TEORI PEMBELAJARAN Prinsip, Metode, Peristiwa Dan Tujuan
August 8, 2017 | Author: muhammad yaumi | Category: N/A
Short Description
Download TEORI PEMBELAJARAN Prinsip, Metode, Peristiwa Dan Tujuan...
Description
TEORI PEMBELAJARAN: Prinsip, Metode, Peristiwa, dan Tujuan Muhammad Yaumi (UIN Alauddin Makassar) Teori
pembelajaran
mengembangkan teori-teori
(instructional
theory)
merujuk
pada
upaya
untuk
yang langsung diarahkan pada aplikasi.1 Artinya,
munculnya teori-teori pembelajaran menyiratkan perkembangan secara komparatif tentang hubungan antara teori belajar dan praktek atau penyelenggaraan pendidikan. “Instructional theory is defined as identifying methods that will be best provide the conditions under which learning goals will most likely be attained.”2 Dalam definisi ini, terdapat tiga komponen yang perlu mendapat penekanan, yakni metode, kondisi, dan tujuan pembelajaran. Artinya, ketika teori pembelajaran digunakan harus dapat mengidentifikasi metode yang sesuai untuk menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian hakekat teori pembelajaran adalah untuk menentukan dan menggunakan prinsip-prinsip yang dilakukan oleh pendidik dan pengembang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu, teori pembelajaran adalah serangkaian prinsip yang terintegrasi dari teori belajar, teori-teori lain yang relevan, dan hasil penelitian yang memungkinkan seseorang dapat memprediksi dampak kondisi pembelajaran, proses kognitif peserta didik dan kemampuan yang dihasilkan.3
1
Snelbecker, Learning Theory, Instructional Theory, and Psychoeducational Design, New York: McGraw-Hill Book Campany, 1974, hh.16— 17. 2 Charles M. Reigeluth, Instructional Design Theories and Models, dikutip tidak langsung oleh Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, Second Edition (Massachusetts: Pearson Education Company, 2000), h. 344. 3 Patricia L. Smith and Tillman J. Ragan, The Impact of R.M. Gagne’ s Work on Instructional Theory, chapter 6 dalam Rita C. Richey, The Legacy of Robert M. Gagne (Syracuse: ERIC Clearinghouse on Information and Technology, h. 147.
Hakekat teori pembelajaran adalah sebagai upaya untuk mengaitkan peristiwa pembelajaran eksternal dan hasil belajar dengan menunjukkan bagaimana peristiwaperistiwa belajar dapat mendukung peningkatan proses pembelajaran internal. Artinya, orientasi teori pembelajaran adalah untuk mengusulkan suatu hubungan secara rasional antara peristiwa belajar, pengaruhnya terhadap proses belajar, dan hasil belajar yang diperoleh dari proses-proses tersebut.4 Dalam hal ini, teori belajar dipandang sebagai penggunaan berbagai teori, prinsip, metode, atau strategi dalam menciptakan situasi belajar yang menyenangkan dalam upaya memperoleh hasil belajar yang sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan, istilah pembelajaran dapat dipahami melalui dua kata, yakni construction dan instruction. Construction dilakukan untuk peserta didik (dalam hal ini peserta didik pasif), sedangkan instruction dilakukan oleh peserta didik (di sini, peserta didik aktif). Namun, prinsip konstruktivisme yang menekankan bahwa peserta didik hanya belajar dengan mengonstruksi pengetahuan, yang berarti bahwa belajar membutuhkan manipulasi materi yang dipelajari secara aktif, bukan secara pasif. Jika instruction (pembelajaran) dimaksudkan untuk mengembangkan sistem belajar secara umum, maka pembelajaran harus mengembangkan construction. Instruction bukan dinamakan pembelajaran selama tidak mengembangkan construction. Oleh karena itu, pembelajaran dapat didefinisikan “as anything that is done purposely to facilitate learning.”5 Artinya, pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dilakukan dengan maksud untuk menfasilitasi belajar. Selain itu, pembelajaran
4 5
Robert M. Gagne, The Condition of Learning (New York: CBS College Publishing, 1985), h.244. Charles M. Reigeluth dan Alison A. Carr-Chellman, Instructional-Design Theories and Models Volume III: Building a Common Knowledge Base (New York: Routledge, 2009), h.6.
dipahami sebagai upaya yang disengaja untuk mengelola kejadian atau peristiwa belajar dalam menfasilitasi peserta didik sehingga memperoleh tujuan yang dipelajari.6 Berdasarkan definisi tersebut di atas, terdapat beberapa konsep yang perlu dijelaskan secara
mendalam
dalam
hubungannya
dengan
pembahasan teori
pembelajaran. Konsep-konsep yang dimaksud adalah prinsip-prinsip, metode, peristiwa belajar, dan tujuan pembelajaran.
a. Prinsip-prinsip Pembelajaran Prinsip adalah suatu kebenaran, dasar hukum, doktrin, atau kekuatan pendorong atas yang lain. Prinsip adalah pandangan yang luar biasa yang sering diterima sebagai hal keimanan. Prinsip juga dianggap sebagai elemen penting atau konstituen dari suatu proses.7 Dengan demikian, prinsip pembelajaran adalah karakteristik kunci dari suatu pembelajaran yang memisahkannya dari aspek-aspek lain. Prinsip pembelajaran bukan suatu model atau metode pembelajaran, tetapi aspek yang mendasari berbagai model dan metode. Prinsip-prinsip yang dijabarkan di sini adalah prinsip pembelajaran David Merril yang diberi istilah first principle of instruction dan prinsip pembelajaran situasional.
6
Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, second edition (Massachusetts: A Pearson Education Company, 2000), h.345. 7 Farrokh Alemi, Process Improvement, 2011, h.1 (http://gunston.gmu.edu/708/whatprin.htm).
First principle of instruction mencakup lima prinsip atau dinyatakan dalam fasefase yang disebut dengan fase-fase pembelajaran, yakni demonstrasi, aplikasi, prinsip berbasis pada tugas, aktivasi, dan integrasi,8 sebagaimana digambarkan di bawah ini.
integrasi
aktivasi
TUGAS
aplikasi
demonstrasi
Gambar 3: Fase-fase Pembelajaran
Kelima fase tersebut dijabarkan ke dalam prinsip-prinsip, seperti (1) belajar difasilitasi bila peserta didik terlibat dalam strategi pembelajaran yang berpusat pada tugas, (2) belajar difasilitasi ketika pengetahuan diaktifkan sebagai dasar untuk mendapatkan pengetahuan baru, (3) belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru didemonstrasikan pada peserta didik, (4) belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru diterapkan oleh peserta didik, (5) belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru terintegrasi ke dalam dunia peserta didik.
8
M. David Merrill, First Principle of Instruction, 2011, hh. 44— 45 (http://mdavidmerrill.com/Papers/firstprinciplesbymerrill.pdf).
Selain dari prinsip Merrill, prinsip kedua adalah pembelajaran situasional (situational principles of instruction) yang dipandang sebagai prinsip pembelajaran yang tidak universal karena hanya diterapkan dalam situasi tertentu. Prinsip situasional terjadi pada suatu rangkaian kesatuan (continuum) dari situasi yang sangat umum kepada suatu situasi sangat lokal (situasi yang diterapkan amat sangat jarang). Situasi tersebut menjadi sangat penting ketika berupaya menciptakan ketelitian pada prinsipprinsip pembelajaran yang dilakukan.9 Peningkatan ketelitian sangat penting dalam rangka membantu para praktisi pendidikan dalam merancang dan menentukan pembelajaran yang berkualitas, begitu pun bagi peneliti untuk merancang penelitian yang berguna untuk mengonstruksi dasar pengetahuan umum. Oleh karena itu, , perlu memperhatikan tiga prinsip, yakni jenisjenis (kinds), bagian-bagian (parts), dan kriteria (criteria).10 Pertama, jenis mencakup klasifikasi konsep dan prosedur penggunaannya. Penjelasan terhadap klasifikasi dan prosedur pelaksanaan terhadap suatu aktivitas dipandang dapat meningkatkan ketelitian
yang
bermuara
pada
peningkatan
kualitas
pelaksanaannya.
Jika
pembelajaran didesain dengan mempertimbangkan jenis-jenis, maka pemahaman terhadap pembelajaran yang dimaksud dapat dipahami dengan komprehensif. Prinsip situasional dalam hal ini tergantung dari jenis situasi di mana pembelajaran itu diimplementasikan. Kedua, prinsip situasi berhubungan dengan bagian-bagian. Jika jenis situasi hanya menggunakan satu cara dalam mendesain pembelajaran, sedangkan bagianbagian dapat menggunakan berbagai macaqm cara tergantung dari situasi di mana 9
Reigeluth dan Chellman, op.cit., h.59. Ibid, 60.
10
bagian tesebut sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dengan demikian, semua bagianbagian dibutuhkan untuk membentuk suatu sistem pembelajaran yang didesain, sedangkan setiap jenis mencakup keseluruhan cara yang digunakan. Ketiga, prinsip situasi berhungan dengan kriteria yang menentukan standar atau indikator suatu model yang dikembangkan baru dikatakan memenuhi kriteria baik atau sebaliknya.
Kriteria merupakan suatu standar dalam mengukur dan menilai suatu
pembelajaran yang berhasil didesain secara baik dan benar. Oleh karena itu, perancang atau peneliti pembelajaran harus mempertimbangkan jenis, bagian, dan kriteria di dalam mengembangkan suatu model, pendekatan, metode, strategi, atau evaluasi pembelajaran dalam upaya untuk menciptakan kualitas pembelajaran sesuai yang diharapkan. Namun demikian, tidak ada suatu prinsip yang jauh lebih baik dari prinsip lain. Masing-masing prinsip memiliki kelebihan dan kelemahan.
b. Metode Pembelajaran Beberapa istilah yang hampir sama dengan metode yaitu strategi, pendekatan, teknik atau taktik dalam pembelajaran. Strategi kadang-kadang dipahami sebagai keseluruhan rencana yang mengarahkan pengalaman belajar, seperti mata pelajaran, mata kuliah, atau modul. Hal ini mencakup cara yang direncanakan oleh pengembang pembelajaran untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu, strategi pembelajaran juga dipahami sebagai rencana khusus yang mengarahkan setiap bagian dari pengalaman belajar, seperti satuan atau pelajaran dalam suatu mata pelajaran, mata kuliah atau modul.11 Definisi pertama disebut dengan
11
William J Rothwell dan H.C. Kazanas, Mastering the Instructional Design Process (San Francisco: Pfeiffer, 2004), h.222.
strategi pembelajaran makro dan kedua strategi pembelajaran mikro. strategi
pembelajaran
makro
adalah
berbagai
aspek
untuk
Selanjutnya,
memilih
strategi
penyampaian, urutan, dan pengelompokkan rumpun (cluster) isi, menggambarkan komponen belajar yang dimasukan dalam pembelajaran, menentukan bagaimana peserta
didik
dikelompokkan
selama
pembelajaran,
mengembangkan
struktur
pelajaran, dan menyeleksi media dalam menyampaikan pembelajaran. Sedangkan, strategi mikro adalah berbagai aktivitas pembelajaran, seperti diskusi kelompok, membaca independen, studi kasus, ceramah, simulasi komputer, lembar kerja, projek kelompok kooperatif, dan sebagainya.12 Strategi mikro itulah yang disebut dengan metode pembelajaran.13 Jadi metode pembelajaran berfungsi sebagai cara dalam menyajikan (menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan) isi pelajaran kepada peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu.14 Sedangkan, metode merupakan upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi.15 Pendekatan (approach) menetapkan arah umum atau lintasan yang jelas untuk pembelajaran yang mencakup komponen yang lebih tepat atau rinci. Perhatikan istilah problem-based learning (pembelajaran berbasis masalah), experiential learning 12
Walter Dick, Lou Carey, dan James O. Carey, The Systematic Design of Instruction , Six Edition (New York: Pearson, 2005), hh.-183— 184. 13 AT & T, Communication Learning and Development Organization (1985) dalam M. Atwi Suparman, Desain Instruksional (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 205. 14 M. Atwi Suparman, Desain Instruksional (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 217. 15 Direktorat Tenaga Kependidikan, Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya (Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 3.
(pembelajaran berbasis pengalaman), direct instruction (pembelajaran langsung), dan simulation (simulation). Semua istilah ini merujuk pada pendekatan pembelajaran umum di mana metode (komponen) merupakan cakupannya.16 “An approach is a set of correlative assumption dealing with the nature of language teaching and learning. An approach is axiomatic which describes nature of the subject matter to be taught.”17 Maksudnya adalah suatu merupakan serangkaian asumsi korelatif yang berhubungan dengan
hakekat
pembelajaran.
Pendekatan
adalah
suatu
aksiomatik
yang
menggambarkan sifat dari mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Dapat juga dikatakan bahwa pendekatan merupakan sudut pandang bagi pendidik atau pengembang terhadap proses pembelajaran, seperti pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.18 Teknik bersifat implementatif yang terjadi dalam ruang kelas. Teknik harus sesuai dengan metode dan pendekatan.19 Dengan demikian, teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Sedangkan, taktik dalam pembelajaran merupakan gaya yang diperankan oleh pendidik secara
16
Reigeluth and Chellman, op.cit., h. 31. Jack C Richards and Theodore S Rodgers. 1986. Approaches and Methods in Language Teaching: A description and analysis. (Cambridge: Cambridge University Press), h. 9. 18 Direktorat Tenaga Kependidikan, op.cit., h. 5. 19 Richards and Rodgers, op.cit., h.10. 17
individu (yang berbeda dengan pendidik lainnya) dalam mengimplementasikan teknik atau metode tertentu. Kembali pada hakekat metode pembelajaran, di mana tidak semua metode cocok digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Hal ini tergantung dari karakteristik peserta didik, materi pembelajaran, dan konteks lingkungan di mana pembelajaran berlangsung. Dalam hal ini pengembang pembelajaran atau pendidik memegang peran penting dalam menciptakan kondisi belajar yang dapat menfasilitasi peserta didik di dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Oleh karena itu, metode-metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran metode ceramah, demonstrasi, adalah diskusi, simulasi, pemberian tugas dan resitasi, tanya jawab, pemecahan masalah (problem solving), sistem regu, metode latihan (drill), karyawisata (field trip), ekspositori, inkuiri, kontekstual, bermain peran, induktif, deduktif, dan lainlain. Metode-metode seperti yang dipaparkan di atas hanyalah sebagian kecil dari paling tidak sekitar empat puluh sembilan metode,20 atau sekitar dua puluh metode.21 Berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran berbasis kecerdasan jamak, istilah metode, atau strategi mikro, yang juga disebut aktivitas pembelajaran merupakan komponen yang ikut berkontribusi dalam pengembangan kecerdasan jamak. Aktivitas pembelajaran yang dimaksud adalah bercerita (storytelling), sumbang pendapat (brainstorming), heuristik, visualisasi, kinestetik, diskografi, simulasi, dan lain-lain. 22
20
Reigeluth and Chellman, op.cit., hh.36— 39. Suparman, op. cit., hh.218— 231. 22 Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom (Alexandria: ASCD, 2009), hh. 72— 97. 21
c. Peristiwa Pembelajaran Peristiwa pembelajaran adalah gambaran sederhana tentang paradigma aktivitas peserta didik dan pendidik yang terjadi secara komplementer (saling isi mengisi) dan saling ketergantungan dalam suatu situasi belajar. Peristiwa belajar menggambarkan aktivitas peserta didik dalam menerima, mempraktekkan, menciptakan, dan lain-lain. Peristiwa pembelajaran menggambarkan aktivitas pendidik (guru) dalam memindahkan ilmu, membina, memberikan kenyamanan belajar, dan lain-lain.23
Peristiwa belajar
didesain untuk mengaktifkan proses informasi atau paling tidak melipatgandakan kejadian atau peristiwa dalam menunjang proses pembelajaran. Berdasarkan definisi tentang peristiwa pembelajaran seperti dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa belajar hanya bisa terjadi jika terjadi aktivasi dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, tujuan pembelajaran adalah untuk menfasilitasi terjadinya aktivasi yang kemudian memberi penguatan dan pemahaman mendalam tentang informasi yang diperoleh sehingga dapat mengonstruksi pemahaman baru. Oleh karena itu, pembelajaran menggambarkan paling tidak tiga kategori utama, sebagai berikut: 1. Belajar dipandang sebagai suatu proses internal yang terjadi pada individu yang mentransformasi stimulasi dari lingkungan individu ke dalam sejumlah bentuk informasi yang berkembang secara progresif untuk membangun memori jangka panjang (long-term memory), seperti tujuan belajar dalam menghasilkan
individu
yang
memiliki
kemampuan
dalam
membentuk
kemampuan dan kinerja manusia secara menyeluruh. 23
Dieudonné Leclercq dan Marianne Poumay, The 8 Learning Events Model and its principles, 2011, h.1 (http://www.labset.net/media/prod/8LEM.pdf).
2. Kemampuan dan kinerja sebagai hasil belajar yang diselenggarakan dapat dikategori ke dalam dua bagian utama; pertama, berorintasi praktis, dan kedua berorientasi teoretis. Untuk tujuan desain pembelajaran, diidentifikasi lima kategori kemampuan; kemampuan intelektual, kemampuan kognitif, informasi verbal, sikap, dan kemampuan motorik. Kelima kategori ini menunjukkan perbedaan dalam kemampuan manusia tergantung dari efektivitas belajar yang dilaksanakan. 3. Sementara peristiwa pembelajaran yang mendukung proses belajar merujuk pada kategori-kategori umum tanpa tergantung dari hasil belajar yang diharapkan, pelaksanaan yang menopang peristiwa pembelajaran berbedabeda dari masing-masing kelima kategori kemampuan. Tujuan pembelajaran yang berhubungan dengan kemampuan intelektual membutuhkan desain dalam peristiwa pembelajaran yang berbeda dengan desain tujuan untuk kemampuan informasi verbal atau bagi kemampuan motorik. Teori pembelajaran seperti dikemukan sebelumnya perlu dijabarkan lebih rinci dalam peristiwa belajar atau yang dikenal dengan the nine event of instruction, yang mencakup; 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
24
Gaining attention (menarik perhatian) Informing learners of the objective (menjelaskan tujuan pembelajaran) Stimulating recall of prior learning (mengingatkan pengetahuan sebelumnya) Presenting the stimulus (memberi stimulus) Providing learning guidance (memberi petunjuk belajar) Eliciting performance (menfasilitasi berkembangnya kinerja) Providing feedback (memberi umpan balik) Assessing performance (menilai kemampuan atau kinerja Enhancing retention and transfer (meningkatkan pemahaman dan transfer pengetahuan peserta didik).24
Gagne, op.cit., h. 246.
Masing-masing dari sembilan peristiwa belajar tersebut di atas dapat disertai dengan satu atau lebih aktivitas pembelajaran (instructional activity) yang dibedakan dengan
istilah
aktivitas
belajar
(learning
activity).
Aktivitas
pembelajaran
menggambarkan apa yang akan dilakukan oleh pendidik (instruktur) dalam menfasilitasi pembelajaran. Sedangkan, aktivitas belajar mendeskripsikan apa yang akan dilakukan oleh peserta didik dalam pembelajaran.25 Untuk memudahkan penjelasan tentang peristiwa belajar, perlu dihubungkan dengan proses belajar internal yang diikuti dengan deskripsi contoh tindakan pembelajaran. Peristiwa pembelajaan di atas, kemudian disederhanakan ke dalam lima komponen yang merupakan keseluruhan bagian dari strategi pembelajaran. Kelima komponen tersebut terdiri atas; (1) aktivitas sebelum pembelajaran, (2) penyajian isi pembelajaan, (3) partisipasi peserta didik, (4) penilaian, (5) aktivitas atau kegiatan tindak lanjut.26 Pertama, aktivitas prapembelajaran (aktivitas pendahuluan) adalah bentuk aktivitas yang dilakukan sebelum memulai pembelajaran formal yang menyajikan isi informasi kepada peserta didik. Paling sedikit ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam mendesain aktivitas pendahuluan, yakni memberi motivasi kepada peserta didik, memberi informasi kepada peserta didik tentang apa yang akan dipelajari, dan meyakinkan bahwa peserta didik mempunyai pengetahuan prasyarat untuk memulai pembelajaran.
25
Robert M Gagne dkk, Principles of Instructional Design (USA: Thomson Wadsworth, 2005), h. 195. Dick and Carey, op.cit., hh.190— 197
26
Kedua, aktivitas inti atau penyajian isi pembelajaran adalah penyajian informasi, konsep, aturan-aturan, atau prinsip isi pembelajaran kepada peserta didik. Konsep yang disajikan harus merujuk pada tujuan pembelajaran sehingga informasi yang didiskusikan atau dijelaskan tidak keluar dari esensi yang seharusnya menjadi inti pembahasan. Konsep yang menjadi inti pembahasan bukan saja berhubungan dengan informasi baru, melainkan juga harus diperhatikan saling keterkaitannya dengan konsep-konsep yang lain, atau konsep dan pengalam yang telah ada pada peserta didik. Perlu juga menentukan jenis atau sejumlah contoh dari masing-masing konsep karena di satu sisi peserta didik belajar tentang konsep dan cara menggunakan contoh dan petunjuk kerja untuk menyelesaikan tugas pembelajaran. Peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran perlu difasilitasi dengan pemberian contoh dan petunjuk secara umum yang seharusnya diintegrasikan ke dalam strategi pembelajaran. Istilah penyajian konten (isi) pembelajaran di sini menyiratkan adanya totalitas isi yang dipelajari dengan menggunakan contoh-contoh dan petunjuk kerja dalam bentuk ilustrasi, diagram, demonstrasi, model pemecahan masalah, scenario, studi kasus, contoh kinerja, dan sebagainya. Ketiga, partisipasi peserta didik, yang merujuk pada keterlibatan langsung peserta didik dalam proses pembelajaran. Salah satu komponen yang paling penting dalam proses pembelajaran adalah praktek yang diikuti dengan kegiatan umpan balik. Proses pembelajaran akan dapat ditingkatkan ketika adanya aktivitas yang relevan dengan tujuan pembelajaran. Peserta didik perlu diberi kesempatan untuk mempraktekkan apa yang telah dan akan dipelajari. Salah satu bentuk pendekatan yang biasa digunakan adalah mengintegrasikan tes praktek (practice test) dalam pembelajaran. Pendekatan
lain yang lebih umum digunakan adalah memberikan kesempatan secara informal kepada peserta didik untuk menguji atau memaparkan kembali tugas yang telah dipelajari. Pendekatan ini tidak hanya menyangkut segala sesuatu yang mampu dilakukan, tetapi juga diberi kesempatan untuk dilakukan umpan balik atau menanyakan informasi mengenai kinerja yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik. Misalnya; penjelasan tentang jawaban yang benar atau salah. Jika jawaban peserta didik salah, pendidik mempersiapkan jawaban yang benar disertai penjelasannya. Keempat,
penilaian
(assessment)
adalah
proses
mengumpulkan
dan
mendiskusikan informasi dari berbagai sumber untuk mengembangkan pemahaman terhadap apa yang telah dipahami, dimengerti, dan yang dapat dilakukan oleh peserta didik sebagai hasil dari pengalaman belajarnya. 27 Penilaian adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mengacu pada ukuran tertentu, seperti menilai baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, tinggi atau rendah, dan sebagainya. Kata lain yang hamper sama dengan penilaian adalah evaluasi dan pengukuran. Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan atau program telah tercapai. Sedangkan, pengukuran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur atau memberi angka terhadap sesuatu yang disebut objek pengukuran atau objek ukur.28 Seharusnya dalam penilaian hasil belajar, perlu dibedakan antara the learning (materi perolehan belajar) dan the learner (posisi peserta didik dalam kelompok). Penilaian terhadap the learning menggunakan criterion referenced test untuk menilai
27
University of Oregon, How do you define assessment? 2011, h.1 (http://medsci.indiana.edu/m620/reserves/def_assess.pdf). 28 Djaali dan Pudji Muljono, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan (Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2004), hh. 1— 2.
perolehan yang sudah dicapai individu secara tuntas. Sedangkan the learner menggunakan norm referenced test untuk menilai kedudukan individu dalam kelompok atau kedudukan kelompok dalam posisinya terhadap seluruh populasi secara normal.29 Untuk
memberi
penilaian apakah peserta didik telah mencapai tujuan
pembelajaran seperti yang direncanakan atau belum, perlu menggunakan instrumen penilaian yang dapat dilakukan melalui tes dan non-tes. Tes adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur pengetahuan atau penguasaan objek ukur terhadap seperangkat konten atau materi tertentu. Tes dapat dibagi ke dalam empat bagian, yakni tes prasyarat, prates, tes praktek, dan posttest. Tes prasyarat; berfungsi untuk mengukur penguasaan terhadap pengetahuan prasyarat atau pengetahuan yang telah diperoleh sebelum memulai pembelajaran. Prates (pretest), adalah bentuk pengukuran yang bertujuan untuk menilai apakah peserta didik telah menguasai sebagian atau seluruhnya tentang materi yang akan diperoleh pada pembelajaran. Tes praktek (practice test), penilaian yang bertujuan mengetahui partisipasi aktif peserta didik selama berlangsungnya pembelajaran. Adapun, posttest adalah suatu bentuk pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui dan mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Kelima, aktivitas (kegiatan) tindak lanjut, yang bertujuan untuk mereviu keseluruhan strategi untuk menentukan apakah kebutuhan memori dan transfer pengetahuan peserta didik telah memenuhi semua tujuan pembelajaran atau belum. Untuk mengetahui hal ini, perlu dilakukan dengan mereviu analisis konteks kinerja,
29
Conny R Semiawan, Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 191.
yang menggambarkan kondisi peserta didik dalam mengusai dan mampu melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran. Berdasarkan penjelasan di atas, komponen strategi pembelajaran dapat dijabarkan sebagai berikut. A. Kegiatan Pendahuluan 1. Menarik perhatian dan memotivasi peserta didik 2. Menggambarkan tujuan pembelajaran 3. Menggambarkan dan mengingatkan kembali pengetahuan prasyarat B. Penyajian konten 1. Konten 2. Contoh-contoh C. Partisipasi Peserta Didik 1. Praktek 2. Umpan Balik D. Asesmen/penilaian 1. Tes prasyarat 2. Pretest 3. Posttest E. Aktivitas Tindak Lanjut 1. Pengayaan 2. Pertimbangan transfer pengetahuan.
d. Tujuan Pembelajaran Dalam desain pembelajaran, dibedakan antara tujuan pembelajaran umum atau disebut tujuan instruksional umum (TIU) dengan tujuan instruksional khusus (TIK). Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), tujuan pembelajaran dinyatakan secara tersirat dalam standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), dan indikator. Standar Kompetensi adalah seperangkat kompetensi yang dibakukan sebagai hasil belajar materi pokok tertentu dalam satuan Pendidikan, merupakan kompetensi bidang pengembangan dan materi pokok per satuan pendidikan per satu kelas yang harus dicapai peserta didik selama satu semester. Kompetensi Dasar adalah rincian kompetensi dalam setiap aspek materi pokok yang harus dilatihkan kepada peserta didik sehingga kompetensi dapat diukur dan diamati. Sedangkan, indikator adalah Indikator merupakan wujud dari KD yang lebih spesifik, yang merupakan cerminan dari kemampuan peserta didik dalam suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar yang telah dilalui.30 Tujuan instruksional umum (goal) adalah (1) a clear, general statement of learner outcomes that is (2) related to an identified problem and needs assessment, and (3) achievable through instruction rather than some more efficient means such as enhancing motivation of employees.31
Berdasarkan definisi tersebut, tujuan instruksional umum dapat diidentifikasi melalui tiga aspek, yakni; (1) pernyataan umum yang jelas tentang hasil belajar peserta didik, (2) berhubungan dengan analisis kebutuhan dan masalah yang diidentifikasi, dan 30
Sri Jutmini dkk, Panduan Penyusunan Silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2007), h.8. 31 Dick and Carey, op. cit., h. 31.
(3) yang dapat diperoleh melalui pembelajaran. Artinya, hasil belajar peserta didik perlu diarahkan pada kebutuhan sesuai dengan hasil analisis dan untuk dapat mencapainya harus melalui proses pembelajaran. Pernyataan tujuan mencakup lima kategori atau lima jenis kemampuan, yaitu (1) informasi verbal, (2) kemampuan intelektual, (3) kemampuan kognitif, (4) sikap, dan (5) keterampilan motorik.32 Pertama, kemampuan intelektual setara dengan pengetahuan prosedural dan terbagi ke dalam lima sub kategori; diskriminasi, konsep konkrit, definisi konsep, aturan, aturan kompleks. Kedua, kemampuan kognitif mencakup berbagai cara bagaimana peserta didik mengarahkan belajar, pikiran, tindakan, dan perasaan. Peserta didik menggunakan kemampuan kognitif untuk mengarahkan perhatian mereka guna membantu mereka dalam memperoleh informasi baru dan memperbaiki kenberhasilan dalam mengingat dan menghafal informasi penting ketika mereka menghadapi ujian. Peserta didik dapat mencapai kemampuan ini melalui pengalaman mencoba dan salah (trial and error). Ketiga, sikap, merupakan pernyataan internal yang mempengaruhi pilihan seseorang terhadap tingkatan sesuatu, orang, atau kejadian. Ketika sikap untuk memilih sesuatu dikelola dalam suatu rangkaian secara konsisten, filosofi, atau pandangan yang mengatur tindakan seseorang, maka sikap tersebut menjadi suatu nilai. Sikap dapat menentukan peserta didik
untuk dapat menerima atau menolak
sesuatu. Keempat, keterampilan motorik adalah kemampuan untuk melaksanakan sesuatu secara tepat dan akurat yang melibatkan penggunaan otot atau tenaga, seperti
32
Gagne, op.cit., h.46.
menendang bola ke gawang, memasukkan bola ke dalam kerancang basket, dan sebagainya. Selanjutnya, jenis kemampuan seperti dijelaskan di atas dapat pula dinyatakan dengan taksonomi tujuan pembelajaran atau dikenal dengan istilah taksonomi Bloom yang mencakup tiga domain; kognisi, afeksi, dan psikomotor.33 Domain kognisi mengacu kepada aktivitas mental, di mana suatu pendekatan pembelajaran terfokus pada proses penyampaian informasi dan penanaman konsep-konsep baru. Sedangkan, domain afeksi terdiri atas berbagai konstruksi; khusus bagi para pendidik, digambarkan sebagai sikap, keyakinan, perasaan, apresiasi, dan kesukaan. Domain psikomotor berhubungan dengan perkembangan keterampilan fisik mulai dari kerja fisik sederhana sampai pada kemampuan kerja otot yang lebih rumit. Pada awal tahap perkembangan psikomotor, peserta didik mulai meniru apa yang dilakukan gurunya dengan mengulangi kegiatan fisik yang bersifat demonstratif dan melakukan trial and error, percobaan dan salah sampai tercapainya respon yang sesuai. Hal ini terus berjalan sampai pada tahap di mana peserta didik mampu melakukannya sendiri secara akurat. Ketiga domain inilah yang kemudian dikaji secara mendalam dalam taksonomi tujuan pembelajaran. Dalam konteks pendidikan nasional, teksonomi tujuan pembelajaran berkisar pada pertumbuhan budi pekerti (karakter, atau kekuatan batin), pikiran (kognisi atau intelektualitas), dan jasmasi atau tubuh yang terintegrasi dalam suatu bagian yang tak terpisahkan satu dengan yang lain. Istilah budi pekerti berasal dari kata budi yang berarti pikiran, perasaan, atau kemauan, sedangkan kata pekerti berarti tenaga. Jadi, budi pekerti adalah bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan
33
Benjamin S Bloom, David R. Krathwohl, and Bertram B Masia, Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (London: Long Mans Green and CO LTD, 1964), h.6.
yang kemudian menimbulkan tenaga. Dengan budi pekerti manusia berdiri sebagai insan yang merdeka yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri yang membentuk manusia yang beradab.34 Sayangnya, pendidikan nasional yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) yang telah tertuang dalam berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan diimplementasikan. Ranah kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang merupakan produk pendidikan Barat khususnya Amerika dalam taksonomi pembelajaran tidak lebih sempurna dari taksonomi KHD yang terdiri atas olah otak, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Namun, dalam realitasnya, guru dan para perancang pembelajaran lebih cenderung merujuk pada taksonomi Bloom yang akar spiritualitasnya belum terintegrasikan. Hal ini dilakukan mengingat taksonomi Bloom telah dirumuskan lebih jelas sehingga indikator pencapaiannya mudah diukur dan dievaluasi.
Domain Kognisi Domain kognitif adalah suatu ranah kemampuan berpikir tentang fakta-fakta spesifik, pola prosedural, dan konsep dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Domain kognisi mencakup keterampilan berpikir tingkat rendah sampai pada keterampilan berpikir tingkat tinggi atau mulai dari tingkat pengetahuan, pemahaman, aplikasi, dan analisis yang digolongkan dalam keterampilan berpikir 34
Ki Hadjar Dewantara, Bagian I Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), h. 25.
tingkat rendah sampai pada tingkat sintesis dan evaluasi yang merupakan keterampilan berpikir
tingkat
tinggi.35
Perancang
pembelajaran
harus
mempertimbangkan
keterampilan berpikir peserta didik dalam menyusun tujuan pembelajaran. Kemudian, dalam perkembangnnya, domain kognisi mendapat revisi
dengan perubahan
penamaan yang semula menggunakan kategori kata benda menjadi kata kerja dan memasukan aspek creating, menciptakan, sebagai tingkat tertinggi dalam sistem berpikir yang harus terintegrasi dalam tujuan pembelajaran. Taksonomi yang baru ini merefleksikan bentuk sistem berpikir yang lebih aktif dan akurat dibandingkan dengan taksonomi sebelumnya.36 Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:
evaluasi
menciptakan
sintesis
mengevaluasi menganalisis
Taksonomi Bloom
Revisi Anderson
Gambar 4. Revisi Tujuan Pembelajaran Dalam hubungannya dengan domain kognisi, terdapat pula istilah knowledge taxonomy (taksonomi pengetahuan), yang mencakup (1) experiencial knowledge 35
Craig M Edward dan Gary E Briers, Higher-Order Thingking Versus Lower-Order Thinking Skills: DoesSchool Day Scheduling Pattern Influence Achievement at Different Levels of Learning? 2010, h.11 (http://www.jsaer.org/pdf/Vol50/50-00-015.pdf). 36 J. S. Atherton, Learning and Teaching; Bloom's taxonomy, 2010, hh.1— 2 (http://www.learningandteaching.info/learning/bloomtax.htm).
(pengetahuan berdasarkan pengalaman), (2) contextual knowledge (pengetahuan berdasarkan konteks), (3) declarative knowledge (pengetahuan bersifat deklaratif), dan (4) procedural knowledge (pengetahuan yang bersifat prosedural).37 Dijelaskan lebih jauh bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman adalah untuk mengungkap jawaban dari pertanyaan, mengapa sesuatu itu penting, pengetahuan kontekstual berfungsi untuk mengetahui kapan harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh, pengetahuan deklaratif merujuk apa yang harus dan perlu diketahui, dan pengetahuan prosedural dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilan.
Domain Afeksi Domain afektif meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat emosional, seperti perasaan, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap.38 Kategori afeksi mencakup kemampuan umum seperti penerimaan, tanggapan, penilaian, organisasi, sampai pada tingkat kemampuan kompleks seperti penilaian kompleks, atau di sini disebut pembentukan gaya hidup. Penerimaan adalah kesadaran atau sensitivitas
terhadap adanya ide-ide
tertentu, bahan, atau fenomena. Artinya, kesediaan peserta didik untuk menghadiri berbagai aktivitas yang berhubungan dengan mata pelajaran tertentu. Hal ini berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan, memegang, dan mengarahkan perhatian peserta 37
Elizabeth Ross, Hubbell, Using McRel’ s Knowledge Taxonomy for Educational Technology Professional Development, 2011, h. 2, (http://www.learningandleading-digital.com/learning_leading/20100607#pg22). 38 Robert J. Marzano and John S. Kendall, The New Taxonomy of Educational Objectives, Second Edition (California: Corwin Press, 2007), hh.16— 19.
didik dengan bentuk kesadaran sederhana yang merupakan tingkat terendah dari domain afektif. Tanggapan merujuk kepada tingkat yang lebih tinggi berupa partisipasi aktif dari peserta didik dalam menerima disertai dengan reaksi tertentu. Penilaian berkaitan dengan nilai yang melekat pada peserta didik tentang objek tertentu, fenomena, atau perilaku yang berimplikasi pada pada tingkat penerimaan dan komitmen. Pencapaian hasil belajar teridentifikasi dengan jelas dari ranah penilaian. Organisasi merujuk pada upaya menyatukan nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik, dan membangun sistem nilai internal yang konsisten. Penekanannya berada pada perbandingan, hubungan, dan sintesis terhadap hasil belajar dan interaksi interpersonal yang signifikan. Pada tingkat tertinggi dari domain afektif, ditandai dengan penilaian kompleks, sistem nilai peserta didik mengontrol perilaku dalam waktu yang cukup lama guna membentuk gaya hidup atau karakter. Belajar pada tingkat ini mencakup berbagai aktivitas, sosial, serta individu. Jika menggunakan hierarki Krathwohl dalam merancang pembelajaran di lingkungan kita masing-masing, maka peserta didik tidak saja didorong untuk menerima informasi yang disajikan melalui proses pembelajaran, melainkan harus diarahkan pada bagaimana memberi tanggapan, melakukan penilaian, mengelola dalam berbagai bentuk dan variasi, melainkan juga harus diarahkan pada bagaimana membentuk pribadi yang mandiri sehingga memiliki karakter untuk berbicara dan menyampaikan pendapat, bersikap, dan berprilaku. Dalam berbagai literatur klasik pendidikan, hampir semua penulis menyatakan bahwa domain afektif sangat penting dalam belajar, tetapi merupakan suatu domain
yang jarang diintegrasikan, sering diabaikan, masih samar-samar, dan dianggap belum jelas
indikator
penilaiannya.
Dalam
pelaksanaan
pembelajaran
formal
yang
berlangsung dalam ruang kelas, mayoritas tenaga pengajar lebih cenderung menyentuh domain kognisi sehingga materi, metode, dan media
pembelajaran yang digunakan
lebih dominan didesain dan diarahkan pada pemberdayaan aspek kognisi. Demikian pula, evaluasi pembelajaran yang dikembangkan, aspek kognisi menjadi bagian yang sangat ditekankan ketimbang aspek afeksi. Itulah sebabnya kesadaran untuk menerima masukan dan arahan pihak lain begitu pula etika dan moral serta tata cara menanggapi pendapat, pandangan, atau pembicaraan orang lain sering terabaikan. Pembelajaran juga harus mengintegrasikan aspek penilaian, organisasi dan bahkan pembentukan karakter yang merupakan aspek paling tinggi dalam domain afeksi perlu dikembangkan dan diformulasikan sehingga indikator penilaiannya dapat menjadi patokan dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran. Jika hari ini banyak pihak yang menyampaikan keluhan betapa penyelenggaraan pendidikan telah mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan, di mana nilai-nilai kearifan lokal telah terbungkus oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan pribadi intelektual menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam menempuh pendidikan, dan upaya penyeragaman kemampuan telah membelenggu tumbuh dan berkembangnya keragaman kemampuan sebagai pencerminan beragamnya kekayaan budaya bangsa. Akibatnya, menipisnya tatakrama, etika, dan kreatifitas anak bangsa menjadi fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dalam menata pendidikan di masa yang akan datang.
Saat ini banyak pihak yang mengelaim bahwa pendidikan budaya dan karakter bangsa dipandang sebagai solusi cerdas untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian unggul, berakhlak mulia, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesian secara menyeluruh. Namun, hakekat pendidikan budaya dan karakter masih menyisahkan tanda tanya yang begitu dalam padahal domain afektif itulah yang selama ini belum dijadikan sandaran utama dalam penyelenggaraan pendidikan kita.
Domain Psikomotor Domain psikomotor termasuk gerakan fisik, koordinasi, dan penggunaan daerah keterampilan motorik. Pengembangan keterampilan ini membutuhkan latihan dan diukur dalam hal kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur, atau teknik dalam pelaksanaan.39 Domain Psikomotor itu seolah-olah dibentuk untuk menangani keterampilanketerampilan yang bersifat pengembangan yang berkaitan dengan tugas-tugas manual dan
gerakan
fisik,
begitu
juga
keterampilan
sosial
seperti
komunikasi
dan
mengoperasikan peralatan IT, misalnya menggunakan telepon dan keyboard, atau dalam hubungannya dengan public speaking. Apapun situasi pelatihan atau pembelajaran, domain psikomotor cukup signifikan. Sebenarnya, domain psikomotor dianggap paling relevan dan bermanfaat untuk pengembangan kerja dan kehidupan terkait, meskipun domain psikomotor dianggap lebih relevan dan bermanfaat untuk jenis pelatihan dan pengembangan tertentu.
39
Atherton, op.cit., h.3— 4.
Persepsi, kemampuan untuk menggunakan isyarat sensorik untuk memandu aktivitas motorik. Hal ini berkisar dari rangsangan sensorik, melalui seleksi isyarat hingga sampai pada kemampuan menerjemahkannya. Pengaturan, kesiapan untuk bertindak, termasuk pengaturan mental, fisik, dan emosional. Ketiganya merupakan menempatan yang menentukan respons seseorang pada situasi yang berbeda (kadang-kadang disebut mindset). Respon Terbimbing, tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks mencakup imitasi dan trial and error. Kemantapan dalam kinerja dapat dicapai melalui latihan. Mekanisme, merupakan tahap peralihan dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. Respon terhadap hal-hal yang sudah dipelajari telah menjadi kebiasaan dan gerakan dapat dilakukan dengan penuh kepercayaan dan kemahiran. Respon Kompleks, merupakan kinerja terampil dari tindakan motor yang melibatkan pola gerakan yang kompleks. Kemahiran ditunjukkan dengan kinerja yang cepat, akurat, dan sangat terkoordinasi, dan hanya membutuhkan energi yang minim. Kategori ini termasuk melakukan tindakan tanpa ragu-ragu, dan kinerja otomatis. Sebagai contoh, pemain sering terdengar mengucapkan kepuasan setelah mereka memukul bola tenis atau melempar bola, karena mereka dapat menceritakan dengan perasaan ketikaq bertindak hasil apa yang akan dapat diperoleh. Adaptasi, menunjukkan keterampilan berkembang dengan baik dan individu dapat memodifikasi pola
gerakan
untuk
menyesuaikan
dengan
persyaratan
tertentu.
Kreativitas,
menciptakan pola gerakan baru agar sesuai dengan situasi tertentu atau masalah tertentu. Hasil pembelajaran menekankan pada kreativitas berdasarkan keterampilan yang sangat mahir.
DAFTAR PUSTAKA Alemi, Farrokh Process Improvement, 2011(http://gunston.gmu.edu/708/whatprin.htm). Atherton, J. S., Learning and Teaching; Bloom's taxonomy, 2010, (http://www.learningandteaching.info/learning/bloomtax.htm). Bloom, Benjamin S., Krathwohl, David R., and Masia, Bertram B., Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, London: Long Mans Green and CO LTD, 1964. Dewantara, Ki Hadjar, Bagian I Pendidikan,Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977. Djaali dan Muljono, Pudji, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2004. Dick, Walter, Carey, Lou, dan Carey, James O., The Systematic Design of Instruction , Six Edition, New York: Pearson, 2005. Direktorat Tenaga Kependidikan, Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya, Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Driscoll, Marcy P. Psychology of Learning for Instruction, Second Edition, Massachusetts: Pearson Education Company, 2000. Edward, Craig M dan Briers, Gary E., Higher-Order Thingking Versus Lower-Order Thinking Skills: DoesSchool Day Scheduling Pattern Influence Achievement at Different Levels of Learning? 2010, (http://www.jsaer.org/pdf/Vol50/50-00015.pdf). Gagne, Robert M. dkk, Principles of Instructional Design, USA: Thomson Wadsworth, 2005. Gagne, Robert M., The Condition of Learning, New York: CBS College Publishing, 1985. Hubbell, Elizabeth Ross, Using McRel’ s Knowledge Taxonomy for Educational Technology Professional Development, 2011, (http://www.learningandleading-digital.com/learning_leading/20100607#pg22). Leclercq, Dieudonné dan Poumay, Marianne, The 8 Learning Events Model and its principles, 2011, (http://www.labset.net/media/prod/8LEM.pdf). Marzano, Robert J and Kendall, John S., The New Taxonomy of Educational Objectives, Second Edition, California: Corwin Press, 2007.
Merrill, M. David First Principle of Instruction, 2011, (http://mdavidmerrill.com/Papers/firstprinciplesbymerrill.pdf). Reigeluth, Charles M. dan Carr-Chellman, Alison A., Instructional-Design Theories and Models Volume III: Building a Common Knowledge Base, New York: Routledge, 2009. Richards, Jack C and Rodgers. Theodore S., Approaches and Methods in Language Teaching: A description and analysis, Cambridge: Cambridge University Press, 1986. Richey, Rita C. The Legacy of Robert M. Gagne, Syracuse: ERIC Clearinghouse on Information and Technology, 2000. Rothwell, William J dan Kazanas, H.C., Mastering the Instructional Design Process, San Francisco: Pfeiffer, 2004. Semiawan, Conny R, Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Kencana, 2007. Snelbecker, Glenn E. Learning Theory, Instructional Theory, and Psychoeducational Design, New York: McGraw-Hill Book Campany, 1974. Sri Jutmini dkk, Panduan Penyusunan Silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2007. Suparman, M. Atwi, Desain Instruksional, Jakarta: Universitas Terbuka, 2010. Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, Alexandria: ASCD, 2009. University of Oregon, How do you define assessment? 2011, (http://medsci.indiana.edu/m620/reserves/def_assess.pdf).
View more...
Comments