Teori Perubahan Budaya
November 19, 2017 | Author: Adelia Eka P N | Category: N/A
Short Description
Teori Perubahan Budaya...
Description
TEORI-TEORI PERUBAHAN BUDAYA Makna suatu perubahan tidak sebatas berkembangnya sesuatu yang berlangsung secara konstan dari tingkat sederhana menjadi kompleks. Perubahan, terlebih perubahan budaya dalam kenyataan tidaklah konstan, melainkan berlangsung dalam tingkat kecakapan yang berbeda antar masyrakat. Hal itu disebabkan karena peredaan dalam lingkungan budaya masing-masing. Lebih jauh Herkovits dalam Bee (l974:12) menyatakan upaya memahami perubahan budaya harus menyertakan keterangan mengenai konteksnya. Terdapat perbedaan makna perubahan sosial dan perubahan budaya. Perubahan sosial cenderung mengarah pada perubahan struktur sosial (Suparlan, l986:106; Wilbert Moore dalam Robert H. Lauer, l984:4) yang didalamnya mencakup perubahan dalam sistem status hubungan-hubungan sosial, sistem politik dan kekuasaan, serta sistem persebaran penduduk. Sedangkan perubahan budaya lebih menitikberatkan pada perubahan gagasan atau idea yang ada pada setiap pemikiran individu maupun kelompok masyarakat yang berupa perubahan nilai, aturan atau norma, dan gagasan yang biasa difungsikan sebagai pegangan dalam kehidupan (Suparlan, l986:106; Barnet dalam Bee, l974:174;). Sekalipun perubahan sosial dan budaya dapat dibedakan, namun dalam parakteknya tidak bisa dipisahkan dan dalam pembahasan menunjukkan adanya saling keterkaitan.
Perubahan
sosial
dan budaya menjadi konsep yang penting, karena pada dasarnya tidak ada satu masyarakat yang tidak mengalami perubahan. Konsep perubahan budaya yang terpenting adalah perubahan nilai melalui pembaharuan atau inovasi. Everett M. Rogers (l984:10-11) membatasi inovasi dengan pernyataan: “an idea, practise, or object that is perceived as new by an individual or other unit of adoption”. Sebagai sesuatu yang baru, baik yang dimunculkan oleh individu atau kelompok untuk diadopsi. Perubahan budaya
1
dalam konteks structural fungsional sebagai sebagai
sesuatu yang memiliki
fungsi bagi berlangsungnya keteraturan social. Lebih dari itu, perubahan tiada lain sebagai usaha
menciptakan penyesuaian diri individu-individu dengan
lingkungannya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kaitan itu Hobart Barnet (1986) yang menyatakan inovasi budaya tiada lain adalah “re-kombinasi dari ide-ide yang ada sebelumnya dan selanjutnya membentuk ide atau gagasan baru”. Istilah “konfigurasi mental” diartikan sebagai seperangkat ide-ide yang bersemayam pada pemikiran individu atau kelompok sosial untuk melahirkan gagasan baru untuk diterapkan dalam kehidupan di lingkungannya.
Proses mewujudkan konfigurasi mental
berlangsung dalam tiga tahapan utama, yakni: (l) Tahap menganalisa mengenai rumusan konfigurasi baru, yakni gagasan-gagasan baru yang berada dalam pemikiran individu atau kelompok social. Upaya menganalisa dilakukan dengan serangkaian upaya berpikir dan perilaku antarindividu untuk membulatkan konfgurasi yang dipandang berharga ; (2) Tahap membandingkan konfigurasi baru dengan konfigurasi lama. Pada tahapan ditunjukkan dengan dengan strategi dasar untuk menilai kelebihan dan kekurangan antara konfigurasi lama dan konfigurasi yang baru; dan (3) tahap substitusi, yakni tahap menentukan untuk mengganti konfigurasi lama ke dalam konfigurasi baru. Pada tahapan ini semacam tindakan individu untuk menentukan penggantian konfigurasi yang ada kaena dipandang tidak fungsional dan tidak sesuai lagi dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Discovery dan invention termasuk termasuk konsep yang ada di wilayah perubahan melalui inovasi budaya. Akan tetapi penjelasan kedua konsep tersebut sering diartikan tumpang tindih. Sebagian ahli membedakan, discovery sebagai penemuan yang diperoleh secara kebetulan, sedangkan invention ditemukan berdasarkan kesadaran dan usaha yang sungguh-sungguh. Sebagian ahli meneropong dalam konteks penerapan, dimana discovery dipandang sebagai penemuan mengenai pengetahuan, sedangkan invention sebagai penemuan mengenai penerapan pengetahuan (Koentjaraningrat, l990:109). Penjelasan lain menyatakan bahwa
discovery adalah penemuan berkenaan dengan hakekat
suatu gejala atau lebih, sedangkan invention adalah penciptaan baru 2
yang
berupa benda-benda sebagai hasil pengkombinsian dari sejumlah pengetahuan yang sudah ada sebelumnya (Suparlan; l987:15). Respon
terhadap penerapan inovasi budaya akan berdampak pada
adanya perbedaaan persepsi antarindividu maupun antarkelompok. Umumnya dalam inovasi akan terdapat sebagian individu atau kelompok yang menerima dan sebagian lagi akan menolak inovasi budaya.
Kelompok yang menerima
maupun yang menolak pembaharuan akan terbagi ke dalam tiga bagian, yakni: (l) kelompok yang menghendaki inovasi dan kelompok yang tidak menghendaki. Perbedaan penerimaan dan penolakaan lebih disebabkan didasarkan atas kegunaan inobasi pada masing-masing kelompok. (2) kelompok yang terkena langsung dengan inovasi dan kelompok yang tidak terkena langsung. Kelompok yang langsung cenderung akan cepat merasakan dan merespon dibandingkan dengan kelompok yang tidak langsung. (3) kelompok yang terantisifasi dengan pembaharuan budaya dan kelompok yang tidak terantisifasi. Keleompok yang terantisifasi dipandang akan lebih mampu menjangkau atau tidaklah mampu menjangkau proses pembaharuan (Everett M. Rogers: 1984). Dilihat dari lingkungan social, Robert L. Bee, (l974: 174) menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk penerimaan pembaharuan budaya, dimana lingkungan budaya yang menjadi objek pembaharuan memiliki kemungkinan terbuka. Keterbukaan atas pembaharuan ditampakkan dari adanya keinginan berinteraksi berkenaan dengan gagasan pembaharuan yang ditawarkan pada tingkatan antarindividu dan antarkelompok. Adanya kemungkinan individu atau kelompok sosial untuk melakukan migrasi kepada gagasan pembaharuan budaya yang baru. Selanjutnya adanya kompetisi yang dinamis pada tingkatan individu maupun kelompok sosial dalam lingkungan budaya bersangkutan. Everett M. Rogers (l984) menyatakan, pembaharuan budaya akan diterima manakala dipandang menguntungkan (relative adventage) atau atau setidaknya tingkatan pembaharuan tersebut lebih baik dan lebih cocok (compatible) dengan sistem nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. selain itu faktor pengalaman masa lalu dari kelompoksosial dalam penerimaan pembaharuan sesuai dengan kebutuhannya, tidak sulit untuk dimengerti dan
3
dalam batas-batas tertentu dapat dicoba (trialability) atau diobservasi (observability) dan kecepatan dalam pengadopsian (rate of adoption). Sedangkan persyarat bagi penyebar pembaharuan budaya yang harus dipenuhi adalah: adanya karakteristik yang dipandang oleh objek pembaharu dengan sikap yang menyenangkan, selain juga faktor yang diakui bersama memiliki keahlian dibidang yang menjadi missi pembaharuannya. Adanya status sosial dan popularitas yang luas di lingkungan masyarakat yang bersangkutan akan sangat mendukung kepiawaian sebagai penyebar pembaruan budaya. Berdasarkan akan hal itu, maka kecenderungan sikap yang ditampilkan individu atau kelompok sosial berkenaan dengan pembaharuan budaya akan memperlihatkan kecenderungan dimana pembaharu akan melakukan kerjasama yang ditandai pada kelompok adopter bersifat respek. dimungkinkan adanya kecenderungan mayoritas kelompok adaptor cepat menerima namun maish dengan penuh berhati-hati. Pada kelompok yang lambat untuk menerima akan menunjukkan kecenderungan bersikap skeptis. Lingkungan budaya yang berupa kelompok sosial akan memperlihatkan sebagai organisasi yang terbuka dan tertutup dengan pembaharuan budayanya. Terdapat perbedaan cara pandang dalam melihat prilaku organisasi dalam konteks perubahan budaya. Pandangan mekanik
(mechanism paradigm)
menganggap kelompok sosial bagaikan mesin yang bekerja dengan penuh keteraturan dalam mencapai tingkatan produktivitas tertentu dengan taraf efisiensi. Pandangan ini menandai perubahan penerimaan pembaharuan budaya tergantung dari
individu yang mengendalikan sebagai legitimator otoritas
kepemimpinan (Thoha, 1988: 133). Dalam kaitan ini proses perubahan budaya akan berjalan secara tertutup dan mekanis sebagaimana yang ditunjukkan dengan pembeharuan budaya ketika raja-raja di Pulau Jawa melakukan pembaharuan budaya pada masa lalu. Sedangkan paradigma organik (organism paradigm) memandang kelompok sosial lebih menekankan manusia sebagai sistem, dimana efisiensi dan efektivitas dalam pengarahan bukan menjadi aspek utama dalam pencapaian tujuan. Aspek yang dianggap lebih penting dalam kelompok sosial organis adanya keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya budayanya, dimana pemimpin kelompok sebagai bagian 4
dari sistem. Dengan demikian perubahan budaya pada kelompok masyarakat jenis ini lebih bersifat terbuka (open system) dan berlangsung dalam berbagai tingkatan serta dimotivasi atas kebutuhan lingkunganbudaya setempat. KESIMPULAN Pada dasarnya suatu pembaharuan budaya akan diterima atau ditolak berdasarkan
suatu keputusan. Keputusan ini merupakan rangkaian proses
berpikir yang berlangsung pada tingkatan individu maupun kelompok sosial. Lima rangkaian proses keputusan pembaharuan budaya, yakni (1) adanya pembentukan pengetahuan (knowledge) yang mempublikasikan mengenai inovasi budaya; (2) selanjutnya melakukan ajakan atau persuasi (persuasion) untuk menganalisis dan menilai pembaharuan tersebut; (3). Kemudian melakukan keputusan (decition) dimana individu atau kelompok sosial akan mengarah pada menerima atau menolak; (4). Tahap melakukan implementasi pembaharuan (implementation) pada individu atau kelompoksosial untuk mengenali lebih jauh berkenaan pembahruan budaya yang sudah dipilihnya; dan (5). Akhirnya melakukan konfirmasi (confirmation) dimana individu mencari penguatan atas pembaharuan nilai yang telah diputuskan, akan tetapi juga ada ruang untuk menganulir keputusan untuk ikut dalam pembaharuan nilai bilamana terasa ada bertentangan
dengan pesan inovasi yang sebelumnya
dipublikasikan
5
View more...
Comments