Tinjauan Pustaka Multiple Sclerosis
September 21, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Tinjauan Pustaka Multiple Sclerosis...
Description
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1
Definisi
Multipel Sklerosis (MS) merupakan penyakit demielinasi idiopatik dan berulang yang melibatkan substantia alba pada sistem saraf pusat. Penyakit ini menyerang selubung myelin akson. Kerusakan pada selubung myelin akson ini menyebabkan terganggunya hubungan antar akson dalam susunan saraf pusat pada otak dan chorda spinalis.1,2 2.2
Epidemiologi
Prevalensi Multipel Sklerosis di Amerika Serikat berkisar antara 6 – 177 177 per 100.000 orang. Sedangkan di negara-negara Asia dan Afrika penyakit ini relatif jarang didapatkan. Multiple Sklerosis lebih sering didapatkan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio antara perempuan dengan lakilaki 2:1. Penyakit ini relatif jarang terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 10 tahun dan paling sering didapatkan pada usia dewasa muda (25 – 40 40 tahun).5 2.3
Etiologi
Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang mielin dan mielin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi t etapi pada MS sebenarnya bukan suatu
autoimmun murni murni oleh karena tidak adanya antigen respon imun yang yang
abnormal melainkan terdapat faktor-faktor pemicunya. Secara umum faktor-faktor pemicu trejadinya MS antara lain: a. Virus
: infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri
: reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
d. Genetika
: penurunan kontrol respon immun
e. Lain-lain
: toksin, endokrin, stress, defek pada oligodendroglia 1,6
2.4
Patogenesis
Penyebab pasti MS tidak diketahui, tetapi terdapat kerusakan jaringan dan gejala neurologi sebagai akibat mekanisme imun terhadap antigen mielin. Infeksi virus atau faktor-faktor lain mengawali mengawali masuknya sel T dan antibodi ke dalam 2
CNS dengan menembus sawar darah otak. Hal ini menyebabkan meningkatnya cell-adhesion molecules, matrix metalloproteinases, dan sitokin, yang bekerja dalam memicu pengeluaran sel imun, gangguan matrix ekstra seluler untuk berpindah, dan respon aktif autoimun terhadap antigen seperti dasar protein myelin, glikoprotein myelin, oligodendrocyte glicoprotein dan proteolipid protein. Ikatan antigen ini memicu respon autoimun yang melibatkan sitokin, makrofag, dan komplemen. Pada tahap selanjutnya secara khas terjadi proliferasi astrosit yang disertai terbentuknya jaringan fibroglial. Serangan imun pada akson myelin, memperlambat konduksi saraf, dan menimbulkan gangguan neurologi. 6 Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry mimicry antara antigen dan MBP (myelin ( myelin basic protein) protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP ( MBP specific T-cell clone). clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS. 2.5
Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
Disfungsi usus dan saluran kemih akibat gangguan saraf otonom
Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi
Kelelahan dan gangguan mobilitas
Depresi dan gangguan kognitif atau memori
Masalah penglihatan dan pendengaran
Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif
Nistagmus, gangguan koordinasi koordinasi dan keseimbangan
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya biasan ya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia asi a lebih sering pada
3
kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma s kotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika.5 Gangguan sensorik merupakan manifestasi yang juga sering dialami sejak awal serangan oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome. syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.6,7 Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi ( scanning scanning speech, speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal.6,8 Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan
sindroma
Brown-Sequard
4
atau
mielitis
transversa
yang
mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/ fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu olahraga berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan / kelambatan mental. 6,7 Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu pada pasien MS. Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral.6,7 Sembelit merupakan keluhan yang paling sering pada pasien dengan MS dan ditandai dengan dengan jarang atau sulit buang air besar. Sembelit dapat diakibatkan dari berkurangnya motilitas usus. Selain itu, pasien yang telah membatasi asupan cairan dalam upaya untuk mengelola gejala kandung kemih dan mereka yang memiliki akses terbatas pada cairan akibat imobilitas cenderung memiliki tinja yang keras dan kering.7 Intoleransi terhadap suhu tinggi. Orang dengan MS sering mengalami peningkatan gejala kelelahan atau kelemahan bila terkena suhu tinggi karena cuaca, olahraga, mandi air panas, atau demam. Intoleransi Intoleransi panas pada pada penderita MS, dapat menyebabkan pandangan kabur (tanda Uhthoff). Gejala ini terjadi akibat peningkatan suhu tubuh, yang selanjutnya mengganggu konduksi saraf oleh demielinasasi, dan keadaan ini pulih dengan cepat ketika paparan suhu tinggi berakhir.5,7 Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma).6,7,8
5
2.6
Klasifikasi
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS 9,10: 1.
Relapsing-remitting MS . Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi secondary progressive multiple sclerosis.
2.
Chronic progressive MS . Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali. Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama penglihatan). penglihatan).
3.
Benign MS . Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan kasus benign benign MS akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan, meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis. dia gnosis.
4.
Secondary progressive MS . Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk secondary bentuk secondary progressive progressive MS MS dimana dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun frekuensi remisi cukup jarang. jarang.
2.7
Diagnosis
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010.
Kriteria
McDonald
menekankan
adanya
pemisahan
menurut
waktu/disseminated waktu/ disseminated in time time (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated ruang/ disseminated in space space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda). Seseorang dinyatakan
menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan ruang
yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP). 9
6
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.7,9,10 Kriteria definite (disseminated (disseminated in space) space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria: (1) adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil (2) minimal 1 lesi infratentorial (3) minimal 1 lesi juxtakortikal (4) minimal 3 lesi periventrikel. Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh pembesaran ventrikel.9.10
Gambar 1.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting dengan Relapsing-Remitting MS 7 Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in space. space.9.10 Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup sensitif sensit if (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat mendeteksi kelainan
7
meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum terdapat gejala klinis neuritis optika.7,10 2.7
Penatalaksanaan Penatalaksanaan :
Pengobatan
dan
pengelolaan
multipel sklerosis ditargetkan
untuk
menghilangkan gejala, mengobati eksaserbasi akut, memperpendek durasi suatu kekambuhan akut, mengurangi angka kekambuhan, dan mencegah perkembangan penyakit.7 Obat yang disetujui untuk digunakan dalam terapi MS yang mengurangi frekuensi eksaserbasi atau kecacatan yang progresif disebut sebagai diseasemodifying
drugs
diklasifikasikan
(DMDs) sebagai
atau
pengobatan
imunomodulasi
penyakit.
(atau
DMDs
modulasi
ini
reseptor)
dapat atau
immunosuppresan.7 Obat yang mengobati gejala terkait MS (misalnya, eksaserbasi akut, disfungsi kognitif, kelelahan, spastisitas, masalah usus dan kandung kemih, dan rasa sakit) tetapi tidak mengubah perjalanan penyakit disebut sebagai pengobatan simptomatik.7 2.7.1
Disease-Modifying Therapies Terapi yang diberikan meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi
efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies therapies untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia: intramuskular interferon beta1a (Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing – remitting MS MS dan sekunder progresif MS yang memburuk.7,13 1.
Interferon beta. beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi
sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control trial, penggunaan interferon beta dapat
8
mengurangi 50 sampai 80 persen lesi inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini meningkatkan fungsi kognitif.7,13,14 Influenza-like symptom seperti symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.7,10,13 Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi, depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan.7,10,13 2.
Glatiramer . Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya
dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien dengan Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon beta. bet a. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat pada MRI. MR I.7,10,13 Glatiramer
umumnya
dapat
ditoleransi
dengan
baik
dan
tidak
menimbulkan influenza-like symptoms. symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang diobati dengan glatiramer,
dan
kempuan
antibodi
dalam
mengikat
antigen
juga
tidak
terganggu.7,13 3.
Mitoxantrone.. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, Mitoxantrone
sebuah agen antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan bentuk Progressive bentuk Progressive MS MS .7,13 Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya cardiotoxicity cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai
9
tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang berpengalaman.7,10,13 2.7.2
Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah:7,10 1.
Spastisitas, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan
program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.7,10,13 2.
Paroxysmal disorder . Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat 7
diberikan antikonvulsan atau amitriptilin. 3. Bladder dysfunction. dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.7,14 4.
Bowel symptom. symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS
dan
harus
diterapi
sesegera
mungkin
untuk
menghindari
komplikasi.
Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan. 7,14 5.
Sexual symptom. symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan
libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.7,14 6.
Neurobehavior manifestation manifestation.. Depresi terjadi lebih dari separuh dari
pasien dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective
10
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedatif yang lebih kecil dibanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau sakit kepala. 7,14 7.
Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
obat. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP memiliki efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza.7,13,14 2.7.3
Terapi nutrisi Menurut penelitian, karena faktor-faktor lingkungan berpengaruh pada
MS, maka nutrisi juga berpengaruh pada terapi, beberapa pedoman nutrisi pada MS antara lain: diet rendah gula, bebas gluten, dan suplemen asam lemak, terutama asam linoleat. Bedasarkan penelitian lain suplemen EPA dengan dosis 1,7 g/hari dan DHA 1,1 g/hari memberikan efek yang sama dengan efek asam oleat 10 g/hari dalam jangka waktu pemberian 2 tahun lamanya.11 Pada pasien MS, sering diketemukan masalah neurogenic bladder, yang beresiko menimbulkan ISK, maka dari itu untuk meminimalisir masalah ini, pembatasan cairan juga perlu dipertimbangan. Namun bila terjadi masalah konstipasi atau diare, pemberian diet serat disesuaikan dengan kondisi pasien. 12 Vitamin D diduga mempunyai efek protektif terhadap MS. Kenaikan level serum dari 1,25-Dihidroksivitamin 1,25-Dihidroksivitamin D pada pada susunan saraf pusat, berkorelasi positif dalam menurunkan gejala patologi dan klinik dari Experimental Autoimune Encephalomyelitis (EAE). Dalam studi migrasi epedemiologi, diketahui bahwa suplementasi 25-dihidroxyvitamin D 100 nmmol/L atau lebih tinggi pada usia sebelum 20 tahun berperan serta dalam mengurangi insiden penyakit multipel sklerosis.12 2.8.
Komplikasi
1. Depresi 2. Kesulitan dalam menelan 3. Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi 11
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri 5. Kesulitan dalam berkemih 6. Osteoporosis 7. Infeksi saluran kemih 2.9
Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadangkadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan mengungkapkan beberapa tingkat kerusakan k kognitif. ognitif.6,7,13 Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan
kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang
belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan.6,7,13,15
12
View more...
Comments