Teori Kritik Feminisme
September 12, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Teori Kritik Feminisme...
Description
Kritik Sastra Feminisme 6
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.
Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi peTempuan, yaitu proses pelepasan diri dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah, renda h, yang mengekang untuk maju.
Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang b idang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, dino morduakan, tidak mau dimarginalkan.
Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita wa nita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi
pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan da n (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.
Selanjutnya muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19). Membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikfsi ‘sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca.
Reading as women menurut Suwardi Endaswara (2008: 147) adalah membaca sebagai se bagai perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme. Analisis novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.
Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalarn Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5) diibaratkan quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan. Djajanegara berpendapat kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan serta stereotipe perempuan dalam suatu karya sastra (dalam http: jurnal-humaniora. ugm. ac. id).
Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Djananegara berpendapat bahwa kajian feminisme adalah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan (Wiyatmi, 2006: 113).
Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempenganihi banyak segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6).
Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, balk dalam bidang publik maupun bidang domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan perempuan yang inferior.
Gerakan feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar pars perempuan dapat menyarnai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan politik. Mini telah banyak perempuan pere mpuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama-sama laid-laid. Sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan; menuntut, galak, mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laid-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya. Label negatif ini tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri.
Hal itu sependapat dengan Mansour Fakih (2007: 78) pada umumnya orang berperasan bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahatnan seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.
Tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk meneapai tujuan ini menecakup beberapa cara, termasuk melalui bidang sastra.
Karya sastra yang bernuasa feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) dengan sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir. dari perjuangan pe rjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan masalah gender.
Feminisme adalah sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya.
Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 86- 89) feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalanpersoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Beberapa aliran yang terkenal dalam gerakan feminisme antara lain:
a. Feminisme Liberal.
Menurut Mansour Fakih (2007: 81) asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Feminisme ini berusaha mempeduangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik. Mampu membawa kesetaraan bagi perempuan .dalam semua instansi publik untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan.
Herman J. Waluyo (1998) berpendapat bahwa feminisme liberal memandang bahwa perempuan itu lemah dan kapasitasnya terbatas, sehingga tidak dapat berkembang. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan pria. Karena itu feminisme liberal mengajukan gugatan agar diadakan pengendalian agar perempuan tidak dirugikan.
Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan (Mansour Fakih, 2007: 81).
b. Feminisme Radikal
Menurut Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 97) feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan laki-laid atas perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki
atas kapasitas reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik dan psikologis kepada laki-laki.
Feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), sekisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi domestik-publik. Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketimpangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan is harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengendali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi.
Menurut Herman J. Waluyo (1998), feminisme radikal memandang bahwa perbedaan biologis menjadi sumber subordinasi. Karena itu pembebasan perempuan harus diusahakan dengan revolusi biologisteknologis. Wanita tidak menderita berkepanjangan karena harus ber- KB, melahirkan, merawat anak.
c. Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang ya ng menyatakan biologis sebagai dasar pembedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian b agian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Mansour ( Mansour Fakih, 2007: 86). Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritis atas kapitalisme.
Menurut Marx (dalam Sugihastuti, 2007: 86) hubungan antara suami dan d an isteri serupa dengan hubungan antara antar a proletar dan borjuis. Bahkan kaum perempuan menurut pandangan kapitalis, dianggap bermanfaat bagi sistemnya karena reproduksi buruh murah.
Pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana pars pemilik modal mengungguli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan.
d. Feminisme Sosialis
Aliran ini menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk di dalamnya adalah stereotipe-stereotipe yang dilekatkan d ilekatkan pada kaum perempuan. Menurut Mansour Fakih. (2007: 90)
penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan
Menurut Herman J. Waluyo (1998), feminisme sosialis memandang bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanaknya. Kalau ingin memperoleh kebebasan, maka status dan fungsi dalam struktur harus berubah. Sikap rendah diri harus dirubah menjadi percaya diri.
e. Feminisme Moderat
Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo (1998) memandang bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda, yang harus dibuat sama s ama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena Kare na itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan laki-laki. Kemitrasejajaran ini merupakan pandangan pokok dari gender.
Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika karya itu mempertanyakan relasi gender yang timpang dan memproniosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika is tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial,
Menurut Nani Tuloli (2000: 89) pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan, baik ba ik dalam ragam fiksi maupun puisi dapat dikaji dengan pendekatan feminisme. Yang dikaji dalam hubungan dengan tokoh perempuan adalah: (a) peranan tokoh perempuan dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonis maupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan; (b) hubungan tokoh perempuan dengan tokoh-tokoh lainnya yaitu’tokoh clan tokoh perempuan lain; (c) perwatakan tokoh perempuan, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya, dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan; (d) sikap penulis pengarang perempuan dan pengarang laki-laki terhadap tokoh perempuan.
Kritik sastra feminis bukan berarti kritik tentang perempuan atau mengkritik perempuan, kritik sastra feminis adalah kritikus memandang dengan penuh kesadaran bahwa ada dua jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Muhammad Nurrahmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo, 2004).
Menulis sebuah teks yang berperspektif feminis bukanlah berbicara mengenai moral (yang sengaja dibangun dengan wacana sosial yang berperspektif patriarki) namun lebih pada berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginannya, kebutuhan, haknya, serta statusnya sehingga is mampu menjadi subyek dalam kehidupannya ke hidupannya (http://www.Suara http://www.Suara karya.online.com) Banyak kaum perempuan yang menerima ketidakadilan gender tersebut te rsebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dan sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku be rlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi.
Kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Berdasarkan pengalamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntungkan. Karena mereka mer eka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan da n mempunyai loyalitas tinggi.
Persamaan hak yang sekarang digaungkan itu lama-kelamaan akan menimbulkan keadaan-keadan yang tidak cocok dengan kodratnya perempuan, lama kelamaan mereka bukan hanya meminta haknya saja tetapi persamaan dalam setiap hak. Misalnya dalam berpakaian dan bergaya. Inilah gambaran realita yang sekarang. jangan lupa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan tubuh laki-laki karena perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan. Kodrat perempuan adalah sebagai ibu. Dalam kedudukan itu perempuan adalah berdiri sejajar dan bersarnaan derajat dengan laki-laki misalnya dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya.
Dalam kritik sastra feminis menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 23) bahwa konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis. Ada lima konsep analisis gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atributatribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, peranan. Kedua, kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelarnin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelaxn.in yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Kelima, gender Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau laki yang diaplikasikan secara nyata. Selain itu menurut Rutven (dalam Muhammad Nurachmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo ,2004) bahwa kritik sastra feminis antara lain menelusuri bagaimana perempuan direpresentasikan, bagaimana teks terwujud dengan relasi gender dan perbedaan sosial. Selain itu, kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan partriarkhi dalam karya sastra.
Dan paparan di depan dapatlah disimpulkan bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/kritik-sastra-feminisme/ https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/kritik-sastra-feminisme/
Teori Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas at as berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik sastra feminisme feminisme merupakan aliran baru baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan kedudukan serta derajat lakilaki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama sama dengan yang dimiliki dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan, maka muncullah istilah equal right's movement atau gerakan persamaan hak. Cara atau lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan domestik lingkungan keluarga dan rumah tangga. Caralingkungan ini sering dinamakan women's liberation movement , disingkat women's lib atau women's emancipation movement , yaitu gerakan pembebasan wanita (Saraswati, 2003: 156). Kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan (Djajanegara, 2000: 27). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatian dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita wanita. penulis Oleh karena telah menyerap tokoh-tokoh nilai-nilai patriarkal, mungkintokoh saja seorang wanita menciptakan wanita dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal. Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis. Di samping itu, kedua hasrat pengkritik sastra feminis memiliki kesamaan dalam hal kanon sastra. Kedua-duanya menyangsikan keabsahan kanon sastra lama, bukan saja karena menyajikan tokoh-tokoh wanita stereotip dan menunjukkan rasa benci dan curiga terhadap wanita, tetapi juga karena diabaikannya tulisan-tulisan mereka. Adapun jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di masyarakat adalah : a. Kritik Ideologis Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususny khususnyaa kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik
ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan. b. Kritik yang mengkaji mengkaji penulis-penulis wanita Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita. c. Kritik sastra feminis sosialis Kritik ini meneliti tokoh-tokoh t okoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. d. Kritik sastra feminis-psikoanalistik Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. e. Kritik feminis lesbian Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa factor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis menulis lesbianisme, kaum lesbian lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan akan menentukan apakah definisi definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya. f. Kritik feminis ras atau etnik Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini i ni beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati, 2003: 156). Kajian sastra feminis mempunyai dua fokus. Pertama, menggali, mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Mereka mempertanyakan tolok ukur apa saja yang dipakai pengkritik sastra terdahulu sehingga kanon sastra didominasi penulis laki-laki. Tujuan kedua mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkritik sastra feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan menerapkan penilaian estetik, di di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguhsungguh sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-cara penilaian lama. Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama. Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan fokus perhatian pada relasi jender yang timpang dan
mempromosikan pada tataran yang seimbang antar laki-laki dan perempuan (Djajanegara, 2000: 27). Feminisme bukan bukan merupakan pemberontakan kaum wanita wanita kepada laki-laki, upaya upaya melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2000: 5). Feminisme muncul akibat dari adanya prasangka jender yang menomorduakan perempuan. Anggapan Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan perempuan mengakibatkan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki. http://impiandalamhati.blogspot.sg/2011/03/teori-kritik-sastra-feminis.html http://impiandalamhati.blogspot.sg/2011/03/teori-kritik-sastra-feminis.html
KRITIK SASTRA FEMINIS A. Sejarah Kemunculan Feminisme
Awal kemunculan paham kritik sastra feminisme terjadi pertama kali di belahan Barat. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi sehingga paham feminisme dikembangkan dan pada akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Yang pertama kali dimunculkan bukanlah kritik sastra feminis akan tetapi paham feminis yang masih bersifat umum. Beberapa aspek yang menyebakkan lahirnya paham feminisme pertama kali antara lain: Aspek Politik, Aspek Agama, Aspek Ekonomi dan Aspek tentang konsep Sosialisme. Pertama, Aspek Politik. Pada saat memproklamasikan kemerdekaan Amerika pada tahun 1776,
ada beberapa bagian penting dalam deklarasi kemerdekan tersebut salah satu deklarasi yang menyebabkan kecemburuan sosial kaum perempua yang menyebabkan kemunculan paham feminis adalah deklarasi yang berisi “All man are created equal” (Semua Laki -laki -laki Diciptakan Sama) tanpa sedikitpun menyinggung tentang perempuan. Hasil dari ketidak puasan kaum perempuan dari deklarasi yang “menguntungkan” kaum pria
tahun 1776 telah melahirkan tokoh-tokoh feminis kritis yang menggagas tengtang persamaan, sehingga pada tahun 1848 dalam konvensi di Seneca Falls para tokoh feminis memproklamirkan gagasan/ide lain tentang deklarasi kemerdekaan yang berisi “All Man and Women are Created Equal” (semua (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama). Kedua, Aspek Agama. Dominasi Gereja yang mendudukkan kaum perempuan pada posisi “tertindas” baik dari agama Protestan maupun Katolik sama -sama memojokkan posisi perempuan
yakni menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Dalam ajaran
Martin Luther dan John Calvin perempuan dan laki-laki dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Namun, untuk yang lebih spesifik perempuan tidak boleh bepergian, perempuan harus tetap tinggal di rumah dan mengatur rumahtangga. Dengan kata lain perempuan hanya layak berada pada wilayah domestik saja sedangkan selebihnya akan menjadi urusan laki-laki. Sedangkan “hujatan” yang sangat “memilukan” bagi kaum perempuan lahir dari anggapan
gereja Katolik yang yang memiliki asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang kotor dan keberadaannya adalah sebagai wakil Iblis. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami penduduk Prancis sebelum terjadi revolusi kebudayaan, yang pada saat itu otoriter gereja sangat berperan penting dan para petinggi gereja seperti Tuhan yang bisa memfonis keputusan seperti mengampuni dosa atau yang biasa disebut indulgencia (Surat Pengampunan Dosa). Ketiga, Aspek Ekonomi. Menurut teori feminis subordinasi perempuan berasal dari masyarakat
primitif, yang kedudukannya lebih rendah dari pada laki-laki, anggapan yang berkembang pada saat itu adalah bahwa perempuan lebih layak untuk hidup miskin dan laki-laki lebih layak untuk menjadi kaya. Isu ini dapat dilihat dari perkembangan patriarkat, sebagai pembacaan awal untuk melihat kedudukan seorang perempuan dalam keluarga. Keempat, Aspek Teori Sosialisme. Landasan pemikiran ini berawal dari pemikiran Karl Marx
yang mencoba menghapus kelas-kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berangkat dari teorinya yang mengungkap tentang fase-fase perkembangan masyarakat. Beranjak dari pemikiran Federick Engels yang mengemukakan bahwa “Within The Family he is the bourgeois and the wife represents the proletariat” (dalam (dalam keluarga dia (Suami) adalah kaum Borjuis dan istri i stri mewakili kaum proletar). Dalam
perspektif kaum feminis Amerika bahwa dalam masyarakat kapitalis antara kaum perempuan dan kaum laki-laki tidak bisa dibandingkan karena kaum laki-laki golongan yang terhormat sedangkan dalam kaum perempuan adalah golongan yang tertindas. Ekarini (2003) Selain yang telah di uraikan di atas, beberapa faktor pemicu lahirnya paham feminis dalab bidang kritik sastra adalah : a) Berkembangnya teknik konspirasi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki. b) Radikalisasi politik, khusunya sebagai akibat perang Vietnam. c) Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional, misalnya, ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya. d) Sekularisai, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
e) Perkembangan pendidikan yang secara khusus di nikmati oleh perempuan. f) Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkankaryaa dari struktur sosial, seperti, struktur baru dan strukturalisme. g) Ketidak puasan terhadap teori dan praktik ideologi marxismeortodoks, tidak terbatas sebagai marxis Sovyet atau Cina, tetapi marxxis di dunia barat secara keseluruhan. Nyoman Kutha Ratna (2004: 183184). Dari beberapa aspek pemicu lahirnya gerakan feminis ini, maka pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi pembacaan ulang bagi tokoh gerakan feminis Prancis yang bernama Luce Irigaray yang mendorong berkembangnya mazhab feminis. Michael Ryan (2005: 102-103).
B. Beberapa Tokoh Penggerak Feminisme
“Orpheus adalah penyanyi, penyair, tokoh dalam mitologi Yunani yang dibunuh oleh wanita yang marah”. Bahaya wanita berpose untuk seniman laki-laki tampaknya, telah dialami oleh seniman
masa silam ini, selain kelemahlembutan yang berada dalam energi tubuh dan ekses emosional seorang perempuan juga terdapat kemarahan yang dapat berbahaya bagi manusia. Michael Ryan (2005: 106). Sedikit kutipan sejarah tersebut telah menjadi inspirasi bagi beberapa tokoh feminisme. Dalam perspektif persp ektif para pemikir feminisme feminisme ekstrim ekstrim misalnya beranggapan beranggapan Seba gai kons konsekue ekuensi nsi dari tindakan margiinal yang dirasakan kaum perempuan, bahwa perempuan perlu membentuk sebuah dunia yang terpisah di luar budaya yang didominasi oleh kaum laki-laki. Beberapa tokoh yang berperan penting dalam gerakan feminisme atau penggerak lahirnya paham feminisme, diantaranya adalah : 1) Simone De Beauvoir Simone De Beauvoir meletakkan dengan sangat jelas masalah dasar feminisme. Bila seorang perempuan mencoba membatasi dirinya sendiri, maka dia akan mulai dengan berkata “Saya adalah Seorang Perempuan” . Tidak ada laki-laki yang melakukan hal seperti itu, kenyataan ini membuat ketidak sejajaran antara “maskulin dan feminis”. Ekarini (2003).
2) Luce Irigaray Luce Irigaray memiliki pandangan tentang teori pengetahuan, bahwa subjek dari pengetahuan selalu menitikberatkan pada kaum laki-laki dan selalu dibeda-bedakan dengan kaum perempuan.
3) Julia kristeva Mendekonstruksi hegemoni kebudayaan barat dengan menampilkan teks sebagai material produksi. Salha satu konsep Julia Kristeva adalah semanalysis, metode yang memusatkan perhatian bukan semata-mata pada fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi, melainkan juga pada material bahasa, seperti, suara, rima, irama, dan ciri-ciri grafis. 4) Helena cixous Helena cixous adalah seorang novelis, sekaligus kritikus feminis. Menurut Helena cixous yang menjadi pusat perhatiannya adalah: (a) hegemoni oposisi biner dalam kebudayaan barat, dan (b) praktik penulisan feminis yang dikaitkan dengan tubuh. t ubuh. Oposisi biner yang dimaksud adalah salah satu faktor yang dipandang lebih penting dan lebih utama di bandingkan dengan sesuatu yang lain. 5) Donna J. Haraway Donna J. Haraway memiliki panadangan panadangan yang berbeda dengan kritikus feminisme yang lain, Donna J. Haraway lebih mengutamakan pemanfaatan teknologi modern. Nyoman Kutha Ratna (2004: 197-104) C. Kritik Sastra Feminis
Dalam kaitannya dengan kritik sastra feminis, ada beberepa hal yang menjadi fokus kajian dalam kritik sastra feminis. Yang pertama, yang menjadi fokus fok us kajian sastra feminis adalah menggali, mengaji, dan menilai karya sastra perempuan dari masa silam, karena dari berbagai macam hasil karya sastra, ternyata hanya ada beberapa yang menjadi buah dari karya kaum perempuan. Kedua, para kritikus sastra feminisme menitikberatkan kajian terhadap karyan sastra dengan pendekatan feminisme. Ketiga, kritikus feminisme berhasrat mengetahui nilai estetika yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Apakah karya tersebut benar-benar memiliki nilai estetika atau tidak. D. Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminisme
Dari ketiga pembagian yang menjadi dasar kritik sastra di atas maka dapat di golongkan beberapa jenis-jenis kritik sastra berdasarkan pedekatan feminisme : 1. Kritik Ideologis
Kritik ini adalak kritik sastra yang memepertajam pisau analisis feminisme terhadap citra seorang perempuan terhadap karya sastra, juga menganalisis sebab-sebab tidak diperhitungkannya perempuan dalam menciptakan sebuah karya sastra. 2. Kritik yang Mengaji Penulis-penulis Wanita Kritik sastra feminisme yang berkaitan dengan mengaji penulis-penulis perempuan adalah kajian yang dipusatkan pada analisis sejarah para sastrawan perempuan, tema yang diangkat dalam karya sastra, genre, dan struktur penulisan. 3. Kritik Feminis Sosial Kritik ini mengaji para tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sebuah karya sastra, dilihat dari sudut pandang kelas sosial dan kedudukan dalam keluarga. 4. Kritik Feminis-Psikoanalisis Kritik ini meneliti karya para perempuan, karena para feminisme percaya bahwa pembaca perempuan selalu menempatkan dirinya sebagai tokoh dalam cerita. 5. Kritik Feminis Lesbian Kritik ini hanya mengaji penulis perempuan saja, namun kritik ini masih sangat terbatas disebabkan karena beberapa faktor salah satunya masih kurang jelasnya pendefinisian terhadap makna Lesbian itu sendiri. 6. Kritik Feminis Etnik atau Ras Kritik ini beranjak dari politik yang pernah berjaya di Amerika yaitu politik Apartheit tentang perbedaan warna kulit, yang pada saat itu kelompok yang memiliki warna kulit hitam dideskriminasi. Ekarini (2003) http://kritiksastrafeminis.blogspot.sg/2013/09/kritik-sastra-feminis_9645.html
KRITIK SASTRA FEMINISME
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan alam, pembawa kebenaran penumpas kemunkaran yakni Nabi Muhammad saw. Amiin Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok dari dosen mata kuliah Kritik Sastra, Dosen ; Drs. H. A. Wahid Sy, S y, M. Ag dan H. Mawardi, MA. Kami sangat menyadari bahwasanya dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami berharap kepada dosen bersangkutan dan rekan-rekan untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, serta mengkaji ulang sumber-sumber yang telah menunjang.
Bandung, Oktober 2012
Kelompok III
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1 DAFTAR ISI.....................................................................................................................2 BAB I - PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG......................................................................................................3 RUMUSAN MASALAH.................................................................................................4 TUJUAN...........................................................................................................................4 BAB II - PEMBAHASAN
KRITIK SASTRA FEMINIS..........................................................................................5 PENGERTIAN KRITIK SASTRA FEMINIS................................................................6
METODE PENDEKATAN KRITIK SASTRA FEMINIS...........................................10 BAB II - PENUTUP
KESIMPULAN...............................................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Dewasa ini di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tersebut, di berbagai bidang, termasuk di bidang sastra. Dalam sejarah kesusastraan di berbagai wilayah, kita akan melihat berbagai keadaan yang memiliki persamaan sehubungan dengan keberadaan perempuan di bidang ini, yakni tersubordinasi dan termarjinalisasinya keberadaan mereka, baik pada tataran proses kreatif, kesejarahan, maupun sosial. Di Indonesia, seperti pernah dikatakan Nenden Lilis A, keterpojokan perempuan di dunia sastra juga terjadi, meski tak seseksis di Amerika. Sejarah kesusastraan kita sempat mencatat namanama dan karya-karya perempuan. Tetapi dalam penilaian terhadap karya-karya mereka banyak terjadi pengabaian. Kritik kesusastraan lebih banyak difokuskan pada karya laki-laki sehingga pendeskripsian tentang wawasan estetik hanya didasarkan pada apa yang dicapai oleh laki-laki. Akibatnya, apa yang pernah dicapai perempuan, yang sebenarnya penting, tidak terjelaskan. Maria Amin, misalnya. Penyair ini hidup di zaman Jepang. Saat itu, bentuk puisi kita mulai membebaskan diri dari aturan-aturan puisi lama dan menerima bentuk puisi Barat yang lebih bebas, terutama dari Eropa, seperti soneta, dan juga bentuk-bentuk lain seperti dilakukan Chairil Anwar. Maria Amin tampil dengan sajak berbentuk prosa yang belum dilakukan penyair sebelumnya. Namun, tak ada kritikus yang melihat hal ini sebagai suatu fenomena, apalagi menilainya sebagai pembaru puisi Indonesia. Selain pada tingkat kesejarahan di atas, contoh lain dapat dilihat secara sosial pada pelibatan penulis-penulis dari kalangan perempuan dalam even-even sastra. Paling tidak hingga 1990-an,
sebelum gencar desakan-desakan untuk memberi perhatian yang proporsional terhadap perempuan, even-even sastra sangat jarang melibatkan perempuan. Kasus-kasus lainnya terlihat dari minimnya perempuan yang terlibat dalam kesusastraan. Selain minim, usia berkarya mereka pun relatif pendek (pada umumnya mereka berhenti setelah memasuki lembaga perkawinan). Hal ini menunjukkan bahwa untuk berproses kreatif, perempuan mengalami hambatan sosiologis. Kondisi-kondisi timpang di atas, seiring gerakan feminisme di berbagai belahan dunia dan berkembangnya kajian-kajian perempuan, dipertanyakan para feminis. Para feminis melihat perlu ada pengkajian dan penyusunan ulang terhadap kondisi kesusastraan itu dengan apa yang kemudian dinamakan kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mulamula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
2. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan kritik sastra feminis? B. Apa saja kajian kritik sastra feminis? C. Bagaimana metode kritik sastra feminis?
3. Tujuan
Mengetahui tentang definisi kritik sastra feminis, mampu menerapkan kritik sastra feminis dalam mengkritik sebuah karya sastra tentunya dengan metode kritik sastra feminis.
BAB II PEMBAHASAN 1. Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis feminis diperkenalkan salah satunya oleh Soenardjati Djajanegara, untuk menyebut disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangluasnya feminisme di
dunia. KSF muncul ketika citra perempuan di dalam karya sastra hampir selalu ditempatkan sebagai korban, bersifat sentimentalis, dan memiliki kepekaan spiritualitas di tengah kekuasaan laki-laki yang mengungkung. Menurut Djajanegara kemunculan kritik sastra ini berawal dari hasrat pertama yang mendorong munculnya gerakan feminisme dalam sastra adalah adanya kesadaran dari kaum perempuan
bahwa
dalam
sastra
pun
perempuan
masih
tampak
sebagai
pihak
yang
tersubordinasi.[1]Sedangkan tersubordinasi.[1]S edangkan menurut Sugihastuti, kritik sastra feminis yang mempunyai definisi sebagai kajian sastra yang mengarahkan pada fokus analisis perempuan muncul dari adanya kenyataan bahwa di dalam karya sastra terdapat permasalahan gender gender.[2] .[2] Tujuan KSF sebagai pendekatan terhadap karya sastra yang berbasis gender salah satunya adalah untuk mengeksplorasi konstruksi-konstruksi kultural dari gender dan identitas perempuan. Sementara, seperti yang dikutip Sugihastuti pada teori Kuiper diantaranya (1) untuk mengritik kanon karya sastra Barat dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada budaya patriarki; (2) untuk menampilkan teks-teks yang terlupakan dan yang diremehkan yang dibuat oleh perempuan; (3) untuk mengokohkan gynocritisme, studi tulisan-tulisan yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan kanon perempuan; serta (4) untuk mengeksploitasi konstruksikonstruksi kultural dari gender dan identitas.[3] identitas.[3]
2. Pengertian Kritik Sastra Feminis
Secara garis besar Culler (1983) menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yoder (1987) menyebut bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan , atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kriti sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita.[4] kita .[4] Secara etimologi feminis berasal dari kata femme (women) berarti perempuaan (tunggal) yag bertujuaan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuaan (jamak). Sebagai kelas social. Dalam hubngan ini perlu dibedakan antara male dan female yang ditentukan secara kodrati sebagai aspek perbedaan biologis dan sebagai hakikat ilmiah bisda dikatakan male dan female mengacu pada seks. Sedangkan maskulin dan feminine mengacu pada jenis kelamin atau a tau gender sebagai he dan she dalam aspek perbedaan fsikologi dan kutlural. Juga sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan super struktur idiologis, seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuaan tetapi menjadi perempuaan bukan sebagai perempuaan yang mempunyai konstruksi negatif, perempuaan sebagai makhluk takluk, perempuaan yang terjerat dalam dikotomi sentral narginal, superior inferior. Jadi tujuan feminis adalah keseimbangan dan interelasi gender. Dalam pengertiaan yang lebih luas adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala bentuk yang di marginalisasikan, disubordinasikan dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, maupun pada kehidupan sosial pada umumnya.dalam pengertiaan sastra cara-cara memahami karya
sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansioasi wanita dengan demikiaan merupakan slah satu aspek dengan kaitannya dengan persamaan hak (kesetaraan gender). Banyak para kritikus melihat bahwa dalam membedah karya sastra dengan menggunakan pendekataan feminis lebih cendrung kepada kritik sosial kultural dimana ada sesosok perempuaan yang termarjinalkan, perempuaan makhluk lemah yang mempunyai anggapan negatif dalam berbagai aspek kehidupan dan itu yang membuat ia terbelenggu dan perlu sebuah pendekatan yang baik dalam penyelesaiaan diskursus ini yakni dengan pendekatan kritik feminis. Secara teoritis kritik ini menitik beratkan pada ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Prinsip dasar pandangan kritik feminis adalah untuk memahami suatu ilmu pengetahuan baru yang timbul karena adanya kmponen genus yang dari tidak kasat mata muncul menjadi kasat mata dalam berbagai wacana yang dihasilkan oleh bidang ilmu humanitas dan sosial.Yoder menyebutkan, bahwa kritik sastra feminis bukanlah berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang membuat banyak perbedaan di antara semuanya, yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karangmengarang. Adapun jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di masyarakat adalah : a. Kritik Ideologis Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak ti dak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan. b. Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.
c. Kritik sastra feminis sosialis Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. d. Kritik sastra feminis-psikoanalistik
Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. e. Kritik feminis lesbian Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa factor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik kriti k sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya. f. Kritik feminis ras atau etnik Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati, 2003: 20 03: 156). Kajian sastra feminis mempunyai dua fokus. Pertama, menggali, mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Mereka mempertanyakan tolok ukur apa saja yang dipakai pengkritik sastra terdahulu sehingga kanon sastra didominasi penulis laki-laki. Tujuan kedua mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkritik sastra feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan penilaian estetik, di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguhsungguh sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-cara penilaian lama. Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama. Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan fokus perhatian pada relasi jender yang timpang dan mempromosikan pada tataran yang seimbang antar laki-laki laki -laki dan perempuan.[5] perempuan .[5] Feminisme bukan merupakan pemberontakan kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2000: 5). Feminisme muncul akibat dari adanya prasangka jender yang menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki.
3. Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis Feminis Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf, W olf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai berbagai bidang. Termasuk di bidang sastra. Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner revolusio ner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan. Dengan kritik itu diharapkan diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Djajanegara, terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulispenulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini. Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam. Akan tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi gerakan/ideologi femin feminis is itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak
jarang bertentangan. bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas. Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteriakriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan bertentanga n dalam pengejawantahannya pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis. Berdasarkan Berdasar kan keberagaman ini, dalam kritik k ritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, psikoanalitik, dll. Gynocritics melakukan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. kritik sastra feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas k elas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik). Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris adalah salah satu contohnya. Angin segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa berberapa kritikus sastra, sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara laki-laki dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra. Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal menurut sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya laki-laki untuk melihat bagaimana laki-laki mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini baru sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini tampaknya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya digunakan sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat lakilaki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Kritik sastra feminisme berawal berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan. Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatian dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita tokoh wanita. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal, mungkin saja seorang penulis wanita menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal. Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis. Di samping itu, kedua hasrat pengkritik sastra feminis memiliki kesamaan dalam hal kanon sastra. Kedua-duanya menyangsikan keabsahan kanon sastra lama, bukan saja karena menyajikan tokohtokoh wanita stereotip dan menunjukkan rasa benci dan curiga terhadap wanita, tetapi juga karena diabaikannya tulisan-tulisan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara, Soenardjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Banding: Kataris.
Sugihastuti. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumardjo, Jakob & K. M, Saini. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[1] Soenardjati Djajanegara. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 27.
2003. Kritik
Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pengantar. Jakarta:
[2] Sugihastuti. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 29. [3] Sugihastuti. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 68.
[4] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya, Aplikasinya, Cetakan III, 2010,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 5. [5] Soenardjati Djajanegara. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 27. http://pengetahuan10000.blogspot.sg/2016/03/kritik-sastra-feminisme.html http://pengetahuan10000.blogspot.sg/2016/03/kritik-sastra-feminisme.html
MENGENAL KRITIK SASTRA FEMINIS
Sejarah, Teori dan Aplikasi Oleh: Cahya Buana Buana
A bs tract: Feminist literary criticism is the term for
criticizing literary works through the examination
of female points of view, concerns, and values. Feminist literary criticism encompasses not only
female literary works but also male literary works, leaving men to be held accountable for their portrayal of women women as well as men men in their literary literary works. Generally, feminist literary criticism exists to counter, resist, and eventually eliminate the traditions and conventions of patriarchy ideology or belief system which sees as "natural" the dominance and superiority of men over women in both private and public public contexts--as contexts--as it exists in literary, literary, historical, and critical critical contexts. contexts.
Kata Kunci: Kritik sastra feminis, feminisme, gender, ideologi, patriarkhi, patriarkhi, Sosialisme, Marxisme, superior, inferior, dominasi, dan ginokritik.
Munculnya rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, menyulut sebuah gerakan yang dikenal dengan feminisme. Gerakan ini mewabah ke seantero dunia dan menyentuh hampir seluruh sektor kehidupan manusia tanpa kecuali dunia sastra. Adanya ketimpangan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap hasil karya sastra kaum perempuan, mendorong gerakan ini mengkaji ulang karya sastra dengan bertumpu seluruhnya pada perempuan. Untuk mengenal lebih jauh disiplin ini, perlu kita ketahui sejarah, teori maupun aplikasinya dalam kritik sastra.
Sejarah Kritik Sastra Feminis Feminis Berbicara mengenai sejarah Kritik Sastra Feminis, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah feminisme itu sendiri, yaitu sebuah gerakan perempuan yang muncul pertama kali di Amerika dan menjadi perintis gerakan ini. Dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar , Soenarjati menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang memicu munculnya gerakan feminisme di Amerika. Yaitu faktor politik, keagamaan (evangelis (evangelis), ), dan sosial. Faktor politik bermula pada saat rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaannya
pada tahun 1776. Salah salah satu statemen dari proklamas proklamasii tersebut adalah “ all man are created aqual ” (semua laki-laki diciptakan sama), dengan tanpa menyebutkan kata perempuan. Para feminis merasa bahwa pemerintah Amerika tidak memperdulikan kepentingan-kepentingan perempuan. Statemen tersebut akhirnya memicu munculnya gerakan perempuan yang dilakukan secara terorganisir yang dikenal dengan Women’s Great Rebellion(Pemberontakan Rebellion(Pemberontakan Besar Kaum Perempuan). Maka pada tahun 1848 dalam sebuah konvensi di Seneca Falls, para tokoh
feminis memproklamasikan versi lain dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika, yaitu “ all man and women are created equal ” (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama”. Selain faktor politik, agama juga dituduh sebagai faktor yang tidak kalah pentingnya bagi munculnya gerakan feminisme. Gereja dianggap sebagai lembaga yang turut bertanggungjawab atas terjadinya inferioritas perempuan, sebab agama Kristen baik protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sebagai contoh, Martin Luther dan John Calvin dalam ajaran-ajarannya menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama-bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, namun perempuan tidak
layak bepergian, selain itu ia juga harus tinggal di rumah dan mengatur urusan rumah tangga. Bahkan dalam gereja Katolik perempuan dianggap sebagai sebagai makhluk kotor dan wakil iblis. iblis.[1] Aspek ketiga yang mempengar mempengaruhi uhi ideologi feminisme adalah konsep sosialisme dan Marxisme[2]. Menurut kaum feminis, kaum perempuan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kaum laki-laki. Sejalan dengan pemikiran Marx, maka perempuan sebagai kelas yang tertindas, tidak memiliki nilai ekonomi, sebab pekerjaan rumah tangga dianggap tidak berharga karena tidak menghasilkan uang sebagaimana pekerjaan lakilaki. Ketiga aspek inilah, yakni politis, sosial, dan agama, yang dijadikan sebagai landasan gerakan feminisme di Amerika yang menjadi basis awal gerakan feminisme dunia. Berdasarkan pada ketiga hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme tersebut, terlihat bahwa perjuangan mereka pada umumnya bukan untuk mengungguli atau mendominasi kaum laki-laki, meskipun perempuan dianggap sebagai kelas proletar atau kelas yang tertindas, dan laki-laki sebagai kelas borjuis atau kelas penindas, gerakan ini tidak juga bertujuan untuk membalas dendam dengan menindas dan menguasai laki-laki, namun inti dari tujuan feminisme itu sendiri adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sejajar dengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan. kehidupan.[3] Teori-teori yang mengarah pada feminisme pada dasarnya telah mulai muncul pada saat kemerdekaan Amerika diproklamirkan (1977), sebagai contoh tokoh perintis feminis pertama adalah Mary Wollstoncraft (1759-1797). Namun istilah feminis sendiri baru digunakan pada tahun 1890-an oleh Virginia Wolf (1982-1941) dan Simone Beaovior (1908-1986) (1908-1986)..[4] Pada awal kelahirannya ini, gerakan feminisme di Amerika mengalami pasang surut, bahkan sempat mengalami kemunduran pada masa Perang Dunia II dan Perang Korea. Keadaan ini terus bertahan hingga tahun 1960-an dan dianggap sebagai gerakan feminisme pertama. Tokoh-tokoh feminis yang sangat terkenal dan dianggap sebagai perintis gerakan feminisme adalah Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton, dan Lucretia Mott. Pada tahun 1963 terbit sebuah buku yang berjudul The Feminine Mystique yang Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan seorang sosiolog dan aktivis feminisme. Terbitnya buku ini menandai dimulainya gerakan feminisme gelombang kedua di Amerika. Berbeda dengan gerakan feminisme gelombang pertama, gelombang kedua berdampak sangat luas menyentuh hampir semua sektor kehidupan. Hal ini tampak dari program-program PBB yang banyak melibatkan kaum perempuan. Maka pada tahun 1975, organisasi dunia ini mencanangkan Dasawarsa Perempuan di Kopenhagen, Denmark, yang penutupannya ditandai dengan konferensi di Nairobi, Kenya pada tahun 1985. Kedua konferensi k onferensi internasional internasional tersebut dihadiri wakil-wakil dari Indonesia. Gerakan feminisme gelombang kedua ternyata berdampak sangat luas dan menyentuh hampir semua sektor kehidupan. Salah satu sektor yang terkena dampak feminisme itu adalah dunia sastra. Menurut kaum feminis, perempuan dalam sastra sebagaimana dalam sektor yang lainnya berada pada posisi inferior. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1960-an, suatu survei di Amerika mengungkap mengungkapkan kan bahwa karya sastra yang ada di negeri tersebut sebagian besar merupakan tulisan kaum laki-laki dan hanya beberapa gelintir yang berasal dari hasil karya perempuan. Untuk itu Elaine Showalter, kritikus sastra feminis terkenal menyatakan bahwa
mayoritas karya sastra yang ada di Amerika selama berabad-abad lamanya tidak menyinggung satu orangpun penulis perempuan. Berdasarkan hal itu, salah satu target dalam kritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis perempuan di masa silam..[5] silam Sebagaimana gerakan feminisme, kritik sastra feminis ini juga berkembang pertama kalinya di Amerika pada pertengahan abad 20, seiring dengan gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak bagi perempuan. Kritik ini berkembang pesat di Kanada, meluas ke Perancis pada awal tahun 70-an, hingga akhirnya kritik ini menentukan visi, misi, dan metodenya tersendiri. Dari situ muncullah penelitian-penelitian tentang perempuan dalam karya sastra yang beragam jenisnya..[6] jenisnya Menurut Ensiklopedia Feminisime, Kritik Sastra Feminis kontemporer dimulai dengan munculnya karya Kate Millet (1970) yang berjudul Sexual Politics. Politics. Dalam bukunya tersebut ia meletakkan persoalan sastra dalam konteks politik patriarkhi. Selain Millet, kritikus lainnya Judith Fatterley dan May Ellmann mencoba meneliti ideologi dalam tulisan laki-laki dan mengungkapkan misogini (kebencian terhadap perempuan) dari institusi sastra. sastra.[7] Di Indonesia, kritik sastra terutama kritik sastra feminis adalah hal yang relatif baru dan belum banyak berkembang. Secara umum, H.B. Yassin tak diragukan lagi adalah Nestor kritik Indonesia. Dalam waktu yang lama, ia bekerja sendirian di bidang ini. Pada tahun 1970-1880 sejumlah orang mengikuti jejaknya, seperti Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, Jacob Sumardjo, dan lain-lain. Kritikus-kritikus tersebut semuanya adalah kaum pria, sedangkan kaum perempuan sangat jarang terwakili dalam bidang ini. Boen S. Oemarjati, salah seorang kritikus perempuan pertama yang berkarya di tahun 1960-an, telah meninggalkan bidang ini. Kritikus perempuan lainnya, Sri Rahayu Prihatmi, menulis sebuah buku tentang Pengarang-pengarang perempuan pada tahun 1977. Beberapa artikel tentang perempuan mulai muncul di akhir tahun 1970-an, seperti karangan Umar Junus (1979) dan Sumardjo (1981). Satu artikel oleh Heryanto (1986) secara kritis mempertanyakan mempertanyakan relasi jender. Sebagai Sebagai salah satu tokoh utama dalam perdebatan tentang kontekstualitas sastra yang berlangsung pada tahun 1984-1985, Heryanto menjelaskan
bahwa sastra Indonesia diliputi “Estetika Penis” ( Phallic Esthetics) Esthetics) yang menjadikan perempuan sebagai obyek (1986:37). Perdebatan tentang kontekstulitas berlangsung singkat karena perdebatan itu kemudian terlalu dipolitisir dan membangkitkan kenangan traumatis pada situasi sebelum tahun 1965. Gagasan-gagasan feminisme Heryanto tidak diteruskan lebih lanjut. lanjut.[8] Kini kritik sastra feminis mulai menggeliat kembali, seiring dengan gerakan-gerakan perempuan lainnya, seperti tinjauan kembali kedudukan perempuan dalam interpretasi keagamaan yang kini mulai marak dibahas. Tidak berbeda dengan di Indonesia, di dunia Arab, kritik sastra feminis disambut dengan wajah penuh keraguan, antara harapan dan ketakutan. Berdasarkan hasil pengamatan kritikus
Mesir Dr. ‘Iffaf ‘Abd. Al-Mu’thi terhadap sejumlah tulisan, ia berpendapat bahwa secara faktual perempuan dalam masyarakat Arab dalam menghadapi gelombang feminisme ini terpecah antara harapan untuk hidup yang lebih baik dan perasaan takut akan sebuah rekontruksi.
Iffaf berpendapat bahwa faktor penyebab munculnya jenis kritik ini adalah adanya pengabaian pengabaia n secara menyeluruh terhadap kreativitas dan karya cipta ci pta perempuan dalam berbagai hal, bahkan menganggapnya sebagai barang yang tidak berharga. Untuk itu istilah kritik sastra feminis muncul untuk mengangkat derajat sastrawan perempuan dalam masyarakat. Kritik ini pada dasarnya lebih cenderung pada kepentingan-kepentingan sosial dan budaya dibandingkan tujuantujuan sastra dan kritik sastra, sebab kritik ini pada hakekatnya adalah perpanjangan tangan gerakan feminisme yang berjuang mengangkat derajat perempuan yang terpuruk dan teraniaya ditinjau dari sudut pandang sastra.
Di dunia Arab kritik ini mengkristal di tangan para pemikir besar seperti Rifa’ah al Thahthawi dan Qâsim Amin di Mesir, dan al-Thâhir Haddâd di Tunisia. Tunisia .[9] Feminisme dan Gender: Sebuah pengertian pengertian Munculnya istilah Feminisme pada dasarnya tidak terlepas dari persolan gender. Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai sebab dan feminisme sebagai akibat. Meskipun di dalam kamus kata seks dan gender adalah sinonim, namun kaum feminis biasanya membedakan kedua istilah tersebut. Menurut Ensiklopedia Feminisme, gender adalah kelompok
atribut
yang
dibentuk
secara
kultural
yang
ada
pada
laki-laki
atau
perempuan..[10] Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah perempuan dia secara anatomi laki-laki atau perempuan perempuan..[11] Jenis kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah (takdir) yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada hakekatnya adalah adal ah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. lainnya .[12] Untuk itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku, kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu hal yang dapat dirubah. dirubah .[13] Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa. perkasa.[14] Perbedaan perlakuan akibat penggenderan (gendering (gendering ) tersebut kemudian menjadi persoalan karena kar ena menimbulkan banyak ketidakadilan k etidakadilan bagi bag i kaum perempuan, sehingga selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian sebuah gerakan yang diberi nama feminisme. Menurut Moelino, Feminisme ialah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. laki-laki .[15] Sedangkan menurut Goefe feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan
sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan..[16] perempuan Di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang mendatang..[17] Secara umum feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang digunakannya yang berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya kelaminnya..[18] Pada intinya feminisme adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi Aplikasi Kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu krinein yang
artinya
menghakimi, membanding, dan menimbang. menimbang.[19] Maka kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad alSyâyib, kritik sastra adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya, proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya, menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu tertentu..[20] Istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang baku, sebab menurut Teww sebagaimana sebagaiman a dikutip oleh Atmazaki, definisi-definisi definisi-definisi yang dibuat terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk unsur sastra. sastra.[21] Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi kalâm)) yang bagus (balîgh (balîgh)),[22] yang mampu mempengaruhi perasaan sastra dengan “ungkapan (kalâm pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. prosa .[23] Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisa’i al-nisa’i ) ke dalam dua kategori. Pertama Pertama,, sastra (puisi atau prosa) yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua Kedua,, sastra (puisi atau prosa) yang ditulis lakilaki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut. tersebut.[24] Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada perempuan atau tidak maka dibutuhkan sebuah kritik yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme, yang digunakan
sebagai tolak ukur. Inilah yang dinamakan dengan kritik sastra feminis. Menurut Jenifer, kritik sastra feminis pada awal kemunculannya (1960-1970) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki beberapa pandangan yang berbeda mengenai sastra, dan apa yang dianggap selama ini sebagai sastra pada dasarnya hanyalah berdasarkan sudut pandang kaum pria..[25] pria Keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya, membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para fakar. Masing-masing definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk mengungkap peranannya dalam berkarya. berkarya.[26] Sedangkan menurut Showalter kritik sastra feminis yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan..[27] perempuan James Romesburg dalam Definitions of Feminist Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai fakar sastra feminis. Seperti menurut Sheneka, kritik sastra feminis adalah suatu hal yang sangat menarik namun sulit untuk didefinisikan. Kritik sastra feminis menganalisis karya sastra orang lain namun ditinjau dari sudut pandang perempuan. Dalam setiap karya sastra, karakter perempuan biasanya ditampilkan secara kuat (strong (strong presence), presence), baik karakter baik maupun buruk. Kritik sastra feminis menilai karakter dan sudut pandang pengarang perempuan dan perananny peranannya a dalam menciptakan suatu karya sastra. Untuk itu kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra. Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks pribadi maupun publik dalam karya sastra. sastra.[28] Kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan. Suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin yang ada, paradigma tradisional tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah, atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan. perempuan.[29] Lisa Tuttle menyatakan bahwa kritik sastra feminis me rupakan sebuah pertanyaan “ pertanyaan baru terhadap teks-teks lama”. Adapun tujuannya adalah : (1) untuk mengembangkan dan membuka tradisi menulis kaum perempuan. (2) untuk menafsirkan simbol-simbol tulisan perempuan, sehingga tidak terjadi kesalahan perspektif yang disebabkan sudut pandang kaum pria. (3) mengungkap karya-karya sastra lama. (4) menganalisis pengarang perempuan dan karangannya dengan berdasarkan perspektif perempuan. (5) untuk menentang sexism (gendering) dalam karya sastra, dan (6) untuk meningkatkan kewaspadaan atau perhatian terhadap bahasa dan style style politik politik seksual. seksual.[30]
Dalam praktiknya, kritik sastra feminis tidak terbatas pada teks-teks yang ditulis dan dibaca perempuan, namun bagaimana perempuan diilustrasikan dalam buku, bagaimana bias gender, seks, secara umum telah ditentukan atau dipaksakan sebagai kaum inferior untuk beberapa suara perempuan, rasial, etnik minoritas, penulis dan pembaca sastra yang gay dan lesbian. Demikian beberapa pengertian pengertian kritik sastra feminis f eminis yang diberikan oleh para fakar. Macam-macam teori Kritik Sastra Feminis Feminis Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Ada dua tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang ditulis oleh penulis-pen penulis-penulis ulis perempuan di masa silam, dan yang kedua adalah untuk menampilkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan perempuan sebagai makhluk inferior dalam budaya patrialkal. Dalam kritik sastra feminis, ada beberapa macam metode yang digunakan untuk menganalisis. Teori kritik sastra feminis yang paling banyak digunakan adalah kritik ideologis. Kritik ini melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women..[31] (membaca sebagai perempuan). Dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian women adalah citra serta steorotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk meneliti kesalahpahaman tentang wanita, dan factor penyebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory atau atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra, sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal. Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan. Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokohtokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan. Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra feminis-psikoan feminis-psikoanalitik. alitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam
kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis ( penis-envy ( penis-envy ). ). Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh
dengan
penuh
kasih
sayang.
bersifat affective affective (penyayang), (penyayang), emphatic (ikut
Maka merasakan
secara
natural,
perasaan
perempuan
orang
lain),
dan nurturant (peduli). (peduli). Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal. Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etni f eminis-etnik k di Amerika menganggap menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan. Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun 1970-an, sedangkan jurnal-jurnall kajian wanita untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang jurnal-jurna lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis dan masyarakat misogini misogini[32] terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti mengundang problem dan konflik konflik..[33] Teori analisis dan fokus kajian kajian Menurut Soenarjati, kritik sastra feminis pada dasarnya bisa diaplikasikan pada semua karya sastra baik prosa maupun puisi, asalkan yang di dalamnya menampilkan tokoh perempuan. Pendekatan ini akan lebih mudah bila dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Sebagai langkah awal penelitian, tokoh perempuan yang ada dalam karya sastra tersebut diidentifikasi untuk diketahui kedudukannya dalam masyarakat. Sebagai contoh, jika ia kedudukannya sebagai seorang istri atau ibu, maka dalam masyarakat tradisional ia dianggap sebagai kelas inferior atau lebih rendah daripada kedudukan seorang laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga dan tidak layak untuk mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh seperti ini memiliki ciri-ciri Victoria Victoria[34] yang ditentang kaum feminis. Bila langkah pertama terfokus pada tokoh perempuan, langkah kedua difokuskan pada tokoh laki-laki yang memiliki hubungan dengan tokoh perempuan yang sedang diamati. Hal ini perlu dilakukan oleh karena peneliti tidak akan memperoleh gambaran lengkap tentang tokoh perempuan tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya. Kajian ini biasa dilakukan dalam gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya sastra yang sedang dikaji dik aji apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Bagaimana seorang laki-laki memandang sosok perempuan dan bagaimana pula ia menggambarkannya, apakah ia memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah, tidak berharga, selalu bergantung pada laki-laki ataukah sebaliknya. Bila penulis itu adalah seorang perempuan, maka yang ditelusuri adalah bagaimana ia mengekspresikan perasaannya di dalam karya sastra tersebut, apakah ia seorang yang tegar, mandiri, penuh percaya diri atau mungkin sebaliknya sebaliknya..[35] Sedangkan menurut Endraswara, dasar pemikiran dalam penelitian sastra feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Dengan demikian peneliti akan terfokus pada dominasi laki-laki atas gerakan perempuan. Untuk itu Endraswara cenderung melakukan penelitian melalui pendekatan studi dominasi. Melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian pada; kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, atau memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi perempuan dalam sastra sastra..[36] Adapun sasaran sasaran penting dalam analisis analisis feminisme sastra, sastra, sedapat mungkin mungkin berhubungan berhubungan dengan hal-hal berikut: (1) Mengungkap karya-karya penulis perempuan masa lalu dan masa kini agar jelas citra perempu perempuan an yang merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi budaya patriarkhal harus terungkap secara jelas dalam analisis. (2) Mengungkap berbagai tekanan pada tokoh perempuan dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria. (3) Mengungkap ideologi pengarang perempuan dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. (4) Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis perempuan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. (5) Mengungkap aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa perempuan, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya. sebagainya.[37] Demikian beberapa di antaranya objek analisis dalam kritik sastra feminis. Hubungan Kritik Sastra Feminis dengan Ilmu-ilmu Lainnya Lainnya Menurut Sugihastuti, kritik sastra feminis berbeda dengan kritik-kritik yang lain, kritik k ritik sastra feminis berkembang dari berbagai sumber. Untuk itu, diperlukan wawasan yang luas tentang segala hal yang berkaitan dengan perempuan. Bantuan disiplin ilmu lain seperti sejarah, psikologi, antropologi, dan lain-lain mutlak diperlukan, di samping teori dan ilmu sastra yang diperlukan. Linguistik, psikoanalisis, marxisme, dan dekonstruksio dekonstruksionisme, nisme, menyajikan bantuan terhadap kritik k ritik feminis dalam rangkaian analisis. analisis.[38] Kritik sastra feminis yang diartikan dengan reading as women, women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodolo m etodologi gi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian. penelitian.[39]
Bidang ilmu yang sangat dekat dengan Kritik Sastra Feminis salah satunya adalah Sosiologi. Menurut Tim Curry dkk., konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik yang ia kemukakan, tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan disebabkan oleh lemahny lemahnya a posisi wanita dalam sistem stratifikasi sosial. sosial.[40] Di sisi lain, sastra menurut Atar Semi sebagaimana halnya sosiologi, ia berurusan dengan manusia, bahkan ia adalah karya cipta manusia yang mencerminkan kehidupan manusia itu sendiri. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sedangkan bahasa pada hakekatnya adalah ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh karena itu, sosiologi dan sastra pada dasarnya memperjuangkan hal yang sama, kedua-duanya kedua-dua nya berkutat dengan masalah-masalah masalah-masalah sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk itu, Atar Semi menggambarkan hubungan antara sastra, masyarakat dan kebudayaan sebagai berikut: Pertama Pertama,, bahwa sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan bersangkutan.. Kedua Kedua,, bahwa bahwa sastra adalah cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat. masyarakat.[41] Pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan ini, oleh beberapa pakar disebut dengan sosiologi sastra. Istilah ini pada hakekatnya tidak berbeda dengan sosiosastra atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. sastra .[42] Sosiologi sastra merupakan bagian bagian mutlak dari sebuah kritik sastra, terutama kritik yang secara khusus mengkaji fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh J. Waluyo, bahwa dalam menafsirkan sebuah puisi tidak terlepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik tersebut dapat membantu memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik tersebut adalah penyair itu sendiri dan kenyataan sejarah yang melingkupinya. melingkupinya .[43] Hal ini membuktikan bahwa kondisi sosiologis seorang penyair sangat mempengaruhi mempengaruhi karya sastra yang ia ciptakan. Perlakuan dan pandangan masyarakat terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra, serta bagaimana bagaim ana perempuan menggambarkan perlakuan dan pandangan mereka terhadap dirinya dalam karya sastra, pada hakekatnya adalah bagian dari kajian sosiologi sastra. Namun demikian, karena mengkaji perempuan secara khusus dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme, maka kajian ini secara khusus disebut dengan kritik sastra feminis. Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa ada ikatan yang sangat kuat antara sastra, sosiologi, dan kritik k ritik sastra feminis. Selain itu, baik sosiologi sastra maupun kritik sastra feminis, keduanya diilhami oleh teori-teori Marxis. Selain sosiologi, ilmu lain yang sangat lekat dengan kritik sastra feminis adalah ilmu bahasa itu sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Panuti sudjiman bahwa bahasa adalah medium karya sastra yang tidak dapat diabaikan, sebab karya sastra pada hakekatnya adalah bahasa..[44] Sedangkan Teew menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas bahasa
yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang tepat. Untuk itu menurut Teew dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra, selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, juga diperlukan pengetahuan tentang kode bahasa. bahasa .[45] Bahasa merupakan fondasi semua budaya. Bahasa merupakan sistem arti kata yang bersifat abstrak dan menjadi simbol seluruh aspek kebudayaan. Bahasa dapat berbentuk lisan, tulisan [46], angkaangka, simbol, gerak dan isyarat, maupun ekspresi lainnya yang bersifat nonverbal .[47] Menurut Edward Sapir, bahasa adalah bentuk jasmani (material ( material ) atau medium dari sebuah karya sastra..[48] Dan syair adalah ungkapan (kalâm sastra ( kalâm)) yang terikat, baik dari segi aransemen, jenis, wazan wazan,,
maupun qâfiyah qâfiyahnya, nya,
di
samping
unsur
imajinasi
yang
digunakan
untuk
mengilustrasikan mengilustrasi kan ide dan fikiran penyair .[49] Dan kalam kalam pada pada hakekatnya adalah bahasa. Apa yang diungkap diungkapkan kan oleh para ahli bahasa dan sastra tersebut menunjuk menunjukkan kan bahwa ada hubungan erat antara kritik sastra dengan linguistik. Untuk menjembatani keduanya menurut Panuti Sudjiman diperlukan stilistika karena ilmu ini mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik..[50] Di dalam kajian sastra Arab yang dimaksud dengan stilistika adalah ilmu Balâghah linguistik Balâghah.. Pusat perhatian keduanya adalah sama yaitu gaya bahasa (style ( style / uslûb uslûb). ). Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya..[51] Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada sarananya dasarnya bukanlah sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lainnya. Kesimpulan Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis adalah kajian tentang perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Disiplin ini pada hakekatnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Oleh sebab itu, ilmu ini bukanlah kajian sastra murni, namun juga masuk dalam kajian sosiologi, sehingga ilmu ini tidak memiliki konseptual tunggal, akan tetapi terkait erat dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu sosial, bahasa dan lain sebagainya. Daftar Pustaka Pustaka Abd al-Salâm, al-Salâm, Ja`far, Shûrat al-Mar`ah fi al-I`lâm, al-I`lâm, Kairo: Râbithat al Jâmi`at al-Islâmiyah, 1428 H/ 2006 M Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990 Bhasin, Kamla, Memahami Gender (terjemah) (terjemah),, Jakarta: Teplok Press, 2001 Djayanegara, Soenarjati, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. 2 Djoko Damono, Sapardi, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Ringkas , Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984 Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-‘Ashr al -Jâhili -Jâhili , (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965 Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi , Yogyakarta Yogyakarta:: Pustaka Widyatama 2003
Fakih, Mansour, Analisis dan Transformasi Transformasi Sosial , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Mansour, Analisis Gender dan Hellwig, Tineke, In the Shadow of Change, Change , terjemah Rika Irfati Farikha, Depok: Desantara, 2003 Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, Feminisme, terjemah Mundi rahayu, Yogyakarta Yogyakarta:: Fajar Pustaka baru, 2002, cet.1
‘Îd, Ahmad, al-Naqd al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at al -Riwayat -Riwayat al-Arabiyat, culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001, edisi 87 `Izzudîn, Yûsuf, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts; Buhûts wa Maqâlât Naqdiyyah, Naqdiyyah, Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, al -`Ulûm, 1401 H / 1981 M Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000 Lajnah (Tim Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, Tarikhuhu, Libanon: Dâr al-Ma’arif, 1962, jilid 1-6 Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik , Oman: Dar al-Masira, 1424 H/ 2003 M Romesburg,
James, Definitions
of
Feminist
Literary
Criticism, Criticism,
(hubcap.clemson.edu/~spa (hubcap.cle mson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), rk/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003 Semi, Atar, Kritik Sastra, Sastra, Bandung: Angkasa, tth Sugihasti, Wanita di Mata Wanita Perpspektif Perpspektif sajak-sajak sajak-sajak Toeti Herawaty , Bandung: Nuansa, 2000 Al-Syâyib, Ahmad, Ahmad, Ushul al-Naqd al-Adabi , tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, al-Misriyah, 1964 Sapir, Edward, Language Language,, ttp: tp, tth Schaefer, Richard T., Sociology , New York: McGraw-Hill, 2003 Sudarno, M.Ed, drs. dan Eman A. Rahman, drs, drs, Terampil Berbahasa Indonesia, Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990 Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi, Puisi, ttp: Erlangga, 1995
Catatan Akhir: Akhir:
Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar , (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), 2003), cet. 2, hal. 1dan 2 [2] Pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra bertumpu pada ajaran Karl Marx
dan Lenin yang dikenal dengan konsep teori pertentangan kelas atau dikenal dengan sosialisme komunis. Bagi Marx, setiap zaman pada suatu bangsa selalu terdapat pertentangan kelas. Kelas atas adalah kaum bangsawan atau borjuis, sementara kelas bawah adalah rakyat jelata atau proletar. Dalam bidang ekonomi, masyarakat kelas bawah menentukan kehidupan kelas atas. Antara kelas atas dan bawah ini selalu terjadi perlawanan. perlawanan. Sejarah akan memperlihatkan memperlihatkan bahwa kelas bawah selalu berusaha memperjuangkan agar kelas-kelas tersebut dihilangkan, sehingga suatu saat tidak terdapat lagi kelas-kelas dalam masyarakat. Dengan demikian semua manusia menjadi sama status sosialnya, tidak ada kelas borjuis dan tidak ada kelas proletar. Landasan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan berfikir kaum feminis, di mana mereka menganggap perempuan sebagai kelas proletar, sementara kaum pria adalah kelas borjuis yang selalu menindas proletar. Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan terapan, (Padang: terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 45 [3] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, Feminis, hal. 2-4 [4] Adam Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , (Jakarta: Pt Raja Grafindo,
2000), hal. 354 [5] Keterangan lengkap lihat Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, Feminis, hal. 4-18 [6] Ahmad Ahmad
‘Îd, al-Naqd al-Nisawi al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at al -Riwayat -Riwayat al-
Arabiyat, (culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001), edisi 87 [7] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2002), cet. 1, hal. 83 [8] Tineke Hellwig, In The Shadow of Change, Change, ( Jakarta: Desantara, 2003), hal. 7 [9] Ahmad Ahmad
‘Îd, al-Naqd al-Nisawi al-Nisawi Zhâhirah Taruddu ‘ala Ihmâl Ibdâ’ât al -Riwâyat -Riwâyat al-
Arabiyât,(culture Arabiyât, (culture @albayan.co.ae), @albayan.co.ae) , Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001), edisi 87
[10] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminism Feminisme e, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2002), hal. 158 [11] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, Feminisme, hal.421 [12] Menurut konsep gender, jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Setiap orang
lahir sebagai laki-laki dan perempuan, namun setiap kebudayaan memiliki cara pandang tersendiri dalam menilai laki-laki dan perempuan, serta cara memberikan mereka peran. Semua proses
‘pengamasan’ sosial dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir itulah yang dinamakan dengan pengenderan (gendering (gendering ). ). Kamla Bhasin, Memahami Gender , (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2 [13] Kamla Bhasin, Memahami Gender , (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2 [14] Mansour Fakih, Analisis Fakih, Analisis Gender dan Transform Transformasi asi Sosial , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hal. 8 [15] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty , (Bandung: Nuansa,
2000), hal. 37 [16] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. Heraty, hal. 37 [17] Adam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , (Jakarta: PT Rajawali Grafindo
Persada, 2000), cet. 1, jilid 2, hal. 354 [18] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158 [19] Atar Atar Semi, Kritik Sastra, Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 7 [20] Ahmad Ahmad al-Syâyib, Ushul al-Naqd al-Adabi , (tth: Maktabah al-Nahdlah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964), cet.
7, hal. 16 [21] Atmazaki, Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 16 [22] Istilah balîgh balîgh dalam dalam sastra sastr a Arab biasanya mengacu pada makna fasih dan juga sesuai dengan
situasi dan kondisi. [23] Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi , (Kairo: tp, 1960), hal. 10 [24] Ibrâîhim Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-Adabi al-Hadîts; min al-Muhâkah ila al-Tafkîk , (Oman: Dâr
al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), cet.1, hal. 134-135. Lihat juga Yûsuf `Izzuddîn, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts: Buhûts wa Maqâlât Naqdiyah, Naqdiyah, (Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M), cet. 3, hal. 261. Bandingkan pengertian al-Adab al-nisâ’i al-nisâ’i (sastra feminis) di atas dengan al-shahâfah alnisâ’iyah (media nisâ’iyah (media feminis) yang digambarkan oleh Farûq Abu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ridlâ
`Abd al-Wâhid, bahwa yang dimaksud dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah al-nisâ’iyahmenurutnya menurutnya adalah media yang menyajikan secara khusus berbagai problematika perempuan dan eksistensinya dalam semua aspek kehidupan, baik yang disajikan oleh perempuan itu sendiri maupun oleh laki-laki, dan bukan media yang dikelola oleh perempuan namun menyajikan problematika secara umum. Untuk itu Najwâ Kâmil membedakan media feminis ke dalam dua kategori, yaitu majallât taqlîdiyah / taqlîdiyah / womens magazines magazines (majalah perempuan) yang di dalamnya membicarakan tentang makanan,
keluarga, fashion fashion,,
dan furniture furniture..
Dan
yang
kedua
adalah majallât
ghair
taqlîdiyah/feminist taqlîdiyah/fem inist magazine magazines s (majalah feminis), yang di dalamnya membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan gerakan perempuan (feminisme). Ja`far Abd al-Salâm (editor), Shûrat al-Mar’ah al-Mar’ah fi al -I`lâm, -I`lâm, (Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah al-Islâmiyah,, 1427 H/2006 M), hal. 107-108 [25] James
Romesburg, Definitions
of
Feminist
Literary
Criticism, Criticism,
(hubcap.clemson.edu/~spa (hubcap.cle mson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), rk/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003 [26] Ibrâhîm Muhmud Khalîl, al-Naqd al-Adabî al-Hadîts min al-Muhâkah ilâ al-Tafkîk , (Oman: Dâr
al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), hal. 135 [27] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. Heraty, hal. 37 [28] James Romesburg Romesburg,, Definitions of Feminist Literary Criticism, Criticism, link update in July 2003 [29] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 84 [30] James Romesburg Romesburg,, Definitions of Feminist Literary Criticism, link Criticism, link update in July 2003 [31] Konsep reading as women women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar
praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. Heraty, hal. 37 [32] Kebencian terhadap kaum perempuan [33] Keterangan lengkap mengenai macam-macam teori kritik sastra feminis, lih. Soenarjati
Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, Feminis, hal. 28-36 [34] Istilah Victoria diambil oleh para feminis dari tradisi perempuan Inggris, yaitu sebuah tradisi
yang dicetuskan oleh Ratu Victoria yang mengharuskan perempuan menjaga kehormatan dan kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga, atau dengan kata lain hanya mengurus kepentingan domestic semata. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, Feminis, hal. 5
[35] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, Feminis, hal. 51-54 [36] Suwardi Endrasiswa Endrasiswara, ra, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi ,
(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 146 [37] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi ,
hal. 146 [38] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, Aplikasinya , (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), cet. 2, hal. 8 [39] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya Aplikasinya,, hal. 10 [40] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar , (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, Utama, 2003), cet. 2, hal. 1 [41] Lih. Atar Semi, Kritik Sastra, Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 52-56 [42] Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas, Ringkas , (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hal. 2 [43] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, Puisi, (ttp: Erlangga, 1995), hal. 28-29 [44] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, Stilistika, (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1993), hal. 1-2,
dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi , (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2005), cet. 2, hal. 55 [45] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar , (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, Utama, 2003), cet. 2, hal. 1 [46] Sudarno dan Eman A. Rahman, membagi tulisan ke dalam dua kategori, yaitu ideografi dan
fonografi. Tulisan ideografi adalah tulisan yang melambangkan ide atau pengertian, bukan melambangkan ucapan seperti tulisan Cina. Sedangkan fonografi adalah tulisan yang melambangkan suara dan ucapan (lafal). Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia,, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 12-14 Indonesia [47] Richard T. Schaefer, Sociology , (New York: McGraw-Hill, 2003), hal. 66. Sudarno dan Eman
A. Rahman, Terampil Terampil Berbahasa Berbahasa Indonesia, Indonesia, (Jakarta: (Jakarta: PT Hikmat Syahid Syahid Indah, tth), hal. 1 & 11 [48] Edward Sapir, Language Language,, (ttp: tp, tth), hal. 222 [49] Tim penulis (Lajnah) (Lajnah),, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili , (Libanon: Dâr
al-Ma’ârif, 1962), hal. 5
[50] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk
Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi , hal. 56 [51] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk
Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi , hal. 56 http://buanaagra.blogspot.sg/2015/08/mengenal-kritik-sastra-feminis.html
View more...
Comments