Tata Ulang Demokrasi dan TNI

December 28, 2017 | Author: ariskilex | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tulisan jend saurip kadi....

Description

2 Bab Pertama

PENDAHULUAN

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa dalam kurun waktu lebih dari enam dasawarsa

dengan enam Presiden, sebagai bangsa dan negara kita terus jatuh-

bangun1. Korban yang membarenginya akibat pertikaian sesama anak bangsa dalam jumlah yang tidak kecil juga terus berjatuhan. Saat memasuki tahun kedelapan pasca Orde Baru, penduduk miskin semakin besar jumlahnya, dan tingkat pengangguran menurut sejumlah sumber menyebutkan sudah melebihi empat puluh lima juta orang. Beberapa daerah penduduknya sudah terkena busung lapar seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu sejumlah daerah telah terjangkit berbagai wabah penyakit akibat rendahnya kualitas kehidupan mereka. Disisi yang lain, kerusakan moral sebagian para penyelenggara negara begitu parahnya, mega-korupsi yang ditinggalkan rezim terdahulu belum tertangani secara memadai, sementara itu korupsi yang baru menjamur hampir di semua lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah. Faktor keamanan juga sangat rentan, dengan mudahnya bom begitu saja meledak di banyak tempat. Yang jelas sekedar tanda-tanda bahwa krisis akan segera berakhir belumlah tampak secara meyakinkan. Sehingga menjadi wajar kalau kemudian muncul rasa pesimisme pada banyak kalangan akibat bayang-bayang kesuraman. Bahkan masa depan ke Indonesia an sepertinya semakin sulit diramalkan akibat besarnya ketidak pastian itu sendiri.

Adalah hak bagi segenap anak bangsa untuk mencari solusi dengan terobosan sekalipun guna menyelamatkan peradaban serta eksistensi diri sebagai bangsa dan negara. Karena bagaimanapun salah satu faktor yang mendorong transisi ke arah demokratisasi menurut Jeff Haynes adalah masyarakat sipil yang terus-menerus melakukan tekanan terhadap pemerintah yang tidak bertanggungjawab dan tidak demokratis2. Bila era Orde Baru kental dengan pendekatan reaksioner dan 1

Makanya tidak salah dan bahkan sangat masuk akal kalau Samuel P Huntington bahkan pada dekade 1990an menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami gelombang surut demokratisasi ketiga. Lihat, Samuel P Huntington, The Third Wave of Democratization, (New York: 1995). 2 Jeff Haynes, 1997, Democracy and Civil Society in Third World Politics and New Political Movement, terjemahan P. Soemitro, (Jakarta: Obor, 2000), hal. 129

3 pragmatisme, yang terjdi di era transisi kedua pendekatan tersebut malah menjadi lebih subur. Akibatnya akar masalah dan persoalan pokok yang membuat bangsa ini terus terpuruk setelah berulang kali jatuh bangun menjadi makin terlupakan. Dan kemudian asyik terjebak dengan konflik of interest dan tarik menarik kepentingan dalam political game. Lebih disayangkan lagi tekanan masyarakat sipil tidak begitu menjadi andalan yang prospektif, karena ruang untuk partisipasi publik dalam politik kita juga belum tersedia dengan baik dan bahkan tekanan dan tuntutan kurang didengar. Untuk itu sebagai bangsa kita perlu belajar dari sejumlah bangsa dan negara sahabat yang telah berhasil menata peradaban bangsanya. Terlalu banyak diantara mereka yang sejak awal berdirinya terus eksis sebagai bangsa dan negara, bahkan dengan gemilang telah membangun dirinya. Pelajaran juga bisa diambil dari sejumlah negara sahabat bekas negara komunis didaratan Eropa Timur dan juga Uni Sovyet, yang begitu cepat recovery dan bahkan beberapa diantaranya kini berhasil menjadi negara maju dan kuat. Begitu pula kalau kita mau berkaca dari sejumlah negara tetangga dekat kita yang delapan tahun lalu sama-sama diterjang badai krisis moneter, dalam waktu relatif singkat mereka dapat pulih kembali. Yang pasti mereka itu semua tidak diberkahi kekayaan alam semelimpah kita, diantaranya miskin atau bahkan tidak punya sumber daya alam yang memadahi. Namun berkat kemampuan diri dalam memahami pokok masalah penyebab kegagalan sistem kenegaraannya, mereka kemudian mampu membangun peradabannya kembali dengan baik. Sementara itu kita terus terjebak dalam disorientasi dan sepertinya telah masuk dalam masa transisi permanen.

Untuk ukuran umum memang aneh, tapi nyata sebuah paradoks terus terpelihara dalam diri kita sebagai bangsa dan negara. Sistem kenegaraan yang jelas-jelas telah melahirkan keterpurukan dan kerusakan begitu dasyat serta residu masa lalu yang begitu memberatkan generasi penerus tidak disadari bersama oleh mayoritas warga bangsa sebagai sistem kenegaraan yang gagal. Bahkan sebaliknya segala kemampuan dan kekuatan, bahkan dengan kembali mencari pinjaman luar negeri sistem yang ada itu terus dicobanya untuk memperbaiki keadaan yang sesungguhnya adalah out put/produk dari dirinya sendiri. Bangsa ini juga lupa bahwa reformasi mensyaratkan adanya perubahan yang mendasar dari sistem kenegaraan yang ada, karena tanpa perubahan sistem kenegaraan secara fundamental reformasi pada hakekatnya adalah

4 rebutan jabatan. Memang harus diakui tidak sedikit perubahan dan perbaikan yang telah dikerjakan, termasuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang selama

era

Orde

Baru

disakralkan.

Namun

sangat

disayangkan

dalam

mengamandemen UUD 1945 elit bangsa ini melupakan pentingnya penataan ulang berbagai hal yang fundamental yang berada di kawasan hulu yaitu membenahi jiwa dan kerangka dasar sistem perpolitikan pada tingkat makro. Elite bangsa ini terus menyibukkan diri pada masalah-masalah kecil yang berada di kawasan hilir. Menjadi wajar kalau perubahan UUD 1945 yang sudah empat kali sejak amandemen pertama tahun 1999, kedua tahun 2000, dan dua kali pada tahun 2001, tidak banyak mengubah penampilan negara.

Realita yang demikian itu, perlu ditanggulangi dengan membangunkan kesadaran publik tentang nasib masa depan bangsa dan negara. Seharusnyalah elit bangsa ini segera mengembangkan dialog publik tentang rancang bangun sistem kenegaraan kita ke depan3. Dengan demikian kelak dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu kembali meniru pendahulunya yang terus mempertahankan kesepakatan untuk menjalankan sebuah sistem kenegaraan tanpa meyakini terlebih dahulu obyektivitas, rasionalitas, dan apalagi validitasnya. Ke depan kita sebaiknya juga mampu mengeliminasi cara berpikir, paradigma dan nilai-nilai lama yang tidak mungkin dipertahankan lagi dengan bungkus baru yang diusung oleh keabsahan suara mayoritas yang kemudian diberi stigma sebagai demokrasi ala Indonesia. Persis ini yang memperlamban gerak laju demokratisasi di Indonesia dewasa ini, bahwa nilainilai lama yang sudah usang dipertahankan melalui keunggulan kelompok lama dalam politik yang kebetulan untuk saat ini masih menjadi kekuatan mayoritas. Akibatnya, nilai baru yang diperjuangkan oleh kelompok yang kebetulan minoritas yang ingin pembaruan di segala dimensi termasuk dimensi berpikir, seringkali kalah dengan suara mayoritas. Barangkali disini kita patut menyebut suara mayoritas ini sebagai “tirani mayoritas”4.

Inti masalah yang dihadapi juga persoalan konsistensi kita dalam mensikapi 3

Saya pikir ini penting sekali karena sampai sekarang kita tidak memiliki konsep demokrasi yang mapan, dalam artian suatu konsep yang strategis dan efektif untuk dijalankan. Konsep demokrasi yang berjalan masih merupakan konsep yang dikehendaki oleh kelompok yang menang dan menguasai politik. 4 Dalam hal ini kita perlu melihat berbagai pandangan negatif tentang demokrasi yang dikritik orang seperti James S. Fishkin dalam Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories, (Baltimore: John Hopkins University Press, 1979). Fishkin mengatakan bahwa ketika kekuasaan mayoritas berubah menjadi hak, maka serentak kelompok minoritas tunduk di bahwa “tirani mayoritas”. Fishkin sebetulnya menyuarakan kembali apa yang dicemaskan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty.

5 pengaruh nilai yang berasal dari paham/ideologi yang ada dan pilihan model pengaturan kenegaraan. Kedepan kita mesti konsisten dan konsekuen dalam mengimplementasi nilai-nilai yang dikandung sebuah paham / ideologi yang dipilih dari yang bersifat mendasar sampai yang menyangkut urusan teknis-operasional. Sekaranglah waktunya bagi kita untuk memilih dengan tegas, jelas dan lugas, hitam atau putih terhadap pilihan paham sistem kenegaraan dan juga model demokrasi, bukan malah terus melanjutkan model lama yang berada di area abu-abu (gray area). Enam puluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk pembuktian kwalitas sebuah sistem kenegaraan. Bila demokrasi sebagai satu-satunya pilihan, maka kedepan kita tidak butuh lagi menyusupkan paham eksklusif atau nilai partikular yang bersumber di luar paham demokrasi, yang diatas-namakan “aspirasi rakyat”.

Pilihan akhir demokrasi dengan sistem presidensial, seharusnya kita sikapi secara konsekuen dengan menerapkan segenap kelembagaan dan mekanisme yang ada didalamnya secara utuh. Dalam menjalankannya, tidak dibenarkan adanya pemaksaan sepihak untuk menggunakan instrumen-instrumen demokrasi sistem parlementer. Apalagi kalau sampai menyusupkan nilai yang bersumber dari otoriter sebagaimana yang diterapkan selama ini. Ketika kita memilih Kepala Negara dijabat Presiden, maka tidak seharusnya ada Lembaga Negara yang kedudukan nya lebih tinggi darinya (dalam hal ini MPR), sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 versi akhir masa Orde Lama dan selama era Orde Baru. Dan ketika sistem perwakilan menggunakan model dua-kamar/bikameral, maka seharusnya keberadaan Senat yang dipresentasikan oleh DPD, janganlah kemudian dimandulkan oleh peraturan perundang-undangan politik yang tidak demokratis sebagaimana model UUD 1945 Hasil Amandemen.

Ke depan rancang bangun konsep politik yang akan dirumuskan juga tidak sewajarnya terus terpaku dan tergantung pada konsep politik yang dikandung oleh UUD 1945. Karenanya amandemen UUD 1945 bukanlah dimaksudkan sekedar untuk menambah atau mengurangi pasal-pasal yang sudah ada, namun untuk merumuskan kembali secara lebih komprehensif sebuah konsep politik yang didasari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam bingkai Sistem Presidensial yang dijalankan secara konsisten dan konsekwen. Dengan demikian rancang bangun sistem demokrasi kedepan memang bukan kelanjutan dari sistem yang selama ini dilaksanakan. Hal yang demikian tidaklah berarti kita keluar dari jiwa dan semangat para pendiri Republik ini, justru sebaliknya konsep yang demikian itu sarat dengan

6 semangat dan rasa (sense) perjuangan "founding father". Dalam kaitan mengamandemen UUD-45, pilihan untuk menggantikan dengan yang baru sekalipun bukanlah sebuah kesalahan, dosa dan apalagi pengkhianatan. Sebaliknya upaya tersebut semestinya ditempatkan sebagai kwajiban generasi penerus untuk membayar hutang amanah para pendiri republik. Bung Karno sendiri dalam pidato pengesahan UUD-45 tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sebagai berikut: “Tuantuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang (kita) buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah ber negara dalam keadaan tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih semurna”

Agar kita tidak kehabisan energi dan waktu serta terus terjebak pada perdebatan pro-kontra untuk melanjutkan amandemen atau kembali ke UUD-45 yang asli. Maka negara perlu melaksanakan enginering politik untuk merumuskan UUD yang baru. Dengan demikian waktu dan energi yang ada dimanfaatkan untuk membicarakan berbagai hal tentang hari esok, utamanya tentang rancang bangun sistem kenegaraan yang mampu memberi jaminan kepastian masa depan kita sebagai sebuah negarabangsa (nation-state). Saya kira apa yang disebut “imagined community” oleh Ben Anderson hanya bisa dipahami dalam konteks ini bahwa diperlukan suatu kesadaran sekaligus kemampuan bersama untuk menyadari diri sebagai satu bangsa, sebab kalau tidak masa depan ke Indonesia an sulit diramal5. Memahami inti persoalan yang membuat kita terus jatuh bangun juga sangat mendasar, sehingga konsep sistem kenegaraan kita kedepan tidak lagi rapuh dan rentan, dan apalagi korup. Bangunan sistem kenegaraan

haruslah dijamin

bebas dari proses saling mereduksi,

menghilangkan, dan bahkan saling menghancurkan akibat terjadinya benturan antar kekuatan bawaan masing-masing ideologi kenegaraan, model dan instrumen sistem demokrasi yang dicampur-aduknya. Tanpa jaminan dari sistem kenegaraan itu sendiri maka terjadinya penyalah gunaan kekuasaan, penyelewengan dan utamanya korupsi tidaklah mungkin bisa dihentikan. Karena persoalan yang demikian itu tidaklah tepat kalau ditumpukan hanya sekedar pada semangat para penyelenggara Negara sebagaimana yang dibayangkan para pendiri Republik ini. Karena dalam 5

Lihat Benedict Anderson, Nationalism (Verso, 1983)

Imagined Communities:Reflections on the Origins and Spread

7 kenyataannya korupsi bukanlah semata-mata dikarenakan rendahnya keimanan dan moralitas pejabat atau alasan klasik seperti gaji yang rendah, tapi justru lebih dikarenakan oleh sistem kenegaraannya itu sendiri yang memang korup. Korupsi yang terjadi selama ini adalah karena sistem sebagaimana keyakinan kaum institusionalis dalam ilmu politik6. Siapapun ia yang mengawaki sistem yang korup, maka persoalan terjadinya korupsi bukanlah persoalan moral sang pejabat, tapi persoalan waktu belaka. Oleh karena itu, ke depan upaya mengatasi korupsi haruslah diletakkan pada rancang bangun dari konsep politik yang secara obyektif dan rasional dapat meniadakan,

setidaknya

mampu

mengeliminasi

penyalahgunaan

kekuasaan,

penyelewengan dan tindak kejahatan lainnya oleh aparatur Negara termasuk soal korupsi. Disinilah letak urgensi kita mengedepankan kesamaan rasa yang dimiliki oleh segenap bangsa saat ini, yaitu kesamaan kepentingan atas nasib dan kepastian masa depan masing-masing, disamping juga nasib dan kepastian masa depan bersama yaitu eksistensi kita sebagai bangsa dan negara. Sebab bukankah Ernest Rennan sudah lebih dulu mengatakan bahwa alasan kita bisa ada bersama sebagai satu bangsa adalah karena kita sama-sama dijajah dan sama-sama memiliki visi dan misi untuk hidup makmur dan sejahtera7. Kalau itu dasar dari ke Indonesia an kita, maka tidak ada alasan pemerintah atau siapapun yang memegang kekuasaan di negara ini untuk tidak segera membangun kesejahteraan rakyat. Pengalaman sejumlah negara dalam menghadapi krisis, mereka yang mendahulukan penataan sistem kenegaraannya ternyata dalam kurun waktu yang pendek mampu segera bangkit dan kemudian maju menjadi bangsa dan negara yang kuat kembali. Sejumlah negara bekas negara-negara komunisme memberi contoh itu dengan baik. Mereka bisa bangkit kembali dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu lama. Karenanya kalau saja kita mau belajar dari mereka, bukanlah mustahil kalau bangsa kita akan lebih cepat mengejar ketertinggalan untuk meraih kesejahteraan dengan tingkat peradaban yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Dengan memprioritaskan penataan sistem demokrasi secara benar, juga otomatis akan memudahkan penataan ulang segenap alat kelengkapan demokrasi dan kelembagaan negara lainnya termasuk TNI. Dalam amandemen UUD 1945 langkah 6

Kaum institusionalis percaya bahwa masalah politik bersumber pada sistem sebaliknya juga perbaikan dan kemajuan ditentukan oleh sistem. Lihat dalam David E. Apter, 1977, Introduction to Political Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, (Jakarta: LP3ES, 1988). 7 Dikutip dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Soekarno mengedepankan konsep tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang (akan) merdeka ketika itu.

8 untuk menghentikan inefisiensi sudah dimulai, yaitu dengan menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Maka kedepan sewajarnya juga tidak terlalu sulit untuk meniadakan Lembaga Tinggi Negara yang keberadaannya kurang bisa dipertanggung-jawabkan secara teori maupun empirik seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan apalagi sejumlah Komisi yang mestinya masuk dalam fungsi eksekutif seperti Komisi Ombudsman yang sampai sekarang juga tidak jelas apa sumbangsihnya terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia. Karena dalam kenyataan kinerja dan pelayanan birokrasi terhadap publik masih kurang memuaskan kalau tidak dibilang buruk. Jumlah kementerian juga harus diatur dengan Undang-undang, dengan demikian Presiden tidak dengan mudahnya membentuk ataupun membubarkan Departemen dan atau Kementerian hanya karena pertimbangan kursi kekuasaan semata. Kita juga perlu membedakan mana jabatan karier dan mana jabatan politik, agar birokrasi pemerintah dan juga TNI tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik yang manapun. Adanya justifikasi publik tentang buruknya penampilan masa lalu TNI utamanya di era Orde Baru, sama sekali bukan dikarenakan rendahnya kadar ketentaraan atau profesionalisme segenap prajurit TNI. Penampilan TNI yang demikian itu sebenarnya hanyalah produk dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu8. Kiranya perlu diakui oleh bangsa ini bahwa TNI sejak kelahiran dan perkembangannya memang belum atau tidak dirancang dalam sebuah cetak biru demokrasi. TNI lahir dan berkembang lebih karena kebutuhan dan tuntutan sesaat yang dihadapi oleh bangsa dalam perjalanan sejarahnya. Di sanalah pentingnya bangsa ini menata ulang sistem kenegaraanya yang memuat pula rancang bangun TNI dalam satu kesatuan kerangka sistem kenegaraan yang demokratis. Ke depan TNI perlu ditempatkan sebagai kebanggaan sekaligus tumpuan harapan bagi segenap bangsa, karenanya kehadiran TNI dimata rakyat haruslah melahirkan harapan dan sekaligus keyakinan bahwa dirinya akan terlindungi serta terjaga keamanannya. TNI juga sebaiknya dirancang untuk menjadi satu-satunya kekuatan nasional (benteng terakhir) yang bisa diandalkan pada saat-saat Negara dan bangsa dalam keadaan tidak normal, terlebih bila segenap birokrasi sipil sudah tidak berfungsi lagi. Disamping itu penataan gelar TNI diharapkan mampu mendukung upaya demokratisasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karenanya gelar TNI juga perlu 8

Dalam hal ini Saurip Kadi sejalan dengan pandangan Huntington bahwa keterlibatan dan dominasi tentara dalam politik lebih karena sistem yang buruk daripada karena faktor internal institusi tentara (editor).

9 dihitung agar mampu menjadi

penangkal (deterent) utama

yang mampu

menyirnakan niat dan keinginan serta upaya sebagian warga bangsa di daerah manapun untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Penampilan TNI yang demikian itu otomatis akan mengubah secara mendasar model otonomi daerah yang terlanjur dikembangkan tanpa menghitung kemampuan daerah untuk bisa mandiri secara ekonomi sebagai daerah otonom. Begitu pula penampilan TNI yang terbebas dari urusan politik praktis, bukanlah sekedar urusan melikuidasi lembaga-lembaga yang memainkan peran politik dan menarik diri dari MPR/DPR-D, tapi bagaimana mendudukan TNI secara benar dalam sistem demokrasi agar dirinya secara struktural kelembagaan memang dijamin akan terbebas dari urusan "day to day politic".

Inti permasalahan yang mendasar lainnya dalam kaitan penataan demokrasi dan TNI

adalah

bagaimana

"supremasi

sipil"

bisa

diimplementasikan

tanpa

ketergantungan secara dominan oleh kemauan dan kesadaran elit TNI semata. Karenanya asas supremasi sipil semestinya bisa nampak dan tergambar dalam penataan kelembagaan negara dan mekanisme pengelolaannya. Dengan demikian maka sistem kenegaraan yang akan dikembangkan secara lengkap mengatur azas, struktur, perilaku dan mekanisme maupun fatsun yang akan menjadi pedoman oleh setiap lembaga negara termasuk TNI, serta segenap warga negara tanpa kecuali. Dengan demikian harapan segera lahirnya sebuah peradaban baru bukanlah hal yang mengada-ada, tapi sebuah proses yang terukur sebagai produk dari sistem kenegaraan yang disusun secara obyektif, rasional serta teruji validitasnya, dan dapat dibuktikan kebenarannya setidaknya secara empirik oleh sejumlah negara sahabat. Bab Kedua

PAHAM KENEGARAAN DAN TUNTUTAN REFORMULASI SISTEM KENEGARAAN Pilihan Paham Kenegaraan dan Demokrasi Sudah menjadi kodrat alam, sebagaimana filsafat dualisme para filsuf Yunani klasik seperti Plato, bahwa dalam kehidupan senantiasa berpasang-pasangan dan

10 berlaku hukum keseimbangan. Siang-malam, pria-wanita, kuat-lemah, kanan-kiri, barat-timur adalah dua sisi yang mampu membentuk sebuah dinamika kehidupan yang harmonis. Sesuai dengan kodratnya pula kehidupan ini selalu bergerak menuju equeliberiumnya yang baru. Kehidupan apapun juga selalu berubah dalam alur turun naik. Dahulu miskin sekarang kaya, kemarin terpuruk sekarang berjaya dan begitu terus berganti dan berulang selamanya. Hal yang sama berlaku juga dalam pengelolaan negara, pasang surut, kejayaan dan keterpurukan adalah siklus kehidupan yang silih berganti. Namun demikian bagi bangsa Indonesia dalam tenggang waktu enam-puluhan tahun sejak kelahiran nya belum menuai masa-masa kejayaan dan apalagi keindahan. Bahkan sebaliknya duka, kemalangan, dan kepedihan utamanya yang timbul dalam pengelolaan negara terus berulang silih berganti. Keberhasilan di era Orde Baru sendiri, rupanya banyak yang manipulatif dan semu karena penuh rekayasa. Barangkali tidak mengada-ada kalau Hendarmin dalam bukunya yang berjudul "Gudang Pangan, Tujuan Wisata, Paru-Paru Dunia" menyimpulkan bahwa keberhasilan Orde Baru yang nyata dan tidak manipulatif hanyalah Program KB (Keluarga Berencana). Menjadi wajar kalau sejak krisis ekonomi di tahun 1997 dalam waktu cepat berubah menjadi krisis multi-dimensional yang hingga saat ini belum disikapi baik dan benar. Lebih memprihatinkan lagi karena dalam keadaan yang mengenaskan seperti sekarang ini, oleh sebagian elit bangsa di pusat maupun di daerah kondisi yang ada ini justru dimanfaatkan untuk berebut kekuasaan dan materi dengan terus melakukan praktek-praktek KKN yang makin mengganas dan juga menjamur sebagaimana yang dilansir oleh media massa akhir-akhir ini. Berangkat dari realitas yang demikian, sesungguhnya persoalan yang mendasar bagi bangsa kita saat ini adalah

bagaimana

membangkitkan

kesadaran

bersama

untuk melaksanakan

instropeksi agar segera menemu-kenali akar masalah yang menjadi penyebab ketidakmampuan bangsa dan negara ini membangun peradabannya dengan baik. Untuk selanjutnya dicari- kan solusi pemecahan masalah secara konprehensif. Sehingga ke depan bangsa ini tidak perlu berulangkali jatuh dalam krisis kenegaraan dan bahkan krisis peradaban bangsa sebagaimana yang kita alami di sekitar tahun 1965 dan juga dewasa ini. Keberhasilan sejumlah bangsa dan negara dalam membangun peradabannya, tidak bisa lepas dari bagai mana bangsa tersebut mengatur sistem kenegaraan- nya.

11 Sejak berkembangnya ilmu ilmu sosial di abad pertengahan sesungguhnya model dalam mengatur sistem kenegaraan dilandasi oleh dua aliran paham besar dunia. Paham yang pertama berprinsip dasar bahwa: "Rakyat Bertanggung Jawab Atas Negara". Pada paham ini kekuasaan diatur dengan asas dari rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Paham ini kita kenal sebagai paham demokrasi atau biasa dikenal dengan sebutan sistem dimana kekuasaan ada ditangan rakyat. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka paham ini lebih mengutamakan faktor rakyat di dalam negara.

Dalam perkembangannya, ketika

paham kebebasan yang disebut liberalisme berkembang, demokrasi pun mengalami kemajuan. Karena salah satu nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, maka dengan mudah paham demokrasi ini diselaraskan dengan paham liberalisme sehingga lahir apa yang disebut “demokrasi liberal” yang sekarang menjadi model demokrasi mainstream di dunia9. Paham yang kedua menggunakan prinsip dasar bahwa: "Negara Bertanggung Jawab Atas Kesejahteraan Rakyat". Paham ini menempatkan kekuasaan negara yang diperoleh dari Kader Partai melalui forum Konggres Partai dan selanjutnya oleh negara dialirkan dari atas ke bawah dalam bentuk kebijakan dan peraturan perundangundangan yang top-down. Karenanya maka para ahli menyebut paham ini dengan istilah sistem otoriter. Di dalam sistem otoriter, kepentingan-bersama atau lebih tepatnya “kepentingan negara” adalah suatu prioritas yang lebih mutlak dibandingkan kepentingan individu di dalam negara. Karena “kepentingan negara” lebih diutamakan dari pada kepentingan orang-perorang warga negara, maka paham ini juga dikenal dengan sebutan sosialisme. Di dalam sosialisme, setiap orang diperlakukan sama oleh negara dan tidak ada kekuatan lain yang ada selain kekuatan negara. Prinsip ini kemudian sangat dekat dengan prinsip komunisme yang dikembangkan oleh Karl Marx (1818) dan Friederich Engels. Marx dan Engels mempermutlak prinsip sosialisme dengan mengatakan bahwa keadilan dan kemakmuran hanya tercipta kalau di dalam masyarakat tidak ada kategorisasi atas dasar kelas, lebih tepatnya disebut sebuah “masyarakat tanpa kelas” (no class society)10. William Ebenstein di dalam bukunya Today’s Isms mengungkapkan bahwa 9

Di antara para pemikir liberal yang mengaitkan demokrasi dengan liberalisme adalah John Rawls melalui bukunya Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993) 10 Tentang Marxisme bisa dilihat dalam buku Frans Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, (Jakarta: Gramedia, 2003).

12 Pememerintah sosialis- me dan komunisme di negara berkembang sangat penting. Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat. Tanpa kemajuan ekonomi seperti itu, negara-negara yang baru muncul ini merasa bahwa tidak akan ada kemerdekaan politik dan kepemimpinanan internasional yang sejati. Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan satu-satunya cara untuk mencapai standart hidup, kesehatan, dan pendidikan yang lebih baik”11.

Dalam rangka itu, sosialisme dan komunisme

lebih mudah diterima sebagai way of live yang mengatur kehidupan suatu negara. Kedua paham tersebut sesungguhnya dirumus- kan dari realitas kehidupan sosial yang berkembang di jamannya. Dengan kata lain, kedua paham tersebut bukanlah gagasan yang berada diawang-awang atau tidak membumi, karena memang sebagai teori kedua paham tersebut terlahir melalui proses panjang di masa lalunya. Dan itu pun melalui berbagai koreksi dan perbaikan secara terus-menerus sesuai dengan tingkat kemajuan peradaban pada era berikutnya. Sudah barang tentu jatuhnya korban dan biaya politik yang timbul dari proses panjang tersebut sangatlah besar. Jatuhnya korban dalam revolusi Perancis (1789), perang saudara di Amerika, terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan di negara-negara industri di daratan Eropa akhirnya melahirkan kesadaran kolektif untuk membangun sistem kenegaraan yang mampu men- jamin agar petaka kemanusiaan tersebut tidak kembali berulang. William Ebenstein mengungkap kembali hal ini sebelum ia membahas dilema demokrasi dalam sejarah peradaban manusia dalam bukunya Great Political Thinkers (1951)12. Bahwa akibat ketidak adilan, penindasan dari manusia oleh manusia dimasa lampau begitu hebatnya, maka muncullah pemikiran untuk membangun sistem kenegaraan yang mampu menjamin dan melindungi hak hak sipil, kebebasan dan kemerdekaan segenap individu warga negara yang kemudian berkembang menjadi paham demokrasi. Sementara itu dipihak lain, ketidakadilan dan hilangnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan oleh orang-orang kaya yang menguasai modal dan mesin mesin industri melahir- kan pemikiran bagaimana agar negara mampu menjamin kehidupan rakyatnya secara merata dalam sebuah masyarakat tanpa kelas (komunisme). Kedua paham tersebut sesungguhnya tak lebih hanyalah cara 11

William Ebenstein, 1985, Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, (Jakarta: Erlangga, 1994), hal. 247 William Ebenstein menjelaskan tentang sejarah lahirnya demokrasi, bahwa demokrasi bertumbuh sebagai refleksi atas kekerasan dalam masa revolusi, refleksi atas ketidakadilan dalam sejarah peradaban manusia, dalam bukunya The Great Political Thinkers, (New York, Toronto, Chicago, San Fransisco: Holt, Rinehart and Winston, 1960), edisi ketiga, khususnya pada bab ke-20 tentang The Dilema of Democracy, hal. 522-534 12

13 mendatangkan kesejahteraan manusia dalam sebuah sistem sosial yang disebut sebagai negara. Dalam kenyataannya kedua paham tersebut tidak ada lagi yang murni. karena masing-masing telah berproses secara dialektis sebagaimana tesis Hegel. Sejumlah negara penganut paham demokrasi belakangan ini justru melaksanakan fungsi "negara memenuhi kebutuhan rakyat"-nya sebagaimana yang seharusnya dikerjakan oleh negara penganut paham komunis. Inilah yang kita kenal sebetulnya dengan paham “Negara Kesejahteraan” (Welfare State) yang secara konseptual landasannya dikembangkan oleh pemikir seperti John Mayard Keyness yang menginginkan adanya intervensi negara terhadap pasar. Keyness bertentangan dengan liberalisme klasik yang tidak menginginkan adanya campur tangan negara terhadap pasar karena ada “tangan tak kelihatan”-nya Adam Smith. Dalam perkembangan, ternyata Smith agak keliru karena ternyata kemiskinan dan ketidak adilan masih terjadi akibat pasar yang tidak peduli dengan komunitas yang miskin dan tidak mampu bersaing. Maka Keyness muncul dengan gagasannya “liberalisme baru” yang menghendaki adanya campur tangan negara. Liberalisme baru menjadi dasar munculnya berbagai paradigma baru kemudian diantaranya liberalisme-kesejahteraan (welfare-liberalism) yang selanjutnya melahirkan Negara Kesejahteraan. Negara Kesejahteraan memiliki pandangan dasar bahwa negara harus mensubsidi kebutuhan pokok rakyat terutama dibidang-bidang yang vital dan mendasar13. Sementara itu, pada sejumlah negara penganut paham komunisme (otoriter), kebutuhan warga negaranya tidak dipenuhi oleh negaranya, akan tetapi sebaliknya warga negaranya justru membiayai kebutuhan hidupnya masing-masing. Contoh konkrit dengan mudah kita jumpai di sejumlah negara demokrasi yang menyediakan air minum secara gratis bagi semua warga negaranya. Dan sebaliknya tidak jarang rakyat dari negara-negara komunis dalam memenuhi kebutuhan air minumnya dengan cara membeli dari negaranya. Sistem ekonomi kapitalis yang dahulu menjadi musuh kaum sosialis, kini mereka begitu pedulinya dengan persoalan-persoalan sosial yang sedang melanda dunia, sementara mereka yang dahulu memusuhinya kini di negaranya tumbuh kapitalisme yang justru tidak dilandasi nurani. Barangkali kapitalisme model Indonesia adalah contoh tak terbantahkan dari model ekonomi kapitalisme yang tidak bernurani. Dalam prakteknya negara penganut sistem otoriter ternyata tidak mampu 13

Lihat dalam Ebenstein, Ibid. hal., 808-836

14 mensejahterakan rakyatnya. Belum lagi munculnva distorsi akibat sistem ini sarat dengan kepentingan pribadi para penguasa yang dibungkus atas nama kepentingan umum atau negara. Sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan, maka timbullah penolakan terhadap sistem dari rakyatnya sendiri. Yang muaranya adalah hancurnya sejumlah negara penganut paham ini seperti yang terjadi di Uni Soviet dan juga negara-negara Eropa Timur lainnya. Sebaliknya dinegara-negara penganut sistem demokrasi, kesejahteraan rakyatnya kemudian maju dengan pesatnya. Sehingga secara langsung meningkat kan pula harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bangsanya. Dengan kata lain dari "perlombaan" tersebut dimenangkan oleh sistem demokrasi yang telah tampil sebagai satu-satunya sistem kenegaraan yang terbukti teruji berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, setidaknya untuk masa kekinian. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, sejumlah negara yang berhaluan komunisme memilih segera bermitra dengan negara-negara yang berhaluan demokrasi. Bahkan tanpa mengubah atau mengganti ideologi bangsanya, mereka kemudian mengadopsi sistem perekonomian model negara-negara demokrasi. Kisah sukses RRC dalam mengadopsi sistem ekonomi liberalisme khususnya bagi wilayah yang berada di pantai, dan juga keberhasilan Rusia dalam recovery setelah proses disintegrasi,

kini

telah

melahirkan

equeliberium

baru

untuk

mengejar

ketertinggalannya dalam membangun bangsanya. Persoalan yang kita hadapi selama ini sesungguh- nya terletak pada ketidakketegasan sikap dalam memilih kedua paham tersebut. Dengan berbagai kondisi yang melingkupinya, dalam melihat kedua isme tersebut cenderung tidak hitam putih, disamping kurang obyektif dan juga kurang jujur. Hal ini dikarenakan bangsa kita memang cenderung melihat kedua paham tersebut hanya dari kesan umum dan juga akibat pemahaman yang tidak mendalam. Kebiasaan kita juga cenderung mudah menjustifikasi dan bahkan mengkutuk sekalipun tanpa mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana permasalahan yang sebenarnya. Mereka yang tidak setuju dan bahkan anti terhadap liberalisme ataupun komunisme belum tentu telah memahami ajaran masing-masing isme tersebut, apalagi mendalaminya. Kondisi yang demikian tidak hanya berlaku bagi masyarakat kebanyakan saja, tapi juga pada masyarakat lapis menengah atas termasuk elitnya. Dan diantara mereka yang sudah tahu dan mengerti sekalipun terkadang karena kepentingannya dengan mudahnya memanipulasi. Tidak jarang diantara mereka

15 kemudian melaksanakan pembodohan publik secara terang-terangan demi tujuan tertentu. Disisi lain cara pandang diametral juga terus berlanjut, sehingga dalam melihat paham yang berbasis pada liberalisme adalah sebagai lawan dari paham yang berbasis komunisme, dan juga sebaliknya dengan kesimpulan kedua-duanya jelek dan tidak cocok untuk bangsa kita. Tidak memahami dan bahkan tidak mau tahu bahwa sesungguhnya kedua paham tersebut sudah tidak ada yang benar-benar murni lagi. Fenomena menarik lainnya adalah kasus India. Dengan segala kecompangcampingannya dalam banyak aspek, India terus mencoba mempertahankan kemurnian dalam menerapkan sistem demokrasinya. Walaupun lambat tapi pasti dalam hitungan beberapa tahun kedepan ia akan menyusul tampil sebagai raksasa ekonomi Asia kedua setelah Cina. Di samping itu sejumlah negara dibanyak kawasan yang menerapkan demokrasinya dengan benar juga telah berhasil menjadi negara maju dan kuat baik dibidang ekonominya, tehnologi ataupun sekedar superior dalam industri olah raga sepak bola sebagai sumber terbesar devisa negara nya. Jepang dan Jerman umpamanya, dengan mengubah sistem kenegaraan- nya pasca Perang Dunia II dan kemudian berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar demokrasi secara kuat terbukti dalam hitungan hanya dua dekade mampu menjadi negara yang maju kembali. Korea, Singapura, Australia, dan negara-negara Eropah yang tergabung dalam Blok Barat lainnya dengan menerap- kan demokrasi secara benar berhasil lebih dahulu dominan dalam percaturan dunia. Belakangan ini Malaysia, Thailand dan bahkan Philipina dengan segala persoalan dalam negerinya terbukti lebih cepat mampu mengatasi badai krisis yang melanda kawasan Asia tenggara di tahun 1997 yang lalu. Garapan yang utama dan pertama mereka kerjakan ternyata juga pembenahan dan bahkan penggantian sistem kenegaraannya terlebih dahulu. Sementara itu bangsa dan negara kita terus ke- bingungan tanpa kejelasan arah, dengan kondisi yang sudah mulai bertatih-tatih dalam tahun ke-8 setelah badai krisis ekonomi, kini terus disorientasi dan bahkan peradaban dalam kerangka Indonesia sepertinya terancam hancur. Prinsip dasar dari paham demokrasi adalah kedaulatan ditangan rakyat. Makna kedaulatan rakyat disini diartikan bahwa “kekuasaan yang tertinggi dalam pengelolaan Negara” berada ditangan rakyat. Rakyat lah yang menentukan apa dan bagaimana kehidupan Negara nya akan diatur. Sudah barang tentu dalam sistem ini hak-hak warga negara terlebih tentang kebebasan termasuk kebebasan dalam ber-

16 serikat sangat menonjol. Karenanya maka dalam sistem demokrasi keberadaan partai politik menjadi sangat penting, baik sebagai wadah untuk peng- kaderan, penyaluran aspirasi rakyat, maupun untuk menjadi fasilitas bagi kadernya yang akan tampil dalam panggung politik. Sementara itu pada sistem otoriter (komunisme) negara lah yang menjadi subyek dalam pengaturan kehidupan dan peradaban bangsa nya. Para kader Partai Komunis sebagai pemegang kedaulatan melalui mekanisme Konggres Partai menyerahkan "mandat" kekuasaan kepada negara untuk dijalankannya. Dengan kata lain dalam sistem ini "Kekuasaan tertinggi dalam mengelola negara berada ditangan Partai" yaitu Partai Komunis. Maka menjadi wajar kalau dalam sistem ini kekuasaan negara atas rakyat nya menjadi begitu menonjol. Begitu pula hak-hak warga negara juga diatur dan diberikan oleh negara sesuai kepentingan negara. Dan hak yang demikian itu ditempatkan bukanlah sebagai hak karena pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang dibawa bersama kelahirannya sebagai manusia di dunia. Sudah barang tentu kebebasan warga negara menjadi sangat terbatas. Dalam sistem negara otoriter, bagi rakyat yang akan berpolitik diwajibkan untuk masuk dalam Partai Komunis sebagai satu-satunya Partai yang berkuasa. Sementara rakyat lainnya yang memilih diluar urusan politik berada diluar Partai, dengan pengertian bahwa mereka tidak boleh terlibat urusan perpolitikan dalam bentuk apapun. Kebebasan dalam berpolitik diwadahi didalam internal partai, dalam arti di dalam Partai Komunis sendiri bisa jadi terdapat sejumlah faksi. Secara alami demokrasi juga terbagi dalam dua model. Kedua model tersebut pada tataran nilai dasar pada intinya sama, dan yang berbeda pada tingkat implementasi nilai terapannya. Dua jenis demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang menggunakan sistem presidensial dan domokrasi dengan sistem parlementer14. Untuk model demokrasi sistem presidensial, kontrak sosial dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dengan sang calon Presiden. Konsekwensi logis dari sitem presidensial maka model Pemilu nya haruslah Pemilu langsung. Disebut dengan istilah Pemilu langsung karena Rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas negara memilih langsung dengan mencoblos tanda gambar sang Calon Presiden. Dengan kata lain fungsi Partai disini hanyalah sebagai fasilitas yang melaksanakan fungsi adimintrasi semata. Bahkan dalam sistem ini Calon Presiden bisa saja berasal dari luar 14

Baca di dalam Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Democratic Ideal, (New York: Harper Collins Publishers, 1991)

17 Partai yang ada. Adapun isi kontrak sosial antara Presiden dan Rakyatnya adalah semua "janji dalam bentuk program" yang ditawarkan calon Presiden yang disampaikan sewaktu kampanye Pemilu. Setelah rakyat berhasil memilih Presiden, maka untuk memberi dukungan politik antara lain dalam urusan "pembuatan pembuatan Undang-undang (legislasi)" dan juga untuk menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak sosial oleh Presiden, maka rakyat melalui Pemilu langsung menunjuk wakilnya untuk duduk dalam lembaga Legislatif. Dan karenanya maka dalam demokrasi sistem presidensial Pemilu Legislatif dilaksanakan setelah Pemilu Presiden, sehingga dalam memilih wakilnya yang akan duduk dilembaga legislatif sudah memper- timbangkan pula kebutuhan perimbangan politik bagi sang Presiden. Konsekuensi logis dari proses pemilihan yang demikian adalah bahwa kewenangan untuk mencabut kepercayaan rakyat yang dimiliki Presiden dan anggota Legislatif hanyalah oleh rakyat pemilik kedaulatan sendiri, bukan oleh lembaga lain yang manapun. Rakyat

tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk

menjalankan otoritas ke- daulatannya kepada pihak manapun baik kepada Partai manapun ataupun Anggota Legislatif untuk atas nama rakyat men"jatuh"kan Presiden, dan rakyat pun tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk menjalankan otoritas keadaulatannya kepada Partai manapun untuk me-recall anggota legislatif yang dipilihnya melalui Pemilu Langsung. Oleh karenanya, dalam sistem presidensial posisi Presiden dan Legislatif adalah sebagai konstanta, dimana Presiden dan juga Anggota Legislatif tak bisa dijatuhkan atau diganti oleh siapapun kecuali alasan hukum dalam arti yang bersangkutan melakukan perbuatan kriminal, kematian atau mengundurkan diri. Dalam sistem presidensial anggota DPR bukan wakil Partai tetapi sepenuhnya sebagai wakil rakyat, karena "mandat" yang dimilikinya bukan dari Partai, tetapi dari Rakyat yang telah memilihnya. Ini adalah prinsip dasar dari perwakilan politik dalam sistem demokrasi presidensial. Bahwa wakil rakyat yang duduk dalam sistem politik karena dipilih oleh dan untuk kepentingan rakyat yang memilihnya sehingga seluruh tindakan dan sikap sang wakil harus mencerminkan dan dalam rangka kepentingan rakyat sebagai pihak yang diwakili15. 15

Drs. Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal. 37. Dijelaskan oleh Arbi Sanit bahwa wakil adalah penerima mandat dari rakyat untuk merealisasikan tujuan-tujuan dalam proses kehidupan politik yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, si wakil haruslah bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dari rakyat. Implikasinya,

18 Dan penting untuk dipahami juga bahwa secara prinsipal rakyat tidak pernah memberi kuasa, delegasi, atau otoritas untuk menjalankan kedaulatan (kekuasaan tertinggi dalam mengelola negara) yang dimilikinya kepada Partai Politik manapun. Ia hanya memberikan kewenangan kepada orang-orang tertentu yang kebetulan direkrut oleh partai politik sebagai organisasi politik yang resmi dalam negara demokrasi. Disanalah logika politik dalam sistem presidensial yang menempatkan posisi Presiden tidak bisa di lengserkan oleh Lembaga Negara manapun, dan juga Anggota Legislatif tidak bisa di recall oleh Partainya. Dan dari sistematika berpikir yang demikian itu, maka akan melahirkan struktur demokrasi yang mampu menjamin lahirnya "check and balances". Karena dari posisi yang demikian itu otomatis stabilitas politik akan terus terjaga (balance), dan juga fungsi kontrol (check) yang ketat dari lembaga Legislatif karena mereka tidak takut dicopot/di-recall oleh siapapun. Dengan demikian tidak hanya presiden, para wakil pun juga bisa bekerja dengan lebih baik tanpa dibawah tekanan partai atau kelompok tertentu16. Kelebihan pada model ini akan muncul Presiden yang memang benar-benar integritas nya teruji, legitimasinya tinggi dan kapabilitasnya tidak diragukan dengan programnya yang aspiratif sesuai dengan tuntutan mayoritas rakyat untuk menjadi seorang Presiden. Dan mereka yang terpilih sebagai Anggota Legislatif adalah benar-benar figur yang dikenal dan berkualitas lebih di lingkungannya17. Adapun kelemahan pada sistem ini, adalah mana kala ternyata kinerja Presiden terpilih dan juga Anggota Legislatif yang dipilihnya ternyata tidak baik atau buruk sekalipun, maka rakyat harus bersabar sampai masa jabatannya selesai. Namun rakyat bisa meng "hukum" mereka dengan tidak lagi memilihnya pada Pemilu berikutnya. Dan yang jelas model ini untuk negara yang majemuk sangatlah cocok karena persaingan politik yang terjadi tidak berbasis pada politik aliran, tapi pada program yang ditawarkan oleh calon Presiden sewaktu kampanye. Dengan kata lain politik yang dikembangkan dalam sistem ini adalah politik program, dan politik aliran secara pandangan/kebebasan personal si wakil tidak diperkenankan untuk dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil, kecuali jika pandangan itu merupakan cermin dari pandangan /aspirasi rakyat sebagai pihak yang diwakili. 16

Menarik sekali kalau kita cermati penjelasan Dennis F. Thompson tentang etika sang wakil dalam politik demokrasi, dalam bukunya Etika Politik Pejabat Negara, terjemahan Benyamin Molan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Thompson melihat dari aspek etis bahwa wakil adalah manifestasi dari kehendak rakyat yang memilihnya maka wakil harus bertindak dalam koridor yang sudah diatur dalam undang-undang dan tidak mengecewakan rakyat yang memilihnya. 17 Lihat juga penjelasan dalam buku Bintan R. Saragih, S.H., Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988).

19 otomatis akan menjadi kecil dengan sendirinya. Dalam kaitan besarnya potensi kerawanan sosial dalam negara yang majemuk seperti Indonesia, maka ditetapkannya pilihan pada demokrasi sistem presidensial sebagai "kata putus" menjadi sangat relevan. Sedang dalam demokrasi Parlementer kontrak sosial dilaksanakan oleh Rakyat dengan Partai Politik yang dilaksanakan pada saat kampanye Pemilu. Pemilu dalam sistem parlementer dilaksanakan dengan cara tidak langsung, dimana perserta Pemilu adalah Partai Politik, dalam arti yang dicoblos rakyat adalah tanda gambar Partai bukan gambar sang calon Anggota Legislatif. Dan karenanya pimpinan Partai pemenang Pemilu otomatis menjadi Kepala Pemerintahan yang biasanya disebut sebagai Perdana Menteri. Dengan demikian materi kontrak sosial dalam sistem parlementer adalah program-program Partai Politik yang ditawarkan sewaktu kampanye Pemilu. Begitu pula keberadaan anggota legislatif yang biasanya disebut Parlemen sudah barang tentu diatur dan "tunduk" kepada Partai Politik. Dari sanalah maka kedudukan Perdana Menteri dan juga anggota Parlemen dalam sistem parlementer adalah "Variable", artinya setiap saat seorang Perdana Menteri bisa "jatuh" karena mosi tidak percaya, dan begitu pula anggota Parlemen setiap saat bisa di-"recall" oleh Partainya. Dalam sistem ini walaupun posisi Perdana Menteri dan Parlemen sebagai Variable, namun sistem ini diamankan oleh posisi Kepala Negara sebagai faktor konstanta yang secara kelembagaan memang terpisah dari pemerintahan. Dengan posisi Perdana Menteri dan Anggota Parlemen sama-sama sebagai "Variable" maka struktur politik yang terbentuk juga menjadi "chek and balance", karena dari sana akan lahir keseimbangan yang dinamis disamping adanya fungsi kontrol yang kuat. Secara alami maka sistem ini banyak dipakai oleh negaranegara yang berbentuk kerajaan dimana kedudukan Raja atau sejenisnya adalah hanya sebagai Kepala Negara saja. Konsekwensi dari model ini peran Partai Politik sangatlah menonjol atau kuat. Pada model ini peran Partai dalam rekruitmen kader sangat dominan, dan untuk mempertahankan legitimasi dari pendukungnya maka Partai akan berusaha menampilkan program program yang dapat mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi rakyatnya, disamping ia akan menampilkan kader-kader terbaiknya. Dalam sistem ini para menteri adalah kader partai, biasanya mereka telah terjalin dalam satu tim work dengan calon Perdana Menteri didalam Partainya. Kelebihan pada model ini kontrol dari partai melalui anggota parlemen kepada Perdana Menteri (pemerintah) termasuk penilaian terhadap kinerja Menteri memang

20 sangat ketat. Sehingga bila terjadi penyimpangan atau kinerja Perdana Menteri dan atau Menteri yang tidak memuaskan dapat ditangkal sejak dini. Adapun kelemahan dari sistem ini sewaktu waktu posisi Perdana Menteri dan juga Menteri bisa goyah, karena Parlemen bisa saja mengajukan mosi tidak percaya. Anggota Parlemen karena setiap saat bisa di "recal" oleh Partainya, maka misi Partai dalam kondisi tertentu akan lebih menonjol daripada aspirasi rakyat itu sendiri. Kerawanan model ini adalah stabilitas politik sangat ditentukan besar kecilnya dukungan parlemen kepada Presiden dan bagi negara yang majemuk akan membuat maraknya politik aliran yang berbasis pada SARA tidak bisa dicegah, terlebih pada negara yang tingkat pendidikan warga negara nya masih rendah. Para "founding father" kita memang sempat menawarkan sejumlah pandangan tentang sistem kenegaraan yang hendak dibangunnya, setidaknya secara resmi pernah disampaikan dalam siding sidang BPUPKI dan PPKI. Dua aliran besar pemikiran juga sempat muncul dalam pemandangan umum disidang-sidang tersebut. Supomo dan kawan-kawan dekat dengan paham sosialismenya dengan pilihan model yang sempat ditawarkan adalah model Jerman dan Jepang. Sementara itu Yamin, Bung Hatta dan kawan-kawan lebih menonjol pada paham liberalisme nya. Sedang Bung Karno sendiri lebih menonjolkan persoalan kemanusiaan, demokrasi dan tata dunia kedepan (internasional). Hal ini bisa dicermati dari rumusan Panca Sila yang sangat mengedepankan dan menjunjung tingi nilai-nilai Kemanusiaan, Kerakyatan dan Kesejahteraan. Sangat disayangkan sewaktu penyusunan sistem kenegaraan kedua aliran paham tersebut bukan dijadikan sebagai opsi pilihan, namun keduanya malah sama-sama diakomodasikan. Maka menjadi wajar kalau konsep politik yang dirumuskan lebih sebagai pencampuran dari keduanya. Sikap "founding father" yang cenderung mengakomodasikan semua pemikiran dan juga kepentingan tidak bisa lepas dari suasana kebathinan yang berkembang saat itu. Disamping karena beragamnya paham dan juga pengetahuan yang ada pada para pendiri republik, perkembangan Perang Dunia dimana tanda-tanda bahwa Sekutu akan keluar sebagai pemenang dengan jelas dirasakan juga membuat "founding father" mengakomodasikan paham demokrasi. Sementara itu kedekatan para perumus UUD 1945 dengan Pemerintahan Kolonial Jepang yang justru berinisiatif membentuk badan yang menangani persiapan kemerdekaan dan sekaligus membiayainya, tidaklah mungkin melahirkan pemikiran yang digodok dalam BPUPKI dan juga PPKI secara

21 terang-terangan menentang sistem fasisme yang dianut pemerintahan kolonial Jepang. Suasana kebathinan yang demikian itulah yang sangat mempengaruhi konsep sistem

kenegaraan yang disusunnya. Disana maka nilai nilai yang

berseberangan disatukan, bahkan dua nilai yang kontradiktifpun diramu dalam sebuah konsep sistem politik nasional. Suasana kebathinan yang melingkupi saat dibuatnya UUD 1945 juga tidak memungkinkan untuk menguji obyektifitas, rasionalitas, validitas dan apalagi kebenaran dari sistem yang disusunnya. Karenanya penekanan utama dalam perumusan UUD-45 lebih menonjolkan pada unsur semangat para penyelenggara negara. Dengan kata lain konsep politik yang dirumuskan dalam UUD45 barulah sebatas hipothesa yang kebenarannya sama sekali belum sempat terbukti walaupun sekedar secara teori sekalipun. Dari sana pula "founding father" kita cepatcepat menyatakan bahwa Konstitusi yang disusunnya barulah bersifat sementara karena kedaruratan. Menjadi mudah dipahami, karena dalam kenyataan nya batang tubuh UUD-45 memang dibuat hanya dalam waktu 1 (satu) hari saja. Bung Karno sendiri dalam pidato pengesyahan UUD-45 pada tanggal 18 Agustus 1945 antara lain menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa UUD -45 yang (kita) buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan INI ADALAH UNDANG-UNDANG DASAR KILAT. Nanti kalau kita telah bernegara dalam keadaan tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”. Artinya persoalan perubahan UUD45 melalui penggantian dengan yang baru sekalipun bukanlah perbuatan dosa dan apalagi pengkhianatan

kepada “Founding Father”. Justru sebaliknya, kita harus

menempatkan hal itu sebagai “hutang amanah” yang harus segera dbayar oleh para pewaris negeri ini. Dari susunan struktur pemerintahan versi UUD 1945 dengan jelas kelihatan sekali kalau referensi yang digunakan oleh "founding father" kita dalam menyusun UUD 1945 adalah campuran antara Konstitusi Kerajaan Belanda model tahun 1814 dan sistem kenegaraan model Komunisme. Keberadaan DPR, DPA, BPK, MA, dan Presiden sebagai pengganti kedudukan Perdana Menteri masing-masing sebagai Lembaga Tinggi Negara jelas meng- induk pada Konstitusi Belanda tersebut. Padahal Belanda sendiri pada tahun 1922 telah mengubah Konstitusi tersebut. Sedang mekanisme penggunaan kedaulatan rakyat, UUD 1945 lebih menginduk pada sistem otoriter dimana kedudukan MPR yang mempunyai wewenang "Menjalankan

22 Kedaulatan Rakyat" sesungguhnya adalah pengganti forum Kongres Partai Komunis sebagaimana yang dilaksanakan di Uni Sovyet, RRC dan juga negaranegara komunis lainnya. Keberadaan MPR menjadi lebih rancu ketika lembaga ini justru distrukturkan sebagai Lembaga Tinggi Tertinggi Negara yaitu sejak periode akhir masa pemerintahan Bung Karno setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini. Tuntutan Reformulasi Sistem Kenegaraan Beranjak dari kondisi sebagaimana tersebut diatas, maka menjadi penting untuk kedepan bagi bangsa ini dalam menghormati para pendahulunya ditempuh dengan sikap arif, tanpa meninggalkan obyektifitas, dan jauh dari pengkultusan. Dan sebaliknya semua pihak menghindari upaya mempertahan- kan kekuasaan dengan memanfaatkan nama besar para Pendiri Republik. Kedepan tidak perlu lagi pengkultusan terhadap para pendahulu, dengan menempatkan semua nilai yang dirumuskan mereka sebagai harga mati. Dan diberinya stigma sebagai model khas Indonesia dan kemudian mensakralkan- nya. Padahal dibalik itu semua dengan mempertahan- kan nilai-nilai lama tersebut banyak kesempatan untuk terus mengakumulasikan kekuasaan. Dengan berulang kali jatuh bangun dalam krisis nasional, berulang kali pula terjadi petaka kemanusiaan oleh sesama anak bangsa dengan korban yang tidak kecil jumlahnya adalah bukti bahwa sistem kenegaraan tidak bisa lagi diandalkan untuk membangun peradaban kita kedepan. Yang jelas dewasa ini peradaban bangsa menjadi begitu terpuruk, sementara itu residu masa lampau begitu sangat membebani anak bangsa termasuk generasi penerus- nya. Maka akan lebih tepat kalau kita segera menyimpulkan bahwa konsep politik yang digunakan selama ini ternyata belum (tidak) teruji sebagai sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dalam praktek penyelenggaraan negara termasuk oleh bangsa-bangsa lain. Maka pertanyaan sebaiknya segera dijawab oleh segenap anak bangsa apakah mungkin UUD-45 sebagai sebuah sistem yang telah melahirkan petaka kemanusiaan secara berulang dan dengan kerusakan kejiwaan bangsa serta residu masa lalu yang begitu dasyatnya lantas mampu mengatasi keadaan itu semua. Bukankah sesuatu yang naïf kalau kita mengharapkan sebuah sistem yang nyata-nyata gagal, lantas digunakan kembali untuk mengatasi segala persoalan yang justru

dilahirkan oleh

sistem itu sendiri. Haruskah kedepan kita dengan hasil amandemen UUD-45 kembali

23 dan terus melanjutkan bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru tentang konsep politik yang tanpa dibuktikan terlebih dahulu obyektifitas, rasionalitasnya, validitasnya dan juga kebenarannya minimal secara empiric oleh sejumlah bangsa lain. Pertanyaan yang demikian berkaitan erat dengan realitas politik yang kini terjadi pada diri bangsa ini, dimana hasil empat kali amandemen UUD 1945, sejumlah Ketetapan MPR dan juga sejumlah Undang-undang masih terus melanjutkan pencampur-adukan nilai-nilai dari kedua paham (ideologi) dan struktur politik yang semakin semrawut. Formula yang ada pada UUD-45 sendiri memang

sudah

campuran, melalui amandemen malah ditambah lagi dengan mengaduknya dengan kedua perangkat sistem demokrasi yaitu perangkat yang ada pada sistem presidensial dan yang ada pada sistem parlementer. Kedepan bangsa ini dituntut untuk bersikap tegas, jelas, lugas dan janganlah terus-terusan mem- pertahankan keabu-abuan, dan ketidak-jelasan dalam memilih sebuah kebenaran (nilai) yang sifatnya sudah universal. Ibarat disuruh memilih warna hitam atau putih, kita biasanya cenderung memilih sebagian hitam dan sebagian putih. Kita sepakat memilih menjadi laki-laki, tapi penampilan, watak, sifat dan perlaku yang ditampilkan adalah sebagai wanita. Konsistensi sebagai laki-laki mestinya berpenampilan gagah, macho serta perkasa di samping berwatak ksatria dan gentle. Dan begitu pula bila pilihannya menjadi wanita, kita juga harus konsisten dan konsekwen untuk berpenampilan yang cantik, menawan dan berperilaku lembut dan halus serta anggun. Keseimbangan yang mestinya diametral dengan memilih jadi lakilaki atau wanita, umumnya kita memilih jadi banci/waria. Menjadi wajar kalau Suparwan G Parikesit Cendekiawan Muslim kita dalam tulisan lepasnya tertanggal 29 April 2005 yang berjudul "Kebangkitan Kembali Kaum Intelektual" menyebutnya dengan istilah "Sistem Pemerintahan tak berkelamin". Padahal keseimbangan yang alami adalah posisi optimal pada masing masing kutub walau terkadang memang perlu fleksibel. Disanalah pentingnya kesadaran bersama dari segenap anak bangsa untuk tidak mengulangi dan terus melanjutkan model dimana bangsanya sendiri yang berjumlah lebih dari 200 juta

sebagai obyek uji coba dari sebuah gagasan tentang sistem

kenegaraan yang masih bersifat hipothesa. Padahal resiko yang bakal terjadi tidak hanya membikin segenap warga Negara yang sekarang menjadi menderita, tapi juga anak cucunya bahkan beberapa generasi ikut menanggungnya. Lagi pula mereka yang terlibat dalam penyusunan dan juga anggota rezim yang melaksanakannya belum

24 tentu ikut menanggung dampaknya. Bukankah bangsa-bangsa lain telah memberi pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi kita. Mengapa bangsa bangsa lain dalam menyusun sistem kenegaraannya dengan mudahnya bisa dan mau mengadopsi nilai-nilai yang dalam praktek penyelenggaraan negara telah nyata-nyata terbukti keberhasilannya, sementara itu kita terus berdalih bahwa kita punya ke “khas” an sendiri sehingga tidak mungkin mengadop nilai-nilai tersebut, walaupun terhadap nilai yang nyata-nyata sudah bersifat universal sekalipun. Kita terlalu mudah lupa ataupun pura-pura tidak tahu bahwa puluhan dan bahkan lebih dari seratus bangsa-bangsa lain termasuk yang kelahirannya sebagai negara jauh setelah kemerdeka- an kita, dengan mudahnya mengadopsi nilai-nilai yang faktanya terbukti sebagai cara yang terbaik dalam pengelolaan Negara, dan kemudian berhasil mem- bangun peradabannya dengan baik. Boleh saja kita menggunakan alasan karena kita negara kepulauan, tapi bangsa lain yang wilayahnya juga kepulauan berhasil membangun peradabannya dengan baik. Begitu pula dari sudut besarnya jumlah penduduk, kemajemukan, ataupun rendahnya standar rata-rata pendidikan penduduknya. Ternyata sejumlah negara yang mempunyai persoalan yang sama, dengan mudahnya bisa membangun bangsa dan negaranya begitu maju dan kuat. Boleh saja kita beralasan karena kita tergolong sebagai negara muda, dan mempunyai budaya yang khas, namun sejumlah negara yang lebih muda dan mempunyai budaya yang mirip sama dengan kita juga berhasil menata kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya dengan berkwalitas. Maka yang diperlukan adalah kesadaran untuk memahami anatomi masalah dan faktor-faktor penyebab kegagalan yang menimpa kita dalam membangun ke Indonesia an. Karena kelahiran kita sebagai Indonesia lebih

dikarenakan kesamaan nasib

akibat penjajahan Belanda, sesungguhnya kalau mau jujur ikatan kejiwaan kita sebagai Indonesia masih sangat rapuh. Masa lalu kita yang terdiri dari kerajaankerajaan kecil yang dalam pengelolaannya penuh pertikaian baik internal maupun antar sesamanya juga mewarnai perilaku kepemimpinan elit yang berkuasa. Sentimen kedaerahan, etnis dan bahkan agama dengan mudah dibangkitkan, belum lagi persoalan kesenjangan baik vertikal maupun horizontal utamanya yang berlatar belakang ekonomi. Dalam kondisi yang penuh potensi kerawanan sebagaimana gambaran tersebut diatas, maka persoalan penataan sistem kenegaraan menjadi sangat mendasar dan bahkan mendesak. Dari sisa-sisa kohesifnes yang sekarang masih ada, kita perlu segera membuktikan kebenaran niat dan tekad para pendiri republik untuk

25 membentuk Indonesia yang satu. Untuk itu kita harus memilih pendekatan yang bisa diterima oleh segenap warga bangsa kita. Satu dari sekian sisi yang bisa dimanfaat- kan adalah azas manfaat atas keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara itu sendiri. Disanalah pentingnya pengaturan Indonesia dalam sebuah sistem kenegaraan yang bisa diandalkan untuk segera membangun beradaban yang ber Indonesia. Dengan demikian azas manfaat atas keberadaan Indonesia sebagai satusatunya wadah bagi segenap warga bangsa segera dirasakan manfaatnya oleh segenap warga bangsa tanpa kecuali. Sudah barang tentu azas manfaat yang dimaksudkan bukanlah sekedar dibidang kesejahteraan, keadilan dan keamanan, tapi juga kebanggaan bersama sebagai Indonesia yaitu persoalan harkat dan martabat sebagai bangsa dan negara Indonesia. Disanalah pentingnya semua pihak yang terlibat dalam penyusunan ulang sistem kenegaraan bisa lebih mengedepankan pendekatan konseptual visioner dari pada reaksioner pragmatisme, serta mampu melepas- kan kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran tidak diukur dari banyak sedikitnya suara yang mendukungnya, tapi dari akal sehat dan nurani. Pancasila sendiri memberi tuntunan demokrasi dengan

"Dipimpin Oleh Hikmah

Kebijaksanaan" dan sama sekali bukan oleh besar kecilnya jumlah suara. Kita memang cenderung suka membuat konsep jalan tengah yang lebih didasari kepentingan sesaat sehingga sangat logis kalau Wolfgang Merkel menempatkan Indonesia pada tahun 2001 dalam kelompok negara di Asia Tenggara yang masuk kategori “Demokrasi Elektoral” yang hanya sukses melakukan pemilihan umum tetapi belum sukses secara substansial dalam berdemokrasi18. Lihat tabel di bawah.

Kategori

Asia

Asia

Asia

Selatan

Tenggara

Timur

Demokras India, Sri Filipina,

Laut Jepang,

i

Langka,

Thailand,

Korea

Elektoral

Nepal,

Indonesia

Selatan,

Banglades

Otokrasi 18

h Butan,

Indonesia Brunei,

Cina,

Wolfgang Merkel, 2003, Democratie in Asien: Ein Kontinent zwischen Diktatur und Democratie, terjemahan Indarwati Pareira, (Jakarta: Friederich-Ebert-Stiftung, 2005), hal.130

26 Malediven

Burma,

Korea

Pakistan

Kamboja,

Utara

laos, Malaysia, Singapura, Vietnam

Dalam praktek, untuk kurun waktu diawal perbaikan konsep jalan tengah memang lebih efektif. Sangat disayangkan sesuatu yang sifatnya darurat kemudian dibakukan sebagai konsep final dengan cap "ala Indonesia". Dan setelah ternyata gagal dengan mudah pula kita mencari kambing hitam, termasuk dengan menuduh campurtangan asing. Diantara kita kemudian terus menyuarakan bahwa konsepnya benar dan baik, tapi manusia yang melaksanakan mentalnya bobrok. Kebiasaan memberi penilaian tanpa memahami dimana letak kebenaran dan kebaikannya kembali terulang. Mereka lupa bahwa sistem politik yang baik mestinya tidak perlu berulang kali memakan korban anak bangsa dan masa depan keturunannya sendiri. Saat ini kita juga sudah terbiasa mendengar bahwa Suharto baik, tapi yang mengelilingi yang "rusak". Kita lupa bahwa sistem yang baik akan menjamin sang Presiden hanya dikelilingi oleh orang-orang yang baik pula. Karena dari sistem yang baik akan mampu memfilter sekaligus menepis kehadiran orang-orang yang "rusak" untuk berada disekeliling Presiden. Bisa jadi sikap dan cara berpikir yang demikian ini terbentuk karena alam yang memanja- kannya, ataukah ini semua ini karena warisan dari nenek moyang bangsa bekas jajahan. Tentang hal ini memang perlu didalami dengan lebih konprenhensif lagi, tapi yang jelas sederetan sisi lemah bangsa yang demikian itu tidaklah boleh ditempatkan sebagai produk budaya yang harus kita terima apa adanya. Melalui perubahan "mind set", "way of thinking" dan paradigma segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya terlebih dahulu diharapkan sisi buruk tersebut bisa dieliminasi. Hal yang demikian tidaklah ber- lebihan, karena budaya bisa saja ditempatkan sebagai sebagai proses yang bisa saja diubah secara sadar dan terukur, dan bukan sekedar sebagai out put semata. Dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa, dan negara diberi wewenang untuk mengelola kekuasaan tersebut. Maka didalamnya haruslah terkandung seperangkat nilai yang menjamin bahwa negara tidak akan salah kelola dalam bentuk apapun dan situasi apapun termasuk dalam keadaan berperang sekali- pun. Maka fungsi negara

27 dalam model demokrasi akan lebih sebagai legislator, fasilitator, pemberi akses bagi segenap warga negara dalam hal pengelolaan sumber daya dan kesempatan untuk memperoleh penghidupan secara adil guna mensejahterakan diri masing masing sesuai dengan kemampuan dan keinginannya. Sudah barang tentu dalam konsep negara yang berdasarkan pada demokrasi tidak ada istilah negara akan mensejahterakan apalagi memakmurkan rakyat. Karena filosofi yang demikian hanya dikenal dalam negara otoriter. Dan sesungguhnya rakyat mempunyai kemampuan dan ukuran sendiri sendiri dalam mensejahterakan dan memakmurkan dirinya sendiri. Sudah barang tentu negara juga harus menjamin rasa kemanusiaan, keadilan, dan juga keamanan di- samping harus mampu menjaga kedaulatan rakyat dari segenap hakekat ancaman yang dihadapinya. Oleh sebab itu struktur pemerintahan negara dan mekanisme yang diimplemtasikan haruslah memenuhi prinsip dasar transparansi, accountability dan juga efisiensi. Sistem demokrasi yang benar haruslah mampu menjamin bahwa aparatur Negara tidak akan bisa begitu saja menggunakan kekuasaannya untuk mem- perkaya diri sendiri, dan apalagi sampai melanggar HAM serta hak-hak sipil lainnya meskipun adagium Lord Acton masih selalu berlaku bahwa kekuasaan itu korup dan kekuasaan yang absolut cendrung korup secara absolut pula (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely)19. Adalah kekeliru an yang sulit dimaafkan kalau urusan mencegah korupsi kemudian diserahkan kepada kesadaran atau moral manusia yang mengawaki pemerintahan negara. Disanalah pentingnya menyusun sistem kenegaraan yang mampu menangkal dan menepis setidaknya mengeliminasi korupsi. Tanpa perubahan sistem maka korupsi yang begitu dasyatnya di era Orde Baru akan terus dan bahkan menjadi me- wabah diera berikutnya. Dari rancang bangun sistem politik yang ada saat ini juga tidak bisa menjamin untuk mencegah terjadi- nya pelanggaran HAM atau tindak kekerasan oleh alat kelengkapan negara termasuk oleh TNI. Keterlibatan anggota TNI dalam pelanggaran HAM akan sulit untuk dielakkan mana kala TNI masih ditempatkan pada arena politik praktis. Disanalah pentingnya konsep politik yang menempatkan TNI dberada diluar domain sipil sehingga betul-betul tidak terlibat dan tidak bisa dilibatkan dalam urusan urusan politik praktis yaitu segala urusan yang menjadi tanggung jawab Presiden dalam kapasitasnya selaku Kepala Pemerintahan. Sudah barang tentu konsep yang demikian itu tidak serta-merta dilaksanakan 19

Dikutip dalam Natan Sharansky, The Case for Democracy, (New York: Public Affairs, 2004)

28 bagai membalik tangan, tapi diatur sesuai kesiapan semua pihak yang terkait, dan sejalan dengan kemampuan negara untuk membiayai anggaran yang diperlukan dalam proses perubahan itu semua. Dalam sistem demokrasi yang benar, institusi militer haruslah digolongkan dalam kelompok jabatan karier. Dengan cara ini maka kemandiriannya dalam urusan pembinaan tidak bisa diintervensi oleh pihak eksternal manapun termasuk oleh Presiden sendiri. Cara ini akan menjamin berlakunya norma "merit" sistem dan bahkan "tallent scouting" dalam pembinaan karier prajurit TNI. Sudah barang tentu sistem demokrasi juga harus bisa menjamin agar kapanpun TNI tidak kembali menjadi sumber masalah yang dihadapi bangsanya. Disanalah maka persoalan Supremasi Sipil dan “Civil Society" bukanlah hanya dalam bentuk pengetahuan belaka, tapi "built in" masuk dan tergambar dengan jelas dalam struktur kelembagaan demokrasi itu sendiri. Sehingga TNI benar-benar terbebas dari tarik menarik kepentingan politik dari lingkungan politisi sipil yang manapun. Yang terjadi hasil amandemen UUD 1945 malah menempatkan DPR dilibatkan dalam proses pengangkatan Panglima TNI dengan mekanisme "fit and profer test" dan pemberian rekomendasi. Lantas bagaimana seorang Panglima TNI akan bebas dari urusan politk sebagai norma dasar "supremasi sipil", kalau proses rekruitmennya sendiri sudah melibatkan unsur politik. Belum lagi kalau kemudian sistem kenegaraan yang ada malah membenarkan TNI untuk ber-Dwi Fungsi. Selaku Pimpinan TNI, Nasution memberi hak kepada orang perorang prajurit TNI untuk memangku jabatan diluar lembaga militer. Lahirnya gagasan tersebut sangat diwarnai oleh kebutuhan sesaat ketika bangsa memasuki tahap konsolidasi sebagai negara. Model ini kemudian diperluas oleh Suharto dimana secara kelembagaan TNI mengemban fungsi sosial politik. Begitu pula keberadaan Polisi, dengan fungsinya yang multi yaitu dibidang penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta anti teror kemudian diposisikan langsung dibawah Presiden. Lantas bagaimana mungkin lembaga yang demikian strategis dapat dipisahkan dari kepentingan politik tertentu. Dengan mudahnya Polri digunakan sebagai alat untuk tekan-menekan atau bahkan untuk dukung-mendukung kepentingan politik tertentu yang dibungkus sebagai tindakan hukum baik untuk mem- percepat pembongkaran kasus, ataupun sebaliknya dengan cara memperlambat atau bahkan menghenti- kan proses penyidikan. Bukankah sejumlah negara yang telah berpengalaman dengan membayar pahit dan biaya yang sangat besar sudah pada satu kesimpulan bahwa Polisi haruslah dipisah menurut

29 fungsi sebagai penjaga ketertiban dan keamanan yang dikendalikan oleh Gubernur. Sedang Polisi yang bertugas menangani fungsi penyidikan yang bersifat lintas daerah ataupun yang punya pengaruh langsung ditingkat nasional dan kejahatan internasional maka posisi Polisi dibawah Menteri, bisa saja dibawah Mendagri atau Menteri yang membidangi hukum. Dalam berdemokrasi Fungsi kontrol sangatlah penting. Fungsi kontrol yang dimaksud bukanlah sekedar fungsi yang melekat pada kelembagaan formal saja, tapi juga harus bisa dilaksanakan oleh publik dengan back-up Undang-Undang Untuk Mengetahui (Right To Know). Fungsi kontrol terlebih dalam hal audit keuangan negara sangatlah mustahil bisa efektif bila diperankan oleh lembaga auditor yang menjadi bagian dari lembaga itu sendiri yang selama ini diperankan oleh jajaran Inspektur Jendral (Itjen). Dan bila ditarik keatas dalam skala negara, maka auditor negara yang diwadahi dalam BPK sekalipun akan sulit menjalankan fungsi kontrol secara profesional dan proposional terhadap lembaga lembaga negara lainnya20. Apalagi pengangkatan keanggotaan dan pimpinan BPK melalui proses politik. Maka penggunaan jasa akuntan publik secara rasional justru bisa diper tanggung-jawabkan. Dengan cara ini niat dan kesempatan untuk korupsi otomatis dijamin akan mengecil dengan sendirinya. Tanpa jaminan dari sistem, niscaya korupsi akan terus membelit kehidupan bangsa kita. Disamping itu bangsa ini terlanjur dihinggapi pola hidup konsumtif yang dikembangkan selama era Orde Baru. Yang jelas dampak ikutannya telah menggiring banyak pihak untuk mencari jalan pintas dalam mendapatkan kekayaan. Sementara itu jaminan sosial terlebih untuk hari tuanya bagi pegawai negeri sipil dan prajurit TNI sangat tidak ada kepastian. Maka dalam kehidupan kesehariannya, sangatlah sulit bagi birokrasi pemerintah yang manapun untuk tidak korupsi. Dan dalam kenyataan yang ada, pada bagian-bagian birokrasi tertentu justru dorongan munculnya niat untuk korupsi jauh lebih besar daripada kekuatan batin untuk menolaknya. Sehingga bagi mereka yang mencoba terus bersih, secara tidak langsung akan terisolasi atau setidaknya terasa menjadi "orang aneh" dalam lingkungannya. Dan kalau mau jujur, dalam setiap kampanye politik setiap partai bermain uang dan melakukan korupsi politik. Sehingga benar apa yang ditulis Susan Rose20

Seringkali juga korupsi merajalela karena BPK sendiri tidak bersih dalam memeriksa keuangan negara sehingga jaring korupsi merentang dari lembaga negara sampai kepada individu di dalam masyarakat, termasuk dan apalagi di lembaga peradilan sebagaimana dikupas dengan detail oleh Wasingatu Zakiyah, et al. , Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta: ICW, 2002)

30 Ackerman dalam Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform, bahwa persoalan besar dalam merancang sistem pembayaran kampanye ialah bagaimana menjauhi peraturan yang mengakibatkan tindakan tidak legal seperti korupsi atau money politics. Walaupun ada undang-undang tentang pembiayaan kampanye yang dikeluarkan negara, seringkali juga terjadi pembiayaan kampanye melalui transfer dana gelap21. William J. Connolly bahkan menegaskan bahwa perlu ada pembatasan besarnya sokongan dana untuk kampaye dalm rangka dan sebagai suatu cara untuk mengekang pengaruh korupsi meskipun dalam praktek juga pembatasan yang terlalu ketat justru menimbulkan penyimpangan berupa trasfer dana gelap yang tidak terdeteksi oleh panitia pengawas Pemilu22. Di luar ranah politik praktis, korupsi juga merajalela seperti dalam birokrasi sehingga ada pejabat yang dengan mudah menjadi kaya. Karena kondisi kehidupan yang demikian ini merata serta berproses puluhan tahun, maka rasa "risih" atau perasaan tidak enak dan apalagi perasaan bersalah (dosa) karena mempunyai kekayaan berlebih yang didapat dengan cara korupsi pada sebagian pejabat atau bekas pejabat telah hilang atau setidaknya sangat tipis sekali. Penerimaan uang diluar gaji yang patut diduga berasal bukan dari sumber resmi, karena menerimanya dilengkapi dengan kwitansi dan yang menyerahkannya juga pejabat resmi maka tidak lagi dianggap sebagai korupsi. Uang komisi dari sebuah tender, upeti dari rekanan, kelebihan anggaran karena mark up, sisa dana taktis, atau kwitansi fiktif dan pemasukan lainnya diluar gaji tidak lagi dirasakan sebagai uang haram, tapi justru ditempatkan sebagai rezeki dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka mereka kemudian rajin membersihkan diri dan harta kekayaannya dengan melaksanakan ritual keagamaan sesuai dengan syariat tertentu yang diyakininya. Dan sebagian dari mereka menggunakan rezekinya itu untuk berderma utamanya kelingkungan lembagalembaga keagamaan dan sosial lainnya. Kasus Korupsi di KPU adalah bukti konkrit bahwa persoalan korupsi bukan karena persoalan gaji kecil, tapi karena sistemnya23. Figure yang terlibat dalam korupsi di KPU bukanlah orang kebanyakan, mereka adalah orang-orang istimewa, pilihan dari sedikit kader bangsa terbaik yang ada. Dengan kata lain untuk 21

Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, terjemahan Toenggoel P Siagian, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), hal. 192-93 22 William J.Connolly, How Low Can You Go? State Campaign Contribution limits and The Frist Amandment , Boston University Law Review No 76, tahun 1996, hal. 496 23 Lihat juga penjelasan tentang akar korupsi dalam Boni Hargens, Genealogi Korupsi di Indonesia, Media Indonesia tanggal 10 Mei 2005.

31 memberantas korupsi juga tidak bisa disandarkan pada lambang-lambang keagamaan seseorang dan juga reputasi seseorang dimata publik24. Karena secara kodrati memang manusia dibarengi dengan nafsu kebendaan disamping nafsu-nafsu lainnya. Disadari atau tidak sistem yang ada saat ini justru mempunyai kekuatan yang begitu dasyat dalam mendorong tejadinya korupsi. Bagaimana mungkin dalam sistem demokrasi kemudian jabatan dibawah Menteri dalam hal ini jabatan Sekjen atau Sekut dan juga Dirjen yang terkenal dengan istilah jabatan Eselon I dan bahkan jabatan Direktur kemudian di kategorikan jabatan politik. Dimana proses rekruitmennya diusulkan oleh Menteri/Ka Lembaga yang bersangkutan dengan sumber dari manapun datangnya termasuk dari lingkungan Partai dan kemudian disaring oleh TPA (Tim Penentu Akhir) yang anggota dan pimpinannya juga dari lingkungan jabatan politik. Sangatlah tidak rasional dengan cara yang demikian itu akan lahir pemerintahan yang bersih. Dari kondisi yang demikian itu pula, lantas darimana sistem akan menjamin bahwa birokrasi kita netral dalam Pemilu dan akan bebas dari urusan urusan uang komisi yang oleh KPU ditenarkan dengan istilah "dana taktis" termasuk untuk kepentingan perpolitikan. Dengan demikian untuk membuat Birokrasi Pemerintahan yang bersih maka syarat utamanya adalah memisahkan antara jabatan karier dan jabatan politik, disamping perbaikan kesejahteraan, dan pengawasan serta penegakan hukum. Untuk itu unsur Yudikatif dalam hal ini jajaran MA semestinya diatur dari atas sampai kebawah juga dikategorikan sebagai jabatan karier yang tidak boleh diintervensi dan dikaitkan dalam urusan politik oleh lembaga politik yang manapun. Dan sudah barang tentu sistem demokrasi juga dengan tegas mengatur bahwa jabatan Presiden, anggota DPR/-D, DPD, Menteri, Pejabat yang disejajarkan dengan Menteri, Kepala/Wakil Kepala Daerah diposisikan sebagai jabatan politik yang tidak boleh mengintervensi wilayah jabatan karier. Konsekwensi dari jabatan politik sudah barang tentu pemberian penghasilannya berupa honorarium selama dalam jabatannya, sedang mereka yang dikategori jabatan karier pengaturan penghasilannya dengan gaji bulanan selama masih berdinas aktif, dan gaji pensiun setelah memasuki masa purna bhakti. Prinsip dasar lainnya dalam sistem demokrasi adalah Negara dilarang untuk mengambil keuntungan dari rakyat. Disanalah maka BUMN dan juga BUMD serta 24

Tentang korupsi politik yang seringkali juga melibat tokoh agama dan bahkan korupsi di tubuh agama sendiri bisa dibaca dalam buku Boni Hargens, Kebangkrutan Agama dan Politik, (Jakarta: Gendhis, 2005).

32 bisnis lembaga lembaga Negara termasuk Bisnis Militer selayaknya dihapus. Negara tidak boleh bersaing dengan rakyatnya dalam bentuk bisnis apapun. Prinsip dasar ini menjadi begitu penting bukan sekedar untuk melindungi persaingan yang tidak sehat antara negara dengan rakyat, tetapi juga untuk mencegah terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh yang mengawaki lembagalembaga bisnis tersebut. Dengan dalih untuk kepentingan pembiayaan lembaga dan atau ke- sejahteraan anggota maka fasilitas dan akses dengan mudahnya diberikan oleh negara. Disisi lain kalau terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh mereka akan sulit disingkapi oleh penegak hukum. Apalagi kalau yang dihadapi jauh lebih mempunyai jaringan, kekuasaan dan "power" ataupun dari lingkungan lembaga yang mengawasinya itu sendiri. Disanalah maka illegal logging, illegal fishing, penyelundupan BBM, dan kerusakan lingkungan terjadi dengan begitu merajalelanya di tanah air kita. Bisa jadi suatu saat kelihatannya mereda, namun sesungguhnya itu semua semu. Karena memang sistem yang ada tidak menjamin untuk mampu menghentikan terjadinya pelanggaran tersebut, sebelum sistem kenegaraan yang mengaturnya ditertib kan lebih dahulu. Belum lagi kalau kita mau jujur, sesungguhnya BUMN/D dan juga bisnis-bisnis lembaga negara yang manapun adalah "sapi perahan" bagi sekelompok/ selapis pejabat tertentu saja. Dan pendapat yang mengatakan bahwa bisnis yang demikian itu keber-

adaannya

sangat

dibutuhkan

untuk

kesejahteraan

pegawai/prajurit

sesungguhnya kurang didukung fakta yang kuat. Keberadaan BUMN hanyalah mungkin untuk sejumlah industri yang tidak dan atau belum mungkin ditangani oleh swata karena secara ekonomis memang belum profitable. Dalam hal yang demikian negara wajib menyelenggarakan bisnis perdana seperti penerbangan, pelayaran, ataupun bisnis lainnya untuk pulau tertentu yang tidak mungkin ditangani oleh swata. Sedang industri militer terlebih yang berkaitan dengan persenjataan, sudah barang tentu harus dikelola langsung oleh Negara25.

25

Sampai sekarang memang belum ada aturan yang pasti dan efektif soal penanganan bisnis tentara, bahkan UU 34 tahun 2004 sendiri belum mampu menjawabi keresahan para petinggi tentara yang tidak ingin melepaskan bisnisnya di satu pihak tetapi ingin mendorong reformasi TNI di pihak lain. Jadi alternatif dari pengambilalihan bisnis ini dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional TNI belum disiapkan dengan jelas. Ini suatu kendala tersendiri dalam konteks reformasi tentara di Indonesia.

33

Bab Ketiga

SISTEM POLITIK NASIONAL SEBAGAI SUMBER MASALAH Inkonsistensi Azas dalam UUD-45. Dengan mencermati penerapan sistem kenegara- an kita selama ini, terkhusus yang menginduk pada UUD 1945 (termasuk hasil amandemen), dengan mudah diketahui bahwa pencampur-adukkan konsep tidak hanya pada tataran paham (ideologi) yaitu antara demokrasi (liberalime) dan otoriter (Komunis me dan Fasisme), tapi juga dalam penggunaan alat kelengkapan politik antara sistem pemerintahan kolonial, demokrasi, komunisme, dan fasisme. Begitu pula dalam amandemen keempat, sistem kenegaraan menjadi bertambah ruwet karena formula campuran tersebut diaduk dalam penggunaan instrumen demokrasi. Alat kelengkapan demokrasi sistem presidensial kemudian digabung dengan kelembaga- an demokrasi sistem parlementer26. Dengan pilihan jatuh pada demokrasi, yang kita terapkan sebagian adalah nilai yang berasal dari paham otoriter. Hal ini nampak pada posisi MPR yang ditempatkan sebagai lembaga Tinggi Tertinggi Negara dimana Presiden sebagai Kepala Negara berada dibawahnya, bahkan bisa di"jatuh"kan olehnya. Karena kita menggunakan sistem presidensial mesti- nya Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, yang terjadi sampai dengan amandemen kedua UUD-45 Presiden dipilih oleh MPR tak ubahnya Konggres Partai Komunis memilih Presiden. Begitu pula wewenang MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Golongan dalam membuat GBHN, tak jauh beda dengan kewenangan Konggres Partai Komunis dalam membuat kebijakan Partai yang akan dijadikan haluan-haluan dalam garis-garis besar bagi Pemerintahannya untuk kurun waktu lima tahun. Padahal dalam paham 26

Pada tataran ideologi ada ketidakjelasan, terkadang kita menganut liberalisme dengan adanya liberalisme pasar melalui privatisasi dan pencabutan subsidi, tetapi terkadang juga menganut komunisme dengan prinsip keadilan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dimana negara menguasai aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau ideologi tidak jelas, maka otomatis orientasi dan tujuan menjadi tidak jelas karena Terrence Ball dan Richard Dagger, 1991, Ibid. mengatakan bahwa ideologi harus memberikan orientasi bagi para pengikutnya dalam rangka mencapai tujuan.

34 demokrasi haluan negara yang akan dilaksanakan oleh Presiden adalah kontrak sosial dimana dalam sistem presidensial dibuat langsung antara calon Presiden dengan rakyat. Kita juga bisa melihat perilaku pemerintah terlebih selama Orde Baru yang cenderung refresif kepada rakyatnya, dan kehidupan sosial dikontrol begitu ketat sebagaimana yang dikenal hanya dalam sistem otoriter. Padahal ciri khas dalam demokrasi adalah kebebasan dan kemerdekaan warga negara sebagai prinsip dasar. Bahkan pembuatan Undang-undang yang diatur hanya dari Negara jelas hanya mungkin terjadi dalam negara penganut paham otoriter. Karena disana Undangundang dibuat lebih diorientasikan untuk kepentingan atau kebutuhan negara. Begitu pula dalam kelembagaan dan mekanisme pengelolaan negara. Bangsa ini telah bersepakat untuk memilih model demokrasi sistem presidensial, yang terjadi instrumen yang digunakan adalah milik sistem parlementer. Pemilu untuk memilih anggota DPR dalam sistem presidensial adalah Pemilu langsung, yang terjadi selama ini kita menggunakan model Pemilu Tidak langsung, kecuali dalam Pemilu 2004 yang lalu, itupun masih mengikut sertakan tanda gambar Partai dan bahkan tanpa mencoblos tanda gambar Partai membuat kartu suara menjadi tidak syah. Kedudukan Presiden dan DPR yang mestinya sebagai "konstanta" yang terjadi sebaliknya Presiden bisa di "jatuh" kan oleh MPR dan anggota DPR dengan mudahnya bisa di "recal" oleh partainya, padahal model ini hanya dikenal dalam sistem parlementer dimana Perdana Menteri bisa "jatuh" akibat "mosi" tidak percaya dari Parlemen, dan anggota Parlemen bisa di-recall oleh Partai nya yang terkenal dengan istilah PAW (Pergantian Antar Waktu) sebagaimana diatur di dalam Pasal (9) Tata Tertib DPR RI tahun 2005 yang menyebutkan bahwa anggota berhenti antar waktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis, atau diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan27. Dan masih banyak lagi praktekpraktek politik lainnya yang membikin makna demokrasi itu sendiri hilang dan lebih dari itu munculnya "self destruction" tidaklah mungkin bisa dihindari. Tinjauan Kritis terhadap UUD 1945 Tanpa bermaksud tidak menghormati dan apa lagi menyalahkan para pendiri bangsa (founding father) yang dahulu menyusunnya, amandemen terhadap UUD-45 oleh anak bangsa generasi pewaris bukanlah sebuah kedurhakaan. Bung Karno sendiri 27

Lihat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No 08/DPR RI/I/2005-2006, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, Tahun 2005,Tata Tertib DPR RI hal.12-13.

35 dalam pidato pengesyahan UUD-45 pada tanggal 18 Agustus 1945 antara lain menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa UUD -45 yang (kita) buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan INI ADALAH UNDANG-UNDANG DASAR KILAT. Nanti kalau kita telah bernegara dalam keadaan tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.

Artinya persoalan perubahan

UUD-45 melalui

penggantian dengan yang baru sekalipun bukanlah perbuatan dosa dan apalagi pengkhianatan

kepada

“Founding Father”. Justru sebaliknya, kita harus

menempatkan hal itu sebagai “hutang amanah” yang harus segera dbayar oleh para pewaris negeri ini. Sebaliknya amandemen dengan tujuan untuk meniadakan sama sekali berbagai kekurangan yang terdapat didalam UUD-45 dengan cara menggantikannya dengan yang baru sekalipun haruslah ditempatkan sebagai sesuatu yang wajar manakala realitanya hal tersebut adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Sepanjang tujuan yang ingin dicapainya adalah untuk menghadirkan jaminan kepastian masa depan bangsa dan negara sesungguhnya masalah mengganti UUD-45 syah-syah saja. Sejumlah Negara yang berulang kali mengganti UUD nya seperti Perancis umpamanya, ternyata tidaklah berarti mereka membubarkan keberadaan Negara dan bangsanya. Melalui amandemen UUD sepanjang untuk menyesuaikan dengan tuntutan jaman dan juga perkembangan lingkungan strategis yang ada otomatis akan mem- bikin sistem kenegaraan menjadi kuat, karena kemanfaatannya akan dirasakan langsung oleh segenap warga bangsanya. Azas kemanfaatan atas keberadaan sebuah sistem kenegaraan ataupun kelembagaan apapun dalam kehidupan kontemporer menjadi sangat penting. Karena dengan kemanfaatan yang secara nyata dapat dirasakan oleh segenap warga negara akan melahirkan kekuatan untuk mempertahankan sistem kenegaraan yang ada itu sendiri dengan segala pertaruhan dari segenap warga bangsa nya secara tulus dan ikhlas. Sikap yang demikian tidak bisa lepas

dari

pembawaan

umum

manusia

yang

cenderung

mempertahankan

establishment dan ke- pastian masa depannya. Dengan demikian kohesif- ness bangsa sebagai perwujudan rasa nasionalisme otomatis tumbuh dan berkembang dengan sendiri- nya. Sebaliknya sikap membabi buta tanpa mau tahu bahwa sistem kenegaran yang ada telah merugikan diri sendiri dengan korban dan biaya politik yang besar sepatutnya kedepan benar-benar dihindari.

36 Dalam implementasi UUD-45 selama ini dengan pilihan sistem presidensial sebagai kata final, yang terjadi Presiden bisa dijatuhkan oleh MPR sebagai- mana yang terjadi dalam lengsernya Bung Karno dan juga Gus Dur. Padahal dalam sistem presidensial Lembaga Tertinggi Negara adalah Presiden yang kapasitasnya juga sebagai Kepala Negara. Disanalah maka keberadaan MPR sebagai Lembaga Tinggi Ter- tinggi Negara dengan wewenang untuk "Menjalankan Kedaulatan Rakyat" perlu kita pertanyakan aliran "mandat" kedaulatan rakyat yang dipunyainya. Karena rakyat tidak pernah memberikan "mandat" kedaulatan rakyat kepada anggota legislatif (DPR) yang juga anggota MPR untuk tujuan tersebut. Dalam hal yang sejenis juga tidak dalam pembuatan GBHN. Dengan membandingkan kaidah yang berlaku di lingkungan Islam, kewenangan MPR yang demikian itu ibarat Hadist Nabi maka "sanad" nya ada yang terputus. Dan kalau kita mau konsisten bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat maka kewenangan yang dipunyai MPR yang demikian itu menjadi tidak valid. Kecuali kita akan menggunakan sistem Komunisme, dengan memposisikan keberadaan MPR sama dengan keberadaan Konggres Partai Komunis, maka kewenangan MPR yang demikian itu menjadi syah adanya. Karena kedaulatan dalam sistem komunisme memang ada ditangan Kader Partai yang dijalankan melalui mekanisme Konggres Partai Lima Tahunan. Begitu pula masalah status keanggotaan Legislatif, posisi anggota legislatif dalam sistem presidensial mutlak haruslah sebagai "konstanta". Yang terjadi anggota DPR versi UUD-45 dengan mudahnya bisa di"recal" sebagaimana yang terjadi selama ini, padahal wewenang Partai untuk merecal anggota DPR mestinya hanya dikenal dalam sistem Parlementer. Dalam sistem parlementer Partai berhak me-recall anggota DPR karena yang diberi "mandat" oleh rakyat memang Partai. Pelanggaran terhadap norma-norma ini sesungguhnya terjadi karena kesalahan "blue print" sistem Pemilu anggota DPR itu sendiri. Dalam sistem Presidensial Pemilu anggota DPR haruslah dengan mencoblos tanda gambar atau photo sang calon anggota DPR. Yang terjadi berulang kali terlebih selama era Orde Baru dan juga satu kali dalam era berikutnya Pemilu yang kita laksanakan dengan memilih Tanda Gambar Partai, kecuali dalam Pemilu legislatif tahun 2004 itupun masih menyertakan tanda gambar Partai. Makna dari sistem Pemilu yang demikian itu berarti posisi anggota DPR begitu lemah, sedang kedudukan Partai sangatlah kuat, dan ini bertentangan dengan norma dasar sistem demokrasi presidensial itu sendiri, yang menempat- kan posisi anggota DPR sangatlah kuat, sementara posisi Partai lemah. Begitu pula status anggota DPR yang

37 lebih sebagai wakil Partai dari pada wakil Rakyat. Padahal norma tersebut hanyalah terdapat pada sistem parlementer. Disamping masalah obyektifitas dan rasionalitas aliran dalam penggunaan kedaulatan rakyat, UUD-45 juga mengandung kelenahan yang menyuburkan inefisiensi. Keberadaan DPA umpamanya, dalam realitanya DPA hanyalah tempat penampungan elit yang tidak mungkin lagi diwadahi dalam struktur eksekutif ataupun legislatif. Sistem politik tidak menugaskan lembaga ini untuk menghasilkan produk kelembagaan yang mengikat dan kemanfaatannya dirasakan oleh publik atau bahkan oleh Presiden sekalipun. Barang kali akan lebih bermanfaat kalau fungsi DPA kemudian diperankan oleh orang-orang ahli yang diposisikan sebagai Staf Ahli Presiden. Presiden sebagai pejabat politik tidaklah mungkin akan mampu menguasai semua masalah pada seluruh aspek kehidupan, keahlian dan disiplin ilmu. Begitu pula keberadaan BPK, kiranya terlalu sulit untuk berharap BPK sebagai lembaga Auditor akan obyektif terhadap sesama alat kelengkapan negara. Saat ini marak berbagai penyimpangan dibuka oleh BPK, tapi kinerja yang demikian bukan karena dijamin oleh sistem demokrasi itu sendiri. Trik-trik politik dan kepentingan pihak tertentu dan atau tergugahnya nurani segelintir Auditor BPK maka muncullah kasus Mulyana W Kusumah yang ketangkap basah menyuap salah satu Auditor BPK. Terjadinya mega korupsi bukanlah baru terjadi saat ini tapi sudah puluhan tahun sebelumnya, tapi kenyataannya selama itu pula BPK juga tidak berkontribusi secara jelas dalam memerangi korupsi. Apalagi aturan konstitusi hanya mewajibkan BPK menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada Presiden dan DPR, tapa dibarengi otoritas untuk menindak lanjuti proses hukum atas temuannya. Keberadaan Militer dan juga Birokrasi Pemerintah dalam sistem politik UUD-45 versi Orde Baru sangatlah sulit untuk dijamin bisa netral, yang terjadi malah TNI (dahulu ABRI) diberi fungsi ganda dimana secara kelembaga- an juga mempunyai fungsi dibidang Sosial Politik (Dwi Fungsi ABRI). Dan kemudian bersama Keluarga Besarnya ABRI diwadahi dalam satu jalur ("A") dalam partai berkuasa dalam hal ini Golkar. Sedang birokrasi sipilnya diwadahi dalam satu faksi dalam Golkar dengan sebutan sebagai jalur "B" Golongan Karya. Maka kedua intitusi ini lebih ditempatkan sebagai alat kepentingan kekuasaan, dan ABRI secara efektif digunakan untuk melaksanakan fungsi kontrol tehadap kehidupan sosial secara ketat. Dengan kondisi yang demikian maka sulit bagi mereka untuk tidak terlibat penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih ABRI yang kemudian terlibat secara proaktif dalam setiap persoalan politik praktis, otomatis

38 banyak terlibat pelanggaran terhadap hak-hak sipil warga negara termasuk pelanggaran HAM itu sendiri. Karena memang perilaku sistemnya menghendaki demikian, dan bukan semata-mata karena kesalahan, kelalaian ataupun kealphaan aparatur negara termasuk anggota ABRI semata. Bisa jadi ada pejabat yang tidak terlibat penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan yang outputnya adalah korupsi. Namun sesungguhnya hal yang demikian itu adalah pengecualian, atau karena kesempatan dan waktu belum memungkinkan saja. Begitu pula kalau ada Prajurit TNI yang tidak melanggar hak-hak sipil dan terlebih tidak terlibat pelanggaran HAM dengan jatuhnya korban manusia sekalipun, sesungguhnya mereka adalah pencilan atau karena nasib yang membuat mereka tidak pernah mendapat penugasan yang beresiko terjadinya pelanggaran HAM. Memang tidak sedikit petinggi ABRI yang harus tersingkir sebelum waktunya karena "menolak" kehendak yang berkuasa, tapi secara umum sistem yang berlaku terlalu sulit bagi mereka untuk tidak berebut prestasi dengan cara mengikuti kehendak sang Penguasa. Hal yang demikian itu sesungguhnya

manusiawi demi kehidupan dan penghidupan serta

kepastian hari tua nya. Hal yang sejenis terjadi pula dilingkungan penegak hukum, UUD 1945 menempatkan para Hakim Agung dan termasuk yang menjabat sebagai Ketua MA sebagai jabatan politik, karena dalam rekruitmennya terdapat campur tangan kekuasaan politik yaitu Presiden dan DPR. Konsep ini jelas melahirkan distorsi yang sangat besar dalam upaya penegakkan hukum. Apalagi kemudian para Hakim diatur dengan kepangkatan secara berjenjang dimana kewenangan atasan sangatlah dominan dalam menentukan karir dan masa depan mereka. Disinilah pentingnya pemisahan secara tegas antara jabatan politik dalam hal ini Menteri Kehakiman dengan birokrasi pendukung yang berada di Departemen Kehakiman beserta jajarannya. Dengan demikian tidak terjadi penggunaan jalur eksekutif untuk mempengaruhi proses peradilan oleh pimpinan mereka dari lembaga masing-masing. Begitu pula dalam UUD-45 keberadaan Polri belumlah diatur secara explisit. Hal ini yang membuat kedudukan Polri berubah berulang kali. Apalagi kemudian Polri disatukan dengan TNI dengan sebutan ABRI, yang mendudukan Polri sebagai Angkatan Bersenjata (Armed Forces). Padahal Polri bukanlah militer, ia adalah penjaga ketertiban dan keamanan rakyat yang senjatanya adalah hukum, karenanya ia dikategorikan dalam kelompok Birokrasi Sipil. Masalah mendasar lainnya adalah karena UUD-45 memang terlalu singkat.

39 Dampak yang tidak bisa dicegah maka ia menjadi multi tafsir. Disinilah maka menjadi sulit untuk tidak terjadi penafsiran oleh pihak yang berkuasa sesuai dengan kepentingannya. Dan apakah yang demikian kemudian bisa dikategori- kan sebagai penyimpangan dan penyelewengan dari UUD-45. Lantas adakah lembaga atau pihak yang berhak untuk menjustifikasi keabsyahan bahwa yang ini benar yang itu salah. Dan tidaklah benar kalau ada Lembaga Negara yang merasa berhak untuk menilai hal tersebut, seperti yang terjadi dimasa lalu diseputar lahirnya Orde Baru. Di jaman Bung Karno sendiri terjadi perubahan penafsiran beberapa kali. Posisi MPR yang semula hanya ditempatkan sebagai Forum Musyawarah atau Konggres, di era pasca dekrit Presiden 5 Juli 1959, keberadaan MPR jutru dilembagakan secara struktural. Dan terlebih di era Orde Baru, sebagai negara hukum dengan sistem demokrasi oleh penguasa Orde Baru kemudian dibelokkan kedalam sistem otoriter dengan mengesyahkan pendapat Supomo tentang paham Negara Intregralistik yang kemudian secara resmi dijadikan sebagai paham negara versi Orde Baru. Padahal pendapat tersebut barulah dalam tahap pemandangan umum belum pemah didiskusikan sampai final dan juga belum mendapat persetujuan peserta rapat (PPKI) sekalipun. Disanalah maka penampilan sebagai negara otoriter tidak bisa lagi dihindari dengan ABRI sebagai tulang punggungnya. Tinjauan Kritis terhadap Hasil Amandemen UUD 1945 Reformasi tanpa perubahan secara fundamental

sistem kenegaraan pada

hakekatnya adalah rebutan kekuasaan semata. Karenanya dalam reformasi perlu perubahan secara fundamental dari jiwa dan juga format politik agar kedepan sistem kenegaraan dijamin mampu mengemban missi sucinya. Memang kesadaran untuk bersepakat melaksanakan amandemen UUD-45 itu sendiri sebuah lompatan luar biasa bagi bangsa Indonesia. Kesadaran tersebut juga dipacu oleh besarnya tuntutan mahasiswa dipeng- hujung kepemimpinan Suharto sehingga berhasil menggugah kemauan banyak pihak untuk me- laksanakan amandemen UUD 1945. Sangat disayang- kan dalam amandemen UUD 1945 hanyalah ditempuh dengan menambah pasal-pasal dan sedikit pengurangan pasal-pasal aslinya. Besarnya pemusatan kekuasaan pada tangan Presiden yang terjadi selama Orde Baru kemudian dianulir dengan menambah wewenang DPR untuk mengintervensi kewenangan eksekutif dan juga yudikatif, tanpa menghitung dampak yang bakal ditimbulkannya dikemudian hari. Padahal kelemahan yang terjadi selama ini bukan dikarenakan adanya pemusatan

40 kekuasaan ditangan Presiden yang memang menjadi ciri dari sistem presidensial, tapi terletak pada konstruksi konsep politiknya yang tidak konsisten terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi sistem presidensial itu sendiri. Dengan kata lain amandemen yang demikian itu jelas tidak mengubah konstruksi dasar dari konsep politik yang dikandung oleh UUD-45 itu sendiri. Salah satu yang terlupakan dalam mengamandemen UUD-45 adalah pentingnya perubahan pendekatan atau paradigma dalam menghadirkan stabilitas politik. Dalam kaitan ini stabilitas politik yang ingin diwujudkan masih menganut paham lama, dengan persepsi sebagaimana model yang diterapkan selama era Orde Baru, dimana Pemerintah perlu mendapat dukungan yang sangat kuat dari DPR. Padahal dalam sistem Presidensial apalagi Pemilu Presiden nya sudah langsung, maka legitimasi seorang Presiden bukanlah dari DPR tapi langsung dari rakyat. Disini nampak jelas kerancuan perumus konsep yang masih menggunakan "way of thinking" lama dimana logika politik belum dijadikan pertimbangan yang mendasar. Dan semua itu adalah pertanda bahwa kebenaran masih bisa dikalahkan oleh kepentingan sesaat yang disyahkan dengan mekanisme quorum dan suara mayoritas. Sebuah perbaikan UUD yang langsung menukik masuk ke dalam pasal-pasal dengan penambahan dan pengurangan belaka niscaya tidak akan mengubah jiwa, orientasi, visi dan paradigma yang dianut oleh UUD aslinya. Menjadi wajar kalau pasca amandemen yang terjadi malah makin memperburuk keadaan, sehingga belakangan muncul penilaian dari sejumlah kalangan bahwa pemerintahan Orde Baru jauh lebih baik dari pemerintahan setelahnya. Disinilah pentingnya penyamaan kerangka berpikir elit bangsa ini terlebih dahulu, bila memang berhendak untuk segera mengakhiri krisis yang terus berkepanjangan, dengan memulai perubahan secara mendasar yaitu berbagai masalah yang berada dihulu yaitu hal-hal yang bersifat strategis dan fundamental terlebih dahulu dengan menata ulang kerangka dasar sistem politiknya. Ditilik dari struktur politik, UUD-45 Hasil Amandemen memang telah mencakup semua unsur yang diperlukan dalam struktur demokrasi. Tapi betulkah ia telah memenuhi prinsip-prinsip dasar demokrasi secara konsisten dan konsekwen sebagaimana lazimnya sebuah kesisteman yang benar dan baik. Hal ini bisa dilihat dengan mengkaji satu persatu lembaga kenegaraan yang ada. Keberadaan MPR perlu dikaji ulang termasuk kewenangannya, karena lembaga ini asalnya bukan dari paham demokrasi.

41 Begitu pula tentang keberadaan DPD, sepertinya missi yang ingin dicapai dari gagasan ini sendiri belum jelas. Kalau memang dimaksudkan akan menerapkan model Bikameral, maka sejumlah kewenangan yang harus dimiliki DPD sebagai mana lembaga Senat yang dipraktekan dibanyak negara semestinyalah diberikan. UUD 1945 Hasil Amandemen juga memberi kewenangan DPR dalam proses seleksi sejumlah pejabat. Persoalan yang muncul adalah aliran otoritas kedaulatan rakyat dari mana kalau DPR kemudian mempunyai wewenang untuk melaksanakan "fit and profer test" calon keanggotaan sejumlah lembaga baik yang terstuktur dalam jajaran eksekutif seperti Panglima TNI, Kapolri, Hakim Agung, Duta Besar dan lainlainnya, ataupun keanggotaan KOMNAS HAM, KPU, KPK dan sebagainya. Karena dalam sistem presidential rakyat tidak pernah memberi "mandat" untuk hal-hal yang demikian itu, dan Rakyat hanya memberikan mandat kepada anggota legislatif untuk urusan kelegislasian dan pengawasan saja, lagi pula hal-hal tersebut sesungguhnya menjadi tanggung jawab eksekutif. Campur tangan anggota DPR dalam urusan eksekutif semacam itu hanyalah dikenal dalam demokrasi sistem parlementer saja. Konsep politik yang demikian ini jelas membuat lembaga-lembaga negara dan komisi independen seperti itu menjadi terseret dalam kancah politik praktis. Kalau toh bangsa ini akan membikin komisi-komisi independen yang tugasnya menangani hal-hal diluar fungsi eksekutif biarkanlah lembaga non-pemerintah pula yang memilihnya, dan keterlibatan Presiden dalam mengesyahkan aspek legalitas karena kedudukannya sebagai Kepala Negara. UUD-45 Hasil Amandemen menetapkan DPR mendapat tambahan fungsi dibidang Yudikatif dengan memberikan pertimbangan bagi Presiden sebelum memberikan amnesti dan abolisi sebagai mana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) nya. Betapa deviasi "mandat" dari rakyat yang diberikan sewaktu Pemilu kepada anggota DPR menjadi melebar kehal-hal yang tidak semestinya. Begitu pula dalam hal mekanisme pembuatan Undang-undang, dalam sistem presidensial sesuai dengan prinsip dasarnya kekuasaan tertinggi (ke- aulatan) dalam pengelolaan negara ada ditangan rakyat, maka setiap warga negara dan badan apapun dibenarkan mengajukan usul pembuatan Undang-undang. Kedepan pengajuan RUU bukanlah hanya Presiden, DPR dan DPD dalam bentuk RUU yang diusulkan melalui DPR saja, tapi semua pihak yang merasa berkepentingan, termasuk rakyat orang perorang sekalipun. Kebiasaan selama ini RUU datangnya hanya dari Pemerintah, hal

42 tidak bisa lepas dari konsep dasar UUD-45 dan perilaku Pemerintah sendiri utamanya selama Orde Baru yang cenderung meniru model yang diterapkan oleh negara-negara Komunisme, dimana peraturan perundang-undangan datangnya dari negara. Begitu pula terhadap keberadaan sejumlah lembaga baru, baik yang secara langsung diatur oleh UUD 1945 Hasil Amandemen, maupun yang didasarkan pada amanat Ketetapan MPR seperti MK, KPK, KPU, dan lain-lainnya. Barang kali yang perlu dikritisi adalah validitas alur datangnya otoritas kedaulatan rakyat disamping masalah rasionalitas, keefektifan dan keefisiensiannya. Sesungguhnya fungsi yang diberikan kepada MK memang sebuah kebutuhan dalam sistem demokrasi. Tapi persoalan- nya betulkah dijamin bahwa MK akan bisa memainkan peran tersebut dengan benar dan steril dari kepentingan politik Partai manapun, kalau dalam proses rekruitmennya kemudian melibatkan unsur politik. Padahal persoalan yang sesungguhnya bukan soal ada atau tidak adanya MK, tapi bagaimana hukum dan keadilan yang dipegang oleh jajaran Yudikatif dapat ditegakkan. Tanpa keberadaan MK sekalipun, sesungguhnya MA mempunyai ke- wenangan untuk menangani semua persoalan hukum yang timbul di republik ini. Tinggal bagaimana wewenang yang demikian itu dieksplisitkan dalam Pasal-pasal Amanden UUD 1945 yang mengatur masalah MA. Barangkali dari sisi efisiensi cara ini akan lebih menguntungkan. Kalau keberadaan MK akan dipertahankan seperti yang ada saat ini, maka persoalan yang mendasar adalah mekanisme dalam rekruitmen kader haruslah terbebas dari tarik menarik kepentingan politik. Sedang kelembagaan baru lainnya sesungguhnya tidak jauh dari persoalan MK. Apalagi kalau kita pahami dari fungsi dan tugas pokok lembaga kepanitiaan tersebut seperti KPK umpamanya, bukankah tugas tersebut sesungguhnya menjadi fungsi dan tugas pokok Pemerintahan Eksekutif. Karena kebutuhan nya maka Pemerintahlah yang membentuk berbagai kepanitiaan dan bahkan "task force" sekalipun. Kalau hal yang demikian dilanjutkan, lantas pertanggungan jawab Presiden atas kontrak sosial tentang pem- berantasan korupsi akan menjadi bias, karena diluar Presiden masih ada KPK, padahal KPK tidak pernah mengikat kontrak sosial dengan rakyat tentang hal tersebut. Dalam konteks KPU sebagai lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan Pemilu, dengan tujuan untuk menjaga agar ia mandiri dan juga independen maka rekruitmen pejabat yang akan mengawaki dilaksana- kan dengan cara "fit and proper test" oleh

43 DPR. Dalam merumuskan asumsi yang demikian mungkin kurang pas, bagaimana mungkin KPU akan menjadi independen kalau yang menentukan untuk menjadi anggota KPU justru lembaga yang berada pada "domain" politik. Padahal untuk membuat KPU yang independen yang paling mudah dan murah adalah dengan membentuk kepanitiaan bersama dari semua Partai politik yang ada, sehingga mereka saling mengawasi. Begitu pula dalam pengelolaan anggaran- nya, jaminan dari bagian sistem yang mana kalau KPU akan mampu menangkis praktek korupsi. Bukankah pengelolaan logistik Pemilu akan menjadi tepat kalau menjadi tugas Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian lahirnya sebuah independensi nyata-nyata karena kontrol yang dijamin dari struktur dan mekanisme yang terbuka dan saling mengawasi dari sesama Partai. Begitu pula persoalan Kekuasaan Kehakiman sebagimana yang diatur dalam BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Prumus konsep amandemen UUD 1945 mungkin bermaksud akan membuat Jajaran Yudikatif yang independen, kuat dan mandiri. Dan karenanya maka segenap badan-badan yang menangani urusan peradilan akan dijadikan satu wadah dengan MA sebagai induknya. Hal yang pasti kalau benar aturan akan dilaksanakan, maka sangat mungkin MA akan menjadi negara dalam negara. Lantas bagian sistem yang mana yang menjamin jajaran MA kelak akan menjadi lembaga yang independen, kuat dan mandiri. Bukankah yang harus dirancang untuk menghadirkan lembaga Yudikatif yang independen bebas dari intervensi politik manapun termasuk oleh Presiden, adalah dengan menetapkan posisi jabatan hakim yang benar-benar berada dalam kelompok jabatan karier dari atas kebawah tanpa kecuali. Adapun dukungan birokrasi terhadap MA haruslah tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah. Disanalah bangsa ini kembali akan melakukan eksperimen dari gagasan-gagasan yang baru pada tingkat hipothesa yang kemudian disyahkan hanya berdasarkan suara mayoritas tanpa melalui pengujian validitasnya sebagai sebuah kebenaran, padahal dampaknya yang menanggung adalah rakyat banyak. Belum lagi ditilik dari bukti empirik dalam praktek penyelenggaraan oleh bangsa dan negara lain,

belum

diketemukan bukti bahwa konsep yang gado-gado yang mencampur atar paham, dan sejumlah instrumen politik yang biasa digunakan dilingkungan negara-negara komunis, fasis, kolonial dan bahkan antar model dalam demokrasi sendiri berhasil menghadirkan kesejahteraan, keadilan, keamanan dan kebanggaan dalam berbangsa dan bernegara.

44 Beranjak dari proses pemisahan TNI dan Polri pada tahun 1999 yang tidak lagi diwadahi dalam lembaga ABRI sesungguhnya momentum tersebut sangat strategis dalam penataan fungsi Pertahanan dan Keamanan. Sayang sekali dalam amandemen UUD-45 yang kedua tahun 2000 masih mengelompokan kedua fungsi tersebut dalam satu kesatuan sistem yaitu Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara. Dalam pertahanan hakekat ancaman jelas yaitu musuh bersenjata dari luar. Namun dalam soal keamanan, bukankah keamanan adalah sebuah output dari sebuah sistem sipil secara keseluruhan yang terdiri dari rangkaian elemen pemerintahan sipil yang saling kait-mengkait sehingga melahirkan produk berupa rasa aman. Sepanjang masalah rasa aman masih bisa ditangani dengan cara-cara normal, maka tugas keamanan adalah porsi birokrasi sipil dalam hal ini salah satunya adalah Polri. Manakala masalah keamanan tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara normal, maka disanalah TNI digunakan. Karenanya maka kedua fungsi tersebut tidak boleh diwadahi salam satu kesatuan sistem, sehingga kuranglah tepat kalau diatur TN1 menangani musuh dari luar, Polri menangani musuh yang datang dari dalam. Begitu juga Tugas TN1 sendiri bukan sekedar persoalan menghadapi tentara asing yang menjadi musuh kita, tapi semua persoalan kehidupan ke- negaraan yaitu saat Negara dalam keadaan abnormal (darurat) terlebih bila tidak mungkin lagi ditangani oleh lembaga sipil manapun. Dengan demikian tugas TNI diluar perang tidak dikaitkan dengan besar kecilnya masalah ataupun luas tidak wilayah yang sedang bermasalah. Dalam keadaan tertentu walau- pun untuk kepentingan satu orang warga negara, tapi kalau keadaannya tidak mungkin ditempuh dengan cara-cara normal yaitu cara-cara keberadaban maka disanalah TNI harus tampil mengatasinya. Berangkat dari paham demokrasi yang demikian ini, maka tugas TNI dan Polisi tidak ada kaitannya. Karenanya polisi haruslah berada di wilayah sipil sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Dengan senjata hukum mereka yang "Break the Law" termasuk didalamnya mengganggu ketertiban yang mengakibat hilangnya rasa aman bagi warga negara baik perorangan atau kelompok masyarakat haruslah ditangani oleh Polri. Dengan kata lain konsep penanganan pertahanan dan keamanan negara harus- lah diubah secara proporsional dan janganlah karena Polisi juga dilengkapi dengan senjata kemudian begitu saja disatuan dengan TNI dalam satu fungsi yang disebut Pertahanan dan Keamanan Negara.

45

Bab Keempat

MEMBANGUN SISTEM KENEGARAAN YANG DEMOKRATIS Penyikapan terhadap Pengaruh Asing Sebagai anggota masyarakat dunia tidaklah mungkin kita akan steril terhadap pengaruh lingkungan global dan juga kepentingan negaranegara sahabat. Oleh karenanya yang terpenting bagi bangsa ini adalah bagaimana menyikapi keadaan tersebut agar kepentingan nasional kita tidak dirugikan. Persis dalam hal ini diperlukan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia yang menjadi acuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan global dan dalam mengembangkan pola pembangunan bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai dasar masyarakat kita. Maka benarlah apa yang ditulis Frans Magnis Suseno dalam bukunya Filsafat Kebudayaan Politik bahwa “Pancasila hanya menjadi acuan

etis kehidupan bangsa indonesia

dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apabila cita-citanya senantiasa diaktualkan sebagai pacuan pem bangunan kehidupan bangsa ke masa depan. Pancasila, baik dalam keseluruhanya, maupun dalam lima silanya, secara nyata harus

46 menjadi landasan pembangunan”28. Hal itu, menurut Magnis, tidak berarti bahwa pancasila perlu langsung diopersionalisasikan,

atau

diberi

tafsiran

operasional

[

misalnya

mengoperasionalisasikan sila keempat pola yuridis-kongret tertentu demokrasi]. Operasionalisasi itu adalah tugas undang-undang dasar [jangka panjang, landasan perspektif jauh] dan undang-undang /kebijakan politik biasa yang masing-masing mempunyai stablitas maupun kemungkinan perubahan yang sesuai [yang juga ditentukan dalam UUD/UU itu sendiri]. Operasionalisasinya, asal sesuai cita-cita asli, adalah tugas negara dan tidak bersifat mutlak, melainkan justru relatif fleksibel sesuai dengan tantangan nyata yang dihadapi bangsa indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, Pancasila jangan dilihat sebagai rel yang tinggal diikuti saja [sehingga tafsiranya menjadi amat penting dan pancasila akan menjadi idiologi tertutup], melainkan, sesuai dengan

hakekat

etisnya,

sebagai

tantangaan

ideal

untuk

terus-menerus

mempertanyakan: sesuaikah realitas, tindakan, undang-undang, mekanisme, sruktur kekuasaan sekarang ini dengan Pancasila, dasar negara kita? Sesuaikah situasi agamaagama dengan Ketuhanan Yang Mahaesa? Beradab dan adilkah cara masyarakat sederhana diperlakukan dalam pelaksanaan pembangunan? Apakah kebijkan itu menunjang persatuan nasional? Apakah “demokrasi pancasila” kita sekarang sudah memenuhi cita-cita kerakyatan pancasila? Apakah pembangunan betul-betul mengarah ke perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?29. Dalam pelaksanaanya, Pancasila pun perlu menyesuaikan diri dengan perubahan global. Dalam hal pengaturan HAM misalnya cepat atau lambat niscaya kita akan menyesuaikan diri dengan tuntutan global. Makin cepat kita menyesuaikan, makin cepat pula kepenting an nasional diuntungkan, dan sebaliknya kalau kita terus memperlambat dalam menyesuaikan tuntutan global, maka makin lambat pula kepentingan nasional kita diuntungkan oleh global. Hasil Amandemen UUD 1945 dan juga dalam Ketetapan MPR dan kemudian dielaborasi dalam Undang-Undang yang mengatur HAM, sesungguhnya mempunyai kesamaan latar belakang yaitu persoalan supremasi hukum. Yang terjadi fungsi yudikatif kemudian dicampuri oleh DPR, 28

Frans Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal 110. Keseluruhan isi buku ini sangatlah perlu dipahami dengan cermat dalam rangka mendalami apa hakikat budaya politik kita sebagai bangsa. Magnis dalam buku ini memperlihatkan bahwa ternyata bangsa Indonesia memiliki kebudayaan politik yang khas namun kurang begitu disadari sehingga diperlukan penyegaran kembali tentang filsafat bangsa Indonesia di tengah perkembangan dan perubahan global yang terus menawarkan berbagai cara pandang dan pola hidup. 29 Ibid hal 111

47 sebagai mana diatur dalam Tap MPR NO: XVII / MPR / 1998 dan Undangundang No:39 tahun 1999 masing masing tentang HAM. Lantas bagaimana proses penegakan HAM khususnya terhadap pelanggaran HAM dimasa lalu bisa diselesaikan dengan efektif dan efisien, kalau mekanisme yang mengatur justru menjadikan kasus HAM sebagai komoditas politik. Dengan konsep politik yang demikian itu sangatlah tidak mungkin proses penyelesaian pelanggaran HAM tanpa tarik-menarik kepentingan politik sehingga akan terus berlarut. Dan ketika masyarakat dunia menempatkan persoalan penegakan HAM sebagai persyaratan pergaulan internasional khususnya untuk bidang-bidang tertentu utamanya dalam kerjasama Militer, banyak pihak menjustifikasi bahwa pihak asing menekan bangsa kita dengan isu HAM. Belum dicabutnya embargo persenjataan dan tersendatnya kerjasama kemanusiaan bahkan ekonomi dan sejumlah negara dengan persyaratan penyelesaian kasus HAM, kemudian ditempatkan sebagai bentuk tekanan asing terhadap bangsa kita. Padahal makna terdalam dari persoalan penyelesaian pelanggaran HAM adalah bukti komitmen bangsa ini telah berhasil mereformasi TNI, yang diindikasikan dalam bentuk "Military Under The Law". Hal yang demikian itu tidak lepas dari trend dunia yang menempatkan "supremasi sipil" sebagai parameter demokrasi. Dan salah satu indikatornya adalah militer tunduk kepada hukum sebagaimana yang diamanat Sumpah Prajurit TNI. Jadi persoalannya sama sekali bukanlah masalah balas dendam terhadap TNI dari rakyat kita dan atau warga negara Tim-Tim yang terlanjur menjadi korban atau kehilangan sanak keluarganya akibat penampilan TNI dimasa lalu. Padahal untuk menyelesaikan persoalan tersebut sesungguhnya sangatlah mudah, simple dan bukan pekerjaan yang ruwet, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak khususnya prajurit TNI yang hanya melaksanakan tugas negara. Di negara kita kemelut ini menjadi bertambah kompleks ketika asing kemudian terlibat dalam proses perubahan politik termasuk dalam proses amandemen UUD 1945 dan juga Pemilu dan proses demokrasi lainnya. Yang belum dipahami oleh banyak pihak atas keikutsertaan pihak asing baik langsung dengan bantuannya ataupun melalui NGO adalah sebuah fakta dan realitas pergaulan internasional kontemporer yang tidak hanya terhadap Indonesia tapi juga terhadap semua bangsa dan negara dibelahan benua manapun. Tidak ada satupun proses perubahan politik dalam sebuah negara akan bebas dari persoalan pengaruh asing, tak kecuali dilingkungan negara atau bekas negara Komunis termasuk Cina, Rusia, dan lain--

48 lainnya, dan juga kita Indonesia. Karenanya yang harus kita sikapi bukanlah mempermasalahkan persoalan yang nyata-nyata sudah jadi realita pergaulan internasional, tapi bagaimana dan dimana kita harus memposisikan diri. Akankah kita mengambil sikap sebagaimana negara-negara Afrika seperti Etophia, dan Somalia umpama- nya, ataukah kita akan mengambil sikap seperti Cina, Rusia, dan sejumlah Negara Komunis lainnya, atau bahkan kita akan meniru sejumlah negara Islam seperti Pakistan, Saudi Arabia dan tetangga kita Malaysia, dan lain-lainnya. Dengan alur pikir yang demikian, niscaya kita tidak kehilangan banyak tenaga untuk terus melawan arus global. Tanpa kejelasan orientasi sehingga ke- pentingan nasional kita terus dirugikan. Ataukah kita kembali mencari kambing hitam, padahal yang salah adalah diri kita sendiri yang tidak mampu memposisi- kan diri secara tepat dalam pergaulan internasional. Bagaimana mungkin kita harus mengambil sikap "melawan arus" terhadap tuntutan global dalam hal pemberantasan terorisme umpamanya dengan mencampuradukan antara Islam dan Terorisme. Sehingga mengejar

terorisme

dilingkungan

Pondok

Pesantren

kemudian

diidentikan

mengintervensi Islam. Bukankah Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Malaysia dan sejumlah negara Islam lainnya justru sangat antusias dalam perang melawan Terorisme. Dan begitu pula terhadap tuntutan global lainnya seperti demokratisasi, "clean governance", "transpa ransi", perdagangan bebas, "money loundry", dan lain-lainnya tidaklah seharusnya akan ditempatkan sebagai tekanan global terhadap bangsa kita. Bukankan akan lebih baik kalau kita bersikap sebaliknya, dengan menjadikan hal tersebut sebagai kebutuhan sekaligus sebagai misi bersama. Untuk itu dalam penyusunan konsep demokrasi hal-hal yang demikian menjadi mendasar untuk diakomodasikan. Bebas tirani dan jaminan kesetaraan Konstitusi yang baik didalamnya akan berisi sejumlah aturan dasar dalam bernegara yang menjamin lahirnya sebuah rasa keadilan bagi segenap warga bangsanya tanpa kecuali. Oleh karena itu konstitusi haruslah membebaskan negara dari tirani baik yang berlatar belakang paham, ideologi ataupun pendekatan dan program dalam pengelolaan Negara dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara ini otomatis segala bentuk konflik kepentingan, perbedaan pendapat yang bersumber pada paham, ideologi, pendekatan, dan atau program dan bahkan

49 agama ditempatkan pada tataran operasional yang menjadi tanggung jawab pemerintahan yang berkuasa yang diatur dalam siklus pergantian melalui siklus Pemilu. Model ini akan membuat dinamika apapun yang terjadi dalam tubuh bangsa termasuk pergolakan bersenjata sekalipun tidak akan lagi menyentuh eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara. Selain itu model ini akan menyelamatkan kita dari konsekuensi penerapan ekonomi-pasar yang berciri kapitalis selama ini sebab menurut Robert A Dahl, kesetaraan politik sulit tercipta dalam masyarakat yang menganut ekonomi-kapitalis. Dan kalau mau jujur, Indonesia sudah menganut model ekonomi-pasar kapitalis sehingga sangat mungkin bahwa kesetaraan politik tidak tercipta seperti halnya kesetaraan ekonomi yang sulit terwujud. Karena menurut Dahl,

perkembangan keyakinan demokrasi dan sebuah

kebudayaan demokrasi erat kaitannya denngan apa yang secara kasar disebut ekonomi pasar. “Lebih khusus lagi, kondisi yang sangat mendukung lembaga-lembaga demokrasi adalah sebuah ekonomi pasar yang perusahaan-perusahaan ekonominya sebagian besar dimiliki oleh swasta dan bukan oleh negara, yaitu sebuah ekonomi kapitalis, bukan sosialis atau statis. Namun, hubungan erat antara demokrasi dan kapitalisme-pasar tersebut menyembunyikan sebuah pradoks: suatu ekonomi kapitalis-pasar tak pelak menghasilkan ketimpangan dalam sumber-sumber politik yang bisa dingunakan oleh warga negara. Jadi suatu ekonomi kapitalis-pasar benarbenar melemahkan persamaan politik: warga negara yang tidak sama secara ekonomi, secara politik tidak mungkin sama pula. Tampaknya disebuah negara dengan ekonomi kapitalis-pasar, persamaan politik tidak mungkin tercapai. Akibatnya, ada suatu ketegangan yang tetap sifatnnya antara demokrasi dan sebuah ekonomi kapitalispasar. Apakah ada sebuah alternatif yang layak bagi kapitalisme-pasar yang tidak terlalu membahayakan persamaan politik?”30 Itu pertanyaan Dahl yang sekaligus juga menjadi pertanyaan kita di sini. Mereka yang berhasil membuktikan bahwa paham dan atau programnya dalam mengelola negara berhasil dan mampu membangun peradaban dengan lebih baik, niscaya akan dipercaya oleh rakyat dalam Pemilu. Dan sebaliknya mereka yang tidak mampu

mayakinkan

dan

apalagi

gagal

membuktikan

keberhasilan

dalam

penyelenggaraan pemerintahan niscaya sulit untuk mendapat kesempatan keluar sebagai pemenang dalam Pemilu berikutnya. Konsekwensi logis dari model ini, maka 30

Robert A Dahl, 1999, Perihal Demokrasi, Menjelajah Teori dan praktek secara singkat, terjemahan A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Obor, 2001), hal. 216

50 fungsi dan peran serta penampilan partai-partai politik termasuk mekanisme dan fatsun politiknya haruslah dibenahi sebagaimana yang seharusnya dalam tatanan negara demokrasi dengan pilihan sistem yang jelas mau presidensial ataukan parlementer. Kedepan tidak boleh terjadi, dalam konstitusi untuk pengelolaan bidang tertentu, ekonomi umpamanya diamanatkan menggunakan pendekatan kerakyatan. Namun dalam praktek penyelenggaraan justru menggunakan model kapitalisme. Yang terjadi kepentingan rakyat tetap terabaikan, dan kapitalisme yang berkembangpun menjadi tanpa etik moral. Begitu pula dalam hal pilihan model demokrasi, sesungguhnya kedua model demokrasi mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, tapi yang pasti kalau keduanya dicampur-adukkan yang terjadi akan muncul kerancuan yang fatal seperti yang terjadi dalam UUD-45 hasil amandemen. Konstitusi juga harus menjamin kesetaraan perlakuan negara terhadap segenap warga bangsa tanpa kecuali. Dengan demikian ukuran rasa ke Indonesia an tidak lagi didasarkan pada asli atau tidak asli, pribumi atau bukan pribumi, dan bukan pula karena latar belakang agama dan etnis yang mayoritas atau minoritas, juga bukan pula karena faktor kedaerahan. Tapi semata-mata karena kepatuhan seseorang terhadap hukum dalam menjalankan hak dan kwajibannya sebagai warga negara. Konsistensi terhadap Prinsip Dasar Demokrasi Dengan menemu-kenali sejumlah masalah serius yang terdapat dalam sistem demokrasi yang kita laksanakan selama ini, maka keharusan yang utama bagi bangsa ini adalah segera membuat rancang bangun kembali atas sistem kenegaraannya. Hanya dengan berangkat dari konsep sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis maka tatanan kehidupan sosial, kebangsaan dan kenegaraan, serta peradaban kita bisa dibangun dengan baik dan pembangunan berjalan dengan lancar. Paling tidak ada yang diharapkan Amartya Zen menjadi nyata bahwa pembangunan diukur dari seberapa tinggi tingkat kebebasan manusia di dalamnya. Amartya Zen, melalui tesis cemerlangnya development as freedom, menegaskan bahwa pembangunan tidak hanya ditakar melalui pendapatan per kapita yang dicapai orang per orang dalam suatu negara, tetapi juga diukur melalui kadar kebebasan orang-orang di dalamnya. Maksudnya bahwa semakin maju suatu pembangunan nasional, semakin bebas warga negaranya31. Lebih jauh, pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara 31

Amartya Zen, Development as Freedom, (New York: Alfred A Kopf, 1999)

51 berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional yang dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya. Kondisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks serta bersifat multidimensional sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan bersungguh-sungguh32. Hal yang demikian itu menjadi lebih mendasar manakala kita memahami sebagai bangsa kita memang belum pernah mengukir peradaban dalam kerangka Indonesia sebagaimana peradaban Cina, Thailand, India, dan sejumlah negara lainnya yang dari awalnya memang sudah mengikat diri dalam sebuah kerajaan. Disanalah maka dalam masa transisi yang dilingkupi dengan kerusakan kejiwaan kebangsaan seperti yang kita hadapi saat ini diperlukan perubahan yang mendasar dalam hal cara pandang kita. Kedepan

janganlah terus melanjutkan pendirian yang menempatkan demokrasi

sebagai "barat", karena nilai-nilai yang kerkembang didalamnya sudah tidak lagi identik "barat". Maka persoalan yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan azas obyektifitas dan rasionalitas sehingga persoalan kephobian tertentu tidak mengalahkan kebenaran. Apalagi nilai-nilai yang dikandung kebenarannya telah teruji tidak hanya dilingkungan negar-negara barat saja, tapi hampir diseluruh belahan bumi manapun termasuk di Asia seperti Jepang, Korea, India, Thailand, Philipina, dan bahkan sekarang Cina, serta negara-negara lainnya. Dengan kata lain nilai-nilai yang terkandung dalam paham demokrasi sesungguhnya untuk saat ini sudah menjadi nilai universal berlaku dimana dan bagi siapa saja, dan niscaya juga berlaku bagi bangsa dan negara kita juga. Untuk itu dalam penataan ulang rancang bangun politik nasional kita kedepan, persoalan konsistensi dalam menerapkan prinsip dasar demokrasi dengan pilihan model sistem presidensial menjadi sangat mendasar. Oleh karena itu konstitusi kita kedepan haruslah memuat sejumlah kaidah demokrasi, antara lain: • 32

Kedaulatan berada di Tangan Rakyat33

Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, jakarta: 2004 Agaknya sudah bukan rahasia lagi kedaulatan rakyat sudah hilang dari tangan rakyat ketika anggota DPR dan siapa saja yang memerintah atas nama rakyat menjalankan kekuasaan tidak lagi sesuai dengan kehendak rakyat dan tidak lagi untuk kepentingan rakyat. lebih sering sekarang para pemimpin berkuasa untuk diri sendiri dan untuk kelompok politiknya. Tentang hal ini kita bisa pahami dengan baik kalau mengetahui pandangan pakar demokrasi Joseph Schumpeter dalam bukunya Socialism, Capitalism and Democracy, (New York: Harper, 1947) 33

52 Hal yang mendasar dari prinsip ini bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam Pemilu tidak pernah memberikan, menguasakan atau menyalurkan kedaulatannya kepada pihak lain kecuali dengan Presiden dalam bentuk kontrak sosial yaitu segala janji tentang yang akan dijadikan program kerjanya, dan dengan anggota DPR khusus dalam hal dukungan kelegislasian dan pengawasan terhadap Presiden. Persoalan konsistensi terhadap prinsip dasar ini sangatlah penting, karena justru disanalah letak obyektifitas dan rasionalitas penggunaan kedaulatan rakyat. Janganlah atas nama rakyat kemudian begitu saja memberi wewenang diluar "mandat" yang diberikan oleh rakyat itu sendiri. Tanpa kesadaran ini “kekuatan” yang dipunyai dalam sistem presidensial

akan “dihabisi” oleh peran DPR dan Partai

sebagaimana layaknya dalam sistem parlementer. Sementara itu DPR dan Partai akan berpenampilan sebagaimana layaknya dalam sistem parlemeter, namun kinerja DPR dan Partai tidaklah mungkin optimal sebagaimana mestinya dalam sistem parlementer. Maka yang terjadi sistem yang dibangun bukanlah sistem presidensial, tapi tidak juga sistem parlementer. •

Chek and Balance Chek and balance dalam sistem presidensial hanya muncul manakala kedudukan

Presiden dan Anggota Legislatif sama-sama sebagai konstanta. Dengan demikian stabilitas yang akan diciptakan bukan lagi model Orde Baru dimana besar kecilnya dukungan DPR kepada pemerintah sebagai parameter. Karena pilihan kita adalah sistem presidensial, maka legitimasi baik pada Presiden maupun pada anggota DPR datangnya langsung dari rakyat. Ketidak-taatan terhadap prinsip dasar ini akan melahirkan kegamangan dan potensi keragu-raguan baik pada diri presiden maupun para anggota DPR akibat resiko yang mengancamnya, karena setiap saat bisa terancam “jatuh” (untuk Presiden) atau direcal (untuk anggota DPR). •

Supremasi sipil Supremasi sipil adalah tuntutan global yang tidak bisa dielakkan oleh negara

manapun. Kata sipil disini yang dimaksud bukanlah penduduk, warga negara, atau rakyat diluar militer. Sipil yang dimaksudkan disini adalah keberadaban. Jadi persoalan supremasi sipil bukanlah berarti menempatkan tentara dibawah orang sipil. Akan tetapi sebuah sistem politik yang diatur berdasarkan cara-cara yang beradab, yang cirinya adalah buttom up, kebebasan, kemerdekaan, perbedaan pendapat, dan ketaatan terhadap hukum. Dalam prakteknya sistem yang tidak menjujung

53 tinggi azas supremasi sipil, maka peran militer menjadi sangat menonjol. Dalam sistem yang tidak mendasarkan secara kuat pada azas ini akan berakibat lahirnya pemerintahan otoriter yang dampak ikutannya berupa intervensi hak-hak sipil oleh alat kelengkapan negara utamanya oleh militer. Dwi Fungsi ABRI adalah salah satu model dimana supremasi sipil diabaikan. Untuk itu yang paling mudah dalam mewujudkan azas supremasi sipil adalah menempatkan militer di luar domain sipil sehingga militer tidak terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis. Dengan demikian timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM dan hilangnya kebebasan serta kemerdekaan individu dan kelompok warga negara bisa dihindari karena jaminan dari sistem. Ciri untuk mengenali yang paling mudah, manakala pimpinan militer tidak duduk sebagai anggota cabinet ditingkat pusat dan anggota Muspida untuk tingkat daerah. •

Transparansi Keterbukaan adalah prinsip dasar yang penting dalam sistem demokrasi. Dengan

keterbukaan akan terjadi kontrol sosial yang efektif sebagai "feed back" bagi sistem untuk mengadakan dinamika internal. Keterbukaan juga akan membuat sistem demokrasi bisa merespond aspirasi rakyat dan pengaruh lingkungan sedini mungkin. Dalam hal rekruitmen kader umpamanya, dengan keterbukaan akan dihindari kerusakan sejak dari awal, dengan demikian maka resistensi dan penolakan yang datang dari dalam sistem dapat dihindari dari awal pula34. Yang jelas dengan sistem yang terbuka akan lahir kader-kader berkualitas, dan mereka yang tidak berintegritas akan jatuh sejak dari awal saat kader tersebut masih berada di strata bawah. Untuk menunjang agar sistem benar-benar terbuka terlebih dalam pengelolaan sumber daya, maka perlu didukung dengan Undang-undang Hak Untuk Mengetahui. Hak ini sesungguhnya juga bersumber dari prinsip dasar kedaulatan ditangan rakyat. Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan membuat suburnya KKN sebagaimana yang terjadi selama Orde Baru. •

Kejujuran dan Keadilan Persoalan kejujuran dalam sebuah sistem demokrasi janganlah diserahkan kepada

orang perorang, tapi haruslah dijamin oleh sistem itu sendiri. Oleh karenanya maka negara haruslah memberi akses yang sama (adil/"fairness") terhadap segenap warga negara dalam pengelolaan sumber daya ataupun kesempatan berusaha serta pemanfaatan fasilitas yang disiapkan oleh negara. Untuk itu peran negara haruslah 34

Lihat juga penjelasan dalam Robert A Dahl, Ibid

54 diposisikan lebih sebagai regulator dan fasilisator bukan sebagai pemberi "kueh" pembangunan seperti yang terjadi selama ini. Disinilah maka Negara tidak boleh mengambil keuntungan (frofit) dari rakyat dengan dalih apapun, dan untuk membiayai roda pemerintahan hanya ditempuh dengan memungut pajak. Untuk mendukung prinsip dasar ini maka paham bahwa negara kita adalah negara hukum menjadi sangat penting. Karenanya ukuran yang digunakan oleh pemerintah dalam memutuskan kebijakan hanyalah berdasarkan hukum. Maka setiap lembaga negara harus melengkapi diri dengan mekanisme baku yang mengatur hak dan kwajiban dan tata cara pelibatannya. Dengan demikian semua kebijakan negara dapat terukur. Dan segala perbuatan oleh alat kelengkapan negara diluar aturan main yang telah dibakukan haruslah diasumsikan sebagai tindakan yang mengandung unsur KKN. Untuk mendukung prinsip dasar ini maka back up supremasi hukum menjadi sangat penting. Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya perilaku birokrasi yang KKN dan muaranya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang menganga serta sulitnya mendapat rasa keadilan. Saya tertarik dengan apa yang ditulis Prof Dr T Jacob dalam bukunya Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis bahwa bangsa ini menjadi terbelakang dan miskin karena tidak ada pengaturan yang serius dari negara dalam hal pembangunan manusia. Bahkan Jacob menuduh keterbelakangan dna kemiskinan di Indonesia karena tidak adanya kecukupan nutrisi yang merata di tengah anak-anak bangsa akibat ketidakadilan dalam hal pembangunan.35 Tentang bagaimana ketidakadilan diatasi, Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa keadilan sekurang-kurangnya menuntut agar diubah struktur-struktur yang memaksa seeorang untuk tetap miskin dan yang membuatnya sedemikian tidak berdaya sehingga ia menjadi korban segala macam penindasan36. •

Efisiensi Dalam penyusunan konsep sistem politik, haruslah melandaskan pada azas

efisiensi, untuk itu lembaga-lembaga tertentu yang keberadaannya tidak bisa dipertanggung jawabkan secara obyektif dan rasional haruslah dilikuidasi. Penggabung berbagai fungsi dalam satu departemen juga harus dioptimal- kan, 35

Prof Dr T Jacob, Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis, (Jakarta: Obor, 2004), hal 227. Prof Jacob mengakui bahwa memang banyak faktor yang mempengaruhi keterkebelakangan dan kemiskinan di suatu negara tetapi ia lebih melihat faktor kesehatan dan kecukupan gizi makanan sebagai faktor utama dan ini terkait dengan kebijakan negara dalam hal pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan yang cukup masyarakat tentu tidak menyadari bagaimana hidup yang sehat. 36 Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, cetakan keempat, ,(Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 62

55 sehingga rentang komando dan kendali menjadi lebih pendek dan sederhana. Pengeluaran negara bagi pejabat yang tidak menduduki jabatan sebagai lambang negara haruslah dihentikan. Prinsip dasar efisiensi juga menjadi penting agar administrasi birokrasi menjadi pendek dan tidak membutuhkan biaya tinggi. Dengan cara ini maka ekonomi biaya tinggi bisa dieliminasi oleh sistem itu sendiri. Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya "high cost" ekonomi. •

Pemisahan Jabatan Politik dan Karier Jabatan politik adalah jabatan yang cara diperoleh melalui mekanisme

politik, seperti Presiden/Wakil Presiden, Para Menteri /Pejabat Negara setingkat Menteri, Anggota DPR/D, Anggota DPD dan Gubernur. Sedang jabatan karier adalah semua jabatan Birokrasi Pemerintahan dan TNI yang dirintis dari bawah sesuai

dengan

bidang

keahlian/

ketrampilan

masing

dalam

rangka

melaksanakan fungsi dan tugas birokrasi pemerintahan secara profesional. Karenanya dalam rekruitmen jabatan karier tidak boleh melibatkan unsur politik. Sistem kenegaraan yang baik tidaklah membenarkan lembaga dan jabatan politik terlibat dalam bentuk apapun dalam rekruitmen jabatan karier. Yang dikategorikan jabatan karier adalah jabatan tingkat Sekjen Departemen / Sekut Lembaga Negara kebawah. Keterlibatan Presiden bukanlah dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintah, tapi sebagai Kepala Negara yang sedang menjalankan fungsi legalisasi adiministrasi kenegaraan dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden. Prinsip dasar ini menjadi penting agar birokrasi sipil dan militer tidak terlibat politik praktis dalam artian netral dalam setiap dinamika politik yang terjadi, dan agar birokrasi sipil dan militer dapat menetrapkan sistem merit dalam pembinaan jenjang pangkat dan jabatan masing-masing. Dengan demikian kedepan kedua lembaga ini tidak kembali dijadikan alat politik dari penguasa, termasuk dalam rangka "fund rising" dana politik seperti yang terjadi selama ini. Prinsip ini juga menjadi penting agar tidak terjadi kompetisi tidak sehat di antara sesama pejabat dimasing-masing lembaga. Dan dengan prinsip ini, kepastian jenjang karier dapat dijamin oleh sistem itu sendiri, karena tidak terancam dengan masuknya kader-kader partai yang berasal dari luar lembaga. Dan sebaliknya dengan pengaturan ini mereka yang berada dibirokrasi sipil maupun militer tidaklah boleh begitu saja masuk dalam arena politik praktis yang menjadi porsi partai politik. Dengan demikian penggunaan hak untuk dipilih dalam Pemilu

56 apapun, haruslah dibatasi dengan aturan tertentu, tidak bisa disamakan seperti warga negara lainnya yang tidak duduk dalam birokrasi pemerintahan negara. Dengan cara ini mereka yang duduk dalam birokrasi pemerintahan sipil dan juga militer tidak bisa begitu saja bisa menggunakan kekuasaannya untuk ke-entingan politik tertentu. Namun mereka juga tidak kehilangan hak politiknya, bila memang hendak memanfaatannya dengan pengaturan melaui cuti diluar tanggungan Negara. Hal yang pasti mereka akan memperoleh kepastian karier dan jaminan masa depan. Dengan ditegakkannya prinsip dasar ini maka "jual beli" dalam memperoleh jabatan dapat dihindari. Dan sebaliknya bila prinsip dasar ini diabaikan maka netralitas birokrasi pemerintahan akan sulit dijamin, dan maraknya KKN utamanya dalam pengelolaan keuangan negara tidak bisa dihindari. Bagaimanapun pejabat yang didukung atau berasal dari lingkungan partai mempunyai loyalitas ganda, baik secara berjenjang kepada atasan dilingkungan birokrasi maupun kepada partai nya masingmasing. Struktur Demokrasi Salah satu faktor yang menentukan kualitas demokrasi adalah pengaturan struktur politik kenegaraan yang akan membagi habis seluruh tugas, fungsi dan peran pemerintahan negara. Penyusunan stuktur demokrasi tidak bisa lepas dari aliran otoritas untuk menjalankan kedaulatan dalam pengaturan negara yang diberikan oleh rakyat sebagai pemiliknya. Struktur demokrasi juga harus mampu menyerap prinsipprinsip dasar demokrasi yang tergambarkan dalam penyusunan lembaga-lembaga demokrasi dalam sebuah kesisteman. Untuk itu struktur demokrasi kedepan cukuplah terdiri dari Presiden dengan tiga fungsi sekaligus yaitu: Sebagai Kepala Pemerintahan, Kepala Negara yang sekaligus merangkap sebagai Panglima Tertinggi TNI. Sejajar dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah DPR, DPD dan MA. Sedang TNI berada langsung dibawah Presiden selaku Kepala Negara. BPK seyogyanya ditiadakan, sedang MK fungsinya disatukan dengan MA. •

Lembaga Presiden Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara Presiden adalah Lembaga Tertinggi

dalam negara. Karenanya Ia juga membawahi seluruh lembaga tinggi negara dalam artian sebagai simbol negara dan juga pengesyahan/legalitas kenegaraan. Karena kedudukan nya itu maka dalam kondisi tertentu dimana keselamatan negara terancam,

57 selaku Kepala Negara adalah "can do no wrong". Maka ia dapat member- lakukan dekrit untuk membubarkan salah satu atau sejumlah lembaga tinggi negara. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, ia memimpin kabinet yang terdiri dari para menteri dan pejabat lainnya yang dipersamakan dengan menteri. Sedang menteri sendiri adalah Pembantu Presiden sekaligus sebagai Kepala Departemen, kecuali bagi Menteri Negara yang tidak membawahi departemen. Sebagai pembantu Presiden maka Menteri dalam sistem presidensial hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Untuk menjalankan tugasnya Presiden perlu didukung oleh sejumlah staf ahli. Disamping itu Presiden juga dibantu oleh sedikitnya 2 (dua) Sekretaris Kepresidenan yaitu Sekretaris Kabinet dan Militer. Kedudukan kedua sekretaris ini dibawah kordinasi Mensekneg dan level jabatannya tidak dipersamakan setingkat Menteri. •

DPR Kedudukan lembaga DPR sejajar dengan Presiden dalam kapasitasnya selaku

Kepala Pe- merintahan. Tugas pokok DPR adalah bersama DPD memproses pembuatan UU dari manapun datangnya RUU termasuk dari DPR sendiri. Disamping itu DPR juga bertugas untuk mengawasi Pemerintah. Sebagai lembaga perwakilan bersama DPD meng- hadiri forum dengar pendapat. •

DPD Kedudukan DPD adalah Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR dan

Presiden selaku Kepala Pemerintah. Sebagai lembaga perwakilan, DPD bertugas mengolah aspirasi Daerahnya masing-masing. DPD bersama-sama DPR membikin semua UU. Keanggotaan DPD dipilih melalui Pemilu langsung untuk masing-masing daerah. Karena ia dipilih langsung maka kedudukannya dalam sistem demokrasi presidensial sangatlah kuat ("konstanta") tidak bisa jatuh karena alasan politik. •

MA Kedudukan MA sejajar dengan lembaga tinggi negara yang lain. Keanggotaan

MA yang terdiri dari para Hakim Agung dan juga segenap Hakim. Hakim adalah jabatan karier dalam arti aspek pembinaan karir mereka bebas dari kaitan politik. Ketua MA dipilih oleh para Hakim Agung dan ditetapkan oleh Presiden selaku Kepala Negara. •

Polri Tugas pokok Polri adalah dibidang penegakan ketentraman dan ketertiban

masyarakat dengan senjata hukum. Karenanya maka polisi haruslah mengenali semua

58 aspek kehidupan yang berada dalam wilayah tanggung jawabnya. Polisi haruslah mengenali satu persatu penduduk yang berada diwilayah tanggung jawabnya. Untuk itu kedudukan Polri kedaerahan berada dibawah Gubernur, sedang untuk yang berskala Nasional dan atau internasional kedudukan Polri dibawah Mendagri. •

Menteri Menteri adalah anggota kabinet yang mengepalai Departemen. Namun Menteri

adalah jabatan politis yang setiap saat bisa diganti oleh Presiden dengan alasan politis sekalipun. Dalam kabinet sistem presidensial Menteri adalah orang ahli dibidangnya, dengan tidak memandang keanggotaan atau afiliasi kepartaiannya. Karenanya maka ia yang mendapat kepercayaan untuk menjadi menteri mutlak diwajib- kan menanggalkan keterkaitan politik apapun dengan pihak manapun tak terkecuali dengan partainya. Ia bertanggung jawab hanya kepada Presiden. Jumlah menteri haruslah dibatasi agar rentang kendali men- jadi sederhana, di samping untuk efisiensi. Keberada- an lembaga kementerian diatur dengan Undang-undang. Khusus Mensekneg juga mengkordinir administrasi semua lembaga tinggi negara yaitu MA, DPR dan DPD, berserta komisi-komisi, dan lembaga-lembaga bentukan lainnya. Kelembagaan Lainnya •

Pemilu Hal yang mendasar dalam sistem presidensial adalah dilaksanakannya Pemilu

Langsung baik untuk Pemilu Presiden maupun Pemilu Anggota DPR dan DPD. Sedang kepanitiaan penyelenggara Pemilu adalah pelibatan semua Partai. Pemilu untuk memilih anggota DPR dilaksnakan setelah Pemilu Presiden. Sehingga dalam memilih anggota DPR, rakyat mem- pertimbangkan keberadaan figure presiden terpilih. •

Referendum Robert A Dahl mengajukan pertanyaan ini, “Mungkinkah referendum nasional

dilaksanakan atau justru wajib dalam hal amandemen konstitusi?”37. Referendum adalah mekanisme demokrasi untuk menanyakan langsung kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tentang setuju atau tidak setuju

atas masalah yang sangat

mendasar yang harus diputuskan atau yang dihadapi oleh Presiden. Hak ini bisa 37

Robert A Dahl, Ibid tentang referendum di hal. 170

59 digunakan oleh Presiden, manakala Presiden terganggu oleh kinerja DPR ataupun karena kepentingan lain yang oleh Presiden dianggap perlu ditanyakan langsung kepada rakyat. Banyak negara menerapkan model referendum sebagai salah satu bentuk demokrasi langsung yang bermaksud mengetahui aspirasi rakyat yang sesungguhnya, sebagai contoh Amerika Serikat dan Swiss meskipun Swiss hanya untuk isu-isu nasional. Indonesia sendiri melakukan itu ketika Timor Timur mau melepaskan diri dari NKRI tahun 1999. •

Auditor Untuk melaksanakan fungsi auditor kedepan akan lebih efektif dan juga efisien

bila diserahkan kepada akuntan publik yang dikordinir oleh lembaga Auditor Negara tapi kedudukannya tidak perlu sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dan di "back up" kontrol sosial yang didukung oleh Undang-undang Hak Untuk Mengetahui. •

Otonomi Daerah38 Otonomi Daerah bagi kita bukanlah model negara bagian, tapi otonomi dalam

kerangka Negara Kesatuan yang bercirikan adanya satu kesatuan sistem hukum yang berlaku diseluruh wilayah. Dengan otonomi daerah diharapkan seluruh fungsi pemerintahan dilaksanakan oleh daerah kecuali fungsi Pertahanan, Keuangan dan Politik Luar Negeri. Dengan otonomi daerah diharapkan daerah akan mampu menghidupi diri sendiri (swakelola) termasuk pembiayaan pemerintahannya. Dengan demikian pemberian otonomi haruslah menghitung faktor-faktor interdependensi dan potensi sumber pendapat- an agar mampu membiayai diri sendiri. Untuk itu hanyalah mungkin bila otonomi diberikan pada tingkat provinsi, karena pada tingkat Kabupaten umumnya potensi untuk mandiri tidaklah men- cukupi. Bahkan dampak munculnya arogansi ke- kuasaan didaerah tidak akan bisa dihindari. Yang jelas munculnya birokrasi biaya tinggi dan bahkan praktek KKN di tingkat Kabupaten otomatis akan subur. Terhadap kekhawatiran munculnya bahaya disintergrasi manakala diserahkan ke tingkat Provinsi sesungguhnya bisa diatasi dengan memperbaiki sistem politik makro antara lain dengan redislokasi TNI yang mampu melahirkan daya tangkal munculnya potensi disintegrasi. •

Kepartaian Hak untuk berkumpul dan menyatakan pandapat salah satunya diwujudkan

38

Tentang konsep dan prospek otonomi daerah di Indonesia menarik kalau membaca juga buku Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: rajawali press, 1991). Ada empat faktor yang menentukan prosepk otonomi daerah menurut Kaho yakni faktor manusia, keuangan, infrastruktur, serta organisasi dan manajemen, hal. X-XI

60 melalui keberadaan Partai Politik. Partai juga untuk mewadahi mereka yang berkepentingan atau beraktualisasi dibidang politik praktis. Karena keberadaan Partai mengkait langsung dengan hak berserikat bagi warga negara, maka jumlah partai tidak boleti dibatasi. Namun karena tidak mungkin negara direpoti akibat banyak nya partai, maka persyaratan untuk mendirikan partai haruslah ketat. Begitu pula keberadaan fraksi di DPR bukanlah kepanjangan tangan dari partai, tapi sekedar menangani adimintrasi semata, bukanlah dalam arti pengelompokan misi kepartaian seperti dalam model parlementer sebagaimana yang kita laksanakan selama ini. Bangunan kepartaian kita kedepan, harus lah disesuaikan dengan peran, fungsi dan tugas partai yang semestinya dalam sebuah negara demokrasi dengan sistem presidensial. Partai bukanlah mesin politik pengumpul kekuatan massa untuk tujuan politik, dan juga bukan mesin pengumpul suara dalam Pemilu belaka. Partai yang benar harus mempunyai ideologi atau paham dengan model apa ia kelak akan mengelola sebuah pemerintahan negara. Jadi bukan hanya berdasarkan popularitas pribadi pemimpin. Kalau hanya mengandalkan popularitas pribadi pemimpin, mengutip Bambang Cipto dalam bukunya Prospek dan Tantangan Partai Politik, ada dua kemungkinan. Pertama, mempermudah partai menggalang dukungan karena terpengaruh oleh daya pikat dan daya tarik tokoh politiknya dan kedua, jika pemanfaatan daya tarik pribadi tokoh partai terlalu banyak diandalkan akan mendorong tokoh bersangkutan memaksimalkan popularitasnya guna menggalang dukungan pribadi. Akibatnya partai politik akan jatuh posisinya hanya sebagai sarana pemuas ambisi dan kepentingan politik tokoh bersangkutan39. Karenanya ia akan melaksanakan kaderisasi secara berjenjang dan berlanjut. Melalui kader-kadernya ia akan mempengaruhi simpatisan dan juga khalayak umum tentang visi dan missi partai dalam pengelolaan negara. Oleh karena itu dalam kesehari an partai haruslah merespond setiap dinamika kehidupan kenegaraan dalam arti mengexcercise setiap gerak kehidupan kenegaraan yang terjadi. Mereka yang menjadi kader partai adalah mereka yang memilih karier kehidupannya dalam olah kenegaraan. Kader partai dan juga Partai itu sendiri juga tempat menyalurkan aspirasi. Karenanya setelah Pemilu selesai, warga negara yang berkepentingan dengan kebijakan pemerintahan negara disalurkan lewat kader Partai atau melalui Partai. •

LSM Disamping partai politik, hak berserikat juga bisa dilaksanakan dengan

39

Bambang Sucipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal 6

61 membentuk LSM. Melalui LSM inilah kontrol sosial terhadap penyelenggaraan negara bisa dilaksanakan dengan lebih efektif, karena dasar pendirian LSM hanyalah membidangi masalah tertentu saja. LSM haruslah diberi fasilitas untuk menghidupi dirinya yang diatur dengan cara tidak menambah beban masyarakat. Disanalah maka "subsidi silang" bisa dilaksanakan dengan tidak langsung, umpamanya bagi industri yang menyisihkan keuntungan bersih dalam batas tertentu untuk mendukung LSM tertentu maka diberi intensif berupa pemotongan pajak tertentu. Dengan cara cara yang demikian maka LSM sebagai mata telinga rakyat dalam menjalan kontrol sosial akan menjadi efektif. Dan karena negara sendiri tidak bermaksud untuk korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan, maka LSM tidak akan diposisikan sebagai "lawan" yang harus dihadapi, tapi justru mitra yang harus dihargai. Karena dari sana pula akan muncul banyak kreatifitas dan penemuan yang bermanfaat bagi kehidupan warga negara dan kemanusiaan pada umumnya.

Bab kelima

LEADERSHIP DAN NASIONALISME INDONESIA KEDEPAN Leadership dan kualitas leadership Sesungguhnya gagasan perlunya bangunan sistem kenegaraan yang demokratis pada uraian dimuka akan menjadi tidak bermakna manakala tidak didukung oleh leadership yang kuat untuk mewujudkannya. Bagaimana mungkin dari kondisi penuh ketidakpastian seperti yang terjadi saat ini, tata kehidupan kenegaraan akan beralih

62 begitu saja menjadi baik dan benar tanpa hadirnya orang kuat untuk memanage perubahan. Orang kuat yang dimaksudkan tidak ada kaitnya dengan asal-usul dalam arti dari lingkungan militer atau bukan militer40. Orang kuat disini lebih dimaknai karena integritas pribadinya dan kejelasan visi kenegaraannya. Hal ini menjadi persoalan tersendiri, karena selama Orde Baru telah terjadi kemandegan proses kaderisasi. Orde Baru dengan Pemerintahan yang otoritarian utamanya pada dekade terakhir mengembangkan pola rekruitmen kader tertutup dengan model clientpatron. Dalam konteks ini uraian Ignas Kleden yang mengupas kembali teori Max Weber tentang model kepemimpinan tradisional dan kepemimpinan yang berdasarkan legitimasi rasional dalam bukunya Masyarakat dan Negara menjadi relevan dan menarik41. Ia mengatakan kepemimpinan politik di Indonesia pernah mengalami yang tradisional sekaligus yang rasional. Yang tradisional seperti pada masa Soekarno dulu dan di tangan Soeharto kepemimpinan mulai berlegitimasi rasional. Namun ada tiga jenis resiko, menurut Kleden, yang dapat menghadang seorang pemimpin dengan legitimasi rasional. Pertama, kalau dia hanya mementingkan hasil kerja dan mengabaikan organisasi kerja, peraturan, dan berbagai prosedur yang mengaturnya, maka dia akan terjebak didalam teknokrasi yang sangat kasar. Kedua, kalau dia hanya mementingkan

peraturan

kerja,

organisasi,

dan

segala

prosedurnya

tetapi

mengabaikan hasil kerja, maka dia terjatuh ke dalam birokratisme yang kaku dan muncul. Ketiga, pemimpin dengan legitimasi rasional dapat memanfaatkan sukses kerjanya untuk mendapatkan legitimasi khrismatis atau legitimasi taradisional untuk dirinya. Dalam hal yang terakhir ini hasil kerja yang diperolehnya secara rasional kemudian dijelaskan secara kharismatis sebagai akibat dari kesetiaannya kepada nilainilai budaya tertentu. Itu yang menurut Kleden tergambar dari pemerintahan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri42. Model kepemimpinan yang tradisional tidak hanya di lingkungan birokrasi dan politisi sipil saja, tapi juga dilingkungan TNI. Maka begitu Suharto lengser yang terjadi adalah krisis kepemimpinan dihampir semua lembaga negara dan juga lembaga demokrasi. Karena kualitas kader yang tampil di lapis elit (umumnya 40

Dalam sejarah banyak tokoh politik nasional yang menunjukkan integritas sebagai pemimpin yang baik. Sutan Sjahrir misalnya terlepas dari paham yang dianutnya adalah sosialisme, ia adalah perdana menteri pertama dalam sejarah Indonesia yang memiliki integritas kepemimpinan. Lih. Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perjuangan, (Yogyakarta: Jendela, 2000) 41 Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang: Indonesiatera, 2004), hal.114 42 Ibid.

63 terafiliasi dengan Orde Baru) tidak bisa dijamin sepadan dengan tuntutan jabatan yang dipangkunya. Begitu pula kader pendatang baru, mereka terjebak pada conflict of interest yang begitu kuat baik antara “kekuatan lama” dengan “pendatang baru” maupun diantara sesama “pendatang baru” itu sendiri, sehingga banyak diantara mereka lebih sibuk dengan persoalan political game. Disanalah kesan dan juga penilaian bahwa bangsa kita terus dilanda disorientasi tidak bisa dihindari, karena kebanyakan kader lebih disibukan oleh kepentingan sesaat dan juga sektoral. Padahal penyelesaian krisis di bidang ekonomi tidaklah mungkin hanya diatasi dengan pendekatan ekonomi. Krisis di bidang politik tidak bisa dilepas dari pengaruh non politik. Dan begitu juga krisis dibidang lainnya, tidaklah mungkin diselesaikan dengan pendekatan parsial. Dengan demikian penyelesaian krisis tidak bisa dengan pendekatan linier sebagaimana lazimnya kehidupan masyarakat bangsa yang demokrasi nya sudah mapan atau paling tidak dalam kondisi masyarakat yang telah melaksanakan konsolidasi politik. Untuk itu kata kunci penyelesaian krisis yang kita hadapi saat ini adalah hadirnya leadership yang kuat yang mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis dalam artian menyentuh keakar masalah yang sebenar-benarnya. Disamping itu ia dituntut bisa menampilkan visi baru tentang Indonesia kedepan dan juga program aksi yang mampu menunjukkan "greget" dan penampilan Pemerintah Negara yang bisa mengayomi segenap warga bangsa dan sekaligus menghadirkan harapan baru atas masa depan bangsa. Maka kejelasan sikap dan visi kedepannya menjadi utama sehingga dapat segera membangkitkan kepercayaan rakyat dan dunia juga Internasional. Kualitas leadership juga menjadi mendasar, karena dalam tata kehidupan masyarakat yang mulai tidak lagi percaya kepada perangkat-perangkat kenegaraan, maka mutu kepemimpinan yang menonjol dalam penegakan kejujuran, kebenaran dan keadilan serta kepedulian dan peka terhadap kemanusiaan menjadi sangat dibutuhkan. Kwalitas kepemimpinan juga mengkait langsung dengan komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum dan kehidupan kenegaraan yang bebas KKN. Dan mengingat masalah yang dihadapi bangsa utamanya bersumber dari persoalan moral dan ekonomi, maka konsep kepemimpinan yang dibutuhkan adalah model yang berpenampilan bagai pendeta suci. Oleh karena itu kepemimpinan model pemulung yang terus sibuk memungut barang bekas walaupun wujudnya uang komisi dari proyek yang dibiayai dengan anggaran negara tidaklah mungkin masuk kategori pemimpin yang kuat. Pemimpin yang kuat juga harus memenuhi kriteria dilingkungan Islam dikenal dengan istilah:

yang

64 -

Sidiq yaitu Pemimpin yang mendasarkan secara kuat pada kebenaran,

-

Amanah adalah pemimpin yang secara konsisten dan konsekwen dalam menegakkan kejujuran,

-

Fathonah adalah ia yang cerdas dan bijaksana. dan

-

Tablig yaitu pemimpin yang berani menyampaikan kebenaran dengan tulus.

Dari kepemimpinan yang demikian itu diharap kan akan mampu mengantar bangsa ini membentuk sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis dalam sebuah proses peralihan yang sepenuhnya dibawah kontrol negara. Leadership yang kuat otomatis akan mengedepankan akal sehat disamping juga dibarengi kematangan emosi dan spiritual. Sudah barang tentu publik akan diajak berpikir rasional tanpa meninggalkan faktor berkah Tuhan yang Maha Esa. Dengan demikian konsep yang ditawarkan kepada publik dengan mudah dapat diukur kwalitasnya. Melalui proses penataan yang sistematik, betapapun kuatnya upaya pihak-pihak yang mengganjal upaya membangun peradaban yang baru otomatis niscaya akan berhadapan besarnya dukungan publik yang memang menghendaki adanya perubahan. Kekuatan tersebut sesungguhnya bukan hanya berasal dari kekuatan lama saja yang “bermasalah” sehingga dirinya otomatis akan terancam untuk berhadapan dengan hukum manakala Negara segera bisa melaksanakan konsolidasi, tapi juga sebagian dari pendatang baru yang mendapat keuntungan berkat keberadaan sistem kenegaraan yang ada. Maka kepemimpinan yang kuat juga disyaratkan adanya kemampuan untuk memisahkan tanggung jawab masa lampau dengan tanggung jawab masa depan melalui sebuah proses yang biasa dikenal dengan istilah rekonsiliasi atau islah.

Disamping itu

kepemimpinan yang kuat juga mensyaratkan adanya visi yang baru tentang kenegaraan, disanalah maka persoalan pentingnya perubahan secara mendasar atas sistem kenegaraan yang ada menjadi sangat utama. Karena tampilnya mereka sebagai satu tim dalam panggung politik nasional dibarengi dengan niat bukan untuk mendapatkan kekuasaan sebagai tujuan, tapi kekuasaan tersebut tidak lebih hanyalah sebagai sarana untuk membuat sejarah baru peradaban Indonesia kedepan. Tanpa kesadaran atas pentingnya mengubah sistem kenegaraan, akan berakibat mereka yang berkuasa akan mengulangi dan melanjutkan para pendahulunya. Untuk periode tertentu bisa saja kelihatannya upaya pemerintahan Negara seolah berhasil mengatasi krisis seperti yang dicapai oleh Suharto di era Orde Baru. Tapi

65 sesungguhnya prestasi tersebut adalah semu, karena akar masalah sama sekali tidak tersentuh oleh perubahan. Dan tinggal persoalan waktu saja, siapapun Presiden nya nanti, kita akan kembali mengalami krisis yang lebih dasyat lagi. Hubungan Militansi dan Nasionalisme43 Fenomena yang nampak dipermukaan publik akhir-akhir ini, dengan jelas menggambarkan betapa karakter sebagian elit bangsa begitu rusaknya. Disisi lain kohesifness, toleransi, solidaritas dan bahkan kebanggaan sebagai bangsa dan negara dari sebagian warga kita juga sangatlah rendah. Kondisi tersebut telah melahirkan kekhawatiran bersama sejumlah kalangan atas kesinambungan eksistensi bangsa dan negara tercinta ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua halaman 655 menyebutkan bahwa militansi sebagai katangguhan dalam berjuang (menghadapi kesulitan, berperang dsb). Oleh karenanya lingkup militasi bangsa yang dimaksudkan sudah barang tentu dalam kaitan “nation” dan juga “state” dalam arti secara profer yang sungguh-sungguh hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal ini perlu menjadi atensi utama dan pertama bagi kita semua karena belakangan ini sejumlah

pihak begitu militan

“berjuang” diberbagai forum dengan mengatas namakan kepentingan bangsa dan negara. Tapi betul kah yang mereka perjuangkan benar-benar hanya

untuk

kepentingan bangsa dan negara. Bukankah militasi sebagian dari mereka sesungguh nya tak lebih sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dan atau “cuci tangan”. Dan sebagian lagi sebetulnya tak lebih hanya untuk kepentingan sesaat yang sifat- nya murni kebendaan. Militansi bangsa dalam arti value tentang semangat sebuah bangsa sesungguhnya bersifat universal, karenanya maka dikenal disemua negara baik yang menganut paham demokrasi maupun yang bukan demokrasi. Bagi bangsa kita barangkali persoalannya tinggal bagimana nilai tersebut diformulasikan ulang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan era kekinian. Namun demikian perssoalan militansi bangsa dalam kaitan struktural kenegaraan apalagi yang berhubungan dengan keikutsertaan rakyat dalam pembelaan negara penulis lebih memilih penggunaan istilah semangat nasionalisme dari pada istilah militansi bangsa. Dalam praktek pengelolaan negara, militansi bangsa lazimnya dikembangkan oleh negara-negara Fasis dan juga negara43

Tulisan yang sama dengan judul Militansi Bangsa, Nasionalisme dan TNI, telah dimuat dalam majalah Seskoad Vira Jati No 109 tahun 2006

66 negara Agama, karena paham yang diguna kan dalam mengatur negara penganut paham ini memanglah top-down. Sedang

semangat nasionalis me biasanya

digunakan dilingkungan negara-negara penganut paham demokrasi. Adapun perbedaan yang mencolok dalam upaya menjaga stabilitas ke- amanan, persatuan dan kesatuan bangsa pada negara-negara Fasis ditempuh dengan cara-cara refresi dan kontrol secara ketat terhadap kehidupan sosial rakyatnya. Untuk melahirkan militansi rakyat nya, negara menempuh cara-cara

indoktrinasi, propaganda dan juga

mobilisasi. Sedang pada negara-negara penganut paham demokrasi (terlebih setelah melewati tahap konsolidasi sebagai negara) persoalan stabilitas keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa justru diposisikan sebagai out put atau produk dari sistem sipil (kenegaraan) itu sendiri. Sedang kadar rasa nasionalisme sangat ditentukan oleh kemanfaatan dari keberadaan negara itu sendiri. • Semangat Nasionalisme dan Unsur-Unsur yang Membentuknya Pada hakekatnya tujuan yang ingin diwujudkan oleh bangsa manapun tak terkecuali bangsa Indonesia dalam membentuk Negara adalah sama yaitu terwujudnya rasa aman, sejahtera dan lahirnya rasa kebanggaan / harga diri dalam bernegara. Ketiga unsur tersebut pada hakekatnya juga kebutuh an pokok segenap warga bangsa manapun. Dari ketiga unsur kebutuhan pokok warga bangsa itulah yang kemudian melahirkan sebuah rasa yang secara umum melingkupi sebuah bangsa untuk terus mengikat diri dan mempertahankannya dalam satu wadah (negara) dengan segala kecintaan dan konsekwensi dalam menjaga eksistensinya. Rasa yang demikian itu disebut rasa kebangsaan atau nasionalisme. Oleh karena itu rasa kebangsaan dari sebuah bangsa tidaklah mungkin bersifat permanen / statis, ia akan turun naik sejalan dengan dinamika yang dihadapi bangsa itu sendiri. Pada penggal waktu dimana sebuah bangsa sedang berjuang untuk membentuk negara, sangatlah berbeda dengan kurun waktu setelah ia berhasil membentuk negara yang merdeka. Untuk terbentuknya sebuah negara, suatu bangsa tanpa kecuali merelakan harta benda dan bahkan jiwa raganya tanpa sebuah imbalan apapun, kecuali kemerdekaan itu sendiri. Namun setelah bangsa tersebut telah merdeka dan kehidupan mulai normal maka keadaan berbalik, negara kemudian dituntut untuk mampu mewujudkan ketiga unsur kebutuhan pokok tersebut bagi segenap warga bangsa nya tanpa kecuali. Dengan kata lain

yang menjadi perekat dan bahkan

penentu kadar serta kwalitas

sebuah

nasionalisme pada era mengisi kemerdekaan adalah asas manfaat dari keberadaan

67 negara itu sendiri dalam mewujudkan ketiga kebutuhan dasar tersebut secara terintegrasi dan berimbang. tersebut niscaya

Dan manakala terjadi gap diantara ketiga unsur

akan memudarlah rasa nasionalisme bangsa tersebut. Disinilah

pentingnya kita sebagai bangsa terlebih para elitnya untuk mengubah secara progresif strategi dalam mengelola rasa nasionalisme dari waktu ke waktu, bahkan dari kasus ke kasus yang sedang dihadapi bangsa kita. Dengan mengambil perbandingan yang dilaksanakan oleh sejumlah pemimpin negara sahabat, kiranya kita akan bisa menarik kesimpulan betapa kecermat an dan keberanian seorang pemimpin bangsa mampu mengubah peradaban bangsanya dan mampu membangkitkan kembali rasa nasionalisme bangsa nya. Margaret Tacher umpamanya, ia telah mengesampingkan cemoohan banyak pihak tentang harga diri bangsa karena ia mengundang Sonny dan Honda yang notabene berasal dari “timur”. Namun ia tahu dan meyakini bahwa yang dibutuhkan rakyatnya saat itu adalah aspek kesejahteraan. Bill Clinton dalam dua kali pemerintahannya sama sekali tidak mengalami inflasi, hal ini karena penilaian adanya gap dimana rasa aman jauh diatas ke- sejahteraan. Maka dengan program memotong bugdet sektor Pertahanan, ia telah berhasil mem- bangun kembali ekonomi Amerika. Dalam prakteknya tidak sedikit pemimpin bangsa yang menggunakan slogan nasionalisme hanyalah sebagai tameng atas kelemahannya atau bahkan sebagai upaya menyembunyikan kesalahan44. Cara ini antara lain dengan menempatkan bangsa lain sebagai penyebab kerusakan yang tengah terjadi di negara nya. Model yang demikian ini lazim terjadi pada negara-negara yang otoriter / penganut paham fasisme dan negara-negara yang peradaban nya belum tinggi sehingga dalam pergaulan internasional tidak berpegang teguh pada fatsun dan kaidah-kaidah internasional. Nasionalisme juga haruslah ditafsirkan secara common sence dan

tidak boleh

ditafsirkan secara sempit sesuai kepentingan penguasa. Dalam kasus Jerman dibawah Hitler, nasionalisme dengan sengaja ditafsirkan secara sempit sehingga melahirkan nasionalisme yang chauvinistik, sejarah mencatat bahwa hal tersebut tidak hanya membuahkan mala petaka bagi bangsanya saja, tapi juga mala petaka kemanusiaan 44

Kalau membaca tulisan George Junus Aditjondro Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS yang siap Meledak, dalam buku Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter (Eds.) La Empresa Guerra, Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, terjemahan Indonesia, (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hal. 235-373 kita menjadi sadar bahwa militansi TNI sangatlah merosot di masa lalu yang terbukti melalui berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai tempat di negeri ini. George memang tidak membahas khusus tentang militansi dan nasionalisme tetapi data yang dipaparkannya memberikan petunjuk tentang krisis militansi dan semangat nasionalisme di kalangan sejumlah tentara di masa lalu.

68 bagi bangsa bangsa lainnya. • Dinamika dan Aspek Nasionalisme Bila ditilik dari sejarahnya, nasionalisme bagi bangsa kita banyak menginduk pada ajaran Ernest Renan (Abad 19) yang mengedepankan adanya persamaan nasib dan sejarah. Pandangan ini banyak dikutip oleh founding father kita yang mulai memperkenalkan paham kebangsaan diawal abad 20 an. Paham ini kemudian tumbuh dan berkembang begitu pesatnya menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II. Dengan mengangkat persoalan hilang nya kebanggaan dan harga diri sebagai bangsa karena penjajahan, membuat prestasi pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu berhasil dengan gemilang dalam menghadirkan rasa aman dan juga kesejahteraan (oleh orang tua terdahulu era tersebut dikenal dengan istilah “Jaman Normal”) tereliminasi begitu saja. Rakyat dibius dengan kerinduan hadir nya Pemerintahan yang diurus oleh bangsa nya sendiri (merdeka). Seolah penjajahan telah mem- belenggu segenap aspek kehidupan bangsa. Maka persoalan merdeka menjadi pertaruhan

dengan resiko

kematian sekalipun. Sehingga menjadi wajar saat bangsa ini harus berhadapan dengan Belanda yang hendak mengambil kembali kedaulatan yang sudah ditangan bangsa sendiri, dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat dengan semangat nasionalisme yang heroik.

Dan begitu seterusnya dalam lintasan sejarah berikutnya, bangsa ini

kemudian menempuh cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi antara pusat dan daerah. Maka yang terjadi sesama bangsa haruslah saling adu kekuatan dan persenjata an. Sudah barang tentu jatuhnya korban dari sesama anak bangsa sendiri dengan jumlah yang tidak kecil tidak bisa dihindari. Namun haruslah diakui bahwa rasa nasionalisme dalam episode ini malah bertambah tinggi, karena kehausan akan kebanggaan atas kemerdekaan dari rakyat banyak

belum

terpuaskan. Terlebih setelah diketahui dari sebagian pergolakan bersenjata tersebut ternyata disokong oleh negara tertentu. Sayang sekali pada periode berikutnya aspek ekonomi kurang mendapat perhatian secara serius oleh Pemerintahan Bung Karno. Ketambahan lagi disaat itu sedang terjadi perlombaan kekuatan per- senjataan dalam kerangka Perang Dingin.

Dalam

episode ini persoalan kebanggaan sebagai bangsa dan negara jauh lebih menonjol daripada persoalan ekonomi dan juga keamanan. Maka menjadi mudah dipahami ketika pak Harto mengumandangkan slogan “Politik NO, Ekonomi Yes” serta merta dalam waktu singkat mendapat dukungan

publik yang begitu besar. Sangatlah

69 disesalkan nasionalis- me yang dikembangkan oleh Suharto lebih diwarnai uniformisasi yang realitanya sangat dekat dengan Jawanisasi / Mataramisasi. Orde Baru tidak mem- bangun nasionalisme dalam kemajemukan, tapi sebaliknya semua aspek kehidup an kenegaraan dicoba untuk diseragamkan dengan model / selera Jawa. Rasa aman bukan ditempatkan sebagai produk dari sistem sipil yang bekerja secara benar, tapi lebih karena represi dan kontrol yang kuat dari pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh TNI (ABRI) terhadap bangsanya sendiri. Sistem pemerintahan negara memang menggunakan struktur politik model

demokrasi,

namun dalam prakteknya demokrasi hanyalah sebagai cap dari sebuah pemerintahan yang otoriter. Begitu pula dalam aspek ekonomi, faktor KKN telah membuat negara telah kehabisan dan kerusakan Sumber Daya Alam yang begitu dasyat akibat pengelolaan yang diproyeksikan hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja. Sementara itu hutang nasional yang begitu besar tidak dikelola dengan benar, bahkan sebagian telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja. Dari keberhasilan yang semu inilah akhirnya pak Harto lengser, akibat rontoknya sendi-sendi perekonomian karena gelombang krismon yang menimpa negara-negara yang belum mendasarkan secara kuat pada asas akuntabilitas dalam mengelola keuangan negara. Maka menjadi wajar sepeninggal Suharto dari gelanggang politik nasional segalanya menjadi porak poranda. Amat disayangkan dalam kondisi yang demikian itu para elit bangsa tidak mencoba untuk mencari antitesa untuk dapat menghentikan dan sekaligus menggantikan sistem yang lama dengan segala budaya yang melingkupunya. Yang lebih menyedihkan lagi akhir-akhir ini muncul pembelaan dari kelompok bermasalah bahwa sesungguhnya dimasa lalu sistemnya baik, tapi orangnya yang rusak. Dengan kalimat yang sejenis akhir-akhir ini juga sering kita dengar sejumlah tokoh menegaskan bahwa tidak semua yang lama itu jelek, yang baik kita pakai dan yang buruk kita buang. Mereka lupa bahwa Founding Father diawal kemerdekaan dan juga

Suharto saat memulai kekuasaannya tidak pernah

mempersoalkan tentang hal-hal yang baik dimasa sebelumnya akan diteruskan atau tidak. Sebaliknya keduanya menampilkan antithesa yang dibenarkan secara teori (bukan sekedar hipothesa) untuk sebuah perubahan. Di awal kemerdekaan slogan “Merdeka atau mati” dan diawal kekuasaan pak Harto dengan “Politik No - Eonomi Yes” kedua nya sangat ampuh sebagai obat untuk menyembuh kan penyakit yang telah lama dideritanya. Perancis dibawah Louis XVI pasca Revolusi, Jepang dan Jerman pasca Perang Dunia II juga mengambil sikap yang sama seperti yang

70 ditampilkan oleh Bung Karno dkk dan juga pak Harto sehingga disorientasi bangsanya dengan cepat bisa diakhiri. Barangkali kita juga patut untuk mencontoh sikap sejumlah pemimpin negaranegara komunis, yang dengan kesatria nya mengakui secara formal didepan publik dunia bahwa komunisme sebagai sistem kenegaraan gagal (setelah 60 tahun diuji coba). Dan kemudian mereka meminta maaf kepada rakyat nya atas perlakuan negara kepada rakyatnya dimasa lalu. Yang jelas belakangan terbukti mereka tidak lagi menghabiskan tenaganya untuk mem- persoalkan masa lalu. Mereka tak peduli dengan unsur-unsur yang dianggap baik dari sebuah sistem yang terbukti gagal. Keadaan jauh berbeda di lingkungan internal negara kita, setelah 32 tahun Orde Baru sebagai sistem ternyata gagal. Terasa sulit bagi publik untuk menemukan pemimpin yang berani menilai bahwa Orde Baru sebagai sistem pemerintahan ternyata gagal dan kemudian minta maaf atas perlakuan negara kepada rakyat nya dimasa lalu, sebagaimana yang dicontohkan oleh para tokoh komunisme dunia tersebut diatas. Yang terjadi nasionalisme kemudian lebih hanya dijadikan slogan oleh banyak kalangan. Bahkan pihak-pihak yang bermasalah dan yang akan membuat masalah kini sedang mencoba menempatkan rasa nasioanlisme sebagai pijakan perjuangan dengan menempatkan sejumlah negara asing sebagai musuh bangsa. Diantara mereka lupa bahwa dirinya dimasa lalu adalah bagian dari rezim yang berkuasa yang begitu mesra dengan negara-negara tersebut. Berkat kemesraannya itu dahulu rezimnya mendapatkan bantuan dan pinjaman dalam jumlah yang begitu besar dari negaranegara yang kini dihujatnya. Dan yang jelas sebagian dari pinjaman tersebut tidak dikelola dengan baik, bahkan sebagian lagi dikemplang ramai-ramai oleh kroni dan anggota rezimnya. Mereka pula yang dahulu menyetujui persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara kita dengan negara atau lembaga-lembaga donor yang kini nyata-nyata dirasakan sangat memberatkan bangsa kita. Yang pasti generasi penerusnya yang harus menanggung residu masa lalu dan juga warisan hutang yang begitu besarnya. Sangat disayangkan

Pemerintahan terdahulu pasca Suharto lengser tidak

mengawali dengan maping (pemetaan) dengan sungguh-sungguh tentang kondisi nyata atas persoalan yang dihadapi bangsa dan negara nya. Maka menjadi wajar kalau rezim terus berganti, tapi disorientasi bangsa ini terus tidak kunjung berakhir. Dan belakangan publik juga tahu bahwa anggota rezim pengganti juga terlibat dalam permasalahan serius utamanya dalam pengelolaan keuangan negara (korupsi). Mereka

71 kemudian bermain pada lahan politik dengan mengabaikan

etika sekalipun

seolah semuanya syah-syah saja. Dan inilah sesungguhnya “perang berlarut” yang sedang dikembangkan dan terus dipelihara pihak-pihak tertentu, untuk kembali memperoleh kekuasaan atau setidaknya membeli waktu agar segala persoalan yang melingkupi dirinya (sebagian termasuk pendatang baru) tidak lagi mengancamnya. Disanalah maka kita dapat ditengarai menurunnya harapan dan sekaligus kepercayaan publik terhadap kemampuan negara untuk menghadirkan rasa aman, kesejahteraan dan juga kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia. Kondisi yang demikian ini jelas mem- bebani Pemerintahan yang sekarang siapapun pemimpinnya karena tidaklah mungkin akan dapat memanfaatkan rasa nasionalisme yang ada (karena kadarnya begitu rendahnya) untuk membangun kekuatan dalam menghadapi hakekat ancaman yang saat ini nyata-nyata kini dihadapi oleh bangsa dan negara kita. • Model Nasionalisme yang perlu dikembangkan Sebagaimana uraian terdahulu bahwa pasang surutnya rasa nasionalisme bagi bangsa manapun, sangatlah ditentukan oleh azas manfaat atas keberadaan negara nya, maka untuk

era sekarang dan terlebih

kedepan para elit sebaiknya tidak terus

menyalahkan sikap sebagian warga bangsa kita yang tidak lagi peduli terhadap keutuhan negara Republik Indonesia. Apalagi kalau malah memusuhi mereka yang menginginkan memisahkan diri dari Republik tercinta ini. Hal yang demikian itu sama sekali tidak berarti bahwa kita lantas membiarkan begitu saja mereka yang menginginkan untuk memisahkan diri dengan membentuk negara sendiri. Terlebih kalau upaya yang ditempuhnya nyata-nyata melanggar hukum dan keluar dari koridor demokrasi. Karena negara mempunyai kwajiban untuk mencegah dan atau mengeliminasi terhadap keinginan yang demikian itu. Namun dalam kaitan membangun rasa nasionalisme, munculnya aspirasi

yang demikian itu haruslah

ditempatkan sebagai penomena ketidak berhasilan bahkan kegagalan negara dalam menjamin terwujudnya ketiga unsur pokok pembentuk rasa nasionalisme itu sendiri. Oleh karenanya kedepan negara termasuk alat ke- lengkapannya tak terkecuali juga TNI tidak perlu lagi menuntut rakyatnya untuk

menumbuhkan rasa patriotisme,

kerelaan berkorban, dan juga pantang menyerah dan apalagi dipersiapkan untuk ikut dalam perjuangan phisik perjuangan bersenjata dalam menjaga stabilitas keamanan, rasa persatuan dan kesatuan bangsanya sebagaimana model yang dikembangkan oleh negara-negara otoriter seperti yang diterapkan selama Orde Baru.

72 Haruslah disadari bersama bahwa beda yang mendasar pendekatan negara otoriter dan negara demokrasi dalam urusan menjaga kedaulatannya melalui perjuangan bersenjata terletak pada pilihan model reqruitmen kekuatan tentara nya. Untuk negara otoriter kekuatan tentaranya diperoleh

dengan mobilisasi, sedang dalam negara

demokrasi dilaksanakan dengan wajib militer. Disanalahlah maka pada negara Fasis rakyat harus militan, oleh karenanya negara terus membangkitkan rasa patriotisme, kerelaan berkorban, dan semangat pantang menyerah, dengan indroktinasi dan propaganda sekalipun, agar sewaktu-waktu terjadi mobilisasi persoalan kejiwaan kekuatan tentara nya telah terselesaikan. Sedang di negara demokrasi, kekuatan tentara sebanyak mungkin

diperoleh dengan wajib militer, sehingga dikalangan

masyarakat luas telah tersedia cadangan militer dalam jumlah besar, disamping itu terbentuk pula agen-agen tentara yang dapat mempengaruhi masyarakat sekelilingnya tentang pentingnya perjuangan phisik bersenjata yang dilaksanakan oleh tentara nya. Dari sana pulalah maka militansi yang perlu kita kembangkan bangsa kita kedepan adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran

segenap warga bangsa ini ikut

berpartisipasi dalam mengelola negara sesuai bidang pekerjaan dan pilihan hidupnya masing-masing. Oleh karena itu rasa patriotisme kedepan barangkali bisa diwujudkan dalam bentuk membayar

pajak tepat pada waktunya. Sedang pantang menyerah

dalam alam demokrasi bukan lagi sikap untuk terus berjuang melawan musuh bangsa sampai titik darah penghabisan dengan mengangkat senjata, tapi barangkali semangat untuk terus hidup dalam kesederhanaan tanpa harus ikut-ikutan untuk

korupsi.

Dengan mengasumsikan suatu saat bangsa ini berperang dengan negara lain, sesungguhnya per- soalan patriotisme, kerelaan berkorban dan bahkan semangat patang menyerah yang diimplementasikan dalam perjuangan phisik otomatis akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya kalau memang segenap warga bangsa ini menempatkan keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara adalah pilihan yang terbaiknya. Nasionalisme yang kita kembangkan kedepan juga tidak boleh bersifat eksklusif, tapi haruslah nasionalisme yang inklusif, karena bangsa ini telah bersepakat menjadi bangsa dan negara yang terbuka. Karenanya dalam mengembangkan nasionalisme tidaklah perlu para elit bangsa ini mengajak rakyat- nya untuk memusuhi bangsa lain. Dengan semangat nasionalisme, bangsa kita mestinya justru bisa menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa kita adalah bangsa yang lebih beradab, yang memegang teguh kehormatan, keadilan dan persamaan hak

sebagai prinsip dasar dalam

73 pergaulan internasional. Bangsa ini juga harus mampu memberi cotoh kepada masyarakat dunia pentingnya fatsun pergaulan internasional. Nasionalisme kedepan juga harus menjunjung tinggi hak-hak politik segenap warga negara tanpa kecuali. Kedepan kita tidaklah perlu membuat bangsa lain bingung seperti yang terjadi dalam kasus pemberian suaka (visa) oleh Pemerintah Australia bagi saudarasaudara kita dari Irian Jaya baru-baru ini. Barangkali dalam sejarah peradaban modern baru pertama kali terjadi kasus adanya kemarahan bangsa yang dicoba dibangkitkan oleh elitnya untuk memusuhi negara yang justru memberi perlindungan kepada sejumlah warga bangsa nya yang minta suaka kepada tetangganya. Bukankah secara universal dimanapun, justru negara yang didatangilah yang biasanya keberatan dan bisa jadi marah-marah. Bukankah mereka minta suaka karena tidak lagi merasa stay at home di negara nya sendiri. Ibarat anak yang terpaksa minggat dan numpang tidur ditetangga, seharusnyalah kita minta maaf kepada tetangga karena direpoti oleh ulah anak kita, dan sama sekali bukan malah marah-marah kepada tetangga yang telah menampungnya. Negara mana- pun tidaklah berhak mencegah bagi warga negara untuk meminta suaka ke negara lain. Disinilah pentingnya perubahan mind set dalam pengelolaan negara, untuk menempatkan negara sebagai pihak yang melindungi hak-hak politik segenap warga bangsanya, dan tidak lagi menempat- kan negara sebagai pihak yang menguasai rakyat nya sebagaimana yang terjadi pada negara-negara fasis / otoriter. Perubahan mind set yang paling mendasar dan terpenting adalah tentang sistem kenegaraan kita kedepan. Sesuai dengan kesepakatan kita sebagai bangsa yang memilih paham demokrasi sebagai model sistem kenegaraan, maka taat asas terhadap kaidah kaidah demokrasi menjadi sangat mendasar. Janganlah kita pilih model demokrasi tapi visi kita masih belum berubah dari paham lama yang memang otoriter. Dan janganlah kita memilih model demokrasi dengan sistem pemerintahan presidesial, tapi kaidah yang dipedomani adalah model demokrasi parlementer. Tanpa taat asas niscaya akan terjadi proses saling mereduksi antar kekuatan yang dipunyai dari model demokrasi itu sendiri. Bila kita sepakat memilih sistem pemerintahan presidensial dengan Pemilu langsung, maka sumber legitimasi bukanlah pada Partai dan DPR ataupun DPD, tapi langsung dari rakyat. Dan letak kekuatan kekuasaan ada pada keadilan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dalam kenyataannya pilihan model tersebut selama ini tidak dilaksanakan secara utuh lengkap dengan jiwanya. Kaidah-kaidah sistem pemerintahan

parlementer justru sangat melingkupi dan

74 mewarnai

sistem pemerintahan kita yang jelas-jelas presidensial. Sehingga

menjadi wajar kalau didalam- nya terjadi proses negasi yang sangat memakan energi dan biaya besar serta melelahkan. Disisi lain pencampuran kedua model sistem pemerintahan yang demikian itu secara teori sama sekali tidak punya jaminan keberhasilan. Dengan perubahan mind set dalam pengelolaan negara, maka kedepan hal-hal yang menjadi porsi politisi sipil, biarkanlah dikerjakan oleh kaum sipil dengan sungguhsungguh, dan janganlah kemudian melibatkan lagi TNI sebagaimana yang terjadi dimasa lalu sejak awal kemerdekaan kita. Biarkanlah TNI lebih berkonsentrasi pada core bisnisnya yaitu bidang Pertahanan. Hal yang demikian bukanlah berarti negara tidak boleh menggunakan TNI untuk menangani urusan diluar aspek Pertahanan. Namun pelibatan TNI yang demikian itu haruslah sebagai cara terakhir setelah cara damai tidak memungkin kan lagi, dan kalau hal itu dibiarkan akan mengancam keberadaan negara. Dan itupun harus melalui rule of engagement yang menjamin TNI terbebas dari sanksi pelanggaran HAM. Memang diawal kemerdekaan para pendahulu mengedepan kan penggunaan TNI dalam mengatasi perbedaan pendapat antara Pusat dan Daerah. Kiranya hal tersebut bisa dimaklumi karena disaat itu bangsa kita hidup dalam alam kedaruratan. Dan cara-cara yang demikian itu cukuplah terjadi dimasa lalu saja. TNI kedepan tidak boleh dijadikan korban dari sistem politik dan apalagi korban permainan politik oleh golongan manapun termasuk oleh pemerintahan yang berkuasa. Dalam kaitan ini maka TNI perlu mengantar bangsa ini yang diwakili oleh kaum politisi sipil untuk lebih banyak berafeksi dalam berkompromi dalam menyelesaikan beda pendapat dalam mengelola negara. Persoalan perbedaan pendapat dalam pengelolaan negara haruslah di- selesaikan dengan cara-cara yang beradab (sipil) dengan menjauhkan diri dari penggunaan kekerasaan dan apalagi melibatkan TNI sejak dini. Tanpa perubahan visi yang demikian itu, kelak persoalan pengibaran bendera selain sang Merah Putih akan kembali diselesaikan oleh TNI dengan caracara militer sehingga jatuhnya korban sesama anak bangsa tidak bisa dihindari. Namun demikian

kedepan bangsa ini haruslah mempunyai TNI yang kuat,

karena ia diperlukan untuk turun tangan pada saat cara carasipil (baca: damai) sudah tidak mungkin. Dengan TNI yang kuat dalam artian phisik karena besarnya kekuatan, persenjataan dan juga mobilitas yang tinggi untuk dikerahkan dimanapun dalam rangka menjaga kedaulatan bangsa dan negara akan membuat segenap warga bangsa ini merasa terlindungi berkat keberadaan TNI. Dengan kata lain militer betul-betul

75 ditempatkan sebagai kekuatan yang ampuh yang bisa memaksa pihak manapun untuk mengikuti kehendak negara setelah cara-cara damai tidak bisa lagi dimungkinkan. Kelemahan selama ini negara sendiri mengingkari paham tentang perang, kemudian TNI sudah diterjunkan dari awal terhadap persoalan yang dihadapi bangsa yang semestinya menjadi porsi sipil. Hal yang demikian itu membuat diantara anak bangsa diposisikan sebagai musuh oleh tentara nya sendiri (TNI). Dari sanalah akumulasi delegitimasi yang dihadapi TNI pasca lengsernya pak Harto. Dan dari sana pulalah mesti- nya legitimasi TNI pelan-pelan dibangun untuk ditegakkan kembali. Kedepan sebagai bangsa yang hidup dalam alam demokrasi biarkanlah rakyat kita mencintai militernya melalui kebanggaan dan sekaligus keyakinan terhadap TNI. Dan ketika TNI tampil dalam parade ataupun ketika turun tangan secara phisik dilapangan menjalankan tugas sucinya rakyat yang melihatnya begitu bangga, kagum dan juga lega. TNI juga harus menjadi faktor utama dalam percaturan pergaulan internasional, terlebih terhadap negara-negara tetangga dekat. Dengan TNI yang kuat maka bargaining position dalam mem- perjuangkan kepentingan nasional dalam forum internasional menjadi tinggi. Sudah barang tententu bila kadar nasionalisme yang melingkupi bangsa kita

begitu tinggi dan keberadaan TNI juga kuat serta

legitimated, maka otomatis akan melahirkan deterent (daya tangkal) yang tinggi pula. Maka niat negara manapun untuk menganggu apalagi meng- gagalkan kepentingan nasional kita akan pupus dan kemudian pudar dengan sendiri nya. Agar perubahan visi yang demikian itu menjadi lebih efektif, maka bangsa ini perlu memperbaiki sejarah nya. Sejarah yang selama ini disusun lebih untuk mendukung kepentingan penguasa, kedepan perlu disusun ulang dengan lengkap dari banyak aspek yang nyata-nyata telah terjadi dimasa lalu. Tanpa harus mengecilkan arti perjuangan bersenjata, keberhasilan bangsa kita mengusir penjajah dan kemudian keluar sebagai pemenang dalam perang kemerdekaan, sesungguhnya juga tidak lepas dari peran tekanan internasional terhadap Belanda. Kita juga harus jujur bahwa mundurnya Belanda dari tanah air, sama sekali bukanlah karena kekalahan tentara Belanda di medan perang dalam menghadapi tentara Republik yang saat itu lebih sebagai milisi. Sejarah sekitar perang kemerdekaan (dan termasuk mundurnya Belanda dari Irian Barat) haruslah dikaitkan pula dengan program

rehabilitasi

negara-negara Eropah pasca Perang Dunia II oleh Amerika yang terkenal dengan istilah Program Marshall Plan. Amerika menilai bahwa efektivitas bantuan yang diberikan kepada Belanda sangat terganggu karena pembiayaan perang di Indonesia.

76 Dalam konteks inilah menjadi wajar kalau kemudian Amerika berperan dalam sejumlah perundingan antara Indonesia dan Belanda. Begitu pula

dalam

memahami sikap pak Habibi yang memilih untuk referendum di Tim Tim. Dengan tidak bermaksud membela pak Habibi dan juga pak Wiranto sebagai Panglima ABRI yang saat itu setuju untuk me- laksanakan referendum di Tim Tim, persoalan tekanan internasional sangatlah berpengaruh terhadap pengambilan keputusan kenegaraan saat itu. Memang betul biaya yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia dalam operasi militer di Tim Tim bukanlah dana yang berasal dari bantuan dan atau pinjaman luar negeri. Namun demikian dana yang digunakan TNI dalam operasi militer di Tim Tim dalam jumlah yang tidak kecil dan dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun jelas-jelas mempengaruhi efektifitas penggunaan pinjaman yang diberikan kepada Indonesia. Hal inilah yang membuat tekanan internasional untuk mengakhiri persoalan Tim Tim menjadi begitu besar terlebih setelah pak Harto lengser dari panggung politik nasional. Sejarah kedepan juga haruslah disusun secara ter- buka agar generasi mendatang dalam mempelajari sejarah mampu menyimpul point of strategi alur cerita yang disusunnya. Diasingkannya Bung Karno dan juga tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya oleh Pemerintahan Kolonial Belanda tidak hanya membakar semangat kebangsaan dikalangan luas bangsa sendiri, tapi juga membuat perhatian dunia terhadap Indonesia. Perjuangan rakyat Tim Tim untuk merdeka lepas dari Indonesia, tidak bisa lepas dari peran seorang tokoh Xanana Gusmao dalam mempengaruhi dunia internasional. Keberhasilan rakyat Tim Tim lepas dari Indonesia jelas-jelas bukan karena TNI kalah perang, tapi karena peran internasional yang memaksa Indonesia mau melaksanakan referendum. Begitu pula keberhasilan sejumlah tokoh Aceh dalam perjuangan untuk memperoleh perlakuan istimewa, juga sama sekali bukanlah karena kekalahan TNI atas kekuatan bersenjata GAM. Loby internasional seorang

Hasan Tiro lah yang membuat sejumlah negara ikut serta dalam

menyelesaikan Aceh. Sejumlah pelajaran besar yang demikian itu kiranya patut diambil, agar kedepan sebagai bangsa kita tidak mengulangi kekeliruan yang sama. Kita juga harus mulai membuka mata, bahwa penjajahan Belanda tidaklah sejelek yang kita pelajari dalam sejarah selama ini. Kita juga harus jujur bahwa tidak sedikit negara yang kemerdekaannya didapat dengan merebut telah leading menjadi negara yang maju. Fakta juga menunjukan bahwa negara tetangga kita Malaysia yang budayanya relatif mirip bangsa kita dan baru merdeka pada tahun 1957 kini jauh lebih

77 maju dari kita. Dengan demikian kedepan kita tidak terus menghabiskan waktu dan tenaga untuk merumuskan alasan-alasan klasik untuk bela diri dan lepas dari tanggung jawab atas kegagalan dalam pengelolaan negara. Perubahan visi tentang negara dan bangsa tidaklah begitu saja akan menjamin bahwa bangsa kita akan mampu menata peradabannya dengan lebih baik sesuai dengan tuntutan jaman, manakala tidak diikuti dengan perubahan sistem kenegaraannya. Disinilah urgensinya negara segera

mempunyai konstitusi yang

sungguh-sungguh teruji obektifitras, rasionalitas dan validitas, serta kebenarannya minimal secara afeksi oleh bangsa lain. Sehingga kedepan rakyat yang jumlahnya lebih dari 200 juta tidak lagi dijadikan obyek uji coba sebuah hipothesa yang disusun oleh siapapun termasuk oleh sekelompok orang yang kebetulan duduk sebagai anggota MPR. Konstitusi haruslah dibikin oleh sekelompok orang yang benar-benar ahli dibidang nya, dan itupun harus

disosialisasikan kemasyarakat luas terlebih

dahulu secara masif, sebelum disyahkan oleh lembaga negara yang berwenang. • Penyikapan dalam mengembangkan militansi dan nasionalisme Militansi bangsa sebagai value sudah barang tentu bersifat universal, namun demikian dalam mengimplementasikannya mutlak diperlukan adanya penyesuaian terhadap sistem ketata-negaraan dan juga tuntutan perkembangan jaman yang melingkupi sebuah bangsa. Militansi bangsa dalam kaitan struktural kenegaraan hanyalah dikembangkan oleh negara-negara penganut paham Fasis dan Agama. Sedang bagi bangsa yang menganut paham demokrasi, nilai-nilai yang mengkait patriotisme, kerelaan berkorban dan pantang menyerah otomatis akan lahir berkat manfaat atas keberadaan negara dalam menghadirkan rasa aman, kesejahteraan dan kebanggaan sebagai bangsa dan negara. Bagi bangsa Indonesia persoalan nasionalisme menjadi persoalan yang pelik, hal ini terjadi akibat proses pertumbuhan dan perkembangannya penuh dinamika dan pasang surut yang sangat fluxtuatif.

Hal ini tidak bisa lepas dari kurangnya

pengintegrasi an dari ketiga unsur pembentuk kadar nasionalisme itu sendiri yaitu rasa aman, kesejahteraan, dan kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia. Maka hal yang terpenting bagi bangsa Indonesia kedepan adalah bagaimana membangun Nasionalis me Baru yang secara profer dan hanya diabdikan untuk kepentingan segenap bangsa dan negara. Nasionalisme kita kedepan bukanlah nasionalisme yang eksklusif maupun sempit, tapi nasionalisme yang inklusif yang

78 memegang teguh fatsun serta persamaan hak, keadilan dan harga diri sebagai prinsip dasar pergaulan internasional. Nasionalisme kita juga bukan nasionalisme yang borju tapi nasionalisme untuk segenap warga bangsa. baik dalam hubungan individu, kelompok, maupun dalam kaitan bangsa secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan perubahan vision dari segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya terlebih dahulu

tentang negara, bangsa dan sistem ketata negaraan. Melalui

perubahan vision yang demikian itu, diharapkan akan terjadi perubahan mind set dalam berdemokrasi termasuk dalam pengelolaan / peng- gunaan militer nya (TNI). Dan untuk mendukung proses menuju Nasionalisme Baru tersebut bangsa ini perlu merumuskan kembali sejarahnya secara jujur dan lengkap dari semua aspek yang nyata telah melingkupi perjalanan bangsa kita dimasa lalu. Sedang untuk menjamin keberhasilan dalam mewujudkannya, bangsa ini perlu segera merumus- kan sistem kenegaraan yang benar-benar teruji secara teori dan dijamin kebenarannya / terbukti secara afeksi, sehingga 200 juta lebih warga bangsa ini tidak terus dijadikan obyek uji coba sebuah hipothesa sistem kenegaraan yang dirumuskan bukan oleh orang ahli dibidangnya yang kebetulan duduk sebagai anggota MPR. Sedang hal yang perlu diwaspadai dalam proses membangun Nasionalisme Baru kedepan ini

adalah

banyaknya pihak-pihak yang menggunakan slogan nasionalisme yang sebenarnya hanyalah demi kepentingan pribadi dan juga golongannya sendiri saja. • Membangun Persatuan dan Kesatuan Indonesia Kalau kita teliti kejiwaan kita sebagai negara-bangsa dan apalagi bila ditarik jauh kebelakang ternyata memang banyak yang perlu dibenahi. Faktor sejarah sebagai salah satu media pewarisan nilai kebangsaan umpamanya, dalam kenyataannya lebih dominan menampilkan opini daripada fakta. Akibatnya gambaran masa lalu yang diuraikan sarat dengan kepentingan tertentu tak terkecuali dari pemerintah yang berkuasa saat sejarah tersebut disusunnya. Dampak ikutan yang tidak bisa dihindari adalah munculnya sejumlah “kebesaran” dan “kebanggaan” masa lalu yang sesungguhnya semu. Keterbatasan dukungan data dari situs yang ditinggalkan, kemudian dikaburkan oleh fantasi dan mistik. Akibatnya “gap” antar yang seharusnya dan kenyataan dalam kehidupan yang nyata menjadi sangat menganga. Boleh saja kita dikenal sebagai bangsa yang agamais, namun perilaku kita jauh dari tuntunan agama yang manapun. Kita dikenal sebagai bangsa yang punya budaya “adhi luhung”, dalam realitanya diantara kita saling bunuh, saling cakar, saling berebut kekuasaan

79 dan harta dengan cara-cara yang tidak bermoral sekalipun. Sejarah untuk episode yang baru beberapa abad silam tentang keberadaan sebuah negara yang kaya raya dengan peradaban tinggi, namun situs peninggalannya bukanlah bangunan dari logam mulia, tapi tak lebih sekedar patung-patung dari batu. Cerita adanya sebuah negara maritim yang kuat dengan wilayahnya melintasi sejumlah laut dan bahkan lautan, dalam kenyataannya situs yang ditemukan bukan fosil kapal besar dengan jumlah dayung puluhan, tapi perahu yang dayungnya hanya beberapa buah saja. Penyusun sejarah juga belum “merdeka” dari pengaruh egoisme SARA dan kedaerahan, sehingga belum membedakan antara “kebanggaan” dan “aib”. Untuk sebuah kekuasaan, dalam lingkungan kerajaan silih berganti merebut kekuasaan dengan saling membunuh. Namun hal yang demikian tidaklah diposisikan sebagai fakta bahwa moral kekuasaan saat itu sangatlah rendah. Pemaksaan sebuah nilai yang sesungguhnya hanya berskala lokal menjadi nilai yang berskala nasional juga terjadi dalam banyak kasus. “Kebenaran” yang dipaksakan tersebut kemudian secara sadar diwariskan justru melalui proses edukuasi. Dalam sejarah Majapahit umpamanya, sang penyusun sejarah lantas dominan beropini seolah sistem kenegaraan begitu idealnya, sehingga patut untuk ditiru dalam pengelolaan Negara kita kedepan. Sampai-sampai dikalangan TNI pun ada yang secara terbuka menempatkan salah satu tokoh legendaris di jaman Majapahit dalam hal ini Gajah Mada sebagai idolanya. Hal ini terjadi karena penyusun sejarah sama sekali tidak menyampaikan pesan kalau sang tokoh yang satu ini sangat melukai perasaan saudara-saudara kita utamanya yang berada di Aceh, Jambi dan juga Sunda. Memang tidak ada yang salah, dan itu syah-syah saja kalau ada yang menokohkan Gajah Mada, tapi betulkah paham kenegaraan sang tokoh tersebut cocok untuk era kekinian dan apalagi kedepan. Sudah barang tentu sebagai bangsa penganut paham demokrasi, tidaklah tepat kalau kedepan kejiwaan prajurit TNI masih diilhami model tentara Majapahit dengan tokohnya Gajah Mada. Karena Persatuan dan kesatuan yang akan kita bangun kedepan tidak mungkin dengan cara dipaksakan oleh negara apalagi dengan menggunakan kekuatan militer. Persatuan dan kesatuan haruslah diposisikan sebagai sebuah rasa yang lahir dan tumbuh dari tiap individu warga bangsa, kelompok, golongan dan juga daerah yang secara sadar berkehendak terus mengikat diri dalam wadah yang satu yang bernama Indonesia. Begitu pula model trik-intrik dalam pengelolaan negara model kepemimpinan kerajaan kerajaan dimasa lalu, tidak seharusnya dijadikan nilai yang terus diwariskan.

80 Pergantian kepemimpinan nasional yang berdarah-darah kedepan tidaklah patut untuk terulang kembali. Kebutuhan kita kedepan bukan lagi persoalan mempertahankan seseorang dan atau partai tertentu untuk terus berkuasa.Tapi bagaimana negara-bangsa ini bisa terus mampu menjaga eksistensi dirinya. Dan kemudian berhasil membangun peradabannya dengan lebih baik, tak peduli siapa pemimpinnya dan berasal dari daerah serta partai yang manapun. Lagipula untuk kedepan upaya mempertahankan seseorang dalam jabatan tertentu apalagi dilevel Presiden haruslah ditempuh melalui pembuktian kwalitas penampilan diri sebagai pemimpin, bukan dengan cara-cara yang tidak sehat. Penggunaan trik-intrik dalam mengelola negara niscaya berisi kebohongan, fitnah dan adu domba. Disanalah maka

dalam penyusunan sejarah integritas

seseorang tokoh haruslah seimbang antara sisi baik dan buruknya dalam artian fakta. Sementara itu sejarah yang ada secara sengaja telah menghilangkan sisi negatif kepemimpinan di masa lalu, lebih dari itu bahkan memitoskan. Maka menjadi wajar kalau sebagian elit bangsa masih menempatkan model “manajemen konflik” sebagai formula ampuh bila ingin bertahan sebagai pemimpin di bumi Nusantara ini. Sejarah masa lalu menempatkan kepemimpinan yang ada umumnya luhur, agung, dan hebat. Tapi realita yang ada negaranya kemudian punah, terpecah belah bukan karena serangan negara lain, tapi justru disebabkan

persoalan internalnya. Dalam era

kemerdekaan pencitraan yang sejenis terus berlanjut, Bung Karno nya baik tapi yang mengelilingi yang rusak. Suharto nya baik, tapi orang-orang sekitarnya yang bobrok. Rasanya terlalu sulit bagi bangsa ini untuk mengakui adanya sesuatu yang salah dalam dirinya. Hal yang terpenting bagi kita kedepan sebelum sistem kenegaraan kita kuat, yang dibutuhkan bukan persoalan pribadi sang Presiden baik atau buruk, tapi prestasi apa yang diwujudkan dalam memperkokoh sistem kenegaraan kita ini. Tanpa memperkokoh sistem kenegaraan terlebih dahulu, membuat ketergantungan kepada pribadi sang pemimpin terlalu dominant. Hal yang demikian untuk jangka panjang perjalanan bangsa sangat tidak menguntungkan. Karena lengsernya seseorang berakibat fatal bagi negara dan juga bagi warga bangsa, seperti yang terjadi pasca lengsernya Bung Karno dan juga pak Harto. Disanalah pentingnya fungsi aturan main dalam pengelolaan negara yang diwujudkan dalam sebuah konstitusi, agar ukuran benar-salah, baik-buruk bukan lagi opini, tapi terukur secara baku oleh aturan main yang telah disepakati bersama. Melalui penataan konstitusi yang terus menerus diharapkan nilai-nilai yang baik bisa diteruskan, sedang kesalahan dan kelemahan

81 yang pernah terjadi dimasa lalu tidak diulangi dimasa depan. Sangat disayangkan untuk saat ini model manajemen konfik dalam pengelolaan negara sepertinya belum diposisikan sebagai aib bersama. Kasus yang masih sangat relevan adalah rangkaian kekerasan yang ujungnya Jakarta kebakar menjelang jatuhnya pak Harto. Banyak elit bangsa dan bahkan negara sendiri memilih mengambangkan persoalan, kasus yang mestinya menjadi domain hukum malah secara konstitusional ditarik dalam wilayah politik. Penentuan terjadi atau tidaknya pelanggaran Ham malah melibatkan DPR, padahal di negara manapun didunia ini dipastikan menempatkan persoalan pelanggaran Ham pada wilayah hukum. Negara yang mestinya menjelaskan kepada rakyat tentang apa yang sebenarnya yang terjadi. Malah secara sengaja membikin agar semuanya kabur, emang-remang dan tidak jelas. Karena akal sehat akan mempertanyakan: “Apakah tujuan akhir rangkaian kasus tersebut hanya untuk membakar Jakarta” atau “untuk menjatuhkan pak Harto” ataukah “untuk tujuan yang lain”. Bukankah diantara anak bangsa yang kritis akan memunculkan pertanyaan: “Kalau saja tujuan akhirnya untuk menjatuhkan pak Harto, adakah saat itu kekuatan yang superior dari pak Harto dengan ABRI dan Golkar nya”. Begitu pula kalau kerja besar yang terkodinir tersebut hanyalah pekerjaan iseng sekedar membakar Jakarta. Disanalah maka trik dan intrik dalam pengelolaan negara harus disudahi untuk selamanya. Tanpa kemauan kuat semua pihak untuk mengakhirinya, maka konflik horisontal disejumlah daerah akan terus terjadi dengan mulusnya. Atas nama agama diatara kita kemudian saling membunuh, saling membakar dan saling menghancurkan tak ubahnya seperti

bangsa tak beradab.

Penyelesaian konflik kemudian lebih diserahkan kepada para pemuka agama dan tokoh masyarakat, dan negara lalai untuk menjelaskan secara transparan masalah yang sebenarnya, sehingga kedepan rakyat tidak mau diadu domba oleh siapapun. Dampak yang terjadi adalah pergeseran legitimasi publik dari negera kepada tokoh agama dan juga tokoh masyarakat. Dari sanalah maka persoalan stabilitas tidak lagi menjadi terukur, dan kemudian negara pun kehilangan wibawa nya. Manajemen konflik bukan tidak perlu untuk kita pelajari terlebih bagi TNI dan lebih khusus untuk lingkungan intelejen, tapi penerapannya haruslah dibatasi pada kondisi tertentu saja yaitu saat eksistensi negara dan bangsa nyata-nyata terancam adanya. Karena yang menanggung akibat secara langsung bukanlah mereka yang berkuasa, tapi rakyat kebanyakan dan bahkan peradaban bangsa juga menjadi sangat terancam untuk punah.

82 Begitu pula tentang pembentukan karakter bangsa, melalui dongeng orang tua kepada anak sebelum tidur yang umumnya menonjolkan kepahlawanan dari lingkungan kerajaan. Dampak yang

tidak mungkin dihindari adalah proses

penanaman budaya feodal kepada generasi penerus. Memang tidak berarti seluruh aspek budaya feodal akan menjadi kendala dalam pembangunan kejiwaan bangsa, namun demikian persoalan pemasungan kreatifitas dan akal sehat, hilangnya keberanian untuk senantiasa “tablig” jangan sampai subur karena sisi negatif dari budaya feodal. Lebih parah lagi ketika tayangan di TV kemudian lebih menonjolkan aspek mistik dan juga “jalan pintas”, maka kembali lagi anak bangsa ini dicekoki oleh nilai-nilai yang tidak rasional, dan kurangnya berpikir konseptual jangka panjang. Disisi lain paham tentang agama yang dibungkus dalam tayangan sinetron cenderung lebih kepada mistik dan kurang menonjolkan pentingnya berpikir dan bekerja keras. Dalam perjalanannya sebagai negara-bangsa terlebih di era Orde Baru, persoalan rasa ke Indonesia an bukan dibangun dari bawah dengan menumbuhkan kecintaan segenap warga bangsa tanpa kecuali kepada negara nya, yang terjadi sebaliknya negara malah memaksakannya. Dan kemudian anak bangsa yang tidak menjaga persatuan dan kesatuan menurut versi pemerintah, ditindas bahkan disertai dengan jatuhnya

korban jiwa dalam jumlah tidak sedikit. Elit dan rezim yang

berkuasa tidak menghitung besarnya dampak ikutan dari sisi kejiwaan pihak korban dan juga keluarga. Kejiwaan yang tidak sehat ini pada jangka panjang utamanya pada kondisi tertentu serta merta berubah menjadi budaya amuk. Gambaran yang seperti itulah yang terjadi menjelang lengsernya pak Harto, disamping pula adanya kekuatan yang merekayasa untuk terjadinya kerusuhan sosial itu sendiri. Sebagaimana pendahulunya Orde Baru kemudian jatuh dalam bentuk krisis nasional yang lebih parah daripada krisis yang terjadi diujung kekuasaan Orde Lama. Namun elit bangsa ini kembali tidak mencoba mengenali anatomi penyebab terjadinya krisis yang berulang tersebut. Elitnya terlebih lingkungan Partai kemudian terjebak pada political game dalam berebut kekuasaan. Bahkan yang lebih parah lagi, sekedar membangun kesadaran publik untuk menilai bahwa sistem kenegaraan yang ada gagal saja belum sempat ditempuhnya. Padahal di banyak negara tak terkecuali pada negara-negara eks komunisme pekerjaan pertama yang dilaksanakan kaum elitnya adalah memberi penilaian bahwa sistem kenegaraan yang ada gagal. Dan karenanya perlu menggantinya dengan sistem kenegaraan yang baru. Dengan sistem kenegaraannya yang baru mereka kemudian bangkit dengan cepatnya, dan ada pula

83 yang segera kembali menjadi negara kuat. Kondisi tata kehidupan yang begitu mengenaskan, dan persoalan kejiwaan yang serba tidak menguntungkan seperti gambaran tersebut diatas juga tidak lepas dari keterlambatan pak Harto dalam merespond perubahan lingkungan strategis yang berkembang saat itu. Dampak yang tidak bisa dihindari “bargaining position”kita menjadi sangat lemah dalam membela dan memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional. Bahkan sekedar penyikapan secara baik agar kepentingan nasional tidak dirugikanpun menjadi sangat sulit. Bagaimanapun saat semuanya lemah, otomatis membuat posisi tawar bangsa ini juga begitu rendah. Dan karena sedang dilanda disorientasi (kebingungan) maka menjadi lumrah kalau keputusan yang diambilpun banyak kelirunya dari pada benarnya. Disanalah maka Tim-Tim lepas, Sipadan dan Ligitan dipaksa dikeluarkan dari peta Indonesia, penyelesaian Aceh dengan melibatkan pihak internasional, tekanan internasional dalam persoalan Ham, dan banyak hal lainnya termasuk dalam persoalan ekonomi. Dan kemudian saat negara-negara Islam sendiri begitu pedulinya untuk memerangi terorisme, kita ramairamai mencoba menarik persoalan terorisme kedalam wilayah agama (Islam). Saat bangsa-bangsa lain termasuk negara-negara Islam menempatkan persoalan sejumlah kasus Timur Tengah seperti yang terjadi di Palestina, Libanon dan penyerbuan Amerika ke Irak sebagai kasus kenegaraan dan atau teritorial, bangsa kita sangat bersemangat untuk menempatkan persoalan tersebut kedalam wilayah agama (Islam). Lupa atau sengaja lupa kalau bangsa Palestina dan juga Libanon beragama campuran dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Sedang soal penyerbuan ke Irak, sejumlah negara Islam malah membantu Amerika. Semua ini bukti bahwa dalam kasus Timur Tengah sama sekali bukan persoalan agama. Demo menentang sikap Amerika yang menyerbu Irak memang terjadi dibanyak negara, tapi yang bergeser menjadi persoalan agama barangkali hanya di Indonesia. Disanalah pentingnya kita mengubah penampilan diri diforum internasional agar penyikapan kita minimal tidak lagi merugikan kepentingan nasional, syukur bisa menguntungkannya. Dan perubahan yang demikian itu baru mungkin kalau didahului oleh perubahan visi elit bangsa atas keberadaan diri sebagai negara-bangsa dalam tata kehidupan internasional. • Pentingnya perubahan mind set dalam membangun Persatuan dan Kesatuan.

84 Saat bangsa ini sarat dengan masalah, dan realitanya diantara anak bangsa dalam jumlah yang tidak kecil mengalami “luka dan cidera” yang

begitu

menyakitkan, bahkan penderitaan hidup yang begitu berat terus saja menghimpitnya, sakit hati dan dendam kesumat belum juga terbalaskan,

menjadi aneh kalau

ditanggapi oleh sebagian elit negeri ini dengan ajakan untuk “melupakan masa lalu dan menatap masa depan”. Segenap warga bangsa kemudian diingatkan untuk kembali bersatu padu membangun persatuan dan kesatuan. Ajakan yang demikian tidak salah, cuma barangkali perlu dilengkapi dengan sedikit rasa kemanusiaan dan sentuhan nurani. Dalam artian sebagai “goal” ajakan yang demikian sangatlah cocok, dan bahkan harus ditempatkan sebagai

kebutuhan bersama. Karena hanya dengan

melupakan masa lalu bangsa ini

segera bangkit mengejar ketertinggalannya,

setidaknya agar tidak kehabisan tenaga dan waktu akibat terus mempermasalahkan masa lalu. Barangkali semua pihak sepakat bahwa tanpa persatuan dan kesatuan, sekuat apapun kita akan menjadi tercerai berai. Tapi ajakan, sikap dan pendirian untuk “melupakan masa lalu” dalam artian sebagai “cara” ataupun “proses” jelas sangat tidak arif dan agak jauh dari sifat “amanah” maupun “fathonah”. Dan hampir pasti ajakan tersebut keluar dari elit yang tidak mau tahu atau mungkin tidak jujur dalam melihat realita kehidupan masa lalu kita. Mereka yang telah lama begitu menderita akibat kekejaman Negara diera Orde Baru, mereka yang telah kehilangan anggota keluarga, mereka yang cacat phisik dan psychis akibat perlakuan negara dimasa lalu, mereka yang selama ini telah kehilangan kesempatan untuk hidup layak, mereka yang selama ini hidup tanpa harga diri, harkat dan martabat sebagai layaknya, lantas tanpa proses apapun begitu saja diminta melupakan masa lalu. Ajakan tersebut menjadi sangat menyakitkan, karena yang mengajak adalah pelaku atau bagian dari pelaku yang telah menyebabkan semua itu terjadi dan menimpa diri mereka. Disisi lain Pelaku Utama yang lainnya pun masih ada didepan mata dengan segala kejayaan, kemewahan dan kenikmatan duniawi serta status sosial yang tinggi berkat kekayaan yang berlimpah hasil KKN. Mereka yang telah membuat Lingkungan hidup yang begitu rusak, hutan yang menjadi gundul, kekayaan alam yang habis terkuras, hutang negara yang begitu besar kini hidup dengan segala hak-hak istimewanya. Sementara mereka yang termaginalkan karena pembangunan, rakyat disekitar tambang dan hutan kini hidupnya menjadi lebih susah, mereka yang terjangkit penyakit akibat kerusakan lingkungan hidup serta endemi karena kemiskinan dengan entengnya diminta

85 melupakan masa lalu. Disinilah pentinganya perubahan “mind set” dari para penyelenggara negara dan sekaligus mengubah madzab berpikir yang lebih mengedepankan sifat “sidiq”, rasa kemanusiaan, keadilan, kejujuran serta berhenti dari kebohongan dan kemunafikan. Pemahaman uraian pada alinea tersebut diatas, bukan berarti kita segera menggalang kaum miskin untuk bangkit bersatu melawan anggota rezim Orde Baru dan siapapun yang terafiliasi, sebagaimana model yang biasa dipakai dilingkungan negara penganut paham komunisme. Dan janganlah pula kita mengulangi cara-cara Orde Baru yang kemudian “menghabisi” kekuatan Orde Lama dan juga lawan-lawan politik lainnya dengan cara memberi stigma bahwa meraka adalah musuh negara dengan cap Ekstrim Kanan (EKKA), Ekstrim Kiri (EKKI) dan Ektrim Lain (EKLA). Sesungguhnya banyak negara telah melakukan hal-hal baik yang bisa kita jadikan contoh dalam menyelesaikan persoalan masa lalu. Karena hanya bangsa yang bisa memisahkan dengan membuat garis batas yang tegas antara tanggung jawab masa lalu dan tanggung jawab masa depan lah yang akan bisa memulai membangun peradaban barunya. Artinya segala persoalan masa lalu haruslah diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas, agar tidak membebani masa depan. Secara kebetulan pula bangsa kita adalah bangsa pelupa dan sekaligus pemaaf. Dan sesungguhnya persoalan untuk memisahkan kedua tanggung jawab tersebut bukanlah pekerjaan yang susah susah amat dan bukan pula kategori yang mustahil. Model yang bisa ditempuh untuk maksud tersebut biasa dikenal dengan istilah rekonsiliasi atau islah. Melalui proses ini segala kesalahan masa lalu haruslah diakui apa adanya, dan kemudian dimaafkan. Warga negara yang manapun dilindungi untuk menjadi saksi dengan segala kejujurannya tanpa resiko hukum apapun. Dengan demikian persoalan masa lalu bisa secara terang benderang dirumuskan secara apa adanya. Dan kemudian penyelesaian pertanggung jawaban atas kesalahan masa lalu tidaklah harus seluruhnya melalui jalur hukum. Dengan demikian akan muncul ketulus-iklasan dari mereka yang dimasa lalu menjadi korban untuk memaafkan dan sekaligus melupakannya. Negara kemudian memberi konpensasi sebagai ganti rugi atas perlakuan negara yang dimasa lalu merugikan dirinya. Sedang penyelesaian kasus KKN, ditempuh dengan kebijakan negara yang mewajibkan mereka yang terlibat KKN dimasa lalu dengan mengembalikan kekayaan hasil KKN nya, dengan menyisakan sebagian untuk kehidupan dan penghidupan yang layak bagi pelaku KKN itu sendiri. Karena bagaimanapun mereka bisa terlibat

86 dalam KKN karena adanya kesempatan dan fasilitas yang diberikan oleh negara saat itu. Mereka yang terlibat dalam KKN selanjutnya dijamin dengan predikat bebas KKN termasuk bagi keturunannya. Dan sebaliknya mereka yang tidak mau jujur apa adanya, maka negara menghukum melalui proses peradilan dan kepadanya diberi sanksi tidak bisa menggunakan jasa per bank an termasuk keturunannya yang ikut menikmati hasil KKN tersebut. Sehingga mereka yang membandel otomatis tidak bisa mengolah dan apalagi membangun kekuatan ekonomi dari kekayaan hasil KKN nya termasuk keturunannya. Memang untuk melaksanakan proses ini perlu pemimpin yang kuat, agar semua pihak baik pelaku maupun korban mempunyai tumpuan dan harapan yang sama yaitu sebuah kepastian hukum dan ditegakkannya keadilan. Dengan demikian segenap pihak utamanya para saksi dan terlebih mereka yang bersalahpun tidak perlu takut. Keadaan menjadi serba ruwet dan repot, karena sang pemimpin yang ditunggutunggu sebagai “Satrio Piningit” tak kunjung datang. Dalam kaitan

rekonsiliasi

mungkin yang perlu diubah adalah tafsir tentang “Satrio Piningit” yang tidak lagi dalam wujud satu orang, tapi lembaga dalam bentuk “ad hoc” yang terdiri dari orangorang yang integritasnya tinggi dan teruji. Dengan demikian yang diperlukan oleh bangsa ini adalah sedikit kesabaran untuk menunggu lahirnya niat dan kemauan para petinggi republik ini untuk mau segera menutup buku sisi gelap masa lalu dengan membentuk Panitya Islah. Dalam kenyataannya elit bangsa ini terkendala akibat belum siapnya Undang-undang . Disanalah kita perlu sharing pemikiran, karena dalam pengelolaan negara ada kekuatan lain disamping persoalan Undang-undang yaitu legitimasi. Dan dalam banyak hal persoalan legitimasi justru jauh lebih kuat daripada Undang-undang. Sangatlah

sulit warga bangsa yang manapun akan

menyalahkan keputusan negara dalam hal pembentukan Panitya Rekonsiliasi. Bukankah sejumlah negara bisa melaksanakan tanpa menunggu lahirnya Undangundang dan bahkan jauh diabad keenam Nabi Besar Muhammad Rosulullah telah mencontohkan islah dalam kasus pelanggaran Ham yang dikerjakan oleh pasukan Chalid Bin Walid. Adalah hal yang manusiawi kalau mereka yang dimasa lalu bermasalah ingin lepas dari kejaran hukum. Mereka juga perlu memperoleh

kepastian atas masa

depannya. Maka sangatlah wajar kalau diantara mereka memilih agar proses destabilisasi dan delegitimasi pemerintahan yang manapun terus berlangsung. Dengan demikian kondisi disorientasi yang melanda bangsa terus berlarut, dan supremasi

87 hukum makin menjauh. Karena hanya dengan pemerintahan yang lemahlah mereka akan selamat dari segala tanggung jawab hukum. Partai-partai politik kemudian mereka masuki, hukum kemudian secara terang terangan mereka beli, sudah barang tentu dengan uang hasil KKN. Dan mesin pembuat opini khususnya media otomatis akan mereka miliki dan kendalikan. Maka masalah demi masalah yang mengkait keamanan, kemanusiaan dan juga kebangsaan akan terus diciptakan. Proses ini terkadang justru keluarnya lewat kebijakan Negara dan atau Partai yang bisa dijadikan alat mereka. Disanalah maka hal-hal lucu dan aneh terus bermunculan, saat bangsa sedang prihatin karena musibah bencana alam yang terus beruntun justru yang digulirkan adalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Sejumlah kasus internasional yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, kemudian diangkat seolah bangsa ini rela mati untuk bangsa lain (jihad), sementara saudara-saudara sebangsa dan setanah air dan juga seagama diwilayah lain yang terkena bencana alam dibiarkan begitu saja. Begitu pula dalam hal keamanan, tanpa tujuan yang jelas yang penting terus ada masalah. Disanalah maka sejumlah rentetan Bom meledak dimana-mana tak terkecuali di Bali. Dengan jelas kasus-kasus yang terjadi sulit dicerna oleh akal sehat, karena antara motivasi / tujuan yang dinginkan dengan modus operandi tidak masuk logika. Proses yang sistematis ini semuanya persis tahapan / langkah-langkah yang diajarkan paham komunisme dalam mematangkan keadaan untuk “merebut” kekuasaan. Hal yang terpenting dalam memahami hal tersebut diatas janganlah menggunakan paradigma lama, sehingga langsung memvonis bahwa Partai, Ormas atau LSM tertentu yang condong ke “kiri” sebagai pelakunya. Kalau tahapan konsolidasi mereka masih sebatas unjuk identitas, sama sekali belum berkemampuan dan apalagi siap untuk “merebut” atau setidaknya “mendominasi” kekuasaan maka “tuduhan” tersebut sama sekali tidak beralasan, bahkan bisa saja tergolong fitnah. Ibarat orang punya hajat menikahkan anak, Akad nikah belum tentu dirumahnya sendiri. Dan belum tentu pula si pemilik gedung berarti ia yang punya hajat. Walaupun dalam kondisi tertentu memang yang punya gedung adalah yang punya hajat itu sendiri. Disanalah pentingnya melihat anatomi bangsa secara jujur, dalam, dan konprehensif sehingga mudah untuk mengetahui siapakah sang “shaibul hajat” yang sebenarnya. Dalam hitungan paling lama satu dekade saja, bangsa ini akan jenuh dengan keadaan yang dihasilkan oleh kehidupan kenegaraan yang terus “limbung” selama era reformasi. Dan disanalah nanti kekuatan lama yang bermasalah tampil kembali

88 dipanggung kekuasaan tanpa harus ganti wajah sekalipun. Saat itu nanti kekayaan yang diperoleh dengan KKN dimasa lalu termasuk dari lingkungan birokrasi sipil dan militer otomatis berubah status menjadi putih bersih tanpa cacat. Dan diantara mereka akan tampil sebagai pahlawan yang begitu berjasa dalam membangkitkan kembali negara dan bangsa kita dari keterpurukan yang selama ini terus berlarut. Manapun skenario perjalanan sejarah yang akan dilintasinya kelak secara politik syah adanya, namun pokok persoalan yang mendasar adakah jaminan kelak setelah kekuatan lama yang bermasalah kembali berkuasa tidak lagi mengulangi penampilan lamanya. Disanalah pentingnya perubahan “mind set” kita sebagai bangsa, agar pilihan yang manapun lintasan yang bakal dilewati bangsa ini tidak perlu mengulangi kesalahan dan kelemahan masa lalunya. Dengan demikian perjalanan sejarah yang manapun eksistensi negara-bangsa kita bisa tetap utuh, dan bangsa ini segera memulai membangun peradaban barunya. Perubahan “mind set” tersebut juga menjadi mendasar, agar elit bangsa ini

secara sadar mengubah penampilannya

sehingga dikalangan publik muncul setitik harapan baru. Bila saja rakyat banyak terus “hopeless”, bisa saja kelenturan kita sebagai negara-bangsa akhirnya melampau batas maksimal yang ikutannya Indonesia akan menjadi terpecah belah. Yang pasti bila Indonesia pecah, bagi mereka yang bermasalah justru sebagai kesempatan emas. Dengan kekuatan kapital hasil KKN nya mereka akan menjadi “penguasa” dibanyak negara baru eks Indonesia. Dan yang pasti terjadi, bersama hancurnya Indonesia mereka yang dimasa lalu bermasalah menjadi bebas dari tuntutan hukum. Untuk mencegah Indonesia terpecah belah, logikanya negara akan menggunakan alat kekuasaannya dalam hal ini TNI. Dan berkat penampilan TNI bisa saja keutuhan Indonesia bisa dipertahankan. Namun bila Negara mengubah penampilannya dari model lamanya,

tidak segera

kondisi yang berkembang akan

mengantar kita masuk dalam tahap krisis yang permanen sebagaimana negara-negara miskin di Afrika. Disana nanti jangan kan elit bangsa sendiri akan mampu mengatasinya, turun tangannya PBB dengan berulang kalipun selalu gagal. Dalam kaitan ini yang mendasar adalah penampilan negara untuk tidak merugikan orang perorang warga bangsa, kelompok, golongan dan atau daerah manapun. Karena tidaklah mungkin rasa persatuan dan kesatuan sebagai Indonesia bisa diwujudkan bila nyatanya justru negara lah yang terus merugikan warga bangsa, kelompok dan atau golongan ataupun daerah tertentu.

Rasa persatuan dan kesatuan otomatis akan

tumbuh dan berkembang manakala negara mampu menghadirkan manfaat,

89 keuntungan dan kemudahan bagi dirinya, kelompok dan golongannya, dan bahkan bagi daerahnya dalam kehidupan kesehariannya baik berupa perlindungan, fasilitas, dan bahkan kebanggaan sebagai warga negara-bangsa Indonesia. Begitu pula dalam kaitan tata pergaulan internasional, kejiwaan kita tidak bisa lagi terus merujuk pada cara-cara yang dikembangkan selama ini. Persoalan kemanusiaan yang tidak mengenal batas negara, tidak bisa lagi ditampik. Turun tangannya bantuan internasional dalam menolong korban tsunami Aceh akhir tahun 2004 adalah bukti yang tak terbantahkan. Perdagangan bebas dunia tidaklah mungkin kita hindari lagi kecuali kita akan berubah menjadi negara tertutup, dan itupun mustahil. Dan banyak lagi contoh yang bisa kita tampilkan sebagai bukti bahwa kita hanyalah salah satu warga dunia, maka tidaklah mungkin kita mengelak dari aturan, mekanisme dan juga fatsun pergaulan dunia. Perubahan “mind set” yang demikian menjadi penting, sehingga dalam mensikapi kepentingan nasional di forum internasional kita digolongkan sebagai bangsa beradab, berpegang teguh pada kebenaran, konsisten dan tidak munafik. Dengan cara ini kedepan tidak terjadi saat di ruangan DPR menyetujui untuk pinjam dana untuk memenuhi kebutuhan APBN kepada pihak tertentu, Tapi diluar DPR ramai-ramai menghujat sang kreditur. Dan saat keluarga besar sang kreditur justru datang lebih awal dalam memberi bantuan kepada saudara-saudara kita di Aceh yang terkena musibah, ramai-ramai pula memuji mereka, dan menyalahkan Pemerintah sendiri yang terlambat menanganinya. Semua elit sepakat bahwa peri kemanusiaan adalah sendi kehidupan negara bangsa kita, namun pada saat yang sama pula, kita terus mengambangkan tuntutan kaum ibu yang kehilangan anak karena perilaku negara. Dan saat internasional menekan soal penyelesaian pelanggaran Ham, kembali lagi sebagai bangsa kita seolah tidak paham bahwa perikemanusiaan terkait erat dengan Ham. Saat Bom meledak dimana-mana dan kemudian otoritas negara mencoba mengejarnya, sebagian dari elit bangsa ini mencoba memasukkan persoalan terorisme kedalam wilayah agama. Hal-hal yang demikian sangat aneh dan tidak masuk logika bangsa-bangsa yang beradab dibelahan bumi yang manapun. Dan ketika ada “travel warning” dari salah satu negara kembali lagi elit yang sama pula ramai-ramai marah, dan sebagian lagi memilih diam. • Prioritas program dalam membangun Persatuan dan Kesatuan Pada saat negara-bangsa ini menghadapi masalah yang begitu berat

dan

90 ketidak pastian yang sangat tinggi seperti yang kita alami saat ini, sementara itu kita juga belum mempunyai nilai andalan yang mampu menjamin persatuan dan kesatuan, maka persoalan yang mendesak yang perlu kita kerjakan adalah: Pertama, Pembuktian bahwa negara ini masih ada dan memberi manfaat bagi warga bangsa khususnya bagi daerah-daerah yang dilanda masalah kemanusiaan. Disanalah maka otoritas negara harus nampak dengan jelas. Sebuah konflik horisontal dengan motif agama didaerah yang kecil, tidak bisa terus dibiarkan dan apalagi dipelihara baik oleh negara dalam kerangka membendung dan mengubah “kekuatan” yang arahnya menuju keatas

(Vertikal) menjadi kekuatan yang arahnya kesamping

(horisontal). Ataupun oleh kekuatan diluar negara, tegasnya kekuatan masa lalu yang bermasalah yang memang mempunyai berbagai jaringan begitu kuat dan dukungan finansial yang tak terbatas, agar proses destabilisasi terus berlanjut. Yang manapun kekuatan tersebut berasal, untuk menyelesaikan konflik horisontal hanya ada satu formula ampuh yaitu membangun kesadaran publik setempat agar tidak mau diadu domba lagi oleh siapapun. Karenanya publik perlu diberi penjelasan secara terbuka atas akar masalah yang sebenarnya, yaitu sebuah rekayasa eksternal dari kelompok tertentu dan bukan karena persoalan lokal setempat. Adalah bohong besar kalau senjata dengan jumlah yang tidak kecil dan manusia yang begitu banyak yang terlibat dan dilibatkan dalam konflik horisontal murni berasal dari internal masyarakat setempat. Dengan proses hukum ataupun dengan cara lain “islah” umpamanya, negara haruslah menelusuri asal usul senjata secara tuntas agar rakyat setempat memahami dengan pasti. Sudah barang tentu setelah semuanya gamblang, darimana asal usul senjata yang digunakan, dan Siapa yang mengorganisir

ratusan bahkan ribuan

manusia non penduduk setempat yang terlibat atau dilibatkan dalam konflik yang terjadi selama ini otomatis akan melahirkan kesadaran publik dikedua belah pihak yang selama ini bertikai. Disanalah negara yang dilengkapi berbagai otoritas harus menampakan keberadaannya dan sekaligus kegunaannya. Dan hal yang sejenis adalah penampilan Negara dalam menangani bencana alam yang melanda bagian wilayah kita yang manapun. Kedua, Melaksanakan rekonsiliasi atau islah atas semua masalah pelanggaran Ham dan juga KKN yang terjadi dimasa lalu. Sesungguhnya kalau saja kesadaran publik atas pentingnya rekonsiliasi atau islah telah tumbuh, niscaya

semua pihak akan

menyambut program rekonsilasi atau islah dengan terbuka tanpa kecurigaan apapun. Rekonsiliasi dengan warga bangsa Timor Letse juga perlu segera dilaksanakan agar

91 kita tidak terus dijadikan bulan-bulanan opini publik internasional. Dengan cara ini maka segala persoalan pelanggaran Ham termasuk pelanggaran Ham Tim-Tim dan juga kasus Munir dapat ditutup dengan segala ketulus iklasan semua pihak demi masa depan bersama. Ketiga, reformasi birokrasi. Begitu buruknya penampilan birokrasi pemerintahan, akan membuat kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga pemerintahan menjadi sangat rendah. Persoalan korupsi, pungutan liar dalam pelayanan publik, penggelapan atas pemasukan negara dan mafia hukum akan membuat kesamaan penderitaan bagi rakyat banyak.

Sehingga pada saatnya nanti, utamanya saat terjadi turbulance

kebencian publik akan terlampiaskan dengan menempatkan lembaga pemerintah sebagai sasaran amuk massa. Disanalah pentingnya Pemerintah secepatnya melaksanakan reformasi birokrasi pemerintahan dengan sungguh-sungguh. Karena bila saja budaya amuk sempat mewujud lagi, persoalan persatuan dan kesatuan kita sangat dipertaruhkan. Dengan mudahnya daerah-daerah tertentu akan memisahkan diri dari republik tercinta. Untuk mencegahnya maka TNI pun dalam waktu dekat sesegera mungkin mengubah diri, menjadi kekuatan “deterent” yang sangat diperhitungkan oleh siapapun dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Perwujudan TNI yang demikian jelas bukan wujud TNI yang dahulu. Karena rakyat yang manapun sudah tahu bahwa realitanya TNI dimasa lalu tak bisa berbuat banyak utamanya disaat-saat kritis seperti yang terjadi ditahun 1998 dan juga rentetan kasus setelahnya. Keempat, Menyusun UUD Baru. Mengingat arsitektur sistem kenegaraan kita sangat rapuh, maka diperlukan kesadaran publik utamanya dilingkungan elit untuk segera membentuk aturan main yang mampu menjamin terbentuknya sistem kenegaraan yang kokoh dan kuat. Sistem negara yang demikian akan menempatkan semua konflik yang terjadi dalam dinamika pengelolaan negara berada ditingkat operasionalisasi pemerintahan, sehingga tidak menyentuh persoalan eksistensi negara. Memang betul dalam kondisi yang serba tidak ada kepastian seperti yang melingkupi kita pasca lengsernya Pak Harto, yang terpenting adalah tampilnya pemimpin yang kuat untuk membentuk sistem kenegaraan yang benar, baik dan kuat. Pokok persoalan yang terjadi, siapapun pemimpin

yang tampil dengan talenta sekuat apapun akan

terbelenggu oleh jebakan sistem yang dibuat Orde Baru dan lebih rancu lagi oleh hasil amandemen UUD-45. Persoalan Korupsi umpamanya, jelas-jelas karena sistemnya yang korup. Siapapun yang menjabat, tanpa kehendak untuk mengubah sistem niscaya

92 akan larut juga dalam korupsi. Kekuatan sitem demokrasi presidensial kemudian dimandulkan oleh kekuatan sistem parlementer sebagaimana hasil amandemen UUD-45. Bahkan UUD-45 yang asli membenarkan seorang Kepala Negara bisa dijatuhkan oleh lembaga yang bernama MPR, tanpa kita pertanyakan darimana sumber legitimasi / otoritas yang dipunyai oleh MPR untuk menjatuhkan Presiden. Maka sebagaimana yang dicontohkan pak Harto, pemimpin

yang kuat haruslah

dimulai dengan perubahan sistem. Karenanya bisa dipahami kalau ditahun pertama, kedua dan juga ketiga pak Harto belum banyak bersikap. Dan saat mulai menunjukkan identitas dan talenta diri sebagai seorang militer yang kuat pekerjaan pertama

pak Harto adalah memasukkan ide dan gagasannya kedalah sistem

kenegaraan. Disanalah maka publik kemudian merasakan adanya harapan baru, dan lebih dari itu semua gagasannya kemudian dijelmakan sebagai bagian dari sistem kenegaraan. Dan untuk membangun sistem kenegaraan yang demikian itu, hanyalah mungkin manakala Negera membentuk sebuah badan yang independen yang terdiri dari orang-orang yang paham dan mengerti sistem kenegaraan dalam visi global. Kelima, pembangunan karakter bangsa. Kelak setelah kita mampu melewati tahap kritis, maka sejumlah masalah yang berkaitan dengan model pewarisan nilai-nilai bangsa utamanya sejarah haruslah dibenahi / diluruskan. Kedepan pembangunan karakter bangsa menjadi utama karena salah satu pondasi yang mendasar dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa adalah karakter bangsa. Terabaikannya pembangunan karakter bangsa di era Orde Baru bukanlah sebuah kealphaan ataupun keteledoran, tapi memang tuntutan dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu tidaklah mungkin membangun karakter bangsa. Untuk itu hal yang terpenting adalah dukungan sistem rekruitmen kader yang tidak lagi tertutup, tapi benar-benar terbuka. Dengan demikian pemimpin yang berhasil lolos sampai ketingkat elit memang benarbenar yang bermutu tinggi, dan sebaliknya pemimpin yang mutunya rendah akan berjatuhan sejak awal.

93

Bab Keenam

TNI DALAM KERANGKA SISTEM DEMOKRASI Pada bagian ini, penulis ingin membahas secara spesifik tentang reformasi TNI dalam konteks politik demokrasi di Indonesia. Berhubung apa yang penulis paparkan pada bagian ini lebih pada langkah-langkah penataan yang praktis dan sedikit banyak konseptual, maka diperlukan penambahan analisis dari sudut pandang teoritis-ilmiah sehingga pada bagian awal penulis merasa perlu memasukkan analisis Sunardi dan Boni Hargens dari Universitas Indonesia secara utuh. Dua tulisan yang membuka bab ini, akan menjadi acuan teoretis untuk memahami kelanjutan analisis saya di bagian setelahnya. Militer, Polit ik , dan Demokrasi dalam Amatan Teoritis. Oleh Sunardi 45 Kalau ada sisi yang tak terusik dalam analisa teori sistem politik yang di kemukakan David Easton, barangkali itulah militer. Entah karena pengamatannya dikerangkakan dalam konteks tradisi politik Amerika bahwa militer adalah bagian dari birokrasi negara, atau entah karena ia terpukau dengan dalil bahwa setiap perbuatan atau tindakan yang merusak sistem politik adalah bersifat anti politik, yang jelas tampaknya bahwa ia bukan saja tidak membayangkan militer sebagai suatu kekuatan vital negara yang ke terkaitan peran sertanya di dalam negara bersifat longgar, tapi juga tidak memperkirakan kelompok profesional itu akan dan dapat menggerakkan aksi-aksi, termasuk revolusi, untuk mengancam kelangsungan sistem politik yang ada. Padahal menurut catatan, Victor Hugo sudah sejak paruh kedua abad ke-19 mengguratkan perilaku militer dalam menjatuhkan monarki Francis 1851 dalam karya 'Napoleon si Kontet yang diterbitkan di London 4 Agus-tus 1852. Atau bahkan kata-kata: staatsstreich, colpo di Stato, golpe deestado, atau coup d'Etat, 45

Dosen Senior di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.

94 telah ada se-belum kata coup masuk dalam perbendaharaan kata Inggris. Kendati kata-kata itu pada abad pertengahan tidak lebih mengekspresif seperti kata revolusi, tapi kata-kata: sar-genfazo, cuartelazo, atau promuncia-miento, yang pada umumnya menunjuk pada pembelotan militer sudah dikenal jauh sebelum itu di negara-negara yang berbahasa Spanyol. Kalaupun hal itu tak sempat diketahui, tentu bukanlah tak perlu diabaikan kalau kelompok akrab dan piawai dengan kekerasan itu bisa dan dapat buka toll ke kekuasaan, ke kekayaan, dan kekedudukan terpandang lainnya. Soalnya bukan legitimate atau illegitimate, tapi keunggulan-keunggulan yang dimiliki dapat memberikan rasionalitas dan justifikasi buat penaklukan dan penguasaan orang, masyarakat dan rakyat yang tak bersenjata. Kalaupun mungkin orang baru berbicara tentang militerisme di negeri Paman Sam itu beberapa waktu setelah Easton menerbitkan karyanya itu, tapi kajian tentang perbandingan politik, tentang negara-negara yang baru merdeka, bukan tak hiruk pikuk di dunia universitas mereka. Huntington sendiri mencoba membedah apa itu

breakthrough

coup, abortive coup , dan veto coup untuk menunjukkan bagaimana militer suka inelakukan intervensi ke dunia politik sipil. Dalam hal yang paling funda mental yang dilupakannya adalah bahwa dalam konteks politik sebuah negara-bangsa, sebuah organisasi militer bukan saja diciptakan untuk mendukung sebuah cita-cita politik, tapi penguasaan terhadapnya juga merupakan standar buat keoperasionalan sebuah kekuasaan politik. Oleh karena itu sesungguhnya tak heran kalau militer lebih dari sekedar sebuah kelompok kepentingan yang mempunyai minat dengan pengambilan keputusan politik, tapi juga adalah suatu jaringan kultur ideologi yang memberi penampang sebagai suatu sistem sosial yang dengan kelengkapan instumen dan kemampuan manajerialnya secara riil atau potensial dapat membingkai suatu sistem politik yang mereka kehendaki. Oleh kare itu pula, kata Jano witz, adalah mustahil mengisolasi militer dari kehidupan politik domestik, termasuk mengesampingkannya dari pendidikan politik untuk membangun sistem politik untuk membangun komitmennya terhadap sistem demokrasi dan pemahaman bagaimana sistem itu bekerja. Tentang soal demokrasi itu, kendati disadari memiliki potensi untuk menjadi the center of hyper nationalistic movement, tapi Lucian W. Pye tak ragu untuk menaruh kepercayaan kepada kelompok yang dilihatnya sebagai the modernizers

95 itu sebagai the only effective entity, atau the critical group in the shaping the cause of nation building itu, karena standar modernitas dirinya mengacu pada luar negeri (nilai-nilai organisasi dan teknologi Barat), sehingga ia yakin bahwa sebagai lembaga yang lebih modern dibandingkan dengan masyarakatnya, militer akan menjadi tidak terlalu akrab dengan tindakan-tindakan kekerasan. Dengan keunggulan-keunggulan yang di

milikinya

militer

akan lebih bersifat

membimbing dalam banyak asprk kehidupan masyarakat sipilnya yang masih belum maju itu. Pendek nya ia percaya bahwa militer adalah the savior, seperti tindakan Jender.il Mac Arthur mengamankan pemerintahan Presiden Herbert Hoovri dengan pasukan berkuda, pasukan lapis baja, pasukan bersenjata mesin, dan pasukan berjalan kaki dalam menghadang para penuntut jasa di Washington DC tahun 1930 an, begitulah. Entah digebui dengan semangat idenlogi perang dingin untuk menjadikan tentara negara-negara baru sebagai kuda tunggang untuk menghajar komunis di dalam negerinya masing-masing, entah disedak oleh kegembiraan melihat bahwa tentara-tentara di negara-negara baru memngagumi teknologi senjata Barat sehingga umumnya mereka netral dalam persaingan pengaruh global yang ada, yang pasti Pye tidak awas bahwa tentara umumnya bukan saja punya

espirit de

corps tradisi heroik, identifikasi profesional dan kehormatan, tapi angkatan darat di mana pun juga senantiasai mengembangkan keahlian politik militer, apakah berkenan dengan kecabangan pemerintahan, perang, psikologis, atau intelejen strategis; yang kesemuanya justru telah tak memungkinkan sipil terlibat dalam kompleks organisasi militer. Artinya, pada tingkat manapun organisasinya, tentara kental dengan identifikasi

the outsiders , selain opeirasi-operasi

strategisnya juga memang diletakkan pada premis yang berstandar ganda (bukan hanya pada masa perang, tapi juga pada masa damai). Begitupun dengan sistem indoktrinasi yang membentuk orientasi litiknya diamati lebih berpengaruh daripada pendidikan politik yang kemudian diterimanya. Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan memenuhi koperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal kenapa demikian. Pertama, karena kriteria perekrutan anggotanya dan pemilihan perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan latar belakang sosial (keluarga, daerah), dan ideologi (konservatisme) ketimbang semata Begitupun system terindoktrinasi yang membentuk orientsi politiknya diamati

96 lebih berpengaruh dari pada pendidikan politik yang kemudian diterimannya. Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan memenuhi keperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal kenapa perekrutan anggotanya dan pemilihan.

Pertama, karena kriteria perekrutan

anggotanya dan pemilihan perwiranya masih didominasi oleh pertimbanganpertimbangan

latar

belakang

sosial

(keluarga,

daerah),

dan

ideologi

(konservatisme, daerah), ketimbang semata oleh kriteria akademik. Alasan pokok buat pendahuluan kriteria itu adalah karena latar belakang dan ideologi itu, tradisi militer dan kepahlawanan buka saja akan tetap terpelihara, tapi lingkungan organisasi militer juga bisa diperkuat dengan pola-pola kepercayaan itu.

Kedua,

karena pendidikan militer lebih diorientasikan pada pelaksanaan teknis. Akibatnya, tradisi-tradisi, slogan-slogan, dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis masih tetap lebih menonjolkan ketimbang program pendidikan formalnya. Oleh karena itulah, kendati civic missions yang dilancarkan tentara diangap banyak bermanfaat bagi masyarakat atau negara, karena " accomplish projects faster, hi'll,-i mid cheaper

the military can

" tapi missi itu juga selain

sesungguhnya untuk memperluas jangkauan kemampuannya dan untuk merentangkan basis dukungan klientelistiknya, pun pada esensinya terkerangka dalam diktum Sun Tzu, "kenali medan untuk memenangkan pertempuran". Meski begitu, yang kerap tergambarkan adalah bahwa militer lebih punya dedikasi untuk mengabdi kepada bangsa, dan dianggap lebih siap un

tuk mengorbankan

kepentingannya demi tujuan nasional, atau untuk meraih kekuatan bangsa dan negara. Bayangan dan anggapan itu sendiri kemudian diidentifikasikan dengan dirinya, baik untuk keperluan pemupukan tradisi heroismenya, maupun untuk kepentingan politik memperkuat dan memanlapkan citranya melalui penciptaan kondisi-kondisi politik yang chaotik untuk mengekspresikan kehingar bingaran demokrasi dan ketidak berdayaan politk sipil. Sistem politik sebagai suatu perbendaharaan kata perbandingan politik yang diintrodusir sebagai pengganti gambaran tentang pemerintah, bangsa, Jan negara, secara konseptual tampaknya lebih melihat masalah-masalah birokratisasi, sentralisasi, dan militerisasi sebagai masalah yang mempengaruhi ke-mampuan sistem untuk mengembangkan dirinya.

Dan karena thesis utamanya adalah

keseimbangan dan kestabilan, maka tak heran kalau norma utama yang diletakkannya adalah "law and order can be main

tained" ...if an organized army

97 or police force is available". Atau dengan kata lain, sistem politik sesungguhnya bertali-temali dengan penggunaan kekerasan fisik, atau "authoritative al location of values", kata Easton, atau "severe deprivation" kata Harold Laswell. Artinya, kendati mungkin sistem politik tidak selalu terkait dengan senjata, penguasaan, dan penindasan, tapi ia bukan sama sekali lepas dengan penekanan dan pemaksaan. Meski begitu tidaklah jelas apakah karena esensi itu Easton berupaya untuk tidak lebih menampilkan negara ketimbang sistem politik

yang jelas, dua

dasawarsa setelah karya tentang teori sistem politiknya terbit, ia mengomentari gerakan untuk meninjau kembali soal negara yang dilakukan Evans, Rueschemeyer, dan Skocpol yang mengetengahkan asumsi bahwa pada galibnya negara dibentuk oleh klas atau melalui perjuangan kelas dan berfungsi untuk melindungi dan memperluas cara-cara produksi, sebagai munculnya “ contemporary revival of Marxism”.

a

Kenapa mungkinkah karena preposisi

struktral fungsional yang digelarnya yang mengesampingkan society centered assumptions, telah macet atau karena telah terobeknya negara sebagai a po strategy yang kekuatan alam kekuasaannya lebih tumbuh dari ke

litical

kerasan yang

membekalinya, atau karena pendapat Marx mengenai hubungan masyarakat negara bahwa pilihan apakah negara menguasai atau dikuasai masyarakat sepenuhnya menjadi hak yang terakhir, bukan diciptakan oleh kekuasaan dan tidak dikonsolidasikan oleh negara. Yang jelas penggambaran teori sistem politik yang mengabaikan hubunganhubungan antara politik ekonomi dan militer tampaknya tak mampu memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan. Atau intinya, mengesampingkan realita bahwa militer dibekali dengan senjata, memiliki monopoli persenjataan, telah menyebabkan tak terperkirakannya pemonopolian kekuasaan negara oleh militer, kata lain militer tak terimbangkan sebagai suatu negara. Militer tak sempat diperhitungkan sebagai suatu kekuatan yang dapat membangun jaringan administrasi, birokrasi, dan sub-struktur ekonomi. Bendix dan Shils memang bicara akan perlu adanya suatu organisasi negara yang bersifat terpusat birokratik, kuat dan efektif buat sistem politik untuk dapat menggelindingkan pembangunan ekonomi, tapi tampaknya mereka juga tak membayangkan kalau dalam proses pergerakanya aparatur negara itu juga terus berhubungan dengan kekuatan kekuatan masyarakat lain yang ada untuk dapat menentukan tingkat dan jenis

98 pembangunan yang dioperasikannya Sebab persoalannya, menurut Horowitz, memang tak ada “

The third

way”, bahkan "the possibility vftlunl ness per se" buat mereka dan Dunia Ketiga umumnya untuk memilih antara 'modernisasi' dan 'indus-trialisasi' tanpa merusak prinsip-prinsip pembangunan itu sendiri: antara produksi kebendaan yang mengesampingkan hak demokratik rakyat dengan transformasi kultural, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang merangsang pertumbuhan masyarakat yang menghasilkan kebebasan individual. Latar belakang historik, politik, dan ideologik memang telah menggerakkan mereka diluar pilihan antara kapitalisme dan komunisme. Mereka berupaya dan mencanangkan strategi pembangunan yang dengan derajat tertentu membuka praktek demokrasi seraya pada saat yang sama juga memperkuat dan mengembangkan nilai-nilai tradisi. Meski begitu, strategi itu tampaknya sangat rentan terhadap aplikasi kekuasaa yang berkarakter fasis atau diktatoral. Kecenderungan itu sen diri tampaknya thesis necessetarianist-liberal tarisnist

bukan tak punya korelasi dengan

ataupun demagogis pembahasan nasional

anti kolonial di Timur yang mengklaim bahwa antara demokrasi politik dan pembangunan ekonomi terdapat yang harus diprioritaskan. Kalau ekonomi mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih penting dari pada semarak politik, sosiolog berpendapat bahwa. karena terdapat disparitas antara pembangunan dan demokrasi, maka memajukan demokrasi lebih penting daripada menggerakkan pembangunan ekonomi adalah asumsi yang tidak rasional, entah karena alasan kedaulatan atau karena biaya yang diperlukan diluar kemampuan. Sedang penganjur masyarakat sosialis berkeyakinan bahwa pembebasan nasional adalah tahap rite de passage atau jalan sejarah yang harus ditempuh untuk mencapai sosialisme. Adapun model yang kemudian diintroduksikan, yang jelas kekerasan mengambil porsi yang tak terperkirakan. Kekerasan politik sebagai karakter dasar teori negaranya Lenin dan kekerasan fisik sebagai elemen yang terkait langsung dengan dominasi militer mengambil bentuknya manakala tuntutan stabilitas politik sebuah rezim dianggap perlu dan mutlak untuk menghasilkan sebuah pembangunan ekonomi yang tinggi dan luas. Tuntutan itu biasanya muncul tatkala pimpinan yang berkarakter populis meniada, dan ketika birokrasi dan negara tidak berdaya dan belum lagi memiliki orientasi tugas yang seia-sekata. Dalam keadaan itu, militer adalah kelompok yang terkuat,

99 kendati kelemahannya sipil juga bukan tidak merupakan produk delegitimasi yang dilakukan militer. Gerak cepat yang dilakukan militer melalui perubahan haluan pengelolaan ekonomi dari modernisasi ke industrialisasi yang kemudian mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang tidak sabar lainnya baik dari kelompok nasionalis maupun revolusionis tampaknya telah mengukuhkan pandangan bahwa militer lebih punya kemampuan untuk menciptakan stabilitas buat pembangunan ekonomi. Kendati dicatat ada korelasi

fungsional antara mekanisme kekerasan

keotoriteran, atau kekuasaan militer dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi sebagaimana awal pengalaman Pye yang kemudian di konfirmasikan eric A. Nordlinger dan dipresisikan R.C McKinley dan Cohan, militer bukan saja tidak terbatas sumbangannya pada pembangunan nasional, tapi sesungguhnya nasional, tapi sesungguhnya mereka juga kurang menaruh perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi kecuali untuk prestasi ekonomi rejim mereka juga tidak lebih baik dibandingkan dengan yang dapat diraih rejim sipil.

Tonjolan mereka dicatat hanya

dalam formula peningkatan pendapatan nasional kotor yang hampir tidak menyentuh 'the quality of life of the nation . Kepentingan ekonominya lebih terkait dengan hak-hak korporatenya. Tak heran kalau sikap konservatifnya terangsang manakala kepentingan (ekonomi dan bisnisnya) bergabung dengan kelompok pemilik modal, yang semakin menahun dalam kaitannya dengan kepentingannya kapitalis internasional. Oleh karena itu barangkali tak berlebihan kalau militer kerap dipandang sebagai alat kapitalisme internasional, atau setidaknya agen jaringan industri militer Barat, bukan saja dalam mengamankan arus barang dan jasa mereka, tapi juga sebagai alat efektif untuk melancarkan perang ideologi internasional di arena politik dalam negeri. Dukungan keuangan, peralatan, latihan, dan pendidikan dari yang sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan tampaknya bukan hanya dianggap perlu tapi juga diproyeksikan oleh Barat didalam kerangka hegemoni politik, ekonomi dan strategi pertahanan mereka. Untuk itu, tidak sedikit perangkat intelektual di sediakan. Karya Coup d'Etat-nya. Luttwak dan

The Man

on Horseback -nya Finer konon bukan hanya merupakan buku pedoman, tapi jugu merupakan sumber inspirasional untuk itu. Soal apakah sebuah kekuatan militer Dunia Ketiga akan berwujud sebagai suatu rejim fasis atau kleptokrasis terang tak pernah ingin dibayangkan oleh

100 barat.. Alasannya sendiri kuat, bukan saja tak hendak mencampuri urusan dalam negeri sahabat, juga menjunjung dan menghormati kedaulatan nasional negeri yang bersangkutan. Elok nian memang. Oleh karena itu soal penjagoan' militer oleh mereka akan dianggap sebagai tidak berkaitan dengan soal kebodohan, demoralisasi, dan keterbenaman politik masyarakat Dunia Ketiga. Soal pengamanan kepentingan buat mereka bukanlah “eticsh politiek” tapi adalah soal eksploitasi siapa memanfaatkan siapa. Atau, "who gets, what, when, and how", kata Laswell. Dengan kata lain, militer Dunia Ketiga tampaknya telah dijadikan sebagai alat domestik untuk menaklukkan politik dan rakyat sebuah negeri atas nama kepentingan ekonomi, politik, dan strategi pertahanan negara Barat. Kalau demikian, klarifikasi militer diidentifikasi secara

atas kepentingannya yang kerap

berlebihan sama dengan kepentingan nasional dan

kepentingan negara umumnya perlu ditinjau kembali? Bahwa militer memang bukan hanya menyamakan antara bangsa dan negara, dan negara dan militer, tapi juga mengidentikkan kepentingan korporatenya dengan kepentingan nasional. Padahal kata Anderson, “ The nation is essentially an image and there is no such thing as a unitary national intertest”.

Kendati indentifikasi itu lahir dari ideologi

klientilisme, dari latihan dan pengalaman di lapangan, tapi adventurisme politik yang bersumber pada ambisi pribadi pemimpinya kerap diamati dominan dalam motivasi hal itu. Diawali dengan tuntutan akan perlakuan yang adil terhadap sikap, reputasi, kelayakan, dan tanggung jawab profesional yang diembannya, milliter akan dibawah oleh pemimpinnya untuk menampilkan “

the military way”

untuk dalih mempertahankan negara secara optimal. Padahal dibalik motif itu konon sesungguhnya terselip kecemburuan terhadap hak-hak sipil yang perolehannya dipandang tidak sebanding dengan kewajibannya. Jadi persoalannya tampak tidak terletak

an sich pada tuntutan profesional

militer baik sebagai organisasi atau sebagai anggota (induvidu) seperti kerap dikemukakan banyak pakar bahwa "intervensi militer dalam politik umumnya dilakukan oleh perwira-perwira yang tergolong sangat profesional", kata Finer, atau bahwa "intervensi militer dalam politik adalah upaya dalam rangka memelihara

keprofesionalannya",

kata

Huntington,

tapi

adalah

karena

dibandingkan dengan kelompok-kelompok (kekuatan politik) lain, militer relatif lebih memiliki kebebasan bermain di arena politik, atau bahwa sebagai lembaga

101 negara, militer bukan hanya bisa mengidentifikasikan dirinya dengan pemerintah yang ada, tapi juga dengan asosiasi itu telah memungkinkannya untuk membayangkan dirinya sebagai representasi masyarakat umum yang ada. Oleh karena itulah buat militer, kekuatan tampaknya bukan hanya diupayakan untuk menghajar musuh luarnya, tapi juga untuk mengkonsolidasikan dan mengamankan nilai-nilai korporatenya, sub korporatenya, dan trans korporatenya, atau kepentingan-kepentingan karirnya, penghasilannya, dan keterpeliharaan kelompok acuan sosialnya. Realitanya sendiri memang me nunjukkan bahwa ketika militer tampil memegang kendali kekuasaan, semangat "koreksi" terhadap masalah-masalah kenegaraan dan kenasionalan nyaris terhimpit de

ngan desakan dan tuntutan

prioritas mengamankan kepentingan dirinya. Bahkan secara sistematik mereka berupaya untuk membangun dan mengembangkan kelompoknya sebagai suatu klas, "asurrogate class” , atau sebagai " a dominant interest group " yang beraliansi dengan

“ the

big

business”

untuk

menguasai

lembaga-lembaga

masyarakatnya secara internal adalah berpangkal pada prinsip

sosial

military vs civil,

tapi negara secara eksternal perjuangan itu merujuk pada doktrin" the state vs the society". Di situ berlaku aturan bahwa kekuatan untuk yang satu adalah kelemahan buat yang lain. Bahwa untuk memperkuat negara adalah memperlemah masya rakat. Rezim-rezim militer dan totaliter tercatat telah dengan baik menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk menguatkan kekuasaannya. "The state of Its own", atau praktek pengatasnamaan negara untuk kepentingannya adalah umum dijalankan oleh pemerintah-pemerintah yang kekuasaannya didominasi militer. Sejak militer tak lagi memiliki musuh luar yang harus dihadapi, maka energinya akan tertumpah ke dalam negeri. Oleh karena itu kata Weil, seperti yang dikutip Ward, adalah salah mempertimbang kan soal perang sebagai suatu episode dalam politik luar negeri, sebab sesungguhnya ia adalah tindakan paling kejam politik dalam negeri. Dengan monopoli senjata yang dimilikinya, militer dapat menggunakan negara sebagai alat untuk melakukan perang atau ancaman perang terhadap penduduknya. Upaya rejim militer untuk memelihara stabilitas sosial dan politik, serta pertumbuhan ekonomi dalam negeri sebagai dua hal yang pada esensinya kontradiktif telah tak memberikan pilihan kepadanya untuk mengembangkan standar operasi politik yang dalam praktik kerap tak dapat menghindari tindakan represif, efek

destruktif, dan juga

102 kecenderungan-kecenderungan inaktif lainnya baik secara situasional atau kondisional pada kelompok-kelompok yang secara potensial atau riil dipandang sebagai out groupnya. Kategori itu sendiri kemudian diperlonggar manakala posisinya sebagai suatu kelompok sosial dirasakan telah cukup kuat dan mantap. Dari sana biasanya keperluan untuk membagi kesejahteraan sosial secara lebih luas melalui pendistribusian sumber-sumber yang ada dimunculkan. Walau secara ide kebijakan itu lahir dari kehendak untuk menciptakan pemerataan dalam masyarakat, tapi rancangan strategi untuk mengontrol stabilitas sosial dan politik itu tampaknya lebih rendah terarah untuk pencarian legitimasi baru terhadap posisinya yang relatif telah menguat, baik dalam jaringan administrasi dan birokrasi, maupun dalam sub struktur ekonomi, daripada menciptakan prakondisi buat demokratisasi kehidupan politik kenegaraan. Sebab memang redistribusi sumber-sumber untuk keperluan pemerataan guna menciptakan stabilitas sosialpolitik tidaklah identik dengan demokrasi suatu bentuk sistem politik yang esensinya mempromosikan liberte, egalite, on droit de I'homme en general. Artinya, demokrasi standar mi liter menyelenggarakan pemilihan umum secara reguler yang dilengkapi dengan intimidasi dan manipulasi bukanlah merupakan praktek demokrasi politik meski dalam standar minimal sekalipun. Dari literatur yang ada terungkap bahwa ketidak cocok an militer dengan demokrasi bukan semata karena disiplin dan hirarki organisasinya, tapi catatan sejarah kelerlibatan politik militer dalam berbagai masalah negara juga jelas menunjukkannya. Menurut Edmonds, manakala ideologi-politik militer merebak di suatu negara , maka bukan saja penindasan di dalam negeri akan meluas, tapi konflik eksternal dalam bentuk destabilisasi dan kecurigaan hubungan antar negara juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, dominasi kekuasaan militer dalam negara bukan hanya memproduk intensitas konflik, tapi juga mengancam bahkan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Apalagi kalau tindakan dan keterlibatannya dalam masalah-masalah negara lebih didasarkan pada “their perseptions of what is needed to be done" ketimbang "the real of general will". Selain itu, intervensi militer dalam politik juga

diamati telah menyebabkan

konsep profesionalis me militer dan teori keabsahan menjadi kurang begitu berarti lagi. Profesionalisme militer yang oleh Huntington diidentifikasikan dengan

103 loyalitas

terhadap

mempresentasikan

military

ideal,

kebutuhan

dan

bukan

vis-a-vis

kepentingannya,

penguasa

sipil,

saran-saran

yang

berkenaan dengan soal militer, dan tidak berhubungan dengan isu-isu politik yang ada, dan tidak mengelola kekerasan kecuali lapangan politik mengurangi kehancuran negara, bermakna bahwa kesadaran profesional militer akan mengarahkan dirinya untuk memandang bahwa mereka lebih sebagai "the servants of the state rather that of the government in power". Padahal kata Finer, adalah kemampuan profesional mereka yang justru mendorongnya untuk mencari jaminan sosial dan ekonomi melalui keterlibatan dengan upaya pemerintah untuk melawan pe-ngeritik dan musuhnya di dalam negeri. Artinya, klaim Easton bahwa prestise sosial bisa diperoleh dari hubungan sosial masyarakat, dan perolehan kekayaan lebih berkaitan dengan sistem ekonomi, bukanlah merupakan jalan keluar buat militer profesional tidak terlibat dalam politik. Status sosial dan kemakmuran bagaimanapun merupakan kebutu

han pokok

buat militer bisa memelihara sikapnya, reputasinya, kehormatannya, dan tanggungjawabnya. Akan tetapi tanggungjawab profesional itu sendiri tidak berarti melulu seperti rumusan Huntington, tapi juga mencakup nilai-nilai yang non-profesional yang oleh Vagts sebagaimana dikutip Wolpin dikategorikan sebagai kepentingan-kepentingan corporate / careerist, subcorporate/materialist, dan transcorporate/social

reference group kepentingan-kepentingan yang

dikonstatasi sebagai "not com pletely professional", atau "not purely military". Dari situ jelas bahwa pemahaman profesionalisme harus dibaca sebagai pemaksimalan mobilisasi sumber buat kekuatan militer itu sendiri, termasuk menjadikan sipil sebagai bantalan kekuatan belakangnya, seperti doktrin yang dicanangkan partai-partai komunis terhadap tentaranya bahwa dukungan kekuatan sosial bukan saja akan memberi sokongan man-power, moral, intelejen dan logistik, tapi juga akan menutupi kekurangpiawaian prajurit dan kekurang canggihan senjatanya. Apakah "military way" atau "mili tarism", apakah dipicu oleh ambisi personal atau kebutuhan institusioal, pelibatan militer dalam politik dikata kan juga nyaris tidak mempertimbang kan soal keabsahan. Posisinya sebagai satu lembaga negara memang telah memungkinkannya un tuk menjadi kerangka bangun po litik, rejim politik, atau sistem yang dianut negaranya. Oleh sebab itulah buat militer, "main politik" tampaknya bukanlah soal akan ada tidaknya atau datang tidaknya

104 dukungan masyarakat umum terhadap tindakannya atau akan diakui atau tidaknya peran yang akan dimain kannya, tapi lebih berfokus pada masalah ancaman

terhadap

negara

atau

terhadap

kepentingan

nasional

yang

dibayangkannya. Suatu persoalan artifisial yang tidak sulit untuk dikembangkan. Setidaknya, ideologi operasional yang berkenaan dengan doktrin penggunaan kekerasan, termasuk melancarkan propaganda dan perang psikologis, memang merupakan kepentingan pokok buat badan-badan intelejennya dan elit korps-nya. Begitulah, kiranya jelas bahwa militer, politik, dan demokrasi, bu

kanlah

merupakan rangkaian proses transisi dari satu ujung ke ujung yang lain. Kalau Horowitz mengklaim bahwa kendati militer memberi peluang buat pertarungan antara authoritarianism dan demokratisasi tapi tak pernah dapat menentukan kapan kemungkinan demokrasi bisa diberlakukan, maka Perlmutter bilang kendati militer dapat mengintrodusir rasionalisasi masyarakat, lembaga, dan politik dalam negara, tapi hal itu tampaknya tak berarti banyak buat pemantapan sistem politik dan perluasan partisipasi masyarakat di dalamnya politik, "but it would be in error to assume that contemporary po

litical education in the armed

forces serves all the needs of political democracy". Meski begitu, Sundhaussen tampak nya tak menganggap perlu untuk menyesali kondisi itu. Sebab, demokrasi, katanya, kerap tidak efektif sebagai regulator dalam masalah-masalah dalam negeri di Dunia Ketiga. Apa-lagi kata Hernandez, dalam pengambilan keputusan, demokrasi tidak lebih efisien, dan tidak lebih mudah dipakai dibanding dengan mekanisme yang ditempuh militer. Kondisinya diamati menjadi lebih buruk karena penguasa-penguasa yang ada hanya

cenderung

memperalat

ideologi

tua,

apakah

itu

nasionalisme,

tradisionalisme, dan sebagainya sekedar untuk mengalihkan "rasa keterancaman" dari luar. Padahal,

arahan itu sesungguhnya lebih berada dalam konteks

ketidakinginan elit kekuasa an untuk mengintroduser aturan-aturan demokrasi, khususnya "internal contestation for power". Oleh karena itu kiranya tak heran kalau masssa-rakyat tidak begitu melek politik, tidak mengerti apalagi mahfum apa sih tuh demokrasi? Dari situ pula kiranya bisa dipahami kemudian muncul massa radikal, orang-orang yang tercabut dari akar budaya nya,dan orang-orang yang secara ekonomi, dan sebagainya yang bukan hanya menuntut modifikasi kebijakan,

tapi

juga

menyerukan

perubahan-perubahan

total

sambil

mendengungkan diktum Proudhon, "whoever lays his hand on me govern me is a

105 usurper and a tyrant”. Kalau sudah begitu, keteraturan, ketertaatan dan ketenangan, akan menghilang. Kekuasaan dan pemerintah(an) dikecilkan, dan anti-bonapartisme dibesarkan. Apresiasi

politik

militer

sebagai

akibat

kemajuan

teknologi

dan

keterbelakangan ekonomi dan teknologi negerinya tentu saja bukan hal yang salah. Begitu juga yang karena itu militer memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan-perubahan yang substansi terhadap masyarakatnya. Tapi kalau kemudian kesadaran standar internasional dan kepekaan mendalam terhadap kelemahan masyarakatnya itu dijadikan alasan untuk secara agresif mencengkram dunia politik sipil yang penuh dengan hingar bingar, maka secara tidak terelakan militer tak dapat tidak akan mengencangkan ototnya. Sebab, kata Eckhardt seperti dikutip Skjelbaek, secara kognitif militer bukan hanya dokmatik, tapi juga "intolerant of am biguity, rigid, ego-defensive, andposi-tivist (lawan manusiawi) dalam kesadarannya. Itulah sebabnya barangkali kenapa Finer tampak pesimistik terhadap prospek kemunculan stabilitas politik dan dcmokrasi politik di Dunia Ketiga. Kalau masyarakat (sipil) politik tak mampu memanfaat kan peluang untuk membuka demokrasi politik, maka bukan mustahil akan muncul kup-kup yang akan melahirkan rezim-rezim militer yang berikut, katanya. Kepesimisan itu bukan tak beralasan. Sebab salah satu porsoalan serius dalam masa transisi ke demokrasi adalah kecenderungan immobilisme baik secara samar atau nyata baik pihak pemerintah maupun aktor-aktor politik yang baru masuk. Padahal dalam situasi itu, tuntutan kepastian politik yang lahir sebagai akibat ketidak jelasan sumber dukungan politik dalam situasi dinamik yang tak menentu itu dan kecepatan membangun konsensus dan proses pengambilan keputusan yang demokratik amat diperlukan.

Meski begitu, kekhawatiran itu sesungguhnya tak

perlu kalau saja "the garrison and the army headquarter refused to shoot at people, tlie bureaucracy refused to cooperate- with the military, the trade unzions has a capacity to called a general strike, and the students, intellectuals, and politicians share an militanly aversion to the mili tary. Atau, seperti kata Cruz e Diamint yang merujuk kasus proses demokratisasi di Amerika Latin, meminta bantuan Amerika sebagai negara kiblat demokrasi untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang kondusif baik untuk pengembangan masyarakat sipil maupun untuk membangun koridor-koridor demokrasi yang dibutuhkan.

106

Militer Di Indonesia: Kekuatan Politik Pretorian Oleh: Boni Hargens46 Perbincangan mengenai transisi demokrasi di Indonesia masih tidak terlepas dari wacana tentang peran kuat Militer di ranah sosial-ekonomi dan politik. Secara formal peran militer dalam politik, misalnya di Legislatif, sudah dibatasi dengan dihilangkannya Fraksi TNI yang selama puluhan tahun menjadi salah satu pilar penting dan kuat di tubuh parlemen, tetapi secara informal tidak banyak yang berubah. Pada masa Orde Baru, Fraksi Militer menjadi buffer group yang menopang kekuatan Golkar sehingga kekuatan dua fraksi minoritas, PDI dan PPP, hampir pasti tidak memiliki dampak yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam tujuh kali Pemilu Orde Baru, Fraksi TNI tidak hanya menjadi kekuatan yang memastikan kemenangan Golkar, tetapi bahkan di lapangan menjadi mesin politik yang mendulang dukungan massif dari lapisan masyarakat sipil mulai dari tingkat desa sampai tingkat pusat melalui jalur Komando Teritorial (Koter). Babinsa yang ditempatkan di desa yang idealnya untuk melindungi masyarakat, dalam kenyataan berfungsi sebagai corong pemerintah di tingkat desa untuk memataimatai aktivitas politik masyarakat pedesaan. Setiap ada aktivitas politik yang dinilai bertentangan dengan prinsip politik pemerintah, sekalipun baru pada tahap indikasi, langsung dibungkamkan. Paling kentara hal ini bisa diamati pada waktu menjelang dan selama musim pemilihan umum. Tokoh-tokoh Golkar di level pedesaan bekerjasama dengan Babinsa untuk mematikan upaya penggalangan dukungan politik oleh para simpatisan atau kader PDI dan PPP. Tindakan ini dibenarkan oleh Kebijakan Masa Mengambang (floating mass) yang melarang partai politik membentuk organisasi cabang di tingkat desa dan kecamatan. Karena yang dilarang adalah partai politik, maka otomatis Golkar tidak termasuk di dalamnya karena Golkar bukan partai politik melainkan organisasi sosial-politik, lebih khususnya Organisasi Kekaryaan (Interest Group). Kebijakan ini melapangkan jalan bagi militer untuk memperkuat basis Golkar di tingkat desa dan kecamatan bersamaan dengan kekuatan sosial lain seperti Karang Taruna di kalangan para pemuda-pemudi, PKK di kalangan para ibu, dan Korpri untuk para guru. 46

Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

107 Ketika Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 melalui aksi protes para mahasiswa dan masyarakat, bersamaan dengan tekanan internasional terkait krisis ekonomi yang memorak-porandakan ekonomi dalam negeri Indonesia, perubahan mulai terjadi. Salah satu agenda Reformasi adalah menghilangkan Dwi-Fungsi TNI yang menjadi instrumen legal yang melegitimasi keterlibatan militer dalam urusan sosial politik, termasuk ekonomi. Dasar pemikiran di balik tuntutan ini adalah bahwa sebuah pemerintahan yang demokratis dicirikan oleh ditegakkannya supremasi sipil di segala dimensi dan oleh adanya militer yang profesional. Militer profesional artinya militer yang hanya menangani masalah-masalah pertahanan dan keamanan. Ia berbeda dengan militer pretorian atau revolusioner yang mencampuri urusan sosial-politik. Seluruh upaya menuju terwujudnya militer yang profesional telah ditempuh melalui hadirnya UU No 34 tahun 2004 yang secara istimewa melarang TNI terlibat dalam politik dan juga melarang TNI menjalankan bisnis. Tetapi apa yang terjadi dalam kenyataan, Militer ternyata bukan kelompok yang mudah dikendalikan oleh kekuatan sipil sehingga tidaklah mengherankan kalau masih terlihat ada militer atau eks-militer yang terlibat dalam politik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri adalah seorang jenderal purnawirawan. Dan kalau kita membaca buku Mayjen TNI Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI-AD, tampak bahwa kalau ada hal yang paling sering dan paling serius dipikirkan oleh para petinggi tentara di Indonesia, hal itu pastilah urusan politik praktis. Berbagai pristiwa konflik internal di kalangan petinggi TNI-AD diceritakan dengan gamblang oleh Zen, meskipun sarat sekali dengan tuduhan subyektif. Bahkan ketika Prabowo dan Habibie bersitegang terkait “Detik-Detik yang Menentukan”-nya Habibie (2006), Zen membela Prabowo dengan mengatakan tidak ada kudeta pada 1998. Zen malah menuding (alm) Beni Moerdani melakukan upaya kudeta terhadap presiden Soeharto tahun 1988 yang tentu saja dibantah faksi Moerdani di Angkatan Darat47. Di balik semua itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa upaya reformasi TNI di Indonesia mengalami banyak hambatan? Apakah mungkin tentara kita yang berwatak pretorian berubah menjadi tentara profesional? Kerangka Teoretis Samuel P. Huntington di dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968) menjelas kan panjang lebar tentang pretorianisme dalam kaitan nya dengan kemerosotan politik. Huntington melihat fenomena 1950an dan 1960an dimana 47

Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI-AD, (Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004)

108 banyak negara di berbagai benua dikuasai oleh militer. Pemberontakan militer dan bangkitnya rezim militer menjadi fenomena umum di Amerika Latin dan juga Timur Tengah. Akhir 1950an dan awal 1960an, Asia Selatan dan Asia Tenggara mengalami fenomena yang sama, bahkan terjadi kudeta di Ghana, Dahomey, Leopoldville, Republik Afrika Tengah, Volta Hulu, dan Nigeria. Semua ini menambah apa yang telah terjadi di Aljazair, Togo, Sudan dan Kongo48. Melihat perkembangan yang demikian, Huntington lalu sampai pada kesimpulan bahwa dominasi militer dalam politik adalah pengalaman nyata yang terjadi di negara mana saja. Tidak hanya di Indonesia, militer di berbagai negara lain juga merupa kan suatu kekuatan politik yang sulit dihindari. Ini yang menarik dari analisis Huntington meskipun belum pasti berarti pandangan Huntington sudah tepat untuk dijadikan pisau analisis dalam mengkaji fenomena militer di Indonesia. “Mengapa militer berpolitik?” adalah pertanya an yang menjadi perhatian banyak pemikir politik dan militer. Huntington tidak sepakat bahwa kalau kita ingin menjelaskan fenomena keterlibatan militer dalam politik, kita harus memahami struktur keorganisasian tentara dan latar belakang sosial para prajurit. Ia tidak setuju bahwa faktor internal organisasi militerlah yang menjadi alasan tentara berpolitik. Dalam uraiannya yang panjang-lebar Huntington

menjelaskan tahapan proses

keterlibatan militer dalam politik dalam suatu negara. Ia berangkat dari penjelasan tentang “masyarakat pretoria” sebagai kondisi yang melahirkan pretorianisme dan selanjut nya pretorianisme membuka jalan bagi tentara untuk terlibat dalam politik dan pada titik tertentu ketika menjadi kekuatan utama, tentara membentuk lembaga politik. Pertama, “Masyarakat Pretoria” adalah bahasa Huntington untuk melukiskan suatu keadaan dalam masyarakat dimana seluruh kekuatan sosial yang ada dipolitisasi. Kekuatan-kekuatan sosial, besar ataupun kecil, berupaya masuk ke dalam politik untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan meskipun bangunan politik belum mapan. Dalam keadaan ini, tidak hanya militer tetapi setiap kekuatan sosial berjuang masuk dalam politik. Kedua, Pretorianisme Oligarkis mengacu pada kondisi dimana kelompok tertentu, seperti tuan tanah, pemuka agama, dan golongan pemegang pedang, dalam masyarakat menguasai politik sehingga kekuatan sosial lain dibatasi untuk terlibat di 48

Samuel P Huntington, 1968, Political Order in Changing Societies,, terjemahan Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003), hal. 227

109 dalamnya. Dominasi oligarki ini yang disebut Huntington sebagai Pretorianisme Oligarkis. Salah satu ciri yang utama dari pretorianisme oligarkis adalah adanya pencampuran secara sekaligus urusan politik, militer, agama, sosial dan ekonomi. Pada titik tertentu, pretorianisme oligarkis cendrung berubah menjadi pretorianisme radikal49. Ketiga, Pretorianisme Radikal. Pretorianisme oligarkis akan lenyap ketika dalam masyarakat terjadi perkembangan kekuatan sosial, muncul banyak kelompok yang berbeda-beda lalu sama-sama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi politik. Dalam keadaan seperti ini akan terbentuk pretorianisme radikal karena kekuatan yang mempengaruhi politik dalam masyarakat akan cendrung radikal. Keempat, Pretorianisme Rasial. Pada titik tertentu dalam perkembangannya, masyarakat bisa saja dikuasai oleh ras tertentu sehingga urusan politik diambil-alih di tangan ras tertentu dan melahirkan apa yang disebut pretorianisme rasial. Kelima, Pretorianisme Massa. Karena hakikatnya kekuatan sosial dalam masyarakat terus berkembang maka besar peluang dominasi kekuatan sosial tertentu akan digantikan oleh dominasi berbagai kekuatan sosial yang dirangkum dalam istilah “massa”. Pretorianisme massa ini menurut Huntington ditandai oleh adanya suatu kekuatan massa dalam jumlah besar yang tergabung dalam satu wadah seperti kelompok buruh dalam masyarakat modern. Kekuatan ini akan berhadapan dengan pemerintah atau dengan militer atau bisa juga bekerjasama untuk melawan satu kekuatan yang sedang mendominasi. Maka menurut Huntington ada empat kemungkinan persaingan50: a. Kaum Buruh Vs Pemerintah dan Militer b. Kaum Buruh dan Militer Vs Pemerintah c. Kaum Buruh dan pemerintah Vs Militer d. Kaum Buruh Vs Pemerintah Vs Militer Keenam, Prajurit Pembentuk Lembaga. Huntington mengatakan bahwa militer memiliki kemampuan yang lebih dibandingan kekuatan sosial yang lain dalam suatu masyarakat pretoria untuk mendirikan lembaga politik, misalnya karena militer memiliki kemampuan manajerial dan terorganisasi dengan baik. Selanjutnya, dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Huntington menyebutkan dua langkah kontrol sipil 49 50

Ibid hal 236 Ibid hal. 254-256

110 terhadap tentara51. Pertama, subjective civilian control yang seringkali diwujudkan dengan memperbesar kekuatan sipil melalui perluasan institusi-institusi sipil sehingga disebut juga civilianizing the military dan kedua, objective civilian control yang disebut juga militarizing military. Bahwa kekuatan tentara dikurangi sedemikian rupa sehingga tidak menjadi lebih dominan dibandingkan kekuatan sipil. Untuk itu, sasarannya adalah meningkatkan profesionalisme ketentaraan atau disebut juga militerisasi militer. Dengan demikian, pada titik tertentu dalam upaya peningkatan profesionalisme, tentara yang semula pretorian atau revolusioner bisa berubah menjadi tentara profesional yang mendukung penguatan supremasi sipil dalam negara demokrasi. Dalam suatu negara modern, dimana tentara tidak lagi terlibat dalam politik, yang ada adalah tentara profesional. Hal ini terjadi sejalan dengan berlangsungnya diferensiasi sosial dan spesialisasi yang tajam dalam kehidupan sosial. Tentara profesional, menurut Huntington, memiliki ciri-ciri dasar berikut52: (1) Ada expertise/keahlian dalam meredam kekerasan. (2) Ada ikatan tanggungjawab kepada negara dan masyarakat. (3) Korporatisme alias kesadaran kelompok sebagai sebuah institusi. (4) Memiliki ideologi yang kuat yakni ideologi kemiliteran Selain Huntington, pemikir lain yang berbicara tentang intervensi militer dalam politik adalah Amos Perlmutter. Amos menyebutkan tiga tipe (orientasi) militer yang umum yaitu prajurit profesional, prajurit pretaorian, dan prajurit revolusioner. “Prajurit profesional klasik menonjol di dalam sistem-sistem politik yang stabil. Prajurit pretorian berkembang subur dalam lingkungan ketidakstabilan politik. Sedang prajurit revolusioner menunggal dengan suatu orde politik yang stabil sekalipun asalusulnya berasal dari suatu sistem politik yang tidak stabil, yang kebetulan sedang mengalami kemunduran, atau memang baru”53. Secara sederhana, klasifikasi Amos dapat dilihat dalam tabel berikut: Ciri-ciri Keahlian

Profesional Pretorian Pengetahuan khusus Pengetahuan yang didasarkan di profesional atas standar obyektif diperhatikan

51

Revolusioner Pengetahuan tidak profesional dengan diarahkan

Samuel P Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, (Cambridge: 1964), hal. 80-99 52 Amor Perlmutter, The Military and Politics and Modern Times, 1977, terjemahan Sahat Simamora, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hal. 14 53 Ibid.

111 dari

kompetensi ketat sekali

profesional: Tinggi Klien

Negara

Bisa

berupa

pada

nilai-

nilai

sosial-

politik bangsa, Gerakan

kelompok suku, suku, partai Sifat lembaga

Hirarkis,

militer, atau negara kohesif, Hierarkis, non-kohesif, Sebelum dan

organik,

kolektif, kolektif,

subordinasi,

mengubah- selama

ubah kepatuhan, sempit. revolusi:

otomatik/manipulati

egalitarian,

f sempit

sangat mobil, kader manipulatif,

Penerimaan

Terbatas dan hanya Terbatas

luas Universal

universal pada masa Ideologi

perang Konservatif

Tradisional materialis, Revolusioner, antisosialis, pretorian

Kecendrungan Rendah

gerakan

partai Permanen/berkelanjutan Tinggi

intervensi

sebelum dan selama revolusi, rendah setelah revolusi

Keterangan: dikutip dari Amos, Ibid. hal 24

Sementara itu, dalam bukunya The Military in the Political Development of New Nations, Morris Janowitz berupaya mencari alasan mengapa militer terlibat dalam politik. Ia menyebutkan beberapa hal yaitu: •

Militer mampu mengaitkan kemampuan manajerial dengan sikap heroic



Militer adalah kelas menengah sehingga memudahkan mereka terlibat

dalam politik. •

Faktor persatuan internal organisasi54.

Meskipun Huntington tidak sepakat dengan cara pandang orang seperti Janowitz 54

Morris Janowitz, The Military in the Political Development of New Nations, (Chicago: University of Chicago Press, 1964), hal. 27-29

112 yang melihat sebab keterlibatan tentara dalam politik pada faktor internal institusi ketentaraan, bagi Janowitz, keterlibatan politik tentara didukung oleh kondisi internal tentara yang kohesif. Ada delapan hal yang mendorong kohesi atau pun kesenjangan internal tentara menurut Janowit Frederich yakni (1) latar belakang etnik, (2) latar belakang agama, (3) usia, (4) latar belakang sosial, (5) pengalaman pendidikan, (6) pengalaman kerja, (7), ikatan ideologis atau politik, dan (8) pengalaman keberhasilan dalam tugas55. Dalam konteks Indonesia, sebetulnya Janowitz yang lebih tepat menjelaskan intervensi tentara dalam politik bahwa intervensi politik tentara bukan semata karena institusi sipil yang lemah (baca: masyarakat pretoria) tetapi justru karena tendensi internal tentara yang begitu kuat untuk terlibat dalam politik. Barangkali ini terkait dengan sejarah tentara kita yang adalah pejuang republik, yang dibentuk otonom tanpa campur tangan negara. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan tentara dalam sejarah Orde Baru dan hingga kini masih sulit dibersihkan dari ranah politik, tentu tidak terlepas dari faktor internal bahwa tentara solid, kohesif, dan berjiwa kepemimpinan yang kuat dibandingkan kelompok lain di dalam negara. Hanya yang menjadi masalah di banyak negara berkembang seperti Indonesia, dominasi tentara dalam politik tidak disertai suatu format politik yang mendorong terciptanya suatu pola pemerintahan demokratis. Atau barangkali benar seperti yang ditulis Sunardi di tulisan sebelumnya pada bab ini, bahwa tentara adalah satu kekuatan yang luput (atau terlupakan?) dari perhatian Easton dalam bingkai “Sistem Politik”nya. Akibatnya penganut teori Sistemnya Easton pun tidak pernah mampu secara tuntas membahas fenomena dominasi tentara dalam politik kenegaraan. Kinerja politik tentara yang hampir pasti tidak demokratis, seringkali memicu banyak persoalan seperti pelanggaran hak asasi manusia, gaya kepemimpinan yang cendrung otoriter, dan terbangunnya suatu rejim politik oligarkis. Untuk menjelaskan wajah leviathan dari “militer penguasa politik” barangkali kita perlu melihat pandangan Frederich Engels dan Lenin yang jarang memang dibahas dalam studi politik-militer. Engels ketika berbicara tentang “negara” menyebutkan dua syarat yaitu pertama, penduduk dibagi berdasarkan wilayah dan kedua, dibentuk kelompok bersenjata yang “berada di atas masyarakat dan bertindak sendiri”56. Pembentukan kelompok 55

Ibid. hal. 67-75 Dikutip W.I. Lenin dalam Negara dan Revolusi, terjemahan Sulang Sahun, (Jakarta: Fuspad, 2000) , hal. 8-9. 56

113 bersenjata ini menurut Engels merupakan bagian dari persiapan menuju revolusi. Lenin menerima pandangan Engels tapi Lenin mengajukan pertanyaan, apa yang akan terjadi jika di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling bermusuhan? Yang terjadi, kata Lenin, muncul banyak pasukan bersenjata dari kelas-kelas yang bermusuhan lalu berperang satu sama lain dan bahkan berperang melawan “pasukan bersenjata negara”57. Perang ini rentan terjadi ketika “tentara negara yang berada di atas masyarakat dan bertindak sendiri” itu semakin jauh dari kehendak masyarakat dan menjadi alat di tangan penguasa untuk menindas rakyat. Pandangan Engels dan Lenin ini mendukung fakta yang terjadi di Indonesia dengan adanya DOM Aceh (1988-1998), Petrus (1983-1985) yang dalam dua tahun menewaskan lebih dari 8.500 gali (gabungan anak liar) sehingga disebut oleh James T Siegel (1997) sebagai the nationalization of death, tragedi Tanjung Priok tahun 1984, Peristiwa Malari 1974, Tragedi Santa Cruz 12 November1992, hingga kekerasan menjelang dan selama Referendum Timor Timur 31 Agustus 1999. Saurip Kadi dalam bukunya TNI AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Datang, bahkan menyebutkan 38 kasus besar yang membuktikan bagaimana tentara dipakai sebagai alat penguasa untuk melanggengkan status-quo kekuasaan. Ia menyebut antara lain Demo Mahasiswa 1978 menjelang Sidang Umum tahun 1978 yang intinya mempersoalkan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, kasus Petisi 50 pada Mei 1980 yang berawal dari “pernyataan keprihatinan” 50 tokoh masyarakat yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan Soeharto, kasus Warsidi 7 Februari 1989 yang dituduh sebagai gembong GPK di Lampung Tengah, Kasus Sei Lapen 25 Maret 1993 yang berawal dari selisih antara warga transmigran dengan Pemda Langkat dan PT Anugerah Langkat Makmur sampai akhirnya melibatkan aparat negara, kasus Marsinah 5 Mei 1993 seorang aktivis buruh di PT CPS yang ditemukan tewas di hutan Wilangan Nganjuk dengan pelaku 6 orang tentara, 20 polisi, dan 1 jaksa, kasus Haur Koneng 28 Juli 1993 yang dikait-kaitkan dengan Gerakan Ratu Adil, kasus Nipah 25 September 1993, kasus Parbuluhan 15 Pebruari 1995, kasus Jenggawah 3 Januari 1996, kasus Abepura 18 Maret 1996, kasus Nabire 3 Juli 1996, kasus Udin 13 Agustus 1996, kasus Buruh Maroya 10 Juni 1999, dan kasus Haruku 23 Januari 200058. Bahkan untuk melukiskan kekejaman tentara masa lalu yang bahkan melewati tapal batas kemanusiaan, Al-Chaidar dan kawan-kawan mencatat 92 kejadian sadis di 57

Ibid hal 10-11 Saurip Kadi, TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000), hal. 18-39. 58

114 Aceh selama pemberlakuan DOM dalam buku Aceh Bersimbah Darah59. Mulai dari warga digorok dan rumah dibakar, kepala seorang ayah dikuliti di depan anaknya, suami dibuang setelah istrinya distrum, gadis diperkosa berdiri sambil disiksa, sampai pada gadis cacat diperkosa tentara yang mabuk. Cerita Al-Chaidar,dkk tidak berbeda dalam bobot kekejaman dengan apa yang saya dengar dari sejumlah warga di Takengon, Aceh Leuser Antara (ALA), ketika memberi ceramah pada bulan Agustus 2006 lalu. Keterlibatan Militer dalam Politik Indonesia Apa yang dijelaskan Huntington, termasuk Morris dan Perlmutter, sudah menggambarkan dengan jelas bagaimana dan mengapa militer terlibat dalam politik. Amos Perlmutter misalnya menyebutkan sejumlah kondisi yang mendorong berkembangnya pretorianisme yang pada gilirannya akan melahirkan militer pretorian di negara-negara yang demokrasinya belum kuat yaitu: •

Kelemahan struktural atau disorganisasi dalam masyarakat.



Adanya kelas-kelas fratrisidal (yang membunuh saudara sendiri).



Kelas menengah yang impotent.



Rendahnya tingkatan aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber

material60 Analisis Perlmutter tidak ditentang tetapi dilengkapi oleh Morris dan Huntington. Morris menyebutkan kemampuan manejerial dan sikap heroik militer sebagai alasan yang memudahkan militer menguasai politik. Lalu Huntington menjelaskan “masyarakat pretoria” dan berbagai dinamika pretorianisme dalam masyarakat yang pada titik tertentu mendorong militer untuk menguasai politik di antara berbagai kekuatan sosial yang lain. Apa yang dijelaskan itu merupakan analisis general yang belum tentu berlaku dalam kasus negara tertentu. Misalnya spesfik untuk konteks Indonesia, sukarnya menghilangkan pengaruh militer dalam politik, hemat saya, mesti dipahami dari berbagai aspek berikut ketimbang dipahami dengan kondisi “masyarakat pretoria”-nya Huntington meskipun dalam hal tertentu ada benarnya.

59 60



aspek historis



aspek politis mengenai

Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Al-Kautsar, 1998), hal. Lihat Amos, Ibid. hal 144

115 •

aspek sosiologis-societal



aspek paradigmatis militer

(1) Aspek Historis. Tentara Indonesia memiliki sejarah yang unik. Apa yang kita kenal sebagai TNI bukanlah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh negara melainkan dibentuk secara sukarela oleh para tentara sendiri yang terdiri dari para bekas pejuang PETA dan KNIL. Mula-mula ada Badan Keamanan Rakyat (BKR) lalu berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setahun setelah merdeka, tepatnya tahun 1946, dibentuklah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang nota bene para anggotanya adalah orang-orang yang tergabung dalam TKR. Hal ini juga ditegaskan Mayjen Saurip Kadi dalam tulisannya ABRI di Masa Depan, bahwa “ABRI dilahirkan oleh rakyat yang sedang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. ABRI bukan tentara bentukan pemerintah atau golongan tertentu. Ia juga bukan tentara bayaran dan bukan pula kumpulan prajurit yang menjual tenaga, jiwa dan raganya untuk sesuap nasi”61. Karena dibentuk secara otonom tanpa campur tangan negara, maka tentara Indonesia memiliki keyakinan bahwa tentaralah yang mendirikan Republik ini. Oleh karena itu, tentara mesti dilibatkan dalam proses politik dan sosial. Dalam perjalanan sejarah, tentara menjadi aktif terlibat dalam bisnis disebabkan karena krisis anggaran dalam APBN yang dialokasikan untuk kebutuhan operasional TNI. Hampir pasti APBN hanya bisa menyediakan 25-30% dari total kebutuhan dana TNI. Pada masa Soeharto, TNI diberi keleluasaan dalam berbisnis dengan dalih menutupi kekurangan anggaran yang tidak mampu dipenuhi oleh negara, meskipun dalam kenyataan hanya para tentara berpangkat Kapten ke atas saja yang menikmati keuntungan dari bisnis tentara. (2) Aspek Politis. Penampilan partai politik yang tidak memuaskan militer, pemerintahan yang kurang efektif sehingga mendorong instabilitas politik, perebutan kekuasaan di antara elit sipil, dan dikeluar kannya kebijakan-kebijakan politik yang kontroversial merupakan faktor-faktor ekternal yang mendesak militer untuk terlibat dalam politik. Percobaan kudeta 17 Oktober 1952 oleh Jenderal Nasution dan kawankawan adalah contoh yang tepat untuk menggambar kan betapa militer tidak menyukai model kepemimpinan politisi sipil sepanjang periode Demokrasi Parlementer. Peristiwa tersebut pada hakikatnya bukan untuk menggulingkan 61

Saurip Kadi, ABRI di Masa Depan, dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga Rampai, (Jakarta: PT Aditoya Media, 1999), hal. 159.

116 pemerintahan yang sah dari tangan Presiden Soekarno melainkan suatu bentuk protes terhadap pemerintahan sipil. Bongkar pasang kabinet meresah kan tidak hanya tentara tetapi juga Soekarno sendiri selaku kepala negara. Maka ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1957, partai politik seperti Masyumi dituduh terlibat sebagai dalang di balik pemberontakan tersebut, Soekarno mulai bersikap tegas terhadap partai politik. Sehingga sangat logis kalau setahun kemudian, tahun 1958, Soekarno membubarkan Masyumi dan bahkan 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan parlemen hasil pemilu 1955. Tindakan Soekarno hampir pasti mendapat dukungan penuh dari militer, terutama Angkatan Darat, karena menjadi semacam jawaban atas kegelisahan tentara terhadap kondisi politik negara dan bangsa dan terhadap kinerja pemerintahan sipil. Setelah Dekrit dikeluarkan, Presiden Soekarno membentuk DPR Gotong Royong yang di dalamnya tentara sudah dilibatkan sebagai satu fraksi tersendiri. Hubungan Soekarno dengan TNI (AD) memang tidak berlangsung romantis di tahun-tahun setelahnya. Kedekatan Soekarno dengan PKI meningkatkan resistensi AD terhadap Soekarno sehingga Herberth Feith, indonesianis brilian kelahiran Austria yang berpindah ke Australia dan kemudian meninggal ditabrak kereta api di dekat rumahnya di Melbourne tahun 2002 lalu, membuat analisis tentang segitiga kekuatan pada dekade 1960an awal yakni Soekarno, PKI, dan AD.

Soekarno

AD

PKI

Peristiwa 30 September 1965- atau ada yang menyebutnya peristiwa 1 Oktober 196562 62

Lihat Victor M Fic, Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965, edisi pertama, India: 2004, edisi kedua diterbitkan di Indonesia dalam bahasa Inggris, (Jakarta: Obor, 2005).

117 seperti Victor M Fic dalam bukunya Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965merupakan titik keruntuhan segitiga kekuatan tersebut sehingga Soekarno pun dengan mudah “dikalahkan” oleh Angkatan Darat. Keterlibatan politik tentara menjadi semakin kuat ketika pada paruh kedua 1960an kelompok kepentingan seperti Kosgoro, MKGR, dan SOKSI bergabung lalu membentuk Sekretariat Bersama Golkar. TNI memainkan peran yang sentral dalam pembentukan Sekber Golkar ini. Di tangan Soeharto, posisi tentara menjadi sangat kuat di ranah politik dengan Golkar sebagai kendaraan utama. Kalau R.E. Elson dalam bukunya Suharto, Sebuah Biografi Politik, menyebut tahun 1966 sebagai titik balik (turning point) yang menjanjikan bagi Soeharto untuk berkuasa63, maka bagi militer ini merupakan titik awal dari sejarah panjang yang menguntungkan selama Orde Baru. Disamping yang dijelaskan di atas, aspek politis yang melanggengkan pengaruh militer dalam politik, terutama yang menjadi karakter politik dewasa ini, juga tercermin dalam perilaku partai politik yang masih mesra-mesraan dengan tentara. Hampir setiap partai politik yang ada sekarang menggandeng jenderal purnawirawan sebagai “tulang punggung” yang diharapkan menguatkan kuda-kuda partai. Ketergantungan partai terhadap tentara seperti ini tidak hanya menghambat upaya depolitisasi tentara, tetapi justru memperkuat kaki tentara di ranah politik, tentunya dengan cara baru yang lebih tidak kelihatan64. (3) Aspek Sosiologis-Societal. Keterlibatan dan intervensi tentara dalam politik yang masih berlangsung sampai sekarang juga dipengaruhi oleh aspek sosiologis kemasyarakatan. Yaitu bagaimana masyarakat memandang tentara. Sulit diubah, masyarakat masih memandang tentara sebagai “kelompok yang kuat, disiplin, tegas, berani, pahlawan, peredam konflik, dan sebagainya”. Disadari atau tidak, cara berpikir masyarakat yang demikian dengan sendirinya memperkokoh praktek keterlibatan tentara dalam berpolitik. Perlahan-lahan memang cara pandang ini mulai berubah, terutama di kalangan masyarakat perkotaan dan masyarakat terdidik. Tetapi karena masyarakat Indonesia masih mayoritas menghuni di wilayah pedesaan, maka pola pikir masyarakat yang menganggap tentara sebagai “pahlawan” (heroisme) belum banyak berubah. (4) Aspek Paradigmatik. Sulitnya tentara untuk secara institusional mendukung 63

R.E. Elson, Suharto, Sebuah Biografi politik, 2001, terjemahan Indonesia, (Jakarta: Minda Utama, 2005), hal. 246 64 Boni Hargens, Korporatisme dalam Kasus Koesmayadi, Harian Koran Tempo tanggal 12 Juli 2006

118 sistem supremasi sipil yang menjadi jiwa reformasi kita sekarang dipengaruhi oleh paradigma tentara yang memegang teguh mitos heroisme. Bahwa tentara adalah pahlawan yang mendirikan republik, tentara adalah pengaman negara, tentara adalah penyelesai konflik, tentara adalah pelindung masyarakat, tentara adalah penjaga UUD 1945 dan Pancasila. Paradigma ini dipegang teguh sehingga menjadi sebuah kredo di kalangan tentara bahwa tanpa tentara NKRI akan bubar. Keyakinan ini tentu tidak bisa dipungkiri bahwa memang tentara berjasa dalam mendirikan republik ini dan untuk itu masyarakat harus berterima kasih. Tetapi perlu disadari juga bahwa kebanggaan terhadap tentara sebagai pejuang bukan berarti tentara terus dibiarkan dalam berpolitik sebab paradigma mitos heroisme ini pada gilirannya menyulitkan tentara untuk memahami penegakan supremasi sipil (civilian supremacy) sebagai subtansi dari demokrasi, bukan military supremacy65. Hambatan Reformasi TNI66 Ada empat hambatan yang cukup menonjol dalam membenahi TNI. Pertama, hambatan sistemik. Kedua, hambatan kultural. Ketiga, hambatan ekonomis. Keempat, hambatan politik. Kelima, hambatan legal-formal. 1) Hambatan Sistemik TNI sebagai sebuah institusi belum memiliki pandangan dan kesadaran yang pasti tentang penegakan supremasi sipil sehingga reformasi TNI menjadi kehilangan arah. Entah karena terlalu lama TNI berpolitik atau karena pendidikan politik di kalangan para perwira kurang berjalan dengan maksimal sehingga sampai sekarang tidak seluruh perwira tinggi yang ada di Mabes TNI mengerti dengan jelas apa yang dimaksukan dengan “TNI profesional” dan supremasi sipil. Hal ini diakui juga oleh sejumlah petinggi di Mabes TNI dalam sebuah diskusi dengan penulis. Hambatan sistemik juga mengacu pada hubungan Departemen/Kementerian Pertahanan dengan Panglima TNI yang menurut UU 34/2004 Panglima TNI berada di bawah koordinasi kewenangan Menteri Pertahanan, tetapi hingga saat ini inkorporasi jabatan panglima TNI ke dalam Kementerian Pertahanan belum bisa diterima oleh para petinggi militer. Padahal inkorporasi itu merupakan bagian dari implementasi supremasi sipil, bahwa segala urusan yang berkaitan dengan militer berada di bawah kendali sipil melalui menteri pertahanan yang adalah orang sipil. Kendali di sini tidak menyangkut kenaikan pangkat atau jabatan struktural di tubuh TNI tetapi menyangkut 65

Boni Hargens, Efek Kontraproduktif Reformasi TNI, Harian Seputar Indonesia tanggal 18 Juli 2006 Boni Hargens, Hak Pilih TNI dan Masa Depan Demokrasi, Suara Pembaruan 3 Oktober 2006

66

119 pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kinerja institusi TNI. 2) Hambatan kultural Sudah menjadi budaya, bahwa militer memandang dirinya sebagai kelompok yang dalam hal kepemimpinan dan dalam banyak hal lainnya lebih baik dari sipil. Dalam sejarah hal itu terbukti, misalnya ketika militer memimpin sebagai gubernur, menteri, ataupun bupati pada masa Orde Baru dimana pemerintahan relatif tertib dan aman. Meskipun tertib dan aman dalam konteks ini masih harus diperdebatkan karena dekat sekali maknanya dengan pembungkaman masyarakat sipil, penyum batan kebebasan berpendapat, dan pengekangan berbagai hak sipil dan politik oleh gaya kepemim pinan yang menggunakan “ancaman” sebagai komoditas. Yang cukup memprihatinkan, cara pandang seperti ini juga masih ada di tengah masyarakat. Pendidikan dan pencerahan politik yang berlangsung tidak memadai di tingkat masyarakat membuat pertumbuhan kesadaran politik berlangsung lamban. Inilah sebab mengapa tentara masih dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai kelompok yang dibutuhkan untuk memimpin politik. 3) Hambatan ekonomis Kekurangan

finansial dalam menangani operasional TNI adalah salah satu

kendala serius dalam menertibkan bisnis-bisnis tentara yang selama ini berkembang tanpa pengawasan. Amanat UU 34/2004 menghendaki pengambil-alihan bisnis tentara tetapi dalam kenyataan hal itu sukar dilakukan karena tidak ada alternatif bagi TNI untuk mengisi kekosongan anggaran yang notabene tidak bisa dipenuhi oleh negara melalui APBN. 4) Hambatan politik Perilaku partai politik yang cendrung oportunis dan mentalitas politisi sipil yang masih senang bergandengan dengan militer dalam berpolitik, adalah hambatan potensial dalam mewujudkan militer profesional yang tidak berpolitik. 5) Hambatan legal-formal Tidak adanya aturan perundang-undangan formal yang jelas dan aplikatif tentang reformasi TNI dan penegakan supremasi sipil merupakan salah satu kendala dalam mempercepat agenda reformasi TNI. UU 34/2004 misalnya mengatakan dalam salah satu klausul bahwa Panglima TNI berada di bawah kewenangan Menteri Pertahanan. Bagaimana klasul ini dijalankan, apakah dengan menjadikan panglima sebagai anak buah menteri pertahanan yang berasal dari sipil sehingga sangat sulit diterima tentara atau modelnya seperti apa? Ini belum jelas sampai sekarang. Selain itu, undang-

120 undang militer dan sipil masih bertentangan dalam hal substansi. UU Pengadilan Militer dan UU Pengadilan HAM misal nya berbeda pendapat tentang militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Dalam kasus Timor Timur, menurut UU Pengadilan Militer, yang harus diadili adalah prajurit yang terlibat langsung dalam penembakan di lapangan, bukan petinggi yang memberikan perintah. Sementara UU Pengadilan Ham mengatakan sebaliknya sehingga Wiranto dalam kasus Timor Timur harus diseret ke pengadilan HAM. Sampai di sini, mau tidak mau, kita harus mengatakan dengan jujur bahwa reformasi TNI yang diharapkan masih “jauh panggang dari api”. Antara visi reformasi dan praktek dalam kenyataan masih tidak sinkron sehingga masih sulit mengharapkan transisi demokrasi di Indonesia bisa berakhir dalam waktu yang singkat. Militer secara formal sudah sedikit banyak ditarik dari wilayah politik, tetapi dalam praktek masih menjadi figur-figur yang krusial dalam menentukan arah politik nasional. Maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa militer masih menjadi kekuatan politik yang pretorian dalam konstelasi politik nasional di Indonesia. Penataan Kembali TNI dalam Kerangka Sistem Demokrasi Melanjuti tulisan Sunardi dan Boni Hargens diatas, penulis pada bagian ini ingin mengkaji penataan kembali TNI pada tataran praktis dalam bingkai demokrasi di Indonesia. Untuk menjelaskan ini kita perlu memahami bahwa akibat kemerdekaan yang ditempuh tanpa persiapan yang memadai maka konsep politik kenegaraan belum tuntas dibicarakan. Menjadi wajar kalau dalam sidang-sidang BPUPKI dan juga PPKI founding father belum sempat membicarakan design tentara dalam sistem kenegara an yang dirancangnya. Belum dibentuknya tentara diawal kemerdekaan sesungguhnya juga strategi perjuangan yang diputuskan Pemerintah dalam menghadapi rencana kedatangan tentara Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang. BKR sendiri yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 bukanlah badan ketentaraan, tapi sekedar badan penjaga keamanan umum, itulah maka pengorganisasian BKR tidak dalam bentuk rantai komando dari pusat ke daerah. Keberadaan BKR didaerah-daearah sendiri dibawah koordinasi Komite Nasional Indonesia Daerah. Baru setelah NICA membonceng tentara Sekutu pada pada akhir September 1945 mendarat di Surabaya muncullah perubahan strategi perjuangan dengan menggabung antara perjuangan diplomasi dan perjuangan bersenjata. Sejak saat itu perjuangan perlawanan fisik bersenjata melawan penjajah terjadi dibanyak tempat. Peristiwa heroik 10 Nopember

121 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa tanggal 15 Desember 1945 di Ambarawa, dan banyak lagi palagan perang lainnya yang tersebar dibanyak tempat. Perang mengusir penjajah selesai, segera disusul dengan konsolidasi TN1 yang terkenal dengan istilah RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi) sebagai kelanjutan hasil perundingan KMB tahun 1948. Saat konsolidasi baru saja dimulai terjadilah pergolakan disejumlah daerah akibat ulah PKI di Madiun dan sejumlah konflik akibat ketidak puasan daerah terhadap kebijakan pusat. Maka TNI kemudian diterjunkan dalam operasi militer kembali, yang jelas sejarah mencatat reputasi gemilang TNI pada operasi militer dalam menangani “pemberontakan” PKI di Madiun, DI/TII, PRRI, Permesta, dan juga operasi Tri Kora dalam merebut kembali Irian Barat. Irian Barat baru saja selesai, TNI kembali ditugasi untuk melaksanakan operasi Dwi Kora saat kita berkonfron tasi dengan Malaysia. Dengan Malaysia belum usai, muncullah G30'S/PKI yang segera dihadapi TNI dengan operasi militer untuk menumpasnya. Dari rangkaian fakta seperti tersebut diatas jelas keberadaan TNI dari awal memang belum diatur melalui "blue print" yang menempatkan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem politik nasional, karena TNI memang lahir dan dibesarkan oleh keadaan dan kebutuhan perjuangan serta dinamika perjalanan bangsa. Sudah barang tentu kelembagaan, penyebaran, persenjataan, dan bahkan doktrin yang disusunnya lebih dilatar belakangi oleh kepentingan sesaat dan pengalaman masa lalunya. Disanalah kita jumpai mengapa sejumlah kesatriaan TNI yang dibangun dimasa lalu berada dikota-kota kecil yang secara perhitungan militer sangat tidak menguntungkan untuk kepentingan pertahanan negara secara keseluruhan. Kondisi yang demikian tidak berbeda dengan keberadaan tangsi-tangsi KNIL yang dislokasinya juga disebar dipinggiran kota-kota besar yang terdapat kegiatan pemerintahan kolonial. Dan dari sana pula kita paham mengapa keberadaan TNI dimasa lalu lebih diorientasikan untuk mem back-up kepentingan politik pemerintahan, sebagai- mana layaknya keberadaan KNIL dijaman penjajahan Belanda dulu. Menjadi maklum kalau paham yang berkembang dalam mengemban tugas sucinya TNI menempatkan kedekatan antara dirinya dengan rakyat sebagai prinsip dasar kehidupannya. Keberhasilan TNI merebut hati rakyat saat itu tidak bisa lepas dari realita tingkat kehidupan sosial rakyat kita yang masih sangat rendah, ibarat anak kecil apapun uluran tangan orang tua dalam semua aktifitasnya sangatlah berarti baginya. Dan ketika sang anak menjadi dewasa dengan kemampuan yang serba lebih,

122 maka uluran tangan orang tua terkadang justru diposisikan sebagai intervensi kekuasaan. Terlebih setelah mereka membentuk keluarga sendiri, sangatlah tidak bijak kalau norma pergaulan lama yang berlaku saat mereka masih kecil terus dipaksakannya. Begitulah sebaiknya tuntutan reformasi internal disikapi oleh segenap elit bangsa dan terlebih elit TNI-nya, agar kedepan TNI bisa terus "to win the heart of the people"67. Dan itu hanya bisa terwujud manakala penampilan TNI sesuai dengan kebutuhan kekinian rakyatnya. Disanalah pentingnya kejelian TNI menangkap tandatanda jaman, untuk segera menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan strategisnya. Tanpa kesadaran untuk menyesuaikan dengan perubahan jaman maka, ia diubah secara “paksa” oleh lingkungannya sebagai mana yang terjadi pasca jatuhnya Orde Baru. Perjalanan sejarah bangsa pula yang membuat TNI khususnya TNI-AD kemudian disusun dalam satuan-satuan seperti yang ada saat ini termasuk keberadaan Komando Teritorial yang awalnya memang tidak bisa lepas juga dari kepentingan politik kekuasaan, dari pada strategi pertahanan negara itu sendiri. Sehingga secara otomatis postur TNI yang ada saat ini memang belumlah disusun secara optimal untuk kepentingan pertahanan negara secara utuh, yaitu sebuah konsep pertahanan negara yang disusun berdasarkan urutan yang dimulai dari perumusan hakekat ancaman yang bakal dihadapi, penentuan strategi ditingkat nasional sampai urusan taktis dan tehnis oprasional ditingkat bawah. Memang sangat disayangkan ketika perubahan lingkungan strategis utamanya tuntutan demokratisasi tidak mungkin lagi diabaikan, keberadaan TNI dengan segala nilai yang dimilikinya justru dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diubah dengan stigma sebagai kekhasan tentara Indonesia. Disanalah kita bisa memahami mengapa hari ini TNI dari sisi besarnya kekuatan dan persenjataan,

serta

perlengkapan

sebagai

sebuah

angkatan

perang

sangat

memprihatinkan, sementara keterlibatannya dalam kemelut politik nasional sepertinya masih terus berlanjut. Berangkat dari kondisi yang demikian itu sesungguhnya tidak ada yang salah atas masa lampau TNI, karena itu semua adalah bagian dari proses sejarah menuju hari ini untuk menyongsong hari esok. Peran TNI yang bagaimanapun dimasa lalu, tak lebih sebagai out put dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu. Dan karenanya yang 67

Ini adalah nilai dasar dari model “tentara rakyat” yang sejatinya adalah ciri tentara Indonesia. Tentara lahir dari rakyat bukan bentukan negara, maka hakikat tentara Indonesia adalah tentara rakyat yang berada di hati rakyat. Lihat Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, edisi ketiga, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991)

123 terpenting adalah bagaimana TNI mensikapi hari esoknya, agar semua prestasi yang telah diraih dimasa lalu dan keberadaan dirinya ditengah-tengah bangsa tetap bermanfaat bagi anak keturunan, sekurangnya tidak terus menjadi beban mereka. Maka persoalan yang mendasar bagi bangsa kita saat ini adalah bagaimana kedepan kita tata ulang TNl untuk menyongsong keniscayaan lahirnya sistem kenegaraan yang demokratis. Artinya TNI tidak lagi berpolitik seperti selama masa Orde Baru seperti yang ditulis Wolfgang Merkel “angkatan bersenjata sejak kemerdekaan negara (1945) adalah faktor kekuatan sentral dalam politik negeri Indonesia, perannya sebagai kekuatan veto tidaklah hanya merupakan hasil dari hak istimewa politik, yang di dalamnya mereka dapat menuntut, melainkan juga tertanam kuat dalam struktur institusional sistem politik”68. Sikap yang demikian itu bukanlah serta merta kita akan mengubah begitu saja apa yang ada saat ini, karena sejumlah persyaratan haruslah terlebih dahulu dipenuhi agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power), karenanya harus diatur secara lintas sektoral dan dilaksanakan secara bertahap. Keuntungan yang akan didapat dengan penyikapan seperti itu, otomatis akan membuat TNI kembali menjadi agen perubahan sebagaimana yang dicontohkan para pendahulunya diwaktu yang lalu. Dan sudah barang tentu yang harus dihindari oleh bangsa ini adalah sikap yang terus terjebak pada pendirian bahwa TNI yang ada adalah bentuk final atau harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagaimana sikap yang dikembangkan TNI dimasa Orde Baru. Penataan kembali juga tidak selayaknya ditempat- kan sebagai pengingkaran nilai-nilai TNI. Justru sebaliknya, rasa terima kasih kepada generasi pendahulu haruslah diwujudkan dalam bentuk menjaga dan meningkatkan prestasi utamanya nama besar yang diwariskan, bukan soal mempertahankan cara-cara yang dulu diterapkannya. Tanpa kesadaran untuk mengubah segenap nilai-nilai instrumen (cara-cara) yang sebagian memang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman, niscaya pengorbanan para pendahulu menjadi sia-sia, bahkan bisa jadi akan membuat TNI tersisih dari percaturan bangsa nya. Perkembangan kehidupan demokrasi telah membuat dalam pengelolaan kenegaraan dan terlebih kedepan tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama yang bercirikan "top-down" dan juga segala model yang biasa berlaku dalam kehidupan 68

Wolfgang Merkel, Ibid. hal 142 mencatat lagi, “harapan keberhasilan perkembangan demokrasi di Indonesia, masih belum pasti, meskipun proses demokratisasi ini berkelanjutan dibandingkan gelombang demokratisasi ketiga di negara-negara demokrasi muda di Asia Selatan setelah 1974”.

124 militer. Karena cara-cara yang demikian hanya cocok dalam sistem kenegaraan yang menganut paham otoriter. Cara-cara yang tidak melandaskan pada "supremasi sipil", hanyalah tepat manakala negara dalam kedaan perang atau tidak normal, dimana tentara digunakan untuk mengatasinya, baik dengan menerapkan pemerintah- an darurat militer, ataupun dalam bentuk civic mission yaitu saat bangsa ini menghadapi bencana alam dan malapetaka kemanusiaan lainnya. Disanalah pentingnya keterus terangan dan kejelasan informasi kepada segenap warga bangsa dan juga para sesepuh generasi pendahulu TNI, tentang perubahan konsep pengelolaan TNI kedepan akibat perubahan keadaan bangsa dan juga lingkungan strategis yang ada. Dengan perubahan tuntutan lingkungan strategis membuat nilainilai instrumen yang dulu menjadi andalan para pendahulu tidaklah mungkin seluruhnya bisa diterapkan dalam kehidupan sekarang dan terlebih dimasa mendatang. Dan apalagi sistem pemerintahanpun telah berganti tidak lagi mengguna kan cara-cara otoriter seperti yang diterapkan selama Orde Baru, bahkan tidak lama lagi bangsa ini segera masuk dalam era "civil society". Sudah barang tentu dalam tata kehidupan yang menegakkan "supremasi sipil", upaya untuk mempertahankan cara-cara lama yang umumnya bersifat "top down" akan bertentangan dengan tuntutan lingkungan yang ada baik dalam negeri maupun global. Dan sekiranya mau jujur, dalam keadaan normal hal-hal yang demikian itu sesungguhnya bertentangan dengan hakikat kelahiran manusia didunia untuk bebas dan merdeka. Hal yang demikian memang dikecualikan bagi kehidupan tentara, dan itupun prosesnya melalui latihan yang panjang dengan biaya yang tidak kecil dan kemudian diterapkan terus menerus dalam kehidupan kesehari- an. Karenanya kalau cara-cara "top-down" kedepan terus dipaksakan niscaya akan menjadi bumerang, setidaknya akan menjadi kontra produktif yang resikonya bisa menjadi fatal bagi bangsa, negara dan terlebih bagi TNI sendiri. Menata ulang TNI sama sekali juga bukanlah upaya mengembalikan TNI ke barak, tapi bagaimana TNI diposisi secara benar dalam kerangka sistem kenegaraan yang demokratis. Dengan demikian tampilnya TNI benar-benar secara proposional dalam "core bisnis"nya yaitu bidang pertahanan negara, dan juga menangani segala persoalan kenegaraan apapun bentuknya

manakala keadaan tidak lagi normal

(abnormal) dan atau masalah yang tidak bisa atau dipastikan tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara sipil. Sebuah kisah sukses (succes story) yang luar biasa memang telah diraih oleh para

125 pendahulu TNI, dalam situasi yang sangat genting dan bahkan abnormal (darurat) telah berhasil mengantar per juangan bangsa dalam mempertahankan keutuhan Republik Indonesia. Semua yang terbaik setidaknya menurut persepsi TNI juga telah diberikan kepada bangsa nya agar segera mengejar ketertinggalan dengan pembangunan nasionalnya terlebih di awal era Orde Baru. Sayang sekali setelah keadaan kembali normal, keberadaan TN1 malah diposisikan lebih sebagai alat penguasa daripada sebagai alat negara. Hal ini tidak bisa lepas dari sistem kenegaraan yang dianutnya memang model otoriter. Maka maraknya tuntutan perubahan oleh TNI justru disikapi dengan cara mengabaikan dan malah menekannya. Yang terjadi ketika perubahan tidak lagi bisa dibendung, dan pemerintahan Orde Baru pun jatuh, semuanya menjadi terbalik-balik. Dan perubahan pun begerak "liar" tidak lagi bisa dikontrol. Banyak pihak kemudian mempertanyakan sikap TNI dalam menghadapi kondisi yang berkembang, dan sebagian lagi menuduh adanya keterlibatan bagian TNI dalam konflik sosial dan juga pengeboman yang terjadi menjelang dan pasca jatuhnya Suharto. Dengan tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun, tuduhan yang semacam itu sangatlah wajar, karena sampai dengan tampilnya Habibie sebagai Presiden penanggung jawab tunggal dibidang pertahanan dan keamanan memanglah ABRI (TNI). Kewajaran “tuduhan” tersebut juga tidak bisa lepas dari realita kehidupan kemasyarakatan yang awalnya (di era Orde Baru) begitu terkontrol dengan ketatnya oleh ABRI, namun diujung kekuasaan Orde Baru begitu saja banyak kasus kriminal besar dan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa diungkap, dan kemudian terjadi konflik sosial disejumlah daerah, bahkan senjata api pun ikut digunakannya. Begitu pula persoalan Sishanta (dahulu:Sishankamrata), kalau memang nyatanya out put sistem tersebut dalam kenyataannya Indonesia berdarah-darah, jatuhnya korban diantara anak bangsa akibat konflik sosial terus silih berganti, lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan yang begitu saja tanpa reaksi berarti dari rakyat banyak, dan terus berlarutnya masalah keamanan di Aceh dan Papua maka tidaklah berlebihan kalau kita menyimpulkan bahwa Sistem Pertahanan yang ada tidak lagi efektif, dan karenanya perlu perumusan ulang konsep pertahanan yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategis yang melingkupi bangsa kita saat ini dan trend perkembangannya kedepan. Posisi TNI dalam Sistem Politik Nasional69 69

Bagian ini sudah dimuat Harian KOMPAS tanggal 6 Oktober 2006 dengan judul yang sama.

126 Kedudukan TNI dalam sistem politik haruslah ditempatkan diluar birokrasi pemerintahan sipil, ia berada dibawah langsung Presiden sebagai Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI. TNI tidak dibawah Presiden selaku Kepala Pemerintahan, karenanya maka keberadaan Pimpinan TNI sebagai anggota kabinet walau pun hanya secara "ex offisio" mungkin sudah waktunya untuk diakhiri. Dan pimpinan TNI ditingkat daerah pun tidak seharusnya duduk sebagai anggota Muspida. Dengan cara ini maka TNI akan bebas atau tidak terlibat dalam persoalan kebijakan politik pemerintah yang terkadang berhadapan dengan aspirasi rakyat. Dengan memisahkan TNI secara struktural dari urusan politik praktis seperti ini, sistem ketentaraan akan menjamin kedepan tidak akan terjadi prajurit TNI dan terlebih pimpinan TNI pada level yang manapun terlibat dalam politik praktis mulai dari sekedar memberi komentar atas ketidak-setujuan terhadap kebijakan Pemerintah dan apalagi pengerahan mesin perang untuk menakut-nakuti pemerintah. Untuk membikin TNI benar-benar netral dan bebas dari intervensi politik dan segala urusan politik praktis yang salah satu ujungnya adalah rebutan jabatan, maka pengangkatan pejabat dibawah Kepala Staf Angkatan (level Bintang Tiga kebawah) menjadi otoritas penuh dari TNI dalam arti keterlibatan Presiden tak lebih hanyalah pengesyahan legalitas administrasi kenegaraan karena kedudukan Presiden juga sebagai Kepala Negara. Sedang untuk pengangkatan Kepala Staf Angkatan ditetapkan dan diangkat oleh Presiden dengan nominasi sejumlah bintang 3 (tiga) yang diajukan oleh Pimpinan TNI setelah melalui proses sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Adapun pengorganisasian Markas Besar TNI di pimpin oleh seorang Kepala Staf Gabungan TNI. Pengangkatan Kepala Staf Gabungan menjadi wewenang penuh Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI dengan memilih salah satu dari ketiga Kepala Staf Angkatan yang ada. Dalam hal pengurusan adminstrasi Kepala Staf Gabungan membawahi para Kas Angkatan. Kedudukan sebagai Kepala Staf Gabungan tidak otomatis mempunyai wewenang komando operasi onal. Begitu seterusnya sehingga dimasa damai sampai komando satuan TNI yang terkecilpun tidak otomatis mempunyai kewenangan operasional. Dengan demikian kedepan tidak akan terjadi penggunaan kekuatan atas inisiatif komandan satuan TNI dilevel yang mana pun. Namun dalam hal Indonesia secara keseluruhan atau beberapa bagian wilayah terlibat dalam perang atau darurat militer yang menyebabkan harus ditangani minimal 2 (dua) Komando Operasi Gabungan, maka

127 Kepala Staf Gabungan TNI otomatis beralih menjadi Panglima TNI yang peralihannya dinyatakan oleh Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI yang sekaligus sebagai Kepala Negara. Dan manakala yang terlibat perang atau keadaan darurat militer hanya daerah tertentu sehingga cukup diatasi oleh 1 (satu) Komando Operasi Gabungan, maka jabatan Kepala Staf Gabungan tidak dialihkan menjadi Panglima TNI. Sudah barang tentu dalam keadaan yang demikian itu segenap Panglima dan komandan pasukan TNI yang dilibatkan dalam perang ataupun Pemerintahan Darurat Militer otomatis mempunyai kewenangan operasional. Kepala Staf Gabungan bertanggung jawab atas kesiapan tempur TNI, karenanya ia mengkordinir program latihan matra angkatan dan juga latihan gabungan antar matra angkatan. Dalam keadaan damai seluruh Komando Operasi Gabungan juga tidak mempunyai kewenangan operasional apapun. Dengan kata lain dalam keadaan normal Komando-Komando Gabungan tersebut tugasnya hanya melaksanakan latihan dan latihan. Dan begitu seterusnya satuan-satuan matra angkatan disusun dalam hubungan Satuan Tempur yang mampu untuk melaksanakan operasi gabungan yaitu level Divisi. Sedang yang berhak untuk mengeluarkan perintah dalam penggunaan kekuatan TNI walaupun untuk jumlah l (satu) orang prajurit pun dan dengan amunisi 1 (satu) butir peluru sekalipun mutlak hanya berada ditangan Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI. Dengan demikian semua dampak dari tindakan TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara sepanjang tidak menyimpang dari batas-batas kepatutan, seorang

prajurit TNI mutlak

dibebaskan dari tanggung jawab pelanggaran HAM. Karena dalam kedudukannya sebagai alat negara dan ia hanya melaksanakan perintah Kepala Negara, tugasnya pun untuk ke- pentingan negara maka semua penampilan TNI yang apapun diluar kesalahan perorangan adalah syah adanya. Dengan kata lain yang harus bertanggung jawab atas terjadinya tindak pelanggaran HAM diluar kesalahan pribadi adalah yang memerintah yaitu Presiden itu sendiri bukan orang lain apalagi prajurit yang dilapangan. Dalam pengurusan administrasi diluar urusan perang, maka saluran adminstrasi khususnya dalam hal anggaran belanja ditangani oleh Departemen Pertahanan. Menhan kemudian memperjuangkan anggaran TNI ke DPR. TNI bukanlah lembaga sipil, karenanya ia jangan dilibatkan pada pekerjaan yang bersifat "buttom-up" dengan adu argumentasi dan perdebatan termasuk dengan anggota DPR. Sistem harus menjamin agar habitat militer yang demikian itu tidak menjadi rusak. Dengan

128 demikian TNI dibebaskan dari proses meng"gool" kan anggaran, walaupun proses pengajuannya dari masing-masing angkatan. Dasar penyusunan anggaran tidak bisa lepas dari kontrak sosial yang telah disetujui oleh rakyat dengan Presiden terpilih. Pada prinsipnya untuk membangun tentara yang kuat dibutuhkan biaya yang besar, karena pada hakekatnya militer adalah "cost center". Disanalah tanggung jawab politisi sipil untuk mencukupi bugdet TNI, tidaklah benar kalau sampai proses untuk memperoleh bugdet, TNI sampai menempuh jalur loby segala. Dan yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan anggaran jangan sampai tidak terjadi "gap" kesejahteraan yang terlalu lebar antara kehidupan di TNI dengan kehidupan di masyarakat umum. TNI juga jangan diseret masuk kedalam wilayah politik, karenanya ia harus dijaga agar lembaga politik manapun tidak mengintervensinya termasuk dalam proses rekruitmen Pimpinan TNI. Pelibatan DPR dalam merekomendasikan calon Panglima TNI sebagaimana yang berlaku saat ini semestinya segera disudahi. Karena mekanisme yang demikian ini jelas membuka kerawanan masuknya kepentingan politik ke dalam tubuh TNI. Dan sebaliknya TNI sebagai lembaga yang berada di wilayah jabatan karier juga jangan melibatkan diri dalam urusan politik praktis dengan dalih apapun. Pengertian TNI harus dibebaskan dari urusan politik praktis tidak berarti segenap prajurit TNI kehilangan hak politiknya sebagai warga negara. Dalam hal hak untuk memilih, para pendahulu TNI di tahun 1955 saja dengan segala keterbatasan yang ada baik dalam tingkat pendidikan dan juga pengetahuan umum tentang demokrasi sudah bisa memberi contoh dengan baik. Memang ada sejumlah pendapat bahwa bibit perpecahan dalam tubuh TNI di paruh kedua tahun 50 an disebabkan oleh ikut sertanya prajurit TNI dalam Pemilu 1955 kiranya perlu pembuktian lebih lanjut. Dalam realitanya setelah Pemilu 1955 konflik internal yang terjadi bukanlah karena pengaruh ideologi partai, tapi karena persoalan ke- tidak puasan daerah terhadap pusat dan persoalan konflik kepentingan lain yang motifnya lebih disebab- kan vested interest. Sepanjang para perwiranya benar-benar berpegang teguh pada jati dirinya, persoalan penggunaan hak untuk memilih di level anggota tak lebih hanya persoalan 1 (satu) menit saat berada didalam bilik suara. Sudah barang tentu akan menjadi sumber masalah, manakala visi para perwiranya masih model Orde Baru, yang kemudian mengguna- kan wewenang komando nya atau sekedar pengaruh posisinya sebagai perwira atau sebagai pimpinan kesatuan mempengaruhi atau bahkan memerintahkan

129 bawahannya untuk mendukung Partai / figure tertentu. Yang jelas Pimpinan TNI harus melengkapi aturan main yang bisa menjamin segenap prajurit TNI tidak terlibat dalam dukung mendukung ataupun berafiliasi ke Partai / figure manapun. Oleh karena itu TNI baik lembaga maupun orang perorang tidak dibenarkan terlibat dalam rangkaian kegiatan Pemilu kecuali dalam hal penggunaan hak memilih- nya. Sedang hak untuk dipilih, haruslah disadari bahwa sebagai prajurit telah mendapat penghasilan resmi dari negara, maka tidaklah adil kalau kemudian menuntut hak yang sama dengan rakyat biasa yang justru membayar pajak untuk membiayai pemerintahan termasuk anggaran buat TNI. Hal yang demikian sesungguhnya bukan hanya untuk prajurit TNI saja, tapi untuk siapapun ia yang menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan sipil dan juga militer. Pemberian kesempatan bagi prajurit TNI dalam Pilkada dengan kebijakan non aktif dari jabatan tanpa pensiun dari kedinasan militer juga membuka ke- sempatan masuknya pengaruh politik kedalam tubuh TNI. Kedepan jalan keluar yang paling mungkin adalah pemberian cuti diluar tanggungan negara sedikitnya satu tahun sebelum waktunya Pemilu, dan seterusnya kalau bisa tampil sebagai pemenang dalam Pemilu, cuti panjang tersebut diteruskan hingga berakhirnya masa jabatan politik tersebut. Dan manakala yang bersangkutan tidak menang dalam Pemilu dan atau masa jabatan politiknya telah selesai, maka ia berhak mendapat perlakuan sebagaimana sebelum ia mengambil cuti tahunan. Penataan ulang juga dalam soal pengelolaan anggaran, di luar anggaran rutin pengelolaannya haruslah menjadi tugas Dephan. Dengan demikian kedepan TNI tidak lagi terlibat dengan urusan tender proyek bangun membangun asrama dan tender pengadaan alat perlengkapan termasuk persenjataan. Karena hal yang demikian sesuai dengan ilmu admintrasi negara adalah menjadi porsi tugas dan tanggung jawab Pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Pertahanan. Masyarakat sipil yang datang di markas markas dan kantor-kantor TNI haruslah sangat dibatasi bagi yang berkepentingan dengan tugas dan fungsi pertahanan negara, bukan untuk melobi tender sehingga markas TNI berperan menjadi ajang orang untuk mengkais rezeki. Hal ini menjadi sangat mendasar agar kerahasiaan militer tetap dijaga secara optimal. Dan dengan pengaturan yang demikian itu, dikandung maksud agar sistem akan membebaskan dari kemungkinan keterlibatan prajurit TNI dalam praktek-praktek KKN.

130 Perubahan Paradigma TNI Tugas pokok tentara di negara manapun tak terkecuali bagi TNI adalah menjaga keutuhan negara, karenanya musuh yang akan dihadapi utamanya adalah hakekat ancaman yang datang dari luar. Dalam kenyataannya, bangsa ini dalam perjalanan sejarahnya berulang kali melibatkan TNI untuk menangani ancaman disintegrasi bangsa dan negara. Sangat disayangkan sebagian politisi sipil lupa bahwa setelah Negara melewati tahap konsolidasi politik, seharusnya persoalan disintegrasi bukan lagi menjadi tanggung jawab TNI, tapi tanggung jawab politisi sipil. Berbeda saat bangsa ini masih dalam proses konsolidasi sebagai Negara, mungkin hal yang demikian itu bisa dimaklumi. Tapi setelah bangsa ini sudah hidup dalam keadaan normal, seharusnya hal yang demikian bisa dikembalikan pada fungsi kenegaraan secara proposional. Bisa jadi dalam dinamikanya sebuah proses disintegrasi dibarengi dengan penggunaan kekuatan bersenjata, namun sesungguhnya akar persoalan disintegrasi bersumber dari dan berada diwilayah politik. Maka seharusnya lah hal tersebut diatasi dengan cara-cara politik pula. Walaupun dalam keadaan tertentu yaitu saat keadaan sudah abnormal, dimana cara-cara sipil tidak bisa lagi efektif, maka melalui keputusan kenegaraan TNI bisa saja ditugasi untuk mengatasi. Dengan demikian ketika diantara anak bangsa ada yang jatuh sebagai korban akibat penggunaan TNI dalam misi tersebut, tidak begitu TNI disalahkan. Karena tampilnya TNI dalam misi tersebut semata-mata atas perintah dan untuk kepentingan Negara. Sistem kenegaraan selama Orde Baru, justru menempatkan TNI digunakan untuk menangani urusan diluar core bisnisnya dibidang pertahanan negara. TNI kemudian mengontrol kehidupan warga bangsanya, sehingga perlakuan refresip terhadap bangsanya sendiri tidak bisa dihindari. Dan ketika korban kemudian berjatuhan, sekali lagi banyak pihak hanya melihat dalam kontek "hasil" dan hanya sedikit orang yang mencoba melihat dari sisi proses, padahal semua itu sesungguhnya adalah produk sistem kenegaraan yang syah. Yang terjadi ketika Orde Baru jatuh, sebagian anak bangsa begitu saja menghujat TNI. Yang jelas kepedihan sangat dirasakan oleh segenap prajurit TNI bahkan lebih dari itu, terasa kehormatan dan harga diri serta kebanggaan sebagai TNI menjadi hancur dan sirna begitu saja. Dan diantara kita, sipil maupun militer banyak memilih diam dan sebagian lagi tak peduli atau bahkan menganggap hal tersebut tidak serius, dan apalagi sebagai sebuah keprihatinan bersama. Kita juga perlu belajar dari pengalaman kekinian dalam hal "merebut hati rakyat",

131 dalam kasus Tim-Tim umpamanya, tidaklah tepat kalau kita sebagai bangsa melihatnya dengan kaca mata yang terkotak-kotak antara politisi sipil dan TNI. Apalagi kalau hanya dengan melihat "out put" semata, dimana realitanya Tim-Tim sejak tahun 1999 lepas dari Republik Indonesia. Bukankah kita perlu akui bersama bahwa lepasnya Tim-Tim sesungguhnya adalah kegagalan politik nasional70. Yang jelas dalam kasus ini TNI sangatlah tertampar. Maka sikap yang terbaik dalam menghadapi kenyataan tersebut manakala kita belajar dewasa untuk tidak mencari "kambing hitam" dengan menempatkan "campur tangan pihak asing" sebagai penyebab kekalahan jajak pendapat. Biarkanlah dunia hidup dan berkembang dengan caranya, dan tidaklah perlu kita menyalahkan mereka terus, agar kita tidak disebut sebagai paranoid. Bukankah akan lebih anggun kalau kita menempatkan "kegagalan merebut hati rakyat" Tim-Tim lah sebagai penyebab kekalahan dalam jajak pendapat saat itu. Begitu pula meledaknya kerusuhan sosial dan konflik sosial dibanyak tempat menjelang dan sesudah lengsernya Suharto yang dibarengi dengan jatuhnya korban yang tidak kecil jumlahnya, apakah hal yang demikian ini belum atau tidak cukup untuk meyakinkan diri akan adanya sesuatu yang salah atau setidaknya ada kurang pas dalam tubuh bangsa kita. Hal yang sama juga perlu dikembangkan di internal TNI terlebih para elitnya. Dalam penyelesaian Aceh dan Papua umpamanya, apakah penampilan TNI yang terus meminta korban anak bangsanya sendiri termasuk dari lingkungan prajurit TNI dalam jumlah yang tidak kecil akan terus dilanjutkan. Hanya karena diberi cap sebagai Anggota Gerakan Sparatis lantas seolah syah-syah saja untuk dibunuh oleh tentara kebangsaan nya sendiri. Dan sebaliknya karena prajurit TNI harus membela keutuhan negara lantas syah hukumnya untuk mereka bunuhi. Disanalah sebaiknya kita perlu merasakan bahwa ada yang keliru dalam diri kita sebagai bangsa dan terlebih bagi TNI yang selama ini menanganinya. Dan khusus bagi TNI barangkali sikap yang demikian itu mungkin belum terlambat untuk mereview banyak hal yang membuat masalah tersebut terjadi sebagai bukti atas tidak efektifnya doktrin, strategi, taktis dan metoda yang dimilikinya termasuk konsep yang selama ini digunakan, tak terkecuali juga soal konsep Sistem Pertahanan Semesta nya 70

Dikatakan kegagalan politik nasional karena sebagai negara kita tidak mampu menjaga keutuhan wilayah dan keutuhan masyarakatnya melalui suatu mekanisme konstitusi yang kuat dan berwibawa. Lepasnya Timor Timur merupakan tanda bahwa sistem politik nasional masih kurang kuat dan kurang berwibawa di mata sebagian masyarakatnya. Itu terjadi bisa karena praktek penyelenggaraan kekuasaan yang semena-mena dan tidak memperhitungkan nasib rakyat atau bisa juga terjadi karena kejahatan sipil dan militer yang dilakukan aparat negara yang kurang memahami apa itu prinsip politik demokrasi yang sebenarnya. Bagus juga kalau tentang ini kita baca dalam buku Antonius E. Kristiano, dkk, Teologi Politik, (Jakarta: Bumiksara, 2003).

132 itu sendiri, yang nyatanya

gagal atau setidaknya kurang berhasil dalam

menjalankan missinya. Karena pada hakekatnya penyelesaian tugas-tugas yang berkaitan langsung dengan kehidupan social politik internal bangsa

adalah

peperangan "to win the heart of the people", maka TNI harus berbesar hati untuk menerima kritik yang disampaikan oleh sebagian rakyat khususnya kaum reformis yang mempertanyakan keberadaan lembaga Pembinaan Teritorial dan termasuk soal keberadaan Komando Teritorial. Kalau memang realitanya sebagai "senjata unggulan" TNI dengan pembiayaan yang begitu besar hasil akhirnya hanya berupa kerusuhan sosial, merebaknya konflik sosial yang berdarah-darah, lepasnya Tim-Tim, dan berlarutnya penyelesaian masalah keamanan di Aceh dan Papua mengapa harus kita terus berdalih mem- bela diri dan terus menempatkan semua itu bukan sebagai sebagai out put dari sistem yang ada. Hal yang demikian menjadi mendasar untuk dipikirkan bersama, karena sistem politik kita saat itu me- nempatkan ABRI sebagai penanggung jawab tunggal atas kemanan nasional sebagai mana yang diatur dalam sejumlah produk hukum nasional berupa sejumlah Tap MPRS dan juga MPR RI yang mengatur keberadaan TNI (ABRI) yang ber Dwi Fungsi, Kopkamtib dan Bakorstanas, disamping juga UU No: 20 tahun 1982 tentang "Pokok-Pokok Sistem Pertahanan Dan Keamanan Negara" dan juga doktrin TNI Cadek (Catur Dharma Eka Karma) beserta turunannya. Dalam konteks Binter persoalan utama yang perlu dicermati oleh TNI adalah masalah waktu dan tempat kapan Binter itu dilaksanakan. Hal ini sangat mendasar karena pada hakekatnya semua kegiatan pembinaan apapun bentuknya yang dilaksanakan oleh Negara termasuk yang dilaksanakan oleh TNI adalah masuk dalam kategori kategori "Top-Down". Dalam keadaan yang normal (bukan dalam keadaan darurat) bagi masyarakat yang sudah beranjak maju untuk menerapkan demokrasi sebagaimana yang tengah kita alami, kebijakan yang demikian itu justru akan kontra produktif dan bahkan diposisikan sebagai "intervensi" kekuasaan terhadap hak-hak sipil. Dan bila keadaan tersebut terus dipaksakan maka yang terjadi akan muncul dampak atau ekses yang jauh lebih besar dari manfaat yang bakal diperoleh nya. Begitu seterusnya bila dampak atau ekses yang timbul kemudian ditekan atau diabaikan, maka akan terjadi akumulasi yang pada saatnya akan meledak, setidaknya akan terjadi penolakan terhadap lembaga tersebut. Kegiatan yang bersifat "top-down" seperti Binter barulah berarti dan bahkan diharapkan oleh rakyat nya manakala kehidupan dalam keadaan tidak normal, dan apa

133 lagi kalau peran dan

fungsi-fungsi pemerintahan sipil tidak atau belum lagi

berjalan sebagaimana mestinya. Disanalah maka perlu pe mikiran untuk mengubah metoda Binter model lama setidaknya untuk selama masa transisi menuju tatanan baru TNI, agar tidak terjadi idle dari kemampuan dan gelar TNI yang ada saat ini. Sebagai bagian dari metoda perang, Binter bukanlah asli Indonesia. Sejak peradaban manusia mengenal perang kegiatan rehabilitasi wilayah setelah usai perang untuk jangka waktu tertentu yang bertujuan "merebut hati rakyat" sudah dikenal. Penanganan musibah kemanusiaan dan rehabilitasi daerah ter- tentu akibat bencana alam di negara manapun men- jadi porsi bagi militernya untuk menanganinya. Sedang Binter semasa Orde Baru yang secara permanen dilaksanakan oleh TNI dibawah kordinasi Koter juga bukan khas Indonesia, karena di negara-negara Komunis sudah duluan dilaksanakan, yaitu oleh Partai Komunis dengan "Political Biro" nya yang melaksanakan fungsi-fungsi yang mirip embanan Binter TNI semasa Orde Baru, yang misi utamanya adalah kontrol terhadap kehidupan sosial. Adapun masalah Koter sesungguhnya bukanlah hal yang perlu dijadikan persoalan serius oleh bangsa, karena Koter adalah Komando Pertahanan Matra Darat, yang otomatis akan berubah fungsinya hanya dibidang pertahanan matra darat manakala pola pertahanan pada tingkat nasionalnya mengalami perubahan. "Ujian" terhadap TNI pun terus berlanjut, ketika proses peradilan HAM mulai digelar yang terjadi tidak hanya prajurit TNI yang dituduh melanggar HAM saja yang terkuyo-kuyo, tapi secara kelembaga an pun TNI terus jadi obyek "bulan-bulanan" opini publik, terlebih yang dilewatkan media massa. Memang persoalan akan lain kalau saja dari awal disiasati dengan tidak mengedepankan pendekatan defensif. Andai saja dalam menghadapi perubahan yang terjadi ditempuh dengan menerapkan prinsip-prinsip bela diri yudo, barang kali tenaga yang berasal dari kaum reformis dan juga dari negara-negara sahabat sangat bermanfaat untuk membangun kembali legitimasi, citra diri dan bahkan kekuatan persenjataan yang dimilikinya. Dengan mendudukan diri sebagai agen perubahan, niscaya manajemen kontrol terhadap kondisi yang berkembang pasca Orde Baru akan sangat diwarnai oleh peran TNI sehingga bisa dikendalikan dengan lebih baik. Yang jelas saat ini legitimasi TNI sangatlah terpuruk, bahkan sudah menyentuh sendi-sendi kehidupannya. Anehnya disaat TNI legitimasinya begitu terpuruk, dimana-mana dibentuklah satgas-satgas Pengamanan lengkap dengan seragam, lambang dan penampilan fisik layaknya

134 militer. Sehingga kehidupan yang militeristik serasa makin menjadi-jadi. Dan inipun oleh kita semua termasuk politisi sipilnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius. Padahal dampak jangka panjangnya kelak sangat merugikan peradaban bangsa. Terbentuknya Masyarakat Beradab (Civil Society) bagi bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Founding Father negara bangsa sendiri telah mencanangkan nilai-nilai peradaban tersebut sebagai cita-cita kemerdekaan seperti yang teituang dalam Pembukaan UUD-45. Gambaran tatanan Masyarakat Beradab yang berintikan harmonisasi dari kemajemukan, keadilan, ke- sejahteraan, penghargaan yang tinggi terhadap kemanusiaan dan hak-hak warga negara, serta makna kemerdekaan dengan gamblang diutarakan oleh para pendiri republik ini dalam berbagai kesempatan sidang BPUPKI dan PPKI, bahkan secara garis besar telah dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945. Beranjak dari pengalaman negara-negara lain yang lebih dahulu berhasil mewujudkan tatanan Masyarakat Beradab, maka masalah keberadaan militer yang kuat sekaligus positioning nya dalam tatanan politik nasional menjadi sangat mendasar. Negara manapun terlebih negara yang menganut paham demokrasi untuk menjadi kuat dan disegani kawan maupun lawan, serta mampu menjaga kedaulatan nya tidak bisa lepas dari keberadaan militer nya yang kuat pula. Akan tetapi agar keberadaan militer yang kuat tersebut tidak menjadi sumber masalah apalagi menjadi sumber "petaka" bagi kehidupan demokrasi, maka diperlukan tatanan politik nasional yang menempatkan militer hanya pada posisi sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara saja, dan tidak terlibat dalam urusan politik praktis apalagi urusan rebut merebut kekuasaan termasuk dalam urusan bisnis. Maka perlulah pengambilalihan bisnis tentara saat ini. S. Yunanto dan Ali A. Wibisono menyebutkan empat maksud pengambilalihan bisnis tentara yakni (1) untuk menghentikan penyimpangan fungsi TNI dari fungsi pertahanan, (2) untuk membangun institusi TNI yang profesional, (3) menegakkan kontrol sipil atas TNI, khususnya kontrol dalam anggaran pertahanan, dan (4) mengurangi distorsi pada ekonomi nasional71. Dalam konteks TNI terlebih Angkatan Darat pasca Orde Baru, fokus program reformasi internal nya terkesan lebih pada hal-hal yang bersifat pragmatis dan belum menyentuh pada hal-hal yang fundamental dan strategis. Maka yang terjadi 71

S. Yunanto dan Ali A. Wibisono, Quo Vadis Pengambilalihan Bisnis TNI, dalam Beni Sukadis, et al., Ibid. hal 14

135 penampilan lama dalam bentuknya yang baru terus saja bennunculan. Terlibatnya TNI dalam kasus Pembunuhan tokoh Papua Theis Aluway dan Bentrokan antara TNI dan Polri seperti yang terjadi di Binjai adalah contoh konkrit yang tak terbantah- kan. Dan dipastikan akan disusul dengan kasus-kasus sejenis lainnya dimasa mendatang utamanya yang berkaitan dengan persoalan ekonomi termasuk dalam kasus illegal loging dan perjudian, karena akar masalah penyebab terjadinya kasus-kasus seperti itu sama sekali belum tersentuh oleh gelombang reformasi internalnya. Untuk mengawali pekerjaan besar dengan banyak aspek dan segmen yang harus ditangani maka pilihan prioritas dengan

membenahi hal yang paling fundamental

seperti perubahan visi dan misi TNI sebelum melangkah dibidang lainnya menjadi sangat relevan. Memahami TNI tanpa mendalami proses tumbuh dan berkembangnya secara utuh akan melahirkan kesimpulan yang keliru. Sebagai Tentara yang bukan bentukan Pemerintah, kelahiran TNI sudah barang tentu tidak bisa lepas dari suasana kebathinan bangsa yang begitu bergelora penuh rasa patriorisme dan heroik bersatu padu merebut kemerdekaan, dan kemudian mempertahankannya. Bila ditilik dari keberadaan elit pendiri TNI sesungguhnya dapat dikelompokan dalam dua sumber. Sumber pertama adalah mereka mantan KNIL dan sebagian lagi adalah para pejuang yang umumnya mantan PETA dan juga tokoh perjuangan dengan berbagai basis kedaerahan dan keagamaan. Satu-satunya mantan KNIL yang bisa "masuk" PETA adalah Suharto yang dikemudian hari menjadi Presiden RI kedua. Dalam proses selanjutnya kelompok Laskar Perjuangan dengan Jendral Sudirman sebagai simbolnya memang banyak menatahkan, menggoreskan dan bahkan merumuskan nilai-nilai luhur yang kemudian dijadikan sebagai Jati Diri dan atau idenritas TNI. Namun demikian daalam proses internalisasi dan juga pewarisan nilai-nilai tersebut sejak awal kemerdekaan pun tidak begitu saja mulus. Karena TNI pun harus tunduk terhadap hasil kesepakatan peijanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Konsekuensi logis dari hasil KMB, TNI kemudian menempuh program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) yang dampaknya sangat menyakitkan dan merugikan kelompok eks Laskar Perjuangan. Karena banyaknya anggota yang turun pangkat dan jabatan akibat tidak sepadannya tingkat pendidikan dengan pangkat dan jabatan yang diembannya. Sudah barang tentu dalam proses rasionalisasi, TNI menempuh program pembekalan pengetahuan dan ketrampilan militer dasar utamanya bagi kelompok eks Pejuang

136 melalui lembaga-lembaga pendidikan militer di markas-markas eks tentara Belanda (KNIL), sebagaimana hasil KMB disepakati pelaksanaannya ditangani oleh Tim khusus oleh Tentara Belanda. Sudah barang tentu tenaga pendidik dan pelatih yang berasal dari TNI yang dilibatkan dalam program ini banyak didominasi oleh mereka yang eks KNIL. Kondisi ini bisa dipahami karena prajurit TNI eks KNIL memang lebih duluan menguasai tehnologi dan ilmu kemiliteran dibanding kan mereka yang berasal dari kelompok perjuangan. Begitu pula dalam kehidupan kesatuan TNI periode berikutnya, proses reqruitmen dan kaderisasi TNI melalui proses pendidikan formal kemiliteran di- lembagalembaga Pendidikan Militer dimana tenaga pelatihnya pun banyak didominasi oleh prajurit TNI eks KNIL. Dengan kata lain untuk periode tertentu sejak pasca KMB proses pembentukan, pengembangan dan pelembagaan sikap perilaku dan jiwa kejuangan kader-kader TNI banyak didominasi oleh mantan KNIL, bukan oleh para pendiri TNI yang berasal dari kelompok perjuangan. Kondisi yang demikian tadi lebih parah sejak bangsa ini memasuki era Orde Baru, dimana TNI bersama Polri (ABRI) diposisikan lebih sebagai alat kekuasaan. Selama Orde Baru, TNI atas nama dan untuk kepentingan negara dan bangsa kemudian meramuskan sendiri hakekat AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan dan Tantangan) yang bakal dihadapi Negara, dan kemudian disikapinya dalam bentuk tindakan dan bahkan operasi militer. Diawal Orde Baru PKI dan segenap pihak yang berfiliasi dan bahkan sekedar condong ke komunisme oleh TNI dijustifikasi sebagai musuh negara dengan sebutan Ekstrim Kiri(EKKI). Setelah pamor komunisme di dunia mulai turun, terlebih setelah perang dingin mendekati usai, maka kelompok tertentu dari lingkungan agama dalam hal ini Islam yang berperilaku tidak sejalan dengan politik dan kepentingan Pemerintah ataupun yang mengambil sikap oposisi terhadap Pemerintah, oleh TNI dijustifikasi sebagai Ekstrim Kanan (EKKA). Begitu pula terhadap pihak lain yang tidak bersumber dari paham komunisme dan Agama seperti Buruh, LSM, Kelompok Cendiawan tertentu dan bahkan Pumawirawan ABRI yang sikapnya dianggap merugikan kepentingan politik Pemerintah seperti mereka yang tergabung dalam Petisi 50 dijustifikasi sebagai Ekstrim Lain (EKLA). Sudah barang tentu ketiga kelompok ekstrim tersebut dikategori sebagai musuh negara yang kemudian disikapi dengan cara-cara militer, termasuk penggunaan cara-cara kekerasan. Kondisi yang demikian ini berjalan lebih dari 32 tahun. Cara pandang yang demikian ini jelas sama sekali tidak mencerminkan visi tentara dari

137 sebuah negara yang merdeka apalagi yang menganut paham demokrasi. Dimana perbedaan pendapat dan oposisi dengan kritik yang keras/tajam sekalipun justru sebagai kebutuhan dan bahkan harus ditempatkan kekuatan dari sebuah demokrasi. Visi tentara yang demikian tadi sesungguhnya hanya pantas dimiliki oleh Tentara Kolonial, sebagaimana sikap KNIL terhadap kaum Bumi Putera dan pejuang kemerdekaan dalam era penjajahan Belanda dulu. Perubahan Visi juga menjadi sangat mendasar, karena mustahil visi yang ditumbuh kembangkan selama masa Orde Baru begitu saja berubah tanpa proses transformasi yang disengaja dan terukur. Adalah hal yang mustahil perubahan yang bersifat fundamental bakal terjadi hanya karena ganti Pemerintahan dam ganti Pimpinan TNI menyusul lengsernya Suharto. Perubahan visi otomatis akan melahirkan perubahan misi. Saat ini melalui Ketetapan MPR No.VI/MPR 2000 memang tugas pokok TNI sudah berubah hanya menangani bidang Pertahanan Negara. Tugas pokok TNI memang haras dipatok hanya dalam hal Pertahanan Negara saja, namun demikian memaknai Pertahanan Negara bukanlah hanya berarti TNI tugasnya untuk mengahadapi invasi pasukan reguler musuh dari luar. Mematok tugas pokok TNI hanya untuk menghadapi musuh dari luar, dipastikan akan menjadi bumerang, karena TNI pasti akan terlambat berreaksi. Dari spektrum perang menempatkan penggunaan sebuah pasukan reguler untuk melaksanakan invasi adalah tahap akhir, setelah "senjata" lainnya seperti ekonomi dan politik telah optimal digunakannya. Maka misi TNI akan lebih tepat dikembalikan keposisi misi awal yang dahulu dicanangkan oleh para pendiri TNI yaitu sebagai Bhayangkari Negara. Dengan kata lain dalam memaknai tugas pokok TNI dibidang Pertahanan Negara bukanlah bidang pertahanan negara dalam arti sempit, namun pertahanan negara dalam arti luas yaitu setiap ancaman yang secara terukur bersentuhan

langsung dengan

kedaulatan

negara

dan

bangsa

termasuk

didalamnya masalah keselamatan jiwa warga negara, pencurian kekayaan alam, narkotika, terorisme, sparatisme, harkat dan martabat bangsa dan segala hal yang dihadapi bangsa-negara yang nyata-nyata tidak bisa atau dipastikan tidak bisa lagi ditangani secara fungsional oleh lembaga pemerintahan sipil termasuk oleh Polisi. Timbulnya kekhawatiran terjadi kembali tumpang tindih fungsi antar lembaga terkait, sesungguhnya persoalan terletak pada bagaiinana rule of engagement yang mengaturnya. Kapan instansi Pemerintahan (sipil) dan atau Polisi turun tangan, kapan dan bagaimana TNI atau bagian TNI seperti intelejen umpamanya dikerahkan. Karena

138 pada hakekatnya dalam keadaan dimana instansi Sipil dan Polri sudah tidak lagi atau dipastikan tidak akan efektif untuk mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa dan negara, maka saat itu Negara bisa mengerahkan kekuatan nasional yang manapun, terlebih TNI untuk turun tangan. Dengan demikian obyek yang ditangani bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan semata, tapi juga persoalan sosial dan kemanusiaan apapun bentuknya, terlebih yang menyangkut persoalan harkat, martabat, derajat dan kehormatan diri sebagai bangsa. Dengan demikian maka yang diperlukan adalah perubahan mind set dan sekaligus madzab berpikir yang didahului oleh sebuah kesadaran baru bahwa dirinya bukan lagi “pemain”, tapi tak lebih adalah “pagar” dan atau “penjaga” dari sebuah negara dan bangsa yang menganut paham demokrasi. Visi dan misi TNI Kedepan. Beranjak dari Jati Diri TNI sebagai Tentara Nasional, Tentara Rakyat dan Tentara Pejuang, maka Visi yang haras ditanamkan dan ditumbuh kembangkan oleh TNI adalah cara memahami keberadaan dirinya sebagai tentara dari sebuah bangsa dan negara yang merdeka. TNI sebagai tentara nasional bertugas untuk menjaga agar kedaulatan bangsa dan negara yang meliputi segala hak dan kewajiban warga negara nya tetap terjaga. Kedaulatan yang dimaksud tidak hanya mengkait persoalan wilayah baik darat-laut-udara dengan segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya, tapi juga kedaulatan Pemerintahan yang syah. Dalam kaitan menjaga kedaulatan Bangsa, maka TNI tidak boleh sekali-kali menempatkan rakyat yang manapun, kelompok, golongan ataupun perorangan yang beda bendapat dengan Pemerintah dan terlebih dengan TNI sebagai musuh negara. Dengan cara apapun sepanjang mereka tetap dalam koridor demokrasi bukanlah musuh negara yang kemudian dihadapi dengan cara-cara kekerasan seperti yang terjadi di era Orde Baru. Ukuran yang harus digunakan TNI dalam mensikapi dinamika masyarakat adalah hokum, dan sama sekali tidak boleh lagi dengan menggunakan ukuran kekuasaan. Namun juga sebaliknya TNI juga tidak boleh tinggal diam, dan justru harus tampil terdepan manakala hak-hak dasar bangsa dalam hal ini segenap warga negara tanpa kecuali karena alasan tertentu terancam dan tidak bisa diaktualisasikan. Karena hakekat keberadaan Negara justru untuk melindungi hak-hak dasar

139 warga negara sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun pengerahan TNI untuk maksud-maksud yang demikian itu diatur melalui rule of engagement, sehingga turun tangannya TNI adalah atas nama negara. Adapun pemahaman menjaga kedaulatan Pemerintahan yang syah haruslah ditempatkan dalam konteks hukum dan demokrasi. TNI ber- kwajiban ikut untuk menjaga kondisi agar hak dan kwajiban Pemerintahan yang syah dalam mengemban amanat rakyat dapat dilaksanakan se- bagaimana mestinya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sudah barang tentu pemahaman tersebut tidak hanya dibidang garapan yang berkaitan dengan fungsi pertahanan negara saja. Dalam kondisi tertentu, dimana kedaulatan Pemerintah yang syah menjadi akan lumpuh dan karenanya akan mengakibatkan jatuhnya korban yang besar ataupun petaka ke- manusiaan akibat kerusuhan social ataupun chaos, maka Kepala Negara berhak mengerah- kan TNI. Sudah barang tentu persoalan waktu, kapan TNI digerakkan sangatlah mendasar. TNI dikerahkan untuk tugastugas yang demikian itu manakala aparatur sipil termasuk Polisi sudah tidak atau dapat dipastikan tidak mungkin lagi efektif, sehingga berpotensi akan menimbulkan korban dan kerugian yang besar bagi kemanusiaan, bangsa dan Negara tidak mungkin bisa dielakkan. Dengan dilandasi oleh

aturan yang baku maka turun

tangannya TNI sepanjang tidak ikut menjadi pemain dan terlibat dalam rebut merebut "bola" kekuasa- an niscaya akan mendapat dukungan rakyat. Dengan kata lain politik TNI kedepan harus dibatasi pada politik Pertahanan Negara saja. Pemahaman politik TNI adalah politik negara untuk alam demokrasi, hanya tepat manakala negara kita dalam kondisi betul-betul sudah kalah perang dengan tentara negara lain yang menginvasi kita. TNI juga tidak boleh lagi ber- tindak bagai negara dalam negara seperti dimasa lalu. Terlebih dalam hal kebijakan yang ber- sentuhan langsung dengan kepentingan warga negara. Dengan kata lain kedepan TNI hanya melaksanakan kebijakan pertahanan negara yang digariskan oleh Pemerintah Negara. Dan itupun TNI tidak boleh lagi menentukan kebijakannya sendiri yang diatas-namakan untuk kepentingan Negara, walaupun yang ditangani dibidang Pertahanan sekalipun. Dengan demikian kegiat- an TNI diluar masalah strategi, taktik dan tehnis

perang

otomatis akan memenuhi azas Supremasi Sipil. Kekhususan

TNI

sebagai

Tentara

Rakyat

dalam

alam

demokrasi

diwujudkan dalam bentuk kepekaan TNI terhadap penderitaan rakyat, artinya

140 TNI tidak boleh terpisah dengan rakyat nya. Pengertian tidak boleh terpisah atau dekat dengan rakyat tidaklah diartikan lahiriah secara phisik, sehingga TNI harus menyebar prajurit nya ke desa-desa. Karena substansi yang ingin dicapai TNI adalah bagaimana bisa merebut hati rakyat, oleh karenanya TNI harus tahu dan peduli terhadap setiap kebutuhan yang paling mendasar dan terlebih terhadap kesulitan yang dihadapi rakyatnya. Dengan demikian legitimasi rakyat terhadap TNI senantiasa tinggi, karena kakekat kekuatan TNI bukan pada besarnya pasukan dan persenjataan semata, namun lebih dikarenakan tingginya legitimasi dukungan rakyat nya. Turun tangannya TNI dalam mengatasi musibah kemanusiaan akibat bencana alam sangat relevan untuk diprioritaskan. Tidaklah tepat kalau TNI justru kedahuluan oleh komponen bangsa lain, dan apalagi kalau kedahulu- an tentara negara sahabat. pemberantasan

Bila bangsa

saat ini menempatkan

korupsi sebagai peringkat atas untuk diperangi bersama, maka

seharusnya TNI memberi contoh dilingkungan internalnya. Begitu pula saat kehidupan rakyat banyak sedang mengalami kesulitan yang sangat, sepatutnyalah TNI memberi contoh dalam kesahajaan dalam tata kehidupan kesehariannya oleh segenap segenap prajurit tanpa kecuali. Sedang sebagai Tentara Pejuang, sebagimana dikuatkan oleh tesisnya Nugroho Notosusanto dalam bukunya pejuang dan prajurit, yang terpenting adalah sikap mental TNI bahwa dirinya bukanlah tentara bayaran yang menukar nyawanya dengan imbalan harta benda dan atau bentuk fasilitas lainnya72. Dengan kata lain, pengorbanan dalam bentuk hilangnya nyawa yang satu-satunya, justru sebagai kebanggaan karena dirinya ikut andil dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan negara dan bangsa. Kaitan Sapta Marga dengan Visi dan Misi TNI Dari Visi dan misi TNI yang disesuaikan dengan tuntutan demokrasi, maka landasan etika moral Sapta Marga menjadi sangat mendasar. Dengan demikian setiap tugas apapun selalu dilandaskan pada Sapta Marga secara utuh, manunggal antar marga yang satu dengan lainnya. Karenanya dalam memahami Saptamarga tidak lah boleh dipisah-pisah antara marga yang satu dengan marga lainnya, karena ia adalah satu kesatuan dan satu kebulatan yang utuh. Adalah kekeliruan 72

Nugroho Nososusanto, Pejuang dan Prajurit, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991). Nugroho Notosusanto mempunyai pandangan bahwa tentara Indonesia adalah tentara pejuang yang terlibat sangat sentral dalam perwujudan kemerdekaan sehingga perjuangan adalah menjadi ciri dari militer Indonesia.

141 yang prinsip manakala ada prajurit TNI terlebih perwiranya dan lebih khusus lagi kalau Perwira Tinggi nya berdalih karena sebagai harus “Patuh dan Taat Kepada Pimpinan” sebagaimana tuntunan Marga keempat dalam Sapta Marga, lantas secara sadar ia melanggar kepatutan dan apalagi norma-norma hukum begitu saja. Seharusnyalah ia melandaskan juga pada marga ketiga, kedua dan pertama Sapta Marga. Dengan kata lain perintah yang dikeluar kan seorang Perwira haruslah dilandasi oleh makna ketujuh marga dalam Sapta Marga secara utuh. Sehingga dalam kaitan loyalitas sebagaimana amanat Marga kelima, akan membuat setiap prajurit tanpa alasan apapun secara tulus iklas untuk patuh dan taat kepada atasan bahkan dengan tidak membantah perintah dalam arti sebagai sebuah kesadaran penuh. Keiklasan tersebut haruslah dilandasi oleh tuntunan Marga-marga sebelumnya, yaitu dalam kaitan sebagai bhayangkara negara. Dan peran bhayangkara yang dimaksudkan adalah dalam kerangka ksatria yang didasarkan pada keyakinannya Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan keiklasan yang hanya didasarkan pada tuntunan marga ke empat semata, dan terlepas dari marga-marga yang sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian terjadi saling melandasi dan dilandasi oleh setiap marga dari yang pertama sampai marga yang ketujuh. Dimungkinkan adanya perintah yang bertentangan dengan hati nurani, maka bawahan berhak mengajukan keberatan, namun demikian ia tetap berkwajiban menjalankan perintah tersebut sampai ada perubahan perintah. Untuk kepentingan ini TNI juga dilengkapi dengan aturan hukum baik Peraturan Disiplin Tentara (PDT), Hukum Disiplin Tentara (HDT) dan juga Kitab Undangundang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang memberikan hak kepada prajurit bawahan untuk mengajukan keberatan. Bahkan dalam PDT hak bawahan untuk mengajukan keberatan adalah selama 8 (delapan) hari sejak perintah dikeluarkan, walaupun ia diwajibkan tetap melaksanakannya sebelum keberatan tersebut dikabulkan. Begitu pula dalam manajemen birokrasi TNI setiap komandan satuan bawahan diberi hak bertanya dan waktu yang cukup dalam penempaan sebuah perintah. Norma baku waktu untuk menempa sebuah perintah bagi satuan atasan hanyalah 1/3 dari alokasi waktu, sedang bawahan mendapat alokasi 2/3 dari keseluruhan alokasi waktu yang tersedia. Dengan demikian sesungguhnya satuan bawahan pun mempunyai waktu yang cukup untuk menempa setiap perintah dari berbagai aspek termasuk dari sisi etika yang digariskan oleh Sapta Marga.

142 Pemahaman tersebut diatas menjadi penting agar setiap atasan tidak akan pernah mengeluarkan perintah yang katagorinya illegal order. Hal ini menjadi sangat mendasar, agar norma universal bahwa "tidak ada Prajurit yang salah, tapi Perwira nya lah yang salah" dapat diterapkan juga dalam tubuh TNI. Penerapan norma ini menjadi mendesak untuk segera kembali diterapkan dalam jajaran TNI, agar moral prajurit bawahan tidak terus merosot. Karena realita yang terjadi saat ini hampir seluruh proses peradilan tindak pelanggaran Ham dan juga korupsi hanya menempatkan bawahan sebagai pihak yang bertanggung jawab dimuka hukum. Maka disana nanti legitimasi dan citra TNI akan segera pulih kembali, sehingga khitoh sebagai bhayangkari negara segera bisa diwujudkan dalam rangka mengawal perubahan menuju Indonesia yang demokratis. Disiplin, Etika Moral dan Kebanggaan Prajurit TNI. Persoalan lain yang lebih serius bagi TNI adalah menyangkut disiplin ketentaraan. Karena yang dikembangkan ditengah perjalanan sejarahnya bukan- lah disiplin tentara yang seharusnyalah disiplin mati, tapi disiplin hidup sebagaimana layaknya disiplinnya kaum sipil. Padahal tentara sebagai mesin peng- hancur mutlak harus dilengkapi dengan disiplin mati, yaitu disiplin yang didasari oleh patuh, tunduk, hormat, serta taat dengan tak membantah perintah atau putusan. Kedepan tidaklah dibenarkan lagi kalau seorang Pimpinan TNI sampai menolak dan tidak melaksanakan perintah sebagaimana mestinya. Yang harus dikembangkan adalah kepatuhan total karenanya jangankan menolak perintah, sekedar komentar secara terbuka atas ketidak setujuannya dengan keputusan Presiden yang posisinya adalah Panglima Tertinggi TNI dan juga sebagai Kepala Negara haruslah ditabukan. Etika TNI dalam negara yang kini mulai memasuki era demokrasi khususnya bagi elit TNI yang dibesar- kan dengan model Orde Baru haruslah segera diubah. Untuk selanjutnya dibangun dengan mengedepankan sifat kesatriaan, dimana memilih mundur dari jabatan karena merasa tidak mampu atau karena merasa tugas yang diembannya bertentangan dengan hati nuraninya. Sangatlah tercela, kalau kemudian Pimpinan TNI menggalang dukungan

dengan membikin opini karena ketidak

setujuannya dengan Presiden selaku Panglima Tertinggi nya. Perbedaan persepsi dalam ketentaraan tidaklah boleh diselesaikan dengan adu argumentasi, tapi dengan loyalitas dan ketaatan, dengan benteng terakhir adalah hak mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam PDT (Peraturan Disiplin Tentara) namun selama dalam

143 proses pengajuan keberatan pun perintah tetap dilaksanakan sebagai mana mestinya. Yang jelas perbedaan persepsi terlebih antara Pemerintahan sipil dengan TNI bukanlah direspond dengan adu argumentasi dan terseret dalam pro dan kontra dalam opini publik dalam bentuk komentar, tapi dengan patuh dan taat atau sebaliknya dengan sikap ksatria mengundurkan diri dari jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan untuk menumbuhkan disiplin yang demikian itu dilatihkan secara terus menerus dan dijadikan prinsip dasar dalam kehidupannya sehari-sehari. Gagasan untuk mengembang disiplin hidup di lingkungan TNI tidak bisa lepas dari keterkaitan perannya dalam politik praktis dimasa lalu. Sehingga TNI seolah berhak untuk mengatakan "tidak" atau bahkan dengan mengerahkan mesin perang untuk menakutnakuti pemerintahan sipil yang berkuasa, manakala keputusan atau kegiatan yang sedang dikerjakan oleh Pemerintah dianggap oleh dirinya bertentangan dengan kemauan rakyat banyak. Padahal dalam dinamika politik, sesuatu yang diatas namakan kepentingan rakyat sangatlah nisbi, karena bisa saja kepentingan pribadi atau golongan tertentu termasuk dari lingkungan elit TNI dikemas dengan cap aspirasi rakyat banyak ataupun stempel hati nurani. Hal yang demikian ini bukanlah watak, tabiat, dan karakter militer sejati, lagi pula lahan tersebut bukanlah lahannya militer, tapi lahan politisi sipil. Hal yang demikian jelas membuat kaum politisi sipil selama ini dalam menjalankan demokrasi tidak pernah berafeksi dalam berkompromi antar sesamanya. Dengan kata lain dalam kehidupan TNI janganlah ditumbuhkan jiwa, karakter, kebiasaan, habitat, tata cara, dan apalagi disiplin model lingkungan sipil. Sudah barang tentu kondisi TNI yang demikian itu tidak bisa lepas dari sistem kenegaraan yang kita gunakan. Tata kehidupan dengan disiplin hidup yang demikian itu kemudian dibakukan sebagai norma dasar dan kode etik TNI sebagai mana yang tertuang dalam doktrin ABRI/TNI. Belakangan sejumlah "predikat" kemudian dirumuskan sendiri dengan menyebut dirinya sebagai "Prajurit Pejuang dan Pejuang Prajurit" dan juga slogan "Terbaik Bagi Rakyat-Terbaik Bagi TNI" dan sejenisnya. Yang pada hakekatnya adalah pembenaran atas keterlibatan dirinya dalam urusan diluar "core bisnis" nya dibidang pertahanan negara. Disanalah pentingnya kesadaran semua pihak untuk menata kembali TNI, karena pembenahan kehidup- an kenegaraan secara keseluruhan barulah akan menjadi efektif manakala mendapat "back up" yang kuat dari TNI yang telah meraih kembali legitimasinya. Dalam arti TNI semestinya lebih dahulu menuntaskan reformasi internalnya. Dan untuk membangun kembali legitimasi, tidaklah mungkin dengan bertahan dengan cara-cara lama yang jelas-jelas

144 telah mengantar TNI khususnya dan juga bangsa pada umumnya terpuruk dan terus dibelit krisis yang berkepanjangan seperti yang kita alami saat ini. Maka perumusan nilai-nilai baru untuk menyongsong lahirnya peradaban baru menjadi kata kunci dalam membangun legitimasi TNI kedepan. Karena yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah kepastian masa depan, dan itu hanya bisa diwujudkan melalui pembangunan sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis terlebih dahulu, sekaligus me- nempatkan posisi TNI secara benar, sebagaimana yang digambarkan oleh sahabat saya Dr. Andi Talman Nitidisastro dalam diskusi "warung kopi" di Pakar Bandung akhir tahun 1999 yang menyimpul kan bahwa "penggantian papan catur" adalah sebuah keniscayaan bila memang bangsa ini berkeinginan membangun TNI yang kuat, disegani dan bahkan ditakuti oleh lawan, namun dicintai dan sekaligus dibanggakan oleh rakyatnya. Etika keprajuritan TNI kedepan akan lebih tepat kalau menonjolkan besarnya tanggung jawab dan keteladanan dalam perilaku keseharian oleh segenap atasan dan terlebih bagi Perwiranya khususnya pada level Perwira Tinggi. Keteladanan dalam mengambil alih tanggung jawab yang dikerjakan ataupun yang tidak dikerjakan bawahan tidak boleh lagi sekedar didiskusikan dalam tataran wacana dan alasanalasan hukum ketika dimuka pengadilan, tapi bukti nyata dilapangan dengan cara membebaskan bawahan apapun pangkatnya tidak sampai diseret ke muka pengadilan, padahal mereka tak lebih hanya melaksanakan tugas sucinya sebagai prajurit. Dalam kasus penyalah gunaan kekuasaan dan penyelewengan yang menyebabkan pejabat TNI diproses secara hukum dimuka pengadilan, tidaklah patut kalau kemudian atasan yang mestinya bertanggung jawab ramai-ramai cuci tangan, dengan alasan “salah prosedur” sehingga tindak pidana tersebut beralih menjadi tanggung jawab bawahan. Dalam kepedulian bangsa yang begitu tinggi dalam memberantas korupsi, kedepan TNI sebaiknya segera mengubah Etika keprajuritan yang dilandasi oleh aturan formal hukum kekinian. Bila dimasa lalu, budaya membiarkan bawahan korupsi sehingga mayoritas laporan dari lingkungan Inspektorat Jendral tentang korupsi umumnya tidak direspond sebagaimana mestinya secara hukum. Kemudian para pimpinan satuan lebih mengedepankan fungsi pengendalian yang memang menjadi hak atasan masingmasing. Cara ini memang paling ampuh sebagai model dalam menaklukan bawahan, karena otomatis bawahan akan terus ketakutan karena kasus korupsinya sudah ditangan Pimpinannya. Maka kedepan haruslah menjadi kesadaran bagi setiap elit TNI untuk tidak membiarkan hasil temuan jajaran Inspektoratnya tentang temuan

145 adanya tindak pidana korupsi dijajarannya, karena sikap yang demikian itu secara hokum akan menempatkan dirinya sebagai pihak yang terlibat pula dalam tindak pidana korupsi. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan etika keprajuritan kedepan adalah upaya menanamkan rasa senasib dan sepenangungan antara atasan dan bawahan. Rasa kebersamaan haruslah diwujudkan dalam tata kehidupan keseharian, terlebih dalam menghadapi kesulitan ekonomi akibat rendahnya penghasilan resmi prajurit TNI. Tidaklah tepat kalau begitu sulitnya prajurit bawahan dalam membiayai pendidikan anak-anaknya bahkan sekedar untuk membayar uang sekolah yang jumlahnya beberapa ratus ribu rupiah saja menempuh cara hutang ke Unit Simpan Pinjam Koperasi dikesatuannya, dengan angsuran potong gaji beberapa bulan, sementara pimpinannya dan terlebih elitnya hanya untuk satu kali olah raga dengan jumlah dana yang sama dan bahkan lebih dari jumlah itu justru hanya sekedar untuk olah raga tertentu. Lebih kontradiktif lagi manakala dana tersebut ternyata berasal dari anggaran resmi, yang oleh kesatuan kesatuannya dipertanggungjawaban bukan untuk olah raga. Sebagian lagi dibiayai oleh “rekanan” dalam arti pengusaha yang memang mendapat rezeki dari lingkungan TNI. Kesadaran bahwa masalah kesejahteraan adalah persoalan hari ini haruslah ditumbuh kembangkan, karenanya tidaklah wajar kalau bawahan diajak untuk terus menunggu sampai Pemerintah mampu menaikkan anggaran. Dengan demikian muncul keteladanan dari para elit, tentang pentingnya kesederhanaan dalam tata kehidupan keseharian untuk menumbuhkan kesamaan rasa dan sekaligus kebersamaan menjadi utama. Tidaklah elok kalau dilingkungan bawahan yang tiap hari harus membuang rasa malu dan berharap cemas kondektur bis atau Kereta Api tidak memintanya uang karcis, tidak jarang pula diantara bawahan memilih bergelantungan di truk angkutan barang, sementara itu pilihan mobil dinas untuk pejabat eselon tertentu dilingkungan TNI justru tergolong mobil memah. Pemahaman ini tidaklah berarti mereka yang duduk dalam elit TNI lantas harus miskin. Tidaklah wajar pula kalau mereka yang duduk di level elit TNI persoalan kesejahteraan termasuk soal perumahan dan apalagi jaminan sosial di hari tua setelah pensiun juga belum / tidak memperoleh kepastian. Sikap yang dibutuhkan saat menghadapi keterbatas anggaran yang diberikan Pemerintah adalah upaya menghentikan inefisiensi dan korupsi dalam bentuk yang terselubung sekalipun, dan dana hasil penghematan itu disubstitusikan untuk tunjangan yang bisa diterima secara merata bagi semua prajurit, walaupun

146 pengaturannya tetap saja harus mendasarkan pada golongan pangkat dan jabatan. Dengan demikian untuk kedepan model pengelolaan sumber daya

akan

melahirkan pula rasa keadilan bagi segenap prajurit TNI. Hal ini menjadi penting karena dalam tatanan organisasi yang baik persoalan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan termasuk didalamnya soal pengaturan karier, pangkat, jabatan dan juga logistik adalah persoalan majemen yang secara terukur dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka. Maka menjadi penting, untuk kedepan TNI segera merombak sejumlah sistem pembinaan yang ada, agar kedepan

tidak terlalu dominan

menempatkan urusan nasib dalam soal pangkat dan juga kesejahteraan. Melalui perubahan etika keprajuritan yang disesuaikan dengan tuntutan lingkungan hidup bawahan, niscaya akan melahirkan kebersamaan, dan sekaligus soliditas baik dalam lingkup kesatuan masing-masing, maupun dalam hubungan besar yaitu angkatan dan juga TNI secara keseluruhannya. Begitu pula soal kebanggaan prajurit yang perlu dikembangkan. Dengan memahami bahwa kodrat alam atas kehidupan akan senantiasa berpasang-pasangan dalam keseimbangan. Kehidupan peradaban bangsa dan kenegaraan yang diatur dengan sistem demokrasi juga mengandung dua sisi ke- hidupan yang saling berseberangan. Disatu sisi kehidupan kenegaraan dilaksanakan dengan pola dari bawah keatas (buttom-up) yang bercirikan kebebasan, kemerdekaan, debat, berargumentasi, beragam, dan berpegang pada fatsun dan hukum. Sisi pekerjaan yang demikian ini menjadi porsi dari kaum sipil. Dan model kehidupan tersebut biasa dikenal dengan istilah "supremasi sipil", dimana out put akhir yang akan diwujudkan adalah kesejahteraan rakyat. Dan disisi yang lain dalam mengatur kehidupan kenegara an juga dibutuhkan kekuatan yang bisa digunakan untuk menghancurkan musuh negara yang polanya "top-down" (dari atas kebawah) dengan ciri perintah, patuh, taat, tidak membantah, keras, tegas, kalau perlu kejam dan seragam. Pekerjaan yang demikian itu menjadi porsi militer, adapun output yang akan dihasilkan adalah hancurnya kekuatan lawan. Mana- kala kehidupan kenegaraan dalam kondisi normal, tapi menggunakan cara-cara yang demikian itu (umum menyebutnya dengan istilah "supremasi militer"), sudah barang tentu akan membuat keter- libatan militer menjadi sangat dominan. Sesungguhnya kedua sisi kehidupan tersebut, baik yang membangun ataupun yang menghancurkan tidak bisa dinilai secara terpisah satu persatu. Tidaklah tepat kalau salah satu dikategorikan sebagai yang baik dan satu lainnya lagi sebagai yang buruk.

147 Karena keduanya secara bersama-sama antara kanan dan kiri, "yin" dan "yang", gunung dan lembah, laki-laki dan perempuan dan seterusnya adalah sebuah pasangan disamping sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai sebuah kebajikan, kebaikan, keharmonisan, keindah- an dan sekaligus sebagai sebuah kebenaran. Ibarat tubuh manusia yang mempunyai darah merah yang mampu memberi makan dan mengedarkan oksigen dan sari makanan keseluruh tubuh tanpa kecuali, namun pada saat ia tak bisa berbuat apapun atas kehadiran kuman, bakteri ataupun virus yang menyerangnya, disanalah sang darah putih yang selama ini sembunyi kemudian tampil untuk menghancurkan segenap penyakit sebagai musuh. Penampilan darah putih yang demikian itu juga mengandung resiko hancurnya sebagian sel-sel bagian tertentu dari tubuh disekitar keberadaan sang penyakit. Keduanya sama-sama dibutuhkan, kedua nya sama-sama terhormat dan keduanya adalah kodrat, kebenaran, kebutuhan dan bahkan kewajiban agar manusia mampu menjaga eksistensinya guna menjalankan tugas hidupnya. Beranjak dari petunjuk dan tanda-tanda alam yang demikian itu, dalam mengatur sistem demokrasi tidak hanya sipil yang harus mendapat tempat yang terhormat, tapi tentara juga haruslah diposisikan tidak kalah terhormat dari pada kaum sipilnya. Sebagai mesin penghancur, tentara haruslah kuat, namun ia senantiasa sembunyi dan hanya tampil kalau diperlu- kan saja. Tidaklah akan pernah terjadi kalau bagian tubuh manusia tergores pisau akan mengeluarkan darah putih, niscaya darah yang menetes keluar adalah darah merah. Sebagai mesin penghancur yang handal sekali tampil ia harus mampu mengatasi persoalan dengan baik. Begitulah seharusnya tentara diatur, agar ia disegani, dihormati dan sekaligus disayangi, serta dikagumi dan dicintai oleh rakyatnya. Pada saat saat tertentu rakyat haruslah dibuat terpesona oleh penampilan tentaranya. Latihan-latihan yang penuh resiko bisa dipertonton kan kepada rakyat dengan ketakjuban. Dan sekali waktu ia ditampilkan dengan segala tanda kebesaran nya sehingga melahirkan rasa bangga dari rakyatnya. Disanalah maka tentara mempunyai banyak macam jenis pakaian seragam agar muncul kesan dan perasaan rakyat yang demikian itu. Adalah kekeliruan yang sangat mendasar kalau penampilan tentara yang ingin disuguhkan kepada rakyatnya sendiri dengan mengutamakan kesan menakutkan, angker, serem apalagi kejam. Karena paham yang demikian biasanya hidup dan berkembang pada militer Pemerintahan Kolonial agar rakyat jajahannya menjadi takut karena nya. Kesan yang demikian akan tepat pada saat TNI perang atau penanganan keadaan abnormal dalam menjalankan pemerintahan darurat militer,

148 sehingga benar-benar angker dimata lawan, tapi dibanggakan dan menjadi tumpuan harapan bagi rakyatnya. Dan karenanya pelaksanaan pemerintahan daruratpun sebaiknya benar-benar pemerintahan militer, bukan dicampur-campur dengan pemerintahan sipil. Dalam konteks kebanggaan, TNI kedepan perlu mengubah secara mendasar kebanggaan yang selama ini dikembangkan. Sebagai militer prestise kemiliter- an sebaiknya berupa penguasaan kemahiran dan ketrampilan olah keprajuritan, keahlian ataupun pengetahuan sesuai strata kepangkatan masing masing daripada aspek materi kebendaan seperti mobil mewah, motor gede, stick golf yang harganya mahal dan rumah pribadi yang berada dikawasan elit. Disanalah maka dalam kepangkatan kemiliteran untuk profesi tehnis kemiliteran diatur sampai jenjang pangkat kolonel, sedang yang diatasnya dengan pangkat Jenderal. Karenanya maka seorang jenderal dituntut kemampuan dan pengetahuan diatas masalah-masalah tehnis kemiliteran yaitu banyak hal tentang strategi perang, kemanusiaan, kehidupan sosial dan kenegaraan, serta perkembangan internasional utamanya yang terkait dengan geopolitik disamping keparipurnaan dalam kepemimpinan lapangan serta penonjolan dalam hal nurani dan rasa kemanusiaan. Hakekat Ancaman dan gelar TNI Dengan tetap menginduk pada tanda-tanda alam "darah merah dan darah putih" diatas, maka tentara haruslah tampil tepat pada waktunya yaitu manakala musuh datang menyerang kita. Andi Wijayanto dari Universitas Indonesia menyebutkan tiga strategi Pertahanan Nasional yang perlu dikembangkan tentara yaitu (1) penilaian potensi bentuk dan eskalasi konflik, (2) penilaian potensi ancaman, dan (3) penilaian kapabilitas pertahanan yang harus dikembangkan suatu negara73. Manajemen pertahanan yang dimaksud adalah dalam rangka menghadapi musuh dari luar tubuh kita dan sama sekali bukan kekuatan atau elemen dari bagian tubuh kita yang manapun. Memang sangat mungkin terjadi, karena persoalan internal tubuh kita menyebabkan tentara perlu turun tangan, namun keadaan yang demikian hanyalah digunakan mana- kala kehidupan sosial dan kenegaraan sudah tidak lagi normal (abnormal). Dalam perang "modern" kedatangan angkatan bersenjata musuh juga akan melalui pentahapan pengkondisian dalam negeri, dengan operasi intelejen 73

Andi Wijayanto, Transformasi Postur Pertahanan Indonesia, dalam Beni Sukadis, et al., Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI, (Jakarta: Friederich-Ebert Stiftung, 2005), hal. 44

149 mereka masuk kedalam kehidupan sosial bangsa kita. Menghadapi hal yang demikian, tidaklah berarti kemudian TNI kembali masuk kehampir seluruh aspek kehidupan sebagai-mana yang terjadi di era Orde Baru, tapi kinerja sistem politiklah yang harus menjamin mampu me- nangkal hadirnya infiltrasi kepentingan asing tersebut. Disanalah peran lembaga intelejen, Polisi dan lembaga sipil terkait lainnya harus dioptimalkan. Dan kalau toh itu gagal maka tampilnya TNI haruslah pada saat keadaan sudah tidak normal (abnormal) saja. Karena ada atau tidak infiltrasi kepentingan asing sesungguhnya dalam tata pergaulan internasional adalah hal yang wajar-wajar saja. Persoalan yang mendasar yang melatar belakangi terjadinya konflik dalam negeri termasuk yang berbentuk perlawanan bersenjata sekalipun seperti yang terjadi di Aceh dan Papua sesungguhnya murni masalah politik, karena nya juga haruslah diselesaikan dengan cara politik pula. Terjadinya penggunaan senjata oleh sebagian warga bangsa kita dalam memperjuangkan aspirasinya sesungguhnya bisa ditempatkan sebagai indikasi kuat kegagalan politisi sipil, sekaligus sebagai petunjuk adanya kesalahan dalam sistem pengelolaan politik kekuasaan dilingkungan sipil. Dan upaya menyeret TNI kedalam persoalan yang berasal dan berada diwilayah politik oleh kaum sipil apalagi yang ber- akibat jatuhnya korban diantara anak bangsa sendiri dapatlah dikategorikan sebagai kejahatan politik oleh politisi sipil. Namun kalau toh kondisi tersebut sudah terlanjur tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara politik, maka turun tangannya tentara untuk menghadapai bagian dari bangsanya sendiri hanyalah saat nyata-nyata keadaan diwilayah tersebut sudah tidak normal lagi. Disinilah pentingnya tentara juga harus berperan dalam mengeliminasi potensi perpecahan bangsa dan negara, dengan cara menumbuh- kan sebuah daya tangkal untuk mencegah munculnya niat dan kesempatan daerah tertentu untuk memisah- kan diri dari Republik Indonesia. Maka dalam penata an dislokasi kesatuan juga didasarkan pula pada kepentingan untuk mendatang kan daya tangkal tersebut, dengan pengertian tidak hanya disiapkan untuk menghadapi kedatangan invasi angkatan bersenjata asing semata, tapi juga harus mampu menghilangkan atau mengeliminasi potensi untuk memisahkan diri oleh daerah manapun, disamping juga mempertimbangkan untuk tugas-tugas untuk menjalankan Pemerintahan Darurat Militer. Tentara juga mempunyai tugas untuk tampil pada saat keadaan tidak normal lainnya yaitu pada saat terjadi musibah kemanusiaan ataupun bencana alam apalagi yang mengakibatkan lumpuhnya fungsi birokrasi sipil atau yang tidak mungkin ditangani oleh Pemerintahan sipil. Disanalah maka kita saksikan dimana bantuan dari

150 negara sahabat sewaktu terjadi "tsunami" di Aceh dan Sumatera Utara yang datang pertama kali adalah tentara mereka, karena paham yang demikian adalah universal. Baru kemudian belakangan disusul batuan dari kaum sipil yang tergabung dalam Palang Merah Internasional, LSM dan juga tenaga ahli/trampil dari kalangan sipil lainnya. Dalam keadaan damai dimana TNI tidak sedang menghadapi ancaman nyata, maka tugas TNI adalah latihan, latihan dan latihan. Tak ubahnya kesebelasan sepak bola peringkat dunia, saat tidak bertanding dalam kompetisi dunia, tak kurang dua kali setiap minggunya mereka berlatih dalam pertandingan putaran di "liga" nya masingmasing. Sehingga pada saat tampil dalam pertandingan yang sebenarnya, setiap penonton walaupun dengan membayar tiket yang mahal, mereka puas dengan penampilan kesebelasan paforitnya, walaupun ia tidak menduduki ranking paling atas sekalipun. Dengan mencontoh pada kesebelasan sepak bola tersebut, maka kehadiran TNI untuk melaksanakan tugas operasi militer haruslah menghadirkan keyakinan rakyat bahwa keadaan akan segera teratasi. Dengan demikian penampilannya sebagai mesin penghancur justru melahirkan optimisme bahwa keadaan segera dapat dikendalikan. Sudah barang tentu kekuatan mesin perang yang demikian ini haruslah disusul dengan eselon yang melaksanakan rehabilitasi yang biasa disebut sebagai "civic mission". Penugasan yang demikian ini juga harus menampilkan rasa kagum, bangga dan terima kasih dari rakyat, karena rakyat memang merasakan dengan sangat, atas bantuan yang diberikan oleh tentara. Struktur pengorganisasian TNI kedepan sebaiknya tidak disusun dalam bentuk kewilayahan, tapi benar-benar dalam bentuk satuan-satuan tempur hubungan besar menurut kerangka pembinaan matra angkatan masing-masing. Namun demikian tiap satuan sudah dipersiapkan untuk melaksanakan tugas pokok dalam wilayah tertentu, disamping sebagai cadangan bagi wilayah lainnya. Komando Operasi Gabungan mempunyai otoritas penuh dalam hal latihan bagi semua satuan-satuan yang tergabung dalam satu komando latihan. Latihan yang dimaksud adalah untuk menghadapi kontijensi yaitu gelar pertahanan dengan mengasumsikan hakekat ancaman yang bakal dihadapi. Dengan latihan semacam itu maka setiap kesatuan sudah mengenali secara sungguh-sungguh keadaan wilayah tertentu yang pada saatnya berubah menjadi mandala atau palagan pe- perangan yang sebenarnya, yaitu bila musuh sungguh-sungguh datang. Dengan kata lain susunan TNI kedepan diatur berdasarkan organisasi tempur. TNI kedepan juga tidak dilibatkan dalam urusan diluar

151 latihan termasuk pengamanan dan penjagaan kekaya- an alam secara langsung, apalagi untuk penjagaan perusahaan-perusahaan asing, karena hal yang demikian maksimal dikerjakan oleh Polisi. Dengan pengorganisasian, pengaturan fungsi dan kewenangan yang demikian itu maka tidak akan ada lagi operasi militer yang bisa dilaksanakan oleh satuan bawah yang manapun, tanpa perintah Presiden. Disana nanti sistem pengaturan TNI otomatis menjamin tidak akan pernah terjadi lagi kasus penculikan, pembunuh an ataupun tindak kekerasan lainnya terhadap siapapun baik warga negara sendiri maupun asing yang dikerjakan oleh satuan TNI yang manapun. Wajib Militer dan Redislokasi Pasukan TNI Untuk membuat rakyat kagum namun sekaligus mencintai TNI bukanlah dengan model TNI berbaur secara phisik dalam keseharian, karena hal yang demikian justru membikin sejumlah kelemahan lembaga ataupun pribadi prajurit TNI diketahui secara terang benderang oleh kaum sipil. Program wajib militer juga perlu digalakkan. Program wajib militer adalah bagian dari sistem demokrasi, karena cara ini adalah wujud dari paham rakyat bertanggung jawab terhadap negara. Dan ini berbeda pada sistem otoriter, karena pelibatan rakyat dalam kaitan tugas-tugas ketentaraan dilaksanakan dengan mobilisasi. Dengan wajib militer maka secara tidak langsung TNI telah menyebar "agen" atau tunas-tunas bangsa yang bangga terhadap TNI. Hal yang demikian itu sangat menguntungkan dalam upaya membangkitkan kecintaan rakyat terhadap TNI. Makin banyak “agen” yang bisa menjelaskan kepada rakyat, sudah barang tentu akan semakin baik. Kekhawatiran terhadap bocornya informasi ketentaraan dalam program wajib militer juga tidak perlu dirisaukan, karena mereka yang menjalankan wajib militer hanyalah tahu bagian atau segmen kecil dari permasalahan ketentaraan yang begitu kompleks. Sebagaimana yang dicontohkan oleh darah putih yang hanya tampil kalau diperlukan dan selesai tugas darah putih pun kembali bersembunyi. Oleh karena itu kedepan tentara kita juga jangan disebar berada dimana-mana dalam hubungan kecil tanpa meng hitung kepentingan strategi pertahanan secara menyeluruh. Terhadap kebutuhan perbantuan kepada Polisi dan Pemerintah Daerah diluar masalah kemanusiaan secara bertahap sebaiknya diakhiri, karena tugas yang demikian itu bukanlah tugas TNI tapi sepenuhnya menjadi tugas Polisi dan Pemerintahan Daerah, kecuali keadaan sudah tidak normal lagi maka TNI tampil mengambil alih. Mekanisme pelibatan TNI yang demikian diatur dalam UU Keadaan Darurat yang

152 keputusan akhirnya berada ditangan Presiden selaku Kepala Negara. Agar TNI tidak terlambat tampil atau ditampilkan untuk mengatasi keadaan, maka pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang didasarkan pada Undang-Undang Keamanan Nasional menjadi salah satu alternatif sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh banyak negara. Dari sisi inilah maka penyusunan dislokasi TNI tidak hanya atas dasar pertimbangan kepentingan pertahanan negara semata, tapi juga didasarkan pada perhitungan kemungkinan tampilnya TNI dalam keadaan darurat didaerah dimana markas-markas TNI berada dan juga sekitarnya. Dalam arti harus mempertimbangkan pula kebutuhan angkutan dalam pergeseran pasukan baik lewat darat, laut maupun udara untuk terlaksananya tugas tersebut di bagian wilayah republik yang manapun. Konsentrasi pasukan TNI yang saat ini lebih terpusat di pula Jawa sama sekali tidak realistis dan juga tidak terkait dengan kepentingan upaya pertahanan Negara, oleh karena itu secara bertahap perlu diredislokasi. Sedang besar kecilnya jumlah pasukan yang ada pada suatu daerah, sangat ditentukan oleh model sistem pertahanan yang akan di terapkan. Dengan mempertimbangkan sebagai negara kepulauan, menjadi sangat tepat kalau untuk matra darat dititik beratkan pada sistem pertahanan pulau-pulau besar. Sedang untuk AL dan AU sudah barang tentu lebih dilandasi oleh kebutuhan strategis dan juga taktis dalam menghadapi bakal lawan, sekaligus tugastugas routine dalam menjaga kedaulatan wilayah dari upaya pihak asing yang masuk kewilayah laut Indonesia. Namun demikian keberadaan pasukan di daerah tertentu haruslah dengan dipilah menurut matra, dan kecabangan yang ada dimasing-masing matra angkatan. Sehingga tidak terjadi pada wilayah pulau atau provinsi tertentu terakumulasi pasukan yang mempunyai seluruh fungsi-fungsi militer. Kedepan perlu menempakan pasukan dari kecabangan tempur tertentu matra darat dalam hubungan besar pada wilayah Provinsi tertentu, khususnya yang mempunyai potensi konflik tinggi yang dilengkapi dengan daerah latihan dan juga pemukiman dan kota militer. Dan begitu seterusnya dalam satu provinsi tersebut tidak boleh terdapat konsentrasi pasukan secara lengkap dari semua kecabangan dari salah satu matra angkatan dan apalagi seluruh kecabangan dari gabungan ketiga matra angkatan. Karena hal yang demikian sangatlah merangsang munculnya niat untuk mempengaruhi pimpinan kesatuan TNI yang berada di provinsi atau pulau tersebut untuk mendukung upaya memisahkan diri dari Republik Indonesia. Dan sebaliknya dengan pemilahan konsentrasi pasukan berdasarkan kecabangan dan matra tertentu saja, akan membuat

153 tentara yang berada disuatu wilayah tersebut sebesar apapun kekuatannya tidak akan mampu menjalankan fungsi militer secara utuh. Provinsi yang ketempatan Infantri tidak boleh dilengkapi dengan kecabangan Bantuan Tempur seperti Kavaleri dan atau Armed. Untuk provinsi yang ketempatan Kavaleri tidak boleh dilengkapi dengan kecabangan lain, dan seterusnya bagi yang menonjol kuat matra daratnya tidak boleh digabung dengan matra udara. Sedang yang menonjol matra laut jangan diperkuat dengan matra udara, dan yang menonjol matra udara jangan diperkuat dengan matra darat, sehingga masing-masing punya keunggul- an dan masing-masing juga punya kelemahan sekaligus. Dengan demikian munculnya kemungkinan interelasi antara bagian TNI dengan politisi sipil tidak akan melahirkan pemberontakan bersenjata dari bagian TNI yang manapun. Begitu pula gelar TNI-AL dan AU kedepan haruslah ditata dengan orientasi untuk menghadapi datangnya musuh pada wilayah yang begitu terbuka. Wilayah laut yang terbentang antara pulau Sumatra dan Kalimantan, Kalimantan dengan Sulawesi, Sulawesi dengan Maluku, dan Maluku dengan Irian, serta Irian dengan NTT mutlak diperkuat oleh matra laut yang diback up oleh matra udara. Dalam kaitan ini memang pembangunan secara besar-besaran matra laut yang diikuti oleh matra udara dalam waktu dekat perlu menjadi prioritas karena hal yang demikian memang merupakan konsekwensi logis dari keberadaan kita sebagai negara maritim. Dengan kata lain kedepan kita perlu mengganti madzab konsep pertahanan dari konsep pertahanan negara kepulauan yang titik beratnya pada pertahanan darat, menjadi konsep pertahanan yang orientasinya adalah sebagai negara maritim dengan penonjolan pada kekuatan TNI-AL yang diback-up oleh kekuatan TNI-AU, dengan tetap membangun TNI AD untuk lebih kuat lagi. Begitu pula keberadaan Pusat Pendidikan (Pusdik) dan Lembaga Pendidikan (Lemdik) yang selama ini terkonsentrasi didalam pulau Jawa, akan lebih tepat kalau disebar kesetiap Provinsi secara merata dengan dilengkapi dengan fasilitas latihan, sarana dan prasarana pendidikan termasuk daerah latihan yang memadai dan sekaligus perumahan prajurit yang mencukupi serta layak, dalam sebuah design kota tentara. Dengan penyebaran tentara yang demikian, maka kerawanan munculnya potensi bagi daerah tertentu untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia otomatis akan mengecil dan pada saatnya akan sirna. Apalagi kalau didukung kebijakan silang antar pulau dalam rekruitmen prajurit TNI, dimana produk Pusdik dan Lemdik yang berada di daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar seperti Jawa dan Sumatra dikirim

154 secara proporsional keluar Jawa dan Sumatera, dan secara proporsional pula untuk sebaliknya. Dampak positip yang akan terjadi adalah perkawinan silang antar suku oleh prajurit TNI dalam jumlah yang cukup besar. Kelak pada dua puluh tahun kemudian akan tampil pemuda-pemudi basil kawin campur antar suku, yang dampak ikutannya akan memperkokoh ke Indonesia an kita dimasa depan. Begitu pula dampak sosial ekonomi yang bakal ditimbulkan akibat redislokasi pasukan TNI yang menyebar secara proporsional pada setiap provinsi dan pulau besar, otomatis akan mem bangkitkan perputaran roda ekonomi di daerah yang sangat berarti dalam mendukung kebijakan otonomi daerah. Terlebih kalau dibarengi dengan perubahan sistem logistik yang didesentralisasi, dengan demikian maka akan terjadi pertumbuhan sektor swasta disekitar markas-markas TNI. Yang jelas dengan redislokasi pasukan TNI yang demikian itu dapat dijadikan pijakan untuk menata ulang konsep otonomi daerah. Kekhawatiren munculnya potensi untuk memisahkan dari NKRI akibat otonomi daerah bila diberikan pada tingkat provinsi menjadi tidak beralasan. Dengan otonomi daerah diberikan pada tingkat provinsi, maka kemampuan untuk mandiri (swakelola) bagi masing-masing daerah otonom obyektifitasnya bisa dipertanggung jawabkan. Karena pada tingkat provinsi potensi untuk saling menunjang diantara daerah kabupaten dalam satu wilayah otonomi dan besarnya potensi untuk menggali PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan lmemungkin kan untuk swakelola. Reaktualisasi Nasionalisme TNI Saat ini bangsa sedang dilanda keterpurukan, reformasi yang didahului dan disertai jatuhnya korban sesama anak bangsa nampaknya mengalami kemandegan. Sebagian Elit Politik yang ada lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk saling menjatuhkan "lawan" nya, tanpa berpikir panjang dampak ikutan yang bakal ditimbulkannya. Pada saat yang sama lembaga-lembaga Pemerintahan Negara sepertinya telah kehilangan otoritasnya, seolah tak berdaya merespon dinamika politik yang ada. Banyak pihak sepertinya tak peduli atas besarnya pinjaman nasional yang konon mencapai

US

$.

419,7

Milyard

dengan

kurs

Rp,9000,-/US$

alias

Rp.3.777.300.000.000.000,- (Tiga Ribu Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh Triliun Tiga Tatus Milyard Rupiah). Padahal dengan kemampuan nasional yang begitu terbatas dalam mengembalikan pinjaman dan kebutuhan tambahan pinjaman baru dari

155 Pemerintah pada tahun-tahun mendatang, niscaya sebagai bangsa kita baru mampu melunasinya dalam ratusan tahun kedepan atau bahkan hampir tidak mungkin mampu melunasinya. Dalam kondisi yang seperti itu tidak mustahil pada saatnya kelak pihak-pihak tertentu dengan mudahnya dapat memaksakan kehendaknya terhadap kebijakan nasional kita. Dan bila semua itu terjadi, maka kelak generasi penerus kita otomatis akan kehilangan kedaulatannya yang dulu direbut oleh para pendahulunya dari tangan penjajah dengan perjuangan yang begitu panjang dan dengan pengorbanan jiwa-raga dan harta yang tak ternilai besarnya. Barangkali sebagai bangsa kita perlu curiga adanya upaya dari pihak-pihak tertentu termasuk dari sesama anak bangsa yang saat ini tengah berusaha untuk melaksanakan penjajahan dengan bentuk dan model nya yang baru. Padahal “penjajahan modern” justru jauh lebih berbahaya dari pada penjajahan phisik. Bila dahulu dalam penjajahan phisik, para pejuang kemerdekaan dengan mudahnya mengenali siapa kawan dan siapa lawan. Tapi dalam penjajahan modern kita tidak bisa lagi mengenali lawan dengan pasti. Jatuhnya korban diantara anak bangsa ditempuh dengan menciptakan berbagai macam kekerasan dan gejolak / kerusuhan sosial yang dibiayai dengan uangnya. Dan yang lebih menyedihkan lagi kalau saja uang yang dipakainya adalah dana pinjaman yang di KKN yang menjadi beban generasi penerus untuk mengembalikannya. Barangkali itulah garnbaran yang sedang melingkupi bangsa kita, kiranya wajar kalau banyak pihak kemudian meneriakan bahwa peradaban bangsa ini tengah berada diambang pintu kehancuran. Pokok persoalan yang muncul adalah haruskah TNI yang jati diri nya sebagai Tentara Pejuang, Tentara Rakyat dan Tentara Nasional terus berdiam diri, tak peduli nasib bangsa dan negaranya yang terus terpuruk. Haruskah TNI terus diam seolah tidak mau tahu dan masa bodoh terhadap hari depan anak cucunya yang akan kehilangan kedaulatan, derajat. martabat dan harga dirinya akibat tidak mampu bayar pinjaman yang begitu besar yang dibuat generasi sebelumnya. TNI saat ini memang sedang di gugat nasionalismenya. Karenanya tidaklah benar kalau TNI membiarkan begitu saja sebuah proses dekonstruksi atas diri bangsa dan negaranya terus berlanjut. Sudah barang tentu untuk masa kekinian dalam meng implementasikan komitmen kebangsaan nya TNI tidaklah dengan serta merta tampil bak negara dalam negara. Maka peran yang paling mungkin dimainkan TNI adalah menjaganya, bagaikan pagar yang mampu menepis musuh yang datang dari luar, dan juga mampu menjaga agar segala masalah yang timbul dalam diri anak

156 bangsa tetap dalam bingkai Indonesia. Dimungkinkan adanya gejala dalam diri anak bangsa yang bisa berdampak fatal terhadap kelanjutan eksistensi bangsa dan negara, ataupun dalam kadar yang lebih rendah yaitu hilangnya kedaulatan rakyat, ataupun munculnya penjajahan oleh sesama anak bangsa, maka peran TNI kedepan bukanlah secara phisik turun tangan dengan mengerahkan mesin perang. TNI sebagai “iterest group” melalui pemikiran dan juga pengaruhnya terhadap birokrasi sipil, bisa memberikan solusi agar tatanan sipil untuk segera bisa bekerja sebagaimana mestinya. Sepanjang TNI mampu melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan, maka jangankan pemikiran TNI tidak didengar oleh kaum sipil, sedang lirikan dan atau muka yang cemberut dari TNI pun akan sangat di atensi oleh kaum sipil. Bukankah yang dituntut dari TNI sekedar perumusan solusi pemecahan masalah dalam bentuk konsep dan sikap politik TNI dalam artian apa-apa yang telah dikerjakan oleh TNI dapat dicontoh oleh komponen lainnya, dan apalagi kalau

bisa diadopsi sebagai kebijakan nasional. Disanalah pentingnya TNI

tampil sebagai agen perubahan, dengan mendahului melaksanakan komitmen tertentu dijajarannya. Dengan tampil sebagai agen terdepan dalam pemberantasan korupsi umpamanya, niscaya upaya pemerintah dalam memberantas korupsi akan berjalan

dengan

optimal.

Karena

logika

publik

menyimpulkan,

kalau

pemberantasan korupsi dijajaran TNI sendiri begitu masifnya, apalagi untuk dilingkungan sipil. Skrening kekayaan pejabat TNI mungkin sebaiknya diwajibkan bagi pejabat dilingkungan TNI, dan kemudian ditampilkan sebagai percontohan bagi lingkungan Pemerintahan sipil. Dengan cara yang demikian itu, bisa jadi kaum sipil akan menirunya bahkan melebihi dari apa yang dilaksanakan TNI. Bisa jadi ditingkat nasional

terimbas model sejumlah Negara yang

menempuh cara skrening bagi pejabat tinggi negaranya. Bagi mereka yang berindikasi terlibat KKN selanjutnya ditempuh proses hukum. Dan hasilnya diumumkan oleh negara dalam bentuk bersih lingkungan dalam kaitan KKN. Menjadi sangat wajar kalau kelak akan berkembang juga model Skrening untuk menghitung kembali berapa dana pinjaman terlebih yang berasal dari luar negeri yang benar-benar diinvestasikan, dan berapa dana yang di KKN. Dengan demikian anak cucu kita dibebaskan untuk menanggung peninggalan pinjaman yang nyatanyata di KKN. Bila model tersebut ditempuh, akan lebih tepat lagi kalau pihak kreditor dilibatkan dalam proses audit dan pelacakan kemanapun dana tersebut

157 dialirkan, serta penyelesaian hukum atas dana yang diselewengkan. Karena mereka juga harus bertanggung jawab atas pengucuran pinjaman yang begitu besar kepada rezim yang mereka ketahui dari awal dengan pasti sebagai rezim yang korup. Bagitu pula dalam upaya bangsa ini mengakhiri dendam masa lalu, maka mendahului lahirnya badan yang menangani Rekonsiliasi Nasional sebuah proses islah dengan para korban dimasa lalu perlu dikerjakan terlebih dahulu oleh TNI. Memang betul secara parsial telah dilaksanakan islah antara korban dan atau ahli waris korban dengan TNI, tapi bukan oleh TNI sebagai lembaga. Yang terjadi adalah proses islah antara individu pimpinan TNI dengan korban dan atau ahli waris korban. Disanalah maka persoalan islah tidak pernah tuntas, karena cara yang ditempuh tidak konseptual untuk bisa permanen. TNI tidak perlu takut dianggap melanggar HAM, karena pelibatan TNI dalam bentuk pengerahan pasukan dimasa lalu adalah syah secara hukum. Dalam kaitan ini sepanjang ada keterbukaan dari TNI dipastikan akan didukung oleh segenap komponen bangsa dan masyarakat umum, kecuali mereka yang memang ingin persoalan masa lalu terus membelit bangsa kita, khususnya membelit TNI demi tujuan tertentu. Dengan programprogram aksi yang seperti itu, maka otomatis akan memperlancar program yang sejenis pada tataran nasional. Bisa saja TNI melempar gagasan agar Presiden diberi mandat oleh rakyat menyelesaikan tanggung jawab masa lalu. Dalam kaitan berdemokrasi yang benar, mandat tersebut bisa ditempuh dengan melaksanakan referendum dengan tanya kepada rakyat secara langsung. Sehingga Pemerintahan kita kedepan tidak terus diributkan oleh banyak hal peninggalan masa lalu. Adalah sebuah ke naif an yang luar biasa kalau kita bicara masa depan, tanpa mau tahu masa lampau kita yang memang penuh cacat, luka dan duka. Kecuali kita memang secara sadar untuk terus memeliharanya, sekedar demi kepentingan sesaat. Dengan cara-cara yang demikian itu maka dukungan sosiologis terhadap TNI dengan mudah dibangun, karena rakyat meyakini bahwa apa yang dikerjakan TNI bukan untuk rebutan kekuasaan, tapi semata-mata untuk kepentingan nasib serta masa depan bangsa dan negara.

158

Bab Ketujuh

KESIMPULAN Kalau saja sebagai bangsa mau mengambil hikmah dari perjalanan sejarahnya selama enam puluh tahun yang terus dirundung malang dengan korban jatuhnya jiwa dan biaya politik yang tidak kecil, sesungguhnya masalah bangkitnya peradaban bangsa sekaligus dengan kejayaannya dalam waktu dekat ini bukanlah hal mustahil. Karena penampilan buruk yang ada pada diri bangsa sesungguhnya lebih disebabkan oleh kinerja sistem kenegaraan itu sendiri. Memang betul ada kerusakan

pada

kejiwaan bangsa, namun demikian bukanlah pada mayoritas warga bangsa, melainkan hanya pada sejumlah kecil dari bagian anak bangsa yang kebetulan menguasai sendisendi kehidupan orang banyak, utumanya yang memegang kekuasaan negara. Belum disusunnya sistem kenegaraan yang menjamin terwujudnya demokrasi dengan benar, membuat munculnya peluang yang begitu besar untuk terjadinya pelanggaran HAM dan penyalah gunaan wewenang/ kekuasaan oleh aparatur negara terlebih masalah korupsi. Dengan kata lain terjadinya korupsi bukanlah karena semata-mata kerusakan moral, hilangnya nurani dan persoalan gaji yang kecil belaka, tapi lebih karena sistem kenegaraanya itu sendiri yang memang korup. Sistem kenegaraan yang demikian itu juga tidak bisa lepas dari konsep politik yang dikandung oleh UUD 1945 yang memang rawan untuk terjadinya deviasi dalam penerapannya. Disisi lain juga disebabkan oleh sikap inkonsistensi dari UUD kita dalam menerapkan kaidah, norma dan prinsip dasar dari demokrasi yang dicampur adukkan dengan nilai yang berasal paham otoriter dan juga penggunaan instrumen sistem parlementer kedalam sistem demokrasi presidensial. Sehingga menjadi wajar kalau penampilan sistem kenegaraan yang ada belum bisa mewujudkan misi sucinya, termasuk setelah UUD-45 diamandemen.

159 Sangat disayangkan selama ini bangsa kita belum sampai pada kesadaran bersama bahwa sistem kenegaraan yang ada belum memenuhi azas obyektifitas, rasionalitas, validitas dan juga teruji kebenarannya dalam praktek minimal secara empirik oleh bangsa-bangsa lain. Maka jatuhnya korban diantara anak bangsa akibat petaka kemanusiaan, hancurnya derajat dan martabat dalam tata pergaulan dunia, dan terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang terjadi diawal Orde Baru dan terlebih pada pasca jatuhnya Suharto belum melahirkan justifikasi bahwa sistem kenegaraan yang ada telah gagal dalam mengemban misi sucinya. Dihadapkan pada semua persoalan yang ada, maka yang terpenting bagi bangsa kita saat ini adalah tumbuhnya kesadaran publik yang dimulai dari kaum elitnya tentang pentingnya perumusan ulang UUD untuk menggantikan UUD yang ada saat ini. Dengan demikian kedepan UUD kita bebas dari tirani dan menjamin adanya kesetaraan, serta benar-benar memuat rancang bangun serta mekanisme sistem kenegaraan yang demokratis. Sudah barang tentu UUD yang demikian juga memuat kaidah-kaidah demokrasi yang jelas dan tegas termasuk pengaturan hak-hak warga negara dan kwajiban-kwajiban Negara secara detail. Sehingga ia mampu menjamin ditegakkannya HAM, tidak terjadinya penyalahgunan kekuasaan dan wewenang utamanya korupsi oleh aparatur Negara yang manapun. Setidaknya soal korupsi dijamin dapat dieliminasi secara optimal oleh sistem kenegaraan yang kelak kita sepakati. Sejumlah kerawanan utamanya yang bersumber pada budaya bangsa juga melingkupi kita, namun sisa sisa rasa ikatan (kohesifness) ke Indonesia an masih cukup kuat untuk kita menata kembali kehidupan dalam kerangka Indonesia yang satu. Maka yang terpenting bagi bangsa ini adalah bagaimana kedepan bangsa ini segera menata ulang sistem kenegaraan dengan merumuskan yang baru sekalipun. Sistem kenegaraan kita haruslah sungguh-sungguh konsisten dan konsekwen menerapkan nilai-nilai universal yang nyata-nyata terbukti mampu menjamin sebuah negara akan berhasil menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta mampu menghadirkan kebanggaan dalam ber Indonesia bagi segenap warga bangsa tanpa kecuali. Karena kita bersepakat memilih demokrasi, maka kedepan dalam menusun sistem kenegaraan kita harus secara sadar mengeliminasi nilai-nilai yang berasal dari luar faham demokrasi dan apalagi yang dampaknya bisa merusak demokrasi itu sendiri. Kedepan kaidah, norma dan prinsip dasar dari model demokasi yang dipilihnya yaitu sistem presidensial juga harus dipedomani secara benar dan

160 kosisten serta konsekwen. Tidaklah benar kalau kita secara sengaja mencampur adukkan antara instrumen sistem presidensial dengan parlementer apalagi tanpa memberi back up sistem agar keduanya tidak saling mengancurkan kekuatannya masing-masing. Untuk itu proses amandemen yang akan datang semestinya dimulai dari merumuskan kembali soal kejiwaan yang akan digunakan dalam membangun sistem kenegaraan dan pola dasar (rancang bangun) sistem politik nasional terlebih dahulu. Konsep sistem kenegaraan tersebut haruslah benar-benar teruji obyekfitas, rasionalitas dan validitasnya terlebih dahulu, serta pembuktian kebenarannya minimal secara empirik oleh bangsa-bangsa lain. Sehingga kedepan bangsa yang jumlahnya lebih dari 200 jutaorang ini tidak lagi dijadikan obyek uji coba dari sebuah hipothesa dari rumusan sistem kenegaraan yang hanya melandaskan pada aturan "quorum" dan suara mayoritas semata. Hanya dengan kesadaran tersebutlah, kedepan kita akan mempunyai sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis, karena didalamnya mengejawantahkan nilai-nilai universal yang dikandung oleh paham demokrasi antara lain bebas dari tirani, kesetaraan, kedaulatan ditangan rakyat, "chek and balance", "supremasi sipil", transparansi, jujur dan adil, efisiensi, dan pemisahan secara tegas antara jabatan politik dengan jabatan karier. Bangunan sistem politik kedepan juga harus dirancang agar segala perbedaan dan konflik dalam dinamika pengelolaan Negara diposisikan pada strata operasional yang menjadi wilayah politik pemerintahan siapapun Presiden terpilihnya dan dari partai yang manapun. Sehingga “gejolak” yang terjadi dalam tubuh bangsa apapun bentuknya senantiasa akan tetap dalam wadah yang satu yaitu Republik Indonesia. Dari sebuah sistem kenegaraan yang nyata-nyata gagal dan telah melahirkan kondisi keterpurukan yang berlarut, sangatlah mustahil kalau dirinya akan mampu memperbaiki dirinya. Pengalaman sejumlah negara sahabat yang berhasil keluar dari krisis nasionalnya dan kemudian membangun peradabannya yang baru juga dimulai dengan perubahan sistem kenegraannya terlebih dahulu. Namun demikian untuk mengubah sistem kenegaraan yang ada dibutuhkan kepemimpinan yang kuat yang bisa menepis kekuatan yang manapun yang akan terus mencoba mempertahan sistem yang lama. Ia juga pemimpin yang tidak terkungkung oleh madzab berpikir lama, dan yang pasti bisa memahami akar masalah yang dihadapi bangsanya. Karenya dipersyaratkan untuk mampu memisahkan tanggung jawab masa lalu dengan tanggung jawab masa depan, melalui sebuah proses rekonsiliasi nasional. Disamping itu ia juga dipersyaratkan mempunyai visi kenegaraan baru yang didasarkan pada

161 nilai-nilai universal dan yang secara common sence bisa dipahami sebagai kebenaran umum. Pemimpin yang demikian itu, bisa lahir karena keyakinan diri tentang pentingnya perubahan secara fundamental dari sistem kenegaraan yang ada saat ini, atau kelak lahir melalui proses panjang karena sebuah keterpaksaan akibat tekanan keadaan. Oleh karena itu semua pihak yang peduli tehadap kelanjutan eksistensi dan nasib serta masa depan bangsa dan negara perlu mengembangkan dialog dan pencerahan publik tentang kebutuhan adanya perubahan sistem kenegaraan. Sehingga pada saatnya lahir kesadaran publik untuk merumuskan UUD yang baru. Dengan demikian soal keputusan Negara untuk melaksanakan enginering politik guna membentuk sebuah Badan Perumus UUD Baru hanyalah persoalan waktu belaka. Karena proses perubahan itu sendiri dilakukan dengan terukur, maka masa transisinya pun otomatis akan terkontrol oleh Negara. Kesadaran pentingnya perumusan UUD Baru diawal sebuah perubahan yang fundamental baik dalam kategori

revolusi ataupun reformasi bukanlah sebuah hiphotesa yang masih

memerlukan pembuktian kebenarannya, tapi afeksi yang nyata-nyata telah dilaksanakan oleh banyak sekali bangsa dan Negara yang jatuh dalam krisis nasional kemudian bangkit membangun peradabannya yang baru. Sejalan dengan penataan demokrasi, maka TNI pun harus ditata ulang sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dari sistem kenegaraan yang berdasarkan paham demokrasi dengan sistem presidensial. Penataan TNI yang demikian itu sesungguhnya kebutuhan bangsa, karena TNI sejak kelahirannya memang belum dirancang dalam sebuah "blue print" sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem kenegaraan secara keseluruhan. TNI memang bukan bentukan pemerintah, ia tumbuh dan berkembang lebih dikarenakan tuntutan perjuangan serta dinamika perjalanan bangsanya. Penataan TNI yang demikian itu haruslah didahului dengan perubahan paradigma, visi dan misi TNI, sehingga kedepan bangsa ini bisa menumbuh kembangkan "supremasi sipil" sekaligus mampu membebaskan TNI dari segala persoalan politik praktis. Dengan tatanan yang menempatkan TNI hanya sebagai alat negara dengan "core bisnis"nya pada fungsi pertahanan negara, niscaya akan menjamin tidak akan terulang lagi keterlibatan TNI dalam dinamika politik dengan bentuk apapun. Dengan kedudukan TNI hanya dibawah Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI serta wewenang komando operasional juga hanya dipegang oleh Presiden, maka segala kelemahan dan sisi gelap perjalanan sejarah TNI dimasa lalu tidak akan terulang lagi. Pimpinan TNI dipegang oleh Seorang Kepala Staf Gabungan

162 yang akan beralih menjadi Panglima TNI manakala keadaan sudah benar-benar membutuhkannya. Kepala Staf Gabungan membawahi ketiga Kepala Staf Angkatan, dan Komando-komando Gabungan ditingkat operasional. Dalam pengurusan anggaran Kepala Staf Gabungan dibawah kordinasi Menhan. Adapun tugas TNI dimasa damai adalah latihan dan membantu penduduk yang sedang dilanda musibah kemanusiaan, serta tugas-tugas lain yang tidak mungkin lagi ditangani dengan cara-cara normal oleh pemerintahan sipil termasuk oleh polisi. Adapun politik TNI kedepan bukan lagi politik Negara, tapi politik pertahanan Negara. Gelar TNI juga perlu diatur untuk mendatangkan daya tangkal bagi daerah manapun yang mempunyai potensi untuk memisahkan diri dari

Republik Indonesia. Dengan

pengaturan yang demikian, kedepan tidak ada lagi kebijakan satuan bawah yang tidak ada kaitannya dengan tugas pokok TNI yang bisa mengakibatkan jatuhnya korban terlebih bagi anak bangsa nya sendiri. Dengan sistem kenegaraan yang baru sebagaimana uraian diatas, Bangsa Indonesia akan segera tampil tidak hanya sebagai Negara yang demokratis yang kuat dari semua aspek kehidupan, karena tingkat stabilitas politiknya yang tinggi namun responsif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berkembang. Kedepan kita juga akan mempunyai TNI yang kuat sehingga diperhitungkan oleh segenap Negara sahabat. Dan dari sanalah kita akan membangun peradaban yang baru dalam kerangka Indonesia yang satu untuk selamanya.

Daftar Pustaka Almond, Gabriel A., A Discripline Divided: School and Sect in Political Science (sage, 1990) Anderson, Benedict, Imagined Communities:

163 Reflections on the Origins and Spread Nationalism (Verso, 1983). Apter, David E.1977.Introduction to Political Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, Jakarta: LP3ES.1988 Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah. Jakarta: Al-Kautsar.1998 Azzelini, Dario dan Boris Kanzleiter (Eds.). La Empresa Guerra, Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, terjemahan Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2005 Ball, Terrence & Richard Dagger. Political Ideologies and the Democratic Ideal. New York: Harper Collins Publishers.1991 Clapham, C, and Philip G., (eds),

The Political Dilemmas of Military Regimes

(Croom Helm, 1985). Connoly, William J. How Low Can You Go? State Campaign Contribution limits and The Frist Amandment , Boston University Law Review No 76, tahun 1996 Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, Jakarta: 2004 Easton, David, A System Analysis of Political Life (John Wiley, 1965). -----------------, "The Political System be sieged by the State", Political Theory (9), August 1981. Edmons, Martin, Armed Services and Society (Westview, 1984). Elson, R.E. Suharto, Sebuah Biografi politik, 2001, terjemahan Indonesia, Jakarta: Minda Utama. 2005 Ebenstein, William. 1985. Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, Jakarta: Erlangga. 1994 ____________________________________.

The Great Political Thinkers, New York, Toronto,

Chicago, San Fransisco: Holt, Rinehart and Winston.1960 Finer, Samuel E., The Man on Horseback: The Role of Military in Politics (Preager, 1962). Fic, Victor M. Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965, Edisi Kedua Diterbitkan di Indonesia dalam bahasa Inggris. Jakarta: Obor, 2005 Hermant, Daniel, "Coups de 1'Etat et Coups d'Etat", Etudes Polemologioues (41), 1987. Fishkin, James S. Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories. Baltimore: John Hopkins University Press, 1979 Gumelar, Agum. Pokok-Pokok Pikiran Visi dan Agenda Reformasi Menuju Masyarakat Indonesia Baru, dalam St Sularto (editor), Visi Dan Agenda Reformasi Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Yogyakarta: Kanisius.: 1999

164 Hernandez, Carolina G., "The Dilemmas of the Military in a Period of Democratic Transition" dalam F. Garcia and E.L. Gutierrez (eds), Back to the Barracks: The Military in Democratic Transition (NIPS, 1992). Horowitz, Louis I., "Militarization, Mod ernization and Mobilization: Third World Development Patterns Reexamined" dalam K. Fidel (ed).,

Millitarism in

Developing Countries (Trans action, 1975) -----------, Beyond Empire and Revolution:

Militarization and Consolidation in

the Third World (Oxford University Press, 1992). Huntington, Samuel P. The Third Wave of Democratization. New York: 1995 _________. The Soldier and the State. Harvard University Press. 1959. _________. Political Order in Changing Societies, terjemahan Sahat Simamora dan Suryatim, Jakarta: Grafindo Persada. 2003 Haynes, Jeff. 1997. Democracy and Civil Society in Third World Politics and New Political Movement, terjemahan P. Soemitro, Jakarta: Obor.2000 Hargens, Boni. Kebangkrutan Agama dan Politik. Jakarta: Gendhis. 2005 ____________. Korporatisme dalam Kasus Koesmayadi. Harian Koran Tempo tanggal 12 Juli 2006 ___________________________.

Efek Kontraproduktif Reformasi TNI. Harian Seputar Indonesia

tanggal 18 Juli 2006 _________.Hak Pilih TNI dan Masa Depan Demokrasi. Suara Pembaruan 3 Oktober 2006 _________. Genealogi Korupsi di Indonesia. Media Indonesia tanggal 10 Mei 2005 Irsyam, Mahrus. Beberapa Catalan Atas Tinjauan Histpriografis Hubungan SipilMiliter : Pola, Arah, Dan Perspektlf, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Milter di Indonesia, Jurusan llmu Poiitik FiSIP Ul. 1999 Janowitz, M., and van Doom, J., (eds).

On Military Ideology

(Roterdam

University Press, 1971). ----------,"The Future of Military Pro fession" dalam M.M. Wakin (eds).,

War,

Morality and the Military Profession (Westview, 1979). ______. The Military in the Political Development of New Nations. Chicago: University of Chicago Press.1964 Kukreja, Veena, Civil-Military Relations in South Asia

(Sage, 1991).

165 Kadi, Saurip. ABRI di Masa Depan dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga Rampai, Jakarta: PT Aditoya Media.1999 __________.ABRI di Masa Depan dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga Rampai. Jakarta: PT Aditoya Media.1999 ___________. Posisi TNI dalam Sistem Politik Indonesia. KOMPAS tanggal 6 Oktober 2006 Kaho, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: rajawali press, 1991 Kristianto, Antonius Eddy, dkk. Teologi Politik. Jakarta: Bumiksara, 2003 Kumpulan Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil - Militer di Indonesia, (Depok : Jurusan llmu Politik FISIP Ul, 1999). Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah. Jakarta: Al-Kautsar. 1998 Liddle, William. Revolusi dari Luar. Jakarta: Freedom Institute. 2005 Luttwak, Edward, Le Coup d’Etat: Theorie et Pratique (Laffont, 1969). Lenin, W.I. Negara dan Revolusi, terjemahan Sulang Sahun, Jakarta: Fuspad. 2000 McKinley, R.C and Cohan, A.S., " A Comparative Analysis of the Political and Ekonomic Performance of Military and Civil Regimes

: A Cross-National

Aggregate study", Comparative Politics (1) Oktober 1975. Merkel, Wolfgang.2003.Democratie in Asien: Ein Kontinent zwischen Diktatur und Democratie, terjemahan Indarwati Pareira, Jakarta: Friederich-Ebert-Stiftung. 2005Nordlinger, Eric A., "Soldier in Mufti: The impact of Military Rule upon Economic and Social Change in the Non-Western States"

, APSR, 1970.

Novack, Goerge, Democracy and Revolution (Pathfinder, 1971). Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, edisi ketiga, Jakarta: Sinar Harapan.1991 Perlmutter, Amos, "The Comparative Analysis of Military Regimes: Forma

tions,

Aspirations, and Achievements", World Politics (3), Oktober 1980. ______. Military and Politics and Modern Times.1977. terjemahan Sahat Simamora, Jakarta: Grafindo Persada. 2000 Pye, Lucian W., "Armies in the Process of Political Modernization" Finkel and R.W. Gable (eds),

dalam J L.

Political Development and Social Change

(Wiley, 1966). Peters, Guy, The Politic Of Bureaucracy : A Comparative. (New York : Longman Ini 1978).

166 Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia University Press.1993 Rose-Ackerman,Susan. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, terjemahan Toenggoel P Siagian, Jakarta: Sinar Harapan. 2006 Skjelbaek, kjell, "Militarism, its Dimensions and Corollaries: An Attempt at Conceptual Clarification", JPR (3), 1979. Sundhaussen, Ulf, "The Military: A Threat To Democracy”, A]PH (3), 1998. Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV.Rajawali.1985 Saragih, Bintan R. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama.1988 Sularto, St; Visi Dan Agenda Reformasi : Menuju Masyarakat Indonesia Baru, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999). Sucipto, Bambang. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Sharansky, Natan.The Case for Democracy. New York: Public Affairs.2004 Suseno, Frans Magnis. Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia.2003 Ward, Colin, Anarchy in action (allen and Unwin, 1973). __________________. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Gramedia, 1992 __________________. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 2000 Schumpeter, Joseph. Socialism, Capitalism and Democracy. New York: Harper, 1947 Sjahrir, Sutan. Pikiran dan Perjuangan. Yogyakarta: Jendela, 2000 Thompson, Dennis F. Etika Politik Pejabat Negara, terjemahan Benyamin Molan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1999 Jacob, T. Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis. Jakarta: Obor, 2004 Wolpin, Miles D. “Sociopolitical Radicalism and Military Professionalism in the Third World", Comparative Politics (2), Januari 1983. Wijayanto, Andi. Transformasi Postur Pertahanan Indonesia, dalam Beni Sukadis, et al. Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI. Jakarta: FriederichEbert Stiftung. 2005 Zen, Amartya. Development as Freedom. New York: Alfred A Kopf, 1999 Zen, Kivlan. Konflik dan Integrasi TNI-AD. Jakarta: Institute for Policy Studies. 2004 Zakiyah, Wasingatu et al. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: ICW. 2002

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF