TERAPI MODALITAS

March 22, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download TERAPI MODALITAS...

Description

a

TERAPI MODALITAS KEPERAWATAN JIWA TERAPI LINGKUNGAN (MILIEU THERAPY), TERAPI PSIKORELIGIUS, ECT (ELECTROCONVULSIVE THERAPY) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas “Keperawatan Jiwa”, dengan dosen pengampu Imam Ansori, S. Kep., Ns.

Disusun oleh: 1. Umi Pujarwaning Sinta

(2220111935)

2. Vera Endriana

(2220111936)

3. Zuli Purnami

(2220111937)

4. Agung Hermansah

(2220111938)

KELAS : 2B

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO YOGYAKARTA APRIL, 2013

a

TERAPI LINGKUNGAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan dan situasi rumah sakit yang asing serta pengalaman perawatan yang tidak menyenangkan akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan adaptasi pasien dengan gangguan fisik dan gangguan mental. Ada kecenderungan lingkungan rumah sakit menjadi stresor bagi pasien. Menurut ICN, pada tahun 2020 nanti diseluruh dunia akan terjadi pergeseran penyakit. Perubahan sosial ekonomi yang sangat cepat dan situasi sosial politik Indonesia yang tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan mental dalam kehidupan manusia, pada saat ini terjadi peningkatan sekitar 20%. Menurut Bloom, 60% faktor yang menentukan status kesehatan seseorang adalah kondisi lingkungannya. Upaya terapi harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidisipliner. B. Konsep Terapi Lingkungan Lingkungan telah didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan merujuk pada keadaan fisik, psikologis, dan social diluar batas system, atau masyarakat dimana system itu berada ( Murray Z., 1985 ). Manusia tidak dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapat perhatian khususnya untuk menjaga dan menjaga kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologi seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kodisi psikologis seseorang. Lingkungan dan situasi rumah asing serta pengalaman perawatan yang tidak menyenangkan akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan adaptasi pasien dengan gangguan fisik dan mental. Lingkungan tersebut akan berpengaruh pula pada proses

a

perawatan di rumah sakit, hal ini pada akhirnya akan menentukan keberhasilan keperawatan dan pengobatan. Perubahan social ekonomi yang amat cepat dan situasi social politik Indonesia yang tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan kejahatan, situasi ini dapt meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan mental dalam kehidupan manusia, pada saat terjadi peningkatan sekitar 20% ( Antai Otong, 1994 ) Konsep lingkungan dalam keperawatan mental Lingkungan telah didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan meruju pada keadaan fisik, psikologis, dan di luar batas sistem, atau masyarakat dimana sistem itu berada ( Murray Z, 1985 ) Menurut teori keperawatan lingkungan yang ditemukan Florence Nightingale, meyaniki bahwa udara yang bersih, sinar matahari yang cukup, serta lingkungan yang bersih merupakan aspek penting untuk pemulihan kesembuhan seseorang. Modifikasi lingkungan menurut Florence adalah sebagai berikut : -

Udara yang bersih ( pure air )

-

Air yang bersih dan sehat ( pure water )

-

Pembuangan yang aman dan memadai ( effiecient drainage )

-

Keadaan lingkungan yang bersih ( cleanline )

-

Sinar matahari / cahaya yang cukup ( light )

Pengertian terapi lingkungan ( Milieu Therapy ) Berasal dari bahasa Perancis yang berarti perencanaan ilmiah dari lingkungan untuk tujuan yang bersifat terapeutik atau mendukung kesembuhan. Pengertian lainnya adalah tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan modifikasi unsure-unsur yang ada pada lingkungan dan berpengaruh positif terhadap fisik dan psikis individu serta mendukung proses penyembuhan. Terapi pengobatan merupakan cara proses suatu penyembuhan gangguan yang di sebabkan oleh sumber – sumber gangguan. Sumber – sumber yang bersifat teraupetik ( dapat

a

memberikan penyembuhan ) dapat berupa orang – orang lingkungan / benda – benda dan kegiatan – kegiatan yang membawa ke arah penyembuhan. Lingkungan

merupakan

kondisi

dimana

berpengaruh

besar

terhadap

proses

penyembuhan terutama pasien dengan gangguan jiwa. Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsure yang ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap penyembuhan. Lingkungan fisik dan psikologis merupakan suatu kondisi yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu penyembuhan terutama pasien dengan gangguan mental. Konsep – konsep tentang terapi lingkungan berasal dari konsep – konsep “ The therapeutic community “ yang diperkenalkan oleh Maxwell Jones yang digunakan dalam lingkungan rumah sakit serta fasilitas kesehatan lain. Tujuan Terapi Lingkungan 1. Membantu individu untuk mengembangkan rasa harga diri 2. Mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain 3. Membantu belajar untuk mempercayai orang lain 4. Mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat Adapun Menurut Stuart dan Sundeen yaitu : Meningkatkan pengalaman positif pasien khususnya yang mengalami gangguan mental. Dengan

cara membantu individu dalam

mengembangkan harga diri, Meningkatkan kemampuan untuk berhubungan denagan orang lain, menumbuhkan sikap percaya pada orang lain, mempersiapkan diri kembali ke masyarakat, dan mencapai perubahan yang positif. Karakteristi Terapi Lingkungan: Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka lingkungan harus bersifat teraupetik yaitu mendorong terjadi proses penyembuhan, lingkungan tersebut memiliki kriteria sebagai berikut : 1.

Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya.

2.

Pasien merasa senang /nyaman.dan tidak merawsa takut dengan lingkungannya

3.

Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi

a

4. Lingkungan rumah sakit/bangsal yang bersih 5. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls pasien. 6. Personal dari lingkungan rumah sakit/bangsal menghargai pasien sebagai individu yang memiliki hak, kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku pasien sebagai respon adanya stress. 7.

Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan atau larangan dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihannya dan membentuk perilaku yang baru.

Disamping hal tersebut terapi lingkungan harus memilki karakteristik : - Memudahkan perhatian terhadap apa yang terjadi pada individu dan kelompok selama 24 jam. - Adanya proses pertukaran informasi. -

Pasien merasakan keakraban dengan lingkungan.

- Pasien merasa senang, nyaman, aman, dan tidak meraswa takut baik dari ancaman. - Psikologis maupun ancaman fisik. -

Penekanan pada sosialisasi dan interaksi kelompok dengan focus komunikasi terapeutik.

-

Staf membagi tanggung jawab bersama pasien.

- Personal dari lingkungan manghargai klien sebagai individu yang memiliki hak, kebutuhan, dan tanggung jawab. -

Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi.

Lingkungan Fisik Aspek terapi lingkungan meliputi semua gambaran yang konkrit yang merupakan bagian eksternal kehidupan rumah sakit. Setting-nya meliputi : 1. Bentuk dan struktur bangunan. 2.

Pola interaksi antara masyarakat dengan rumah sakit.

a

Tiga aspek yang mempengaruhi terwujudnya lingkungan fisik terapeutik: a. Lingkungan fisik yang tetap. b. Lingkungan fisik semi tetap. c. Lingkungan fisik tidak tetap.

a. Lingkungan Fisik Tetap Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik eksternal maupun internal. Bagian eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak gedung sesuai dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya kesehatan jiwa masyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau masyarakat sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara psikologis diharapkan dapat membantu memelihara hubungan terapeutik pasien dengan masyarakat. Memberikan kesempatan pada keluarga untuk tetap mengakui keberadaan pasien serta menghindari kesan terisolasi. Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah tinggal yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC, dan ruang makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan untuk memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami gangguan. Setiap ruangan harus dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal terapi aktivitas kelompok, jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus misalnya rapat ruangan.

b. Lingkungan Fisik Semi Tetap Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggaan meliputi lemari, kursi, meja, peralatan dapur, peralatan makan, mandi, dsb. Semua perlengkapan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu dengan yang lainnya serta menjaga privasi pasien.

c.

Lingkungan Fisik Tidak Tetap Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta sangat dipengaruhi oleh social budaya.

a

Lingkungan Psikososial Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang memungkinkan pasien berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan serta toleransi terhadap tekanan eksternal. Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan dalam berinteraksi dengan pasien: a. Tingkah laku dikomunikasikan dengan jelas untuk mempertahankan, mengubah tingkah laku pasien. b. Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku pasien tergantung dari tingkah laku partisipasi petugas kesehatan dan keterlibatan pasien dalam kegiatan belajar. c. Perubahan tingkah laku pasien tergantung pada perasaan pasien sebagai anggota kelompok dan pasien dapat mengikuti atau mengisi kegiatan. d. Kegiatan sehari-hari mendorong interaksi antara pasien. e. Mempertahankan kontak dengan lingkungan misalnya adanya kalender harian dan adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.

C. PERAN PERAWAT DALAM TERAPI LINGKUNGAN Peran perawat dalam menyelenggarakan terapi lingkungan adalah : 1. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman : a.

Perawat

menciptakan

dan

mempertahankan

iklim/suasana

yang

akrab,

menyenangkan, saling menghargai di antara sesame perawat, petugas kesehatan, dan pasien. b. Perawat yang menciptakan suasana yang aman dari benda-benda atau keadaankeadaan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan/luka terhadap pasien atau perawat. c. Menciptakan suasana yang nyaman d. Pasien diminta berpartisipasi melakukan kegiatan bagi dirinya sendiri dan orang lain seperti yang biasa dilakukan di rumahnya. Misalnya membereskan kamar.

a

2.

Penyelenggaraan proses sosialisasi a. Membantu pasien belajar berinteraksi dengan orang lain, mempercayai orang lain, sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang lain. b. Mendorong pasien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan di dalam kegiatan-kegiatan tertentu. c. Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan yang baru, dan dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya pada waktu yang luang.

3.

Sebagai teknis perawatan Fungsi perawat adalah memberikan/memenuhi kebutuhan dari pasien, memberikan obat-obatan yang telah ditetapkan, mengamati efek obat dan perilakuperilaku yang menonjol/menyimpang serta mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul dalam terapi tersebut.

4. Sebagai leader atau pengelola. Perawat harus mampu mengelola sehingga tercipta lingkungan terapeutik yang mendukung penyembuhan dan memberikan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis kepada pasien. Jenis-jenis Kegiatan Terapi Lingkungan : 1. Terapi rekreasi Yaitu terapi yang menggunakan kegiatan pada waktu luang, dengan tujuan pasien dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial. 2. Terapi kreasi seni Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama denagn orang lain yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat, diantaranya adalah :

a

a.

Dance therapy/menari Suatu terapi yang digunakan bentuk ekspresi non verbal dengan menggerakan tubuh dimana mengkomunikasikan tentang perasaan – perasaan dan kebutuhan – kebutuhan.

b. Terapi music Terapi dilakukan melalui music. Dengan music memberikan kesempatan kepada pasien mengekspresikan perasaan – perasaannya seperti marah, sedih, kesepian. Terapi ini dapat dilakukan bersama ( berkelompok ) atau individu. Tujuannya adalah untuk mengembangkan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan perasaan/pikiran dan perilaku yang sesuai dengan normanorma yang ada. c. Terapi dengan menggambar/melukis Dengan menggambar akan menurunkan ketegangan dan memusatkan pikiran yang ada. Dengan menggabar atau melukis akan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan tentang apa yang sedang terjadi tentang dirinya. Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan pasien biasanya merasa kesepian, menyendiri. d. Literatur/biblio therapy Terapi ini bertujuan untuk mengajarkan pasien untuk memelihara sesuatu / mahluk hidup, dan membantu hubungan akrab antar satu pribadi kepada pribadi lainnya.

Terapi Lingkungan pada Kondisi Khusus 1. Pasien rendah diri (low self esteem) , depresi (depression) bunuh diri (suicide). Syarat lingkungan secara psikologis harus memenuhi hal-hal sbb:  Ruangan aman dan nyaman.  Terhindar dari alat-alat yang dapat digunakan untuk mencederai diri sendiri atau orang lain.

a

 Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan terkunci.  Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan mudah dipantau oleh petugas kesehatan.  Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang cerah dan meningkatkan gairah hidup pasien.  Warna dinding cerah.  Adanya bacaan ringan, lucu, dan memotivasi hidup.  Hadirkan musik ceria, tv, dan film komedi.  Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang-barang pribadi pasien.

Lingkungan sosial:  Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa pasien sesering mungkin.  Memberikan

penjelasan

setiap

akan

melakukan

kegiatan

keperawatan atau kegiatan medis lainnya.  Menerima pasien apa adanya jangan mengejek serta merendahkan.  Meningkatkan harga diri pasien.  Membantu menilai dan meningkatkan hubungan social secara bertahap.  Membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya.  Sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan membiarkan pasien sendiri terlalu lama di ruangannya. 2. Pasien dengan amuk. Lingkungan fisik:  Ruangan aman, nyaman, dan mendapat pencahayaan yang cukup.  Pasien satu kamar, satu orang, bila sekamar lebih dari satu jangan dicampur antara yang kuat dengan yang lemah.  Ada jendela berjeruji dengan pintu dari besi terkunci.

a

 Tersedia kebijakan dan prosedur tertulis tentang protocol pengikatan dan pengasingan secara aman, serta protocol pelepasan pengikatan. Lingkungan Psikososial :  Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati.  Observasi pasien tiap 15 menit.  Jelaskan tujuan pengikatan/pengekangan secara berulang-ulang.  Penuhi kebutuhan fisik pasien.  Libatkan keluarga.

Macam-Macam Terapi Lingkungan Model terapi rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah perilakunya menjadi lebih baik: 1. Model Terapi Moral Model ini sangat umum dikenal oleh masyarakat serta biasanya dilakukan dengan pendekatan agama/moral yang menekankan tentang dosa dan kelemahan individu. Model terapi seperti ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas di tempat asalnya, karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan buruk yang diajarkan oleh agama. Maka tidak mengherankan apabila model terapi moral inilah yang menjadi landasan utama pembenaran kekuatan hukum untuk berperang melawan penyalahgunaan narkoba. 2. Model Terapi Sosial Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas, dimana adiksi terhadap obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan sosial (social disorder). Tujuan dari model terapi ini adalah mengarahkan perilaku yang menyimpang tersebut ke arah perilaku sosial yang lebih layak. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa kebanyakan pecandu narkoba hampir selalu terlibat dalam tindakan a-sosial termasuk tindakan kriminal. Kelebihan dari model ini adalah perhatiannya kepada perilaku adiksi pecandu narkoba yang bersangkutan, bukan pada obat-obatan yang

a

disalahgunakan. Prakreknya dapat dilakukan melalui ceramah, seminar, dan terutama terapi berkelompok (encounter group). Tujuannya tidak lain adalah melatih pertanggung-jawaban sosial setiap individu, sehingga kesalahan yang diperbuat satu orang menjadi tanggung-jawab bersama-sama. Inilah yang menjadi keunikan dari model terapi sosial, yaitu memfungsikan komunitas sedemikian rupa sebagai agen perubahan (agent of change.) 3.

Model Terapi Psikologis Model ini diadaptasi dari teori psikologis Mc Lellin, dkk yang menyebutkan bahwa perilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya karena terjadi konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk meringankan atau melepaskan beban psikologis itu. Model terapi ini mementingkan penyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan, dimana jika emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai masalah lagi dengan obat-obatan. Jenis dari terapi model psikologis ini biasanya banyak dilakukan pada konseling pribadi, baik dalam pusat rehabilitasi maupun dalam terapi pribadi.

4.

Model Terapi Budaya Model ini menyatakan bahwa perilaku adiksi obat adalah hasil sosialiasi seumur hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini, keluarga seperti juga lingkungan dapat dikategorikan sebagai “lingkungan sosial dan kebudayaan tertentu”. Dasar pemikirannya adalah, bahwa praktek penyalahgunaan narkoba oleh anggota keluarga tertentu adalah hasil akumulasi dari semua permasalahan yang terjadi dalam keluarga yang bersangkutan. Sehingga model ini banyak menekankan pada proses terapi untuk kalangan anggota keluarga dari para pecandu narkoba tersebut.

a

TERAPI PSIKORELIGIUS

A. Pendahuluan Pada orang yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menjalani terapi keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen keagamaannya sehingga siap untuk meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu contoh tentang pentingnya peranan agama. Pada konfrensi yang diadakan di Canberra pada tahun 1980, dengan tema ”The Role of Religion in The Prevention Of Drug Addiction”. Pada kelompok-kelompok yang terkena narkotik, alcohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen agamanya lemah. Hal ini dibandingkan dalam penelitian dengan orang yang kuat komitmen agamanya. Kesimpulannya remaja-remaja yang sejak dini komitmen agamanya lemah memiliki resiko terkena NAPZA 4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karena agama itu membawa ketenanangan. Agama mencegah remaja yang mencari ketenangan pada alcohol, narkotik dll. Contoh tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa. Ada uji perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia penyakit jiwa skizofrenia, yakni antara cara konvensional ( dengan obat dan senbagainnya) dan dengan cara penndekatan keagamaan, hasilnya kelompok skizofrenia yang terapinya ditambah dengan keagamaan waktu perawatannya lebih pendek dan gejala-gejalanya cepat hilang. Terapi terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistik (menyeluruh) yang meliputi biologi, psikologis, sosial dan spiritualnya. Menurut Dadang Hawari, pendekatan spiritual dikalangan rumah sakir memang perlu dimasayarakatkan dimana harus ada rohaniawan yang datang ke rumah sakit dan mendoakan penyembuhan.

a

B. Religius Sebagai Kebuthan Dasar Dan Got Spot Pada Otak Manusia V.S. Ramachandran, Direktur Center For Brain America, telah mengadakan serangkaian riset terhadap pasien-pasien pasca epilepsi, yang menyimpulkan bawha pada klien epilepsi terjadi ledakan aktivitas listrik di luar batas normal yang ditandai dengan peningkatan lobus temporal. Klien pasca epilepsi tersebut sebagian besar mengungkapkan pengalaman spiritual berupa keterpesonaan yang mendalam sehingga semua yang lain menjadi sirna, menemukan kebenaran tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa, kecemerlangan dan merasakan persentuhan dengn cahaya illahi (Ian Marshal, Spiritual Inteligenci, 2000 : 10). Penelitian peenting selanjutnya membuktikan bahwa elektroda EEG dihubungkan dengan peelipis orang normal dan klien epilepsi ketika diberi nasihat yang bersifat spiritual / religius, maka terjadi peningkatan aktivitas listrik pada lobus temporal seperti yang terjadi pada klien epilepsi. Pengalaman spiritual di bagian lobus temporal yang berlangsung beberapa detik saja dapat mempengaruhi emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup dan dapat mengubah arah hidup (life transforming). Sebagian besar pakar neurobiologi berpendapat Titik Tuhan / ”God Spot” atau Modul Tuhan ”God Module” berkaitan denga pengalaman religius. Menurut kajian Howard Clinell, yang dikutip Dadang Hawari, menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki 10 kebuutuhan religius : 1. Kepercayaan dasar (Basic Trust). 2. Makna hidup secara vertikel dan horizontal.

a

3. Komitmen peribadatan ritual dan hubungannya dengan keseharian. 4. Kebutuhan pengisian keimanan (Charge) dan kontinuitas hubungan dengan Tuhan. 5. Bebas dari rasa salah dan dosa. 6. Self acceptance and self esteem. 7. Rasa aman, terjamin, dan keselamatan masa depan. 8. Tercapainnya derajat dan martabat yang semakin tinggi serta integritas pribadi. 9. Terpeliharanya interaksi dengan alam. 10. Hidup dalam masayarakat yang religius.

C. Riset Epidemologi, Korelasi antara Kesehatan dan Religiusitas Serangkaian riset yang dilakukan Sherill dan Larson 1988, yang didukung riset Dadang Hawari, dilakukan pada klien sebagai berikut : 

Ca. Rahim dan serviks



Collitis dan enteritis



Kardiovasce disesase



Hipertensi, stroke



AIDS



NAPZA



Gerontik disease



Status kesehatan umum



Kematian umum



Kesakitan dan kematian

a

Kesimpulan akhir bahwa makin kuat komitmen agama klien tersebut di atas, maka proses penyembuhan makin cepat, lebih mampu mengatasi nyeri, depresi, dan penderitaan (Presman, et all. 1990, Sherill Larson, 1998).

D. Riset Religiusitas pada Klien Jiwa Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga di bidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita psychological distress. Dari studi tersebut di peroleh kesimpulan bahwa makin religius maka makin terhindar seseorang dari stress (Linaen 1970, Strak 1971). Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama seseorang telah menunjukan peningkatan taraf kesehatan jiwanya. Terapi keagamaan (Intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila di bandingkan dengan mereka yang tidak mengikutinya. (Chu dan Klien, 1985). Studi Stark menunjukan bahwa angka frekuensi kunjungan ke tempat ibadah lebih merupakan indicator dan factor yang efektif dalam hubungannya dengan penurunan angka bunuh diri. Sedangkan klien yang tidak diberikan psiko religius terapi pada swicide memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri (Comstock dan Partridge, 1972). Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan gejala psikiatrik (Mahoney 1985, Young 1986, Martin 1989). Riset yang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA (Stack, Rusky, 1983).

a

Kesimpulan dari berbagai riset menunjukkan bahwa religiusitas mampu mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan.

E. Pendapat Para Ahli Ilmu Jiwa. 1. Daniel Freedman:”Di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan dalam Kesehatan Manusia, yaitu kedokteran dan agama”. 2. Larson (1990): “In navigating the complexities of human health and relation ship religious commitmen is a force to consider”. 3. Kaplan Sadock (1991): “Dalam klien jiwa latar belakang kehidupan agama klien, keluarga dan pendidikan agama merupakan factor yang sangat penting”. 4. Gery R. (1992): “Komitmen agama mencegah Aids dan homoseksual”. 5. Woodhouse (direktur UNICEF,1997): “Pegang teguh ciri khas indonesia, yaitu religius, keutuhan keluarga, gotong royong, agar tidak mengidap penyakit psikososial seperti barat”. 6. Dadang Hawari (1999): “Al-Qur’an adalah teks book kedokteran dan jiwa”. 7. C.C. Jung : “ semua penyakit kejiwaan berhubungan dengan agama “. 8. Emile Bruto : “ kaum sufi ( orang yang merenungi kehidupan batin manusia dan selalu mendekatkan diri pada Tuhannya ), mereka adalah para psikolog-psikolog besar. Mereka memliki kekuatan jiwa yang luar biasa hebatnya. “ ( Nazar, 2001 : 313 ).

a

9. Ford H. : “ kaum sufi dapat masuk dan deteksi penyebab penyakit kejiwaan seseorang dimana bila dilakukan oleh pakar psikoanalisa akan memakan waktu bertahun-tahun untuk menganalisanya. ( Nazar, 2001 : 355 ) “. 10. Subhi : ” metode terapi psikoanalisa bertemu dengan metode terapi sufistik “. 11. Zakiah Darajat : “ saya temukan bahwa penyakit jiwa yang disertai dengan terapi agama yang dianutnya, berhasil disembuhkan lebih cepat dan lebih baik dari pada penyakit jiwa yang dilakuka dengan metode modern saja ”. (Zindani, dkk, 1997 : 215).

F. Pandangan Beberapa Ahli Ilmu Jiwa Seorang dokter ahli pengobatan kejiwaan yang berkaliber internasional, yaitu C.C. Jung, menyatakan dalam bukunya Modern Man in Search Of Soul menjelaskan bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam bidang kedokteran dan keperawatan jiwa. Selanjutnya beliau mengungkapkan : Di antara pasien saya yang usianya lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun ) tidak seorangpun yang menglami penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan aspek agama. Menurut H. Aulia dalam bukunya Agama dan Kesehatan Jiwa, “ seorang dokter yang beragama islam yang dianutnya dengan penuh keyakinan dan mempunyai pengetahuan tentang ajaran dan hikmah islam yang lebih banyak dari pada yang biasa dimiliki kebanyakan kaum muslimin. Biasanya terapi dengan pendekatan keagamaan tersebut dapat berhasil dengan baik. Pengobatan kejiwaan dengan pendekatan agama tersebut juga akan berhasil dengan baik meskipun penderita beragama lain atau orang yang tidak beragama sekalipun, asal saja didahului dengan pembicaraan sekedarnya mengenai agama “. Menurut J. G. Mackenzie yang dikutip Leslie D. Weatherhead :

a

“ Hasil-hasil baik ahli pengobatan kejiwaan tidak diperolehnya karena pengetahuan yang sempurna tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak disebabkan karena ia ahli ilmu penyakit saraf, melainkan karena kecakapannya dalam lapangan agama “. Pernyataan lain yang juga menegaskan tentang besarnya faedah agama di lapangan ilmu kedokteran dan keperawatan jiwa adalah apa yang dikemukakan oleh Hafield yang sudah bertahun-tahun melakukan pengibatan kejiwaan, di mana ia sampai pada kesimpulan : “Saya telah mencoba menyembuhkan penderita kerusakan keseimbangan saraf dengan jalan memberikan sugesti ( mengisyaratkan ) ketenangan dan kepercayaan tetapi usaha ini baru berhasil baik sesudah dihubungkan dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan “. Semakin lama lapangan ilmu pengetahuan bertambah sadar bahwa keberadaan agama untuk ilmu kedokteran dan keperawatan semakin penting. Hal ini sesuai engan apa-apa yang dikemukakan oleh Elmer Hess ketika pada tahun 1954 terpilih menjadi ketua perhimpunan dokter Amerika ( American Medical Association ) beliau mengemukakan “ seorang dokter yang masuk ruangan pasiennya tidaklah ia seorang diri. Ia hanya dapat menolong seorang penderita dengan alat kebendaan kedokteran, keyakinannya akan kekuasaan yang lebih tinggi mengerjakan hal penting lainnya. Kemukakanlah seorang dokter yang meyangkal adanya zat yang maha tinggi itu maka saya akan katakan bahwa ia tidak berhak mempraktikkan ilmu kedokterannya “. Di kota New York ada 1 klinik yaitu Religion Psychiatric Clinic (Klinik Kejiwaan Keagamaan) di mana agama memainkan peranan penting. Salah seorang pengarang buku yang terkenal berjudul “agama dan kesehatan jiwa” yaitu Prof. Dr. H. Aulia pernah berkunjung ke tempat tersebut dan mengatakan bahwa pengobatan dan perawatan pasien yang mengalami masalah kejiwaan ditangani secara kolaboratif oleh ahli-ahli kedokteran dan ahli-

a

ahli penyakit jiwa, yaitu Dr. Smiley Belanton dan Dr. Norman V. Pelae. Kedua anggota pimpinan ini mengutip dalam buku karangan mereka berjudul Faith is the answer yang menyatakan bahwa agama besar sekali faedahnya untuk ilmu-ilmu kedokteran khusunya kedokteran kejiwaan. Selanjutnya Dr. Robert C. Pelae, seorang dokter ahli bedah menyatakan sebagai berikut “ Berkat kepercayaan dan keyakinan penderita yang mengalami luka atau pasien , saya sebagai dokter ahli bedah selalu me;ihat penyembuhan-penyembuhan yang disangka tidak mungkin. Saya melihat pula hasil-hasil yang tidak menyenangkan karena percobaan dengan penyembuhan dengan agama saja atau hanya dengan ilmu pengetahuan saja. Oleh sebab itu saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang pasti dan tetap antar agama dan ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah memberikan kepada kita kedua-duanya sebagai senjata untuk melawan penyakit dan kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai bersama-sama untuk kepentingan manusia maka kemungkinan-kemungkinan kita akan mendapatkan hasil yang baik dengan tidak ada batasnya. Dalam konfrensi-konfrensi internasional dibahas peranan agama terhadap penyakitpenyakit terminal, seperti AIDS dan kanker, ternyata masalah utamanya bukan masalah medis lagi. Peranan psikiater dan perawat jiwa menjadi lebih penting karena pasien sering merasa cemas, depresi, takut, gelisah, menunggu saat-saat terakhir hidupnya. Untuk itu dibentuklah tim/kelompok-kelompok religius yang disebut psycho-spiritual atau psycho-religius for AIDS patient, for cancer patient, and for terminal ill patient. Kekosongan spiriyual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang sering menimbulkan peramasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa. Para pakar berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun dalam

a

keadaan

sakit,

pendekatannya

tidak

lagi

memandang

manusia

sebagai

makhluk

biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospiritual. Para ahli sekarang sedang meneliti aspek-aspek agama itu secara alamiah dari segi kesehatan jiwa. Baik pada ikatan dokter ahli jiwa Amerika maupun pada ikatan ahli jiwa sedunia, di dalam lingkup ilmunya ada bagian yang disebut Religion and Psychiatry ( agama dan ilmu kedikteran jiwa ). Pertalian antara agama dengan kesehatan jiwa ini diriset, ternyata pengetahuan agama sangat diperlukan bagi dokter ahli ilmu jiwa dan secara ilmiah kejiwaan itu dibicarakan dalam forum-forum ilmu pengetahuan. Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik dapat berupa matanya tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh.

G. Pengaruh Do’a terhadap penyakit kejiwaan Menurut mantan Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Psikosomatik pada Pakultas kedokteran Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. H. Aulia yang dikutip dari kitab Zadu’ul Ma’ad oleh Majelis Pertimbangan dan Kesehatan RI dalam buku fatwanya no. 9 bernama: ” sumpah dokter dan susila kedokteran ditinjau dari segi hukum islam”. Kutipan itu antara lain, ”Hendaklah dokter itu mempunyai pengetahuan tentang penyakit pikiran dan jiwa serta obatnya. Itu adalah menjadi pokok utama dalam mengobati manusia. Di antara obat-obat yang paling baik untuk penyakit adalah berbuat amal kebajikan, berdzikir, berdo’a serta memohon dan mendekatkan diri kepada Allah dan bertaubat. Semua ini mempunyai pengaruh

a

yang lebih besar dari pada obat-obat biasa untuk menolak penyakit dan mendatangkan kesembuhan

tetapi

semua

menurut

kadar

kesediaan

penerimaan

bathin

serta

keperacayaannya akan obat kebatinan itu dan manfaatnya”. Salah satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdo’a, yakni memanjatkan permohonan kepada Allah supaya memeproleh seauatu kehendak yang diridhoi. Dari masa ke masa pengaruh do;a tersebut ters-menerus mendapat perhatian penting. Di antaranya oleh A. Carrel pemenang hadaih Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran, karena penemuannya di lapangan ilmu bedah. Bila d’a itu dibiasakan dan betul-betul bersunggug-sungguh, maka pengaruhnya menjadi sangat jelas, ia merupakan perubahan kejiawaan dan perubahan somatik. Ketentraman yang ditimbulkan oleh do’a iti merupakan pertolongan yang besar pada pengobatan. Pada akhir tahun 1957 di Amerika Serikat menurut pengumuman James C. Coleman dalam bukunya Abnormal Psychology and Modern Life, sudah mencapai dua puluh juta. Dari semua cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa (psikitri) dan kesehatan jiwa (mental health) adalah paling dekat dengan agama ; bahkan dalam mencapai derajat keseahatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well being) pada diri manusia, terdapat titik temu anatara kedokteran jiwa / kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di pihak lain (Dadang, 1997 : 19). WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikoloik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual sehingga dimensi sehat menjadi biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuan di bidang kedokteran dan keperawatan terhadap agama semakin besar. Tindakan kedokteran tidak selamnya berhasil, seorang ilmuan

a

kedokteran sering berkata ” dokter yang mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan ”pendapat ilmuan tersebut sesuai dengan hasis Nabi : ” setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tapat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit tersebut akan sembuh”. Sebagai dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan takhnologi, agama, dan tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi yang diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kesejahteraan (well being). Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negara maju tekah kehilangan aspek spiritual yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah dia termasuk orang yang beragama atau yang sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual, kerohanian dan rasa keagmaan inilah yang menimbulkan permasalahan pdikososial di bidang kesehatan jiwa. Kehausan spiritual, kerohanian dan keagamaan ini nampak jelas pada awal tahun 1970 sehingga saat sejak itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau psuodoagama yang cukup laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah New Religion Movment (NRM). NRM ternyata banyak menimbulkan msalah psikososial sehingga APA (Amaerican Psychiatric Association) membentuk task force untuk melakukan penelitian. Dalam hubungan antara agama da kesehatan jiwa, Cancellaro, Larson, dan Wilson (1982) telah melakukan penelitian terhadap 3 kelompok : 1. Kronik alkoholik 2. Kronik drug addict 3. Skizofrenia Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol dari ketiga kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah riwayat keagamaan mereka. Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa ternyata pada kelompok kontrol

a

lebih konsisten keyakinan agamanya dan pengalamannya,bila dibandingkan dengan ketiga kelompok di atas. Temuan ini menunjukkan bahwa agama dapat berperan sebagai pelindung daripada sebagai penyebab masalah (religion may have actually been protective rather than problem producing). Dalam penelitian juga ditemukan bahwa penyalahguna narkotik minatnya terhadapa agama terhadap agama sangat rendah bahkan boleh dikatakan tidak ada minat sama sekali, bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Minat agama khusunya di usia remaja, disebutkan bahwa jika religius di masa remaja tidak ada atau sangat rendah, maka remmaja ini memiliki resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat/narkotika dan alkohol. Temuan ini sesuai dengan temuan di Indonesia (Hawari, 1997 : 14). Hasil serupa diperoleh dari hasil penelitian Daun dan lavenhar (1980), yang menunjukkan bahwa mereka yang tidak menganut agama dan dalam riwayat tidak pernah mennjalankan ibadah keagamaan di usia remaja, mempunyai risiko tinggi dan tendensi ke arah penyalahgunaan obat/narkotika/alkohol. Selanjutnya dalam studi tersebut dikemukakan bahwa 89% dari alkoholik telah kehilangan minat agama pada usia remaja (during tenage years), sementara di pihak kontrol 48% minat terhadap agama naik. Sedangkan 32% tidak mengalami perubahan. Hilangnya minat agama pada penderita skizofrenia lebih rendah bila dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya. Dibandingakn dengan kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak menjalankan agamanya dan tidak serajin kelompok kontrol. Hasil temuan ini adalah sebagai akibat dari ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran agama pada keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tuhan dogambarkan sebagai sosok yang suka menghukum dan bertindak kasar (73%). Sedangkan pada keluarga dari kelompok kontrol

a

Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan baik hati (70%) (Wilson, Larson, dan Meier). Temuan di atas merupakan tantangan bagi sebagian psikiater yang beranggapan bahwa komitmen agama bagi kesehatan jiwa. Kelompok kontrol yang merupakan kelompok yang tidak mengalami gangguan jiwa ternyata lebih konsisten religiusitasnya daripada kelompok yang menderita gangguan jiwa. H. Penerapan Psikoreligius Terapi di Rumah Sakit Jiwa 1. Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/kolaborasi dengan agamawan atau rahaniawan. 2. Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali sumber koping. 3. Memadukukan milleu therapy yang religius ; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah, bukubuku, musik, misalnya lagu pujian/rohani untuk nasrani. 4. Dalam terapi aktivitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien rehabilitasi. 5. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat kehidupan dunia dan sebagainnya. 6. Sebelum teori Psikoanalisa, para sufi telah mempelopori metoda pengkajian yang mendalam dalam komunikasi yang menyentuh perasaan, menguak konflik-konflik alam bawah sadar pasiennya, mendeteksi was-was, kemarahan, takabbur, kesombongan, ria, dengki, menjadi sabar, wara, zuhud, tawakkal, ridha, syukur, cinta illahi.

a

Psychoreligious Therpy Bagi Klien Ketergantungan NAPZA NAPZA adalah suatu momok menakutkan yang membayang-bayangi dan menghantui serta siap menghancurkan masa depan terutama generasi muda. Bagi pecandu, akibat akhir setelah terlibat NAPZA mudah ditebak.pilihannya adalah kantor polisi, rumah sakit jiwa, kuburan, atau selamat kembali jika ia mau bertobat dan insyaf. Masalah NAPZA sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat dalam penangannya sebenarnya pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi medik, itu yang dituturkan oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam hal ini pendekatan agamalah yang lebih tepat.

Psikoreligius Islami untuk Klien Ketergantungan NAPZA Dalam islami, penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik segi preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara preventif, islami telah melarang dengan tegas yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2); 219 dan Surat al-Imron (3); 90-91 bahwa khamar (arak dan sejenisnya yang merusak fisik dan mental manusia) adalah haram. Dalam khamar terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia, tapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya dan implikasinya selain merusak langsung pada dirinya juga akan menjerumuskan ke dalam permusuhan dan membenci antar sesama. Hah ini sudah terbukti secara nyata dalam masyarakat, akibat NAPZA berupa

tindak

kriminal,

pemerkosaan,

anarkis

sampai

si

psikosis/skizofrenia. Secara kuratif, dalam islam ada berbagai macam cara, di antaranya; a.

Niat dan Mempunyai Motivasi Bertaubat

pemakainya

mengalami

a

Langkah awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi, klien harus mempunyai motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi, artinya klien melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) untuk tidak mengulangi perbuatan dhalim-nya. Sesuai dengan teori motivasi bahwa terjadinya tingkahlaku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh individu. Dorongan/kebutuhan→ motif →rangsangan→ perbuatan→ tujuan Kuatnya motivasi sangat menentukan keberhasilan tujuannya, hal ini dapat dilihat dari: 

Kuatnya kemauan untuk berbuat.



Jumlah waktu yang disediakan.



Kerelaan meninggalkan pekerjaan yang lain.



Kerelaan mengeluarkan biaya.



Ketekunan dalam mengerjakan tugas.

Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari NAPZA, klien harus mempunyai motivasi terlebih dahulu dan diikuti dengan perbuatan diantara diantaranya mandi, shalat, djikir, shaum, dan menjalankan syariat islam yang lainnya.

a

ELECTROCONVULSIVE THERAPY (KEJUT LISTRIK)

Electroconvulsive therapy (ECT) adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall.

Sejarah ECT telah digunakan selama lebih dari 70 tahun, namun tetap salah satu perawatan paling kontroversial yang digunakan dalam psikiatri Meskipun psikiater paling mendukung penggunaannya, tetapi masih banyak orang yang tidak setuju dengan terapi ini.

Pada awal abad ke 16 alat kejut ini telah dipergunakan oleh orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Pada 1785, penggunaan terapi induksi kejang didokumentasikan di London Medical Journal. Terapi kejang diperkenalkan pada tahun 1934 oleh ahli saraf Hungaria Ladislas J. Meduna yang, keliru percaya bahwa skizofrenia dan epilepsi adalah gangguan antagonistic. Dalam waktu tiga tahun terapi kejang Metrazol telah digunakan di seluruh dunia. Pada tahun 1937, pertemuan internasional pertama pada terapi kejang diselenggarakan di Swiss oleh psikiater Muller Swiss. Proses diterbitkan di American Journal of Psychiatry dan, dalam waktu

a

tiga tahun, terapi kejang cardiazol telah digunakan di seluruh dunia. Italia Profesor Neuropsychiatry Ugo Cerletti, yang telah menggunakan kejutan listrik untuk menghasilkan kejang pada hewan percobaan, dan rekannya Lucio Bini mengembangkan ide menggunakan listrik sebagai pengganti Metrazol dalam terapi kejang dan, pada tahun 1937, bereksperimen untuk pertama kali pada seseorang. Sherwin B. Nuland, yang membicarakan masalah dengan seorang pengamat tangan pertama pada 1970-an, memberikan deskripsi berikut hasil penggunaan pertama dari ECT pada seseorang. Pada awal 1940-an, dalam upaya untuk mengurangi gangguan memori dan kebingungan yang berhubungan dengan pengobatan, dua modifikasi yang diperkenalkan yaitu penggunaan penempatan elektroda sepihak dan penggantian arus sinusoidal dengan pulsa singkat. Butuh waktu bertahun-tahun untuk singkat-pulsa peralatan untuk diadopsi secara luas. Beberapa waktu ECT tidak di gunakan psikiater. Pada 1940-an dan awal 1950-an ECT biasanya diberikan dalam bentuk "dimodifikasi", tanpa relaksan otot, dan penyitaan yang menghasilkan kejang skala penuh. Sebuah komplikasi yang jarang tetapi serius dari ECT tidak dimodifikasi adalah fraktur atau dislokasi tulang panjang. Pada tahun 1940-an psikiater mulai bereksperimen dengan curare, racun Selatan melumpuhkan otot-Amerika, dalam rangka memodifikasi kejang. Pengenalan suxamethonium (succinylcholine), sintetis alternatif yang lebih aman untuk curare, pada tahun 1951 menyebabkan penggunaan lebih luas dari ECT "dimodifikasi". Bius short-acting biasanya diberikan di samping relaksan otot dalam rangka luang pasien rasa sesak napas mengerikan yang dapat dialami dengan relaksan otot. Pertumbuhan stabil penggunaan anti depresan bersama dengan penggambaran negatif ECT di media massa menyebabkan penurunan ditandai dalam penggunaan ECT selama tahun 1950 hingga 1970-an. The Surgeon General menyatakan ada masalah dengan terapi kejut listrik di tahun-tahun awal sebelum anestesi secara rutin diberikan dan, sekarang praktek-praktek kuno berkontribusi penggambaran negatif ECT di media populer. The New York Times menggambarkan persepsi negatif publik terhadap ECT sebagai terutama disebabkan oleh satu film,”For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo's Nest “ Pada tahun 1976, Dr Blatchley menunjukkan efektivitas arus konstan ECT nya, perangkat pulsa singkat. Perangkat ini akhirnya digantikan perangkat sebelumnya karena pengurangan efek

a

samping kognitif, meskipun beberapa klinik ECT di AS masih menggunakan perangkat sinusgelombang Tahun 1970-an melihat publikasi dari Psikiatri pertama tugas laporan Asosiasi Amerika berlaku pada terapi electroconvulsive (yang harus diikuti oleh laporan lebih lanjut pada tahun 1990 dan 2001). Laporan ini mendukung penggunaan ECT dalam pengobatan depresi. dekade juga melihat kritik dari ECT. Khusus kritikus menunjuk kekurangan seperti dicatat efek samping, prosedur yang digunakan sebagai bentuk pelecehan, dan aplikasi tidak merata ECT. Penggunaan ECT menurun sampai tahun 1980-an, "ketika digunakan mulai meningkat di tengah meningkatnya kesadaran akan manfaat dan efektivitas biaya untuk mengobati depresi berat". Pada tahun 1985 Institut Kesehatan Mental Nasional dan National Institutes of Health mengadakan konferensi pengembangan konsensus tentang ECT dan menyimpulkan bahwa, ECT sementara adalah pengobatan yang paling kontroversial di psikiatri dan memiliki efek samping yang signifikan, itu telah terbukti efektif untuk berbagai sempit gangguan kejiwaan parah. Karena reaksi yang telah dijelaskan sebelumnya, lembaga-lembaga nasional ditinjau praktek-

praktek masa lalu dan standar baru ditetapkan. Pada tahun 1978, The American Psychiatric Association merilis laporan tugas pertama berlaku di mana standar baru untuk persetujuan diperkenalkan dan penggunaan penempatan elektroda sepihak direkomendasikan. Tahun 1985 NIMH Konsensus Konferensi menegaskan peran terapi ECT dalam keadaan tertentu. Asosiasi Psikiater Amerika merilis laporan tugas kedua berlaku pada tahun 1990 di mana rincian khusus mengenai pengiriman, pendidikan, dan pelatihan ECT didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001 Asosiasi Psikiater Amerika merilis laporan tugas terbaru gaya. Laporan ini menekankan pentingnya informed consent, dan peran diperluas bahwa prosedur telah dalam kedokteran modern.

a

Indikasi Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid, dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12x terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu 10-20x terapi secara rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.

Kontraindikasi dan komplikasi ECT merupakan prosedur yang hanya digunakan pada keadaan yang direkomendasikan. Sedangkan kontraindikasi dan komplikasi dari tindakan ECT, adalah sebagai berikut: a. Kontraindikasi 1. Peningkatan tekanan intra kranial (karena tumor otak, infeksi SSP). 2. Keguguran pada kehamilan, gangguan sistem muskuloskeletal (osteoartritis berat, osteoporosis, fraktur karena kejang grandmal). 3. Gangguan kardiovaskuler: infark miokardium, angina, hipertensi, aritmia dan aneurisma. 4. Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial. 5. Keadaan lemah. b. Komplikasi 1. Luksasio dan dislokasi sendi 2. Fraktur vetebra 3. Robekan otot rahang 4. Apnoe 5. Sakit kepala, mual dan nyeri otot

a

6. Amnesia 7. Bingung, agresif, distruktif 8. Demensia

Peran Perawat Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.

Persiapan Alat Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut: 1. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer) 2. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain 3. Kain kasa 4. Cairan Nacl secukupnya 5. Spuit disposibel 6. Obat SA injeksi 1 ampul 7. Tensimeter 8. Stetoskop 9. Slim suiger 10. Set konvulsator Persiapan klien 1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan. 2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT 3. Siapkan surat persetujuan 4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT

a

5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai klien 6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi 7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT 8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik. 9. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal. Pelaksanaan. 1. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala. 2. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk menghasilkan koma ringan. 3. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang umum. 4. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode menempel. 5. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira Nacl. 6. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit 7. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi kain 8. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang 9. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas

a

10. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan kuat). 11. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma 12. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger 13. Kepala dimiringkan 14. Observasi sampai klien sadar 15. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

Setelah ECT a) Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil b) Jaga keamanan c) Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

a

DAFTAR PUSTAKA Akisay. 2011. Electroconvulsive Therapy – Kejut Listrik. (online) (http://akisay.blogspot.com/2011/03/electroconvulsive-therapy-kejut-listrik.html) diunduh tanggal 16 Maret 2013 Hamid, S Achiryani.1999. Aspek Spiritual dalam Keperawatan.Jakarta: Widya Medika Hawari, Dadang. 2006. Aborsi Dimensi Psikoreligi. Jakarta: FKUI Purwaningsih, Wahyu, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta : Nuha Medika press, Rianta salim. 2010. Trend Keperawatan Dengan Terapi. (online) (http://riantasalim.blogspot.com/2010/04/trend-keperawatan-dengan-terapi.html)

diunduh

tanggal 16 Maret 2013 Riri. 2012.keperawatan jiwa terapi lingkungan. (online) (http://ryrilumoet.blogspot.com/2012/06/keperawatan-jiwa-terapi-lingkungan.html) diunduh tanggal 16 Maret 2013 Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto.2009.Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Graha ilmu Stuart, G. W, and Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC, 1998.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF