Teori Horor Dan Kekerasan Pintu Terlarang
October 26, 2017 | Author: Ayu Astria R A | Category: N/A
Short Description
Download Teori Horor Dan Kekerasan Pintu Terlarang...
Description
Efek Konten Horor dan Kekerasan Terhadap Agresivitas Penonton (Analisa terhadap film “Pintu Terlarang”) Mata Kuliah Kajian Dampak Media Adhi Fitri D. (209000004) Erni Nur Izzati (209000021)
Resensi Film Pintu Terlarang Cerita
film
ini
diadapasi
dari
novel
berjudul Pintu
Terlarang,
karangan Sekar Ayu Asmara. Sekalipun di Indonesia dianggap kurang sukses, namun film ini ditanggapi positif di dunia Internasional saat perilisannya di banyak festival. Pematung yang berada dalam puncak karirnya dalam pengeksploitasian temanya yaitu wanita hamil,
Gambir
(Fachri
Albar)
sepertinya
mempunyai kehidupan yang sempurna. Selain kesuksesan, ia mempunyai seorang istri bernama Talyda
(Marsha
pengertian
Timothy);
(Henidar
sang
Amroe);
ibu
yang
kawan-kawan
dekatnya Rio (Otto Djauhari) dan Dandung (Ario Bayu); serta pemilik galeri yang sudah dianggap seperti ayahnya sendiri oleh Gambir, Koh Jimmy (Tio Pakusadewo). Dalam kesuksesannya, tersembunyi kisah mengerikan didalamnya. Pertama kali Talyda menggugurkan kandungannya, dulu yang mana Gambir masih menjadi pematung biasa diberikan inspirasi, motivasi, dan sedikit paksaan oleh Talyda untuk memasukkan janin miliknya kedalam perut sebuah patung hamil. Sejak saat itu hingga menikah, Talyda membuat perjanjian kepada pemilik Klinik Aborsi untuk memberikan janin yang sudah dikeluarkan dan disimpan klinik, kemudian diambil oleh Gambir yang nantinya akan memasukkan janin
itu ke dalam perut patung hamil, menurutnya, itulah sebabnya kenapa patung-patungnya bisa terlihat hidup, karena ada sesuatu yang seharusnya hidup di dalamnya. Kendati Gambir sebenarnya tidak mau, ia akhirnya mau karena paksaan Talyda yang mengetahui bakal kesuksesan Gambir sudah ada. Dari beberapa adegan, mulai terasalah atmosfer sebenarnya antara orang-orang kepada Gambir. Seperti saat Koh Jimmy memaksa Gambir untuk membuat pameran patung hamil lagi dengan mengancam akan memeberitahu isi patung sebenarnya yang dulu pernah dilihat Koh Jimmy pada patung pertama Gambir. Kemudian di antara kehidupan Gambir yang kini mempersiapkan pamerannya lagi, Gambir mulai menemui sebuah tulisan berbunyi, "tolong saya" yang banyak ia temui disekitarnya. Hal ini membuatnya frustasi dan lama kelamaan tumbuh sesuatu yang aneh. Saat sedang berada di studio Gambir menemukan sebuah pintu dibalik lemari yang dilarang untuk dibuka oleh Talyda. Talyda menyatakan bahwa apabila pintu itu terbuka maka perasaannya menjadi hancur dan akan membuat semua hal di antara mereka menjadi musnah. Setelah di jalan mendapat tulisan yang sama, Gambir melihat tulisan "Herosase" dibawah tulisan "tolong saya" dan disinilah ia sekarang, di gedung Herosase tanpa mengetahui apa tujuan atau fungsi gedung itu dibangun.
Seorang
resepsionis
gedung
itu
(Atiqah
Hasiholan)
memberitahunya bahwa selain anggota dilarang masuk. Setelah menunggu di luar, ia bertemu Dandung disana dan Dandungpun mengajak Gambir untuk menjadi anggota Herosase. Ibu Mona, sang manajer Herosase menjelaskan keterangan untuk menjadi anggota dengan satu syarat, tidak boleh ada pertanyaan. Herosase
dikatakan
didatangi
untuk
mencari
jawaban
tanpa
pertanyaan. Maka, Gambir mendapat sebuah kamar dengan pilihan channel,
terungkaplah
bahwa
Herosase
adalah
tempat
untuk
mengetahui gerak-gerik penghuni rumah-rumah dengan memasang kamera ilegal di setiap sudut rumah-rumah tersebut. Dari sanalah ia mengetahui seorang anak kecil yang dianiaya orang tuanya, yang
hadir saat beberapa hari yang lalu Gambir lihat, maka Gambirpun berusaha
menolongnya
dengan
menonton
aktivitasnya.
Setelah
diberitahu Dandung mengenai kematian anak kecil itu, Gambir menjadi gamang dan melalui pameran patung hamilnya yang kedua dengan tidak bahagia. Setelah mendengar rumor di pameran secara sembunyi-sembunyi, Gambir tahu kalau anak kecil itu mungkin masih hidup. Ia segera pergi ke Herosase dan mencari tayangan anak kecil itu. Saat ketemu, Gambir melihat sang anak kecil mengambil pisau di dapur dan menggorok leher kedua orang tuanya, lalu menggorok lehernya sendiri. Gambir yang shock melihat ke menu channel dan menemukan nama Talyda Sasongko tertera disana. Gambir melihatnya dan menemukan fakta dibalik fakta yang ia tahu. Ternyata sang ibu menyuruh Talyda untuk berhubungan seks dengan teman-teman Gambir, yakni Rio dan Dandung untuk mendapatkan anak setelah tahu bahwa Talyda ternyata tidak ingin punya anak dari Gambir. Talyda juga telah merayu Koh Jimmy untuk berakting saat meyakinkan Gambir yang dulu tidak ingin membuat patung perempuan hamil lagi. Gambirpun
menyiapkan
pembalasan
dengan
modus
dalih
mengundang semua orang terdekatnya di acara makan malam menyambut Hari Natal. Saat makan malam, Gambir memasukkan sebuah racun kedalam wine yang dihidangkan bersama makanan. Racun
yang
bernama
Devilish
Pit
itu
membuat
orang
yang
meminumnya lumpuh selama sepuluh menit dan hanya bisa melihat dan mendengar saja. Mulailah Gambir mengeksekusi Koh Jimmy, Rio dan Dandung dengan cara digorok lehernya. Lalu ia membenamkan muka ibunya kedalam mangkuk besar berisi sup dan untuk Talyda, Gambir menembak kepalanya. Sebelum meninggal Talyda yang pengaruh
racunnya
terlarang
itu.
mulai
Gambir
hilang
kembali
mengatakan
mempertanyakan
mengenai pintu
itu
pintu dan
mendobraknya masuk. Tanpa disadarinya, latar studio dibaliknya telah berganti lorong gelap.
Gambirpun melihat seisi ruangan itu yang ternyata adalah rumah si anak kecil yang dianiaya itu. Ia melihat mayat sang ibu yang wajahnya sama dengan ibu Gambir, saat itulah Gambir sadar bahwa dunia "Gambir dan Talyda" adalah imajinasi belaka. Gambir kembali ke tempatnya yang sebenarnya, sebuah bangsal di rumah sakit jiwa. Anak kecil yang selama ini dilihatnya adalah kepingan dari masa kecil Gambir dan sebelum ia menggorok lehernya sendiri dulu, polisi datang ke rumahnya. Gambir yang hidup dalam kesendirian menjadi frustasi dan menjadi orang yang lebih baik di dunia miliknya sendiri, kabur dari dunia realita yang kejam. Hasil pikirannya menjadi pematung adalah berkat jasa seorang wartawati bernama Ranti yang memberikan buku dan majalah sebagai media imajinasi Gambir. Gambir menghadiahi Ranti sebuah posisi dalam imajinasinya, yakni sebagai Talyda. Dandung, Rio, Koh Jimmy, dan tokoh lain adalah pengurus rumah sakit jiwa tersebut, dan digunakan sebagai tokoh dalam imajinasi Gambir. Di akhir film, Gambir kembali berimajinasi sebagai seorang pendeta yang menangani sebuah gereja. Setelah kredit selesai berjalan, Ranti menelepon temannya di kantor dan pergi dari rumah sakit jiwa yang mengurung Gambir, nama rumah sakit jiwa itu adalah Herosase.
Efek Konten Horror dan Kekerasan Terhadap Agresivitas Penonton Tayangan yang memiliki konten kekerasan dalam berbagai media, khususnya film sudah diterima sebagai sebuah kewajaran oleh masyarakat saat ini. Media audio visual seperti film mempunyai frekuensi lebih tinggi menggunakan konten-konten horor dan kekerasan didalamnya. Sebelum kita membahas lebih dalam tentang kekerasan dan horor seperti apa serta media audio visual atau film yang seperti apa mari kita perjelas apa yang disebut dengan kekerasan dan horor lebih dahulu. Kekerasan asal kata dari bahasa latin yaitu violentus yang berarti berkuasa atau kekuasaan. Sedangkan menurut istilah diartikan sebagai ekspresi baik itu merupakan ekspresi secara fisik maupun verbal yang mencerminkan tindakan agresi dan
penyerangan pada kebebasan dan martabat seseorang yang dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Media berkonten kekerasan secara umum menggambarkan karakter yang teraniaya baik secara fisik maupun psikologis oleh orang lain1. Konten kekerasan ini didefinisikan oleh para ahli tidak hanya sebagai presentasi sefala sesuatu hal yang merujuk pada kekerasan fisik, melainkan juga meliputi agresi verbal (verbal aggression) sebagai salah satu bentuk perilaku antisosial, serta keseluruhan konteks naratif yang merepresentasikan kekerasan tersebut2. Sedangkan horor3 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat, (2) perasaan yang sangat kuat menyakitkan yang berasal dari kebencian dan ketakutan, (3) Sesuatu yang informal dan tidak menyenangkan (4) kecemasan yang ditimbulkan oleh kengerian-kengerian informal. Secara sederhana kita dapat mengartikan horor sebagai sesuatu yang menciptakan atau menimbulkan rasa takut dan gelisah yang berlebihan. Scary Media dan horror kerap kali menampilkan fitur-fitur adegan kekerasan dalam scenario ceritanya dengan tujuan untuk menambahkan kesan menakutkan dan tragis di dalam benak penonton. Film horror biasanya memasukkan unsure supernatural maupun unnatural4. Seiring dengan perkembangan industri film, nuansa horor yang terdapat dalam sebuah film kemudian dapat kita klasifikasikan kedalam beberapa sub-genre sebagai berikut: a. Horor Demonic, Film dengan nuansa horor yang terjadi karena menampilkan
makhluk halus dan mengandung unsur klenik atau mistis yang kuat. b. Horor Phsico, Film horor yang menampilkan sisi jahat dari manusia. Misalnya
film-film tentang pembunuhan, thriller (mencengangkan karena biasanya banyak adegan memotong tubuh manusia) maupun sisi-sisi kekerasan yang dilakukan oleh para psikopat.
1
Cynthia A. Hoffner dan Kenneth J. Levine, “Enjoyment of Mediated Fright and Violence: A Meta-Analysis” dalam buku Jenning Bryant, “Media Effects: Advances in Theory and Research”, hlm. 215 2 David Giles dalam “Media Psychology”, hlm. 50-51 3 Lihat arti kata horor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 4 Op.Cit, Hlm. 215
c. Horor Disaster, Film horror yang menampilkan kekuatan alam, dimana berbagai
kemalangan yang dialami oleh para aktor dalam film itu disebabkan oleh kekuatan alam, missal Film horror yang berkaitan dengan tragedi tsunami, kiamat 2012, dll. Setidaknya terdapat lebih dari sepuluh film horor Indonesia yang diproduksi tahun 2011 ini.5 Hal ini cukup menguatkan bahwa film dengan genre horor merupakan film yang diminati masyarakat Indonesia. Itulah mengapa kajian tentang film horor masih menjadi hal yang menarik untuk dilakukan sampai sekarang. Pembahasan akan lebih menarik saat kita menjamah ranah efek dari film horor tersebut terhadap khalayak yang menjadi penontonnya. Kajian dampak konten horor dan kekerasan terhadap khalayak kali ini menggunakan film berjudul “Pintu Terlarang” sebagai bahan analisis. Film ini merupakan salah satu film horor thriller Indonesia. Analisis yang kami lakukan bertujuan untuk mengetahui apakah sebuah film horor dan kekerasan bisa membangun ketakutan dan rasa ngeri yang membangkitkan imajinasi dan perilaku agresif pada penontonnya, apakah ada dampak langsung secara kausatif antara intensitas menonton tayangan kekerasan di layar TV atau film dengan kemungkinan perilaku kekerasan dalam kehidupan yang nyata? Sebelum mulai membedah materi tersebut di atas, maka terlebih dahulu perlu kita pahami landasan teoritis yang dapat kita gunakan untuk membedah tentang dampak yang dapat menerpa audiens akibat berbagai tayangan horror yang berkonten kekerasan. Teori yang digunakan secara garis besar adalah Teori Kultivasi (Cultivation Theory), Katarsis (Chatarsis), Teori Priming (Priming Effect Theory). Teori Kultivasi Teori kultivasi merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media
komunikasi
dengan
tindak
kekerasan
(pada
televisi).
Namun
pada
perkembangannya teori ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan dampak konten kekerasan yang dipresentasikan dalam media film (horror). Teori yang dicetuskan oleh George Gerbner (Pennsylvania) ini melihat dengan perspektif bahwa semua bahanhiburan dan berita media massa memberikan pandangan khalayak tentang dunia. 5
Riset kecil-kecilan di toko DVD dan sumber tambahan dari http://duniabaca.com/daftar-film-terbaru-2011-indonesia-hollywood.html#indo
Para audiens, utamanya heavy viewers (mereka yang memiliki kecenderungan menonton dengan frekuensi, intensitas dan durasi yang lebih banyak dan lama) memiliki keyakinan yang dibentuk oleh televisi dan tayangan yang mereka tonton (yang menampilkan kekerasan) tentang “apa yang mereka lihat di media” adalah “apa yang sebenarnya terjadi” dalam kehidupan yang nyata di luar sana. Mean World. Film dan televisi memiliki kemampuan untuk menayangkan berbagai simbol, gambaran yang seolah-olah nyata dan dipandang sebagai sebuah realitas objektif. Jika di dalam berbagai film dan tayangan media itu kemudian mempresentasikan kekerasan, menurut Gerbner hal tersebut dikarenakan hal tersebut merupakan salah satu cara yang paling sederhana untuk menunjukkan bagaimana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya, dan hal ini persepsi oleh audiens sebagai pelajaran berharga yang mereka butuhkan untuk menghadapi dunia. Dampak dari terpaan media yang menayangkan konten kekerasan bagi setiap individu ini pun berbeda. Bisa jadi mereka memilih untuk melibatkan diri dengan kekerasan, menjadi tergerak untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan penegakan hukum, menjadi kehilangan kepercayaan atau justru menjadi semakin khawatir dan berkutat dengan ketakutannya akan kenyataan dunia luar yang sesungguhnya6. Teori Efek Priming Salah satu cara bagaimana tayangan kekerasan dalam media mampu membangkitkan perilaku agresif dalam jangka panjang bagi audiens adalah melalui proses kognitif dibandingkan melalui respon secara behavioural. Efek secara kognitif dapat dikelompokkan
menjadi
dua
kategori
besar
yaitu:
pertama,
mereka
dapat
membangkitkan gangguan pada pikiran yaitu melalui mimpi, fantasi ttg kekerasan, maupun obsesi ttg kekerasan; kedua, mereka bekerja dalam level kesadaran yang menstimulasi ide/konsep tentang bagaimana kita harus bersikap dan berperilaku. Hal ini lah yang menjadi mekanisme dasar mengapa seseorang pada akhirnya melakukan imitasi/meniru tayangan kekerasan yang ada di media sebagai bentuk role model.
6
Diambil dari resume materi Presentasi Sari Riantika D. dan kelompok pada mata kuliah Kajian Dampak Media, sumber buku Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi oleh Richard West dan Lynn Turner.
Berkowitz, menggunakan pendekatan cognitive-associationist dalam melihat skenario tayangan kekerasan dalam media dan menyimpulkan bahwa kunci mekanisme nya adalah "priming". Berdasarkan teori tersebut, memori implisit (bawah sadar) terhadap skenario-skenario kekerasan dalam media dapat di aktifkan kembali jika sinyal/isyarat/kondisi yang sama terjadi. Ketika seseorang akan membuat keputusan, priming
stimulus
kekerasan
tersebut
bisa
jadi
mempengaruhi
pertimbangan-
pertimbangan dan pilihannya. Persepsi tentang kekerasan oleh orang dewasa juga dipengaruhi oleh genre dari program tayangan tersebut, selain juga tipe-tipe/bentuk dari perilaku kekerasan tersebut yang akan berbeda bagi masing-masing daerah yang memiliki latar kebudayaan berbeda pula. Catharsis Berbagai kajian psikologi-komunikasi melihat bahwa menonton tayangan yang berbau kekerasan memiliki efek katarsis bagi para audiens, yang memungkinkan mereka untuk melepaskan kecenderungan, keinginan untuk melakukan kekerasan melalui proses identifikasi dengan fictional aggressors7. Katharsis berasal dari bahasa yunani yang berarti pembersihan (Purging).Meskipun belum disebut katharsis, Seorang filsuf Yunani yaitu Aristoteles telah menggunakan konsep katharsis dalam karyanya untuk menyampaikan emosi akan tragedy kepada audience-nya. Teori Katharsis pertama kali diperkenalkan pada kisaran awal tahun 1960 dalam tulisan berjudul The stimulating versus cathartic effect of a vicarious aggressive activity yang dipublikasikan dalam journal of abnormal social psychology. Konsep teori ini berdiri diatas psikoanalisa Sigmund freud, yaitu emosi yang tertahan bias menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan tersebut.Penyaluran emosi yang konstruktif ini disebut dengan katharsis Kehidupan manusia yang dinamis, mengantarkan manusia pada pola kehidupan yang relative kompleks dan semakin mendesak manusia berhadapan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki keterbatasan.Kondisi tersebut memicu munculnya rasa frustasi dan cenderung bersifat agresif.Setiap emosi dan sikap agresif tersebut lambat laun akan menumpuk dan harsu segera di salurkan. Dalam keadaan tersebut, tidak semua emosi dan 7
David Giles, “Media Psychology”,hlm.63
agresi tersebut bias disalurkan secara nyata dan dibutuhkan satu cara aman untuk pelampiasan atau penyaluran. Katharsis yang merupakan penyaluran emosi dan agresi yang bias berupa kekesalan, kesedihan, kebahagiaan, impian dan lainnya ini dilakukan dengan pengalaman wakilan (Vicarious experience) seperti mimpi, lelucon, fantasi atau khayalan. Dalam konteks ini, seseorang tidak melakukan penyaluran emosi dan agresinya secara nyata oleh individu tersebut, melainkan dilakukan hanya melihat atau membayangkan sesuatu tersebut dilakukan, atau dengan istilah lain yaitu pengalaman wakilan. Pengalaman wakilan tersebut dapat berupa film, music atau bahkan video games.
Reasoning Tentunya terbersit pertanyaan dalam benak kita tentang alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk mengonsumsi atau bahkan menikmati berbagai macam tayangan hiburan yang juga menyodorkan konten kekerasan di dalamnya sebagai menu utama, seperti yang ditawarkan dalam film “Pintu Terlarang” tersebut? Secara umum, ada dua alasan yang paling mendasar tentang alasan mengapa seseorang mau dan bahkan gemar menonton tayangan yang berbau kekerasan, yaitu pertama, karena adanya rasa keingin-tahuan (simple curiousity) dan kedua , karena tayangan tersebut menawarkan sebuah tantangan yang baru bagi khalayaknya. Rasa keingintahuan ini dirangsang melalui berbagai publisitas yang sengaja dibuat oleh produsen film, seperti berbagai trailer film yang dibuat semenarik mungkin untuk memancing rasa penasaran audiens terhadap jawaban atas sebuah tragedi yang ditampilkan dalam film, berbagai testimoni, maupun iklan yang menonjolkan para pemeran film tersebut sebagai salah satu daya tarik. Bagi para remaja yang mulai beranjak dewasa, yang akrab dengan film saat ini juga memandang bahwa menonton tayangan yang memiliki konten kekerasan sebagai sebuah uji nyali untuk mulai memasuki dunia orang dewasa. Mereka tertantang untuk melakukan self-cencorship terhadap terpaan media tersebut. Di satu sisi, menonton film bergenre horror-kekerasan (yang diperuntukkan bagi dewasa) adalah sebuah forbidden fruit yang semakin menggiurkan untuk dicoba. Meskipun tidak jarang mereka dihantui rasa ragu atau takut akan dampak setelah menontonnya, tetapi dorongan untuk mencoba menonton lebih besar. Itu sebabnya mereka pada akhirnya justru menjadi kecanduan menonton film-film seperti itu.
Variabel Independen Lebih lanjut untuk menganalisa konten film “Pintu Terlarang” tersebut, maka ada beberapa variable independen yang mempengaruhi seberapa dalam konten horror dan kekerasan dalam film tersebut tertanam dalam benak audiens (kognitif) dan kemungkinan nya dalam meningkatkan agresifitas perilaku nya (affektif dan behavioral). Variabel tersebut adalah sebagai berikut: Respon emosional: Negative Affect dan Arousal Arousal merupakan respon psikologis yang tidak spesifik yang ditandai dengan semakin cepat tarikan napas dan detak jantung. (Lang, 1994)8 Arousal adalah kondisi dimana perasaan seseorang ikut terbawa oleh adegan-adegan yang dilihat di media, baik TV atau film. Arousal dapat diamati ketika seorang penonton menangis saat menonton adegan yang mengharukan atau penonton menjerit ketakutan ketika melihat adegan pembunuhan atau kekerasan. Biasanya, seseorang menonton film untuk mendapatkan sensasi yang baru dan berbeda dengan keadaan yang biasa, yang habitual. Dengan menonton suatu film, penonton akan mendapatkan suatu perasaan yang melepaskannya dari kebosanan.
“removal of the threat that produced empathic distress may be regarded as a minimal stimulus condition for the cognitive switch from dysphoria to euphoria (Zillman)”.
Berdasarkan teori Excitation Transfer, Zillmann berpendapat bahwa saat menikmati drama yang menegangkan maka ada dua kemungkinan respon emosional yang terjadi, baik di level negative yang terjadi selama tayangan tersebut diputar (ditandai dengan adanya perasaan takut, tertekan, frustasi, dll) maupun reaksi afektif dari penonton.
Karakter Personal: Empathy, Sensation Seeking, Aggresiveness 8
Dikutip dari Elizabeth M. Pearse “Media Effect And Society” hal. 211
Empathy Empati dideskripsikan sebagai reaksi individu terhadap pengalaman mengamati dan ikut memposisikan diri seolah-olah berada dalam posisi orang lain yang sedang kita amati (Davis, 1994)9. Empati merupakan konstruk multidimensional yang melibatkan aspek kognitif sekaligus juga afektif dari individu. Tamborini mengemukakan bahwa perbedaan masing-masing individu dalam berempati berkaitan dengan respon emosional yang mereka berikan saat menonton film tersebut. Semakin besar kecenderungan respon emosional yang tampak saat menonton tayangan film horror tersebut, maka semakin besar pengaruh negative yang harus mereka rasakan. Semakin penonton berempati, maka mereka semakin tidak menyukai film horror yang berbau kekerasan seperti itu sebagai bentuk reaksi negative yang kuat atas penderitaan yang dirasakan oleh aktor dalam film tersebut. Sensation Seeking Zuckerman mendefinisikan sensation seeking ini sebagai sifat yang dibentuk oleh proses pencarian variasi, kompleksitas pengalaman dan sensasi yang intense, serta kemauan untuk mengambil resiko fisik, sosial, legal maupun financial untuk sebuah pengalaman tertentu. Pencarian sensasi/ tantangan ini tergantung dari level arousal masing-masing individu. Dari perspektif ini, individu sangat menikmati stimuli yang dihasilkan dari ketakutan dan ketegangan adegan kekerasan dalam film tersebut untuk mencapai level optimal arousal. Aggresiveness Agresifitas individu dapat dilihat dari seberapa besar mereka memiliki kecenderungan untuk menyukai tontonan yang berbau horror, kekerasan maupun sesuatu yang bersifat brutal. Para ahli juga melihat bahwa hubungan yang kuat antara kegiatan menonton kekerasan dan tingkat agresifitas seseorang mungkin tidak hanya sebagai refleksi efek dari tontonan kekerasan tersebut melainkan juga adanya proses selektivitas terhadap terpaan konten tersebut (selective exposure). Feningsten dan Heyduk (1985) melihat bahwa individu yang memiliki pemikiran yang agresif dan fantasi tentang kekerasan lebih tertarik untuk melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang lain, salah satunya melalui film. Hal tersebut dikarenakan dengan melihat berbagai tayangan kekerasan 9
Hoffner dan Levine, “Media Effects Research”, hlm.218
tersebut mereka mendapat bahan acuan untuk menjustifikasi perilaku mereka sendiri dan mampu mengurangi rasa bersalah atas sikap dan perilaku mereka.
Karakter Demografis: Gender Differences, Age Differences Gender Differences Berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa dibandingkan dengan perempuan, lakilaki memiliki kecenderungan lebih besar untuk menonton tayangan yang berkonten kekerasan, tak terkecuali film horror-thriller, dan mereka menikmati apa yang mereka tonton. Pola ini mungkin diturunkan dari proses sosialisasi peran gender. Cantor berpendapat bahwa anak laki-laki memiliki ketertarikan lebih besar terhadap hal-hal yang berbau kekerasan karena mereka memaknai nya sebagai perilaku yang dekat dengan maskulinitas yang jauh dari kesan “perempuan”. Perbedaan dari sisi gender ini dalam menikmati film horror tersebut merefleksikan internalisasi ekspektasi sosial tentang definisi laki-laki dan perempuan. Age Differences Kemampuan dan kemauan untuk menikmati konten media berbau horror dan kekerasan ini juga berkembang sesuai dengan usia audiens. Anak kecil usia sekolah masih memiliki kecenderungan yang minimal untuk menonton film horror karena masih dalam pengawasan orang tuanya, namun memasuki masa remaja mereka mulai tergiur untuk mencoba berbagai macam tontonan dan mencari tau sensasi yang mereka dapatkan dari tontonan tersebut, dan untuk usia orang tua sudah mulai menurun kecenderungan untuk menonton konten-konten yang penuh agresifitas10.
Dampak Tayangan Media Berkonten Kekerasan Efek-efek yang mungkin ditimbulkan akibat dari menonton tayangan yang memiliki konten kekerasan: Ada dua teori yang secara khusus digunakan untuk menjelaskan bagaimana tayangan ini mampu mempengaruhi aspek kognitif maupun afektif penonton yaitu melalui: Role Modelling (yang diadaptasi dari teori Social Learning-Bandura 1973 dan Teori 10
Ibid, hlm. 220-222
Excitation Transfer (Respon kognitif maupun psikologis saat menonton hiburan yang dramatis) oleh Zillman 1971. Role-Imitative Modelling sebagai kajian dari dampak media dikemukakan oleh Albert Bandura pada tahun 1960an yang dikenal sebagai "Bobo Doll". Ia melakukan kajian terhadap perilaku anak-anak yang seringkali memukuli boneka plastiknya setelah melihat tayangan dewasa yang mengandung konten kekerasan dan melakukan aktivitas yang sama seperti yang ada dalam tayangan tersebut. Hasil kajian Bandura ini kemudian menjadi poin rujukan dalam menganalisa agresi dalam berbagai kajian psikologi sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Comstock dan Scharer dalam kajian lanjutannya di tahun 1999 bahwa secara empiris ditemukan korelasi antara terpaan tayangan kekerasan dalam tv dan film dengan perilaku antisosial audiensnya. 1. Imitation Imitasi dari perilaku kekerasan yang ditayangkan dalam konten media (TV-Film) dipengaruhi oleh status penyerang (karakter, tampilan, popularitas dari bintang) (aggressor). Ketika aktor yang bertindak sebagai aggresors ditampilkan sebagai orang yang menarik, menawan secara penampilan, akan membuat audiens menerima kekerasan yang dilakukan dalam film sebagai hal yang mudah diterima. Menurut Donnerstein & Smith, 1997; Huesmann, Lagerspetz & Eron, 1984; Jo & Berkowitz, 1994), bahwa ada kecenderungan (dengan bukti) yang memperlihatkan bahwa daya tarik dan tingkat identifikasi agresivitas model mampu meningkatkan efek dari tayangan kekerasan di media tersebut11. 2. Excitation. Film yang menarik, yang merangsang adrenalin dengan berbagai representasi kekerasan yang ditayangkan mampu mempercepat detak jantung, memacu tekanan darah dan perubahan warna dan kerutan pada kulit. Zillman mengemukakan melalui konsep "excitation transfer" nya, bahwa emosi adalah respon secara psikologis saat kita menemui stimuli tertentu yang dipengaruhi pada faktor personal, sosial dan budaya.
11
David Glies, hlm. 54
Excitation transfer terjadi ketika adrenalin dihasilkan melalui stimulus yang dihasilkan melalui berbagai tayangan kekerasan yang ditampilkan dalam film maupun tv. Audiens secara sadar atau tidak akan ikut terpacu adrenalinnya dan pada akhirnya ikut mengalami konflik fisik sebagai bentuk residu dari pengalaman menonton tayangan kekerasan tersebut. Respon tersebut lebih mudah diukur untuk diamati dibanding dengan proses imitasi, terlebih karena sifatnya sbg respon jangka pendek Excitation transfer ini lebih mudah diamati karena ada kontrol terhadap kondisi respon audiens yang berbeda terhadap tiap bagian film tersebut. Mulai dari awal film hingga klimaks yang mempertontonkan adegan kekerasan yang memberi stimulus di level paling tinggi. Ketika penonton ikut terbawa ke titik frustasi atau marah, maka agresi tersebut berada di titik tertingginya (Fredman)12. 3. Desensitisation Selain kedua dampak diatas, ada hal yang juga menjadi isu penting berkaitan pula dengan excitation transfer, yaitu efek yang dihasilkan jika audiens menerima terpaan tayangan kekerasan tersebut secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama maka akan terjadi "kekebalan" atau "desensitisation".
Kesimpulan ……………..
12
Ibid, hlm. 55
View more...
Comments