TEATER TRADISIONAL
February 19, 2017 | Author: Alfand Adrian | Category: N/A
Short Description
Download TEATER TRADISIONAL...
Description
TEATER TEATER TRADISIONAL TRADISIONAL I. Perkembangan Teater di Indonesia Teater yang berkembang dikalangan rakyat disebut teater tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kontemporer. Teater tradisional tanpa naskah (bersifat improvisasi). Sifatnya supel, artinya dipentaskan disembarang tampat. Jenis ini masih hidup dan berkembang didearah – daerah di seluruh Indonesia . Yang disebut teater tradisional itu, oleh Kasim Ahmad diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu sebagai berikut
1.Teater Rakyat Sifat teater rakyat seperti halnya teater tradisional, yaitu improvisasi
sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Contoh – contoh teater rakyat adalah sebagai berikut. Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat. Mak Yong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi. Dramatari mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah. Selain itu, mak yong juga dipentaskan di Kepulauan Riau Indonesia. Di kepulauan Riau, mak yong dibawakan penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.
Sejarah Mak Yong Istana kerajaan menjadi pelindung seni tari mak yong sejak paruh kedua abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik sedang bermain di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut untuk menari di dalam lingkungan istana. Penari yang menari di istana akan ditanggung semua akomodasi serta kebutuhan hidup, dan bahkan menerima pinjaman tanah sawah milik raja untuk dikerjakan. Kemunduran ekonomi kesultanan akibat kedatangan penjajah Inggris di Kelantan menyebabkan pihak kesultanan tidak bisa lagi menjadi pelindung kelompok pertunjukan mak yong. Akibatnya di awal abad ke-20, tari mak yong mulai berkembang bebas di desa-desa. Pertunjukan Mak yong tanpa patron pihak kerajaan menyebabkan mutu pertunjukan semakin merosot, terutama setelah terjadi bencana banjir besar di Kelantan yang terkenal sebagai Banjir Merah tahun 1926 hingga tahun 1950-an. Selain itu, nilai estetika tradisional mak yong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Lama pertunjukan juga diperpendek dari pukul 8:30 malam hingga pukul 11:00 malam. Selesai pertunjukan mak yong langsung diteruskan acara joget bersama. Penonton naik ke atas panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat musik untuk mak yong juga diganti dengan biola dan akordion untuk memainkan lagu untuk berjoget.
LENONG LENONG Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu
Sejarah Lenong Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung
Jenis Lenong Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam . Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.
2.Teater 2.Teater Klasik Klasik
Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan yang memandai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerjaan. Sifat feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Contoh – contohnya: Wayang Kulit, Wayang Orang, dan Wayang Golek. Ceritanya statis, tetapi memilki daya tarik berkat kreativitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupakan lakon.
Teater transisi merupakan teater yang bersumber dari 3.Teater Transisi teater tradisional, tetapi gaya penajiannya sudah dipengaruhi oleh teater Barat. Jenis teater seperti Komidi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater transisi. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan Ludruk atau Ketoprak, tetapi jenis ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan property lain menggunakan teknik Barat.
II.ABDUL MULUK Grup teater ini merupakan awal grup teater yang meninggalakan ciri – cirri tradisional, misalnya sebagai berikut. 1. 2. 3.
Tidak lagi bersifat improvisasi, tetapi naskah sudah mulai membagi peran. Tidak lagi mengandalkan segi tari dan lagu. Struktur lakonnya tidak lagi statis, tetapi disesuaikan dengan perkembangan lakon atau cerita sastra.
III. Komedi Stambul. Lahir pada tahun 1891 dan didirikan oleh August Mahieu. Menampilkan lagu-lagu Melayu, maka komedi stambul disebut pula opera Melayu. Cerita yang ditunjukan sudah merupakan cerita yang bervariasi, seperti: “ 1001 Malam”, “ Nyai Dasima”, “Oey Tam Bah Sia”, “ Si Conat”, “Halmet”, “Saudager Venesia”, “Penganten Di Sorga”, “De Roos Van Serang”, “Annie Van Mendut”, “Lily van Cikampek”, dan sebagainya.
IV. Dardanella. Didirikan oleh Willy Klimanoff yang kemudian mengganti namanya dengan A. Piedro. Tanggal 21 juni 1926 didirikan The Malay Opera Dardanella. Dalam teater ini, tidak lagi ada nyanyian. Lakon – lakon diambil dari Indische Roman. Pemain yang masih dikenal hingga kini, misalnya: Tan Ceng Bok, Devi Ja, Fifi Young, Pak Kuncung, dan sebagainya
V.MAYA V.MAYA Timbulnya teater Maya dipengaruhi oleh saudagar-saudagar Cina yang gemar akan teater. Maya dipimpin oleh Usmar Ismail. Bersama itu, muncul pula Cahaya Timur yang dipimpin Anjar Asmara. Berkat pengaruh pendidikan barat, banyak karya asli yang dihasilkan. Maya banyak mementaskan karya-karya pengarang Indonesia . Hal ini juga berkat kemajuan dokumentasi Pusat Kebudayaan Jepang di Indonesia saat itu (Keimin Bunka Sidosho). Di samping hal tersebut, tampaknya peran sutradara sudah sangat penting. Naskah – naskah mengambil dari bumi Indonesia , meskipun masih meneladan pentas dunia Barat.
VI. Cine Drama Institut Lahir di Yogya tahun 1948 dan merupakan embrio bagi ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) dengan pusatnya di Yogyakarta . Banyak tokoh Yogyakarta yang mengembangkan teater seperti Kirdjomuljo, Rendra, Soebagio Sastrowardojo, Dokter Hoejoeng, Harymawan, Sri Moertono, dan sebagainya. Pantas dicatat pula, bahwa di Bogor juga bangkit kegiatan teater sekitar tahun 1950-an dengan teaternya bernama Teater Bogor. Di Surabaya juga muncul binatang Surabaya Film Co, sedangkan di Jakarta muncul Akademi Teater Nasional Indonesia (1955) yang seperti halnya ASDRAFI banyak melahirkan tokoh-tokoh teater masa kini. Kemudian muncul pula studi Grup Drama Yogya Pimpinan Rendra, Federasi Teater Kota Bogor pimpinan Taufiq Ismail, Himpunan Seniman Budayawan Islam pimpinan Junan Helmy Nasution dan Taeter Muslim di Yogya Dipimpin oleh Muhamad Diponogoro.
VII. Zaman Kemajuan Dunia Teater
Sejak tahun 1968, yaitu Rendra pulang dari Amerika dan mendirikan Bengkel Teater di Yogya, maka mulailah zaman kemajuan dunia teater. Berdirinya Taman Ismail Marzuki sebagai ajang kreativitas para seniman (termasuk juga dramawan), kiranya menambah kemajuan dunia teater. Jika Yogya adalah tempat penggembelang para calon dramawan, maka Jakarta adalah tempat di mana mereka berlaga. Tidak bisa dipungkiri, dalam hal demikian, peranan Taman Ismail Marzuki tidak sedikit. Banyak dramawan diwisuda melalui pementasan rutin disana.
Teater Teater Kontemporer Kontemporer Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah. Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer. Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasanalasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan. Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu. Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa. Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Kabuki
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklo Gedung teater Kabuki-za di Tokyo pedia bebas
Lukisan gedung pertunjukan kabuki di zaman Edo.
Etimologi Etimologi Banyak pendapat mengenai asal kata dari Kabuki ini, salah satunya adalah kabusu yang ditulis dengan karakter kanji 歌舞 dengan ditambahkan akhiran す sehingga menjadi kata kerja 歌 舞す yang berarti bernyanyi dan menari . Selanjutnya disempurnakan menjadi, kabuki (歌舞伎) yang ditulis dengan tiga karakter kanji, yaitu uta 歌 ( うた ) (lagu), mai 舞 ( まい ) (tarian), dan ki 伎 ( き ) (tehnik).
Kabuki ( 歌舞伎 ?) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor kabuki terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok. Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi. UNESCO juga telah menetapkan kabuki sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan .
Sejarah Sejarah
Perintis kabuki, Izumo no Okuni sedang berpakaian laki-laki
Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono (sebutan menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh ("kabukimono"), sehingga lahir suatu bentuk kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton).
Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki daun muda juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki ( 野郎歌舞伎 kabuki pria?) yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.
Unsur teatrikal Kabuki-kyōgen
Lukisan aktor kabuki di abad ke-18
Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan di zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai Gidayu-kyōgen, tapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono. Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul Taiheiki no sekai ( 太平記の世界 Dunia Taiheiki?), Heike monogatari no sekai ( 平家物語の世界 Dunia Kisah klan Heike?), Sogamono no sekai ( 曾我物の世 界 Dunia Sogamono?), atau Sumidagawamono no sekai ( 隅田川物の世界 Dunia Sumidagawamono?). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Musik kabuki Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.
Judul Judul Judul pertunjukan pertunjukan kabuki kabuki disebut disebut Gedai Gedai (( 外題 外題 ??)) yang yang kemungkinan kemungkinan besar besar berasal berasal dari dari kata kata Geidai Geidai (( 芸題 芸題 nama nama pertunjukan pertunjukan??).). Judul Judul pertunjukan pertunjukan (gedai) (gedai) biasanya biasanya ditulis ditulis dalam dalam aksara aksara kanji kanji berjumlah berjumlah ganjil, ganjil, misalnya misalnya pertunjukan pertunjukan berjudul berjudul Musume Musume dōjōji dōjōji (( 娘道成寺 娘道成寺 ??)) (4 (4 aksara aksara kanji) kanji) harus harus ditambah ditambah dengan dengan Kyōkanoko Kyōkanoko (( 京鹿子 京鹿子 ??)) (3 (3 aksara aksara kanji) kanji) menjadi menjadi 京鹿子娘道成寺 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko (Kyōkanoko musume musume dōjōji dōjōji ??),), supaya supaya bisa bisa menjadi menjadi judul judul yang yang terdiri terdiri dari dari 77 aksara aksara kanji. kanji. Selain Selain judul judul pertunjukan pertunjukan yang yang resmi, resmi, pertunjukan pertunjukan kabuki kabuki sering sering memiliki memiliki judul judul alias alias dan dan keduanya keduanya dianggap dianggap sebagai sebagai judul judul yang yang resmi. resmi. Pertunjukan Pertunjukan berjudul berjudul resmi resmi Miyakodori Miyakodori nagare nagare no no siranami siranami (( 都鳥廓白波 都鳥廓白波 ??)) dikenal dikenal dengan dengan judul judul lain lain Shinobu Shinobu no no Sōda Sōda (( 忍ぶの惣太 忍ぶの惣太 ??).). Pertunjukan Pertunjukan berjudul berjudul Hachiman Hachiman matsuri matsuri yomiya yomiya no no nigiwai nigiwai (( 八幡 八幡 祭小望月賑 祭小望月賑 ??)) juga juga dikenal dikenal sebagai sebagai Chijimiya Chijimiya Shinsuke Shinsuke (( 縮屋新助 縮屋新助 ??).). Judul Judul pertunjukan pertunjukan yang yang harus harus ditulis ditulis dalam dalam aksara aksara kanji kanji berjumlah berjumlah ganjil ganjil menyebabkan menyebabkan judul judul sering sering ditulis ditulis dengan dengan cara cara penulisan penulisan ateji ateji,, akibatnya akibatnya orang orang sering sering mendapat mendapat kesulitan kesulitan membaca membaca judul judul pertunjukan pertunjukan kabuki. kabuki.
Teater Teater Modern Modern
Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudaga dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya menampilkan wajah kerajaan. Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahanlahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang.
Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisahkan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis.
Sejarah Teater Indonesia Teater selalu penuh dengan makna. Dalam pandangan New Hisotricism, makna dalam dunia teater tidak pernah terlepas dari ideologi, demikian pula dengan dunia teater Indonesia. Sejak awal,dunia teater Indonesia sudah dibebani dengan ideologi baik yang pransparan mau pun yang samar-samar. Dari jaman pra-kemerdekaan hingga tahun 1950an, ketika Indonesia baru saja merdeka selama lima tahun, ideologi politik nampak jelas mengemuka. Sesudah masa itu, ideologi lain mengemuka, meski pun sebagian hanya sebagai latar belakang. Para insan teater nampaknya banyak terperangkap dalam ideologi-ideologi ini, sehingga mereka lupa membangun dunia teater sebagai dunia mereka sendiri, tempat mereka berkreasi baik secara artistik mau pun profesional.
Sejarah secara tradisional dianggap sebagai cerita/catatan yang obyektif mengenai masa lalu. Akan tetapi, kita mulai menyadari bahwa sejarah tidak lepas dari bias-bias. kesadaran seperti itu ditangkap dalam New Historicism, sebuah teori sejarah dengan pandangan kultural. New Historicism menganggap bahwa sejarah itu subyektif, dan sejarah adalah interpretasi masa lalu, bukan masa lalu itu sendiri (lihat Basuki:2003). Karena sejarah itu subyektif, maka sejarah tidak pernah lepas dari bias-bias pemikiran dan nilainilai. Demikian pula, sejarah teater tidak akan pernah lepas dari bias-bias pemikiran dan nilai-nilai, karena setiap drama atau pertunjukan teater selalu mengandung seperangkat nilai-nilai, baik yang ditentang atau dikuatkan (lihat Mason dlm. Basuki, 2003). Seperangkat pemikiran dan nilai-nilai itu, dalam bahasa Gramscian, disebut ideologi. Ideologi bisa nyata dalam sebuah kekuatan politik, bisa juga hanya sekedar nilai-nilai dalam masyarakat atau bahkan sekelompok orang. Ia bisa ‘dipeluk’ secara sadar, tetapi sering lebih dengan tanpa sadar, yang menurut Althusser terjadi dengan proses “interpelasi.”
Melayu dan Teater Modern Melayu Kata atau nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata di Riau atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul
pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China. Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau ‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya; bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit, dinamis. Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing. Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.
Seni di Riau Khususnya di Riau yang kemudian merupakan salah satu wilayah temadun dari Budaya Melayu, bermukim bermacammacam suku bangsa seperti Suku Melayu yang dianggap sebagai suku asli dan dominan, suku pendatang dari seluruh Indonesia dan suku-suku terasing. Di samping itu juga menetap di daerah ini bangsa pedagang dari luar negeri, yakni Cina. India, Arab dan Bangsa lainnya. Keragaman atmosfir kesukuan di Riau ini mengindikasikan terjadinya akulturasi budaya. Kebudayaan Melayu yang pada awalnya mendominasi berbaur dengan budaya bawaan lainnya yang ada di Riau. Keidentikan Budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai norma Agama Islam. Agama Islam telah pula menjadi ciri lahirnya beragam bentuk kreatifitas seni sebagai bagian dari wujud Kebudayaan Melayu.
Penulis menyadari bahwa kegelisahannya dalam makalah ini akan memberikan suatu dampak pada ketidaksetujuan dan pernyataan sikap oleh berbagai pihak pembaca. Perlu diadakannya alternatif diskusi yang berkelanjutan atas makalah ini agar tercipta suatu makalah yang sempurna dan bisa menjadi bentukan dari sebuah loncatan untuk proses pengidentifikasian sosiologis Melayu dan seni teater modernd di Riau.
DAFTAR PUSTAKA http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=e http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl= http://galileotheater.blogspot.com/2010/02/sejarah-te http://teaterapakah.blogspot.com/2009/02/para-peleta
View more...
Comments