teori

November 19, 2017 | Author: Falizar Rivani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download teori...

Description

BAB II SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS Oleh Dr. ARIFIN, M.Si. A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis adalah menyangkut tentang: (a) fenomena

sosial-budaya dalam perspektif teori

sistem; (b) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fungsional struktural dan neofungsional; (c) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori konflik dan neo-Marxian; (d) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori interaksionis simbolik; (e) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fenomenologi; (f) sistem sosial budaya dalam perspektif teori posmodern; (g) sistem sosial budaya dalam perspektif teori integrasi; dan (h) kesimpulan. Sedangkan

tujuan

pembahasan

tentang

sistem

sosial-budaya

dalam

perspektif teoritis, antara lain: (1) diharapkan para mahasiswa, khususnya program studi ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana tentang fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori sistem; Teori fungsional struktural dan neofungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi; (2) diharapkan para peneliti atau peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep dasar tentang fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori sistem; Teori fungsional struktural dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi,

untuk kemudian dapat

dijadikan sebagai theoritical orientation dalam melakukan analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (3) setelah memahami konsep-konsep dasar tentang teori-teori tersebut, diharapkan para mahasiswa, peneliti dan peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih lanjut pada referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan. B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem Pada bab I telah diuraikan tentang konsep ’aktifitas sosial dan kebudayaan sebagai suatu sistem’. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami aktifitas kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan integratif atau memandang bahwa aktifitas sosial-budaya merupakan suatu sistem, karena antar unsur-unsur sosial dan unsur-unsur kebudayaan dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya adalah saling mempengaruhi’, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) dalam realitas hidup sehari-hari, antar unsur-unsur sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (2) dalam praktik-praktik sosial sehari-hari

29

masing-masing unsur sosial-budaya saling berhubungan secara timbal balik; (3) perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya akan mempengaruhi perubahan pada unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (4) pada hakikatnya pola perilaku sosial atau budaya sehari-hari untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup selalu menampilkan keterpaduan antar unsur-unsur sosial dan budaya (Koentjaraningrat, 1981; Soemardjan, S., 1981; Soekanto, S dan Ratih, L. 1988). Orientasi filosofis dari teori sistem sebenarnya adalah mengacu pada aliran positivisme yang dikembangkan oleh bapak sosiologi dunia August Comte. Comte dikenal sebagai pencetus nama atau istilah sosiologi untuk studi ilmu masyarakat (Abraham, F.M. 1982; Wibisono, K., 1983). Sosiolog Graham C. Kinloch (2005) menyimpulkan beberapa asumsi pokok dari pandangan Comte tentang fenomena kehidupan sosial, antara lain: Pertama, bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak terlihat (invisible natural), sejalan dengan proses evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang berkembang dan dominan berlaku di masyarakat. Kedua, bahwa proses evolusi itu terjadi melalui tiga tahap perkembangan, yaitu: (a) tahapan teologis, yaitu tahapan alam pikiran dan tindakan manusia yang selalu mencari akar sebab-sebab terjadinya sesuatu dari aspek supranatural (kekuatan gaib/ Tuhan); (b) tahapan metafisis, yaitu tahapan alam pikiran abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan dan dilihat sebagai penyebab (kausal). Pada tahapan ini, alam pikiran manusia sudah mulai kitis tentang fenomena hidup, tetapi masih belum bisa melepas ikatan magis atau teologisnya; dan (c) tahapan positivistik, yaitu tahapan alam pikiran manusia rasional, atau tahapan positif/ ilmiah, dan sudah lepas dari ikatan magis. Tahap ini merupakan puncak evolusi kehidupan manusia, karena pada tahap ini terjadi puncak perkembangan ilmu pengetahuan (Wibisono, K., 1983). Ketiga, bahwa sistem sosial sebagai suatu kesatuan berkembang melalui tiga tahap tersebut, dan puncaknya adalah tahap ke tiga (tahap positif). Tugas sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan positif adalah mengkaji dan memahami sistem sosial tersebut secara integral, agar mampu memberi kontribusi terhadap pemecahan masalah-masalah sosial; Keempat, bahwa sistem sosial terbagi menjadi dua hal, yaitu: (a) statistik sosial (social static), yaitu menyangkut sifat-sifat manusia dan masyarakat, serta hukum-hukum (nilai-nilai) yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial; dan (b) dinamika sosial (social dynamic), yaitu menyangkut hukum-hukum perubahan sosial (Rossides, 1978; Surbakti, R., 1997a). Kelima, bahwa yang mendasari sistem itu adalah naluri kemanusiaan yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu: (a) naluri-naluri pelestarian (instincts of preservation) dalam hidup; (b) naluri-naluri perbaikan (instincts of improvement) dalam

30

hidup; dan (c) naluri sosial, misalnya kasih sayang, pemujaan dan cinta semesta. Jadi, menurut Comte, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada seperangkat nilai sosial tertentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri kemanusiaan.

Struktur-struktur

sosial

sebagai

satu

kesatuan

(sistem)

yang

berkembang melalui tiga tahapan utama (teologis, metafisis, dan positivistis). Pembahasan tentang teori sistem dalam mencermati fenomena sosial banyak dibahas dalam studi sosiologi. Ilmuwan sosial Jerman yang berjasa dalam melahirkan teori sistem adalah Nilas Luhmann, sedangkan ilmuwan sosial yang berjasa dalam mengembangkan atau mempopulerkan teori sistem adalah Kenneth Bailey dan Walter Buckley (Ritzer dan Goodman, 2003). Berikut ini akan dijelaskan sembilan konsep penting pandangan ‘teori sistem’ yang dikemukakan oleh para ahli (pendukung teori sistem) dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat. Pertama, teori sistem asal usulnya adalah dimunculkan atau diilhami dari ilmuilmu pasti (hard sciences) atau ilmu-ilmu alam (natural sciences). Jadi, menurut teori sistem, setiap peneliti yang ingin memahami fenomena sosial-budaya yang berkembang di masyarakat, logika berpikirnya atau metode dan pendekatan yang dipakai adalah sama seperti dalam memahami fenomena ilmu-ilmu alam (ilmu pasti). Oleh karena itu teori sistem oleh para teoritisi dikelompokkan pada teori yang berorientasi pada pandangan atau paham positivisme (Ritzer, ed. 2001). Dalam pandangan Tacott Parsons, bahwa kehidupan organisme (kehidupan biologis) merupakan contoh suatu sistem, dan kehidupan sosial juga dapat diibaratkan seperti suatu kehidupan organisme. Pada tingkat macro (besar), misalnya, masyarakat dunia (kemanusiaan) dapat dipandang sebagai sebuah sistem (terdiri dari beberapa negara, ras, dan prinsip/ hukum hak asasi manusia, dan sebagainya), pada tingkat mezo (menengah), misalnya, negara (state) atau bangsa (nation) dapat dipandang sebagai sebuah sistem, demikian juga pada tingkat micro (kecil), misalnya: satuan keluarga, satuan pendidikan, satuan perusahaan, ikatan pertemanan, dan segmen-segmen tertentu dapat dipandang sebagai sebuah sistem (Johnson, D.P. 1981). Kedua, pendekatan teori sistem adalah memandang bahwa semua aspek atau unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya) adalah dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi. Oleh karena itu teori sistem secara inheren bersifat integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosialbudaya tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back). Dinamika sosial-budaya yang terjadi di masyarakat akan mengarah pada terwujudnya keserasian fungsi antar unsur-unsur sosial-budaya dalam kehidupan kelompok (social and cultural integrations). Unsur-unsur sosial dalam kehidupan kelompok merupakan subsistem dari sistem dalam kelompok, demikian juga unsur-unsur budaya

31

merupakan subsistem budaya dalam kehidupan di masyarakat, masing-masing subsistem tersebut bersifat integratif (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Harper, C.L. 1989; Bachtiar, W. 2006). Ketiga, teori sistem dalam memandang tentang ‘perubahan sosial’ adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan. Perubahan adakalanya hanya terjadi sebagian (pada subsistem) dan tidak menimbulkan akibat besar terhadap unsur-unsur lain dalam sistem. Kehidupan kelompok (macro, mezo atau micro) sebagai suatu sistem sifatnya sangat kompleks, tidak hanya berdimensi tunggal, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa komponen, antara lain: (a) unsur pokok, misalnya: individu, tindakan individu; (b) hubungan antar unsur, misalnya: nilai-norma, status-peran, solidaritas, interaksi; (c) berfungsinya

unsur

dalam

sistem,

misalnya,

pelaksanaan

peranan

individu

berdasarkan nilai-norma; (d) pemeliharaan batas, misalnya: persyaratan menjadi anggota kelompok, kriteria menjadi anggota sistem dan sebagainya; (e) subsistem, misalnya: segmen, divisi khusus, jenis seksi; dan (f) lingkungan, misalnya, keadaan alam, kondisi geopolitik. Menurut teori sistem, ada beberapa kemungkinan terjadinya perubahan sosial dalam suatu kelompok, antara lain: (a) perubahan komposisi anggota kelompok, misalnya, bertambah/ berkurangnya anggota; (b) perubahan struktur, misalnya: terjadi ketimpangan atau konflik, pergantian kekuasaan, hubungan kompetitif; (c) perubahan fungsi, misalnya, adanya spesialisasi jenis peran-peran dalam kelompok; (d) perubahan batas, misalnya: penggabungan antar subsistem, longgarnya syarat/ kriteria anggota; (e) perubahan hubungan antar subsistem, misalnya, munculnya dominasi aspek politik pada aspek ekonomi; dan (f) perubahan lingkungan, misalnya, bencana alam atau rusaknya lingkungan (ekologi) (Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P. 1993). Keempat, Menurut Buckley, bahwa sifat atau bentuk hubungan sistem dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) hubungan ‘sistem mekanik’, cirinya antara lain: (a) bersifat langsung dan otomatis atau ‘transfer energi’; (b) lebih bersifat tertutup; dan (c) cenderung bersifat entropik; (2) hubungan ‘sistem organik’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek dalam sistem tersebut sudah lebih menekankan aspek pertukaran informasi daripada aspek pertukaran energi; (b) lebih terbuka daripada sistem mekanik; dan (c) cenderung bersifat negentropik; dan (3) hubungan ‘sistem sosiokultural’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek atau unsur dalam sistem tersebut adalah lebih menekankan pada pertukaran informasi; (b) sifatnya paling terbuka; (c) cenderung lebih banyak terjadi ketegangan dalam sistem, apabila dibandingkan pada sistem mekanik dan sistem organik; dan (d) bersifat purposif dan

32

mengejar tujuan karena sistem ini menerima umpan balik (feed back) dari lingkungan yang menyebabkan mereka terus bisa berubah untuk meraih tujuan. Kelima, ada perbedaan teori sistem yang dikembangkan Buckley dengan teori sistem yang dikembangkan Parsons, antara lain: (1) menurut Buckley, faktor ‘umpan balik’ (feed back) adalah aspek yang esensial (mendasar) dalam ‘sistem sosiokultural’ atau pendekatan sibernetik (cybernetic), sedangkan menurut Parsons, faktor menjaga atau terwujudnya ‘keseimbangan’ (equilibrium) unsur-unsur dalam sistem adalah aspek yang esensial dalam memahami ‘teori sistem’; dan (2) Buckley, memandang peran subjek atau individu ikut mewarnai ‘sistem sosiokultural’, karena kesadaran (jiwa) individu tidak terpisahkan dari tindakan dan interaksi, atau antara ‘kesadaran’ dan ‘tindakan’ serta ‘interaksi’ bersifat integratif,

sedangkan menurut Parsons

kesadaran (jiwa) individu tidak menentukan tindakan dan interaksi sosial, yang menentukan struktur, atau struktur yang menentukan tindakan atau interaksi sosial seseorang (Abraham, F.M. 1982; Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Jadi, bagi Buckley, faktor internal (subjek) seseorang menentukan struktur dalam sistem, sedangkan bagi Parsons, faktor eksternal (struktur dari sistem) menentukan seseorang (subjek). Keenam, beberapa prinsip

atau konsep dasar ‘teori sistem sosiokultural’

Buckley adalah: (1) teoritisi sistem menerima ide bahwa ‘ketegangan’ dalam sistem adalah sesuatu yang normal, selalu hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan dalam sistem sosial; (2) penekanan pada ketegangan dan variasi aktivitas dalam sistem membuat perspektif sistem sosial menjadi dinamis; (3) proses sosial didalam sistem sosial selalu terjadi ‘proses seleksi’ secara terbuka terhadap kemampuan individu atau antar individu, sehingga proses sosial dalam sistem lebih dinamis. Jadi, faktor kualitas individu atau kualitas internal individu menentukan proses sosial; (4) level interpersonal merupakan dasar pengembangan dari struktur yang lebih luas. Demikian juga proses transaksional dalam interpersonal, yang berupa pertukaran, negoisasi, dan tawar menawar (bargaining) adalah proses-proses yang melahirkan truktur sosial dan kultural yang lebih stabil; dan (5) melalui transaksi dan bargaining yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan penyesuaian dan akomodasi yang relatif stabil (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Sedangkan menurut Parsons, setiap sistem mempunyai empat ‘fungsi memaksa’, artinya, setiap sistem harus menghadapi

dan

harus

berhasil

menyelesaikan

masalah-masalah:

adaptasi,

pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola yang tersembunyi. Keempat fungsi memaksa tersebut diterapkan pada sistem tindakan, baik yang bersifat alamiah, kultur, kepribadian dan masyarakat (Hamilton, P. ,ed., 1990).

33

Ketujuh,

teoritisi

sistem

dalam

studi

sosiologi

yang

mencoba

mengkombinasikan antara teori fungsional struktural Parsons dengan teori sistem umum adalah Luhmann. Kritik Luhmann terhadap pandangan Parsons adalah: (1) pendekatan Parsons tidak memberikan tempat untuk ‘referensi diri’ (self reference), sedangkan menurut Luhmann ‘kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuh sistem’; dan (2) pendekatan Parsons tentang skema AGIL tidak memberi kemungkinan (contingency) adanya faktor-faktor lain yang ikut menentukan dalam suatu sistem sosial, sedangkan menurut Luhmann, bahwa segala sesuatu mungkin bisa memberikan pengaruh yang berbeda. Jadi, faktor eksternal (lingkungan fisik dan struktur sosial) bukan satusatunya faktor yang menentukan gerak sistem, tetapi juga faktor internal (jiwa, motivasi, mentalitas) individu sebagai warga kelompok juga ikut menentukan gerak sistem (Hamilton, P. ,ed. 1990). kompleks

daripada

‘lingkungan’,

Menurut Luhmann, suatu ‘sistem’ selalu kurang namun

sistem

mengembangkan

subsistem-

subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antar subsistem untuk mengatasi lingkungan secara efektif (Ritzer, ed, 2001). Kedelapan, Luhmann mengembangkan teori sistem dengan istilah ‘sistemsistem autopoietic’, beberapa karakteristik ‘sistem-sistem autopoietic’ Luhmann antara lain: (a) sebuah sistem autopoietic’ menghasilkan elemen-elemen dasar, misalnya sistem ekonomi modern menghasilkan elemen dasar ‘uang’; (b) sistem autopoietic’ mengorganisasikan diri (self organizing) dalam dua cara, yaitu mengorganisasi diri dengan membuat batas-batas diri dan mengorganisasikan struktur internalnya, misalnya sistem ekonomi dengan menetapkan harga barang tertentu atau peraturan tertentu; (c) sistem autopoietic’ adalah self referential, misalnya sistem ekonomi menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri; dan (d) sebuah sistem autopoietic’ adalah sistem tertutup, artinya tidak ada kaitan antara sistem dengan lingkungan. Jadi, menurut Luhmann, ‘bahwa masyarakat adalah sistem autopoietic’, dimana masyarakat adalah: (a) menghasilkan elemen-elemen dasarnya, (b) membangun struktur dan batas-batasnya sendiri; (c) self reference; dan (d) tertutup’. Elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’, dan komunikasi dihasilkan oleh masyarakat. Individu mempunyai makna atau relevansi dengan masyarakat apabila individu tersebut dapat berkomunikasi secara efektif dalam proses interaksi sosial di masyarakat. Menurut Luhmann, ada perbedaan antara

konsep ‘sistem

psikis’ dengan ‘sistem sosial’, yaitu: ‘sistem psikis’ adalah kesadaran individu, dan elemen-elemen dari ‘sistem psikis adalah representasi konseptual, sedangkan ‘sistem sosial’ adalah ‘makna (meaning) sosial/kolektif’, dan elemen-elemen dari ‘sistem

34

sosial’ adalah

komunikasi (communication) . Jadi, dalam sistem psikis, makna

dikaitkan dengan kesadaran, sedangkan dalam sistem sosial makna dikaitkan dengan komunikasi. Baik sistem psikis maupun sistem sosial adalah berevolusi secara bersama-sama. Menurut Luhmann, dalam sistem sosial terdapat ’differensiasi’, dan dalam masyarakat modern proses differensiasi dalam sistem semakin kompleks, yang sering disebut ’differensiasi sistem fungsional’. Differensiasi adalah ’replika keberagaman dalam sistem’. Dalam sistem yang differensial terdapat dua lingkungan yaitu: lingkungan internal (pola yang khas didalam sub sistem), dan lingkungan eksternal (pola yang khas antar sub sistem). Ada beberapa bentuk differensial dalam sistem menurut Luhmann, yaitu: (a) differensial segmentasi, yaitu keberagaman dalam membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan jenis kebutuhan hidup; (b) differensiasi stratifikasi, yaitu keberagaman dalam sistem karena perbedaan status secara hirarkhis (vertikal); (c) differensiasi pusat-pinggiran, yaitu keberagaman dalam sistem yang didasarkan pada pembagian pusat (center) dan pinggiran (periphery); dan (d) differensiasi sistem fungsional, yaitu differensiasi yang paling kompleks yang banyak terjadi pada masyarakat modern, dan lebih bersifat fleksibel daripada differensiasi lainnya. Dalam differensiasi sistem fungsional, apabila terjadi perubahan pada sub-sistem akan begitu cepat mempengaruhi sub-sistem lainnya (Ritzer dan Goodman (2003). Kesembilan, kritik terhadap

teoritikus Ritzer dan Goodman (2003) memberikan beberapa

teori sistem Luhmann, antara lain: (1) Luhmann,

melihat bahwa

keharusan perkembangan evolosioner sesungguhnya adalah regresif dan tidak mesti (unnecessary), hal ini tentu banyak bertentangan dengan realitas

sosial di

masyarakat yang terus berkembang (dinamik) dan terbuka (tidak tertutup seperti pandangan Luhmann); (2) Luhmann, melihat bahwa differensiasi adalah ’kunci’ untuk mendiskripsikan perkembangan (evolusi) masyarakat dan meningkatnya kompleksitas sistem sosial dalam menghadapi lingkungannya. Dalam realitas sosial di masyarakat tidak hanya faktor differensiasi yang menjadi kunci penyebab terjadinya perubahan evolusi di masyarakat, tetapi masih ada dua faktor lain yang ikut menentukan yaitu: de-differensiasi (proses memudarnya atau pembubaran batas-batas antar sub sistem sosial); dan interpenetrasi (proses pembentukan institusi untuk memperkuat hubungan sistem); (3) teori sistem Luhmann cenderung melihat proses-proses dalam sistem adalah antievolusioner, karena evolusi didefinisikan sebagai peningkatan differensiasi. Tampaknya teori sistem Luhmann terbatas kemampuannya untuk mendeskripsikan relasi antar subsistem dalam sistem sosial. Tidak semua sistem tampak tertutup dan otonom seperti yang diasumsikan Luhmann. Meskipun teori sistem Luhman ada

35

kelemahannya, namun konsep-konsep dasar dari teori sistem tersebut banyak sumbangannya dalam proses analisis fenomena sosial budaya di masyarakat. Beberapa konsep pandangan teori sistem tentang fenomena sosial, yang telah diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem, memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial itu berkembang sesuai dengan beragam kebutuhan yang mendasarinya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kebutuhan ekonomi; (3) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berdasarkan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; (4) memandang bahwa masyarakat diatur oleh hukumhukum alam, dan unsur-unsur dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh serta berkembang terus melalui tahapan-tahapan untuk menuju masyarakat yang lebih positif dan industri; dan (5) bentuk perubahan sosial-budaya yang terjadi di masyarakat adalah berlangsung secara evolusi. C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural dan NeoFungsional Struktural Perspektif teori fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial budaya telah dikaji oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Diantara para pendekar teori fungsional struktural dari disiplin antropologi antara lain: R. Brown, Malinowski, E. Durkheim, dan C. Kluckohn. Sedangkan para pendekar teori fungsional struktural dari disiplin sosiologi antara lain: Pitirim Sorokin, Talcott Parsons, Roebert K. Merton, dan Jeffrey C. Alexander (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W. 2006). Kajian berikut ini akan lebih menekankan pada pandangan para teoritisi sosiologi tentang teori fungsional struktural, sedangkan pandangan para antropolog tentang teori fungsional struktural tidak dibahas, hal ini bukan berarti pandangan para sosiolog berada pada posisi lebih penting atau lebih baik dari pandangan para antropolog. Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural adalah satu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20’. Meski hegeomoni teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang Dunia II, pada era akhir abad 20 teori teori fungsional struktural mulai dikritik para ilmuwan sosial. Menurut Demerath dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional struktural masih perlu dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini akhirnya muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan Goodman, 2004). Kajian berikut tentang teori fungsional struktural, lebih difokuskan pada lima permasalahan, antara lain: (1) Bagaimana pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin dan George Homans dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (2) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (3) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton

36

dalam memahami fenomena sosial-budaya?; dan (4) Bagaimana pandangan Neofungsionalisme Jeffey C. Alexander dalam memahami fenomena sosial-budaya?;

1. Pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin dan George Homans dalam memahami fenomena sosial-budaya Menurut para ahli, makna fungsional dalam kontek kehidupan sosial-budaya, adalah ‘unsur-unsur sosial atau unsur-unsur budaya dalam suatu kehidupan kolektif saling berkontribusi, atau saling memberi pengaruh positif antar unsur untuk mewujudkan kehidupan kolektif yang integratif’. Oleh karena itu apabila unsur-unsur sosial atau unsur-unsur budaya tersebut dalam proses-proses sosial kolektif tidak saling memberikan pengaruh positif disebut ‘disfungsional’. Dalam pandangan para ahli teori fungsional, setiap kehidupan sosial dan kebudayaan mempunyai unsurunsur, dan masing-masing unsur tersebut cenderung untuk saling kait-mengkait untuk menuju kearah keserasian fungsi dalam sebuah sistem, apabila keserasian fungsi antar unsur dalam suatu sistem tidak terjalin dengan baik, kehidupan kelompok tersebut mengalami konflik dan akan menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial-budaya (Abraham, M.F, 1982; Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Teori fungsionalis mempunyai pola atau kerangka berpikir yang sama dalam memahami fenomena sosial-budaya dengan teori organisme, bahkan ada sebagian ahli mengatakan, bahwa asumsi-asumsi teori fungsionalis tentang kehidupan sosialbudaya di masyarakat adalah bersumber pada pandangan teori organisme Toynbee, Sorokin dan Spengler, juga bersumber pada teori psikologi Gestalt (Bachtiar, W., 2006). Para ilmuwan sosial yang mendukung asumsi-asumsi teori fungsionalis antara lain: A. Toynbee; Pitirim Sorokin; Spengler; Benedict; Florian Znanieeki; R. Brown; Malinowski. George Homans. Pada pembahasan berikut ini, hanya menguraikan beberapa pokok pikiran teori fungsionalis dari Pitirim Sorokin dan George Homans, tujuan dipilihnya dua teoritikus tersebut adalah karena pandangan kedua teoritikus tersebut cukup besar dalam perkembangan teori yang berparadigma fungsional, dan diharapkan para pembaca secara mandiri lebih terdorong untuk lebih memperdalam pandangan-pandangan teoritikus A. Toynbee; Spengler; Benedict; Florian Znanieeki; R. Brown; dan Malinowski. Pandangan Pitirim Sorokin tentang fenomena sosial Pandangan Sorokin tentang ‘hakikat realitas sosial’ (pokok-pokok persoalan sosiologi) mempunyai kesamaan dengan pandangan Comte. Diantara sisi kesamaan pandangan Comte dengan Sorokin, antara lain: (a) keduanya memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis budaya; dan (b) keduanya menekankan betapa pentingnya peran ilmu pengetahuan (rasionalis) dalam memahami dunia dan segala bentuk pola organisasi sosial serta perilaku manusia.

37

Sedangkan perbedaan pandangan antara Comte dengan Sorokin, antara lain: (a) Comte mengusulkan proses perubahan sosial-budaya bersifat linear yang mengarah pada terbentuknya masyarakat positif, sedangkan Sorokin mengusulkan proses perubahan sosial-budaya bersifat siklus (tahap sejarah cenderung berulang); dan (b) Comte, dalam menilai kebenaran suatu fenomena hidup lebih menekankan pada aspek rasional (kebenaran inderawi), sedangkan Sorokin, menilai bahwa dalam menentukan kebenaran suatu fenomena tidak cukup hanya dari sudut kebenaran inderawi, tetapi juga dari sudut akal budi, dan intuisi atau kepercayaan (Johnson, D.P, 1986). Beberapa pokok pikiran Sosiolog Pitirim Sorokin (lahir di Rusia, 1889) tentang fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, tentang integrasi sosial-budaya. Menurut Sorokin, bahwa kunci dalam memahami realitas sosial-budaya di masyarakat adalah harus memahami arti nilai, norma dan simbol yang berkembang di masyarakat. Dalam budaya terdapat unsur-unsur yang saling terkait, atau saling memberi kontribusi fungsional, atau saling bergantung (terintegrasi). Terwujudnya tingkat integrasi yang tinggi pada sistem sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat adalah apabila terdapat seperangkat ‘norma hukum’ yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku (pola perilaku) di masyarakat, atau dengan kata lain, bahwa tingkat budaya integrasi yang penuh arti logis (logico meaningfull) merupakan dasar terbentuknya integrasi sosial-budaya yang paling tinggi di masyarakat (Rossides, 1978). Kedua, tentang perubahan sosial-budaya, bahwa pola perubahan sosialbudaya bersifat siklus (berulang), tetapi pengulangan itu menunjukkan pola-pola yang berubah (tidak tetap), atau sering disebut ‘berulang-berubah’ (varyingly recurrent). Sedangkan aspek budaya yang terulang adalah tema-tema budaya dasar.

Dalam

memahami

tentang

pola

perubahan

sosial-budaya,

perlu

menggunakan pendekatan ‘integralis’. Kebenaran realitas empirik atau data empirik tidak hanya ditentukan oleh satu kebenaran inderawi (seperti pandangan positivisme Comte), tetapi kebenaran itu harus bisa terbuktikan secara integralis dari tiga aspek, yaitu kebenaran inderawi, kebenaran akal budi dan kebenaran kepercayaan atau intuisi. Bagi Sorokin, suatu epistemologi yang komprehensif harus mengakui bahwa kenyataan (realitas) sosial-budaya adalah bersifat ‘multidimensional’ dan dapat ditangkap sebagiannya oleh inderawi, sebagiannya oleh akal budi dan sebagaiannya oleh kepercayaan atau intuisi. Ketiga, tentang tipe-tipe mentalitas budaya. Sorokin menyebutkan ada tiga tipe mentalitas budaya (disebut ketiga supersistem sosio-budaya), dan beberapa tipe kecil yang merupakan bagian dari tiga tipe mentalitas budaya tersebut, yaitu: (1)

38

tipe kebudayaan ideasional. Tipe ini mempunyai asumsi bahwa realitas (kenyataan akhir) bersifat nonmateri, transenden, tidak bisa ditangkap oleh indera. Dunia ini tergantung pada Tuhan (transenden). Tipe kebudayaan ideasional, dibagi menjadi dua, yaitu: (a) kebudayan ideasional asketik, yaitu mentalitas yang menunjukkan ikatan yang kuat pada prinsip ‘manusia harus mengurangi kebutuhan material agar bisa lebih dekat pada dunia transenden’; dan (b) kebudayaan ideasional aktif, yaitu mengurangi kebutuhan inderawi, tetapi berusaha mengubah dunia material supaya selaras dengan dunia transenden; (2) kebudayaan inderawi (sensate culture), yaitu dunia materi merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Kebudayaan ini dibagi dua, yaitu: (a) kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong manusia untuk aktif/ sebanyak mungkin meraih pemenuhan kebutuhan materi/ kepuasan materi. Mental ini mendorong pertumbuhan iptek; (b) kebudyaan inderawi pasif. Kebudayaan ini menghasilkan hasrat yang berlebihan (memuja nafsu) atau budaya hedonisme; dan (c) kebudayaan inderawi sinis, yaitu memunculkan budaya munafik (hipokrit); dan (3) kebudayaan campuran, yang terdiri dari dua tipe, yaitu: (a) kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan yang merupakan campuran dari mentalitas ideasional

(transenden)

dan

inderawi

(material)

secara

seimbang.

Antara

transenden dan material saling mengisi/ berhubungan/ terintegrasi; (b) kebudayaan ideasional tiruan (pseudo ideational culture), artinya antara transenden dan material tidak terintegrasi tetapi saling berdampingan (Rossides, 1978; Johnson, D.P, 1986). Keempat, tentang unsur budaya. Setiap kebudayaan hakikatnya mempunyai dasar-dasar budaya (unsur-unsur budaya), antara lain: (a) bahasa; (b) filsafat; (c) kepercayaan/ agama;

(d) etika; (e) hukum; (f) politik; (g) ekonomi; (h) seni; (i)

teknologi. Masing-masing dasar-dasar budaya tersebut saling kait mengkait dalam suatu kesatuan, yang disebut ‘supersistem budaya’. Menurut Sorokin, setiap kehidupan kelompok tidak akan bisa lepas dari nilai-budaya yang berkembang dalam kelompok, nilai-budaya tersebut berfungsi sebagai ikatan para anggota kelompok dalam mewujudkan integrasi kelompok (Rossides, 1978). Kelima, tentang bentuk mobilitas sosial (social mobility). Dalam kehidupan masyarakat selalu terjadi mobilitas sosial. Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Ada dua bentuk mobilitas sosial, yaitu: (1) mobilitas vertikal, yaitu perpindahan status sosial yang dialami seseorang atau kelompok orang pada lapisan sosial yang berbeda. Mobilitas sosial ertikal, dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) social climbing (perpindahan status naik), bisa berbentuk lapisan sosial seseorang atau kelompok naik lebih tinggi. Sedangkan penyebabnya, adalah: terjadinya peningkatan kualitas ketrampilan, keahlian atau prestasi karyanya, dan

39

adanya kekosongan kedudukan (alih generasi dalam jabatan); (b) social sinking (perpindahan status turun), bisa berbentuk status sosial seseorang turun, dan tidak dihargainya lagi kedudukan tertentu sebagai lapisan elit (misalnya jabatan direktur perusahaan yang bangkrut). Sedangkan penyebab social sinking adalah seseorang melakukan tindak pidana, dan sesorang memasuki masa purna tugas; (2) mobilitas horisontal, yaitu perpindahan status sosial seseorang atau kelompok orang dalam lapisan sosial yang sama (Surbakti, R., 1997a). Meskipun sumbangsih pemikiran Sorokin dalam khasanah teori sosiologi cukup besar, ada beberapa titik kelemahan pandangan Sorokin, antara lain: (a) Sorokin terlalu menggeneralisasikan dan menyederhanakan fenomena sosialbudaya di setiap masyarakat, padahal fenomena sosial-budaya sangat kompleks dan unik, atau fenomena sosial-budaya banyak dipengaruhi oleh kondisi time and space); dan (b) analisis Sorokin mengenai kebudayaan lebih bersifat umum (makro), sehingga hasil analisisnya belum tentu bisa menjangkau atau mewakili kreasi budaya secara khusus (mikro) dari keseluruhan yang ada di masyarakat yang sifatnya sangat dinamik. Pandangan George Homans tentang fenomena sosial Beberapa pokok pikiran Sosiolog George Homans, tentang fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, setiap kehidupan kelompok merupakan suatu sistem, dalam suatu sistem terdapat elemen-elemen yang saling kait-mengkait (fungsional). Elemen-elemen dalam suatu sistem (fungsional) dapat dianalisis dari aspek: (a) aktivitas anggota dalam kelompok; (b) interaksi antar anggota didalam kelompok, dan antar kelompok; (c) sentimen atau solidaritas terhadap kelompok; dan (d) norma yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan kelompok yang sistemik. Semua elemen dalam sistem yang ada dalam kelompok membentuk piramida interaksi antar elemen (fungsional). Jadi, setiap elemen dalam sistem bersifat fungsional dalam proses perubahan-perubahan sosial-budaya. Kedua, dalam sebuah sistem terdapat sistem internal dan sistem eksternal. Sistem internal memiliki lingkup tingkah laku individu dalam kelompok, sedangkan sistem eksternal adalah tingkah laku yang mewakili kelompok berkaitan dengan lingkungan, atau reaksi kelompok terhadap kondisi lingkungan. Hubungan antara berbagai elemen yang ada dalam kelompok merupakan sistem sosial yang mempengaruhi sistem internal. Menurut Homans, bahwa: (a) ketergantungan dalam hubungan timbal balik akan mempengaruhi perasaan seseorang. Jika, interaksi sosial antar dua pihak sering dilakukan akan memunculkan perasaan suka (positif) pada masing-masing pihak, demikian juga sebaliknya; (b) ketergantungan timbal balik antara perasaan dan aktivitas. Seseorang akan merasakan perasaan orang

40

lain melalui hubungan timbal balik, karena masing-masing pihak saling merasakan manfaatnya. Hal ini akan mempengaruhi semua aktivitas dalam sistem eksternal; dan (c) penyandaran sebagai hasil hubungan, seringnya berinteraksi dengan pihak lain merupakan wujud dari aktivitas dan perasaan individu. Jadi, setiap sistem memiliki bagian-bagian sistem (subsistem) baik bersifat internal maupun eksternal. Ketiga, norma sosial merupakan bagian dari budaya terpenting (dasar) dalam sebuah kelompok sebagai suatu sistem. Setiap elemen/ anggota/ subsistem dalam proses aktivitas dan interaksinya berdasarkan norma sosial. Sistem internal dan sistem eksternal dalam proses aktivitas kelompok saling berkaitan, Homans mengistilahkan ‘pengaruh arus balik’. Jadi, semua aktivitas dalam sistem tersebut berdasarkan pada norma yang berlaku dalam kelompok. Keempat, Homans berpendapat, ada elemen dasar dalam aktivitas kelompok sebagai sistem yang terintegrasi (fungsional), antara lain: (1) ketergantungan timbal balik dan sentimen, artinya seringnya hubungan timbal balik sesama anggota dalam kelompok, akan memperkuat perasaan pertemanan satu sama lain (kuatnya hubungan antar elemen); (2) perasaan dan aktivitas, artinya perasaan pertemanan yang kuat dalam kelompok sebagai suatu sistem akan diekspresikan melalui beragam aktivitas kerja dalam sistem; dan (3) aktivitas dan interaksi, artinya seseorang yang sering berinteraksi dengan orang lain melalui beragam aktivitas, tidak terbatas hanya pada orang yang sering berinteraksi, tetapi juga pada orang lain yang kurang berinteraksi (Bachtiar, W. 2006). Kelima, bagi Homans, manusia dalam melakukan beragam tindakan di masyarakat didasarkan kepada rasionalitas. Setiap tindakan diperhitungkan nilai fungsinya, atau imbalannya atau pertukaran yang dia peroleh dari tindakan. Oleh karena itu G. Homans termasuk salah satu pendukung teori pertukaran. Proses pertukaran dalam kehidupan sosial (masyarakat) melibatkan aspek ‘kegiatan’, ‘interaksi’ dan ‘sentimen’ secara integral. Disintegrasi kelompok akan terjadi apabila proses pertukaran dalam kehidupan kelompok tidak terjadi dengan baik. Dalam proses pertukaran dalam kelompok, terjadi saling interaksi, pengaruh, penyesuaian, persaingan, pencarian penghargaan, keadilan, kedudukan dan inovasi-inovasi, untuk memperoleh keuntungan psikis dalam pertukaran imbalan dan hukuman yang terjadi dalam kehidupan kelompok. Menurut Homans, bahwa semua struktur sosial terbentuk dari proses pertukaran yang sama. Agar terjadi hubungan yang kuat antara proses pertukaran dasar dengan pola organisasi sosial yang bersifat kompleks,

maka

menurut

Homans

diperlukan

proses

‘institusionalisasi’

(melembagakan atau menjadikan nilai-norma sebagai pola dalam organiasasi secara ajek) (Turner, J.H., 1982).

41

Meskipun analisis atau pandangan G. Homans tentang beragam fenomena sosial telah banyak pengaruhnya terhadap khasanah wacana teori-teori sosial, sosiolog dan teoritikus Tunner, J.H. (1992) memberikan beberapa analisis kritik terhadap beberapa sisi kelemahan sudut pandang Homans, antara lain: (a) pandangan Homans terlalu menekankan aspek positivistis dalam mencermati keterlibatan individu dalam proses-proses sosial, hal ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai pedoman dalam memahami fenomena sosial yang sangat dinamik dan kompleks; (b) konsep atau prinsip tentang ‘pertukaran’ sebagai unsur dasar dalam mewarnai setiap kegiatan kelompok atau organisasi kelompok memiliki banyak kelemahan, karena dalam realitasnya unsur pertukaran bukan satu-satunya unsur terpenting dalam ‘proses institusionalisasi’; dan (c) gagasan atau pandangan Homans tentang ‘konsep pertukaran’, memunculkan permasalahan metodologis dalam studi fenomena sosial di masyarakat. Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman, bahwa paradigma organik (organisme) dan paradigma fungsionalis (fungsionalisme) mempunyai konsep pemahaman yang relatif sama dalam memandang tentang masyarakat, yaitu ‘bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan, atau masyarakat memiliki unsur-unsur atau

elemen-elemen

yang

saling

berhubungan’.

Beberapa

asumsi

pokok

pandangan paradigma organik dan fungsional tentang kehidupan sosial di masyarakat antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem yang saling berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial ini berkembang sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan

yang

mendasarinya;

(3)

masyarakat

mengalami

perkembangan dari tradisional (non industrial) menuju masyarakat industri dan modern (bersifat evolusi); (4) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berlandaskan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; dan (5) secara umum sistem sosial dibagi menjadi dua aspek, yaitu struktur sosial (masyarakat statis) dan perubahan sosial (masyarakat dinamik) (Kinloch, G. 205).

2. Pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena sosial-budaya Sebenarnya ilmuwan sosial yang terlibat dalam pengembangan teori fungsional struktural adalah cukup banyak, baik yang berlatar belakang kajian antropologi maupun sosiologi, misalnya: Levi Strauss; Emille Durkheim; R. Brown; Talcott Parsons; Robert K Merton; Walter Buckley; Amitai Etzioni, dan sebagainya. Dalam kajian berikut ini lebih menekankan pada pandangan-pandangan teori fungsional struktural versi Talcott Parsons dan versi Robert K Merton. Pemilihan dua pandangan teoritikus sosiologi tersebut bukan berarti penulis menempatkan Parsons dan Merton dalam posisi teoritikus fungsional struktural yang paling baik

42

dan sempurna. Uraian singkat tentang teori fungsional struktural dari versi Parsons dan Merton tersebut diharapkan bisa memotivasi para pembaca untuk lebih jauh memahami perspektif fungsional struktural dalam memahami fenomena sosialbudaya di masyarakat. Parsons lahir di Colorado, USA tahun 1902. Selama hidupnya dia membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan penting antara karya awal dan karya yang terakhirnya. Menurut Herry Priyono (2002), ada tiga tahap refleksi teoritik Parsons, antara lain: (1) Tahap pertama, ketika dia menyusun teori Tindakan Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua, ketika dia meninggalkan teori tindakan voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia menerangkan Teori Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966). Menurut Theodorson, dalam Raho, B. (2007), pengertian fungsionalisme struktural adalah ‘salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain’. Apabila terjadi perubahan pada unsur sosial-budaya pada salah satu bagian akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pada sistem, dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bagian yang lain. Kemudian asumsi dasar teori fungsional struktural adalah ‘bahwa semua elemen atau unsur kehidupan sosial-budaya dalam masyarakat harus berfungsi (fungsional) sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsi dengan baik’. Kajian berikut ini, tentang teori fngsional struktural Parsons lebih banyak menitikbertakan pada konsep ‘Skema AGIL’ dan konsep ‘Fungsional Struktural’. Skema AGIL dalam fungsional struktural Parsons Konsep, skema Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latensi (AGIL). Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam menganalisis semua sistem ‘tindakan’ manusia untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu: adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L). Setiap kehidupan kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem sosial dalam kelompok itu harus memiliki empat fungsi yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu:

a. Adaptation (menyesuaikan diri dengan lingkungan). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri kondisi lingkungan, dan dengan kebutuhan lingkungannya. Kemudian aspek ‘Organisme perilaku’ adalah merupakan sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal) dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan yaitu ‘Sistem ekonomi’,

43

adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja, produksi, dan alokasi.

b. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mendefinisikan tujuan dan upaya mencapai tujuan utamanya. Kemudian aspek ‘Sistem kepribadian’, adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam sistem, dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan utamanya. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Sistem pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya manusia) untuk mencapai tujuan utama yang telah dirumuskan.

c. Integration (Integrasi). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mengatur hubungan antar bagian dalam sistem. Sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya (adaptation; goal attainment; latency). Kemudian aspk ‘Sistem sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Komunitas kemasyarakatan’ (contoh, hukum, Undang-Undang atau seperangkat aturan), adalah akan menjalankan fungsi terbentuknya integrasi, atau mengkoordinasi beragam komponen masyarakat menuju terwujudnya integrasi sosial-budaya.

d. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, serta mendorong (memotivasi) individu atau pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilainorma (seperangkat aturan) yang berlaku. Kemudian aspek ‘Sistem kultural’, adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak sesuai dengan nilai-norma. Sedangkan bidang ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga keluarga, sekolah, dan lembaga keagamaan), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola (nilai-norma yang sudah menjadi etos/ pola hisup dalam kelompok) dengan menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk ‘disosialisasikan, diinternalisasikan dan dienkulturasikan’ pada dirinya. Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di masyarakat, apabila menggunakan teori fungsionalisme struktural versi Parsons, seharusnya menggunakan skema AGIL sebagaimana yang tergambarkan pada gambar 2.1 pada halaman berikut, yang keempat aspeknya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain secara fungsional.

44

Sedangkan hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam kehidupan kelompok, dapat digambarkan seperti dalam skema berikut: GOAL ATTAINMENT

ADAPTATION

- Sistem Kepribadian - Sistem Pemerintahan (sistem politik)

- Organisme Perilaku - Sistem Ekonomi

LATENCY - Sistem Kultural - Sistem Fiduciari’ (lembaga keluarga, sekolah, agama)

INTEGRATION - Sistem Sosial - Komunitas Kemasyarakatan (hukum, norma)

Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL (Johnson D, 1986; Ritzer dan Goodman, 2004) Konsep fungsional struktural Parsons Untuk memahami skema AGIL tersebut, perlu dipahami beberapa pemikiran kunci dari Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’ secara integral. Sedangkan beberapa konsep kunci tentang teori fungsionalisme struktural Parsons antara lain:

a. Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem tindakan individu dalam kelompok. Kultur mengatur interaksi antar aktor (individu), menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.

b. Kultur, dipandang sebagai: (1) sistem simbol yang terpola (ajek/ sebagai etos), teratur yang menjadi sasaran orientasi para aktor; dan (2) aspek-aspek kepribadian yang sudah terinternalisasi dan pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok agar sesuai dengan nilai-norma sosialbudaya. Individu tidak merdeka dalam bertindak, karena semua tindakan individu sudah ditentukan oleh kultur (budaya) (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W., 2008).

c. Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain melalui penyebaran (difusi) dan dipindahkan dari kepribadian satu ke sistem kepribadian lain melalui proses ‘pembelajaran budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan proses enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman, 2004). Proses internalisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk membentuk pribadi (akhlak) yang baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses sosialisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk

45

berinteraksi sosial, berkomunikasi atau bergaul dalam kelompok dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses enkulturasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk tanggap pada sistem kontrol, disiplin pada aturan dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Pada hakikatnya setiap manusia sepanjang hidupnya selalu dalam proses pembelajaran budaya (internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi), dan proses pembelajaran budaya tersebut ditentukan oleh kultur yang berlaku, bukan ditentukan oleh jiwa dan pikiran individu. Jadi, kultur (eksternal) menentukan pikiran dan jiwa (internal) seseorang.

d. Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi (hubungan timbal balik) dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik). Aktor (individu) mempunyai motivasi untuk ‘mengoptimalkan kepuasan’, yang berhubungan dengan situasi lingkungan mereka, yang didifinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol yang terstruktur secara kultural.

e. Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor; (b) interaksi; (c) lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e) kultur. Meski Parsons melihat sistem sosial sebagai interaksi (hubungan timbal balik), tetapi dia tidak menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Dia menggunakan ‘status-peran’ sebagai unit dasar dari sistem sosial. Status adalah menyangkut posisi struktural individu dalam sistem sosial (kelompok), sedangkan peran (role) adalah apa yang harus dilakukan individu dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons, bukan dilihat dari sudut pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari individu (seperti dalam teori berparadigma definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi ‘aktor’ dilihat sebagai ‘kumpulan dari beberapa status dan peran yang terpola oleh struktur dalam sistem sosial-budaya’. Jadi individu ter-determinasi oleh aktor eksternal, atau individu ditentukan oleh struktur sosial-budaya (Rossides, 1978.

f. Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut Parsons, yaitu: (1) sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2) untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; (5) sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; (6) apabila dalam sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan, oleh karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelangsungan hidupnya, sistem

46

sosial memerlukan bahasa (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan mikro.

g. Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan, yaitu: (1) sistem kultural; (2) sistem sosial; (3) sistem kepribadian; dan (4) organisme perilaku, yang keempatnya terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.

h. Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’, yaitu: (1) sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung; (2) sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan; (3) sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur; (4) sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain; (5) sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya; (6) alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem; dan (7) sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan

lingkungan

yang

berbeda-beda

dan

mengendalikan

kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004). Ketujuh asumsi inilah

yang menempatkan analisis

struktur keteraturan

masyarakat sebagai prioritas utama teori fungsionalisme struktural Parsons.

i. Aktor (individu) dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons berpandangan: (1) antara aktor dan struktur sosial mempunyai hubungan sangat erat; (2) persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi; (3) dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan; (4) aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi dikonseptualisasikan sebagai proses konservatif (sebagian besar kebutuhan dibentuk oleh masyarakat). Norma dan nilai yang dipelajari sejak kecil cenderung tidak berubah, dan cenderung berlaku sampai tua; (5) perhatian Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan ketimbang pada aktor (individu) di dalam sistem. Dalam fungsionalisme struktural Parsons, adalah, bagaimana cara sistem mengontrol atau mengendalikan aktor (individu), bukan mempelajari bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara sistem (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990).

j. Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi individu yang beragam agar tidak terjadi problem?. Parsons mengemukakan pendapat, yaitu: (1) dalam sistem sosial harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan dengan

47

baik (hemat); (2) sistem sosial harus mampu menghormati perbedaan (differensial), bahkan penyimpangan tertentu (sistem sosial harus lentur atau flexible); (3) sistem sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang bagi aktor untuk

berperan,

yang

memungkinkan

kepribadian di masyarakat

terjadinya

perwujudan

beragam

tanpa mengancam integrasi dalam masyarakat

(kelompok).

k. Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah satu ‘sistem sosial khusus’, karena kolektif ini relatif mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, antara lain: (1) subsistem ekonomi (dalam Adaptation); (2) subsistem pemerintahan (dalam Goal attainment); (3) sistem komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan (4) subsistem fiduciari (dalam Latency), lihat bagan di atas.

l. ‘Sistem

kepribadian’.

Pandangan

Parsons

tentang

sistem

kepribadian

(personalitas) adalah: (1) personalitas diartikan sebagai sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir dengan baik. Komponen dasarnya adalah ‘disposisi dan kebutuhan’. Disposisi kebutuhan merupakan ‘unit-unit motivasi tindakan individu yang paling penting’; (2) ada tiga tipe dasar disposisi kebutuhan, yaitu: (a) memaksa aktor mencari cinta, persetujuan, dan sejenisnya, dari hubungan sosial mereka; (b) meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar nilai-norma dalam kultural; dan (c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat; dan (3) hubungan sistem kepribadian dengan sistem sosial adalah: (a) aktor harus belajar melihat dirinya sendiri (kepribadian) sesuai dengan nilai-norma yang berlaku di masyarakat (sistem sosial); dan (b) peran yang diharapkan untuk dilakukan individu, terkait erat dengan status (kedudukan) yang dimiliki oleh aktor di masyarakat. Berdasarkan ketiga konsep tersebut dapat dipahami,

bahwa dalam fungsionalisme struktural Parsons,

menempatkan citra aktor dalam aktivitas sosial dalam posisi sangat pasif, dipaksa oleh dorongan hati dan didominasi oleh kultur atau gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi-kebutuhan) (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004). m. Konsep perubahan sosial. Pandangan Parsons tentang proses perubahan sosial di masyarakat adalah berlangsung secara evolusioner. Menurut Parsons, ada tiga komponen paradigma proses perubahan sosial secara evolusioner, yaitu: (1) ‘proses diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang beragam strukturnya dan fungsionalnya; (2) proses diferensiasi

48

menimbulkan ‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masingmasing subsistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri secara meningkat dan berkualitas). Masyarakat akan berevolusi dari sistem yang bersifat ascription (atas dasar kelahiran) ke sistem yang berdasarkan achievement (atas dasar prestasi/ keahlian); dan (3) ‘sistem nilai dasar’, artinya semakin maju masyarakat semakin beragam nilai-norma yang dianut. Oleh karena itu diperlukan sistem nilai dasar (umum /pokok /ide dasar) yang lebih tinggi untuk melegitimasi atau sebagai pandangan hidup (way of life) bagi beragam norma, tujuan dan fungsi yang ada pada

subsistem masyarakat

(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988). n. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap, yaitu: (1) masyarakat primitif; (2) masyarakat lanjutan; dan (3) masyarakat modern. Dia membedakan tiga tahap ini berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang perubahan sosialbudaya adalah: (1) proses perubahan sosial yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (2) proses diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial-budaya secara keseluruhan. Nilai-nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (4) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan

(perubahan

sistem

nilai-nilai

terpenting),

hal

ini

akan

mempengaruhi perubahan unit-unit lain dalam sistem (Appelbaum, R.P. 1970; Harper, C.L. 1989; Lauer, 1993) atau perubahan revolusi. Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan sosial yang dibedakan menjadi tiga macam perubahan yaitu: (1) perubahan ke arah sistem perbaikan (mempertahankan sistem), yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap perubahan yang sesuangguhnya (namun pola perubahan ini masih statis); (2) perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit perbedaan, sub sistem kedalam pola fungsional secara khusus atau saling ketergantungan (perubahan koordinasi aktivitasnya dan fungsi-fungsinya); dan (3) perubahan ‘adaptive apgrading’, artinya sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan distribusi sumber, sehingga meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer, 1993). Meskipun pandangan Parsons tentang teori fungsional struktural, telah dianggap sangat penting bagi setiap ilmuwan sosial dalam melakukan analisis

49

fenomena sosial, masih ada sisi kelemahan sebagai kritik dari teori fungsional struktural Parsons, antara lain Pertama, kritik substantif (krtik utama), antara lain:

(a) teori fungsional

struktural tidak berkaitan dengan sejarah (bersifat ahistoris), lebih memusatkan pada masyarakat kontemporer maupun masyarakat abstrak, atau teori fungsional struktural tidak mampu menjelaskan peristiwa masa lalu; (b) teori fungsional struktural dianggap tidak mampu menjelaskan proses perubahan sosial

secara

efektif pada masa kini, atau teori fungsional structural lebih senang menjelaskan struktur sosial statis daripada proses perubahan itu sendiri (yang dinamis); (c) teori fungsional struktural tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal ini karena teori fungsional struktural terlalu menekankan aspek keharmonisan antar unsur;, dan cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang bersifat merusak dan terjadi di luar kerangka kehidupan masyarakat; (d) teori fungsional struktural cenderung memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai. Individu dipandang sebagai dipaksa oleh kekuatan kultural dan sosial (faktor eksternal), atau individu dianggap tidak merdeka dalam menentukan jalan hidup; dan (e) teori fungsional struktural dalam praktiknya banyak digunakan untuk mendukung status quo dan elite dominan (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Turner, J.H. 1982). Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills, Abrahamson dan Cohen, antara lain: (a) teori fungsional struktural pada dasarnya kabur, tidak jelas dan bermakna ganda (yaitu lebih memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat nyata); (b) teori fungsional struktural

termasuk teori yang lebih bersifat umum

(abstrak), padahal dalam melakukan analisa fenomena sosial akan lebih baik memakai ‘teori middle range’, spesifik yang lebih historis (Merton); (c) pada dasarnya belum ada metode yang memadai untuk mengkaji persoalan fenomena social dengan menggunakan kerangka berpikir fungsional struktural; (d) teori fungsional struktural membuat analisis konservatif dan sulit, sebab analisis fungsional structural hanya cocok bagi kondisi sistem yang sama, sedangkan sistem yang beragam sangat sulit; (e) logika teori fungsional struktural bersifat tautologi. Argumentasi

Tautologi

adalah

argumen

yang

konklusinya

semata-mata

menegaskan apa-apa yang terkandung di dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam sistem dan bagian dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam sistem sosial yang lebih luas; (f) teori fungsional struktural

dianggap terlalu teleologis (seolah-olah benar secara

logika, tetapi tidak selalu benar secara empiris); (g) teori fungsional struktural terlalu banyak mengadopsi dari ahli fungsional struktural antropologi, yang tentu kurang cocok untuk analisis masyarakat modern (Ritzer dan Goodman, 2004).

50

Dari kedua konsep tentang kelemahan (kritik) terhadap teori fungsional struktural Parsons tersebut, dapat disimpulkan bahwa: (a) penerapan prinsip-prinsip biologis (hukum organism) pada kehidupan masyarakat memang menimbulkan berbagai persoalan atau mempunyai banyak titik kelemahan; (b) anggapan bahwa persoalan masyarakat merupakan elemen integral dan homeostatik yang kurang menekankan problem kekuasaan, memunculkan tuduhan bahwa pandangan Parsons bersifat elitis dan konservatif; (c) konsep struktur fungsionalisme Parsons bersifat statis dan tidak berkembang atau banyak sisi kelemahannya apabila digunakan untuk melakukan analisis masyarakat sekarang yang sangat dinamik, dan kompleks; (d) penilaian Parsons, bahwa masyarakat Barat merupakan bentuk masyarakat modern, dapat menimbulkan ethnosentrisme; dan (e) metode ‘deduksi historis’ yang didasarkan pada analogi biologi, tentu banyak titik kelemahan apabila diterapkan dalam realitas sosial-budaya yang unik, dinamik dan kompleks. Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik di atas antara lain: (1) teori fungsional struktural tidak seluruhnya bersifat statis equilibrium (Parsons), tetapi ada juga yang bersifat dinamis (Merton); (2) teori fungsional struktural juga mengakui adanya struktural konflik dan konflik internal di dalam struktur, namun perubahan yang terjadi itu hanya bersifat evolusi (bukan revolusi) (contoh, Aliran neo evolusi perspektif Merton); dan (3) Neo evolusi perspektif Merton, melihat bahwa equilibrium dari statis mengarah ke equilibrium dinamis (melihat masyarakat relatif kompleks, sehingga terbuka untuk berubah).

3. Pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton dalam memahami fenomena sosial-budaya Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam beberapa aspek fungsionalisme struktural Parsons. Langkah atau pandangan Merton ini lebih membantu para peneliti sosial dalam menggunakan teori fungsional struktural untuk memahami beragam fenomena sosial-budaya di masyarakat. Ada beberapa perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons dengan Merton, antara lain: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-teori besar (Grand theory) dan luas cakupannya, sedangan FS Merton menyukai teori yang terbatas, teori tingkat menengah (Middle range theory); dan (2) FS Merton lebih menyukai teori Marxian (fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis), sedangkan FS Parsons tidak (Ritzer dan Goodman, 2004). Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran R.K. Merton berkaitan dengan teori

fungsionalisme

strukturalnya

dalam

masyarakat, antara lain:

51

memahami

fenomena

sosial

di

Pertama, Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron, antara lain: (1) postulat, ‘bahwa semua keyakinan dan praktik sosial-budaya yang sudah baku adalah fungsional untuk kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi integrasi tingkat tinggi. Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi masyarakat primitif atau masyarakat terisolir dengan jumlah komunitas yang kecil, tetapi tidak cocok bagi masyarakat modern yang sangat dinamik dan kompleks; (2) postulat, ‘fungsionalisme universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk sosial, kultur (budaya), dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif (mengikat dan memaksa). Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan mempunyai fungsi positif, terlebih dalam masyarakat yang kompleks atau modern yang multikultural dijumpai beragam struktur; dan (3) postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua struktur yang baku tersebut secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Bagi Merton, dalam hidup sosial-budaya perlu ada beragam alternatif struktur dan fungsional dalam masyarakat, terutama pada masyarakat modern yang sangat kompleks (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a). Kedua, sasaran studi struktural fungsional menurut Merton adalah: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola budaya, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial dan sebagainya. Dan perhatian analisis struktur fungsional seharusnya lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif individual’. Fungsi bagi Merton didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu’ (Johnson, D.P. 1981; Raho, B. 2007). Ketiga, beberapa konsep penting Merton tentang: disfungsi; nonfunctions; net balance; dan manifest, antara lain: (1) konsep disfungsi, menurut Merton, sistem sosial, struktur, atau institusi dapat menimbulkan akibat positif dan juga negatif (disfungsi) dalam sistem sosial. Contoh, sistem perbudakan di Amerika Serikat akan menimbulkan disfungsi tatanan kehidupan politik (adanya rasdiskriminasi); (2) konsep nonfunctions, yang didefinisikan sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan, artinya bentuk tindakan sosial lama (kuno) yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3) konsep net balance (keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam melakukan analisis sosial harus mampu mengembangkan pertanyaan pada ‘tingkatan analisis fungsional’, dengan menimbang, membandingkan, menjumlah fungsi positif dan disfungsinya, misalnya: sistem perbudakan mungkin lebih fungsional bagi unit sosial tertentu

52

(lapisan sosial-ekonomi elit) dan lebih disfungsional bagi unit sosial lainnya (masyarakat bawah/ lapiran bawah). Inilah yang membedakan Merton dengan tokoh fungsional struktural lainnya (umumnya teoritisi fungsional hanya menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan); dan (4) konsep manifest (fungsi nyata) dan latent (fungsi tersembunyi). Kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional versi Merton. Fungsi nyata (manifest)

adalah fungsi yang

diharapkan (contoh, lembaga rumah sakit adalah berfungsi merawat dan menyembuhkan orang sakit). Fungsi tersembunyi (latent) adalah fungsi yang tidak diharapkan (contoh, rumah sakit adalah lembaga yang menghabiskan uang/ kekayaan bagi yang sakit, dan bisa menimbulkan jumlah orang sakit bertambah). Menurut Merton, fungsi latent ada yang fungsional untuk sistem sosial dan ada yang tidak fungsional (Johnson, D.P. 1981; Bachtiar, W. 2006). Keempat, sumbangan terpenting Merton terhadap fungsionalisme struktural dan terhadap analisis sosial-budaya

pada umumnya, khususnya tentang

analisisnya mengenai hubungan antara: kultur (budaya), struktur sosial dan anomie, antara lain: (1) kultur, adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau kelompok; struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya; dan anomie, adalah kondisi individu atau kelompok yang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif atau tujuan yang terstruktur secara sosial dalam kelompoknya. (2) setiap melakukan analisis fenomena sosial-budaya, perlu menghubungkan ketiga konsep tersebut (kultur, struktur sosial dan anomie), artinya analisis terhadap pola aktivitas individu dalam masyarakat dianggap perilaku menyimpang atau tidak menyimpang sangat dipengaruhi oleh bagaimana analisis hubungan antar ketiga konsep tersebut; dan (3) Merton lebih tertarik dengan disfungsi yang dalam hal ini adalah anomie, lebih khusus, Merton menghubungkan terjadinya anomie karena adanya kesenjangan antara kultur (budaya) dan struktur sosial (Craib, 1984; Hamilton, 1990). Kelima, beberapa konsep dasar Merton tentang organisasi birokrasi modern, antara lain: (1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal, (2) birokrasi meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuantujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam keseluruhan struktur birokratis; (5) status dalam birokrasi tersusun kedalam susunan yang bersifat hirarkhis; (6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) otoritas pada

53

jabatan bukan pada orang, tetapi ada pada kelompok; dan (9) hubungan antar individu dibatasi secara formal oleh nilai-norma yang telah disepakati kelompok (Poloma, 2000). Keenam, beberapa prinsip tentang studi perubahan sosial (social change) menurut Merton, antara lain: (1) struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi aturan normatif dalam kelompok. Apabila perilaku dalam birokrasi tidak sesuai dengan aturan normatif kelompok, maka akan terjadi anomie (non konformis); (2) anomie, disini bukan bersifat psikologis, melainkan lebih berkaitan dengan tidak serasinya (kesenjangan) antara kultural dengan struktural dalam kelompok. Jadi, fenomena anomi dalam

kehidupan sosial (masyarakat)

memerlukan penjelasan secara sosiologis, bukan psikologis; (3) analisa fungsional struktural menurut Merton, tidak hanya menggunakan tiga postulat di atas (yaitu: postulat kesatuan fungsional masyarakat; postulat fungsional universal dan postulat indispensability), tetapi juga perlu dipadu dengan analisis lainnya, yaitu: analisis konsep disfungsi (anomie); analisis konsekwensi keseimbangan fungsional (net balance); dan analisis fungsi manifes dan fungsi latent (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Poloma, 2000). Ketujuh, tentang perangkat peran (role-set). Setiap individu di masyarakat memiliki status, dan setiap status terdapat beberapa peranan atau seperangkat peran (role-set). Seperangat peran tersebut harus terintegrasi dengan baik, apabila role-set tersebut tidak terjadi integrasi secara baik akan terjadi konflik (disintegrasi). Oleh karena itu Merton memusatkan analisisnya pada struktur sosial dan menyelidiki elemen-elemen fungsional dan elemen-elemen disfungsional dalam kelompok. Elemen fungsional adalah beragam elemen yang dapat menghindarkan terjadinya konflik (disintegrasi) dalam kelompok, sedangkan elemen disfungsional adalah beragam elemen yang dapat memunculkan terjadinya konflik di masyarakat (Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Raho,B., 2007).. Menurut Merton, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan konflik di masyarakat, antara lain: (1) membangun intensitas keterlibatan individu dalam beragam peranan dalam kehidupan di masyarakat; (2) membangun sikap kompetitor (persaingan) diantara individu yang ada dalam roleset (seperangkat peran) secara positif dan konstruktif; (3) apabila terjadi konflik dalam role set (seperangkat peran), maka setiap anggota dalam kelompok harus segera melakukan penyelesaian konflik; dan (4) melakukan isolasi peran, sehingga sulit diamati oleh orang lain yang ada dalam role set (seperangkat peran). Jadi, Merton dalam melakukan studi sosial memberikan penekanan pentingnya

54

melakukan

‘analisis

elemen-elemen

disfungsional’

dan

‘alternatif-alternatif

fungsional’ dalam kehidupan masyarakat. 4. Pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya Diantara teoritikus sosial yang dapat dikatakan sebagai tokoh teori neofungsionalisme,

antara

lain:

Jeffrey

Alexander

dan

Paul

Colomy.

Neofungsionalisme muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan kembali teori fungsional struktural yang dianggap mulai redup sejak 1960-an hingga 1970-an. Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri (internal) terhadap teori fungsional struktural, dan ingin mencoba memperluas cakupan intelektual teori fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama dianggap terlampau sempit dan kaku, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan teori sintesis yang disebut ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang dihadapi oleh teori fungsional struktural yang perlu dijawab oleh Neofungsionalisme, antara lain: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap perubahan; (3) konservatif;(4) idealisme; dan (5) bias antiempiris. Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teori Neofungsionalisme Alexander dan Colomy, dalam memahami beragam fenomena sosial-budaya

di

masyarakat, antara lain Pertama, neofungsionalisme, bekerja dengan ‘model masyarakat deskriptif’. Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur sosial yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, hubungan antar unsur tersebut diistilahkan sebagai ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan semata (misalnya, eksternal menentukan internal atau sebaliknya). Jadi, masyarakat dianggap lebih bersifat terbuka, dinamik dan pluralis (beragam). Kedua, neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan individu (mikro) dan keteraturan sosial (makro). Hal ini berbeda dengan teori fungsional struktural, yang lebih menekankan pada aspek keteraturan sosial atau tradisional dan bersifat makro didalam memahami struktur sosial dan budaya). Sedangkan neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga pola tindakan individu ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan tindakan eskpresif individu dalam proses-proses sosial di masyarakat. Ketiga, neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan sosial’, sedangkan dalam pandangan teori fungsional struktural, kondisi integrasi atau equilibrium lebih dilihat sebagai fakta yang sempurna atau suatu keharusan dalam kehidupan kelompok. Neofungsionalisme

55

mengakui penyimpangan dan

kontrol sosial sebagai realitas dalam sistem sosial yang sangat dinamik dan kompleks. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam konteks yang lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam fungsional struktural keseimbangan bersifat statis. Keempat, neofungsionalisme,

tetap menerima

penekanan Parsonian

tradisional atas konsep kepribadian, konsep kultur, konsep sistem sosial dan organisme perilaku (dalam struktur tindakan) dalam kehidupan sehari-hari, tetapi neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem sosial dapat menghasilkan ketegangan (konflik) dan perubahan sosial yang lebih dinamik. Kelima, neofungsionalisme, memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultural dan kepribadian. Perubahan tidak hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium (seperti pandangan teori fungsionalisme struktural), tetapi juga menimbulkan ketegangan antar individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan teori fungsional struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi equilibrium (keseimbangan dalam sistem). Jadi, bagi neofungsionalisme perubahan sosial dalam masyarakat bisa membawa pengaruh terjadinya ‘integrasi sosial’ dan ‘disintegrasi sosial’.. Keenam,

Neofungsionalisme,

secara

tidak

langsung

menyatakan

komitmennya terhadap kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan teori berdasarkan analisis sosial-budaya

pada tingkat makro dan mikro. Bagi

neofungsionalisme, menganalisis fenomena atau realitas sosial budaya di masyarakat, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan makroskopik tetapi juga menggunakan

pendekatan mikroskopik. Sedangkan dalam

teori fungsional

struktural proses analisis fenomena sosial-budaya hanya pada tingkat makro, oleh karena itu cakupan analisis neofungsionalnya lebih luas apabila dibandingkan dengan fungsional struktural. Ketujuh, riset teori fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual tunggal dan mengikat area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, bersifat positivistik dan realitas sosial eksternal (kondisi makro) sangat menentukan realitas internal (kondisi mikro), sedangkan karya empiris teori neofungsionalisme diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di seputar logika umum dan memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak otonom pada tingkat dan domain empiris yang beragam, bisa bersifat makro dan mikro. Jadi, teori neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya sekedar ‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap teori fungsional struktural Parsons dan Merton, tetapi lebih sebagai

‘rekonstruksi

56

dramatis’ terhadap teori fungsional

struktural, karena antara teori fungsional struktural dengan neofungsional pada aspek-aspek tertentu mempunyai perbedaan yang mendasar. Jadi, Alexander dan Colomy nampak ‘memadukan’ fungsionalisme struktural dengan ide-ide teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi. (Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004). D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik dan Neo-Marxian Beberapa sosiolog yang merupakan pendukung teori konflik antara lain: Karl Marx; Ralf Dahrendorf; Robert Park; Vilfredo Pareto; Torstein Veblen; Jonathan Turner; Lewis Coser; Wright Mills; dan David Reisman. Diantara tokoh tersebut yang terkenal sebagai pengembang teori konflik atau perspektif konflik (conflict perspectives) adalah Karl Marx dan R. Dahrendorf. Berikut ini akan dikemukakan pokok-pokok pikiran teori konflik Marx dan Dahrendorf, dan pokok-pokok pikiran teori neo-konflik (neo-Marxian) Lewis Coser dan David Reisman. Sedangkan latar belakang munculnya teori konflik adalah disebabkan sebagai reaksi terhadap teori fungsionalisme struktural, tetapi menurut Dahrendorf, munculnya teori konflik bukan bermaksud untuk mengganti teori fungsionalisme struktural dalam proses analisis realitas sosial-budaya di masyarakat, akan tetapi mengkritisi atau mengisi ruang analisis fenomena sosial yang tidak tersentuh oleh teori fungsional struktural. Teori konflik bersumber dari teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari George Simmel. Pada tahun 1950-an dan 1960-an teori konflik memberikan alternatif lain bagi peneliti sosial dalam melakukan analisis sosial-budaya selain teori fungsional struktural, tetapi akhir-akhir ini teori konflik Marx kedudukannya digantikan oleh teori-teori neo-Marxian (Kinloch, G. C., 2005; Raho, B., 2007). Pembahasan perspektif / teori konflik berikut ini hanya menyinggung tentang: (1) pokok-pokok teori konflik versi Karl Marx dalam memahami fenomena sosial; (2) pokok-pokok teori konflik versi R. Dahrendorf; dalam memahami fenomena sosial; (3) Beberapa kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf; (3) pokok-pokok teori konflik neo-konflik (neo Marxian) dan teori konflik integratif L. Coser dan D. Reisman; dan (4) beberapa perbedaan pandangan teori fungsional struktural dengan teori konflik dalam memahami fenomena sosial. Pertimbangan penulis menyajikan pembahasan keempat hal tersebut adalah untuk memberikan wacana awal tentang teori konflik, dan diharapkan para pemerhati teori-teori sosial bisa lebih memperdalam beberapa pandangan teoritikus konflik lainnya.

1. Teori konflik versi Karl Marx dalam memahami fenomena sosial Dari beberapa pandangan para ahli yang mengkaji tentang teori konflik versi Marx, dapat disimpulkan beberapa asumsi dasar atau pokok-pokok pandangan Karl Marx dalam memahami fenomena sosial sehari-hari, antara lain:

57

Pertama, Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di masyarakat adalah pejuangan kelas. Tidak ada masyarakat tanpa konflik, dan konflik sosial merupakan pertentangan antar segmen atau antar kelas di masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai materi, atau konflik disebabkan oleh cara produksi barang-barang material, sebab materi merupakan infrastruktur kehidupan (Mutahhari, M. 1986; Cambell, 1994). Kedua, tindakan-tindakan, sikap-sikap, ide-ide, motivasi, pandangan hidup dan kepercayaan individu tergantung pada hubungan-hubungan sosialnya, dan hubungan sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan struktur ekonomis dari masyarakatnya. Jadi, faktor ekonomi (material) sebagai dasar atau pondasi utama (infrastruktur) setiap aktivitas kehidupan sosial budaya di masyarakat (aktivitas sosial merupakan suprastruktur), atau sistem materi/ benda dianggap sebagai penentu

(infrastruktur)

terhadap

sistem

ide/

gagasan;

pandangan

hidup,

pengetahuan, hukum, dan kepercayaan (suprastruktur) (Mutahhari, M. 1986). Jadi, kepentingan fisik (bendawi), keprimaan dan kepentingan kebutuhan bendawi adalah mendahului atau memotivasi munculnya kebutuhan jiwa atau kebutuhan-kebutuhan akal manusia. Ketiga, eksistensi manusia sejati adalah eksistensi dimana kemampuankemampuan produksi manusia dikembangkan secara memuaskan. Bagi Marx, bahwa proses cara produksi (mode of production) barang-barang material di masyarakat itu terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu: (a) kelompok kapitalis (pemilik modal kapitalis), dan (b) kelompok proletariat (pekerja/ buruh). Kelompok kapitalis berusaha memperoleh keuntungan materi sebesarbesarnya dengan meminimalkan upah kaum proletar, sedangkan disisi lain kaum proletariat juga ingin mendapat upah yang tinggi karena kerja kerasnya, sehingga konflik tidak bisa dihindarkan. Konflik diperparah oleh realitas kaum buruh (proletariat) yang ter-alienasi (‘terasing’) oleh: pekerjaannya, karena diperlakukan sebagai bagian alat produksi yang bersifat mekanik; hasil pekerjaannya, karena mereka hanya mendapat upah minimal; kemampuannya, karena mereka tunduk pada mesin; dan hubungan kerja, karena terjadi persaingan yang tidak sehat (Johnson, D.P. 1981. Ritzer, G. (ed). 2001). Keempat, dalam masyarakat kapitalis, dominasi kelas penguasa (the ruling class) sangat besar, sedangkan kelas proletar (buruh) terkungkung oleh kaum kapitalis, sehingga proletar teralienasi (terasing), untuk memecahkan alienasi. Marx menawarkan konsep dialektika (Tesis= kesadaran kelas; Antitesis = melawan terhadap dominasi kelas penguasa; dan

58

Sintesis = muncul dominasi baru/

masyarakat tanpa kelas/ masyarakat komunis). Jadi, dari proses hukum dialektika tersebut, Marx meramalkan akan tercipta masyarakat tanpa kelas (Sosialisme komunis). Oleh karena itu, asumsi dasar Marx tentang perubahan sosial adalah, masyarakat akan berevolusi dari: feodalisme ke kapitalisme dan terakhir adalah sosialisme komunis (Surbakti, R., 1997a; Jones, PIP.2003). Kelima, konsep kunci Marx tentang materialisme dialektika adalah: Mode of Production/ MoP (tata cara produksi); the force of production (kekuatan produksi), hal ini dapat menentukan struktur kelas); dan Relation of production (hubungan produksi). Hubungan produksi oleh Marx disebut struktur kelas. MoP ini oleh Marx dianggap sebagai substruktur yang mendasari dan menentukan kehidupan sosial di masyarakat. Jadi, materi sebagai sumber segala persoalan hidup manusia, sedangkan semua aspek selain materi hanyalah penunjang atau sesuatu yang tidak begitu penting bagi kehidupan manusia (Mutahhari, M. 1986; Salim, 2002). Keenam, kepentingan ekonomi menjadi sebab dasar terjadinya konflik (kapitalis mengeksploitasi kaum proletar). Konflik mengarah ke pola perubahan revolusi. Bagi Marx, satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk keluar dari sistem kapitalis yang ‘sangat’ tidak adil itu adalah melakukan revolusi. Menurut Marx, suatu perubahan secara revolusi bisa terwujud apabila ada dua hal, yaitu: (a) kaum proletariat harus mempunyai kesadaran diri yang sangat kuat bahwa dia sebagai orang yang tertindas, hal ini untuk menumbuhkan militansi gerakan untuk berubah secara revolusi; dan (b) kaum proletariat harus mengelompokkan diri dalam satu wadah organisasi yang disebut ‘organisasi kaum buruh’. Menurut Marx, agar kesadaran kaum buruh (proletariat) tetap kokoh dan militan, maka diperlukan propaganda secara terus menerus (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a) Jadi, pandangan Karl Marx, tentang perkembangan kehidupan masyarakat dari konsep ‘hak milik’ sampai tebentuknya ‘masyarakat komunis’ (tanpa kelas), dapat diilustrasikan sebagai berikut:

a. Pentingnya hak milik (kelas sosial ditentukan oleh hak milik alat-alat produksi, dan hak milik ini dikuasai kaum borjuis atau kaum kapitalis).

b. Determinisme ekonomi (kepentingan materi/ ekonomi sebagai dasar dari segala aspek hidup: politik, ideologi, sosial, budaya). Politik, ideologi, sistem sosial ditentukan oleh kelas borjuis, karena menguasai ekomoni atau alat produksi.

c. Polarisasi kelas (terjadi kelas radikal yang terpecah dalam masyarakat antara kelas borjuis dan proletar secara terus menerus), hal ini sebagai reaksi dari determinisme ekonomi.

d. Teori nilai surplus (para kapitalis terus mengeksploitasi kaum buruh, sehingga keuntungan (profit) menumpuk pada kaum borjuis), akibat berikutnya adalah

59

terjadi kesenjangan sosial-ekonomi antara kelas kaya dan kelas miskin semakin besar.

e. Alienasi (keterangingan, yaitu kaum buruh terasing terhadap kerja, terasing terhadap modal, terasing dari jiwa aman dalam bekerja, karena kaum buruh terus dieksploitasi oleh majikan/kaum borjuis).

f. Solidaritas dan antagonisme kelas (dengan tumbuhnya kesadaran kelas, maka terjadi kristalisasi hubungan internal masing-masing kelas (terutama dalam kelas buruh) dan cenderung homogen secara internal, sehingga perjuangan kelas semakin hebat).

g. Revolusi (gerakan perubahan yang mendasar, yaitu gerakan kaum proletar meruntuhkan peran dan dominasi kaum borjuis (kapitalis), yang terus mengeksploitasinya), sehingga kaum proletariat mampu menguasai negara, yang akhirnya muncul diktator proletariat.

h. Terciptanya masyarakat tanpa kelas (komunis). Setelah revolusi berhasil, maka hak milik pribadi lenyap, timbul masyarakat tanpa kelas. Sosialisme komunis inilah oleh Marx dinilai sebagai masyarakat ideal (Rossides, D. W. 1978; Jones, PIP.2003). Uraian singkat tentang pokok-pokok pikiran Karl Marx tentang fenomena sosial tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) keberadaan materi (ekonomi) menentukan kesadaran seseorang (kesadaran sosiologi seseorang); (2) perubahan pada aspek materi akan menentukan perubahan sosial, budaya atau politik atau ideologi; (3) masyarakat tergantung pada kondisi-kondisi materi, dan kesadaran sosialnya ditentukan oleh model-model produksi atau Mode of Production/ MoP; the force of production; dan Relation of production; dan (4) tipologi evolusi masyarakat menurut Marx adalah dari: Kesukuan → Komunalisme → Feodalisme → Kapitalisme → Pemberontakan → Sosialisme (masyarakat komunis).

2. Teori konflik versi Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial Dahrendorf dianggap tokoh teori konflik yang lebih baik analisisnya apabila dibandingkan dengan Marx. Berikut ini beberapa pokok pikiran atau teori konflik Dahrendorf, dalam memahami fenomena sosial budaya, antara lain:

a. Setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap perubahan sosial, baik dalam bentuk integrasi sosial maupun disintegrasi sosial.

b. Apapun keteraturan hidup yang terdapat dalam masyarakat, adalah berasal dari pemaksaan kelompok elit (lapisan atas) kepada para

60

anggotanya (lapisan

bawah). Jadi, teori konflik Dahrendorf lebih menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban (keteraturan) sosial di masyarakat.

c. Setiap masyarakat dimanapun mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus, oleh karena itu menurut Dahrendorf, teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu: teori konflik dan teori konsensus.

d. Bahwa tidak ada masyarakat tanpa konsensus dan konflik. Konsensus dan konflik merupakan dua sisi dalam satu keping mata uang, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain dalam mewarnai proses-proses sosial di masyarakat. Dalam kehidupan sosial di masyrakat tidak akan terjadi konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, demikian juga sebaliknya, konflik yang terjadi antar kelompok dapat menimbulkan konsensus internal (terjadinya solidaritas ingroup) dan integrasi sosial dalam kelompok.

e. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis untuk mengembangkan satu teori tunggal untuk dua persoalan tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari teori tunggal Dahrendorf membangun teori ‘konflik masyarakat’.

f. Tesis sentral Dahrendorf adalah ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’. Dahrendorf sedikit banyak masih dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural (Abraham, 1982; Craib, 1984). Asumsi atau tesis Dahrendorf tentang otoritas adalah, ‘bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam, dan otoritas tidak hanya melekat pada individu, tetapi juga di dalam posisi-posisi sosial di masyarakat’.

g. Tugas pertama dalam melakukan analisis konflik di masyarakat adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas sosial yang ada di dalam masyarakat, yaitu otoritas yang ada pada struktur sosial berskala luas (makro), seperti peranperan otoritas. Jadi, yang dianalisis bukan mengkaji peran individu yang bersifat mikro. Menurut Dahrendorf, otoritas yang melekat pada posisi pada struktur sosial adalah unsur kunci dalam analisis teori konflik versi Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Individu yang punya posisi otoritas makro diharapkan mengendalikan bawahan. Otoritas individu (mikro) ini tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat, atau tunduk pada otoritas makro. Karena otoritas makro adalah absah, sehingga sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang pada otoritas makro.

h. Bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut ‘asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif’. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu

61

yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Masyarakat terdiri dari beragam posisi (Individu dapat menempati posisi otoritas (superordinasi) disatu unit, dan menempati posisi yang subordinasi di unit lain). Konsep kunci lain teori konflik Dahrendorf adalah ‘kepentingan’. Otoritas disetiap asosiasi bersifat dikotomi, yaitu ada dua kelompok kepentingan, yaitu pemegang posisi otoritas/ superordinat (kelompok elit) dan kelompok subordinat (kelompok bawah) yang saling

berbeda

kepentingan.

Ada

dua

kepentingan

yaitu

kepentingan

tersembunyi (tidak disadari) dan kepentingan nyata (sudah disadari).

i. Individu pada posisi dominan (superordinat/ kelompok penguasa/ berpengaruh) berupaya mempertahankan ‘status quo’, sedangkan posisi subornidat terus mendesak

untuk

terjadi

perubahan

sosial

dalam

hidupnya.

Individu

‘menyesuaikan diri’ dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik antara superordinat dan subordinat. Harapan peran yang tak disadari ini disebut ‘kepentingan tersembunyi’. Menurut Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata itu merupakan salah satu tugas utama teori konflik.

j. Kelompok, konflik dan perubahan. Dahrendorf membedakan tiga tipe kelompok, yaitu: (1) kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama, kelompok semu ini adalah calon anggota kelompok kedua, (2) kelompok kepentingan (interst group), kelompok ini adalah agen riil dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan, program dan anggota yang jelas), (3) kelompok konflik (conflict group), yaitu berbagai jenis kelompok yang secara riil (aktual) terlibat konflik kepentingan dalam proses-proses sosial dalam kelompok. Jadi, menurut Dahrendorf, bahwa, ‘konsep

kepentingan

kelompok kepentingan;

tersembunyi;

kepentingan

nyata;

kelompok

semu;

dan kelompok konflik adalah konsep dasar untuk

menerangkan konflik sosial yang terjadi di masyarakat’. Di bawah kondisi yang ideal tidak ada lagi variabel lain yang diperlukan, tetapi karena kondisi tak pernah ideal, maka banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial (inilah yang membedakan dengan teori konfliknya Marx). Jadi, penyebab terjadinya konflik menurut Dahrendorf adalah multiaspek, bukan hanya faktor ekonomi atau kepentingan materiil seperti pandangan Marx.

k. Kondisi teknis seperti kualitas personil dalam kelompok; situasi politik; dan kondisi sosial (hubungan komunikasi) ikut mewarnai kuat atau tidaknya terjadi konflik sosial di masyarakat. Oleh karena itu cara merekrut anggota dalam kelompok semu secara acak (kebetulan) dapat meredam konflik. Jadi, berbeda dengan pandangan Marx, Dahrendorf yakin bahwa ‘lumpen proletariat’ tidak

62

akan membentuk konflik bila proses rekrutmennya acak, tetapi apabila rekrutmen anggota kelompok dilakukan secara struktural (kaku dan ditetapkan/ tidak acak) maka akan memudahkan terjadinya konflik sosial.

l. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah, ‘hubungan konflik dengan perubahan’. Disini Dahrendorf mengakui pikiran Coser, tentang ‘fungsi konflik dalam mempertahankan status quo’. Tetapi Dahrendorf mengakui bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan berfungsi menyebabkan perubahan sosial dan perkembangan kehidupan kelompok (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Rossides, D. W. 1978; Johnson, 1981; Craib, 1984; Jones, PIP.2003). Menurut Turner (1982), teori konflik yang dikembangkan oleh para teoritikus konflik setelah Marx, pada dasarnya berakar dari pemikiran Karl Marx dan pemikiran Max Weber, hanya kedua tokoh ini mempunyai perbedaan sudut pandang, yaitu Marx dari aspek materi (ekonomi), sedangkan Weber dari sudut kekuasaan birokrasi. Ada enam proposisi yang dikemukakan Marx, dan tiga proposisi yang dikemukakan Weber, berkaitan dengan konflik. Proposisi Karl Marx tentang konflik antara lain: a. Semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik kepentingan antara kelompok atas dan kelompok bawah.

b. Semakin kuat kesadaran kelompok bawah (proletar) akan kepentingan mereka bersama, maka akan semakin keras kaum proletar mempertanyakan keabsahan sistem pembagian pendapatan yang ada.

c. Semakin besar kesadaran akan interest (kepentingan) kelompok mereka (proletar) dan semakin keras pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem pembagian pendapatan, semakin besar kecenderungan mereka untuk kerjasama memunculkan konflik menghadapi kelompok yang menguasai sistem yang ada (kelompok kapitalis).

d. Semakin kuat kesatuan ideologi anggota kelompok bawah (proletar) dan semakin

kuat

struktur

kepemimpinan

politik

mereka,

semakin

besar

kecenderungan terjadinya polarisasi sistem yang ada. e. Semakin meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi.

f. Semakin keras konflik yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi pada sistem (perubahan revolusi), dan perubahan secara revolusi akan semakin member peluang terwujudnya proses pemerataan sumber-sumber ekonomis. Sedangkan proposisi yang diajukan Weber berkaitan dengan konflik sosial, di masyarakat antara lain:

63

a. Semakin besar derajat merosotnya legitimasi politik penguasa dalam birokrasi pemerintahan, semakin besar kecenderungan timbulnya konflik social antara kelas atas dan bawah b. Semakin karismatik pimpinan kelompok bawah, semakin besar kemampuan kelompok ini memobilisasi kekuatan dalam suatu sistem, semakin besar tekanan kepada penguasa (lapisan atas) melalui penciptaan suatu sistem undang-undang dan sistem administrasi pemerintahan. c. Semakin besar atau kuat sistem perundang-undangan dan administrasi pemerintahan dalam kehidupan kelompok, akan mendorong dan menciptakan kondisi terjadinya hubungan antar anggota kelompok sosial. d. Kesenjangan hirarki sosial, rendahnya mobilisasi vertikal akan semakin mempercepat terjadinya proses kemerosotan legitimasi politik penguasa dan semakin besar kecenderungan terjadinya konflik antara kelas atas dan kelas bawah di masyarakat (Wrong, D. (ed), 1970). 3. Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf Menurut para ahli, ada beberapa titik kelemahan pandangan Karl Marx dalam memahami fenomena sosial, antara lain: a. Marx terlalu menekankan ‘determinisme ekonomi’ (material) dalam teorinya, padahal faktor ekonomi tidak selalu menjadi ‘kunci utama’ memahami fenomena sosial-budaya dan politik di masyarakat yang sangat dinamik dan kompleks. b. Marx terlalu menekankan bahwa perubahan sosial itu muncul sebagai ‘akibat perjuangan kelas’, padahal banyak faktor penyebab terjadinya perubahan sosialbudaya, tidak hanya karena perjuangan kelas saja, masih ada kepentingan atau aspek-aspek lain, misalnya faktor: keyakinan, ideologi, budaya, psikhologis, dan sebagainya. c. Marx tidak memperhitungkan terjadinya ‘kelas baru’ dalam proses modernisasi (kapitalis modern), yaitu kelas menengah (para profesional, teknisi, dan sebagainya) yang mampu menjembatani dua kepentingan yang berbeda yaitu, antara kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas baru ini muncul bukan sematamata faktor material, tetapi karena ‘keahlian, kemampuan, ketrampilan

atau

profesionalnya’. d. Kesadaran kelas (class conciousness) yang oleh Marx dianggap dapat muncul diantara kaum proletar karena tertindas, dalam realitasnya banyak ‘kesadaran kelas’ tidak muncul secara murni hanya dari kaum proletar yang tertindas, yaitu kaum ‘cerdik cendekia’, bahkan ada juga kesadaran dari kaum proletar yang tertindas tersebut sifatnya adalah kesadaran palsu (false consicousness), karena

64

ketika sebagian kaum proletar yang berhasil naik kelas elit justru dia berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk kelasnya (palsu). e. Marx kurang memperhatikan ‘peranan agama’ atau

tokoh agama sebagai

penggerak atau motivator dalam proses perubahan dalam masyarakat. Dalam realitasnya sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa peran tokoh agama adalah sangat sentral untuk menjadi aktor penggerak terjadinya perubahan sosial budaya di masyarakat f. Perubahan sosial dan pergolakan sosial, dalam realitas yang terjadi di masyarakat, tidak hanya disebabkan oleh konflik

antar kelas yang berbasis

kepentingan ekonomi (materi). Disamping itu apa yang diramalkan Marx, bahwa ‘kapitalisme dunia akan runtuh dan digantikan sosialisme komunis’ (masyarakat tanpa kelas) sampai sekarang belum terbukti. Hal ini membuktikan bahwa pandangan Marx bersifat ‘ahistoris’ atau mengingkari realitas sejarah.. g. Hampir tidak mungkin dalam suatu masyarakat, hanya ada konflik, dan konflik sebagai sumber perubahan, tanpa ada struktur wewenang atau mekanisme pengatur (penguasa), yang mengatur kehidupan masyarakat yang ‘cenderung integratif dan konflik’, karena sifat dasar masyarakat adalah, ‘adanya integrasi dan konflik’. Jadi, pandangan Marx bertentangan dengan realitas karakter dasar sosial budaya di masyarakat yang selalu ada integrasi dan konflik. h. Marx mencampuradukkan konsep sosiologis yang bersifat empiris (dapat diuji kebenarannya) dengan konsep yang bersifat filosofis. Konsep hak milik yang dikemukakan Marx terlalu menekankan pada ‘hak milik dalam arti sempit’ (hak milik secara hukum atau pemodal pribadi), padahal dalam masyarakat modern konsep ‘hak milik suatu industri bisa luas atau kompleks’, yaitu manajer, masyarakat, buruh (saham masyarakat). i. Marx tidak melihat bahwa dalam kelas juga terjadi perkembangan adanya ‘spesialisasi kelas’ (dekomposisi kelas), yaitu dalam kelas proletar ada dua kelas: kelas proletar murni (kelas buruh) dan kelas lumpen proletar (kelas buruh tapi ahli/ profesional dengan gaji tinggi). Marx sangat keliru dalam memandang bahwa perkembangan kekuatan produksi akan mengarah pada homogenitas internal kaum proletariat, dalam kenyataannya tidak pernah ada homogentitas internal proletariat, yang terjadi adalah heterogenitas internal proletariat, karena adanya un-skill labour, semi skill labour dan skill labour

atau profesional

(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004). Sedangkan beberapa teoritikus ilmu sosial yang mengemukakan kritik terhadap teori konflik versi Dahrendort,

65

antara lain: Weingart (1969), Hazelring

( 1972), dan Turner (1973). Dari beberapa kritik para ilmuwan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan. Jadi, teori konfliknya merupakan terjemahan yang tidak memadai dari teori Marxian.

b. Teori konflik Dahrendorf lebih menyerupai dengan fungsionalisme struktural daripada dengan teori Marxian. Dahrendorf dalam teorinya menekankan: ‘Asosiasi yang dikoordinir secara paksa; Posisi dan peran secara langsung mengkaitkan dengan fungsionalisme struktural’.

c. Teori konflik

hampir

seluruhnya

bersifat

‘makroskopik’

(sama

dengan

fungsionalisme struktural) dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada kita untuk memahami pikiran, motivasi, keyakinan, pandangan dan tindakan individu (mikroskopik).

d. Teori konflik Dahrendorf tidak memadai karena masing-masing hanya berguna untuk menerangkan sebagian saja (sisi fenomena konflik) dari kehidupan sosial (Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004). Menurut para ahli, ada ada beberapa sisi perbedaan antara teori konflik Marx dengan teori konflik Dahredorf, sebagaimana dalam bagan berikut. Bagan 2.1. Tentang Perbedaan teori konflik Marxis dan Dahrendorf: No

Teori Konflik Marx

Teori Konflik Dahrendorf

01

Perubahan terjadi secara revolusi. Dan masyarakat terus dalam situasi konflik

02

Sumber konflik adalah kepemilikan sarana produksi. Atau faktor ekonomi (materi) sebagai infra strukturnya Kelompok Lumpen Proletariat akan menjadi penggerak terjadinya konflik dalam kelompok,

Perubahan belum tentu terjadi karena revolusi, tetapi secara gradual, karena ada beberapa hal yang mengalami disfungsi Sumber konflik adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi bukan hanya materi (ekonomi) Kelompok Lumpen Proletariat tidak akan menjadi penggerak konflik bila proses rekrutmennya acak.

03.

04.

Konflik akan berakhir kalau terjadi masyarakat tanpa kelas (sosialis komunis)

Konflik berjalan terus menerus sepanjang ada masyarakat.

Para Sosiolog membedakan dua kategori besar dalam teori konflik, yaitu:

a. Konflik endogenous (konflik dari dalam) masyarakat, yang sebab terjadinya secara analitis dibedakan menjadi: (1) keinginan berubah secara inheren dari warga masyarakat; (2) distribusi kebutuhan atau kepentingan yang beragam

66

terhadap sesuatu yang dihargai dalam masyarakat; (3) konflik nilai didalam masyarakat yang merupakan akumulasi dari inovasi, revolusi teknologi, krisis lingkungan dan orientasi nilai baru; (4) konflik kewenangan (otoritas) didalam kelompok; (5) konflik individual dan konflik didalam masyarakat.

b. Konflik eksogenous (konflik dari luar) masyarakat, yang sebab terjadinya secara analitis adalah: (1) adanya peperangan antar masyarakat; (2) terjadinya invasi kultural, atau penjajahan politik dari luar; dan (3) konflik ideologi, seperti kapitalisme, komunisme, demokrasi, fundamentalisme antar masyarakat atau banga. c. Uraian tentang teori konflik Marx dan Dahrendorf tersebut di atas dapat

disimpulkan

dengan

beberapa

asumsi

dasar

perspektif

konflik

tentang

‘perubahan sosial-budaya’ sebagai berikut: (a) setiap masyarakat senantiasa dalam proses perubahan, perubahan dianggap inheren dalam masyarakat (Spencer, M. 1982; Horton and Hunt, 1984); (b) setiap elemen masyarakat memberikan andil untuk terjadinya konflik dan perubahan sosial-budaya. Masyarakat bukanlah sebuah sistem yang berada dalam situasi equilibrium, melainkan terbentuk karena adanya paksaan dan tujuan tertentu (Zeitling, 1973; Surbakti, R., 1997; Turner, B., 2000); (c) konflik endogenous berasal dari kegagalan integrasi dan struktural yang sama. Konflik terjadi karena distribusi penghargaan tidak sama dan paksaan dari pihak superordinat dan kurangnya nilai konsensus dalam kelompok; (d) sumber konflik adalah karena adanya ‘kepentingan ekonomi’ (menurut Marx) dan ‘beragam kepentingan’, misalnya: kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan aspek sosial (menurut Dahrendorf); (e) masyarakat selalu berubah setiap saat dan perubahan sosial itu terjadi di manamana; (f) konflik meskipun inheren dalam struktur sosial, tidak selamanya merusak dan bersifat nyata (manifest), namun juga bersifat tersembunyi (latent). Konflik bisa ditekan dan dikontrol, tetapi tidak bisa dihilangkan oleh siapapun dalam proses kehidupan masyarakat (Blowers, 1976; Rossides, D. W. 1978; Turner, J., 1982). 4. Pandangan teori neo Marxian atau neo konflik Sebelum menjelaskan tentang beberapa konsep tentang teori neo-Marxian atau neokonflik, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan teori neo Marxian adalah: (a) teori-teori konflik yang dikemukakan para ilmuwan sosial setelah munculnya teori konflik Marx, dan teori tersebut masih berorientasi pada teori konflik Marx serta sifatnya lebih menyempurnakan asumsi-asumsi Marx tentang konflik sosial dalam hubungannya dengan perubahan sosial di masyarakat; (b) apabila perspektif konflik Marx lebih mendasarkan pada aspek ekonomi sebagai

67

‘pen-determinasi’ (infra-struktur) semua aspek kehidupan sosial (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, 1986), maka teori neo Marxis beranggapan bahwa faktor kunci konflik bukan semata-mata karena kepentingan ekonomi, tetapi ‘multi-faktor’ (Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Variasi teori Neo Marxian atau neo-konflik ini sangat beragam, antara lain: (a) Determinisme Ekonomi; (b) Marxisme Hegelian; (c) Teori Kritis; (d) Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian; (e) Marxisme Berorientasi Historis; (f) Analisis Sosial Neo-Marxian; dan (g) Teori Post-Marxis (Johnson, D.P., 1981; Sztompka, P. 1993). Pengaruh teori konflik dalam studi

sosiologi berada dalam rentang waktu

yang sangat panjang (sejak tahun 1818 sampai awal tahun 1960-an). Para tokoh teori konflik antara lain: (a) Karl Marx dan Robert Park, yang dikenal dengan pendekatan ‘Sistemik konvensional’ (revolusionis); (b) Vilfredo Pareto dan Torstein Veblen, yang dikenal dengan ‘Tipe naturalistik konvensional teori konflik’ (revolusionis); (c) Ralf Dahrendorf dan Wright Mills, yang dikenal penganut pendekatan atau aliran ‘Sistemik modern’ (revolusionis); dan (d) Lewis Coser dan David Reisman, yang dikenal penganut model ‘Naturalistik modern’ (fungsionalisevolusionis) (Kinloch, 2005). Banyak teoritisi konflik yang masuk dalam kelompok Neo-Marxian atau neokonflik, antara lain: (a) George Lukacs, sumbangan besar Lukacs terhadap teori neo Marxian adalah berupa gagasan tentang ‘reifikasi dan kesadaran kelas’; (b) Antonio Gramsci, dia tetap mengakui faktor ekonomi sebagai penyebab konflik dan revolusi, tetapi ada juga faktor lain yaitu massa perlu mengembangkan ‘ideologi revolusioner’, dan dalam membangkitkan ideologi revolusioner, massa harus ada ‘tokoh intelektual’. Baik Lukacs maupun Gramsci sama-sama memusatkan perhatian pada aspek ‘Gagasan kolektif’ daripada aspek ‘Struktur ekonomi’ sebagai penyebab konflik, sebagaimana pandangan oleh Karl Marx; (c) Henri Lefebvre, dia mengatakan bahwa teori Marxian (neokonflik) perlu menggeser fokusnya dari ‘caracara produksi ke produksi ruang’ (dari produksi ke reproduksi). Ruang berfungsi dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur kelas di dalam sistem ekonomi. Menurut H. Lefebvre, setiap aksi revolusioner harus berhubungan dengan ‘restrukturisasi ruang’ (Ritzer dan Goodman, 2004); (d) Lewis Coser, menurut Coser bahwa: Konflik meningkatkan penyesuaian sosial; Konflik bermula dari tuntutan rasio penghargaan; Struktur sosial bisa berbentuk tertutup dan terbuka; Tipe-tipe masalah menyangkut pengaruh konflik dan konflik akan menjadi fungsional bagi sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969); dan (e) David Reisman, dia menjelaskan relevansi ‘perubahan demografi’ sebagai fundasi konflik sosial. Baik L. Coser maupun D. Reisman adalah termasuk tokoh teori Neo-Marxis

68

atau neo konflik (teori konflik modern) yang bersifat naturalistik, makroskopik, organik, evolusioner dan struktural (Kinloch, 2005) Dalam posisi kajian ini, teori Neo Marxian atau neokonflik yang diuraikan secara singkat

adalah teori neokonflik Lewis Coser, yang oleh sebagian ahli

dianggap sebagai ‘teori konflik modern yang bersifat ‘Naturalistik dan evolusioner’. Hal ini bukan berarti hanya teori Neo Marxian L. Coser saja yang cocok untuk dijadikan orientasi teori dalam suatu kajian fenomena sosial-budaya di masyarakat. Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau asumsi teori konflik L. Coser, dalam memahami fenomena sosial-budaya antara lain: a. Konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan penyesuaian sosial adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bisa bersifat fungsional dan bisa tidak fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya dalam kehidupan sosial di masyarakat. b. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional struktural), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan kelompok memerlukan adanya konflik antar unsur (sub sistem) (teori konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional struktural), perpecahan dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Poloma, M. M. 1979; Cambell, 1994). c. Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial, eksistensi

institusi

katup

keselamatan

(savety-valve

institutions),

konflik

institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat, tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. Jadi, semakin erat sistem stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin rendah institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial di masyarakat. d. Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibelitas dan integritas sosial. Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan tertutup akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi. e. Pada dasarnya perspektif

fungsional struktural dan perspektif konflik adalah

‘saling kait mengkait’ dalam memahami masyarakat secara holistik tentang proses-proses sosial. Menurut teoritikus neokonflik, baik teori fungsional maupun

69

teori konflik, adalah sama-sama teori parsial (hanya menyinggung satu sisi/ aspek kehidupan) dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di masyarakat. f. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (teori fungsional), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan mendorong terjadinya dinamika hidup, maka kehidupan sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau sub sistem (teori konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969; Cambell, 1981). g. Fungsi konflik adalah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain; (b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi menjadi tidak terisolasi, semula pasif menjadi aktif, semula statis menjadi dinamik; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi (artinya fungsi, peran dan batas-batas musuh dengan konflik semakin jelas) antar anggota dalam kelompok atau antar kelompok. Di atas merupakan fungsi konflik yang lebih positif, tetapi konflik juga mempunyai ‘disfungsi’ atau fungsi negatif (Poloma, M. M. 1979; Ritzer dan Goodman, 2004). h. Ada beberapa konsep penting dari pandangan L. Coser dalam menganalisis tentang konflik dan perubahan sosial-budaya di masyarakat, antara lain: (a) terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial masyarakat dengan konflik dan kekuasaan; (b) bahwa bentuk perubahan sosial lebih bersifat evolusi daripada revolusi; (c) bahwa

konflik yang mempunyai suatu fungsi tentang

kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya (makna fungsional konflik); dan (d) kerangka konflik yang terjadi di masyarakat tidak semata-mata

berbasis ekonomi (seperti pandangan Karl Marx), tetapi juga

berbasis non ekonomi (Turner, J.H. 1982; Kinloch, 2005). 5. Pandangan teori konflik integratif Collins Tokoh utama dalam upaya membangun ‘teori konflik yang lebih sintesis dan integratif’, adalah Randall Collins (karyanya Conflict Sociology, 1975). Sedangkan beberapa pokok pikiran Randall Collins tentang teori ‘konflik integratif’ antara lain:

a. Teori konflik integratif Collins lebih condong berorientasi ‘mikro’, sedangkan konflik Marx dan Dahrendorf lebih bersifat ‘makro’. Jadi, Collins telah memberi ‘kontribusi penting bagi teori konflik versi Marx, khususnya dalam menambah analisis fenomena sosial-budaya pada tingkat mikro, dan dia mengatakan,

70

bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari’ di masyarakat.

b. Perhatian terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis (politis). Bahwa konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Konflik Marx dan Dahrendorf memulai dan tetap menganalisis level kemasyarakatan (makro), sedangkan Collins lebih mendekati konflik dari sidut pandang individu (mikro), karena akar atau orientasi teori Collins adalah ‘fenomenologi dan etnometodologi’.

c. Marx dan Dahrendorf memandang, bahwa struktur sosial berada di luar (eksternal), dan memaksa atau menentukan pihak aktor (individu) dalam prosesproses sosial-budayanya, sedangkan Collins cenderung melihat struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari aktor (individu) yang berbuat atau membangunnya (internal). Struktur sosial oleh Collins lebih sebagai ‘pola interaksi’, ketimbang sebagai ‘kesatuan eksternal dan imperatif’ (seperti pandangan Marx dan Dahrendorf).

d. Menurut Collins, teori konfliknya sedikit sekali dipengaruhi oleh Marxian, dan justru lebih banyak dipengaruhi pandangan Weber, Durkheim dan terutama teori fenomenologi dan teori etnometodologi.

e. Tentang stratifikasi sosial. Collins lebih memusatkan pada stratifikasi sosial, karena stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh banyak ciri kehidupan, bidang: ekonomi, politik, keluarga, gaya hidup, sosial dan sebagainya. Jadi, proses analisis Collins terhadap fenomena sosial adalah lebih tertuju pada fenomena ‘mikrososiologi stratifikasi’.

f. Collins mengkritik teori fungsionalisme dan Marxian, antara lain:

(1) teori

fungsional struktural dan teori konflik Marx dianggap sebagai teori yang gagal menjelaskan stratifikasi sosial; (2) teori fungsional struktural dan teori konflik Marx, dalam penjelaskan fenomena sosial bersifat monokasual untuk kehidupan yang multikasual (kompleks). Meskipun demikian pandangan R. Collins tetap ada sebagian yang dipengaruhi oleh pandangan Marx.

g. Teori stratifikasi konflik Collins. Meski Collins pola pikirnya dilatarbelakangi oleh pandangan Marxian dan Weber, tetapi teorinya tentang stratifikasi konflik lebih menyerupai teori fenomenologi dan etometodologi. Asumsi Collins adalah (1) setiap orang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga mudah berkonflik dalam prose-proses sosial di masyarakat; (2) setiap orang dalam hidup mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, sehingga dalam kehidupan kelompok atau masyarakat sering terjadi beragam benturan kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

71

h. Pendekatan konflik Collins terhadap stratifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip, yaitu: (1) bahwa manusia hidup dalam dunia subyektif yang dibangun sendiri (faktor internal); (2) orang lain mempunyai kekuasaan atau pengaruh untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif sesorang individu (faktor eksternal); dan (3) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Ketiga sebab inilah yang memunculkan konflik antar individu, dan konflik bersifat integratif.

i. Berdasarkan tiga pendekatan tersebut Collins mengembangkan lima prinsip analisis konflik yang diterapkan pada stratifikasi sosial (Collins, yakin lima prinsip itu bisa juga diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial budaya), yaitu: (1) bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata ketimbang pada formulasi abstrak (hal ini menunjukkan Collins lebih menyukai gaya analisis material Marxian daripada gaya abstraksi fungsionalisme); (2) bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material yang mempengaruhi interaksi (misalnya, lingkungan fisik, mode komunikasi, senjata, peralatan), namun Collins tetap memandang sumber daya masingmasing aktor beragam; (3) bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mengeksploitasi kelompok sumber daya yang terbatas; (4) teoritisi konflik harus melihat fenomena kultural seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan; (5) sosiolog tidak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi juga harus menelitinya secara empiris, dan bila memungkinkan secara komparatif. Hipotesis harus dirumuskan dan diuji secara empiris.

j. Dari kelima prinsip analisis konflik tersebut, Collins mengemukakan tiga proposisi tentang hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial (konflik integratif), antara lain: (1) pengalaman memberikan dan menerima perintah, adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu sehari-hari; (2) makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan diri dengan tujuan oragnisasi serta dengan mengatasnamakan organisasi dia menjustifikasi perintahnya; dan (3) makin sering orang menerima perintah, makin ia patuh , makin fatalistis, makin terasing dari tujuan organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral (Ritzer dan Goodman, 2004). k. Collins juga memandang: (1) organisasi adalah arena untuk bersaing; (2) penggunaan paksaan menimbulkan upaya yang kuat untuk menghindari menjadi

72

pihak yang yang dipaksa; (3) Bahwa penawaran pemberian imbalan secara material adalah strategi yang lebih baik.

6. Perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori konflik Menurut para ahli ada beberapa perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural dan teori konflik dalam memahami fenomena sosial di masyarakat. Perbedaan tersebut dapat dilustrasikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori Konflik: No 01

Konsep fenomena sosial Kehidupan sosial (masyarakat)

02

Stratifikasi sosial

03

Diferensiasi sosial

04

Perubahan sosial

Perspektif Fungsional Struktural

Perspektif Konflik

Masyarakat cenderung untuk mempertahankan sistem kerja menuju kearah keseimbangan (equilibrium), dan relatif terintegrasi, keserasian fungsi sosial Lapisan sosial diperlukan semua orang, untuk menentukan status dan peran, hak dan kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat. Lapisan sosial dapat digunakan sebagai media selektif atas keahlian individu, media kompetisi menuju status lebih tinggi Setiap lapisan membangun pola gaya hidup dan perasaan yang berbeda. Kondisi objektif kehidupan yang menampilkan serba keberagaman, untuk menentukan hak dan kewajibannya berdasarkan norma yang disepakati Tidak dapat dihindarkan, terutama pada masyarakat yang kompleks, disebabkan beragam keahlian, profesi individu dalam masyarakat

Masyarakat cenderung untuk berada dalam konflik terus menerus antar individu/ kelompok dan terus dalam ketegangan.

Timbul dari perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus menerus. Bentuk perubahan

73

Lapisan sosial tidak diperlukan oleh semua orang, karena menimbulkan diskriminasi hidup Lapisan sosial dapat menghambat keahlian, bakat lapisan yang bawah Sekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan berkembang untuk mengeksploitasi lapisan bawah Kondisi subjektif kehidupan, yang menunjukkan adanya lapisan elite untuk memaksakan dan melanggengkan kekuasaan/ kepentingannya pada yang lemah Tidak perlu dan tidak adil. Terutama disebabkan perbedaan dalam kekuasaan. Jadi,perlu ditempuh jalan penyusunan masyarakat sosialistis Dipaksanakan oleh suatu kelas ke kelas lainnya untuk ke pentingan kelas elite. Atau kelas proletar melakukan

bersifat evolusi, dan selalu mengarah ke seimbangan sistem

gerakan revolusi untuk merubahan dominasi kelas borjuis

05

Tertib Sosial (social control)

Hasil usaha tidak sadar dari anggota masyarakat untuk mengorganisir kegiatan mereka secara produktif Kehidupan sosial tergantung kepada solidaritas bersama

06

Nilai-nilai dalam kehidupan sosial

07

Lembaga2 sosial

Konsensus atas nilai-nilai, sebagai pemersatu anggota masyarakat (norma- nilai dasar hidup) Kehidupan sosial melibatkan komitmen/ konsensus bersama untuk hidup berkelompok Berfungsi menanamkan nilai-nilai umum (disepakati bersama) demi keserasian fungsi (integrasi).

08

Hukum dan pemerintahan

Menjalankan peraturan yang mencerminkan kesepakatan (konsensus) nilai-nilai masyarakat

Dihasilkan dan di pertahankan oleh pemaksa yang ter organisir oleh kelas yang dominan. Kehidupan sosial selalu menghasilkan suatu oposisi, karena ke hidupan sosial melahir kan konflik struktural Kepentingan yang bertentangan akan memecahbelah masyarakat. Konsensus nilai, hanyalan & alat kaum penindas (elite). Kehidupan sosial penuh dorongan kepentingan (dasar hidup) untuk menguasai Berfungsi menanamkan nilai dan kesetiaan yang melindungi kepentingan kaum elite yang punya hak istimewa Menjalankan peraturan yang dipaksakan oleh kelas dominan untuk melindungi hak istimewanya

09

Sistem sosial

Sistem-sistem sosial diintegrasikan dalam kehidupan kelompok. Dan sistem sosial cenderung untuk bertahan lama

Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi. Dan sistem sosial cenderung untuk berubah

( Horton & Hunt, 1996; Craib, 1992). 7. Pandangan paradigma fungsional dan struktural radikal Menurut para ahli, teori sistem, teori fungsional struktural termasuk

neo-

fungsional, dan teori konflik termasuk neo-Marxian adalah teori-teori sosiologi yang berparadigma fakta sosial (Ritzer, G., 1980), atau teori-teori yang berparadigma fungsional dan berparadigma struktural radikal. Menurut Burrell dan Morgan (1994), beberapa pandangan paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal antara lain: Pertama, pandangan paradigma fungsional, antara lain: (1) paradigma ini dalam memahami fenomena sosial menggunakan pendekatan objektiv dan berorientasi pada paham positivisme; (2) paradigma ini bercirikan: menjelaskan

74

kehidupan sosial dari dimensi status quo, order sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas kelompok. Paradigma ini melakukan kajian sosiologi dari pendekatan makro; dan (3) paradigma ini cenderung berorientasi pada masalah dan upaya pencarian solusi praktikal dari permasalahan yang ada. Atau pentingnya pemahaman realitas sosial ke arah order, equilibrium, stabilitas sosial, dan perlunya nilai-norma sosial sebagai alat kontrol sosial individu (eksternal mempengaruhi internal). Paradigma ini berpengaruh pada teori-teorinya: A. Comte; H. Spencer; T. Parsons; E. Durkheim, dan V. Pareto. Kedua, pandangan paradigma struktural radikal, antara lain: (1) paradigma ini mengusulkan studi sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang objektivistis Teori-teori yang tergolong pada paradigma ini antara lain: teori konflik dan variannya; teori radikal organism; (2) paradigma ini berkaitan dengan perubahan radikal, analisis emansipasi dan potensi yang lebih menekankan pada konflik struktural, model dominasi, kontradiksi dan perampasan; dan (3) paradigma ini berawal dari pandangan yang bersifat realis positivisme dan nomotetik (manusia ditentukan oleh struktur sosial atau faktor eksternal). Paradigma struktural radikal memandang bahwa perubahan radikal di masyarakat diciptakan dalam struktur masyarakat kontemporer, dan masyarakat kontemporer banyak ditandai oleh adanya krisis politik dan krisis ekonomi. Paradigma ini mewarnai pandangan Karl Marx (Burrell, G. and Morgan, G. 1994; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001). E. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik Uraian tersebut di atas (teori sistem; teori fungsional struktural dan neofungsional; teori konflik dan neo-Marxian) merupakan teori-teori yang tergolong pada paradigma fakta sosial dan berorientasi pada paham positivisme, atau naturalisme, atau saintisme (Poloma, M. M. 1979; Ritzer, G. 1980), atau teori-teori yang tergolong pada paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal. Sedangkan teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi termasuk teori yang berparadigma definisi sosial dan berorientasi pada paham idealisme, atau konstruktivisme. Atau teori yang berparadigma humanis radikal dan paradigma interpretif (Burrell, G. and Morgan, G. 1994). Ditinjau dari segi orientasi filosofis, maka teori interaksionis simbolik adalah berlandaskan pada aliran filsafat pragmatisme. Sedangkan pokok-pokok pandangan aliran filsafat pragmatisme antara lain: (1) realitas yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan (individu) ketika individu itu berpikir dan bertindak di dan terhadap dunia; (2) bahwa manusia mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka; (3) manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan manfaatnya bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) apabila

75

individu ingin memahami orang lain yang melakukan tindakan (aktor), maka individu yang memahami tersebut harus mendasarkan pemahamana itu pada apa yang sebenarnya dilakukan / dipikirkan oleh orang lain (Kattsoff, L.O., 1996; Mulyana, D., 2002). Teori interaksionis simbolik juga telah mengilhami perkembagan teori-teori lain yang berbasis paradigma definisi sosial, antara lain: (a) teori penamaan/ label (labeling theory) tentang terjadinya perilaku menyimpang; (2) teori dramaturgi oleh Erving Goffman; dan (3) teori etnometodologi oleh Harold Garfinkel. Jadi, ketiga teori tersebut dapat dianggap sebagai varian-varian teori interaksionis simbolik. Berikut ini akan dijelaskan secara garis besar tentang pandangan teori interaksionis simbolik dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat. Pandangan teori Interaksionis Simbolik tentang fenomena sosial-budaya Menurut para ahli tokoh-tokoh yang mengembangkan teori interaksionis simbolik antara lain: Horton Cooley; John Dewey; William I. Thomas; Herbert Mead; Herbert Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini penjelasan teori interaksionis simbolik akan banyak menguraikan pandangan-pandangan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, karena kedua tokoh ini dianggap oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar teori interaksionis simbolik. Perspektif teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer sebenarnya berada di bawah payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam paradigma

‘definisi

sosial’

(Rossides,

1978;

Soeprapto,

2002).

Perspektif

fenomenologis adalah mewakili semua pandangan ilmu sosial yang menganggap ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Pandangan teori interaksionis simbolik oleh para ahli juga sering disebut sebagai teori sosial yang tergolong dalam ‘perspektif interpretif’ dan berorientasi pada ‘filsafat pragmatisme’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Teori interaksionis simbolik George Herbert Mead Herbert Mead adalah pemikir terpenting dalam sejarah teori interaksionis simbolis, dan buku berjudul ‘Mind, Self, and Society’ adalah karya terpenting H. Mead. Berikut ini beberapa pokok pandangan teori interaksionis simbolik versi H. Mead, antara lain Pertama, tentang Tindakan. Dalam menganalisis tindakan, Mead melakukan pendekatan perilaku dan berfokus pada stimulus (pendorong) dan respon. Menurut Mead, ‘stimulus sebagai kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah untuk bertindak’. Mead mengidentifikasi ada empat tahap dasar yang saling berhubungan dalam bertindak, yaitu: (1) tahap impuls, yaitu tindakan yang melibatkan ‘respon panca indera secara cepat/ langsung’. Contoh impuls, adalah rasa lapar dan haus. Respon manusia terhadap stimulus rasa lapar tidak seperti binatang,

76

karena respon manusia masih melibatkan pikiran dan perasaan; (2) tahap persepsi, dimana pelaku mencari dan bertindak terhadap stimulasi yang berhubungan dengan impuls, pada kasus rasa lapar adalah berbagai cara dilakukan untuk meraih perasaan puas. Orang memiliki kemampuan untuk merasakan atau menerima stimulus melalui mendengar, mencium, mengecap, melihat, meraba. Individu tidak hanya merespon stimulasi eksternal dengan cepat (langsung/ otomatis) tetapi individu memikirkan, menilainya, melihat pengalaman yang lalu, dan menyeleksi stimulus yang ada untuk mencari yang terbaik; dan (3) tahap pelaksanaan, yaitu tahap mengambil suatu tindakan yang memuaskan atau yang dianggap baik dan menyelamatkan hidupnya ke depan. Menurut H. Mead, manusia merupakan pencipta, pelaku, pelaksana dan pengarah diri sendiri dalam tindakan atau interaksi (Turner, J. 1982; Surbakti, R., 1997b) . Manusia melakukan tindakan sesuatu adalah berdasarkan ‘arti /makna’ yang dimilikinya, sedangkan asal mula munculnya ‘arti/ makna terhadap sesuatu’ adalah dari proses interaksi sosial. Jadi, interaksi simbolik memandang ‘arti / makna’ merupakan produk sosial / hasil modifikasi dari interaksi sosial. Manusia adalah makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi selama proses interaksi (Campbell, T. 1981; Soeprapto, R., 2002). Dalam bertindak, individu berusaha untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang diinginkan atau apa yang menjadi tujuannya, menggambarkan arah tingkah lakunya, memperkirakan situasinya, mencatat dan menginterpretasikan tindakan orang lain, mengecek dirinya sendiri, menggambarkan apa yang akan dilakukan dengan faktorfaktor lain. Jadi, bagi Herbert Mead, manusia adalah makhluk aktif, dinamik, dan mampu memodifikasi dan menginterpretasi tindakan dalam proses interaksisosial (Rossides, D. W. 1978; Abraham, F.M. 1982). Kedua, tentang Isyarat. Menurut Herbert Mead, isyarat adalah mekanisme dasar dalam tindakan sosial dan dalam proses-proses sosial di masyarakat. Ada dua macam isyarat, yaitu: (a) isyarat ‘tidak signifikan’ yaitu tindakan yang muncul karena tidak diawali dengan kesadaran tinggi; dan (b) isyarat ‘signifikan’, yaitu tindakan yang mucul dari kesadaran yang tinggi. Isyarat vokal (bahasa) dalam interaksi sosial adalah sangat penting untuk pengembangan isyarat ‘signifikan’. Jadi, bahasa adalah faktor terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan bahasa berkembanglah ilmu pengetahuan. Atau bahasa merupakan simbol yang signifikan dalam proses interaksi sosial. Dengan menggunakan orientasi pragmatisnya, H. Mead juga melihat ‘fungsi’ dari isyarat pada umumnya dan simbol signifikan pada khususnya. Fungsi isyarat adalah ‘untuk melakukan penyesuaian diri bagi individu dan akan diwujudkan dalam tindakan sosial

77

tertentu sesuai dengan objek tindakan dalam interaksinya’. Simbol signifikan akan bekerja atau berfungsi lebih baik dalam aktivitas sosial individu dibandingkan isyarat non signifikan (Turner, J. 1982). Ketiga, tentang pikiran. H. Mead menyatakan bahwa ciri unik pikiran manusia adalah kapasitasnya dalam hal: (1) menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di sekitarnya; (2) melatih beberapa jalan alternatif untuk menyikapi objek tersebut; (3) menghalangi jalan yang tidak tepat, yang dapat berakibat buruk bagi individu. Mead menganggap proses penggunaan bahasa dan simbol sebagai sebuah pelatihan imajinatif; dan (4) pikiran lebih merupakan ‘proses’ daripada struktur. Sintesa George Herbert Mead: ‘Pikiran, Diri Sendiri, dan Masyarakat’. George Herbart Mead menyatukan konsep mereka dalam sebuah teori perspektif yang koherens yang menghubungkan munculnya pikiran manusia, rasa sosial diri sendiri, dan struktur masyarakat dengan proses interaksi sosial. Mead mengawali sintesanya dengan dua asumsi utama. Pertama, kelemahan biologis manusia mendorong mereka untuk bekerja sama (berinteraksi) dengan orang lain dalam konteks kelompok sosial agar dapat bertahan dalam hidup, dan kedua, aksi atau tindakan antar individu yang diwarnai dengan kerja sama sesama anggota, menyebabkan pertahanan dan penyesuaian diri pada lingkungan mereka akan tetap terjaga dengan baik. Berawal dari asumsi ini, Mead mereorganisasi konsep mereka agar dapat menunjukkan bagaimana pikiran, rasa sosial dan diri sendiri, dan masyarakat muncul dan didukung oleh proses interaksi sosial. Keempat, tentang ’diri’ (self). Konsep ‘diri’ menurut H. Mead

adalah ‘suatu

proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain’. Bagi Mead, konsep ‘diri’ terletak pada konsep ‘pengambilan peran orang lain’ (taking the role of the other). Jadi, konsep ‘diri’ merupakan penjabaran ‘diri sosial’ (social self). Oleh karena itu, bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, tetapi juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan. Kesadaran individu adalah pemahaman manusia atas pengalamannya sendiri, yang memungkinkannya mendefinisikan dirinya sendiri dan keadaannya. Bagi Mead, perilaku manusia tidak terdeterminasi (tertekan atau ditentukan secara mutlak) oleh lingkungan (faktor eksternal) sebagaimana paham kaum positivis (teori fungsional struktural dan teori konflik). Dengan munculnya konsepsi ‘diri’ (self) ini, tindakan individu mengambil konsistensi, dan

kapasitas untuk mendapatkan gambaran diri

sendiri sebagai objek evaluasi dalam interaksi tergantung pada proses pikiran individu. Manusia adalah makhluk yang memiliki ‘diri sendiri’ (objek dirinya sendiri), artinya manusia akan melakukan interaksi dengan dirinya sendiri untuk menghadapi dunia luar, manusia akan menginterpretasi apa yang ada di dunia luar sesuai dengan

78

pikirannya. Menurut H. Mead, ada tiga tingkatan penting pada pengembangan diri, dan dapat meningkatkan konsepsi diri yang lebih stabil. (1) tingkat awal, pengambilan peran dimana gambaran diri dapat ditimbulkan orang terdekat (masa bayi). Dalam permainan, bayi hanya mampu mengenal orang-orang di sekitarnya dalam jumlah terbatas, awalnya mungkin hanya satu atau dua orang yang terdekat. (2) tingkat kedua, seiring dengan pertumbuhan biologis dan praktek pengambilan peran, individu dewasa mampu mengambil peran beberapa orang

ditambah orang-orang dalam

aktifitas organisasi kelompok; (3) tingkat ketiga, pada pengembangan diri ditunjukkan saat individu dapat mengambil peran ‘penyamarataan sesama’ atau ‘komunitas tingkah laku/ etika’ di masyarakat. Pada tingkat ini, individu terlihat mampu mengartikan perspektif

komunitas

secara

menyeluruh,

menangkap

simbol-simbol

dan

menginterpretasi, nilai dan norma dalam berbagai macam interaksi di lingkungan atau masyarakat (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982).. Kelima, tentang

masyarakat. Menurut H. Mead, masyarakat, atau ‘institusi’

adalah menunjukkan proses interaksi yang terorganisasi dan berpola antar individu dan antar kelompok yang beraneka ragam.

Masyarakat juga tergantung pada

kapasitas diri individu , terutama pada proses evaluasi diri dalam penyamarataan dengan yang lain. H. Mead memandang masyarakat selalu mengalami perubahan secara terus-menerus, karena keberadaan masyarakat tergantung pada kapasitas ‘diri’ individu atau perkembangan pikiran individu yang bersifat sangat dinamik. Masyarakat dapat berubah atau dibangun kembali (rekonstruksi) melalui proses yang ditunjukkan oleh konsep pikiran dan diri sendiri melalui interaksi sosial. Bahwa kehidupan kelompok manusia (masyarakat) adalah sebuah proses dimana objek-objek diciptakan, dikukuhkan, ditransformasikan dan bahkan dibuang menurut pikiran individu. Kehidupan kelompok (masyarakat) dan perilaku manusia akan selalu berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi didalam dunia objek mereka (Surbakti, R., 1997b; Soeprapto, R., 2002). Menurut H.Mead, memandang bahwa interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk utama, antara lain: (a) percakapan isyarat (interaksi non simbolik); dan (b) penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Bagi Mead, interaksi simbolik merupakan interaksi yang sangat penting, dan ada beberapa konsep penting yang terdapat dalam interaksi simbolik, antara lain: (1) interaksi simbolis adalah proses-proses formatif dalam haknya sendiri; (2) dalam proses interaksi individu terus menerus melakukan pengembangan penyesuaian tingkah laku, melalui proses dualisme definisi dan interpretasi; dan (3) dalam pembuatan proses interpretasi dan definisi dari tindakan satu orang ke orang lain adalah berpusat pada diri individu.

79

Keenam, tentang metodologi. Metodologi H. Mead dalam memahami fenomena sosial adalah seperti Max Weber, yaitu metode interpretif dan introspeksi. Tipologi pandangan Mead antara lain: (1) interaksi sosial meliputi pemikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; (2) melalui bahasa individu dapat mempelajari sikap dan emosi; (3) karena individu memberikan respons yang cukup berarti, kemudian merealisasikannya melalui komunikasi verbal dan nonverbal, kehidupan sosial itu sendiri termasuk ‘saya’ (reaksi terhadap orang lain), dan ‘aku’ (diasumsikan sebagai sikap); (4) kehidupan sosial itu sediri memiliki sebuah aspek kreatif, dinamik dan spontan yang memberikan

kontribusi

bagi

pola sosialisasi

yang baru dan

mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Dinamiknya (perubahan terus menerus) dalam kehidupan masyarakat karena masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang dinamik dan kreatif (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982). Menurut Kinloch, G. (2005), teori H. Mead tentang masyarakat banyak menimbulkan beberapa perasalahan atau kelemahan antara lain: (1) sintesis analisis antara individu dan masyarakat tidak jelas; (2) kualitas evolusi masyarakat juga sangat umum dan tidak jelas; (3) aspek kreatif dan spontan dari sosial itu sendiri juga hanya dijelaskan secara umum; dan (4) masalah metodologi pendekatan interpretatifintrospektif terus berlanjut sehingga menjadi hambatan bagi para peneliti dalam meyakinkan validasi yang dibuat. Teori interaksionis simbolik Herbert Blumer Beberapa asumsi dasar teori Blumer tentang realitas sosial, antara lain: (1) bagi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, telah disiapkan sebuah perbuatan yang berdasarkan mana-makna, yang objeknya terdiri atas dunia mereka. Objek-objek ini terdiri atas tiga tipe utama: fisikal, sosial, dan abstrak; (2) menggambarkan asosiasi sebagai suatu ‘proses ketika (masyarakat) memberi petunjuk antara satu dan lainnya dan menafsirkan indikasi-indikasi lain, seperti tingkah laku manusia yang diinterpretasi dan dikonstruksi; (3) tindakan tindakan sosial terus menguntruksi sebuah proses yang para pelakunya mencatat, menafsirkan dan menilai untuk menghadapi situasi mereka; (4) hubungan secara kompleks tentang tindakan-tindakan yang terdiri atas organisasi, institusi, pembagian tugas kerangka yang menunjukkan saling bergantung. Jadi, asumsi dasar Blumer adalah: (1) tindakan didasarkan pada makna dan objek; (2) tindakan diinterpretasi dan dikonstruksi; (3) tindakan meliputi diri dan peran yang diambil; dan (4)

organisasi sosial (masyarakat) itu bersifat dinamik, atau terus

berubah-ubah, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang bersifat dinamik.

80

Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain sepanjang hidupnya, dan (c) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Turner, J. 1982; Soeprapto, 2002). Pada dasarnya banyak sudut pandang H. Mead dan H. Blumer tentang fenomena sosial berada pada titik temu pemikiran yang relatif sama, oleh karena itu berikut ini dikemukakan kesimpulan dari beberapa titik kesamaan pandangan kedua teoritikus interaksi simbolik. Kesamaan H.Mead dan H. Blumer dalam memahami fenomena sosial Berikut ini merupakan pokok-pokok pandangan teori interaksionis simbolik Herbert Mead dan Herbert Blumer, dalam memahami fenomena sosial budaya atau tindakan sosial individu dalam masyarakat, antara lain: 1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead

maupun Blumer, antara lain: (a) sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’

dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia

tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan ‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002); dan (b) dalam pandangan teori Interaksionis simbolik H Mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan lingkungannya; Tujuannya; Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan; Aturan-aturan; Peralatannya dan sebagainya. Oleh karena itu memahami manusia harus dengan pendekatan dinamik dan kontekstual serta menyelami pikiran atau pendangannya dalam kehidupan sehari-hari (Rossides, D. W. 1978; Poloma, 1979). 2. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘individu’, baik versi Mead maupun Blumer,

antara lain: (a) bahwa individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya (tindakan sosial di masyarakat) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut; (b) ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan fungsional struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa,

Pikiran’ individu dalam

mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai dengan

81

kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu bersifat aktif bukan pasif (Surbakti, R., 1997b; Ritzer, 2001); dan (c) dalam pandangan teori Interaksionis simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan ditemukan individu dalam proses interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. 3. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang

proses interaksi sosial. Baik

versinya Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’ manusia memungkinkan untuk menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial. Kunci dalam proses interaksi sosial adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu yang ‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau antar kelompok individu dalam masyarakat adalah melibatkan suatu pertukaran simbol. Contoh, kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut kata mobil, maka antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran masing-masing (jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil, dan sebagainya) walaupun wujud mobil itu tidak terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam proses interaksi sosial merupakan ‘pertukaran simbol’ (Rossides, D. W. 1978; Ramlan, S., 1997). 4. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang

‘Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran

adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol (Turner,J., 1982).. ‘Pikiran’ lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam pandangan fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan ‘Diri’ (self) pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang sebagai subjek sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya pengalaman sosial. Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil peranan orang lain’ dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam proses interaksi sosial tidak ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan ditentukan oleh faktor internal, yaitu: pikirannya, motivasinya, pengetahuannya, pandangan hidupnya. Jadi, kualitas faktor internal tersebut itulah yang membentuk objek, menilai berdasarkan makna dan memutuskan untuk berbuat berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma, 2000). 5. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang

‘Masyarakat’, baik versi Mead

maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan

82

masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik. Masyarakat sebagai penyaji sistem sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya

itu sendiri dirumuskan

individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang berbeda (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Soekanto, 2002). 6. Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik H.

Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang terstruktur, pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah sosok dinamis; (b) Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok selalu berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial, adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk menginterpretasikan situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri; (d) Interaksi sosial, adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa menciptakan pemikiran dan kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua di konseptualisasikan sebagai sebuah proses dari apa yang dia amati selama interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik (paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simbolik (paradigma definisi sosial) dalam memahami fenomena perubahan sosial budaya antara lain: 1. Bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya di masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial budaya. Sedangkan dalam teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu perubahan sosial budaya adalah faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, ekonomi, struktur sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985). 2. Posisi individu menurut teori interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-budaya melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses interaksi sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik, posisi individu dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif, terdeterminasi oleh struktur

83

norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang tidak punya kreativitas, semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor eksternalnya’ (Rossides, D. W. 1978; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

F. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Fenomenologi 1. Fenomenologi dalam perspektif filsafat Sebelum menjelaskan beberapa pandangan teori fenomenologi terhadap kehidupan sosial-budaya, penulis memandang perlu untuk menguraikan secara singkat tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat. Aliran fenomenologi juga dikenal dalam dunia kajian filsafat, dan diantara tokoh terkenal dari metode atau aliran fenomenologi dalam studi filsafat adalah Edmund Husserl (1859-1938). Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat antara lain: Pertama, Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi fenomena hidup (gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta (kuantitatif). Bagi Husserl, objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian hasil rasionalistik’ tentang kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri. Kedua, menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’, adalah tergantung oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas transendental’ dalam komunitas antar individu yang ada dalam komunitas tersebut. Ketiga, metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan beberapa ciri antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek. Untuk mencapai objek pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode reduksi (pembersihan) dari unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan pengertian tentang sesuatu dari unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom. Jadi, yang dimaksud metode reduksi adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2) objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala. Fenomena itu adalah data dari gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa adanya); (3) fenomena alam itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi empiris, tetapi fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun fenomenologi Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’ merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak terpengaruh) dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi kesempatan ‘berbicara tentang dirinya sendiri’.

84

Keempat, ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis, maksudnya adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’) dalam kehidupan sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di balik kenyataan ‘X’ yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat dicapai dengan ‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala subjektivitas disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga yang muncul dalam kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut reduksi fenomenologis); (2) reduksi eidetis (inti sari),

maksudnya adalah dengan reduksi eidetis, semua segi,

aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan (karena aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan objek secara utuh). Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam reduksi eidetis adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki. Dalam reduksi eidetis memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus menerus terhadap objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten; dan (3) reduksi fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental, bukan kesadaran empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari reduksi fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para ahli dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978; Bachtiar, W., 2006) Kelima, tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran. Namun para fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi fenomenologi (tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut memberikan kejelasan bahwa metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu saja menerima pengertian dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan yang berpaham strukturalis, karena pengertian atau pemahaman tersebut belum menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Pandangan atau pengertian pertama tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada pandangan kedua untuk menghilangkan tabir yang menghalangi pada pandangan pertama, pandangan kedua untuk menemukan

85

hakikat objek’. Metode fenomenologi ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi filsafat, sosial budaya, ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005). 2. Fenomenologi dalam perspektif teori Menurut para ahli, teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi mempunyai kesamaan pandangan, yang menganggap bahwa ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Oleh karena itu, baik teori fenomenologi maupun teori interaksionis simbolik adalah sering disebut sebagai teori dalam ‘perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi adalah teori-teori sosiologi yang berparadigma definisi sosial atau berparadigma interpretif. Berikut ini kesimpulan sosiolog Burrell dan Morgan (1994) tentang ciri-ciri pandangan paradigma interpretis dalam memahami fenomena sosial-budaya, antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa adanya, atau menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran subjektivitas individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus memahami fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu) secara terus menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan, asumsi, nilai, motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya kehidupan sosial tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial eksternal (realitas sosial eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Jadi, yang menentukan sesuatu itu bermakna atau tidak adalah pikiran dan jiwa individu. Disamping itu paradigma ini bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom, manusia mempunyai keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi); dan (4) berorientasi pada ideologi atau aliran filsafat idealisme. Disamping itu, paradigma ini dalam studi sosiologi bersifat mikro (studi tentang individu dan organisasi yang kecil). Teori-teori sosiologi yang termasuk dalam paradigma ini adalah: teori interaksionis simbolik, teori fenomenologi, teori ethnometodologi, teori tindakan rasional Weber (Soerbakti, R., 1979b; Soeprapto, R. 2002). Fenomenologi dalam perspektif filsafat oleh Husserl tersebut kemudian dikembangkan dalam teori sosiologi oleh Alfred Vierkandt; Alfred Schutz; dan Harold Garfinkel. Kajian tentang teori fenomenologi berikut ini adalah menitikberatkan beberapa pandangan teoritikus fenomenologi Alfred Schutz dan Harold Garfinkel. Beberapa pokok pikiran teori atau pendekatan fenomenologi versi Alfred Schutz (1899-1959), antara lain: Pertama, Schutz menganalisis tentang fenomena sosialbudaya di masyarakat mendasarkan pada aspek pengalaman-pengalaman individu (hal ini bertolak belakang dengan pandangan teori-teori yang berbasis stuktural). Pandangan Schutz banyak berorientasi pada piranti-piranti filsafat fenomenologi

86

Edmund Husserl. Schutz menyetujui metode atau pandangan Husserl tentang ‘memahami realitas sosial-budaya dengan menganalisis kondisi ‘batiniah individu’, yakni beragam pengalaman individu tentang fenomena hidup, yang ia sebut ‘arus kesadaran’. Menurut Husserl segala objek kehidupan sosial-budaya dipahami melalui kesadaran pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan ‘apersepsi’ (pemberian makna secara spontan terhadap objek). Jadi, semua kesadaran adalah kesadaran akan sebuah objek, oleh karena itu realitas objek merupakan konstruksi individu (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001). Kedua, kesadaran mengkonstruksi tersebut merupakan wujud kemampuan individu dalam merefleksi (yaitu bercermin diri untuk melihat apa sisi negatif dan positif, lalu mengambil langkah ke depan yang terbaik) terhadap beragam fenomena kehidupan sehari-hari. Dengan merefleksikan beragam peristiwa masa lampau dipadu dengan pengetahuan yang ada, individu menganalisis dunia sebagaimana dunia itu tampak pada kesadaran individu, mengidentifikasi dan memeriksa ‘beragam objek’. Jadi,

menganalisis

terhadap

fenomena

sosial-budaya

di

masyarakat

harus

mendasarkan kepada beragam pengalaman individu yang dihayatinya. Beragam pengalaman individu di masa lalu dan pengetahan yang dimiliki akan menjadi landasan untuk bertindak dan mengambil sikap terhadap ‘dunia kehidupan sehari-hari’. Perpaduan pengalaman dan pengetahuan tersebut akan menghasilkan ‘tindakan bermakna’, artinya individu melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan kesadaran dan terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Menurut Schutz, bahwa manusia hanya bisa mulai memahami makna tindakan individu ketika individu itu melihat kembali pada saat melakukan refleksi. Kemudian manusia dapat menyeleksi unsur-unsur pengalamannya yang memungkinkan untuk melihat tindakan-tindakan dia sendiri yang bermakna (Cambell, T., 1981). Ketiga, pengalaman masa lalu yang banyak mewarnai tindakan individu merupakan ‘pra-fenomenal’. Bagi Schutz pra fenomenal adalah sesuatu yang fundamental untuk kehidupan manusia sehari-hari. Pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki individu akan membangun kesadaran untuk melakukan ‘tindakan bermakna’ bagi masa depan. Oleh karena itu kehidupan sehari-hari manusia adalah sebuah ‘orientasi pragmatis ke masa depan’. Manusia adalah makhluk yang berpotensi memunculkan masalah dan menyelesaikan masalah, sehingga manusia selalu membangun ‘kesadaran diri yang aktif/ dinamik’ atau ‘motivasi diri supaya lebih baik di masa depan’. Untuk menyelamatkan atau memecahkan masalah tersebut manusia ‘mendefinisikan’ situasinya, artinya individu harus memutuskan dan menetapkan dalam situasi macam apakah ia berada, untuk bisa memecahkan masalah

87

dan meraih tujuan. Agar manusia dapat mendefinisikan situasinya, maka manusia berbekal pengalaman dan pengetahuan untuk melakukan ‘identifikasi objek’. Kemampuan individu dalam ‘mengidentifikasi’ sesuatu untuk ‘mendefinisikan’ objek apapun berdasarkan ‘pengalaman dan pengetahuannya’ (misalnya, mobil, rumah, binatang, pohon dan sebagainya), oleh Schutz disebut ‘tipifikasi’ (typification). Jadi, apa yang dilakukan manusia (individu) adalah menyusun sebuah ‘dunia-dunia’ yang ia ‘maksudkan’ dalam kesadarannya sehari-hari, dengan memakai tipifikasi-tipifikasi yang diteruskan kepadanya oleh kelompok-kelompok sosialnya. Keempat,

pandangan Schutz tentang masyarakat antara lain: (1) pada diri

manusia ada kesadaran akan kehidupan secara bersama, hal ini merupakan ‘kesadaran sosial’. Kesadaran sosial ini berlangsung dengan dua cara, yaitu: (a) kesadaran ‘mengandaikan’ adanya kegiatan orang lain yang dialami bersama dalam tindakan sosial untuk saling memberi reaksi; dan (b) kesadaran memakai tipifikasitipifikasi yang diciptakan dan dikomunikasikan dalam kelompok sosial (kehidupan bersama); (2) sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas linguistik. Masyarakat berada melalui simbol-simbol komunikasi timbal balik antar individu. Oleh karena itu kesadaran sehari-hari juga merupakan kesadaran sosial atau kesadaran yang diwariskan secara sosial (dibelajarkan/ disosialisasikan) mengenai masyarakat. Jadi, dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia ‘inter-subjektif’, keberadaan kelompok bukanlah ‘milikku’ tetapi ‘milik kita’, konsep hubungan inter subjektif merupakan hubungan kita (we-relationship); (3) antar individu menjalin hubungan langsung (tatap muka) dan hubungan tak langsung atau hubungan-hubungan mereka (theyrelationships) untuk membentuk totalitas masyarakat. Masyarakat adalah sebuah konstruksi tipe-tipe ideal yang didefinisikan menurut fungsi-fungsi individu yang bersangkutan; dan (4) masyarakat sebagai sebuah sistem peran-peran dan institusiinstitusi tempat para individu harus menyesuaikan diri. Jadi, masyarakat merupakan produk kultural para individu. Masyarakat merupakan sebuah konsep pragmatif (nilai guna/ manfaat) yang dipakai untuk menata beragam pengalaman individu untuk harapan dan tujuan hidup bersama (Rossides, D. W. 1978; Cambell, T., 1981; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001). Salah satu sosiolog yang mendapat pengaruh dari pandangan Schutz adalah Harold Garfinkel (Bachtiar, W. 2006). Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teoritikus Harold Garfinkel, antara lain: Pertama, meskipun Garfinkel mengakui pandangan atau teorinya dipengaruhi oleh pola pikir Max Weber, tetapi pandangan-pandangan Schutz dijadikan sebagai sumber pokok dalam membangun teorinya yang dia sebut ‘teori etnometodologi’. Jadi, Garfinkel tidak menamakan teorinya dengan ‘teori fenomenologi’ seperti Schutz, tetapi menyebutnya ‘teori

88

etnometodologi’. Pada pokoknya, esensi sudut pandang teori etnometodologi tentang fenomena sosial adalah relatif sama dengan teori fenomenologi, yaitu ‘meletakkan aspek pikiran, jiwa, pandangan atau potensi agen (dimensi internal) sebagai penentu dalam melakukan tindakan sosial dan proses-proses sosial, dan menolak pandangan struktur sosial (dimensi eksternal) sebagai penentu proses-proses sosial di masyarakat’. Kedua, kajian etnometodologi menekankan bahwa aksi-aksi sosial-budaya dan organisasi sosial diproduksi oleh agen-agen (individu) yang dipahami mampu mengarahkan aksinya (tindakannya) dengan mengunakan rasionalisasi pikiran sehat (common sense) yang sesuai dengan situai atau kondisi yang dialami oleh individu (agen) dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, Garfinkel dengan teorinya etnometdologi juga sama-sama mempunyai pandangan seperti teori fenomenologi, yaitu menfokuskan pada makna dan bagaimana makna tersebut secara inter-subjektif dikomunikasikan dalam kehidupan sosial. Menurut Garfinkel, bahwa: (a) perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna dari pada langsung kata-kata itu sendiri; (b) perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum; (c) pemahaman secara umum yang menyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara inter-subjektif; dan (c) transaksi dan peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional. Keempat, menurut Garfinkel setiap peneliti sosial-budaya dalam menganalisis fenomena sosial-budaya harus mengamati dan mempertanyakan pada setiap agen, bagaimana

pandangan,

motivasi

tentang

tindakan

sosial

sehari-hari

untuk

mendapatkan penjelasan dan pengertian secara benar. Jadi, setiap peneliti harus terlibat aktif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengamati dan memahami maknamakna yang sebenarnya dari proses ‘inter-subjektif’ para agen dalam kehidupan sehari-hari (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Bachtiar, W. 2006). G. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Posmodern Uraian singkat tentang pandangan teori postmodern berikut ini diawali dari pembahasan singkat tentang dua hal, yaitu: Pertama,

pengertian tentang post-

modernisme; dan Kedua, beberapa pandangan teori post-modern tentang fenomena sosial budaya Pengertian post-modernisme Istilah ‘post-modern’ pertama kali muncul pada tahun 1930 yang dipakai oleh Federico de Onis dalam bidang seni, kemudian berikutnya istilah ‘post-modernisme’ dipakai di bidang historiografi oleh sejarawan A. Toynbee pada tahun 1947 (Sugiharto, B., 1996). Menurut para ahli, tidak ada definisi atau pengertian yang sama tentang

89

post-modernisme yang dikemukakan oleh para ahli, karena setiap bidang kajian (disiplin ilmu) telah mendefinisikan post-modernisme sesuai dengan sudut pandang bidang kajian atau keilmuan masing-masing, contoh, pengertian post-modernisme menurut seorang seniman atau sastrawan akan berbeda sudut pandangnya dengan seorang ahli dibidang arsitektur, atau berbeda dengan sosiolog, ekonom, politikus, filosof, dan sebagainya. Berikut ini merupakan beberapa konsep tentang pengertian post-modernisme, ditinjau dari beberapa bidang kehidupan, antara lain: 1. Post-modernisme, bermakna hilangnya batas antara seni dan kehidupan, hilangnya batas budaya tinggi dan budaya rendah yang dikonsepsikan oleh modernisme, peleburan segala batas yang diusung oleh modernisme. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi seni-budaya. 2. Post-modernisme, bermakna munculnya atau berkembangnya kecenderungan pola kehidupan yang bertolak belakang dengan segala macam gaya hidup modern, bebasnya daya naluri setiap individu, membumbungnya kesenangan material individu, tingginya intensitas ketegangan struktural masyarakat akibat pola hidup modern. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi sosial-ekonomi. 3. Post-modernisme, bermakna logika kultural yang membawa transformasi budaya secara terus menerus disemua unsur-unsur budaya pada umumnya. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi kebudayaan. 4. Post-modernisme, bermakna adanya dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan-jaringan global kapitalisme multikultural dengan berbasis teknologi informatika dan komunikasi. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme dintinjau dari segi teknologi-ekonomi. 5. Post-modernisme, bermakna peleburan segala batas, wilayah dan keberagaman budaya tinggi-rendah, penampilan dengan kenyataan, terjadinya intensifikasi dinamisme hidup dalam segala hal, upaya tidak henti-hentinya melakukan inovasi, eksperimentasi dan revolusi sosial secara terus menerus. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi sosial. 6. Post-modernisme, bermakna ketidakpercayaan segala bentuk narasi besar (generalisasi konsep yang diusung modernisme), penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang baku (mentalisasi) seperti: Hegelianisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme dan sebagainya, atau post-modernisme merupakan suatu paham yang menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas beragam paradigma (paham-paham) modernisme. Hal ini

90

berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi filsafat (Sugiharto, B., 1996). Diantara faktor penyebab kekaburan makna istilah ‘post-modernisme’ adalah adanya awalan ‘post’ dan akhiran ‘isme’. Awalan ‘post’ dalam post-modernisme adalah untuk menunjukkan pada situasi waktu dan tata sosial sebagai produk teknologi informasi, globalisasi, gaya hidup cenderung hedonis, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar, usangnya negara-bangsa, dan penggalian kembali beragam inspirasi tradisi lokal. Sedangkan akhiran ‘isme’ dalam post-modernisme adalah untuk menunjuk pada paham, pandangan, atau kritik-kritik filosofis, atau gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern yang dianggap telah mapan. Pandangan teori post-modern tentang fenomena sosial Menurut para ahli, ilmuwan sosial yang dapat dikategorikan sebagai tokoh dan pendukung teori post-modern, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) kelompok teoritikus post-modern dekonstruktif, antara lain: Derrida; Lyotard; Foucault; Rorty; dan Baudrillard; dan (2) kelompok teoritikus post-modern konstruktif (revisioner), antara lain: Heidegger; Gadamer; Recoeur; Mary Hesse; dan Jomeson. Dalam perdebatan di kalangan ilmuwan sosial di Indonesia, kelompok kedua (kontruktif atau revisioner) tidak banyak disinggung dalam berbagai kegiatan, kajian, atau diskusi ilmiah, karena pandangan kelompok post-modern konstruktif ini mempunyai kecenderungan tidak berseberangan secara ekstrim dengan modernisme, atau tidak memposisikan tentang perbedaan modernisme dengan post-moderinsme bagaikan langit dan bumi atau bagaikan hitam dan putih, tetapi kelompok post-modernisme kontruktif memandang bahwa ‘post-modernisme hanyalah kritik imanen yang hendak mengoreksi atau merevisi beberapa kelemahan atau

kekurangan dari pandangan-pandangan

modernisme yang lekat dengan kemapanan, kebakuan, keuniversalan (Sugiharto, B., 1996). Berikut ini akan dikemukakan beberapa pokok pandangan teoritikus postmodern Jomeson dan Baudrillard. Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Fredric Jomeson (1984), antara lain: Pertama, pandangan Jomeson oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada paham teori post-modern yang bersifat ‘moderat’, artinya ‘tidak ada pemisahan waktu secara radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas, keduanya mempunyai hubungan atau kesinambungan dalam proses-proses kehidupan’. Oleh karena itu Jomeson, menolak pandangan kalangan teoritikus post-modern ‘radikal’ (misalnya Lyotard dan Baudrillard), bahwa ‘teori Marxian adalah narasi besar , parexcellence, sehingga dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan post-modernitas’. Bagi Jomeson, teori Marxian merupakan teori yang mampu menawarkan penjelasan terbaik tentang post-modernitas. Jomeson termasuk teoritikus Marxian, oleh karena itu

91

dia menilai tentang kapitalisme, bahwa ‘kapitalisme menciptakan pembebasan dan kemajuan yang sangat berharga, tetapi pada waktu bersamaan kapitalisme meningkatkan penindasan dan alienasi kehidupan sosial’. Kedua, menurut Jomeson, ada tiga tahap dalam sejarah kapitalisme, yaitu: tahap pertama adalah kapitalisme pasar (munculnya pasar nasional); tahap kedua, adalah imprialis (munculnya jaringan kapitalis global); dan tahap ketiga adalah kapitalisme akhir (munculnya ekspansi kapital luar biasa). Analisis Jomeson tentang teori postmodern adalah berbasis pada analisis kultur ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh model basis konsep infrastruktur dan suprastruktur karya Karl Marx. Jadi, Jomeson menghubungkan antara kultur realitas dengan kapitalisme pasar, kultur modernis dengan kapitalisme monopoli (imprialis), dan kultur post-modern dengan kapitalisme multinasional (kapitalisme akhir atau kapitalisme modern). Ketiga, bagi Jomeson, masyarakat post-modern mempunyai beberapa ciri, antara lain: (1) produk kultural masyarakat post-modern banyak ditandai oleh serba dangkal dan sulit dipelajari makna kedalamannya, karena sulit dibedakan yang asli dan palsu; (2) kehidupan masyarakat post-modern banyak ditandai oleh sikap kepurapuraan dan kelesuan emosi. Kehidupan post-modern, alienasi telah digantikan oleh fragmentasi, sehingga kehidupannya ‘mengambang bebas dan impersonal’; (2) kehidupan post-modern ditandai oleh hilangnya makna kesejarahan. Hilangnya kesejarahan ini menyebabkan ‘kanibalisasi acak semua masa lalu’. Pemikiran postmodern bersifat pastiche, yaitu pemikiran yang kadang-kadang kontradiktif dan membingungkan tentang makna masa lalu. Padahal realitas kehidupan membuktikan bahwa ‘kehidupan sosial budaya masa lalu mempunyai keterkaitan erat dengan masa kini dan masa akan datang’; (3) terdapat sejenis teknologi baru yang berkaitan erat dengan masyarakat post-modern, yaitu teknologi reproduksi dominan, misalnya dominannya media elektronika dan komputer yang canggih dalam segala aspek (Ritzer, G. 2003). Jadi, Jameson menilai, bahwa kehidupan manusia di era post-modern adalah terkatung-katung dan tidak mampu memahami sistem kapitalis multinasional atau pertumbuhan kultur yang meledak-ledak di tempat mereka hidup’. Oleh karena itu bagi Jameson masalah sentral dalam kehidupan post-modern adalah ‘kehilangan kemampuan manusia untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang (space) dimana dia hidup dan untuk meletakkannya secara kognitif’ (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Jean Boudrillard antara lain: Pertama, pandangan Boudrillard oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada paham teori post-modern yang bersifat ‘radikal’, artinya ‘terdapat pemisahan waktu secara

92

radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas’. Boudrillard menolak seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu, dan dia memusatkan perhatiannya pada upaya menganalisis masyarakat masa kini yang menurutnya tidak lagi didominasi oleh produksi, tetapi lebih didominasi oleh ‘media, model sibernetika dan sistem pengendalian komputer, pemrosesan oleh teknologi informasi, industri hiburan dan kemajuan ilmu pengetahuan (science)’. Menurut Boudrillard kehidupan masyarakat modern mengalami proses diferensiasi, maka kehidupan post-modern dapat dipandang mengalami proses de-diferensiasi (Ritzer, G. 2003). Kedua, menurut Boudrillard kehidupan post-modern ditandai oleh simulasi atau ‘manusia hidup di abad simulasi’. Proses simulasi mengarah kepada penciptaan reproduksi objek atau peristiwa, sehingga semakin sulit membedakan yang asli dan yang palsu (dunia imitasi yang luar biasa di berbagai aspek). Jadi, simulasilah yang menggambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama dan yang berkuasa. Kehidupan manusia menjadi budak simulasi, yang membentuk sistem lingkaran yang tidak berujung pangkal. Ketiga, kehidupan sosial-budaya post-modern oleh Boudrillard dilukiskan sebagai hiperrealitas, artinya informasi tentang segala aspek kehidupan didominasi oleh teknologi informasi media (TV, Internet, Tabloid, Surat Kabar), sehingga informasi media sering dianggap sebagai realitas sosial-budaya, bahkan isi informasi media melebihi dari realitas itu sendiri. Sering masyarakat tidak menyadari telah disuguhkan kebohongan dan distorsi realitas yang diusung oleh media (fenomena inilah disebut hiperrealitas). Akibatnya adalah ‘bahwa apa yang nyata (realitas sosial-budaya) disubordinasikan), dan terasa semakin sulit membedakan mana informasi realitas sosial-budaya yang nyata dengan realitas yang sekedar tototan (info-komersial). Keempat, bagi Boudrillard, era post-modern telah menyuguhkan perubahan kultur (budaya) yang bersifat revolusi besar-besaran dan dapat dianggap sebagai bencana

besar.

Revolusi

kultural

(revolusi

budaya)

itu

menurut

Boudrillard

menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin aktif (memberontak) seperti pandangan Karl Marx. Massa yang pasif, ketidakacuhan, apatis merupakan gambaran yang tepat untuk melukiskan adanya kejenuhan massa terhadap apa yang dilakukan media, simulasi, dan hiperrealitas. Kondisi kehidupan seperti ini melukiskan massa sebagai sebuah ‘lubang hitam’. Menurut Kellner, visi teori post-modern Boudrillard adalah ‘ledakan makna dalam media terhadap realitas; ledakan kehidupan sosial ke dalam massa; ledakan massa ke dalam lubang hitam nihilisme; dan ketidakbermaknaan kehidupan’. Uraian singkat pandangan teori post-modern Boudrillard tersebut terasa cukup untuk memposisikan Boudrillard sebagai teoritikus post-modern radikal. Dia menolak

93

seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu. Dia menilai kehidupan post-modern atau masyarakat masa kini sebagai kultur yang mati, disamping itu kehidupan masyarakat masa kini sudah mulai kelihatan terlalu primitif. Kehidupan masyarakat masa kini (seperti Amerika Serikat) oleh Boudrillard dianggap tidak mungkin terjadi reformasi sosial, yang terlihat adalah malapetaka kehidupan simulasi, hiperrealitas, dan ledakan segala sesuatu ke dalam ‘lubang hitam’ yang tidak dapat dimengerti (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003; Ritzer, G. 2003). Beberapa kritik terhadap teori post-modern Beberapa kritik yang dikemukakan para ahli tentang pandangan teori postmodern, antara lain: Pertama, diantara penyebab terjadinya pandangan negatif terhadap post-modernisme, antara lain: (a) kecenderungan adanya pandangan umum yang menyamakan asumsi-asumsi post-modernisme itu dengan asumsi-asumsi kelompok post-strukturalis yang pada umumnya adalah kaum neo-Nietzschean, atau post-modernisme diidentikkan dengan kaum dekonstruksionis, yaitu kerjanya ‘hanya mengbongkar-bongkar segala tatanan sosial-budaya yang ada dan menihilkan segala sesuatu yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat; (b) post-modernisme sering dinilai atau dipandang memiliki makna yang ‘ambigu’ (pengertian yang sangat longgar dan memungkinkan adanya multitafsir). Ambiguitas dan kelonggaran makna terhadap post-modernisme, adalah relevan atau sesuai dengan sulitnya mendefinisikan istilah ‘modern atau kemodernan’ itu sendiri. Makna istilah ‘modern’ atau ‘kemodernan’ juga memungkinkan adanya multitafsir di kalangan ilmuwan sosial, artinya makna atau arti ‘modern’ akan memberikan pengertian dan penafsiran yang berbeda dari sudut politik, ekonomi, ideologi, bahasa, nilai-norma budaya, hukum, agama, pendidikan, teknologi, dan sebagainya (Sugiharto, B., 1996). Contoh tentang terjadinya multitafsir tentang makna ‘negara modern’, yaitu suatu negara tertentu (X) bisa dikatakan sebagai ‘negara/ masyarakat modern’ ditinjau dari segi teknologi, tetapi bisa juga negara (X) tersebut belum bisa disebut sebagai negara modern apabila ditinjau dari segi norma budaya dan agama. Kedua, teori post-modern dikritik karena kegagalannya untuk berbuat sesuai dengan standar ilmiah modern (standar saintis yang dihindari oleh post-modern). Ideide post-modern tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset-riset empirik, ilmiah (saintis), dan paradigma objektivis. Semua standar saintis modern ditolak oleh postmodern. Ide-ide teori post-modern tidak menawarkan narasi besar, tetapi potonganpotongan gagasan yang sering kelihatan kontadiksi satu sama lain; Ketiga, karena pengetahuan yang dihasilkan oleh post-modern tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh ide-ide saintis, kebenaran empirik (objektivis), melainkan subjektivis, maka ide-ide kebenaran post-modern lebih bersifat ideologis, sehingga dibicarakan itu bukan ide-ide

94

itu benar atau tidak, melainkan apakah manusia percaya atau tidak terhadap ide tersebut. Keempat, karena kerangka berpikir post-modern tidak didasarkan pada norma dan logika saintis (logika deduktif), maka post-modern bebas untuk melakukan apa yang mereka suka, ada yang menyebut post-modern ‘bermain-main’ dengan berbagai macam ide. Oleh karena itu generalisasi umum (luas) yang ditawarkan postmodern sering tidak berkualitas menurut standar positivisme. Oleh karena itu asumsiasumsi post-modern tentang fenomena sosial-budaya sulit diterima oleh kalangan saintis sosial; Kelima, ide-ide post-modern tentang fenomena hidup sering kali sangat kabur dan abstrak, sehingga sulit ditangkap atau dipahami secara logis sistematis dan objektif, karena konsep-konsep dasar ide post-modern sering berubah-ubah. Keenam, dalam analisisnya, teoritisi sosial post-modern sering kali melancarkan kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan validitasnya, karena pada umumnya kritik mereka kekurangan basis normatif (landasan ilmiah) untuk membuat penilaian; Ketujuh, karena pandangan teori post-modern menolak pendekatan subjek dan subjektivitas, maka teori post-modern sering kali kekurangan suatu teori tentang agen (subjek). Disamping itu teoritisi sosial postmodern paling-paling bisa mengkritik masyarakat, tetapi kekurangan visi tentang bagaimana masyarakat itu seharusnya, karena teori post-modern cenderung bersifat sangat pesimis dalam menyikapi atau menilai proses kehidupan; dan Kedelapan, sering teoritisi sosial post-modern menilai dirinya telah terlibat pada kajian isu-isu sosial utama, tetapi dalam kenyataannya mereka sering mengabaikan hal-hal yang dianggap sebagai problem penting di masa sekarang (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Meskipun banyak sisi negatif atau titik kelemahan dari teori post-modern sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kehadiran teori post-modern memberikan sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi modern, antara lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya kritik konstruktif bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi konvensional dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur. Hal ini tentu dapat mendorong terjadinya dinamika pemikiran kritis dalam memahami fenomena sosial-budaya yang sangat kompleks; (2) teori post-modern yang menolak adanya ‘narasi besar atau narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi lokal atau narasi mikro’, secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan (3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan, kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi

95

pandangan), sehingga kehidupan mampu menyajikan diferensiasi multi aspek (Ritzer, G. 2003). H. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Integrasi Pembahasan tentang perspektif teori integrasi dalam memahami fenomena sosial budaya berikut ini, hanya menyinggung tentang tiga hal, antara lain: Pertama, embrio atau cikal bakal munculnya teori integrasi; Kedua, beberapa pandangan teori integrasi ’mikro-makro’ Ritzers; dan Ketiga, beberapa asumsi teori integrasi ’strukturasi’ Giddens . Embrio munculnya teori integrasi Ditinjau dari segi ‘analisis sosial-budaya’, para ahli ilmu sosial membedakan menjadi dua macam pendekatan kajian atau analisis terhadap fenomena sosial budaya, yaitu: Pertama, analisis teori mikro dan; Kedua, analisis teori makro. Analisis teori mikro, memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau penggerak proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan analisis teori makro, memandang struktur sosial atau faktor eksternal, atau masyarakat (objek) menentukan berbagai proses sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson, 1991; Salim, A. 2002). Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling terkemuka di abad 20 adalah: (a) teori determinisme kultural (teori fungsional-struktural) oleh Talcott Parsons (1966), tetapi Parsons juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya konsep mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran individu secara merdeka atau bebas berkreativitas; (b) teori konflik versi Karl Marx dengan pendekatan ‘ekonomi sentris’ dan versi Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi yang dikoordinasi secara imperatif’; (c) teori makrostrukturalisme oleh Peter Blau (1977), yang mengaku ‘aku adalah seorang determinis struktural’; dan (d) teori jaringan sosial oleh White, Boorman (1976), yang menganggap ‘unit analisis dalam sosiologi struktural, lebih menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung pada peran individu’. Sedangkan teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini adalah: (1) teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer. Diantara inti pemahaman teori ini adalah ‘kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi sosial dan komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau interaksi sosial’; (2) teori fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih memfokuskan pada empat unsur pokok yaitu: (a) perhatiannya terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah penting atau pokok, dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka; (d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan tindakan; (3) teori etnometodologi

96

oleh Garfinkel (1967), yang mamusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan sehari-hari dan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) teori pertukaran sosial oleh George Homans, dan teori behavioral sosiologi oleh Skinners, juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku sosial) (Ritzer, 2002). Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa: a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut pandang dalam memahami fenomena sosial dan cara malakukan analisis sosial-budaya. Silang pendapat tersebut berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20, bahkan mungkin sampai sekarang. b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun teori makro mempunyai keterbatasan analisis argumentatif dan ketidakmampuan dalam mengkaji secara utuh fenomena sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-masing terbatas pada lingkup paradigmanya. c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa kajian sosial-budaya ke depan perlu menggunakan perspektif ganda atau integrasi antara mikro-makro, dengan tujuan utama adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak parsial) tentang suatu fenomena sosial-budaya (Creswell, J.W. 1994; Giddens, A. 1995). Pendekatan terpadu atau integrasi dalam memahami realitas fenomena sosialbudaya, secara implisit, sebenarnya telah ditunjukkan oleh empat teoritikus sosial terkemuka sebelumnya. Pandangan keempat teoritikus berikut ini dapat dikatakan sebagai ‘embrio’ bagi pembentukan paradigma terpadu atau teori sosial integratif. Sedangkan pokok pikiran para teoritukus tersebut antara lain:

1. Emille Durkheim, yaitu asumsi tentang pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori

realitas

sosial

atas

tingkatan

makro-objektif

dan

makro-subjektif.

Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan tentang kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Jadi, konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu dalam memahami fenomena sosial belum lengkap, dan penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik (lebih menekankan pendekatan struktural). Apabila individu mempunyai kebebasan dalam bertindak, maka kebebasan itu datang dari paksaan struktur makro (faktor eksternal) (Durkheim, E. 1974; Baal,V.J., 1987).

2. Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi analisis Marx terhadap fenomena sosial tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif,

97

kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis. Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-makro Karl Marx masih memberatkan pada struktur makro (determinisme struktural), khususnya mempersoalkan ‘kapitalisme’, yaitu analisis Marx

bersifat ‘ekonomi sentris’, dan konsep ‘reification’ (mematerialkan barang

sesuatu). Bagi Marx ‘materi/ ekonomi’ adalah dasar dari segala sesuatu (infrastruktur) (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, M. 1986; Surbakti, R., 1997a). 3. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan konsep ‘reification’, hanya Weber tidak mempersoalkan kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia semakin rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap faktor makroobjektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’. Sedangkan faktor mikro-subjektif adalah perhatiannya pada ‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian pada realitas sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga; konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian besar pada tingkat mikro (contoh, pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran rasional dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial dalam kehidupan sosial). Jadi, pandangan Weber

banyak membantu untuk kepentingan analisis terpadu

mikro-makro (Wrong, D. (ed). 1970). 4. Talcott Parsons. Meskipun Parsons lebih memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial yang lebih mikro. Sistem tindakan kultural Parsons adalah, paralel dengan konsep makro subjektif dan makro objektif. Sebagian konsep kepribadian Parsons juga paralel dengan tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi), namun titik berat argumentasinya masih terletak pada ‘sisi struktur makro’, yakni pada pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian. Individu terdeterminasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali atau hampir tidak ada (Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Ritzer, 2002). Ada beberapa pandangan para ahli, yang mendorong perlunya melakukan analisis sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integrasi antara ‘perspektif mikro-makro’ antara lain :

98

a. Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964), yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil) dan teori berskala besar (makro). b. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’, dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian kesatuan) antara teori mikro-makro’. c. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro distinction’, dalam Sociological Review, 24: 731-752 (1976), berpendapat ‘perlu adanya perhatian lebih besar terhadap perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana teori mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’. d. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological Theor: Perspectives on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori makro dan mikro mestinya sudah berlalu’. Begitu juga Smelser dalam Ontology The Micro Macro Link (1987) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan timbal balik antara teori mikro makro’ (Alexander, 1987). Beberapa pandangan tokoh (para teoritikus) tersebut di atas dapat dikatakan sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro (misalnya teori interaksionis simbolis, fenomenologi, dan sebagainya) dengan teoriteori makro (misalnya teori fungsional struktural, teori konflik dan sebagainya) dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Menurut Ritzer dan Goodman (2003), ada dua pola (model) utama karya tentang integrasi mikro makro dalam studi sosiologi yaitu: (1) beberapa teoritikus yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) beberapa teoritikus yang memusatkan perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dalam analisis sosial. Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok pikiran teori integrasi versi George Ritzer dan versi A. Giddens. Teori integrasi mikro-makro George Ritzer dalam memahami fenomena sosial Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi mikro makro’ begitu sangat popular di tahun 1980-1990-an (sebagai analisis sosial terkini dalam studi sosiologi). Menurut Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’ adalah sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi mikromakro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi agen-struktur’ (Ritzer dan Godman, 2003). Ada yang memandang, masalah ‘mikro-makro’ dan ‘agen- struktur’ adalah, mirip bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang memandang antara keduanya (mikro-

99

makro dan agen- struktur) mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa pahami tentang konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli, antara lain: a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat mikro (aktor manusia individual, jadi agen diartikan sama dengan mikro). Agen menurut Burns, bisa juga bermakna ‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa). Sedangkan Touraine, memandang, kelas sosial sebagai aktor. Apabila mengikuti pandangan Burns dan Touraine, maka kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat mikro’. b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur sosial berskala besar (tingkat makro), tetapi konsep ini juga dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi baik agen maupun struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau makro, atau kepada kedua-duanya. c. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor kreatif (menurut teori agen), tetapi pengertian mikro juga dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teori Behavior-Skinners). d. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala luas, tetapi makro

juga dapat mengacu pada kultur dari kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’. Bagaimana

melakukan

analisis

fenomena

sosial

dengan

menggunakan

pendekatan atau teori integrasi mikro-makro?. Paling tidak ada empat macam model teori integrasi mikro-makro yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: (1) model integrasi paradigma sosiologi oleh George Ritzer; (2) model sosiologi multidimensional oleh Jeffery Alexander; (3) model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; dan (4) model sosiologi figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini, model yang dipilih untuk dijelaskan adalah model pertama, yaitu model ‘integrasi paradigma sosiologi’ atau integrasi mikro-makro G. Ritzer. Beberapa pokok pikiran model analisis sosial-budaya integrasi mikro-makro oleh G. Ritzer dalam karyanya yang berjudul ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975) antara lain: Pertama, lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma sosiologi’, sebagian dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1) adanya kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana, dan lebih lengkap serta integratif dalam memahami berbagai aspek kehidupan sosial-budaya; (2) paradigma yang ada (paradigma fakta sosial; definisi sosial dan perilaku sosial) cenderung berat

100

sebelah atau hanya memusatkan pada tingkat khusus atau dimensi tertentu dalam melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan pandangan, bahwa pada dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam paradigma sosiologi. Paradigma integrasi adalah untuk melengkapi paradigma yang ada

dan bukan dimaksudkan untuk

menciptakan posisi hegemoni yang baru; (4) dalam realitas sosial, kehidupan sosial sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang terpisah dari dua hal yang berbeda. Realitas sosial paling tepat harus dilihat sebagai fenomena sosial yang beragam yang membentuk suatu kehidupan sosial yang saling terkait (aspek makro dan aspek mikro). Kedua, menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial makro dan mikro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya (seharusnya) adalah terdapat empat tingkat utama dalam setiap melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Dan setiap sosiolog harus memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik (timbal balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Namun setiap peneliti tetap harus memperhatikan fokus atau permasalahan yang akan dikajinya. Apabila peneliti hanya ingin melihat dimensi objektif

(aspek struktural/ aspek makro), dan hanya ingin

melihat dimensi subjektif (aspek agen/ aspek mikro), tentu peneliti tersebut tidak perlu menggunakan empat tingkat utama dalam analisis sosial-budaya secara integratif. Hubungan dialektik antar empat tingkatan analisis fenomena sosial yang ditawarkan Ritzer tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut: MAKROSKOPIK

101

I MAKRO-OBJEKTIF Contoh: Masyarakat, Hukum, Birokrasi, Teknologi & Bahasa (Skala Luas)

II MAKRO-SUBJEKTIF Contoh: Nilai, Norma, Kebiasaan, adat (Skala Luas). Realitas non material

OBJEKTIF

SUBJEKTIF

IV MIKRO-SUBJEKTIF Contoh: persepsi, keyakinan, pandangan/ konstruksi sosial (Skala kecil/ mental)

III MIKRO-OBJEKTIF Contoh: Pola perilaku, tindakan dan interaksi (Skala kecil kesatuan objektif) MIKROSKOPIK

Gambar : 2.2 Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer (diadopsi dari Ritzer, 2002) Keterangan: 1) Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala luas (besar), misalnya: masyarakat, birokrasi, dan teknologi. 2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material berskala luas, misalnya: nilai, norma, adat (budaya ide atau sistem budaya). 3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif berskala kecil, misalnya: pola tindakan individu, pola interaksi sosial. 4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil, yaitu upaya individu untuk membangun (merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya, berpendapat atau bersikap atau berpandangan. Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut mempunyai arti penting sendirisendiri, tetapi yang paling penting setiap peneliti sosial apabila melakukan analisis fenomena sosial-budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan ‘hubungan dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif ruang dan waktu (rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang ‘Perubahan sosial masyarakat Porong Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian proses dan dampak lumpur Lapindo’. Dalam hal ini apabila peneliti mengunakan teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer, maka peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan dialektik antara empat aspek tersebut di atas (lihat gambar 2.2) Ketiga, menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’ yang berguna dalam membangun tingkatan utama kehidupan sosial yaitu: (1) kontinum mikroskopikmakroskopik; dan (2) kontinum objektif-subjektif. Kontinum mikroskopik-makroskopik.

102

Dalam kehidupan sosial-budaya selalu tersusun serentetan kesatuan, mulai dari yang berskala besar sampai yang terkecil atau sebaliknya. Di ujung makro dari kontinum adalah, ‘fenomena sosial-budaya berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas (contoh, sistem kehidupan universals)

kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural

dan masyarakat dunia’. Di ujung mikro dari kontinum adalah, ‘aktor

individu, pikiran individu dan tindakan individu’. Sedangkan diantara ujung mikro ke makro, terdapat: bentuk ‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu ‘kelompok’, kemudian lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke ‘masyarakat atau budaya’, kemudian terbesar adalah ‘sistem dunia’. Perhatikan bagan berikut Mikroskopk

Makroskopik

Interaksi

Kelom -pok

Organisasi

Masy. & Budya

Siste m Dunia

Gambar 2.3. Tentang garis kontinum mikro-makro, diadopsi dari Ritzer dan Goodman ( 2003) Disetiap ujung kontinum mikro-makro kita dapat membedakan antara komponen objektif-subjektif. Istilah subjektif disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata terjadi hanya di dalam dunia gagasan (idea) individu. Sedangkan objektif berhubungan dengan ‘peristiwa nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang luas. Sebuah masyarakat tersusun dari struktur objektif (seperti pemerintahan, birokrasi, teknologi dan hukum) dan fenomena subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, pandangan, persepsi individu). Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya objektif), yang mempunyai wujud nyata, wujud materi, misalnya: aktor; tindakan sosial; interaksi sosial; struktur birokrasi; UU atau hukum; aparatur negara, dan sebagainya. Sedangkan ujung kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, persepsi, nilai yang diyakini, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial budaya, norma, motivasi. Kemudian antara ujung objektif dan subjektif adalah ‘tipe campuran’ (ada unsur objektif dan ada unsur subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai berikut:

Objektif

Subjektif

Aktor; Tindakan; Interaksi; Undangundang; truktur Birokrasi

Tipe Campuran, Kombinasi dalam berbagai tingkat unsur 103 objektifsubjektif

Pandangan, Nilai, Norma, Konstruksi pikiran ttg realitas sosial budaya

Gambar 2.4. Tentang garis kontinum Objektif-Subjektif, diadopsi dari Ritzer dan Goodman (2003). Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya, seharusnya

membahas

hubungan

antara

dua

kontinum

tersebut

(kontinum

makroskopik-mikroskopik dan kontinum objektif-subjektif), dan yang terpenting adalah ‘representasi skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat tingkat utama analisis sosial secara dialektif-integratif”. Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat utama analisis sosialbudaya dengan ketiga paradigma, yaitu Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku sosial?. Sebelum menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu diperhatikan adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan (hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat utama, yaitu: (1) makroobjektif, seperti birokrasi; (2) realitas makro-subjektif, seperti nilai; (3) fenomena mikroobjektif, seperti pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif, seperti proses konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya (pandangan individu). Di bawah ini gambaran hubungan antara keempat ‘tingkatan utama analisis sosial-budaya dengan keempat paradigma (termasuk paradigma terpadu) menurut G. Ritzer. Tabel : 2.3 tentang hubungan antara tingkat realitas sosial dengan empat paradigma:

No.

Empat Tingkat Realitas Sosial

Paradigma Sosial Fakta Sosial

1.

a. Makro Subjektif b. Makro Objektif

(Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem; Teori Sosiologi Makro)

Definisi Sosial 2.

c. Mikro Subjektif d. Mikro Objektif

(Teori Aksi Weber; Teori interaksionis simbolik; Teori Fenomenologi)

Perilaku Sosial (Teori Behavioral sosiologi; Teori Exchange)

(diadopsi dari Ritzer, 2002)

104

Paradigma Terpadu (Lihat gambar 2.2)

Keempat, teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat dianggap sebagai Exemplar. Menurut Ritzer, ada beberapa konsep penting

yang perlu dipahami,

berkaitan dengan penggunaan ‘integrasi paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis sosial-budaya, yaitu:

1. Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti paradigma sosiologi yang sudah ada (paradigma fakta sosial; paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial). Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis fenomena sosial-budaya selama tidak ada anggapan bahwa satu paradigma tertentu itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial-budaya di masyarakat secara komprehensif.

2. Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempat tingkat realitas sosial-budaya, yaitu: (a) tingkat makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa; (b) tingkat makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) tingkat mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik dan pertukaran; dan (d) tingkat mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, merasakan, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya. Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara integratif’, artinya setiap persoalan sosial budaya yang dikaji harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial tersebut secara terpadu. 3. Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada sosiologi modern, yang diarahkan kepada realitas sosial budaya tingkat makroskopik, juga tidak mengabaikan realitas sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami, bahwa keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian konseptual, bukan menggambarkan kenyataan sebenarnya. Realitas sosial budaya di masyarakat selalu tampil dalam keberagaman, kompleks dan sangat dinamik (terus menerus berubah). Penggambaran dalam analisis sosial budaya ke dalam empat tingkat tersebut tidak bertentangan dengan kenyataan sebenarnya, oleh karena itu setiap peneliti sosial-budaya dituntut untuk lebih memahami secara integral fenomena sosial budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu (keempat tingkat) sifatnya saling melengkapi, hal ini memungkinkan bagi peneliti dalam proses pengumpulan data penelitian harus menggunakan beragam cara, metode atau teknik, misalnya: metode

wawancara,

observasi,

kuesioner,

dokumentasi,

eksperimen,

dan

sebagainya.

4. Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu menerangkan keseluruhan realitas sosial dalam semua masyarakat dan sepanjang sejarah (keterkaitan antara fenomena sosial-budaya masa lampau, kini dan akan datang). Paradigma ini harus pula diorientasikan pada studi tentang perubahan sifat realitas

105

sosial-budaya. Namun perlu diingat, bahwa tekanan hubungan keempat tingkat realitas sosial tersebut antar masyarakat bisa beragam.

5. Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika dialektis’. Diantara ciri logika dialektis adalah: (a) memandang satu sisi manusia sebagai pencipta sebagian besar struktur sosial-budaya dan disisi lain struktur sosial-budaya itu pada gilirannya akan membatasi atau memaksa manusia untuk bertindak sesuai dengan struktur sosial-budaya yang dicipta; (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik (eksternal) dan mikroskopik (internal), (c) tidak menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat dialektis/ empat tingkatan realitas sosial seperti pada gambar 2.2); (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya; dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi. Contoh: Marx, memusatkan perhatiannya pada kontradiksi yang ada dalam masyarakat kapitalis; Weber, melihat adanya kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan individual; G. Simmel, menyelidiki kontradiksi antara kultur subjektif dan kultur objektif; (Rossides, 1978; Ritzer, 2002; Ritzer dan Goodman, 2003). Teori integrasi strukturasi Giddens dalam memahami fenomena sosial-budaya Para sosiolog mengatakan, bahwa pada umumnya teoritisi Eropa dalam mencermati feomena sosial-budaya

lebih perhatian pada hubungan atau integrasi

antara ‘agen dan struktur’. Ada empat contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’ dalam melakukan analisis sosial budaya Giddens;

(b)

teori

yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony

strukturalisme-genesis

oleh

Pierre

Bourdieu;

morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (d)

(c)

teori

teori kolonisasi

kehidupan dunia oleh Habermas (Turner, B., 2000). Menurut Bryan Tunner, Jary, Cohen dan Craib, salah satu upaya yang ‘paling terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A. Giddens, oleh karena itu dalam penjelasan ‘teori integrasi agen-struktur’ berikut ini hanya menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984), mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga mengatakan ‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu,

106

melainkan praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space)’ (Giddens, 1984). Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1) teori Marx, khususnya menyangkut konsep peran manusia (agen) dalam menentukan gerak sejarah; (2) pengaruh teori interaksionis simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein, tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah, untuk ‘menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Faisal, S., 1998; Priyono, 2002). Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang teori integrasi agenstruktur atau ‘teori strukturasi Giddens’ dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984), dalam memahami fenomena sosial budaya antara lain:

a. Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu dengan yang lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu keping mata uang’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas sosial-budaya sehari-hari setiap individu. ‘Tindakan pelaku (agen) dan struktur saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan, bahwa struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’ (outcame) dari kegiatankegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat pelaksanaan

atau

pengadaan

(moment

of

production)

adalah

juga

saat

pelaksanaan atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena itu Giddens mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar terminologi sebagai ‘strukturasi relasi-relasi sosial yang melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’

b. Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial manusia itu dapat dilihat sebagai ‘perulangan’ (rutinization), artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus, mereka ciptakan berulang-ulang melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara itu juga individu menyatakan diri mereka sebagai aktor’. Jadi, praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak semata-mata dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional pikiran individu tentang realitas (seperti pandangan teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi), juga bukan semata-mata diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori fungsional struktural, teori konflik). Tetapi melalui praktik sosial berulang-ulang (rutinization) agen-struktur itulah, baik kesadaran (internal) maupun struktur (eksternal) diciptakan.

c. Secara umum teori strukturasi memusatkan perhatian pada proses dialektika dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.

107

Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan refleksi, tetapi peneliti sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi dalam mempelajari masalah hubungan agen dan struktur. Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang terkenal yaitu ‘proses penelitian fenomena sosial-budaya perlu menggunakan pendekatan atau metode ‘Hermeneutika ganda’, artinya, baik

agen (aktor sosial) maupun

peneliti sosial sama-sama menggunakan bahasa, yaitu: (a) aktor sosial, menggunakan bahasanya untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan seharihari, dan (b) peneliti sosial-budaya, menggunakan bahasanya untuk menerangkan tindakan

aktor

sosial

yang

ditelitinya.

Jadi,

perlu

diperhatikan

untuk

mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen praktik sosial) dan bahasa ilmiah (para peneliti).

d. Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen (elemen) penting yang perlu dipahami, yaitu: (1) konsep agen; (2) konsep struktur dan sistem sosial; (3) konsep waktu-ruang (time-space); (4) konsep rutinisasi (routinization); dan (5) konsep strukturasi (Giddens, 1984). Berikut ini akan dijelaskan singkat tentang kelima konsep tersebut Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam pandangan Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka dalam kehidupan sehari-hari; (b) agen (pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman, aktor atau agen merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka. Menurut Giddens, yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah ‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien’; (d) agen atau aktor juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini berupa keinginan atau hasrat untuk bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi, refleksivitas terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai potensinya’. Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi individu) yaitu: (1) ‘motivasi tidak sadar’ (unconscious motives), yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2) ‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita (tindakan melalui hasil agumentasi pikiran yang rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical consciousness), yaitu menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa

108

diurai (tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami teori strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan tipis’, tetapi tidak seperti antara ‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya. Jadi, kesadaran diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi teori strukturasi. Kesadaram praktis agen inilah yang membuat transisi halus dari ‘agen’ ke ‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau peranan individu), adalah ‘sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peranperan individu atau kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dan sebagainya, peran petani adalah membajak, menanam padi, memanen padi dan sebagainya. Giddens sangat menekankan arti penting keagenan dalam teorinya. Menurut Giddens, agen juga ‘sering’ bertindak tidak sesuai dengan tujuan semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan melahirkan akibat yang tidak diharapkan.

Disamping itu agen juga mempunyai kemampuan atau kekuasaan

untuk menciptakan ‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens mengatakan, bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi agen apabila ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Menurut Giddens, kekuasaan subjektivitas,

untuk

menciptakan

karena

tindakan

pertentangan melibatkan

ini

bersifat

kekuasaan

logis

mendahului

(kemampuan)

untuk

mengubah situasi (Ritzer dan Goodman, 2003). Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut Giddens, struktur dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut: (a) struktur didefinisikan sebagai ‘properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya)’. Struktur hanya akan terwujud karena adanya aturan dan sumber daya, atau struktur dipahami sebagai ‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali terorganisasikan’ (recursively organized sets of rules and resources). Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan dan waktu’, karena struktur ‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’. Tidak ada struktur bila tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi struktur menurut Giddens tidak sama dengan definisi struktur menurut para teoritikus fungsional struktural. Menurut teoritikus Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah ‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa (determinis) pada aktor dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens, struktur adalah ‘apa

109

yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen yang juga ikut menentukan’. Jadi, struktur adalah ‘aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial’. Struktur, bukanlah benda melainkan ‘skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata mirip ‘aturan’ yang merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’ (medium) bagi berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat mengekang (constraining) individu (seperti pandangan teori fungsional struktural), tetapi bersifat ‘memberdayakan’ (enabling) (Giddens, 1984). Sedangkan konsep struktural, menurut Giddens mempunyai tiga gugus besar, yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan terhadap sesuatu dan wacana tentang sesuatu yang dilakukan aktor (agen); (2) struktur ‘dominasi’ (domination), yang mencakup skemata penguasaan atau wewenang terhadap orang lain (aspek politik) dan penguasaan terhadap barang (aspek ekonomi); (3) struktur ‘legitimasi’ (legitimation) yang mencakup skemata peraturan-peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum, untuk menata proses-proses sosial di masyarakat. Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial menurut Giddens, ‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam pandangan konvensional (teori fungsional struktural atau teori konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah sebagai praktik sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi antara aktor(egen) dan kolektivitas (kelompok) yang diorganisir sebagai praktik sosial tetap. Sistem sosial ‘tidak mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan ciri-ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial yang direproduksi. Sistem sosial oleh Giddens dilihat baik sebagai ‘media’ maupun sebagai ‘hasil tindakan aktor’ dan sistem sosial yang secara berulang-ulang (regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi,

sistem sosial ‘merupakan

institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’ dalam kehidupan sehari-hari (Giddens, 1984). Ketiga,

konsep

waktu

dan

ruang

(time

and

space)

dan

rutinisasi

(routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami waktu dan ruang menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang dan waktu, merupakan variabel (unsur) penting dalam teori strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi sosial menganggap ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai ‘lingkungan’ (environments)

110

tempat ketika suatu tindakan sosial dilaksanakan, atau sebagai salah satu ‘faktor tidak tetap’, sedangkan menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang dan waktu secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’. Sistem sosial berkembang atau meluas menurut waktu dan ruang, sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir pada waktu yang sama dan di ruang yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi Giddens yang diakui oleh para ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam analisa sosial’ (Ritzer dan Goodman, 2003). Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree, pengalaman hari demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan keberlangsungan waktu pengalaman atau kegiatan hari demi hari yang dapat dibalik, misalnya berangkat dari rumah, berada di jalan, sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari kantor, berada di jalan, sampai di rumah kembali; (2) jangka hidup individual (irreversible time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3) longue duree, lembaga-lembaga, yaitu berkenaan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari lembaga-lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan baik syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan sosial yang terpola dalam kontinuitas hidup sehari-hari. Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena kontekstualitas kehidupan sosial menyangkut baik ruang maupun waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi didalam, dan terbentuk oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam memudarnya waktu dan berubahnya tempat’. Bahwa tubuh manusia ‘tidaklah menempati ruang dan waktu dalam arti sama seperti benda-benda material lain yang berada dalam ruang dan waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia paling baik dipahami sebagai ‘tubuh aktif, kreatif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau sebagai ‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam teori strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk suatu ‘titik dalam ruang’ (point in space), tetapi lebih dipahami dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale) yang merujuk pada pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of interaction) (Giddens, 1984). Istilah

locale erat hubungannya dengan konsep regionalisasi

(regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih menunjukkan pada penempatan wilayah ruang-waktu sehubungan dengan kegiatan sosial yang dirutinisasikan (zoning of time-space in realtion to routinized social practices), misalnya; ada ruang kerja, ruang makan, ruang tamu, ruang tidur dan sebagainya, yang hal-hal tersebut menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem interaksi.

111

Keempat, konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah ‘rutinisasi’ (routinization), karena yang rutin adalah elemen dasariah kegiatan sosial seharihari, ‘istilah hari demi hari’ mengungkapkan dengan tepat sifat terutinisasi yang diperoleh kehidupan sosial yang terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisahpisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing) dan cara mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability) pelaku manusia. Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa lalu, dan bukan pula pemanggilan kembali masa lalu ke masa kini. ‘Persepsi’ bukan lah kumpulan persepsi-persepsi tetapi ‘aliran kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan dengan gerakan tubuh dalam ruang dan waktu. Regulation (keterulangan terus menerus), atau rutinisasi (routinization) akan melahirkan rasa aman ontologis

(ontological security)

sehubungan dengan masa depan individu. Sedangkan situasi kritis dalam kehidupan sosial dapat mengacaukan rutinitas yang dapat diramalkan dan menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural sence) (Giddens, 1984; Priyono, 2002). Kelima, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep strukturasi ini menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal penting yang dapat dipahami tentang ‘strukturasi’ adalah: (a) konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa ‘konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b) strukturasi meliputi ‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya; (c) rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari. Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-pisah, tindakan manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan; dan (d) tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik subjek maupun objek sosial. Jadi, ‘ruang dan waktu secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’. Dengan demikian dalam memahami konsep ‘teori

112

strukturasi’ Giddens harus memahami secara integral tentang lima komponen (elemen) penting, yaitu: konsep agen; konsep struktur dan sistem sosial; konsep waktu-ruang;

konsep rutinisasi; dan konsep strukturasi (Faisal, 1998; Priyono,

2002). Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu teori yang paling terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi mikro-makro atau subjektif-objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan analisis fenomena sosial adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984) mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah seharusnya selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau sebaliknya; (2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur) tertentu, melainkan praktik (interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space), seimbang dan saling mengisi; (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran individu tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga bukan diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma objektivis), tetapi melalui integrasi agen-struktur yang terus berinteraksi melintasi dimensi ruang dan waktu. Jadi,

teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-

struktur secara historis, prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995). Jadi, dalam pandangan teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak mengkaji fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan agen-struktur. Argumentasi perlunya menggunakan pendekatan integratif Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan alasan pentingnya melakukan penelitian sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integratif (kuantitatif-kualitatiuf), antara lain: Pertama, pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan Giddens tentang teori strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya penggunakan pendekatan integratif kuantitatif-kualitatif dalam penelitian sosial (Giddens, 1995; Ritzer, 2002).

113

Kedua, setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya pendekatan memadukan kuantitatif-kualitatif (Brannen (ed), 2002) Ketiga,

kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan

dengan syarat: (a) meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang hendak diungkapnya, misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan kuantitatif untuk menguji hipotesis (Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian, misalnya pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuanti (Sugiyono, 2007). Keempat, penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan datanya, yaitu dalam penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya adalah menggunakan angket, kemudian dari beberapa item pada angket tersebut didalami lagi dengan menggunakan metode observasi dan wawancara takterstruktur (ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi menggunakan triangulasi dalam pengumpulan data. Kelima, menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian kuantitatif dapat dicek pada penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat kesahihan temuan; (b) penelitian kualitatif dapat membantu memberikan informasi dasar tentang konteks dan subjek, hal ini sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu sebagi sumber hipotesis dan membantu dalam membuat konstruksi skala; (c) penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk memberikan gambaran hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi kelemahan masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian peneliti, sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak. Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e) penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan, sebab penelitian kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar ubahan (variabel) tetapi sering lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar variabel tersebut, hal ini akan dibantu dengan penelitian kualitatif; (f) penggabungan akan mampu memberikan penjelasan tentang hubungan antara tingkat makro (kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada fenomena sosial.

114

Keenam, ada permasalahan dalam studi ilmu sosial (fenomena sosial) yang banyak terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan tetapi ada juga permasalahan sosial (fenomena sosial) lain yang sulit dijelaskan dengan menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk menggunakan metode penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila ingin menyelami kedalaman makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen praktik sosial yang terentang dalam ruang dan waktu (space and time) yang begitu sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg, 2000; Creswell, 2005). Ketujuh, pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan kuantitatif) seringkali belum mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik dan makna terdalam (menukik kedalam pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu untuk melibatkan observasi partisipatif dan wawancara takterstruktur, yang umumnya dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu seorang peneliti yang mengharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial yang dikaji secara lebih komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan perpaduan kuantitatifkualitatif (Arifin, 2008). I. Kesimpulan Uraian singkat tentang kehidupan sosial-budaya di masyarakat dalam perspektif teoritis di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: Pertama, dalam pandangan teori sistem, bahwa setiap kehidupan sosial mempunyai unsur-unsur sosial dan unsur yang satu dengan yang lain saling terkait (sebagai sistem). Demikian juga kehidupan kebudayaan mempunyai unsur-unsur budaya yang saling kait mengkait (sebagai suatu sistem). Teori sistem sangat dipengaruhi oleh paham positivisme dan teori organisme; Kedua, dalam pandangan teori fungsional struktural kehidupan sosial budaya di masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial dan struktur buaya (kondisi eksternal).

Proses-proses

kehidupan

sosial

budaya

di

masyarakat

selalu

berkecenderungan untuk terintegrasi dan selalu menjaga terwujudnya keseimbangan sistem (equilibrium). Individu berkembang karena dia dipengahui oleh struktur sosial dan budaya. Ketiga, dalam pandangan teori konflik versi Marx, kehidupan masyarakat merupakan suatu proses perkembangan yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’, jadi konflik menyatu dalam kehidupan. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di masyarakat adalah pejuangan kelas yang berbasis kepentingan ekonomi, bagi bagi Marx faktor ekonomi merupakan infrastruktur kehidupan, sedangkan semua asek non ekonomi merupakan suprastruktur. Semua teori konflik dan neo-konflik (neo-Marxian) adalah berbasis kepada pandangan Marx, hanya saja pandangan teori konflik Dahrendorf dan neo konflik Coser dan sebagainya, tidak menjadikan faktor ‘ekonomi/

115

materi’ sebagai satu-satunya sebab terjadinya konflik, tetapi banyak faktor lain, misalnya kekuasaan dan kondisi sosial non-material lainnya. Keempat, fenomena sosial budaya dalam pandangan teori teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi, relatif sama karena kedua teori ini ada dalam satu paradigma yaitu paradigma definisi sosial atau berparadigma interpretif. Diantara ciri pandangan paradigma ini antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa adanya, atau menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran subjektivitas individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus memahami fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu) secara terus menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan, asumsi, nilai, motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya kehidupan sosial tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial eksternal (realitas sosial eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Disamping itu paradigma ini bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom, manusia mempunyai keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi). Paradigma ini berorientasi pada ideologi atau aliran filsafat idealisme, dengan pendekatan mikroskopik dalam melakukan analisis sosial-budaya. Kelima, teoritikus post-modern dapat dikelompokkan menajdi dua, yaitu teori post-modern yang bersifat moderat, dan teori post-modern yang bersifat radikal. Meskipun banyak sisi kelemahan dari teori post-modern, kehadiran teori post-modern memberikan sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi modern, antara lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya kritik konstruktif bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi konvensional dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur; (2) teori post-modern yang menolak adanya ‘narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi mikro’, secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan (3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan, kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi pandangan).. Keenam, setiap teori atau paradigma mempunyai kelebihan dan kelemahan. Teori yang berparadigma fakta sosial (objektivistik) dan definisi sosial (subjektivistik), keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan

yang

dimiliki

masing-masing

teori

dan

pendekatan

itulah

yang

menyebabkan perlunya memadukan beragam teori dan pendekatan dalam analisis

116

sosial-bidaya. Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial-budaya yang bisa terpecahkan dengan penerapan teori dan pendekatan objektivis (Quantitative research), akan tetapi ada juga permasalahan fenomena sosial-budaya yang sulit dijelaskan dengan menggunakan pendekatan objektivis, sehingga mengharuskan peneliti untuk menggunakan teori dan pendekatan subjektivis (Qualitative research). Jadi, analisis fenomena sosial dengan menggunakan teori integrasi Ritzer atau Giddens adalah sangat proporsional.

117

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF