Tinjauan Pustaka Multiple Sclerosis

September 21, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Tinjauan Pustaka Multiple Sclerosis...

Description

 

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1

Definisi

Multipel Sklerosis (MS) merupakan penyakit demielinasi idiopatik dan  berulang yang melibatkan substantia alba pada sistem saraf pusat. Penyakit ini menyerang selubung myelin akson. Kerusakan pada selubung myelin akson ini menyebabkan terganggunya hubungan antar akson dalam susunan saraf pusat  pada otak dan chorda spinalis.1,2 2.2

Epidemiologi

Prevalensi Multipel Sklerosis di Amerika Serikat berkisar antara 6 – 177 177  per 100.000 orang. Sedangkan di negara-negara Asia dan Afrika penyakit ini relatif jarang didapatkan. Multiple Sklerosis lebih sering didapatkan pada  perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio antara perempuan dengan lakilaki 2:1. Penyakit ini relatif jarang terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 10 tahun dan paling sering didapatkan pada usia dewasa muda (25 – 40 40 tahun).5 2.3

Etiologi

Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang mielin dan mielin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi t etapi pada MS sebenarnya bukan suatu

autoimmun murni murni oleh karena tidak adanya antigen respon imun yang yang

abnormal melainkan terdapat faktor-faktor pemicunya. Secara umum faktor-faktor  pemicu trejadinya MS antara lain: a. Virus

: infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan oligodendroglia

 b. Bakteri

: reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin

d. Genetika

: penurunan kontrol respon immun

e. Lain-lain

: toksin, endokrin, stress, defek pada oligodendroglia 1,6

2.4

Patogenesis 

Penyebab pasti MS tidak diketahui, tetapi terdapat kerusakan jaringan dan gejala neurologi sebagai akibat mekanisme imun terhadap antigen mielin. Infeksi virus atau faktor-faktor lain mengawali mengawali masuknya sel T dan antibodi ke dalam 2

 

CNS dengan menembus sawar darah otak. Hal ini menyebabkan meningkatnya cell-adhesion molecules, matrix metalloproteinases, dan sitokin, yang bekerja dalam memicu pengeluaran sel imun, gangguan matrix ekstra seluler untuk  berpindah, dan respon aktif autoimun terhadap antigen seperti dasar protein myelin, glikoprotein myelin, oligodendrocyte glicoprotein dan proteolipid protein. Ikatan antigen ini memicu respon autoimun yang melibatkan sitokin, makrofag, dan komplemen. Pada tahap selanjutnya secara khas terjadi proliferasi astrosit yang disertai terbentuknya jaringan fibroglial. Serangan imun pada akson myelin, memperlambat konduksi saraf, dan menimbulkan gangguan neurologi. 6 Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry  mimicry  antara antigen dan MBP (myelin ( myelin basic protein) protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP ( MBP specific T-cell clone).  clone).  Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS. 2.5

Manifestasi klinis 

Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:  

 

Disfungsi usus dan saluran kemih akibat gangguan saraf otonom

 

Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi

 

Kelelahan dan gangguan mobilitas

 

Depresi dan gangguan kognitif atau memori

 

Masalah penglihatan dan pendengaran

 

Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif













   Nistagmus, gangguan koordinasi koordinasi dan keseimbangan 



Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit  putih biasanya biasan ya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia asi a lebih sering pada

3

 

kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun,  penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma s kotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi  papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata.   Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika.5 Gangguan sensorik merupakan manifestasi yang juga sering dialami sejak awal serangan oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan  pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome. syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.6,7 Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi ( scanning  scanning speech, speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal.6,8 Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan

sindroma

Brown-Sequard

4

atau

mielitis

transversa

yang

 

mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/ fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu olahraga berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan / kelambatan mental. 6,7 Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka  panjang umumnya terganggu pada pasien MS. Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar  berupa  forced laughing   atau  forced crying   umum terjadi pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral.6,7 Sembelit merupakan keluhan yang paling sering pada pasien dengan MS dan ditandai dengan dengan jarang atau sulit buang air besar. Sembelit dapat diakibatkan dari berkurangnya motilitas usus. Selain itu, pasien yang telah membatasi asupan cairan dalam upaya untuk mengelola gejala kandung kemih dan mereka yang memiliki akses terbatas pada cairan akibat imobilitas cenderung memiliki tinja yang keras dan kering.7  Intoleransi terhadap suhu tinggi. Orang dengan MS sering mengalami  peningkatan gejala kelelahan atau kelemahan bila terkena suhu tinggi karena cuaca, olahraga, mandi air panas, atau demam. Intoleransi Intoleransi panas pada pada penderita MS, dapat menyebabkan pandangan kabur (tanda Uhthoff). Gejala ini terjadi akibat peningkatan suhu tubuh, yang selanjutnya mengganggu konduksi saraf oleh demielinasasi, dan keadaan ini pulih dengan cepat ketika paparan suhu tinggi  berakhir.5,7 Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma).6,7,8

5

 

2.6

Klasifikasi 

Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS 9,10:  1. 

 Relapsing-remitting MS . Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi  secondary progressive multiple sclerosis.

2. 

Chronic progressive  MS . Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali. Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama penglihatan).  penglihatan).  

3. 

 Benign MS . Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan MS mungkin awalnya jinak. Namun,  bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan kasus benign benign    MS   akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan, meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis. dia gnosis.  

4. 

Secondary progressive MS .  Relapsing-remitting MS   dapat berubah menjadi bentuk secondary bentuk secondary progressive  progressive MS   MS  dimana  dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun frekuensi remisi cukup jarang.  jarang.  

2.7

Diagnosis 

Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010.

Kriteria

McDonald

menekankan

adanya

pemisahan

menurut

waktu/disseminated waktu/ disseminated in time  time  (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated ruang/ disseminated in space  space  (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda). Seseorang dinyatakan

menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan ruang

yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP). 9

6

 

Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.7,9,10 Kriteria definite (disseminated (disseminated in space) space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria: (1) adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil (2) minimal 1 lesi infratentorial (3) minimal 1 lesi juxtakortikal (4) minimal 3 lesi periventrikel. Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh  pembesaran ventrikel.9.10

Gambar 1.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting dengan Relapsing-Remitting MS 7 Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal band   pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in space. space.9.10 Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan  penunjang yang cukup sensitif sensit if (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat mendeteksi kelainan

7

 

meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum terdapat gejala klinis neuritis optika.7,10 2.7

Penatalaksanaan Penatalaksanaan : 

Pengobatan

dan

pengelolaan

multipel sklerosis ditargetkan

untuk

menghilangkan gejala, mengobati eksaserbasi akut, memperpendek durasi suatu kekambuhan akut, mengurangi angka kekambuhan, dan mencegah perkembangan  penyakit.7 Obat yang disetujui untuk digunakan dalam terapi MS yang mengurangi frekuensi eksaserbasi atau kecacatan yang progresif disebut sebagai diseasemodifying

drugs

diklasifikasikan

(DMDs) sebagai

atau

pengobatan

imunomodulasi

penyakit.

(atau

DMDs

modulasi

ini

reseptor)

dapat atau

immunosuppresan.7 Obat yang mengobati gejala terkait MS (misalnya, eksaserbasi akut, disfungsi kognitif, kelelahan, spastisitas, masalah usus dan kandung kemih, dan rasa sakit) tetapi tidak mengubah perjalanan penyakit disebut sebagai pengobatan simptomatik.7 2.7.1

Disease-Modifying Therapies Terapi yang diberikan meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi

efek serangan, dan memperpanjang masa remisi.  Disease-modifying therapies  therapies  untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia: intramuskular interferon beta1a (Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing  –  remitting  MS  MS dan sekunder progresif MS yang memburuk.7,13 1. 

 Interferon beta.  beta.  Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi

sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk  pasien yang intoleran dengan glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control trial, penggunaan interferon beta dapat

8

 

mengurangi 50 sampai 80 persen lesi inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini meningkatkan fungsi kognitif.7,13,14   Influenza-like symptom seperti symptom  seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon  beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.7,10,13 Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi, depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan  penghentian pengobatan.7,10,13 2. 

Glatiramer . Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya

dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai  pengobatan lini pertama pada pasien dengan  Relapsing-Remitting   MS   dan bagi  pasien yang tidak dapat mentolerir interferon beta. bet a. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat pada MRI. MR I.7,10,13  Glatiramer

umumnya

dapat

ditoleransi

dengan

baik

dan

tidak

menimbulkan influenza-like symptoms. symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung  berdebar, gelisah, atau dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang diobati dengan glatiramer,

dan

kempuan

antibodi

dalam

mengikat

antigen

juga

tidak

terganggu.7,13 3. 

 Mitoxantrone.. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone,  Mitoxantrone

sebuah agen antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan bentuk Progressive bentuk Progressive  MS   MS .7,13  Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya cardiotoxicity cardiotoxicity   kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai

9

 

tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan  profesional yang berpengalaman.7,10,13 2.7.2

Terapi simptomatik

Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah:7,10 1.

Spastisitas, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan

 program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.7,10,13 2.

 Paroxysmal disorder . Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin

memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat 7

diberikan antikonvulsan atau amitriptilin. 3.  Bladder dysfunction. dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan  pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.7,14 4.

 Bowel symptom. symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS

dan

harus

diterapi

sesegera

mungkin

untuk

menghindari

komplikasi.

Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif  pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan. 7,14 5.

Sexual symptom. symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan

libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.7,14 6.

 Neurobehavior manifestation manifestation.. Depresi terjadi lebih dari separuh dari

 pasien dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective

10

 

Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedatif yang lebih kecil dibanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau sakit kepala. 7,14 7.

Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan

obat. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP memiliki efek yang bagus pada  pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza.7,13,14 2.7.3

Terapi nutrisi Menurut penelitian, karena faktor-faktor lingkungan berpengaruh pada

MS, maka nutrisi juga berpengaruh pada terapi, beberapa pedoman nutrisi pada MS antara lain: diet rendah gula, bebas gluten, dan suplemen asam lemak, terutama asam linoleat. Bedasarkan penelitian lain suplemen EPA dengan dosis 1,7 g/hari dan DHA 1,1 g/hari memberikan efek yang sama dengan efek asam oleat 10 g/hari dalam jangka waktu pemberian 2 tahun lamanya.11 Pada pasien MS, sering diketemukan masalah neurogenic bladder, yang beresiko menimbulkan ISK, maka dari itu untuk meminimalisir masalah ini,  pembatasan cairan juga perlu dipertimbangan. Namun bila terjadi masalah konstipasi atau diare, pemberian diet serat disesuaikan dengan kondisi pasien. 12  Vitamin D diduga mempunyai efek protektif terhadap MS. Kenaikan level serum dari 1,25-Dihidroksivitamin 1,25-Dihidroksivitamin D pada pada susunan saraf pusat, berkorelasi positif dalam menurunkan gejala patologi dan klinik dari Experimental Autoimune Encephalomyelitis (EAE). Dalam studi migrasi epedemiologi, diketahui bahwa suplementasi 25-dihidroxyvitamin D 100 nmmol/L atau lebih tinggi pada usia sebelum 20 tahun berperan serta dalam mengurangi insiden penyakit multipel sklerosis.12 2.8. 

Komplikasi

1.  Depresi 2.  Kesulitan dalam menelan 3.  Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi 11

 

4.  Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri 5.  Kesulitan dalam berkemih 6.  Osteoporosis 7.  Infeksi saluran kemih 2.9

Prognosis

Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadangkadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam  banyak kasus, mengungkapkan mengungkapkan beberapa tingkat kerusakan k kognitif. ognitif.6,7,13 Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan

kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang

 belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam perkembangan  pesat dari kecacatan.6,7,13,15

12

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF