Teori-teori Antropologi
January 26, 2017 | Author: Hadi Saputra | Category: N/A
Short Description
Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan...
Description
Pokok-pokok Teori Antropologi Hadisaputra/ P1900212006 Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme, Strukturalisme, Materialisme Kebudayaan, Interpretivisme Simbolik, Postrukturalisme, Posmodernisme
Teori Antropologi DAFTAR ISI 1. Teori Evolusi Kebudayaan................................................................................. Hal. 3 2. Teori Difusi Kebudayaan....................................................................................Hal. 6 3. Teori Fungsionalisme Budaya............................................................................Hal. 9 4. Teori Strukturalisme Radcliffe Brown...............................................................Hal. 11 5. Teori Strukturalisme Levi Strauss.....................................................................Hal 13 6. Teori Materialisme Kebudayaan........................................................................Hal. 18 7. Teori Interpretivisme Simbolik.........................................................................Hal. 19 8. Teori Poststrukturalisme...................................................................................Hal. 21 9. Teori Postmodernisme.......................................................................................Hal. 23 10. Contoh Penerapan Teori....................................................................................Hal. 25
2
Teori Antropologi
TEORI 1 EVOLUSI KEBUDAYAAN 1. Paradigma evolusi kebudayaan dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari Inggris. Salah satu bukunya berjudul Researches into the Early History of Mankind (1871), mengulas bahwa tujuan sesungguhnya dari kajian kebudayaan yang dilakukan oleh seorang antropolog adalah untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-banyaknya, kemudian dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses klasifikasi.1 2. Dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art and Custom (1874), Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut adalah Savagery, barbarian dan civilization. 2 a. Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. b. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. c. Berkembang kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial. 1
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 48. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008), hlm.8. 2
3
Teori Antropologi 3. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog Amerika. Dalam bukunya, berjudul Ancient Society, ia menyatakan bahwa semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya yang melalui delapan tingkatan, yaitu: 1) Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api, 2) Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata, 3) Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan masih berprofesi sebagai pemburu, 4) Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam, 5) Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan,era peradaban purba, dan era masa kini. 3 4. Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori evolusi memunculkan dua teori evolusi baru: a. Teori evolusi kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Leslie White. Teori ini disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White tersebut mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya tertentu saja. White mengemukakan teori evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria yang bersifat objektif dan tidak seperti model yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang melakukan transformasi energi. White mengemukakan sebuah rumusan „hukum‟ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah C merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy) sedangkan T adalah teknologi (technology).Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi yang
mereka
gunakan
dalam
kehidupan
mereka
pada
fase-fase
perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai „hukum‟ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah 3
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 44-45.
4
Teori Antropologi evolusi
kebudayaan
dalam
sebuah
komunitas
merupakan
hasil
dari
mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu. 4 b. Teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh Julian Steward. Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi kerja.5 Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja. 5. Contoh proses evolusi social budaya:
Evolusi Hukum (H. Spencer) : Hukum Keramat - hukum sekuler – hukum keramat raja – hukum formal perundang-undangan yang kompleks
Evolusi keluarga (j.j.Bachofen) : Promiskuitas – matriarchate – patriarchate – parental.
Evolusi Religi / Agama ( E.B. Taylor) : Animisme – dinamisme – politeisme – monoteisme
Evolusi Budaya Tekhnologi (L.H. Morgan ): Zaman liar (tua, madya, muda) – zaman barbar (tua, madya, muda) – zaman peradaban purba – zaman peradaban masa kini.
Evolusi budaya tekhnologi penggunaan energy (L. White): Penggunaan tenaga manusia – penggunaan api – penggunaan tenaga hewan – penggunaan tenaga mesin.6
4
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2008), hlm.9. 5 Ibid. hlm.10. 6 Dikutip dari Slide Presentasi Mata Kuliah “Teori-teori Antropologi”, DR. Munsi Lampe, MA.
5
Teori Antropologi TEORI 2 Teori Difusi Kebudayaan 1. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory.7 Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan „putra-putra dewa matahari‟ ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan permata.8 2. Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut.9 Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya. Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori evolusi. 3. Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang hidup antara tahun 18581942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan 7
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 119-120. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, (Yogyakarta: tt, 2011), hlm.11. 9 Ibid,8
6
Teori Antropologi mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti mungkin.10 Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’ dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau lapisan kebudayaan.11 Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsurunsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia. 4. Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (18701947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaankebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya.12 Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempattempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbedabeda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. 5. Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (18761960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. 10
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 125. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 12. 12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 127. 11
7
Teori Antropologi Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.
8
Teori Antropologi TEORI 3 FUNGSIONALISME 1. Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974). Model yang digunakan adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun, berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak berupaya merekonstruksi tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ dalam organisme. Dengan paradigma ini, perhatian peneliti tidak lagi ditujukan pada upaya mengetahui asal-usul suatu pranata atau unsur budaya tertentu, tetapi pada fungsinya dalam konteks kehidupan masyarakat atau kebudayaan tertentu. Suatu unsur kebudayaan yang berasal dari masa lampau tidak lagi dilihat sebagai sisa-sisa budaya lama, tetapi sebagai unsur budaya yang tetap aktual dalam masyarakat, karena mempunyai fungsi tertentu. 13 2. Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang mengembangkan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture
14.
Inti dari teori
fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat.15 3. Revolusi yang terjadi karena lahirnya fungsionalisme-(struktural) berlangsung tidak hanya pada tataran penjelasan (explanation), tetapi juga pada tataran metode penelitian dan penulisan etnografi, dan keduanya dilakukan oleh Malinowski. Malinowskilah yang memulai penelitian lapangan dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun), dan betul-betul hidup di tengah masyarakat yang diteliti, serta 13
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 15. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1987). Hal 162. 15 Ibid. Hal 171. 14
9
Teori Antropologi mempelajari bahasa mereka (lihat Malinowski, 1961). Metode penelitian seperti inilah yang kini dikenal sebagai metode observasi partisipasi (participant observation) dan menjadi salah satu “trademark“ antropologi. Paradigma fungsionalisme-(struktural) memang menuntut penelitian seperti itu. Tanpa penelitian lapangan yang lama dan mendalam, seorang peneliti akan sulit mengetahui dan memahami saling keterkaitan fungsional unsur-unsur budaya masyarakat yang diteliti.
10
Teori Antropologi TEORI 4 STRUKTURALISME RADCLIFFE-BROWN Dalam pidato Radcliffe Brown yang berjudul On Social Structure, ia menerangkan bahwa: 16 1. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri dari serangkaian gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial. Demikian juga bbanyak hal lain dalam alam semesta ini, seperti planet-planet yang beredar, organisme-organisme yang hidup, molekul-molekul yang bergerak; sebenarnya terdiri dari berbagai rangkaian gejala alam. 2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu kelas dari gejala-gejala di antara gejala-gejala alam yang lain, dan dapat juga dipelajari dengan metodologi yang sama seperti metodolog yang dipergunakan untuk mempelajari gejala-gejala alam semesta lain tadi. 3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu sistem sosial mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisme, makhluk atau molekul. 4. Suatu ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial, yang mempelajari struktur dan sistem-sistem sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur kulit bumi, atau ilmu biologi yang mempelajari struktur dari organisme-organisme, ilmu kimia yang mempelajari struktur dari molekul-molekul. 5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara individu-individu atau lebih baik person-person17 dan kelompok-kelompok person. Dimensinya ada dua, yaitu: hubungan diadik, artinya antara pihak (yaitu person atau kelompok) kesatu dengan pihak kedua, tetapi juga diferensial, antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda atau sebaliknya. 6. Bentuk dari “struktur sosial” adalah tetap, dan kalau toh berubah, proses itu biasanya berjalan lambat, sedangkan “realitas struktur sosial” atau wujud dari struktur sosial yaitu person-person atau kelompok yang ada di dalamnya, selalu berobah dan berganti. Tentu saja ada beberapa peristiwa yang dapat juga membuat bentuk dari struktur sosial itu mendadak berubah, misalnya peristiwa perang atau revolusi. 7. Dalam penelitian masyarakat di lapangan, seorang peneliti mengobservasi wujud dari struktur sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada pengertian tentang bentuknya yang bersifat lebih abstrak. Bentuk struktur sosial dapat dideskripsi dalam dua keadaan. 16
Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), hlm. 180-183. Radcliffe-Brown mengusulkan untuk membedakan antara “individu” dan “Person”. Individu adalah manusia sebagai organisma, sedangkan person adalah orang yang mempunyai kedudukan dalam struktur sosial. 17
11
Teori Antropologi Hal itu sama dengan cara seorang ahli anatomi mendeskripsi suatu organisme dalam keadaan berhenti, menjadi morfologi dari organisma itu, tetapi juga dapat dalam keadaan berproses (hidup), menjadi fisiologi dari organisma itu. Sebagai analoginya, seorang ahli ilmu sosial dapat mendeskripsi bentuk dari suatu struktur sosial dalam keadaan seolah-olah berhenti menjadi morfologi sosial, tetapi juga dalam keadaan berproses menjadi fisologi sosial. 8. Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial pada dimensii diadik maupun difernsialnya, serta morfologi sosial maupun fisiologi sosialnya, dapat mengerti latar belakang kehidupan kekerabatan, ekonomi religi, mitologi, dan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat yang menjadi pokok perhatiannya. 9. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas suatu sistem sosial atau suatu kesatuuan masyarakat sebagai organisme. Hal itu telah menjadi maslaah bagi para ahli ilmu sosial sejak lama. Apakah kerajaan Inggris itu suatu masyarakat, ataukah suatu gabungan dari banyak masyarakat? Apakah suatu desa di China itu suatu masyarakat, atau hanya suatu bagian saja dari masyarakat yang lebih besar? Menurut Radcliffe Brown batas jaringan-jaringan struktur sosial itulah yang merupakan batas suatu masyarakat. 10. Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas mempelajari struktur-struktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan dan membandingkannya dengan metode analisa komparatif untuk mencarii azasazasnya. Dengan demikian dapat dikembangkan suatu klasifikasi besar dari semua jenis struktur sosial yang ada di dunia, kedalam beberapa tipe dan sub tipe struktur sosial yang terbatas. 11. Klasifikasi dari aneka-aneka gejala alam itu telah terbukti mutlak untuk kemajuan ilmu alam. Ilmu biologi baru maju pesat ketika klasifikasi dari beribu-ribu jenis bentuk makhluk hidup di dunia ini menjadi beberapa suku, infrasuku, keluarga, jenis dan ras yang terbatas. Demikian pula ilmu antropologi sosial akan maju dan mampu mengembangkan hipotesa-hipotesa yang setelah diuji dapat dikembangkan menjadi kaidah-kaidah sosial atau social laws, atau suatu klasifikasi besar mengeenai aneka warna struktur sosial tersusun.
12
Teori Antropologi TEORI 5 STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS 1. Asumsi Dasar Strukturalisme Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut18: 1. Dalam
strukturalisme
ada
angapan
bahwa
upacara-upacara,
sistem-sistem
kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa. 2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. 3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomenafenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena
tersebut.
Hukum
transformasi
adalah
keterulangan-keterulangan
(regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain. 4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang
18
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 66-71
13
Teori Antropologi ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh. Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. 2. Kritik Terhadap Strukturalisme Levi-Strauss Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah kekurangan dan kelemahanya. Demikian halnya dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Strukturalisme ini mendapat kritik terutama dari para ahli antroplogi itu sendiri. Kritik yang berkenaan dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss dapat dilihat pada persoalan perangkat dan metode analisis, data etnografi dan interpretasi, serta hasil analisis dan kesimpulan dari hasil analisis teori tersebut. a. Perangkat dan Metode Analisis Ahimsa menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat dan metode analisis dapat dibedakan menjadi tiga; a). Cara menggunakan konsep-konsep analisis. b). Konsistensi prosedur analisis dan c). Reduksi dalam proses analisis. Marry Douglas mengkritik mengenai cara penggunaan konsep-konsep analisis. menurutnya LeviStrauss tidak selalu menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena ketidaktepatan itu, Levi-Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang dianggap
terlalu
jauh.
Douglas
menyebutkan
bahwa
Levi-Strauss
sering
memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. 19 Kedua,
Levi-Strauss
sering
tidak
konsisten
dengan
analisis
yang
dikembangkan. Levi-Strauss pernah mengatakan bahwa untuk memahami sebuah mitos lebih penting memahami struktur daripada isi cerita. Namun dalam prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang digambarkan. Dalam beberapa analisisnya ia tidak hanya menlaah pada tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis yang berarti isinya juga. Disisi lain ia juga berpendapat bahwa dalam mitos isi dan bentuk tidak bisa dipisahkan.
19
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 162
14
Teori Antropologi Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist (reduksionis). Cara ini sangat kurang tepat untuk menganalisis mitos sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena akan mengalami kelemahan makna (a lesser meaning). Douglas menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh LeviStrauss yaitu pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam analisis wacana.20 b. Interpretasi Data Etnografi Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini dikarenakan mitos tidak pernah lepas dari konteks budaya masyarakat setempat dimana lahirnya mitos tersebut. Dalam persoalan ini, Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa kelemahan. Menurut para antropolog, seperti Alice Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum seutuhnya mendukung dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada pada suku Indian tersebut. 21 Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik mengenai hasil analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap suku Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana dan bahkan tidak ada, oleh Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori ini kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga didukung oleh tiga ahli antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ. Kronenfeld dan DB. Kronenfeld. Ketiganya menyimpulkan bahwa analisis Strukturalisme Levi-Strauss dianggap penuh
dengan
generalisasi-generalisasi
etnografi
yang
sangat
diragukan
kebenarannya. Bahkan analsisnya dianggap mengalami ke-salahrepresentasi-an (misrepresentasions of story). c. Hasil Analisis Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-Strauss. Hasil analisisnya pun masih banyak mendapat 20
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 164 21 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 168
15
Teori Antropologi kritikan dari berbagai kalangan terutama para ahli antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik dapat dibedakan dalam beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran struktur mitos yang dikemukakan. Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas beranggapan bahwa masih ada aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap realitas sosial yang positif. Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss dianggap biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting. Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis mitos menggunakan model analisis puisi denganggap tidak tepat. Metoda ini justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang diistilahkan Ahimsa dalam tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-Strauss terlalu banyak mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang menurut Douglas tidak cocok jika diterapkan dalam analisis mitos. 3. Tanggapan Terhadap Kritik Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam Strukturalisme Levi-Strauss, tentunya banyak hal yang dapat menjadi kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa teori ini masih baru dalam bidang antropologi,
sehingga
tentunya
masih
banyak
penyesuaian
dan
pendalaman
(penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak yang menghujat sekaligus memuja teori ini. Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Maybury-Lewis (1970) menyatakan bahwa banyak hal yang berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis mitos yang telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak melakukan kritik, ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan teori ini telah mampu mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu. 22
22
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 176.
16
Teori Antropologi Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh Levi-Strauss kita mengetahui keterkaitan antara mitos yang satu dengan yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis dalam mitos. Dan inilah yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya masyarakat yang terdapat dalam mitos tersebut. Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli antropologi melakukan kritik terhadap teori Strukturalisme Levi-Strauss mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari jerih payah Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui metode struktural ini dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal, menarik dan mampu memberikan wawasan atau wacana tentang mitos yang sangat penting itu.
17
Teori Antropologi TEORI 6 MATERIALISME KEBUDAYAAN 1. Materialisme Kebudayaan sering dikaitkan dengan nama Marvin Harris, yang mengusulkan nama pendekatan itu sendiri. Pendekatan ini didasarkan pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat menentukan kesadaran manusia, bukan sebaliknya. Harris sangat dipengaruhi gagasan Marxis tentang Basis dan Suprastruktur. Ia menyebut Basis dengan “Infrastruktur”, ia juga memasukkan unsur reproduksi manusia
kedalamInfrastruktur.
Harris
juga
membuat
kategori
antara,
selain
infrastruktur dan suprastruktur, yaitu Struktur. Kategori ini tidak terdapat dalam kategori Marxis. 2. Harris menganggap pendekatan etik (dari sudut pandang ilmu sosial) sebagai strategi penelitian prioritas untuk mengembangkan penjelasan fenomena sosial manusia. Ia tidak menolak bahwa eksplanasi mental, suprastruktur, yaitu emik, memiliki otonomi pada tingkat tertentu terpisah dari eksplanasi etik. Ia juga memberikan prioritas pertama pada penelitian tentang basis atau infrastruktur, karena ia yakin bahwa analisis basis akan menghasilkan keteraturan dasar dalam hubungan interaksi antara kebudayaaan dan alam. Dalam pandangan Harris, keuntungan strategis mengenai analisis etik atau analisis infrastruktur terletak pada keterbukaan pada pengukuran dan kuantifikasi, yang unsur ini selalu memberikan nilai tambah dalam kajian ilmiah. 3. Materialisme kebudayaan cenderung memusatkan perhatian pada fenomena obyektif. Berkali-kali materialisme kebudayaan mengemukakan hipotesis bahwa perilaku manusia dikontrol oleh persyaratan kebutuhan protein, energi atau faktor-faktor alamiah lainnya. 4. Metedologi materialisme kebudayaan terletak padametode ilmiah dan aturan-aturannya dalam menghimpun data, memverifikasi hipotesis, dan mengembangkan analisis logika dan pembuktian yang tepat. Materialisme kebudayaan sependapat bahwa realitas empiris independen dari kesadaran manusia. Dengan sejumlah kasus yang mencukupi, generalisasi dapat dikembangkan. 5. Materialisme kebudayaan dapat menjelaskan dan mengisolasi alasan-alasan kesamaan dan perbedaan di antara berbagai masyarakat dengan memusatkan perhatian pada kajian infrastruktur materi masyarakat yang bersangkutan.23
23
Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana). Hal 235-237.
18
Teori Antropologi TEORI 7 INTERPRETIVISME SIMBOLIK Beberapa karekteristik paradigma interpretivisme simbolik diuraikan sebagai berikut:24 1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia 2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paliing mampu menggunakan dan memaknai simbol. 3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar: (a) apa makna (signifikansi) identitas manusia; (b) apa signifikansi makna dari operatsional sistem sosial manusia? Makna berarti polapola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terkandung dalam simbolsiimbol, yang dengan simbol-simbol tersebut manusia mengembbangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. 4. Paradigma ini dodorong oleh suatu isu sentral: masalah univesal yang konkret. Paradigma mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi ilustrasi dari yang universal. 5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk memandang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia untuk membangun diri mereka sendiri sebagai mode kehidupan. 6. Mengacu kepada konsep perseptual dari pengalaman-yakni cara-cara manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara yang digunakan oleh manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri mamupun dunia mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini merepresentasi
upaya
untuk
mengungkapkan
diversitas
cara-cara
manusia
mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan. 7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka. 8. Membandingkan realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini. Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan dalam penelitian, melainkan “mempersiapkan diri kita untuk menjawab pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga masyarakat yang kita kaji, yang berarti melibatkan mereka, pandangan mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral dalam jawaban kita.”
24
Saifuddin, Ahmad Fedyani, 2006, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana). Hal 320-321.
19
Teori Antropologi 9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami pemahaman yang bukan pemahaman kita. 10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia- termasuk hakikat dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia didefenisikan dan dipelihara.
20
Teori Antropologi TEORI 8 POSTRUKTURALISME 1. Awal postrukturalisme adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966, dimana dalam pidato tersebut ia mengumumkan terbitnya zaman postrukturalisme. Bertolak belakang dengan strukturalis, khususnya yang mengikuti peralihan linguistik dan yang melihat orang dikekang oleh struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang tidak mengekang subyek. Lebih jauh lagi Derrida melihat institusi sosial hanya sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang.25 2. Postrukturalisme
dapat
dikatakan
merupakan
antitesis
dari
strukturalisme.
Berseberangan dengan strukturalisme yang mengutamakan pemikiran mengenai bahasa, postrukturalisme menurut Derrida lebih memfokuskan pada tulisan, yang kemudian tercipta yang dinamakan grammatology.26 3. Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial, dan ketika dekonstruksi ini telah dilakukan, yang ditemukan hanyalah tulisan. Kendati dalam hal ini masih terdapat fokus pada bahasa, tulisan bukanlah struktur yang mengekang orang. Kalau strukturalis melihat tatanan dan stabilitas dalam sistem bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna yang berbeda pada kata. Akibatnya sistem bahasa tidak memiliki kekuatan untuk mengekang orang sebagaimana pandangan strukturalis. Derrida melanjutkan, tidak mungkin
ilmuwan
mencari
hukum-hukum
yang
mendasari
bahasa.
Derrida
menawarkan perspektif subversif dan dekonstruktif. Poststrukturalisme inilah yang menjadi dasar bagi lahirnya posmodernisme. Obyek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencarian sistem pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, cantik dan lain sebagainya) yang telah mendominasi pemikiran sosial barat. 27 4. Ide-ide dasar Derrida mengenai postrukturalisme, mulai dari writing (tulisan), trace (jejak), differance (perbedaan) arche-writing (pergerakan differance). Dan dari ide-ide dasar tersebut, Derrida menarik kesimpulan, bahwa selalu ada suatu realitas yang bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu yang tersembunyi di balik apa yang hadir. Ia adalah realitas dan hubungan dalam realitas, dan dua hal itulah yang merupakan titik sentral kajian Derrida.28 25
Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 650 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 202 27 Ritzer, George, 2010, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal 650 28 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 204 26
21
Teori Antropologi 5. Ketika realitas dan hubungan dalam realitas itu muncul dalam penerapan, yaitu dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkan pada hal yang kecil. Ketika misalnya hikayat diceritakan dalam teks, hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi yang kemudian perlu dipertimbangkan kembali adalah makna lanjutan dari dekonstruksi dari Derrida, mengenai dekonstruksi yang tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran dan akan terjadi dekonstruksi terus menerus. Ritzer menjabarkan lebih lanjut pikiran dekonstruksi Derrida, sebagai berikut: Tetapi dekonstruksi tidak pernah diarahkan pada kepastian kebenaran. Ia mendekonstruksi agar dapat mendekonstruksi lagi dan lagi secara terus menerus; bukan berarti menghancurkan yang paling bawah, untuk menemukan kebenaran. Walaupun dekonstruksi berjalan terus, ia hanya akan memberi jalan pada dekonstruksi selanjutnya. 29 6. Hal ini kemudian yang menggiring pada terma kunci lainnya, yaitu decentering, yang ingin
meninggalkan
strukturalisme
dari
fokusnya
tentang
tanda
(sign)
dan
menitikberatkan pada proses “menjadi tanda” (becoming sign); meninggalkan struktur objektif beralih pada hubungan antar struktur subjektif dan objektif. Pada terma yang sangat luas, decentering diarahkan pada dekonstruksi masalah sentrisme, seperti hasrat manusia untuk menempatkan „pusat‟ kehadiran pada „awal‟ dan „akhir‟; juga berkaitan dengan penolakan linieritas dan penyelidikan terhadap yang origin. 30
29 30
Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 205 Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 206
22
Teori Antropologi TEORI 9 POSMODERNISME Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis.31 Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masingmasing tanpa harus saling menindas atau menguasai.32 Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain. Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri menonjol: 1. Kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. 2. Kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). 3. Kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara 31
Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika). Hal. 158. 32 Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Lentera Wacana Publika). Hal. 161.
23
Teori Antropologi tumpang tindih dan berjalin kelindan. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model. Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. 4. Sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). 5. Kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen
24
Teori Antropologi CONTOH PENERAPAN TEORI Dalam politik, khususnya dalam meraih kekuasaan, orang dapat menempuh segala cara, tak peduli soal-soal etika dan moral. Dalam politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Mungkin berangkat dari logika itulah sehingga lahir instrumen-instrumen politik seperti tim sukses, lembaga survey dan konsultan politik, mesin pencitraan melalui media massa (mass media) dan media sosial (social media) serta berbagai perangkat lainnya. Selain perangkat politik modern tersebut, ternyata terdapat pula perangkat politik yang bersifat metafisik. Sebutlah maraknya fenomena “Paranormal Politik” dalam pentas pesta demokrasi di negeri ini. Wakil Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar juga mensinyalir hal tersebut, menurutnya di era reformasi dan globalisasi dewasa ini ada fenomena yang makin menguat di tanah air bahwa menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) praktik perdukunan makin menguat.33 Dukun/paranormal semakin laris. Fungsi dan peran mereka yang dulu ditutup-tutupi kini sengaja dibuka lebar-lebar. Kini mereka berani tampil di muka umum dan pasang iklan di media cetak atau elektronik. Praktik paranormal/dukun kini menjadi profesi. Sinyalemen Nasaruddin tersebut menemukan bukti pembenarannya dalam penelitian Antropolog Jerman Prof. Judith Schlehe, dengan tajuk “Paranormal Practitioners and Popular Religion in Contemporary Java”.34 Salah satu hasil temuan dari penelitian guru besar Universitas Freiburg ini menunjukkan bahwa, menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), 80 persen penghasilan para paranormal berasal dari momentum tersebut. Inilah momen ketika paranormal disibukkan oleh konsultasi para calon yang akan berlaga di Pemilukada. Mereka yang berkompetisi dalam Pemilukada, notabene memiliki gelar-gelar akademis mentereng, meminta bantuan paranormal untuk memudahkan langkah mereka melenggang menuju kursi pemerintahan eksekutif. Berbagai ritual dan amalan mereka kerjakan agar kharisma mereka semakin memancar dan rasa percaya diri mereka semakin membesar. Harapannya, jalan menuju kursi pemerintahan elit menjadi semakin terbuka lebar dan mudah.
33
Harian Haluan, Edisi 12 Januari http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11782:jelang-pilkada-dukunlaris&catid=21:khas&Itemid=91 34 Lihat Website Center for Religious and Cross Cultural Studies Universitas Gajah http://crcs.ugm.ac.id/wednesday-forum/334/Paranormal-Seks-dan-Pilkada.html
25
2012:
Mada:
Teori Antropologi Berikut salah satu contoh iklan paranormal Pemilukada:35 Gambar 1
Berangkat
dari
penggambaran
realitas
diatas,
penulis
tertarik
untuk
mengkajinya dengan menggunakan salah satu teori dalam antropologi, yaitu teori fungsionalisme. Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan biologis maupun sekunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Magi bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magi dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magi adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan 35
Sumber: http://padepokan-cirebon.blogspot.com/
26
Teori Antropologi akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian. Jika teori ini dikaitkan dengan maraknya praktik magi dalam Pemilukada, maka kita bisa melihat kehadiran magi sebagai salah satu artikulasi kebudayaan untuk memuaskan kebutuhan naluriahnya untuk merengkuh kekuasaan. Secara lebih operasional, magi sebenarnya sekadar berfungsi untuk menumbuhkan optimisme sang kontestan Pemilukada untuk menang, sekaligus mengatasi rasa takut atas bayangbayang kekalahan. Aspek fungsionalisme dari Praktik Magi dalam Pemilukada semakin menemukan titik terang tatkala Raymond Firth membuat klasifikasi magi berdasarkan tujuan praktisnya, yakni: (1) Magi Produktif: Semua ini dilakukan entah dari orang perorangan untuk kepentingan mereka sendiri atau oleh para ahli magi untuk orang lain dalam komunitas secara keseluruhan. Secara sosial mereka menyetujui karena semua ini merupakan suatu rangsangan untuk berusaha dan suatu faktor dalam organisasi kegiatan ekonomis. Misalnya, magi untuk berburu, magi untuk menyuburkan tanah, magi untuk menurunkan hujan, magi untuk menangkap ikan, dan lain-lain. (2) Magi Protektif: Semua ini dilakukan sama seperti diatas dan secara sosial juga disetujui. Rangsangan untuk berusaha dan daya untuk kontrol sosial. Misalnya, magi untuk membayar hutang, magi untuk mengobati orang sakit, magi untuk keselamatan perjalanan dan lain-lain. (3) Magi Destruktif: terdiri atas sihir dan guna-guna. Sihir dilakukan seperti diatas, kadang diterima secara sosial, kadang juga tidak. Sering sebagai daya untuk kontrol sosial. Sedangkan guna-guna kadang-kadang dicoba, sering meragukan bila sungguh-sungguh dijalankan, kadang-kadang merupakan kegiatan imajinatif; termasuk dalam moral yang buruk; melengkapi teori pribumi tentang kegagalan, nasib malang dan kematian. 36
36
Raymond Firth dalam Dharvamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hal. 58.
27
View more...
Comments