The God Delusion Bahasa Indonesia
March 19, 2019 | Author: Faizal Fariz | Category: N/A
Short Description
religion, non believers...
Description
THE GOD DELUSION Oleh Richard Dawkins
Bab I Orang Alim Yang Tak Beriman
Bab I Orang Alim Yang Tak Beriman “Saya tidak membayangkan tuhan yang memiliki kepribadian; Cukuplah untuk berdiri dan mengagumi struktur dunia, sejauh panca indera kita yang tak sempurna ini bisa mengapresiasinya.” - Albert Einstein Anak itu tiarap di atas rerumputan, dagunya bertumpu di tangannya. Dia tiba-tiba menemukan dirinya kewalahan oleh kesadaran yang tinggi akan batang-batang dan akar-akar pohon yang kusut, dia menemukan sebuah hutan di dalam dunia mikro, dunia semut dan kumbang yang berbeda dan bahkan dunia miliaran bakteri di dalam tanah, dimana secara diam-diam bakteri tersebut menopang perekonomian dunia mikro,walaupun anak itu belum mengetahui detail bakteri pada saat itu. Tiba-tiba dunia mikro tersebut tampak tampak membesar dan menjadi satu dengan alam semesta, pikirannya terpesona merenungkan hal itu. Dia menafsirkan pengalaman tersebut secara religius dan akhirnya menuntunnya ke dunia kependetaan. Dia akhirnya menjadi seorang pendeta. Dia ditahbiskan sebagai pendeta anglikan dan menjadi pendeta imam di sekolah saya, dia adalah salah seorang guru saya yang saya sayangi. Berkat pendeta yang liberal dan jujur seperti dialah orang tidak bisa mengklaim saya mengalami indoktrinasi agama pada masa kecil. Di waktu dan tempat yang lain, anak itu bisa saja adalah saya di bawah bintang-bintang, terpesona oleh rasi bintang Orion, Cassiopeia dan Ursa Major, menangis karena musik sunyi dari Galaksi Bima Sakti, mabuk oleh aroma kamboja malam dan bunga terompet di taman Afrika. Mengapa emosi
yang sama menuntun guru saya itu ke suatu arah dan saya ke arah yang lain bukanlah pertanyaan yang mudah untuk di jawab. Respon kuasi-mistis terhadap fenomena kehidupan dan alam semesta merupakan hal yang biasa diantara para ilmuwan dan rasionalis. Ini tidak ada hubungannya dengan kepercayaan supranatural. Di masa kanak-kanaknya setidaknya, pendeta saya mungkin tidak menyadari (begitu juga saya) tentang kalimat penutup buku The Origin of Species – di bagian akhir yang terkenal itu, “dengan burung-burung yang bernyanyi di semak-semak, dengan berbagai serangga yang melayang-layang di sekitar, dan dengan cacing-cacing yang merayap melalui bumi yang lembab”. Seandainya dia tahu akan hal itu, dia pasti akan memahaminya sebagaimana pandangan Darwin yang melihat bahwa semua itu “diproduksi oleh hukum alam yang bertindak di sekitar kita”: “Dengan demikian, dari peperangan di alam,dari kelaparan dan kematian, makhluk yang paling mulia yang mampu berfikir tercipta, khususnya, produksi hewan yang lebih tinggi, tercipta secara langsung. Ada keagungan dalam pandangan hidup ini, dengan beberapa kekuatannya, yang pada awalnya membentuk beberapa atau satu bentuk, dan sementara planet ini berputar dalam hukum tetap gravitasi, dari awal yang begitu sederhana, bentuk tak berujung yang paling indah dan paling mengagumkan telah, dan sedang, berevolusi.” Carl Sagan di dalam buku Pale Blue Dot menulis: “Mengapa hampir tidak ada agama-agama utama yang melihat ke sains dan menyimpulkan. ‘Ini lebih baik daripada yangkita pikirkan! Alam semesta jauh lebih besar daripada yang di katakan nabi-nabi kita, lebih megah, lebih rumit, lebih elegan?’ Bukannya demikian, justru mereka berkata, ‘tidak, tidak, tidak! Tuhan saya adalah tuhan yang kecil, dan saya ingin dia tetap seperti itu.’
Sebuah agama, yang tua maupun yang baru, yang menekankan kebesaran alam semesta sebagaimana di gambarkan sains modern mungkin dapat menarik simpati dan rasa takjub yang tidak pernah di sentuh agama pada umumnya.” Buku Carl Sagan menyentuh ujung saraf dari rasa ingin tahu yang di monopoli agama pada abad-abad lalu. Buku saya memiliki aspirasi yang sama. Akibatnya saya sering mendengar diri saya di gambarkan sebagai orang yang sangat religius. Seorang pelajar amerika menulis surat kepada saya bahwa dia pernah menanyakan dosennya perihal apakah si dosen memiliki pandangan tentang saya. “Tentu,” Jawabnya. “Sains positifnya tidak sesuai dengan agama,tetapi dia berfikir mendalam dan tinggi tentang alam dan jagad raya. Bagi saya,itu adalah agama!” Tapi apakah agama adalah kata yang tepat? Saya pikir tidak. Pemenang Nobel dalam Fisika (dan ateis) Steven Weinberg mengutarakan point yang sangat baik, dalam buku Dreams of a Final Theory : “Beberapa orang memiliki pandangan tentang tuhan yang sangat luas dan fleksibel sehingga tidak terelakkan mereka menemukan tuhan dimanapun mereka mencarinya. Seseorang mendengar perkataan, ‘tuhan adalah absolut’ atau ‘tuhan adalah karakter kita yang lebih baik’ atau ‘tuhan adalah alam semesta. ’Tentu saja, seperti kata-kata yang lain, kata ‘tuhan’ dapat kita maknai sesuka hati kita. Jika anda ingin mengatakan ‘tuhan adalah energi,’ maka anda dapat menemukan tuhan di dalam gumpalan batu bara” Weinberg tentu saja benar bahwa, jika kata tuhan tidak akan menjadi tak berguna, itu harus di gunakan sebagaimana orang memahaminya secara umum: untuk menunjuk kepada Pencipta Supernatural yang ‘pantas untuk kita sembah’.
Banyak kesalah pahaman yang di sayangkan di sebabkan oleh kegagalan membedakan apa yang di sebut agama Einsteinian dengan agama supernatural. Einstein terkadang menyebut kata tuhan (dan dia bukanlah satu-satunya ilmuwan ateis yang sering melakukan hal itu), mengundang kesalahpahaman dari kalangan supernaturalis yang sangat ingin mencari tahu dan mengklaim si pemikir sebagai bagian dari mereka. Yang dramatis (atau mungkin bermasalah) adalah bagian akhir dari buku Stephen Hawking A Brief History of Time, “Oleh karena itu kita harus mengetahui pikiran tuhan”, yang benar-benar di salah gunakan. Itu telah menuntun orang untuk salah paham bahwa Stephen Hawking adalah orang yang religius. Ahli biologi sel Ursula Goodenough, dalam buku The Sacred Depths of Nature, terdengar lebih religius daripada Hawking ataupun Einstein. Dia mencintai gereja, masjid dan biara/pura, dan banyak kalimat di dalam bukunya menggugah untuk di salah gunakan oleh kalangan agama supernatural. Dia melanjutkan dengan menyebut dirinya sebagai ‘Naturalis yang Religius’. Akan tetapi, pembacaan yang teliti terhadap bukunya menunjukkanbahwa dia sebenarnya sangat atheist seperti saya. Naturalis adalah kata yang ambigu. Bagi saya itu menampakkan pahlawan masa kecil saya, Doctor Dolittle karya Hugh Lofting (yang ngomong-ngomong memiliki lebih dari sentuhan filsuf naturalis HMS Beagle tentangnya). Pada abad ke-18, naturalis memiliki makna yang sama dengan maknanya yang sekarang: seorang yang mempelajari tentang fenomena alam. Naturalis dalam pandangan ini, dari Gilbert White, sering merupakan seorang pendeta. Darwin sendiri pada awalnya di arahkan untuk gereja sebagai anak muda, berharap bahwa waktu luangnya di gereja kependetaan akan mengizinkannya untuk mengejar ketertarikannya akan Kumbang. Tetapi para filsuf menggunakan kata naturalis dalam makna yang berbeda, sebagai
lawan dari kata supernaturalist. Julian Baggini menjelaskan dalam buku Atheism: A VeryShort Introduction tentang makna dari komitmen seorang atheist terhadap naturalisme: “Apa yang di percaya kebanyakan ateist adalah walaupun hanya ada satu macam zat di alam semesta ini dan itu adalah zat yang fisik,dari zat inilah muncul akal, keindahan, nilai moral – singkatnya, segala macam fenomena yang memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia” Pikiran dan emosi manusia muncul dari interkoneksi yang sangat kompleks antar entitas-entitas fisika di dalam otak manusia. Seorang ateis dalam hal filosofi naturalis ini adalah seseorang percaya bahwa tidak ada apapun di luar dunia fisik alami, tidak ada kecerdasan supernatural (red: sering disebut supranatural) yang bekerja di balik alam semesta yang terobservasi, tidak ada jiwa yang hidup lebih lama dari badannya dan tidak ada keajaiban – kecuali dalam hal fenomena alam yang belum kita pahami. Jika ada sesuatu yang tampak berada di luar dunia alami karena kurangnya pemahaman kita akan hal itu saat ini, kita berharap suatu saat akan dapat memahami dan merangkulnya di dalam kaidah alamiah. Sebagaimana ketika kita
memahami
proses
fisika
di
balik pelangi, itu tidak
membuat
keindahannya berkurang. Para ilmuan besar di zaman kita yang terdengar religius sebenarnya tidak religius ketika anda telaah kepercayaannya lebih mendalam. Ini tentunya benar terhadap Einstein dan Hawking. Astronomer Royal dan Presiden The Royal Society saat ini, Martin Rees, memberitahu saya bahwa dia pergi ke gereja sebagai seorang ‘Anglikan* yang tak beriman... atas kesetiaan terhadap sukunya’. Dia tidak memiliki kepercayaan agamis, tapi sama-sama merasakannaturalisme puitis yang di timbulkan alam semesta
seperti
terhadap
ilmuan-ilmuan
yang
telah
saya
sebutkan.
Dalam
kesempatan wawancara telivisi beberapa waktu yang lalu, saya menantang teman saya seorang ahli operasi ibu melahirkan, Robert Winston, seorang Yahudi yang
terhormat di Inggris, untuk mengakui bahwa karakter
keyahudian dia adalah seperti yang di atas dan dia tidak benar-benar mempercayai hal-hal yang gaib. Dia hampir saja mengakuinya tetapi tidak jadi
(sebenarnya
dia
yang
seharusnya menginterview saya, bukan
sebaliknya). Ketika saya menekan dia, dia berkata bahwa agama Yahudi menyediakan disiplin yang bagus untuk membantunya menyusun kehidupan yang baik.Mungkin itu benar; tapi tentu saja, itu sama sekali tidak memiliki sedikitpun hubungan dengan kebenaran klaim-klaim supernatural agama itu. Ada banyak intelektual ateis yang bangga menyebut diri mereka Yahudi dan menjalankan tradisi ibadah Yahudi, mungkin karena kesetiaan mereka terhadap tradisi kunoatau anggota keluarga yang terbunuh, tapi juga karena kebingungan dan keinginanmelabel faham Pantheistic* yang dirasakan banyak di antara kita dengan nama‘agama’ dengan pemukanya yang sangat ternama, Einstein. Mereka mungkin tidakpercaya tetapi, meminjam ungkapan Dan Dennet, mereka ‘percaya kepadakepercayaan mereka’. Salah satu ungkapan Einstein yang paling sering muncul adalah “Sains tanpa agama itu lumpuh, agama tanpa sains itu buta.” TapiEinstein juga mengatakan, Itu tentu saja sebuah kebohongan, apayang anda baca tentang keyakinan agama saya, sebuah kebohongan yang diulang-ulang secara sistematis. Saya tidak percaya kepada tuhan yang berkepribadian dan saya tidak pernah menyangkal ini tetapi saya telah mengungkapkannyasecara jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat dikatakan religiusmaka itu adalah rasa
takjub yang tak terbatas akan struktur dunia sejauh yang dapat di ungkapkan ilmu pengetahuan kita. Apakah ini artinya Einstein membantah dirinya sendiri?Karena perkataannya dapat dicomot dan digunakan untuk mendukung argumen kedua belah pihak? Tidak. ‘Agama’ yang di maksud Einstein sangat berbeda dengan agamapada umumnya. Sebagaimana saya terus menjelaskan perbedaan antara agamasupernatural di satu sisi dan agama Einsteinian di lain sisi, camkan baik-baikbahwa saya hanya menyebut tuhan yang seupernatural (gaib) sebagai sebuah ilusi. Ini adalah beberapa ungkapan dari Einstein, untuk memberikan nilai tambah terhadap agama Einsteinian.
View more...
Comments