Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas
July 1, 2019 | Author: IntanPutriInsyiroh | Category: N/A
Short Description
metode pengujian stabilitas...
Description
TEKNIK PENINGKATAN DISOLUSI DAN BIOAVAILABILITAS Feb
11 Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting (rate-limiting step) step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi
onset,
durasi
dan
intensitas
respon,
dan
mengontrol
keseluruhan
bioavailabilitas obat dari suatu sediaan. Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan permeabilitas suatu obat/new obat/new chemical entity (NCE) entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kelarutan tinggi – permeabilitas permeabilitas tinggi Kelarutan rendah – permeabilitas permeabilitas tinggi Kelarutan tinggi – permeabilitas permeabilitas rendah Kelarutan rendah – permeabilitas permeabilitas rendah
Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan d an III). Pada kasus kelas II I I yaitu obat o bat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat tersebut juga meningkat. Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug (Pro-drug approach) approach) 2. Sintesis bentuk garam (Salt (Salt synthesis) synthesis) 3. Pengecilan ukuran partikel (Particle (Particle size reduction) reduction )
4. Pembentukan komplek (Complexation (Complexation)) 5. Perubahan bentuk fisik (Change (Change in physical form) form) 6. Dispersi padat (Solid (Solid dispersions) dispersions) 7. Pengeringan semprot (Spray (Spray dryng ) 8. Hot-melt extrusion Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas/ shelf-life, shelf-life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya besarn ya kelarutan yang diinginkankan
TEKNIK PENINGKATAN DISOLUSI DAN BIOAVAILABILITAS Feb
11 Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting (rate-limiting step) step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi
onset,
durasi
dan
intensitas
respon,
dan
mengontrol
keseluruhan
bioavailabilitas obat dari suatu sediaan. Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan permeabilitas suatu obat/new obat/new chemical entity (NCE) entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kelarutan tinggi – permeabilitas permeabilitas tinggi Kelarutan rendah – permeabilitas permeabilitas tinggi Kelarutan tinggi – permeabilitas permeabilitas rendah Kelarutan rendah – permeabilitas permeabilitas rendah
Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan d an III). Pada kasus kelas II I I yaitu obat o bat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan
absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat tersebut juga meningkat. Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach) 2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis) 3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction) 4. Pembentukan komplek (Complexation) 5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form) 6. Dispersi padat (Solid dispersions) 7. Pengeringan semprot (Spray dryng ) 8. Hot-melt extrusion Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas/ shelf-life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan
Biofarmasetika 1.1 Latar Belakang
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisi kokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Biovailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Oleh karena bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 2005). Obat yang berbeda menunjukkan bioavabilitas yang berbeda pula. Hal ini karena perbedaan sifat fisiko kimianya, seperti kelarutan dalam air, koefi sien partisi, stabilitas dan lain-lain. Pada setiap produk menunjukkan bioavabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk sediaan. Bahkan untuk bentuk sediaan yang sama kadang antar pabrik memberikan perbedaan bioavabilitas, karena bisa bisa disebabkan oleh bahan pengisi yang berbeda. Produk yang sama pada
pasien yang berbeda sering menimbulkan bioavabilitas yang berbeda pula, sehingga perlu individual dosis. Dan perbedaan pemakaian sesudah atau sebelum makan juga memberikan perbedaan bioavabilitas. Jadi, dapat disimpulkan factor yangdapat mempengaruhi bioavabilitas obat, yaitu : 1.
Faktor Obat (sifat fisiko-kimia)
2.
Faktor Pabrik (Formulasi Sediaan)
3.
Faktor Pasien (Fisiologi dan Patologi saluran cerna) Dari ketiga factor di atas, factor pabrik lah yang paling sering dimodifikasi. Oleh karena itu, kami mempraktekan disolusi antara obat generic dan obat paten. Dimana obat yang kita gunakan adalah paracetamol tablet 500 mg dan panadol tablet 500 mg.
1.2 Tujuan
Tujuan dari dilakukannya praktikum ini adalah : 1.
Untuk melihat perbedaan disolusi antara obat generic dan obat paten.
2.
Membandingkan hasil disolusi dari obat generic dan obat paten.
1.3 Manfaat
Diharapkan dengan dilakukannya praktikum ini, mahasiswa/I dapat memahami tentang : 1.
Cara kerja obat di dalam tubuh.
2.
Waktu hancur sediaan obat di dalam tubuh.
2.1 Disolusi
2.1.1 Pengertian Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses. Disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi kerakteristik disolusi obat dari sediaan.
2.1.2 Kecepatan Pelarutan
Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larutan bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahannya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablet biasanya diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet kedalam medium penerima.
2.1.3 Teori Disolusi
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah:
Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu
lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film.
Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan – larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat
– cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
Model Dankwert (Dankwert Model)
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dia nggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disolusi
Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah:
Suhu
Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas
Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.
PH
pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.
Ukuran Partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.
Polimorfisme dan Sifat Permukaan Zat
Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.
Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara in vitro antara lain adalah:
Sifat Fisika Kimia Obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.
Faktor Formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.
Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan.
Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
2.1.5
Metode Pengujian Disolusi
Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:
Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.
Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution eff iciency (DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Y100.t
Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
Metode Wagner
Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.
Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut
ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )
Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.
2.1.6
Alat Uji Disolusi
Pengujian disolusi hampir di semua negara telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing Farmakope, seperti kecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan masing-masing Farmakope.
Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk berbentuk dayung. Dalam Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan dayung.
2.1.7
Teknik Meningkatkan Kecepatan Disolusi
Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan. sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)
Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)
Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)
Pembentukan komplek (Complexation)
Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)
Dispersi padat (Solid dispersions)
Pengeringan semprot (Spray dryng)
Hot-melt extrusion
2.2
Acetaminophen (Paracetamol)
N-asetil-4-aminofenol
Rumus Empiris : C8H9NO2 BM
: 151,16.
Asetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih : tidak berbau ; rasa pahit. Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p : larut dalam larutan alkali hidroksida. Suhu lebur : 169 ⁰ C sampai 172⁰ C. Timbal tidak lebih dari 10 bpj. Surut pengeringan tidak lebih dari 0,5%. Sisa pemijaran tidak lebih dari 0,1%.
Penetapan kadar dengan cara penetapan kadar nitrogen, menggunakan 300 mg yang ditimbang seksama dan 8 ml asam sulfat bebas nitrogen P. 1 ml asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg C 8H9NO2.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya. Khasiat dan penggunaan Analgetik dan Antipiretik. Efek amping : Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan. Kelebihan dosis : Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut. Mekanisme Aksi : Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah. Dosis Lazim : 1. Sekali minum : 500 mg ; 2. Sehari : 500 – 2000 mg.
2.3
Panadol Tablet
Indikasi:
Meringankan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit otot, dan menurunkan demam yang disertai flu dan demam sesudah vaksinasi.
Kontra Indikasi:
Pada penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol, dan penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat.
Deskripsi:
Efek analgesik dan antipiretik parasetamol sama dengan golongan salisilat. Khasiat analgesik parasetamol timbul karena efek depresi selektif terhadap alat resepsi rasa sakit rasa sakit pada talamus dan hipotalamus disusun saraf pusat. Parasetamol menurunkan suhu badan melalui efek langsung terhadap pusat-pusat pengatur suhu di susun saraf pusat, memperbanyak pengeluran panas badan dengan meningkatkan peredaran darah tepi/perifer dan berkeringat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://dormatio.blogspot.com/2013/05/definisi-biofarmasetika.html
2.
http://hendra-stenly.blogspot.com/2012/02/disolusi.html
3.
Farmakope Indonesia Edisi Ketiga 1979.
4.
http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol
5.
http://www.dechacare.com/Panadol-Tablet-P125.html
Biofarmasetika 1.1 Latar Belakang
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikoki mia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Biovailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Oleh karena bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 2005). Obat yang berbeda menunjukkan bioavabilitas yang berbeda pula. Hal ini karena perbedaan sifat fisiko kimianya, seperti kelarutan dalam air, koefi sien partisi, stabilitas dan lain-lain. Pada setiap produk menunjukkan bioavabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk sediaan. Bahkan untuk bentuk sediaan yang sama kadang antar pabrik memberikan perbedaan bioavabilitas, karena bisa bisa disebabkan oleh bahan pengisi yang berbeda. Produk yang sama pada pasien yang berbeda sering menimbulkan bioavabilitas yang berbeda pula, sehingga perlu individual dosis. Dan perbedaan pemakaian sesudah atau sebelum makan juga memberikan perbedaan bioavabilitas. Jadi, dapat disimpulkan factor yangdapat mempengaruhi bioavabilitas obat, yaitu :
1.
Faktor Obat (sifat fisiko-kimia)
2.
Faktor Pabrik (Formulasi Sediaan)
3.
Faktor Pasien (Fisiologi dan Patologi saluran cerna) Dari ketiga factor di atas, factor pabrik lah yang paling sering dimodifikasi. Oleh karena itu, kami mempraktekan disolusi antara obat generic dan obat paten. Dimana obat yang kita gunakan adalah paracetamol tablet 500 mg dan panadol tablet 500 mg.
1.2 Tujuan
Tujuan dari dilakukannya praktikum ini adalah : 1.
Untuk melihat perbedaan disolusi antara obat generic dan obat paten.
2.
Membandingkan hasil disolusi dari obat generic dan obat paten.
1.3 Manfaat
Diharapkan dengan dilakukannya praktikum ini, mahasiswa/I dapat memahami tentang : 1.
Cara kerja obat di dalam tubuh.
2.
Waktu hancur sediaan obat di dalam tubuh.
2.1 Disolusi
2.1.1 Pengertian Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses. Disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi kerakteristik disolusi obat dari sediaan.
2.1.2 Kecepatan Pelarutan
Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larutan bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahannya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablet biasanya diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet kedalam medium penerima.
2.1.3 Teori Disolusi
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah:
Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film.
Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan – larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat
– cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
Model Dankwert (Dankwert Model)
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dia nggap reaksi pada
permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disolusi
Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah:
Suhu
Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas
Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.
PH
pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.
Ukuran Partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.
Polimorfisme dan Sifat Permukaan Zat
Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut
dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.
Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara in vitro antara lain adalah:
Sifat Fisika Kimia Obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.
Faktor Formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.
Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
2.1.5
Metode Pengujian Disolusi
Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:
Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.
Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution ef ficiency (DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Y100.t
Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
Metode Wagner
Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.
Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut
ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )
Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.
2.1.6
Alat Uji Disolusi
Pengujian disolusi hampir di semua negara telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing Farmakope, seperti kecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan masing-masing Farmakope.
Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk berbentuk dayung. Dalam Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan dayung.
2.1.7
Teknik Meningkatkan Kecepatan Disolusi
Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan. sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)
Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)
Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)
Pembentukan komplek (Complexation)
Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)
Dispersi padat (Solid dispersions)
Pengeringan semprot (Spray dryng)
Hot-melt extrusion
2.2
Acetaminophen (Paracetamol)
N-asetil-4-aminofenol
Rumus Empiris : C8H9NO2 BM
: 151,16.
Asetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih : tidak berbau ; rasa pahit. Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p : larut dalam larutan alkali hidroksida. Suhu lebur : 169 ⁰ C sampai 172⁰ C. Timbal tidak lebih dari 10 bpj. Surut pengeringan tidak lebih dari 0,5%. Sisa pemijaran tidak lebih dari 0,1%. Penetapan kadar dengan cara penetapan kadar nitrogen, menggunakan 300 mg yang ditimbang seksama dan 8 ml asam sulfat bebas nitrogen P. 1 ml asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg C 8H9NO2.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya. Khasiat dan penggunaan Analgetik dan Antipiretik. Efek amping : Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan. Kelebihan dosis : Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut. Mekanisme Aksi : Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah. Dosis Lazim : 1. Sekali minum : 500 mg ; 2. Sehari : 500 – 2000 mg.
2.3
Panadol Tablet
Indikasi:
Meringankan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit otot, dan menurunkan demam yang disertai flu dan demam sesudah vaksinasi.
Kontra Indikasi:
Pada penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol, dan penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat.
Deskripsi:
Efek analgesik dan antipiretik parasetamol sama dengan golongan salisilat. Khasiat analgesik parasetamol timbul karena efek depresi selektif terhadap alat resepsi rasa sakit rasa sakit pada talamus dan hipotalamus disusun saraf pusat. Parasetamol menurunkan suhu badan melalui efek langsung terhadap pusat-pusat pengatur suhu di susun saraf pusat, memperbanyak pengeluran panas badan dengan meningkatkan peredaran darah tepi/perifer dan berkeringat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://dormatio.blogspot.com/2013/05/definisi-biofarmasetika.html
2.
http://hendra-stenly.blogspot.com/2012/02/disolusi.html
3.
Farmakope Indonesia Edisi Ketiga 1979.
4.
http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol
5.
http://www.dechacare.com/Panadol-Tablet-P125.html
View more...
Comments