keharusan yang mutlak dalam janturan mengenai kemakmuran sebuah kerajaan atau asrinya sebuah pertapaan, juga seramnya atau 'angker'nya sebuah hutan belantara, misaInya hutan Setra Ganda Mayit (Dhandhang Mangore). Tidak ada adegan peperangan atau perkelahian dalam pewayangan yang tidak mengandung atau menampilkan unsur kesaktian. Kita selalu ingat akan Aji Norantaka dari Gatotkaca, Panglimunan-nya Arjuna, Wungkol Bener dari Bima, Panggoblakan dari Anoman, Pancasonanya Rahwana dan lain-lainnya. Kesaktian-kesaktian atau aji tersebut di atas termanifestasikan dengan mantra dan atau olah semedi/raga tertentu. Orang sakti menjadi kebal, 'Unatah mendat jinara menter, ora tedhas topok paluning pandhe, sisaning gurinda, tilasing kikir'. Tahan panasnya api, bisa terbang, amblas bumi, menghilang, dan lain sebagainya. Kadang-kadang malah karena ulah lawan tandingnya sendiri, maka kesaktian tersebut dapat terwujud secara otomatis, misaInya aji Candha Birawa. Senjata, jimat dan pusaka juga merupakan sumber kesaktian atau supremasi terhadap lawan tanding. Siapa yang tidak mengenal Jamus Kalimasada, Kembang Wijayakusuma, Cundha Mani, Gada Lukitasari atau Rujakpolo, dan lain sebagainya. Dan apabila kita bicara mengenai falsafah dalam dunia pewayangan, maka saratri daton badhe pendhot! Keris Dalam Dunia Pewayangan Sulit untuk mengatakan, manakah yang lebih beruntung, dunia pewayangan karena keris, ataukah dunia perkerisan karena wayang. Yang jelas, kedua-duanya merupakan puncak kebudayaan nasional, dan tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Sayang, kawruh padhuwungan tidak begitu populer bagi para dalang, sehingga janturanjanturan mereka mengenai pusaka/keris seringkali menjadi 'steril', dan lebih disayangkan lagi karena tidak adanya usaha para dalang untuk mencoba menambah pengetahuan dan wawasannya mengenai keris. Alangkah idealnya apabila aspek-aspek perkerisan dapat ditampilkan dalam pentas pewayangan, niscaya akan dapat menambah 'gebyar' atau 'dimensi' pentas itu sendiri. Untuk mencoba menanggapi 'kekosongan' ini, maka tulisan yang tidak konklusif dan kadangkadang terasa cengkah serta berasal dari berbagai sumber ini disajikan. Adapun mengenai bagaimana pengejawantahan kawruh padhuwungan dalam pentas wayang, hal ini sepenuhnya
diserahkan kepada kearifan para dalang sendiri. Berikut ini dapat disebutkan beberapa petikan tentang hal tersebut, antara lain :
Dalarn sebuah pakem padhuwungon yang 'nota bene' merupakan karangan pujangga tersohor Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Surakarta (kira-kira 190 tahun yang Ialu), disebutkan bahwa :
Sri Paduka Maha Raja Dewo Budo, inggih punika Songhyang Gurunata (Girinatc) ingkong owit yaso dedamel warna-warni, ingkong kathahkathah mboten kacario saken, namun kopethik nalika yaso dhuwung wonten Ing Kayangan Kaendran dhapur Lar Ngotap, Posopati, scha dhapur Cundrik; ginambar ing angka 1, 2, 3; Ingkong dame/ noma Empu Romadi, kola tahun Jawi 142. Ungkapan dalarn bahasa Jawa tersebut bagi pembaca masa kini tentu sulit untuk diterima sebagai fakta sejarah. Sebagai referensi dapat diingat tentang 'asal-usul' para tokoh Pandawa dan Korawa yang dimulai dari Nabi Adam, Nabi Sis, ….Bhatara Guru dan seterusnya, yang ditulis dalam Kitab Paramayoga/Pustaka Raja Purwa yang juga merupakan mahakarya pujangga Ranggawarsita. Selain itu, dalam dunia pewayangan kita juga mengenal pusaka Pasopati, yakni senjata Arjuna pemberian Bhatara Guru (cocok) yang berupa sebuah bedhor (panah) yang berdapur Wulan Tumanggal (tidak cocok).
Di dalam narasinya, Ki Dalang kadang-kadang menyebutkan (menurut lakonnya) sebagai berikut:
'dupi den unus curiganira, ponang pamor pusakaning Sang Dipati Ngawangga pating karetip pindha konang sayuta ...' Yang dimaksud dengan pusaka tersebut adalah sebilah keris dhopur Jalak yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Jalak. Untuk menambah 'keotentikan' ungkapan tersebut, dianggaplah bahwa seolah-olah negeri Ngawangga itu memang benar benar ada dan terdapat di Pulau Jawa, persisnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (menurut Raffles, dalam bukunya : The History of Java). Sampai kini (menurut cerita orang), di dusun Wangga terdapat mesjid tempat dimana disimpan Kyai Jalak tersebut. Benar tidaknya hal ini, wallahualam bissawab. Dengan sebagai tambahan, Raffles juga menentukan tentang 'negeri-negeri' yang lain, misaInya : - Kerajaan Dwarawati (Kresna) di daerah Pati - Kerajaan Mandura (Baladewa) di Pulau Madura bagian barat - Kerajaan Mandaraka (Salya) di antara Tegal & Pekalongan - Banjarjungut (Dursasana) di sekitar Kebumen - Talkandha (Bisma) di Banjarnegara - Kahyangan Indrakila (Bhatara Indra) di Jepara - Kerajaan Pringgandani (Gatotkaca) di seb. Utara Dat.Ting.Dieng - Kerajaan Indraprastha (Pandhawa) di Dataran Tinggi Dieng. - dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam menanggapi penentuan 'lokasi geografis' kerajaan/ negeri-negeri tersebut hendaknya perlu dipakai suatu kebijaksanaan yang cukup arif, karena kebenaran. historisnya memang cukup menyangsikan.
Di Surakarta, pada waktu ini terdapat keris yang bernama Cundhamani, yang di dalam dunia pewayangan dikenal sebagai encis pusaka Pandhita Dorna. Keris dhapur Kalarnisani yang merupakan 'copy' atau putran dari keris Kanjeng Kyai Kalamisani, adalah sebuah keris lurus dengan hiasan kembang-kacang, sogokan muka dan belakang, lambe gajah dua, sraweyan, greneng dan lain sebagainya. Konon, Kanjeng Kyai Kalamisani yang asli adalah kepunyaan Raden Sadewa yang kemudian diberikan kepada Raden Gatotkaca. Arjuna, selain dikenal sebagai pemilik Pasopati, juga mempunyai keris-keris Kyai Pulanggeni dan Kyai Kalanadhah..
Adipati Karna, selain memiliki keris Kyai Jalak, juga mempunyai keris Kyai Kaladete yang sangat terkenal karena ampuhnya, karena meskipun tuannya itu telah gugur, keris pusaka tersebut masih dapat berbicara menirukan suara tuannya yang mernanggilmanggil Arjuna sebagai lawannya. Selanjutnya, bagaimana lengkapnya cerita lakon tersebut, pembaca tentunya telah mengetahuinya. Cakil mempunyai keris dengan luk 9 atau 21, dhapurnya Jalak Ngoceh, bukan Jalak Ngore. Keris tersebut pada akhirnya justru 'memakan' tuannya sendiri. Ada yang mengatakan bahwa Prabu Yudhistira mempunyai keris dhapur Tilarn Upih atau Tilam Sari. Prabu Kresna memiliki keris dhapur Brojol; sedangkan keris Kyai Kalamunyeng pembicara lupa siapa pemiliknya.
Selain dalam dunia pewayangan, keris lebih-lebih terkenal dalam legenda, babad atau dongengdongeng yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa Sebagai contoh misalnya :
Keris Kyai Sengkelat (pusaka kerajaan Majapahit) Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten (pusaka pusaka kerajaan pada zaman pemerintahan Dernak-Pajang, yang dibuat pada zaman Majapahit). Keris Kyai Carubuk, pusaka Sunan Kalijaga (Demak-Paiang) Keris Kyai Setan Kober, pusaka Haryo Penangsang (Jipang) Tombak Kyai Baru, milik Ki Ageng Mangir, menantu dan sekaligus juga musuh bebuyutan Panembahan Senopati (Mataram) Kyai Plered adalah juga sebuah tombak pusaka yang pernah digunakan oleh Danang Sutawijaya (P. Senopati) untuk membunuh Haryo Penangsang. dan lain-lainnya.
Wayang Dalam Dunia Perkerisan Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, dunia pewayangan dan dunia perkerisan selalu kaitmengkait. Berikut akan dicoba menampilkan unsur-unsur pewayangan dalam dunia perkerisan, yang sebagian besar menyangkut dhopur ataupun bentuk (wanda) bilah keris, antara lain sebagai berikut :
Semar Tinandhu (keris lurus): cocok untuk meningkatkan kedudukan sosial. Semar Pethak (keris lurus) : atau Semar Matak Aji, cocok untuk mencari ilmu kejiwaan. Karna Tinandhing atau Karna Tandhing (keris lurus) dengan dua kembang-kacang yang bertolak belakang. Bima Kurda (keris luk 15) : cocok untuk melawan musuh. Anoman (keris luk 5) : cocok untuk kesaktian/perajurit. Buto Ijo (keris luk 9 dan 13) : cocok untuk seniman. Indrajit (keris luk 21) : cocok untuk kekebalan. Trisirah/Trimurda (keris luk 19) cocok untuk kekebalan. dan lain-lainnya.
Selain dalam bilah, unsur wayang juga dipakai dalarn penamaan perabot bilah keris, misalnya ukiran atau deder atau gagang keris. Di situ, antara lain kita kenal :
Samba Keplayu (gaya Solo) : kecil, langsing, dan ndangak. Rajamala (gaya Solo): besar kepala, besar perut, ndangak. Gatotkaca Seba atau Mara Seba (gaya Solo) : pideksa (gagah) tetapi menunduk. Narada Kandha (gaya Yogya) pendek, perut buncit. Bhatari Dhurga : diukir seperti bentuk raseksi (raksasa wanita). dan lain sebagainya.
Bukti lain tentang keterkaitan dunia perkerisan dan dunia pewayangan, adalah narna tokoh punakawan Gareng atau lengkapnya Kyai Lurah Nala Gareng yang juga diberi nama lain seperti : Cakrawangsa, Kadhal Pedhot, Mangun Oneng,Pegat Waja, dan Pancal Pamor. Kedua nama terakhir ini adalah merupakan ungkapan (terminologi) dalam dunia perkerisan, atau lebih
jelasnya merupakan istilah teknis bagi para Empu dalam mengerjakan penempaan besi bajapamor menjadi sebilah keris. Pegat waja adalah fenomena terjadinya keretakan pada inti baja bilah keris pada penyepuhan yang gagal; sedangkan pancal pamor adalah gejala tidak melekatnya saton pamor terhadap inti baja bilah keris selama proses pembakaran dan penempaan. Sebagai tambahan, dapat disebutkan di sini bahwa dalarn bahasa Jawa kata keris juga memiliki beberapa sinonim, yakni : katga, curiga, wangkingan (karena di-'wangking/disengkelit’), senjata ruket, senjata pamungkas, siyunging Bhatara Kala (tokoh wayang), pusaka, dan tosan-aji/wesiaji (termasuk tombak, pedang, dll). Menurut kepercayaan, keris-keris dengan dhapur/pamor tertentu dapat memiliki khasiat/tuah tertentu. MisaInya
Dhapur Carita (luk 11) : cocok untuk dalang/seniman. Dhapur Brojol (lurus) : cocok untuk dukun bayi/seniman. Dhapur Nagasasra (luk 13) : cocok untuk Raja/Kepala Pemerintahan. Dhapur Sabuk Inten (luk 11) : cocok untuk para perwira. Dhapur Sengkelat (luk 13) : cocok untuk para penguasa. Dhapur Tilam Upih (lurus) : cocok untuk pujangga/pendeta. Dhapur Tilam Sari (lurus) : cocok untuk Raja/pendeta. Dhapur Jaran Guyang (luk 7) : cocok untuk play-boy. Dhapur Pulanggeni (luk 5) : cocok untuk panglima/kornandan. Dhapur Singa Barong (luk 5-13) : cocok untuk pengawal. Dhapur Carubuk (luk 7) : cocok untuk pendeta/alim-ulama. Dhapur BethokIJangkung (luk 3) : cocok untuk keselamatan. Dhapur Sempana (luk 9) : cocok untuk Pejabat Pemerintah. Dhapur Jalak Sangu Tumpeng (lurus) : cocok untuk mencari rezeki. Pamor Udan Mas : cocok untuk mencari kekayaan. Pamor Beras Wutah : cocok untuk mencari nafkah. Pamor Satriya Pinayungan : cocok untuk komandan pasukan/penguasa/ pencari keselamatan. Pamor Raja Gundhala : cocok untuk kesaktian. Pamor Blarak Ngirit : cocok untuk mencari kesetiaan. Pamor Ujung Gunung (Raja Abala Raja) : cocok untuk kesaktian/ kekuasaan/kesetiaan para bawahan.
Demikianlah beberapa contoh keterkaitan antara dunia pewayangan dengan dunia perkerisan.
View more...
Comments