Tarikh Tasyri Masa Jumud Dan Taqlid

October 13, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Tarikh Tasyri Masa Jumud Dan Taqlid...

Description

 

Makalah Tarikh Tasyri' pada masa Taqlid dan Jumud

BAB I  PENDAHULUAN  A.  Latar Belakang  Tarikh Tasyri'   merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi  pembentukan hukum  syari’at  Islam, asas tasyri'  dalam  dalam alal-Qur’an Qur’an,, penetapan dan sumber

hukum pada Nabi, para sahabat dan fuqaha’  dan  fuqaha’ dalam dalam generasi pertama. Tumbuhnya golongan  politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam masa berikutnya. Sehingga muncullah istilah-istilah fiqh istilah-istilah fiqh dan  dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum  pada masa pasca ke jumud an an dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.   Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqh memahami fiqh   Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at  definisi  syari’at , fiqh  fiqh,,  periodisasi perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta mazhabmazhab fiqh mazhab  fiqh.. Namun dalam pembahasan makalah ini akan lebih difokuskan terhadap  pembahasan periodisasi taqlid  dan jumud   dan jumud .  B.  Rumusan Masalah  1.  Bagaimanakah yang dimaksud dengan taqlid dan dan jumud   jumud ? 

2.  Bagaimana peranan dan upaya ulama dalam menghadapi masalah tasyri’  di masa taqlid dan  jumud?  3.  Bagaimanakah pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid  dan jumud   dan jumud ?  C.  Tujuan Makalah  1.  Menjelaskan maksud dari taqlid dan dan jumud   jumud .  2.  Menjelaskan peranan dan upaya ulama dalam menghadapi masalah tasyri’  di masa taqlid dan  jumud   3.  Menjelaskan pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid  dan jumud   dan jumud . 

1

 

BAB II  PEMBAHASAN  

A.  Taqlid dan J umud  umud   Periode taqlid  dan jumud   dan jumud  berlangsung   berlangsung sekitar abad 10/11 M (4 H) sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut sebagai periode taqlid  karena  karena  para fuqaha’   para  fuqaha’   pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan mazhab yang sudah ada, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Syafi’i,   dan

Hanbali, serta mazhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan  bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i ilmu-ilmu syar’i yang  yang lainnya.  Taqlid  menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid  secara syara’   secara syara’  adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah hujjah  yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain. Jumud lain. Jumud dapat diartikan jumhur ulama, maksudnya yaitu mengikuti apa-apa yang difatwakan oleh ulama tanpa berpikir lagi.  Bagi orang yang mengamati perjalanan syari’at  perjalanan syari’at  Islam pada fase ini, tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqaha’  para fuqaha’  sudah mati dan beralih kepada taqlid , tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru. Mereka telah meletakkan diri pada ruang yang sempit, yaitu ruang mazhab yang tidak boleh dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan (taqlid  (taqlid ) saja.  Walaupun fase memiliki ini penuhkemampuan dengan semangat taqlid , namun sebenarnya masih ada  beberapa ulama yang untuk berijtihad dan mengistinbath meng istinbathkan kan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan kewara’  kewara’ an an mereka sehingga lebih memilih berputar di atas bahtera fiqh bahtera fiqhyang yang sudah ada. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Abu al-Hasan alKurkhiy, Abu Bakar ar-Razi dari kalangan Mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd al-Qurthubi dari Mazhab Maliki, al-Juwaini Imam al-Haramain dan al-Ghazali dari kalangan Mazhab Syafi’i.  Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqaha’  sebagian  fuqaha’  yang  yang memiliki kapasitas untuk memahami, ber istinbath, istinbath, dan berijtihad secara mutlak, namun mereka lebih memilih untuk ber taqlid  taqlid  dan   dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya taqlid adalah adalah sebagai berikut:  1.   Pembukuan Kitab Mazhab Mazhab  Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh kebangkitan fiqh Islam  Islam telah ditandai dengan telah ditulisnya fiqh ditulisnya  fiqh   Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi. 2.   Fanatisme Mazhab  Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’  pendapat fuqaha’  tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu al-Hasan al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan, “Setiap “Setiap   ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu  perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” dihapuskan,” termasuk  termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang

2

 

tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari ijtihad.  3.   Jabatan Hakim  Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu alal-Qur’an Qur’an dan  dan sunnah  sunnah Rasulullah  Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Manhaj hukum.  Manhaj para  para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus berdasarkan kepada alal-Qur’an Qur’an dan  dan sunnah  sunnah  Rasul, dan logika yang dekat dengan kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa ber taqlid  taqlid , ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya. melan gkahinya. 4.   Ditutupnya Pintu Ijtihad   Petaka besar menimpa fiqh menimpa fiqh   Islam pada periode ini, di mana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari  pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqh dalil-dalil fiqh  yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup  pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap fiqh terhadap  fiqh  Islam sehingga menjadi jumud  menjadi jumud  dan ketinggalan zaman. Seharusnya  para fuqaha’   para  fuqaha’   periode periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah  pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka di depan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan, niscaya mereka telah memberikan kontribusi  positif terhadap perkembangan fiqh perkembangan fiqh   Islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali. B.  Peranan dan Upaya Ulama Setelah menjelaskan berbagai penyebab terjadinya taqlid  sepanjang fase ini yang lebih lanjut berakibat pada kemunduran dan kekakuan fiqh kekakuan fiqh   Islam, maka perlu dijelaskan  beberapa upaya dan kontribusi yang sudah dilakukan oleh para ulama untuk mengembangkan fiqh mengembangkan  fiqh  Islam pada periode peri ode ini, dengan begitu kita tidak menzalimi karya fiqh karya  fiqhmereka mereka yang berputar di sekeliling mazhab-mazhab yang ada. Walaupun upaya ini tidak sampai melahirkan mazhab baru yang memiliki prinsip sendiri seperti yang pernah dilakukan oleh pendahulunya. Dan upaya mereka hanya sebatas memperluas pemahaman mazhab yang diikuti mereka, sebuah khidmat yang patut disyukuri sehingga membuat kajian fiqh kajian  fiqh mazhab  mazhab semakin dalam dan terinci, luas, dan sistematik.   Diketahui bahwa ulama pada periode ini telah mengekang dirinya dengan taqlid , dan mengikat dirinya dengan mengikut imam tertentu dalam hukum dan fatwa, namun ada juga usaha-usaha mereka harus kita ketahui dan ini membuktikan bahwa roh taqlid  buta   buta belum merata benar. Mereka masih mengumpulkan hadits-hadits, mentarjih mentarjihkan kan riwayat-riwayat yang berlawanan, mengeluarkan illah-illah illah-illah   hukum, menetapkan kaidah-kaidah dan pokok pokok tauhid dengan jalan memperhatikan memperhatikan hukum yang telah ditentukan oleh imam-imam itu. Mereka berusaha mencari keterangan untuk mempertahankan  pendapat-pendapat imam, menyusun kitab-kitab kitab -kitabkhilafiyah khilafiyah (kitab  (kitab yang menerangkan hukum yang diperselisihkan) seperti Bidayatul seperti Bidayatul Mujtahid  karya Ibnu Rusyd, al- I’tisam karya  I’tisam karya

Assyatibi, Al-Mizan Assyatibi,  Al-Mizan Karya  Karya Al-Sya’rani. Al-Sya’rani. 

3

 

Dengan demikian menyatakan bahwa ulama pada masa ini adalah ulama  penyempurna mazhab dengan jalantarjih jalantarjih,, oleh karenanya mereka diberi gelar ulama murajihin murajihin..  Walaupun sebenarnya banyak faktor yang membuat para ulama berhenti melakukan ijtihad mutlak dan mengembangkan hukum-hukum syari’at  hukum-hukum syari’at   dari sumber-sumbernya yang  pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga menahan serta memberhentikan kesungguhannya dalam upaya pembentukan hukum di lingkungan daerah mereka yang terbatas. Oleh karena itu, para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:  1. 

Tingkatan Pertama: Ahli Ijtihad dan Mazhab.  Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at  hukum syari’at  secara  secara ijtihad mutlak, mereka hanya  berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Di antara mereka ialah: al-Hasan bin Ziyad (204 H/820 M) dari Mazhab Hanafi, Ibnu al-Qasim (191 H/) dan Asyhab (204 H/820 M) dari Mazhab Maliki, dan al-Buwaithiy (231 H) dan al-Muzanny (264 H) dari Mazhab Syafi’i.   Dasar-dasar para imam merekalah yang digunakan sebagai dasar-dasar dalam Syafi’i.  pengembangan hukum-hukum. hukum-hukum.

2. 

Tingkatan Kedua: Ahli Ijtihad Mengenai Beberapa Masalah yang Tidak Ada Riwayat dari Imam Mazhabnya.  Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan  juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka hanya

mengistinbath meng istinbathkan kan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan dengan mengqiyas mengqiyaskan kan kepada cabang-cabang hukum mereka. Mereka yang termasuk dalam tingkatan kedua ini adalah alKhashshaf (261 H), al-Thahawiy (lahir 230 H), dan al-Karkhiy (340 H) dari penganut Mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy(498 H), Ibnu al-Arabiy (542 H) dan Ibnu Rusyd (1198 M) dari penganut Mazhab Maliki. Abu Hamid al-Ghazaliy (505 H/1111 M) dan Abu Ishaq alIsfirayiniy (418 H) dari penganut Mazhab Syafi’i. Syafi’i.   3. 

Tingkatan Ketiga: Ahli Takhrij .  Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbathkan mengistinbathkan  hukum mengenai berbagai masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka mereka tidak berusaha mengeluarkan illah-illah illah-illah  hukum dan  prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya pada memberi interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang masih bersifat global atau menentukan arah tertentu bagi suatu hukum yang mengandung kemungkinan dua arah. Yang termasuk dalam tingkatan ketiga ini ialah seperti al-Jahshash (370 H) dan rekan-rekannya dari Mazhab Hanafi.

4. 

Tingkatan Keempat: Ahli Tarjih  Mereka ini mampu membandingkan di antara beberapa riwayat yang bermacammacam yang bersumber dari para imam mazhab mereka dan sekaligus mampu mentarjih men tarjih,, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam tingkatan ini adalah al-Qadury (428 H) dan pengarang kitab al Hidayah, Hidayah, serta rekan-rekannya sesama penganut Mazhab Hanafi.

5. 

Tingkatan Kelima: Ahli Taqlid   Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan

riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membeda-bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam tingkatan kelima ini adalah pengarang 4

 

kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar  di kalangan Mazhab Hanafi, seperti  pengarang kitab al-Kanz  dan  dan al-Wiqoyah al-Wiqoyah..  Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa kesungguhan aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan perhatiannya kepada  pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka. Mereka membatasi diri mereka hanya pada pembahasan mengenai  pendapat-pendapat imam mazhab mereka dan illah-illah illah-illah  yang mereka jadikan dasar  pertimbangan, serta mereka mentarjih men tarjih,, menetapkan mana pendapat yang lebih kuat di antara  pendapat imam mazhab mereka yang kelihatan kontradiksi antara satu dengan yang yang lainnya.

C.  Sistem hukum Pada Masa Taqlid  dan  dan J um umud  ud   Setelah seorang ulama yang bernama Muhammad Bin Jarir ath-Thabari wafat pada tahun 531 H tidak ti dak ditemukan lagi orang yang menyatakan dirinya di rinya sampai pada tingkatan mujtahid mustaqil baik mustaqil baik dalam berfatwa maupun dalam mengistinbath mengistinbath hukum  hukum serta mengambil hukum-hukumnya dari alal-Qur’an Qur’an dan  dan sunnah  sunnah  tanpa terikat dengan pemikiran salah seorang imam mereka menganggap bahwa kemampuannya tidak kuat untuk menggali ilmu dari alal-Qur’an Qur’an dan  dan sunnah  sunnah serta  serta mereka bukanlah ahlinya untuk melihat pada keduanya dan mengistinbath mengistinbath  dari keduanya, dalam diri mereka telah tumbuh benih benih taqlid  sehingga   sehingga mereka lebih bersandar pada fiqh pada fiqh  Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ibnu Hanbal dan yang lainya lain ya yang mazhabnya tersebar ketika itu. Mereka membatasi dirinya  pada ruang lingkup yang dijadikan pokok-pokok mazhab tersebut, tanpa malampaui dan melewati batasannya. Setiap mereka menetapi satu mazhab tertentu tanpa melampaui dan

mengerahkan semua kekuatan dalam mendukung mazhab tersebut baik secara global maupun secara rinci. Pada periode ini orang cukup mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari cara-caranya melakukan istinbath istinbath hukum-hukum  hukum-hukum yang dibukukan tersebut. Dalam setiap mazhab, para ulama menyaring dan membuang pernyataan yang lemah dari imam mazhab mereka. Mereka juga mengklasifikasi narasi-narasi para pendiri mazhab mereka sesuai dengan keakuratannya. keakuratannya.[7] Oleh karena itu, karangan-karangan mereka tidak lebih dari ringkasan karangan sebelumnya, atau penjelasannya atau pengumpulan pendapat yang terpisah –   pisah dalam berbagai kitab. Dengan D engan keberlebihan dan melampaui batas dalam fanatik terhadap mazhab-mazhab salaf ini, mereka mendirikan benteng antara umat dengannash-nash dengan nash-nash  alal-Qur’an Qur’an dan  dan sunnah  sunnah,, sehingga s sehingga s yari’at  itu menjadi tulisan-tulisan  para fuqaha’   para  fuqaha’  dan pendapat-pendapatnya, serta kesungguhan meraka hanya sampai pada memahami ucapan para imamnya atau menggali kaidah-kaidahnya. Sedang ijtihad telah mereka lupakan hingga selesai dengan penutupan pintunya pada awal abad keempat. Pada  periode ini, dari golongan ulama terdapat orang yang syari’at  tidak ti dak kalah imam-imam sebelumnya dalam pengetahuan tentangpula pokok-pokok pokok-pokok syari’at   dan dengan cara-cara istinbath,, istinbath namun mereka tidak cukup untuk berani muncul secara bebas seperti yang dirasakan oleh  para pendahulunya yang mengikat dirinya dengan kekuatanya sendiri serta menyelesaikan kesulitan-kesulitan dengan jalan ijtihad. Seperti Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf alJuwaini telah menyatakan dalam penyusunan kitab al-Muhith al-Muhith,, tidak mau terikat dengan satu mazhab dan mendasarkan pada nash-nash nash-nash  syara’   syara’  yang   yang tidak terhitung serta menjauhi sikap fanatik mazhab. Kitab al-Juwaini tersebut sampai kepada al- Hafidz Abi Bakar al-Baihaqi sebanyak tiga juz lalu beliau mengkritiknya tentang kelemahan hadist-hadistnya dan menjelasakan padanya bahwa yang mengambil hadist yang ada pada dirinya adalah Syafi’i, dan ketidaksukaannya terhadap hadist-hadist yang dikeluarkan al-Juwaini dalam kitabnya adalah karena terdapat kecacatan yang diketahuinya sebagai orang yang menekuni kreasi  para ahli hadist. Ketika risalah al-Baihaqi sampai pada al-Juwaini, al-Juwaini, ia berkata: “  “ Ini  Ini adalah keberkahan Ilmu.” Ilmu.” Dan ia mendoakan al-Baihaqi al-Baihaqi serta ia tidak menyempurnakan karangannya. Dari sini dapat anda lihat bahwa al-Juwaini berhenti berijtihad karena ia bukan tokoh dalam hadist, padahal Imam Syafi’i sendiri bersandar dalam pentashih pen tashihan an hadist-hadist 5

 

kepada ahli hadist yang dapat memutuskan dan membedakan antara hadist shahih hadist  shahih dan  dan cacatnya.  Dari uraian di atas menunjukkan bahwa ijtihad pada masa itu tidak mati secara sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dengan semakin hilangnya ruh ijtihad dalam hati para ulama kala itu, hilangnya persatuan daerah-daerah Islam, dan semakin banyaknya perpecahan dalam tubuh Islam. 

BAB III  PENUTUP A.  Kesimpulan

1.  Taqlid   adalah adalah melaksanakan atau mengikuti pendapat orang lain tanpa disertai hujjah hujjah yang  yang kuat. Jumud kuat.  Jumud dapat diartikan jumhur ulama, maksudnya yaitu mengikuti apa-apa yang difatwakan oleh ulama tanpa berpikir lagi.   2.  Para ulama masa taqlid dan dan jumud  jumud berperan  berperan antara lain ialah memperluaskan pemahaman pemahaman mazhab yang diikuti. Selain itu, upaya yang mereka lakukan yaitu menanggulangi orang-orang yang ber taqlid  taqlid  buta,  buta, agar umat tetap berada di jalan yang benar.  3.  Aliran yang muncul pada masa taqlid dan dan jumud  jumud berupa  berupa mazhab-mazhab seperti Syafi’i, Syafi’i,   Hanbali, Maliki dan Hanafi. Sistem hukum yang digunakan pada masa itu ialah, mengambil keputusan hukum melalui kitab-kitab mazhab mengingat pada masa itu banyak ulama  banyak yang tidak mencukupi syarat mujtahid untuk mengambil keputusan dari alQur’an dan Qur’an  dan sunnah.  sunnah. 

DAFTAR PUSTAKA [1] 

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, RajaGrafindo Persada, Persada, 1995), 1995), h. 49.  Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Suparman Usman, Hukum Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 89.  [3]  Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri': Sejarah Legislasi Hukum Islam, terj. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, Amzah, 2009), h. 35.  [4]  Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri' …, …, h.  h.  35.  [5]  Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri'… Tasyri'…,, h. 36.  [6]  Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h.163-164.  [7] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, Fiqh , (Bandung: Nusamedia, 2005), h. 141.  [8] Muhamm Muhammad ad Ali, Sejarah Fiqh Islam…, Islam…, h.165-166.  [2] 

6

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF