Teori Dasar Penyemenan 01

April 26, 2017 | Author: Muhammad Afrizal Kautsar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Teori Dasar Penyemenan 01...

Description

DASAR TEORI PENYEMENAN Penyemenan lubang sumur perlu dilakukan terutama untuk menyekat zonazona pada sumur pemboran sehingga dapat mencegah masuk atau merembesnya fluida formasi yang tidak diinginkan ke dalam lubang sumur pemboran. Dengan penyekatan yang baik maka diharapkan dapat diperoleh produksi yang optimal. Secara umum fungsi dari penyemenan adalah : -

Melekatkan casing pada dinding formasi, agar kokoh dan kuat sehingga casing dapat berfungsi dengan sempurna.

-

Melidungi casing dari pengaruh lingkungan sekitar yang dapat merusak, seperti korosi dari air formasi, tekanan dan temperatur tinggi.

-

Menutup zona loss circulation.

-

Mengisolasi zona-zona di belakang casing sehingga tidak terjadi hubungan antar lapisan.

-

Mencegah penyusupan gas atau fluida formasi bertekanan tinggi ke ruang antara casing dengan formasi yang bias mengakibatkan kebakaran di permukaan.

-

Memperkecil gas-oil-ratio dan water-oil-ratio.

-

Memperbaiki casing yang pecah.

-

Menutup zona yang tidak diperlukan.

-

Memperbaiki kesalahan letak perforasi.

2.1. BAHAN-BAHAN PEMBENTUK SEMEN Suspensi semen yang digunakan dalam suatu operasi penyemenan sumur minyak, gas, atau panas bumi, terdiri dari komponen dasar berupa semen Portland dan zat penambah (additive) . semen Portland terbuat dari bahan-bahan mentah tertentu dimana pemilihan bahan-bahan tersebut sangat sangat berpengaruh terhadap komposisi bubuk semen yang diinginkan. Ada dua macam bahan mentah yang dibutuhkan dalam mengahasilkan semen Portland yaitu material calcareous

(limestone, chalk, marl yang mengandung CaCO3 dan CaO) dan material argillaceous (clay, shale, slate, ash yang mengandung SiO2, Al2O3 dan Fe2O3). Selain itu bahan ini dapat pula diperoleh dari sub-produk yang mengandung bahan-bahan seperti di atas. A.

Material Calcareous

Material ini mengandung kalsium karbonat dan kalsium oksida yang terdiri dari limestone dan batuan semen. Limestone adalah batuan yang terbentuk dari sebagian besar zat-zat organic sisa (kerang laut atau koral) yang terakumulasi. Limestone merupakan komponen dasar kalsium karbonat. Batuan semen merupakan batuan yang komposisinya serupa dengan semen batuan. Kapur termasuk dalam limestone yang kekuning-kuningan atau abu-abu dan halus yang sebagian besar berasal dari kerang laut. Marl atau tanah kapur merupakan tanah yang rapuh dan mengandung bahan-bahan pokok kalsium karbonat. Alkali waste adalah buangan dari pabrik-pabrik kimia yang mengandung kalsium oksida atau kalsium karbonat. B.

Material Argillaceous

Material ini berisi Clay atau mineral clay. Clay adalah bahan yang bersifat plastis bila basah dan keras bila dipanaskan. Terdiri dari sebagian besar hydrous alluminium silicate dan mineral lainnya. Shale merupakan batuan fosil yang terbentuk oleh penggabungan dari clay mud atau silt. Memiliki struktur butiran yang baik. Slate adalah yang padat dengan struktur butiran yang baik, dihasilkan oleh kompresi dari clay, shale dan batuan lain. Ash dihasilkan dari pembakaran batu bara, memiliki unsure silikat. 2.2 PROSES PEMBUATAN SEMEN

Pembuatan semen Portland dibedakan dalam dua proses, yaitu dry proses dan wet process. Perbedaan antara dua proses ini terletak pada proses peleburan materialmaterial mentahnya. Setelah melewati salah satu proses di atas, material-material tersebut akan melalui proses pembakaran, pendinginan dan penggilingan untuk kemudian dipak. 2.2.1. Proses Peleburan 2.2.1.1. Dry Process Material-material mentah sama-sama dihancurkan, lalu ditempatkan silo-silo untuk dianalisis komposisinya. Setelah didapat komposisi kimia yang sesuai, campuran tersebut dibawa ke klin. Campuran ini biasanya berukuran 100 – 200 mesh agar kontak antar partikel yang terjadi dapat maksimal.

Gambar 2.1. Proses pembuatan Semen Melalui Dry Process 2.2.1.2. Wet Process Proses ini lebih rumit dibandingkan dengan dry process karena lebih membutuhkan energi lebih besar untuk menguapkan air di klin. Material calcareous dicampur air agar kerikil-kerikilnya keluar. Kemudian kedua material mentah ini

digiling dalam “wet grinding mill” dan setelah didapat komposisi kimia yang diinginkan, campuran siap-siap dibawa ke klin.

Gambar 2.2. Proses Pembuatan Semen Melalui Wet Process 2.2.2. Proses Pembakaran Setelah melalui salah satu proses peleburan di atas (dry process atau wet process), campuran masuk ke dalam “rotary klin” dan dipanaskan perlahan-lahan melalui beberapa proses temperatur seperti berikut (API Spec. 10, Material and Testing for Well Cement): 100° C

= pembebasan air bebas

200° C

= dehidroksilasi mineral-mineral clay

900° C

= kristalisasi mineral-mineral clay yang mengalami dehidroksilasi dan dekomposisi CaCO3.

900 - 1200° C = reaksi antara CaCO3 atau CaO dengan aluminosilicates. 1250 - 1280° C = mulai terbentuk fasa liquid.

> 1280 ° C

= fasa liquid terus terbentuk, komponen-komponen semen terjadi.

Gambar 2.3. Proses Pembakaran 2.2.3. Proses Pendinginan Kualitas “klinker”, produk yang dihasilkan dari rotary klin sangat tergantung dari kecepatan dan metode proses pendinginan. Bila laju pendinginan lambat, akan dihasilkan produk yang baik dimana terjadi proses kristalisasi dari klinker akan meningkatkan kekuatan semen. Sedangkan bila pendinginan cepat akan dihasilkan produk seperti gelas yang mempersulit klinker digiling, ini dapat mengakibatkan kekuatan semen cepat naik tetapi tidak lama.

2.2.4. Proses Penggilingan Setelah klinker didinginkan perlahan-lahan dan ditempatkan di silo-silo, kemudian akan mengalami proses penggilingan. Selama proses penggilingan ini biasanya ditambahakan gypsum sekitar 3 – 5 % untuk mengontrol pembebasan CaO

guna mengheindari flash setting. Bubuk semen yang dihasilkan kemudian ditempatkan di silo-silo dan dipak. 2.3. KOMPOSISI KIMIA, KLASIFIKASI DAN ADDITIVE SEMEN 2.3.1. Komposisi Kimia Semen yang biasa digunakan dalam industri perminyakan adalah semen Portland, dikembangkan oleh Joseph Aspdin (1824). Disebut Portland karena awalnya bahan semen tersebut didapat dari pulau Portland, Inggris. Semen Portland ini termasuk semen hidrolis dalam arti akan mengeras bila bertemu atau bercampur dengan air. Semen Portland mempunyai empat komponen mineral utama yaitu: a. Tricalcium Silicate (C3S) Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2) dinotasikan sebagai (C3S), yang dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini merupakan yang terbanyak dalam semen Portland, 40 – 45% untuk semen yang lambat proses pengerasannya dan sekitar 60 – 65% untuk semen yang cepat proses pengerasannya (high early strength cement). Komponen (C3S) pada semen memberikan strength yang terbesar terutama pada awal pengerasan, maupun akhir . 3CaO + SiO3

3CaO.SiO2 (Tricalcium Silicate/C3S)

b. Dicalcium Silicate (C2S) Dicalcium Silicate (2CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C2S, yang juga dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO 2. komponen ini sangat penting dalam memberikan final strength semen karena karena C2S ini menghidrasinya lambat maka tidak berpengaruh dalam setting time semen, akan tetapi sangat menentukan kekuatan semen lanjut. Kadar C2S dalam semen tidak lebih dari 20%. 2CaO + SiO2

2CaO.SiO2 (Dicalcium Silicate/C2S)

c. Tricalcium Aluminat (C3A) Tricalcium Aluminat (3CaO.Al2O3) dinotasikan sebagai C3A, yang terbentuk dari reaksi antara CaO dan Al2O3. walaupun kadarnya lebih kecil dari komponen silikat, sekitar 15% untuk high-early strength cement dan sekitar 3% untuk semen yang tahan terhadap sulfat, karena hidrasi C3A mudah diserang sulfat, namun berpengaruh terhadap rheologi suspensi semen dan membantu proses pengerasan awal pada semen tetapi tidak menyumbang kekuatan akhir semen. 3CaO + Al2O3

3CaO. Al2O3 Tricalcium Aluminat (C3A)

d. Tetra Calcium Aluminoferit(C4AF) Tetra Calcium Aluminoferit (4CaO.Al2O3.Fe2O3)dinotasikan sebagai (C4AF)yang terbentuk dari reaksi CaO,Al2O3 dan Fe2O3. Komponen ini hanya sedikit pengaruhnya terhadap strength semen. API menjelaskan bahwa bila kadar C 4AF ditambah dengan dua kali kadar C3A tidak boleh lebih dari 24% untuk semen yang tahan terhadap kandungan sulfat tinggi. Penambahan oksida besi yang berlebihan akan menaikkan kadar

C4AF dan menurunkan kadar C3A dan

berfungsi menurunkana panas hasil reaksi/hidrasi C3S dan C2S. CaO + Al2O3 + Fe2O3

4CaO.Al2O3.Fe2O3

Selain empat dasar komponen yang ditemukan dalam klinker, semen portland dalam bentuk akhirnya dapat mengandung gypsum, alkali sulfat magnesia, lime bebas dan zat penambah lainnya. Pada konsentrasi normal, material-material ini tidak begitu mempengaruhi sifat set semen, tetapi mempengaruhi laju hidrasi, ketahanan terhadap serangan sulfat dan sifat bubur semen. Struktur butiran klinker bervariasi mengikuti material mentahnya, ukuran butirannya,

pemanggangan

dan

pendinginannya.

Variabel-variabel

tadi

mempengaruhi proses kristalisasi, berbagai hasil akhir dan porositas dari butiran klinker itu sendiri. Secara umum C3S (Alite), sebagai komponen mayoritas, mengkristal dalam bentuk partikel butiran. C 2S (Balite) mengkristal kecil-kecil, lebih

bundar yang mana tersebar di sekitar butiran C3S. C4AF membentuk fasa kontinyu di antara struktur butiran klinker. Distribusi permukaan dari komposisi yang berbeda penting dalam menentukan sifat semen. Kelas semen tertentu dengan spesifikasi yang sama dapat mempunyai kekuatan yang berbeda. Ini biasanya disebabkan perbedaan proses kristalisasi. Table II-1. Komposisi Semen API 3) KOMPOSISI SEMEN BERDASARKAN API Kelas Semen C3S (%) C2S (%) C3A (%) A 53 24 8+ B 47 32 5C (kuat awal tinggi) 58 16 8 D dan E 26 54 2 G dan H 50 30 5

C4AF (%) 8 12 8 12 12

2.3.2. Klasifikasi Semen American Petroleum Institute (API) telah melakukan klasifikasi semen Portland ke dalam beberapa kelas guna memudahkan pemilihan dan penggolongan semen yang akan digunakan

10)

. Klasifikasi ini didasarkan pada kondisi sumur dan sifat-sifat

semen. Kondisi sumur meliputi kedalaman, temperatur, tekanan dan kandungan kimia yang terdapat pada fluida formasi (seperti sulfat dan sebagainya). Klasifikasi semen yang dilakukan API terdiri dari: Kelas A Semen kelas A ini digunakan dari kedalaman 0 ft (permukaan) sampai 6000 ft (1830 m) dengan temperatur hingga 80°C. semen ini hanya terdapat dalam tipe biasa (ordinary) dan mirip dengan semen ASTM C-150 tipe I karena khusus untuk kondisi normal yang tidak diperlukan performance khusus.

Kelas B Semen kelas B ini digunakan dari kedalaman 0 ft (permukaan) sampai 6000 ft (1830 m) dengan temperatur hingga 80°C pada kondisi normal yang mengandung banyak sulfat. Tersedia jenis yang tahan terhadap sulfat dalam tingkat menengah (moderate) dan tinggi (high sulfate resistant). Kelas ini memiliki C3A lebih sedikit dibanding kelas A. Kelas C Semen kelas B ini digunakan dari kedalaman 0 ft (permukaan) sampai 6000 ft (1830 m) dengan temperatur hingga 80°C dan bersifat hig-early strength processI (proses pengerasan cepat) semen ini tersedia dalam jenis (moderate) dan tinggi (high sulfate resistant). Untuk mencapai pengerasan yang cepat, jenis ini memiliki kandungan C3S dan luas permukaan yang tinggi. Kelas D Semen kelas D digunakan untuk kedalaman 6000 ft (1830 m) sampai 10000 ft (3050 m) 10000 ft (3050 m) dengan temperatur dan tekanan agak tinggi (80 - 130°C). Semen ini tersedia dalam jenis (moderate) dan tinggi (high sulfate resistant). Kelas E Semen kelas E digunakan untuk kedalaman 10000 ft (3050 m) – 14000 ft ( 4270 m) dengan temperatur dan tekanan tinggi (130 - 145°C). Semen ini tersedia dalam jenis (moderate) dan tinggi (high sulfate resistant). Kelas F Semen kelas E digunakan untuk kedalaman 10000 ft (3050 m) – 16000 ft ( 4880 m) dengan kondisi temperatur dan tekanan tinggi (130 - 160°C). ). Semen ini tersedia dalam jenis (moderate) dan tinggi (high sulfate resistant).

Kelas G Semen kelas A ini digunakan dari kedalaman 0 ft (permukaan) sampai 8000 ft (2440 m) dengan temperatur 95°C, merupakan semen dasar. Bila ditambahkan retarder, semen ini bisa dipakai untuk sumur yang dalam dengan range temperatur cukup besar. Semen ini tersedia dalam jenis moderate dan high sulfate resistant. Kelas H Semen kelas H digunakan untuk kedalaman 0 ft (permukaan) sampai 8000 ft (2440 m) dengan temperatur 90°C, merupakan semen dasar. Tipe ini hampir sama dengan kelas G, hanya ukuran butirnya lebih besar. Biila ditambahkan accelerator dan retarder, semen ini bisa dipakai untuk sumur yang dalam dengan range temperatur cukup besar. Semen ini tersedia dalam jenis moderate dan

sulfate

resistant. Kelas G dan H dikembangkan untuk tujuan menerima zat-zat additive yang ditambahkan pada suspensi semen dalam penggunaannya pada formasi abnormal. Semen kelas G dan H adalah yang paling umum digunakan saat ini, dan tersedia dalam bentuk biasa, tahan kandungan terhadap sulfat menengah (MSR) dan tahan terhadap sulfat dalam jumlah yang tinggi (HSR) dalam arti kandungan sulfat pada air formasi yang dapat merusak kekuatan semen.

2.3.3. Additive Suspensi Semen Sistem semen portland ada yang di desain sampai temperatur 371 °C (700°F), misal untuk sumur-sumur panas bumi. Juga ada yang didesain untuk tekanan sampai 30.000 psi, misal untuk sumur-sumur yang dalam. Kondisi sumur ini memang

mempengaruhi dalam pemilihan jenis semen, namun sangat jarang untuk memilih semen hanya tergantung kondisi sumur saja, ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi dalam pembuatan suspensi semen misalnya, waktu dan harga. Selain itu untuk pembuatan suspensi semen juga memperhatikan sifat dari suspensi semen tersebut. Karena itu perlu ditambahkan ke dalam “neat semen” (suspensi semen yang hanya terdiri dari bubuk semen dan air) beberapa zat kimia (additive) agar dicapai hasil penyemenan yang diinginkan. A.

Accelerator

Accelerator adalah additive untuk mempercepat proses pengerasan suspensi semen sehingga thickening time lebih pendek. Selain itu juga bisa mempercepat naikknya strength semen dan mengimbangi additive lain ( seperti dispersant dan fluid loss control agent), agar proses pengerasan suspensi semen tidak tertunda. Sumur yang dangkal sering menggunakan accelerator karena selain temperatur dan tekanan rendah, juga untuk mencapai target tidak terlalu panjang. Contoh additive yang berlaku sebagai accelerator adalah kalsium klorida, sodium klorida, gypsum, sodium silikat dan air laut. C. A.1.

Kalsium Klorida

Umumnya penambahan kalsium klorida antara 2 – 4% saja ke dalam suspensi semen. Pengaruhnya dapat mempercepat thickening time dan menaikkan compressive strength.Kaitan antara kandungan kalsium klorida dengan sifat bubur semen ini digambarkan secara lebih jelas ke dalam tabulasi berikut :

Tabel II-2. Pengaruh Kalsium Klorida Terhadap Thickening Time dan Compreesive Strength31) THICKENING TIME SLURRY + ACCELERATOR THICKENING TIME (Jam : menit)

CaCl2 (%BWOC) 0 2 4 A.2.

91°C 4:0 1 : 17 1 : 15

103°C 3 : 30 1 : 11 1 : 02

113°C 2 : 32 1 : 01 0 : 59

Sodium Klorida Sodium klorida atau natrium klorida dengan kadar sampai 10 % BWOMW

(by weight on mix water) berlaku sebagai accelerator. B.

Retarder Retarder adalah additive yang dapat memperlambat proses pengerasan

suspensi semen sehingga suspensi tersebut punya cukup waktu untuk mencapai kedalaman target yang diinginkan, atau dengan kata lain thickening time-nya lebih panjang. Retarder sering digunakan pada penyemenan casing sumur-sumur yang dalam, bertemperatur tingi atau untuk kolom penyemenan yang panjang. Additive yang berlaku sebagai retarder antara lain: lignosulfonate, senyawasenyawa asam organik dan CMHEC. Mekanisme dari bahan-bahan tersebut di atas adalah memperkecil permeabilitas C-S-H gel yang menyelimuti partikel, sehingga akan memperlambat kontak dengan air. Bisa juga dengan memperbesar viskositas suspensi semen yang akan mengurangi kehilangan fasa cairnya. Penggunaan retarder juga diperlukan bila ke dalam campuran semen diberi additive lain dengan luas permukaan butiran besar (semen API kelas G perlu retarder lebih banyak dibanding semen kelas H). Tanpa memandang reaksi kimia yang terjadi, naiknya densitas bubur semen membutuhkan retarder untuk menghasilkan tickening time yang sama. B.1.

Lignosulfonate Lignosulfonate merupakan polymer yang terbuat dari pulp. Umumnya dengan

kadar 0,1 - 1,5 % BWOC (by weight on cement) efektif dicampur ke dalam suspensi

semen untuk berfungsi sebagai retarder. Lignosulfonate dapat berfungsi sampai temperatur 62 °C (144 °F), namun tetap efektif sampai temperatur 121 °C (250 °F). Dan bila ditambahkan sodium borate dapat bertahan sebagai retarder hingga temperatur 315 °C (600 °F). B.2.

CMHEC CMHEC (Carboxymethyl Hydroxyethyl Cellulose) merupakan polisakaride

yang terbentuk dari kayu dan tetap stabil bila terdapat alkalin pada suspensi semen. CMHEC tetap efektif sebagai retarder sampai temperatur 121 °C (250 °F). C.

Extender Extender adalah additive yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi

semen, yang berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi tersebut. Pada umumnya penambahaan extender ke dalam suspensi semen akan diikuti penambahan air. Penurunan densitas suspensi semen akan mengurangi tekanan hidrostatis selama penyemenan. Adapun yang termasuk extender antara lain: bentonite, attapulgite, sodium silikat, pozzolan, perlite dan gilsonite. C.1.

Bentonite Bentonite merupakan extender additive yang umum digunakan dan bersifat

banyak menghisap air, sehingga volume suspensi semen bisa menjadi 10 kalinya. API merekomendasikan bahwa tiap penambahan 1% bentonite akan ditambahkan pula 5,3 % (BWOC) yang berlaku untuk seluruh kelas semen. Pengaruh lain dari penambahan bentonite adalah yield semen naik, kualitas perforasi lebih baik, compressive strength menurun, permeabilitas naik, viskositas naik dan biaya lebih murah. untuk temperatur di atas 110 °C (233 °F), penambahan bentonite menyebabkan turunnya compressive strength secara drastis.

C.2. Sodium Silikat Sosium slikat dengan kadar 0,2 – 3 % BWOC dapat menurunkan densitas suspensi semen dari 14,5 ppg menjadi 11 ppg. Dan umumnya dengan bertambahanya kadar sodium silikat tersebut maka compressice strength semen akan turun. C.3. Pozzolan Pozzolan terbentuk dari material-material seperti aluminium dan silika yang bereaksi dengan kalsium hidroksida. Ada dua jenis pozzolan yaitu pozzolan alam seperti diatomaceous earth dan pozzolan buatan seperti fly ashes. Diatomaceous earth sebagai extender tidak memperbesar viskositas suspensi semen dan harganya cukup mahal. Sedangkan fly ashes dapat mempercepat naiknya compressive strength serta harganya sangat murah. C.4. Perlite Perlite merupakan extender yang berasal dari batuan vulkanik. Penambahan perlite biasanya diikuti dengan penambahan bentonite sekitar 2 – 4 % untuk mencegah terjadinya pemisahan dengan air. C.5. Gilsonite Gilsonite terjadi pada mineral aspal, yang mula-mula ditemukan di Colorado dan Utah. Dengan specifik gravity 1,07 dan cukup dengan jumlah air yang sedikit (sekitar 2 gal/ft3) akan didapat densitas suspensi semen yang rendah. Kadar gilsonite sampai 50 lb yang dicampur dengan 1 sak semen portland dapat menghasilkan densitas suspensi semen sekitar 12 ppg. D. Weighting Agent Weighting agent adalah additive yang berfungsi menaikkan densitas suspensi semen. Umumnya weighting agent digunakan pada sumur-sumur yang mempunyai tekanan formasi yang tinggi. Agar penggunaannya effektive, maka zat ini harus mempunyai ukuran partikel yang sesuai dengan ukuran butir semen dan tidak banyak

meresap air. Additive-additive yang termasuk di dalam weighting agent adalah,hematite, ilmeniteI, I barite, dan pasir. Bahan-bahan tersebut mempunyai densitas yang tinggi. D.1. Hematite Hematite adalah material berbebtuk kristal yang berwarna merah. Dengan mempunyai specipik gravity sebesar 5,02 maka hematite termasuk paling efisien sebagai weighting agent. Densitas suspensi semen bisa mencapai 19 -22 ppg bila ditambah hematite. D.2. Ilmenite Ilmenite merupakan additive yang terbaik sebagai weighting agent. Material ini merupakan inert solid dan tidak berpengaruh terhadap thickening time. Dengan mempunyai specifik gravity sekitar 4,4 maka suspensi semen bila ditambahan ilmenite bisa mencapai densitas lebih dari 20 ppg. D.3. Barite Barite merupakan additive yang paling umum digunakan sebagai weighting agent, baik untuk suspensi semen maupun dalam lumpur pemboran. Penambahan barite harus disertai pula dengan penambahan air untuk membasahi permukaan partikel barite yang besar. Dengan specifik gravity 4,23 maka barite dapat menaikkan densitas suspensi semen sampai sekitar 19 ppg. D.4. Pasir Pasir yang digunakan sebagai weighting agent adalah pasir ottawa. Dengan specifik gravity 2,63 maka densitas suspensi semen yang mengandung pasir ottawa ini dapat mencapai 18 ppg. Penggunaan pasir ottawwa ini biasanya digunakan untuk penyemenan lubang sebagai tempat pemasangan whopstock dan untuk plug job. E. Disparsant

Dispersant adalah addive yang dapat mengurangi viskositas suspensi semen. Pengurangan viskositas atau friksi terjadi karena disperant mempunyai kelakuan sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer, sehingga dapat mengalir dengan turbulen walaupun dipompakan dengan rate (laju) yang rendah dan telah menggunakan weighting agent. Additive yang tergolong dispersant adalah senyawa-senyawa sulfonate. E.1 Polymelamine Sulfonate Polymelamine sulfonate (PMS) dengan kandungan 0,4 % BWOC sering dicampur dengan suspensi semen sebagai dispersant. Sampai temperatur 85 0C (185 0

F), PMS tetap aktif karena unsur-unsur kimianya masih stabil.

E.2 Polynaphtalena Sulfonate Polynaphtalena sulfonate (PNS) dengan kandungan dispersant yang umum digunakan. Dan bila pada suspensi semen berisi NaCl, maka ditambahkan PNS sebanyak 4 % BWOC. F. Fluid-Loss Control Agent Fluid-loss control agent adalah additive yang berfungsi mencegah hilangnya fasa liquid semen kedalam formasi, sehingga terjaga kandungan cairan pada suspensi semen. Pada primary cementing, fluid loss yang diijinkan sekitar 150 -250 cc yang duukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan pada tekanan 1000 psi. Sedangkan pada squeeze cememting, fluid loss yang diijinkan sekitar 55- 65 cc. Namun fluid loss diusahakan tidak terjadi pada suspensi semen, dengan cara menambahkan additive fluid loss control. Additive yang termasuk di dalam fluid-loss control agent diantaranya hydroxyethyl cellulose (HEC), carboxymethyl hydroxyethyl cellulose (CMHEC), plyvinyl pyrrolidone (PVP) dan latex. Bahan-bahan tersebut menurunkan laju filrasi dengan dua cara, yaitu :



Membentuk film yang mengontrol aliran air dari suspensi semen dan mencegah terjadinya dehidrasi dengan cepat (mengurangi permeabilitas filter cake).



Memperbesar distribusi ukuran partikel sehingga menjebak fluida tetap di dalam suspensi semen ( meningkatkan viskositas fasa cairnya).

G. Loss Circulation Control Agent Loss circulation control agent merupakan additive yang mengontrol hilangnya suspense semen ke dalam formasi yang lemah atau berguna saat proses penyemenan berlangsung. Biasaanya material loss circulation control agent yang dipakai pada lumpur pemboran digunakan pula dalam suspensi semen. Additive yang termasuk dalam loss circilation control agent diantaranya suspensi kayu, serbuk gergaji, gilsonite, plastik, mika, cellophane flakes, gypsum, bentonite, dan nut shells yang berperan sebagai bahan penyumbat serta dapat mengurangi densitasnya. H. Specially Additive Ada bermacam- macam additive lainnya yang dikelompokkan sebagai specilly additive, diantaranya sillika, gelling agent, expanding additive dan lainnya. H.1.

Silica Silica biasanya digunakan pada sumur bertemperatur tinggi, yang berfungsi

untuk menjaga strength semen agar tetap stabil dan juga dapat menurunkan permeabilitas semen. Silika bereaksi dingan kalsium hidroksida membentuk dicalcium sillicate hydrate dan sebagian silika lagi bereaksi dengan alpha dicalcium sillicate hydrate membentuk mineral yang dikenal sebagai Tubermorite yang tetap memberikan strength semen yang kuat. H.2.

Mud Kill (Mud Decontaminants)

Mud Kill berfungsi sebagai additive yang menetralisir bubur semen terhadap zat-zat kimia dalam lumpur pemboran. Contoh mud kill adalah paraformaldehyde. Mud kill juga memberikan keuntungan, seperti memperkuat ikatan semen dan memperbesar strength semen. H.3.

Radioactive Tracers Radioactive tracers ditambahkan ke dalam suspensi semen supaya

memudahkan operasi logging dalam menentukan posisi semen dan mengetahui kualitas ikatan semen. Bahan-bahan yang biasa digunakan adalah iodine dan iridium. H.4.

Antifoam Agent Antifoam agent digunakan untuk mengurangi kelebihan busa pada saat

pembuatan suspensi semen yang dapat menimbulkan kavitasi dan pembentukan gel. Polypropylene glycol dan sillicon adalah contoh antifoam agent yang sering digunakan karena selain efektif juga murah harganya. H.5.

Strengthtening Agen Strengthtening agent digunakan untuk meningkatkan ketahanan semen

terhadap guncangan (shock resistance). Bahan-bahan yang termasuk di dalamnya antara lain adalah nylon, fiber dan ground rubber. H.6.

Gelling Agent Gelling Agent atau thyxotropy adalah additive yang mempu memberikan sifat

thixotropy kepada semen, yaitu membentuk struktur gel ketika tidak dipompakan. Additive-additive tersebut di atas berpengaruh terhadap satu atau lebih sifat fisik semen. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel II-3. Pengaruh Berbagai Additive Terhadap Sifat Fisik Semen

2.4.

PROSES HIDRASI SEMEN Hidrasi semen portland adalah suatu reaksi kimia yang terjadi antara zat padat

dan zat cair, sehingga larutan yang terjadi akhirnya akan mengeras. Pada suspensi yang digunakan dalam operasi penyemenan, hidrasi terjadi berurutan antara klinker, kalsium sulfat dan air, sampai akhirnya suspensi semen mengeras. Hidrasi semen portland ini hampir sama dengan hidrasi C3S sendiri, namun ada beberapa parameter yang harus ditambahkan. Hidrasi semen portland dapat dibedakan menurut kondisi temperatur lingkungan yang dialami, yakni hidarasi pada temperatur rendah dan hidrasi pada temperatur tinggi.

2.4.1. Hidrasi Pada Temperatur Rendah Proses hidrasi semen dibagi menjadi tiga tahapan yaitu: -

Reaksi awal yang cepat dan singkat pada menit-menit pertama.

-

Periode istirahat beberapa jam (Dormant Period).

-

Proses hidrasi lanjutan (Proses Pengerasan). Komponen-komponen pada semen portland merupakan komponen yang

anhydrous, yakni bila bertemu air maka komponen-kompoonen ini akan pecah membentuk komponen hidrat (seperti suspensi). Larutan yang tidak stabil dan kelewat jenuh terbentuk dan secara perlahan mengeras. Pada pengerasan ini mencakup gaya-gaya Van Der Walls, ikatan hidrogen dan gaya tarik ionik serta ikatan Si-O-Si. Peristiwa

hidrasi

semen

berhubungan

dengan

kelakuan

masing-

masingkomponen semen dalam lingkungan liquid dan kelakuan sistem semua komponen (semen portland). Keempat komponen utama semen portland mempunyai perbedaan dalam hidrasi kinetik dan membentuk produk hidrasinya yang akan dijelaskan dalam hidrasi fasa silikat dan aluminat.

Butiran semen

Water

Lapisan entrigite

Pertumbuhan serat (fibril)

Gambar 2.4. Proses Awal Hidrasi Air dan butiran semen bereaksi menghasilkan lapisan hidrasi pada permukaan butiran semen. Proses ini berlangsung beberapa menit sambil terus meresap ke dalam celah-celah antara butiran. Setelah beberapa jam (ukuran butaran bertambah kecil) berkembang dan terbentuk lapisan gel di antara butiran. Kemudian lapisan-lapisan gel ini mulai bergabung (kontinyu) sehingga kekuatan mulai terbentuk. Pada proses pengerasan ini gel tetap terbentuk. 2.4.1.1. Hidrasi Fasa Sillicate Fasa silikat dalam semen portland merupakan komponen yang paling banyak, biasanya lebih dari 80% total material. C3S adalah unsur utamanya, dengan konsentrasi sampai 70%, sedangkan kadar C2S tidak lebih dari 20%. Hasil reaksi kimia C3S dan C2S dengan air menghasilkan kalsium silikat hidrat (C-S-H) dan kalsium hidroksida (CaOH2), yang umum dikenal bernama Portlandite. Reaksinya adalah sebagai berikut: 2 C3S + 6H

C3S2H3 + 3CH

2 C2S + 4H

C3S2H3 + CH

Kalsium silikat hidrat sebenarnya tidak selalu berkomposisi C3S2H3, karena tergantung rasio C : S dan H : S. Hal ini tergantung konsentrasi kalsium dalam air, temperatur, keberadaan additive dan umur reaksi. Laju hidrasi keduanya ditunjukkan pada gambar 2.5 dan 2.6.

Kalsium silikat hidrat umumnya disebut dengan gel C-S-H, yang terdapat sekitar 70% dalam hidrat semen portland keseluruhannya dan merupakan bahan pengikat pada semen yang mengeras. Sedang kalsium hidroksida dalam bentuk kristal (heksagonal), konsentrasinya dalam semen sekitar 15 – 20%. Mekanisme hidrasi C2S sama dengan C3S yang berlangsung dalam proses eksotermik dan bisa dibagi dalam beberapa periode, yaitu: 1. Perinduction period 2. Induction period 3. Acceleration period 4. Deccelaration period 5. Diffusion Period

Gambar 2.5. Hidrasi C2S Terhadap Waktu

Gambar 2.6. Hidrasi C3S Terhadap Waktu Pada awal proses, hidrasi berlangsung singkat, fasa silikat mengalami periode reaktifitas lambat yang disebut dengan “Induction Period”. Namun periode ini tidak terlalu mempengaruhi rheologi suspensi semen. Hidrasi yang besar terjadi saat laju hidrasi C3S melalui laju hidrasi C2S, karena kelebihan laju hidrasi ini dan banyaknya gel C-S-H, hidrasi C3S sangat berpengaruh pada saat proses pengerasan semen dan pengembangan awal strength semen. Sedangkan hidrasi C2S berpengaruh pada final strength semen. a. Preinduction Period Lamanya periode ini hanya beberapa menit saja. Reaksi eksothermal yang besar pada periode ini diakibatkan oleh pembasahan bubuk semen dan kecepatan hidrasi awal. Lapisan awal gel C-S-H terbentuk disekeliling permukaan C3S yang anhydrous (Gambar 2.4.) Saat komponen C3S kontak dengan air, ion-ion O2 dan SiO4- berubah menjadi ionion OH- dan H3SiO4-. Reaksi ini berlangsung cepat dan diikuti dengan terputusnya permukaan berproton yang sesuai dengan reaksi berikut : 2 Ca3SiO5 + 8 H2O

6 Ca2+ + 10 OH- + 2 H3SiO4-

Kemudian larutan yang terjadi memjadi supersaturated (lewat jenuh) dan terjadi endapan gel C-S-H. 2 Ca2+ + 2 OH- + 2 H3SiO4-

Ca2(OH)2H4Si2O7 + H2O

Reaksi diatas mengumpamakan bahwa ratio antara C : S sama dengan 1 pada gel C-S-H awal dan jumlah anion silikat dalam gel C-S-H banyak pada waktu hidrasi yang berlangsung singkat. Terjadinya endapan gel C-S-H mengambil telpat permukaan C3S dimana mempunyai konsentrasi ionik yang besar, karenanya lapisan tipis terjadi di permukaan C3S. Kedua reaksi diatas dapat ditulis menjadi : 2 Ca3SiO5 + 7 H2O

Ca2(OH)2H4Si2O7 + 4 Ca2+ + 8 OH-

Selama periode ini, konsentrasi lewat jenuh kalsium hidroksida tidak tercapai, karena itu pada persamaan diatas ini konsentrasikapur bertambah selama proses hidrasi berlangsung.

Gambar 2.7. Skema Perubahan-Perubahan Dalam C3S Water System b. Induction period Selama periode ini, laju pembebasan panas turun. Penambahan gel C-S-H lambat, Konsentrasi Ca2+ dan OH- terus bertambah. Ketika kondisi superheated tercapai, pengkristalan kalsium hidroksida mulai terjadi. Pada temperatur lingkungan, lamanya periode ini berlangsung beberapa jam. c. Accleration Period dan Deceleration Period

Pada akhir periode induksi, hanya sedikit dari C3S yang menghidrasi. Pada acceleration period, padatan Ca(OH)2 mengkristal dan gel C-S-H terjebak kedalam ruangan kosong dalam air membentuk jaringan yang menyatu, dengan proses ini milai terbentuk kekuatan semen. Porositas sistem menurun karena kandungan hidrat. Akhirnya perpindahan ion-ion pada jaringan gel C-S-H terhalangi dan kecepartan hidrasi menurun. Periode ini berlangsung beberapa hari. Acceleration period dan decelaration period biasanya disebut “setting period”, karena cepatnya interval waktu antara kedua periode ini d. Diffusion Period Pada periode ini, hidrasi berlangsung dalam keadaan lambat dan porositas sistem berkurang. Jaringan produk hidrat menjadi lebih tebal dan strength bertambah besar. Kristal portlandite terus berkembang dan memakan buturan C3S yang berakibat hidrasi total tidak pernah terjadi. 2.4.1.2. Hidrasi Fasa Aluminate Fasa aluminate, terutama C3A sangat reaktif pada hidrasi yang berlangsung singkat. Walaupun kadar aluminate lebih kecil daripada kadar silikat, namun aluminate ini berpengaruh terhadap rheologi suspensi semen dan pembentukan strength semen pada awal periode. Hidrasi fasa aluminate yang terjadi pada komponen C3A dan C4AF umumnya sama, perbedaannya pada waktu hidrasi C4AF yang lebih lama dari waktu hidrasi C3A. Seperti pada C3S, maka langkah hidrasi awal C3A adalah reaksi antara permukaan solid dengan air. Reaksi irreversibel menuntun hidroksilasi anion AlO2dan O2- ke dalam (Al(OH)4)- dan OH- sehingga mengakibatkan terputusnya permukaan yang berproton. Ca3Al2O6 + 6 H2O

3 Ca2+ + 2 (Al(OH)4)- + 4 OH-

Larutan dengan cepat menjadi supersaturated sehingga timbul kalsium aliminate hidrat. 6 Ca2+ + 4 (Al(OH)4)- + 8 OH- + 15 H2O

Ca2(Al(OH)5)2.3H2O +2(Ca2Al(OH)7.6H2O)

Kedua reaksi di atas digabungkan menjadi : 2C3A + 27H

C2AH8

C2AH8 + C4AH19

Kalsium Aluminate hidrate pada persamaan ini hampir stabil kondisinya dan terjadi dalam bentuk kristal heksagonal. Kemudian berubah menjadi lebih stabil dalam bentuk kubik sebagai C3AH6, menurut reaksi di bawah ini: C2AH8 + C4AH19

2C3AH6 + 15 H

Tidak seperti calcium sillicate hydrate, calcium aluminat hydrate tidak amorphous dan tidak punya lapisan pelindung. Karenanya pada hidrasi fasa aluminate tidak ada periode induksi dan hidrasinya berlangsung cepat. Hidrasi C3A dikontrol dengan menambahkan 3 – 5 % gypsum pada klinker sebelum digiling. Ketika kontak dengan air, sebagian gypsum pecah. Ion-ion kalsium dan sulfat bereaksi dengan ion aluminate dan ion hidroksil membentuk calcium trisulfoaluminate hydrate yang biasa dikenal sebagai mineral ettringite, seperti terlihat pada reaksi di bawah ini: 6Ca2+ + 2(Al(OH)4)- + 3SO42- + 4 OH- + 26 H2O

Ca6 (Al(H6))2.2(SO4)3.26H2O

Ettringite terjadi dalam bentuk kristal jarum yang timbul pada permukaan C3A yang menghindari hidrasi berikutnya, jadi periode hidrasi seolah-olah dibuat. Selama periode ini gypsum secara perlahan-lahan habis dan ettringite terus timbul. Kemudian hidrasi C3A menjadi lebih cepat, saat gypsum mulai habis. Konsentrasi ion sulfat berkurang dengan tajam. Ettringite menjadi tidak stabil dan berubah jadi calcium monosulfoaluminate hydrate. C3A.3CS.32H + 2 C3A + 4H

3 C3A.CS.12H

Sedangkan C3A yang tidak menghidrat membentuk kalsium aluminate hidrat.

2.4.2. Hidrasi Pada Temperatur Tinggi Seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa semen portland terdiri dari paling banyak material kalsium silikat yang terdiri dari komponen trikalsium silikat dan dikalsium silikat. Penambahan air pada material tersebut akan membentuk gel kalsium silikat hidrat (gel C-S-H) yang akan mempengaruhi strength dan kestabilan semen pada temperatur biasa, selain itu sejumlah kalsium hidroksida dibebaskan. Gel C-S-H merupakan produk awal pada temperatur tinggi dan sebagai material pengikat pada temperatur kurang dari 110°C (230°F). Pada temperatur yang lebih tinggi, gel C-S-H tidak lagi stabil dan mengalami metamorfosis yang selalu menyebabkan turunnya compressive strength dan menaikkan permeabilitas semen. Kejadian ini umum disebut dengan Strength Retrogression (Swayze, 1954). Gel C-S-H sering berubah fasa menjadi Alpha Dicalcium Sillicat Hydrat yang membentuk kristal dan lebih padat dibanding gel C-S-H. Akibatnya mempengaruhi kelakuan compressive strength dan menaikkan permeabilitas semen sampai pada temperatur 230°C (446°F). Compressive strength akan hilang dalam waktu satu bulan dan permeabilitas naik. Masalah strength retrogresion dapat dicegah dengan menambahkan bubuk kapur silika dalam bubuk semen. Pada gambar 2.8. diperlihatkan kondisi macam-macam komponen kalsium silik. Rasio C : S diplot terhadap temperatur. Gel C-S-H mempunyai rasio rata-rata 1,5. terjadinya α C2SH pada 110°C (230°F) dapat dicegah dengan menambahkan 35 – 40%silika, sehingga mengurangi rasio C : S menjadi sekitar 1. pada kondisi ini sebuah mineral yang diketahui sebagai Tubermorite (C5S6H5) terbentuk yang memberikan sifat strength tinggi dan permeabilitas rendah dari semen dipertahankan. Kenaikkan temperatur sampai 149°C (300°F) menyebabkan tubermorite berubah menjadi Xonolite(C6S6H) dan sebagian kecil Gyrolite (C6S3H2). Namun kadangkadang tubermorite bertahan hingga temperatur 250°C (482°F) karena adanya pergantian alluminium dalam struktur atom semen portland. Pada temperatur 249 oC

(480 oF), Truscottite (C7S12H3) mulai terbentuk. Mendekati temperatur baik xonolite maupun truscottite mencapai keadaan yang stabil, tetapi bila melebihi temperatur stabil ini keduanya dapat menrusak semen.

Gambar 2.8. Kondisi bermacam-macam Komponen Kalsium Silikat

Disamping mineral-mineral di atas, terbentuk pula mineral-mineral lainnya seperti Pectolite (NC4S6H), Scawtite (C7S6H2), Reyelite (KC14S24H5) dan CalcioChondrodite. Namun mineral-mineral ini tidak terlalu mempengaruhi sifat-sifat semen. Semen yang mengandung pectolite selalu memberikan sifat permeabilitas yang rendah. Bentuk pectolite, sodium kalsium silikat hidrat, dalam pengembangan

semen membuat semen lebih tahan lama terhadap korosi oleh air formasi. Scawtite berpengaruh dalam peningkatan compressive strength semen meskipun hanya sedikit. Umumnya semen yang mengandung kalsium silikat hidrat dengan rasio kurang dari 1 cenderung mempunyai compressive strength yang tinggi dan permeabilitas rendah. Efek dari kombinasi trustcotite/pectolite diketahui makin lama dapat meningkatkan harga kompressive strength dan menurunkan permeabilitas. Pengaruh ini telah diujikan pada densitas campuran yang berbeda-beda dengan komposisi tertentu. Kecenderungan pengaruh terhadap korosi dari fluida sumur yang menembus semen dapat menjadikan peningkatan permeabilitas dan menurunkan strength semen. 2.4.3. Hidrasi Multi Komponen Hidrasi semend portland merupakan reaksi kimia berlapis yang berurutan antara komponen klinker, kalsium sulfat dan air yang secara bertahap menyebabkan pengentalan dan pengeringan suspensi semen. Meskipun hidrasi C 3S sering digunakan sebagai model hidrasi multi komponen, namun masih banyak parameter lain yang berpengaruh. Hidrasi semen portland merupakan proses penghancuran/pengendapan yang kompleks. Tidak seperti fasa tunggal murni, reaksi hidrasi multi komponen yang bermacam-macam bekerja secara serempak pada laju yang berbeda. Adanya beberapa fasa juga saling mempengaruhi, contohnya hidrasi C3A dimodifikasi oleh adanya hidrasi C3S karena terbentuk calcium hidroxide, akan memperbesar perlambatan hidrasi C3A oleh adanya gypsum tersebut. Tidak ada mineral klinker yang murni, hal ini tergantung pada komposisi bahan mentahnya dimana masing-masing klinker mengandung oksida yang berlainan.

Gambar 2.9. Skema Hidrasi Semen Portland Akibatnya reaksi hidrasi menjadi tidak murni, dimana gel C-S-H mengikat sejumlah

aluminat,

iron

oxide

dan

sulphur

sementara

ettringite

dan

monosulfoaluminate mengeadung silikat. Hidrasi merupakan suatu reaksi kimia yang terjadi antara zat padat dan zat cair, sehingga larutan yang terjadi akhirnya mengeras. Pada suspensi semen yang digunakan dalam operasi penyemenan, hidrasi yang terjadi adalah antara klinker, kalsium sulfat dan air sehingga suspensi semen tersebut akhirnya mengeras. 2.5.

SIFAT-SIFAT SEMEN Sifat-sifat semen yang perlu diperhatikan ketika melakukan operasi

penyemenan ialah (1) sifat bubur semennya, yaitu perbandingan air/semen, densitas bubur semen, sifat fluid-loss, karakteristik aliran, thickening time dan (2) sifat batuannya, yaitu compressive strength, shear bond strength, kemampuan penyekatan semen, penurunan kekuatan semen karena temperetur dan ketahanan terhadap sulfat. Sehingga diharapkan semen tersebut (Brook Haven National Laboratory, 1978)13) : -

Mempunyai densitas optimum.

-

Mudah dicampur dan dipompa.

-

Menghasilkan batuan semen yang impermeabel (k< 0,1 md).

-

Dapat langsung membentuk kekuatan setelah ditempatkan dalam lubang (CS > 1000 psi setelah 24 jam curing time).

-

Kekuatan batuan semen yang tahan lama (tidak menurunnya kekuatan setelah lama pada temperetur 750 oC dan bertemu air asin).

-

Dapat mengikat casing dan formasi dengan baik (SBS > 100 psi setelah 24 jam curing time).

2.5.1. Densitas Densitas suspensi semen didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah berat bubuk semen, air pencampur dan additive terhadap jumlah volume bubuk semen, air pencampur dan additive. Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap tekanan hidrostatik suspensi semen di dalam lubang sumur. Biala formasi tidak sanggup menahan tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan formasi pecah, sehingga dapat terjadi loss circulation. Densitas suspensi semen yang rendah sering digunakan dalam operasi primary cementing dan remedial cementing, guna menghindari terjadinya fracture pada formasi yang lemah. Untuk memperbesar densitas dapat ditambahkan pasir atau mineral-mineral pemberat seperti barite, hematite, ilmetite ke dalam suspensi semen. Sedangkan densitas suspensi semen yang yang tinggi digunakan bila tekanan formasi cukup besar atau formasi sloughing (tanggal), dimana densitas maksimum dapat dicapai dengan semen murni menggunakan water content minimum yang diinginkan antara 17,5 – 19 lb/gal. Water content rendah akan memudahkan pencampuran sampai 19 lb/gal dengan bantuan dispersant, tetapi jarang digunakan dalam primary cementing. Untuk menurunkan densitas dapat dilakukan dengan menambahkan clay atau zat-zat kimia silikat jenis extender atau menambahkan bahan-bahan yang dapat memperbesar volume suspensi semen seperti pozzolan, ceramic microsphere atau nytrogen. Heavy sluries (suspensi semen berat) digunakan

pada penyemenan primer, dimana selalu pemberatnya adalah material densitas tinggi, diikuti dengan normal atau sedikit dikurangi prosentase airnya. Pengukuran densitas di laboratorium berdasarkan dari data berat dan volume tiap komponen yang ada dalam suspensi semen, sedangkan di lapangan dengan menggunakan alat”pressurizied mud balance”. Untuk menentukan besarnya densitas, kita perlu mengetahui jenis formasi, tipe penyemenan, kemampuan pompa, permeabilitas batuan semennya itu semdiri. Batasan densitas ini ditentukan oleh API. 2.5.2. Thickening Time dan Viscositas Thickening time didefinisikan sebagai panjang waktu yang diperlukan suspensi semen dalam bentuk fluida pada kondisi laboratorium untuk mencapai konsistensi sebesar 100 Uc (unit of concistency). Konsistensi sebesar 100 Uc merupakan batasan bagi suspensi semen masih dapat dipompakan lagi menurut standart API. Dalam penyemenan, sebenarnya yang dimaksud dengan konsistensi adalah viscositas, cuma dalam pengukurannya ada sedikit perbedaan prinsip, sehingga penggunaan konsistensi ini dapat dipakai untuk membedakan viscositas pada operasi penyemenan dengan viscositas paada operasi pemboran (lumpur pemboran). Semen yang dipakai pada teknik pemboran gas dan panas bumi merupakan suspensi dari serbuk semen dengan jumlah air banyak dan mempunyai viscositas yang relatif rendah. Thickening time suspensi ini sangatlah penting. Waktu pemompaan harus lebih dari thickening time, karena bila tidak akan menyebabkan suspensi semen akan mengeras terlebih dahulu sebelum suspensi semen mencapai terget yang diinginkan. Dan bila mengeras di dalam casing merupakan kejadian yang sangat fatal dalam operasi pemboran selanjutnya. Di lapangan biasanya waktu ini dilebihkan 1 jam sampai 50 % lebih lama. Untuk sumur-sumur yang dalam dan untuk kolom penyemenan yang panjang, diperlukan waktu pemompaan yang lama, sehingga thickening time harus diperpanjang. Untuk memperpanjang atau memperlambat thickening time perlu

ditambahkan retarder ke dalam suspensi semen, seperti calsium lignosulfonat, carboxymethyl celluloce dan senyawa-senyawa asam organik.

Tekanan Pengkondisian (psi)

1500

1000

500

0 0

100

200

300

400

Thickening Time (menit)

Gambar 2.10 Hubungan Antara Thickening Time vs Tekanan Pengkondisian17)

Pada sumur-sumur yang dangkal maka diperlukan thickening time yang tidak lama, karena selain target yang akan dicapai tidak terlalu panjang, juga untuk mempersingkat waktu. Untuk mempersingkat thickening, maka dapat ditambahkan accelerator ke dalam suspensi semen. Yng termasuk accelerator adalah calcium chloryda, sodium chloryda gypsum, sodium sillicate, air laut dan addite yang tergiling dalam dispartant.

Gambar 2.11. Hubungan Thickening Time vs Temperatur Pengkondisian17) Perencanaanbesarnya thickening time bergantung pada kedalaman sumur dan waktu untuk mencapai daerah targen yang akan disemen. Di laboratorium pengukuran thickening time menggunakan alat High Pressure High Temperatur (HPHT) consistometer, yang disimulasikan pada kondisi temperatur dan tekanan sirkulasi. Thickening time suspensi semen dibaca bila poada alat tersebut telah menunjukkan 100 Uc untuk satandart API, namun ada perusahaan perusahaan lain yang menggunakan angka 70 Uc dengan pertimbangan faktor keselamatan kemudian diekstrapolasi ke 100 Uc. Kenaikkan temperatur pengkondisian memperkecil thickening time, juga kenaikkan tekanan pengkondisian (Gambar 2.10. dan 2.11.).

2.5.3. Filtration Loss Bervariasinya water content yang diberikan kedalam suspensi semen akan mempengaruhi sifat-sifat suspensi semen seperti thickening time, rheologi compressive strength dan lain lain. Dengan demikian, pada media permeabel jika diberikan suspensi semen murni akan kehilangan air akibat filtrasi, sampai hanya tertinggal intertitial water saja. Sehingga suspensi semen akan mengering dan sulit dipompakan.

filtrate

filtrate Dehidrate cement

Weak Zones

Fractured Weak Zones

Gambar 2.12. Flash Set Akibat Filtration Loss Yng Berlebihan10) Dari penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dari suspensi semen ke dalam formasi permeabel yang

dilaluinya. Cairan ini sering disebut juga dengan filtrat. Filtrat yang hilang tidak boleh terlalu banyak, karena akan menyebabkan suspensi semen kekurangan air. Kejadian ini disebut dengan flash set (Gambar 2.12.). Bila suspensi semen mengalami flash set maka akan mengakibatkan naiknya viscositas suspensi dan pembentukan filtrat cake dengan cepat. Hal ini akan menimbulkan friksi di annulus, menurunnya final strength semen dan juga dapat mengakibatkan pecahnya formasi dan loss circilation. Pengontrolan fluid loss merupakan bagian yang penting selama squeezing. Hal ini untuk menghindari dehidrsi suspensi semeen yang terlalu cepat dalam pipa dan untuk memberikan distribusi suspensi semen yang seragam ke dalam semua lubang perforasi. Tentu saja sejumlah water loss diinginkan jika suspensi semen membentuik filtrat cake yang diinginkan untuk menyumbat lubang perforasi. Pengujian filtration loss di laboratorium menggunakan alat filter pres pada kondisi temperatur yang disesuaikan dengan temperratur sirkulasi dengan tekanan 100 psi (700 kPa) atau 1000 psi (6900 kPa). Namun filter press mempunyai kelemahan yaitu temperatur maksimum yang bisa digunakan hanya sampai 82 oC (180 oF). Filtration loss diketahui dari volume filtrat yang ditamoung dalam sebuah tabung selama 30 menit masa pengujian. Filtrat yang terjadi disarankan untuk penyemenan casing antara 100 sampai 200 ml/30 menit di bawah tekanan 1000 psi 15). Untuk squeeze atau liner cementing antara 50 sampai 150 ml selama 30 menit. Additive yang biasa digunakan untuk f;uid loss adalah synthetic organik liquid polymer dan cellulosic derivate. Bentonite juga digunakan untuk mengontrol fluid loss (400-500 ml/30 menit) dan dapat juga digunakan pada densitas rendah. 2.5.4. Water Cement Ratio Water Cement Ratio adalah perbandingan air yang dicampur terhadap bubuk semen sewaktu suspensi semen dibuat. Jumlah air yang dicampur harus sesuai karena akan mempengaruhi baik buruknya ikatan semen.

Pertimbangan yang dipakai dalam menentukan WCR adalah kehalusan butiran bubuk semen, karakteristik aliran slurry sat dipompakan, kekuatan pompa, densitas bubur semen,permeabilitas batuan semen. Pada umumnya perbandingan berat air dengan semen berkisar antara 0,4 – 0,6 untuk membuat suspensi konvensional.Striebel dan Czernin dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa WCR sebesar 0,25 sampai 0,26 merupakan kebutuhan minimum suspensi semen untuk melakukan hidrasi komplit dari jenis semen portland, dengan istilah chemical bund water. Hubungan WCR dengan densitas dapat dilihat pada gambar 2.14. Battasan jumlah air dalam suspensi semen didefinisikan sebagai kadar minimum dan maksimum. A.

Kadar Minimum Air Kadar minimum air adalah jumlah air yang dicampurkan tanpa menyebabkan

konsistensi suspensi semen lebih dari 30 Uc selama 20 menit pertama pada temperatur 80ºF (27ºC). Bila air yang ditambahkan lebih kecil dari kadar minimumnya, maka akan terjadi pergesekan (friksi) yang cukup besar di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan dan juga akan menaikkan tekanan di annulus. Kadar air yang normal bila konsistensi semen menunjukkan angka sekitar 11 Bc. B.

Kadar Maksimum Air Kadar maksimum semen yang diberikan setiap kelas semen adalah sebanding

dengan jumlah sisa partikel semen dalam suspensi hingga initial set terjadi. Laju pengendapan untuk kelas-kelas semen sebagian besar tergantung pada luas permukaan, komposisi kimia dan WCR. berdasarkan anggapan ini, maksimum WCR semen ditetapkan sebagai jumlah maksimum air yang dicampur dengan semen tanpa menyebabkan pemisahan lebih dari 3,5 ml air bebas ketika 250 slurry didiamkan selama 2 jam pada temperatur ruang pada sebuah silinder.

WCR vs Densitas

WATER CEMEN T RATIO (GALLON S (WATER/ SACK CEMEN T)

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 13

14

15

16

17

18

WEIGHT OF CEMENT SLURRY (LBS PER GALLON)

Gambar 2.13. Hubungan Antara WCR Terhadap Densitas Jumlah air yang terlalu sedikit akan menyulitkan pemompaan, sedangkan bila terlalu banyak akan menurunkan kekuatan semen karena naiknya permeabilitas semen. Jadi kadar air yang terdapat dalam suspensi semen harus berada antara kadar minimum dan maksimumnya. Kandungan air normal dalam suspensi semen yang direkomendasikan API terdapat pada Tabel II-4.

Tabel II-4. Kandungan Air Normal Dalam Suspensi Semen API API Class

Water (%) by

Cement

Weight of

gal per sack

L per sack

Cement 46 56 38 44 -

5,19 6,32 4,29 4,97 -

19,6 23,9 16,2 18,8 -

A and B C D,E,F and H G J (tentative)

Water

2.5.5. Waiting On Cement (WOC) Waiting On Cement adalah waktu yang dihitung untuk pengerasan suspensi semen atau waktu yang dihitung saat wiper plug diturunkan sampai kemudian plug dibor lagi untuk trayek selanjutnya. Untuk mempercepat WOC perlu ditambahkan accelerator ke dalam suspensi semen. Hal ini sering digunakan pada penyemenan sumur dangkal dan target penyemenan yang tidak terlalu panjang, sedangkan untuk memperlambat WOC ditambahkan retarder ke dalam suspensi semen. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti tekanan dan temperatur sumur, WCR, Compressive Strength dan additive-additive yang dicampur ke dalam suspensi semen, pada umumnya diambil angka 24 jam. 2.5.6. Permeabilitas Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras dan bermakna sama dengan permeabilitas batuan formasi yaitu kemampuan mengalirkan fluida. Dalam operasi penyemenan, permeabilitas yang diinginkan sekecil mungkin bahkan tidak ada. Karena bila bila permeabilitas semen besar akan menyebabkan timbulnya kontak fluida sehingga strength semen berkurang. bertambahnya permeabilitas semen bisa

diakibatkan oleh air pencampur yang terlalu banyak, kelebihan additive atau temperatur yang tinggi. 2.5.7. Strength Strength pada semen dibagi dua yaitu compressive strength

dan shear

strength. Compressive Strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun casing. Sedangkan shear strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan gaya geser oleh berat casing. Pada kondisi normal semen akan mendapat gaya compressive yang menahan tekanan-tekanan dari arah horisontal dan shear strength menahan tekanan dari arah vertikal. Nilai compressive strength dipengaruhi oleh temperatur pengkondisian, tekanan pengkondisian, lama waktu pengerasan, kadar air semen (WCR), kehalusan butir dan merupakan fungsi langsung dari permeabilitas batuan semen. Pada temperatur tinggi, harga compressive strength semen dipengaruhi oleh keahulsan bubuk silika yang ditambahkan. gambaran pengaruh temperatur dan tekanan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.14. dan 2.15. Dari gambar tersebut bisa dilihat bahwa tekanan pengkondisian diatas 2000 psi sudah tidak memberikan kenaikan compressive strength yang berarti, jadi untuk tujuan praktis pengkondisiansuatu percobaan, dapat digunakan tekanan ± 1000 psisebagai simulasi kondisi bawah sumur. 10%

40%

Semen 30% dan casing menerima beban 0% compresive dan tensile yang sangat tinggi Persentase Silica Flour

dari batuan di sekitarnya. Setelah pemboran kondisi batuan tidak stabil. Batuan 8

Compresive Strength (1000 psi)

mempunyai yield dibawah kondisi strain tektonis dan ini diterimakan pada casing dan 7

semen. Pada6kondisi ini semen dan casing tidak lebih dari lapisan yang menyelubungi suatu lubang5 yang menerima beban dari dua arah, luar dan dalam. 4 3 2 1 0 100

120

140

160

180

200

220

240

Temperatur (degree of C)

260

280

300

Gambar 2.14. Hubungan antara Compressive Strength trehadap Temperatur

Compressive Strength (1000 psi)

8

7

6

5 0

1

2

3

4

5

6

7

8

Curing Pressure (psi x 1000)

Gambar 2.15. Hubungan antara Compressive Strength trehadap Tekanan Overburden Pressure

Casing

Deformable / Plastic Formation

Cement

Hydrostatic Pressure

Gambar 2.16. Pembebanan Terhadap Selubung Semen Menurut Cheatam, semen dalam annulus di antara lapisan garam dan casing menerima kompresi oleh tekanan lapisan garam. Hal ini akan mengurangi pemancaran stress ke casing. Pengurangan ini besarnya sekitar 5% pada casing 8 5/8 inches di lubang 12 1/4 inches. Dalam mengukur strength semen, seringkali yang diukur adalah compressive strength, yang umumnya berharga 8 sampai 10 kali lebih dari harga shear strength. Pengujian sifat ini di laboratorium menggunakan alat “Curring Chamber dan Hydraulic Mortar”. Curring Chamber dapat mensimulasikan kondisi lingkungan semen untuk temperatur dan tekanan tinggi sesuai dengan kondisi dalam formasi. Hydraulic mortar adalah mesin pemecah semen yang sudah mengeras dalam chamber. Strength minimum yang direkomendasikan API untuk dapat melanjutkan operasi pemboran adalah 6,7 Mpa (1000 psi. Untuk mencapai hasil penyemenan yang diinginkan maka strength semen harus dapat : -

Melindungi dan menyokong casing

-

Menahan tekanan hidrolik yang tinggi tanpa terjadi perekahan.

-

Menahan goncangan selama ooperasi pemboran.

-

Menyekat lubang dari formasi yang korosif.

-

Menyekat antar lapisan yang permeabel.

Gambar 2.17. Tensile Strtength Semen Pada Simulasi 2000 psi vs Waktu Ikatan semen yang baik adalah tujuan utama dari penyemenan primer Beauden dan Lane (1961) merancang percobaan sederhana untuk menentukan shear bond strength pada pipa. Mereka menyimpulkan bahwa sifat tersebut sangat dipengaruhi berbagai faktor.Kenaikan tensile strength menaikkan shear bond strength (walau keduanya tak punya hubungan khusus, Farris) yang mana bergantung pada

komposisi semen, temperatur, tekanan pengkondisian serta waktu. Selain itu juga kekerasan permukaan casing dan hadirnya pengotor lumpur atau minyak. Becker dan Peterson, 1963 menyatakan bahwa shear bond strength dipengaruhio gaya adhesi, derajat hidrasi semen. berlaku secara umum bahwa kuat tarik semen besarnya sekitar 1/12 dari compressive strength. Tensile strength selama 30 hari umumnya memiliki perilaku seperti dapat dilihat pada gambar 2.17. Mengikuti anggapan ini, Farris menyimpulkan bahwa compressive strenth paling rendah (100 psi) diperlukan untuk mendukung casing seperti yang ditunjukkan tabel II-5 dan II-6. Namun demikian, praktek pemboran yang jelek dapat meruntuhkan selubung semen. Tabel II-5. Cement Bond Strength Cement Bond Strength (After Farris) Cement Age

Force to Break 4-ft

Cement Tensile

(hr)

Cement Bond

Strength

(lb)

(psi)

Remarks

1.83

400

0

Soft cement slurry

2.33

550

0

Soft cement slurry

3.08

1300

0

Initial set

3.66

4000

4a

Cement stiffning rapidly

4.42

18200

8a

Final set

5.50

20000+

12

Couldn’t break bond

6.50

20000+

20

Couldn’t break bond

Tabel II-6.

Daya Dukung Semen Terhadap Panjang Pipa

Cement Age (hr)

Strength of Cement (After Farris) Force to Break 4-ft Lenght of Pipe Suport by 1 ft of Cement Cement Bond (lb)

1.83 2.33 3.08 3.66 4.42

100 137 325 1000 4550

51/2” , 17 lb 5.8 8.0 19.1 58.8 267.5

7 in, 24 lb

133/8 in 72 lb

4.1 5.7 13.5 41.6 189.6

1.3 1.9 4.5 13.8 63.1

Shear bond strength tidak punya hubungan khusus dengan compressive strength, Parcevaux dan Sault (1984). Namun agar semen punya kekuatan mengikat, ia harus punya compressive strength yang cukup. Semen standar umumnya memiliki SBS 1000 psi, sedangkan semen dengan additive bond-enhancing agent (BA) mempunyai rentang SBS sekitar 1800 psi. Bila suatu reservoir mempunyai batuan dengan tensile strength lebih dari 1000 psi, maka untuk sistim semen standar akan terjadi ikatan semen casing hancur lebih dahulu sehingga terjadi mikro annulus, hal ini menyebabkan terjadinya fluid loss saat melakukan hidraulic fracturing. Permeabiltas semen dan shear bond strength semen adalah dua faktor yang mempengaruhi daya isolasi semen. Sebagai gambaran, umumnya semen punya yang sangat kecil sekitar 0,001 md. harga permeabilitas ini menjadi sangat berarti bila daerah sumur mengandung air korosif atau gas korosif . Sebagai aturan umum berlaku bahwa harga permeabilitas ini berbanding terbalik dengan kandungan solid campuran semen. Karena ikatan semen dengan casing merupakan sifat fisik, maka penyusutan semen saat mengeras dan kontraksi casing saat mendingin dapat merusak ikatan ini. Hal tersebut akan mengakibatkan terbentuknya mikro annulus yang cukup permeabel untuk mengalirkan fluida. Dalam kasus seperti ini perlu adanya sistem semen yang dapat mengembang ketika sedang mengeras.

2.5.8. Pengaruh Tekanan Dan Temperatur Tinggi Meningkatnya tekanan dan temperatur di atas tekanan atmosfir menghasilkan penurunan thickening time terhadap sebagian bubur semen. Sehingga pada kondisi ini suspensi semen perlu ditambahkan additive retarder untuk memperpanjang thickening timenya. Meningkatnya tekanan di bawah kondisi isothermal akan meningkatkan compressive strength. Pengaruh meningkatnya temperatur akan mempersulit keadaan. Compressive strength dari sebagian bubur semen akan meningkat kerapatanya sampai mencapai temperatur kritis, biasanya antara 200°F sampai 240°F. Di atas harga ini maka compressive strength akan menurun. Pengaruh temperatur pada compressive strength terlihat pada gambar 2.14. Tekanan formasi yang dikenakan pada semen saat mengeras dapat meningkatkan compressive strength. Tetapi nila tekanan pengkondisian melebihi 2000 psi, tidak akan memberikan kenaikan compressive strength yang berarti lagi. Untuk tujuan praktis pengkondisian suatu percobaan, tekanan yang digunakan kurang lebih minimal sama dengan 1000 psi sebagai simuloasi kondisi sumur (Gambar 2.15.) 2.5.9. Pengaruh Silika Terhadap Strength Semen Sampai Temperatur 200°C Pada sumur panas bumi, berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa temperatur diatas 110°C (230°F), semen akan kehilangan compressive strengthnya. Dimana semakin tinggi temperatur, maka semakin besar strength yang hilang. Kehilangan strength ini diikuti kenaikkan permeabilitas semen yang disebabkan terbentuknya Alpha Dicalcium Silicate Hydrate (α-C2SH). Untuk mengatasi hal ini maka dapat ditambahkan silika dalam suspensi semen. Suspensi tersebut akan bereaksi dengan silika secara efektif

di atas

temperatur 110°C (230°F) membentuk kalsium silikat komplkeks yang dikenal dengan nama strength semen.

Tubermorite yang bisa menjaga bahkan menaikkan compressive

Penambahan silika sekitar 35 – 40 % BWOC akan mengurangi perbandingan C dan S dari rata-rata 1,5 menjadi 1. kenaikkan temperatur sampai 150°C (300°F) menyebabkan tubermorite menjadi Xonolite (C6S6H) dan sebagian kecil Gyrolite (C6S3H2), namun kadang-kadang tubermorite bisa bertahan sampai temperatur 250°C (482°F), karena adanya pergantian alluminium dalam struktur atom semen portland. Pada temperatur 249°C (480°F), Truscottite (C7S12H3) mulai terbentuk dan stabil pada temperatur mendekati 400 °C (750°F). Lebih dari temperatur ini maka material tersebut akan merusak semen. Dari hasil pengujian terhadap compressive strength dengan dan tanpa silika sampai temperatur 200°C dapat disimpulkan bahwa suspensi semen yang digunakan dalam operasi penyemenan untuk temperatur dibawah 120°C adalah suspensi semen tanpa kandungan silika, karena silika di bawah temperatur tersebut masih dalam kondisi inert solids. Sedangkan untuk temperatur di atas 120°C suspensi semen yang digunakan mengandung silika 30 – 40%, sebab pada kondisi ini compressive strength dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF