Teori Pragmatik

December 18, 2017 | Author: Landi Pratama | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

teori pragmatik...

Description

BAB II PRAGMATIK SEBAGAI ANCANGAN ANALISIS

A. Pendahuluan Pragmatik merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang paling baru. Pragmatik muncul dan berkembang dalam kajian linguistik modern.1 Sebagai sebuah ilmu, pragmatik mempunyai objek kajiannya tersendiri yang berbeda dengan objek kajian ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dibahas tentang seluk-beluk pragmatik yang meliputi sejarah pragmatik, batasan (definisi) pragmatik, perbedaan pragmatik dengan ilmu ma’ani, tuturan dan situasi tutur, tindak tutur, prinsip kerja sama, dan implikatur.

B. Sejarah Pragmatik Pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini. Hal ini dilandasai oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. 2 Pragmatik melangkapi kehadiran cabang-cabang linguistik yang lain seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pada tahun 1930-an, kajian linguistik di Amerika hanya mencakup fonetik, morfologi, dan fonemik. Era linguistik ini disebut linguistik era Bloomfield. Dalam era ini, kajian sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makna dikesampingkan dari kajian linguistik karena dianggap sebagai sesuatu yang abstrak untuk diteliti dan dilibatkan dalam proses analisis. 3 Kajian sintaksis juga masih dianggap tidak jelas dan dipandang jauh dari jangkuan pemikiran.

1

Badis Lahwaimil, 2011, dalam Majalah al-Mukhbar: Abhats fi al-Lughah wa al-Adab alJazairi, Universitas Muhammad Khaidhar: Al-Jazair, hlm. 155. 2 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 3-4. 3 R. Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 45.

15

Demikian juga di dalam penulisan-penulisan bahasa, pada masa ini sintaksis cenderung dikesampingkan. 4 Pada tahun 1950-an, teori linguistik berkembang dan sintaksis mulai mendapatkan perhatian. Pada tahun ini, Chomsky memasukkan sintaksis ke dalam kajian linguistik. Chomsky memandang bahwa sintaksis merupakan bagian linguistik yang sifatnya sentral. Namun, meskipun Chomsky telah menjadikan sintaksis sebagai sesuatu yang sentral dalam linguistik, ia belum menjadikan makna sebagai salah satu masalah yang dikaji dalam linguistik. Chomsky menganggap bahwa masalah makna masih sulit dilibatkan dalam analisis. Pada tahun 1960-an, Jerry J. Katz menjadikan semantik sebagai salah satu kajian linguistik.5 Pada masa ini, Katz berusaha mengintegrasikan makna dalam teori linguistik. Masalah makna mulai diperhitungkan dan mendapat perhatian dalam linguistik. Kemudian, pada tahun 1970-an, Lakoff dan Ross menyatakan bahwa kajian sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian pemakaian bahasa. 6 Dengan kata lain bahwa sintaksis harus dikaitkan dengan konteks pemakaian bahasa. 7 Apabila makna telah diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa, maka konteks pemakaian bahasa juga sangat penting untuk dikaji karena makna itu selalu berubah-ubah berdasarkan konteks pemakaian bahasa. 8 Dari sinilah lahir kajian linguistik yang baru di Amerika, yakni pragmatik.9 Berbeda dengan perkembangan linguistik di Amerika, perkembangan linguistik di Eropa, khususnya kajian terhadap makna beserta dengan segala situasi yang mempengaruhinya sudah mulai berkembang sejak tahun 1940-an. Linguistik pada masa ini banyak dipengaruhi oleh linguistik yang dikembangkan oleh John Rupert Firth. Selain Firth, pada tahun 1960-an, M.A.K Halliday melibatkan teori sosial untuk mengkaji bahasa. Bahasa dipandang sebagai sesuatu 4

Kunjana Rahardi, 2009, Sosiopragmatik, (Jakarta: Erlangga), hlm. 14-15. Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 45-46. 6 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 4. 7 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 45-46. 8 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 4. 9 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 45-46. 5

16

yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dengan segala latar belakang sosiokultural yang mewadahi dan melatarbelakanginya. 10 Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi pemakian bahasa yang meliputi partisipasi, tindakan partisipasi, ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindakan tutur yang diwujudkan partisipan. Sementara M.A.K Halliday mengemukakan bahwa bahasa yang merupakan objek kajian linguistik adalah sistem makna yang membentuk budaya manusia. Sitem makna berkaitan dengan struktur sosial masyarakat. Makna bahasa yang digunakan oleh manusia diperoleh dari aktifitas-aktifitas yang merupakan kagiatan sosial dengan perantara-perantara dan tujuan-tujuan yang bersifat sosial juga. 11 Istilah pragmatik sebenarnya pernah dikemukakan oleh Charles Morris. Charles Morris memasukkan pragmatik ke dalam ilmu tentang tanda (semiotika). Menurut Charles Morris, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotika memiliki tiga cabang, yaitu (1) sintaktika yang mengkaji relasi formal tandatanda, (2) semantika yang mengkaji relasi tanda-tanda dengan objeknya, dan (3) pragmatika yang mengkaji relasi tanda-tanda dengan penafsirnya. 12 Akan tetapi, pragmatik yang berkembang saat ini yang mengubah orientasi linguistik di Amerika pada tahun 1970-an sebenarnya diilhami oleh karya-karya filsuf seperti John Langsaw Austin, seorang filsuf Inggris, dan John R. Searle, seorang murid Austin yang berkebangsaan Amerika.13

C. Definisi Pragmatik Sebagai cabang linguistik 14, pragmatik mempunyai hubungan yang erat dengan cabang-cabang linguistik yang lain, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, 10

Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta:Erlangga), hlm. 46. 11 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 5. 12 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 47. 13 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 5. 14 Menurut Charles Morris merupakan bagian dari semiotik.

17

dan semantik. Cabang-cabang linguistik ini mempunyai batasan kajian masingmasing. Menurut Verhaar, batasan kajian fonologi adalah masalah bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Ia menyandingkan fonologi dengan fonetik yang membahas bunyi bahasa menurut cara pelafalan dan sifat artikulasinya. Menurutnya juga, batasan kajian morfologi adalah masalah struktur internal kata, sintaksis membahas susunan kata dalam kalimat, dan semantik mengkaji makna satuan lingual. Pragmatik mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan lawan tutur sebagai pengacuan tandatanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik. 15 Dengan ungkapan lain, keempat cabang linguistik, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik mempelajari struktur bahasa secara internal. Berdeda dengan pragmatik yang mempelajari bahasa secara eksternal, yakni penggunaan satuan bahasa dalam komunikasi. 16 Mengenai batasan kajian (definisi) pragmatik, banyak pakar linguistik yang mengemukakan pendapat mereka masing-masing sehingga terdapat berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan pragmatik. Berikut beberapa definisi yang dapat memberikan gambaran tentang pragmatik. Deborah Schiffrin mengembangkan definisi pragmatik yang diajukan oleh Charles Morris yang memandang bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan tanda-tanda dengan interpreter (penafsir). Dari definisi pragmatik Morris tersebut, Schiffrin menyimpulkan bahwa pragmatik adalah studi tentang bagaimana interpreter menggunakan atau mengikutsertakan pemakai tanda atau penerima tanda pada saat memaparkan (pengkonstruksian dari interpretan) tanda itu sendiri. Ia juga mendeskripsikan definisi pragmatik model Grice. Menurutnya, Grice mendefinisikan pragmatik sebagai studi yang memfokuskan pada makna dalam konteks dan menekankan pada kedua unsur, yakni tanda dan pemakai, kemudian pada hubungan antara kedua unsur tersebut.17

15

Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 47. 16 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 1. 17 Deborah Schiffrin, 2007, Ancangan Kajian Wacana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 269-270.

18

Elizabeth Black juga mengemukakan sebuah definisi tentang pragmatik. Menurutnya pragmatik adalah kajian terhadap bahasa dalam penggunaannya (dengan memperhitungkan unsur-unsur yang tidak dicakup oleh tata bahasa dan semantik. Ia menggunakan pragmatik ini dalam stilistika. 18 Selain definisi-definisi pragmatik yang disampaikan oleh Deborah Schiffrin dan Elizabeth Black, banyak definisi-definisi lain yang dikumpulkan oleh Levinson, antara lain: (1) pragmatik merupakan suatu istilah yang menegaskan bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menadi objek pembicaraan, padahal istilah tersebut tidak mempunyai arti yang jelas, (2) topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan, (3) pragmatik adalah kajian antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.19 Menurut Gillian Brown, pragmatik adalah setiap pendekatan analisis dalam linguistik yang meliputi pertimbangan konteks. Henry Guntur Trigan dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Pragmatik juga mencatat berbagai definisi pragmatik yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Definisi yang ia kutif antara lain adalah definisi dari Heatherington, George, dan Dowty. Menurut Heatherington, pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Pragmatik bukan saja menelaah pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek, dan register, tetapi memandang performansi ujaran pertama sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh aneka ragam konvensi sosial. George berpendapat bahwa pragmatik merupakan telaah terhadap keseluruhan perilaku insan, terutama dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam situasi pemberian dan penerimaan tanda. Sedangkan Dowty menyebut pragmatik sebagai telaah mengenai kegiatan ujaran langsung dan tidak langsung, presuposisi, implikatur konvensional dan konversasional, dan sejenisnya. 20 18 19

5.

20

Elizabeth Black, 2011, Stilistika Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 1-2. F.X. Nadar, 2013, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hlm. Henry Guntur Tarigan, 2009, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa), hlm. 30-31.

19

Salah satu para pakar bahasa di Indonesia, T. Fatimah Djajasudarma juga memberikan definisi mengenai pragmatik. Menurutnya, pragmatik adalah studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar. Studi ini melibatkan unsur interpretatif yang mengarah pada studi tentang keseluruhan pengetahuan dan keyakinan akan konteks.21 Dari uraian berbagai definisi pragmatik di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah kajian terhadap penggunaan tanda lingual, yakni bahasa yang dikaitkan dengan berbagai konteks kehidupan dalam komunikasi dan segala aspek yang berkaitan dengan pragmatik. Aspek-aspek pragmatik tersebut antara lain tindak tutur, deiksis, presuposisi (praanggapan), dan implikatur. Dalam bahasa Arab, pragmatik dikenal dengan istilah At-Tadawuliyyah. At-Tadawuliyyah diambil dari akar kata ‫ دول‬yang bermakna ‫( التحول‬perubahan), ‫( التبدل‬pergantian), dan ‫( االنتقال‬pemindahan) baik dari satu tempat ke tempat lain ataupun dari satu keadaan kepada keadaan lain. Dalam berbahasa, hal ini berarti adanya pemindahan informasi yang dimiliki penutur kepada keadaan lain yang dimiliki lawan tutur dikaitkan dengan konteks.22 Proses perubahan atau pemindahan dalam berbahasa disebut komunikasi. 23 Berkaitan dengan proses komunikasi yang dikaitkan dengan konteks, dalam bahasa Arab dikenal sebuah ilmu yang disebut Balaghah. Menurut Abu Hilal al-‘Askary, balaghah adalah menyampaikan suatu makna kepada pendengar sehingga pendengar tersebut memahaminya. 24 Sedangkan Ali al-Jarim dan Musthafa Amin menyatakan bahwa balaghah itu mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih, memberi bekas yang

21

hlm. 48.

T. Fatimah Djajasudarma, 2012, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: Refika Aditama),

22

Badis Lahwaimil, 2011, dalam Majalah al-Mukhbar: Abhats fi al-Lughah wa al-Adab alJazairi, Universitas Muhammad Khaidhar: Al-Jazair, hlm. 156. 23 Badis Lahwaimil, 2011, dalam Majalah al-Mukhbar: Abhats fi al-Lughah wa al-Adab alJazairi, Universitas Muhammad Khaidhar: Al-Jazair, hlm. 157. 24 Badis Lahwaimil, 2011, dalam Majalah al-Mukhbar: Abhats fi al-Lughah wa al-Adab alJazairi, Universitas Muhammad Khaidhar: Al-Jazair, hlm. 165.

20

berkesan di lubuk hati, dan sesuai dengan situasi, kondisi, dan orang-orang yang diajak bicara.25 Balaghah mempunyai tiga cabang ilmu, yakni ilmu bayan, ilmu ma’ani, dan ilmu badi. Ketiga cabang ilmu balaghah ini mempunyai objek kajiannya masing-masing. Salah satunya, dalam ilmu ma’ani dibahas tentang kalam khobar dan kalam insya. Kalam khobar adalah ungkapan yang mengandung benar atau bohong. Sedangkan kalam insya adalah ungkapan yang tidak mengandung benar atau bohong. Teori tentang kalam khobar dan kalam insya juga terdapat dalam pragmatik yang disebut dengan teori tindak tutur. Teori tindak tutur ini dikemukakan oleh J. Austin. Kalam khobar sepadan dengan tuturan konstatif dalam teori tindak tutur Austin

dan kalam insya sepadan dengan tuturan

performatif. 26 Menurut J. Leitch, balaghah dan pragmatik sama-sama mengkaji penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan konteks, mengkaji aspek-aspek kebahasaan yang digunakan penutur dalam kegiatan komunikasi untuk mengungkapkan maksudnya, seperti hubungan antara tuturan, konteks, dan situasi, serta penutur dan lawan tutur.27

D. Tuturan dan Situasi Tutur Sebagaimana telah disinggung bahwa pragmatik adalah studi terhadap penggunaan bahasa dalam komunikasi, tentu yang menjadi objek kajian pragmatik adalah bahasa yang berupa tuturan. Tuturan dapat dikatakan sebagai realisasi dari bahasa yang bersifat abstrak. Tuturan merupakan bentuk konkret dari bahasa. 28 Namun, sebuah tuturan yang digunakan dalam komunikasi tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya. Makna atau maksud sebuah tuturan dapat bermacam-macam karena banyak aspek yang mengambil peran dalam peristiwa yang disebut peristiwa (situasi) tutur. Leech 25 26

48-50.

Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah, hlm. 6. Su’ud Shahrawy, Al-Tadawuliyah ‘Inda al-Ulama Al-Arab, (Beirut: Dar al-Thali’ah), hlm.

27

Badis Lahwaimil, 2011, dalam Majalah al-Mukhbar: Abhats fi al-Lughah wa al-Adab alJazairi, Universitas Muhammad Khaidhar: Al-Jazair, hlm. 168. 28 Abdul Chaer, 2010, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 22.

21

mengungkapkan beberapa aspek yang ada dalam situasi tutur. Aspek-aspek tersebut antara laian: 1.

Penutur dan lawan tutur (petutur) Dalam setiap situasi tutur harus ada pihak penutur dan lawan tutur.

Penutur adalah orang yang menuturkan sebuah tuturan. Sedangkan lawan tutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur.29 Penutur juga disebut sebagai orang ke I. Sedikit banyaknya ujaran ditentukan oleh pribadi penutur. Seorang penutur yang pemalu akan memiliki kebiasaan kebahasaan yang berbeda dengan seorang pemberani. Latar belakang seorang penutur sangat mempengaruhi pribadi penutur. Latar belakang ini mencakup jenis kelamin, asal daerah, asal golongan masyarakat, usia, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan. Selain itu, juga perlu diperhatikan anggapan penutur tentang seberapa tinggi tingkatan sosial lawan tutur dan seberapa akrab hubungan antara penutur dan lawan tutur. Anggapan terhadap keakraban relasi antara penutur dan lawan tutur akan menentukan corak bahasa yang dituturkannya.30 2.

Konteks tuturan Konteks dapat diartikan berbagai aspek tuturan yang relevan baik secara

fisik maupun nonfisik atau seting sosial. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks, sedangkan konteks seting sosial disebut konteks.31 Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan lawan tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur di dalam proses bertutur.32 Hymes dalam A. Hamid Hasan Lubis menyebutkan beberapa ciri konteks yang relevan. Ciri konteks tersebut antara lain:33 a.

advesser (penutur) 29

Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 51. 30 F.X. Nadar, 2013, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hlm. 8 31 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm.11. 32 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm.51. 33 A. Hamid Hasan Lubis, 2011, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: Angkasa), hlm. 8795.

22

Mengetahui siapa penutur dalam suatu konteks pembicaraan sangat penting karena segala hal yang berhubungan dengan penutur baik latar belakang, profesi, dan sebagainya akan mempengaruhi apa yang dituturkan oleh penutur tersebut. Dengan mengetahui siapa penutur akan mudah untuk menginterpretasi pembicaraannya. b.

advessee (petutur) Sama halnya dengan penutur, mengetahui siapa petutur juga sangat

penting karena dengan mengetahui terhadap siapa tuturan ditujukan akan memperjelas makna tuturan yang dituturkan oleh penutur. Berbeda-beda petutur akan berbeda pula tafsiran terhadap tuturan yang dituturkan. c.

topik pembicaraan Topik pembicaraan pun sangat penting untuk diketahui. Dengan

mengetahui topik pembicaraan, seseorang petutur akan mudah untuk memahami pembicaraan. Banyak kata-kata yang akan salah dipahami ketika tidak mengetahui topik yang sedang dibicarakan. d.

setting (waktu dan tempat) Setting tidak hanya mencakup soal waktu dan tempat terjadinya

pembicaraan, melainkan juga mencakup hubungan antara penutur dan petutur, gerak-gerik tubuhnya, gerak-gerik roman mukanya, dan sebagainya. Dengan mengetahui setting ini juga akan menjadikan peserta tutur untuk mudah memahami makna pembicaraan. e.

channel (penghubungnya) Yang dimaksud dengan channel di sini adalah media yang digunakan oleh

penutur kepada petuturnya dalam menyampaikan tuturannya. Channel ini dapat berupa lisan, tulisan, dan lain-lain. f.

code (dialeknya) Code adalah dialek bahasa yang dipilih oleh penutur untuk menyampaikan

tuturannya kepada petutur. g.

message form

23

Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat karena bentuk pesan ini bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada petutur karena bentuk pesannya tidak sesuai dengan petutur dan situasinya. h.

event (kejadian) Peristiwa tutur ini bermacam-macam tergantung tujuan pembicaraan.

Setiap peristiwa akan berbeda cara penuturannya karena setiap peristiwa mnghendaki tuturan yang tertentu.

3.

Tujuan tuturan Bentuk-bentuk tuturan yang disampaikan oleh penutur dilatarbelakangi

oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal ini, bentuk tuturan yang bermacammacam dapat digunkan untuk menyatakan satu maksud atau tujuan. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat dinyatakan dengan satu bentuk tuturan. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktifitas yang berorientasi pada tujuan. 34 Artinya, terdapat perbedaan yang mendasar antara pragmatik dengan tata bahasa. Pragmatik berorientasi fungsional, sedangkan tata bahasa berorientasi formal atau struktural.35 4.

Tuturan sebagai bentuk tindakan Pragmatik mempelajari tindak verbal dakam situasi tutur tertentu.

Pragmatik membicarakan bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, waktu tuturnya, dan apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.36 5.

Tuturan sebagai produk tindak verbal Pada dasarnya, tuturan yang ada dalam sebuah pertuturan merupakan hasil

dari tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya. 37 34

I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 51. Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 51. 36 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 51-52 37 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm.51-52 35

24

E. Tindakan Tutur Dalam sebuah situasi tutur yang telah diuraikan di atas, terdapat aspek tuturan yang dapat berfungsi sebagai bentuk tindakan. Dengan mendasarkan pada pemikiran Austin, John R. Searle menyatakan bahwa secara pragmatis setidaktidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur melalui tuturannya. Ketiga jenis tindakan tersebut meliputi: (1) tindak lokusi (locutionary act), (2) tindak ilokusi (illocutionary act), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindakan-tindakan tersebut diatur oleh aturan atau norma penggunaan bahasa dalam situasi percakapan antara dua penutur dan lawan tutur.38 1.

Tindak Lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana

adanya atau the act of saying something.39 Dalam tindak lokusi, makna yang dikandung dalam kata, frasa, dan kalimat yang digunakan dalam tuturan sesuai dengan makna kata, frasa, dan kalimat itu sendiri. Di dalam tindak lokusi ini sama sekali tidak mempermasalahkan ihwal maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur.40

2.

Tindak Ilokusi Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan

fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya atau the act of doing something.41 Sebuah tuturan selain berfungsi untuk menyatakan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.42 Searle mengklasifikasikan ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan. Kelima macam bentuk tuturan tersebut adalah: 43

38

I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 17. I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 17. 40 Kunjana Rahardi, 2009, Sosiopragmatik, (Jakarta: Erlangga), hlm. 17. 41 Kunjana Rahardi, 2009, Sosiopragmatik, (Jakarta: Erlangga), hlm. 17. 42 Abdul Chaer, 2010, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 28. 43 Henry Guntur Tarigan, 2009, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa), hlm. 42-44. 39

25

a. Asertif:

melibatkan

penutur

pada

kebenaran

proposisi

yang

diekspresikan, seperti menyatakan, memberitahukan, menyarankan, membanggakan, mengeluh, menuntut, dan melaporkan. b. Direktif/impositif: dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek melalui tindakan lawan tutur, seperti memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyerankan, menganjurkan, mengundang, dan menasihati. c. Komisif: melibatkan penutur pada beberapa tindakan yang akan datang,

seperti

menjanjikan,

bersumpah,

menawarkan,

dan

memanjatkan doa. d. Ekspresif: mempunyai fungsi mengungkapkan atau memberitahukan sikap psikologis penutur menuju suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi, seperti mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memaafkan, mengampuni, menyalahkan, memuji, dan menyatakan belasungkawa. e. Deklaratif: adalah ilokusi yang bila performansinya berhasil akan menyebabkan korespondensi yang baik antara isi proposisional dengan realitas. Misalnya

menyerahkan diri,

memecat, membebaskan,

membaptis, member nama, mengucilkan, mengangkat, menunjuk, menentukan, menjatuhkan hukuman, dan memvonis. Pengklasifikasian tindak ilokusi yang dilakukan oleh Searle ini berdasarkan asumsi bahwa satu tindak tutur dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Berbeda dengan Searle, Leech dan Blum-Kulka menyatakan bahwa satu maksud atau satu fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam. 44 3.

Tindak Perlokusi Tindak perlokusi tindak menumbuhkan pengaruh kepada lawan tutur atau

the act of affecting someone. Sebuah tuturan yang dituturkan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh bagi lawan tuturnya, efek atau daya 44

Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 37.

26

pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya.45

Jadi tindak perlokusi

ini

merupakan tindak tutur

yang

pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur.

F.

Klasifikasi Tindak Tutur Berdasarkan pendapat yang dinyatakan oleh Searle bahwa satu tindak tutur

itu dapat memiliki fungsi dan maksud yang bermacam-macam dan pendapat Leech serta Blum-Kulka yang menyatakan bahwa satu fungsi atau satu maksud dapat dinayatkan dengan berbagai bentuk tuturan, yang telah dipaparkan pada teori tindak ilokusi di atas, maka tindak tutur dapat diklasifikasikan berdasarkan modus (fungsi) atau tujuan tuturan dan maksud makna kata-kata yang terdapat dalam tuturan. Berdasarkan modus atau tujuan tuturan, tindak tutur dapat dibedakan menjadi dua jenis. Kedua jenis tindak tutur tersebut adalah tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. 46 1.

Tindak Tutur Langsung Berdasarkan fungsinya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita

(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita berfungsi untuk memberikan informasi, kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah berfungsi untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang sesuai dengan modus kalimatnya. Dalam tindak tutur langsung, kalimat berita difungsikan untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, memohon, dan sebagainya. Dengan kata lain, tindak tutur langsung terjadi ketika ada hubungan secara langsung antara bentuk tata bahasa dari sebuah tuturan dengan ilokusinya. Tindak tutur langsung sebenarnya merefleksikan fungsi konvensional dari sebuah kalimat. 2.

Tindak Tutur tidak Langsung 45 46

I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm.19-20. I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 30-32.

27

Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang tidak dinyatakan langsung oleh modus kalimatnya. Dalam tindak tutur tidak langsung, kalimat berita yang seharusnya difungsikan untuk memberitakan sesuatu dan kalimat tanya yang seharusnya difungsikan untuk menanyakan sesuatu, digunakan untuk menyuruh, memohon, mengajak, dan sebagainya. Kalimat deklaratif dan interogatif difungsikan sebagai kalimat imperatif. Karena tindak tutur langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tutur tidak langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya. Tingkat kelangsungan sebuah tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh. Yang dimaksud jarak tempuh adalah jarak antara tujuan ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan tujuan ilokusi yang berada dalam diri lawan tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsung tuturan itu. Sebaliknya, semakin dekat jarak tempuhnya, semakin langsung tuturan itu. 47 Berdasarkan maksud makna kata-kata yang terdapat dalam tuturan, tindak tutur dapat dibedakan menjadi dua jenis. Kedua jenis tindak tutur tersebut adalah tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal. 48 1.

Tindak Tutur Literal Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan kata-

kata yang terdapat dalam tuturan. Maksud makna kata-kata yang menyusun tuturan sama dengan makna leksikalnya, bukan merupakan lawan dari makna sebenarnya. 2.

Tindak Tutur Tidak Literal Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan

kata-kata yang terdapat dalam tuturan. Maksud makna kata-kata yang menyusun tuturan tidak sama ataupun berlawanan dengan makna sebenarnya.

G. Prinsip Kerja Sama

47

Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 37. 48 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 32.

28

Di dalam komunikasi yang wajar, seorang penutur mengutarakan tuturan dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu pada lawan tuturnya, dan berharap lawan tuturnya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan. Oleh karena itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu lawan tutur. Supaya maksud dan tujuan penutur dapat sampai dan dipahami oleh lawan tutur, maka dalam komunikasi harus ada kerja sama antara penutur dan lawan tutur. Ada prinsip-prinsip dalam pertuturan yang harus ditaati oleh penutur dan lawan tutur. Ketika prinsip-prinsip tersebut ditaati oleh penutur dan lawan tutur dalam sebuah proses komunikasi, maka komunikasi tersebut akan berjalan dengan lancar. 49 Grice mengemukakan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh penutur dan

lawan

tutur

yang

disebut

dengan

prinsip

kerja

sama

dalam

pertuturan/percakapan. Prinsip kerja sama ini mengandung empat maksim, yakni (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner).50 1.

Maksim Kuantitas Untuk memenuhi maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat

memberikan informasi yang benar-benar cukup, benar-benar memadai, dan seinformatif serta sejelas mungkin. Informasi yang diberikan oleh penutur tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh lawan tutur. Sebaliknya, penutur juga tidak boleh memberikan informasi yang kurang kepada lawan tuturnya. Artinya, maksim kuantitas akan terpenuhi apabila penutur menyumbang informasi sebatas yang diperlukan dan tidak menyumbang informasi lebih dari yang diperlukan. Apabila tuturan yang disampaikan oleh penutur melebihi atau tidak sesuai dengan yang diperlukan oleh lawan tutur, maka dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grince.

49

I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 32 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm.23-25. 50

29

2.

Maksim Kualitas Untuk memenuhi maksim kualitas, seorang penutur diharapkan dapat

menyampaikan informasi yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sebuah tuturan dikatakan memiliki kualitas apabila tuturan itu sesuai dengan fakta, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ngada, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa, sehingga informasi yang demikian itu menjadi tidak sesuai dengan kenyataannya. Artinya, maksim kualitas akan terpenuhi apabila penutur menyampaikan informasi yang benar dan informasi yang dapat dibuktikan secara memadai. Apabila penutur mengatakan sesuatu yang tidak benar dan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai, maka dapat dikatakan melanggar maksim kualitas dalam prinsip kerja sama Grice. 3.

Maksim Relevansi Untuk memenuhi maksim relevansi, setiap peserta tutur harus dapat

memberikan kontribusi yang benar-benar relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Apabila peserta tutur tidak memberikan kontribusi yang sesuai dengan masalah yang sedang dibicarakan dalam percakan, maka dapat dikatakan melanggar maksim relevansi. 4.

Maksim Pelaksanaan/cara Dalam maksim pelaksanaan, setiap peserta tutur harus menyampaikan

informasi secara langsung, dengan jelas, tidak dengan kabur, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berbelit. Untuk memenuhi maksim pelaksanaan ini, setiap peserta tutur harus menghindari ungkapan yang tidak jelas, menghindari ungkapan yang membingungkan, menghindari ungkapan yang berkepanjangan, dan ungkapan yang secara tidak runtut. Apabila peserta tutur memberikan informasi secara tidak langsung, tidak jelas, kabur, taksa, dan berbelit, maka dapat dikatakan melanggar maksim pelaksanaan.

H. Implikatur Dalam praktek komunikasi, peserta tutur tidak selamanya menaati prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice. Peserta tutur kadangkala menyimpang

30

dari maksim-maksim kerja sama dalam percakapan. Penyimpangan dalam memenuhi prinsip kerja sama bisa memiliki beberapa bentuk, diantaranya: 51 1. Keluar dari percakapan. Ini adalah situasi di mana peserta komunikasi menyadari aturan prinsip kerja sama, tetapi tidak bisa menjalankannya karena alasan tertentu. 2. Melanggar aturan prinsip kerja sama. Hal ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menyesatkan orang lain dan tidak jarang dilakukan dengan cara tidak mengatakan apa pun. 3. Bentrok. Ini terjadi ketika peserta tutur harus memenuhi aturan salah satu maksim prinsip kerja sama dengan melanggar maksim yang lain. 4. Bersikap menantang aturan prinsip kerja sama. Peserta tutur sebenarnya mnyedari prinsip kerja sama dan aturan-aturan di dalamnya sehingga lawan tutur menjadi bertanya-tanya mengapa penutur sengaja melanggar aturan prinsip kerja sama dengan terang-terangan. Terjadinya penyimpangan terhadap prinsip kerja sama, mengindikasikan adanya implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Apabila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. 52 Grice dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan tersebut disebut implikatur percakapan. 53

A. Definisi Implikatur Menurut Mey, implikatur (implicature) berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold (melipat), sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan, haruslah dilakukan dengan cara membukanya. 54 Sedangkan 51

Elizabeth Black, 2011, Stilistika Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 52-53. I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 46. 53 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 37-38. 54 F.X. Nadar, 2013, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hlm. 52

60.

31

secara terminologi salah satunya dikemukakan oleh Gunspers dalam bukunya yang berjudul Discourse Strategic. Ia menyebut implikatur dengan istilah inferensi percakapan. Menurutnya, inferensi percakapan adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan itu, lawan tutur dalam percakapan menduga kemauan penutur, dengan itu pula lawan tutur memberikan respon.55 Dalam implikatur ada keterkaitan antara tuturan dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Namun, keterkaitan itu tidak tampak secara literal, melainkan dapat dipahami secara tersirat.56 Adanya implikatur dalam peristiwa tutur membuat arus komunikasi antara penutur dan lawan tutur berjalan dengan lancar. Penutur dan lawan tutur dituntut untuk memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Di antara penutur dan lawan tutur terdapat semacam kontak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti.57 Lawan tutur harus mengasumsikan bahwa seorang penutur tetap mematuhi prinsip kerja sama walaupun tampak melanggarnya. Berdasarkan asumsi tersebut, lawan tutur akan cenderung untuk mencari maksud sebenarnya yang ingin disampaikan atau implikatur yang ingin dicapai oleh penutur.58 Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak. 59 Artinya, dalam implikatur tidak ada keterkaitan semantis antara tuturan dengan yang diimplikasikan sehingga dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang jumlahnya tidak terbatas. Jika keterkaitan antara tuturan dengan yang diimplikasikannya bersifat semantis dan mutlak maka hal itu disebut entailment. 60 Selain itu, implikatur percakapan terbentuk dari kombinasi antara bahasa dengan

55

A. Hamid Hasan Lubis, 2011, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: Angkasa), hlm.70. Abdul Chaer, 2010, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 33. 57 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 42-43. 58 Elizabeth Black, 2011, Stilistika Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 54. 59 Kunjana Rahardi, 2006, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga), hlm. 43. 60 I. Dewa Putu Wijaya, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: Penerbit Andi), hlm. 38-39. 56

32

situasi. Implikatur sangat tergantung pada situasi di mana ia muncul, dan harus ditafsirkan dengan memperhitngkan konteksnya. 61

B. Implikatur dan Ilokusi Implikatur terkadang dikaburkan sebagai ilokusi dalam tindak tutur. Sebenarnya implikatur dan ilokusi serupa tapi tidak sama. Namun, tidak jarang pula bahwa implikatur itu juga merupakan ilokusi. Keduanya memang dapat dikatakan sebagai makna dibalik tuturan. Dalam ilokusi, menurut Searle untuk sampai pada makna tuturan yang dimaksudkan penutur, ada tuturan yang memerlukan daya tarik yang kuat terhadap faktor-faktor seperti konteks dan maksud penutur dari suatu tuturan. Namun, ada juga tuturan yang tidak memerlukan daya tarik tersebut, karena hubungan antara tindak ilokusi yang dimaksudkan dan

tindak

ilokusi

yang

benar-benar

digunakan

bersifat

konvensional. Bagi Searle, konvensi bersifat linguistik. Bahkan konvensi penggunaan tipe tuturan merupakan masalah sarana linguistik tertentu yang secara konvensional digunakan untuk melakukan tindak lokusi. 62 Dalam ilokusi ada yang disebut dengan tindak ilokusi dan tujuan/kekuatan ilokusi. Tujuan/kekuatan ilokusi sebuah tuturan berbeda atau akan berubah tergantung konteks tuturan tersebut.63 Penjelasan tentang tindak tutur yang didasarkan pada konvensi memberi jalan untuk menjelaskan tindak tutur yang didasarkan pada penalaran dan maksud komunikasi atau yang disebut dengan implikatur.64

C. Klasifikasi Implikatur Grice membagi implikatur menjadi implikatur percakapan umum, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.

Implikatur

percakapan khusus adalah implikatur percakapan yang tergantung pada konteks tertentu sebuah tuturan. Implikatur percakapan umum adalah implikatur percakapan yang tidak memerlukan konteks khusus untuk menghasilkannya. 61

Elizabeth Black, 2011, Stilistika Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 54. Louise Cummings, hlm. 12-13. 63 Henry Guntur Tarigan, hlm. 101-102. 64 Louise Cummings, hlm. 13. 62

33

Sedangkan implikatur konvensional adalah implikatur yang secara konvensional terkait dengan butir-butir leksikal tertentu yang menghasilkannya, meskipun secara kondisional tidak benar.65 Pembagian implikatur juga dilakukan oleh Sperber dan Wilson. Kedua pakar ini membedakan implikatur menjadi dua macam, yaitu implicated premises dan implicated conclusion. Implicated premises diperoleh dari ingatan pendengar. Dalam hal ini, seorang pendengar menyusun dan mengembangkan ancanganancangan asumsi yang diperolehnya dari ingatannya tentang suatu yang sedang diperbincangkan. Sedangkan implicated conclusion diperoleh dengan jalan menarik kesimpulan dari keterangan tuturan dengan konteks pembicaraan.66 Jadi, untuk menentukan implikatur yang ingin dicapai oleh penutur, lawan tutur terlebih dahulu menentukan maksud tuturan yang dituturkan berdasarkan asumsi-asumsi yang diperoleh dari ingatan-ingatan sebelumnya. Kemudian setelah itu, lawan tutur menggabungkan asumsi-asumsi dalam ingatannya dengan konteks tuturan sehingga dihasilkan sebuah kesimpulan.

65

Louise Cummings, 2007, Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 19-20. 66 F.X. Nadar, 2013, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hlm. 62.

34

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF