Therapy

July 18, 2017 | Author: Fajar Satria Rahmaditya | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Therapy...

Description

Terapi untuk Asthma Bronkial, Rhinitis Alergi, dan Dermatitis Atopi / Urtikaria Oleh Fajar Satria Rahmaditya, 0906554296

Ketiga penyakit yang terjadi pada pemicu, kemungkinan besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1, yang dapat ditangani sesuai dengan penyebab dan gejalanya dengan terapi farmakologi. Beberapa terapi non-farmakologi tradisional atau modern seperti hypnosis, acupuncture, chiropraxis, breathing control, yoga, speleotherapy, memang tersedia, namun karena efektivitasnya belum teruji dan belum ada penelitian yang lengkap mengenai hal tersebut, lebih baik tidak digunakan. Terapi farmakologi yang dijadikan standard terangkum dalam tabel di bawah ini.1 No 1

Gejala / Penyakit Asthma bronkial

2

Rhinitis alergi

3 4

Dermatitis atopi / urtikaria Anafilaksis

Terapi Farmakologi Bronkodilator (β2-Agonist, anticholinergic, theohylline). Controller (ICS, Systemic Corticosteroid, antileukotrienes, cromones, anti-IgE). Antihistamine, α-adrenergic, anticholinergic, cromolyn sodium, intranasal corticosteroid. Antihistamine, anticholinergic. Epinefrin, antihistamine, corticosteroid.

β2-Agonist1,2,3,4 Mekanisme utamanya adalah dengan mengaktivasi reseptor β2 yang melewati cascade Gprotein akan menyebabkan relaksasi otot polos. β2-Agonist memiliki sedikit efek inhibisi sel-sel inflamasi yang tidak signifikan, sehingga tidak perlu dipertimbangkan. Meskipun bersifat selektif terhadap β2 receptor, peningkatan kadar dalam darah dapat mengurangi selektivitas tersebut karena pada dasarnya tidak murni benar-benar selektif. β2-Agonist diberikan melalui inhalasi untuk mengurangi efek samping sistemiknya. Efek samping yan gbiasa terjadi adalah tremor otot, gugup, khawatir, efek pada CV dan efek-efek simpatomimetik yang lain yang bisa memperburuk kondisi asthmanya. Beberapa contoh obat β2-Agonist yang digunakan adalah metaproterenol, salbutamol, terbutalin, fenoterol, formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin, namun hanya beberapa saja yang sering digunakan. β2-Agonist dibagi menjadi 2 jenis obat sesuai dengan sifatnya, yaitu Short Acting β2-Agonist (SABA) dan Long Acting β2-Agonist (LABA). SABA dan LABA secara umum hanya berbeda onset kerja dan durasi kerja obatnya, tidak ada perbedaan antara efek bronkodilator maupun efek samping sistemiknya.

1

SABA yang paling banyak digunakan adalah jenis Albuterol dan Terbutaline yang memiliki onset cepat 15-30 menit dengan durasi kerja 3-6 jam. Diberikan 2-3 kali sehari dalam sediaan inhalasi maupun oral. Pemberian subkutan juga dimungkinkan bila pemberian dalam sediaan lain tidak bisa dilakukan. SABA paling tepat digunakan sebagai bronkodilator cepat dan dapat digunakan sebagai terapi tunggal. Namun demikian, karena efektivitasnya kalah dengan LABA, disertai dengan lebih besarnya kemungkinan timbul efek samping yang lebih besar dibandingkan LABA, maka SABA mulai ditinggalkan dan mulai tergantikan Berbeda dengan SABA, LABA memiliki onset yang lebih lambat namun dengan durasikerja yang jauh lebih lama, yaitu sekitar 12 jam atau lebih. LABA yang paling banyak digunakan adalah jenis Salmeterol dan Formoterol. LABA memiliki karakteristik tersebut karena obatnya akan larut dalam membran sel sekitar reseptor. LABA biasanya digunakan 2x sehari dan tidak lebih dari itu untuk menghindari efek samping sistemiknya. Karena secara umum bronkodilator hanyalah obat simptomatik tanpa berhubungan dengan penyebab inflamasinya, maka masih timbul kemungkinan saat kadar LABA cukup efektif untuk bronkodilatasi, saat reaksi inflamasinya naik terjadi bronkokonstriksi kembali. Pada kondisi ini tidak bisa diberikan LABA kembali untuk menghindari efek samping. Untuk mencegah kondisi demikian, LABA tidak aman jika digunakan sebagai terapi tunggal. Pemberiannya harus dilakukan bersama Corticosteroid (diutamakan inhalasi) sehingga efek kombinasinya akan menjadi sangat baik. Pengobatan ini biasanya sudah dikombinasikan dalam inhaler sehingga mudah digunakan. Walaupun SABA masih digunakan dan dapat digunakan sebagai obat tunggal, jika dibutuhkan terapi >2x seminggu, atau jika terjadi nocturnal asthma >2x dalam sebulan. Terapi perlu dikombinasikan dengan ICS. Jika masih diperlukan, pemberian ICS dan LABA dapat dikombinasikan dengan teofilin

Anticholinergic1,2,5,6 Secara umum, efek anticholinergic tidak sebaik β2-Agonist sebagai bronkokonstriktor. Mekanisme utama dari obat anticholinergic adalah menghambat refleks vagus bronkokonstriksi dan sekresi mukus akibat reaksi hipersensitif asthma dan masih memungkinkan terjadi bronkokonstriksi akibat sebab lain, sedangkan β2-Agonist secara penuh menghambat mekanisme konstriksinya. Anticholinergic hanya diberikan apabila β2-Agonist tidak cukup mengatasi konstriksi. Obat yang paling sering digunakan adalah ipratropium bromida inhalasi yang sifatnya lebih selektif terhadap reseptor muskarinik yang berhubungan dengan bronkokonstriksi. Pemberian secara inhalasi tentu saja bertujuan untuk menghindari efek samping sistemik. Mekanisme kerjanya adalah inhibitor kompetitif terhadap asetilkolin yang dikeluarkan saat inflamasi. Ipratropium bromida baik digunakan pada serangan asthma yang akut namun kurang baik pada COPD. Pada COPD, pemberian ipratropium bromida diganti dengan tiotropium.

2

Teophylline1,2 Teofilin sudah jarang sekali digunakan dewasa ini meskipun pada beberapa tahun silam merupakan obat pilihan untuk asthma. Penggunaan teofilin ini sebenarnya tidak bisa menggantikan pilihan terapi β2-Agonist yang merupakan first line drug. Teofilin menjadi pertimbangan karena harganya murah dan umumnya tersedia banyak. Teofilin menjadi sangat tidak efektif karena membutuhkan kadar yang tinggi supaya efeknya terlihat, padahal pada kadar tersebut, efek samping sistemiknya juga akan terjadi. Mekanisme utamanya adalah inhibisi fosfodiesterase yang akan menghasilkan efek bronkodilatasi. Selain itu, teofilin memiliki efek anti-inflamasi ringan dengan aktivasi histone deacetylase-2 pada inti sel.

Corticosteroid1,2,7 Corticosteroid adalah pengobatan asthma paling efektif, dengan mekanisme utamanya adalah menswitch-off mekanisme transkripsi gen yang mengkode protein inflamasi. Mekanisme lanjutan yang terlihat adalah menurunkan kadar sel inflamasi, mengurangi aktivitasnya; menurunkan kadar eosinofil di saluran nafas dan sputum, menurunkan kadar limfosit T dan sel mast di mukosa saluran nafas. Corticosteroid efektif digunakan pada asthma dengan derajat keparahan apapun. Karena efektivitasnya, corticosteroid dijadikan sebagai first line therapy untuk asthma dan sebagai immunosupressan. Yang perlu ditekankan adalah CS bukan pengobatan curative, melainkan hanya sebagai controller. Penggunaan CS sistemik sebaiknya dihindari karena efek sampingnya yang kompleks dan menyangkut banyak organ dengan kelainan yang bermacam-macam. Penggunaan yang paling baik adalah dengan inhalasi ICS karena selain lebih cepat, lebih efektif tepat sasaran, efek samping sistemik kemungkinan besar bisa diminimalisasi. Namun demikian, akan timbul efek samping lokal pada pemberian ICS berulang, seperti disfonia dan candidiasis oral, yang bisa dicegah dengan berkumur setelah penggunaan ICS. Preparat inhalasi yang lazim digunakan adalah beclometasone dipropionat, triamsinolon asetosal, budesonide, dan fluticason propionat. Penggunaan corticosterodi diberikan pada pasien yang membutuhkan β2-Agonist lebih dari 4x seminggu karena selain efektif mengatasi gejalanya, ICS dapat menurunkan reaktivitas bronkus, yang tidak bisa dilakukan dengan obat lain, jika digunakan secara berkala. Penggunaan jangka lama juga akan memperbaik kondisi paru dari asthma. Penggunaan terapi sistemik paling baik adalah saat pagi hari saat kadar ACTH tinggi. Terapi sistemik jika dibutuhkan, dapat dihentikan dalam jangka waktu 1 minggu – 10 hari. Perubahan penggunaan dari oral/sistemik ke inhalasi harus dilakukan dengan tappering of berkala. Penggunaan ICS dilakukan dalam jangka waktu 10-12 minggu dengan diturunkan dosis pemberiannya (dengan awal 4 puff/hari) jika gejala asthma membaik hari demi harinya. Jika tidak membaik, pemberian ICS dapat dilanjutkan dalam jangka waktu lama, sampai 2 tahun, dimana kemungkinan besar akan terjadi perbaikan kondisi yang signifikan sehingga 3

pengobatan dapat dihentikan. Walaupun sudah membaik, pada saat beberapa minggu setelah obat dihentikan, asthma mungkin muncul kembali dan perlu diberikan ICS ulang. Rhinitis dapat diatasi dengan corticosteroid tepikal atau intranasal, dimana walaupun bukan pengobatan utama, CS dapat menurunkan keparahan gejala sampai 70%. CS sistemik pada kondisi anafilaktik atau alergi lain bukanlah pengobatan lini pertama. Pada reaksi anafilaksis, CS hanyalah pelengkap adrenaline jika dibutuhkan jika terdapat kondisi yang mengancam dan perlu segera, preparat yang digunakan adalah CS IV prednisone 30-60 mg/hari dan dexametasone natrium fosfat 8-12 mg. Pada kondisi alergi seperti rhinitis dan dermatisis atopik, CS juga hanyalah pelengkap dari antihistamin saja. Tidak ada kontraindikasi absolut untuk CS. Kontraindikasi relatif seperti DM, tukak lambung, infeksi berat, dapat dikesampingkan jika memang diperlukan CS dalam kondisi darurat.

Antileukotrien1,2 Pada saat inflamasi terjadi, sel mast dan berbagai sel inflamasi lainnya akan memproduksi cysteinyl-leukotrien yang menimbulkan efek bronkokonstriksi, aktivasi eosinofil, efema mukosa, sekresi mukus, peningkatan reaktivitas bronkus dan kebocoran microvascular. Mekanisme tersebut didahului dengan perubahan Arachidonic acid menjadi leukotrien yang diinduksi oleh 5-lipoxygenase. Antileukotrien tentu saja berperan untuk menekan kondisi tersebut dengan dua macam mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan menghambat jalur perubahan arachidonic acid menjadi leukotrien dengan lipoxygenase inhibitor. Obat yang digunakan untuk mekanisme ini adalah zileuton. Selanjutnya, mekanisme kedua adalah antagonis ikatan leukotrien terhadap LTD4 receptor. Obat yang digunakan adaah Zafirlukast dan montelukast. Montelukast lebih banyak digunakan karena selain pemberiannya cukup 1x sehari, dosis obatnya hanya setengah dari zafirlukast yang dosisnya pun harus diberikan 2x sehari. Selain efek sampingnya lebih sedikit, bioavailabilitasnya cukup tinggi dan tidak dipengaruhi oleh ada-tidaknya makanan di GI. Antileukotrien tidak lebih efektif dari ICS atau LABA dan hanya digunakan sebagai terapi tambahan saja jika diperlukan. Namun demikian, antileukotrien baik digunakan pada anakanak untuk menggantikan penggunaan ICS kronik untuk meminimalkan efek samping kronik dari corticosteroid.

Antihistamine8,9,10 Antihistamine yang digunakan untuk mengatasi alergi adalah antihistamine H1, yang tidak memiliki efek terhadap reseptor H2 dan sedikit pada reseptor H3. Antihistamine H1 dibagi menjadi 2, antihistamin generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama dan generasi 4

kedua secara umum tidak memiliki perbedaan efek pada pengobatan alergi, namun yang membedakan keduanya adalah efek sedative kuat pada generasi pertama dan sedative lemah atau non-sedative pada generasi kedua. Beberapa obat generasi kedua dimetabolisme melalui sistem CYP3A4. Mekanisme utamanya adalah inhibisi kompetitif terhadap reseptor histamin, yang akan menghambat efek konstriksi bronkus dan penurunan permeabilitas vaskular. Efektif digunakan pada pengobatan rhinitis alergi dan urticaria karena patogenesisnya digerakkan oleh hstamin. Sedangkan pada asthma dan reaksi anafilaksis, anti histamin tidak efektif karena reaksinya diinervasi oleh senyawa lain. Namun demikian, pada asthma bronkial, profilaksis antihistamin dapat dilakukan untuk mencegah gangguan asthma bronkial ringan. Umumnya penggunaan generasi kedua lebih disukai karena efek sedativenya tidak mengganggu. Namun pada dermatitis atopik, efek sedative digunakan untuk mencegah supaya lesi tidak digaruk karena gatal. Dapat diberikan secara oral dan parenteral, namun oral lebih banyak digunakan karena lebih mudah. Mula kerja obat 15-30 menit dengan kadar max 1-2 jam dengan durasi 4-6 jam. Pada rhinitis alergi, sediaan topical otoptadine dan azelastine dapat dengan mudah mengatasi gejala rhinitis. Chlorpheniramine, dyphenhydramine (1st gen) atau loratadine (2nd gen) cocok digunakan untuk penanganan rhinitis alergi dan urticaria. Pada urticaria, H2 antagonist dapat diberikan pada saat H1 antagonist tidak cukup untuk mengatasi gangguannya.

Epinefrin3,4,8 Adalah obat lini pertama menghadapi reaksi anafilaksis, dengan sindromnya yaitu bronchospasm, sekresi membran mukus, angioedema, dan hipotensi. Epinefrin bekerja dengan mengaktivasi reseptor α, β1, β2. Efek yang timbul adalah efek vasokonstriksi pembuluh perifer (α), inotropik dan kronotropik positif (β1), dan dilatasi otot organ tertentu (β2). Yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan kenaikan pO2. Epinefrin dibutuhkan dengan onset kerja cepat, dapat diberikan dengan intramuskular atau subkutan. Pemberian intravena dihindari karena pemberiannya akan menyebabkan efek yang terlalu cepat, menaikkan tekanan darah terlalu cepat akan berbahaya bagi pembuluh darah di otak dan sering menyebabkan perdarahan. Apabila sudah terlanjur diberikan IV, maka segera diberikan β2 agonist sebagai vasodilator. Pemberian subkutan memiliki kelemahan karena kecepatan absorpsinya tidak dapat diprediksi karena kondisi hipotensi pada anafilaksis. Pemberian parenteral dilakukan dengan 0,3-0,5 mg (0,3 – 0,5ml 1:1000 epinefrin solution)

5

Pencegahan11 a. Mengetahui dengan jelas penyebab alerginya dan hindari kondisi-kondisi yang dapat memicu alergi. b. Siap sedia obat-obatan pribadi. Pada asthma, profilaksis dapat diberikan sebelum kemungkinan terpapar. c. Mencuci seprei, selimut, sarung bantal secara teratur 2 minggu sekali dengan suhu 55600C untuk membunuh tungaunya, dan cuci dengan air dingin untuk menghilangkan allergennya. d. Pengaturan ventilasi dalam rumah untuk menurunkan kelembapan relatif sampai dibawah 50% dan juga menghindari kondisi udara yang basah. e. Membersihkan perabotan dengan vacuum cleaner seminggu sekali-dua kali untuk membersihkannya dari tungau dan allergen lain. f. Kurangi kontak dengan hewan peliharaan jika ternyata terbukti terdapat alergi terhadap gewan tersebut. g. Paparkan kasur, karpet dan permadani dengan sinar matahari kuat selama lebih dari 3 jam agar bisa membunuh tungaunya. h. Gunakan tanda pengenal bahaya (medic-alert card) i. Bawa alat komunikasi supaya dapat meminta bantuan saat dibutuhkan. j. Menghindari gigitan serangga jika terbukti alergi serangga.

Penanganan kasus sesuai dengan pemicu sudah terangkum dalam tabel pada permulaan LTM ini, dengan penanganan yang benar, bisa dipastikan bahwa gejala yang dialami pasien akan membaik. Jika tidak membaik, maka lakukan pemeriksaan ulang untuk mengecek ketepatan diagnosis.

6

DAFTAR PUSTAKA

1. Barnes PJ. Asthma. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2011. 2. Boushey HA. Drugs used in asthma. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2009. 3. Setiawati A, Gan S. Obat adrenergik. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2011. 4. Biaggioni I, Robertson D. Adrenoceptor agonists & sympathomimetic drugs. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2009. 5. Zunilda DS. Agonis dan antagonis muskarinik. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2011. 6. Pappano AJ. Cholinoceptor-blocking agent. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2009. 7. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids & adrenocortical antagonist. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2009. 8. Austen KF. Allergies, anaphylaxis, and systemic mastocytosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2011 9. Dewoto HR. Histamin dan antialergi. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2011. 10. Katzung BG. Histamine, serotonine, & ergots alkaloids. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. New York: The McGraw-Hill Company; 2009. 11. Hipkins S. Rutkowski S. Asthma and allergy answers; a patient education library. [internet]. Ashtma and Allergy Foundation of America. 2005 [cited March 29th 2012]. Available at http://www.aafa.org/display.cfm?id=9&cont=82

7

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF