Textual Criticism
March 23, 2018 | Author: Glenn Tapidingan | Category: N/A
Short Description
Makalah disajikan dalam Seminar : “Textual Criticism: Membedah Varianvarian teks Asli Alkitab dan AlQur’an” diselengg...
Description
1. KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN VARIAN-VARIAN TEKS-TEKS ASLI AL-QUR’AN: SEJARAH DAN BAGAIMANA MEMAKNAINYA
Oleh Dr. Ulil Abshar Abdalla
2. TEXTUAL CRITICISM : SEBUAH PENGANTAR DALAM KAJIAN VARIAN-VARIAN TEKS PERJANJIAN LAMA
Oleh Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A. Makalah disajikan dalam Seminar : “Textual Criticism: Membedah Varianvarian teks Asli Alkitab dan AlQur’an” diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), di Restoran Forum, Surabaya, 11 Juni 2013.
KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN VARIAN‐VARIAN TEKS‐TEKS ASLI AL‐QUR’AN: SEJARAH DAN BAGAIMANA MEMAKNAINYA Oleh Dr. Ulil Abshar Abdalla *) Makalah untuk diskusi yang diadakan oleh Institute for Syriac Cultural Studies (ISCS) dengan tema “Textual Criticism: Membedah Varian‐varian teks Asli Alkitab dan Al‐Qur’an” di Surabaya pada 11 Juni 2013.
KONSEP PEWAHYUAN Makalah ini adalah mengenai keragaman bacaan dalam Qur’an, atau yang dikenal dengan qira’at atau huruf. Tetapi sebelum saya masuk ke tema pokok ini, ada baiknya saya buka makalah ini dengan pembahasan singkat tentang konsep pewahyuan dalam Qur’an serta bagaimana Kitab Suci umat Islam ini dikodifikasi atau dikumpulkan dalam sebuah ‘kitab’ utuh seperti kita lihat sekarang ini. Istilah yang dipakai dalam Quran untuk menggambarkan proses pwahyuan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah “inzāl” dan “tanzīl” yang secara harafiah berarti “menurunkan”. Ketika Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi, istilah yang dipakai adalah “menurunkan”. Yang menarik, istilah ini bukan saja dipakai dalam konteks pewahyuan Qur’an kepada Nabi Muhammad, melainkan juga untuk nabi‐nabi lain sebelum dia. Dalam QS 3:3, misalnya, disebutkan bahwa Tuhan menurunkan (anzala) Torah dan Injil. Dalam ayat ini, pemberian wahyu kepada Nabi diartikulasikan dengan istilah “nazzala,” sementara pewahyuan dua Kitab Suci sebelum Qur’an, yakni Torah dan Injil, digambarkan dengan istilah “anzala”. Dua‐duanya memiliki makna yang zama, yakni menurunkan wahyu yang kemudian dikodifikasikan sebagai Kitab Suci. Dengan kata lain, proses pewahyuan digambarkan dalam Qur’an sebagai komunikasi di mana suatu pesan turun dari atas ke bawah. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yang datang dari dunia atas, dunia Ketuhanan, menuju ke dunia yang lebih rendah, yakni dunia manusia. Sebagaimana kita tahu, Quran bukanlah Kitab Suci yang turun sekaligus dalam bentuk buku yang sudah jadi. Dia turun secara bertahap. Bagaimana persisnya penahapan itu terjadi? Di kalangan pengkaji ilmu‐ilmu Qur’an (‘ulūm al‐Qur’ān) di era klasik, tema ini menjadi pembahasan yang cukup luas, dan di antara mereka pun terjadi perdebaan pendapat. Berikut ini adalah ulasan
Ulil Abshar Abdalla 2 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN singkat tentang bagaimana proses penurunan Qur’an kepada Nabi menurut pandangan para sarjana Muslim klasik. Sebagai wahyu, Qur’an tersimpan di sebuah tempat yang disebut al‐Lauh al‐Mahfūdz (selanjutnya LM), loh atau tablet yang terjaga. Pada sebuah malam di bulan Ramadan yang disebut Lailat al‐Qadr, Malam Penentuan, Qur’an turun sekaligus sebagai sebuah “kitab utuh” ke langit terendah yang paling dekat dengan bumi yang disebut al‐sama’ al‐dunya (langit‐terdekat). Setelah itu, barulah Qur’an turun secara bertahap kepada Nabi sesuai dengan kebutuhan sosial. Ada perbedaan pendapat mengenai bagaimana Qur’an turun kepada Nabi setelah wahyu itu “bersemayam” di langit‐terdekat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Qur’an diturunkan pertama‐tama dari LM ke langit‐terdekat, dan setelah itu diturunkan kepada Nabi secara bertahap. Pendapat kedua, Qur’an turun setiap tahun pada malam Lailat al‐Qadar dalam jumlah yang cukup untuk wahyu yang dibutuhkan pada tahun itu. Pendapat ketiga, Qur’an turun dari LM secara utuh ke langit‐terdekat dan kemudian para malaikat penjaga‐wahyu (al‐hafadzah) mendiktekan wahyu tersebut kepada Malaikat Jibril selama dua puluh hari, untuk kemudian Jibril 1
menurunkannya kepada Nabi selama karir karasulannya.
PROSES KODIFIKASI QUR’AN Istilah yang umum dipakai dalam sejarah Qur’an adalah “pengumpulan” atau jam‘ al‐ Qur’ān, bukan penulisan. Proses penulisan Qur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi. Ada sejumlah sahabat yang dikenal sebagai penulis wahyu (katabat al‐wahy), salah satunya yang paling populer adalah Zaid ibn Thabit. Medium yang dipakai dalam penulisan ini bermacam‐macam: perkamen, papan, daun kurma yang telah dikeringkan (semacam papirus/‘usub) dan tulang binatang. Saat Nabi wafat, Qur’an belum terkumpul secara utuh menjadi satu “codex” atau shahīfah. Qur’an terserak‐serak dalam berbagai medium penulisan, atau dalam ingatan sejumlah sahabat. Dengan kata lain, saat Nabi meninggal, belum ada Qur’an “resmi” sebagaimana kita lihat saat ini. Proses koleksi, pengumpulan dan kodifikasi Qur’an baru berlangsung setelah Nabi wafat. Pendapat yang luas diikuti oleh umat Islam mengenai proses pengumpulan Qur’an ini adalah sebagai berikut. Ada dua tahap pengumpulan Qur’an. Pertama adalah pengumpulan pada
1 Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, ‘Ulum al‐Qur’an Min Khilal Muqaddimat al‐Tafasir (Beirut: Mu’assasat al‐Risalah, 2004), hlm. 53‐54.
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 3 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN masa Abu Bakar (berkuasa 633‐4 M), khalifah pertama, dan kedua adalah pada masa Usman, khalifah ketiga.
Kodifikasi Qur’an pada masa Abu Bakar Peristiwa yang memicu pengumpulan Qur’an pada masa ini adalah adanya perang Yamama yang terjadi pada Desember 632, pada bulan‐bulan pertama ketika Abu Bakar naik tahta menjadi khalifah pertama sepeninggal Nabi. Perang Yamama adalah salah satu dari sejumlah perang melawan mereka yang “murtadd” sepeninggal Nabi, yang dikenal dengan “hurub al‐ridda”. Dalam perang ini, pasukan Abu Bakar berhadapan dengan kaum pemberontak di bawah kepemimpinan Musailimah yang dikenal sebagai “nabi palsu” (impostor; karena itu ia dikenal dengan sebutan al‐Kazzāb, Si Pembohong). Perang ini terjadi di Yamama (Saudi Arabia saat ini). Sejumlah sahabat yang konon dikenal sebagai qurrā’, pembaca atau penghafal Qur’an, gugur dalam perang ini. Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran pada ‘Umar ibn Khattab yang belakangan nanti akan menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua. Jika Qur’an dibiarkan dalam keadaan seperti saat itu, yakni tak terkodifikasi secara resmi dalam sebuah Buku atau Codex, maka, demikian pikiran ‘Umar, dikhawatirkan Qur’an akan hilang dari muka bumi, jika tak seluruhnya, ya minimal sebagian besar darinya. Kekhawatiran inilah yang mendorong ‘Umar untuk mendatangi Abu Bakar dan mengajukan usul agar Qur’an dikumpulkan dan dibukukan. Semula Abu Bakar ragu‐ragu menerima usulan ‘Umar ini, sebab dia khawatir akan terjatuh kepada tindakan bid’ah, yakni tindakan yang tak pernah dicontohkan oleh Nabi. Sebagaimana kita tahu, Nabi tak pernah melakukan pembukuan atau kodifikasi atas Qur’an. Setelah berpikir beberapa saat, Abu Bakar akhirnya memandang usulan ‘Umar ini sangat baik. Lalu, Abu Bakar memerintahkan Zaid ibn Thabit untuk memimpin proyek yang teramat berat ini. Abu Bakar bahkan memberikan petunjuk yang spesifik tentang bagaimana proses pengumpulan harus dikerjakan. “Kalian berdua,” kata Abu Bakar kepada ‘Umar dan Zaid, “harap duduk di pintu masjid, dan siapapun yang membawa laporan tentang Qur’an dengan disaksikan oleh 2
dua saksi, maka terimalah dan tulislah.” Akhirnya, Zaid berhasil mengumpulkan seluruh ayat Qur’an dalam sebuah “buku” atau “shahīfah” yang utuh. Konon, ayat terakhir yang berhasil dicatat oleh Zaid adalah dua ayat dalam 2
Muhammad Musthafa al‐A’zami, The History of the Qur’anic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, tt), hal. 80. 3 Al‐A’zami, Ibid, hlm. 87.
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 4 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN penutup Surah al‐Taubah (9):128‐9. Kedua ayat ini ditemukan di tangan seorang sahabat bernama Abu Khuzaimah al‐Anshari. Qur’an yang telah berhasil dikumpulkan ini kemudian diserahkan oleh Zaid ibn Thabit kepada Abu Bakar untuk kemudian disimpan oleh yang terakhir ini sebagai sebuah “arsip negara”. Sepeninggal Abu Bakar, naskah Qur’an ini berpindah tangan ke ‘Umar dan kemudian ke puterinya, Hafshah, yang juga salah satu janda Nabi.
Kodifikasi Qur’an pada masa Usman Dalam versi yang umum kita jumpai dalam literatur klasik mengenai pengumpulan Qur’an, peristiwa yang memicu kembali diskusi soal kodifikasi Qur’an pada masa ini adalah laporan yang sampai ke Usman melalui sahabat Hudzaifah ibn al‐Yaman. Yang terakhir ini adalah jenderal perang yang memimpin pasukan Islam yang melakukan ekspedisi perang ke kawasan Armenia dan Azerbaijan. Hudzaifah melaporkan kepada Usman tentang terjadinya perbedaan dialek Qur’an yang nyaris menimbulkan perpecahan di kalangan sahabat yang ikut perang di dua kasawan tersebut. Dengan eksplisit, Hudzaifah mengatakan kepada Sang Khalifah, jika keadaan ini tak segera ditangani, ia khawatir umat Islam akan mengalami perpecahan gara‐gara perbedaan dalam Kitab Suci, persis seperti dialami oleh orang‐orang Yahudi dan Kristen. Dengan kata lain, pada masa Usman muncul problem mengenai uniformitas atau kesatuan teks Qur’an karena perbedaan bacaan, dialek, atau hurūf dalam Qur’an. Problem semacam ini sebetulnya bukanlah hal baru. Pada masa ‘Umar, isu ini sudah muncul. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa ‘Umar marah kepada sahabat Ibn Mas’ud karena membaca Qur’an dengan dialek sebuah suku Arab bernama Hudzail. Kata ‘Umar kepada Ibn Mas’ud, “Qur’an turun (kepada Nabi) dengan dialek suku Quraisy, maka ajarilah orang‐orang (di Kufah) membaca Qur’an 3
dengan dialek itu, bukan dengan dialek Hudzail.” Mendengar laporan dari Hudzaifah tersebut, Usman langsung mengumpulkan sejumlah sahabat di Madinah. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa sudah seharusnya umat Islam bersatu dalam sebuah “mushaf” sehingga tak terjadi perpecahan di kalangan umat Islam (nara an‐najma‘a al‐nasa ‘alā mushafin wāhidin, fala takūna firqatun wa lā yakūna ikhtilāfun). Pendapat Usman ini langsung disepakati oleh semua yang hadir. Kemudian, Usman menyuruh seorang 3
Al‐A’zami, Ibid, hlm. 87.
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 5 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN sahabat untuk pergi kepada Hafsah, dan meminta shahīfah atau kodex Qur’an yang ada di tangannya. Zaid (bersama tiga sahabat lain, yakni Abdullah ibn Al‐Zubair, Sa‘īd ibn al‐‘Āsh, ‘Abdurrahman ibn al‐Hārith) kemudian diperintahkan untuk membuat salinan dari kodex Hafsah tersebut. Prinsip kodifikasi yang diikuti oleh Zaid dalam proses pengumpulan Qur’an kali ini adalah begitu rupa sehingga jika terjadi perselisihan di antara mereka yang mendapat tugas kodifikasi kedua ini berkaitan dengan bacaan dan dialek, maka yang harus dijadikan pilihan utama adalah dialek Quraisy. Setelah proyek ini selesai, kemudian Usman memerintahkan agar seluruh kodex‐kodex (shuhuf) lain yang ada di tangan para sahabat untuk dihancurkan. Usman kemudian memerintahkan untuk membuat sejumlah salinan dari Teks Induk yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Usmani atau al‐Mushaf al‐Imām itu, dan dikirimkan ke sejumlah kota utama: Kufa, Basrah, Mekah dan Damaskus. Dengan demikian Usman berhasil untuk pertama kalinya melakukan unifikasi tekstual atas Qur’an, dan perpecahan umat karena perbedaan dialek bisa dihindarkan.
Keragaman bacaan dalam Qur’an Apakah proyek unifikasi Usman berhasil secara menyeluruh? Secara umum, unifikasi itu memang berhasil. Tetapi tidaklah seluruhnya. Beberapa shahīfah non‐Usmani masih bertahan, dua di antaranya yang terkenal adalah kodex di tangan dua sahabat yang cukup terpandang, yakni Ibn Mas’ud dan Ubayy ibn Ka’b. Salah satu kajian paling awal mengenai sejumlah mushaf dikerjakan oleh sarjana Muslim sejak awal, yang terkenal antara lain adalah kajian dari abad ke‐9 oleh Ibn Abi Dawud: Kitāb al‐Mashāhif yang terbit sebagai naskah cetak (bukan manuskrip) untuk pertama kali pada 1937. Dengan kata lain, Kodex Usmani tidaklah menghilangkan kodex‐ kodex lain. Sebab rekaman tentang perbedaan tekstual dalam Qur’an sebagaimana dijumpai pada kodex non‐Usmani masih dapat kita baca dalam sejumlah kajian yang dilakukan oleh para pengkaji Qur’an di era klasik. Perbedaan lain yang tak bisa dihilangkan adalah berkenaan dengan dialek atau bacaan. Jika kita telaah kajian para sarjana Islam klasik yang khusus mengkaji Qur’an, tampak dengan jelas sekali suatu gambaran berikut ini: Qur’an sebagai korpus suci tidak “setunggal” dan “seseragam” yang kita bayangkan sekarang ini. Fase Qur’an sebagai teks yang tampak seragam dan tunggal hanyalah muncul belakangan setelah melalui proses yang panjang selama ratusan tahun. Pada awalnya, situasi Qur’an sangat kuat dicirikan dengan “pluralisme” yang kerap ekstrim dan cenderung “keotik”. Situasi ini tercermin dalam bentuk kergaman dialek dan bacaan Qur’an.
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 6 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN Ada beberapa sebab kenapa terjadi perbedaan bacaan ini. Pertama adalah perbedaan geografis. Setiap kota‐kota utama dalam era Islam klasik, seperti Madinah, Mekah, Kufah, Basrah, Mesir, Damaskus, memiliki “guru‐guru” bacaan Qur’an yang membaca Qur’an dengan cara yang berbeda‐beda, sesuai dengan transmisi riwayat yang mereka terima dan yang bersumber langsung dari Nabi sendiri. Di Madinah, misalnya, ada guru bacaan Qur’an yang terkenal, yaitu Nafi’ (w. 785 M) yang sampai kepada kita melalui dua versi periwayatan: Warsh (w. 812 M) dan Qālun (w. 835 M). Di Kufa, salah kota penting tempat berdiamnya para pakar guru bacaan Qur’an, terdapat tokoh terkenal, yaitu ‘Āshim (w. 744 M). Bacaan ‘Ashim sampai kepada kita melalui dua riwayat yang terkenal: Hafsh (w. 805 M) dan Shu’ba (w. 809 M). Dua bacaan inilah yang sekarang populer di kalangan dunia Islam saat ini, terutama bacaan ‘Hafs dari ‘Asim (biasa disebut dengan istilah Arab: qirā’ah Hafsh ‘an ‘Āsim). Sebab yang lain adalah berkaitan dengan ortografi, rasm, atau penulisan aksara Arab. Tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian umat Islam saat ini, aksara Arab yang menjadi medium penulisan Qur’an tidaklah muncul sekaligus, melainkan berkembang secara gradual, dan mengalami berbagai tahap penyempurnaan. Saat Mushaf Usmani dikeluarkan secara resmi oleh otoritas negara di Madinah dan kemudian disebarkan ke berbagai kota utama di berbagai kawasan dunia Islam saat itu, ia ditulis dengan aksara Arab yang masih dalam tahap perkembangannya yang “primitif”. Karena itu, Kodex Usmani ditulis dalam aksara yang dalam istilah yang dipakai oleh sarjana pengkaji Qur’an di Barat disebut scriptio defectiva, atau aksara yang belum sempurna. Sebagaimana kita tahu, aksara Arab hanya mengenal konsonan tanpa huruf vokal. Beberapa jenis aksara konsonan dalam tahap awal belum mengalami pembedaan seperti titik. Misalnya huruf‐huruf seperti ن ب ت ث ى masih ditulis dengan bentuk yang sama tanpa titik yang membedakan. Begitu juga dengan huruf‐huruf seperti ج ح خ ditulis dalam bentuk yang sama tanpa tanda diakritik atau titik. Ada dua tokoh penting yang dikenal karena kontribusinya dalam penyempurnaan ortografi aksara Arab, yaitu al‐Hajjaj (berkuasa 694 – 714 M), gubernur Iraq pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan (salah satu khalifah dalam Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus). Dialah yang merintis pengenalan tanda titik dan vokalisasi (shakl) aksara Arab. Tokoh kedua adalah Abu ‘l‐Aswad al‐Du’ali (w. 688). Al‐Du’ali lah yang memperkenalkan vokalisasi aksara Arab dalam bentuk titik dengan warna yang berbeda‐beda (agak mirip dengan vokalisasi dalam aksara bahasa Ibrani klasik). Dengan penyempurnaan‐penyempurnaan yang bertahap ini, aksara Arab yang menjadi medium penulisan Qur’an dalam versi Mushaf ‘Usmani mengalami tahap akhir yang sempurna yang disebut scriptio plena. Bentuk terakhir inilah yang kita lihat dalam aksara dan vokalisasi yang
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 7 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN dipakai dalam Qur’an dalam edisi yang populer di dunia Islam saat ini. Akan tetapi, harap diingat bahwa tahap‐tahap yang ditempuh aksara Arab untuk sampai kepada kondisi sempurna ini butuh waktu yang amat panjang. Contoh‐contoh perbedaan karena soal ortografi ini banyak kita jumpai dalam Qur’an. Misalnya, kata ي صق (yaqussu) QS 6:57 dibaca “yaqussu” dalam versi bacaan Nafi’, Ibn Katsir dan ‘Āshim. Sementara versi bacaan lainnya membacanya ي ضق (yaqdli). Tentu saja, kondisi “keotik” karena perbedaan bacaan ini tidaklah nyaman bagi ortodoksi Islam pada zamannya. Upaya unifikasi tekstual Qur’an terus dilakukan, baik oleh otoritas politik atau pun oleh kalangan ulama ortodoks, atau keduanya sekaligus. Biasanya, uniformitas tekstual ini mempunyai keuntungan politik yang cukup signifikan, yakni guna menegakkan kontrol atas penduduk. Keragaman bacaan Qur’an, meskipun hanya lah praktek keagamaan yang sifatnya terbatas dan tak ada sangkut‐pautnya dengan kehidupan politik, bisa memiliki implikasi politis yang berbahaya, yaitu munculnya perpecahan sosial dan instabilitas politik. Karena itu, unifikasi tekstual Kitab Suci adalah ranah di mana otoritas politik mempunyai kepentingan yang besar. Sebagaimana kita lihat, momen‐momen penting dalam penyeragaman dan unifikasi Qur’an selalu dimulai dengan inisiatif penguasa, meskipun pengusulnya bisa berasal dari kalangan “sipil”. Itu terjadi pada era Abu Bakar, khalifah pertama, ‘Umar, ‘Usman, dan al‐Hajjaj. Keragaman bacaan Qur’an, dengan demikian, merupakan tantangan yang harus diatasi oleh otoritas politik dan kaum ortodoks. Untuk menggambarkan betapa “keotik”‐nya situasi keragaman bacaan Qur’an ini, sebuah laporan menuturkan bahwa Syu’bah, salah satu perawi ‘Āshim, guru bacaan dari kawasan Kufa seperti sudah disebut di atas, mengkoleksi tak kurang dari 4
delapan belas ribu ragam bacaan dalam seluruh Qur’an. Salah satu tokoh penting yang berjasa dalam standardisasi bacaan adalah Ibn Mujahid (w. 935 M). Dialah yang melakukan filterisasi atas puluhan model bacaan yang ada pada zamannya menjadi Tujuh Bacaan standar yang dikenal dengan qirā’ah sab’ah. 4
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Qur’an (Yogyakarta: FkBA, 2001), hlm. 313.
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 8 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN Ketujuh bacaan itu adalah:
Wilayah
Guru bacaan
Perawi pertama
Perawi kedua
Madinah
Nafi’ (785 M)
Warsh (812 M)
Qālūn (835 M)
Mekah
Ibn Kathir (737 M)
al‐Bazzi (854 M)
Qunbul (903 M)
Damaskus
Ibn ‘Āmir (736 M)
Hishām (859 M)
Ibn Dhakwān (856 M)
Basra
Abu ‘Amr (770 M)
al‐Dūrī (860 M)
al‐Sūsī (874 M)
Kufa
‘Āshim (744 M)
Hafsh (805 M)
Shu’ba (809 M)
Kufa
Hamza (772 M)
Khalaf (843 M)
Khallād (835 M)
Kufa
Al‐Kisa’i (804 M)
al‐Dūrī (860 M)
Abu‐l‐Hārith (854 M)
Upaya Ibn Mujahid untuk menyeragamkan bacaan ini tak begitu saja diterima oleh semua kalangan. Banyak kalangan yang mengkritik upaya dia ini, sebab dengan demikian standardisasi itu bisa memberangus beberapa jenis bacaan yang populer di sejumlah kawasan. Karena itu, ada upaya dari kalangan ortodoks Islam untuk memperlunak standar versi Ibn Mujahid ini dengan memperkenalkan Bacaan Sepuluh, bahkan sebagian kalangan yang lain ada yang menambahnya menjadi Bacaan Empat Belas. Ketujuh bacaan di luar Tujuh Bacaan yang standar di atas adalah:
Madinah
`Abu Ja’far (747 M)
Basrah
Ya’qūb al‐Hadrami (820 M)
Kufa
Khalaf (843 M)
Mekah
Ibn Muhayshin (740 M)
Basra
Al‐Yazidi (817 M)
Basra
Al‐Hasan al‐Bashri (728 M)
Kufa
Al‐A’mash (765 M)5
Unifikasi tekstual Qur’an tidak hanya berhenti di sana. Pada 1923, sebuah teks Qur’an edisi Kairo terbit dengan memakai bacaan Hafsh dari ‘Āshim. Qur’an ini dicetak dengan mesin cetak modern hasil penemuan Johanes Guetenberg dari Jerman yang dikenal dengan mesin Guetenberg. Berkat mesin modern ini, dimungkinkanlah pencetakan Quran dalam jumlah yang massal dan dalam waktu yang singkat. Ini adalah keadaan yang tak pernah terjadi sebelumnya, di mana Qur’an biasa digandakan dengan metode tulisan tangan. Edisi Kairo ini mencapai 5
W. Montgomery Watt dan Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), hlm. 49.
Edited by Glenn Tapidingan
Ulil Abshar Abdalla 9 KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN kesuksesan yang luar biasa dan diterima oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Edisi Kairo ini pula yang kita pakai di Indonesia hingga sekarang. Dengan demikian, mesin Guetenberg telah berjasa dalam mencapai ambisi yang sudah ada sejak zaman ‘Usman, yaitu uniformitas tekstual Qur’an. Dengan edisi ini, ragam‐ragam bacaan (variae lectiones) yang kita kenal dalam tradisi bacaan Qur’an selama ratusan tahun hilang. Sekarang ini, ke mana pun kita pergi di berbagai kawasan dunia Islam, hanya bacaan Hafs dari ‘Āshim inilah yang kita jumpai. Bacaan lain yang juga cukup populer adalah versi Warsh dari Nafi’ yang banyak dipakai di kawasan Afrika Utara, tetapi bacaan ini masih kalah populer dari bacaan yang sebelumnya. Dengan keadaan semacam ini, teks Quran sekarang telah mencapai tahap yang stabil yang oleh Muhammad Arkoun disebut sebagai “korpus yang tertutup”. Sekarang ini, problem keragaman bacaan tak lagi menjadi soal bagi umat Islam. Masalah muncul dari arah lain, yaitu keragaman tafsir yang tampaknya juga hendak diseragamkan oleh kalangan ortodoks. Tetapi ini tema lain di luar cakupan pembicaraan makalah ini. ****
Edited by Glenn Tapidingan
Halaman ini sengaja dikosongkan (This page is intentionally left blank)
אָמן׃ ֵ ,לֹהים ֶא ָחד ִ ָה ֱא,ְרוּח ַהקֹּדֶשׁ ַ ְה ֵבּן ו ַ שׁם ָהאָב ו ֵ ְבּ ܽ ܳ ܰ ܰ ܰ ܰ ܳ ܳܐ ܳ ܘܪܘ ܳ ݁ܕ ܽ ݂ܕ ܺܐ ܳ ܰ ݂݁ ܶ ܐ ݂ܘ ﺁﻣﻴﻦ، اﻻﻟﻪ اﻟﻮاﺣﺪ،ﺑﺴﻢ اﻻب واﻻﺑﻦ و اﻟﺮوح اﻟﻘﺪس
TEXTUAL CRITICISM: SEBUAH PENGANTAR DALAM KAJIAN VARIAN‐VARIAN TEKS PERJANJIAN LAMA Oleh Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A. *) Makalah disajikan dalam Seminar “Textual Criticism: Membedah Varian‐varian teks Asli Alkitab dan Al‐Qur’an”, yang diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), di Restoran Forum, Surabaya, 11 Juni 2013.
1.
CATATAN PENDAHULUAN Di dunia Kristiani Textual Criticism (Kritik Salinan) adalah salah satu bidang kajian teks Kitab
Suci yang sangat penting. Karena teks‐teks suci itu sampai kepada kita setelah ribuan tahun dalam perjalanannya yang panjang, tentu saja wajar apabila kemudian muncul berbagai varian bacaan yang berbeda, karena cara penulisan yang berubah, atau perbedaan budaya dari penyalin dalam proses tranmisi teks. Karena itu, apabila terjadi varian teks yang berbeda, bidang kajian ini 1
berupaya menemukan teks yang sedekat mungkin ke bentuk aslinya. Dibandingkan dengan Al‐ Qur’an, studi kritik teks terhadap Alkitab Perjanjian Lama, tentu saja jauh lebih kompleks. Karena serumit apapun studi terhadap Al‐Qur’an, kita berhadapan dengan dokumen Kitab Suci yang berasal dari satu zaman, satu nabi, satu bahasa, dan satu agama. Apabila dibandingkan dengan studi Kritik Salinan Alkitab, hal tersebut mirip dengan studi terhadap Perjanjian Baru, karena sama‐sama berasal dari satu zaman, satu Kristus, satu bahasa, yaitu Yunani Koine, dan satu agama (yaitu Kristen, baik Ortodoks, Katolik, maupun Protestan). Sebaliknya, khusus untuk Perjanjian Lama, peneliti harus berhadapan dengan satu Kitab Suci yang dimiliki bersama oleh 2 agama, yaitu Yahudi dan Kristen. Sedangkan khusus untuk kelima kitab Musa yang dikenal dengan Torah (Arab: Taurat), kitab ini bersama‐sama dirujuk oleh 3 agama yang berbeda dan 1
R. C. Briggs, Interpreting the New Testament Today: An Introduction to Methods and Issues in the Study of the New Testament, (Nashville: Abingdon, 1982), .hlm. 45‐47.
Bambang Noorsena 12 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama sudah berpisah kurang lebih 2.000 tahun yang lalu, yaitu Yahudi, Samaria dan Kristen. Kitab‐kitab yang oleh orang Kristen disebut Perjanjian Lama adalah kitab Suci yang sama yang oleh umat Yahudi disebut TANAKH (Torah – Nevim – Khetuvim) atau Taurat, Nabi‐nabi dan Tulisan‐tulisan. Meskipun antara Yahudi dan Kristen sudah berpisah sebagai komunitas agama sejak Konsili Yahudi di kota Yavne tahun 89 M, dan mengembangkan tradisi tafsir yang berbeda‐beda, namun 2
keduanya mengacu kepada Kitab Suci yang satu dan sama. Kalau Anda ke Israel, dan Anda mau membeli Alkitab bahasa Ibrani, tidak perlu Anda harus mencari edisi Kristen. Anda boleh membaca semua terbitan Kristen maupun Yahudi, karena isinya sama saja, Kecuali dalam edisi terjemahan, orang Kristen biasanya membaca terjemahan King James Version, New International Version, dan lain‐lain, dan orang Yahudi akan mencari Jewish Holy Scriptures. Diakui memang diantara terjemahan dalam bahasa‐bahasa lain terdapat banyak perbedaan, karena teks sumber yang dipakainya tidak selalu mengacu teks Ibrani, melainkan kadang didasarkan atas terjemahan Yunani kuno, yaitu Septuaginta (LXX) yang berasal dari tahun 280 SM, atau Latin Vulgata (abad IV M), yang lebih lazim digunakan di Gereja Katolik. Meskipun demikian, seiring dengan dialog‐dialog Yahudi‐Kristen, terjemahan antara keduanya semakin lama semakin mendekat satu sama lain, karena umat Kristen tidak bisa melepaskan akar keyahudiannya. Untuk memberikan pemahaman awal mengenai berbagai varian teks Ibrani, karena studi ini terlalu luas, maka saya hanya akan memberikan beberapa contoh saja: (1) Untuk Perjanjian Lama, akan ditampilkan beberapa varian teks yang masing‐ masing mewakili 3 klasifikasi TANAKH, yaitu terdiri dari Torah (Taurat), Nevim (Nabi‐nabi) dan Khetuvim (Tulisan‐tulisan); dan (2) Beberapa Varian teks dari Perjanjian Baru. Seperti sudah dikemukakan, studi Kritik Teks Perjanjian Baru dapat dikatakan lebih mudah, karena hanya menyangkut studi dokumen dari umat, zaman, dan bahasa yang sama, sebagai kajian terhadap Al‐ Qur’an.
2.
KRITIK SALINAN PERJANJIAN LAMA
2.1.
KITAB TAURAT: SATU KITAB 3 AGAMA Kitab Taurat yang berasal dari Nabi Musa, sampai zaman sekarang ini secara utuh‐utuh
diterima oleh 3 komunitas agama yang berbeda, yaitu Yahudi, Samaria dan Kristen, yang lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut: 2
Joseph A. Fitmyer, SJ.,Response to 101 Questions on the Dead Sea Scrolls (New York: Paulist Press, 1992), hlm. 16‐20. Juga: Hershel Shanks, Understanding the Dead Sea Scrolls (New York: Vintage Books, 1993), hlm. 80‐84.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 13 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama 2.1.1. Teks Masoretik: Yahudi dan Kristen Istilah “Masoretic” berasal dari kata Ibrani “mesorah (”)מסורה yang artinya “transmisi” (penyalinan). Sebelum dike‐ temukannya Naskah‐naskah Laut Mati (Qumran), manuskrip atau naskah tulisan tangan tertua yang dimiliki berasal dari abad IX dan X M, yang lebih dikenal dengan naskah Masoretic, yaitu Naskah SContoh tulisan Ibrani Masoretic dalam Codex Allepo
Geniza, Naskah Leningrad, dan Naskah Allepo. Berkaitan dengan naskah Allepo,
dapat disebut 2 madzab yang penting: Pertama, madzab Timur atau madzab Babel; dan Kedua, madzab Barat atau madzab Palestina. Madzab Palestina dapat dibagi lagi dalam 2 cabang, yaitu Ben Asher dan Ben Naphtali. Pada tahun 930 M, Aron ben Moses ben Asher menerbitkan Codex Allepo, tetapi baru pada tahun 1524‐1525 setelah ditemukannya mesin cetak, terbit edisi cetak yang akhirnya dipakai hingga zaman sekarang, dikerjakan oleh Daniel Bomberg di Venesia. Naskah Masoretik ditulis dalam huruf Ibrani Masoretik, yang akhirnya berkembang menjadi huruf Ibrani moderen sekarang. Patut dikemukakan pula, bahwa meskipun dunia Kristen mula‐mula mengacu kepada beberapa terjemahan kuno, misalnya Septuaginta (LXX) – terus dipertahankan di Gereja Ortodoks Yunani, Vulgata di Gereja Katolik, Peshitta Aramaik di Gereja Ortodoks Syria dan gereja‐ gereja rumpun Syria lainnya, dan bahasa Koptik (dialek Bohairi dan Sahidi) di Gereja Ortodoks Koptik, namun setelah diterbitkan edisi cetak yang lebih luas menyebar, teks Masoretik yang di kalangan umat Yahudi menjadi baik dalam konteks liturgis atau teks sehari‐hari dalam pembacaan Kitab Suci, di kalangan Kristen menjadi Alkitab Studi, sementara dalam liturgi tiap‐tiap gereja lebih menggunakan bahasa Aramaik (Gereja‐gereja Syria), Yunani (Gereja Ortodoks Yunani dan Katolik Melkit), Latin (Gereja Roma Katolik). Selain pemakaian bahasa Aramaik, Yunani dan Koptik sebagai bahasa liturgi, bahasa Arab secara berdampingan digunakan di gereja‐gereja Syria, Gereja Ortodoks Yunani dan Melkit, dan Gereja Ortodoks Koptik, sampai sekarang ini. Jadi, dalam hal rujukan terhadap Taurat, antara Yahudi dan Kristen mengacu kepada teks yang satu dan sama, sekalipun mengembangkan tafsiran teologis yang berbeda.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 14 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama 2.1.2. Teks Laut Mati (Qumran) Setelah diketemukannya naskah Gulungan Laut Mati (The Dead Sea Scrolls) yang memuat hampir seluruh Perjanjian Lama (abad III SM‐1 M), kita mempunyai manuskrip yang berusia kurang lebih 1.000 tahun lebih tua dari naskah Masoretik. Teks Qumran yang merupakan peninggalan madzab Eseni ini, ternyata meneguhkan keseksamaan penulisan teks‐teks Masoretik. Menilik bentuk aksaranya, Albright dan Cross, muridnya, menyimpulkan bahwa naskah‐naskah Qumran yang paling muda tidak lebih dari tahun 135 M, dan paling tua berasal dari abad III SM (antara tahun 225‐200 SM). Kesimpulan ini akhirnya dibenarkan dengan temuan‐ temuan surat‐surat Bar Kohba di Wadi Maraba’at, sedangkan Bar Kohba adalah pemimpin Israel yang memperjuangkan kemerdekaan Israel dari penjajahan Romawi pada tahun 135 M, yang akhirnya berhasil ditumpas, dan Kota Suci Yerusalem jatuh sama sekali ke tangan Romawi. Jadi, dengan temuan penting ini kita memiliki manuskrip yang 1.000 tahun lebih tua dari Manuskrip Masora. Tetapi setelah diselidiki dengan teliti antara 2 naskah tersebut, tidak ada perbedaan yang cukup berarti. Semua penemuan ini membuktikan bahwa sepanjang zaman, Allah selalu menjaga firman‐firman‐Nya sehingga bersih dari segala usaha pemalsuan dan perubahan tangan‐tangan kotor manusia. Kendatipun harus ditekankan, bahwa Iman Kristen tidak memahami wahyu dalam makna yang mekanistik, sehingga adanya perbedaan‐perbedaan dalam detil pengisahan dalam kitab‐kitab itu, dipahami karena latarbelakang para penulis dalam zaman, budaya dan bahasa yang berbeda dan kompleksitas pergumulan mereka masing‐masing. Meskipun ada perbedaan‐perbedaan kecil akibat proses penyalinan selama ribuan tahun, sama sekali tidak mengubah pesan asli Kitab Suci. Penemuan sejumlah besar naskah Alkitab di Laut Mati tersebut sangat penting maknanya, bukan hanya bagi umat Kristen, tetapi juga umat Yahudi. Meskipun kedua komunitas iman tersebut sudah berpisah sejak diselenggarakannya Konsili Yamnia tahun 89 M, namun kedua agama sama‐sama merujuk kepada Kitab Suci yang satu dan sama. Orang Yahudi menolak Yesus sebagai Sang Mesias, sebaliknya orang Kristen percaya bahwa semua yang dinubuatkan kitab‐ kitab TANAKH (Torah Nevi’im Khetuvi’m) atau Taurat, Nabi‐nabi dan Tulisan‐tulisan – Kitab Suci yang sama tetapi disebut berbeda oleh umat Kristen sebagai Kitab Suci Perjanjian Lama, telah digenapi dengan kedatangan Yeshua HaMashiah (Yesus Sang Mesias) atau Yesus Kristus. Misalnya, nubuat Yes. 52:13‐15; 53:1‐12, bagi umat Kristen jelas‐jelas sudah digenapi dengan penderitaan Yesus di atas kayu salib, sebagaimana Yesus dan para murid‐Nya meyakini hal itu (Mat. 26:29; Mrk. 14:212; Luk. 22: 22; 37; 24:26‐27; Yoh.12:28; Rom. 10:16; 1Pet. 2:24‐25, dan sebagainya). Sebaliknya, bagi orang Yahudi, ayat‐ayat yang sama dipahami sebagai nubuat
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 15 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama 3 penderitaan bangsa Israel, namun Kitab Suci yang dipakai tetap sama dan tidak pernah diubah atau dipalsukan. Tafsiran ayat‐ayat ini tentu saja berbeda, namun teksnya tetap sama.
S Yes. 53:1‐12 dalam Teks Qumran (100 SM), 1.000 tahun lebih tua dari Naskah Masoretic yang ditulis kira‐ kira abad IX‐X M.
W Gulungan Kitab Imamat (11Q1) yang ditulis dalam aksara Paleo‐Ibrani (250‐150 SM)
3
Rabbi Nossom Scherman (ed.), Tanakh: The Twenty‐Four Books of the Bible Newly Translated and Annotated (Mesorah Publishing, 2011), hlm. 1047‐1049.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 16 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama W Gulungan Kitab Nabi Yesaya (1QIsaa) yang ditulis dalam aksara Ibrani Hasmonean (150‐50 SM) W Gulungan Bait Allah (11Q19) yang ditulis dalam aksara Ibrani Herodian (50 SM‐70 M) W Gulungan “Kata‐ kata Hikmat Anak‐anak Terang” (4Q298) yang ditulis dalam aksara Ibrani Cryptograf yang lazim digunakan dalam ajaran rahasia
2.1.3. Teks Samaria Taurat Samaria (Inggris: “Samaritan Pentateuch” atau “Samaritan Torah”; Ibrani: תורה
שומרונית, “Torah shomronit”) merupakan salinan kuno lain dari kelima Taurat Musa yang dipakai oleh komunitas orang Samaria, adalah salah satu teks Ibrani yang ditulis dengan aksara Ibrani yang disebut aksara Samaria. Aksara ini sangat dekat dengan aksara Paleo‐Ibrani, yang lebih kuno dibandingkan dengan aksara Hasmonean, Herodian maupun Masoretik. Ada tambahan bagian yang disebut gulungan Abisha (Abisha Scroll), yang dipakai di sinagoge Samaria di Nablus. Orang‐ orang Samaria percaya gulungan itu ditulis oleh Abisua bin Pinehas, cicit Nabi Harun (1 Taw. 6:50), 13 tahun setelah orang‐orang Israel masuk ke tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua bin Nun. Namun para pakar Alkitab moderen mengamati bahwa gulungan itu berisi sejumlah karya berbagai penulis dari abad‐abad berbeda, yang paling tua sekitar abad ke‐12 M. Taurat Samaria mengandung sejumlah perbedaan dengan Teks Masoret, yaitu sumber utama Alkitab Ibrani, maupun terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, Septuaginta.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 17 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama Sumber perbedaan ini ternyata bisa dilacak dari pemuliaan mereka atas Gunung Gerizim, di Nablus, yang mereka percayai sebagai Bait Allah sejati. Orang‐ orang
Samaria
sebenarnya
berasal dari orang Yahudi di wilayah utara yang sama‐sama dibuang ke Babel pada zaman Nebukatnezar. Karena mereka menikah
dengan
suku‐suku
Asyur, maka sepulang dari pembuangan Babel pada tahun 586 SM, mereka ditolak oleh orang Yahudi untuk turut serta dalam pembangunan Bait Allah di Yerusalem (Ezra 4:1‐5). Hal itu yang S Naskah Torah Samaria, Sefer Vayiqra (Imamat), di Askalon, Israel, 1189 (MS. 201).
menyebabkan
mereka
membaca kata Erets HaMoryah menjadi Erets HaMoreh (Tanah Moreh),
sedangkan
dalam
Asheret HaDebarim (Sepuluh Perintah Allah), mereka menempatkan Yos. 8:31‐33 sebagai sambungan Kel. 20:17, sehingga meneguhkan posisi teologis mereka bahwa Bait Allah yang diperintahkan Allah untuk dibangun Musa harus berada di Tanah Moreh di Gerizim, berbareng dengan itu mereka menolak Bait Allah yang dibangun oleh Raja Daud dan putranya, Raja Salomo, di Yerusalem (2 Taw. 3:1). Karena isi Kitab Nabi‐nabi (Nevim) dan Tulisan‐tulisan Suci (Khetuvim) mereka anggap terlalu meninggikan kerajaan selatan (Yerusalem), maka akhirnya mereka menolak seluruh kitab‐kitab lain selain Taurat Musa.
2.2. KESATUAN DAN KEPENULISAN TAURAT Kelima buku yang disebut Torah dihubungan dengan kepenulisan Musa, dan baru pada abad XVII fakta ini mulai dipersoalkan. Untuk menghilangkan hubungan Musa dengan Taurat, dimunculkan teori‐teori dokumen, bahwa Taurat tidak lebih dari “karya tambal sulam” yang para
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 18 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama 4 penulisnya dilabeli dengan J (Jahwist), E (Elohist), D (Deuteronomist) dan P (Priest). Tetapi dengan semakin majunya ilmu archeologi, teori spekulatif ini tidak bertahan. Bagian yang dahulu dianggap gabungan dari sumber yang berbeda‐beda, karena teks‐teks tersebut tidak bisa dinalar dengan logika abad XVII, dengan penemuan inskripsi‐inskripsi Nuzi (1900 SM) dan Undang‐ Undang Lipit Isytar (2000‐1950 SM), ternyata bisa menjelaskan kehidupan keluarga Abraham, misalnya hukum pengangkatan anak (Kej. 15:1‐4), status hamba yang diambil tuannya untuk melahirkan anak, dan status anak yang dilahirkannya untuk nyonyanya (Kej. 16:1‐2), seperti tercemin dari kisah Abraham, Sarah, dan Hagar, dengan anak mereka Ishak dan Ismael, ternyata bisa dijelaskan sepenuhnya dengan penemuan arkheologi tersebut. Karena itu hipotesa dokumenter yang spekulatif itu, akhirnya sekarang sudah banyak ditinggalkan. Meskipun demikian, fakta ada proses re‐writing terhadap sumber‐sumber Taurat tidak perlu harus disangkal, sebab Alkitab dan tradisi Yahudi kuno sendiri meneguhkan hal itu. Fakta itu menjadi aneh apabila dipahami dengan kacamata karya‐karya modern, misalnya fakta bahwa Kitab Taurat mencatat kematian Musa (Ul. 34). Tradisi kuno Yahudi tidak pernah meragukan kepenulisan Taurat oleh Musa, dan catatan kematian Musa ditulis oleh Yosua bin Nun, penggantinya. Seperti Yer. 52 yang tidak ditulis Nabi Yeremia tetap disebut Sefer Yermiyahu (Kitab Yeremia), demikian juga Ul. 34 tidak ditulis Musa, tetapi tetap disebut Taurat Musa. Dalam kaitan dengan Kitab Yeremia, dalam Yer. 51:64 jelas disebutkan “sampai disinilah perkataan‐ perkataan Yeremia” (‘ad henah divrei Yirmyahu), dan selanjutnya Yer. 52 yang menyajikan laporan mengenai kejatuhan Yerusalem – fakta yang juga dilaporkan dalam 2 Raj. 24:18‐25:21 dan 2 Taw. 36:11‐21 – menurut sumber Yahudi, Baba Bathra 14b, ditulis oleh Barukh, murid Nabi Yeremia. Demikian pula mulai Ul. 34:5 Yosua yang menulis, seperti disebut dalam sumber Yahudi: Wayyamat shem Mosheh (dan Musa mati di sana) – ephiser Mosheh mat menunjukkan bahwa Musa telah mati ketika ayat ini dituliskan, We katav “wayyamat sham Mosheh” (Lalu bagaimana mungkin Musa menuliskan kematiannya sendiri: Lalu matilah Musa di sana? ‘Al ‘ad khen katav Mosheh, me khan wa illak katav Yehoshua (Tidak mungkin Musa menuliskan kematiannya sendiri, karena memang dibuktikan bahwa mulai Ul. 5 34:5 ini Yosua yang telah menuliskan‐nya). Berkaitan erat dengan hal di atas, catatan Yos. 24:26 yang menyebutkan: “Wa yikhtov Yehoshua et HaDevarim ha eleh be Sefer Torat Elohim...” (Yosua menulis kata‐kata itu dalam Kitab Taurat Allah), dengan jelas membuktikan bahwa Yosua sebagai pengganti Musa, memberikan 4
G. Herbert Livingstoon, The Pentateuch in Its Cultural Environment (Grand Rapids: Baker, 1974), hlm. 218‐221. 5 Rabbi Nosson Scherman – Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), The Torah with Rashi’s Commentary: Translated, Anotated and Elucidated (Brookyn, New York: Mesorah Publications, Ltd., 1998), hlm. 400‐401.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 19 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama catatan‐catatan penjelas dari Taurat Musa. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai zaman para Rasul Kristus, misalnya Silwanus menulis surat atas nama gurunya, Rasul Petrus. Jadi, dalam hal ini kita harus lebih mempercayai keterangan penulis kuno yang berakar dari budaya dan zaman yang sama dengan kitab‐kitab itu, ketimbang mempercayai teori dokumen yang sangat spekulatif, dikembangkan kesarjanaan moderen yang berakar dari budaya dan zaman yang jauh sekali dari kitab‐kitab yang dibahasnya.
2.3. CONTOH VARIAN‐VARIAN TEKS TAURAT: MASORETIK, SAMARIA DAN QUMRAN Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, maka apabila ada varian teks yang berbeda bahkan kadang tampak saling bertentangan, maka melalui kritik teks kita harus memilih teks yang paling dekat ditinjau dari bahasanya, konteks zamannya, bahkan kalau diperlukan, motif teologis penyalin dari naskah yang dibahasnya. Misalnya, pernyataan yang terlalu umum dari beberapa sarjana bahwa ada kurang lebih 6.000 perbedaan antara teks Masoretik Taurat dan Taurat Samaria, menimbulkan kesan bahwa Taurat sebagai teks suci tidak bisa dipercaya karena sudah diubah‐ubah atau dipalsukan. Padahal diantara 6.000 perbedaan itu menyangkut ejaan dan cara penulisan, varian bacaan yang berbeda, atau bagian‐bagian dari ayat Perjanjian Lama lain yang dimasukkan ke dalam Taurat Samaria. Karena itu, kalau teks ini dihitung, tentu saja akan menambahkan jumlah perbedaan antara keduanya. Padahal faktanya, perbedaan antara Taurat Yahudi dan Taurat Samaria umumnya kecil, dengan perkecualian, misalnya umur orang‐orang yang dicatat dalam silsilah dalam Kej. 5‐11, penekanan bahwa tempat berbakti yang menurut Taurat Samaria adalah di gunung Gerizim, dan perintah monogami yang hanya ada di Taurat Samaria, dan tidak ada dalam Taurat Yahudi (Im. 8:18).
W
Teks Taurat Samaria dalam bahasa Ibrani aksara Samaria
Selain perbedaan di atas, selebihnya cara pembacaan yang berbeda, dan parafrasa‐ parafrasa yang diambil dari bagian lain Perjanjian Lama, dan sama sekali tidak mengubah makna. Misalnya, parafrasa yang panjang setelah Kel. 20:17 yang berisi tentang perintah Allah untuk membangun mezbah yang tidak dipahat di Gunung Gerizim. Pencantuman parafrasa yang
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 20 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama panjang dalam Asheret Haddevarim (10 Perintah Allah) dalam Taurat Samaria ini, sebenarnya merupakan pengulangan dari Ul. 11:29; 27:2‐8; 11‐15; dan Ul. 11:29; Kel. 20:25. Perintah yang sama dengan penekanan Gunung Gerizim, juga disebutkan dalam Yos. 8:3035. Untuk lebih jelasnya, bunyi prafrasa Ul. 20:17 dalam teks Samaria berbunyi: Dan ketika TUHAN, Ilahmu membawa engkau ke tanah Kanaan yang akan engkau kuasai dan engkau duduki, haruslah engkau mendirikan batu‐batu besar dan mengapurnya. Dan harulah engkau tuliskan di atas batu‐batu itu semua perkataan hukum Taurat ini, dan sesudah engkau menyeberang sungai Yordan, haruslah kamu mendirikan batu‐batu ini yang telah Aku perintahkan kepadamu hari ini di Gunung Gerizim. Juga haruslah kamu membangun mezbah di sana bagi TUHAN Ilahmu, sebuah altar dari batu‐batu yang tidak boleh kamu olah dengan perkakas besi, kamu harus mendirikan mezbah bagi TUHAN Ilahmu yang tidak dipahat. Haruslah kamu mempersembahkan korban bakaran kepada TUHAN Ilahmu, dan juga kamu harus mempersembahkan korban keselamatan dan memakannya di sana, dan bersukacita dihadapan TUHAN, Ilahmu. Gunung itu terletak di seberang sungai Yordan, di luar jalan menuju ke Tanah Kanaan di Arabah, dekat dengan Gilgal, pohon Terbantin di 6 Moreh, yang terletak dekat Sikhem. Dapat disimpulkan bahwa ada atau tidaknya pengulangan beberapa ayat yang disebutkan dan diletakkan sebagai parafrasa setelah Kel. 20:17, sama sekali tidak ada makna‐makna yang ditambahkan atau dikurangi, atau sesuatu yang bertentangan satu sama lain. Sebab “ayat parafrasa” tersebut ternyata hanya merupakan prinsip teologis yang ditekankan, padahal sumbernya dengan mudah ditemukan atau dijumpai dalam bagian‐bagian Alkitab yang lain. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dibandingkan ragam teks Maroretik, Samaria dan Qumran, baik ditinjau dari qira’ah (bacaan), cara penulisan, maupun beberapa perbedaan lain: 2.3.1. Ayat‐ayat yang dilafalkan Berbeda, Tulisannya Sama Pelafalan dan tatabahasa Samaria secara radikal berbeda dengan bahasa Ibrani Masoretik yang dipakai kaum Yahudi. Dalam pelafalan Samaria, aksara‐aksara alep, he, het dan ‘ayin dibaca dengan alaf, îy, ît, dan ‘in. Karena itu sekalipun sebuah ayat ditulis dalam aksara‐aksara yang persis sama, namun cara bacanya menjadi berbeda:
● Kej. 11:9, Teks Masoretik
שׁם ָ שׁ ָמהּ ָבּ ֶבל כִּי ְ עַל כֵּן ָקרָא ‘Al ken qara shmah Bavel ki sham שׂ ַפת כָּל ָהאָרֶץ ְ ָבּלַל יְהוָה balal YHWH sfat kal ha arets שּׁם ֱה ִפיצָם יְהוָה ָ וּמ ִ umisham hefitsam YHWH עַל ְפּנֵי כָּל ָהאָרֶץ ‘al fene kal ha arets 6
Mark Shoulson, The Torah: Jewish and Samaritan Version Compared (new York: Evercype, 2008), hlm. 204‐205.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 21 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
● Kej 11:9, Teks Samaria
‘Al kan qara shemah Babel ki shama ballal YHWH it asfat wmishamma ifisima YHWH ‘al fene kal ha arets Artinya: “Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena disitulah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi”. 2.3.2. Ayat‐ayat yang Maknanya Sama, Tulisannya Berbeda Selain tulisannya sama ‐ cara bacaan berbeda seperti ditunjukkan dari teks Masoretik dan teks Samaria di atas, sebaliknya ada pula ayat yang maknanya sama tetapi ditulis dengan sistem penulisan yang berbeda. Tentang hal tersebut dapat dicontohkan antara sistem penulisan Masoretik dengan sistem penulisan Qumran. Perbedaan sistem penulisan semua bisa dilacak tuntas dalam ilmu ortografi (orthography), yang mempelajari perkembangan ejaan. Karena bahasa Ibrani kuno tidak memiliki huruf‐huruf hidup (vowel letters), pembacaan sebuah teks kadang‐kadang dibantu dengan penggunaan konsonan tertentu yang lazim disebut matres lectionis (harfiah: “mothers of readings”), yaitu huruf ו (waw) dan י (yod) untuk “o”/“u” dan “I”. Huruf ה (He) dan huruf glotal yang berhenti (א aleph yang dalam tranliterasi ditulis ‘), juga digunakan sebagai huruf hidup “a”. Beberapa Manuskrip Laut Mati menggunakan pelafalan “penuh” (yang disebut teknis plene), dan manuskrip lain mempertahankan pelafalan defective, yaitu beberapa matres lectionis konvensional yang juga digunakan dalam teks‐teks Alkitab Ibrani tradisional. Selanjutnya, beberapa contoh penggunakan lafal plene dalam beberapa naskah Qumran, misalnya: כול k‐w‐l untuk כל k‐l (artinya: “semua”), הואה h‐w‐a‐h untuk הוא h‐w‐a (artinya: “dia laki‐laki”), היאה h‐y‐a‐h untuk הוא h‐w‐a (artinya: “dia perempuan”), dan כיא k‐y‐a untuk
כי k‐y (artinya: “sebab”). Sistem pelafalan “matres lectionis” seperti yang dicontohkan di atas, tentu saja asing apabila dibandingkan sistem yang berlaku bagi pembacaan Taurat dalam aksara
ִ א Elohim (Allah) yang terdiri dari 5 huruf, yaitu א alep, ל Ibrani sekarang. Misalnya, kata ֱלהים lamed, ה he, י yod dan ם mem, dalam Naskah Qumran menjadi 6 huruf karena huruf וwaw sebagai matres lectionis setelah huruf ל lamed. Begitu juga, kata אֲדנֵי (Tuhan) yang terdiri dari 4 huruf, yaitu א alep, ד dalet, נ nun dan י yod, ditulis dalam 5 huruf, dengan huruf ו waw sebagai
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 22 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama matres lectionis yang ditempatkan setelah huruf ד dalet. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dapat ditampilkan salah satu fragmen Mazmur 136 dari Qumran (11QPs), dan perbedaannya dengan cara penulisan Naskah Masoretik dalam penulis 3 kata:
S Tiga contoh penuh (pene) ejaan semua melibatkan penggunaan dari ibrani huruf “w” (waw) untuk mewakili “o” panjang. Tiga kata yang ditunjukkan terjadi pada Mazmur 136, ayat 2,5, dan 7. Dalam gulungan Mazmur dari Qumran gua 11 semuanya ditulis dalam ejaan penuh, dalam teks Masoret standar Mazmur, seperti yang ditemukan dalam Alkitab Ibrani modern, ketiga kata ditulis tanpa lectionis matres.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 23 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama Untuk contoh selanjutnya, di bawah ini akan kita bandingkan teks asli Ibrani dari Sefer Bereshit dalam aksara Peleo‐Ibrani (abad V SM), Samaritan (abad II SM), Qumran (abad I SM), dan aksara Ibrani modern (dengan tanda‐tanda baca yang didasarkan atas naskah Masoretik): ● Kej. 1:1, Aksara Paleo‐Ibrani (sebelum tahun 585 SM)
● Kej. 1:1, Aksara Samaria (150 SM)
Berdasarkan perbandingan bentuk aksara antara Paelo‐Ibrani dengan Samaritan, tampaknya aksara Samaritan adalah bentuk pengembangan dari aksara Paleo‐ Ibrani yang mulai eksis kira‐kira pada masa dinasti Hasmonaim (Hasmonean), sekalipun pemisahan orang Samaria telah terjadi kurang lebih 350 tahun lebih kuno dari zaman Hasmonaim yang didirikan oleh Yudas Makabe.
● Kej. 1:1, Aksara Ibrani yang digunakan di Qumran (100 SM)
אלוהים את השמים ואת הארץ׃ בראשית ברא
● Kej. 1:1, Aksara Ibrani dengan Tanda Baca Masoretik
:שּׁ ַהם וְאת ָהאָרֶץ ָ ִמ ַ לֹהים ֵאת י ִ ֵאשׁית ָבּרָא ֱא ִ ְבּר Transliterasi: “Bereshit bara ELOHIM et hashamaim we et ha arets” Kalau dicermati, dalam contoh di atas hanya ada satu huruf yang berbeda, yaitu pada kata
לֹהים ִ א ֱ dalam naskah Qumran ada tambahan huruf ו waw yang ditempatkan setelah huruf ל lamed dan sebelum huruf ה He. Perbedaan semacam ini dapat dibandingkan dengan perubahan penulisan kata PANTJASILA dalam ejaan Soewandi dengan PANCASILA dalam ejaan sekarang (EYD). Dalam seluruh naskah yang dikutip di atas, Kej. 1:1 artinya tidak berbeda: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 24 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
אלוהים dan bukan אלהים
S Manuskrip Qumran yang memuat Kej. 1 ditemukan di Gua 4 (4QGen9), yang berasal dari periode akhir Hasmonean (100 SM). Manuskrip ini diawali dengan ayat: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Tema “terang dan gelap” mulai dari Kej. 1:3, dan selanjutnya dijumpai dalam seluruh Alkitab, bukan khas milik kaum Eseni.
Dalam contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa Kej. 1:1 dalam teks Masoretik dan teks Samaria ditulis dalam bentuk aksara yang berbeda dengan jumlah huruf yang sama yaitu 29 huruf, sedangkan dalam teks Qumran karena ada perbedaan – dalam kasus matres lectionis yang menggunakan pelafalan penuh – penulisan kata אלוהים Elohim (artinya: Allah) jumlah hurufnya menjadi 30 huruf (karena “o” ditulis dengan huruf hidup ו waw seperti telah diuraikan di atas), namun ketiga naskah tersebut maknanya tidak berbeda atau tetap sama. 2.3.3. Ayat‐ayat yang Memang Berbeda: Criticus Apparatus Selanjutnya, harus diakui diantara berbagai teks kuno yang satu sama lain bisa berjarak lebih dari 1.000 tahun tersebut, memang ada perbedaan‐perbedaan. Dalam tradisi Yahudi maupun Kristen, perbedaan‐perbedaan tersebut tidak pernah diseragamkan dengan cara menghancurkan teks‐teks yang berbeda. Misalnya, perbedaan Kej. 22:2 antara Teks Yahudi‐ Kristen (baik teks Yahudi‐Masoretik, atau terjemahan Yahudi kuno seperti Septuaginta yang
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 25 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama diterima oleh umat Kristen) dengan teks Samaria, yaitu Erets HaMoriah (Tanah Moria) menjadi Erets HaMoreh (Tanah Moreh), adalah persoalan khusus orang Samaria dan tidak pernah terjadi pada madzab Yahudi manapun (Saduki, Parisi, Eseni) maupun Kristen selama hampir 3.000 tahun. Teks ini dalam tradisi Yahudi lebih dikenal dengan ‘Aqedah Yitshaq (Pengikatan Ishak), yaitu peringatan penyembelihan Ishak Putra Abraham, yang sejak ribuan tahun diperingati setiap Tahun Baru (Rosh HaShanah). Perbedaan teks Kej. 22:2 tersebut lebih jelasnya dikutip di bawah ini: ● Kej. 22:2, Teks Masoretik
שׁר ֶ ֲא ְחי ְד ָך ִ י את ֶ ִבְּנ ָך את ָא ֶ נ קח ר ַ ַיֹּאמ ֶ ו Wayyomer Qah‐na et binkha et Yehidkha asher Ahavta et Yitshaq, we lekh leka el arets ארֶץ ל ֶ וְֶל ְך‐ ְל ָך‐וְֶל ְך ֶא ְחק ָ יִצ את ֶ אָה ְב ָתּ ַ המֹּ ִריָּה ַ HaMoryah Artinya: Dan Firman‐Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moriyah...” ● Kej. 22:2, Teks Samaria
יחידאך-בנך את-נא את- ויאמר קחWuyaumer Qah‐na et binkha et Yehidkha אשר אהבת את יצחק ולך לך אל ארץasher Ahavta et Yitshaq, we lekh leka el arets המורה HaMoreh Artinya: Dan Firman‐Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moreh ...” W Kej. 22:1‐4 dalam bahasa Ibrani modern dengan terhemahan kata demi kata dalam bahasa Arab (Beirut: Jami’ah al‐ Anthuniyyah, 2007)
Dalam kasus Kej. 22:2 tidak ada perbedaan mengenai identitas Ishak sebagai Putra Abraham yang nyaris dikurbankan, baik itu naskah Ibrani Masoretik (Abad IX M), Samaria, dan
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 26 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama berbagai terjemahan kuno manapun, seperti Septuaginta (Tahun 280 SM), Targum‐targum Aramaik (antara abad II SM‐II M), Vulgata Latin (abad IV M), Peshitta Aramaik (abad II M), Koptik (Abad III M), dan semua naskah kuno lain. Tetapi mengenai tempat pengurbanan Putra Abraham, naskah Samaria (abad II SM) menyebut “Tanah Moreh” yang merujuk Gunung Gerizim, dan bukan “Tanah Moria” di Yerusalem. Jadi, dalam hal Putra Abraham yang nyaris dikurbankan, seluruh teks kuno, baik yang dipelihara oleh orang Yahudi, Samaria, maupun Kristen, tidak ada perbedaan. Sedangkan penyebutan “Tanah Moreh” hanya terdapat dalam Naskah Samaria, sedangkan Yahudi dan Kristen yang sudah berpisah sejak tahun 89 M (Konsili Yamnia) tidak ada perbedaan sama sekali.
2.4. CONTOH VARIAN‐VARIAN TEKS NEVIM (KITAB NABI‐NABI) DAN KHETUVIM (TULISAN‐TULISAN SUCI) DALAM PERJANJIAN LAMA Meskipun ada varian‐varian penulisan dan bacaan dalam proses penyalinannya selama ribuan tahun, apalagi Kitab Suci yang satu dan sama diwarisi oleh agama yang berbeda (Yahudi dan Kristen) masing‐masing dengan keyakinan teologisnya, perbedaan‐perbedaan kecil dalam varian bacaan itu sangat mentakjubkan. Misalnya, Yes. 53 teks Qumran yang terdiri dari 166 kata, hanya terdapat 17 huruf, masing‐masing dengan rincian: 10 huruf hanya perbedaan cara penulisan yang tidak mengubah arti, 4 huruf adalah kata sambung, dan 3 huruf dari satu kata, yaitu kata
ﬠור or (terang), yang tidak dijumpai dalam naskah Masoretik yang 1.000 tahun lebih muda.7 7
Norman Geisler and Willeam Nix, A General Introduction to the Bible (Chicago Moody Publishers, 1986), hlm. 263.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 27 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama ● Perbandingan Yes. 53:11 dalam teks Qumran dan Masoretik
YES. 53:9-11, TEKS QUMRAN (1QIsaa)
(Abad I SM)
Teks Qumran:
מﬠמל נפשו ויראה ﬠור ישבע
“Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas….” TeksMasoret: (Abad IX‐X M)
Satu‐ satunya kata yang tidak ada dalam naskah Masoret
יִ ְראֶה ִשׂבָּע ְ י ֵמ ֲעמַל נַפְשׁוֹ
Berbeda penulisan: לא “Sesudah kesusahan jiwanya ia akan (tidak) ditulis dengan 3 huruf: לוא (huruf ו waw sebagai melihat dan menjadi puas….” matres lectionis)
Yesaya 53 adalah bagian yang sering diperdebatkan oleh orang Yahudi dan Kristen, yaitu mengenai penggenapan nubuat Hamba TUHAN (Ebed Yahwe) yang menderita. Umat Kristen menafsirkan sebagai nubuat penderitaan Yesus di kayu salib, sedangkan orang Yahudi menafsirkan sebagai penderitaan bangsa Yahudi. Perbedaan tafsir antara kedua agama sama sekali tidak mengubah teks Yesaya 53, yang ada di tangan Yahudi maupun Kristen.
● Perbandingan Yes. 21:8 dalam teks Qumran dan Masoretik Manuskrip Yesaya (1QIsaa) ditemukan pada Gua 1 tersebut ditulis di atas perkamen dengan panjang 734 cm dan lebar 31 cm, ternyata setelah dicocokkan dengan seksama dengan teks Masoretik yang berusia 1.000 tahun lebih tua, hanya terdapat sekitar 20 ayat, karena tuanya tulisan tangan hingga tidak jelas lagi atau terhapus sebagian kata dan cara penulian yang 8
berbeda. Sebagai contoh, dapat dikemukakan Yes. 21:8a dalam naskah Masora dan Naskah Qumran, yang menyebabkan perbedaan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa‐bahasa lain. 8
John C. Trever, Scrolls from Qumran Cave 1. The Great Iasiah Scrolls ‐ The Order of Community – The Pesher to Habakkuk (Jerusalem: The Albright Institute of Archeological Research and the Scrine of the Book, 1972), hlm. 16‐123.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 28 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama ● Yes. 21:8, Teks Masoretik
דנָי ֹ א ֲ עַ ל ִמ ְצפֶּ ה-“ וַיִּ ְק ָרא אַ ְריֵהWe yiqra aryeh ‘al mitspeh Adonay…” Artinya: Maka berserulah ia: Seekor singa Tuhan, bahwasanya aku berdiri pada bangun‐ bangun... (Terjemahan Lama). Then he cried as a lion, “Lord, I am standing on my watchower...” (New King James Version). ● Yes. 21:8, Teks Qumran (1QIsaa):
עַ ל ִמ ְצפֶּ ה אֲדֹ נָי-“ וַיִּ ְק ָרא הָ רֹאֶ הWe yiqra HaRoeh ‘al mitspeh Adonay...” Artinya: Lalu berserulah orang yang melihat itu: “Di tempat peninjauanku, ya Tuanku, aku berdiri...” (Terjemahan Baru LAI). Then lookout shouted, “O Lord, I stand continually upon the watchtower…” (Literal Translation DSS). Bagaimana kita menjelaskan perbedaan tersebut? “Singa” dan “orang yang melihat”? Ternyata dalam ayat ini ada perbedaan pada naskah Masoretik, yaitu kata Ibrani: HaRoeh (רֹאה ֶ ה ָ ) menjadi Aryeh (אַריֵה ְ ). Di sini huruf Ibrani H ()ה tidak ada pada naskah Masora, dan 2 huruf berikutnya: R ()ר dan A ()א tertukar tempatnya, sehingga terjadi perbedaan arti. Namun konteks ayat ini juga jelas, bahwa yang disebut “orang yang melihat” (HaRoeh, רֹאה ֶ ה ָ ) adalah “seorang peninjau” yang diutus Tuhan, supaya “apa yang dilihatnya (yireh, אה ֶ ִר ְ )י haruslah diberitahukannya” (Yes. 21:6). Untuk lebih jelasnya perbedaan teks di atas, bisa diperhatikan kesejajaran antara Yes. 21:6 dengan Yes. 21:8a teks Qumran sebagai berikut:
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 29 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
Yes. 21:6‐8a Manuskrip Qumran, ayat 8a memuat kata HaRo’eh הָרֹאֶה bukan Aryeh יִ ְראֶה
Yesaya 21:6 tidak ada perbedaan
יִ ְראֶה ֲשׁ .יַגִּיד ר ֶא
ַה ְמ ַצפֶּה
Sebab beginilah firman Tuhan kepadaku: “Pergilah, tempatkanlah seorang peninjau apa yang dilihatnya haruslah diberitahukannya”.
ַה ֲעמֵד ֵל ְך :אֲדֹנָי כִּי כֹה אָמַר ֵאלַי
הָרֹאֶה עַל ִמ ְצפֶּה אֲדֹנָי וַיִּ ְקרָא
Kemudian berserulah orang yang melihat itu: “Di tempat peninjauanku, ya tuanku…”
Yesaya 21:8a, 4QIsaa
Masalah: Ada ketidakjelasan atau kekaburan naskah kuno karena ribuan tahun dalam proses penyalinan. Berdasarkan perbandingan kedua ayat di atas, jelaslah bahwa “seorang peninjau” (HaMtsapeh, צ ֶפּה ַמ ְה ַ ) dalam ayat 6 berkaitan dengan “di tempat peninjaanku” (‘Al Mitspeh,
מ ַצ ֶפּה ְה ַ ) dalam ayat 8. Dan karena tugas yang diberikan kepada peninjau agar “apa yang ֶ ִר ְ )י diberitahukannya”, maka jelas pula bahwa teks Yes. 21:8a Qumran dilihatnya (yireh, אה “orang yang melihat” (HaRoeh, רֹאה ֶ ה ָ ) lebih tepat ketimbang “seekor singa” (Aryeh, אַריֵה ְ ) dalam naskah Masora. Mulai kapankah kekaburan teks Yes. 21:8 sehingga seluruh teks yang umum diterima (Textus Receptus) mencantumkan אַריֵה ְ Aryeh, dan bukan רֹאה ֶ ה ָ , HaRoeh? Tidak jelas, tetapi minimal pada saat penerjemahan Alkitab Septuaginta abad II SM, teks Ibrani
ְ , Aryeh. Mungkin karena penerjemah Septuaginta yang didasarinya sudah berbunyi אַריֵה mendapati kejanggalan dalam teks ini, maka kata אַריֵה, ְ Aryeh dipahaminya sebagai “nama diri” (proper name) dari “seorang peninjau” dalam ayat 6, yaitu Οὐρίαν (Ourias), sebagai berikut:
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 30 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
καὶ κάλεσον Οὐρίαν εἰς
“Kai kaleson Ourias eis
τὴν σκοπιὰν Κυρίου….
ten skopiav Kuriou…..” 9
Artinya: “Maka berserulah Urias: “Di tempat peninjauanku, Ya Tuanku…..” (Yes. 21:8, LXX). Sebaliknya, dalam Alkitab bahasa Latin (Vulgata) St. Hieronimus (abad IV M) mengikuti teks Masoretik: leo (singa) sebagai berikut: “Et clamavit leo super specula Domini, ego sum stans …” 10
(Dan berserulah singa itu: “Dari menara ini aku berdiri, Ya tuanku..” Bacaan yang diragukan selama berabad‐abad dalam teks asli Ibrani, dan diterjemahkan secara berbeda‐beda dalam berbagai Alkitab terjemahan kuno, dengan diketemukannya naskah Qumran kini bukan menjadi kesulitan lagi. Dengan Naskah Gulungan Laut Mati (The Dead Sea Scrolls) sekarang kita mempunyai bacaan asli Nabi Yesaya – yang selama kurang lebih 1.600 tahun semenjak zaman Nabi Yesaya (700 SM) hingga naskah Masoretik tertua (900‐1.000 M) – telah diketemukan kembali.
2.5. PEMELIHARAAN KEASLIAN TEKS ALKITAB: DARI POLA MASORETIK KETIV (YANG TERTULIS) DAN QERE (BACAAN DIUSULKAN) HINGGA CRITICUS APPARATUS DALAM EDISI KRISTIS BIBLIA HEBRAICA STUTTGARTENSIA. Jauh sebelum zaman Kristen, upaya‐upaya yang serius untuk memelihara keaslian Kitab Suci ternyata sudah berkembang. Kitab Talmud, yang merupakan kompilasi tradisi Yahudi, menyebut para Soferim, karena begitu telitinya mereka dalam menyalin Kitab‐kitab suci sampai‐ sampai harus menghitung huruf‐huruf Taurat (cf. Qiddusim Bab 30a). Kata Soferim berasal dari akar kata s‐f‐r, artinya “menghitung” atau “menjumlah” (band. pemakaian akar kata ini dalam Kej. 15:5). Pada zaman Kristus tidak pernah menyangkal reputasi ahli‐ahli Taurat dan imam‐imam Farisi karena keseksamaan mereka dalam kegiatan penyalinan dan pemeliharaan Kitab Suci, sehingga mereka disebut “telah menduduki kursi Musa”. Walaupun demikian, Kristus mengecam kemunafikan mereka seraya menuntut kita supaya menuruti ajaran mereka, tetapi jangan mengikuti perbuatan mereka. Maksudnya, pengajaran mereka bisa diterima, tetapi perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan (Mat. 23:1‐4).
9
“Isa 21:1‐21, Septuaginta” dimuat dalam John R. Kohlenberger III (ed.), The NIV Triglot OldTestament (Grand Rapids: Zondervan Coorporation, 1981). 10 Roger Gryson (ed.), Biblia Sacra Vulgata (Suttgart: Deutsche Bibelsellschaft, 1994), hlm. 1116.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 31 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
W
Manuskrip Allepo
dengan catatan tengah dan bawah baris dari teks standar yang menunjukkan sikap para Masora yang “ekstra hati‐hati”. Apabila menjumpai bacaan yang kurang jelas, mereka tidak berani mengubah begitu saja, tetapi mencantumkan Qere (bacaan) yang diusulkan dengan membiarkan ayat itu apa adanya yang lazim disebut Ketiv (yang tertulis).
Mengenai kegiatan Soferim yang dapat dipercaya kesaksamaannya itu secara implisit diakui pula oleh Yesus, antara lain dibuktikan dari ungkapan‐Nya: “satu iota atau satu titikpun tidak ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat. 5:17). Istilah iota dalam sabda Yesus tersebut, menunjuk huruf Ibrani yang terkecil ( יyod) yang bentuknya menyerupai “titik”. Jelasnya, idiom yang dipakai Yesus itu mengacu pada pengakuan‐Nya atas reputasi ahli Taurat, karena ketelitian dan kecermatan mereka dalam proses transmisi atau penerusan manuskripnya dari tangan ke tangan secara tradisional. Selanjutnya, apabila para penurun tradisi tertulis awal disebut Soferim (“im” adalah bentuk plural, maksudnya “para penulis”), maka kitab‐kitab suci itu sendiri disebut Sefarim (“tulisan‐tulisan”). Istilah sefer yang menunjuk kitab‐kitab tertulis, juga dilestarikan dalam bahasa Arab yang lazim digunakan umat Kristen di Timur Tengah untuk
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 32 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama menunjuk kitab‐kitab dalam Alkitab. Misalnya: Sifru At‐Takwîn (Kitab Kejadian), Sifru al‐Khurûj 11
(Kitab Keluaran), Sifru al‐Mulûk ats‐Tsânî (Kitab Raja‐raja kedua), dan sebagainya. Begitu juga, sebuah ayat dalam Al‐Qur’an menyebut kata asfarâ, yang merujuk kitab‐kitab Yahudi, yakni sebagai sindiran kepada mereka yang dibebani Taurat tapi tidak mampu mengamalkannya: “… kamatsali al‐himari yahmilu asfarâ”. Artinya: “Keledai yang mengangkut kitab‐kitab” (Q.s. al‐Jumu’ah/62:5). Memang, ungkapan itu sudah ada dalam Talmud Yahudi sendiri, yang dalam bahasa Ibrani berbunyi: “… Hamor nose sefarim”. Artinya: “Keledai yang 12
membawa kitab‐kitab”. Kembali pada keseksamaan penyalinan kitab‐kitab Allah, Ezra yang berhasil mengembalikan Taurat sebagai inti dan pusat keagamaan Yahudi pada abad ke‐6 SM, adalah orang yang pertama digelari HaSofer (sang penulis). Sejak itulah tradisi penerusan tertulis Kitab Suci digelari Soferim, yang berlangsung terus sampai abad V M. Sedangkan setelah sekitar tahun 500‐1.000 M, peran itu digantikan oleh para Masora. Metode yang dikembangkan untuk menjaga firman‐firman Ilahi itu tidak jauh berbeda, tetapi malahan lebih detil lagi. Begitu telitinya mereka dalam menerima Kitab suci tanpa perubahan, sehingga apabila mereka menemui keraguan dalam membaca teks yang kabur karena tidak jelasnya sebuah tulisan tangan atau kaburnya tinta karena tuanya naskah yang bersangkutan, mereka tetap membiarkan seperti apa adanya. Jika mereka merasa perlu melakukan perbaikan, mereka hanya menaruhnya di lajur tepi manuskrip dengan tanda khusus. Misalnya, huruf Ibrani ( קQ) dan כ (K) maksudnya Qere (bacaan yang diusulkan), dan Ketiv (yang tertulis dalam naskah). Contohnya, ahli‐ahli Taurat meragukan
ְ ַה HaSharemot dalam Yer. 31:40 yang berbunyi: kata שּרמ ת
עַד נַחַל ִקדְרוֹן ַשּׁרֵמֹות ְ ה וְכָל
We kal haShademot ‘ad mahal Qidron
Artinya: “… dan segenap tanah datar di tepi sungai Kidron”.
Para penyalin Naskah Masora meragukan kata: הַ ְשּׁרמ ת HaSharemot karena kata itu tidak
dijumpai dalam bahasa Ibrani, karena itu di baris bawah dengan kode Q (Qere) dengan penunjuk ayat 40, diusulkan bacaan alternatifnya: הַ ְשּׁ ֵדמ ת HaShademot, yang artinya “fields”, “lembah” atau “tanah datar”. Bacaan alternatif itupun, tidak diusulkan sekenanya saja, tetapi berdasarkan naskah‐naskah terjemahan kuno, misalnya Septuaginta/LXX (Yunani) atau Peshitta (Aramaik/ 11
Arabic Bible: Al‐Kitâb al‐Maqaddas al‐‘Ahd al‐Qadîm wa al‐‘Ahd al‐Jadîd (Beirut: Dâr Al‐Kitâb al‐ Maqaddas fî Asy‐Syarq al‐Ausath, 1992). 12 Lihat: Article “Yahudi” (H. Speyer) in H.A.R. Gibb and J.H. Kramers (ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden‐London: E.J. Brill and Lusac & CO, 1961), hlm. 639.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 33 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama Syriac). Perbedaan tersebut disebabkan karena miripnya kedua huruf Ibrani ר resh (R) dan ד dalet 13
(D), lebih‐lebih apabila kedua huruf itu dituliskan dengan tangan.
Yeremia 31:38‐40
ק
Q (Qere, “bacaan”) diusulkan הַ ְשּׁ ֵדמ ת (lembah, tanah datar).
HaShademot
כ
K (Ketiv, “tertulis”) dalam teks: הַ ְשּׁרמ ת HaSharemot, meskipun kata ini tidak ada artinya dalam bahasa Ibrani, tetapi para penyalin (Masora) tidak berani mengubahnya.
13
Perbedaan‐perbedaan teks seperti di atas dengan jujur diakui dan secara lengkap dapat diikuti pada terbitan R. Kittel (ed.), Biblia Hebraica Stugartensia (Stuttgart, Germany: Deutsche Bibelgesellschaft, 1990), hlm. 847.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 34 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
W
Di bawah teks standar yang umum diterima (Textus Receptus) dimuat secara jujur Varian teks yang berbeda namun tidak mempengaruhi isinya. Tidak ada pemalsuan, semua perbedaan didata secara jujur dan terbuka
S Yesaya 21:7‐17 dalam Alkitab Terbitan Kritis yang mencantumkan “Criticus Apparatus” menurut Biblia Hebraica Stuttgartensia (BHS).
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 35 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
2.6. AHAZIA MENJADI RAJA UMUR 22 TAHUN ATAU 42 TAHUN? : SEBUAH KASUS 2 RAJ. 8:26 DAN 2 TAW. 22:2 2.6.1. Dua teks yang Memang Berbeda, Bukan Kesalahan Proses Penyalinan Selain problem varian teks bisa dilacak dari proses penyalinan selama ribuan tahun, banyak pula teks‐teks yang memang berbeda. Prinsip yang harus dipegang, apabila sebuah teks asli tidak berbeda dalam naskah kuno manapun juga, bahkan dalam naskah‐naskah terjemahan kuno juga tidak ada masalah apapun, maka harus dianggap bahwa teks tersebut memang berbeda dari penulis yang berbeda. Dalam hal ini perbedaan itu harus dicari bukan dengan menggunakan metode “kritik salinan” lagi, melainkan harus menggali data‐data sejarah dan arkheologi yang se‐ zaman. Sering kali angka tahun atau usia yang yang berbeda‐beda dari tokoh‐tokoh atau sejarah yang diuraikan Alkitab, antara lain bisa dilacak dari perhitungan kalender yang berbeda, atau juga karena terjemahan yang tidak tepat. Misalnya, mengenai umur Ahazia ada yang mempersoalkan perbedaan 2 Raj 8:26 dengan 2 Taw 22:2 mengenai umur Ahazia ketika diangkat menjadi Raja. Untuk lebih jelasnya demikian perbedaan antara kedua ayat yang dimaksud menurut terjemahan LAI 1974: Ia berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri raja Israel (2 Raj 8:26). Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri (2 Taw 22:2). Gleason L. Acher dalam Encyclopedia of Bible Difficulties, menanggap bahwa telah terjadi kesalahan salin dalam 2 Taw. 22:2. Masalahnya, dalam seluruh teks kuno Ibrani tidak pernah ada masalah, sehingga kita harus menganggap bahwa memang dalam 2 Taw 22:2 aslinya memang tertulis “empat puluh dua tahun”. Untuk lebih jelasnya, dalam bahasa Ibrani 2 Raj 8:26 berbunyi sebagai berikut:
מ ְלכוֹ ָ ח ְז ָיהוּ ְב ַא ֲ שׁנָה ָ תּיִם ַ וּשׁ ְ שׂ ִרים ְ ֶע- ֶבּן Ben‐`eśrîm ûštayim šānāh ‘aḥazyāhû ְשׁם ֵ ירוּשׁ ָלִם ו ָ מ ַלך ִבּ ָ אַחת ַ ְשׁנָה ָו vmolkô wəšānāh ‘aḥat mālak bîrûšālaim אל ֵ ִשׂ ָר ְ מ ֶל ְך י ֶ מ ִרי ְ ת ְליָהוּ ַבּת ָע ַ אמּוֹ ֲע ִ wəšēm ‘imô `atalyāhû bat‐Omrî melek yiśrāēl. Terjemahan harfiah: “Ahazia berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri, raja Israel” (2 Raj 8:26).
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 36 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama Sedangkan 2 Taw 22:2 disebutkan bunyi yang sama, meskipun konteksnya berbeda. Sebelumnya, dalam 2 Taw 22:1 dijelaskan bahwa penduduk Yerusalem mengangkat Ahazia, anaknya yang bungsu, menjadi raja menggantikan Yoram, karena semua anaknya yang tua telah dibunuh oleh gerombolan yang datang ke tempat perkemahan bersama‐sama orang‐orang Arab. Selanjutnya 2 Taw 22:2 dalam teks asli Ibrani berbunyi:
מ ְלכוֹ ָ ח ְזיָהוּ ְב ַא ֲ שׁנָה ָ תּיִם ַ וּשׁ ְ אַר ָבּ ִעים ְ - ֶבּן ְשׁם ֵמו ִ וּשׁ ָל ָ יר ֽ מ ַלך ִבּ ָ אַחת ַ ְשׁנָה ָ ו מ ִרי ְ ת־ע ָ ת ְליָהוּ ַבּ ַ אמוֹ ֲע ִ
Ben‐‘arbā`îm ûštayim šānāh ‘aḥazyāhû vmǒlkô wəšānāh ‘aḥat mālak bîrûšālaim wəšēm ‘imô `atalyāhû bāt‐Omrî.
Terjemahan harfiah: “Berumurlah empat puluh dua tahun ketika Ahazia menjadi raja, dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri” (2 Taw. 22:2).
Kata ֶבּן “ben” (anak, keturunan) yang mengawali kedua ayat di atas bisa menunjuk usia
Ahazia ketika menjadi raja, tetapi juga usia dinasti Omri ketika Ahazia menjadi raja. Karena itu, maka 2 Taw 22:2 dapat juga diterjemahkan sebagai berikut: “Umur dinasti Omri adalah empat puluh dua tahun ketika Ahazia menjadi raja, dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri” (2 Taw 22:2). Dengan memperbaiki terjemahan 2 Taw 22:2 seperti di atas ternyata cocok dengan usia dinasti Omri sampai Ahazia naik tahta kerajaan Yehuda, seperti tampak dari Tabel di bawah ini:
Generasi
Nama
Lama Pemerintahan
Referensi
Usia Dinasti
I
Omri (Raja Israel)
12 tahun
I Raja 16:23
12 tahun
II
Ahab (Raja Israel)
22 tahun
I Raja 16:29
34 tahun
III
Yoram (Raja Yehuda)
8 tahun
II Taw. 21:20
42 tahun
IV
Ahazia (Raja Yehuda)
2 tahun
II Taw. 22:2
43 tahun
Beberapa penerjemah Alkitab menyangka adanya kesalahan dalam salinan, sehingga meskipun dengan mencantumkan catatan kaki bahwa teks asli Ibrani memang berbunyi “empat puluh dua”, New International Version (NIV) menerjemahkan dengan “dua puluh dua”. Rupanya, dugaan adanya salah salin ini sudah lama sekali sehingga terjemahan Septuaginta (LXX) dari abad ketiga SM menerjemahkan:
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 37 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
ων εικοσι ετων οχοζιας εβασιλευσεν και ενιαυτον ενα εβασι‐λευσεν εν ιερουσαλημ και ονομα τη μητρι αυτου γοθολια θυγατηρ αμβρι
hôn eikosi etôn okhozias ebasileusen kai eniauton hena ebasi‐leusen en hierousalêm kai onoma tê mêtri autou gotholia thugatêr ambri
Artinya: “Dan berusia dua puluh dua tahun ketika Ahazia menjadi raja, setahun lamanya 14 memerintah di Yerusalem. Nama ibunya Atalya, anak Omri” Menurut saya, terjemahan tidak bisa mendasarkan kepada terjemahan, meskipun itu terjemahan kuna. Sebab keberadaaan teks asli Ibrani memang terbukti, dibandingkan dengan LXX dan terjemahan manapun. Lagi pula, dalam semua naskah Ibrani tidak pernah ada masalah dengan 2 Taw 22:2 ditinjau dari kritik salinan (textual criticism). Karena itu, kita harus menggali lebih dalam, baik dari teks‐teks Alkitab sendiri, maupun dari sumber‐sumber sejarah di luar Alkitab mengenai lamanya dinasti Omri berkuasa. 2.6.2. Dukungan Sejarah Di Luar Alkitab Secara umum mengenai kerumitan perbedaan perhitungan tahun‐tahun kekuasaan raja‐ raja Israel, ternyata ditemukan juga dalam prasasti‐prasasti di luar Alkitab. Misalnya, mengenai dua macam kalender yang berbeda antara Israel dan Yehuda, secara implisit ternyata dikuatkan oleh temuan kalender Geser, yang menghitung tahun dari bulan Tishri, sekitar Oktober. Kalender Geser ditemukan tahun 1908, ditulis dalam bahasa Ibrani kuno yang menggunakan aksara proto‐ Sinaitik di atas lempengan batu kapur lunak, dan setelah diteliti berasal dari abad X SM, tak lama setelah zaman Raja Salomo. Mungkin kalender berasal dari pelajaran sekolah pada zaman itu. Bunyi inskripsi Kalender Geser: “Dua bulan musim panen, sebulan musim menabur, dua bulan 15
musim menabur akhir, dan sebulan musim memotong batang”. Kata yang diterjemahkan “musim
ִקּ ָה ַ חג ַ (Hag Ha‐Qatsîr) dalam panen” ternyata berkaitan dengan “Hari Raya Penuaian” ציר Alkitab (Kel. 23:16), yang membuktikan bahwa kalender masyarakat agraris yang dimulai dari musim gugur (September‐Oktober). Kalender ini setelah Israel terpecah menjadi dua, dipertahankan di wilayah Yehuda, yang menghitung tahun baru dari bulan Tishri. Sedangkan Israel utara yang berpusat di Samaria, mengembangkan sistem kalender lain yang perhitungan tahun barunya dimulai dari bulan Nisan, sekitar bulan April. Perbedaan angka‐angka yang sering 14
Lihat: Paraleipomenon B 22:2 – Septuaginta (LXX) dalam John R. Kohenberger III (ed.), The NIV Trigot Old Testament (Michigan: The Zondervan Publishing House, 1994). 15 Article “Geser” dalam Trent C. Butler (ed.), Holman Bible Dictionary (Nasville: Holman Bible Publishers, 1991), hlm. 548‐549.
Edited by Glenn Tapidingan
3 Bam mbang No oorsena 38 TE EXTUAL CRIITICISM: Seb buah Pengan ntar Dalam K Kajian Variaan‐Varian Teeks Perjanjian Lama muncul dalam 1‐2 T Tawarikh yan ng ditulis se etelah pemb buangan Bab bel dan 1‐2 R Raja‐raja yan ng ditulis sebelum m pembuang gan Babel, antara lain bisa dilacakk dari perbe edaan kalender yang dipakai di Israel daan Yehuda, serta perbe edaan sistim perhitungan penobataan Raja di du ua kerajaan pecahan 16
Israel Raaya tersebutt. Se elanjutnya, untuk menyyelidiki lebih h mendalam m misteri an ngka 42 yan ng dikaitkan dengan pemerin ntahan Ahazzia, khususn nya dalam kaitannya dengan d dinaasti Omri, R Raja Israel, ternyata ditemukkan juga daalam sumbe er sejarah non‐Biblikal, n yaitu prassasti Moab. Sedangkan n rincian faktanyaa mengapa dinasti Omrri ini mendatangkan mu urka Tuhan, temuan praasasti Kuntiled Ajrud yang be erisi sinkretisme agamaa Yahudi de engan penyyembahan Baal B dan Ashera, memb buktikan keterangan Alkitab bahwa Moaab, anak Om mri, telah me endirikan ku uil Baal dan p patung Dew wi Ashera di atasn nya (1 Raj 16 6:31‐33). Prassasti Moab berisi sesum mbar Meshaa, Raja Moab, di Dhiban n (dalam Alkitab disebut Dibon), untuk m memperingaati pembero ontakannya melepaskan n diri dari ke ekuasaan Israel daan kemudian n pembangu unan banyak kota penting (2 Raj. 33:4‐5). Inilah prasasti terrpanjang (34 barris) dari zam mannya yang g pernah ditemukan di d negeri‐neg geri sebelah h timur pan ntai Laut Tengah.. Prrasasti ini de engan jelas m menyebut n nama Omri, R Raja Israel yaang kejahatannya dicataat dalam Alkitab. Namanya dieja d dalam bahasa Ibraani aksara Proto‐Sinatik P k
“Omri,
Melek Ysra’il” Y (Omrri Raja Israe el). Terjemah han baris 4‐‐8, dan 14‐18 8 dari prasaasti tersebutt, bagian yang rellevan dengaan Israel, khu ususnya Rajaa Omri dan k keturunannyya berbunyi: “O Omri, Raja Issrael, untuk beberapa laama telah m menekan Moaab, sehinggaa Dewa Kam mos m marah terhad dap negerin nya. Omri daan anak pen nggantinya juga j bertekaad: “Aku akkan m menindas Mo oab”. Ia (aanak penggaanti Omri itu) mengattakan hal ittu pada maasa pe emerintahan nku. Namun n aku berhasil menguassainya dan seisi s rumahn nya, dan Israel kaalah. Kemud dian Omri ju uga telah me erampas harrta benda negeri Madaba dan tingg gal dii sana samp pai setengaah masa pe emerintahan anaknya, yaitu y selam ma 40 tahun n… Ke emudian Kaamos berkatta kepadaku: “Pergilah h, dan tangkaplah Nebo dari Israe el!” M Maka berang gkatlah aku malam itu dan d menyerrbunya dari fajar hingg ga tengah haari. Aku menaklu ukkannya serta membun nuh semuan nya, 7.000 laaki‐laki dan laki‐laki asin ng, erempuan dan perem mpuan asing g, serta bu udak‐budak perempuaan. Aku telah pe m mempersemb bahkannya bagi b Astar‐K Kamos. Dari sana kuambil bejana‐b bejana Yahw weh 17 (T TUHAN) dan n kuinjak‐injaak di depan D Dewa Kamos”. Pe ernyataan Mesha M tentaang penindaasan yang dilakukan Om mri dan ketu urunannya terhadap t Moab, serta s perlaw wanannya te erhadap Israael secara tepat t meneg guhkan cataatan sejarah h Alkitab 16
Gleason L. Arrcher, Encyclo opedia of Biblee Difficulties b based on the N NIV and NASB (Michigan: Zo ondervan, 2002), hlm. 225. 17 Moabite Stonee) dimuat daalam en.wikip pedia.org/wikki/File:Mesha_ _stele.jpg, Lihat: “Messha Stele” (M diakses 1 11 April 2011.
Edited by Glenn nn Tapidingan
Bambang Noorsena 39 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama dalam 2 Raj 1:1 dan 3:4‐5. Kemenangan‐kemenangan yang diklaim oleh Mesha mestinya benar, meskipun tidak dijelaskan secara rinci dalam Alkitab, sebab yang menjadi perhatian Alkitab adalah kisah‐kisah Nabi Elisa, ketika Sang Nabi menubuatkan tentang raja‐raja Israel dan Yehuda. Alkitab mencatat bahwa ketika Mesha, Raja Moab, melihat perang itu berat baginya, maka ia mengambil 700 orang pemegang pedang menerobos ke jurusan Edom, tetapi tidak berhasil (2 Raj 3:26). Catatan Alkitab ini membuktikan bahwa mula‐mula Mesha tidak berhasil, tetapi begitu ia mengorbankan anak bungsunya di atas mezbah kurban bakaran, orang‐orang Israel menjadi sangat gusar dan meninggalkan dia dan pulang ke negerinya. Mundurnya Israel ini, oleh raja Moab diklaim sebagai kemenangannya atas Israel, yang kemudian dirincinya bahwa telah jatuh korban sebanyak 7.000 orang. Meskipun para ahli masih mempersoalkan rincian fakta‐fakta antara Alkitab dan prasasti Moab, namun dalam garis besar bukti prasasti ini secara luar biasa meneguhkan fakta kesejahteraan Alkitab. Rincian fakta yang masih diperdebatkan itu antara lain Mesha, raja Edom, memberontak kepada Israel ketika Ahab sudah mati (2 Raja‐raja 1:1, dan 3:5), sedangkan dalam prasasti Moab, Mesha mengklaim bahwa ia telah mengalahkan anak Omri dan seisi rumahnya: “Namun aku telah berhasil menguasai dia (anak Omri, pen.), dan seisi rumahnya”. Masalah ini dapat dijelaskan, bahwa kata “anak” dalam bahasa‐bahasa Timur Tengah kuno, tidak hanya berarti “anak langsung”, tetapi juga bisa berarti “cucu”, “keturunan”. Misalnya, Yesus disebut “Anak Daud”, maksudnya “keturunan Daud” (Mat. 1:1). Begitu juga “anak Omri” bisa berarti Ahab, anaknya, begitu juga Yoram, cucunya. Dan 2 Raja‐raja 3:5‐6 mencatat bahwa pemberontakan Moab terjadi pada masa Yoram, Raja Israel. Selanjutnya, prasasti Moab juga mencatat bahwa penjarahan terhadap harta benda negeri Madeba telah terjadi mulai dari masa Omri sampai pertengahan masa pemerintahan anak keturunannya, yaitu selama 40 tahun. Berdasarkan lamanya dinasti Omri berkuasa dalam catatan Alkitab dan sumber‐sumber sejarah sezaman, diperkirakan Raja Omri mulai bertahta pada tahun 885‐874 SM, Raja Ahab berkuasa antara tahun 874‐853 SM, Raja Ahazia tahun 853‐852, dan Raja Yoram antara tahun 852‐841 SM. Karena itu, pertengahan masa kekuasaan “keturunan Omri”, jatuh pada masa Yoram, antara tahun 852‐841 SM, kira‐kira tahun 845 SM. Jadi, angka 40 dalam prasasti Moab memang merupakan pembulatan dari angka 36 tahun, seperti lazimnya pada budaya Timur Tengah kuno. Misalnya, Shavuot (7X7=49) dibulatkan menjadi 50, sehingga Hag 18
haSavuot dikenal juga dengan “Hari Kelimapuluh” (Pentakostes). 18
Istilah dijumpai dalam Septuaginta (LXX) sebagai terjemahan dari “hari kelima puluh”.
Edited by Glenn Tapidingan
Bambang Noorsena 40 TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama Perlu dijelaskan di sini, bahwa Ahazia yang bertakhta di Israel (853‐852 SM) berbeda dengan Ahazia yang bertakhta di Yehuda (841 SM). Begitu juga ada dua nama Yoram, yaitu Yoram yang bertakhta di Israel (852‐841 SM) dengan Yoram yang bertakhta di Yehuda (853‐841 SM), ayah Ahazia, raja Yehuda. Masa 40 tahun dari dinasti Omri menguasai Madeba menurut prasasti Moab, ternyata bukan tanpa kebetulan bahwa lamanya cocok dengan masa dinasti Omri sampai Ahazia, anak Yoram, Raja Yehuda, berkuasa yaitu 42 tahun, dari Omri naik takhta tahun 885 SM hingga Ahazia, raja Yehuda, naik takhta tahun 841 SM. Jadi, angka 42 tahun adalah angka yang ditekankan 2 Taw 22:2 sampai Ahazia, raja Yehuda, naik takhta, dan selanjutnya masih ada beberapa raja Yehuda yang mewarisi kejahatan Omri, yang sering disebut Ke Bait Ahab − “hidup menurut kelakuan keluarga Ahab” (2 Taw S Prasasti batu Moab yang disimpan di Museum Louvre, Paris.
22:3), karena Ahab adalah raja terbesar dari dinasti Omri. ●
Edited by Glenn Tapidingan
View more...
Comments