Tangis Budak dari negeri Seribu Jembatan; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 INDRAGIRI HILIR

March 12, 2018 | Author: Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

"Cucu kami meninggal karena bapaknya salah pancang itu di laut. Tekene’ itu atau keteguran orang laut." Mas...

Description

Tangis Budak dari Negeri Seribu Jembatan

Syarifah Nurani Andra Syahputra Fani Saputra Made Asri Budisuari

i

Tangis Budak dari Negeri Seribu Jembatan ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Syarifah Nurani Andra Syahputra Fani Saputra Made Asri Budisuari Editor Made Asri Budisuari Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected]

ISBN 978-602-1099-10-0 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. ii

seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

:

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam v

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

v vii xi xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang Penelitian 1.2. Pemilihan Lokasi Penelitian 1.3. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 1.4. Analisis Data

1 5 7 10

BAB 2 KEBUDAYAAN ETNIK LAUT DI DESA TANJUNG PASIR

13

2.1. Profil Kabupaten Indragiri Hilir 2.1.1 Penyebaran Etnik Laut Berdasarkan Pola Hidup 2.1.2. Sejarah Etnik Laut 2.1.3. Etnik Laut Di Desa Tanjung Pasir 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi 2.2.2. Kependudukan 2.2.3. Keadaan Pola Pemukiman 2.3. Mata Pencarian 2.3.1. Hasil Laut Sumber Utama Kehidupan 2.3.2. Pembagian Peran dalam Mata Pencaharian 2.3.3. Kelompok Waria 2.4. Agama dan Sistem Kepercayaan 2.5. Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial 2.5.1. Organisasi Sosial 2.5.2. Kelompok Sosial

13 17 18 20 27 27 31 31 36 36 40 42 43 46 46 48

vii

2.5.3. Sistem Kekerabatan 2.5.4. Adat Pernikahan yang Sudah Punah 2.6. Bahasa 2.7. Kesenian 2.8. Pengetahuan Tentang Kesehatan 2.8.1. Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit Masyarakat Etnik Laut 2.8.2. Pengobatan Tradisonal dan Teknik Penyembuhan Pengobatan Tradisional 2.8.3. Pengetahuan Makanan dan Minuman 2.8.4. Pelayanan Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan 2.9. Sistem Peralatan dan Teknologi

48 50 55 57 58 61

BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DESA TANJUNG PASIR

87

3.1. Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja 3.1.2. Pasangan Suami Istri 3.1.3. Hamil 3.1.4. Proses Menjelang Persalinan 3.1.5. Proses Persalinan Tradisional 3.1.6. Masa Nifas 3.1.7. Neonatus dan Bayi 3.1.8. Anak dan Balita 3.2. Penyakit Menular 3.2.1. ISPA 3.2.2. Diare 3.2.3. Tubercolosis (TBC) 3.2.4. Kusta 3.2.5. Cacar 3.2.6 Scabies 3.3. Penyakit Tidak Menular viii

61 72 76 83

88 88 92 97 111 114 118 123 138 143 144 149 154 162 167 171 175

3.3.1. Hipertensi 3.3.2. Diabetes Militus 3.3.3. Kanker 3.3.4. Stroke 3.3.5. Penyakit Jiwa berat 3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 3.4.1. Perilaku Cuci Tangan 3.4.2 Pemakaian Jamban 3.4.3. Perilaku Membuang Sampah 3.4.4. Aktifitas Fisik Setiap Hari 3.4.5. Konsumsi Buah dan Sayur 3.4.6. Perilaku Merokok 3.4.7. Penggunaan Air Bersih 3.4.8. Memberantas jentik nyamuk

176 180 184 189 192 197 198 200 201 203 204 205 208 210

BAB 4 TANGIS BUDAK DARI NEGERI SERIBU JEMBATAN (Kasus Kematian Bayi di Desa Tanjung Pasir)

213

4.1. Studi Kasus Kematian Bayi di Desa Tanjung Pasir 4.2. Keteguran, Kelintasan dan Tekene’ sebagai Penyebab Kematian pada Bayi 4.3. Perilaku Pencegahan dan Pengobatan untuk Bayi oleh Masyarakat 4.3.1. Pencegahan Penyakit untuk Bayi 4.3.2. Pengobatan Penyakit untuk Bayi 4.4. Kasus Kematian Bayi dilihat dari Kacamata Kesehatan 4.5. Bidan Kampung, Peri Penolong atau Pencabut Nyawa? 4.6. Peran Kader dalam KIA 4.7. Peran Tenaga Kesehatan dan Keberadaan Fasilitas Kesehatan dalam KIA di Mata Masyarakat 4.8. Potensi dan Kendala

215 230

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI

283

ix

238 238 245 248 259 264 268 275

5.1. Simpulan 5.2. Rekomendasi 5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Umum 5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak

283 286 286 287

INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA

291 297 303

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Kesehatan Ibu dan Anak Kab. Indragiri Hilir Tahun 2011-2013 Tabel 1.2. Data Kesehatan Ibu dan Anak Desa Tanjung Pasir Tahun 2013 Tabel 2.1. Penyebaran Suku Laut di Kab. Indragiri Hilir Tabel 4.1. Teori Dunn: Model Alternatif Perilaku Kesehatan Tabel 4.2. Perilaku KIA

xi

3 7 16 276 277

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta wilayah dan Luas Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Gambar 2.2. Akses Jalan Papan Jerambah Gambar 2.3. Kantin Desa Gambar 2.4. Pelabuhan Ketika Air Surut Gambar 2.5. Air untuk Kebutuhan Sehari-hari Gambar 2.6. Rumah Khas Masyarakat Suku Laut Gambar 2.7. Jimat di Pintu Rumah Gambar 2.8. Tempat Pembuangan Hajat Gambar 2.9. Aktivitas Nelayan Menjaring Ikan Gambar 2.10. Penjualan Ikan Asin Gambar 2.11. Salah Satu Waria di Desa Tanjung Pasir Gambar 2.12. Acara Pesta Perkawinan Masyarakat Suku Laut Gambar 2.13. Kegiatan Menongkah Gambar 2.14. Proses Pengobatan Ritual Ancak di Darat Gambar 2.15. Proses Pengobatan Ritual Ancak di Laut Gambar 2.16. Proses Penguncian Penyakit Gambar 2.17. Ingu (kiri) dan Limau Mentimun (kanan) Gambar 2.18. “Ambulans” Puskesmas Kuala Enok Gambar 2.19. Pelabuhan “Darurat” Dekat Pukesmas Gambar 2.20. Pukesmas Pembantu Desa Tanjung Pasir Gambar 2.21. Kompor Tradisional Anglo Gambar 3.1. Daun Sedingin untuk Bentan Gambar 3.2. Ramuan untuk Perut Ibu Paska Persalinan Gambar 3.3. Ikatan di Kaki Ibu untuk Menghindari Bentan xii

14 23 24 25 30 33 34 36 37 39 43 55 58 68 69 71 72 77 78 81 85 120 121 122

Gambar 3.4. Buah Manjakani untuk Pusat Bayi Gambar 3.5. Madu diberikan untuk Bayi yang Baru Lahir Gambar 3.6. Bayi di Atas Nampan dan Kain Berlapis Gambar 3.7. Pokong Bayi Gambar 3.8. Kegiatan Posyandu Gambar 3.9. Salah Seorang Balita Yang Sedang di Temas Gambar 3.10. Pucuk Daun Jambu Untuk Pengobatan Tadisional Diare Gambar 3.11. Seorang Informan Penderita TBC Gambar 3.12. Salah Seorang Informan Penderita Kusta Gambar 3.13. Olesan Campuran Daun Priah dan Beras pada Salah Satu Penderita Cacar Gambar 3.14. Pohon Api-api Untuk Penyembuhan Penyakit Scabies Gambar 3.15. Aktifitas Salah Seorang Informan Sedang Memasak Udang Beresiko Hipertensi Gambar 3.16. Daun Sop Dipercaya Bisa Mengurangi Tekanan Darah Tinggi Gambar 3.17. Kunyit Untuk Bahan Dasar Pengobatan Kanker Gambar 3.18. Salah Seorang Informan Penderita Penyakit Jiwa Berat Gambar 3.19. Anak-Anak Makan Bersama Tanpa Memperhatikan Kebersihan Tangannya Gambar 3.20. WC Cemplung yang Biasa Ditemui Di Rumah Masyarakat Gambar 3.21. Kondisi Sampah Yang Bertumpuk di Sekitar Rumah Gambar 3.22. Seorang Ibu Sedang Merokok di Samping Anaknya xiii

125 126 129 131 140 148 152 155 164 170 174 178 179 187 193 199 200 202 207

Gambar 3.23. Anak-anak Mandi di Laut (kiri) dam Anak Mengambil Air Bor (kanan) Gambar 4.1. Tangkal di Perut Ibu Hamil Gambar 4.2. Tangkal yang Dipasang di Rumah Gambar 4.3. Tangkal Bayi di Tangan Gambar 4.4. Tangkal Rumah Gambar 4.5. Bayi ditemas oleh Bidan kampung Gambar 4.6. Bayi Prematur diberikan Ramuan untuk Tali Pusat

xiv

209 240 242 243 245 246 254

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan data kesehatan berbasis komunitas yang mencakup Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Potensi Desa (Podes) maka dirumuskanlah suatu indikator komposit yang dapat menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan di masingmasing kabupaten yang ada di seluruh Indonesia untuk mendapatkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM sendiri memiliki 24 indikator yang dianggap berkontribusi langsung dengan Human Development Index (HDI) atau dalam Bahasa Indonesianya disebut dengan Indeks Pembangunan Manusia. Dari IPKM ini akhirnya didapatkan peringkat kabupaten/kota berdasarkan kemajuan pembangunan

1

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kesehatan guna mempermudah perumusan program intervensi yang lebih tepat. Kabupaten yang menjadi fokus dalam buku ini adalah Kabupaten Indragiri Hilir yang berada di Provinsi Riau. Hasil IPKM 2010 menunjukkan bahwa kabupaten ini berada di urutan 413 dari total 440 kabupaten yang ada di seluruh Indonesia. Kabupaten ini termasuk kabupaten yang berkategori wilayah KaB, yaitu wilayah Non Miskin Bermasalah Kesehatan. Dari rangkuman Profil Kesehatan Riau Tahun 2012 maka ada beberapa point dimana Kabupaten Indragiri Hilir ini memiliki rangking terendah jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Provinsi Riau, yaitu antara lain: 1. Cakupan kunjungan bayi 2. Pencapaian imunisasi 3. Kepemilikan sanitasi dasar 4. Kepemilikan tempat sampah keluarga 5. Tempat pengelolaan air limbah 6. Rasio tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi, bidan dan ahli gizi) Melihat 6 point yang ada di atas tersebut maka dapat dilihat bahwa 2 point terkait dengan kesehatan ibu dan anak, khususnya bayi, 3 point terkait dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan ketiga mengenai keberadaan tenaga kesehatan. Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada masalah Kesehatan Ibu dan Anak. Pemilihan topik ini berdasarkan temuan di lapangan dan juga data sekunder yang menunjukkan bahwa masalah KIA masih menjadi masalah di Kabupaten Indragiri Hilir secara keseluruhan. Data Laporan Bagian Kesehatan Ibu dan Anak menunjukkan bahwa beberapa indikator KIA terjadi penurunan atau bisa dikatakan tidak membaik malah semakin jauh dari target, seperti yang coba dirangkum oleh peneliti berikut ini: 2

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Tabel 1.1.

Data Kesehatan Ibu dan Anak Kab. Indragiri Hilir Tahun 2011-2013

INDIKATOR

2011

2012

2013

Ket

K1

105,72%

106,27%

82.01%

Turun (-)

K4

89,62%

93,86%

73.26%

Turun (-)

PN

74,85%

84,22%

68.94%

Turun (-)

KF

52,11%

77%

58%

Turun (-)

KN Lengkap

75,48%

83%

66%

Turun (-)

Kunjungan Bayi

20,25%

17,20%

17.2%

Tetap

Pemberian FE

76,6%

76%

62%

Turun (-)

Kematian Bayi

188

143

160

Naik (-)

Kematian Balita

1

4

2

Turun (+)

Kematian Ibu

37

40

27

Turun (+)

ASI Eksklusif

55,9%

30,5%

32.4%

Turun (-)

D/S

38.35%

44.43%

43%

Turun (-)

Sumber: Laporan Pertemuan Evaluasi Program KIA Tahun 2013 Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir dan diolah kembali oleh peneliti

Melihat angka-angka pada tabel 1 di atas maka diperlukan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan masih rendahnya pencapaian program KIA dan tingginya kematian ibu dan anak. Peneliti dalam buku ini mencoba menggambarkan perilaku kesehatan secara keseluruhan dan hal yang mendasari pola perilaku masyarakat di daerah tersebut. Tim kerja dari WHO (dalam Notoatmodjo, 2003: 167-170) menganalisis bahwa ada empat hal pokok yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu, Keempat alasan pokok tersebut adalah: 1. Thoughts and feeling (pemikiran dan perasaan seseorang)

3

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pemikiran dan perasaan ini dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaianpenilaian seseorang terhadap objek, dalam hal ini adalah objek kesehatan. 2. Personal reference (adanya orang lain yang dijadikan referensi) Perilaku orang akan lebih banyak dipengaruhi oleh orangorang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. Contohnya adalah guru, alim ulama, kepala adat (Etnik), kepala desa dan sebagainya. 3. Resources (sumber atau fasilitas yang mendukung) Sumber daya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif. 4. Culture (kebudayaan masyarakat) Perilaku, normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Penelitian ini sendiri dimulai dari salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan sebagaimana disebutkan WHO, yaitu faktor kebudayaan masyarakat. Kebudayaan adalah perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumbersumber dalam suatu masyarakat yang menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya disebut kebudayaan (Notoatmodjo, 2003: 169). Memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005:16). Koentjaraningrat (1996) 4

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

menyatakan, “Hubungan antara ilmu kesehatan masyarakat dan antropologi selain yang disebutkan di atas (hubungan antara ilmu anatomi dan antropologi), yaitu data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang kesehatan, sakit, dukun, obatobatan tradisional, kebiasaan serta pantangan makan dan lainlain, bagi seorang dokter kesehatan masyarakat yang akan bekerja dan tinggal di suatu kebudayaan yang asing, antropologi juga memiliki metode-metode dan cara-cara untuk dapat memahami serta menyesuaikan diri dengan kebudayaan serta adat istiadat setempat. Masalah kesehatan berkaitan erat dengan faktor sosial budaya tempat masyarakat ini tinggal. Faktor inilah yang membentuk perilaku masyarakatnya, termasuk perilaku kesehatan mereka. Perilaku kesehatan yang dimaksud disini adalah memahami sehat dan sakit menurut masyarakat, bagaimana mereka menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit serta bagaimana mereka mencari pencarian pengobatan ketika sakit. Faktor budaya setempat, seperti yang sudah dijelaskan, akan menjadi fokus dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan di salah satu desa terpilih dimana peneliti akan tinggal dengan masyarakatnya untuk melihat perilaku kesehatan secara langsung dan apa yang mendasari mereka melakukan perilaku tersebut. 1.2. Pemilihan Lokasi Penelitian Dalam pemilihan lokasi penelitian, pada awalnya peneliti cukup mengalami kesulitan. Berdasarkan tujuan penelitian ini, sebenarnya lebih difokuskan kepada salah satu etnis yang merupakan etnis lokal dan merupakan etnis asli yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir, tetapi setelah tim peneliti melakukan 5

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

persiapan lapangan, ternyata kabupaten Indragiri Hilir lebih banyak dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Etnik lain, dan bukan Etnik asli Indragiri Hilir. Indragiri Hilir bahkan mendapat julukan “Miniatur Indonesia” karena terdiri dari berbagai macam Etnik, seperti Bugis (Sulawesi), Banjar (Kalimantan), Melayu, Padang (Sumatera Barat), Cina dan juga Jawa; sedangkan Etnik asli dari Indragiri Hilir sendiri adalah Etnik Laut atau bisa juga disebut dengan Etnik Duano atau sebutan Etnik Nelayan. Pemilihan Etnik Laut akhirnya diambil karena merupakan Etnik asli yang ada di wilayah kabupaten ini. Etnik ini juga menjadi satu-satunya Etnik yang oleh Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir masih dikategorikan sebagai Komunitas Adat Tertinggal. Selain itu pemilihan Etnik Laut dikarenakan sampai dilakukan penelitian peneliti belum menemukan studi yang pernah membahas Etnik ini dari segi kesehatannya. Setelah berkonsultasi dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir maka dipilihlah Desa Tanjung Pasir yang ada di Kecamatan Kuala Enok. Etnik Laut yang ada di desa ini dianggap dapat mewakili Etnik Laut di seluruh Indragiri Hilir yang seluruhnya terletak di 13 desa. Meskipun hampir seluruh desa di antara ke-13-nya sudah terjadi pembauran dengan Etnik lainnya namun menurut keterangan dan wawancara kami dengan beberapa tokoh baik dari pihak Dinkes maupun Dinsos, maka Etnik Laut di desa ini masih tertinggal dibandingkan dengan Etnik Laut di desa lainnya. Terkait data kesehatan, Kecamatan Kuala Enok bukan kecamatan yang menjadi sorotan utama dari Dinas Kesehatan. Menurut mereka masih ada kecamatan yang memiliki catatan kesehatan yang lebih buruk, namun di satu sisi kecamatan ini juga masih tidak terlepas dari masalah-masalah kesehatan yang terjadi hampir di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. Masih banyak angka kesakitan dari 6

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

beberapa penyakit di kecamatan ini yang belum tuntas. Angkaangka indikator Kesehatan Ibu dan Anak, yang menjadi topik penelitian, pun capaiannya masih rendah. Berikut merupakan data KIA Desa Tanjung Pasir Tahun 2013. Tabel 1.2. Data Kesehatan Ibu dan Anak Desa Tanjung Pasir Tahun 2013 INDIKATOR

2011

K1

62%

K4

66%

PN

48%

KF

48%

KN Lengkap

44%

Kunjungan Bayi

55%

ASI Eksklusif

50%

D/S

57%

Sumber: PPT Lokakarya Mini Puskesmas Kuala Enok Tahun 2013

Angka tersebut menunjukkan bahwa angka indikator terkait kesehatan ibu dan anak masih rendah, bahkan masih ada angka di bawah 50%. Oleh karena itu topik yang berkaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak akan menjadi fokus penelitian. Diharapkan dengan fokus terhadap topik ini akan menjadi sumbangan bagi pemerintah daerah agar adanya perbaikan kesehatan bagi ibu dan anak sehingga dapat menekan AKI dan AKB di wilayah ini. 1.3. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode etnografi, dimana cara ini merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan gambaran yang kholistik tentang bagaimana masyarakat dalam 7

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

suatu komunitas itu berperilaku. Menurut Ahimsa, dengan metode ini peneliti akan dapat menyajikan informasi rinci tentang keadaan di lokasi penelitian, mulai dari lingkungan fisik, praktek-praktek sosial yang ada, hingga pandangan dan pendapat mereka yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal-hal tersebutlah yang memiliki pengaruh tertentu dan memberikan sumbangan terhadap tingkat kesehatan yang telah dicapai. Dalam metode ini diperlukan instrument dan cara pengumpulan data agar data yang ada tidak terlewat oleh si peneliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa cara atau teknik agar data yang didapatkan lebih akurat. Teknik yang digunakan antara lain adalah: 1. Participant Observation (Partisipasi Observatif) Cara ini merupakan cara utama yang digunakan dalam penelitian ini karena dianggap dapat mendapatkan gambaran umum mengenai suatu subyek penelitian. Observasi partisipasi dilakukan dengan terlibat langsung dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sehari-hari di Desa Tanjung Pasir, khususnya yang terkait dengan perilaku kesehatan. Untuk melakukan observasi tersebut maka tim peneliti tinggal bersama dengan masyarakat Desa Tanjung Pasir tersebut kurang lebih selama 50 hari. Observasi-partisipasi dilakukan dengan mengikuti semua aktivitas-aktivitas keseharian masyarakat, baik itu aktivitas sehari-hari di rumah, aktivitas pekerjaan, aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan. Dengan melakukan pengamatan, peneliti yakin terhadap realitas yang ada di lapangan dan data yang diperoleh (Moleong, 2005: 174175).

8

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

2. Wawancara Dalam penelitian ini untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, penulis menerapkan model wawancara tak berstruktur (unstructured interview) dan berfokus (focused interview). Wawancara dilakukan untuk menegaskan apa saja yang sudah didapatkan pada saat dilakukan observasi partisipasi. Untuk menggali informasi lebih dalam dari informan, pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan metode indepth interviewing, yaitu proses tanya jawab dengan bertatap muka antara peneliti dengan informan sehingga mendapatkan informasi dan juga pengertian tentang kehidupan informan, pengalaman atau keadaan seperti yang dikatakan sendiri oleh para informan (Bogdan and Taylor, 1984:74). Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang dianggap bisa memberikan gambaran yang jelas dan mendalam atas kejadian atau peristiwa tertentu terkait dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan dapat lebih valid. Pemilihan informan disesuaikan dengan apa yang menjadi pertanyaan peneliti. Data wawancara kemudian harus diuji kebenarannya agar data tersebut bisa dipertanggung jawabkan, peneliti melakukan cross check data awal pada informan lain dengan menggunakan pertanyaan yang sama atau disebut triangulasi. Data yang telah diperoleh segera diproses karena jika menunda proses pencatatan dikhawatirkan akan terjadi perubahan data yang diperoleh karena peneliti lupa. 3. Data Sekunder Selain mengumpulkan data primer, peneliti juga mengambil data sekunder, data sekunder didapatkan dari lokasi penelitian yang telah ditetapkan. Data sekunder tersebut berupa profil kabupaten, data-data kesehatan secara umum dan data 9

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir, data kesehatan yang berasal dari Puskesmas Kuala Enok (Kecamatan Tanah Merah), data Puskesmas Pembantu Desa Tanjung Pasir, data Demografi dari BPS Kabupaten Indragiri Hilir dan data monografi Desa Tanjung Pasir. Selain itu dilakukan juga penelusuran informasi dari buku-buku, literatur ataupun informasi yang dipublikasikan dalam media elektronik maupun cetak. Data di media ini lebih berkaitan dengan sosial budaya Etnik Laut dan juga mengenai kesehatan yang menjadi topik dalam penelitian ini. 4. Data visual Data ini merupakan data berupa foto dan juga video. Data dari keduanya menjadi penunjang bagi data-data yang sudah disebutkan di atas, sehingga data lebih akurat lagi. Dengan adanya data berupa foto dan juga video sangat membantu peneliti mengingat ada gambaran kejadian tertentu yang mungkin luput dan lupa tercatat oleh si peneliti. Dalam laporan adanya foto diharapkan dapat memperjelas gambaran fenomena atau peristiwa tertentu sesuai dengan tujuan penelitian, yang tidak cukup jika hanya digambarkan dengan deskripsi berupa tulisan. 5. Studi Kepustakaan Teknik pengambilan data berikutnya adalah dengan cara studi kepustakaan. Studi pustaka yang dimaksud adalah cara untuk memperoleh informasi atau data mengenai topik permasalahan yang dibahas dari buku-buku dan juga internet. 1.4. Analisis Data Analisa yang dimaksud merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara,

10

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang persoalan yang diteliti dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain. Dalam penelitian ini teknik analisis data dengan metode kualitatif dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: membaca data yang diperoleh peneliti melalui kegiatan observasi, wawancara, data hasil catatan lapangan, fieldnote dan juga hasil transkrip wawancara dengan informan yang telah ditentukan oleh peneliti. Kemudian peneliti membuat resume atau catatan inti dari hasil wawancara dengan informan, setelah semua dipahami oleh peneliti kemudian peneliti memilah-milah data yang diperoleh dan mengambil hal yang pokok terkait dengan topik penelitian yaitu mengenai perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat desa Tanjung Pasir. Peneliti melakukan koreksi kembali dari kegiatan observasi dan wawancara tentang pokokpokok penelitian. Tahap berikutnya peneliti menyusun data yang telah diperoleh dari informan-informan melalui wawancara dan observasi kemudian mengklasifikasikan data tersebut, sehingga nantinya akan mempermudah peneliti dalam mengidentifikasi data yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Peneliti juga membaca literatur yang sesuai dengan topik penelitian. Studi kepustakaan bisa dilakukan dengan mengakses internet dimana berbagai informasi dapat diperoleh dengan mudah dari internet. Data yang diperoleh dari hasil lapangan akan dianalisis dengan metode kualitatif. Analisis dilakukan untuk memperoleh keselarasan dan menata hasil catatan dari lapangan untuk memperoleh suatu pemahaman. Data hasil wawancara dengan informan tersebut memerlukan interpretasi dari peneliti. Interpretasi tersebut dapat dilakukan ketika semua data mengenai topik permasalah telah terkumpul. Peneliti juga melakukan kroscek ulang dengan semua informan apabila 11

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menurut peneliti data yang didapat mempunyai kekurangan atau kesalahan. Hal ini mendukung suatu keaslian dari data yang berhubungan dengan topik penelitian.

12

BAB 2 KEBUDAYAAN ETNIK LAUT DI DESA TANJUNG PASIR

2.1. Profil Kabupaten Indragiri Hilir1 Kabupaten Indragiri Hilir terletak di pantai Timur pulau Sumatera yang merupakan gerbang selatan Propinsi Riau dengan luas daratan 11.605,97 km² dan perairan 7.207 km², berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa yang terdiri dari berbagai etnis. Kabupaten Indragiri Hilir yang sebelumnya dijuluki ”Negeri Seribu Parit” sekarang terkenal dengan julukan “Negeri Seribu Jembatan”. Julukan ini didapatkan karena daerah Indragiri Hilir dikelilingi perairan berupa sungai-sungai besar dan kecil, parit, rawa-rawa dan laut sehingga di sana terdapat banyak jembatan yang berfungsi untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya. Sebagian besar dari luas wilayah Kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebanyak 93,31% merupakan daerah dataran rendah yaitu daerah endapan sungai, daerah rawa dengan tanah gambut (peat), daerah hutan payau (mangrove) dan terdiri atas pulaupulau besar dan kecil dengan luas lebih kurang 1.082.953,06 hektar dengan rata-rata ketinggian lebih kurang 0-3 meter dari permukaan laut. Sebagian kecil daerahnya yaitu sebesar 6,69% 1

Data diambil dari Profil Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir yang diakses dari www.inhil.kab.go.id, diolah lagi oleh peneliti sesuai kebutuhan penelitian.

13

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

berupa daerah berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata 6-35 meter dari permukaan laut yang terdapat dibagian selatan Sungai Reteh di Kecamatan Keritang yang berbatasan dengan Provinsi Jambi.

Gambar 2.1. Peta wilayah dan Luas Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Sumber : http://www.inhilkab.go.id

Secara fisiografis Kabupaten Indragiri Hilir beriklim tropis dan merupakan sebuah daerah dataran rendah yang terletak di ketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut. Bila diperhatikan dari segi fisiografisnya, tanah-tanah di daerah tersebut terbelah-belah oleh beberapa sungai terusan, sehingga membentuk gugusan pulau-pulau. Sungai yang terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri Hilir. Sungai Indragiri Hilir mempunyai tiga muara ke Selat Berhala yaitu Desa Sungai Belah, Desa Perigi Raja dan Kuala Enok. Sedangkan sungai-sungai lainnya adalah: Sungai Guntung, Sungai 14

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Kateman, Sungai Danai, Sungai Gaung Anak Serka, Sungai Batang Tuaka, Sungai Enok, Sungai Batang, Sungai Gangsal, Sungai Keritang, Sungai Reteh, Sungai Terap, Sungai Mandah, Sungai Igal, Sungai Pelanduk, Sungai Bantaian, dan sungai Batang Tumu. Pada umumnya struktur tanah di Kabupaten Indragiri Hilir terdiri atas tanah organosol (histosil) yaitu tanah gambut yang banyak mengandung bahan organik. Tanah ini dominan di wilayah Indragiri Hilir terutama daratan rendah di antara aliran sungai. Sedangkan di sepanjang aliran sungai umumnya terdapat formasi tanggul alam natural river leves yang terdiri dari tanahtanah alluvial (entisol) dan gleihumus (inceptisol). Pada musim kemarau kadang-kadang hujan tidak turun selama 3 (tiga) bulan lamanya sehingga menimbulkan kesulitan air bersih, pengairan dan sebagainya. Angin yang bertiup sepanjang tahun adalah angin utara dan angin selatan. Pada waktu musim angin utara, terjadi musim gelombang serta air pasang yang cukup tinggi yang membawa air laut berkadar garam ke hulu sungai sehingga membawa pengaruh terhadap tingkat kesuburan bagi tanam-tanaman tertentu yang tidak tahan terhadap kadar air dengan tingkat keasinan yang tinggi. Secara geografis wilayah Kabupaten Indragiri Hilir memiliki potensi perairan laut yang cukup luas serta daratan dimana pada daerah tersebut dapat dikembangkan usaha budidaya perikanan. Di samping sungai-sungai dan selat, di Kabupaten Indragiri Hilir banyak terdapat parit-parit.2. Kabupaten Indragiri Hilir terdiri dari berbagai macam Etnik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Kabupaten Indragiri Hilir merupakan “Miniatur Indonesia”, hal ini dikarenakan masyarakat

2

(http://www.riaudailyphoto.com/2013/03/profil-kabupaten-indragirihilir.html, diakses pada 23 Juli 2014, 11.00 WIB

15

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang tinggal di Indragiri Hilir merupakan berbagai Etnik yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Dalam penelitian kali ini, subjek penelitian yang akan dibahas adalah masyarakat Etnik Laut. Kelompok ini masih dikategorikan sebagai Komunitas Adat Tertinggal berdasarkan Kementerian Sosial. Penyebaran masyarakat Etnik Laut yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir menyebar ke beberapa kecamatan dan desa. Penyebaran di beberapa kecamatan dan di desa dapat digambarkan pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1. Penyebaran Etnik Laut di Kab. Indragiri Hilir No

Kecamatan

Desa

1.

Kateman

Kuala Selat

2.

Mandah

Bekawan Belaras

3.

Tanah Merah

Tanah Merah Sungai Laut Tanjung Pasir

4.

Kuala Indragiri

Perigi Raja Sungai Bela

5.

Reteh

Pulau Ruku

6.

Concong

Concong Luar Panglima Raja

7.

Sungai Batang

Kuala Patah Parang

Sumber: Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir 2014

Masyarakat Etnik Laut memilih suatu tempat persinggahan biasanya karena letaknya yang teduh dan terlindung dari ombak dan badai, seperti teluk, kuala, atau muara sungai. Di tempat itu jugalah biasanya terjadi pertemuan dan interaksi orang Etnik Laut dari beberapa desa. 16

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

2.1.1 Penyebaran Etnik Laut Berdasarkan Pola Hidup Pada sub-bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Etnik Laut berada di beberapa kecamatan yang ada di kabupaten Indragiri Hilir, salah satunya yaitu Kecamatan Tanah Merah. Kecamatan Tanah Merah merupakan salah satu kecamatan yang banyak dikelilingi sungai-sungai kecil dan menjorok sampai ke lautan. Kecamatan ini juga merupakan daerah yang dikelilingi oleh hutan-hutan bakau. Kecamatan Tanah Merah merupakan salah satu kecamatan dengan Ibukota Kuala Enok, luas wilayah kecamatan 721,56 km². Kecamatan Tanah Merah memiliki kelurahan atau desa seperti: Desa Kuala Enok, Desa Selat Nama, Desa Sungai Laut, Desa Sungai Nyiur, Desa Tanah Merah, Desa Tanjung Baru, Desa Tanjung Pasir, Desa Tekulai Bugis, Desa Tekulai Hilir dan Desa Tekulai Hulu. Sebelum tahun 1907 Kecamatan Tanah Merah menjadi tempat pemukiman atau tempat tinggal persinggahan Etnik Laut. Kecamatan Tanah Merah adalah kecamatan dengan urutan kedua terbanyak yang dihuni oleh masyarakat Etnik Laut, setelah Kecamatan Concong. Kemajuan kehidupan ekonomi dan berkembangnya zaman membuat masyarakat Etnik Laut tidak bisa lama bertahan hidup di Kecamatan Tanah Merah dan pada akhirnya melakukan perpindahan tempat tinggal, dikarenakan persaingan ekonomi yang tidak bisa mereka jangkau dengan masyarakat Etnik lainnya. Masyarakat Etnik Laut memiliki pola hidup selalu berkelompok dan berkumpul sesama masyarakat Etnik Laut lainnya. Hal ini karena mereka memiliki pola pikir dan pemahaman yang sama dalam menjalani hidup mereka.

17

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.1.2. Sejarah Etnik Laut Nama masyarakat Etnik Laut belum terlalu lama dipakai masyarakat umum untuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat yang dahulu memiliki cara hidup dengan berpindahpindah, bertempat tinggal dalam sampan atau perahu kecil dan mengembara di kawasan perairan yang hampir meliputi seluruh wilayah Kabupaten Indragiri Hilir dan kecamatan yang dikelilingi oleh perairan. Kebiasaan mengembara di laut sudah merupakan warisan nenek moyang masyarakat Etnik Laut yang telah berlangsung selama pada beberapa generasi. Pengembarapengembara laut, menurut catatan sejarah dan etnografi telah dikenal pada masa akhir zaman Kerajaan Sriwijaya yaitu pada abad ke-14. Seiring dengan kemajuan jaman, Etnik Laut pun mengalami perubahan nama menjadi istilah Etnik Duanu. Perubahan nama dari Etnik Laut menjadi Duanu ini diberikan oleh sekumpulan tokoh masyarakat Etnik Laut muda. Menurut salah satu tokoh muda ungkapan ini berasal dari bahasa Belanda dari kata duane yang artinya upeti, pajak dan cukai. Karena di masa Kerajaan Lingga masyarakat Kerajaan Lingga sering memungut pajak (duane) kepada setiap kapal yang datang berlabuh. Ketika itu setiap kapten kapal yang datang berlabuh di kuala masyarakat setempat selalu menyapa dengan kata-kata “hei duane” yang artinya adalah hei, bayar pajak. istilah duane ini pada akhirnya menjadi ejekan dan melekat terus (Amin, 2012: 118). Pemberian nama Duanu ini bertentangan dengan para sesepuh masyarakat Etnik Laut karena mereka tidak suka ketika disebut dengan nama Etnik Duanu. Pada masyarakat Etnik Laut, Etnik Duanu hanya perubahan nama saja dan tidak ada sejarahnya. Tokoh masyarakat tua dari Etnik ini menyatakan bahwa perubahan nama dari masyarakat Etnik Laut menjadi Etnik Duanu ini dilakukan oleh pihak yang berkepentingan saja 18

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

khususnya masyarakat Etnik Laut yang sudah berpendidikan tinggi, mereka menganggap dengan perubahan nama ini akan nantinya membawa perubahan kepada masyarakat Etnik laut lainnya, tetapi masyarakat Etnik Laut sendiri sebenarnya tidak pernah malu apabila masyarakat Etnik lain menyebut mereka dengan sebutan orang laut. Cerita tetua masyarakat setempat seperti tok kik (kakek) Nr dan tok kik Hs mengatakan riwayat masyarakat Etnik Laut berasal dari daerah Desa Sungai Rumah dan bukannya dari Desa Tanah Merah. Pada awalnya masyarakat Etnik Laut selalu bersama untuk menjalani hidupnya dengan masyarakat Etnik Laut lainnya dan bertempat tinggal di atas perahu atau sampan kecil. Masyarakat Etnik Laut dulunya tidak pernah mau bertempat tinggal dan menjalani hidupnya di daratan. Mereka memilih untuk melakukan segala aktivitasnya di dalam perahu atau sampan yang kecil yang atapnya ditutupi dengan daun nipah, yang disebut dengan perahu kajang. Aktivitas yang dilakukan dalam perahu kajang ini seperti memasak, makan, mandi, istirahat dan bahkan proses persalinan dan perkembangan anak pun dilakukan semuanya di atas kapal tersebut. Masyarakat Etnik Laut mulai berpindah ke daratan pada saat Negara Indonesia mau merdeka. Tahun 1945 mereka sedikit demi sedikit sudah mulai menganut agama Islam namun di satu sisi masih ada juga yang mempercayai hal ghaib. Perkembangan agama Islam yang pesat pada masyarakat Etnik Laut tidak lepas dari peran Tuanku Guru Sapat Datuk Ibrahim, dengan dibantu oleh anak-anak muridnya beliau mengembangkan agama Islam pada masyarakat Etnik laut ini. Ketergantungan masyarakat Etnik Laut pada laut sangat tinggi, terlebih masyarakat Etnik Laut yang berdomisili di laut, dimana mereka menganggap laut dan sungai-sungai kecil adalah 19

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

surga bagi kehidupan mereka sampai tua nanti. Masyarakat Etnik Laut menyatakan dirinya sebagai manusia yang pernah dilahirkan oleh gelombang laut lewat dan secara alami telah menyatukan diri dengan kehidupan laut dan menjadikan lingkungan di sekitar laut sebagai sumber daya alam mereka. Masyarakat Etnik Laut untuk saat ini mulai menetap dan membangun rumah di tepi pantai dari gugusan pulau-pulau di jalur pelayaran yang pernah mereka lalui dalam pengembaraannya. Setiap kelompok masyarakat Etnik laut mempunyai bahasa kelompok sendiri, namun mereka mengerti bahasa yang digunakan kelompok-kelompok lain. Karateristik masyarakat Etnik laut adalah dengan bentuk tubuh yang kekar, warna kulit lebih hitam, rambut dan gigi yang ke kuning-kuningan, serta tutur bahasa yang lebih kasar dan nada bicara yang keras. Seperti ungkapan tok kik Ak, “Duanu pialap madolak (Orang laut tidak lepas dari laut).”

2.1.3. Etnik Laut Di Desa Tanjung Pasir Berdasarkan cerita tetua di Desa Tanjung Pasir yang telah hidup berpuluh-puluh tahun disana, yaitu tok kik Pd mengatakan bahwa masyarakat Desa Tanjung Pasir pada awalnya tinggal di Desa Tanjung Baru. Ketika pada saat itu terjadi sebuah permasalahan yang sangat signifikan yang dihadapi oleh masyarakatnya yaitu masalah ekonomi dan sulitnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut mengakibatkan Desa Tanjung Baru tidak layak huni lagi, sehingga pada akhirnya terjadilah perpindahan penduduk ke Desa Tanjung Pasir. Dengan terjadinya perpindahan tempat tinggal ini membuat suatu perubahan pada Desa Tanjung Pasir dimana desa ini dihuni dengan berbagai kalangan Etnik seperti Etnik Laut, Banjar, Melayu, Bugis, Jawa, Minang, dan Batak. 20

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Menurut sejarah, asal muasal nama Desa Tanjung Pasir ini karena daerah tanjungnya berbentuk bundar dan pada daerah tanjung ini banyak terdapat pasir, sehingga daerah tersebut dinamakan Desa Tanjung Pasir. Pemberian nama ini berdasarkan musyawarah bersama masyarakat yang dahulu pertama kali tinggal di Desa Tanjung Pasir. Desa Tanjung Pasir memiliki 3 dusun yaitu Dusun Tanjung Harapan dan Dusun Sungai Rumah dan dipimpin oleh wak ka’ MA disein donu (Bapak MA orang Etnik laut duanu) sedangkan Dusun Sungai Bandung dipimpin oleh Bapak P orang Etnik Banjar. Dusun Sungai Bandung merupakan dusun yang paling tertua di antara dusun yang lainnya. Pemberian nama Dusun Sungai Bandung ini dikarenakan bentuk sungainya membendung maka masyarakat yang hidup pada masa tersebut memberikan nama dengan sebutan Dusun Sungai Bandung. Dusun Sungai Bandung merupakan desa dataran rendah yang mengakibatkan masyarakatnya banyak bertempat tinggal dan membuat rumah di daratan, dan mata pencaharian utama mereka hanya mengandalkan hasil kebun kelapa. Oleh karena itu di Dusun Sungai Bandung ini tidak ditemukan masyarakat Etnik Laut yang tinggal disana, hal tersebut disebabkan karakteristik geografis yang berupa daerah daratan, sehingga tidak cocok untuk pola hidup masyarakat Etnik Laut yang biasa hidup di tepi pesisir pantai atau lautan. Kampung tertua kedua di Desa Tanjung Pasir adalah Dusun Sungai Rumah. Pemberian nama ini karena pada awalnya di sungai ini ada satu rumah yang dibuat oleh masyarakat Etnik Laut yang kemudian diikuti terus dengan beberapa pembuatan rumah berikutnya. Sungai ini juga merupakan salah satu akses penting sebagai sarana jalan laut. Letaknya di tepi sungai dan banyak orang sering melintas.

21

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tahapan perkembangan desa dari waktu ke waktu sudah mengalami perubahan yang signifikan dan dirasakan oleh masyarakat Etnik Laut dan masyarakat Etnik lainnya. Perubahan ini disebabkan cara pola pikir mereka yang sudah maju dan adanya pembangunan fisik maupun non fisik. Masyarakat pun sudah bisa mengelola konflik yang dulunya kerap terjadi dan menjadi masalah baik itu di dalam kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok Etnik lainnya. Seiring dengan perubahan tersebut maka terjadi perubahan nilai dan norma yang ada di masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk Etnik Laut yang ada di dalamnya. Sebagai akses untuk dapat berinteraksi atau berkomunikasi sehari-hari dari satu tempat ke tempat lainnya masyarakat desa harus melintasi jalan jerambah yang terbuat dari papan. Jalan jerambah ini tidak bisa bertahan lama penyebabnya adalah kekuatan papan yang mudah lapuk dan harus dilakukan pergantian papan tiap bulan dan tiap tahunnya. Dengan menggunakan anggaran APBD dan bantuan dari Program Mandiri pada tahun 2009, perubahan akses jalan pun mengalami perubahan yang signifikan. Jalan tersebut sudah berbentuk jalan semen atau jalan beton yang masih dibatasi areanya seperti jalan yang ada di pemukiman tempat tinggal penduduk yang berada di sepanjang area pelabuhan. Di sepanjang jalan beton pada area pelabuhan ini dipergunakan juga oleh masyarakat Etnik Laut dan masyarakat Etnik lainnya untuk menjemur ikan yang di asinkan, meletakkan jaring, meletakkan kayu sungkur dan juga sebagai tempat sandaran kapal mereka ketika pulang dari melaut. Mereka beranggapan dengan adanya jalan beton di sepanjang area pelabuhan ini banyak manfaat yang mereka dapatkan bagi kehidupan, termasuk menghindari longsor.

22

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.2. Akses Jalan Papan Jerambah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Desa Tanjung Pasir memiliki satu jembatan yang panjangnya sekitar 30 meter yang lantai dasarnya terbuat dari papan resak dan pondasi jembatan terbuat dari kayu bakau dan kayu ulin. Jembatan ini merupakan salah satu sarana penghubung antara Dusun Tanjung Harapan ke Dusun Sungai Rumah yang berfungsi sebagai wadah untuk menjalankan perekonomian dalam aktivitas jual beli. Bagi masyarakat Desa Tanjung Pasir jembatan ini juga sering dipergunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan bersantai pada waktu sore hari saat para nelayan pulang dari melaut. Jembatan tersebut terkadang digunakan juga sebagai tempat untuk memancing. Desa Tanjung Pasir juga memiliki kantin pasar yang letaknya di Dusun Tanjung Harapan. Kantin pasar yang dimiliki oleh desa tidak jauh dari pinggir sungai. Masyarakat yang 23

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

berjualan di kantin pasar mayoritas adalah masyarakat Etnik Laut, jumlahnya pun tidak banyak. Setiap harinya hanya sekitar 2 atau 3 orang yang berjualan dan biasanya mereka menjual hasil tangkapan dan sayuran yang sebelumnya diambil dari pasar yang ada di Kecamatan Kuala Enok.

Gambar 2.3. Kantin Desa Sumber: Dokumentasi Peneliti

Desa Tanjung Pasir memiliki pelabuhan sendiri di salah satu bagian desa, adanya pelabuhan kecil ini diperuntukkan untuk mempermudah akses masyarakat yang datang dan keluar dari desa ini. Di pelabuhan tersebut sudah disediakan tangga dari kayu agar memudahkan mereka untuk naik atau turun ke kapal yang diparkir di pelabuhan tersebut. Dahulu, pelabuhan yang terdapat di desa ini keadaannya lebih baik, karena pelabuhan kecil tersebut dilengkapi dengan atap pelindung di atasnya sehingga masyarakat yang naik atau turun dari kapal terlindungi dari hujan dan terik matahari serta udara yang panas.

24

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.4. Pelabuhan Ketika Air Surut

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Namun sekarang ini pelabuhan yang lama sudah dibongkar termasuk atapnya karena keberadaannya disalahgunakan oleh beberapa masyarakat untuk tempat mereka berkumpul sambil meminum tuak dan pada akhirnya berujung pada seringnya terjadi keributan antar sesama warga. Sekarang yang tersisa hanyalah pelabuhan sederhana dengan tangga kayu. Tangga kayu itu memang relatif memudahkan masyarakat untuk turun ke kapal, namun keadaan pasang surut juga menentukan sulit atau tidaknya mereka turun. Ketika air sedang sangat surut derajat kemiringan tangga akan semakin tinggi sehingga memanjat tangga pun akan lebih sulit, sedangkan ketika air pasang masyarakat sangat mudah untuk masuk kapal karena tangga akan menjadi datar, hanya beberapa centimeter saja di atas air.

25

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Dalam hal sarana pendidikan, Desa Tanjung Pasir memiliki 1 PAUD, 2 Sekolah Dasar (SD) dan SMP Satu Atap. Meskipun di Desa Tanjung Pasir sudah memiliki fasilitas pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, tetapi masyarakat di desa tersebut merasa masih belum cukup, karena apabila anak-anak ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu ke Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka harus pergi ke kecamatan lain, karena fasilitas pendidkan tingkat SMA hanya ada di Kecamatan Tanah Merah. Pendidikan bagi anak-anak di desa Tanjung Pasir sepertinya bukan merupakan prioritas utama, jadi meskipun anak-anak di Desa Tanjung Pasir pada umumnya sudah banyak yang bersekolah tetapi sebagian dari mereka berhenti dan tidak tuntas menyelesaikan pendidikan mereka. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari orang tua mereka terhadap pendidikan. Sebagian orang tua Etnik Laut cenderung menyuruh anaknya untuk turut serta bekerja atau membantu mereka bekerja, daripada mendukung anak-anak untuk terus melanjutkan pendidkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan ungkapan salah satu guru Bapak Sf berikut ini: “Ketika orang tua Etnik Laut ini sudah punya anak mereka sebagai orang tua sangat jarang memberikan pendidikan sampai selesai paling tinggi pendidikan anakanak mereka tamat SD dan SMP, para orang tua hanya lebih cenderung sang anak disuruh untuk bekerja dengan dapat uang setiap harinya. para orang tua lebih senang ketimbang anaknya belajar, sebenarnya untuk biaya kemiskinan dari sekolah sudah disediakan ketika uang yang seharusnya dipakai untuk pendidikan malahan dibelikan beras dan sembako.”

26

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi Koordinat geografis desa ini berada pada 0 derajat 24” Lintang Selatan dan 103 derajat 18” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Desa Tanjung Pasir adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tanah Merah dan Desa Tanjung Baru; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sungai Laut; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kuala Enok; dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tanjung Lajau. Jarak dari Desa Tanjung Pasir menuju ke ibukota kecamatan sekitar 2 km, sedangkan jarak dari desa Tanjung Pasir ke ibukota kabupaten sekitar 50 km, apabila masyarakat akan bepergian menuju ke Ibukota Provinsi Riau jaraknya sekitar 485 km. Desa Tanjung Pasir dikelilingi sungai-sungai kecil yang mengakibatkan tidak adanya jalan darat untuk akses dari dan ke kecamatan ataupun kabupaten. Transportasi laut menjadi satusatunya sarana yang dapat dipakai. Untuk menuju ke Kecamatan Tanah Merah masyarakat Etnik Laut harus menggunakan pompong atau kapal motor sebagai transportasi untuk menyeberang. Biaya untuk sekali menyebrang sekitar Rp. 2.000,per-orangnya. Masyarakat yang cukup mampu memiliki kapal motor atau pompong sendiri juga dipergunakan untuk berbagai kepentingan, seperti menjaring ikan selain digunakan untuk menyeberang. Apabila masyarakat Desa Tanjung Pasir ingin bepergian ke Ibukota Kabupaten Indragiri Hilir (Tembilahan) mereka menggunakan speed boat. Perjalanan ke Tembilahan memerlukan waktu satu jam saja dengan biaya Rp. 45.000,- perorangnya. Bisa juga menggunakan kapal motor milik pribadi

27

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

namun waktunya sedikit lama untuk sampai ke Kabupaten Indragiri Hilir. Secara topografi, flora yang terdapat di Desa Tanjung Pasir adalah pohon kayu bakau dan pohon letup api yang terhampar luas. Penanaman pohon kayu bakau ini sangat dilestarikan masyarakat karena berfungsi sebagai penahan ketika terjadi longsor. Lain halnya dengan pohon letup api yang biasanya digunakan masyarakat sebagai bahan pengobatan untuk mengobati sakit kulit. Selain itu sejak adanya bantuan dari Dinas Kehutanan tentang Program Reboisasi Hutan Bakau, maka hutan bakau lebih tertata rapi dan menjadi pemandangan indah di sepanjang aliran sungai desa. Kondisi alam Desa Tanjung Pasir dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut menyebabkan desa tersebut tidak memiliki sawah atau ladang karena masalah pengairan tersebut. Masyarakat setempat juga tidak memelihara hewan atau ternak, beberapa beberapa keluarga ada yang memelihara ayam tapi bukan untuk diternakkan tapi untuk disimpan untuk keperluan hajatan. Di desa ini pun terdapat hewan liar yang berkeliaran sekitar payau di bawah rumah panggung tempat masyarakat membuang sampah, hewan liar tersebut adalah babi, macan, anjing, biawak dan monyet. Masyarakat Desa Tanjung Pasir menjalani hidup menyesuaikan dengan keadaan alam yang ada di sekitar aliran sungai, seperti yang dijelaskan Bapak Ks berikut ini: “Tanaman dan sayuran disini tidak ada karena merupakan daerah perairan. apabila ada pasti akan hanyut terkena dengan air pasang begitu juga dengan hewan ternak seperti kambing dan sapi disini tidak ada juga karena untuk pemberian makannya tidak ada seperti rumput dan ilalang.”

28

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Berkaitan dengan keberadaan sungai, menurut masyarakat Etnik Laut, sungai dan air adalah satu keterkaitan dalam hidup mereka. Masyarakat Etnik Laut menganggap air laut yang asin merupakan suatu kekuatan atau obat bagi mereka. Hal ini seperti yang dialami oleh tok kik Ed pada cerita berikut ini: “Laut dan sungai adalah surganya kita karena kebutuhan sehari-hari bergantung pada hasil laut dan hasil sungai, dan saya selalu berendam ke air laut yang asin ketika melaut, makanya saya sangat jarang terkena sakit kulit apalagi kalau pekerjaan saya mencari kerang di lumpur yang kotor, masyarakat Etnik laut beranggapan air laut yang asin ini berfungsi sebagai mengebalkan kulit dan bisa juga mengeraskan tubuh kita “.

Dalam hal sumber air, masyarakat menggunakan air hujan dan juga air sumur bor. Air hujan biasa digunakan untuk minum, memasak dan mandi. Pipa-pipa panjang diatur sedemikian rupa di atas rumah sehingga air hujan akhirnya dapat dialirkan di tempat penampungan sebelum nantinya dipindahkan ke wadahwadah penyimpanan air hujan yang lebih kecil seperti dirigen kecil atau bekas botol air mineral. Tempat penyimpanan air hujan ini jarang dibersihkan sehingga membuat kualitas air hujan jadi keruh. Masyarakat juga jarang menyaring air hujan yang mengalir dari kotoran atap rumah mereka. Air minum yang berasal dari air hujan biasanya dimasak terlebih dahulu, namun masih ada sebagian yang tidak memasak dan lebih memilih untuk mengkonsumsinya langsung karena dianggap lebih sejuk jika dibandingkan dimasak terlebih dahulu yang rasanya dianggap mereka hambar. Ketika musim kemarau dan tidak ada persediaan air hujan maka masyarakat biasanya membeli air ke kecamatan dimana harga satu dirigen kecil sebesar Rp 5.000.-. Namun ada juga yang akhirnya menggunakan sumber air bor sebagai air minum. Terkait 29

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sumber air minum menurut penuturan informan tok kik Aj sebagai berikut. “Untuk minum di rumah ini saya dan keluarga menggunakan air hujan dan air sumur bor. yang penting ada dua fakta jangan asin dan yang penting bersih. kadang langsung di minum saja, kalau air hujan dan air sumur bor ini di masak rasanya hambar kalau di minum langsung rasanya manis dan segar karena dia dingin, apabila air hujan dan air sumur bor di masak sama saja mengeluarkan biaya lagi.”

Untuk aktivitas seperti mandi, mencuci, buang air, masyarakat menggunakan air sumur bor. Desa ini memiliki dua unit mesin untuk sumur air bor yang bertempat di Dusun Tanjung Harapan dan Dusun Sungai Rumah. Apabila terjadi musim kemarau masyarakat tetap menggunakan air sumur bor sebagai kebutuhan dan keperluan sehari-harinya. Mereka beranggapan bahwa air sumur bor yang mereka miliki ini tidak akan pernah habis.

Gambar 2.5. Air untuk Kebutuhan Sehari-hari Sumber: Dokumentasi Peneliti 30

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

2.2.2. Kependudukan Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di Kantor Kepala Desa tahun 2013, desa yang terdiri atas ± 625 KK dengan jumlah laki-laki 1.354 orang dan perempuan 1.224 orang. Dilihat dari Etnik yang bertempat tinggal di Desa Tanjung Pasir, masyarakat Etnik Laut yang paling banyak penghuninya yaitu sekitar 35% dan diikuti oleh Etnik Banjar 25%, Etnik Melayu 20%, Etnik Bugis 12%, Etnik Jawa 6%, Etnik Minang 1% dan Etnik batak 1%. Masyarakat Etnik Laut ini merupakan masyarakat yang pertama kali menetap di Desa Tanjung Pasir kemudian diikuti dengan Etnik-Etnik lainnya. Karena bertempat tinggal di pesisir pantai lautan makanya mereka sering dibilang masyarakat Etnik lain dengan sebutan Orang Laut. 2.2.3. Keadaan Pola Pemukiman Pada komunitas masyarakat Etnik Laut terdapat perbedaan antara pola pemukiman pada masa lalu dan saat ini. Jika pada masa lalu mereka hidup di laut dan tinggal di atas perahu, maka masyarakat Etnik Laut yang tinggal di desa saat ini hampir tidak ada lagi yang tinggal di laut dan sudah naik ke darat. Dalam pembuatan rumah, rata-rata masyarakat di sini membuat rumah dengan menghadap ke arah laut. Bagi masyarakat Etnik Laut dengan membuat rumah menghadap ke arah laut, mereka dapat menjaga alat transportasi mereka seperti sampan dan kapal motor agar lebih aman. Apabila mereka membuat rumah di dalam sungai-sungai kecil yang menjorok ke daratan akan menyulitkan mereka pergi ke laut mencari nafkah pada saat air sedang saat surut. Pada umumnya rumah penduduk masyarakat Etnik Laut Desa Tanjung Pasir terbuat dari kayu yang berdindingkan papan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan dinding dan juga alas 31

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

rumah masyarakat Etnik Laut masih menggunakan papan resak karena kuat dan bisa bertahan lama. Harga papan resak dengan panjangnya 6 meter bisa mencapai harga Rp. 10.000,-. Biasanya papan resak ini sering juga digunakan sebagai lantai dasar rumah. Untuk atap ada yang menggunakan seng sebagai atap rumah, tetapi ada juga yang masih menggunakan rangkaian daun nipah. Daun nipah tersebut kemudian tersebut dilapisi lagi dengan terpal, fungsinya agar bisa menampung air hujan ketika ada kebocoran atau kerusakan dari daun nipah. Pembelian kayu bakau sebagai pondasi rumah harganya berbeda-beda berdasarkan panjang kayunya. Panjang kayu bakau 8-10 meter harganya bisa mencapai Rp. 9.000,- per-batangnya, sedangkan panjang kayu bakau ukuran 4-6 meter harganya sekitar Rp. 5.000.- per-batangnya. Jika menggunakan pondasi kayu ulin yang panjangnya sekitar 12 meter harga per-batangnya bisa mencapai harga Rp. 150.000,-Harganya kayu ulin jauh lebih mahal, karena kayu ulin sangat kuat jika dibandingkan dengan kayu bakau. Seluruh bahan pembuatan rumah ini biasanya dibeli di Kecamatan Tanah Merah, namun sebagian masyarakat juga bisa mencari sendiri di dalam hutan. Untuk memotong kayu ini masyarakat Etnik Laut sering menggunakan pemotong kayu yang biasa disebut oleh masyarakat Etnik Laut dengan sebutan sinso. Pemerintah setempat, dalam hal ini Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir sampai saat ini masih melakukan perubahan tempat tinggal kepada masyarakat Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir dengan memberikan bantuan berupa rumah yang biasa disebut masyarakat dengan rumah singgah. Pembangunan rumah singgah ini sudah dilakukan dengan dua tahap dan menggunakan dana APBD Kabupaten. Pemberian rumah singgah hanya terbatas dalam pemberiannya kepada masyarakat dengan kategori tidak mampu dan mempunyai 32

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

banyak anak. Pemberian rumah singgah ini bukan hanya untuk Etnik Laut saja namun juga Etnik lainnya dengan kategori yang sudah disebutkan di atas.

Gambar 2.6. Rumah Khas Masyarakat Etnik Laut Sumber: Dokumentasi Peneliti

Rumah singgah yang ada sampai saat ini berjumlah 50 rumah. Rumah ini sifatnya hanya sementara dan tidak bisa menjadi rumah hak milik, apabila mereka menginginkan rumah singgah tersebut sebagai hak milik, caranya dengan membayar surat tanah kepada aparat pemerintah desa. Seperti ungkapan masyarakat Etnik Laut Bapak Sr yang menempati rumah singgah: “Untuk mendapatkan rumah singgah ini sebagai hak milik rumah kita sendiri masyarakat yang menempatinya ya cukup dengan membayar uang surat tanah saja sebesar Rp. 1.300.000 sama kepala desa maka kita akan mendapatkan sertifikat tanahnya.”

Masyarakat Etnik Laut masih mempercayai sebuah jimat untuk dipasang di atas pintu rumah. Jimat ini berfungsi sebagai 33

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pengusir orang halus yang menganggu. Jimat ini biasanya mereka dapatkan dari dukun kampung ataupun dengan membuatnya sendiri. Jimat tidak hanya diletakkan di atas pintu rumah, masyarakat juga memakai jimat pada diri sendiri. Jimat bisa dipasang atau dililitkan pada perut, atau anggota tubuh lainnya. Fungsinyapun sama, yaitu sebagai pelindung agar orang halus tidak mengganggu mereka.

Gambar 2.7. Jimat di Pintu Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, bagi masyarakat Tanjung Pasir, membuang sampah bukanlah hal yang sulit dilakukan, karena untuk pembuangan sampah, masyarakat Desa Tanjung Pasir cenderung membuangnya ke aliran sungai yang ada di bawah rumah ataupun langsung ke laut. Anggapan kebanyakan masyarakat adalah dengan membuang sampah ke laut tersebut, ketika air laut sedang pasang, sampah akan hanyut

34

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dan hilang terbawa oleh air laut dan tidak akan mengotori rumah mereka. Hampir sama dengan pembuangan sampah, kebiasaan masyarakat yang tinggal di desa Tanjung Pasir ini untuk buang air juga dilakukan secara langsung di atas aliran sungai, dimana di atas sungai tersebut terdapat bilik kecil yang mereka sebut dengan WC. Anggapan yang sama seperti halnya dengan membuang sampah ke bawah rumah, membuang hajat ke bawah dipahami agar kotoran tersebut tidak mengotori rumah mereka. Dengan adanya pasang surut air laut akan mengakibatkan kotoran tersebut dibawa hanyut oleh air pasang dan ketika air surut kotoran tersebut akan hilang dan rumah mereka kembali bersih kembali. WC yang ada di rumah masyarakat Tanjung Pasir masih sangat sederhana, karena rumah masyarakat di sana lantainya terbuat dari kayu, wc yang biasanya terletak di bagian belakang rumah adalah berupa lantai kayu yang diberi lubang sedikit untuk tempat buang air. Untuk menutupi sekitarnya digunakan papan, terpal ada juga yang menggunakan nipah. Atap WC menggunakan terpal atau ada juga yang dibiarkan terbuka. Ukurannya pun biasanya hanya kecil dan yaitu berukuran 1 m x 1 m. Demikian juga keadaan MCK yang ada di rumah singgah. Meskipun rumah tersebut telah dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap termasuk kamar mandi dan WC dengan septitank, namun masyarakat desa tetap beranggapan adanya septitank di rumah sama saja dengan menyimpan kotoran di rumah mereka. Karena alasan tersebut akhirnya kebanyakan masyarakat tidak menggunakan kamar mandi tersebut dan akhirnya membuat MCK lagi di luar rumah. Selain itu beberapa di antara masyarakat menyatakan bahwa ukuran kamar mandi terlalu kecil sehingga semakin menimbulkan bau dan pengap. 35

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.8. Tempat Pembuangan Hajat Sumber: Dokumentasi Peneliti

2.3. Mata Pencarian 2.3.1. Hasil Laut Sumber Utama Kehidupan Masyarakat Etnik Laut mengandalkan hasil laut sebagai sumber mata pencaharian, yaitu dengan menangkap ikan, udang, kerang, ketam dan hewan laut yang lainnya. Pekerjaan sebagai nelayan ini dilakukan karena masyarakat Etnik Laut selalu hidup di tepi pantai. Mereka lebih senang pekerjaan yang berkaitan dengan laut atau air dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di darat. Masyarakat Etnik Laut beranggapan apabila mereka tinggal dan melakukan pekerjaan di daratan akan membuat sumber rejeki atau mata pencaharian mereka akan mati. Banyak sedikitnya hasil tangkapan laut ini tidak terlepas dari cuaca dan iklim. Selain itu juga dipengaruhi oleh air pasang 36

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dan air surut, bisa juga dipengaruhi oleh arah mata angin. Jika arah angin utara biasanya masyarakat tidak pergi melaut karenakan pada saat itu ada gelombang besar, jika musim angin selatan masyarakat tetap melaut tetapi hasil tangkapan mereka agak sedikit berkurang disebabkan oleh air laut yang tidak seberapa dalam. Angin yang ditunggu masyarakat Etnik Laut adalah arah angin barat karena faktor curah hujan yang tinggi dan air pasang mulai naik. Pada masa ini hasil tangkapan di laut pun sangat banyak. Sedangkan musim panas dan hujan tidak terlalu mempengaruhi aktivitas pekerjaan mereka.

Gambar 2.9. Aktivitas Nelayan Menjaring Ikan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dari hasil tangkapan berbagai jenis ikan laut, sebagian masyarakat ada yang mengolahnya menjadi ikan asin. Biasanya ikan yang sering dibuat menjadi ikan asin adalah ikan yang

37

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

berukuran sedikit besar atau sesuai permintaan para pelanggan yang memesan kepada pemasok ikan asin. Proses pembuatan ikan asin ini dilakukan ketika ikan baru datang dari laut. Setelah langsung dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam air garam dan direndam selama satu hari lalu keesokan harinya di jemur selama beberapa hari hingga kering. Selain menangkap ikan, masyarakat Etnik Laut juga menangkap udang di laut. Udang merupakan salah satu hewan laut yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Etnik Laut dan masyarakat yang hidup di desa Tanah Pasir. Untuk menangkap udang mereka menggunakan alat berupa kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu sungkur sepanjang 20 meter. Fungsi kayu sungkur ini sebagai penyangga togok (jaring) yang melekat di kayu untuk di bawa ke dalam laut agar udang tersebut akan masuk ke dalam jaring. Nantinya mesin kapal motor akan dibawa ke lokasi dimana di lokasi tersebut di perkirakan terdapat banyak udang. Kayu sungkur dan togok ini akan berada dalam laut kurang lebih selama tiga jam, belum tentu pera nelayan tersebut pasti mendapatkan udang, terkadang bahkan mereka tidak mendapatkan hasil sama sekali, lalu jika dalam waktu tiga jam tersebut tidak mendapatkan udang sama sekali, barulah para nelayan akan mencari dan pindah ke lokasi lainnya. Masyarakat Etnik Laut biasanya pergi melaut sekitar empat jam atau lima jam dalam satu hari. Dalam satu minggu masyarakat Etnik Laut pergi melaut hanya lima hari saja, sisa waktu dua hari lainnya dipergunakan untuk beristirahat untuk selanjutnya kembali melaut. Uang atau pendapatan yang didapatkan masyarakat Etnik Laut dari hasil mencari ikan atau udang per-harinya tidak menentu. Hal tersebut tergantung dari hasil tangkapannya, apabila tangkapan hasil laut banyak, seorang nelayan dapat membawa uang Rp. 300.000,- per-harinya dan apabila hasil 38

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

tangkapannya sedikit hanya bisa membawa uang Rp. 100.000,per harinya atau bahkan bisa juga nelayan pulang dengan tangan hampa, atau tidak membawa uang sama sekali bagi keluarganya. Hal tersebut terjadi apabila nelayan pada saat itu tidak mendapatkan hasil tangkapan sama sekali.

Gambar 2.10. Penjualan Ikan Asin Sumber: Dokumentasi Peneliti

Penghasilan masyarakat Etnik Laut untuk saat ini masih tergolong kurang, dengan mata pencaharian sebagai nelayan, hasil laut yang didapat setiap harinya tidak menentu, apabila hasil tangkapan ikan atau udang hanya sedikit, maka pendapatan mereka bisa langsung habis dalam waktu sehari. Hanya saja ketika hasil tangkapan ikan mereka berlimpah dan penghasilan mereka cukup banyak, seharusnya mereka tidak perlu kekurangan lagi, apabila masyarakat mampu mengelola pendapatan mereka. Namun sayangnya masyarakat Etnik Laut tidak mengelola keuangan mereka dengan baik. Apabila 39

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mendapat penghasilan yang lebih mereka menggunakan uang untuk hal lainnya seperti membelanjakan uangnya untuk minumminum, bermain judi bahkan membeli pil pereda batuk (pil koplo). Masyarakat Etnik Laut jarang menabung untuk kepentingan primer ataupun sekunder yang semestinya sangat penting bagi masa depan mereka. Meskipun demikian sudah ada tersebut yang menggunakan uangnya untuk membeli emas sebagai tabungan di masa depan. Dari pendapatan dan cara pengelolaan keuangan pada masyarakat Etnik Laut, dapat dikatakan bahwa mereka sulit untuk menabung untuk keperluan lainnya di luar kebutuhan sehari-hari, termasuk tabungan yang mungkin diperlukan untuk keperluan kesehatan. 2.3.2. Pembagian Peran dalam Mata Pencaharian Dalam sistem mata pencaharian dari hasil laut terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Seorang lakilaki, baik itu suami atau anak laki-laki berperan sebagai nelayan yang turun ke laut sedangkan sedangkan para istri atau anak perempuan membantu bekerja setelah hasil tangkapan laut sudah dibawa pulang dari melaut. Laki-laki berperan mulai dari mempersiapkan semua hal untuk berangkat melaut, seperti menyiapkan jaring, kapal motor dan peralatan lainnya yang dibutuhkan untuk dibawa ke laut, aktivitas di laut sampai akhirnya kembali ke rumah. Setelah pulang membawa hasil tangkapan para laki-laki bisa beristirahat, barulah disitu peran perempuan dimulai. Para perempuan, istri maupun anak perempuan membantu para suami untuk memilah hasil tangkapan dan membersihkannya sebelum nanti akan dijual di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka atau dijual ke pasar di kecamatan. 40

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Namun ada sebagaian wanita Etnik Laut yang juga bekerja atau memiliki penghasilan sendiri selain membersihkan hasil laut yang dibawa oleh suaminya. Wanita di desa ini banyak yang turut mencari kerang dan siput ke pisisir pantai. Pekerjaan ini biasanya dilakukan beramai-ramai sesama masyarakat Etnik Laut lainnya dengan menyewa pompong kecil untuk pergi ke pesisir pantai. Pekerjaan ini bersifat musiman tergantung saat itu sedang musim kerang atau tidak. Selain itu ada juga wanita yang bekerja sebagai pengisi tanah untuk penanaman bakau, membuka usaha warung kecil-kecilan di lingkungan rumah dan ada juga yang menjadi pembantu rumah tangga di kecamatan. Dengan bekerja para wanita atau istri beranggapan mereka dapat sedikit mengurangi beban ekonomi keluarga yang mereka hadapi setiap harinya. Penghasilan yang didapat dipergunakan untuk membeli sembako dan keperluan lainnya. Sebenarnya pola atau sistem pada masyarakat Tanjung Pasir tidak ada kewajiban bekerja bagi para wanita, keinginan untuk bekerja pada kalangan wanita biasanya didorong oleh kebutuhan yang dirasa tidak tercukupi jika hanya mengandalkan keuangan dari suami saja. Dalam kehidupan masyarakat Etnik Laut, sang istri sangat berperan sekali dalam mengatur keuangan rumah tangga dari penghasilan suami, para istri inilah yang mengatur seluruh pengeluaran setiap harinya. Masalah yang sering terjadi di masyarakat Etnik Laut adalah masih lemahnya mereka dalam hal pengaturan keuangan, Bukan hanya orang dewasa yang memiliki peran dalam mata pencaharian ini, anak-anak ternyata juga memiliki peranan dalam membantu keluarga untuk meningkatkan tingkat ekonomi keluarga mereka. Pembagian tugas anak-anak antara anak lakilaki dan perempuan kurang lebih sama dengan orang dewasa. Anak laki-laki turut ke laut bersama si bapak dan anak 41

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

perempuan biasanya juga membantu ibunya membersihkan ikan dan membantu menjualnya ke masyarakat sekitar lingkungan rumah mereka. 2.3.3. Kelompok Waria Di Desa Tanjung Pasir ini dapat kita temukan orang-orang transgender, yaitu ada beberapa laki-laki yang berdandan seperti wanita yang biasa disebut dengan banci ataupun waria. Mereka berdandan dan bergaya seperti perempuan, memakai rok dan juga menggunakan make up. Pada saat penelitian ini berlangsung penulis menemukan 5 banci di desa ini, namun menurut keterangan warga sebenarnya jumlahnya lebih dari itu, tapi karena mereka bekerja di wilayah atau di desa yang lain, mereka jarang berdiam di desa. Manakala ada pesta di desa, biasanya waria-waria dari desa lain juga datang dan ikut meramaikan suasana. Pada saat itu, akan terlihat bahwa di desa ini jumlah warianya lebih dari lima. Wawancara mendalam sulit dilakukan kepada para waria ini, karena mereka merupakan kelompok yang tertutup. Informasi mengenai perilaku waria ini lebih banyak didapatkan dari warga sekitar yang memang sudah hidup berdampingan lama dengan mereka. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan, keberadaan para waria di desa sudah lama (bukan merupakan trend akhir-akhir ini) dan bukan hanya di desa ini saja, namun keberadaan waria juga ada di beberapa wilayah lainnya. Pria yang menjadi waria memang berasal dari berbagai Etnik yang ada di Indragiri Hilir, namun fakta menunjukkan bahwa lebih banyak waria yang berasal dari Etnik Laut.

42

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.11. Salah Satu Waria di Desa Tanjung Pasir Sumber: Dokumentasi Peneliti

Salah satu tokoh masyarakat menyatakan bahwa mereka menjadi wanita dilatar belakangi kebutuhan ekonomi, dimana mereka sebagai pria lebih dituntut untuk mencari nafkah dibandingkan kaum wanita. Namun di sisi lain pekerjaan di laut tidak pasti, sedangkan bekal mereka untuk bekerja di sektor lain tidak ada. Dengan bekerja sebagai wanita mereka lebih mudah mendapatkan pekerjaan sebagai buruh rumah tangga, seperti mencucikan baju ataupun membersihkan rumah. Menurut informasi dari masyarakat setempat, tak jarang banci-banci ini juga ada yang menjual diri dengan laki-laki sejenis. 2.4. Agama dan Sistem Kepercayaan Pada jaman dulu, religi atau kepercayaan masyarakat Etnik Laut yang mengatur perilaku mereka mengandung konsep animisme dan shanisme. Masyarakat ini meyakini hal-hal yang 43

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bersifat ghaib, adanya pengaruh ruh-ruh, kekuatan-kekuatan gaib, mereka percaya ada hari baik dan hari naas, mereka juga percaya akan adanya hantu-hantu mambang dan peri, serta sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan aatau mencelakakan kehidupan mereka (Shoper 1977: 279, 294). Namun seiring berjalannya waktu, seiring berjalannya waktu terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat Etnik Laut, yang awalnya masih kental memegang suatu kepercayaan gaib kini memiliki agama yaitu agama Islam. Bahkan sebagian dari masyarakat Etnik Laut sudah banyak yang beragama Islam dan menjadikan agama tersebut sebagai pedoman kehidupan mereka. Hal ini sesuai dengan pernyataan tok kik Ak tokoh agama dari Etnik Laut berikut ini: “Untuk sekarang ini kepercayaan hal ghaib, keyakinan gaib, tempat yang dianggap supranatural, upacara yang bersifat ritual, percaya terhadap roh dan praktek sihir sudah tidak ada lagi dan tidak dilaksanakan masyarakat Etnik laut yang ada di desa ini, karena masyarakat Etnik laut sudah memiliki pedoman dan kepercayaan yaitu dengan menganut agama (Islam) karena saya meyakini berserta masyarakat Etnik laut lainnya, semua yang terjadi di dunia ini adalah atas kehendak sang maha kuasa dan yang penting kita selalu berserah diri kepada sang maha kuasa apapun nantinya yang terjadi pada kita”.

Pada masa kini masyarakat Etnik Laut di Desa Tanjung Pasir memperlihatkan peningkatan kualitas beragama setelah salah seorang di antara mereka diberikan kepercayaan untuk menjadi imam mesjid dan juga mengisi khutbah ketika shalat Jum’at. Hal inilah yang mempengaruhi masyarakat Etnik Laut yang tinggal di sekitar mesjid dimana mereka mulai mengikuti 44

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kegiatan-kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah ke masjid dan anak-anak mulai mengikuti pengajian. Masyarakat Etnik Laut yang berada di Desa Tanjung Pasir adalah penganut agama Islam, namun keberadaan sarana pendidikan agama Islam masih sangat terbatas. Hal ini terbukti dengan minimnya jumlah sarana pendidikan Islam yang ada di lingkungan mereka, di lingkungan Desa Tanjung Pasir hanya ada sebuah TPA (Taman Pengajian Al-Qur'an) yang dibangun oleh masyarakat setempat, disanalah anak-anak Etnik Laut belajar membaca al-Qur'an bersama-sama dengan anak-anak yang ada di lingkungan mereka. Dalam pengamatan peneliti masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk masyarakat Etnik Laut memiliki antusias tinggi pada acara-acara keagamaan khususnya pada hari raya Islam, hampir semua masyarakat berkumpul di masjid, mulai dari tua hingga anak-anak turut datang untuk mendengarkan ceramah dan mengikuti acara. Masyarakat Desa Tanjung Pasir termasuk masyarakat Etnik Laut masih memiliki kepercayaan mengenai hari buruk. Menurut mereka hari Selasa adalah hari buruk, dimana pada hari tersebut, hajatan tidak boleh dilakukan. Bahkan masyarakat percaya bahwa anak yang lahir pada hari Selasa pun akan tertimpa sial atau terjadi sesuatu buruk yang akan menimpa anak tersebut. Apabila ada bayi yang lahir pada hari Selasa maka keluarga harus membacakan doa selamat menurut ajaran Islam sebanyak 3 kali dan menyediakan makanan bagi para tetangganya. Ketika ditanya alasan mengapa hari Selasa tersebut dianggap tidak baik, masyarakat kebanyakan menyatakan mereka tidak tahu dan hanya mengikuti kebiasaan dari dulu saja. Kebiasaan ini pun akhirnya diikuti secara turun temurun oleh mereka dan dipercaya jika melanggar akan mendatangkan sesuatu yang buruk bagi keluarga mereka. 45

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.5. Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial 2.5.1. Organisasi Sosial Dengan majunya perkembangan zaman, masyarakat Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir sudah banyak membaur dan berinteraksi dengan masyarakat dari Etnik yang lain dan mereka telah mulai hidup menetap dan bahkan ada yang sudah memiliki mata pencaharian sampingan, selain bergantung pada hasil laut. Pekerjaan sebagai nelayan membuat interaksi sosial diantara masyarakat Etnik laut sendiri jarang terlaksana, mereka hanya bisa berkumpul bersama dan berinteraksi ketika pulang dari melaut saja dan waktunya pun tidak bisa ditentukan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh air pasang dan air surut, jika air pasang pada pagi hari mereka dapat berkumpul pada waktu tengah hari, tetapi jika air pasang, pada sore harilah mereka berkumpul, bisa sampai tengah malam. Masyarakat Etnik Laut biasanya berkumpul tempat-tempat dimana mereka bisa bersantai, seperti di kedai kopi sambi minum kopi dan bermain domino. Ketika terjadi kemalangan di sekitar rumah mereka, hal yang mereka lakukan adalah saling membantu agar yang mereka terkena kemalangan tidak terlalu terbebani, tingkat kedekatan emosional atau kebersamaan antar masyarakat Etnik Laut sendiri masih sangat kuat. Bagi masyarakat Etnik Laut ketika taraf hidup mereka membaik, karena hasil melaut yang cukup banyak, Etnik Laut ini akan tetap tinggal di daerah tepi pesisir pantai karena dari awal mata pencarian mereka adalah dari hasil laut. Pada masyarakat Etnik Laut yang lain, apabila mereka tinggal di darat maka mata pencaharian mereka adalah dengan membuka usaha berdagang dan berkebun. Bersamaan dengan naiknya taraf hidup, mereka tetap berinteraksi sosial dengan baik kepada masyarakat Etnik 46

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

laut lainnya tidak pernah membeda-bedakan kalangan masyarakat Etnik Laut yang satu dengan lainnya. Bahkan mereka memberikan bantuan kepada masyarakat Etnik Laut yang keadaan ekonominya lemah Permasalahan sosial masyarakat Etnik Laut yang paling berat yang harus mereka jalani saat ini adalah masalah yang terjadi karena imbas masalah ekonomi. Permasalahan ekonomi sekarang ini adalah pendapatan suami sangat terbatas namun di sisi lain mereka kurang bisa mengatur pengeluaran harian. Hasil pendapatan yang di dapat suami jarang diberikan kepada istri terlebih dahulu, para suami biasanya mempergunakan uangnya terlebih dahulu untuk minum air tuak bersama para nelayan yang lain, baru sisa dari uang tersebutlah yang nantinya akan diserahkan kepada istri. Hal inilah juga kerap menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga masyarakat Etnik Laut. Istri yang menuntut haknya agar suami dapat memberikan hasil pendapatannya sering menimbulkan konflik dalam keluarga, bahkan tak jarang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga dan juga memicu terjadinya perselingkuhan. Permasalahan sosial yang lain adalah seringnya adanya perbedaan pendapat ketika musyawarah bersama. Nada bicara yang keras dan kasar terkadang menjadi awal permulaan konflik yang berlanjut menjadi perkelahian dan pertikaian antar sesama kelompok. Masalah ini juga kerap terjadi antara Etnik Laut dengan Etnik lainnya. Ketika terjadi pertikaian, atau konflik diantara masyarakat Etnik Laut, tokoh agama atau kepala Etnik sebagai pemimpin formal yang lebih berhak dan mempunyai ke kuasaan untuk menyelesaikannya. Apabila masalah terlalu sulit untuk diselesaikan dengan tidak adanya kesepakatan damai atau penyelesaian secara kekeluargaan, maka tokoh agama atau kepala Etnik akan membawa masalah tersebut untuk di 47

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

selesaikan dengan pemimpin informal yaitu Kepala Desa. Bila masalah tetap tidak terselesaikan maka jalur hukum akan diambil sebagai penyelesaian terakhirnya. 2.5.2. Kelompok Sosial Menurut informasi dari masyarakat Etnik Laut, tidak ada kelompok sosial yang khusus pada masyarakat Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir, seperti arisan Etnik laut, PKK, kelompok pengajian, atau kelompok-kelompok sosial lainnya. Mereka hanya ikut serta dan bergabung dalam pengajian masyarakat Etnik lain yang ada di Desa Tanjung Pasir. Kegiatan tersebut biasanya diadakan pada malam Jumat. Dahulu masyarakat Etnik Laut mempunyai Ikatan Pemuda Pelajar Masyarakat Etnik Laut (IPPMSK), dimana persatuan ini dibentuk oleh para remaja dan pemuda masyarakat Etnik Laut yang ada di seluruh Kabupaten Indragiri Hilir, tetapi sekarang lembaga ini sudah tidak aktif lagi karena tidak adanya generasi penerus yang meneruskan. 2.5.3. Sistem Kekerabatan Mengenai dasar penetapan dalam garis keturunan masyarakat Etnik Laut ketika anak lahir akan mengikuti garis keturunan sang ayah yaitu dalam bentuk patrilineal. Hal ini juga terjadi pada pernikahan dengan Etnik lain yang juga memiliki sistem kekerabatan yang sama. Namun jika menikah dengan Etnik lain yang memiliki sistem lainnya seperti matrilineal, kemungkinan akan dibuat kesepakatan anatra mereka, kemudian dari hasil kesepakatan tersebut dicapai suatu keputusan sistem mana yang akan mereka ikuti.

48

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Dalam hal pola penentuan pemilihan jodoh, dahulu perjodohan masyarakat Etnik Laut ditentukan oleh kedua orang tua mereka, namun itupun sifatnya tidak memaksa. Semenjak tahun 1999 sampai sekarang dalam menentukan pasangan hidup para remaja Etnik Laut sudah mulai bisa menentukan atau memilih pasangan hidup mereka sendiri dan dengan sendirinya kedua orang tua mereka akan setuju saja dengan pilihan anak mereka. Usia pernikahan masyarakat Etnik Laut, dahulu rata-rata masyarakat Etnik Laut hampir semuanya menikah pada usia 1415 tahun. Mereka beranggapan bahwa biaya pernikahan sangat murah tidak seperti saat ini yang memerlukan biaya yang mahal. Selain itu pernikahan pada usia dini juga terjadi karena pendidikan masyarakat Etnik Laut rata-rata hanya tamatan SD dan SMP saja dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Karena mereka tidak lagi melanjutkan pendidikan maka mereka beranggapan lebih baik menikah saja. Dalam kehidupan berumah tangga, kepala keluarga sebagai pengambil keputusan, kepala keluarga berhak menentukan pilihan tempat tinggal, bisa tinggal di rumah mertua atau mencari rumah baru sebagai tempat tinggal mereka. Hal ini juga tergantung keadaan ekonomi keluarga. Meskipun pindah atau menempati rumah baru, tetapi tempat tinggal masyarakat Etnik Laut biasanya tidak akan jauh dari komunitas mereka sendiri, hal ini karena adanya anggapan bahwa dengan tinggal dengan kelompok mereka sendiri tidak akan menghilangkan khas pekerjaan mereka yaitu sebagai nelayan yang mencari kehidupan dengan melaut. Dalam hal harta milik dan pembagian harta warisan, kebiasaan masyarakat Etnik Laut secara turun temurun adalah harta warisan akan jatuh kepada anak-anak secara merata tanpa ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Biasanya 49

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

untuk pengaturan akan diatur oleh anak tertua dari yang meninggal. Pembagian fungsi reproduksi, seperti untuk mendapatkan keturunan mulai dari pengambilan keputusan untuk hamil sampai perawatan dan melahirkan adalah keputusan dari keluarga inti saja. Namun apabila keluarga tersebut masih tinggal dengan keluarga besar maka pengaruh orang yang dituakan dalam keluarga tersebut masih cukup kuat. Begitupun juga dengan pilihan kontrasepsi untuk Keluarga Berencana (KB). Keputusan KB biasa diambil oleh pasangan suami istri itu sendiri. Untuk perencanaan kehamilan bisa dikatakan bahwa masyarakat Etnik Laut sudah cukup baik. Kebutuhan ekonomi membuat mereka mempertimbangkan lagi jumlah anak dalam keluarga. Tidak ada prinsip banyak anak maka banyak rejeki di masyarakat Etnik Laut ini, mereka kini lebih memilih untuk hanya memiliki anak 2-3 orang saja sesuai dengan program BKKBN, yaitu dua anak lebih baik. 2.5.4. Adat Pernikahan yang Sudah Punah Pernikahan adat masyarakat Laut yang ada saat ini bisa dikatakan sudah sangat berbeda dengan pernikahan pada jaman dahulu. Pelaksanaan adat perkawinan mereka pada masa lalu hanya menggunakan songkok topi hitam dan sedikit emas. Emas tersebut akan diselipkan untuk menghias songkok topi hitam, setelah itu pihak laki-laki harus menggunakan kain selendang yang diselempangkan ke badannya. Kemudian dalam prosesi pernikahan diarak keliling kampung diiringi gong, yang berfungsinya untuk menandai bahwa ada perkawinan. Syarat atau seserahan dalam pernikahan masyarakat Etnik Laut pada masa lalu adalah dengan hanya memberikan kain baju dan tidak ada jujuran (pemberian uang). Fungsi dari pemberian 50

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kain baju ini adalah sebagai bukti atau tanda sebuah ikatan perkawinan. Dengan menggunakan songkok hitam yang dihiasi emas dan kain selendang orang tua kedua belah pihak langsung melaksanakan pengikraran dengan membaca dua kalimat syahadat yang disaksikan keluarga dari pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan. Dalam perkembangannya di era modern sekarang ini terjadi perubahan adat pernikahan. Adat pernikahan masa lalu sudah mulai punah diganti dengan adat perkawinan yang hampir menyerupai adat Etnik Melayu, apabila masih ada yang melaksanakan adat yang lama mereka akan merasa malu. Proses pernikahan masyarakat Etnik Laut kini sudah berubah. Kecocokan antara kedua belah pihak menentukan kelanjutan pernikahan. Prosesi perkawinan masyarakat Etnik Laut dapat digambarkan sebagai berikut, diawali dengan prosesi lamaran oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan, yang biasanya ditandai dengan pemberian cincin. Setelah proses lamaran diterima maka kedua pihak harus berjanji untuk tidak saling selingkuh sampai akad nikah dan pesta dilaksanakan. Apabila terjadi perselingkuhan dari salah satu di antara mereka, pihak yang selingkuh akan dikenakan sanksi berupa denda. Jika pihak perempuan yang berselingkuh maka cincin yang diberikan pihak laki-laki harus dikembalikan dan ditambah lagi dengan dua cincin yang sama bentuknya. Jika pihak laki-laki yang berselingkuh pihak wanita tidak harus mengembalikan cincin pemberian. Sanksi ini tidak berlaku untuk seluruh kalangan masyarakat Etnik Laut yang ingin menikah, ini semua hanya berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak ketika waktu proses lamaran. Kemudian dilanjutkan dengan proses antaran mengantar jujuran kepada pihak wanita. Sebelum melakukan proses pengantaran ke rumah pihak wanita, pada saat itu pihak laki-laki terlebih dahulu sejenak melakukan pembacaan doa selamat yang 51

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bertujuan agar dalam perjalanan menuju ke rumah pihak wanita berjalan dengan lancar, setelah itu baru pihak laki-laki beserta keluarga keluar rumah dan menuju ke rumah pihak wanita. Dalam perjalanan ke rumah calon pengantin perempuan, pihak laki-laki diiringi dengan alat musik rebana beserta nyanyian Islam menandakan sebentar lagi ada pernikahan dan pesta perkawinan. Setelah sampai di rumah pihak wanita pihak, keluarga calon pengantin laki-laki langsung menjumpai keluarga dan kedua orang tua pihak wanita. Dalam antaran ini pihak lakilaki memberikan berbagai macam barang di antaranya adalah kue, sandal, sepatu, alat mandi, pakaian dalam, baju, celana dan banyak yang lainnya, sekaligus penyerahan uang jujuran, yaitu uang untuk pesta perkawinan dan uang isi kamar. Proses ini juga membicarakan tentang tanggal pernikahan dan pestanya. Dalam acara pernikahan pihak laki-laki dan pihak wanita Etnik Laut tetap melaksanakan akad nikah secara syariah Islam, biasanya akad nikah dilaksanakan di kantor KUA dengan dihadiri dan disaksikan oleh keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Mahar yang diberikan berupa seperangkat alat shalat dan uang sesuai kemampuan masing-masing. Biasanya pelaksanaan pesta pernikahan dilaksanakan tidak bersamaan dengan hari saat akad nikah. Biasanya ada rentang waktu seminggu bahkan bisa sampai sebulan setelah akad nikah tergantung kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Dua hari sebelum pelaksanaan pesta berlangsung ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak wanita yaitu pemasangan inai ke seluruh jari tangan dan jari kaki. Pembuatan inai dibuat dari bahan daun inai dengan campuran air teh. Prosesi selanjutnya adalah dengan bekasai, yaitu satu sebelum hari pesta dilaksanakan. Bekasai bertujuan untuk membersihkan kotoran yang ada pada tubuh perempuan agar badannya terlihat bersih, cerah dan mengeluarkan aura. Bahan yang digunakan 52

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dalam berkasai adalah pulut putih dan pulut hitam yang belum dimasak kemudian digiling halus dicampur jeruk nipis dan asam. Bahan-bahan tersebut lalu dicampur dengan bedak kuning dan dioleskan ke seluruh tubuh perempuan dan digosok hingga bersih. Untuk pemasangan inai dan bekasai ini harus dipakaikan ke pengantin oleh anak gadis perawan, menurut mereka aura pengantin dianggap lebih bercahaya jika dibandingkan dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah. Selain itu ada pula proses betangas yaitu pembersihan kotoran keringat pada tubuh perempuan yang dilakukan tiga kali dalam satu minggu menjelang pesta dilaksanakan. Bahan betangas adalah air yang dicampurkan dengan daun pandan, jahe dan daun wangi-wangian. Bahan dan air tersebut akan direbus dan selama perebusan tutup tidak boleh dibuka sama sekali. Ketika air campuran sudah mendidih tutup panci tersebut dibuka dan pengantin wanita tersebut akan duduk di samping air yang telah direbus tadi. Tubuh pengantin ini tidak boleh mengenakan apapun dan akan digulung dengan daun tikar pandan sampai tertutup semuanya. Uap hasilkan rebusan air akan menyatu ke tubuh mengeluarkan kotoran di dalam tubuh, sehingga setelah betangas ini badan terasa ringan dan bersih, aura pengantin pun terlihat bercahaya. Proses terakhir adalah pencukuran alis. Fungsi dari cukur alis ini agar biar tambah tampil beda dan terlihat cantik ketika pesta pernikahan nantinya. Syarat proses ini adalah beras, gula putih, gula merah, jeruk nipis, lilin 2 buah, silet, cermin, sisir, kain, minyak makan dan air. Lilin ini akan dihidupkan dan diangkat mengelilingi wajah perempuan selama 3 kali dengan membaca shalawat 3 kali. Sebelum dicukur alis diberi minyak sedikit untuk mempermudah prosesnya. Setelah pencukuran alis dilakukan, wajah perempuan harus ditutupi dengan jilbab dan

53

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tidak boleh diperlihatkan ke semua orang yang ada di sekitar rumah karena menjadi pantangan. Ada beberapa pantangan yang harus dihindari pengantin perempuan yaitu antara lain: 1) Tidak boleh bercermin selama satu minggu sebelum pesta pernikahan: karena aura wajah akan diambil dan diserap oleh kaca 2) Tidak boleh melihat orang masak: karena bisa berdampak kepada aura wajah si pengantin perempuan yang disebabkan uap atau minyak panas bisa menempel ke wajah. 3) Tidak boleh mamakan nasi lemak hanya boleh memakan nasi putih biasa saja 4) Tidak boleh melintas ke arah belakang rumah karena bisa diganggu oleh orang halus. Proses pesta pernikahan pun dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing keluarga. Ada yang mengadakannya hanya waktu beberapa jam saja dalam 1 hari, namun ada juga yang melaksanakannya sampai 1 hari penuh. Untuk makanan yang dihidangkan oleh tamu biasanya dimasak sendiri oleh para keluarga dari para pengantin yang biasanya mulai dilakukan beberapa hari sebelum acara pesta pernikahan dilakukan. Sekarang ini bisa dikatakan hampir tidak ada lagi acara adat pada saat pesta penikahan ini, seperti adanya tarian atau nyanyian khas Etnik Laut. Untuk hiburan pada saat pernikahan saat ini adalah hiburan berupa keyboard dengan lagu dangdut masa kini yang biasa disewa selama beberapa jam oleh pihak yang punya acara.

54

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.12. Acara Pesta Perkawinan Masyarakat Etnik Laut Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sedikit berbeda dengan pernikahan campuran yang dilakukan jika Etnik Laut menikah dengan Etnik lainnya. Tak jarang karena adanya pernikahan campuran tersebut mengakibatkan ada beberapa adat dari Etnik si pasangan yang akhirnya ikut dilaksanakan oleh si pengantin dari Etnik Laut. 2.6. Bahasa Bahasa masyarakat Etnik laut di Desa Tanjung Pasir untuk sekarang ini bisa dikatakan sudah mulai terancam punah dikarenakan banyaknya perkawinan campuran yang terjadi antara masyarakat Etnik Laut dengan Etnik lainnya. Sisi lain dari perkawinan campuran ini ternyata menyebabkan salah satu budaya bahasa Etnik Laut mulai punah. Kebanyakan anak-anak dan remaja Etnik Laut tidak mengenali lagi bahasa mereka atau 55

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tidak bisa lagi berbicara menggunakan bahasa Etnik Laut dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan seharihari. Bahasa Laut hanya digunakan oleh generasi tua saja dan biasa dilakukan hanya di dalam rumah dan diantara keluarga saja. Salah satu tokoh masyarakat Etnik Laut pun sudah berupaya untuk menyelamatkan bahasa ini dengan cara menerbitkan kamus kecil bahasa Etnik Laut atau Duano ini dengan bantuan Dinas Pariwisata setempat, namun ternyata karena kamus ini pun tidak disebar luaskan ke masyarakat Etnik Laut itu sendiri maka nampaknya tidak membawa pengaruh apapun terhadap masyarakat Etnik Laut itu sendiri. Alasan malu juga menjadi penyebab bahasa Etnik Laut menjadi hilang. Banyaknya anggapan kurang baik mengenai Etnik Laut di masyarakat umum akhirnya membuat anak muda kurang mau untuk mempelajari bahasa mereka sendiri. Jika mereka menggunakan bahasa Laut maka mereka akan merasa malu atau takut diolok-olok oleh teman dari Etnik lainnya. Bahasa melayu atau bahasa Indonesia kini menjadi bahasa utama masyarakat Etnik Laut. Hal ini juga dikarenakan banyaknya Etnik lain yang mendiami Desa Tanjung Pasir sehingga kedua bahasa tersebut dianggap merupakan bahasa yang paling umum dan mempermudah komunikasi satu denagn yang lain. Berikut merupakan beberapa contoh kalimat bahasa Etnik Laut oleh tok kik Nr: “Jiku piak berket toan, kukum mang menderitu mesken (jika tidak berkat tuhan, kami pasti sudah menderita kemiskinan)” “Bantu sebelom membentu desin kikik mesti bentu diri seralu (sebelum membantu orang kita harus membantu diri sendiri)”

56

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Kikik mi mesti memperkenelken budayu kik (kita harus memperkenalkan budaya kita)

2.7. Kesenian Kesenian masyarakat Etnik Laut yang dikenal untuk saat ini dalah kesenian badenden yang merupakan warisan budaya tetua Etnik Laut terdahulu. Badenden adalah sejenis syair atau pantun yang dinyanyikan. Biasanya badenden ini dilakukan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu ketika bekerja mengambil kerang atau menongkah kerang, dimana dengan badenden akan menimbulkan semangat kerja, sehingga dalam melakukan pekerjaan pun akan terasa lebih ringan. Badenden pun bisa dilakukan untuk menidurkan bayi ataupun balita jika kesulitan tidur. Masyarakat Etnik Laut juga mempunyai budaya yang sudah terkenal di seluruh Indonesia dan pernah memecahkan Rekor Muri pada tanggal 28 Juni 2008 yaitu sebuah Festival Menongkah beserta adat dan tradisi lainnya secara besarbesaran dengan jumlah peserta terbanyak 380 orang untuk pertandingan menongkah. Festival menongkah ini juga salah satu agenda kesenian tahunan yang di laksanakan masyarakat Etnik laut yang berada di Desa Tanjung Pair. Menongkah merupakan adat atau tradisi asli masyarakat Etnik Laut. Menongkah merupakan suatu adat atau tradisi masyarakat Etnik Laut dan tetua Etnik Laut terdahulu. Menongkah selain menjadi adat juga menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat Etnik Laut. Tongkah sendiri adalah sebuah alat sederhana yang terbuat dari dua atau tiga keping papan yang kemudian disambungkan atau digabungkan dengan menggunakan paku hingga menjadi bentuk yang serupa dengan

57

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

papan selancar. Papan tongkah ini akan dimainkan oleh masyarakat di atas lumpur sambil mencari kerang.

Gambar 2.13. Kegiatan Menongkah Sumber: Dokumentasi Desa Tanjung Pasir

2.8. Pengetahuan Tentang Kesehatan 2.8.1. Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit Masyarakat Etnik Laut Masyarakat Etnik Laut memiliki pandangan terhadap konsep sehat dan sakit. Mereka menyatakan bahwa seseorang sehat jika tidak ada gangguan dalam diri mereka yang akhirnya membuat mereka dapat melakukan segala kegiatan sehari-hari. Begitupun sebaliknya, mereka berpendapat bahwa sakit adalah ketika tidak bisa bekerja dan tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan hanya bisa tidur di rumah. Ketika mereka masih kuat untuk bekerja dan menjalankan aktivitas sehari-hari, meskipun dalam keadaan pusing dan demam, mereka 58

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

menganggap bahwa dirinya sehat atau tidak sakit, seperti yang diungkapkan tok kik Ab, “Sakit itu kejam dan terancam bisa membuat saya tidak bisa bekerja.” Sakit yang dianggap ringan dalam pandangan masyarakat Etnik laut Desa Tanjung Pasir ialah batuk, sakit kepala, sakit pinggang dan flu. Penyakit-penyakit tersebut tergolong dalam penyakit ringan karena banyak di antara masyarakat yang memilih untuk pergi membeli obat di warung. Selain mengobati diri sendiri dengan membeli obat di warung obat, mereka juga minum jamu dan ada juga sebagian masyarakat hanya membiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya. Namun apabila sakit tersebut menjadi semakin parah, barulah masyarakat Etnik Laut pergi memeriksakan ke Puskesmas terdekat atau ke rumah sakit yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. Selain itu juga, pada saat mengalami sakit ringan, seperti pegal dan sakit pinggang biasanya masyarakat Etnik Laut meminum jamu agar dapat pulih kembali serta agar tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari yaitu melaut. Namun saat ini ada juga beberapa di antara masyarakat yang memilih untuk meminta pertolongan orang lain untuk mengobatinya, baik itu pengobatan dengan tenaga kesehatan medis ataupun tenaga kesehatan tradisional. Lain halnya dengan sakit berat. Bagi masyarakat Etnik Laut sakit berat atau parah terjadi ketika mereka sudah kesulitan untuk melakukan aktivitas karena sakit tersebut membuat keadaan fisik mereka tidak maksimal. Sakit berat pun bisa bermacam-macam. Menurut mereka memang sakit berat biasanya juga terjadi karena ada penambahan usia, dimana semakin tua maka sudah sewajarnya maka akan semakin banyak penyakit yang dideritanya. Namun meskipun begitu tak jarang ada juga yang terkena penyakit berat meskipun usianya relatif masih muda.

59

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Penyebab penyakit yang terjadi pada masyarakat Etnik Laut bisa di kategorikan oleh 2 faktor, yaitu penyakit yang di akibatkan faktor yang berkaitan dengan medis dan faktor ulah alam gaib dan gangguan orang halus. Penyakit yang berkaitan dengan ilmu medis disebabkan karena ada virus ataupun penyakit berupa luka yang terkena pada tubuh mereka. Sedangkan penyakit yang disebabkan ulah alam gaib dan orang halus disebabkan karena adanya pantangan ataupun ada hal yang mereka langgar dan terakhir adanya kepercayaan bahwa sakit itu disebabkan adanya gangguan rohroh jahat dan mahkluk yang mengganggu seseorang bahkan hingga dapat mengakibatkan kematian pada seseorang. Hal ini seperti yang dialami oleh anak bapak Iw sebagai berikut. “Anak kami ini terkena autis, penyebab kata dukun kami ini waktu kerja melaut telanggar anak mahkluk halus dan cincinya hilang, dukun bilang hilang mas ganti mas, banyak lah gitu bukan 5 atau 6 dukun lagi untuk berobat, kemarin sakitnya sempat hilang juga berobat di dukun Desa Tanjung Baru tetapi setelah 5 bulan datang lagi penyakit itu dan sampailah pengobatan ancak dan habis uang saya adalah totalnya sekitar Rp. 1.500.000 ;-, udah banyak dah ke dukun ini ke dukun itu dan ke dokter kalau di hitung udah banyak pengeluaran saya.”

Penyakit yang disebabkan oleh roh halus ini pun kurang lebih dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu penyakit karena keteguran, kelintasan dan juga tekene. Keteguran sendiri maksudnya adalah kena tegur makhluk halus yang ada dimanapun, biasanya mereka menyebutnya dengan orang atas ataupun orang bawah. Orang bawah biasanya untuk mewakili orang halus yang berada di darat ataupun di laut selama posisinya sama dengan manusia. Orang atas adalah yang posisinya berada di atas manusia dan biasanya sering 60

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

mengakibatkan penderitanya mengalami kejang-kejang. Keteguran orang atas inilah yang biasa juga disebut dengan kelintasan yang juga dimaksud dengan kena lintas orang halus tersebut. Penyebab keteguran dan kelintasan ini karena masyarakat ketika melakukan pekerjaan, baik itu di laut maupun di darat (seperti di hutan) bersinggungan dengan secara tidak sengaja dengan makhluk halus. Mereka yang terkena ini diibaratkan terkena cubit, tampar ataupun pukul makhluk halus. Keteguran dan kelintasan ini pun bisa menyebabkan sakit yang ringan ataupun berat. Jika ringan badan hanya mengalami demam dan tak enak badan dan jika berat bisa mengakibatkan penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Yang terakhir adalah tekene, dimana penyakit karena hal ini terjadi karena gangguan orang halus yang dipercaya masyarakat Etnik Laut ada di lautan. Pekerjaan nelayan di lautan dianggap bisa mengganggu orang halus atau bahkan merusak barang milik mereka manakala nelayan menebarkan jaring atau memasang pancang di laut. Oleh karena orang halus marah maka mereka mendatangkanlah penyakit bagi manusia. Bukan cuma nelayan yang melakukan kesalahan itu saja yang bisa kena penyakit tersebut, keluarga dari nelayan tersebut juga bisa saja terkena penyakit tersebut. Oleh karena itu menurut masyarakat ketika melaut para nelayan ini diharapkan mengucapkan sepatah dua patah kata untuk meminta ijin kepada orang halus sebelum melakukan pekerjaannya. 2.8.2. Pengobatan Tradisonal dan Teknik Penyembuhan Pengobatan Tradisional Ada beberapa alternatif penyembuhan yang dilakukan oleh masyarakat Etnik laut Desa Tanjung Pasir pada saat mengalami sakit. Seperti yang telah dijelaskan di atas salah satu 61

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

alternatif tersebut yaitu dengan menggunakan obat tradisional yang diracik sendiri atau pergi meminta pertolongan kepada dukun kampung. Dukun kampung adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat Etnik Laut memiliki kemampuan supranatural karena dukun kampung dapat berkomunikasi dengan roh-roh yang mengganggu kesehatan seseorang. Di dalam kehidupan bermasyarakat, dukun kampung bisa juga memiliki kedudukan sebagai orang yang dihormati karena dukun kampung sebagai orang yang dituakan, tokoh agama dan juga sebagai orang yang memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit karena hal gaib atau gangguan roh-roh jahat. Dukun kampung di desa ini kurang lebih ada 9 orang. Itupun belum terhitung masih ada orang-orang di luar jumlah tersebut yang dianggap masyarakat sebagai “orang pintar” yang bisa membantu menolong menyembuhkan suatu penyakit, meskipun kemampuannya mungkin tidak setinggi para dukun kampung. Dukun kampung pun bukan hanya berasal dari Etnik Laut, namun juga berasal dari Etnik lainnya, seperti Etnik Banjar dan Etnik Melayu. Sementara penelitian berlangsung peneliti tidak menemukan ada dukun kampung yang berasal dari Etnik Bugis yang ada di desa ini. Dukun kampung Sy, dukun kampung Ad dan dukun kampung Ns mendapatkan ilmu supranatural ini dari orang tua mereka sendiri. Mereka mengatakan bahwa mereka merima wahyu sejenis pusaka yang diberikan oleh orang tuanya. Wahyu tersebut harus dipergunakan sebaik-baiknya dan lebih diutamakan untuk membantu dan menolong orang lain ketika mereka menderita sakit. Lain lagi dengan Dukun kampung Aj yang mendapatkan ilmunya dari nenek moyangnya. Wahyu pusaka ini didapatkannya ketika masih kecil. Tak semua orang di keluarganya bisa 62

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

mendapatkan wahyunya ini, hanya orang tertentu yang menjadi pilihan moyangnya saja. Ketika menerima wahyu, dukun kampung Aj tidak ada syarat-syarat tertentu yang harus disediakan sebelumnya. Menurutnya ilmu pengobatan yang didapatkan untuk mengobati orang yang sedang sakit itu hanya berupa ayat-ayat suci Al Quran, dimana ada ayat dan juga bacaan tertentu untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu. Selain melakukan pengobatan, menurut masyarakat desa dukun kampung Aj bisa menerawang penyakit apa yang akan datang di Desa Tanjung Pasir tiap tahunnya. Biasanya penerawangan mengenai peristiwa itu didapatkannya dari dapatkan dari mimpi yang dialaminya seperti ungkapannya berikut ini: ”saye ni didatangi berbagai ulama dan ada juge yang datang dari mekah untuk membawa berita yang akan memberitahukan akan datangnya penyakit ke Desa Tanjung Pasir ini, jadi saye sebagai mediasi yang akan menyampaikan kepada anggota saye. dengan pemberitaan itu saye menyampaikan agar warga saye selalu bisa menjaga anak-anaknya ketika magrib, karena ada yang nak dateng nanti ni, dan saye juga membuat sedikit ramuan yang saye sebarkan ke daearah sekitar Desa Tanjung pasir ini, dulunye itu yang pernah terjadi di tahun 2013 penyakit demam yang melande di desa ini.

Jika dukun sebelumnya hanya bisa mengobati penyakitpenyakit umum lalu ada pula dukun kampung yang juga berfungsi sebagai bidan kampung, yang kurang lebih berjumlah 4 orang. Selain berfungsi sebagai penolong atau penyembuh seseorang yang terkena sakit umum tentunya bidan kampung ini bertugas untuk kesehatan terkait dengan ibu dan anak. Selain membantu seorang ibu dalam proses persalinan tetapi juga membantu menjaga dan memulihkan kesehatan ibu dan anak selama dalam proses kehamilan dan pasca persalinan melalui obat-obat 63

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tardisional dan melakukan beberapa ritual yang dipercaya masyarakat dapat menjaga kesehatan ibu dari mulai proses persalinan hingga pada saatnya melahirkan dan turut menjaga kesehatan si anak. Mengenai apa-apa saja yang dilakukan oleh bidan kampung ini secara terperinci akan dibahas di bagian potret kesehatan KIA dan juga bagian tematik dalam buku ini. Keahlian dukun kampung tradisional dalam teknik pengobatannya pun sedikit berbeda-beda. Untuk penyakit yang sifatnya ringan ada yang menggunakan media kemenyan, mantra khas Etnik Laut, ada juga yang hanya menggunakan air putih masak dan bacaan ayat suci Al-Quran sebagai media pengobatan. Lain lagi dengan penyakit yang agak berat, selain cara-cara tersebut di atas bisa juga ditambahkan dengan ritual-ritual tertentu tergantung dengan penyakit yang diderita oleh masyarakat. Cara paling mudah atau paling awam yang biasa dilakukan hampir semua dukun kampung adalah dengan temas. Temas ini merupakan pengobatan yang paling ringan untuk menyembuhkan penyakit karena gangguan roh halus dan hampir semua bidan kampung bisa melakukannya. Bahan yang digunakan hanyalah satu buah kunyit dan sedikit kapur. Mulanya satu buah kunyit akan dipotong dan diambil menjadi 2 bagian di ujung-ujungnya. Setelah itu kedua nya akan ditaruh di balik telapak tangan si dukun, telapak tangan menghadap ke tanah sementara si dukun duduk bersila. Dukun pun membuat gerakan melingkar sambil membacakan mantera. Mantra tersebut digunakan untuk menanyakan keteguran apa yang menyebabkan orang ini sakit, apakah keteguran orang atas atau bawah. Setelah itu kunyit akan dijatuhkan ke bawah untuk mengetahui jawabannya. Jika pada saat mantra dukun menanyakan apakah keteguran orang atas maka jawaban ya itu jika kedua kunyit tadi dalam posisi satu terlungkup dan satu terlentang. Namun jika 64

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

keduanya terlungkup atau keduanya terlentang berarti jawabannya tidak. Jika jawaban tidak maka dukun bisa menanyakan kembali dengan melakukan gerakan melingkar tadi. Jika setelah ditanya beberapa kali jawaban selalu tidak berarti sakit yang diderita adalah sakit medis. Proses temas berlanjut setelah jawaban ya tersebut. Dukun kembali membacakan mantera untuk menentukan mana kunyit, di antara 2 potong tadi, yang akan dibalurkan ke pasien. Setelah ditentukan maka satu kunyit akan dibuang dan satu kunyit akan diambil. Kunyit yang terpilih akan dibalurkan sedikit kapur dan dengan media pisau kunyit akan ditusukkan sampai warnanya berubah menjadi merah Setelah itu baru dibalurkan ke dahi, belakang leher, telapak tangan ataupun kaki pasien. Setelah dibalurkan kunyit tersebut ditaruh di belakang kuping pasien. Dan proses temas pun selesai. Selain temas, pengobatan untuk roh halus ini pun bisa dilakukan dengan cara yang berbeda tergantung dengan dukunnya. Salah satu dukun kampung menceritakan bagaimana proses penyembuhan yang dilakukannya. Penyembuhan biasanya diawali dengan melakukan melakukan pemanggilan roh orang tuanya terlebih dahulu, karena roh ini yang akan masuk ke dalam tubuh dukun kampung Sy dengan tujuan agar dapat membantu kelancaran pengobatan. Ada dua alternatif dalam pengobatan ini, seandainya penyakit ini ringan roh ini bisa membantu dalam pengobatan tetapi ketika penyakit ini berat mungkin roh ini akan sulit untuk menyembuhkannya. Ada beberapa syarat atau bahan yang harus dipersiapkan oleh pasien yang ingin mengobati sakit ini yaitu antara lain: air setengah cangkir, kunyit, kapur, telur dan kemenyan. Proses pertama yang dilakukan dukun kampung Sy adalah membakar kemenyan dengan api arang. Setelah itu dukun kampung Sy akan mengambil sebuah telur, yang mana telur tersebut diasapkan 65

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dengan kemenyan. Setelah telur tersebut sudah diasap, lalu telur tersebut dibaca dengan menggunakan mantra bahasa Etnik Laut. Setelah itu dukun kampung Sy langsung mengoleskan telur tersebut ke seluruh tubuh pasien yang terkena keteguran atau kerasukkan. Telur yang sudah dioleskan ke tubuh pasien tersebut lalu dipecahkan dan dimasukkan ke dalam air yang telah disediakan. Dari telur pecah itulah nantinya pasien ini bisa ketahuan dimana dia terkena keteguran atau kerasukkan, dan bisa mengetahui terkena makhlus halus, hantu laut atau tidaknya. Pemberian obat tambahan ada juga diberikan oleh dukun kampung Sy kepada pasiennya, obat ini terbuat dari bahan tanah yang dicampur tepung dan kunyit, dengan di aduknya seluruh bahan yang telah disediakan, kemenyan pun dihidupkan kembali sampai mengeluarkan asap, tanah yang sudah diaduk akan diasapkan kembali dengan asap kemenyan, kemudian bahan tanah atau obat tersebut dioleskan kebagian tubuh yang terkena keteguran atau kerasukkan, obat yang dipasangkan ketubuh pasien akan membuat pasien terasa aman dari gangguan roh halus atau hantu laut. Proses pengobatan yang dilakukan oleh dukun kampung Aj berbeda dengan pengobatan yang dilakukan dukun kampung Sy, sedangkan dukun kampung Aj ada sedikit menggunakan berbau kemenyan dan lebih banyak ke arah mediasi menggunakan bacaan ayat suci Al Quran. Mantra yang digunakan dukun kampung Aj untuk semua penyakit yang untuk diobati sebagai berikut. ”Kenapa engkau luka catuk burung dendang, merah mata, mata Allah satu jalan, di atas Allah di bawah nabi penyakit masuk seribu jalan keluar berkat pengajar guruh agar penyakit ini bisa disembuhkan karna lillahita’ala.” 66

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pengobatan lainnya adalah ritual ancak atau biasa juga disebut dengan tukar ganti. Tukar ganti ini biasa dilakukan kaitannya dengan tekene yaitu kita mengganti barang milik orang halus yang akhirnya membuat seseorang terkena sakit. Ancak ini ada dua macam tempat untuk pelaksanaanya yaitu di darat dan di laut, tergantung orang halus dimana yang barangnya dihilangkan tersebut. Pengobatan ritual ancak biasanya digunakan untuk mengobati penyakit berat yang sulit untuk diobati. Dalam proses ritual pengobatan ancak ini seorang dukun akan menyediakan beberapa bahan syarat seperti antara lain: 1. Ancak yang terbuat dari pelepah pohon kelapa 2. Tempat pedupaan atau tempat pembakaran kemenyan 3. Bertih (sejenis beras yang digoreng tanpa minyak menghasilakan setiap butir menjadi bentuk bunga melati) 4. Lilin yang berfungsi sebagai penerang bagi para dewa dan jin 5. Pulut kuning 6. Telur 7. Kopi 8. Dua ayam kampung, satu hidup dan satu lagi akan dimasak 9. Rokok 10. Kue tujuh jenis Bahan-bahan ini akan ditaruh di atas anyaman dari daun pisang yang dibuat sebagai alas. Biaya yang digunakan proses ritual ancak ini tidak terlalu besar dan masih terjangkau dari segi biaya pembelian bahan-bahannya. Namun proses ancak akan menjadi mahal manakala ada syarat lain yang diajukan si roh halus yang mengganggu tersebut. Bisa saja dalam proses ancak ini mereka meminta penggantian berupa emas yang harganya cukup mahal dan memberatkan si pasien. 67

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Setelah itu syarat-syarat tadi akan ditaruh dan digantungkan di depan atau belakang rumah dengan menggunakan tali. Di bawah sesajian di taruhlah ayam kampung yang masih hidup. Lalu si dukun pun akan membacakan mantera sambil melemparkan beras. Lain sedikit dengan ancak di laut. Ancak laut sajian tadi akan ditaruh di tempat yang menyerupai kapal dibuat dari bambu dan dilarungkan ke laut. Porses ancak ini bisa juga dilaksanakan di atas laut, karena masyarakat Etnik laut beranggapan apa pun penyakit yang kita kena ini mungkin berasal dari laut.

Gambar 2.14. Proses Pengobatan Ritual Ancak di Darat Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada pula proses tukar ganti dengan proses yang agak berbeda seperti yang dijelaskan di atas, seperti yang dilakukan oleh dukun Sy ini. Meskipun barang-barang sesajian sedikit berbeda namun proses hampir mirip dan tujuannya juga sama. Dukun Sy dalam proses pemanggilan roh ini harus menyiapkan beberapa syarat antara lain: 68

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

1) Kue tiga warna, yang terbuat dari tepung gandum dengan tiga warna kuning, tiga warna merah, tiga warna hitam 2) Telur 3) Air 4) Beras basuh (beras kuning), padi, rokok tiga batang 5) Sirih, kapur dan gambir 6) Kemenyan. Barang-barang ini diletakkan ke dalam dan dilanjutkan dengan pembakaran kemenyan. Dengan proses pembakaran kemenyan yang mengeluarkan asap dan arwah atau roh akan masuk ke dalam tubuh dukun kampung Sy. Semua syarat yang disajikan diletakkan ke dalam talam sebagai bentuk makanan yang diberikan kepada arwah atau roh orang tuanya dukun kampung Sy yang membantu mengusir penyakit.

Gambar 2.15. Proses Pengobatan Ritual Ancak Di Laut Sumber: Dokumentasi Peneliti

69

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Setelah proses pengobatan selesai oleh dukun kampung selesai dilaksanakan, baik itu melalui ritual ancak ataupun metode penyembuhan penyakit lainnya maka akan dilihat beberapa hari apakah ada perubahan atau tidak. Jika keadaan sudah dianggap membaik maka dilakukan proses penguncian. yang bertujuan agar segala penyakit yang diderita oleh pasien tidak akan terjadi lagi pada dirinya. Bahan dalam pengobatan berkunci ini adalah asam, jarum dan garam. Bahan ini akan ditaruh di atas piring kecil. Garam dan asam akan dioleskan ke jarum oleh si dukun lalu jarum tersebut dibacakan shalawat dan diberikan kepada pasien untuk diisap dengan mulutnya. Meskipun awamnya penguncian hanya proses seperti yang disebutkan di atas, ada pula dukun yang melakukan tambahan proses ritual seperti mandi kembang. Setelah pengucian dilaksanakan diadakan lagi dengan pemandian bunga tujuh macam yang bahannya adalah bunga ros, bunga melati, bunga melo, bunga sedap malam, bunga mangkok, bunga supulih, bunga kenanga. Ketujuh bunga ditambahkan dengan jeruk nipis 2 buah dan kemenyan. Semua bahan yang telah tersedia kemudian dimasukkan ke dalam air dan dijampi dengan menggunakan asap kemenyan, baru air tersebut bisa dimandikan kepada pasien. Fungsi dari pemandian ini agar penyakit yang pernah diderita pasien tidak akan terulang lagi dan membuat badan pasien sehat. Masyarakat Etnik laut menyebut pemandian ini dengan sebutan pemandian air bersih. Biasanya sebagai bagian dari terimakasih pasien kepada dukun maka dukun akan diberikan uang, beras 1 kg, garam 1 bungkus, gula ½ kg. Besaran uang tidak ditentukan oleh si dukun dan diserahkan sepenuhnya kepada kemampuan dari si pasien tersebut.

70

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.16. Proses Penguncian Penyakit Sumber: Dokumentasi Peneliti

Alternatif penyembuhan yang dilakukan masyarakat Etnik Laut tidak hanya dengan melakukan pengobatan melalui ritual ancak tetapi juga dengan mengkonsumsi obat-obat tradisional yang dicari dan diracik sendiri. Kehidupan masyarakat Etnik laut tidak terlepas dengan alam yaitu hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila mereka memiliki pengetahuan yang cukup banyak tentang hasil-hasil alam yang dapat dijadikan sebagai obat-obat tradisional. Menurut masyarakat ada beberapa jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan menggunakan obat tradisional. Untuk penyakit sakit kepala biasanya mereka mencari limau mentimun yang kemudian direbus atau disimpan di dalam botol yang berisi air lalu diminum. Selain untuk mengobati penyakit 71

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sakit kepala, limau mentimun juga dipercaya sebagai obat untuk sakit demam. Sakit masuk angin biasanya diobati dengan ingu sejenis bentuk jahe yang diolah dengan cara direbus lalu diminum.

Gambar 2.17. Ingu (kiri) dan Limau Mentimun (kanan) Sumber: Dokumentasi Peneliti

2.8.3. Pengetahuan Makanan dan Minuman Makan nasi dan lauk pauk dari hasil tangkapan di laut seperti ikan, udang, kerang dan kepiting adalah makanan utama dari masyarakat Etnik Laut. Konsumsi makan tersebut bisa dikatakan merupakan kebiasaan yang tidak dapat terpisahkan dari mereka karena sudah merupakan menu makan turun menurun dari nenek moyang mereka. Selain itu lauk pauk hasil laut ini sangat mudah mereka dapatkan tanpa harus membelinya di pasar, cukup menunggu hasil tangkapan sehari-hari saja. Salah satu hasil laut yaitu udang bahkan seringkali dianggap sebagai makanan untuk menambah vitalitas. Udang tersebut akan diolah 72

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dengan dengan beras menjadi bubur beras yang biasa mereka makan sebelum pergi berangkat melaut, makanan ini bermanfaat sebagai penambah stamina ketika melaut. Mengkonsumsi daging ayam dan daging sapi sebagai menu utama bisa dikatakan sangat jarang. Biasanya kedua makanan ini bisa didapatkan atau diolah manakala ada acaraacara hujutan atau syukuran saja. Hal ini karena harganya yang cukup mahal dan tidak terjangkau bagi mereka. Masyarakat Etnik Laut juga beranggapan bahwa mengkonsumsi daging merupakan makanan yang panas. Selain itu daging dan ayam biasanya harus didapatkan di kecamatan, jarang ada yang menjualnya di desa. Makan dengan menambah sayur-sayuran sebagai menu pelengkap jarang sekali dikonsumsi masyarakat Etnik Laut. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan penjual sayur-sayuran di desa dan tidak adanya lahan yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk bercocok tanam sayur mayur. Namun ada sebagian masyarakat Etnik Laut yang masih mengkonsumsi sayur-sayuran sebagai menu pelengkap mereka. Sayur-sayuran yang biasanya dimakan seperti pucuk ubi, kangkung dan bayam. Sayur bayam merupakan sayuran yang paling banyak diminati masyarakat Etnik Laut karena memiliki kandungan zat besi yang tinggi dan menyegarkan badan ketika mengkonsumsinya. Seperti ungkapan Bapak R sebagai berikut: “Makannya biasanya sehari 2 kali sehari, sayur yang sering dimakan macam bayam karena ada gizi kayak besi. Badan agak sejuk lah kalau makan itu.”

Pengaturan pola makan biasanya mereka makan sehari 3 kali sehari. Makan dengan porsi besar hanya dilakukan oleh mereka pada saat makan pada siang dan juga makan malam. hari. Biasanya untuk makan tersebut mereka mengolahnya. Di pagi hari mereka cenderung lebih memilih menu sarapan

73

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

makanan ringan sejenis roti goreng dan kue yang biasa dijajakan di warung-warung yang ada di lingkungan desa. Selain itu masyarakat di desa memiliki kebiasan memberikan uang jajan untuk anak-anak. Uang tersebut diberikan oleh orang tua untuk jajan, biasanya uang tersebut dibelikan jajanan atau cemilan berupa coklat, wafer, kerupuk, kacang, minuman dingin (es) ataupun makanan ringan lainnya. Minuman dingin bisa dikatakan menjadi favorit jajanan di desa ini. Hal ini karena udara panas di lingkungan tempat tinggal ini membuat es dianggap dapat menghilangkan haus dan menyegarkan badan. Benerapa jenis minuman dingin yang sering dijajakan adalah es rumahan yang dibuat sendiri oleh penjualnya terbuat dari sirup yang dibekukan dan ada juga minuman dingin yang terbuat dari campuran serbuk minuman sachetan yang biasa dijajakan di warung-warung. Pengolahan makanan yang dilakukan masyarakat Etnik laut sudah cukup bersih, sebelum memasak ikan sebagai lauk pauk mereka, ikan tersebut dibersihkan dahulu kotorannya dengan bealaskan lantai depan rumah sebagai tempat pembersihannya, setelah itu ikan dicuci menggunakan air hujan dan ada juga menggunakan air sumur bor. Begitu juga dengan pengolahan beras menjadi nasi. Beras yang direndam dan dicuci dengan menggunakan air bersih sebanyak 3 kali setelah itu baru dimasak dengan menggunakan kukusan nasi. Dalam memasak sayur-sayuran masyarakat cukup menjaga kebersihan sayuran yang ingin dimakan dengan mencuci sayur tersebut hingga bersih. Dalam pengolahan makanan masyarakat Etnik Laut lebih sering menggunakan bumbu buatan sendiri untuk memberikan rasa yang enak, ketimbang membeli bumbu penyedap yang ada di warung. Seperti ungkapan Bapak Aj sebagai berikut.

74

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Kalau saya masak sayur bayam ini pake cabe iris dan garam saja sudah cukup yang penting ada rasa asinnya, kalau mau pake bumbu yang enak betul tak ada uangnya pak.”

Makanan yang sudah dimasak biasanya diletakkan di lantai dasar rumah bukan di atas meja yang kemudian ditutup dengan tedung saji. Secara kesehatan ini akan berdampak pada kebersihan makanan ketika diletakkan di lantai rumah. Kebiasaan makan di lantai rumah sudah menjadikan kebiasaan di desa Tanjung Pasir ini. Air minum bagi masyarakat Etnik laut adalah dengan mengkonsumsi air hujan dan air sumur bor, biasanya air tersebut langsung diminum tanpa dimasak terlebih dahulu. Alasan mereka adalah dengan tidak dimasak mereka bisa lebih menghemat uang karena tidak perlu menyisihkan uang untuk arang ataupun gas dan juga air terasa lebih segar apabila air tersebut langsung diminum tanpa dimasak. Ketika mereka ingin minum minuman panas atau hangat, seperti teh atau kopi mereka akan memasak air secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat Etnik Laut juga memiliki aktivitas atau kebiasaan minum tuak. Melakukan aktivitas tersebut merupakan bagian dari kebiasaan dan bahkan dianggap sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi ketika akan pergi melaut dan sekembalinya mereka dari pulang melaut. Aktivitas minum tuak ini sering juga dilakukan pada acara hari pesta perkawinan ataupun hajat-hajat lainnya. Dengan minum tuak masyarakat Etnik Laut beranggapan dapat berkhasiat sebagai obat badan yang bisa menghilangkan rasa capek, lelah dan menjadikan badan kembali sehat atau fit. Porsi air tuak yang diminum biasanya hanya secangkir atau dua cangkir saja setelah pulang melaut, namun ketika ada pesta perkawinan masyarakat ini mengkonsumsi lebih banyak lagi, bahkan satu orang bisa minum 75

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tuak lebih dari 1 teko. Menurut masyarakat minum tuak juga dianggap bisa meningkatkan rasa percaya diri seseorang. Makanan produk baru yang sering dikonsumsi masyarakat Etnik laut adalah mie instan. Masyarakat Etnik Laut menjadikan mie instan sebagai makanan tambahan pelengkap ketika mereka tidak makan sayur-suyuran. Selain itu mie instan menjadi favorit karena mudah membuatnya. Berdasarkan pengamatan, bahkan anak bayi berusia 10 bulan sudah ada yang diberikan mie instan oleh orang tuanya.

2.8.4. Pelayanan Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan Desa Tanjung Pasir merupakan desa yang ada di bawah Kecamatan Tanah Merah dengan ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Kuala Enok. Kecamatan ini sendiri memiliki 2 Puskesmas Induk, yaitu Puskesmas Tanah Merah yang ada di Desa Tanah Merah dan Puskesmas Rawat Inap di Kuala Enok. Desa Tanjung Pasir berada di bawah tanggung jawab Puskesmas Kuala Enok. Puskesmas Rawat Inap Kuala Enok terletak di ibukota Kecamatan Tanah Merah. Selain membawahi Kelurahan Kuala Enok dan Desa Tanjung Pasir, Puskesmas ini juga membawahi 3 desa lainnya. Untuk berobat ke Puskesmas, Desa Tanjung Pasir dapat menggunakan pompong untuk menyebrang sampai Kuala Enok dan dilanjutkan dengan naik sepeda motor. Struktur jalan di Kuala Enok, sebagian dari beton dan sebagian jalan papan, dan luasnya yang tidak begitu lebar hanya memungkinkan dilalui oleh sepeda motor sebagai transportasi daratnya. Bentuk fisik bangunan Puskesmas cukup baik dan fasilitasnya sudah cukup lengkap untuk standar Puskesmas. Namun karena sesuai dengan struktur jalanan yang tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan roda empat, maka 76

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Puskesmas tidak memiliki mobil ambulans, sampai saat ini mereka hanya menggunakan tandu untuk membantu membawa pasien dari pelabuhan menuju ke Puskesmas. Tandu ini akan ditaruh di atas gerobak untuk memudahkan membawa pasien tersebut. Gerobak itupun merupakan sumbangan dari salah satu warga yang memang diperuntukkan untuk memudahkan untuk membawa pasien ke puskemas. Jarak yang ditempuh dari pelabuhan menuju ke pukesmas sekitar 500 meter, dalam pendorongan gerobak ini biasanya yang lebih berperan adalah pihak keluarga yang sakit bukan petugas pukesmas yang mendorongnya. Gerobak ini juga berfungsi sebagai sarana untuk mengangkut obat dan membawa oksigen dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Gambar 2.18. “Ambulans” Puskesmas Kuala Enok Sumber: Dokumentasi Pribadi Kepala Puskesmas Kuala Enok

77

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Ada akses yang sedikit lebih mudah yaitu melalui jalur sungai kecil yang letaknya lebih dekat dengan Puskesmas. Jarak yang ditempuh dari pelabuhan kecil menuju Puskesmas ini kurang lebih hanya 150 meter. Namun sayangnya jalur ini hanya bisa digunakan atau dilalui oleh perahu ketika air sedang pasang saja, ketika air sedang surut tidak ada kapal yang bisa masuk ke wilayah ini, sehingga pasien dari desa lain biasanya tetap harus menyandarkan perahu mereka di pelabuhan besar.

Gambar 2.19. Pelabuhan “Darurat” Dekat Pukesmas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berdasarkan informasi dalam acara Lokakarya Mini di Puskesmas yang peneliti ikuti, ada rencana akan mengadakan ambulans apung atau ambulans air pada tahun berikutnya, hal ini untuk menyesuaikan dengan geografis di Kecamatan Tanah Merah, dimana hampir semua desa lebih banyak ditempuh dengan menggunakan transportasi air. Sebenarnya dahulu sudah pernah ada transportasi air yang digunakan sebagai ambulans atau menjadi Puskesmas keliling di wilayah kecamatan Tanah Merah ini, yaitu berupa kapal. Namun ternyata tidak dapat 78

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

berlangsung lama karena biaya perawatan dan biaya operasional yang cukup tinggi mengakibatkan pada akhirnya kapal ini tidak terawat dan tidak bisa dipergunakan lagi, dan hingga saat ini belum ada lagi kapal atau perahu khusus dan berfungsi sebagai ambulans yang diperuntukkan untuk membantu Puskesmas tersebut. Masalah ketiadaan ambulans ini berakibat juga jika ada pasien darurat yang harus segera dirujuk ke Rumah Sakit yang ada di Tembilahan (ibukota Indragiri Hilir). Waktu tempuh pun tergantung dari perahu atau kapal apa yang dipergunakan untuk menuju rumah sakit. Jika menggunakan boat besar, yang merupakan angkutan umum, maka waktu yang dibutuhkan relatif sebentar yaitu 1 jam saja (di luar waktu untuk menunggu boat tersebut). Biaya yang dibutuhkan sekitar Rp. 45.000,- per orang, biaya tersebut relatif mahal bagi masyarakat. Angkutan umum ini juga biasanya hanya beroperasi sampai sore hari saja. Boat terakhir menuju Tembilahan adalah sore hari, sekitar pukul 16.00. Di luar jam tersebut biasanya masyarakat terpaksa menyewa boat tersebut dengan harga yang cukup tinggi yaitu kurang lebih satu juta rupiah (Rp. 1.000.000,-) dan bahkan bisa lebih mahal lagi yaitu sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah (Rp. 1.200.000,-) apabila harus menyewa boat pada malam hari untuk satu kali pergi. Alternatif kedua bisa ditempuh dengan menggunakan kapal nelayan yang bisa dimiliki oleh mereka sendiri atau dengan pertolongan tetangga yang memiliki kapal. Karena kapal nelayan mesinnya berukuran lebih kecil maka waktu tempuh biasanya lebih lama lagi, yaitu paling cepat sekitar 2 jam. Biaya sedikit lebih murah, karena biasanya biaya yang dikeluarkan adalah sebesar harga minyak atau bahan bakar yang dikeluarkan saja. Karena alasan biaya dan transportasi tersebut akhirnya sebagian masyarakat, khususnya yang tidak mampu, 79

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengurungkan diri untuk pergi ke rumah sakit di Tembilahan dan kembali ke rumah, mereka membiarkan saja penyakit tersebut dengan harapan sembuh sendiri atau mencari jalan alternatif dengan berobat dengan cara tradisional dengan mengandalkan dukun kampung. Desa Tanjung Pasir memiliki tiga orang tenaga kesehatan yang ditempatkan di desa untuk bekerja di Puskesmas Pembantu (Pustu) yaitu 2 (dua) perawat (masing-masing 1 laki-laki dan 1 perempuan) dan 1 bidan. 1 perawat perempuan juga saat ini berfungsi sebagai bidan. Untuk bangunan fisik pustunya pun terbagi atas 2 (dua) bangunan, yaitu bangunan tempat pemeriksaan dan rumah dinas pustu. Bangunan pustu tempat pemeriksaan terdiri dari ruang periksa dan juga ruang gudang penyimpanan obat. Sedangkan untuk rumah dinas sebagai tempat tinggal tenaga kesehatan pustu bisa dikatakan tidak layak dan sangat kotor, bahkan ketika tim kami pertama kali datang pustu tersebut menjadi sarang kelelawar dan menurut informasi penduduk bahkan juga ada tikus yang menghuni rumah dinas bagi tenaga kesehatan pustu. Ketiga tenaga kesehatan yang ditempatkan di desa ini memang tidak ada yang menempati rumah dinas tersebut karena mereka tidak tinggal di desa ini. Ketiganya bertempat tinggal di ibukota kecamatan di Kuala Enok, ada juga yang tinggal di desa lain. Selama penelitian berlangsung, hanya terlihat dua tenaga kesehatan yang ada, sedangkan tenaga kesehatan yang lainnya tidak pernah sekalipun datang ke pustu. Berdasarkan pengamatan, setiap harinya mereka datang bergantian (sistem shift), hanya jika ada Posyandu saja mereka datang berdua. Meskipun mereka datang bergantian, tetapi kadang mereka tidak datang setiap hari, biasanya pada hari Minggu mereka tidak datang ke desa. Jam kerja pustu pun terbatas yaitu dari pukul 9 pagi sampai pukul 11 atau 12 siang. 80

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.20. Pukesmas Pembantu Desa Tanjung Pasir Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Pustu ini juga bisa dikatakan hanya bisa dijangkau oleh dua dusun, yaitu dusun Tanjung Harapan dan dusun Sungai Rumah, karena letak Sungai Bandung sangat jauh dan aksesnya juga sulit maka pasien dari dusun ini bisa dibilang luput dari jangkauan pustu ini, sedangkan sampai saat ini belum ada rencana dari Puskesmas untuk membangun fasilitas kesehatan di dusun Sungai Bandung tersebut. Masyarakat di dusun Sungai Bandung ini sampai saat ini tidak pernah mengeluh dengan tidak adanya Puskesmas pembantu disana, mereka cenderung berobat ke Puskesmas yang di kecamatan, walaupun dengan kendala akses yang cukup sulit. Secara interaksi dengan pihak medis masyarakat Etnik Laut tidak pernah merasa kesulitan karena bahasa yang

81

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dipergunakan adalah bahasa keseharian mereka yaitu bahasa Melayu. Berdasarkan pengamatan peneliti, pustu tidak selalu ramai. Ada hari yang ramai, namun ada juga ada hari yang tidak ada pasien sama sekali. Namun menurut perawat H, jumlah pasien di pustu ini cukup tinggi, bahkan dikatakan hampir sama banyaknya dengan Puskesmas induk. Hal ini membuat kadang obat di pustu cepat habis sedangkan persediaannya terbatas. Untuk tenaga pelayanan kesehatan yang ada di pustu sudah cukup baik dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat desa, tenaga kesehatan dengan rutin mengadakan kegiatan Posyandu dan Posyandu lansia setiap bulannya. Dan masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk orang Laut, sebagian sudah memaksimalkan pustu tersebut untuk melakukan pengobatan, namun tak sedikit juga yang menyatakan kritikannya terhadap pustu tersebut. Seperti perisitiwa yang pernah dialami oleh ibu Ls sebagai berikut. “Ibu lisa mengatakan pemberian imunisasi yang ada di Desa Tanjung Pasir ini sering berubah-rubah dan tidak ada kepastian dari pihak pelayanan pukesmas pembantunya, jadi yang kami dapatkan ketika imunisasi ini tidak pernah lengkap dan petugasnya juga sering salah memberikan obat kepada masyarakatnya ketika sakit, jadi saya pun sudah mulai kurang percaya dengan pelayan petugas yang ada di pukesmas pembantu ini.”

Ada yang menyatakan bahwa karena ketiadaan persediaan obat atau kurangnya persediaan obat, ia tidak percaya dengan pengobatan di pustu. Ada juga yang menyatakan mereka kesulitan untuk menemui para nakes disini karena jadwal kerja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan terkadang masyarakat membutuhkan para nakes tersebut di sore atau malam hari ketika para nakes sudah pulang. Oleh karena itu 82

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

mereka lebih memilih langsung ke praktek dokter yang ada di kecamatan atau berobat ke Puskesmas (yang biasa mereka sebut juga dengan rumah sakit). 2.9. Sistem Peralatan dan Teknologi Kemajuan zaman modernisasi membuat masyarakat Etnik laut di Desa Tanjung Pasir, seperti di daerah di Indonesia lainnya sudah mengikuti perkembangan teknologi dan peralatan yang sudah menggelobal. Teknologi yang digunakan masyarakat Etnik Laut di Desa Tanjung Pasir sudah cukup modern. Ini terlihat dari kepemilikan alat komunikasi seperti handphone. Masyarakat Etnik Laut Desa Tanjung Pasir menganggap alat tersebut sudah bukan barang mewah lagi. Namun sinyal untuk handphone masih dapat dikatakan belum begitu baik, sehingga fungsinya belum maksimal. Tidak semua tempat di desa ini mendapatkan sinyal yang baik. Selain handphone masyarakat Etnik laut Desa Tanjung Pasir juga memiliki sarana kebutuhan untuk menghibur diri mereka dari kelelehan bekerja, rata-rata masyarakat Etnik laut Desa Tanjung Pasir sudah memiliki televisi dan vcd player. Namun penggunan televisi dan vcd player ini hanya bisa mulai sore hari atau waktu pukul 17.30, karena sarana listrik yang ada di Desa Tanjung Pasir terbatas dan tidak bisa memadai untuk terus menerus menyala selama 24 jam. Listrik di desa ini listrik hanya hidup dua belas jam saja, tersedia mulai pukul setengah lima sore sampai pukul enam pagi keesokan harinya. Di samping itu masih ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan lampu tempel dari minyak untuk penerangan di malam hari. Selain itu kepemilikan akan kendaraan bermotor, dalam hal ini sepeda motor, sudah ada beberapa masyarakat Etnik Laut yang memilikinya, biasanya mereka yang kehidupan ekonomi 83

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sudah tinggi, yang pekerjaannya sebagai penampung atau agen besar hasil tangkapan seperti udang, ikan kerang dan sea food. Kendaraan bermotor ini hanya bisa digunakan di dalam desa saja. Alat-alat yang sudah modern digunakan untuk mempermudah pekerjaan baik dalam rumah maupun di luar rumah, seperti pekerjaan dalam pembuatan belacan. Sekarang ini sebagian masyarakat mengolah belacan dengan menggunakan mesin penghalus udang agar biar cepat selesai pengolahannya. Ada juga masyarakat membuat kapal motor dengan bahan yang dibuat dari kayu, untuk pemotongan kayu ini digunakan alat pemotong yang lebih modern yaitu mesin pemotong sinso, dengan menggunakan sinso pekerjaan pemotongan kayu akan cepat terselesaikan. Alat-alat masak di masyarakat masih tergolong tradisional. Masih banyak yang menggunakan kompor tradisional yang disebut dengan anglo. Kompor tradisional sejenis anglo ini terbuat dari tanah liat dengan tinggi sekitar 30 cm dan bentuk sisi lebar lingkaran kurang lebih 40 cm yang dibagi mejadi 3 belahan yang berfungsi sebagai penahan wadah untuk wajan penggorengan. Anglo diletakkan di lantai dasar rumah yang alasnya berasal dari dirigen bekas yang dibuat bentuk lingkaran yang sesuai dengan bentuk anglo. Bahan bakar yang digunakan untuk memasak menggunakan arang atau kayu bakar, seperti ungkapan tok kak Sy sebagai berikut. “Saya lebih suka pake anglo dan bahan kayu bakar karena aroma uapnya menghasilkan makanan lebih manis ketimbang menggunakan kompor gas yang berbau zat kimia dan beracun.”

84

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 2.21. Kompor Tradisional Anglo (Sumber: Dokumentasi Peneliti)

Selain itu alat tradisional juga masih dipakai dalam membantu pekerjaan sehari-hari. Alat-alat ini biasanya diturunkan dari generasi ke generasi dan berusia puluhan tahun seperti pekerjaan merawai ikan dan menyungkur udang di laut. Tradisi merawai ikan dan menyungkur udang di laut dan alatalatnya (seperti yang sudah dijelaskan di su bab mata pencaharian) diturunkan dari generasi ke generasi di kalangan laki-laki dan nantinya akan diturunkan kepada anak-anak Etnik laut. Dari segi teknologi peralatan kesehatan, masyarakat Etnik Laut tidak ada yang memilik alat kesehatan khusus di rumahnya. Mereka beranggapan ketika mereka sakit ringan mereka pergi ke warung saja untuk membeli obat atau pergi berobat Kendala masyarakat Etnik Laut tidak bisa memiliki peralatan kesehatan adalah disebabkan kendala ekonomi. Seperti yang di ungkapkan tok kak (nenek) Ni sebagai berikut.

85

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Pendapatan yang saya dapatkan tiap harinnya paspasan cuma dapat untuk membeli beras dan jajan anak saya setiap harinya dan ini yang paling saya utamakan, kalau untuk menabung untuk biaya kesehatan dan membeli peralatan kesehatan saya tidak bisa.”

86

BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DESA TANJUNG PASIR

Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai potret kesehatan masyarakat Desa Tanjung Pasir, khususnya masyarakat Etnik Laut yang menjadi topik utama dalam penelitian ini. Namun dalam proses pengumpulan data terkait potret kesehatan ini agak sulit untuk memisahkan antara masyarakat Laut dengan masyarakat Etnik lainnya karena interaksi mereka yang sangat tinggi satu sama lain. Dalam hal ini peneliti tidak bisa mengkotakkan antar Etnik karena ada aktor-aktor yang berperan dalam perilaku kesehatan ini yang berasal dari Etnik lain. Bisa dikatakan perilaku kesehatan Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir tidak ada bedanya dengan masyarakat Etnik Banjar, Melayu ataupun Bugis yang juga berdiam di desa ini. Perilaku terkait kesehatan mereka terkait dengan budaya hampir sama karena budaya antara satu Etnik dan satu Etnik lainnya saling mempengaruhi dan menjadi kebiasaan yang akhirnya membentuk pola perilaku kesehatan yang cenderung sama, kalaupun ada perbedaan biasanya hanya terletak pada perbedaan istilah saja. Dalam bab ini potret kesehatan akan dibahas dari 4 topik besar yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Menular (PM), Penyakit Tidak Menular dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Penjabaran potret kesehatan ini akan menggambarkan bagaimana perilaku kesehatan mereka, baik 87

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang sifatnya pencegahan maupun pengobatan, dengan caracara yang mereka anggap baik, baik itu dengan cara modern ataupun tradisional. Cara tradisional disini juga dilihat bentukbentuk ritual ataupun upacara yang mereka anggap menjadi bagian dari perilaku kesehatan itu sendiri. 3.1. Kesehatan Ibu Dan Anak Bagian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) ini akan menceritakan dari proses remaja, pasangan suami istri, ibu hamil, melahirkan hingga masa dari bayi hingga balita yang akan diceritakan pada masing-masing sub-bab. 3.1.1. Remaja Remaja adalah masa dimana seseorang dapat dikatakan mengalami perubahan dari tahap anak menuju dewasa. Perubahan secara fisik dan reproduksi terjadi pada tahap ini. Sama dengan remaja Etnik Laut, dan remaja dari Etnik lainnya, di Desa Tanjung Pasir, perubahan ini harus disertai dengan pendidikan yang cukup agar para remaja bisa memahami perubahan biologis mereka agar dapat menyiapkan fisik maupun psikologis mereka terhadap perubahan tersebut. Berdasarkan wawancara dengan para informan yang lebih dewasa, anak perempuan pada masa kini sudah mengalami haid di usia yang lebih awal jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sekarang banyak anak pada tingkat 5 Sekolah Dasar yang sudah mendapatkan haid. Jika ditanyakan alasannya informan yang mengatakan bahwa pergaulan remaja sekarang sudah cukup bebas, ditambah tanyangan televisi yang menampilkan orang berpacaran, menjadi pemicunya, sehingga tak jarang anak-anak SD pun menjadi cepat dewasa.

88

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Nilai dan Norma Pergaulan Remaja Anak remaja di Desa Tanjung Pasir memiliki pergaulan yang cukup bebas, orang tua tidak pernah membatasi anaknya dalam bergaul. Khusus anak remaja yang tingkat SMA, karena tidak ada SMA di desa mereka biasanya menyebrang ke kecamatan untuk sekolah. Anak remaja, khususnya perempuan, banyak terpengaruh oleh tayangan televisi, seperti secara fisik kita dapat melihat bahwa tak jarang anak SMP di SMP Satu Atap Tanjung Pasir ini sudah cakap berdandan. Bukan hanya di acara tertentu seperti pesta, namun juga pada saat mereka bersekolah. Terlihat kebanyakan anak SMP pada saat sekolah bukan hanya memakai bedak, namun juga maskara atau eyeliner. Dalam keseharian mereka pun tak jarang juga menggunakan lipstick dan eye shadow. Pacaran di usia muda pun sudah sangat wajar di lingkungan desa ini. Biasanya mereka berpacaran antar sesama warga desa. Menurut salah satu informan S, terkadang pasangan muda yang berpacaran ini juga sudah berani berpacaran. “itu liat saja ka, anak-anak SMP sini sudah berani dia. Lihat saja itu lehernya kadang suka merah-merah (bekas berciuman).”

Menurut beberapa informan tidak sedikit remaja di desa ini yang sudah hamil duluan sebelum terjadi ikatan pernikahan, bahkan ada yang berani menggugurkan kandungannya karena takut ketahuan oleh masyarakat. Ketika melakukan hubungan pacaran yang berlebihan tersebut bisa dikatakan remaja belum mengetahui persis konsekuensi apa yang ditanggungnya, padahal usia mereka masih terbilang cukup muda. Hal ini juga diutarakan oleh informan M:

89

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Orang tua tuh mana tau anaknya pacaran, taunya jalan (pergi). Singkat aja pikir mereka (remaja) tuh. Kalau mereka pikir tau tapi ga taulah. Mereka mikir enaknya aja dulu. Nanti belakangnya menyesal. Lalu akhirnya dikawinkan.”

Namun ternyata kebanyakan orang tua disini kurang dalam memperhatikan pergaulan anak. Dalam pergaulan tersebut memang biasanya para remaja memang mendapatkan nasihat dari orang tuanya tentang pergaulan itu sendiri, namun pengawasan dalam pergaulan itu sendiri kurang. Tidak ada sanksi adat di masyarakat Etnik Laut terhadap anak yang sudah melakukan hubungan bebas atau hamil di luar nikah. Begitupun juga tidak ada sanksi yang berlaku pada masyarakat Etnik lainnya yang ada di desa ini. Sanksi yang diberikan oleh masyarakat biasanya hanya berupa gunjingan, namun nampaknya tidak memiliki pengaruh atau efek jera di masyarakat sehingga tidak jarang mengakibatkan hal yang berulanh. Menurut tokoh masyarakat masih banyak yang melakukan hubungan yang di luar pernikahan. Biasanya jika ketahuan oleh keluarga, apalagi jika sudah hamil di luar nikah, maka akan segera dikawinkan. Meskipun secara teori ketika ditanyakan beberapa informan bahwa usia menikah ideal kini adalah umur belasan akhir (19-20 tahun) pada kenyataan di lapangan tidak sedikit yang menikah pada usia 15-16 tahun. Ada yang memang dikarenakan sudah terlanjur melakukan hubungan badan dan terpaksa dikawinkan, namun ada juga yang menyatakan bahwa karena jodohnya sudah datang, seperti yang dikatakan oleh informan R berikut ini: “ini anak kami seumur dengan L yang baru saja menikah. Padahal baru 15 tahun. Kalau anak kami memang belum mau menikah, tapi itu seperti L sudah datang jodohnya, 90

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

ya sudah menikah sajalah. Sudah takdir tuhan jodohnya datang itu biar pun masih muda.”

Menurut informan tokoh masyarakat Bapak MT, dorongan keluarga khususnya orang tua juga menjadi faktor anak remaja masih banyak yang menikah muda: “Orang tua sini payah, kadang malah mereka itu anaknya dikawinkan saja, apalagi yang perempuan, padahal mungkin anaknya tak tau kawin itu apa.”

Hal ini juga diceritakan oleh salah satu guru SLTP di desa ini yaitu Bapak Sy mengenai pernikahan salah satu muridnya: “Itu L (15 tahun) yang baru nikah kemarin bapaknya berulang kali tanya ke kami, kapan sekolah selesai, anakku nih mau kukawinkan saja katanya. Kami guru sampai bohong ke bapaknya, kami bilang tinggal satu setengah bulan lagi, padahal masih 3 bulan lagi. Kalau tidak bohong nanti bapaknya larang si L sekolah, padahal dia lulus sebentar lagi.”

Beberapa remaja perempuan di desa ini juga banyak yang hanya menyelesaikan sekolah hingga tingkat Sekolah Dasar. Kebanyakan dari mereka memutuskan membantu orang tua dan memilih bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Pekerjaan yang dilakukan pun bermacam-macam, ada yang bekerja di rumah orang di kecamatan Kuala Enok sebagai buruh cuci ataupun jaga anak kecil, ada yang bekerja di Tembilahan bahkan sampai Pekanbaru dan Batam sebagai pegawai toko dan bahkan ada beberapa yang menjadi lonte atau pelacur. Untuk pekerjaan yang terakhir ini memang tidak secara gamblang diceritakan namun menjadi rahasia umum di masyarakat. Hal ini seperti yang diceritakan oleh salah satu informan remaja M berikut ini:

91

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Di sini ada ka yang jualan begitu. Temanku juga ada yang kerja seperti itu. Aku juga pernah diajak, tapi aku bilang ibuku payah kalau aku pergi. Aku tidak mau. Itu kerjanya uangnya besar kak, bisa dia 800.000 sampai satu juta per hari. Uangnya bisa untuk dandan, dia bajunya bagus, terus ganti-ganti handphone bagus.”

3.1.2. Pasangan Suami Istri Setelah menikah, seperti layaknya pasangan suami istri pada umumnya, kehadiran seorang anak tentunya menjadi sesuatu yang diinginkan oleh keluarganya. Oleh karena itu kebanyakan pasangan suami istri yang baru menikah tidak menunda lagi untuk memiliki anak. Ditambah lagi dorongan keluarga besar yang juga kerap menanyakan kapan pasangan tersebut hamil. Jika tidak kunjung hamil pada masa awal pernikahan, mereka biasanya sadar bahwa berarti ada penyakit yang mengakibatkan mereka tidak bisa hamil. Pengetahuan mereka akan penyakit ini didapatkan dari orang tua mereka. Pengantin muda yang belum banyak pengalaman disini biasanya menjadikan orang tua mereka sebagai tempat berkonsultasi. Berdasarkan wawancara dengan bidan kampung mak An, ketidakhamilan pada pasangan bisa terjadi karena dua hal yaitu pertama karena senggugut yang ada pada perempuan dan yang kedua terjadi pada kesuburan dari suami. Senggugut sendiri menurut kepercayaan masyarakat adalah suatu makhluk yang berbentuk seperti cicak di dalam perut yang memakan atau menggigit di dalam perut atau rahim perempuan sehingga mengakibatkan kesuburan perempuan hilang atau berkurang. Tanda-tanda senggugut itu ada di dalam perut perempuan adalah pada saat menstruasi perut terasa sakit sekali dan terlihat darah yang dikeluarkan kotor dan tidak bersih. 92

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Senggugut itu jika tidak diobati akan bertambah banyak dan semakin sulit perempuan untuk hamil jika tidak segera diobati. Pengetahuan mengenai senggugut ini bukan hanya dipercayai oleh para orang tua namun juga para remaja ataupun pasangan muda sekarang ini. Seperti yang diceritakan oleh informan E, salah satu informan yang dulu sempat mengalami senggugut sehingga tidak cepat hamil. “Itu segunggut ka yang bikin penyakit di dalam ga jadi hamil itu. Nanti kalau dia keluar itu kaya cicak, bermata dan berekor. Tapi tidak ada kaki. Kalau itu sudah keluar baru kita bisa hamil. ga tau itu emang penyakit (senggugut) yang ada di rahim. Itu dia bisa makan yang bisa bikin hamil itu ka. Kita ga tau itu nama dokternya apa, karena kita ke bidan kampung kita taunya ya senggungut itu.”

Hal serupa mengenai senggugut juga dijelaskan oleh bidan kampong mak An “Itu darah kotor yang pas haid tidak selesai. Dia membeku. Itu yang jadinya bikin penyakit. Selalu tumbuh di perut. Itu pas melahirkan tidak keluar semua bahaya.”

Untuk mengobati senggugut tersebut biasanya masyarakat masih mempercayakan pengobatannya kepada bidan kampung ataupun dukun kampung. Pengetahuan masyarakat mengenai senggugut itu membuat mereka lebih mempercayakan pengobatan untuk mendatangkan kehamilan kepada pengobat tradisional dibandingkan dengan pergi ke dokter kandungan ataupun rumah sakit. Senggugut tersebut menurut mereka bisa diobati dengan pengobatan tradisional. Bidan atau dukun kampung dapat mendeteksi adanya penyakit senggugut itu pada saat perempuan sedang menstuasi,

93

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

jadi ketika tidak dalam keadaan menstruasi bidan/dukun kampung kesulitan untuk melihatnya. Pertama nanti akan dilihat darah dari si perempuan tersebut, jika darahnya warnanya kotor berarti memang dikarenakan oleh senggugut, namun jika tidak berarti bisa saja ada penyakit lain yang mengakibatkan ketidakhamilan. Penyakit tersebut bisa saja merupakan penyakit yang tidak bisa diobati oleh bidan/dukun kampung dan hanya bisa diobati oleh dokter atau suster. Hal ini seperti juga yang dikatakan oleh bidan kampung MI: “Kemarin ada yang ke saya mau minta air untuk senggugut. Setelah diperiksa saya coba liat dia tidak apaapa, bukan karena senggugut. Itu ternyata dia pernah keguguran dan ada yang tertinggal di dalam dan akhirnya menjadi tumor kalau seperti dokter bilang. Seperti itu tidak bisa saya obati jadi saya suruhlah dia periksa.”

Untuk mengobati penyakit senggugut tersebut ada cara yang dilakukan oleh bidan ataupun dukun kampung. Karena penyakit senggugut ini ada di dalam tubuh perempuan sehingga yang wajib diobati cukup perempuannya saja. Caranya adalah dengan meminum air mantera dari si bidan/dukun kampung tersebut. Cara ini bisa dikatakan adalah cara utama atau cara yang dianggap paling penting dalam proses pengobatannya. Menurut bidan kampung AI, air untuk minum tersebut adalah air hujan yang diambil pada waktu subuh. Air itu diambil dan untuk mempermudah dapat langsung dimasukkan ke dalam botol air mineral. Namun informan E mengatakan bahwa dukun kampung yang mengobatinya hanya meminta air mineral botol yang bisa dibeli di warung saja. Setelah itu air tersebut dibawa dan diberi mantera oleh si bidan/dukun kampung. Menurut bidan kampung, selain jampian biasanya mereka juga membaca shalawat dan doa

94

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kepada tuhan sebagai tambahan, hal ini dilakukan karena segala sesuatu terjadi karena izin Allah SWT. Air yang sudah diberi doa dan jampi tersebut lalu nantinya akan diminumkan oleh si perempuan selama 3 hari berturut-turut pada saat menstruasi. Setelah air tersebut selesai diminum, psangan bisa mencoba lagi untuk berkumpul (berhubungan badan) dan melihat hasilnya. Biasanya bidan kampung juga kembali memeriksakan darah mens dari si perempuan, kalau memang darahnya sudah bersih tandanya ia bisa hamil, jika belum bersih bisa kembali lagi meminta air jampian kepada bidan ataupun dukun kampung. Apabila pada akhirnya setelah meminum air jampian tersebut tidak kunjung hamil maka kemungkinan penyakit bukan berasal dari senggugut. Menurut salah satu informan, bidan kampung tempatnya berobat selain memberikannya air jampian untuk diminum juga memberikan timun yang juga harus dikonsumsi selama tiga hari berturut-turut. Timun tersebut pun menurutnya sudah dijampikan dan harus dikonsumsi pada saat segera setelah bangun tidur. Bahkan disarankan langsung dimakan sebelum melakukan aktivitas apapun, termasuk pergi ke kamar mandi. Bidan kampung juga biasanya membantu atau menyarankan si perempuan tersebut untuk meminum ramuan yang berasal campuran kunyit dan kencur. Ibu yang sedang ingin hamil dapat membuatnya sendiri bisa, namun jika malas bisa meminta tolong bidan kampung tersebut untuk membuatkannya. Cara lain masyarakat untuk mendatangkan kehamilan adalah dengan cara berurut dengan bidan kampung. Beberapa informan menyatakan bahwa sebelum hamil mereka biasanya juga berurut dengan bidan kampung agar segera hamil. Menurut bidan kampung urut tersebut dilakukan agar letak peranakkannya tepat sehingga ketika berkumpul cairan dari suami bisa masuk secara tepat ke istrinya. 95

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, penyakit tidak dapat hamil dapat juga disebabkan karena suami. Jika sperma suami encer maka tidak akan menghasilkan anak. Biasanya untuk mengobatinya juga dapat dengan bantuan bidan kampung. Bidan kampung biasanya akan meminta suaminya untuk diminumkan telur ayam kampung yang dicampurkan dengan sedikit air kunyit. Tentunya sebelum diminum juga harus dijampikan dengan ayat pembuka yang dibacakan oleh si bidan kampung. Untuk mendatangkan kehamilan, selain dengan menyembuhkan penyakit seperti yang diuraikan di atas, ada juga yang percaya bahwa dengan mengangkat anak orang lain bisa menjadi pancingan untuk memiliki anak sendiri. Ada yang memang membuktikan bahwa hal itu benar, namun ada juga yang tidak berhasil, seperti yang diceritakan oleh informan Sa: “Kami menikah 18 tahun itu tidak punya anak. sudah ambil anak sampai 2 orang, dari umur 8 hari dan satu lagi dari umur setengah bulan. Memang katanya kalau bisa cepat punya anak begitu. Namun belum juga kami punya anak.”

Selain itu menurut bidan kampung pasangan yang belum pernah memiliki anak tidak boleh memakai KB ataupun tidak boleh berurut untuk menunda kehamilan. Jika hal tersebut dilakukan nanti akan berakibat tidak akan punya anak selamanya. Hal ini sudah dibuktikan juga dengan informan Y yang kesulitan untuk memiliki anak, dimana Y memakai KB pada saat awal pernikahan dan sekarang sudah 5 tahun tidak bisa punya anak. Ia pun sudah beberapa kali memeriksakan diri ke dukun namun tidak kunjung sembuh dan memiliki anak. Jadi masyarakat pantang untuk menunda kehamilan jika memang belum punya anak. Ketika ditanyakan kepada informan yang pernah atau sedang mengalami kesulitan untuk hamil, kebanyakan dari 96

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

mereka belum pernah memeriksakannya ke dokter spesialis kandungan, alasannya adalah keterbatasan biaya dimana untuk memeriksakan ke dokter spesialis tersebut membutuhkan dana yang lebih, termasuk untuk menuju lokasi pemeriksaannya. Jarak desa menuju Rumah Sakit yang ada di Tembilahan tentunya membutuhkan waktu dan dana yang lebih. 3.1.3. Hamil Kehamilan pada Etnik Laut adalah suatu proses penting dalam suatu kehidupan perempuan. Proses kehamilan tentunya untuk mereka yang sudah menikah merupakan waktu ditunggu, dimana kehamilan merupakan tanda mereka sebentar lagi akan mendapatkan keturunan keluarga mereka. Tentunya karena kehamilan ini cukup ditunggu oleh keluarga maka ada tradisi atas kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pada masa kehamilan ini. Hal ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari kepercayaan mereka agar ibunya ketika hamil dalam keadaan sehat dan tidak mengalami gangguan hingga pada saatnya nanti melahirkan bayi yang juga sehat. Bisa dikatakan pada masa hamil ini kebanyakan wanita sudah tidak bekerja di luar rumah lagi. Karena pada dasarnya kebanyakan perempuan yang sudah menikah tidak lagi turut mencari nafkah, sehingga pada saat hamil ini pun mereka tidak bekerja. Namun meskipun tidak bekerja di luar rumah, mereka biasanya tetap melakukan kewajiban mereka sebagai pengurus rumah tangga, seperti memasak, mencuci, mengangkut air, membersihkan rumah hingga menjaga anak jika memang sudah memiliki anak. Beberapa wanita Etnik Laut pun biasanya jika tidak bekerja di luar rumah, membuka usaha berupa warung sembako sebagai hasil tambahan mereka. Ada juga yang membantu 97

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

membuat dan mencetak belacan, membersihkan hasil tangkapan suaminya di laut dan menjajakannya di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Jadi bekerja pun dilakukan masih di lingkungan rumah saja. Namun untuk pergi ke laut untuk mencari ikan ataupun mencari kerang biasanya tidak pernah mereka lakukan. Berdasarkan informan lain halnya dengan perempuan dari Etnik Laut yang ada di kecamatan Concong, dimana disana banyak ditemukan kerang. Di sana perempuan dari Etnik laut masih turut bekerja bahkan sampai ketika hamil karena membantu mencari hasil kerang yang berlimpah. Meskipun begitu masih ada juga yang bekerja dan beranggapan bahwa dengan bekerja dan banyak bergerak akan memudahkannya melahirkan seperti yang diceritakan oleh informan Is berikut ini “Masih itu pas hamil yang terakhir ini aku kerja. sampe udah mau melahirkan masih naik boat itu ke tembilahan. aku sudah kembang naik 3 hari itu ke tembilahan, sore aku sampe sini, pagi melahirkan. Kesana aku mengantar belacan naik turun boat. Mudahlah aku melahir.”

Pola Konsumsi Ibu Ketika Hamil Ketika hamil menurut ibu di masyarakat nampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikonsumsi mereka pada saat tidak hamil. Meskipun tentunya frekuensi lebih sering dan porsi ditambahkan namun mereka tidak ingin makan terlalu banyak karena takut nantinya anak di dalam perut ukurannnya akan terlalu besar dan mengakibatkan ibu terlalu lelah dan menyulitkan pada saat bersalin nantinya. Jika di daerah lain biasanya makan laut menjadi pantangan, namun di daerah ini karena makanan laut adalah yang paling mudah ditemukan maka konsumsi makanan laut menjadi tetap makanan utama mereka. Konsumsi makanan laut 98

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

seperti ikan laut, udang, ketam dan kerang banyak mereka mengkonsumsi. Oleh karena konsumsi jenis makanan tersebut mereka beranggapan bahwa hal tersebut membuat tensi mereka tinggi. Seperti apa yang diceritakan oleh ibu H: “Aku kemarin pas mau melahir tensiku tinggi, sampai 180 lebih. Sampai dibantu sama ibu C (bidan), dia kesini bawa infus. Saya nih hamil anak itu saja yang begitu, yang sebelumnya tidak. Ini karena itu saya ketika hamil senang sekali makan kepiting. Itulah ada tensi.

Sebagian dari mereka yang mempunyai uang lebih juga membeli susu formula untuk ibu hamil sebagai asupan tambahan. Begitupun juga dengan buah, jika mereka punya uang lebih mereka baru membeli buah. Untuk membeli buah dan juga susu formula tersebut memang membutuhkan biaya yang mereka anggap cukup besar, selain harganya yang mahal, dibutuhkan juga biaya dan waktu lebih untuk membelinya di kecamatan yang ada di seberang. Untuk pantang makanan sendiri, kini sudah tidak banyak lagi makanan yang dipantang. Hanya sedikit pantangan yang makanan yang mereka jalani, yaitu antara lain: 1) Pantang makan nenas karena akan menggugurkan kandungan 2) Pantang makan makanan yang terlalu panas 3) Pantang makan jamu karena bersifat panas 4) Pantang makanan pedas karena akan mengakibatkan perut panas 5) Pantang makan makanan sisa hari kemarin atau makanan yang dipanaskan kembali 6) Pantang minum es karena akan membuat bayi besar dan sulit pada saat melahirkan

99

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

7) Pantang makan beberapa makanan laut seperti ketam (kepiting), sotong (cumi-cumi), kerang ataupun udang karena akan membuat perut gatal-gatal. Namun dari beberapa pantangan tersebut tak semua juga dijalani oleh ibu hamil, hal ini karena keinginan mereka yang terlalu besar terhadap makan tersebut sehingga meskipun sudah dilarang akan dilanggarnya seperti dikatakan oleh informan E dan S berikut ini: “E dilarang ka makan yang pedas-pedas tapi ga bisa memang kami ga pakai sambel. Itupun dilarang juga makan udang, kerang juga suka, namanya mau makan. Memang sih perut E jadi gatal-gatal ka.” “S suka beli es, karena disini panas bu. Sebenarnya dilarang sama suami sama mamak. Biasanya beli kalau lagi jalan, ga ketauan, kalau ketauaan dimarahinya aku.”

Sesuai dengan pernyataan S di atas, maka bisa dikatakan masih banyak ibu hamil yang suka mengkonsumsi es dengan campuran serbuk rasa. Hal ini dikarenakan memang kebiasaan masyarakat mengkonsumsinya karena cuaca yang sangat panas membuat terdorong untuk mengkonsumsinya. Frekuensi ibu hamil mengkonsumsinya pun tergantung masing-masing, ada yang masih cukup sering seperti ketika tidak hamil dan ada juga yang menguranginya. Ibu hamil disarankan untuk banyak meminum air kelapa yang dicampurkan dengan telur ayam kampung. Biasanya dilakukan pada saat ibu memasuki kandungan bulan kedelapan setiap 10 hari sekali. Air kelapa dianggap dapat membersihkan bayi dalam kandungan sedangkan telur baik untuk tenaga ibu pada saat akan bersalin. Meskipun banyak disarankan namun kendala jarangnya menemukan air kelapa membuat ibu tidak banyak mengkonsumsinya. 100

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pantang Perilaku Selama Kehamilan Dalam masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk orang Laut, selain pantangan makanan ada pula pantangan perilaku yang harus dituruti ibu hamil. Pantangan berikut antara lain: 1) tidak boleh membawa beban yang terlalu berat 2) tidak boleh keluar pada saat hujan panas karena banyak hantu yang berkeliaran dan bisa mengganggu 3) tidak boleh mandi terlalu sore, maksimal pukul 3 atau 4 sore karena dianggap bisa diganggu makhluk halus. Kalaupun ingin mandi di atas jam tersebut harus menabur garam di sekitar tempat mandi 4) tidak boleh berhenti di depan pintu, jika ingin keluar harus langsung keluar. Jika tidak nanti proses bersalin akan seperti itu terhambat dan sulit untuk keluar. 5) sehabis mandi tidak boleh memakai handuk terlalu lama 6) kalo menyisir rambut harus sampai tuntas di ujung, kalau tidak nanti persalinan akan terhambat 7) tidak boleh membelitkan handuk di bahu karena nanti bayi di dalam perut akan terlilit tali pusat Pantangan-pantangan di atas memang pantangan yang dijalani oleh generasi tua pada jamannya dan terus disosialisasikan kepada generasi berikutnya. Untuk pantangan ini biasa diajarkan kepada ibu hamil oleh ibu atau bidan kampung yang merawatnya. Namun menurut bidan kampung ibu hamil sekarang ini yang berusia muda tidak lagi mematuhinya sehingga itulah yang mengakibatkan kejadian meninggalnya ibu ataupun anaknya, seperti yang dikatakan bidan kampung Mak In berikut ini:

101

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Itu sekarang banyak kejadian begitu bu, sekarang malah tambah banyak yang mati karena beranak, dulu itu tidak ada bu. Tengok lah sekarang, tidak ada pantang. Banyak yang tidak mau nurut apa kata orang tua.”

Sedangkan untuk ibu hamilnya sendiri menyatakan bahwa mereka terkadang tidak melaksanakannya karena sering lupa dan tidak terlalu percaya akan pantangan-pantangan tersebut, meskipun bidan kampung atau ibu sering memperingatkan mereka. Bunting Gajah Dari beberapa informan yang diwawancarai, menurut mereka di desa ini banyak yang bersalin pada saat usia kandungan lebih dari 9 bulan atau yang biasa mereka sebut dengan bunting gajah (ada juga yang menyebutnya sebagai bunting kerbau). Bahkan beberapa ada yang mengandung hingga waktu 12 bulan (1 tahun). Hal tersebut nampaknya cukup biasa di mata masyarakat. Namun ada satu hal yang menjadi alasan yang diyakini oleh masyarakat penyebab bunting gajah tersebut, yaitu karena ibu yang sedang hamil tersebut keluar kampung dengan jarak yang cukup jauh dan bahkan sempat menempuh lautan. Jika menempuh jarak yang cukup jauh maka janin di dalam kandungan nantinya akan berkurang usianya atau bisa dikatakan kembali muda. Bayi dalam kandungan akan dianggap mengecil. Seperti juga apa yang dikatakan bidan kampung AI: “Itu si D lama belum melahir, dia tuh berjalan terus. Dari patah parang (ket: nama desa lain di kecamatan lain) ke sini. Lewat lautan. Itulah dia lama jadi tidak kunjung melahir.”

102

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Menurut pandangan masyarakat pun bunting gajah pun sudah biasa terjadi jadi tidak usah dikhawatirkan dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Menurut mereka hal tersebut terjadi karena memang belum waktunya melahir. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa itu tergantung keinginan bayinya kapan ingin keluar dari perut ibunya seperti yang diceritakan oleh informan I berikut ini: “Kakanya nih sampai 1 tahun. itu waktu itu sama bu C (bidan desa) disuruh ke rumah sakit rontgen karena takut itu pengapuran tulang. Kami pergi ke Kuala Tungkal. pergi ke dokter tapi katanya ga papa, cuma suruh tunggu aja. tapi memang kandungannya sudah sampai setahun. katanya gapapa bayinya bagus. ya itu kami balik dari Tungkal ketemu bapaknya. balik sini lahir. Kayanya memang bayi ini mau ketemu bapaknya dulu. Kan bapaknya ga balik 3 bulan, kirim duit aja. itu sudah 12 bulan lewat 2 hari.”

Untuk menghindari sulit atau lambatnya melahirkan bunting gajah, maka ada kepercayaan yang mereka yakini dapat menolong atau memperlancar proses persalinannya. Pertama adalah dengan membawa tanah asal kampung atau rumah dimana ibu hamil itu tinggal jika ingin bepergian ke tempat jauh ataupun melewati laut dan ingin menetap di daerah tersebut. Hal ini dilakukan agar bayi dekat dengan tanah kampungnya sehingga tidak mengecil atau kembali muda. Tanah tersebut bisa diletakkan di dekat kasur atau dipan dimana ibu hamil tersebut tidur di tempat barunya. Cara lainnya yang diyakini bisa melancarkan proses bunting gajah yaitu dengan cara ibu memakan rumput namun tidak usah ditelan, cukup setelah digigit bisa langsung dimuntahkan. Hal ini merupakan simbol dimana nantinya bayi akan mudah keluar seperti muntahan rumput tersebut. Oleh 103

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

karena itu disarankan jika ibu hamil dengan usia kandungan yang sudah cukup besar jangan pergi terlalu jauh apalagi menempuh lautan, kalaupun akan pergi syarat yang disebutkan di atas dapat dipenuhi. Tradisi yang Dilakukan Pada Masa Kehamilan Masyarakat Desa Tanjung Pasir, baik dari Etnik Laut, Melayu, Banjar maupun Bugis, sampai saat ini masih banyak yang menjalankan beberapa ritual yang dijalankan pada masa kehamilan ini. Tradisi yang ditemui di desa ini adalah mandi pada saat hamil. Berdasarkan beberapa informan terkait, maka dapat disimpulkan bahwa ada 3 macam mandi yang biasa dilaksanakan, yaitu mandi pada saat kehamilan 7 bulan, mandi cindai dan terakhir mandi pada saat kehamilan 9 bulan. Ketiga ritual mandi ini biasanya melibatkan bidan kampung dalam prosesnya, namun ada juga yang melakukan ritual ini bersama orang yang dianggap mengerti. Pada dasarnya adat mandi tiga ini wajib atau banyak dilaksanakan dari jaman dahulu, namun menurut bidan kampung AI sekarang semuanya dikembalikan kepada si ibu hamil tersebut, apakah mau menjalankannya atau tidak. Biasanya yang rutin memeriksakan kehamilan pada bidan kampung biasanya menjalankan ketiga mandi ini. Mandi 7 Bulan Mandi 7 bulan seperti namanya dilaksakan ketika kehamilan memasuki usia 7 bulan. Mandi 7 bulan ini cukup dilaksanakan di rumah saja. Proses pelaksanaannya pun mudah dan memakan waktu yang tidak banyak. Mandi 7 bulan ini disebut juga dengan mandi tolak bala. Selain untuk menolak bala, mandi ini dianggap sebagai pembuka jalan. Mandi dilakukan pada bulan ini karena pada bulan ini bayi di dalam janin ibu dianggap 104

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

sudah mulai keras. Menurut bidan kampung jika bayi dimandikan pada bulan ini bayi akan menjadi kuat bahkan sampai nanti besar. Selain itu mandi 7 bulan ini diutamakan untuk anak pertama, untuk anak selanjutnya menjadi pilihan saja. Semuanya dikembalikan kepada keinginan dan keyakinan dari si ibu hamil dan keluarganya mau melaksanakan atau tidak. Mandi Cindai Mandi cindai dilakukan pada saat memasuki usia 9 bulan. Sama halnya dengan mandi 7 bulan, mandi ini juga biasanya melibatkan bidan kampung. Berikut merupakan gambaran proses mandi cindai yang diamati oleh peneliti terhadap informan E (hamil usia 9 bulan) dengan bantuan bidan kampung mak An Pertama kali bidan kampung An membelah jeruk limau yang ada menjadi 4, kulitnya sudah dibuang terlebih dahulu. Setelah itu jeruk limau ditaruh digenggamkan di tangan si bidan kampung, lalu didekatkan ke mulutnya untuk dijampikan. Setelah dijampikan potongan tersebut dicemplungkan ke dalam baskom kecil yang sudah berisikan air. Ketika dicemplungkan dilihat apakah ada potongan yang tenggelam atau mengapung di dalam air. Menurut bidan kampung jika banyak potongan yang mengapung tandanya proses persalinan akan mudah, namun jika banyak potongan yang tenggelam tandanya ada kemungkinan proses melahirkan akan sulit. Setelah baskom air berisi potongan limun tadi selesai dijampikan, lalu air tersebut dicampurkan ke air dalam wadah 1 ember besar. Ibu hamil E lalu diminta untuk duduk di bawah dengan kaki berselonjor ke arah depan. Lalu bidan kampung dengan perlahan menuangkan air di atas kepalanya

105

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sambil membaca-bacakan doa. Setelah itu ibu disuruh melonggarkan kainnya, dan bidan membersihkan bagian depan badan si ibu dan menggosoknya. Setelah itu menepuk-nepuk bagian belakang punggung ibu secara perlahan. Penepukan di bagian belakang itu berfungsi agar bayi tidak tidur terus di dalam perut ibunya, penepukan tadi agar dia bangun dan dapat bergerak secara aktif. Jika bayi di dalam perut tersebut bangun maka dia akan otomatis bergerak ke arah yang benar. Setelah itu E disuruh memasukkan air mandi tersebut ke dalam mulutnya dan menyeburkannya ke arah depannya. Hal ini dilakukan sebanyak 3 kali. Menurut bidan kampung hal ini dilakukan agar nantinya ketuban ibu akan pecah dan keluar mudah seperti air yang telah disemburkan oleh ibunya tadi. Sehingga setelah ketuban tersebut keluar bayi mudah keluarnya. Selesai mandi, kain panjang tadi dilepas dan si ibu menggantinya dengan handuk. Lalu kain tersebut diambil oleh bidan kampung, diperas airnya dan dijemur digantungkan di belakang rumah. Setelah itu bidan kampung meminta gelas berisi air dan lalu diberikan jampinya dan harus diminum dan dihabiskan oleh si ibu. Setelah itu E boleh langsung berganti baju. Selepas itu rambut E disisiri oleh si bidan kampung, rambutnya dibiarkan untuk terurai dan disisir sampai tuntas sampai bawah. Hal ini dilakukan agar lancar persalinannya. Setelah itu proses mandi tersebut bisa dikatakan sudah selesai. Bidan kampung lalu kembali ke rumah dengan membawa kain yang tadi digunakan ibu untuk mandi sebagai syarat. Kain tersebut menjadi hak milik dari si bidan kampung.

106

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Mandi ini dilakukan karena biasanya ibu hamil memasuki bulan ini sudah mulai mengalami gatal-gatal di perut. Gatal ini diyakini karena uri (ari-ari) atau orang biasa menyebutnya si kakak memiliki kuku-kuku tajam yang terus menggaruk-garuk perut ibunya dan mengakibatkan rasa gatal yang berlebihan. Namun ada lagi bidan kampung mak In yang mengatakan bahwa mandi cindai ini juga dapat juga dilakukan ketika ibu sudah merasakan mulas-mulas pada bulan ke-9. Menurut masyarakat bisa saja mulas pada ibu tersebut dikarenakan bayi di dalam keteguran. Bayi di dalam perut, apalagi masa menjelang persalinan, sangat dimungkinkan untuk mengalami keteguran karena sudah cukup besar dan akhirnya ditegur oleh orang halus tersebut. Mandi cindai ini juga dianggap untuk melihat apakah mulas tersebut karena memang mau melahirkan atau hanya keteguran. Jika setelah mandi ibu masih merasa mulas itu tandanya bahwa bayi memang benar sudah mau melahirkan, namun jika setelah mandi dan akhirnya ditemas dan diberi air jampi sakit mulas si ibu hilang artinya bahwa ibu atau si anak di dalam sedang mengalami keteguran. Mandi 9 Bulan Mandi 9 bulan ini kurang lebih hampir sama dengan mandi 7 bulan. Mandi ini menggunakan potongan jeruk limau yang dijampikan terlebih dahulu. Berbeda dengan mandi 7 bulan yang hanya satu jenis air, mandi 9 bulan ini menggunakan 3 macam air yang digunakan untuk memandikan si ibu hamil tersebut. Air tersebut adalah: 1. Air selusuh: air campuran menggunakan jeruk nipis atau limau yang diiris lalu setelah itu diberikan jampi oleh bidan kampung. 2. Air yasin: air ini adalah air yang sudah dibacakan surat yasin, berfungsi untuk menghilangkan setan yang bisa menganggu 107

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

proses ibu hamil pada saat persalinan nanti. Alat yasin bisa dibacakan oleh ibu hamil beserta keluarganya ataupun meminta tolong si bidan kampung. 3. Air baya atau air tolak bala: air untuk keselamatan. Air ini nanti dijampi juga dengan bidan kampung. Fungsinya kurang lebih sama dengan air yasin digunakan untuk mengusir gangguan dan menolak bala atau sial yang bisa mengganggu proses persalinan. Sehabis mandi bidan kampung nanti khasnya akan menyisir dan menggosok rambut dari si ibu dan memberikan cermin kepada si ibu hamil. Menyisir itu sebagai simbol agar persalinan lancar, jadi disisirkan dari kepala sampai ujung rambut dan diharapkan tidak kusut. Sedangkan cermin untuk agar bayi di dalam nanti akan pandai membawa diri. Pola Pemeriksaan dan Perawatan Kesehatan Selama Hamil Ketika hamil tentunya memeriksa bagaimana keadaan kesehatan ibu dan bayi di dalam kandungan merupakan hal yang sudah disadari oleh sang ibu sebagai suatu kewajiban. Bisa dikatakan hampir semua ibu tidak ada yang tidak memeriksakan kandungannya, yang membedakan hanya kepada siapa dan dimana mereka memeriksakan kandungannya tersebut. Para informan ibu hamil pun memiliki jawaban yang beragam satu sama lain. Ada yang hanya sebatas ke Puskesmas pembantu, ada yang ke Puskesmas di kecamatan dan sudah ada juga yang memeriksakannya ke rumah sakit, baik itu di Tembilahan ataupun di Kuala Tungkal. Namun dapat dikatakan hampir semua pasti memeriksakan kandungan mereka ke bidan kampung, baik yang ada di Desa Tanjung Pasir maupun di desa lainnya. Untuk pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan dilakukan sesuai prosedur kesehatan pada umumnya, minimal memenuhi K1 dan K4. Ibu hamil bisa memeriksakan 108

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kehamilannya ke pustu ketika pustu beroperasi dan bisa juga dilakukan pada saat Posyandu anak dilakukan. Sesuai dengan prosedur biasanya ibu diberikan suntikan TT dan diberikan obat penambah darah. Namun dikarenakan tidak semua ibu rutin memeriksakan ke nakes tidak semua ibu memenuhi standar pemeriksaan kehamilan sampai 4 kali. Obat penambah darah pun masih ada ibu yang tidak meminumnya meskipun sudah diberikan. Jika ia merasa tidak suka karena mual maka pil tidak akan diminumnya. Semua ibu hamil di desa ini melakukan urut dengan bidan kampung. Bidan kampung biasa melakukan urut untuk ibu hamil ketika usia kehamilan mulai bulan ke 5 atau 6, sebelum itu tidak boleh dilakukan karena berbahaya untuk janin. Pemijatan pun tujuannya untuk membetulkan posisi bayi agar tidak sungsang, dan memudahkan ibu pada waktu akan melahir. Menurut para bidan kampung sebenarnya mereka pernah dilarang untuk memijat perut si ibu, namun karena mereka berniat membantu dan tidak menekan terlalu keras atau menggoyang-goyangkan, maka menurut mereka tidak apa-apa jika masih terus dilakukan. Selain itu perawatan dilakukan dengan bidan kampung dilakukan karena keunggulan bidan kampung untuk mengetahui jenis kelamin bayi yang ada di dalam perempuan atau laki-laki hanya dengan meraba perut si ibu, seperti yang dituturkan bidan kampung AI: “Itu kalau bidan suster tidak bisa dia liat laki apa perempuan. Kami ni bisa. Kalau mepet kiri terus itu perempuan. Kalau mepet kanan terus itu laki-laki.”

Selain itu ternyata pemeriksaan dengan bidan kampung terkadang lebih akurat dibandingkan dengan tenaga kesehatan, hal ini dikarenakan mereka dapat mengetahui penyakit yang

109

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mungkin disebabkan orang halus, sedangkan tenaga kesehatan tidak tahu. Seperti yang diceritakan ibu R: “Itu kata orang keponakan kami sakit karena ngidamngidam itu. Diperiksa sama dokter R itu katanya tidak hamil padahal budak nih sudah tidak mens 4 bulan, sudah besar kan perutnya juga. Lalu saya khawatir, saya bawa dia ke dukun. tapi oleh karena perakang itu diganggu jadi orang ga tau. Disembunyiin. Pas itu dibuang baru itu timbul. Saya periksa lagi ke dokter, itu dia nanya kemana itu kemarin. Saya bilang ya sudah dibuang sama dukunnya.”

Berdasarkan pengamatan, ada juga bidan kampung melakukan perawatan kepada ibu hamil atas inisiatifnya sendiri, dimana bukan ibu yang mendatanginya lebih dahulu, namun bidan kampung tersebut yang mendatangi. Bidan kampung tanpa diminta juga sering mendatangi ibu hamil untuk sekedar menanyakan keadaan atau langsung mengurut si ibu, mereka juga sering mengingatkan untuk tetap melakukan pantangan dan melalukan tradisi-tradisi yang biasa dilakukan pada saat ibu hamil. Penyakit pada Saat Hamil Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, masyarakat percaya bahwa ada sakit yang disebabkan oleh “orang lain” yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata yaitu makhluk halus dan sakit tersebut disebut dengan keteguran. Keteguran pun dapat terjadi pada ibu hamil dan bahkan dapat terjadi pada bayi yang ada di dalam kandungan. Hal ini ditandai dengan tidak enak badan, demam dan kulit pucat. Ibu hamil memang dianggap salah satu yang sering mengalami keteguran, apalagi ketika kandungan semakin besar. Sama dengan keteguran lainnya, ibu

110

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

hamil dapat sembuh dengan cara ditemas termasuk jika yang keteguran bayi di dalam kandungan. Adapula yang disebut dengan sakit manggah¸yaitu sakit sesak napas yang terjadi karena tidur terlalu lama atau makan terlalu banyak. Biasanya terjadi pada saat menginjak usia kehamilan 7 bulan. Untuk mengobatinya pun biasa hanya beristirahat cukup, atau jika memang mau bisa meminta urut ataupun jampian dari bidan ataupun dukun kampung. Jika mengalami sakit yang berlebihan, dengan ditemas saja tidak cukup, maka ada kemungkinan mereka diganggu oleh perakang, sehingga hanya dukun-lah yang dapat mengobatinya. Seperti yang diceritakan ibu B yang bercerita mengenai keponakannya: “ini mereka dari sungai laut mau ke dukun di kuala enok. Itu ada perakang, dia baru hamil 2 bulan. Dari kemarin demam terus tidak bisa berhenti. Di sungai laut ada juga dukun, sudah kesana tapi tidak baik, tambah parah, maka di bawa saja ke kuala enok, ada itu dukunnya orang bugis. Kalau ke dokter tak bisa itu sembuh.”

3.1.4. Proses Menjelang Persalinan Kebanyakan masyarakat Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir masih mempercayakan cara-cara tradisional demi proses kelancaran persalinan. Terdapat ritual-ritual yang menurut mereka harus dijalankan baik oleh si ibu maupun si ayah yang dipercaya dapat membantu persalinan dan menghindari dari hal-hal buruk yang bisa menggangu nyawa ibu dan juga si calon bayi yang baru lahir. Ritual-ritual tersebut biasa dilakukan ketika si ibu dirasa sudah waktunya melahirkan atau menjelang waktu persalinan. Ritual tersebut antara lain:

111

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

1) Menebarkan daun jerangau dan bunglai serta garam di sekitar tempat ibu akan melahirkan. Kedua daun yang juga biasa digunakan untuk jimat dan juga garam dipercaya dapat mengusir perakang. Biasanya orang tua atau suami dari istri yang menebarkannya. 2) Mandi dengan bidan kampung. Ibu biasanya ketika mulas datang akan dimandikan oleh bidan kampung. Airnya pun diberikan mantra-mantra sebelumnya agar ibu tidak diganggu roh halus, bisa juga ditambahkan kedua daun di atas agar lebih afdol. Selain itu mandi juga dianggap dapat menambah tenaga ibu dan membuat ibu lebih segar dan tidak mengantuk. Bayi di dalam pun dianggap akan bangun jika disiramkan air terlebih dahulu. 3) Perut ibu dilangkahi terlebih dahulu oleh keluarga terdekat. Langkahan ini dilakukan sambil membaca shalawat. Setiap orang yang melangkahi melakukannya sebanyak 3 kali, dimana pada saat terakhir kaki harus sedikit menyentuh perut si ibu. Orang-orang yang melangkahkan kaki biasanya orang-orang terdekat yang dianggap bisa tersakiti hatinya oleh si ibu, seperti sang suami ataupun orangtua dan mertua. Langkahan kaki disini bisa diibaratkan sebagai pemberian maaf dari orang yang tersakiti tersebut. Jika saatnya persalinan bayi tidak kunjung keluar hal ini bisa dilakukan lagi dan ditambah orang-orang lain yang mungkin punya dendam atau pernah memiliki masalah dengan sang ibu. 4) Meminum air celupan jari suami. Sebelumnya air tersebut dicelupkan jari sang suami hingga 7 kali dan lalu diminumkan ke istrinya. 5) Membuatkan ramuan dari jahe dan gula merah. Ramuan ini agar ketuban cepat pecah sehingga proses persalinan tidak akan memakan waktu yang terlalu lama. 112

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

6) Menutup pintu depan rumah. Hal ini untuk menghindari adanya roh-roh halus yang masuk ke dalam rumah, selain itu takut mendatangkan keramaian yang bisa menggangu proses persalinan. 7) Suami mengganti celananya dengan sarung. Dengan menggantinya dengan sarung maka proses persalinan akan lancar, karena bentuk sarung yang terbuka akan membuka jalan lahir si ibu. Jika suaminya masih memakai celana akan menyulitkan ibunya pada saat bersalin. 8) Menyiapkan tempat persalinan. Biasanya proses melahirkan di rumah ibu bersalin dan dilakukan di dalam kamar atau di ruang belakang. Proses persalinan di rumah dipilih oleh hampir semua ibu karena ibu merasa lebih nyaman dan lebih mudah untuk bersalin jika dibandingkan harus pergi ke fasilitas kesehatan yang menurut mereka lebih merepotkan. Selain itu bersalin di luar rumah rentan gangguan orang halus baik untuk ibu ataupun bayi pada saat setelah dilahirkan. Masyarakat juga pantang melahirkan di tempat yang pernah mengalami kematian ibu ataupun bayi. Jika pernah ada ibu atau bayi yang meninggal di rumah tersebut maka persalinan lebih baik dilakukan di rumah lain, seperti di rumah orang tua atau mertua si ibu. 9) Pentingnya kehadiran seorang suami. Dalam budaya masyarakat Etnik Laut kehadiran suami pada saat istri melahirkan sangat penting. Bahkan mereka dilarang untuk pergi melaut, sehingga biasanya ketika istri sudah menginjak kandungan 9 bulan para suami cenderung mengurangi waktu melaut mereka dan memilih berjagajaga di rumah. Mereka percaya bahwa aktivitas suami di laut akan membahayakan proses persalinan karena suami mungkin saja melakukan kegiatan nelayan yang dapat 113

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengganggu para roh halus yang akhirnya berdampak terganggunya proses persalinan yang terjadi di rumah. 3.1.5. Proses Persalinan Tradisional Proses persalinan dengan cara tradisional masih menjadi pilihan utama para ibu yang akan bersalin. Persalinan tradisional dibantu oleh bidan kampung atau mereka biasanya hanya menyebutnya dengan sebutan bidan saja. Istilah bidan malah lebih sering mereka pakai untuk menyebut bidan kampung dibandingkan dengan bidan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas ataupun di Puskesmas pembantu desa. Bidan nakes biasanya mereka sebut dengan panggilan “ibu” saja atau dengan sebutan suster. Pada saat persalinan biasanya bidan kampung biasanya membawa satu orang yang biasanya membantunya atau lebih mudahnya peneliti sebut dengan asisten bidan. Asisten yang dibawa oleh bidan kampung pada saat membantu persalinan tidak selalu sama, jadi satu bidan kampung bisa saja memiliki lebih dari 1 asisten di desa yang sama. Biasanya asisten yang dipilih pada saat persalinan adalah orang yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah si ibu yang akan bersalin. Tentunya hal ini akan lebih mudah dibandingkan jika harus memilih yang rumahnya berjauhan dan membutuhkan waktu yang lama. Persalinan dipimpin bidan kampung yang memposisikan diri di depan jalan lahir ibu. Posisi ibu tidur dengan menaruh 1 bantal di bagian untuk menyangga badan ataupun kepala; atau biasanya suami duduk di belakang si istri dan istri dapat menaruh kepalanya di pangkuan si suami. Ketika proses persalinan pun biasanya ketika mengedan sang istri akan menggantungkan tangan ke leher suaminya.

114

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Ketika rasa mulas dan ketuban sudah pecah maka bidan kampung akan meraba perut ibu untuk melihat posisi bayi yang ada di dalam perut. Jika dirasa tidak sesuai maka sebelumnya akan diputar atau diposisikan ke posisi yang benar dan menghadap ke jalan lahir. Untuk merubah posisi bayi di dalam perut bidan kampung hanya menggunakan tangannya saja. Kain yang menjadi bawahan ibu tidak boleh disingkap sebelum ketuban pecah. Kain itu sebelumnya akan diinjak oleh bidan kampung sampai waktunya ketuban pecah. Ketika ketuban sudah pecah maka kain yang dipakai ibu akan disingkap dan bidan kampung langsung bersiap di jalan lahir sedangkan asistennya akan berada di samping si ibu. Masyarakat Desa Tanjung Pasir, baik masyarakat Etnik Laut, melihat ada 3 jenis ketuban yang membuat proses persalinan juga berbeda-beda. Tiga jenis ketuban itu adalah: 1) Ketuban junjung. Ketuban pecah dan air semburan besar sehingga bayi akan segera keluar. 2) Ketuban jantung. Ketuban agak sedikit lama keluar sehingga bayi akan keluar kurang lebih selama 15 menit. 3) Ketuban lipas. Ketuban ini airnya sangat lambat keluarnya sehingga biasanya proses bayi keluar akan memakan waktu selama kurang lebih 1 jam. Ketika ketuban sudah pecah ibu akan memandu si ibu untuk mengedan untuk mengeluarkan bayinya secara perlahan. Asisten bidan kampung yang berada di sebelah ibu akan membantu ibu dengan cara mendorong perut si agar bayi di dalam lebih cepat menuju jalan lahir. Namun seringkali ibu di Desa Tanjung Pasir menurut bidan kampung tidak memiliki uwat atau tenaga pada saat mengejan. Hal ini mengakibatkan seringkali tidak cukup bantuan dari 1 asisten tersebut.

115

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Masyarakat Desa Tanjung Pasir memiliki kebiasaan untuk mendorong perut si ibu hamil pada saat bersalin. Selain memang ibu tidak memiliki uwat menurut mereka pendorongan tersebut akan mempercepat proses persalinan. Ada bidan kampung yang memilih dibantu oleh 1 hingga 2 orang saja. Namun ada juga bidan kampung yang beranggapan bahwa semakin banyak orang maka akan semakin baik. Oleh karena itu berdasarkan wawancara dengan para ibu yang sudah pernah melahirkan, ada yang dibantu oleh 3-5 orang sekaligus untuk mendorong perut tersebut. Menurut mereka proses pendorongan dengan beramairamai tersebut tidak berbahaya karena malah memudahkan proses persalinan dan bayi bisa cepat keluar. Bayi yang lambat keluar akan berbahaya dan bisa membahayakan nyawa bayinya. Biasanya berapa banyak orang dan siapa-siapa yang akan melakukan pendorongan ditentukan oleh si bidan kampung. Kalau dirasa 2 orang cukup maka tidak akan ditambah lagi, jika tidak maka bisa ditambahkan lagi. Hasil wawancara peneliti paling banyak ada yang dibantu sampai 5 orang. Karena biasanya bidan kampung hanya membawa 1 asisten maka keluarga yang ada di rumah akan disuruh untuk membantu. Biasanya yang diutamakan adalah para laki-laki, baik itu suami ataupun bapak atau mertua dari si ibu yang sedang bersalin. Laki-laki dipilih lebih karena dianggap memiliki tenaga yang lebih besar. Jika keluarga yang membantu tidak ada maka memungkinkan untuk memanggil tetangga yang ada di sekitar rumah. Jika bayi mengalami kesulitan keluar maka ada cara-cara tradisional yang biasa dilakukan oleh bidan kampung agar bayi segera keluar, yaitu antara lain: 1) memberikan air selusuh. air selusuh ini berguna untuk memperlancar persalinan. biasanya hanya air putih yang sudah diberikan mantra oleh bidan kampung ataupun air yang sebelumnya didoakan oleh tokoh agama yang ada di 116

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

desa. Ada juga yang mengatakan bahwa air selusuh juga baik bila didoakan oleh suami si ibu itu sendiri. 2) ramuan campuran tembakau, limau dan kapur yang dibalurkan di belakang pantat si ibu bersalin. 3) air campuran daun pandan dan cuka makan yang diminumkan. Setelah bayi keluar maka bayi tidak boleh diputus tali pusatnya, namun harus diputus menunggu uri (bahasa lokal untuk menyebut plasenta atau ari-ari) keluar. Hal ini dilakukan karena uri dianggap kakak dari si bayi. Selain itu jika diputuskan sebelum keduanya keluar maka uri akan naik ke atas dan sulit untuk mengeluarkannya. Ketika bayi sudah keluar tali pusat akan diberikan ramuan berupa jeruk nipis dan kapur agar mati (tali pusat dan uri dianggap hidup) dan tidak lari ke atas. Terkadang tali pusat juga diikatkan ke jempol si bidan kampung agar tertahan dan tidak lari ke atas. Jika uri tidak kunjung keluar maka bidan kampung akan menepuk-nepuk bagian pantat si ibu. Selain itu bayi yang sudah keluar tadi akan ditepuk-tepuk agar menangis kencang sehingga tangisannya tersebut didengar oleh “kakak”nya tersebut dan akhirnya bisa segera keluar menyusul adiknya. Jika uri sulit untuk dikeluarkan para bidan kampung yang ada di desa ini mengaku sudah tidak berani lagi memasukkan tangan ke dalam jalan lahir ibu. Selain mereka merasa tidak mampu, mereka juga takut jika dimarahi oleh para tenaga kesehatan. Jika tidak mau keluar juga biasanya mereka langsung memanggil tenaga kesehatan. Ketika bayi dan uri sudah keluar maka barulah proses pemotongan tali pusat dilakukan. Dahulu memang bidan kampung memakai sembilu (bambu) untuk memotongnya, namun kini setelah para bidan kampung mendapat penyuluhan dari Puskesmas maka kini mereka menggunakan gunting. Selain 117

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

itu karena keadaan geografis mereka yang di atas lautan membuat mereka kesulitan juga untuk menemukan bambu yang bisa digunakan untuk memotong tali pusat tersebut. Setelah itu tali pusat akan diikat dengan menggunakan benang jahit, biasanya berwarna hitam atau putih. 3.1.6. Masa Nifas Masa pantang, bahasa khas masyarakat Melayu dan Orang Laut untuk masa nifas, adalah masa setelah melahirkan hingga waktu 44 hari. Seperti namanya, pada masa ini banyak sekali pantang yang harus dijalani si ibu agar tidak mengalami bentan. Dapat dikatakan bentan adalah suatu keadaan dimana ibu merasa amat sakit, ditandai dengan kepala pusing berlebihan, badan menggigil, pandangan berputar-putar, badan gatal, darah putih naik ke atas hingga pendarahan, sehingga berbahaya bagi kesehatan dan bisa mendatangkan kematian bagi ibu yang baru melahirkan. Oleh karena itu agar tidak terjadi bentan maka banyak sekali pantangan yang harus dijalankan ibu setelah melahirkan, yaitu antara lain: 1) 2) 3) 4) 5)

Tidak boleh makan ikan laut yang memiliki duri Tidak boleh makan buah pisang dan nangka Tidak boleh makan mentimun Tidak boleh makan pulut Tidak boleh keluar rumah terlalu jauh, apalagi pada saat hujan panas 6) Hanya boleh makan sayur bening 7) Tidak boleh bekerja yang terlalu berat. Pada masa 44 hari ini, menurut masyarakat banyak ibu yang lengah pada tahap akhirnya. Ketika hari ke 30 akhir dan

118

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

menjelang habis pantang tersebut kebanyakan ibu mulai melanggar-melanggar pantangan yang ada sehingga banyak yang terjadi bentan pada masa menjelang akhir dari masa pantang tersebut. Untuk mengobati bentan pun terdapat macam-macam obatnya. Untuk mengobati demamnya biasanya digunakanlah daun sedingin. Daun sedingin akan dicampurkan dengan bedak dingin dan diberi air secukupnya, setelah itu campuran akan ditempelkan di kening si ibu. Setelah itu untuk membantu menghangatkan tubuhnya, biasanya dukun akan memarutkan kunyit dan memakaikannya ke seluruh tubuh si ibu. Lalu ada pula metode yang digunakan salah satu metode yang digunakan salah satu bidan kampung mak An, mengenai penyembuhan bentan dimana obatnya adalah penyebab dari bentan itu sendiri, seperti yang diceritakan AI berikut ini: “Obat bentan itu bisa sembuh dengan penyebabnya itu juga. misalnya dia kena bentan karena makan pulut. Nanti pulut itu juga obatnya. Itu pulut tadi kita bakar lalu nanti kita kasih campur dengan air hujan lalu kita mantrakan, ditambah dengan doa minimal shalawat. Insya Allah itulah penyebabnya, itu pula juga yang menyembuhkannya.”

Tradisi khas masyarakat Desa Tanjung Pasir adalah memberikan kopi kental kepada ibu yang baru saja melahirkan. Segelas kecil kopi hitam panas biasanya akan diminumkan sehari 3 kali oleh si ibu selama kurang lebih 3 hari pertama. Kopi ini gunanya adalah untuk mengencangkan kembali perut ibu setelah melahirkan. Selepas 3 hari tersebut 7 hari selanjutnya ibu disarankan untuk meminum air putih yang sudah dicampurkan dengan asam garam. Setelah itu biasanya bidan kampung menyarankan untuk membuat air jahe.

119

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.1. Daun Sedingin untuk Bentan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain itu berdasarkan wawancara dengan para informan, banyak juga di antara mereka yang mengandalkan jamu untuk paska persalinan, baik itu dengan cara membuatnya sendiri ataupun dengan membeli kemasan yang banyak dijual di pasar. Namun semua minuman ramuan yang disebutkan di atas kini biasanya hanya disarankan oleh bidan kampung, untuk pelaksanaannya dikembalikan kepada ibu itu sendiri, mana saja dan kapan saja mereka mau mengkonsumsinya. Perawatan Paska Melahirkan oleh Bidan Kampung Hampir semua ibu paska melahirkan melakukan perawatan dengan bidan kampung. Bukan hanya yang melahirkan dengan bidan kampung saja, ibu yang melahirkan dengan bidan nakes pun tetap melakukan perawatan dengan bidan kampung. Hal ini dikarenakan kekurangtahuan ibu terhadap perawatan anaknya yang baru lahir, apalagi ibu adalah ibu dengan usia cukup muda dan baru memiliki anak. Ibu yang 120

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

sudah melahirkan beberapa kali pun tetep mempercayakan perawatan kepada bidan kampung. Lama perawatan yang dilakukan oleh bidan kampung biasanya tergantung dengan berapa lama putusnya tali pusat bayi. Paling cepat biasanya selama 3 hari, dan paling lama kurang lebih sekitar 7 hari. Perawatan biasa dilakukan tepat setelah ibu melahirkan. Perawatan dilakukan baik untuk ibu maupun si bayi. Dalam sehari perawatan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada pagi hari sekitar pukul 7-8 dan sore hari sekitar pukul 15-16.

Gambar 3.2. Ramuan untuk Perut Ibu Paska Persalinan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perawatan ibu biasanya adalah membantu memakaikan ramuan ke perut ibu dan memasangkan kain melingkari perut si ibu setelah diberikan ramuan tersebut. Ramuan yang dipakai adalah campuran kapur sirih, kayu putih dan juga jeruk nipis. Ketiga bahan tersebut dicampurkan dan dibalurkan ke perut dan pinggang si ibu segera setelah melahirkan hingga sampai masa

121

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

perawatan selesai dilakukan atau jika memang ibu bisa memasang sendiri bisa dilakukan sampai berakhir masa pantang (40 hari). Ketiga bahan ini dipercaya dapat kembali melangsingkan dan mengencangkan perut si ibu.

Gambar 3.3. Ikatan di Kaki Ibu untuk Menghindari Bentan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain itu khas dari masyarakat desa ini adalah dengan memberikan campuran dari jahe, merica dan bawang putih yang dihaluskan dan dicampurkan untuk jempol kedua kaki si ibu nifas. Untuk membungkusnya bisa menggunakan kain yang sudah dipotong kecil atau menggunakan plastik. Jika jahe dan merica memiliki fungsi panas untuk melancarkan darah, bawang putih dikatakan memiliki bau yang dapat menghindarkan ibu dari gangguan orang halus yang bisa mengakibatkan pendarahan pada ibu. Dengan adanya ikatan di jempol kaki tersebut juga mengingatkan ibu bahwa ia sedang dalam masa baru melahirkan sehingga harus berhati-hati, begitupun orang lain yang 122

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

melihatnya juga bisa berhati-hati untuk tidak menginjak kaki si ibu tersebut karena bisa mengakibatkan bentan. 3.1.7. Neonatus dan Bayi Perawatan untuk Neonatus Perawatan untuk bayi cukup berbeda dengan si ibu, jika ibu biasanya hanya dibantu mandi setelah melahirkan saja, si bayi akan dimandikan selama masa tali pusatnya belum putus. Mandi 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. Mandi untuk neonatus dengan kelahiran tepat bulan akan dimandikan dengan bidan kampung dengan air hangat, sedangkan jika neonatus lahir sebelum bulannya bidan kampung tidak mau memandikannya, biasanya hanya di lap saja dengan kain dengan menggunakan air hangat. Untuk peralatan mandinya pun masyarakat sudah cukup mampu membeli sabun dan shampoo khusus bayi. Setelah mandi baru biasanya tali pusat diberikan ramuan campuran yang digunakan selama belum putus. Ramuan yang digunakan adalah campuran bedak dingin ataupun bedak bayi yang dicampurkan dengan garam dan dicampurkan dengan air sehingga menjadi suatu adonan (seperti adonan kue). Nantinya campuran bahan tersebut akan ditaruh di atas kain kecil yang dipotong bagian tengahnya sebagai lubang untuk memasukkan si tali pusat. Di atas kain itulah nanti adonan ramuan tadi ditaruh dan dipakai untuk membungkus si tali pusat. Ramuan tersebut akan diganti setiap mandi. Untuk sisasisa yang menempel di tali pusat akan dilap secara perlahanlahan oleh bidan ketika bayi itu dimandikan. Dalam perawatan tali pusat ini ternyata hampir semua bidan kampung menggunakan metode yang sama. Berdasarkan hasil wawancara dengan bidan kampung dari Etnik Laut, tidak ada bedanya

123

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dengan bidan kampung yang berasal dari Etnik Banjar ataupun Melayu. Para bidan kampung yang ada di desa ini menyatakan bahwa sebenarnya mereka pernah ditegur untuk tidak menggunakan ramuan itu lagi oleh si bidan desa, bahkan terkadang mereka juga diberikan obat antiseptik dan kassa sebagai pengganti ramuannya tersebut. Namun berdasarkan pengamatan peneliti, sekalipun ada obat tersebut para bidan kampung tetap menggunakan ramuan mereka sendiri. Alasan para bidan kampung adalah obat antiseptik dan kassa tersebut tidak selalu mereka punya, sementara bidan tidak rutin memberikannya. Selain itu menurut mereka campuran yang mereka buat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan jika menggunakan betadine. Jika betadine bisa sampai 7 hari sampai tali pusat lepas, maka dengan menggunakan campuran mereka hanya membutuhkan waktu 3 hari. Selain alasan tali pusat akan lepas lebih cepat, menurut mereka campuran yang mereka buat tidak menimbulkan bau busuk seperti bau yang ditimbulkan oleh obat antiseptik. Setelah tali pusat lepas, perawatan secara tradisional tetap dilaksanakan untuk merawat pusat tersebut. Biasanya mereka menggunakan buah manjakani. Sebelumnya buah ini akan direndam di air panas dahulu sebentar, lalu akan digesekkan ke batu atau parang. Dari gesekan tersebut nantinya akan ada cairan kental seperti odol yang nantinya akan dibalurkan di pusat si bayi tersebut. Untuk pengganti buah manjakani tersebut bisa juga menggunakan celak mekah berupa serbuk yang lalu diberi air sedikit baru ditaruh di pusat bayi tersebut.

124

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 3.4. Buah Manjakani untuk Pusat Bayi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menyusui dan ASI Hampir dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat di desa ini tidak ada yang melakukan ASI eksklusif. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan banyak ibu yang belum paham betul mengenai pentingnya ASI, bukan hanya terjadi pada ibu dengan anak pertama, tapi juga ibu yang sudah memiliki anak sebelumnya. Masyarakat percaya bahwa madu merupakan yang terbaik yang diberikan kepada bayi yang baru lahir. Madu dipercaya dapat mengeluarkan semua lendir yang berasal dari ketuban ibu yang mungkin tersedot oleh si bayi, selain itu juga dianggap dapat mencegah adanya sariawan. Oleh karena itu setelah melahirkan, pada hari itu juga, bayi terus diberikan madu adengan harapan lendir yang tertelan akibat menelan ketuban ibu akan segera dimuntahkan. Menurut informan setiap anak 125

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menangis maka akan diberikan madu, sesudah itu baru diberikan susu ASI ataupun susu botol. Madu pun diberikan dengan menggunakan cincin yang tidak bermata dan diikatkan dengan benang, sehingga ketika memberikan madu tersebut cukup dengan melilitkannya ke tangan sehingga cincin yang dioleskan madu sudah tergantung dan didekatkan ke mulut bayi dan bisa diisap olehnya. Lama pemberian madu pun cukup berbeda antar satu keluarga dengan keluarga lainnya, ada yang memberikan hanya pada saat segera setelah melahirkan, ada juga yang memberikannya selama 2 hari pertama dengan diselingi susu formula.

Gambar 3.5. Madu diberikan untuk Bayi yang Baru Lahir Sumber: Dokumentasi Peneliti

Untuk kolostrum atau masyarakat menyebutnya air kotor tidak sedikit ibu yang membuangnya dan tidak diberikan kepada anak. Menurut mereka karena kotor tersebut menunjukkan

126

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kualitas susu tersebut jelek sehingga lebih baik tidak diminumkan daripada bayi meminum air yang kotor tersebut. Biasanya memang ibu setelah melahirkan mengalami kesulitan mengeluarkan ASI, sehingga biasanya ibu dibantu oleh si bidan kampung untuk membantu mengeluarkannya dengan cara mengurut-urut payudaranya. Namun jika tetap tidak mau keluar, bidan kampung akan mengarahkan untuk minum susu formula. Sehingga dari pengamatan selama penelitian berlangsung bayi yang baru lahir kurang dari 24 jam sudah mendapatkan bantuan susu formula. Setelah itu meskipun air susu badan sudah keluar, ibu tetap saja lebih banyak memberikan susu formulanya daripada susu badan, hal ini karena mereka beranggapan memberikan susu badan membutuhkan waktu yang lama hingga anaknya kenyang, padahal ibu memiliki pekerjaan lain selain menyusui tersebut, seperti membersihkan rumah, memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya yang juga menyita waktu, sehingga susu formula tersebut menjadi solusi mudah untuk menjawab kebutuhan ibu yang sibuk tersebut. Sayangnya bidan kampung yang menjadi tempat utama ibu berkonsultasi dari mulai persalinan malah mendorong ibu untuk juga mengkonsumsi susu formula sebelum usia 6 bulan karena alasan lebih mudah dan lebih sehat untuk bayi dan tidak menyusahkan ibu. “Itu coba kita liat kotorannya si budak, kalau kuning itu jelek kan, nah itu karena ibunya. Yang namanya budak kalau minum susu makanya tergantung mamaknya makan apa. Kalau mamaknya tidak jaga makanan, maka anaknya itulah bisa jelek eeknya. Coba kalau minum susu s** (susu formula) tidak mungkin jelek, karena mamaknya bisa makan apa saja, anaknya tidak kena jelek mamaknya.” 127

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Suami dari si ibu menyusui pun ternyata memberikan pengaruh terhadap pemilihan susu tersebut, karena banyak dari mereka yang juga tidak paham terhadap fungsi ASI akan mendorong ibu untuk memberikan susu formula. Ada informan yang bahkan mengatakan ia disuruh suaminya untuk memberikan susu formula karena takut jika fokus memberikan susu badan kepada anaknya maka ia tidak bisa mengurus badannya. Selain itu ada yang lagi memberikan susu formula karena adanya iklan-iklan di media yang cukup sering dan menggambarkan fungsi dari susu formula tersebut. Berikut kutipan cerita dari informan kader Posyandu kak Iy: “Di sini kaka liatnya itu susu formula tuh malah jadi kebanggaan itu kalau anaknya dikasih itu. Padahal dibilang mahal ya mahal karena kan sekotak bisa Rp. 12.000,- bisa untuk 2-3 hari aja. Tapi ya itu mungkin malah karena bayar jadi bangga. Itu pula di tivi-tivi kan katanya susu bisa bikin anak sehat, ada pula katanya anak bisa lebih cepat pintar. Mereka tuh mau anaknya seperti itu.”

Selain susu formula, peneliti juga sempat menemukan bahwa ada ibu yang telah memberikan biskuit atau roti kering dengan alasan anaknya tidak kenyang meminum susu dan sering menangis kelaparan sehingga diberikanlah biskuit tersebut. Ada pula yang memberikan susu kental manis yang sebenarnya tidak boleh dikonsumsi oleh bayi. Selain itu bisa dibilang bahwa bidan desa masih kurang dalam memberikan pengetahuan akan ASI tersebut kepada masyarakat. Bahkan dalam pengamatan ketika ada yang ibu bersalin, bidan tidak memberikan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) kepada si ibu, ia malah justru menyarakankan si ibu untuk membeli susu formula jika air susu ibu belum keluar. 128

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Tidur di Atas Nampan dan Kain Lapis Salah satu tradisi pada saat bayi baru dilahirkan adalah dengan menaruh bayi baru lahir tersebut di atas nampan yang sebelumnya ditaruh kain sebagai alas tempat tidur mereka. Kain yang menjadi alas pun bukan hanya satu namun biasanya bisa 3 atau bahkan ada yang sampai 7 kain, hal ini tergantung keinginan dari masing-masing keluarga si bayi. Di antara kain dan nampan biasanya ditaruh uang-uang yang didapatkan dari orang-orang yang mengunjungi bayi tersebut. Kain tersebut nantinya akan dilepaskan satu per satu setiap harinya, sebelum akhirnya bayi tersebut dapat ditaruh di atas dipan atau kasurnya.

Gambar 3.6. Bayi di Atas Nampan dan Kain Berlapis Sumber: Dokumentasi Peneliti

Alasan kenapa tradisi itu harus dilakukan dijawab oleh para ibu karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat disini, jika tidak dilaksanakan memang tidak mengakibatkan apapun namun mereka merasakan tidak enak karena tidak mengikuti kebiasaan yang ada di desa ini. 129

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pokong Bayi Salah satu khas pada masyarakat Desa Tanjung Pasir terhadap bayi adalah pokong dalam buai. Pokong adalah posisi bayi yang didudukkan di dalam buainya. Jika biasanya anak hanya dibaringkan begitu saja di dalam buai (ayunan), maka pokong ini bayi diposisikan seperti sedang duduk. Untuk melakukan pokong pada bayi maka dibutuhkan kain panjang selain kain alas ayunan yang sudah ada dan biasa menjadi alas tidur bayi. Kain tersebut berguna untuk mengikat bayi. Kain tersebut diikat di bagian tepat di bawah kepala bayi untuk menopang badannya. Ikatan tidak boleh terlalu keras, patokannya adalah kepala bayi tersebut masih bisa bergerak ke kanan dan ke kiri. Menurut masyarakat jika bayi dipokong maka biasanya tidurnya akan lebih nyenyak di dalam buai, jika dibandingkan jika hanya ditaruh dalam posisi biasa. Hal ini membuat bayi merasa tidur sambil dipeluk. Biasanya bayi mulai dapat dipokong ketika menginjak usia 1 bulan dan berakhir pada usia 1 tahun. Gambar di bawah ini menunjukkan gambar bayi berusia 3 bulan yang sedang tidur di buai dengan posisi pokong. Karena membutuhkan teknik tertentu untuk mengikat tali sehingga menjadi pokongan, memang tidak semua ibu bisa memokong anaknya, apalagi ibu muda sekarang ini. Biasanya bayi dipokong dengan bantuan neneknya atau siapapun keluarganya yang lebih tua. Ada lagi yang malah tidak mau memokong anaknya karena takut anaknya tercekik dan posisinya malah membuat anaknya jatuh ke bawah.

130

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 3.7. Pokong Bayi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tradisi yang dilakukan Ketika Masa Bayi Pada masyarakat Desa Tanjung Pasir, masih ada beberapa tradisi yang dilakukan untuk bayi yang baru lahir. Tradisi tersebut antara lain tepung tawar, cuci lantai, naik buai dan gunting rambut. Tepung tawar pun biasanya ada di dua proses, yaitu tepung tawar bidan dan tepung tawar untuk bayi. Untuk tepung tawar bidan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan cuci lantai dan juga naik buai, tapi bisa juga dilakukan secara terpisah; sedangkan gunting rambut merupakan acara tersendiri. Pada acara gunting rambut biasanya akan diadakan lagi tepung tawar khusus untuk bayi.

131

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tepung Tawar Bidan Selepas bayi lepas pusat, maka keluarga harus segera melakukan apa yang disebut dengan tepung tawar. Tepung tawar pada dasarnya adalah adat Melayu yang berfungsi sebagai mensucikan diri, dan juga membuang atau menghapuskan segala bentuk penyakit yang ada di tubuh manusia. Tepung tawar pada dasarnya dilakukan pada saat prosesi-prosesi yang berkaitan dengan daur hidup, seperti kelahiran, gunting rambut anak ataupun pernikahan. Ada juga yang melaksanakannya pada saat setelah mengalami sakit ataupun mengalami kecelakaan. Sifat pelaksanaan tepung tawar pun sebenarnya tidak wajib, namun pada masyarakat Desa Tanjung Pasir, tepung tawar sangat wajib dilakukan pada saat setelah kelahiran anak, biasanya menunggu hingga waktunya lepas pusat. Bahkan ketika anak bayi pun itu sudah meninggal tepung tawar harus dilakukan untuk ibu dan bidan kampung yang menolongnya, karena mereka sudah terlanjur terkena darah ibu yang telah melahirkan tersebut. Selain itu tepung tawar juga harus dilakukan kepada siapapun yang menolong si ibu melakukan persalinan, termasuk orang-orang yang mendorong perut ibu berapapun banyaknya orang tersebut. Tepung tawar sangat wajib dilakukan karena jika tidak dilakukan maka bayi tersebut dianggap adalah milik dari bidan kampung dan bukan milik orang tuanya, meskipun secara fisik dari lahir bayi tersebut sudah bersama orang tuanya, namun jiwanya milik si bidan kampung. Oleh karena itu maka sebisa mungkin harus segera dilakukan prosesi ini. Dalam tepung tawar ada penabur yang wajib ada di dalam prosesnya, yaitu antara lain: tepung beras (sebagai simbol pembersihan), daun pandan (sebagai alat papay untuk menimbulkan bau harum), beras kuning dan putih (sebagai simbol kesejahteraan). Tepung beras tadi akan diberi air sehingga 132

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

menjadi campuran yang akan dicipratkan ke tubuh yang akan ditepung tawar. Prosesinya nanti secara bergantian dilakukan. Awalnya bidan kampung akan menepung tawari ibu dan bayinya. Lalu nantinya ibu yang telah ditolong untuk melahirkan akan menepung tawari bidan dan siapapun yang menolongnya pada saat bersalinan. Dengan posisi keduanya duduk di lantai, bidan kampung dan ibu akan bergantian melakukan tepung tawar, dimana yang akan ditepung tawari harus duduk dalam keadaan tegak namun kaki diselonjorkan ke depan. Bermula dari bidan akan mengambil sedikit beras putih dan beras kuning dan menaburkannya ke sekeliling tubuh si ibu, seperti ke kepala, ke pundak, ke tangan, dan kaki si ibu. Sehabis itu campuran tepung tadi dicipratkan ke ibu dengan menggunakan beberapa helai daun pandan yang telah diikat menjadi satu. Air tepung juga sama dicipratkan ke badan ibu, dari mulai kepala, kedua pundak, kedua tangan dan kedua kaki. Setelah bidan menepung tawari ibu, baru dilakukan kepada bayi. Jika bayi karena ukuran masih kecil, bayi tetap diselemuti dan dicipratkan sedikit-sedikit ke atas seluruh badan, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ibu pun lalu melakukan hal yang sama kepada bidan kampung dan siapun yang membantunya. Dalam proses tepung tawar ini, ada juga proses penguncian yang biasa dilakukan untuk “mengunci” penyakit pada umumnya yaitu menggunakan asam garam. Asam garam nanti dilakukan agar tidak ada penyakit yang datang kepada bidan kampung, ibu ataupun si bayi. Sedikit asam dan juga garam akan diambil menggunakan jarum jahit dan dimantrakan oleh bidan kampung dan disuapkan kepada si ibu. Proses tepung tawar ini wajib dilakukan jika tidak ingin ibu dan bayinya sakit. Bidan kampung pun juga bisa sakit. Bahkan 133

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menurut bidan kampung sebenarnya bidan nakes pun ada baiknya harus dilakukan tepung tawar, namun kebanyakan mereka tidak mau. Seperti yang dikatakan bidan kampung Mamak S berikut ini: “Ga bisa nanti badan saya sakit semua (kalau tidak tepung tawar). Itu bidan saja kemarin ada yang datang saya ke saya sakit. Saya bilang tidak bisa itu karena belum di tepung tawarkan. Ia sakit badannya. Saya kasih tepung tawar. Itu kan soalnya dia banyak darah kemarin. Mamak sama budak kecilnya bisa juga sakit, kalau melambat tepung tawar.”

Basuh (Cuci) Lantai Seperti nama upacaranya basuh (cuci) lantai, secara harfiah memang upacara ini merupakan pencucian lantai, lebih tepatnya membersihkan lantai dari percikan darah pada saat ibu melahirkan di dalam rumah. Perlu dibersihkan karena lantai rumah dianggap sudah tidak bersih karena ikut terpercik darah pada saat prosesnya. Jika tidak dilakukan, orang halus di dalam rumah akan merasa terganggu dan akhirnya dapat mengganggu baik itu bidan, ibu ataupun si bayi sehingga ketiganya bisa terkena penyakit. Dalam cuci lantai ini biasanya bidan kampung juga akan diberikan peduduk atau barang-barang sebagai ucapan terima kasih karena telah menolong persalinan. Peduduk yang biasanya antara lain: 1) Beras 1 gantang (3 kg) 2) Kain putih 1 kabang (1,5 m) 3) Kain 1 lembar (tergantung jenis kelamin. Jika bayi laki-laki kain untuk laki-laki, begitupun sebaliknya) 4) Kelapa 1 buah 134

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

5) 6) 7) 8) 9)

Pisau kecil Pulut kuning Telur 1 buah Ayam kampung 1 ekor Uang seberapa mampu keluarga

Karena peduduk tersebut memang cukup merepotkan, kini bidan kampung mengembalikan ke keluarga apakah mau tetap dengan barang tersebut atau menggantinya dengan uang. Namun untuk pulut kuning dan ayam kampung harus tetap ada. Jika menggunakan peduduk biasanya masyarakat hanya memberikan uang kepada bidan kampung dengan nominal yang tidak terlalu besar, sekitar Rp. 20.000,- hingga Rp. 50.000,-. Sedangkan jika tidak ada peduduk, uang bisa lebih besar antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 200.000,-. Biasanya cuci lantai diawali dengan memandikan ibu dan bayi. Mandi menggunakan air yang dicampurkan dengan potongan-potongan jeruk nipis. Ibu nantinya akan mandi dengan menggunakan kain yang dipakainya pada saat melahirkan. Mandi si ibu pun biasanya dilakukan di atas tempat ia melahirkan. Setelah itu bayi juga dimandikan. Urutan mandi tidak boleh bayi dahulu baru ibunya, karena katanya kelak nanti anaknya bisa sering melawan kepada orang tuanya. Setelah itu bidan kampung akan membersihkan lantai dalam kamar tempat bersalin dengan menggunakan ayam kampung. Nantinya bidan kampung akan membacakan doa dan juga mantra. Lalu diambillah ayam dan secara perlahan–lahan kaki ayam tersebut dicakarkan ke lantai, ke depan, ke kanan, ke kiri dan dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali di tempat ibu bersalin tadi. Karena cuci lantai merupakan acara kenduri selamatan, maka setelah kedua prosesi tersebut maka tetangga terdekat pun dipanggil untuk sama-sama membaca doa dan mencicipi

135

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

makanan ala kadarnya yang telah disediakan oleh keluarga yang punya acara. Selesai makan, maka biasanya ibu dan bidan kampung akan saling berhadapan dan secara resmi ibu akan mengucapkan terima kasih kepada bidan kampung atas bantuannya dan diharapkan mau menerima peduduk ala kadarnya, setelah itu diikuti dengan bidan kampung yang mengucapkan rasa terima kasih dan mendoakan keselamatan untuk si ibu dan si bayi. Upacara sudah resmi selesai dilaksanakan dan bidan dapat dipersilahkan kembali dengan membawa peduduknya tersebut. Naik Buai Masyarakat Desa Tanjung Pasir memiliki kepercayaan bahwa ketika anak ingin dimasukkan ke dalam buai atau ayunan pertama kali ada hal-hal yang harus dilakukan agar ketika sudah masuk ayunan tersebut bayi tidak mudah menangis dan tidak terkena penyakit. Untuk naik buai ini tentunya membutuhkan orang yang ahli, bukan sembarang orang. Di desa ini biasanya naik buai kembali lagi diserahkan kepada si bidan kampung. Terlebih dahulu bidan kampung akan mendoakan ayunan sebelum digantungkan. Jika ada alat sisa tepung tawar, maka air juga dicipratkan ke ayunan tersebut guna mensucikan ayunan tersebut. Setelah besi dipasangkan dan kain pun telah digantungkan bayi pun tidak boleh langsung masuk. Sebelumnya batu dan juga kucing dimasukkan ke dalam ayunan tersebut. Setelah keduanya masuk dan diayun beberapa kali, keduanya dihentakkan oleh sang bidan kampung untuk keluar dari ayunan. Baru selanjutnya bayi boleh dimasukkan ke dalam ayunan dengan bidan kampung serta keluarga yang ada membacakan salawat nabi.

136

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Peletakkan ayunan juga tidak bisa di sembarangan tempat, ayunan tidak boleh ditempatkan di bawah persis persilangan kayu di atas rumah, hal ini untuk menghindari kelintasan agar bayi tidak sakit-sakitan dan diganggu roh halus. Gunting Rambut Jika biasanya gunting rambut seorang anak erat kaitannya dengan aqiqah seperti yang dikerjakan umat muslim, maka lain dengan gunting rambut tradisi yang ada pada masyarakat Etnik Laut. Gunting rambut merupakan tradisi membuang beberapa helai rambut anak untuk membuang sial dan membuang keburukan anak tersebut. Acara ini biasanya juga sekaligus atas keselamatan dari si anak tersebut. Biasanya dilakukan tergantung kemampuan dari pihak masing-masing keluarga. Bisa dilakukan bersamaan dengan proses cuci lantai tapi bisa juga menunggu sampai uangnya terkumpul. Berikut merupakan deskripsi acara gunting rambut yang diikuti oleh tim peneliti. Acara dimulai pada pukul 8 pagi. Di ruang tengah bapakbapak sudah berkumpul. Yang datang hanya sekitar 20 orang, tidak ada ibu-ibu. Kebanyakan hanya keluarga dan para pemuka agama. Di belakang para ibu-ibu keluarga sedang menyiapkan makanan. Acara dibuka dengan pembacaan ayat al quran. Di tengah ruangan ada hiasan bunga dari plastik, dmana di batangnya sudah ditusukkan telur. Telur yang sudah masak tersebut sudah ditempeli label nama dari sang bayi yang akan di potong rambutnya. Setelah alunan ayat selesai dibacakan, si anak akan digendong oleh ayahnya. Di samping mereka ada pamannya yang membawakan nampan berisi peduduk untuk potong rambut tersebut. Penduduk di atas nampan antara lain: (1) Buah kates yang dibelah. Buah 137

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ini menjadi tempat untuk menaruh potongan rambut dari sang anak. Buah kates ini bisa juga diganti dengan buah kelapa. Ini dimaksudkan agar nanti besar, anak ini bisa menghasilkan seperti buah tersebut. (2) Bedak dingin yang sudah dicampurkan air. Ini sebagai inti agar anak terhindar dari penyakit. (3) Daun pandan beberapa lembar yang diurai tipis-tipis dan diikat menjadi satu. Digunakan sebagai alat untuk memercikkan air bedak dingin tersebut. (4) Lilin yang menjadi simbol penerangan agar hidup anaknya nanti bercahaya. (5) Beras kunyit. Diibarkan beras itu sebagai sumber kehidupan (makanan) sehingga nanti anaknya besar dekat dengan rejekinya Satu persatu yang hadir menggunting rambut dan memercikkan air ke anak bayi tersebut. Selesai mengitari orang-orang, bapak dan bayi dan peduduk di atas nampan dikitari lagi sebanyak 2 kali. Habis itu acara dilanjutkan kembali dengan pembacaan ayat al quran oleh salah satu bapak yang hadir. Setelah selesai anak bayi dipangku kembali oleh bapaknya dan duduk di depan bapaknya sambil dibacakan ayat Ibrahim. Setelah selesai dibacakan si pembaca quran tadi mengelus rambut si anak sambil menyebut nama anaknya. Selesai acara tersebut, doa bersama lalu makan bersama.

3.1.8. Anak dan Balita Posyandu dan Imunisasi Sama seperti Posyandu pada daerah lainnya, Posyandu dilakukan rutin oleh Puskesmas Kuala Enok di Desa Tanjung Pasir ini. Namun sayangnya Posyandu ini dilakukan rutin hanya pada 2 138

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dusun, yaitu Dusun Tanjung Harapan dan Dusun Sungai Rumah. Sedangkan untuk Dusun Sungai Bandung jarang sekali dilakukan. Bahkan menurut Ibu Kepala Desa, yang juga sebagai penggerak PKK, menyatakan bahwa untuk Posyandu di Sungai Bandung tersebut hanya dilakukan 6 bulan sekali. Hal ini terjadi karena pasang surut yang mempengaruhi akses jalan ke Dusun Sungai Bandung. Lagipula biaya yang dikeluarkan besar untuk menuju kesana. Puskesmas sendiri pun mengakui tidak ada anggaran transportasi untuk menuju ke Sungai Bandung tersebut, sehingga biasanya memang untuk biaya transport dibebankan kepada desa. Karena desa biasanya juga tidak ada alokasi dana untuk Posyandu tersebut, maka seringkali biayanya ditanggung oleh si kepala desa itu sendiri. Biaya untuk kesana adalah kurang lebih mencapai Rp. 500.000,- hanya biaya transport, biaya tersebut belum termasuk operasional para petugas kesehatan, apalagi pasang surut air memungkinkan mereka tidak bisa pulang balik dalam waktu 1 hari. Biaya yang besar itulah yang menjadi kendala utama pelaksanaan Posyandu di dusun tersebut. Melihat pelaksanaan Posyandu, berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, masih banyak masyarakat yang tidak mau atau malas datang pada saat Posyandu. Menurut bidan R, kemalasan untuk Posyandu di masyarakat ini hampir semua Etnik di desa ini, tidak cenderung di satu Etnik saja. Menurut bidan desa, Posyandu ini mengalami penurunan peminat setelah tidak ada lagi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dilakukan. Diakui oleh petugas kesehatan dan kader bahwa sudah hampir lebih dari 1 tahun mereka kini sudah tidak lagi melakukan PMT pada saat Posyandu karena ketiadaan biaya, sedangkan dahulu pelaksanaan PMT terbantu karena ada biaya yang diberikan Puskesmas. Dalam pelaksanaan program Posyandu sendiri, para tenaga kesehatan tentunya dibantu oleh para kader. Sampai saat 139

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ini ada total 5 kader untuk Dusun Sungai Rumah, 5 kader untuk Dusun Tanjung Harapan dan 2 kader untuk Dusun Sungai Bandung. Meskipun jumlahnya relatif banyak namun nampaknya fungsinya belum maksimal, karena tidak semua kader bekerja aktif.

Gambar 3.8. Kegiatan Posyandu Sumber: Dokumentasi Peneliti

Para ibu yang memiliki bayi dan balita sebenarnya tahu kapan pelaksanaan Posyandu, namun dengan alasan lupa ataupun tidak sempat membuat mereka tidak membawa anaknya untuk Posyandu. Dapat dikatakan bahwa mereka tidak mengetahui manfaat dan pentingnya Posyandu tersebut dilaksanakan. Selain itu banyak juga ibu yang mengakui dilarang membawa anaknya Posyandu oleh suami atau orang tua. Mereka dilarang karena Posyandu identik dengan proses imunisasi. Masih

140

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

banyak masyarakat yang tidak mengenal pentingnya imunisasi sehingga malah melarang anaknya untuk diimunisasi. Pada saat penelitian dilakukan, peneliti sempat mengikuti kunjungan yang dilakukan oleh salah satu bidan desa terkait dengan imunisasi tersebut. Kunjungan imunisasi disini adalah bidan mendatangi setiap target imunisasi ke masing-masing rumah. Kunjungan imunisasi ini dilakukan pada saat kurang lebih setelah satu minggu diadakannya Posyandu. Kunjungan imunisasi ini sebenarnya tidak selalu rutin dilakukan, tapi ini terjadi karena target pencapaian imunisasi di bawah Puskesmas Kuala Enok masih sangat rendah, termasuk cakupan imunisasi yang ada di Desa Tanjung Pasir Kunjungan imunisasi pun dibantu oleh salah satu kader. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, ketika kunjungan imunisasi tersebut dilakukan ternyata masih ada sebagian yang masih menolak untuk dilakukan imunisasi. Untuk yang mau diimunisasi pun sebelumnya harus dibujuk terlebih dahulu oleh si kader dan juga si bidan. Bukan hanya membujuk si ibu namun juga membujuk bapak atau nenek si bayi jika memang mereka yang tidak setuju akan imunisasi tersebut. Tradisi Sunat Tradisi sunat bagi setiap anak masih dilakukan di desa ini, termasuk pada masyarakat Etnik Laut. Tradisi Sunat dilakukan karena kebanyakan masyarakat memeluk agama Islam, dimana sunat menjadi kewajiban yang harus dilakukan bagi semua orang termasuk sunat pada wanita. Ada perbedaan antara usia dan juga siapa yang melakukan sunat pada anak laki-laki dan perempuan. Terkait dengan usia anak laki-laki biasanya disunat pada saat anak sudah duduk di bangku Sekolah Dasar, yaitu sekitar usia 8 – 11 tahun, sedangkan perempuan biasanya dilakukan pada usia bayi, ada 141

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang melakukannya pada saat usia 6 bulan namun ada juga yang melaksanakannya pada saat usia 1 tahun ke atas. Untuk perempuan pelaksanaan sudah tidak boleh dilakukan pada usia yang masih sangat kecil, yaitu di bawah 6 bulan, hal ini karena dianggap tidak ada pengaruhnya, dimana alat kelamin wanita yang dipotong (klitoris) nanti akan tumbuh kembali. Untuk anak laki-laki mereka biasanya melakukan sunat di mantra ataupun perawat tenaga kesehatan yang ada di kecamatan. Hal ini dilakukan karena mereka lebih mempercayakannya kepada mereka, selain itu alatnya lebih canggih dan dapat diberikan obat untuk penahan rasa sakit. Tidak ada dukun ataupun pengobat tradisional lainnya yang bisa melakukan sunat untuk laki-laki di desa ini. Lain halnya dengan wanita yang masih erat kaitannya dengan budaya setempat. Sebagian besar sunat untuk wanita pada saat bayi dilakukan dengan menggunakan jasa dari bidan kampung. Biasanya bidan kampung yang dipanggil untuk menyunat sama dengan bidan kampung yang membantu ibu pada saat proses persalinan. Acara penyunatan pun biasanya dilakukan bersamaan dengan acara lain, baik itu potong rambut ataupun naik buai, hal ini tergantung keluarga masing-masing. Proses sunat pun biasanya diawali dengan mandi dimana airnya merupakan air doa yang sudah dibacakan oleh si bidan kampung. Setelah itu si anak akan digendong oleh si bidan kampung dan didudukkan di atas selembar kain. Jika anak sudah bisa berbicara maka bidan kampung akan membimbingnya untuk membaca shalawat, namun jika anak belum bisa berbicara maka bidan kampung akan membacakan shalawat untuk si anak tersebut. Setelah itulah baru anak perempuan disunat. Sunat perempuan dengan bidan kampung masih menggunakan cara tradisional yaitu dengan menggunakan pisau ataupun gunting yang sebelumnya direndam dengan air panas. 142

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Sunatan juga biasa dilakukan dengan kain putih yang telah diberikan lubang sehingga kemaluan wanita terlihat dan memudahkan bidan kampung melakukan pemotongan dari klitoris si anak perempuan. Pelaksanaan sunat untuk perempuan ini dilakukan dengan bidan kampung karena masyarakat lebih mempercayakannya dengan bidan kampung dibandingkan dengan tenaga kesehatan. Selain sunat erat kaitannya dengan budaya turun menurun, faktor biaya pun menjadi dasar dari pemilihan siapa yang akan menyunat. Biaya sunat dengan bidan kampung masih dianggap lebih murah dan tidak memakan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan ke bidan.

3.2. Penyakit Menular Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh agen biologi seperti virus, bakteri, dan parasit yang media penularannya bisa melalui udara, air dan kulit. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ini. Sanitasi lingkungan, pengetahuan, dan perilaku masyarakat, serta tenaga kesehatan menjadi faktor yang berperan terhadap penyakit ini. Desa Tanjung Pasir yang berada di daerah perairan tercemin dari pola pemukiman penduduknya yang berupa rumah panggung. Pengamatan peneliti menunjukkan tidak ada jarak antar rumah. Mayoritas rumah di desa ini tidak memiliki jendela dan hanya dilengkapi dengan pintu. Kondisi sampah yang berserakan juga sering dijumpai di bawah rumah karena hampir semua masyarakat disana membuang sampah di bawah rumahnya. Di sisi lain, perilaku kebanyakan masyarakat di desa ini yang dengan bebasnya mengkonsumsi tuak, merokok, dan mandi di sungai sangat berisiko terhadap penyakit menular ini.

143

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Kuala Enok, prevalensi penyakit menular tertinggi di Desa Tanjung Pasir adalah ISPA, diare, dan infeksi kulit seperti scabies dan cacar. Menurut petugas Puskesmas setempat, tingginya kejadian penyakit tersebut disebabkan kondisi sanitasi lingkungan di desa ini yang masih buruk, pengaruh polutan udara dari pabrik yang berada di sebelah desa, dan kebiasaan masyarakat Etnik Laut mandi di sungai yang sudah terkontaminasi. Namun saat melakukan observasi dan wawancara, peneliti juga menjumpai penyakit menular lainnya seperti TBC dan kusta pada sebagian masyarakat di desa Tanjung Pasir. 3.2.1. ISPA Berdasarkan data di Puskesmas Pembantu Desa Tanjung Pasir, ISPA adalah penyakit dengan kejadian yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data kunjungan ke Pustu bahwa kebanyakan masyarakat berobat dengan keluhan-keluhan ISPA. Dilihat dari karakteristik umur, ISPA di desa ini banyak terjadi di umur anak balita, walaupun masih ada beberapa orang tua yang juga terkena ISPA. Menurut petugas pustu sendiri faktor utama penyebab ISPA pada balita di lingkungan Desa Tanjung Pasir ini karena beberapa hal yaitu: 1) kondisi lingkungan di pesisir yang kumuh; 2) sanitasi rumah yang buruk ditandai dengan minimnya pencahayaan dan ventilasi; 3) daya tahan tubuh yang lemah sebagai akibat dari kurangnya nutrisi atau asupan makan gizi seimbang di masyarakat; 4) Kondisi cuaca di daerah pesisir yang berubah-ubah dan 5) polusi asap dari pembakaran hutan dan adanya pabrik di sekitar lingkungan desa.

144

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Anggapan Masyarakat Sebagian besar masyarakat Desa Tanjung Pasir mengistilahkan penyakit ISPA sebagai penyakit ingusan, ada juga yang menyebut penyakit keteguran. Anggapan keteguran itu kebanyakan ditujukan ke balita, namun ada beberapa orang tua juga masih menganggap keteguran jika terkena ISPA. Beberapa informan juga sudah mengetahui jika penyakit ISPA merupakan penyakit yang menular. Seperti yang dikatakan informan Ibu R berikut ini: “Ada temen yang sudah batuk, ingusan, sama bersinbersin kemaren, mungkin bersin-bersinya itu terhirup terus menular.”

Mayoritas masyarakat Etnik Laut di desa ini menganggap sakit seperti panas dingin, batuk, dan ingusan dengan istilah keteguran. Keteguran adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan dari orang halus yang bisa menggangu kestabilan tubuh seseorang. Anggapan di masyarakat, keteguran sering terjadi pada bayi dan balita. Bayi dan balita dianggap lemah fisiknya, sehingga rawan dan mudah terkena keteguran. Seperti yang dikatakan informan Bapak A berikut ini. “Biasanya kalau ada bayi yang demam dan ingusan itu karena ada gangguan roh makhluk halus di tubuhnya. Gangguan itu kata orang tua kami disebut keteguran sering terjadi pada bayi sama anak kecil karena mungkin dia masih lemah.”

Kepercayaan masyarakat Etnik Laut terhadap penyakit yang disebabkan oleh roh halus ini memang sangat tinggi. Hal ini tercermin dari pengakuan informan Ibu TJ yang menganggap bayinya keteguran saat terkena terkena demam dan keluar ingus. Informan ini beranggapan jika bayinya sedang diganggu makhluk halus dari atas yang masuk ke badan. Berikut ini pernyataannya. 145

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Si bayi kemaren mungkin terkena keteguran atas akibatnya demam, kedinginan, sama keluar ingus hidungnya. Keteguran atas itu gangguan roh makhluk halus dari atas yang masuk ke badan si bayi.”

Sebagian besar masyarakat mengetahui penyakit ISPA disebabkan oleh kondisi cuaca, tingkat aktifitas, dan ada juga yang beranggapan gangguan dari makhluk halus. Selain itu, berdasarkan observasi peneliti kondisi fentilasi dan pencahayaan rumah penduduk di desa ini yang sangat minim juga berisiko timbulnya penyebaran ISPA. Aktifitas nelayan di malam hari yang tidak diiringi dengan nutrisi yang seimbang juga merupakan faktor risiko ISPA. Seperti disampaikan informan Bapak R yang menganggap sering terjadinya perubahan cuaca di daerah pesisir dan frekuensi angin laut yang tinggi merupakan penyebab utama terjadinya ISPA. Menurutnya cuaca di daerah pesisir memang tidak menentu. Cuaca yang pada biasanya panas karena frekuensi angin yang kuat, tiba-tiba turun hujan. Akibat dari perubahan itu Bapak R sering merasakan gejala-gejala ISPA. Informan ibu T mengakui mudah terserang ISPA ketika dia terlalu banyak aktifitas, pola makannya tidak teratur, sehingga berakibat tubuhnya terasa capek dan lemah. Pekerjaan perempuan Etnik Laut selain ibu rumah tangga adalah berdagang menjaga warung. Mereka biasanya membuka warung mulai pagi hari sampai larut malam, sehingga waktu istirahatnya sangat singkat. Berikut ini kutipannya. “Saya ini kan sering kerja malam jadinya kurang tidur, makan juga sering telat. Waktu kecapakan kerja malam itu akhirnya mudah sekali bersin-bersin sama kepala pening seperti mau ingusan.”

146

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pengobatan ISPA Masyarakat di Desa Tanjung Pasir melakukan pengobatan ISPA dengan cara pengobatan tradisional dan pengobatan modern. Pengobatan tradisional dilakukannya di dukun kampung, sedangkan pengobatan modern lebih sering membeli obat-obat warung. Masyarakat disini bisanya melakukan pengobatan tradisional terlebih dahulu kemudian baru berobat secara medis. Pengobatan ISPA secara tradisional di dukun kampung yakni dengan cara temas. Temas ini terbuat dari kunyit dan campuran sari beras. Pengobatan dengan cara temas dilakukan dengan cara mengoleskan kunyit dan campuran sari beras di sepanjang dahi. Jampi-jampi tersebut dipercaya masyarakat di sini mampu mengusir gangguan roh halus penyebab ISPA atau keteguran, sedangkan kunyit dan campuran sari beras dipercaya bisa menghilangkan demam dan ingus di hidung. Pengobatan temas biasanya banyak dilakukan ke anak-anak dan bayi. Kunyit dan sari beras yang dioleskan biasanya menghilang ketika penyakit mulai sembuh. Berikut penuturan informan Ibu TJ mengenai pengobatan temas. “Kemaren saat si bayi mulai demam terus hidungnya mulai keluar ingus langsung dibawa ke dukun kampung, katanya keteguran atas. Sama dukun kampung di temas di dahi sama di hidungnya terus dijampi-jampi sama kemenyan. Temas ini terbuat dari kunyit dan campuran sari beras. Temas ini biasanya untuk anak-anak dan bayi yang sakit keteguran atas seperti demam, hidung ingusan, sering gelisah. Temasnya itu akan terus menempel. Kalau temasnya hilang, berarti penyakitnya juga mulai sembuh.”

147

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.9. Salah Seorang Balita yang Sedang di-Temas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada beberapa informan yang telah melakukan pengobatan ISPA secara medis. Pengobatan secara medis biasanya dengan membeli obat bebas di warung-warung terdekat. Jika sudah tidak bisa disembuhkan lagi dengan menggunakan obat warung maka mereka akan berobat ke Puskesmas pembantu atau ada yang langsung pergi ke Puskesmas. Pantangan ISPA Sebagian masyarakat di desa ini menganggap makanan, aktifitas, dan merokok adalah pantangan dari penyakit ISPA. Makanan seperti belacan (terasi), udang dan minuman dingin dianggap sebagai pantangan. Sedangkan untuk aktifitas mandi dan aktifitas di waktu hujan juga dianggap sebagai pantangan ISPA. Selama pengobatan temas, penderita tidak diperbolehkan untuk mandi agar olesan kunyit dan sari beras tidak hilang. Olesan tersebut memang tidak boleh hilang karena digunakan

148

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

untuk indikator kesembuhan penyakit. Seperti yang dikatankan infoorman Ibu TJ berikut ini. “Kalau di temas pantangnya tidak boleh mandi. Karena kalau mandi olesannya bisa hilang. Kalau olesannya hilang kita tidak akan tahu kapan penyakitnya itu sembuh.”

Selain itu, informan Bapak A menganggap blacan (trasi), merokok, dan minum dingin sebagai pantangan penyakit ISPA. Berikut pernyataannya. “Pantangan dari penyakit ini tidak boleh makan udang dan terasi atau blacan. Blacan ini buat hidung jadi tersa gatal jadinya mudah bersin-bersin dan ingusan. Merokok juga bisa buat hidung ingusan.”

Pencegahan ISPA Masyarakat disini tidak banyak tahu mengenai pencegahan ISPA. Hanya ada beberapa yang berpendapat pencegahannya dengan cara mengatur tingkat aktifitas, waktu istirahat, dan banyak minum air putih. 3.2.2. Diare Diare merupakan penyakit yang sering dijumpai di Desa Tanjung pasir. Melihat dari data Puskesmas setempat, diare juga masuk dalam 10 penyakit terbesar pada tahun 2013. Faktor lingkungan dan makanan merupakan faktor pencetus timbulnya penyakit ini, ditambah perilaku masyarakat yang berisiko. Kondisi sanitasi lingkungan di desa ini yang buruk berpotensi menimbulkan kontaminasi kuman pada makanan. Hal ini sejalan dengan perilaku masyarakat yang kurang bisa menjaga kebersihan makanan dan minuman. Sumber air yang masih 149

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menggunakan air bor untuk memasak berpotensi menibulkan kontaminasi kuman pada makanan. Selain itu perilaku anak-anak makan di sembarang tempat dengan kondisi tangan tidak hiegenis juga bisa berisiko penyakit ini. Anggapan Masyarakat Secara umum masyarakat Desa Tanjung Pasir sudah mengetahui penyakit diare. Masyarakat biasa menyebut penyakit ini dengan istilah penyakit bocor. Sebagian informan berpendapat diare bukan merupakan penyakit menular. Mereka menganggap penyakit diare terjadi di dalam perut sehingga tidak mungkin menular. Mayoritas masyarakat berpendapat penyebab utama diare adalah faktor makanan. Kebersihan dan sanitasi makanan yang buruk dianggap bisa menyebabkan terjadinya penyakit diare. Beberapa informan menganggap diare disebabkan oleh konsumsi makanan yang sudah busuk dan konsumsi es batu berlebihan. Seperti penuturan informan Bapak N berikut ini. “Diare (bocor) ini penyebabnya karena salah makan. Kita bisa kena bocor kalau makan makanan yang sudah busuk (masam) seperti ikan busuk, makan siput dan minum es batu terlalu banyak. Es batu itu yang kita rasakan dingin, tapi didalam tubuh jadinya panas. Es batu itu asalnya dari garam sama air yang dibekukan dan airnya tidak dimasak sebelumnya. Jadi kalau banyak minum es batu lama-lama bisa bocor.”

Sebagian informan lain berpendapat penyebab diare karena sering minum air hujan mentah. Berikut pernyataan informan Bapak R. “Sering sakit bocor itu karena sering minum air hujan tidak dimasak sebelumnya. Air hujan itu banyak

150

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kotorannya jadi harus dimasak dulu supaya kotorannya hilang. Kalau diminum mentah bisa kena bocor orangnya.”

Namun sayangnya meskipun mereka mengetahui faktor yang menjadi risiko dari penyakit diare dari air yang tidak dimasak tersebut namun mereka masih banyak yang belum mengolah air yang menjadi sumber minuman mereka tersebut. Gejala Diare Sebagian besar informan beranggapan gejala diare diawali dengan buang air besar lebih dari 3 kali sehari, rasa sakit di perut, lemah, dan demam. Berikut ini pernyataan informan Bapak J mengenai gejala diare. “Diare (bocor) rasanya mules di perut, berak air sampai 5 kali sehari, kadang berak airnya macam lendir terus badan terasa lemah dan demam.”

Beberapa informan lain menggambarkan gejala penyakit ini ditandai dengan buang air besar disertai dengan darah pada beraknya. Seperti penuturan informan Bapak M berikut, “Gejalanya kalau kita buang air besar ada itu darah keluar dan didalam perut itu rasanya panas.” Pengobatan Diare Masyarakat sudah terbiasa melakukan pengobatan diare secara tradisional. Beberapa dari mereka juga terbiasa mengobatinya sendiri dengan membeli obat-obatan yang dijual bebas. Untuk pengobatan tradisional penyakit ini dilakukan dengan cara memakan pucuk daun jambu. Beberapa informan menganggap dengan memakan obat pucuk daun jambu dalam satu hari akan berkhasiat menyembuhkan penyakit diare. Berikut ini penuturan informan Bapak N. 151

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Biasanya orang dewasa makan pucuk daun jambu sehari langsung sembuh. Kalau yang kena diare anakanak biasanya dari parutan kunyit terus ditempelkan di atas ari-arinya. ketika diarenya sudah hilang kunyitnya segera dilepas dari perutnya, sebab kalau tak dilepas lama-lama kambuh lagi.”

Gambar 3.10. Pucuk Daun Jambu untuk Pengobatan Tadisional Diare Sumber: http://3.bp.blogspot.com/15daun+jambu.jpg

Selain itu salah seorang informan dukun kampung mengatakan cara pengobatan penyakit diare pada anak-anak yakni dengan cara dipijat di bagian perutnya. Pemijatan disertai dengan olesan ramuan tradisional. Ramuan tersebut terdiri dari bahan minyak makan, bawang putih, dan garam yang dicampur kemudian ditumbuk untuk dijadikan olesan. Seperti yang diungkapkan informan Bapak M berikut ini. “Budak-budak yang bocor suruh berbaring, diurut perutnya ke atas dengan olesan minyak makan dicampur

152

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

bawang putih dan garam sedikit. Besok pagi hilang sudah bocornya.”

Pantangan Diare Sebagian besar informan menganggap pantangan diare adalah makanan dingin seperti es batu, minum air hujan mentah, dan cabe. Berikut ini pernyataan informan Bapak R dan Ibu Z mengenai pantangan diare. “Pantangannya itu makanan yang dingin-dingin seperti es batu yang bisa buat sakit perut, lama-lama bisa jadi berak air (diare).” “Pantangnya ya itu sering minum air hujan tidak dimasak dulu, air batu es, dan suka makan banyak cabe. Kalau kuat makan minum macam itu cepat lah dia kena diare (bocor).”

Pencegahan Diare Menurut masyarakat pencegahan diare yang paling mudah dilakukan yakni dengan selalu menjaga kebersihan makanan dan berhati-hati dalam memilih makanan. Seperti yang diungkapkan informan Bapak N berikut ini. “Jadi kita harus berhati-hati kalau makan jangan sembrono memilih makanan yang busuk. Kita juga harus selalu menjaga kebersihan makanan agar tidak dihinggapi kuman beracun.”

Beberapa informan berpendapat pencegahan diare dengan cara memperbanyak minum air putih di malam hari dan meningkatkan konsumsi bubur. Berikut uraian informan Bapak A.

153

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Kita minum itu malam-malam air putih 3-4 gelas besok pagi bisa berhenti itu mencretnya. Makannya bubur saja sampai beraknya menjadi keras.”

3.2.3. Tubercolosis (TBC) TBC merupakan salah satu penyakit tergolong berat yang ada di desa Tanjung Pasir. Dilihat dari jenis kelamin, penyakit ini banyak diderita jenis kelamin laki-laki, namun ada satu seorang ibu rumah tangga yang terinfeksi penyakit ini. Rata-rata mereka yang terinfeksi berusia lebih dari 40 tahun, walaupun ada satu informan yang masih berusia 30 tahun. Anggapan sebagian besar masyarakat di desa ini mengenai penyakit TBC terkait gejala, pengobatan, pantangan, pencegahan, dan paradigma cenderung sudah modern. Mayoritas mereka melakukan pengobatan dengan cara modern namun masih ada sebagian kecil yang melakukannya7 dengan cara tradisional. Anggapan Masyarakat Masyarakat di Desa Tanjung Pasir baru mengetahui penyakit TBC setelah mendapat diagnosa dari dokter atau dari perawat (mantra). Pengetahuan mereka tentang penyakit TBC ini hampir semuanya sama. Mereka berpendapat bahwa penyakit TBC itu bisa dilihat dengan kasat mata yaitu badan kurus sampai tulangnya terlihat dan bahunya naik ke atas. Seperti yang dituturkan informan Bapak J berikut ini. “TBC itu badannya tidak mau gemuk, maunya kurus aja di dada tulangnya kelihatan, terus bahunya naik keatas sampai leher.”

154

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Selain itu, informan Bapak N menganggap penyakit TBC bila dilihat paru-parunya berlubang yang mengakibatkan tubuh penderita bisa kurus kering. “Sakit TBC ini paru-parunya bocor karena berlubang, akhirnya badannya bisa kurus kering itu.”

Beberapa informan berpendapat TBC merupakan penyakit yang menular. Menurut mereka penularannya beragam salah satunya bisa melalui udara. Mereka menganggap penyakit TBC penularannya melalui percakapan dengan penderita. Seperti yang disampaikan informan Bapak A berikut ini: “Kalau ada orang disekitar kita kena tbc kita harus hatihati, sebab itu bisa menular. Waktu kita bercakap-cakap sama kawan yang sakit TBC nanti akan menular. Apalagi bila tubuh kita mudah lemah, kuat lah itu menularnya.”

Gambar 3.11. Seorang Informan Penderita TBC Sumber: Dokumentasi Peneliti 155

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Salah satu informan menganggap TBC bisa menular melalui bekas makanan dan minuman. Berikut ini penuturan informan Bapak S. “TBC biasanya menular lewat bekas makanan dan bekas minuman yang bercampur dengan makanan minuman kita.”

Ada juga informan Bapak M yang menuturkan TBC adalah penyakit yang menular dari keturunan orang tua. “TBC itu sakitnya ada yang dari keturunan dari bapak ke istri dan anak karena penyakitnya itu menular.”

Namun, ada salah satu informan Bapak N menganggap kalau penyakit yang dideritanya itu tidak menular karena merupakan penyakit dalam yang sumbernya dari rokok. Berikut penuturannya. “TBC itu termasuk penyakit dalam, jadi tidak menular karena kebanyakan merokok.”

Penyebab TBC Sebagian besar informan sudah mengetahui penyebab TBC, namun ada juga beberapa informan yang tidak mengetahui penyebab TBC. Anggapan mereka mengenai penyebab penyakit TBC bermacam-macam. Secara keseluruhan informan menganggap faktor pekerjaan, konsumsi dan lingkungan adalah penyebab utama TBC. Selain itu, ada juga informan yang beranggapan guna-guna orang halus sebagai salah satu penyebab penyakit tersebut. Beberapa informan beranggapan penyebab penyakit TBC adalah rokok, minuman keras, dan polusi udara saat di laut. Mereka mengaku merasakan panas di dadanya kemudian timbul sesak napas ketika sedang minum minuman keras seperti tuak. 156

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Tidak hanya minuman keras saja, mereka juga merasakan sesak napas dan batuk-batuk saat menghirup asap perahu motor ketika sedang melaut. Berikut ini penuturan informan Bapak K. “TBC itu mungkin karena kuat merokok, kuat minum setelah pulang dari laut, sering menghirup gas-gas kapal waktu melaut. Waktu minum itu dada terasa panas, akhirnya dada itu napasnya semput (sesak). Ketika melaut juga begitu, bau gas-gas dari kapal sesak di dada, terus timbul batuk-batuk. Angin laut kuat juga bisa masuk ke paru-paru timbullah semputnya (sesaknya).”

Selain itu penyebab penyakit TBC adalah menghirup bau ikan busuk yang bisa membuat sesak napas dan batuk-batuk. Selain itu makanan tajam seperti bumbu bahan penyedap dan jeruk nipis juga menyebabkan TBC. Ada juga yang menyatakan bahwa penyakit TBC bisa disebabkan oleh guna-guna gangguan orang halus berupa racun. Racun tersebut dari serbuk bambu biasanya disebut adom. Adom bila masuk ke dalam tubuh akan merusak paru-paru dan bisa menimbulkan batuk darah. “Dulu katanya dukun kampung terkena racun serbuk bambu guna-guna orang halus. Racun serbuk bambu biasanya disebut adom trus masuk ke dalam tubuh, itulah yang merusak paru-paru dan bisa batuk darah. Kalau kata dukun adom itu biasanya terbang dan hinggap.”

Gejala TBC Mayoritas informan memiliki anggapan yang sama untuk gejala TBC. Gejala awal yang mereka keluhkan adalah sesak napas, batuk dahak, kemudian muncul batuk darah. Ada juga

157

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

informan yang mengeluh demam tinggi, badan lemas, tidak bisa tidur, dan tidak nafsu makan. Informan Ibu F mengatakan dia mengeluh batuk dahak sampai tiga bulan, kemudian disusul batuk darah selama 3 hari. Selain itu dia juga tidak nafsu makan saat batuk tiga bulan, sehingga berat badannya turun tampak kurus dan bahunya naik. Napasnya terasa sesak setiap akan tidur. Selain itu, gejala TBC awalnya seperti radang tenggorokan yakni sakit ditenggorokan disertai batuk dahak selama 3 bulan kemudian lama-lama badan mulai lemah dan batuk keluar darah sampai satu gayung mandi tiap harinya. Seperti yang diungkapkan informan Bapak G berikut ini. “Dulu awalnya saya tidak mengira kalau sakit TBC, awalnya itu seperti radang tenggorokan saja, rasanya sakit ditenggorokan, batuk-batuk keluar dahak, tapi lama-lama setelah 3 bulan badan ini rasanya jadi lemah terus batuk muntah darah tiap hari darahnya kalau ditampung di gayung mandi hampir penuh itu.”

Pengobatan TBC Hampir semua informan yang ditemui peneliti mengakhiri pengobatan TBC secara medis. Ada beberapa informan yang mengawali pengobatan di dukun kampung karena kepercayaan mereka, namun pada akhirnya mereka memutuskan untuk memilih berobat ke medis karena informan yang mengawali berobat ke dukun kampung penyakitnya tidak kunjung sembuh. Pengobatan informan ke medis semuanya hampir sama yakni dengan pemeriksaan dahak dan pengobatan TBC selama 6 bulan rutin. Sedangkan informan yang berobat ke dukun kampung menggunakan obat-obat alami dan disertai dengan jampi-jampi.

158

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Seperti halnya yang pernah dilakukan informan Bapak G. Awalnya dia berobat ke dukun kampung dengan obat dari bahan kopi, serbuk tanah liat yang disaring dan air. Dia mulai merasakan sembuh setelah berobat selama 3 bulan. Setelah itu Bapak G diharuskan melakukan ritual berkunci yang dipercaya akan mengunci penyakitnya itu supaya tidak datang lagi. Dia menghabiskan biaya kurang lebih 2 juta untuk mempersiapkan bahan-bahan untuk berkunci seperti yang diceritakannya berikut ini: “Awalnya berobat ke dukun kampung selama 3 bulan, tidak kepikiran ke dokter karena kepercayaan keluarga ke dukun kampung. Obatnya dikasih air, kopi, tanah liat yg dihaluskan. Setelah itu mulai beda rasanya, sudah normal seperti biasanya lah. Nah sebagai bentuk mahar lah ke dukun, ada ritual berkunci agar penyakit itu terkunci dan tidak datang lagi. Dulu waktu berkunci menghabiskan biaya 2 juataan lah untuk membeli bahannya. Bahannya itu seperti mas setengah mayam, ayam kampung, sembako 1 mangkok, sama alat masak.”

Sama halnya dengan Bapak G, Ibu F mengaku awalnya juga berobat ke dukun kampung. Beda dengan informan Bapak G, Ibu F ini berobat ke dukun kampung yang lain, obatnya pun juga berbeda. Pengobatannya berupa kunyit dan air jampian. Namun karena penyakitnya tak juga sembuh akhirnya ia memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Semua informan yang berobat TBC ke dokter memiliki anggapan yang sama yaitu dengan pemeriksaan dahak dan ronten sinar x dada, kemudian dilanjutkan pengobatan rutin selama 6 bulan. Ada salah satu informan yang melakukan pengobatan di dokter dan juga masih tetap menggunakan obat dari dukun kampung. Seperti yang dikatakan informan Bapak G berikut ini. 159

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Berobat ke Puskesmas disarankan untuk periksa dahak ke rumah sakit. Setelah 1 minggu baru ada hasilnya ternyata positif TBC. Dikasih lah obat 6 bulan itu. Selain obat itu, juga masih minum kunyit yang disaranin dukun kampung. Akhirnya setelah 3 bulan mulai hilang batuk darahnya.”

Pantangan TBC Informan yang ditemui peneliti memiliki anggapan berbeda-beda untuk pantangan penyakit TBC. Mayoritas informan sudah tahu jika merokok, minuman keras dan tidak terlalu dekat dengan penderita adalah pantangan penyakit TBC. Namun, ada beberapa informan yang beranggapan bahwa makanan seperti telur dan minuman air kelapa muda merupakan pantangan penyakit TBC. Pantangan TBC menurut sebagian informan, bila kita berbicara dengan penderita akan mudah tertular karena penularannya melalui udara ketika sedang bercakap-cakap dengan penderita, apalagi kondisi tubuh sedang lemah seperti sakit ISPA akan lebih mudah tertular. Berikut ini pernyataan dari informan Bapak A dan Bapak G. “Pantangannya tidak boleh berdekatan dan bercakap dengan orang yang sakit TBC karena hawa cakap-cakap itu bisa langsung masuk ke tubuh akhirnya menular ke kita.” “Penyakit TBC itu bisa menular melalui pernapasan kalau kondisi tubuh kita lemah. Jadi kalau kondisi tubuh kita lemah seperti kena flu kumpul dengan orang yang sakit TBC, bisa menular itu.”

Selain itu, merokok dan minuman keras adalah pantangan penyakit TBC. Informan Bapak K berkata kalau dirinya masih suka

160

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

mengkonsumsi minuman tuak dan merokok, padahal dia tahu itu adalah pantangan penyakitnya. “Saya masih kuat minum tuak sama rokok juga, walaupun kata dokter pantangnya minum tuak sama rokok. Kalau pekerjaan melaut tidak minum tuak dan merokok rasanya tidak semangat.”

Beberapa informan juga memiliki anggapan pantangan TBC adalah makan telur bersama dengan penderita dan minum air kelapa muda. Menurutnya jika seorang penderita TBC minum air kelapa muda, batuk darahnya semakin banyak dan bisa menimbulkan kematian. Sedamgkan, jika kita makan telur bekas penderita TBC, maka akan mudah menular karena kuman TBC banyak menumpuk di telur. Berikut pernyataan informan Bapak N dan Bapak M. “Menurut cerita orang-oarang tua dulu, TBC ini bisa menular lewat telor karena kuman-kumannya banyak menumpuk di telor. Jadi kita kalau makan telor bekas orang TBC bisa tertular itu.” “Pantangan TBC tidak boleh minum air kelapa muda, pernah ada orang sakit TBC baru minum, langsung keluar darah langsung mati, makanya orang sakit TBC tidak boleh minum air kelapa muda.”

Pencegahan TBC Pencegahan penyakit TBC ini merupakan bentuk kepatuhan penderita terkait pantangan-pantangan yang sudah mereka utarakan. Sebagian besar informan beranggapan pencegahan penyakit TBC ini adalah dengan cara berhenti merokok, minum tuak dan menghindari kontak langsung dengan penderita. Selain itu, minum obat TBC rutin selama 6 bulan adalah pencegahan

161

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

utama untuk menghindari penyakit tersebut. Seperti yang diungkapkan informan Bapak R dan Bapak G berikut ini. “Pencegahannya kata dokter jangan minum minuman keras, jangan sering keluar malam, dan jangan merokok.” “Obat 6 bulan itu harus rutin diminum tidak boleh berhenti, 3 kali sehari diminumnya 3 tablet, totalnya ada 9 tablet seharinya. Pokoknya jangan sampai telat telat satu hari tak minum obat. Akhirnya setelah 3 bulan mulai hilang batuk darahnya. Banyak orang disini tidak teratur minum obat, mungkin mereka itu banyak mlasnya. Baru berobat 3 bulan sudah berhenti, akhirnya tidak sembuh sakitnya itu.”

Selain minum obat rutin selama 6 bulan, salah satu informan juga mengatakan untuk mencegah TBC, harus dipisahkan tempat makan dan minumnya, bahkan tidur harus berpisah. Berikut penuturan informan Ibu F. “Kita makan minum piring dan gelasnya dipisah, bahkan tak boleh tidur bersama. Itu dulu karena adik ipar dan anak juga sakit yang sama, mungkin karena tertular saya. Orang keluarga di rumah sengaja kayak itu supaya tak menular tu penyakit.”

3.2.4. Kusta Berdasarkan data profil Puskesmas Kuala Enok, kusta tidak termasuk termasuk 10 penyakit terbesar pada tahun 2013. Di Desa Tanjung Pasir masih dijumpai beberapa orang yang terinfeksi kusta. Dari pengamatan peneliti selama 2 bulan, kondisi sanitasi lingkungan dan rumah menjadi faktor utama terjadinya penyakit ini.

162

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Sebagian masyarakat yang masih terbiasa mandi di air laut sekitar rumahnya sangat berisiko. Mereka berkeyakinan air asin laut bisa menyembuhkan segala penyakit, padahal kondisi saat ini air laut di pesisir sudah digunakan masyarakat untuk sarana pembuangan limbah rumah tangga dan sampah. Selain itu, sanitasi rumah sebagian masyrakat sangat buruk. Perilaku masyarakat yang kurang bisa menjaga kebersihan dirumah bisa mengundang mycobacterium leprae yang bisa mengakibatkan kusta. Anggapan Masyarakat Masyarakat Desa Tanjung Pasir memiliki pandangan kusta sebagai penyakit buangan dan menular. Mereka memiliki tradisi terhadap orang yang terkena kusta harus diasingkan agar penyakitnya tidak menular ke masyarakat luas. Beberapa informan menggambarkan kusta sebagai penyakit keturunan. Ketika orang tua menderita kusta maka akan menurun juga ke anaknya. Seperti yang diungkapkan informan Bapak A berikut ini. “Penyakit kusta kalau ada anak kita yang kena, nanti dalam satu keluarga kita bisa menular semua. Kalau keluarga sudah tertular akan menular ke keluarga yang lainnya. Penyakitnya makan dalam sampai makan tulang bisa berakibat orang kena kakinya dipotong. Itu kami bilang penyakit yang jahat. Penyakit keturunan, kalau orang tua kena, nanti anaknya juga akan kena kusta, sebab air nanah dari daging yang jatuh kena orang lain bisa menular.”

Informan Bapak J menggambarkan penderita kusta harus diasingkan agar penyakitnya tidak mewabah. Dia juga mengistilahkan kusta seperti penyakit buangan. Berikut penyataannya.

163

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Penyakit kusta itu penyakit buangan. Harus diasingkan itu orang yang kusta agar penyakitnya tidak nular ke orang lain.”

Seorang informan dukun kampung menuturkan penyakit kusta hanya bisa ditularkan melalui penderita yang memiliki golongan darah sejenis. Berikut ini penuturan informan Bapak M. “Penularannya hanya bisa melalui darah yang sejenis. Kalau punya jenis darah yang sama dengan orang kusta, sakitnya bisa nular itu lewat darah. Kalau beda darah walaupun tidur bersama tidak akan bisa nular.”

Gambar 3.12. Salah Seorang Informan Penderita Kusta Sumber: Dokumentasi Peneliti

Penyebab Kusta Secara umum masyarakat menganggap penyebab kusta karena sanitasi lingkungan yang buruk dan kurang menjaga kebersihan. Terlalu sering bermain di air lumpur akan 164

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

menyebabkan kusta karena terdapat banyak kuman dalam air lumpur. Terkena duri ikan laut jika tidak cepat dibersihkan juga bisa menyebabkan kusta. Seperti uraian informan Bapak J dan Ibu E berikut ini. “Sakit kusta karena sering bermain di air lumpur, padahal banyak lah kuman disana. Bisa lah dia kena kusta kalau sering di air lumpur.” “Akibat dari aktifitas melaut terkena duri ikan laut mungkin tidak dicuci, akhirnya muncul korengan luka, lama-lama membusuk dan jadi lah kusta itu. Orang disini banyak yang tidak bisa menjaga kebersihan, jadi dia mudah itu kena kusta.”

Seorang informan lain (Bapak M) mengungkapkan penyebab kusta karena perbuatan dusta orang tua. Berikut ini pernyataannya. “Kusta asalnya dari bapak dan mamaknya banyak dusta karena lupa daratan. Mereka bisa terkena azdap anaknya terkena kusta.”

Gejala Kusta Gejala penyakit kusta ditandai dengan luka kecil pada lipatan kulit yang disertai dengan rasa gatal dan terdapat benjolan. Luka tersebut dalam jangka lama semakin membesar dan merambat ke sekujur tubuh. Luka pada kulit tersebut juga mengakibatkan mati rasa dalam jangka lama. Seperti penuturan salah seorang informan Bapak M berikut ini. “Kusta awalnya gatal-gatal lalu bentol besar keluar lukanya dan merambat kemana-mana. Badan yang kena luka itu lama-lama jadi busuk. Akibatnya kaki bisa putusputus karena kuman yang banyak dibadannya. Lamalama kena pisau pun tidak terasa sakit.” 165

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Seorang informan lain (Bapak N) menambahkan gejala penyakit kusta berikut ini. “Penyakit kusta macam daging itu membusuk, kemudian daging itu hancur sedikit sedikit dan lama-lama bisa putus. Seperti di tangan dan kaki, jari-jarinya bisa putus. Kusta ini gejalanya asalnya luka dalam berasal dari kuman kemudian jadi koreng kayak kudis membusuk, infeksi lah istilahnya. Luka itu mengakibatkan pecah darah dan nanahnya keluar akhirnya membusuk.”

Pengobatan Kusta Masyarakat biasa melakukan pengobatan kusta secara tradisional. Pengobatan tradisional dengan cara meminum air kencing orang tua atau meminum rendaman pakaian dalam orang tua. Seperti yang dituturkan informan Bapak M berikut ini. “Kalau ada anak (budak) yang kena kusta, kalau masih hidup bapaknya dan mamaknya, direndam waktu malam jumat pakaian dalam bapak dan mamaknya, keesokan pagi harinya dibacakan shalawat 3 kali terus dimandikan selama hari jumat 3 kali berturut-turut. Selain itu ada obat minum dari air kencing orang tua, kemaluan orang tua dicuci dulu, terus disiramkan air kencing ke gelas dan diminum setiap hari jumat 3 kali berturut-turut dan dibacakan shalawat 3 kali. Kalau upama orang tuanya sudah tidak ada lagi, obatnya berbeda. Obatnya temu, temu itu diiris dijemur terus ditumbuk, malamnya dijadikan bedak di luka-lukanya, 3 kali dikasih bedak penyakitnya akan hilang.”

Informan Bapak N menambahkan pengobatan kusta dengan cara mengoleskan obat alami yang berasal dari campuran daun ambin, daun iani, daun betadin, daun priah, gula batu dan air ke luka penderita. Sebagian masyarakat masih mempercayai 166

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

air asi nlaut sebagai obat mujarab segala penyakit kulit termasuk kusta. Seperti uraian seorang informan Ibu M berikut ini. “Orang sini kalau sakit kulit macam kusta langsung mandi di air laut. Kepercayaan orang sini sakit kulit kadang sembuh sendiri dengan mandi air asin.”

Pantangan Kusta Masyarakat memiliki anggapan bahwa sering bersentuhan dengan penderita kusta adalah pantangan penyakit ini. Seperti pernyataan informan Bapak N berikut ini. “Patangnya itu kalau kita sering berdekatan dan bersentuhan sama orang sakit kusta. Itu berbahaya karena kusta mudah nular.”

Pencegahan Kusta Pencegahan penyakit kusta yakni dengan cara menjauhkan diri dengan penderita. Beberapa informan juga beranggapan konsumsi sayuran dan ikan yang tidak berduri juga bisa mencegah penyakit ini. Berikut ini pendapat informan Bapak J. “Cara mencegahnya, kita harus mengasingkan orang sakit kusta itu supaya tidak menular ke kita. Selain itu makanan macam sayuran dan ikan tidak ada duri seperti ikan gulama juga bisa mencegah kusta.”

3.2.5. Cacar Penyakit cacar masih sering dijumpai di Desa Tanjung Pasir. Penyakit yang disebabkan virus varisela zoster ini sering dijumpai pada anak-anak. Faktor utama penyakit ini adalah lemahnya sistem imun pada usia balita. Melihat data Puskesmas 167

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kuala Enok tahun 2013 tingkat imunisasi di desa ini bisa dikatakan tidak tinggi karena hanya mencapai 65%. Hal ini mengindikasikan masih ada sebagian anak balita yang tidak mendapat imunisasi. Kondisi ini bisa menjadi faktor pencetus timbulnya penyakit cacar. Anggapan Masyarakat Secara umum masyarakat mengaggap penyakit ini sebagai penyakit musiman. Ketika terdapat seseorang yang terjangkit, maka penyakit ini akan menular dan mewabah luas. Masyarakat mengistilahkan penyakit ini dengan sebutan penyakit bono. Berikut ini anggapan informan Bapak J dan Ibu M mengenai penyakit cacar. “Kalau orang kami menyebutnya sakit bono. Orang kalau sudah kena bono bisa nular itu kemana-mana.” “Cacar itu sakitnya kadang-kadang bermusim. Kalau kakaknya sudah kena duluan, adiknya akan tertular juga itu. Kalau tak diobati bisa menular sekampung itu.”

Penyebab Cacar Mayoritas masyarakat kurang mengetahui penyebab penyakit ini. Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa penyakit ini datangnya tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya seperti yang diceritakan oleh Ibu N mengatakan penyakit ini datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. “Kalau anak sakit cacar datangnya tiba-tiba. Kami tidak ngerti sebabnya. Tiba-tiba anak panas tinggi esoknya timbulah bentol-bentol.”

168

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gejala Cacar Sebagian besar informan menguraikan gejala penyakit ini diawali dengan panas tinggi, lemah, dan disertai dengan bentolbentol pada seluruh tubuh. Seperti pernyataan informan Ibu M berikut ini. “Gejalnya panas tinggi waktu malam, badannya lemah kuat nangisnya, siangnya timbul bentol-bentol di muka tangan, kaki, sama badan.”

Pengobatan Cacar Sebagian masyarakat menganggap pengobatan cacar hanya bisa dilakukan secara tradisional karena pengobatan medis belum ditumukan obatnya. Pengobatan tradisional dengan menggunakan bahan air kelapa, kemenyan, air beras, dan daun priah. Cara pengobatan dengan cara meminumkan air kelapa dengan jampi-jampi kemenyan pada penderita dan mengoleskan campuran daun priah dan air beras ke bentol-bentol pada kulit penderita. Berikut ini pernyataan informan Bapak J dan Ibu M mengenai pengobatan cacar. “Orang sakit bono ini harus diobati ke dukun kampung, tak bisa dia berobat ke dokter karena tidak ada obatnya.” “Obatnya dari dukun kampung diaksih air kelapa dijampi-jampi kemenyan terus diminumkan. Obat lainya pakai daun priah dtumbuk dicampur sama air beras terus dioleskan ke bentol-bentolnya.”

169

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.13. Olesan Campuran Daun Priah dan Beras pada Salah Satu Penderita Cacar Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pantangan Cacar Masyarakat memiliki anggapan bermacam-macam mengenai pantangan penyakit cacar. Sebagian besar masyarakat menganggap pantangan penyakit ini adalah memandikan anaknya yang masih dalam pengobatan cacar. Seperti pernyataan Ibu N berikut ini. “Pantangnya waktu sakit cacar dimandikan itu anak. Tak sembuh lah sakitnya karena obatnya bisa larut lah sama air.”

Salah seorang informan Ibu M menuturkan pantangan cacar yakni melakukan aktifitas memasak didalam rumah. Menurutnya pantangan ini sudah turun menurun dari orang tua. “Kalau anak sakit bono pantang lah kita menggoreng didalam rumah. Itu sudah tradisi dari orang tua kami dari dulu.”

170

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pencegahan Cacar Secara umum masyarakat kurang mengetahui cara pencegahan penyakit ini. Mereka beranggapan orang yang terkena penyakit ini harus segera diobati agar tidak menular luas. Seperti pernyataan informan Bapak J berikut ini. “Pencegahannya jangan sampai terlambat berobat karena bisa menyebar itu penyakit ke orang sekampung.”

3.2.6 Scabies Kejadian penyakit scabies di Desa Tanjung Pasir bisa dikatakan sangat tinggi. Penyakit ini sering dijumpai terutama pada anak-anak. Berdasarkan data Puskesmas, scabies juga termasuk 5 penyakit tertinggi pada tahun 2013. Penyebab utama tingginya penyakit scabies di desa ini adalah karena faktor perilaku masyarakat dan sanitasi lingkungan. Perilaku masyarakat yang kurang bisa menjaga kebersihan, serta sanitasi rumah yang buruk menjadi faktor tingginya kejadian penyakit ini. Kebiasaan masyarakat yang masih sering mandi di air laut yang sudah terkontaminasi limbah rumah tangga, serta kondisi rumah mayoritas masyarakat yang minim fentilasi dan pencahayaan merupakan penyebab scabies di desa ini. Penyakit yang disebabkan Sarcoptes Scabei ini akan terus berkembang dan menular, bila tidak ada perbaikan sanitasi rumah dan perubahan perilaku kebersihan masyarakat. Anggapan Masyarakat Masyarakat mengistilahkan scabies dengan bahasa penyakit letup api. Sebagian besar masyarakat menganggap penyakit ini merupakan penyakit gatal-gatal pada kulit. Penyakit 171

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ini juga bisa menular dari orang tua ke anaknya. Berikut ini anggapan informan Bapak S dan Ibu A mengenai penyakit scabies. “Orang kami biasa menyebut penyakit letup api. Penyakitnya semacam gatal-gatal dikulit.” “Kalau ada orang tua kena sakit letup api itu bisa nular ke anaknya. Dulu waktu punya bayi pernah sakit letup api terus nular ke bayi kami, mungkin karena menyusui bisa nular.”

Penyebab Scabies Secara umum masyarakat menganggap penyebab penyakit ini adalah perilaku mandi di air laut. Selain itu, sebagian masyarakat juga menganggap gigitan nyamuk agas sebagai penyebab scabies. Nyamuk agas merupakan nyamuk yang khas di desa ini, bentuknya kecil dan bila menggigit maka akan bisa menimbukan bentol gatal-gatal pada kulit disertai dengan keluarnya cairan. Berikut ini penuturan informan Ibu R mengenai penyebab scabies. “Letup api penyebabnya digigit nyamuk agas. Nyamuknya kecil, ada banyak itu disamping rumah. Kalau digigit bisa timbul bentol-bentol kecil rasanya gatal lama-lama bisa keluar air dan bisa menyebar bentolbentolnya.”

Seorang informan Bapak J menuturkan penyebab penyakit ini adalah karena perilaku anak-anak yang sering mandi di air laut dan bermain di tempat yang kotor. Berikut ini penuturannya. “Penyakit kudis karena anak-anak sering mandi di air perlimbahan seperti air laut disamping rumah yang

172

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kotor. Kalau anak-anak sering bermain di tempat kotor seperti di lumpur-lumpur bisa itu dia kena kudis.”

Gejala Scabies Mayoritas masyarakat beranggapan gejala penyakit scabies diawali dengan bentol-bentol merah pada kulit, kemudian bentol semakin membesar disertai dengan keluarnya cairan nanah. Selain itu, luka bentol-bentol pada scabies bila tidak segar diobati akan menyebar ke seluruh tubuh. Seperti pernyataan Informan Ibu A berikut ini. “Awalnya itu pokoknya gatal-gatal terus digaruk-garuk akhirnya timbul koreng kecil. Kalau tidak segera diobati dan digaruk terus-terusan gatalnya bisa merambat sampai perut.”

Pengobatan Scabies Masyarakat terbiasa melakukan pengobatan scabies secara tradisional oleh dukun kampung, namun ada sebagian kecil yang berobat secara medis. Pengobatan secara tradisional dengan menggunakan bahan-bahan dari pohon api-api dan kemenyan. Cara pengobatan yakni dengan membakar pohon kayu api-api. Hasil pembakaran tersebut dimasukkan ke dalam air disertai dengan jampi-jampi kemenyan yang kemudian dimandikan ke penderita. Salah seorang informan Ibu R mengaku lebih mempercayai pengobatan medis. Sebelumnya dia sudah berobat tradisional ke dukun kampung, namun tidak membuahkan hasil. Berikut ini pernyataannya. Ketika sudah diberikan obat oleh dokter barulah ia sembuh.

173

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.14. Pohon Api-api Untuk Penyembuhan Penyakit Scabies Sumber: http://4.bp.blogspot.com/pohon+api+api.jpg

Pantangan Scabies Secara umum masyarakat kurang mengetahui pantangan penyakit ini. Salah seorang informan Ibu A mengatakan pantangan scabies yakni sering mandi di air yang kotor dan sering mengkonsumsi udang. Berikut penuturannya. “Pantangnya sakit letup api dia sering mandi di air perlimbahan yang kotor, banyak makan udang juga pantang.”

Pencegahan Scabies Sebagian besar masyarakat berpendapat cara pencegahan penyakit scabies yang paling ekfektif yakni dengan selalu menjaga kebersihan yaitu dengan selalu mandi dengan air bersih dan menggunakan sabun mandi.

174

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

3.3. Penyakit Tidak Menular Penyakit tidak menular dikenal sebagai penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit tidak menular pada manusia mempunyai durasi panjang dan perkembangan umumnya lambat. Jenis penyakit tidak menular menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, kanker, penyakit pernapasan kronis seperti penyakit obstruksi paru kronis, asma, dan diabetes. Secara umum penyakit tidak menular di Desa Tanjung Pasir jarang ditemui. Sebagian besar jenis penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, dan paru obstruktif kronik masih jarang ditemukan di desa ini. Hanya terdapat beberapa penyakit tidak menular yang memiliki prevalensi tinggi, salah satunya seperti penyakit hipertensi. Selain itu, kejadian penyakit kanker, diabetes militus, dan penyakit jiwa berat juga dijumpai peneliti pada sebagian kecil masyarakat di desa ini. Melihat data profil Puskesmas setempat, hipertensi juga termasuk 10 penyakit tertinggi pada tahun 2013. Pengamatan peneliti di lapangan kejadian hipertensi memang sering dijumpai, namun untuk penyakit lainnya seperti jantung, stroke, dan diabetes militus jarang ditemukan. Rendahnya kejadian penyakit tidak menular kemungkinan besar disebabkan faktor gaya hidup. Walaupun pola konsumsi masyarakat di desa ini berisiko terhadap penyakit stroke, jantung, dan diabetes militus, namun mereka masih melakukan aktifitas berat dan sedang yang teratur terutama aktifitas nelayan. Aktifitas tersebut dimungkinkan menjadi penyeimbang dari pola konsumsi masyarakat tinggi kolesterol.

175

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3.3.1. Hipertensi Hipertensi merupakan penyakit tidak menular tertinggi di Desa Tanjung Pasir. Faktor konsumsi makan menjadi penyebab utama tingginya angka hipertensi. Kondisi geografis desa ini yang berada di pesisir laut dan mayoritas pekerjaan masyarakat sebagai nelayan membuat mereka tidak bisa lepas dari makanan laut. Pengamatan peneliti, disana sebenarnya sudah terdapat kantin atau pasar yang menjual sayuran. Namun, dari hasil wawancara sebagian masyarakat lebih memilih makanan laut dan ikan asin daripada sayuran. Mereka mengaku lebih suka makanan tersebut karena mudah didapatkan dan harganya murah. Masyarakat Etnik Laut di desa ini hampir setiap hari mengkonsumsi makanan laut seperti kerang, udang dan ikan asin. Kandungan garam dan lemak pada makanan tersebut sangat tinggi, sehingga bila konsumsinya tinggi akan berisiko hipertensi. Anggapan Masyarakat Pengetahuan masyarakat Etnik Laut mengenai hipertensi tergolong modern. Pandangan mereka mengenai penyakit ini sudah mengarah ke tindakan medis. Namun, dari kebiasaan mereka berobat ada beberapa yang masih melakukannya dengan cara tradisional. Sebagian informan mengatakan hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi, masyarakat disini biasa menyebutnya darah tinggi. Penderita hipertensi tensinya bisa sampai 180 mmHg.

176

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Penyebab Hipertensi Mayoritas masyarakat menganggap hipertensi disebabkan oleh konsumsi makanan laut, aktifitas tinggi, dan stress. Konsumsi makanan laut yang tinggi merupakan penyebab utama hipertensi. Di sisi lain, masyarakat di desa ini tetap mengkonsumsinya walaupun mereka sudah mengetahui makanan tersebut bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko hipertensi. Kondisi georafis di pesisir laut dan pekerjaan utama adalah nelayan, sehingga memudahkan mereka mendapat makanan laut dan akses yang sulit untuk mencari makanan lain. Hal ini menjadi faktor utama konsumsi tinggi makanan laut. Beberapa informan mengaku bila terlalu sering mengkonsumsi makanan laut seperti kerang, udang, dan ikan asin bisa membuat kepala pusing dan ngilu yang menurutnya merupakan tanda hipertensi. Seperti pernyataan informan Ibu Z berikut ini. “Biasanya kalau banyak makan kerang, udang, dan ikan asin bisa membuat kepala menjadi pening terus pandangan jadi kabur seperti tanda-tanda darah tinggi.”

Selain pola konsumsi, tingkat aktifitas yang tinggi juga menjadi faktor penyebab hipertensi. Menurut beberapa informan, aktifitas tinggi sering menimbulkan kecapekan. Akibat dari kecapekan itu bisa menimbulkan gejala-gejala hipertensi. Seperti pernyataan informan Bapak A berikut ini. “Kalau kita banyak kerja akhirnya badan jadi sering capek. Kadang kalau terlalu capeknya bisa timbul pening, pandangan kabur, dan lemas. Tensi kita bisa tinggi itu.”

177

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.15. Aktifitas Salah Seorang Informan Sedang Memasak Udang Berisiko Hipertensi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gejala Hipertensi Gejala hipertensi menurut anggapan masyarakat yaitu pusing kepala, pandangan kabur, dan lemas. Terutama yang paling sering dirasakan masyarakat adalah pusing kepala dan pandangan kabur. Ketika merasakan gejala tersebut, mereka menganggapnya sebagai gejala hipertensi. Berikut penuturan informan Bapak A: “Rasanya darah tinggi itu macam kepala pening, badan lemah, sama pandangan kabur. Segera lah diperiksa tensinya.”

Pengobatan Hipertensi Masyarakat disini melakukan pengobatan hipertensi dengan cara pengobatan medis dan pengobatan tradisional. Pengobatan medis dilakukan dengan cara mengukur tekanan 178

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

darah sistole/diastole di pustu dan lalu meminta obat. Sedangkan pengobatan tradisional masyarakat biasa memakan daun sop untuk menurunkan tekanan darah sistolenya.

Gambar 3.16. Daun Sop Dipercaya Bisa Mengurangi Tekanan Darah Tinggi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sebagian informan mengaku melakukan pengobatan tradisional terlebih dahulu dengan makan daun sop bila mulai merasakan gejala hipertensi. Mereka baru melakukan pengobatan ke medis ketika pengobatan tersebut tidak manjur. Berikut ini pernyataan informan Bapak A. “Pengobatannya makan daun sop selama 1 minggu, kalau tidak sembuh dibawa ke puskemas diperiksa tensinya. Kalau parah biasanya diinfus satu hari.”

Pantangan Hipertensi Pantangan penyakit hipertensi utamanya adalah pola konsumsi yang mengandung kolesterol tinggi. Makanan laut 179

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

seperti udang, kerang, dan ikan asin adalah makanan yang mengandung kolesterol tinggi. Jika konsumsi makanan tersebut berlebihan akan berisiko hipertensi. Masyarakat Desa Tanjung Pasir sudah mengetahui pantangan-pantangan penyakit hipertensi, namun mereka tetap sering mengkonsumsi makanan laut, padahal mereka sudah mengetahui bahwa makanan tersebut merupakan pantangan hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. Pencegahan Hipertensi Pencegahan hipertensi yakni dengan cara mengatur pola konsumsi dan gaya hidup. Pengaturan pola konsumsi dengan meminimalisir makanan tinggi lemak dan pola gaya hidup dengan menghindari aktifitas berlebihan, serta meminimalisir stress merupakan cara yang efektif mencegah hipertensi. Selain itu, penanganan tanggap hipertensi dengan segera minum obat anti hipertensi atau obat tradisional penurun tekanan darah juga penting untuk mencegah hipertensi berat. Seperti anggapan informan Bapak M dan Ibu Z berikut ini. “Tidak boleh banyak kerja agar tidak kecapekan. Terlalu capek dan banyak pikiran tensinya bisa naik. Kalau tensi naik segera berobat ke dokter atau makan daun sop agar tidak parah sakitnya.” “Kalau tensi naik jangan makan makanan laut. Makannya sayur-sayuran seperti kangkung agar turun tensinya.”

3.3.2. Diabetes Militus Diabetes Militus merupakan penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan naiknya gula darah diatas nilai normal yakni 200 mg/dl. Gangguan metabolisme gula darah disebabkan kekurangan kadar insulin dalam tubuh. 180

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Diabetes militus masih jarang ditemukan di desa ini. Dari seluruh masyarakat, hanya ditemukan 1 penderita diabetes militus. Namun, rendahnya kejadian penyakit ini tidak boleh diabaikan. Kejadian hipertensi yang mulai tinggi akan menjadi faktor pencetus timbulnya diabetes militus. Anggapan Masyarakat Masyarakat menganggap Diabetes Militus sebagai penyakit dengan kadar gula yang tinggi di dalam tubuh. Penyakit ini ditandai dengan adanya luka di tubuh yang tidak kunjung sembuh. Diabetes Militus dikenal masyarakat dengan istilah kencing manis. Rendahnya kejadian Diabetes Militus karena kebiasaan masyarakat yang sering mandi air laut dengan kandungan garam yang tinggi. Seperti pernyataan informan Bapak N berikut ini. “Kencing manis kalau kita luka itu tidak mau sembuh karena terlalu banyak kadar gula didalam tubuh, malah luka itu akan membesar dan mengeluarkan air. Orang disini jarang ada yang terkena kencing manis karena sering mandi air laut yang banyak kandungan garamnya.”

Informan lain menganggap Diabetes militus ditandai dengan kadar gula darah dalam tubuh lebih dari 200 mg/dl. Berikut pernyataan informan Bapak R. “Dulu waktu kencing manis, gula darah saya sudah sampai 500 mg/dl, saran dokter usahakan bagaimana caranya bisa turun dibawah 200 mg/dl.”

181

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Penyebab Diabetes Militus Pola konsumsi masyarakat desa ini dengan makanan laut tinggi kandungan lemak merupakan fator risiko Diabetes Militus. Asupan lemak yang berlebihan di dalam tubuh sejalan dengan peningkatan glukosa dalam tubuh. Hal ini berkorelasi dengan pendapat masyarakat yang mengkonsumsi konsumsi gula secara berlebihan sebagai penyebab utama Diabetes Militus. Berikut ini penuturan informan Bapak R mengenai penyebab Diabetes Militus. “Kencing manis itu karena kebanyakan minum gula, makanya harus dikurangi lah itu. Sering makan malam juga bisa menyebabkan kencing manis.”

Gejala Diabetes Militus Semua informan yang ditemui peneliti menganggap gejala Diabetes Militus seperti badan lemah, panas dingin, rasa haus berlebihan, dan sering kencing. Informan Bapak R mengaku dalam satu hari kencing sampai 10 kali dan disertai rasa haus yang berlebihan. Berikut ini pernyataannya. “Gejalanya selalu panas dingin, badan lemah, haus terus, satu malam mau 10 kali kencing, setelah itu mulai timbul bisul-bisul kecil sakitnya bukan main.”

Pengobatan Diabetes Militus Pengobatan penyakit ini dilakukan masyarakat dengan cara tradisional dan medis. Pengobatan tradisional dengan cara mengoleskan kunyit pada luka di kulit. Pengobatan medis dengan cara suntik insulin untuk menambah kadar hormone insulin pada tubuh. Berikut pernyataan informan Bapak N dan Bapak R mengenai pengobatan Diabetes Militus. 182

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Kencing manis kalau luka obatnya dari kunyit dan garam. Cara pengobatannya kunyit ditumbuk dicampur garam terus dioleskan di korengnya (lukanya). Biasanya cepat kering lukanya kalau dioleskan setiap hari. Kita mencontoh dari ikan yang dipotong. Supaya ikan ini dagingnya tidak busuk dan tetap segar dikasihlah kunyit dan garam.” “Jadi karena tak tahan sakit dibisulnya akhirnya berobat ke dokter. Berobat ke dokter diberi suntik insulin.”

Pantangan Diabetes Militus Hampir semua informan berpendapat pantangan Diabetes Militus adalah konsumsi gula secara berlebihan. Salah satu informan menyebut pantangan penyakit ini adalah terlalu sering makan nasi dingin dan makan di malam hari. berikut ini pernyataan informan Bapak R. “Kalau sudah kena kencing manis pantangnya itu jangan sering makan gula, jangan seirng makan malam, dan jangan makan nasi dingin.”

Pencegahan Diabetes Militus Sebagian informan mengatakan pencagahan Diabetes Militus dengan mengganti gula tebu ke gula jagung dan terartur minum air putih 2 liter perhari. Beberapa informan juga menganggap minuman pahit sebagai pencegahan Diabetes Militus. Berikut ini pernyataan informan Bapak R. “Pencegahan kencing manis itu dengan minuman yang pahit dan mengganti gula biasa ke gula jagung. Selain itu,

183

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

minum air putih harus teratur, kalau bisa 2 liter tiap hari.”

3.3.3. Kanker Kejadian kanker di Desa Tanjung Pasir tergolong rendah. Berdasarkan data Pustu setempat hanya terdapat 2 penderita kanker. Menurut petugas Pustu, hampir semua penderita kanker masih melakukan pengobatan tradisional karena pengobatan medis memerlukan biaya yang besar. Kondisi ekonomi masyarakat desa ini yang tergolong pra sejahtera membuat mereka tidak bisa mengikuti pengobatan kanker secara medis yang membutuhkan biaya besar. Masyarakat sebenarnya sudah memiliki keinginan untuk berobat kanker secara medis, namun faktor biaya yang tinggi memaksa mereka berobat secara tradisional. Anggapan Masyarakat Secara umum masyarakat sudah mengetahui penyakit kanker. Masyarakat Desa Tanjung Pasir menyebutnya dengan istilah penyakit barah. Mereka menganggap kanker penyakit dengan kondisi bengkak pada tubuh disertai dengan cairan nanah pada bengkak tersebut. Kanker dianggap masyarakat sebagai penyakit yang mematikan. Anggapan mereka, kanker harus segaera diobati karena bila terlambat diobati akan berakibat kematian. Masyarakat juga sudah mengetahui beberapa jenis kanker, seperti kanker nasofaring, kanker tenggorokan, kanker payudara, dan kanker lambung. Informan Bapak A menganggap penyakit kanker dengan istilah penyakit barah. Kanker merupakan penyakit bengkak dalam perut dan terdapat cairan nanah dalam bengkak tersebut. 184

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Cairan nanah pada bengkak tersebut harus dikeluarkan karena jika cairan tersebut dibiarkan di dalam akan berakibat kematian. Berikut ini pernyataannya. “Orang Etnik laut menganggap kanker dengan sebutan penyakit barah. Penyakitnya dalam perut itu bengkak dalam isinya cairan nanah. Bengkaknya harus dilubangi agar cairan nanahnya bisa keluar diluar, kalau cairan nanah dibiarkan didalam berbahaya, bisa jadi mati dia.”

Penyebab Kanker Masyarakat memiliki anggapan bermacam-macam mengenai penyebab kanker. Mereka menganggap faktor konsumsi, faktor perilaku seks menyimpang dan darah kotor sebagi penyebab kanker. Informan Bapak J mengungkapkan penyebab kanker karena alergi makanan udang. Terlalu sering mengkonsumsi udang dalam jangka panjang akan menyebabkan timbulnya tumor kanker. Berikut ini pernyataannya. “Kanker itu karena alergi makanan udang. Orang kalau sering makan udang banyak lama-lama bisa timbul bengkak (tumor).”

Penyebab lain kanker adalah karena darah kotor. Darah kotor bila tidak dikeluarkan dan dibiarkan lama didalam tubuh akan menyebabkan timbulnya kanker. Seperti pernyataan Informan Bapak A berikut ini. “Awalnya kanker (barah) itu karena darah kotor yang dibiarkan lama didalam tubuh. Darah kotor dalam tubuh kalau tidak dikeluarkan lama-lama bisa timbul tumor (bengkak).”

185

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Salah seorang informan mengatakan penyebab kanker karena perilaku seks menyimpang yakni sering berganti-ganti pasangan dan memakai pakaian dalam yang tidak steril. Berikut ini pernyataan informan Ibu F. “Penyebabnya kalau kata orang kita karena sering berhubungan dengan sembarang laki-laki (berganti-ganti pasangan). Selain itu, kata orang juga karena sering pakai pakaian dalam bekas PSK yang tidak bersih.”

Gejala Kanker Semua informan yang ditemui peneliti memiliki anggapan yang sama mengenai gejala penyakit kanker. Gejala Kanker diawali rasa nyeri pada bagian tumor, lemas, dan tidak nafsu makan. Berikut ini pernyataan informan Ibu I. “Pertama itu rasanya nyeri (nyut-nyut), kemudian mulai timbul bisul kemerahan membesar, dibuat makan tidak selera, badan rasanya lemah, kalau terlampau lemah merambat ke kaki sampai tidak bisa berjalan.”

Pengobatan Kanker Sebagian besar informan mengaku melakukan terlebih dahulu melakukan pengobatan medis kemudian berpindah ke pengobatan tradisional. Ketika berobat secara medis, mereka tidak mampu dengan biaya operasi yang besar. Kondisi tersebut membuat mereka beralih ke pengobatan tradisional. Pengobatan tradisonal dilakukan oleh dukun kampung. Setiap dukun kampung memiliki cara dan bahan pengobatan yang berbeda-beda. Beberapa informan mengungkapkan pengobatan kanker menggunakan bahan alami yakni kunyit, kelapa, nipah, bawang putih, dan sabun buku. Bahan tersebut

186

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dicampur dan diaduk untuk dijadikan bedak kemudian dioleskan ke tumor penderita. Khasiat dari olesan bedak tersebut adalah bisa mengeluarkan cairan nanah pada tumor. Berikut ini ungkapan informan Bapak A mengenai pengobatan tradisional Kanker. “Obatnya dari kunyit, dari tombong kelapa, tombong nipah, bawang putih dicampur dan ditumbuk kemudian dijadikan seperti bedak. Bedaknya itu kemudian dioleskan ke bisul (tumor) yang sudah sedikit dilubangi dengan tusukan jarum atau pisau dengan ditambah olesan sabun buku. Ini akan membuat bekas sehingga timbul merah pada bisul (tumor) akhirnya lama-lama rasanya panas kemudian pecah, dia akan keluar cairan nanahnya.”

Selain itu ada juga yang mengobati dengan bahan dasar cuka, yaitu salah satu contohnya adalah pada pengobatan kanker nasofaring Cuka makanan tersebut dioleskan dengan jari tangan ke tumor didalam hidung. Olesan tersebut dilakukan selama 7 hari, setelah itu tumor akan mulai mengecil.

Gambar 3.17. Kunyit Untuk Bahan Dasar Pengobatan Kanker Sumber: Dokumentasi Peneliti 187

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Salah seorang informan penderita kanker payudara melakukan pengobatan secara medis terbih dahulu, namun karena terkendala masalah biaya akhirnya beralih ke pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional oleh dukun kampung dengan bahan obat alami yakni beras, tepung, pinang, dan bawang putih yang dicampur, digiling dan dijemur untuk dijadikan bedak. Bedak tersebut dioleskan pada luka tumor di payudara. Selain itu, air putih dan jampi-jampi juga diberikan untuk obat tambahan. Khasiat obat tersebut bisa mengeluarkan cairan nanah pada tumor dan menghilangkan rasa nyeri pada tumor. Ketika mulai ada perubahan penyakit, maka dilakukan ritual berkunci tujuannya agar kanker tersebut benar-benar sembuh dan tidak kambuh lagi. “Setelah ada perubahan penyakit hampir sembuh, mulai melakukan ritual berkunci dari jarum, benang, asam lada.”

Pantangan Kanker Sebagian besar masyarakat menganggap pantangan kanker yakni makanan dan aktifitas. Menurut mereka makanan seperti udang dan makanan mengandung glukosa tinggi adalah pantangan penyakit kanker. Faktor aktifitas yakni kelelahan kerja juga dianggap sebagai pantangan penyakit ini. Berikut ini pernyataan informan Bapak J dan Ibu I mengenai pantangan kanker. “Pantangannya itu makanan seperti udang sama makanan yang banyak induk gulanya.” “Pantangannya seperti kerja berat macam angkat-angkat barang berat. Kalau kerja berat nanti bisa kambuh lagi. Tiap kali kerja berat terus kecapekan, mulai lah timbul rasa nyeri.” 188

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pencegahan Kanker Semua informan yang ditemui peneliti berpendapat cara pencegahan kanker yang paling utama adalah dengan teratur minum obat dan mengatur tingkat aktifitas. Mereka menuturkan dengan minum air putih dengan jampi-jampi dukun kampung bisa mencegah penyakitnya supaya tidak kambuh. Seperti pernyataan Ibu F berikut ini. “Sama dukun kampung disuruh minum air putih yang sudah dijampi-jampi setiap hari agar sakit kankernya (barah) tidak kambuh lagi.”

Informan Ibu I mengatakan dengan mengatur pola aktifitas juga bisa mencegah timbulnya kanker. Dengan mengurangi pekerjaan berat dan istirahat yang cukup bisa mencegah kekambuhan kanker. Berikut ini penuturannya. “Waktu kerja berat mulai terasa capek harus istirahat itu. Kalau kerja berat terus kecapekan tidak istirahat bisa kambuh nyerinya.”

3.3.4. Stroke Kejadian stroke di Desa Tanjung Pasir bisa dikatakan nihil. Berdasarkan data profil Puskesmas, kejadian stroke adalah 0%. Hal ini berbanding terbalik, jika dilihat dari kejadian hipertensi yang tinggi dan pola konsumsi mayarakat yang berisiko stroke. Menurut penuturan petugas kesehatan setempat, angka kejadian stroke nihil kemungkinan besar berhubungan dengan aktifitas masyarakat sebagai nelayan. Pola konsumsi yang berisiko dan kejadian hipertensi yang tinggi kemudian diimbangi dengan pola aktifitas yang teratur seperti halnya nelayan menyebabkan nihilnya kejadian stroke di desa ini. Hal ini juga didukung dengan rendahnya kejadian 189

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

diabetes melitus dan jantung, serta tingkat obesitas masyarakat yang rendah. Anggapan Masyarakat Masyarakat menganggap stroke dengan istilah penyakit lumpuh. Sebagian informan menuturkan stroke seperti penyakit lumpuh yang menyerang tulang. Mereka mengibaratkan tulang penderita stroke seperti kapas karena sudah tidak bisa berfungsi normal. Seperti pernyataan informan Bapak M berikut ini. “Penyakit stroke itu seperti penyakit lumpuh tidak bisa jalan. Orang yang kena stroke itu tulangnya seperti kapas karena sudah tidak bisa dipakai lagi.”

Penyebab Stroke Beberapa informan mengatakan penyebab stroke karena makanan yang beracun. Mereka menganggap ikan laut yang ditangkap dengan putas akan menyebabkan kelumpuhan. Racun pada ikan laut akan menyebabkan urat menjadi keras dan bisa mengakibatkan kelumpuhan. Seperti pernyataan informan Bapak A berikut ini. “Stroke penyebabnya karena ikan laut yang ditangkap pakai racun. Racunnya itu bisa membuat urat jadi tambah keras. Urat kalau sudah tidak beres bisa menjadi lumpuh tidak bisa jalan.”

Gejala Stroke Sebagian besar informan berpendapat bahwa gejala stroke adalah pandangan kabur, badan lemah, dan badan mati sebelah (tidak bisa bergerak). Berikut ini penuturan informan Bapak A dan Bapak N mengenai gejala stroke.

190

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Waktu kita bekerja terus merasa pandangan kabur, makan tidak boleh berjalan dan harus istirahat dulu, karena itu adalah gejala stroke.” “Gejalanya itu badan mati sebelah sudah bisa bergerak. Kalau sudah seperti itu berarti gejala stroke harus segera diobati.”

Pengobatan Stroke Semua informan yang ditemui peneliti berpendapat mengenai pengobatan stroke hanya bisa dilakukan secara medis oleh dokter. Ada salah satu informan yang menganggap penyakit stroke sudah tidak bisa diobati. Berikut ini pendapat informan Bapak A dan Bapak M megenai pengobatan stroke. “Stroke itu pengobatannya ke dokter lah yang bisa, kalau berobat ke dukun kampung tidak mempan itu.” “Orang kalau sudah lumpuh tidak bisa bergerak itu sudah tidak bisa diobati. Tinggal nunggu kematiannya itu orang.”

Pantangan Stroke Sebagian informan kurang mengetahui pantangan stroke, namun ada beberapa informan yang menganggap makanan mewah seperti daging dan ayam, serta makanan beracun adalah pantangan stroke. Seperti pernyataan informan Bapak N berikut ini. “Pantangannya itu terlalu sering makanan mewah seperti ayam sama daging. Selain itu, orang kalau sering makan ikan laut yang ada racunnya juga bisa kena stroke.

191

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pencegahan Stroke Secara umum informan kurang mengetahui cara pencegahan penyakit stroke. Beberapa informan mengatakan pencegahan stroke dengan cara menjaga kebersihan makanan. Seperti yang diungkapkan informan Bapak A berikut ini. “Pencegahannya itu selau menjaga makanan agar tetap bersih. Sebelum makan, kita tengok dulu makanan itu bersih atau tidak.”

3.3.5. Penyakit Jiwa berat Kejadian Penyakit jiwa berat (skizophrenia) di Desa Tanjung Pasir bisa dikatakan masih rendah. Melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat yang termasuk golongan pra-sejahtera bisa berisiko terhadap penyakit ini. Selain itu perilaku masyarakat yang masih sering minum minuman keras disertai dengan obatobatan terlarang berpotensi sebagai faktor risiko penyakit ini. Tradisi khas yang melekat pada masyarakat Desa Tanjung Pasir menganggap penyakit jiwa bukan sebagai penyakit medis dan pengobatannya hanya bisa dilakukan secara tradisional. Anggapan Masyarakat Masyarakat Desa Tanjung Pasir memiliki bermacammacam presepsi mengenai penyakit jiwa berat. Sebagian masyarakat mengkategorikan penyakit ini menjadi 2 macam yakni penyakit jiwa berasal dari gangguan orang halus dan penyakit jiwa karena keturunan. Penyakit jiwa berat biasa disebut dengan istilah penyakit gilu. Seperti penuturan informan Bapak M berikut ini.

192

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Penyakit gila ini bermacam-macam, ada yang terkena dari hantu iblis, ada juga yang terkena dari dalam jiwa karena keturunan. Orang sakit gila biasanya merasa mendapat jeritan dari makhluk halus. Orang Etnik Laut biasa menyebutnya dengan istilah penyakit gilu.”

Beberapa informan lain menggambarkan penyakit jiwa berat seperti orang yang suka melakukan tindakan di luar batas kewajaran tanpa sadar. Berikut ini uraian informan Bapak A mengenai penyakit jiwa berat. “Orang yang sakit gila itu suka hidup semaunya. Orangnya sering tidak sadar kalau hidupnya tidak wajar. Yang paling saya jumpai macam orang yang suka menjerit dan ngomong sendirian, bernyanyi dan berjoget sendiri di tengah jalan.”

Gambar 3.18. Salah Seorang Informan Penderita Penyakit Jiwa Berat Sumber: Dokumentasi Peneliti

Penyebab Penyakit Jiwa berat Penyebab penyakit jiwa berat bermacam-macam. Masyarakat mengkategorikan penyebab penyakit ini menjadi 3 yakni penyakit jiwa karena gangguan makhluk halus, penyakit

193

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

jiwa karena sering mengkonsumsi obat-obat terlarang, dan penyakit jiwa karena melanggar nadzar. Informan Bapak A menganggap penyakit jiwa berat disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Berikut ini pernyataannya. “Orang sakit gila ini karena gangguan makhluk halus. Biasanya dia suka merusak atau menginjak rumah makhluk halus saat beraktifitas di hutan dan laut. Karena dia berulah merusak itu membuat makhluk halus marah, akhirnya diganggulah dia itu, jadilah dia gila.”

Penyakit jiwa berat juga bisa disebabkan oleh orang yang suka melanggar nadzar. Sebagian masyarakat menganggap orang yang suka melanggar nadzar akan terkena adzab penyakit gila. Seperti penuturan informan Bapak A berikut ini. “Orang kalau suka melanggar nadzar itu bisa sakit gila. Biasanya orang itu sering melanggar nadzar dan tidak menepati janji jadilah orang itu terkutuk jadi gila.”

Sebagian masyarakat juga menganggap obat-obatan terlarang sebagai penyebab gangguan jiwa berat. Konsumsi obatobatan terlarang yang marak di desa ini adalah pil dekstro. Konsumsi pil desktro secara berlebihan bisa menyebabkan gangguan jiwa berat. Seperti yang diungkapkan informan Bapak DA berikut ini. “Orang gila itu biasanya karena sering makan obat-obat berat macam pil dekstro. Dia dulu kuat mabuk pil dekstro, lama-lama bisa jadi gila.”

Gejala Penyakit Jiwa berat Mayoritas masyarakat kurang mengetahui gejala-gejala penyakit jiwa berat. Namun, ada salah satu informan yang mengungkapkan gajala penyakit ini diawali dengan halusinasi 194

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

pikiran, emosi labil, dan waham. Berikut ini pernyataan informan Bapak DA mengenai gejala penyakit jiwa berat. “Orang gila dia pikirannya sudah tidak tentu. Kalau sudah datang penyakitnya dia ngamuk semua benda disekitarnya dipecah, ada juga yang mau terjun ke laut. Mata dia sudah punya pemandangan lain.”

Pengobatan Penyakit Jiwa Berat Masyarakat menganggap pengobatan penyakit jiwa berat tidak bisa dilakukan secara medis dan hanya bisa dilakukan secara tradisional. Pengobatan tradisional oleh dukun kampung dengan bahan air dan kemenyan. Teknik pengobatan dengan cara menjampi-jampi air putih dengan asap kemenyan untuk selanjutnya diminum dan dibuat mandi oleh penderita. Berikut pernyataan informan Bapak A. “Obatnya pakai asap kemenyan, nanti asapnya disemburkan kedalam air. Air yang sudah dijampi-jampi kemenyan itu bisa diminum dan dibuat mandi. Kalau penyakit ini dokter tidak bisa, harus dengan dukun kampung, kalau penyakit dalam macam darah tinggi dokter yang bisa.”

Beberapa informan mengungkapkan pengobatan penyakit ini melalui syair-syair kitap suci agama. Bahkan, pengobatan ini sudah sering dilakukan oleh masyarakat di desa ini. Seperti yang diungkapkan informan Bapak DA berikut ini. “Orang sakit gila bisa disembuhkan lewat syair-syair. Orang-orang tua Etnik laut sudah banyak yang melakukan. Biasanya dijampi melalui syair bacaan AlQuran bisa cepat sembuh.”

195

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pantangan Penyakit Jiwa Berat Menurut beberapa informan pantangan penyakit ini adalah tindakan mengganggu roh halus dan pantangan berupa buah-buahan. Berikut ini pernyataan informan Bapak A dan Bapak DA mengenai pantangan penyakit jiwa berat. “Pantangan orang sudah kena sakit gila itu waktu melihat orang meninggal dan khusus perempuan mandinya menghadap ke hutan karena akan mengganggu makhluk halus yang menunggu hutan.” “Pantangannya itu makan buah nanas. Orang sakit gila yang berobat tidak boleh makan nanas selama 3 hari.”

Pencegahan Penyakit Jiwa Berat Masyarakat mayoritas banyak yang belum mengetahui pencegahan penyakit ini. Salah satu informan dukun kampung mengatakan pencegahan penyakit ini adalah dengan ritual berkunci. Ritual berkunci ini bertujuan untuk mengusir makhluk halus agar tidak kembali lagi. Bahan yang harus disiapkan dalam ritual ini adalah asam, garam, jarum, dan benang. Bahan tersebut dipercaya sebagai makanan dan bisa membuat makhluk halus tidak mengganggu kembali. Seperti penuturan informan Bapak A berikut ini. “Untuk mencegah orang sakit gila supaya tidak kambuh lagi, harus ada kunci penyakit. Kunci penyakit bahannya dari asam, garam, benang, sama jarum. Kalau dia tidak mau berkunci akan balik lagi penyakitnya. Kunci penyakit ini bisa dibuat makanan makhluk halus sehingga dia tidak mengganggu lagi.”

196

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Visi pembangunan kesehatan Indonesia saat ini dicerminkan dengan penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat. Visi ini dijabarkan menjadi masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat, dengan mengajak serta memotivasi masyarakat dan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk mengubah pola pikir dari sudut pandang sakit menjadi sudut pandang sehat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan perwujudan riil paradigma sehat dalam budaya hidup perorangan, keluarga dan masyarakat yang berorientasi sehat, bertujuan untuk meningkatkan, memelihara dan melindungi kesehatannya (Depkes RI, 2006). Adapun sasaran PHBS mencakup lima tatanan, yakni tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum dan sarana kesehatan. Sasaran PHBS tatanan rumah tangga adalah seluruh anggota keluarga yaitu: pasangan usia subur, ibu hamil dan atau ibu menyusui, anak dan remaja, usia lanjut, dan pengasuh anak. Terdapat 10 indikator PHBS tatanan rumah tangga, yaitu; (1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, (2) Bayi diberi ASI ekslusif, (3) melakukan penimbangan bayi dan balita (usia 0-59 bulan), (4) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, (5) Ketersediaan jamban sehat, (6) Melakukan aktifitas fisik setiap hari, (7) Makan buah dan sayur setiap hari, (8) Tidak merokok di dalam rumah, (9) Penggunaan air bersih, dan (10) Memberantas jentik nyamuk (Depkes RI, 2006). Pembahasan indikator PHBS ini tidak mencangkup Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, Bayi diberi ASI ekslusif, dan melakukan penimbangan bayi dan balita (usia 0-59 bulan) karena sudah dibahas pada sub-bab sebelumnya.

197

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3.4.1. Perilaku Cuci Tangan Mencuci tangan dengan air dan sabun adalah mencuci tangan di air mengalir dan memakai sabun sehingga dapat menghilangkan berbagai macam kuman dan kotoran yang menempel di tangan, dampaknya tangan bersih dan bebas kuman (Depkes RI, 2006). Mencuci tangan hendaknya setiap kali sebelum makan dan melakukan aktifitas yang menggunakan tangan, seperti memegang uang dan hewan, setelah buang air besar, sebelum memegang makanan maupun sebelum menyusui bayi. Mayoritas masyarakat Desa Tanjung Pasir selalu mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan. Namun, mayoritas mereka mengaku tidak menggunakan sabun. Mereka terbiasa menggunakan air bor untuk mencuci tangan. Berikut pernyataan salah seorang informan Bapak S. “Sebelum makan cuci tangan pakai air bor tapi tak pakai sabun, kalau tangan bau beneran baru cuci pakai sabun. Kalau masak sayur dicuci, kalau tak dicuci kumannya akan terus melekat di sayur.”

Beberapa informan mengatakan selalu mencuci tangan dengan sabun setelah menceboki bayi dan buang air besar. Seperti penuturan informan Ibu NA berikut ini. “Setelah menceboki bayi, setelah buang air besar selalu cuci pakai sabun supaya kumannya tidak lengket di tangan.”

Selain itu, salah seorang informan Bapak S mengaku tidak pernah mencuci tangan sebelum makan karena telah menggunakan sendok. Dia juga mengaku merasakan pusing dengan aroma sabun ketika mencuci tangan. Berikut ini pernyataannya.

198

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Jarang cuci tangan sebelum makan karena sudah pakai sendok. Kalau sesudah berak cuma cuci tangan aja tak pakai sabun karena tak kuat bau sabun.”

Menurut Promotion Glossary WHO, tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia, makanan minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan sabun dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang tidak sadar bahwa dirinya sedang ditularkan. Dari pengamatan peneliti sering menjumpai anak-anak yang makan di sembarang tempat dengan kondisi tangan yang tidak bersih. Mereka memiliki kecenderungan ketika selesai bermain dan langsung memakan jajanan dengan beberapa teman bermainnya tanpa mencuci tangan sebelumnya. Kondisi tersebut bisa menjadi indikator tingginya kejadian diare pada anak-anak di desa ini.

Gambar 3.19. Anak-Anak Makan Bersama Tanpa Memperhatikan Kebersihan Tangannya Sumber: Dokumentasi Peneliti

199

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3.4.2 Pemakaian Jamban Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran atau septitank dan air untuk membersihkannya (Depkes RI, 2006). Sebagian besar masyarakat di desa ini tidak memiliki septitank pada jambannya. Mereka sudah terbiasa membuang fecesnya langsung ke laut. Mereka berkeyakinan limbah fecesnya akan hilang terbawa pasang surut air laut. Berikut pernyataan informan Ibu E. “Jamban tidak pakai septic tank karena kotoran langsung ke laut dan terbawa pasang surut air, air disini sering pasang tak pernah kering, jadi kotorannya ikut terbawa ke laut.”

Gambar 3.20. WC Cemplung yang Biasa Ditemui di Rumah Masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti

200

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Ada beberapa syarat untuk jamban sehat, yakni tidak mencemari sumber air minum, tidak berbau, tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah sekitarnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi udara yang cukup, lantai kedap air, tersedia air, sabun dan alat pembersih (Depkes RI, 2006). Berdasarkan observasi oleh peneliti, mayoritas masyarakat juga tidak memiliki WC di rumahnya. Mereka hanya melubangi papan lantai di kamar mandinya dengan bentuk persegi panjang yang digunakan untuk buang air besar. Selain itu sebagian besar jamban tidak dilengkapi atap, sabun, dan dinding yang dibuat dari bahan plastik. Sebagian masyarakat mengaku risih dan jijik bila buang air besar menggunakan WC dengan septic tank. Mereka mengaku bila menggunakan septic tank berarti juga menampung kotoran di rumah. Tingginya kejadian diare dan infeksi kulit tidak lepas dari sistem pembuangan langsung limbah feces di sungai dan kebiasaan masyarakat di desa ini yang masih sering mandi di sungai. Sebagaimana dikemukakan Depkes RI tahun 2006, kejadian diare dan infeksi kulit dari berbagai faktor muaranya masih akan berujung pada masalah jamban, air bersih dan perilaku. Tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial budaya dan perilaku penduduk yang terbiasa buang air besar (BAB) di sembarang tempat, khususnya ke badan air yang juga digunakan untuk mandi dan kebutuhan higienis lainnya. 3.4.3. Perilaku Membuang Sampah Pengamatan yang dilakukan peneliti selama 2 bulan, mayoritas rumah-rumah di desa ini tidak memiliki tempat pembuangan sampah. Bahkan di Desa Tanjung Pasir sendiri tidak 201

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

memiliki sarana pembuangan sementara dan pembuangan akhir sampah. Berdasarkan observasi, mayoritas masyarakat melakukan pembuangan sampah langsung dibawah rumahnya. Mereka memiliki anggapan sama dengan pembuangan limbah feces yakni sampah yang terbuang dibwah rumah akan hilang terbawa pasang surut air laut.

Gambar 3.21. Kondisi Sampah Yang Bertumpuk di Sekitar Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Namun hal ini sangat ironis dengan kondisi yang sebenarnya. Sampah yang dibuang dibawah rumah diyakini akan hilang dengan pasang surut air laut, kenyataannya malah menimbulkan penumpukan sampah karena adanya sampah kiriman dari pasang laut. Penumpukan sampah hampir selalu tampak di sudut-sudut di desa ini, sehingga terlihat kumuh dan berpotensi menjadi tempat perindukan bakteri-bakteri penyakit.

202

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Kondisi lingkungan di pesisir pantai dengan kondisi pasang surut air laut memudahkan masyarakat memanfaatkan lingkungan di sekitarnya untuk melakukan aktifitas apapun, termasuk buang sampah sembarangan tanpa memperhatikan cara pengelolaannya. Menurut Tobing (2005), pengelolaan sampah yang kurang baik dapat memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan, lingkungan, maupun bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Sampah merupakan tempat berkembangnya berbagai parasit, bakteri, dan patogen. Sedangkan, secara tak langsung sampah merupakan sarang berbagai vektor (pembawa penyakit) seperti tikus, kecoa, lalat dan nyamuk. Buruknya pengelolahan sampah di desa ini bisa menjadi faktor pencetus tingginya kejadian diare, infeksi kulit (scabies), dan ISPA. 3.4.4. Aktifitas Fisik Setiap Hari Aktifitas fisik, baik berupa olahraga maupun kegiatan lain yang mengeluarkan tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Jenis aktifitas fisik yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari yakni berjalan kaki, berkebun, mencuci pakaian, dan lain-lainnya. Aktifitas fisik berdasarkan indikator Riskesdas tahun 2013 terdiri dari aktifitas berat, aktifitas sedang, dan aktifitas ringan. Secara umum aktifitas sehari-hari masyarakat Desa Tanjung Pasir adalah nelayan dan ibu rumah tangga. Ada beberapa informan yang sehari-hari bercocok tanam bakau. Berikut ini pendapat salah seorang informan Bapak A. “Menurut saya kerja berat macam melaut cari ikan, menanam bakau, kalau aktifitas sedang kerja rumah tangga macam menjahit jarring, mencuci dan menyapu, 203

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

aktifitas ringan itu macam duduk santai menonton TV dan tiduran.”

Mayoritas informan laki-laki di desa ini pekerjaannya adalah sebagai nelayan, sedangkan informan wanita mayoritas aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga, walaupun ada sebagian kecil yang berdagan di pasar maupun di warung. Mereka menganggap aktifitas nelayan sebagai aktiftas berat karena mengeluarkan banyak tenaga. Mereka rata-rata melakukan aktifitas ini 8 jam sehari. Mereka mengaku merasakan nyeri dibadan bila terlalu memforsir aktifitasnya, sebaliknya jika bisa mengatur waktu kerja tubuh akan terasa bugar. Disisi lain Faktor kebugaran tubuh ini yang dimungkinkan bisa memicu rendahnya kejadian penyakit-penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, dan kanker di desa ini, walaupun jika dilihat dari pola konsumsi, mereka berisiko. 3.4.5. Konsumsi Buah dan Sayur Konsumsi sayur dan buah sangat dianjurkan karena banyak mengandung berbagai macam vitamin, serat dan mineral yang bermanfaat bagi tubuh. Setiap anggota rumah tangga umur 10 tahun keatas diharuskan mengkonsumsi minimal 3 porsi buah dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya setiap hari. Makan buah dan sayur setiap hari bertujuan agar tercapai gizi seimbang (Depkes RI, 2006). Sebagian besar informan yang ditemui peneliti mengaku sering mengkonsumsi sayur bayam dan sayur kangkung, namun mereka mengaku jarang mengkonsumsi buahbuahan. Salah seorang informan mengatakan sayur bayam memiliki kandungan zat besi yang tinggi dan merasa segar ketika mengkonsumsinya. Berikut ini pernyataan informan Bapak R.

204

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Makannya biasanya sehari 2 kali sehari, sayur yang sering dimakan macam bayam karena ada gizi kayak besi. Badan agak sejuk lah kalau makan itu.

Rendahnya konsumsi buah-buahan di desa ini disebabkan oleh faktor ekonomi. Sebagian besar masyarakat mengaku jarang mengkonsumsi buah tergantung pendapatan mereka sehari-hari. Seperti penuturan informan Bapak A. “Makan buah biasanya buah koini dan rambutan tapi tidak tentu makannya. Tergantung pendapatan, kalau ada lebih dibelikan buah. Kalau pendapatan kurang, tidak mampu beli buah.”

Hasil observasi peneliti masyarakat di desa ini memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan tanpa sayuran. Walaupun dari hasil wawancara sebagian besar informan menyukai dan sering mengkonsumsi sayuran, namun kenyataannya peneliti sering menjumpai mereka mengkonsumsi hanya nasi dengan lauk udang, ikan asin, dan ikan-ikan laut. Masyarakat juga jarang mengkonsumsi buah-buahan karena akses untuk memperoleh buah-buahan di desa pesisir pantai ini sangat sulit, selain itu faktor ekonomi juga mempengaruhi rendahnya konsumsi buah. Rendahnya konsomsi buah dan sayur menunjukan potensi kondisi gizi buruk dan bisa melatar belakangi kejadian kanker yang mulai menjangkit sebagaian kecil masyarakat di desa ini. 3.4.6. Perilaku Merokok Di dalam satu puntung rokok yang diisap, akan dikeluarkan lebih dari 4.000 bahan kimia berbahaya, diantaranya adalah nikotin, tar, dan karbon monoksida (CO). Jika ada anggota keluarga yang merokok (perokok aktif), terlebih di dalam rumah, maka asap yang dihasilkan dari rokok tersebut tidak hanya 205

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

berbahaya bagi perokok itu sendiri, melainkan juga orang-orang disekitarnya (perokok pasif) yang tentu saja berefek buruk bagi kesehatan. Rumah sebagai tempat berlindung bagi keluarga, termasuk dari asap rokok (Depkes RI, 2006). Masyarakat Desa Tanjung Pasir hampir seluruhnya menjadi perokok aktif terutama kaum pria dan beberapa wanita. Sabagian besar wanita terutama yang berstatus istri mengeluh dengan asap rokok suaminya ketika merokok di dalam rumah. Rata-rata mereka sering menggunakan rokok kretek. Berikut ini pendapat informan Bapak K dan Ibu S mengenai perilaku merokok. “Merokok sehari 4 bungkus, kalau tak merokok rasanya pening, kalau merokok rasanya pikiran tenang. Rokok sebenarnya berbahaya macam sakit jantung, tapi masih aja aku dihisap. Apalagi kalau hari itu sedang hujan dingin kan rasanya itu, dihisaplah rokok hangat rasanya badan ini.” “Saya sering terganggu asap rokok suamiku, apalagi waktu dia merokok didalam rumah. Rasanya sesak di dada, ditambah rumah Cuma ada 2 pintu saja, tidak ada jendela.”

Rokok sudah menjadi tradisi di desa ini. Sebagaian masyarakat menganggap rokok sebagai bagian dari kehidupannya. Mereka juga sudah mengetahui bahaya merokok yakni penyakit jantung dan paru, namun tidak bisa lepas dari kebiasaan merokok. Bahkan ketika tidak ada rokok dalam satu hari, mereka merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Mereka sering merasakan pusing dan kurang bergairah dalam hidupnya ketika meninggalkan rokok. Masyarakat menganggap rokok sebagai salah satu obat kebugaran bagi hidupnya.

206

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Gambar 3.22. Seorang Ibu Sedang Merokok di Samping Anaknya Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perilaku merokok juga sudah merambat sampai ke kalangan anak-anak SMP. Berdasarkan pengakuan beberapa anak-anak mereka merokok karena faktor lingkungan dan keluarga. Ketika ada beberapa teman yang seumur di lingkungannya dan orang tuanya merokok dirumah, mereka tertarik untuk meniru perilaku tersebut. Selain itu, peneliti juga sering menjumpai anak-anak yang disuruh orang tuanya membeli rokok di warung-warung. Peran orang tua seharusnya memberi contoh yang baik untuk tidak merokok ke anaknya, namun mayoritas orang tua di desa ini sering menunjukkan kebiasaan merokok pada anaknya. Seperti gambar diatas, seorang ibu yang sedang merokok disamping anaknya yang masih balita. Tingginya kejadian ISPA pada anak-anak di desa ini tidak terlepas dari pengaruh kebiasaan merokok. Menurut WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC), asap rokok mengandung sejumlah zat yang berbahaya seperti benzen, nikotin, aromatik, dan lain-lain. Partikel ini akan mengendap di saluran napas dan bersifat karsinogenik, yaitu zat yang merusak 207

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

gen dalam tubuh sehingga dalam jangka panjang akan memicu terjadinya kanker, aterosklerosis atau pangerasan pembuluh darah bisa menyebabkan penyakit jantung, hipertensi, risiko stroke, menopause dini, osteoporosis, infeksi saluran pernapasan dan impotensi. 3.4.7. Penggunaan Air Bersih Air bersih adalah air yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan dan dapat diminum setelah dimasak. Sesuai Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air bersih, persyaratan air bersih harus memnuhi syarat fisik, kimia, mikrobiologi, dan radioaktif. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Masyarakat sudah terbiasa menggunaka air bor untuk sarana mandi. Kondisi air bor di desa ini bisa dikatakan buruk jika dilihat dari warnanya yang keruh dan terdapat endapan tanah di dalamnya. Kondisi tersebut membuat masyarakat menggunakan air hujan untuk makan, minum dan memasak. Berikut ini penuturan informan Bapak A dan Ibu NA mengenai penggunaan air bersih. “Kalau mandi pakai air hujan, kalau tak ada air hujan terpaksa lah pakai air bor. Air bor rasanya tak enak lah, bisa gatal-gatal aku, lebih segar air hujan. Kalau baru isi air bor didiemkan lah semalam supaya pasirnya turun kebawah. Minumnya pakai air hujan tak pernah kehabisan karena tiap musim hujan simpan air hujan banyak-banyak.” “Kalau makan minum pakai air hujan yang panas direbus. Kalau cuci sayur pakai air hujan kalau air bor kotor.”

208

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Namun, masih ada beberapa informan yang masih menggunakan air laut untuk mandi, seperti penuturan Bapak R berikut ini. “Mandi pakai air bor dan air asin, lebih sering pakai air asin karena akses air bor sulit dan rasanya sama saja. Kata orang tua disini mandi air laut bisa menghilangkan sakit rematik dan kulit.”

Berdasarkan pengamatan peneliti masyarakat di desa ini masih kesulitan untuk mendapatkan air bor. Rata-rata masyarakat mendapatkan aliran air bor dirumahnya hanya satu kali dalam satu minggu. Hal ini membuat sebagian masyarakat harus mengambil dan mengisi air sendiri di pusat pengeboran air bor. Mereka biasanya membawa drum ukuran volume 30 liter dari dari rumahnya ke pusat pengeboran untuk mengambil air. Selain itu, mereka juga dipungut biaya pengisian air bor tiap drumnya.

Gambar 3.23. Anak-anak Mandi di Laut (kiri) dam Anak Mengambil Air Bor (kanan) Sumber: Dokumentasi Peneliti

209

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kesulitan dalam mengakses air bor merupakan penyebab utama masih banyak masyarakat yang mandi di air laut. Mereka juga berdalih dengan mandi di air asin laut bisa menghilangkan segala penyakit kulit dan rematik. Namun, ironisnya kondisi air laut di sekitar pemukiman sudah terkontaminasi oleh limbah rumah tangga yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Perilaku mandi di air yang tercemar sangat berbahaya karena bisa menyebabkan timbulnya penyakit infeksi kulit. Sebagian masyarakat juga masih memiliki kebiasaan makan dan minum air hujan mentah tanpa direbus sebelumnya. Hal ini bisa berpotensi adanya kontaminasi kuman dan bakteri. Kontaminasi kuman dan bakteri mencerminkan kondisi air yang tidak bersih atau tercemar dan bisa menimbulkan penyakit. Ada beberapa penyakit yang masuk dalam katagori penyakit yang dibawa oleh air yang tercemar. Penyakit-penyakit ini dapat menyebar bila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain, bakteri, protozoa dan metazoa yang bisa menjadi faktor pencetus infeksi kulit dan diare yang tinggi di desa ini. 3.4.8. Memberantas jentik nyamuk Memberantas jentik nyamuk adalah pemeriksaan tempat perkembangbiakan nyamuk yang ada di dalam rumah, seperti bak mandi, WC, vas bunga, tatakan kulkas, dan di luar rumah seperti talang air yang dilakukan secara teratur setiap minggu. Selain itu, juga lakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3 M yakni Menguras, Mengubur, dan Menutup (Depkes RI, 2006). Mayoritas masyarakat di desa ini mengaku selalu membersihkan drum yang dia gunakan untuk bak mandi 210

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

setiap satu minggu sekali karena selalu terdapat endapan kotoran yang berasal dari air bor. Selain itu, mereka juga selalu memakai obat nyamuk bakar ketika tidur. Salah seorang informan Bapak S mengatakan telah menggunakan kelambu ditempat tidurnya. Berikut ini pernyataan informan Bapak S. “Tempat tidurnya dipasangi kelambu, alu juga memakai obat nyamuk bakar ketika tidur. Kamar mandinya menggunakan drum untuk menampung air, biasanya tiap 1 minggu sekali drumnya dikuras.”

Informan Bapak R juga menuturkan pentingnya memakai kelambu untuk menghindari gigitan nyamuk yang bisa menyebabkan penyakit malaria. Berikut ini pernyataannya. “Kalau tidur pakai kelambu, sebab kelambu ini mencegah segala penyakit. Kata orang tua dulu tidur harus pakai kelambu supaya penyakit semacam malaria, demam berdareah, dan beri-beri tidak datang. Tak pakai obat nyamuk karena tidak tahan baunya, cukup pakai kelambu nyamuk tak datang. Tempat air mandi pakai drum, seringlah dibersihkan karena air bor kotor.”

Secara umum masyarakat di desa ini kurang mengetahui bahaya-bahaya penyakit malaria dan DBD. Mereka hanya mengetahui gigitan nyamuk agas bisa menyebabkan gatal dan bentol dikulit. Disisi lain kejadian penyakit yang berasal dari vektor nyamuk juga tidak ditemukan di desa ini. Data Puskesmas juga tidak menunjukkan angka kejadian penyakit ini, namun Kepala Puskesmas setempat mengakui kejadian gatal-gatal disertai bentol yang disebabkan oleh nyamuk agas di desa ini sangat tinggi. Faktor geografis pesisir laut menjadi penyebab meningkatnya penyebaran nyamuk agas.

211

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

212

Bab 4 TANGIS BUDAK DARI NEGERI SERIBU JEMBATAN (Kasus Kematian Bayi di Desa Tanjung Pasir)

Kematian bayi di Indonesia saat ini masih menjadi masalah yang selalu menjadi topik hangat. Nampaknya permasalahan kesehatan yang satu ini masih belum terselesaikan. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi permasalahan ini. Permasalahan kematian bayi di Indonesia pun sudah mengalami penurunan, bahkan Indonesia menjadi salah satu negara dalam 10 besar negara yang mengalami penurunan untuk angka kematian bayi. Namun nampaknya angka kematian bayi di Kabupaten Indragiri Hilir belum mengalami perubahan. Kematian bayi malah terjadi peningkatan yaitu angka 160 (dari 8.598 kelahiran hidup), dimana tahun sebelumnya “hanya” 143 bayi (dari 11.851 kelahiran hidup).3 Dari angka tersebut maka terjadi peningkatan pada Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Indragiri Hilir yaitu dari angka 12 menjadi 18.6 per 1.000 angka kelahiran hidup. Selain itu dalam Laporan Dinas Kesehatan Indragiri Hilir Tahun 2013 juga mencatat ada 80 kejadian lahir mati. Kasus kematian bayi di Desa Tanjung Pasir ini pun pada awalnya tidak tercatat di Puskesmas Kecamatan Kuala Enok. Menurut catatan Puskesmas sendiri pada saat penelitian 3

Angka diambil dari Slide PPT Evaluasi Program dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2013 (disusun oleh Siti Munziarni, SKM).

213

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

berlangsung (Mei – Juni 2014) belum ada catatan mengenai angka kematian bayi yang terjadi di desa ini, begitupun juga pada tahun 2013. Pada tahun 2013 hanya terhitung 1 (satu) ibu yang meninggal pada masa nifas. Tim peneliti sendiri pun sempat melihat catatan mengenai kematian bayi di bagian KIA Puskesmas langsung, dan memang tidak ada catatan mengenai kematian bayi yang terjadi untuk 2 (dua) tahun terakhir ini. Hasil temuan lapangan selama tim peneliti tinggal bersama masyarakat membuktikan bahwa masih ada kasus kematian yang tidak tercatat. Selama tahun 2012 terjadi 2 (dua) kematian bayi ditambah lagi 2 (dua) peristiwa bayi lahir mati; sedangkan pada Januari 2014 sampai penelitian berlangsung sudah terjadi 2 (dua) kasus kematian bayi. Ketika peneliti pulang dari lokasi pun ternyata tidak lama setelahnya ada 1 (satu) lagi kasus kematian yang akhirnya menambah list kasus di desa ini. Dari data yang didapatkan langsung oleh peneliti di lapangan ternyata kematian bayi yang terjadi di desa ini lebih banyak pada usia neonatus dan sebagian kecil pada usia 29 hari hingga 1 tahun. Untuk kematian balita karena hanya ditemukan 1 kasus pada 1 tahun terakhir ini maka tidak akan dibahas. Dalam pembahasannya kematian bayi bukan hanya akan membahas kematian bayi yang sudah dilahirkan dan pernah hidup namun juga membahas kematian bayi pada saat lahir atau pada saat ibu melakukan persalinan (bayi lahir mati). Selain itu dalam pembahasan bab ini, meskipun buku ini memfokuskan diri pada Etnik Laut namun bab ini sekali lagi tidak akan terlepas dari keberadaan Etnik lainnya. Dalam temuan di lapangan kematian bayi bukan hanya terjadi pada Etnik Laut namun Etnik lainnya yang tinggal di desa ini. Oleh karena itu peneliti juga melihat kasus-kasus yang ada di Etnik lain yang ada di desa ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih dalam tentang peristiwa-peristiwa kematian yang terjadi di desa ini. 214

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pada saat penelitian berlangsung peneliti mencoba melihat satu per satu peristiwa kasus kematian bayi tersebut, melihat bagaimana menurut pandangan masyarakat kasus itu terjadi dan bagaimana cara pengobatan yang dilakukan sebelum akhirnya bayi tersebut meninggal dunia. Peneliti disini mencoba melihat keterkaitan budaya atau kepercayaan setempat yang mempengaruhi perilaku kesehatan mereka tersebut, khususnya perilaku yang berkaitan dengan faktor-faktor risiko kematian bayi yang dilihat dari kacamata medis. 4.1. Studi Kasus Kematian Bayi di Desa Tanjung Pasir Selama penelitian berlangsung peneliti menemukan ada 9 peristiwa kematian yang terjadi di desa ini dalam kurun waktu tahun 2012 sampai bulan Juni 2014. Dalam sub bab ini peneliti mencoba menceritakan 3 peristiwa dari 9 yang ada. Karena peristiwa sudah terjadi maka data didapatkan hanya dengan menggunakan wawancara dengan si ibu atau dengan keluarga inti yang ada di rumah tersebut. Selain itu data juga didapatkan dari bidan kampung yang “terlibat” dengan kasus tersebut. Karena penelitian ini adalah penelitian berbasis budaya maka dalam melihat kasus-kasus kematian bayi ini mungkin penelitian memiliki keterbatasan dalam menggali riwayat medis dari masing-masing ibu. Selain peristiwa sudah berlalu dan pengetahuan ibu ataupun keluarga yang cenderung terbatas maka riwayat medis yang ada diceritakan sesuai dengan apa yang diceritakan oleh si ibu itu sendiri. Namun sebagai konfirmasi ditanyakan pula kepada bidan desa selama bidan desa tersebut mengetahui mengenai riwayat ibu tersebut.

215

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kasus 1 – Ibu De (Kasus 2014) Ibu De (26 tahun) melahirkan anak ketiganya pada bulan Januari 2014 ini. Pada masa kehamilan ketiganya ini ia menyatakan bahwa tidak ada perlakuan khusus, malah karena sudah hamil yang ketiga kalinya ia menyatakan menjalankan apapun yang biasanya dilakukan sama seperti pada saat kehamilan pertama dan keduanya. Pantangan pun tidak banyak dilakukan olehnya, ia makan makanan seperti hari-hari yang biasanya ia konsumsi. Ia pun terbilang rajin memeriksakan diri dengan bidan yang ada di desa, bahkan pernah juga memeriksakan diri ke dokter jika merasa tidak enak badan. Ia mengatakan bahwa suntik ibu hamil pada saat kehamilan ketiga ini sudah lengkap, meskipun diakui bahwa pemberian tablet Fe tak selalu dimakannya. Selain itu ia juga pada saat hamil juga memeriksakan kehamilannya dengan bidan kampung Mak Sy beberapa kali, biasanya untuk melakukan pijatan. Persalinan anak pertama dan keduanya pun bisa dikatakan tidak ada masalah. Dua kali ia melahirkan dengan bantuan bidan yang ada di rumah sakit. Menurutnya waktu itu ia dan suaminya mempercayakan bersalin di Puskesmas, karena mereka lebih percaya jika bersalin disana. Selain lebih percaya melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan, mereka merasa tertolong karena dalam merawat bayi mereka yang baru lahir, mereka ditolong oleh tenaga kesehatan. Secara riwayat persalinan baru pada saat melahirkan anak ketiga inilah ia menggunakan bantuan bidan kampung. Saat itu karena sedang masa pergantian tahun ia mengatakan bahwa nampaknya tidak ada tenaga kesehatan yang dapat dipanggil karena sedang libur. Ketika pagi hari mulai terasa mulas pun ia sudah mencoba mencari tenaga kesehatan namun tidak ada di tempat. Karena waktu melahirkan sudah sangat dekat akhirnya ia memanggil bidan kampung Mak Sa untuk membantu 216

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

persalinannya, kebetulan Mak Sa rumahnya sangat dekat dengan rumahnya pada saat itu, sehingga ia memilih Mak Sa dibandingkan memanggil bidan kampung lainnya yang biasanya memijatnya. Persalinan dilakukan di rumahnya. Saat persalinan terjadi menurutnya proses tidak begitu lancar, sehingga akhirnya Mak Sa meminta bantuan orang lain untuk membantu persalinan tersebut. Saat itu akhirnya dibutuhkan sampai 5 orang untuk membantu persalinan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Ibu De berikut ini: “Melahirkannya agak susah itu dek, uwat kami katanya kurang jadi Mak Sa suruh panggilah (orang lain) untuk bantu. Waktu itu yang bantu sampai 5 (lima) orang. Ada mamak, bapak, suamiku, tetangga dan bapak temanku. itu Mak Sa suruh bantu tolak dari atas. tolaknya memang secara bergantian. kadang berdua atau bertiga. Mak Sanya tetap bantu di bawah saja.”

Ketika lahir menurut Ibu De bayinya dan urinya berwarna kuning. Jika menurut bidan kampung hal itu tidak menjadi masalah dan malah merupakan keistimewaan karena bayi yang berwarna kuning merupakan turunan dari raja terdahulu, dimana tidak semua bayi memiliki keistimewaan seperti itu. Pada saat itu bidan kampung meminta agar disediakan kain berwarna kuning untuk alas bayinya ketika sudah dimandikan. Setelah lahir pun Mak Sa pun melakukan perawatan bayi sampai tali pusat lepas seperti standar yang dilakukan perawatan bayi oleh bidan kampung pada umumnya. Sampai perawatan selesai dilakukan keadaan bayinya pun masih sehat. Namun setelah persalinan pun ia dan bayinya belum juga diperiksa oleh bidan desa. Ia dan anaknya belum mendapatkan perlakuan apapun yang berbau medis, bahkan berapa berat anaknya pun ia tidak tahu. Ia pun tidak memberikan ASI kepada anaknya karena 217

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ia mengatakan bahwa ASI-nya tidak keluar. Setelah lahir anak hanya diberikan madu dan juga susu formula seperti yang disarankan oleh bidan kampung. Ia mengatakan bahwa dari anak pertama memang ia juga tidak pernah memberikan ASI. Setelah selesai masa itu ibu De mengatakan bahwa bayi tersebut dirawatnya sendiri. Menurutnya anaknya mulai mengalami gejala sakit ketika tali pusat sudah lepas dan bayi sudah berumur 6 hari. Saat itu ia melihat bahwa anaknya matanya sering menatap ke atas dan anaknya sesekali menangis, namun anaknya tidak mengalami demam. Setelah dilihat, tangan bayinya sering bergerak-gerak menuju pusat dan di sekitar pusatnya berwarna merah. Ia sendiri mengakui bahwa ia tidak begitu tahu mengenai perawatan bayi, ia mengatakan bahwa karena anak pertama dan keduanya dilahirkan di Puskesmas dan ditolong oleh bidan nakes ketika saat anak ketiganya ini ia tidak tahu mesti berbuat apa dan hanya bisa menggantungkan diri kepada bidan kampung yang membantu persalinannya. Tidak tahu apa yang terjadi dengan anaknya ia pun kembali memanggil Mak Sa. Mak Sa pun mengatakan bahwa kemungkinan besar ia terkena keteguran dan ibu De dimarahi karena dianggap membawa anaknya keluar rumah pada saat hujan panas, padahal ia sendiri menyatakan bahwa tak pernah membawa anaknya keluar. Namun setelah itu ia percaya dengan pengobatan yang dilakukan oleh si Mak Sa. Akhirnya selama 3 hari ibu De mempercayakan anaknya diobati oleh Mak Sa. Pengobatan yang dilakukan oleh Mak Sa selama 3 hari itu hanya melakukan temas dan mandi untuk mengusir orang halus. “itu kata Mak anak kami nih keteguran lah karena hujan panas lalu kami bawa keluar. ya itu karena keteguran orang bawahlah. maka itu kemarin Mak Sa 3 hari anak kami ditemas, sudah mandi jerangau juga. tapi tak sembuh juga.”

218

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Setelah 3 hari namun ternyata bayi mereka tidak kunjung sembuh, akhirnya setelah dilihat lagi bahwa pusat bayi masih saja merah lalu si Mak Sa menyatakan bahwa ini terkena bentan pusat. Bentan pusat sendiri adalah keadaan dimana pusat bayi mengalami luka atau infeksi yang menurut bidan kampung disebabkan karena perawatan pusat yang tidak benar atau bisa juga terjadi karena adanya guncangan pada tubuh bayi yang terlalu kuat sehingga pusatnya pun terganggu. Menurut tante dari Ibu De, Ibu De sendiri memang mengalami kesulitan untuk merawat bayinya. Karena saat itu ia hanya tinggal bersama suami dan anaknya ia tidak tahu apa saja yang harus dilakukan ketika bayi tersebut sakit. Menurut tantenya Ibu De harusnya memberikan ramuan manjakani ke pusat anaknya setelah pusat anaknya lepas agar tidak bentan, namun malah tidak diberikan apa-apa. Akhirnya Mak Sa pun berjanji keesokan harinya akan membuatkan ramuan untuk mengobati pusatnya tersebut. Ternyata sebelum dibuat dan diobati pusatnya, bayi tersebut akhirnya meninggal pada usia ke sepuluh. Ketika menceritakan cerita ini ibu De terlihat sedikit sedih menceritakannya. Untuk saat ini ia belum berencana untuk memiliki anak, namun jika nanti akan memiliki anak ia lebih menginginkan untuk melahirkan di Puskesmas dengan bantuan bidan seperti anak pertama dan keduanya saja agar bisa lebih sehat dan tidak mengalami sakit seperti anak ketiganya tersebut. Kasus 2 – Ibu Im (Kasus 2013) Ibu Im pada kehamilan pertamanya itu berusia 26 tahun. Pada saat kehamilan ia tinggal bersama suami dan mertuanya. Orang tuanya pun juga tinggal di desa ini, namun berada di dusun lain. Namun Ibu Im pada siang hari setiap harinya sering bolakbalik ke rumah orang tuanya. Aktivitasnya pun tidak banyak 219

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

karena ia tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Pekerjaan sehari-harinya hanya memasak, mencuci ataupun membereskan rumahnya. Selama kehamilan anak pertamanya ibu Im menyatakan bahwa dari awal ia memang mengalami kesulitan yaitu sering tidak enak badan dan sering pusing. Oleh karena itu ia rutin memeriksakan diri dengan bidan desa di pustu. Ia pun mengatakan bahwa ia selalu datang ketika Posyandu berlangsung. Suntik untuk ibu hamil pun sudah lengkap, namun konsumsi Fe tak selalu rutin ia minum. Untuk pemeriksaan ke Rumah Sakit tidak pernah ia lakukan. Selama hamil pun ia melaksanakan pantangan-pantangan yang biasa dijalani di masyarakat Desa Tanjung Pasir ini. Ia pun mengatakan bahwa ia juga sudah memasang tangkal di perut seperti yang diceritakan berikut ini: “Kami ini suka jalan malam-malam, soal suntuk di rumah. Padahal katanya kalau hamil itu tidak boleh keluar rumah malam. Makanya ini pakailah jimat ini, ada gunting, bawang tunggal, sahang yang ada di dalam. Bahan kita cari nanti dia (bidan kampung) yang jampikan. Pasanglah di perut nanti kalau mau mandi bisa dilepas.”

Selain pemeriksaan dengan bidan desa, ia juga rutin melakukan urut dengan bidan kampung. Urut ini menurutnya membuat badan lebih enak dan bayi pun berada dalam posisi yang benar. Ia mengaku dari kehamilan kelimanya ia sering berurut, menjelang kelahiran pun ia bahkan mengaku melakukan urut selama 2 kali dalam seminggu. Ia pun bercerita bahwa jika ia tidak datang ke rumah si bidan kampung, maka bidan kampunglah yang akan mendatanginya ke rumahnya. Hal ini menurutnya karena ia sudah melakukan tempah bidan sehingga akhirnya bidan kampung merasa terikat untuk membantunya jadi ia tidak 220

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

perlu repot lagi terus-terusan pergi ke rumah bidan kampung tersebut. Saat itu ia melakukan tempah bidan karena dengan begitu ia merasa aman pada saat persalinan dan merawat bayinya nanti karena bidan kampung yang ia tempah akan melaksanakan kewajibannya untuk membantu si ibu. Ibu Im memilih Mak In sebagai bidan kampung yang akan membantunya karena selama ini keluarganya yang sudah pernah hamil dan melahirkan dibantu oleh Mak In. Ibu In pun menyatakan bahwa ketika hamil ia sebenarnya juga pernah menyatakan ingin melahirkan di Puskesmas atau di rumah sakit di Tembilahan, karena ia merasa akan aman juga melahirkan di Puskesmas tersebut,. Menurutnya melahirkan di Puskesmas selain karena ada bidan dan dokter, fasilitas untuk persalinan pun baik. Namun ia kembali memasrahkan saja ketika masa persalinannya datang, karena menurutnya ketika sudah masanya melahirkan kadang keputusan bisa berubah. Bisa saja ada halangan-halangan yang terjadi pada hari H. Sehingga meskipun ingin juga melahirkan di Puskesmas, ia tetap menempah bidan agar nanti ketika ingin melahirkan di rumah saja ia tidak perlu lagi kesulitan mencari-cari bidan kampung yang akan menolongnya. Pada saat ibu Im merasakan sudah mau melahirkan karena ia merasa perutnya sudah sakit dan memang sudah memasuki bulan kesembilan, ia pun akhirnya pergi ke rumah ibunya. Ia mengurungkan niatnya untuk melahirkan di Puskesmas juga karena menurutnya agak sulit untuk melahirkan ke Puskesmas di malam hari. Pertama karena pada saat malam hari agak sulit untuk mencari pong-pong dahulu untuk menyebrang. Selain itu ia takut kalau harus ke Puskesmas dan dirujuk ke Tembilahan harus mengeluarkan biaya yang besar untuk menyewa boat. Ia lebih memilih melahirkan di rumah orang tuanya karena merasa lebih nyaman melahirkan di rumahnya 221

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sendiri dan proses persalinan bisa ditemani oleh orang tuanya, bukan hanya ibu mertua dan suaminya. Akhirnya ketika pukul 1 malam setelah dirasa sudah waktunya bersalin keluarganya memanggil bidan kampung Mak In untuk bersiap melakukan persalinan. Pada saat malam itu ternyata menurut bidan kampung memang ibu Im sudah waktunya melahirkan, maka ia pun akhirnya menemaninya terus dan tidak kembali ke rumah. Bidan kampung pun melakukan persiapan persalinan seperti layaknya persalinan tradisioanal yang biasa ia lakukan (baca bab 3 pada potret KIA). Akhirnya ketika pagi menjelang siang hari sudah dirasa perut ibu sudah sangat sakit dan ketuban sudah pecah maka bidan kampung bersiap membantu persalinan. Setelah beberapa lama menurutnya bayi tidak juga lahir, sedangkan ibu sudah kehabisan tenaga. Maka saat itu pun akhirnya Mak In meminta bantuan orang-orang untuk mendorong perut si Ibu Im. Menurutnya waktu itu ia dibantu oleh 5 orang untuk mendorongnya. “waktu itu pokoknya ada 5 orang yang bantu tolak perut tuh. Ada bapak, suami kami, lalu 3 orang lainnya. Itu dorong terus berulang-ulang. Dorongnya sempat beberapa kali berbarengan. Karena orangnya banyak tuh kaka sampai tidak bisa liat apa-apa karena sudah ramai sekali itu. Di samping kanan kiri, di atas kaka ada orang.”

Selain melakukan pendorongan beberapa cara juga dilakukan keluarga ibu Im agar bayinya cepat keluar. “semua sudah dilakukan. yang melangkah di perut itu semua, sampai orang-orang tua semua itu karena takut durhaka sama orang tua. Itu pertama kami di dalam kamar, terus pindah keluar karena takut bayinya tidak mau keluar disitu. Macam-macam itu dikasih bidan.

222

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Pokonya itu ada jampi-jampi dan selusuh biar bayi tuh keluar.”

Meskipun kesulitan namun menurut Mak In, ibu Im belum mau dipanggilkan bidan desa. Mak In pun dilarang oleh ibu Im karena ibu Im mengatakan bahwa sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk membantunya persalinan. Ibu Im mengatakan bahwa untuk apa ia dari awal meminta Mak In menolongnya jika akhirnya malah dipanggilkan bidan desa. Namun akhirnya tanpa sepengetahuan ibu Im, Mak In akhirnya menyuruh keluarganya untuk memberi tahu kader agar memanggilkan si bidan desa. Pada pukul 2 siang bidan desa akhirnya datang dan mengambil alih persalinan. Menurut Ibu Im ia diberikan suntikan oleh si bidan yang menurutnya membantunya menambah tenaga. Ia pun mengakui masih memiliki tenaga untuk membantu mengeluarkan bayi. Setelah keluar ternyata bayinya sudah meninggal. Menurut bidan desa bayi tersebut meninggal di jalan lahir dan menurut bidan kampung memang bayi tersebut sudah meninggal di dalam sehingga diberilah selusuh bangkai untuk mengeluarkan bayi tersebut. Bidan desa pun sudah mencoba menolong dengan memanas-manaskan pada saat sudah dikeluarkan tapi tetap tidak terselamatkan. Ketika ditanyakan kepada Ibu Im penyebab alasan anaknya meninggal adalah karena anaknya diganggu oleh orang halus atau biasa disebut dengan keteguran. “ya itu ada keteguran orang atas atau kelintasan. ada juga orang bawah. Makanya hamil pertama tuh paling banyak pantangnya. Harus dijaga. Kita tak boleh keluar sering-sering, apalagi kalau anak pertama itu memang banyak sekali pantangnya. katanya anak kami ni kelintasan sudah dari hamil. Mak In itu bilang dari hamil kalau sedang pijat katanya perut kami itu dingin. perut 223

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dingin tuh artinya memang kelintasan. bayi di perut pun bisa saja kelintasan.”

Ketika menanyakan kepada Mak In jawaban hampir sama juga dinyatakan olehnya mengenai penyebab kematian dari si bayi Ibu Im. Ia mengatakan bahwa sebelumnya keadaan bayi memang sehat bahkan sampai waktu tibanya mau melahirkan, ibunya pun tidak memiliki penyakit yang bisa berbahaya bagi bayi, namun karena kelintasan itulah anaknya sulit untuk dikeluarkan karena diganggu. Ia pun mengatakan bahwa mungkin juga sulit dikeluarkan karena ini persalinan pertama bagi ibu In sehingga seperti ibu yang baru pertama kali bersalin, bayi lebih sulit untuk dikeluarkan. Mak In pun mengaku sebenarnya ia segera memanggil bidan kampung tapi karena Ibu In menolak dia menundanya, dan ketika sudah menyerah ia tanpa persetujuan Ibu In meminta dipanggilkan si bidan desa. Saat ini Ibu In sudah mengandung kembali, saat penelitian berlangsung kandungannya sudah memasuki usia 7 bulan. Saat ini pun ia mengakui bahwa kehamilan ini ia sedikit berhati-hati. Jimatnya yang dulu dipakai sudah dipakainya lagi, dia juga akan menjalankan tradisi-tradisi yang ada agar kejadian tidak terulang lagi. Ia pun menyatakan sudah tidak berani untuk keluar malam karena takut anaknya nanti akan terkena keteguran ataupun kelintasan. Ia pun menyatakan bahwa meskipun persalinan kemarin anaknya meninggal ia akan tetap memilih melahirkan dengan bantuan bidan kampung. Ia sudah berencana untuk menempah bidan jika nanti waktunya sudah dekat masa persalinannya. Kasus 3 – Ibu Ka (Tahun 2013) Ibu K mengalami peristiwa kematian bayi pada tahun 2013. Bayi yang meninggal ini adalah anak pertamanya dengan 224

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

suaminya. Ibu K sendiri saat penelitian berusia 19 tahun. Pada saat kehamilan pertama anaknya tersebut ia menikah pada usia kurang lebih 17 tahun. Setelah menikah dengan suaminya ia tinggal bersama orang tuanya dan kakak laki-lakinya yang saat itu juga belum menikah. Ibu K menikah karena saat itu ia tidak lagi bersekolah karena tidak ada biaya dan hanya membantu ibunya saja di rumah. Karena saat itu juga ia sudah memiliki pacar makanya ia memutuskan untuk menikah saja. Ketika menikah sesuai dengan kesepakatan suaminya ia langsung ber-KB. Pada saat itu karena merasa belum siap untuk memiliki anak ia memutuskan untuk menunda memilikinya dan memakai KB. Namun setelah 6 bulan karena suaminya ingin memiliki anak dan dorongan para keluarga untuk memiliki anak akhirnya ia melepaskan KB tersebut. Setelah berhenti ber-KB, sebulan kemudian ia sudah hamil. Ia tahu hamil waktu itu karena diberi tahu ibunya yang melihat ciri-ciri orang hamil yang ada pada dirinya. Untuk memutuskan ia pun memeriksakan diri ke bidan desa. Ia pun mengatakan bahwa meskipun di satu sisi ia tidak siap hamil namun ia merasa senang karena memiliki anak. Ia mengakui bahwa karena hamil pertama maka ia banyak bertanya kepada ibunya yang tinggal bersama dengannya. Ketika ditanyakan berapa kali ia pernah memeriksakan diri ke Puskesmas ataupun ke pustu ia mengatakan lupa. Ia mengatakan bahwa beberapa kali ia memang periksa ke bidan. Menurut ibu dari Ibu Ka, ibu Ka memang beberapa kali periksa dan diberikan kapsul Fe namun sangat jarang dikonsumsi olehnya karena ia merasa mual. Ia pun mengaku tidak pernah mau disuntik ketika disuruh oleh bidan, ia mengaku takut disuntik. Ibu dari ibu Ka juga mengatakan bahwa ibu Ka selama kehamilannya sulit sekali makan.

225

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Ketika kehamilan pun Ibu Ka melakukan ritual-ritual yang menurut masyarakat setempat wajib untuk dilakukan. Mulai dari pemasangan jimat untuk ibu, mandi pada saat usia 7 bulan dan 9 bulan. Hal ini dilakukan karena menurutnya akan membantunya pada saat persalinan nanti dan menjauhkannya dari gangguan orang halus. Persalinan menurut Ibu Ka terjadi pada saat kandungannya menurutnya berusia 8 bulan. Saat itu sebenarnya sorenya ia sudah pergi ke rumah salah satu bidan kampung yang telah ditempah sebelumnya yaitu Mak An. Ia merasakan perutnya sakit sekali, namun menurut Mak An mungkin sakit perut biasa sehingga ia disuruh pulang ke rumahnya setelah diurut terlebih dahulu. Jika sakit masih terasa besok akan diperiksa lagi. Namun setelah pulang ke rumah beberapa jam kemudia ia merasakan sakit dan air sudah mulai keluar dan ia berkali-kali harus mengganti celana dalamnya. Setelah akhirnya kain yang dipakainya juga sudah basah maka Ibu Ka merasa bahwa ia akan segera melahirkan. Kurang lebih pukul 1 malam akhirnya Ibu dari Ibu Ka yang saat itu di rumah hanya dengan suaminya mulai menyiapkan persalinan. Hal yang pertama dilakukan adalah memanggil bidan kampung yang akan menolongnya. Karena suaminya sedang tidur dan suami Ibu Ka sedang melaut maka ibu Ka meminta kerabatnya untuk memanggilkan bidan kampung. Awalnya bidan kampung yang dipanggil adalah Mak In namun saat itu Mak In menolak karena anaknya sedang sakit. Akhirnya setelah itu bidan kampung Mak An dipanggil untuk segera membantu. Keluarga dari Ibu Ka pun memberikan alasan mengapa tidak memanggil bidan desa: “bidan kan tidak ada disini. kalau ada disini ya kami mau sajalah panggil. Ah tapi biarlah sama bidan (kampung)

226

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dulu. Kalau tengah malam pun ibu tu belum tentu juga dia mau datang.”

Akhirnya pada pukul 2 dini hari pun Mak An membantu proses persalinan. Saat itu persalinan pun cukup lancar dan tidak membutuhkan waktu lama. Selesai bersalin pun menurut Ibu Ka, ia dan bayinya sehat dan tidak mengalami gangguan kesehatan apapun. Dan sampai tali pusatnya putus, Ibu Ka dan bayinya tetap dibantu oleh bidan kampung Mak An dalam merawat bayinya. Setelah melakukan tepung tawar, Mak An pun bebas dari tugas untuk merawat si bayi tersebut. Sampai hari itu pun bayi Ibu Ka tidak menunjukkan sakit apapun. Ibu Ka bercerita ketika usia anak memasuki hari ketujuh anak tersebut mulai sakit. Ia mulai sering menangis dan badannya panas. Ketika sakit ia pun memanggil Mak An. Mak An dipanggil karena menurutnya bidan kampung yang membantu persalinan mengerti apa yang terjadi pada anaknya tersebut. Menurut perkiraan Mak An anaknya mengalami keteguran sehingga ia pun menyembuhkan si anak dengan cara temasnya. Setelah ditemas ternyata beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung sembuh. Saat itu akhirnya Ibu Ka membawanya ke Puskesmas pembantu, setelah diperiksa bidan pun Ibu Ka tidak paham sakitnya apa, ia disarankan untuk pergi memeriksakan ke Puskesmas Kuala Enok. Keesokannya ia membawa anaknya ke Puskesmas dan diberikan obat. Namun lagi-lagi ketika ditanya ibu Ka tidak tahu apa yang dikatakan dokter mengenai sakit anaknya. “Kami ni tak tahu lah itu sakit apa. Kami tak mengerti. Tapi dikasihlah obat itu dari rumah sakit (Puskesmas).”

Setelah itu akhirnya obat yang diberikan oleh Puskesmas tersebut diberikanlah kepada anaknya. Namun setelah beberapa hari anaknya pun tak kunjung sembuh malah semakin parah. Anaknya semakin sering menangis dan setiap kali ingin diangkat 227

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bayinya pun menangis semakin kencang. Anaknya pun sering buang-buang air besar. Setelah itu akhirnya memutuskan untuk membawa anaknya ke dukun kampung yaitu Pak Sy. Keluarga Ibu Ka membawanya ke Pak Sy karena mereka merasa tidak ada perubahan setelah dibawa ke Puskesmas dan menganggap bahwa mungkin sakit yang diderita oleh si bayi karena adanya gangguan orang halus. Setelah dibawa ke Pak Sy dan Pak Sy melakukan ritual pemecahan telur untuk memeriksa penyakitnya ternyata menurutnya anak ini mengalami sakit karena tekene’. Ibu dari Ibu Ka menceritakan tentang apa yang dikatakan oleh dukun kampung Pak Sy: “bapaknya salah pancang itu di laut. Tekene’ itu. keteguran. Dia melahirkan itu tak tau suami. Itu pas lahir baru 8 bulan. Padahal tidak boleh itu suami bekerja kalau isi melahir. Itulah salah bapaknya. Salah pancang bapaknya tuh di laut.”

Akhirnya setelah itu pengobatan yang dilakukan Pak Sy adalah melakukan temas saja. Sampai beberapa kali anak itu ditemas dan tidak kunjung sembuh. Akhirnya Pak Sy mengatakan bahwa harus melakukan tukar ganti dan ada obat-obatan yang akan dibuatnya agar anaknya bisa sembuh. Namun sebelum ritual tersebut diadakan dan obat pun belum sempat dibuat anaknya sudah meninggal. Menurut ibu dari Ibu Ka, jika anak itu sudah sakit karena terkena tekene’ maka memang sangat sulit untuk disembuhkan karena biasanya orang halus tersebut sudah sangat marah dan sulit untuk mengampuni. Menurutnya pengobatan medis pun sulit membantu jika sakitnya karena gangguan orang halus. “itu dia obat mantri pun tidak bisa karena sudah sangat terlambat. anak ni terkena sakit sudah sejak lama dari

228

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

ibunya melahirkan dan bapaknya tu melaut. Karena salah pasak pancang tu. Sakitnya baru terlihat sekarang.”

Kami pun menanyakan kepada bidan kampung Mak An mengenai Ibu Ka. Mak An pun juga meng-iyakan bahwa anak dari Ibu Ka yang meninggal itu memang terjadi karena adanya gangguan orang halus. Namun ia juga melihat bahwa Ibu Ka turut mengambil bagian dari sakitnya anak tersebut. Menurut Mak An, ibu Ka memang sejak kehamilannya sudah lemah, ditambah lagi karena terlalu muda ia tidak tahu bagaimana cara merawat bayi, sedangkan ia sendiri hanya bisa membantunya sampai tali pusat putus saja. tersebut. Ia pun mengatakan bahwa pada saat ia datang untuk minta diobati penyakit sudah parah sehingga sulit untuk diobati. Berikut penuturan Mak An tentang Ibu Ka: “Karna maklum aja, orang belom cukup umur melihara bayi. istilahnya orang tuanya tak paham pertama kali. Ka itu kan masih muda. Jadi bayi itu kencing sama berak digantiin, itu tuh kurang dibersihkan jadi lecet. Air kencing tajam bisa nipisin kulit. Sebenarnya sudah dibilangin kalau anak pipis digantiin, jangan digosokgosok dengan kain. Karena kulit nya lembut tapi dia ga ngerti karena Ka masih budak juga. Itu Mak datang sudah ga bisa ditolong lagi, sudah biru kena tulang.”

Sama seperti dengan Ibu Im, setelah 3 bulan anaknya meninggal Ibu Ka pun sudah hamil lagi dan pada saat penelitian sudah menginjak usia kandungan 6 bulan. Ia pun kini berharap bahwa nanti bayinya tidak mengalami hal yang sama. Ia pun mengakui kehamilan ini lebih sering memeriksakan diri ke pustu. Namun untuk persalinan nanti ia tetap akan memilih bantuan bidan kampung.

229

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

4.2. Keteguran, Kelintasan dan Tekene’ sebagai Penyebab Kematian pada Bayi Jika melihat contoh kasus yang diuraikan sebelumnya maka dapat kita lihat bahwa masyarakat Desa Tanjung Pasir dalam melihat penyebab kematian dari seorang bayi dikarenakan hal-hal yang berkaitan dengan orang halus, yaitu karena keteguran, kelintasan ataupun karena tekene’. Selain ketiga ilustrasi kasus di atas, pada kasus kematian bayi lain yang ditemui oleh peneliti (6 lainnya) hampir semuanya menyatakan bahwa penyebab-penyebab anak mereka awalnya sakit hingga akhirnya meninggal disebabkan oleh salah satu dari hal-hal tersebut. Hal ini menandakan bahwa dalam melihat gejala-gejala sakit kebanyakan mereka memaknainya sebagai sakit yang disebabkan karena adanya gangguan orang halus tersebut, bukan disebabkan adanya gangguan pada fungsi tubuh mereka. Masyarakat Desa Tanjung Pasir, baik itu dari Etnik Laut itu sendiri ataupun Etnik lainnya memiliki definisi sakit yang terjadi karena adanya gangguan dari orang halus. Biasanya penyakit tersebut mereka golongkan lagi menjadi tiga jenis yaitu keteguran, kelintasan dan tekene’. Ketiganya masih dipercaya sebagai penyebab terjadinya keadaan sakit yang terjadi di masyarakat. Bukan saja dapat menimbulkan keadaan sakit, jika ketiganya tidak segera disembuhkan maka bisa saja penyakit tersebut mengakibatkan risiko yang lebih tinggi, yaitu mendatangkan kematian. Keteguran, kelintasan ataupun tekene memang 3 (tiga) istilah yang berbeda. Namun sebenarnya ketiganya memiliki definisi yang hampir sama, yaitu keadaan sakit yang ditimbulkan oleh apa yang mereka sebut dengan orang halus. Orang halus menurut mereka adalah orang yang sama dengan orang seperti manusia, hidup, berkelompok dan juga memiliki keluarga. Namun karena sifatnya yang halus itu membuat kita tidak bisa melihat 230

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

mereka dengan mata telanjang. Hanya orang tertentu saja yang bisa melihat, merasakan ataupun berkomunikasi dengannya, biasanya orang tersebut dianggap memiliki kemampuan lebih atau “orang pintar” termasuk orang-orang yang bisa menyembukan penyakit karena adanya gangguan tersebut. Dalam hal ini adalah para pengobat tradisional yaitu dukun ataupun bidan kampung. Seperti yang diungkapkan oleh bidan kampung Mak An: “orang halus tuh tak keliatan. Dia ada dimana saja. Samelah kaya kita ni. Punya rumah juge, punya keluarge juge. Kita tuh tak semua bisa tau. Kalau macam kami ni taulah.”

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, secara umum ketiga penyebab seseorang sakit tersebut, bisa menimbulkan berbagai variasi sakit. Dari wawancara yang dilakukan maka tim peneliti mendapatkan bahwa dari ketiganya bisa menyebabkan penyakit menular, penyakit tidak menular maupun kejadian sakit-sakit yang berhubungan dengan kesehatan secara umum, termasuk kesehatan ibu dan anak. Di antara orang dewasa dan anak kecil (dalam hal ini bayi dan balita), maka menurut masyarakat risiko ketiga penyakit itu akan jauh lebih besar dialami anak kecil. Anak kecil lebih sering mengalaminya karena orang halus lebih menyukai mereka seperti yang dikatakan oleh ibu N berikut ini: “orang itu sebenarnya tak jahat, namun kadang kita nih tak tau lah dia. Jadi tak sengaja kita bertegur sama mereka. sakit itu memang mungkin datang dari mereka karena misalnya mereka marah karena kita rusak barangnya jadi itulah balasannya untuk kita. Misalnya bapaknya yang salah di laut nanti budaknya di rumah bisa sakit. Orang itu suka sekali budak keci-keci, karena

231

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang paling sering mengganggu mereka punya budak juga.”

Keteguran Keteguran berasal dari kata tegur, dalam bahasa Indonesia pada umumnya, dan digunakan juga pada masyarakat di Indragiri Hilir. Kata ke-an yang menjadi imbuhannya menyatakan bahwa sesuatu yang tidak disengaja. Jadi bisa disimpulkan bahwa keteguran adalah proses tidak sengaja bertegur sapa. Istilah sakit karena keteguran pun bukan hanya digunakan oleh masyarakat Etnik Laut, namun juga masyarakat Etnik lainnya. Berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh pengobat tradisional yang ada di masyarakat, meskipun memiliki definisi yang sama tapi jenis keteguran ada yang mengelompokkannya berbeda. Ada yang mengelompokkanya menjadi 2 saja, yaitu keteguran orang atas dan orang bawah, dan ada juga yang mengelompokkanya menjadi keteguran orang langit (di atas), orang darat (semua yang ada di darat, bisa itu yang terjadi di rumah ataupun tempat spesifik seperti hutan) dan terakhir orang laut. Tingkat keparahan dari keteguran pun bisa berbeda. Ringan atau tidaknya tercermin dari seberapa parah penyakit itu. Jika penyakitnya mudah untuk disembuhkan maka itu hanya keteguran ringan, namun jika penyakit tidak kunjung sembuh maka bisa dapat dikatakan bahwa yang terjadi adalah keteguran berat. Namun karena keteguran sifatnya tidak disengaja maka kita sebagai manusia biasa tidak dapat menghindarinya. Begitupun juga dengan orang halus tersebut, mereka juga tidak sengaja menegur kita. Oleh karena itu dapat dikatakan keteguran 232

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

ini sifatnya agak sulit untuk dihindari, meskipun begitu masih ada cara yang dapat dipergunakan untuk menghindari dari keteguran tersebut yaitu dengan pemasangan jimat, jika tidak dipasangi maka ibu atau anak kecil akan mengalami keteguran. Untuk melihat bayi yang mengalami keteguran terlihat dari perilakunya. Menurut masyarakat seringnya bayi menangis adalah indikator utama untuk melihat keteguran tersebut. Terkadang tangisan itu ditandai dengan panasnya suhu badan bayi atau demam. Kelintasan Kelintasan sebenarnya salah bentuk dari keteguran, yaitu lebih tepatnya keteguran orang atas. Karena asalnya yang ada di atas itulah maka disebut dengan kelintasan, yaitu proses melintasi seseorang. Sebenarnya para pengobat tradisional tersebut kerap menyebutkan bahwa pada dasarnya kelintasan adalah istilah lokal dalam menyebut step atau kejang. Meskipun mereka mengetahui istilah medisnya namun mereka tidak tahu bagaimana kejang itu terjadi. Mereka hanya mengetahui bahwa apa yang disebut kejang itu adalah kelintasan yang disebabkan oleh orang atas tadi. Kelintasan juga kadang disebut juga dengan kerungkup. Pada dasarnya kerungkup memiliki definisi yang sama namun berasal dari bahasa Banjar. Karena keberadaan Etnik Banjar juga tidak sedikit di desa ini maka terkadang istilah ini juga dipakai untuk menyebut kelintasan tersebut. Meskipun bagian dari keteguran namun kelintasan ini sifatnya bisa juga disengaja atau dalam hal ini memang orangorang halus tersebut memang sengaja menggangu anak kecil tersebut. Biasanya orang halus ini sering berada di atas dan melewati si bayi tersebut. Orang halus dianggap sering menunggui si bayi baru lahir dengan duduk di atas persilangan kayu yang berada di atap rumah. Kelintasan pun dianggap paling 233

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sering menimpa bayi. Jika keteguran ditandai dengan demam maka kelintasan ditandai dengan mata bayi yang berbalik ke atas atau kejang-kejang. Kelintasan memang bisa terjadi pada orang dewasa, namun efek buruknya akan lebih cepat jika terjadi pada anak bayi. Penyakitnya pun sulit untuk diobati. “Kelintasan itu kalau sudah kena anaknya susah diobat. Kalau ayah ibunya masih bisa diobat, tapi kalau sudah sama anaknya susah. Anak hantu itu yang lewat. Dia ganggu, suka sama bayi dia. Cuma kita ga liat. Tapi dukun kampung yang liat.”

Kelintasan pun menurut bidan kampung dapat terjadi pada saat bayi masih di dalam kandungan. Biasanya bayi yang dapat mengalami kelintasan di dalam kandungan ketika sudah menginjak usia 7 bulan. Oleh karena itu pada usia kandungan 7 bulan ibu mulai mengadakan ritual mandi menggunakan jeruk limau yang diperuntukkan agar anak tidak diganggu orang halus. Bayi yang meninggal karena kelintasan pun biasanya berbeda dengan bayi yang meninggal karena sakit lainnya. Ciri-ciri bayi yang meninggal karena kelintasan adalah di bagian tubuh bayi tersebut terlihat seperti ada bekas telapak tangan manusia yang membuat bekas telapak tangan itu di badan bayi tersebut menjadi biru. Tekene’ Tekene’ sendiri sebenarnya hampir sama dengan kedua lainnya, yaitu gangguan penyakit karena orang halus, namun biasanya karena tekene’ ini penyakit dikatakan bisa sangat parah bahkan bisa mendatangkan kematian. Tekene’ disini adalah ketika seseorang yang sedang bekerja, baik itu di darat ataupun di laut, dimana pekerjaan yang dilakukannya secara tidak sengaja mengganggu ketenangan atau malah merusak barang yang 234

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

dimiliki oleh si orang halus yang berada di lokasi orang itu bekerja. Karena masyarakat Desa Tanjung Pasir ini kebanyakan melakukan pekerjaan di laut sebagai nelayan maka kebanyakan tekene’ ini terjadi karena gangguan orang halus yang ada di laut. Orang ini merasa terganggu rumah ataupun harta miliknya manakala si nelayan tersebut menebarkan jaring dan memasang pancang di laut. Atau jika pekerjaan dilakukan di darat biasanya jika seseorang tersebut menebang pohon ataupun mengeruk tanah. Karena pekerjaan tersebut bisa saja sifatnya merugikan makhluk halus maka konsekuensi penyakit karena tekene’ ini lebih besar dan lebih berbahaya jika dibandingkan dengan hanya keteguran ataupun kelintasan. Selain kasus kelintasan pada anak Ibu Ka pada ilustrasi sebelumnya, ibu Mu juga mengalami kasus yang hampir sama. Jika pada kasus Ibu Ka pekerjaan suaminya sebagai nelayan merusak rumah orang halus karena salah memasang pasak di laut, maka ibu Mu mengatakan bahwa anaknya meninggal karena pekerjaan ayahnya yang dilakukan di darat yaitu menutup parit. Karena menutup parit tersebut maka ada anggapan bahwa bapak dari anak tersebut menutup jalan orang halus tersebut sehingga akhirnya ia marah dan mengirimkan sakit ke anak tersebut yaitu membuatnya tidak bisa buang air dan pusatnya berwarna merah yang akhirnya menyebabkan si bayi meninggal. Lain dengan keteguran dan kelintasan, biasanya gejala penyakit tekene’ ini gejalanya lebih berat atau mengalami beberapa gejala sekaligus. Memang menurut masyakat biasanya tekene’ menimbulkan penyakit-penyakit yang sifatnya lebih parah dan sulit sekali untuk diobati. Perakang, Pelesit ataupun Polong Selain kematian yang disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan juga tekene’, adapula sakit atau kematian yang 235

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

disebabkan karena adanya orang halus yang memang khusus mengganggu ibu hamil sampai anak bayi. Orang biasanya menyebutnya perakang, pelesit ataupun polong. Hanya istilahistilah saja yang berbeda namun intinya ketiganya adalah hantu yang mengganggu ibu hamil dan anak bayi. Menurut masyarakat orang-orang halus tertarik dengan keduanya karena darahnya memiliki bau yang sedap. Jika ibu akan diganggu dan diambil darahnya, sehingga timbullah pendarahan yang banyak sekali, bisa ketika hamil, pada saat persalinan ataupun pada saat nifas; bayi pun dapat diganggu pula. Oleh karena itu ibu dan bayi memiliki ekstra bahaya dibandingkan orang biasa, karena bukan saja dapat mengalami keteguran, kelintasan ataupun tekene’, yang dapat terjadi pada semua orang, mereka juga dapat mengalami bahaya karena orang-orang halus ini. Berikut sedikit catatan kecil saya mengenai ibu Iw yang meninggal 2013 lalu yang menurut keluarganya disebabkan karena ada gangguan makhluk tersebut. Catatan ini peneliti tulis atas wawancara dengan ibu dan adik dari Ibu Iw: “Ibu Iw pada tahun 2013 meninggal pada usia kurang lebih 10 hari setelah melahirkan, “menyusul” anaknya yang sudah meninggal pada saat dilahirkan. Secara medis ibu Iw memang memiliki kehamilan berisiko yang akan sangat berisiko jika melakukan persalinan di rumah. menurut keluarganya pada saat persalinan dokter sudah mewanti-wanti agar tidak melakukan persalinan di rumah karena akan mengalami kejangkejang tapi akhirnya ibu Iw melakukan persalinan di rumah dengan bantuan bidan kampung. Ibu Iw memutuskan untuk melahirkan saja di rumah karena saat itu suaminya sedang tidak ada dan ia tidak mau dibawa keluar rumah padahal adiknya sudah menyarankan untuk dibawa saja ke Puskesmas.

236

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Bidan kampung pun mencoba membantu persalinan tapi terjadi kesulitan karena ibunya sulit untuk mengeluarkan dan anaknya juga tidak bisa keluar. Adik dari Ibu Iw pun akhirnya berinisiatif untuk memanggil bidan desa meskipun sempat beradu pendapat dengan bidan kampung yang karena merasa masih mampu tidak mau dibantu dengan bida desa. ketika bidan desa datang ia pun mengalami kesulitan dan memanggil dokter Puskesmas untuk datang. Ketika datang pun akhirnya si dokter menyuruhnya untuk membawa ke rumah sakit di Tembilahan. Dengan menyewa boat sebesar Rp 600.000,- akhirnya keluarga tersebut membawa ibu tersebut pada malam har itu juga. Ibu pun segera dioperasi bedah untuk mengeluarkan bayinya, namun bayinya karena sudah sangat lemah pun tidak bisa diselamatkan lagi dan meninggal dunia. Ibu Iw pun akhirnya dirawat selama kurang lebih seminggu di rumah sakit. Sekembalinya dari rumah sakit, belum sampai rumah dan baru saja turun dari kapal, ia mengalami kesurupan, ia diam tidak mau bicara dan matanya terus menatap ke atas. Menurut ibu dari Ibu Iw dia diganggu oleh polong. Polong ini sudah mengincar ibu Iw sejak masa kehamilan dan berada di belakang rumah ibu Iw. Ibu Iw pun tidak memasang tangkal baik itu di rumah maupun di dirinya sehingga akhirnya bisa diganggu makhluk tersebut. Karena diganggu polong maka selama 2 hari keluarga hanya memanggilkan dukun dan bidan kampung saja. Beberapa metode penyembuhan dicoba tapi tidak ada perubahan di ibunya sehingga akhirnya pada hari ketiga dipanggilah dokter Puskesmas. Namun sebelum dokter datang ibu Iw pun sudah meninggal.

237

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

4.3. Perilaku Pencegahan dan Pengobatan untuk Bayi oleh Masyarakat Perilaku kesehatan di masyarakat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satu faktor yang terkait dengan masyarakat itu sendiri adalah bagaimana mereka memiliki konsep sehat dan sakit yang akhirnya diaplikasikan dalam bentuk tindakan mereka masing-masing. Pada sub bab terdahulu sudah dijelaskan bahwa penyebab sakit menurut masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk masyarakat Etnik Laut pada umumnya adalah ada yang dikarenakan medis namun ada juga yang disebabkan karena adanya gangguan orang-orang halus. Namun berdasarkan fakta di lapangan ternyata kepercayaan masyarakat pun masih cukup kuat terhadap jenis penyebab penyakit yang disebabkan oleh gangguan dari para orang halus. Kematian bayi pun sudah mereka ketahui disebabkan karena adanya penyakit yang menimpa bayi tersebut. Namun karena pemaknaan sakit disebabkan gangguan orang halus tersebut maka untuk menghindari anak bayi tersebut sakit maka hal-hal yang dilakukan cenderung untuk mengusir orang halus. Begitupun dengan pengobatannya yang dilakukan adalah tindakan yang dipahami sebagai pengusiran orang halus yang mendatangkan penyakit tersebut. 4.3.1. Pencegahan Penyakit untuk Bayi Untuk menghindari agar bayi terhindar dari sakit yang terjadi karena gangguan orang halus tersebut maka masyarakat percaya bahwa ada hal-hal yang mereka lakukan agar terhindar dari gangguan orang halus tersebut. Tindakan yang banyak dijalankan dan sangat diyakini oleh masyarakat adalah pemasangan tangkal atau jimat. Pemasangan tangkal pun wajib dipasang sejak ibu hamil hingga sampai bayi tersebut lahir. Bukan 238

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

hanya dipasang di tubuh manusia, pemasangan tangkal untuk menghindari sakit pada bayi bisa juga dipasang di rumah ataupun pada buai atau ayunan si bayi. Tangkal pada Saat Kehamilan Kebanyakan ibu hamil percaya bahwa untuk keselamatan pada saat hamil maka ada tangkal-tangkal yang berguna untuk menghindari setan atau orang halus yang suka sekali mengganggu ibu pada saat hamil yaitu yang disebut perakang, pelesit ataupun polong. Ketiganya menyukai wangi harum tubuh dari si ibu hamil. Tangkal tersebut juga dapat menghindari dari keteguran ataupun kelintasan. Tangkal-tangkal tersebut pun bermacam-macam, ada yang dipasang di rumah ataupun tangkal yang dipakaikan di diri ibu dan dibawa kemana pun ibu pergi. Biasanya tangkal dibuat oleh dukun atau bidan kampung. Salah satu tangkal yang paling banyak ditemui adalah tangkal berupa kain hitam berisi barang-barang pelindung yang dijahit dan disematkan di pinggang si ibu yang sedang hamil. Barang-barang pelindung tersebut antara lain jarum, merica atau disini biasa disebut dengan sahang, kancing, peniti, bawang merah dan bawang putih. Ada yang menyematkannya di celana bawahan ibu dengan menggunakan peniti, namun ada juga yang menyatukannya dengan tali 3 warna dan diikatkan melingkari perut si ibu seperti gambar 4.1. Berkaitan dengan benang 3 warna, warna yang biasa digunakan adalah warna merah, putih dan hitam. Ketiga warna tersebut menurut masyarakat mewakili bagian diri manusia. Untk warna merah diibaratkan sebagai darah, putih diibaratkan sebagai tulang dan hitam sebagai kotoran. Tangkal seperti gambar 4.1 dapat dipakai ibu kemana saja, namun biasanya dilepaskan pada saat mandi. Tangkal ini bisa dipakai hingga waktunya melahirkan nanti. Setelah itu 239

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tangkal ini bisa disimpan dan dipakai lagi pada kehamilan berikutnya.

Gambar 4.1. Tangkal di Perut Ibu Hamil Sumber: Dokumentasi Peneliti

Untuk tangkal seperti itu tidak bisa dibuat sendiri namun harus meminta bantuan dukun ataupun bidan kampung. Biasanya bahan-bahan tersebut dibawa sendiri oleh keluarga si ibu hamil dan diserahkan kepada si dukun kampung. Nantinya dukun atau bidan kampung yang akan membuat dan menjampikannya sebelum akhirnya bisa dipakai oleh si ibu hamil. Seperti yang dikatakan oleh informan I berikut ini: “dari dulu pasang di pinggang. Kita kan minta sama bidannya. Itu biar tidak ada perakang. Saya ini suka jalan malam-malam, soal suntuk di rumah. Ini gunting, bawang tunggal, sahang. Bahan kita cari, dia yang jampikan. Ini jimat saya yang dulu ini. Ini kalau mandi karena basah dibuka aja.” 240

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Selain bidan kampung yang ada di desa sendiri, banyak juga yang membelinya dari dukun yang ada di daerah lain. Dukun atau bidan kampung tidak terbatas dengan orang Laut, namun ada juga dukun dari Jawa, Bugis ataupun Banjar. Bentuknya pun kadang lain, ada yang kainnya hanya 1 warna dan ada juga yang berupa ikat pinggang bertulisan ayat Al-Quran di permukaannya. Masyarakat percaya bahwa keberadaan tangkal tersebut bisa melindungi ibu dan bayi yang ada di dalam kandungan, apalagi jika ibu sedang mengandung anak pertama sangat diwajibkan untuk memakai tangkal tersebut. Jika kehamilan pertama tersebut juga mengalami keguguran maka pada saat kehamilannya lagi maka kehamilan berikutnya masih dianggap sebagai kehamilan pertama, sehingga tangkal tersebut masih harus dipasang kembali. Selain itu tangkal ada juga yang dipasang di dalam rumah, biasanya di pintu depan rumah, di depan pintu kamar si ibu atau di dekat ibu biasa tidur. Tangkal yang paling banyak ditemui adalah daun bunglai, daun jerangau, bawang merah tunggal, bawang putih tunggal dan kesemua bahan tersebut diuntai menjadi satu gelang. Barang ini dianggap mengeluarkan bau yang tidak disukai oleh orang halus tersebut. Tangkal seperti ini bisa dibuat sendiri oleh masing-masing keluarga. Selain itu ada juga yang membuat tangkal dengan memasang barang-barang lainnya yang dianggap juga dapat menolak adanya setan pengganggu, seperti tanaman berduri, daun jerangau ataupun memasang ayat kursi. Hal ini seperti diyakini oleh informan E yang sedang hamil usia 9 bulan, “ini aku pasang sendiri ka, soalnya orang tu (makhluk halus) takut sama yang berduri ka. Pergi dia. Kemarin adikku juga bisa liat orang itu. Orang itu liat duri itu, takut dia ka. Ayat kursi juga aku tulis sendiri, tidak

241

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

disuruh siapa-siapa, keinginanku karena memang aku tau ayat kursi orang itu takut juga ka.”

Gambar 4.2. Tangkal yang Dipasang di Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Keyakinan mengenai pemasangan tangkal ini memang masih dipercaya oleh sebagian besar orang, hanya sebagian kecil informan yang tidak memasang tangkal tersebut. Alasan utamanya adalah mengenai ketidakyakinan terhadap tangkal tersebut dan lebih mempercayakannya dengan meminta perlindungan Tuhan. Ada lagi yang tidak memasang tangkal karena pada saat hamil sebelumnya tidak memasangnya, karena ada juga keyakinan bahwa ketika anak pertama tidak memakai tangkal maka selanjutnya tidak usah menggunakan tangkal. Dan berlaku sebaliknya, ketika anak pertama memakai tangkal anak selanjutnya disarankan untuk terus memakai tangkal.

242

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Tangkal untuk Anak Bayi Seperti pada masa ibu sedang hamil, masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk masyarakat Etnik Laut, memiliki kepercayaan yang tinggi akan adanya keberadaan benda-benda yang menjadi tangkal untuk melindungi bayi dari bahaya orang halus yang bisa menyebabkan sakit atau bahkan hingga mengakibatkan bayi itu meninggal. Lain dengan tangkal ibu yang biasanya bermacam-macam jenisnya, biasanya untuk tangkal anak bayi dan balita biasanya berupa gelang dan juga kain yang berwarna hitam. Kadang ditambah dengan buah-buahan kering yang juga berwarna hitam. Ada yang dipakaikan di tangan, di kaki ataupun di leher, seperti salah satunya yang ada pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Tangkal Bayi di Tangan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sama seperti tangkal pada ibu hamil, pemasangan tangkal ini tidak dibatasi dengan siapa harus memintanya. Bisa 243

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

memintanya dari dukun kampung dari Etnik manapun selama keluarga itu percaya terhadapnya. Seperti bapak Ad (Etnik Laut) yang langsung membelikan jimat untuk bayinya segera setelah bayinya lahir. Ia membelinya bukan jimat yang berasal dari Etnik Laut namun malah membelinya dari dukun kampung yang berasal dari Jawa. Meskipun memiliki kepercayaan yang berbeda namun ia meyakini bahwa dukun kampung tersebut dapat memakaikan tangkal yang paling ampuh untuk anaknya. Tangkal untuk anak kecil pun ada yang memang dijual di desa lain, ada juga yang didapatkan dari dukun langsung. Alasan utama mereka adalah menjauhkan anak tersebut dari gangguan orang halus yang bisa mendatangkan sakit, sehingga biasanya setiap orang tua memasangkan jimat tadi untuk anaknya. Namun ada juga yang memasangkan setelah anaknya mengalami sakit terus menerus, dengan harapan dengan jimat tersebut anak bisa segera sembuh dari penyakitnya. Seperti yang diceritakan ibu R berikut ini: “dulu dia kecil sakit terus, akhirnya kami bawa ke disana memang banyak yang jual tangkal-tangkal untuk budak ni. Tapi kemarin kami juga ke dukun disana, dikasihlah kami tangkal. Setelah itu sembuh lah anak kami.

Kepercayaan mereka cukup tinggi akan keberadaaan jimat tersebut dalam melindungi si bayi. Karena kebanyakan masyarakat itu beranggapan bayi sakit karena faktor terjadi keteguran atau kelintasan oleh orang halus ataupun gangguan dari perakang maka mereka pasti memakaikan tangkal kepada anak-anak mereka. Selain itu tangkal untuk bayi dapat juga dipakaikan pada lokasi-lokasi yang berdekatan dengan tempat bayi biasa tidur di dalam rumah, bisa ditempatkan di sudut kamar ataupun di taruh di atas ayunan atau buai temoat bayi dibaringkan sehari-hari. Untuk ruangan biasanya ditaruhlah kembali daun jerangau dan 244

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

daun bunglai. Sedangkan untuk jimat yang ada di atas buaian bisa bermacam-macam. Ada jarum, tanduk binatang dan yang paling sering adalah surat yasin atau ayat kursi yang dilipat-lipat menjadi kecil dan ditaruh di dalam kantung.

Gambar 4.4. Tangkal Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti

4.3.2. Pengobatan Penyakit untuk Bayi Sakit yang terjadi karena adanya gangguan orang halus pun akhirnya membuat mereka mempercayakan penyembuhan sakitnya kepada orang yang dianggap bisa melakukan pengusiran terhadap orang halus tersebut. Dukun kampung, termasuk bidan kampung adalah orang-orang yang dapat melakukannya. Dengan kemampuan mereka yang bisa berkomunikasi dengan orang halus tersebut maka mereka dianggap bisa mengetahui penyebab dan menyembuhkan penyakit yang terjadi. Pengobatan paling sering dilakukan untuk mengobati bayi yang sakit adalah temas. Pengobatan ini bisa berlaku untuk keteguran, kelintasan ataupun tekene’. Ketika bayi mulai sering 245

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menangis maka biasanya keluarga langsung memanggil bidan ataupun dukun kampung untuk menemas anaknya. Selain bidan dan dukun kampung, temas bisa juga dilakukan oleh orang biasa yang memang mampu melakukannya. Terhitung ada cukup banyak orang yang dapat melakukan temas selain bidan dan dukun kampung. Dari kasus kematian bayi yang ada hampir semuanya melakukan temas sebagai pertolongan pertama. (Proses temas sendiri bisa dibaca pada bab 2.8.2 tentang Pengobatan Tradisonal dan Teknik Penyembuhan Pengobatan Tradisional).

Gambar 4.5. Bayi ditemas oleh Bidan Kampung Sumber: Dokumentasi Peneliti

Meskipun hanya mengandalkan kunyit dan hanya dibalurkan ke jidat si bayi pun namun masyarakat memiliki keyakinan tinggi terhadap pengaruh pengobatan ini. Hampir semua orang di desa ini, baik tua maupun muda hingga bayi, pasti pernah ditemas. Mereka meyakini bahwa biasanya sakit akan segera sembuh jika sudah ditemas, termasuk para bayi yang 246

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

sedang sakit. Ketika ditanyakan mengapa kunyit, bukan tanaman lain, yang digunakan sebagai media utama para masyarakat pun tidak tahu. Ketika ditanyakan kepada para bidan kampung pun mereka tidak tahu sebenarnya apa khasiat dari tanaman kunyit tersebut jika hanya ditempelkan di dahi si bayi. Menurut mereka memang kunyit ini biasa digunakan untuk mengusir orang halus yang jahat dan bisa mengganggu kesehatan seseorang. Sebenarnya jika pada saat pertama kali pengobatan temas tersebut tidak juga menurunkan panas atau menghentikan tangis bayi maka penyakit tersebut bisa dikarenakan adanya gangguan medis yang harusnya diobati dengan obat-obatan seperti yang dikatakan oleh Mak Te: “kalau misalnya kunyitnya jadi berwarna merah itu pasti keteguran, biasa sembuh kalau sudah ditemas. kalau misalnya sudah ditemas biasanya panas hilang, bayi berhenti nangisnya. kalau memang bukan karena keteguran ditemas bisa tidak sembuh. nah itu berarti sakit harus ke dokter. tak bisa itu ditemas.”

Namun pada prakteknya biasanya para bidan kampung dalam pengobatannya melakukannya lebih dari satu kali, sehingga dalam pengobatan anak yang sedang sakit bisa beberapa hari dilakukan temas saja. Jika sudah ditemas tidak sembuh juga bisa dilakukan alternatif pengobatan tradisional lainnya. Pengobatan lainnya adalah dengan memandikan bayi dengan daun jerangau dan daun bunglai. Kedua daun ini dianggap sebagai daun yang baunya tidak disukai oleh orang halus. Selain dicampurkan dengan air dan digunakan untuk mandi, kedua daun ini juga dapat digunakan dengan cara digiling dan dicampurkan dengan terasi dan abu lalu dibalurkan ke badan bayi 3 kali dalam sehari sampai bayi tersebut sembuh. Biasanya ini dilakukan jika anak terkena kelintasan. 247

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Jika cara penyembuhan tersebut tidak membuahkan hasil dan bayi tak kunjung sembuh biasanya ada dua pendapat di masyarakat, mungkin bayi tersebut tekene’ atau memang sakit karena ada gangguan di dalam tubuh yang harus diobati dengan cara pergi ke tenaga kesehatan. Biasanya kembali lagi mereka akan meminta jawaban ke bidan atau dukun kampung. Kalau memang penyakit dianggap tekene’ maka akan diadakanlah tukar ganti atau ancak dan jika memang sakit dikarenakan gangguan medis mereka membawa anaknya untuk diperiksakan ke Puskesmas ataupun ke dokter yang ada di kecamatan. Meskipun cara pengobatan dalam penyembuhan penyakit antara satu dukun dan dukun lainnya tidak terlalu berbeda, namun di mata masyarakat dukun kampung masing-masing memiliki kemampuan yang berbeda. Jika ada yang sakit dan tidak bisa diobati oleh dukun A, maka mungkin sakit tersebut bisa diobati oleh dukun B, atau jika tidak bisa juga maka mungkin ketika diobati oleh dukun C dapat sembuh. Ketika dukun-dukun tersebut tidak ada yang bisa menyembuhkan maka barulah biasanya keluarga akan membawa bayinya ke tenaga kesehatan yang mereka pilih. 4.4. Kasus Kematian Bayi dilihat dari Kacamata Kesehatan Jika sub-bab sebelumnya menceritakan bagaimana pandangan sakit sebagai penyebab kematian bayi dari sisi masyarakat maka pada sub bab ini akan coba diidentifikasikan masalah yang terjadi dari segi kesehatan. Jika melihat gejalagejala apa yang dialami oleh si ibu ataupun si bayi yang sedang sakit (dari kasus yang ada) maka ada beberapa penyebab sakit bayi yang diderita oleh anak sebelum meninggal. Sayangnya penyebab kematian bayi dari sisi medis ini tidak semua bisa dikonfirmasi apa penyebabnya, hal ini terjadi karena ada 248

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

beberapa di antara mereka yang sampai bayinya meninggal tidak sempat memeriksakannya ke pustu ataupun puskemas. Persalinan Berisiko Seperti yang diuraikan pada potret kesehatan mengenai persalinan tradisional, pada prakteknya para bidan kampung melakukan tindakan mendorong-dorong perut si ibu yang akan bersalin. Atau lebih tepatnya bidan kampung menyuruh keluarga ataupun kerabat terdekat, khususnya laki-laki yang memiliki tenaga besar, untuk mendorong perut dari si ibu tersebut secara beramai-ramai. Menurut bidan kampung, hal ini akan membantu ibu agar dalam proses mengeluarkan bayi lebih mudah dilakukan, terlebih lagi jika si ibu dianggap tidak memiliki tenaga pada saat kontraksi berlangsung. Semakin kuat dorongan maka akan semakin cepat si bayi akan keluar. Bidan kampung yang diwawancara juga mengakui bahwa mereka tidak sembarang melakukan pendorongan tersebut. Mereka mengatakan bahwa ada trik-trik untuk mendorongnya. Sebelum mendorong pun mereka membereskan posisi dari si bayi tersebut agar mudah dan tepat keluar di jalan lahir. Cara mendorongnya pun selalu ia ajarkan dahulu kepada yang mendorong, jika ada yang ragu mendorong maka ia tidak membolehkannya. Namun tak semua bidan kampung yang ada di desa berani mendorong perut ibu beramai-ramai, namun memang biasanya tetap ada 1 (satu) orang asisten yang akan diminta oleh bidan kampung untuk membantunya mendorong perut si ibu. Masyarakat pun sudah terbiasa dengan praktek mendorong seperti ini. Kebanyakan suami yang istrinya sudah pernah melahirkan mengakui pernah membantu proses persalinan istrinya dengan membantu mendorongnya. Selain suami orang yang paling sering terlibat untuk membantu 249

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mendorong adalah bapak dari si ibu bersalin. Menurut para suami yang menjadi informan mereka mau membantu karena disuruh oleh bidan kampung, jika bidan kampung belum menyuruh mereka tidak berani melakukannya. Meskipun para suami mengakui sebenarnya tidak terlalu berani untuk mendorong perut namun karena dibimbing oleh si bidan kampung dan tujuannya adalah memudahkan istri mereka, maka mereka tidak keberatan untuk melakukannya, apalagi jika memang istrinya sendiri yang meminta tolong untuk didorong perutnya, seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Ij dan Bapak Ad yang pernah membantu istrinya “saya juga berperan ketika istri saya melahirkan, saya ikut mendorong karna atas suruhan dari bidan kampungnya, apabila udah kesulitan pak. Apa yang saya lakukan ini tidak atas kemauan saya, saya bantu juga sambil diarahkan oleh bidan kampungnya pak.” “Yang nyuruh dorong pertama itu bini aku, karena dia sudah tak tahan sakitnya lagi. Bidan kampung juga nyuruh, untuk saling membantu lah. Aku yang diatas, bidan yang disamping.”

Menurut bidan desa dan juga Kepala Puskesmas memang praktek pendorongan ini masih kerap terjadi di masyarakat. Bukan hanya pada masyarakat Etnik Laut namun juga di masyarakat Etnik lainnya. Praktek pendorongan ini menurut keterangan bidan desa juga menjadi salah satu faktor terjadinya bayi bisa meninggal pada saat persalinan berlangsung. Para bidan desa menyadari praktek ini sehingga sebenarnya mereka sudah sering melarang bidan kampung, namun pada kenyataannya banyak bidan kampung yang masih melakukannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh bidan desa Ibu He:

250

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

“Kami (bidan) dorong ga asal dorong, kalau disini (bidan kampung) asal dorong aja. Ini tidak lagi mengejan perut ibu didorong, seharusnya harus dengan tenaga ibu. Karena keterbatasan gizi, disini banyak ibu yang tidak kuat.”

Para ibu yang sedang bersalin pun nampaknya sudah terbiasa melihat praktek seperti itu jadi ketika melahirkan sudah tidak kaget lagi. Namun diakui oleh beberapa ibu ketika paska melahirkan perut memang terasa amat sakit karena dilakukan pendorongan, bahkan ada satu informan yang mengaku masih mengalami sakit di bagian perutnya setelah bersalin dengan bidan kampung meskipun sudah peristiwanya sudah terjadi beberapa tahun. Namun sampai saat ini karena tidak dianggap penting akhirnya ia memutuskan untuk mendiamkannya saja. Jika melihatnya dari etik kesehatan maka praktek pendorongan perut yang kerap dilakukan di masyarakat Desa Tanjung Pasir tidak sesuai dan dapat membahayakan. Berdasarkan buku Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (2006: 110) mendorong abdomen atau perut ibu pada saat persalinan tidak menolong ibu pada saat persalinan. Selain dapat menyebabkan ibu merasa nyeri, hal tersebut berbahaya terkait dengan ruptura uteri. Ruptura uteri sendiri adalah robekan atau diskontuinitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang myometrium. Robekan ini dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya. Risiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Meskipun kasus kematian bayi lahir mati disini belum dapat dibuktikan akibat ruptura uteri, namun faktor pendorongan ibu tersebut bisa saja mengakibatkan perobekan rahim dan juga menimbulkan infeksi pada bayi sehingga mendatangkan kematian. Selain masalah pendorongan perut tadi di beberapa kasus yang ditemukan terdapat persalinan berisiko yang sebenarnya 251

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sudah diketahui oleh ibu itu sendiri. Beberapa ibu mengakui bahwa sebenarnya pada saat kehamilan, ketika memeriksakan diri ke tenaga kesehatan, mereka dilarang untuk melakukan persalinan di rumah dan harus dilakukan di Puskesmas atau rumah sakit. Kasus persalinan berisiko yang ditemukan di desa ini antara lain karena keadaan ibu yang tidak baik atau memang janin lemah (karena gizi ibu yang tidak baik), ibu dengan usia terlalu muda atau tua dan bunting gajah. Sayangnya ibu-ibu ini meskipun sudah diberikan himbauan tapi tetap memilih melahirkan di rumah dengan bidan kampung. Keadan ibu atau janin yang berisiko tersebut pun berisiko terhadap terjadinya asfiksia. Asfiksia sendiri adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Asfiksia ini juga menurut catatan Puskesmas menjadi salah satu penyebab kematian bayi yang terjadi di masyarakat. Infeksi Pusat Dari 7 kasus kematian bayi yang menjadi kasus di Desa Tanjung Pasir maka ada 4 kasus yang berdasarkan wawancara mengalami infeksi pusat. Hal ini terjadi karena dari gejala yang diceritakan oleh 4 orang ibu menandakan gejala bahwa di sekitar pusat bayi timbul lingkaran atau ruam berwarna merah dan bayi jadi sering menangis dan juga mengalami demam. Namun seperti pada penjelasan sebelumnya setiap bayi menangis biasanya dimaknai ibu sebagai bentuk sakit yang disebabkan karena gangguan orang halus. Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, hampir seluruh bayi yang baru lahir, melahirkan dengan bidan atau bidan kampung akan dirawat selama tali pusatnya belum lepas oleh bidan kampung. Ketika sesudah persalinan berakhir maka bidan kampung akan memotong tali pusat bayi dengan gunting. 252

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Memang sudah sejak lama bidan kampung tidak memakai bambu dan menjadikan gunting sebagai alat untuk memotongnya. Gunting untuk memotong tali pusat biasanya mereka bawa sendiri dan biasanya memang sudah digunakan beberapa kali untuk memotong tali pusat bayi yang mereka tolong sebelumnya. Biasanya sebelum digunakan mereka akan memanaskannya dulu ke dalam air panas. Namun sejauh mana kesterilan gunting yang dipakai maka perlu diteliti lebih lanjut. Setelah itu dalam merawat tali pusat sebelum putus, bidan kampung lebih memilih untuk menggunakan ramuannya, meskipun sebenarnya sudah dilarang oleh bidan kampung. Ramuan yang terdiri dari campuran bedak dan garam pun lebih dipilih sekalipun terkadang bidan desa sudah memberikan kassa dan obat antiseptik kepada bidan kampung untuk mempergunakannya. Dari hasil wawancara terkadang bidan kampung menyalahkan bidan desa karena tidak memberikan peralatan untuk merawat tali pusat itu sehingga mereka “terpaksa” tetap menggunakan ramuan mereka. Namun dari hasil pengamatan sekalipun bidan desa telah memberikan tapi juga tidak dipergunakan oleh si bidan kampung. Menurut bidan kampung pemberian ramuan tersebut mempercepat putusnya tali pusat (sekitar 3 hari), yang jika hanya menggunakan obat antiseptik akan memakan waktu sampai seminggu lebih. Selain itu menggunakan antiseptik akan menimbulkan bau yang tidak enak. Menurut Depkes RI (2009), perawatan tali pusat adalah melakukan pengobatan dan pengikatan tali pusat yang menyebabkan pemisahan fisik ibu dengan bayi, dan kemudian tali pusat dirawat dalam keadaan bersih dan terhindar dari infeksi tali pusat. Secara teori, tali pusat biasanya puput satu minggu setelah lahir dan luka sembuh dalam 15 hari. Sebelum luka sembuh merupakan jalan masuk untuk infeksi, yang dapat 253

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menyebabkan sepsis. Penelitian terbaru membuktikan bahwa tidak melakukan apa-apa pada tali pusat merupakan yang terbaik, bahkan lebih baik daripada pemberian alkohol atau pemberian antiseptik.

Gambar 4.6. Bayi Prematur diberikan Ramuan untuk Tali Pusat Sumber: Dokumentasi Peneliti

Oleh karena itu maka pemberian ramuan yang diberikan para bidan kampung tersebut perlu ditinjau apakah merupakan penyebab dari banyaknya terjadi infeksi pusat yang ada di desa ini. Terjadinya infeksi pusat pun menjadi semakin besar risikonya karena kebanyakan ibu masih banyak yang tidak mau diberikan imunisasi TT selama hamil. Imunisasi TT menurut catatan Puskesmas Kecamatan Kuala Enok untuk desa ini hanya mencapai angka 28%, sehingga masih lebih banyak ibu yang bayinya mengalami risiko lebih tinggi mengalami infeksi tali pusat.

254

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Bayi Berat Lahir Rendah 2 (dua) dari kasus kematian bayi yang ditemukan terjadi karena bayi memiliki berat lahir rendah. Keduanya memang dilahirkan secara prematur yaitu ketika kandungan ibu masih berusia 7 (tujuh) bulan dan lahir dalam keadaan kecil. Satu ibu sempat mengundang bidan untuk mengukur anaknya, sedangkan satu lagi tidak sempat memanggil sampai anaknya meninggal. Sama seperti persalinan jika kandungan tepat 9 (sembilan) bulan, ibu tetap akan mempercayakan perawatan ke bidan kampung. Menurut bidan kampung pun kurang lebih perawatan yang diberikan sama dengan yang ia lakukan di bayi berumur 9 bulan, yang membedakan hanya ketika mandi saja. Biasanya bayi prematur tidak mereka mandikan dengan air hangat, cukup dengan membasuh badan dengan handuk yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat. Bidan kampung sendiri mengatakan bahwa bayi prematur membutuhkan kehangatan karena masih terlalu kecil dan mudah sakit. Biasanya mereka menggunakan dua botol aqua berisi air panas yang lalu dibungkus dengan kain untuk ditaruh di kedua sisi samping badan si anak. Berdasarkan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (hal 377), bayi dengan berat lahir rendah (kurang dari 2500 gram) sangat rentan terhadap hipotermia dan infeksi. Oleh karena itu bayi dalam kategori ini memerlukan penanganan medis agar meminimalisir risiko terjadinya hipotermi dan infeksi. Sebaiknya penanganan dilakukan di fasilitas kesehatan, minimal Puskesmas dan bila semakin parah harus dirujuk ke rumah sakit. Ketika ditanyakan mengenai kelahiran prematur kepada ibu dari 2 kasus yang ada mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa penyebab medisnya, yang mereka tahu bahwa wajar saja ada kelahiran yang terjadi sebelum usia 9 bulan. Keinginan dari si bayi 255

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

itu sendiri kadang menentukan kapan proses persalinan itu terjadi. Seperti ibu Ge, yang anak keduanya meninggal di usia 5 hari, yang mengatakan bahwa ia merasa wajar karena pada kelahiran sebelumnya ia juga melahirkan pada bulan ketujuh. Begitupun pada saat merawat bayinya ia merasa perawatan yang dilakukan sama saja dengan anak pertamanya. Ia pun mengatakan bahwa anak pertamanya terlihat keadaannya lebih memprihatinkan daripada anak keduanya, namun ternyata dengan bantuan bidan kampung anak pertamanya tetap selamat. Oleh karena itu ketika kali kedua ketika anaknya sakit ia tidak terlalu khawatir sehingga ketika anaknya sakit dan menangis ia hanya membawanya ke bidan kampung. Jika berbicara dari sudut pandang kesehatan, selain ketiga hal yang ditemukan pada kasus di Desa Tanjung Pasir masih ada perilaku ibu yang menjadi risiko terjadinya keadaan sakit pada bayi, yaitu antara lain: 1) Pemberian Madu untuk Bayi Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, masyarakat terbiasa memberikan madu pada bayi yang baru lahir. Pertama kali bahkan bayi tidak boleh diberikan apapun selain madu tersebut. Masyarakat percaya bahwa pemberian madu justru akan menghindarkan anak sakit yang terjadi karena anak menelan air ketuban ibu. Namun berdasarkan penelitian meskipun madu banyak memiliki khasiat tapi berbahaya bagi bayi, khususnya untuk bayi yang baru lahir. Madu berpotensi mengandung spora bakteria, yang memproduksi toksin (zat beracun) yang bisa menyebabkan penyakit infant botulism (penyakit botulisme pada bayi). Penyakit ini akan mempengaruhi sistem persarafan bayi dan bisa menyebabkan kematian. Pada bayi, pola kuman baik di saluran cerna belum selengkap orang dewasa. Padahal, bakteria baik ini bisa mengatasi spora botulisme dan mencegahnya berkembang biak. Sehingga, secara 256

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

otomatis tidak berbahaya4.

akan

terjadi

pembentukan

toksin

yang

2) Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir Jika melihat dari segi kesehatan, kebiasaan ibu yang telah memberikan susu formula kepada bayi di bawah 6 bulan seperti yang terjadi pada hampir mayoritas ibu di desa ini, akan meningkatkan risiko penyakit dan memungkinkan terjadinya gizi buruk pada bayi. Banyak ibu yang belum memahami pentingnya ASI disertai dengan maraknya media yang mengiklankan susu formula membuat mereka lebih senang memberi anaknya susu formula dibandingkan ASI. Proses pemberian ASI kepada bayi sebenarnya sudah diatur oleh Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 450/MENKES/SK/IV/2004 yang menetapkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif bagi bayi sejak lahir sampai dengan berumur enam bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Menurut Utami Roesli (2001:31) ASI memiliki banyak manfaat yaitu antara lain: a. Sebagai nutrisi terbaik dan sumber kekebalan tubuh b. Melindungi bayi dari infeksi. ASI mengandung berbagai antibodi terhadap penyakit yang disebabkan bakteri, virus, jamur dan parasit yang menyerang manusia c. Menghindarkan bayi dari alergi. Jika melihat fungsi ASI tersebut maka tentunya bayi yang tidak diberikan ASI memiliki daya tahan tubuh yang lebih rentan, sedangkan susu formula sendiri tidak bisa menggantikan gizi yang 4

http://www.parenting.co.id/article/bayi/efek.buruk.madu.pada.bayi/001/ 002/161 diakses pada 15 Agustus 2014, 13.10 WIB

257

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

terdapat di ASI. Depkes RI (2013) menyatakan bahwa susu botol atau formula sebaiknya tidak diberikan pada bayi karena mengganggu jalinan kasih sayang ibu-bayi, bayi lebih mudah diare, ISPA, alergi, kurang gizi, kelebihan berat badan dan kecerdasan lebih rendah. Susu botol atau formula juga menyebabkan bayi bingung puting sehingga malas menghisap ASI. 3) Bayi menjadi Perokok Pasif Seperti yang sudah dibahas pada bab PHBS sebelumnya banyak warga desa yang menjadi perokok. Hampir mayoritas lakilaki merokok dan cukup banyak perempuan yang merokok. Perilaku merokok itu pun bisa dimana saja, termasuk merokok di dalam rumah dimana ada bayi di dalam ruangan tersebut. Sehingga dapat dikatakan sejak kelahirannya banyak bayi yang sudah terpapar asap dari rokok yang sedang dihisap bapak atau keluarga lainnya yang di dalam rumah. Bahkan berdasarkan pengamatan ada bidan kampung yang merokok ketika masih merawat bayi baru lahir. Semakin banyak anggota keluarga di dalam rumah yang merokok maka semakin banyak pula asap rokok yang terhirup oleh si bayi. Asap rokok menjadi semakin buruk karena melihat ventilasi rumah yang ada di desa yang tidak sesuai dengan standar kesehatan. Asap rokok ditambah ventilasi yang kurang baik membuat asap terhirup oleh si bayi yang berisiko terhadap penyakit ISPA, yang juga menjadi penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat desa. ISPA pun berpotensi menjadi penyakit pnemonia jika infeksi sudah mengenai paruparu. Jika melihat kebiasaan masyarakat dan keadaan rumah seperti yang ada saat ini maka tingkat penyakit ISPA dan risiko pnemonia akan terus terjadi, sehingga kematian bayi pun masih akan terus ada.

258

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

4.5. Bidan Kampung, Peri Penolong atau Pencabut Nyawa? Bidan kampung sampai saat ini kerap disalahkan ketika ada kematian ibu ataupun kematian bayi yang ada di masyarakat. Praktek mereka yang sering dianggap salah oleh pihak medis membuat mereka menjadi pihak yang dikambinghitamkan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Di satu sisi masyarakat khususnya ibu pada masyarakat Desa Tanjung Pasir masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap para bidan kampung tersebut. Jika kita lihat dari sisi masyarakat ternyata dalam kehamilan, proses persalinan hingga perawatan bayi, bisa dikatakan ibu lebih membutuhkan bantuan bidan kampung daripada bantuan bidan tenaga kesehatan. Kebanyakan ibu bahkan menempah bidan kampung agar memastikan bahwa selama hamil hingga nanti anak bayinya lahir akan ada seseorang yang bisa menolongnya. Menempah bidan sendiri merupakan proses “melamar” bidan atau membentuk ikatan dengan bidan yang dilaksanakan oleh si keluarga ibu hamil. Dengan menempah bidan maka secara resmi ke depannya bidan itulah yang akan membantu ibu pada saat proses persalinan hingga merawat bayi. Dahulu proses menempah bidan ini ada syarat yang harus diberikan kepada bidan tersebut yaitu berupa tepak sirih lengkap dengan isinya, yaitu susunan siri, kapur, piring, gambir dan jeruk nipis. Namun kini syarat-syarat tersebut sudah jarang diberlakukan, kini menempah bidan hanya cukup dengan lisan saja antara si ibu atau keluarganya dengan si bidan yang diminta untuk membantu persalinan. Sebagian masyarakat masih ada yang melakukan menempah bidan namun ada yang juga tidak mau dikarenakan takut terikat dengan satu bidan, yang akan berisiko pada saat persalinan bidan tersebut tidak ada di tempat. Jika sudah 259

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menempah dengan satu bidan akan sulit untuk pindah ke bidan lain, hal ini akan menyebabkan bidan sakit dan ibu hamil kesulitan untuk mencari penggantinya. Hal ini pun juga disetujui oleh para bidan kampung, mereka sebenarnya tidak mau ditempah karena takut tidak bisa memenuhi janjinya. Namun jika memang ada keluarga yang secara resmi menempah mereka, maka mereka pun tidak akan menolak. Begitupun jika akhirnya ibu melahirkan dibantu oleh bidan nakes namun sudah menempah bidan kampung. Bidan kampung tetap harus ada mendampingi bidan nakes dan tetap harus melaksanakan perawatan sampai tali pusat bayi lepas. Jadi dapat dikatakan ibu semakin memiliki ikatan yang kuat dengan bidan kampung.

Gambar 4.2. Seorang Ibu Hamil dengan Bidan kampung yang Sudah Ditempah Sumber: Dokumentasi Peneliti

260

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Keempat bidan kampung yang ada di desa ini menyatakan bahwa sampai saat ini mereka semua pernah diundang oleh pihak Puskesmas untuk mengikuti pertemuan antara para bidan kampung dengan para petugas Puskesmas yang kadang dihadiri juga oleh ibu-ibu PKK di satu kecamatan. Bahkan rata-rata dari mereka sudah pernah datang lebih dari 2 kali pertemuan. Menurut bidan kampung pada pertemuan tersebut mereka diberikan himbauan dan pelatihan untuk melakukan perawatan kepada ibu dan anak. Mereka sendiri juga mengakui bahwa ketika pertemuan tersebut mereka sudah dihimbau untuk tidak lagi membantu para ibu untuk melakukan persalinan. Para bidan kampung tahu bahwa di mata para tenaga kesehatan masih banyak praktek-praktek yang mereka lakukan dianggap menyalahi medis. Selain tidak boleh lagi membantu persalinan mereka juga dihimbau untuk tidak lagi melakukan praktek yang dianggap salah tadi. Jika berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan masyarakat maka dapat terlihat bahwa antara bidan kampung yang satu dengan bidan kampung lainnya terdapat persaingan. Ketika mewawancara bidan kampung A, maka ia cenderung untuk membanggakan diri dan sedikit menjelekkan bidan kampung lainnya. Begitu juga dengan bidan kampung B melakukan hal yang sama. Persaingan tersebut pun terlihat ketika ada ibu yang hamil. Menurut ibu yang sedang hamil meskipun mereka sudah menempah atau rutin mendatangi bidan kampung A terkadang tanpa diminta ada bidan kampung lain yang mendatangi mereka dan melakukan perawatan tanpa diminta. Ibu pun tak bisa menolak karena bidan kampung berniat membantu. Nampaknya bidan kampung saling menunjukkan kemampuan mereka masing-masing agar nantinya dipilih oleh si ibu untuk membantunya bersalin hingga merawat bayinya. 261

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Peneliti sendiri pun dalam observasi pernah melihat percakapan yang dilakukan oleh 2 orang hamil dan 1 orang ibu yang baru saja bersalin. Kedua ibu hamil meminta saran kepada si ibu yang baru saja bersalin untuk memilih mana bidan kampung yang lebih baik untuk mereka melahirkan. Percakapan mereka pun membandingkan perawatan apa saja yang mereka dapatkan dan berapa besar biaya dan cara pembiayaan dengan bidan kampung tersebut. Tentunya pada ibu ingin mendapatkan pelayanan yang baik dengan harga yang lebih terjangkau bagi mereka. Dalam percakapan tersebut mereka tidak sama sekali membicarakan mengenai bidan desa. Bidan kampung sangat dianggap penting keberadaannya bagi para ibu dan keluarganya. Untuk mereka bidan kampung membantu mereka merawat kehamilan hingga merawat bayi mereka nantinya. Selain dari segi kesehatan para bidan kampung juga mengerti tradisi apa yang harus mereka lakukan pada masa itu. Di satu sisi para bidan kampung sebenarnya sudah berusaha melakukan perbaikan terhadap praktek-praktek mereka sesuai dengan apa yang sudah diberitahukan oleh para petugas kesehatan. Perbaikan mereka lakukan atas dasar arahan para petugas kesehatan ketika mereka dipanggil pelatihan di Puskesmas ataupun himbauan langsung. Praktek seperti memotong tali pusat dengan bambu dan memasukkan tangan untuk mengambil uri yang tertinggal tidak berani mereka lakukan. Namun masih ada beberapa praktek tradisional yang mereka “tinggalkan” ketika sedang diawasi oleh bidan desa setempat. Ketika pengamatan berlangsung sebenarnya sudah terjalin hubungan kerjasama yang baik antara bidan desa dengan bidan kampung, meskipun belum berlaku untuk semua bidan kampung. Bidan kampung yang sudah bekerja sama terlihat 262

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

beberapa kali mendatangi Puskesmas dan memberitahukan kepada bidan desa mana-mana ibu yang sedang hamil, mau bersalin atau sudah bersalin. Beberapa bidan kampung pun terkadang turut memberikan saran kepada ibu yang sedang hamil untuk memeriksakan diri ke bidan desa. Dalam praktek persalinan pun menurut bidan kampung jika dirasa ibunya kurang sehat ia akan menyarankan untuk bersalin dengan bidan desa saja, para bidan kampung menyatakan juga tidak berani menanggung risiko jika sesuatu hal buruk terjadi pada ibu. Namun kembali lagi bidan kampung tidak mau melangkahi keinginan dari si ibu itu sendiri, terkadang menurutnya banyak ibu yang tidak mau dipanggilkan bidan desa pun ia sudah menyuruhnya. Para bidan kampung pun mengakui sudah beberapa kali dilarang untuk membantu persalinan yang ada di desa. Mak An dan Mak In, yang saat ini merupakan bidan kampung aktif, ketika ditanyakan apakah mereka mau jika disuruh untuk berhenti menolong persalinan menjawab kesediaannya untuk tidak lagi menolong. Mereka bahkan menjawab bahwa akan senang jika bidan desa menggantikan fungsi mereka, karena dengan usia mereka yang tidak lagi muda mereka cukup lelah untuk mengurus ibu dan anak bayi mereka yang jumlahnya pun tidak sedikit yang ada di desa. Namun di satu sisi mereka mengkhawatirkan keadaan ibu dan bayi jika sampai saat ini tidak ada bidan desa yang mau tinggal di desa ini. Selama ini mereka tetap membantu meskipun dilarang karena menurut mereka siapa lagi yang mampu menolong ibu dan bayinya karena bidan yang ada hanya ada di desa selama 2-3 jam setiap harinya. Mereka pun tidak kuasa menolak permintaan tolong dari ibu dan keluarganya manakala mereka dibutuhkan, apalagi pada saat persalinan yang sifatnya tidak bisa lagi ditunda-tunda. Seperti apa yang dilontarkan oleh Mak An berikut ini: 263

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Saya senang, enak saya tidak usah diganggu malammalam untuk bantu melahir. tapi orang Puskesmas mau kasih saya tidak? kami disini sebenarnya mau tidak bantu melahirkan. tapi orang sini siapa nanti yang menolong. kalau nanti kami dikira tinggi gitu ya bu tidak mau menolong. disini seperti itu kalau ada apa-apa sama bayi kami pula disalahkan. kalau bayi atau ibu meninggal disini sama dokter tidak ada yang berani marah ke dokternya. ya itulah kalau ada yang ketuk rumah minta kami bantu masa kami tidak tolong. saya nih liat itu saya telpon juga bu bidan untuk tiap bantu lahir, tapi ya itu lamalah menunggu dia. mana ada ibu yang melahirkan mau nunggu. kasiannya. makanya orang sini panggil saya dulu saja.”

Hal tersebut juga berlaku untuk pengobatan anak yang sedang sakit. Kebanyakan keluarga akan mencari bidan kampung dahulu sebagai penolong pertama. Bidan kampung dicari karena lebih mudah dijangkau dan selain itu ibu merasa bidan kampung adalah orang yang juga mengetahui riwayat kesehatan bayi tersebut dari masih dalam kandungan. Mereka pun percaya dengan kemampuan yang dimiliki, bidan kampung dapat membantu menyembuhkan anak mereka. 4.6. Peran Kader dalam KIA Desa Tanjung Pasir seperti sudah dikatakan pada bab sebelumnya saat ini memiliki jumlah 12 orang yang menjadi kader Posyandu. Kader Posyandu ini sebenernya berfungsi bukan hanya pada saat Posyandu itu dilaksanakan, seperti membantu menimbang dan mengukur anak, namun juga harusnya menjadi perpanjangan tangan dari para tenaga kesehatan desa, khususnya para bidan, dalam mengontrol kesehatan ibu dan juga anak yang ada di desa. 264

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Saat ini jumlah total kader kesehatan yang ada di desa ini 12 orang untuk 3 dusun yang ada di Desa Tanjung Pasir. 5 orang untuk di Dusun Tanjung Harapan, 5 orang di Dusun Sungai Rumah dan 2 orang di Dusun Sungai Bandung. Jika melihat secara kuantitatif perbandingan jumlah kader dan jumlah ibu hamil ataupun anak bayi yang ada di dusun ini sebenernya cukup berimbang. Namun berdasarkan pengamatan peneliti fungsi dari kader belum terlalu maksimal dalam membantu bidan dalam menjaga kesehatan ibu dan anak. Dilihat dari jumlah memang masih dikatakan untuk Dusun Sungai Bandung masih kurang jumlahnya, apalagi kedua kader yang ada (yang merupakan suami istri) ternyata lebih sering bertempat tinggal di Dusun Tanjung Harapan yang lokasinya jauh dari dusun tempat mereka tinggal. Ditambah lagi medan yang sulit untuk masuk dan keluar dusun ini membuat dusun ini jarang sekali didatangi oleh petugas kesehatan. Selama ini kedua kader Posyandu di Dusun Sungai Bandung mengakui pada akhirnya mereka jarang sekali mengawasi keadaan ibu dan anak disana. Mereka bisa dikatakan “memasrahkan” keadaan kesehatan ibu dan anak disana dengan mengandalkan bantuan bidan kampung yang ada disana, atau jika memang kesadaran ibu sudah baik maka ibu secara otomatis akan melakukan pemeriksaan ke pustu ataupun langsung ke Puskesmas yang ada di kecamatan. Lain halnya dengan para kader yang ada di Dusun Sungai Rumah dan Tanjung Harapan, kini masing-masing dusun memiliki 5 orang kader. Kader ini pun berasal dari berbagai macam Etnik, dari kader yang ada semuanya mewakili Etnik yang ada di desa ini. Berdasarkan hasil observasi penelitian, kebanyakan kaderkader ini hanya bekerja pada saat kegiatan Posyandu saja, namun untuk kegiatan di luar Posyandu, khususnya dalam menunjang pelayanan KIA, termasuk imunisasi, bisa dikatakan hanya 2 orang

265

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang benar-benar aktif, yaitu ibu A dan ibu D, sementara yang lainnya tidak. Dalam pengamatan peneliti kedua kader tersebut cukup rajin memberikan anjuran kepada ibu hamil ataupun ibu yang memiliki bayi dan balita untuk memeriksakan kesehatannya. Bukan hanya kegiatan yang berkaitan dengan KIA, kedua orang ini bisa dikatakan sering terlibat aktif di kegiatan Puskesmas sehari-hari. Kedua kader ini pun memiliki kedekatan personal yang lebih baik dengan para tenaga kesehatan di desa dibandingkan dengan kader lainnya. Berdasarkan wawancara dengan salah satu kader (selain kedua kader tersebut), karena kedekatan itulah akhirnya kader lainnya segan untuk terlibat terlalu aktif dalam kegiatan Puskesmas karena takut dianggap ingin mengalahkan atau menyaingi kedua kader tersebut. Kedua kader ini pun juga berperan pada saat persalinan ibu karena berdasarkan keterangan dari masyarakat kedua ibu ini menjadi jembatan mereka untuk menghubungi para bidan desa (yang tidak tinggal di desa Tanjung Pasir) pada saat waktu bersalin. Dikatakan menjadi jembatan karena bidan yang ada, dengan alasan keamanan, tidak pernah mau memberikan nomor teleponnya kepada masyarakat. Sehingga jika ada ibu bersalin yang akan meminta bantuan untuk bersalin tidak bisa menghubungi langsung si bidan namun harus melalui kader tersebut. Nanti kaderlah yang akan menghubungi si bidan atau langsung menjemput mereka ke rumahnya dengan ditemani keluarga pasien yang membutuhkan. Kedua kader ini pun sebenarnya cepat tanggap jika saat itu ada ibu yang akan melakukan persalinan. Biasanya ia akan segera menuju ke rumah ibu ketika sudah akan waktunya bersalin, dan juga tetap menyarankan keluarga tersebut untuk memanggil bidan nakes ataupun menyarankan membawanya ke

266

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Puskesmas. Namun sayangnya himbauan dari kader juga belum juga ditanggapi oleh masyarakat. “Sebagian saja sadar, tapi sebagian itu suka ga mau kalau disuruh. Yang jelas orang sini tu cuek, karna ga mau meluangkan waktu. kalo dukun ga juga, mereka hubungan juga sama kami. Kaka mulutnya judes, kaka bisa langsung negur. Kalo ada apa-apa jangan salahi kami.”

Namun diakui juga oleh salah satu kader yaitu ibu As bahwa ia pun memilih-milih ibu siapa yang akan dibantunya. Ia melihat bahwa ada sebagian kecil masyarakat yang suka berhutang dengan alasan keterbatasan ekonomi, termasuk tidak mau membayar jasa dari tenaga kesehatan jika dipanggil ke rumah. Ibu As mengakui bahwa ia pernah diminta salah satu warga yang akan bersalin untuk menghubungi bidan desa untuk membantu persalinan namun tidak ia panggilkan karena ia takut warga tersebut tidak mampu membayar si bidan. “Disini banyak yang suka tidak mau bayar itu. Kaka kadang malu sama kak C dan kak H (kedua bidan desa). Makanya kadang tuh kaka liat dulu orangnya yang minta kaka panggil mereka. Kadang kalau kaka liat mereka juga, kalo misalnya mereka bakal tidak bayar, kaka malas telp kak C. Kaka bilang saja itu mereka handphonenya tak aktif. kaka nih malu sama orang sini, kan soalnya kaka yang panggil bidan untuk mereka juga.”

Bidan kampung pun sampai saat ini mengakui pernah beberapa kali dihimbau oleh para kader untuk segera melaporkan jika ada ibu hamil baru di desa dan sedang akan dilakukan persalinan. Berdasarkan pengamatan pun kader kesehatan cukup memiliki hubungan yang baik dengan para bidan kampung. Namun berdasarkan cerita dari bidan kampung sendiri ternyata 267

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kader tidak begitu baik di mata masyarakat. Hal ini terjadi karena kader kesehatan, khususnya kedua orang yang aktif tersebut, selalu menjadi tukang tagih atas pembayaran uang atas jasa bidan desa dalam persalinan. Seringkali kader ini dianggap terlalu cepat menagih uang, bisa beberapa jam setelah proses persalinan atau keesokan harinya, padahal bidan desa belum menagih ke keluarga tersebut. Menurut bidan kampung hal ini juga menjadi dasar pertimbangan dari masyarakat untuk tidak memilih bersalin di bidan nakes karena tidak suka jika ditagih-tagih terlalu cepat oleh si kader tersebut. Hasil observasi dengan beberapa kader pun ternyata memperlihatkan bahwa kader-kader ini pun dalam melihat sakitnya seseorang, termasuk anak bayi, juga lebih condong terhadap sakit yang dikarenakan adanya gangguan orang halus. Mereka percaya bahwa hal-hal tersebut memang terjadi di kalangan masyarakat, sehingga menurut para kader pengobatan secara tradisional pun menjadi pilihan utama di masyarakat, termasuk mereka sendiri. 4.7. Peran Tenaga Kesehatan dan Keberadaan Fasilitas Kesehatan dalam KIA di Mata Masyarakat Masyarakat Desa Tanjung Pasir secara umum dapat dikatakan memiliki kepercayaan yang cukup tinggi terhadap tenaga kesehatan dalam membantu kesehatan mereka. Selama ini meskipun masih banyak yang pergi ke dukun ataupun bidan kampung sebagai penolong pertama mereka ketika sakit, bukan berarti mereka tidak percaya akan kemampuan tenaga kesehatan medis untuk menyembuhkan mereka. Bisa dikatakan banyak juga yang ketika sakit menjalani keduanya, baik itu ke pengobat tradisional maupun ke tenaga kesehatan. Hal ini pun juga berlaku 268

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

untuk kesehatan ibu dan anak. Mereka percaya akan kemampuan para tenaga kesehatan untuk turut andil dalam menjaga kesehatan, baik pada saat mulai kehamilan, persalinan dan hingga anak sakit. Namun kepercayaan ini ternyata bisa berbeda antar satu tenaga kesehatan yang satu dengan lainnya, dalam hal ini khususnya adalah antara satu bidan dengan bidan lainnya. Begitupun juga dengan tempat fasilitas kesehatan. Mereka memiliki pendapat yang berbeda dalam menilai fungsi Puskesmas pembantu di desa, Puskesmas dan tentunya rumah sakit. Seperti yang telah disebutkan di bab sebelumnya, saat ini Desa Tanjung Pasir memiliki 2 orang tenaga kesehatan yang aktif, satu orang merupakan bidan dan satu orang lagi adalah perawat namun kini juga sudah memiliki lesensi bidan. Sehingga bisa dikatakan desa ini memiliki 2 orang bidan, yaitu Bu He dan Bu Ra. Keduanya pada saat penelitian berlangsung tidak tinggal di desa dan memiliki rumah di desa lain. Dari hasil wawancara dengan masyarakat mereka menganggap bahwa tenaga kesehatan, baik di pustu, Puskesmas dan rumah sakit, memiliki ilmu yang baik untuk menolong mereka dalam meningkatkan kesehatan mereka. Pemberian obat ataupun pemberian suntikan mereka anggap sebagai keunggulan jika mereka memeriksakan kesehatan ke tenaga kesehatan. Hal tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan jika hanya memeriksakan diri ke bidan atau ke dukun kampung, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Iw dan dan Ibu Ev: “Lebih penting ke Puskesmas karena dukun kampung cuma jampi aja dari luar, kalau di Puskesmas kan pakai obat pil bisa masuk ke dalam badan. Kalau berobat ke mentri Puskesmas obatnya bagus bisa cepat sembuh.”

269

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Baiklah ada pustu disini kami nih bisa periksa. Kami ni hamil sering periksa disana. Dikasihlah obat biar sakitnya ni hilang. Pernah juga kami disuntiknya.”

Namun meskipun begitu banyak juga yang meskipun percaya kepada tenaga kesehatan tidak mau diberikan tindakan suntik sehingga akhirnya masih ada ibu hamil yang melewatkan suntik TT dan banyak anak kecil yang tidak diimunisasi, seperti yang diungkapkan ibu Im: “Kebanyakan orang disini ni banyak yang takut kalau ada suntik. Makanya kadang ada ibu hamil yang tak periksa ke suster (perawat), ya karena itulah takut disuntik.”

Lain pula dengan proses persalinan ternyata masih lebih banyak yang menyatakan bahwa bidan kampung memiliki kemampuan yang lebih unggul dibandingkan dengan bidan tenaga kesehatan, sehingga mereka lebih percaya untuk melahirkan dengan bantuan bidan kampung. Ada beberapa alasan mengapa bidan kampung lebih dipilih dibandingkan dengan bidan desa: 1) Bidan kampung lebih mudah dijangkau dibandingkan dengan bidan tenaga kesehatan. Hal ini juga terkait dengan pemilihan tempat mereka melahirkan. Hampir semua ibu memilih untuk bersalin di rumah dan tidak mau dilakukan di luar rumah. Alasan takut adanya gangguan orang halus, repot atau sulit dan tidak mengeluarkan biaya transportasi menjadi 3 alasan yang paling sering diungkapkan sebagai alasan mereka memilih bersalin di rumah. Menurut masyarakat pada saat melahirkan mereka pasti memilih untuk memanggil bidan kampung terlebih dahulu, hal ini dikarenakan mereka pasti mencari bantuan secepatnya untuk ibu yang akan bersalin. Sementara bidan desa tidak ada yang tinggal di desa, sehingga jika dipanggil akan 270

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

membutuhkan waktu yang lebih panjang, ditambah lagi jika saat itu cuaca sedang tidak baik, seperti ada hujan dan air surut ataupun gelombang air sedang besar. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ij berikut ini “Kenapa di rumah karna lebih enak aja pak dan terjangkau. kalau kita melahirkan di pukesmas kadangkadang terkendali air surut pak. apalagi kemarin anak kami rata-rata lahirnya malam. apalagi kalau tidak ada motor perahu jadi sulit pak. bidan kampungnya rumah juga tidak terlalu jauh. istri kami juga tidak mau di rumah sakit, dia mau di rumah saja.”

Selama ini bidan desa pun selalu siap untuk dipanggil kapanpun mereka dibutuhkan, termasuk pada saat mereka tidak berada di desa ataupun pada malam hari. Namun terkadang, kembali lagi karena harus memakan waktu yang lebih lama, akhirnya bidan desa datang ketika persalinan sudah selesai. Meskipun melahirkan dengan bidan kampung kini sudah banyak juga ibu yang setelah persalinan memanggil si bidan desa. Hal ini karena menurut pengetahuan para ibu sesudah persalinan bidan nakes dapat memberikan suntikan penambah tenaga ataupun obatobatan yang bisa cepat memulihkan tenaga dari si ibu tersebut. 2) Bidan desa dianggap khusus untuk membantu persalinan sulit. Bidan nakes memang dianggap masyarakat memiliki keunggulan dibandingkan dengan bidan kampung karena memiliki kemampuan secara medis. Anggapan ini memang baik karena mereka percaya bahwa kemampuan medis tersebut bisa menolong mereka, namun di sisi lain ternyata kemampuan yang menjadi kelebihan yang dimiliki bidan desa ini dianggap hanya berlaku untuk proses persalinan sulit. Jadi 271

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hampir tidak ada yang merencanakan persalinannya dengan bantuan bidan nakes karena jika sudah mengatakan bahwa mereka ingin melahirkan dengan bidan nakes sama saja mereka “berharap” akan mengalami kesulitan pada saat proses persalinan berlangsung. Untuk mereka bidan desa hanya berlaku jika sudah sulit dan bidan kampung sudah menyerah untuk membantu proses persalinan, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Im dan Ibu Sa: “ya kami ni maunya lahir mudahlah. Tidak susah. Maka sama bidan (kampung) saja. Nanti kalau susah barulah panggil ibu (bidan desa). Kalau bidan kampung tu bilang masih mampu tak perlu lah panggil, tapi kalau sudah sulit bidan (kampung) tidak bisa nanti ibu (bidan desa) suruh datang.” “entahlah liat tergeraknya gimana (ketika persalinan). disinilah (di rumah) sama bidan kampung. kalo ga mampu barulah kita ni ke dokter. kebanyakan ya begitulah. kalau sudah tidak parah ga usahlah ke dokter.”

Bidan kampung pun mengatakan bahwa biasanya akan berusaha semaksimal mungkin yang mereka mampu sampai bayi tersebut keluar. Mereka akan meminta bantuan jika bayi sulit keluar atau jika uri tertahan dan mereka tidak bisa lagi mengeluarkannya. Keluarga pun biasanya juga menunggu instruksi bidan kampung jika akhirnya ia menyerah dan harus memanggil bidan desa. 3) Melahirkan dengan tenaga kesehatan harus mengeluarkan uang yang lebih besar dibandingkan dengan bidan kampung. Pengetahuan masyarakat tentang adanya jaminan kesehatan pada dasarnya sudah cukup baik. Meskipun mereka tidak tahu dari mana asal dana itu berasal, entah itu dari 272

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

pemerintah pusat maupun daerah, mereka mengetahui bahwa sudah ada bantuan bagi mereka yang tidak mampu untuk melakukan pengobatan, termasuk dalam proses persalinan. Namun sayangnya persalinan yang tidak mengeluarkan biaya adalah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan, sedangkan kembali kepada alasan pertama ibu lebih memilih untuk melahirkan di rumah. Sekalipun akan melahirkan dengan bantuan bidan nakes mereka tetap ingin dilakukan di rumah selama masih tidak ada penyulit. Sedangkan jika memanggil bidan ke rumah mereka akan terkena biaya dengan hitungan biaya praktek bidan. Bidan bukan lagi dianggap sebagai bagian dari Puskesmas. Biaya itulah yang mereka anggap mahal, sedangkan biaya melahirkan dengan bidan kampung menurut mereka terjangkau dan bisa ditunda pembayarannya. Para bidan kampung pun sempat menceritakan bahwa salah satu dari bidan desa yaitu Ibu Ra pun sudah mengupayakan untuk memberikan keringanan atas biaya persalinan. Menurut bidan kampung, bidan desa ini selalu menyesuaikan dengan keadaan orang yang ditolongnya dan bahkan tidak pernah memburu-buru pembayaran kepada keluarga yang telah ditolongnya. Oleh karena itu masyarakat pun lebih memilih dibantu oleh bidan Ra dibandingkan bidan lainnya. 4) Bidan kampung lebih sabar dan lebih telaten dalam mengurus ibu dan anak. Biasanya ibu ketika mengalami mulas-mulas menjelang persalinan akan memanggil bidan kampung terkadang ada juga yang memanggil bidan desa. Perbedaannya menurut para ibu, bidan desa hanya memeriksa lalu pulang kembali jika dirasa belum waktunya melahirkan. Sedangkan bidan kampung lebih meluangkan 273

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

waktu menemani dan terkadang sambil memijati, ia akan menemani sampai ibu dirasa tenang untuk bisa ditinggal. Selain itu para ibu lebih senang pada saat setelah persalinan bidan kampung tidak tergesa-gesa pulang seperti bidan desa. Begitupun juga dengan pemilihan pencarian pengobatan pada saat bayi mengalami gejala sakit. Dalam kasus para ibu yang anaknya meninggal, mereka cenderung memilih pengobatan pertama dengan bidan kampung yang dulu menolongnya ketika melakukan persalinan. Bidan kampung lain, atau juga dukun kampung, bisa dijadikan pilihan untuk melakukan pengobatan jika dirasa pengobatan dengan bidan kampung yang pertama tidak sembuh. Jika dirasa tidak sembuh juga maka baru mereka akan pergi mendatangi nakes. Masyarakat pun sebenarnya menyatakan bahwa belum terlalu puas terhadap pelayanan Puskesmas pembantu yang ada di desa. Selain karena obat-obatan yang menurut mereka masih terbatas, tidak adanya bidan desa yang menetap di desa juga menjadi faktor kekurangan pustu. Masyarakat pun mengatakan mereka mengetahui bahwa Puskesmas yang ada di kecamatan atau rumah sakit yang ada di ibukota Kabupaten memiliki sarana serta fasilitas yang jauh lebih memadai untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan mereka. Namun aksesibilitas untuk menuju kesana yang membuat mereka mempertimbangkannya kembali. Jarak yang jauh dan sulitnya transportasi yang jarang atau mahal untuk menuju kesana membuat mereka terkadang menyerah untuk membawa anaknya yang sedang sakit. Seperti Ibu Mu yang anaknya yang berusia 4 bulan meninggal. Setelah sebelumnya sudah pergi ke beberapa bidan dan dukun kampung dan anaknya tak kunjung sembuh ia akhirnya memutuskan membawanya ke salah satu praktek dokter yang ada di kecamatan. Ketika itu dokter tersebut menyatakan bahwa anak tersebut harus segera dibawa ke rumah sakit. 274

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Namun karena saat itu malam hari dan satu-satunya jalan untuk menuju rumah sakit dengan menyewa boat sebesar Rp. 1.000.000,- maka Ibu Mu pun mengurungkan niat untuk pergi ke rumah sakit. Akhirnya anaknya kembali dibawa pulang ke rumah dan akhirnya meninggal ketika perjalanan pulang tersebut. 4.8. Potensi dan Kendala Dalam sub-bab ini peneliti akan mengidentifikasi rangkuman dari pembahasan bab ini mengenai potensi dan kendala yang terkait dengan kebudayaan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kematian bayi yang terjadi di masyarakat Desa Tanjung Pasir. Teori Fred Ell Dunn (dalam Kalangie (1994: 43-44) tentang Model Alternatif Perilaku Kesehatan akan dipakai untuk membantu menemukan potensi dan kendala tersebut. Menurut Dunn, ada dua kategori faktor-faktor perilaku manusia yang mempengaruhi kesehatan, yaitu perilaku yang dilakukan secara sengaja atau sadar dan perilaku yang dilakukan secara tidak sengaja atau tidak sadar. Ada perilaku yang merupakan perilaku yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja yang dapat menguntungkan bagi kesehatan manusia. Akan tetapi ada juga perilaku yang disengaja maupun tidak sengaja yang dapat merugikan kesehatan manusia.

275

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 4.1. Teori Dunn: Model Alternatif Perilaku Kesehatan PERILAKU Sengaja atau Sadar atau Tahu

PERILAKU Tidak Sengaja atau Tidak Sadar atau Tidak Tahu

Menguntungkan

1

4

Potensi atau Dorongan (Stimulan)

Merugikan

2

3

KENDALA (HAMBATAN)

Kotak 1, menunjukkan kegiatan manusia secara sengaja dilakukan untuk menjaga, meningkatkan dan menyembuhkan penyakit yang diderita, baik yang merupakan tindakan kesehatan tradisional maupun modern. Kotak 2, menunjukkan kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan merupakan tindakan yang merugikan bagi kesehatan bahkan dapat berdampak kematian. Kotak 3, yaitu semua tindakan yang dilakukan secara tidak sadar yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia baik itu individu atau kelompok sosial di sekitarnya. Kotak 4, adalah semua kegiatan atau tindakan manusia yang dilakukan secara tidak sadar akan tetapi menguntungkan bagi kesehatan manusia secara individu maupun kelompok sosial di sekitarnya. Berikut rangkuman perilaku masyarakat terkait KIA, khususnya faktor pencegahan kematian pada bayi yang dikategorikan berdasarkan etik kesehatan:

276

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Tabel 4.2. Perilaku KIA Sadar

Tidak Sadar

1 (MENGUNTUNGKAN)

4 (POTENSI)

KEHAMILAN  Pergi ke bidan desa untuk melakukan pemeriksaan  Pergi ke bidan kampung untuk melakukan pemeriksaan pada saat kehamilan  Membatasi aktivitas berat demi keselamatan bayi di kandungan  Pemasangan jimat di tangan dan di rumah agar terhindar dari gangguan para orang halus  Melakukan suntik TT dan minum Fe untuk menguatkan badan  Menghindari pantanganpantangan sesuai dengan budaya setempat agar ibu dan bayi sehat

 

Persalinan didampingi oleh suami Melakukan ritual-ritual pada saat kehamilan

PERSALINAN  Melakukan persalinan di fasilitas kesehatan ketika mengalami kesulitan BAYI (Neonatus)  Memandikan bayi pada saat segera setelah lahir agar bersih  Memasang jimat di tangan bayi maupun di rumah agar tidak diganggu orang halus  Memberikan ASI

277

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014



Berobat ke tenaga kesehatan ketika bayi sedang sakit 2 (MERUGIKAN)

3 (KENDALA) 









   278

Melakukan persalinan dengan bidan kampung atau bidan di rumah agar tidak diganggu orang halus Melakukan pendorongan perut ibu pada saat bersalin untuk mempercepat dan mempermudah proses persalinan Tidak memotong tali pusat bayi sebelum uri keluar karena kalau tidak uri akan naik ke dalam perut ibu Tidak membawa anak imunisasi karena adanya larangan suami Membuang kolostrum karena kotor dan mengakibatkan sakit Memberikan madu pada 1 hari pertama agar tidak sariawan dan mengeluarkan lendir yang tertelan Memberikan susu formula agar anak cepat kenyang Memberikan biskuit pada bayi Melakukan perawatan tali

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau



pusat dengan bedak dingin dan garam agar pusat cepat kering Berobat ke bidan kampung atau dukun ketika bayi sedang sakit

Jika melihat tabel 4.1 dan 4.3 atas maka sebenarnya sudah banyak perilaku ibu yang sifatnya positif, baik pada saat kehamilan, dalam rangka menjaga kesehatan ibu dan anak, persalinan hingga perawatan bayi. Namun di satu sisi ternyata masih banyak perilaku ibu yang menjadi kendala, dimana masih banyak praktek di masyarakat terkait kesehatan ibu anak yang berisiko bagi kesehatan ibu tersebut. Terkait perilaku kesehatan ibu dan anak bisa dikatakan ibu memang memiliki kaitan dengan bidan kampung. Dengan pengetahuan ibu yang terbatas mengenai kesehatan, maka bidan kampung menjadi tempat bertanya seorang ibu dalam berperilaku. Segala perilaku yang dilakukan baik untuk ibu dan anak bisa dilakukan oleh bidan kampung ataupun perilaku ibu itu sendiri dengan saran atau perintah dari bidan kampung tersebut. Perilaku kesehatan yang ada di Desa Tanjung Pasir dapat dilihat merupakan gabungan dari perilaku modern dan tradisional. Di satu sisi mereka masih melakukan tradisi-tradisi yang mereka anggap harus dan wajib dijalani agar ibu dan bayi sehat, di sisi lain mereka juga tidak mengabaikan peran dari tenaga kesehatan modern (bidan dan perawat) dan fasilitas kesehatan yang ada. Sudah ada keinginan dari mereka untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Namun dengan pengetahuan sehat sakit yang mereka pahami saat ini mereka lebih memilih untuk membawanya ke pengobat tradisional tersebut dahulu baru memeriksakannya ke tenaga kesehatan. Pemahaman ini membuat masyarakat, dalam hal ini bayi yang 279

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sakit kerap mendapatkan penangan medis yang terlambat, sehingga tak jarang akhirnya tidak lagi dapat ditolong dan mendatangkan kematian. Begitupun juga dengan proses persalinan, masyarakat terbiasa memanggil bidan desa jika memang sudah ada kesulitan, sedangkan penanganan persalinan yang berisiko akan membahayakan keselamatan ibu dan juga si anak. Selain dari kendala perilaku itu sendiri beberapa kendala juga datang dari luar masyarakat itu sendiri. Pertama adalah kendala fasilitas kesehatan yang belum memadai dan keberadaan tenaga kesehatan desa yang tinggal di desa. Seperti sudah dijelaskan terdahulu bahwa pustu belum menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat di desa. Untuk mendapatkan sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan memadai serta tenaga kesehatan dokter maka masyarakat akan dirujuk ke Puskesmas ataupun ke rumah sakit. Sayangnya tidak semua warga masyarakat dapat mengaksesnya secara mudah. Ketiadaan tenaga kesehatan yang tinggal menetap di desa pun membuat masyarakat sulit untuk meminta pertolongan apalagi yang sifatnya darurat, seperti pada saat persalinan atau bayi sudah mengalami sakit berat. Meskipun para tenaga kesehatan bersedia untuk dipanggil kapan saja namun waktu yang dibutuhkan untuk memanggil mereka akan lebih lama jika dibandingkan dengan jika mereka meminta pertolongan dukun atau bidan kampung yang ada di desa. Mengenai jaminan kesehatan pun masyarakat sudah mengetahuinya. Kebanyakan masyarakat cukup tahu bahwa pemerintah telah memiliki program yang dapat memperingan biaya mereka dalam berobat. Namun ternyata program tersebut tidak semata-mata bisa menyelesaikan persoalan biaya dalam hal ini biaya transportasi yang memang tidak menjadi bagian dari pembiayaan yang disediakan pemerintah. Persoalan biaya 280

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

transportasi memang tidak terlalu besar jika hanya mengakses ke Puskesmas, namun jika ada rujukan ke rumah sakit yang ada di kota maka biaya menjadi besar, apalagi jika harus menyewa kapal dalam keadaan darurat. Di satu sisi Puskesmaspun juga tidak memiliki ambulans air ataupun kendaraan laut khusus yang dapat memudahkan untuk membawa pasien jika harus dirujuk ke rumah sakit yang ada di Tembilahan. Faktor geografis pun tak dapat dipungkiri menjadi kendala. Pasang surut air laut dan juga gelombang air terkadang juga menjadi faktor penentuan mudah atau tidaknya masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan. Jika air surut masyarakat lebih sulit untuk turun ke kapal dan laju kapal pun akan berkurang jika dibandingkan ketika air sedang pasang tinggi. Ada pula musim dimana gelombang air yang besar sehingga masyarakat mengurungkan niat pergi karena takut kapalnya akan mengalami goncangan kuat dan malah membahayakan penumpangnya.

281

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

282

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Simpulan Desa Tanjung Pasir yang terdiri dari berbagai macam Etnik di dalamnya, termasuk masyarakat Etnik Laut yang menjadi subjek utama dalam penelitian ini membuktikan bahwa perilaku kesehatan mereka sedikit banyak masih dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Kebudayaan setempat tersebut tentunya ada yang bersifat positif namun disayangkan masih banyak pula yang bersifat negatif yang akhirnya menurunkan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Namun hasil temuan di lapangan juga membuktikan bahwa budaya setempat tidak menjadi satu-satunya faktor yang mengakibatkan derajat kesehatan itu turun. Faktor fasilitas kesehatan, program kesehatan dan para tenaga kesehatan juga ternyata berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan dalam berperilaku sehat. Selain itu faktor alam dan geografis pun juga mempengaruhi perilaku mereka. Masyarakat Etnik Laut melihat suatu keadaan sakit terjadi karena 2 hal yaitu medis dan non medis. Sakit medis akan mereka obati dengan obat modern dengan cara membeli obat-obatan yang dijual bebas atau dengan obat resep dengan sebelumnya memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Sakit non medis yang terjadi disebabkan karena ada keteguran, kelintasan dan juga tekene. Ketiganya karena sakit berasal dari gangguan roh halus maka pengobatan dilakukan secara tradisional dengan pengobat 283

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tradisional, baik itu dengan dukun maupun dengan bidan kampung. Dalam kesehatan secara umum, terkait dengan penyakitpenyakit menular dan tidak menular, masyarakat cenderung lebih mempercayakannya ke tenaga kesehatan, baik itu di pustu, Puskesmas maupun perawat atau dokter praktek. Namun sebagian kecil masyarakat masih ada yang memeriksakan dan mencari pengobatan terlebih dahulu dengan bantuan dukun kampung terlebih dahulu. Praktek pengobatan yang dilakukan oleh dukun kampung dasarnya tidak membahayakan kesehatan, karena sifatnya biasanya hanya melakukan ritual pemberian barang untuk mengusir roh halus atau air doa. Meskipun begitu besaran biaya berobat ke dukun kampung terkadang ada juga yang besar dan merugikan masyarakat. Keterlambatan pemeriksaan ke tenaga medis terkadang memperparah tingkat kesakitan. PHBS di masyarakat Desa Tanjung Pasir masih kurang baik. Khususnya mengenai merokok, konsumsi sayur dan buah, pengelolaan sampah dan jamban serta ketersediaan air bersih. Hal-hal ini dianggap dapat menjadi faktor-faktor berisiko untuk penyakit yang masih sering terjadi di desa ini, seperti diare, ISPA dan juga penyakit kulit. Terkait dengan topik inti penelitian mengenai KIA khususnya kasus kematian bayi maka masih banyak perilakuperilaku KIA yang berisiko di masyarakat dan akhirnya mengakibatkan masih tingginya kematian bayi di desa ini. Jika kesehatan umum terkait dengan penyakit menular dan tidak menular masyarakat cenderung mempercayakannya ke medis, maka perilaku terkait KIA masih cenderung tradisional dengan mengikuti budaya lokal dan pencarian pengobatan, baik preventif maupun kuratif, lebih bergantung pada dukun ataupun bidan kampung. 284

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Hasil di lapangan menunjukkan bahwa kematian bayi yang ada di desa ini terjadi karena adanya penyakit yang menurut masyarakat disebabkan karena keteguran, kelintasan ataupun tekene. Ketiganya adalah sakit yang disebabkan karena gangguan orang halus. Oleh karena itu pengobatan penyakit pun lebih mengutamakan dengan cara tradisional, seperti dengan cara temas, mandi dengan daun-daun atau melakukan ancak. Cara tersebut dilakukan agar orang halus yang mengganggu bisa pergi dan yang terkena sakit bisa segera sembuh. Proses persalinan tradisional masih menjadi pilihan utama yang dipilih oleh ibu. Menurut mereka melahirkan di tenaga kesehatan, apalagi di fasilitas kesehatan hanya diperuntukkan bagi yang persalinannya sulit saja. Faktor bidan yang juga tidak tinggal di desa dan memberikan tarif yang tidak terjangkau untuk ekonomi keluarga menambah alasan mereka untuk lebih memilih melahirkan dengan bantuan bidan kampung. Proses persalinan sendiri biasanya bidan kampung dibantu oleh asisten ataupun keluarga si ibu (biasanya laki-laki) untuk mendorong perut ibu bersama-sama agar persalinan lebih mudah. Pengetahuan ibu yang kurang baik terhadap penyakit dan risikonya membuat ibu tidak tanggap jika ada bayi mereka yang sedang sakit. Bidan kampung menjadi penolong utama mereka ketika anaknya sakit. Bidan kampung yang dipanggil pertama untuk melakukan pertolongan untuk mengobati anak sakit adalah bidan kampung yang membantu proses persalinan. Jika tidak sembuh maka biasanya masyarakat lebih memilih untuk mencoba dengan bidan kampung lainnya atau alternatif berobat dengan dukun kampung sebelum menyerah dan melakukan pengobatan medis. Ketika cara medis diambil biasanya tingkat kesakitan bayi sudah parah sehingga tidak bisa lagi diselamatkan. Masih kurang puasnya masyarakat terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, khususnya yang ada di desa 285

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tanjung Pasir ini. Kepercayaan masayarakat terhadap kemampuan tenaga kesehatan sebenarnya cukup baik, namun sayangnya ketiadaan nakes yang tinggal di desa membuat masyarakat lebih mengandalkan kemampuan pengobat tradisional yang lebih mudah dijangkau di desa dan tidak menghabiskan waktu dan biaya yang banyak. Faktor geografis desa yang terletak di pesisir laut kerap menjadi alasan masyarakat lebih memilih pengobatan tradisional, khususnya pada saat proses persalinan. Pasang surut air laut dan keadaan ombak yang tak tentu membuat masyarakat seringkali kesulitan untuk keluar desa untuk mencapai fasilitas kesehatan. 5.2. Rekomendasi Dari point-point simpulan di atas, maka akan coba kami berikan rekomendasi untuk perbaikan derajat kesehatan masyarakat Desa Tanjung Pasir. Rekomendasi ini terkait kesehatan umum dan terkait KIA, khususnya terkait kasus kematian bayi.

5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Umum 1) Pemerintah hendaknya melakukan operasi pasar murah di desa-desa terpencil pesisir pantai, utamanya dengan mensubsidi harga makanan-makanan serat yang rendah kolesterol seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan lauk pauk seperti ikan tawar, tahu dan tempe. Hal ini agar gizi masyarakat dapat lebih ditingkatkan, termasuk gizi ibu yang sedang hamil. 2) Perbaikan kualitas air bor dan pembuatan fasilitas toilet umum oleh pemerintah untuk mendorong masyarakat

286

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

supaya meninggalkan kebiasaan mandi air laut yang merupakan faktor risiko penyakit kulit. 3) Pembuatan Tempat Pembuatan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir untuk meminimalisir penumpukan sampah, serta mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh vektor. 4) Sosialisasi mengenai PHBS perlu ditingkatkan lagi. Sosialisasi bisa dilakukan dengan menyatukan kegiatan lainnya yang ada di desa, misalnya di acara pengajian ibu-ibu. Ibu-ibu menjadi sasaran karena dianggap merupakan agen sosialisasi yang tepat di dalam keluarga untuk mengajarkan kepada anggota lainnya di dalam rumah. 5) Realisasi ambulance air mengingat akses air (sungai dan juga laut) merupakan jalur utama masyarakat di Indragiri Hilir, termasuk di Desa Tanjung Pasir. Atau jika belum bisa direalisasikan sekiranya ada anggaran tambahan di Puskesmas untuk masyarakat yang harus segera dirujuk ke Rumah Sakit yang ada di Kabupaten.

5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak 1) Kemitraan dengan bidan kampung dengan adanya pembagian tugas yang jelas di antara keduanya. Tenaga kesehatan khususnya bidan nakes harus merangkul dan membangun hubungan yang lebih dekat lagi dengan bidan kampung agar tidak ada rasa persaingan satu sama lain. Selain itu kemitraan dengan bidan kampung diharapkan bukan menghapuskan segala kewajiban yang biasa dilakukan oleh bidan kampung tersebut namun mengarahkannya kepada praktek-praktek perawatan ibu hamil dan bayi yang sesuai dengan kaedah kesehatan.

287

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2) Para bidan desa juga harus dibekali pengetahuan tentang apa-apa yang menjadi tradisi atau kebiasaan ibu hamil sampai perawatan anak agar apa-apa yang dianggap masyarakat penting tidak dianggap sepele oleh mereka. 3) Pemberian pengetahuan kepada bidan kampung terhadap sakit yang diderita oleh bayi. Bidan kampung sebagai orang yang pertama kali dimintakan pertolongan oleh keluarga hendaknya bisa mengarahkan keluarga tersebut untuk berobat ke tenaga medis, bukan mengarahkan untuk mencoba bidan atau dukun kampung lainnya. 4) Peran suami yang cukup baik pada saat menjelang persalinan, proses persalinan sampai paska persalinan dapat dimanfaatkan dengan cara memberikan mereka pengetahuan medis agar bisa memiliki pemahaman untuk mengambil keputusan pemilihan pengobatan, termasuk persalinan, ke arah medis. 5) Pelatihan-pelatihan untuk para kader hendaknya semakin dipersering karena melihat masih banyaknya kader yang pengetahuan kesehatannya belum cukup baik. Kader diharapkan dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat lainnya. Sebaiknya jika ada pelatihan untuk kader, kuota harus lebih diperbesar lagi. Hendaknya bukan satu atau dua orang yang diberikan pelatihan namun semua kader yang ada di desa. 6) Bidan harus terus memantau kantong kehamilan untuk memiliki kesiapan membantu ibu yang akan melakukan persalinan. Tentunya hal ini akan didukung jika ada bidan desa yang diwajibkan untuk tinggal di desa ini. Adanya insentif tambahan untuk bidan yang ditempatkan di desa. 7) Bidan dibekali pengetahuan mengenai keadaan geografis di desa. Hendaknya setiap bidan memiliki catatan mengenai jadwal pasang surut air yang biasanya dimiliki oleh desa. 288

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Dengan pengetahuan tanggal pasang surut ini diharapkan bidan dapat mensosialisasikannya kepada keluarga ibu bersalin, sehingga risiko-risiko dalam proses persalinan bisa dikurangi, khususnya karena adanya hambatan geografis. 8) Bidan harus memantau terus bayi yang ibunya dari mulai kehamilan dianggap memiliki kehamilan berisiko, ibu-ibu yang memiliki riwayat persalinan tidak baik ataupun ibu-ibu usia muda yang nampaknya memiliki pengetahuan yang masih rendah mengenai kesehatan bayinya. 9) Untuk jangka panjang hendaknya ada tenaga kesehatan, khususnya bidan yang berasal dari desa ini sendiri. Ditambah lagi perlunya adanya penambahan fasilitas kesehatan untuk Dusun Bandung yang sampai saat ini jarang terjamah oleh tenaga kesehatan.

289

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

290

INDEKS

A ASI · 3, 7, 125, 126, 127, 128, 197, 217, 257, 277, 302, 303

B badenden · 57, 295 bahasa · 20, 55, 56, 81 balita · 57, 88, 140, 144, 145, 167, 197, 207, 214, 231, 243, 266 bayi · 2, 45, 57, 76, 88, 97, 99, 100, 101, 103, 104, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142, 145, 146, 147, 172, 197, 198, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 222, 223, 224, 227, 228, 229, 230, 231, 233, 234, 235, 236, 238, 241, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 262, 263, 264, 265, 266, 268, 272, 274, 275, 276,

277, 278, 279, 280, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 296, 298, 303 bidan desa · 103, 124, 128, 139, 141, 215, 217, 220, 223, 224, 225, 226, 237, 250, 253, 262, 263, 266, 267, 268, 270, 271, 272, 273, 274, 277, 280, 288 bidan kampung · 63, 94, 95, 96, 101, 104, 105, 106, 109, 110, 112, 114, 115, 116, 117, 120, 123, 124, 127, 132, 133, 134, 135, 136, 142, 143, 216, 217, 218, 220, 222, 226, 231, 240, 241, 249, 250, 252, 253, 255, 256, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 267, 270, 272, 273, 274, 279, 285, 287 budaya · 5, 10, 55, 57, 87, 113, 142, 143, 197, 201, 203, 215, 277, 283, 284, 296, 301

C cacar · 168, 169, 170

291

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

D darurat · 79, 280, 281 diabetes militus · 175, 181 dukun · 5, 34, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 80, 93, 94, 95, 96, 110, 111, 119, 142, 147, 152, 157, 158, 159, 160, 164, 169, 173, 186, 188, 189, 191, 195, 196, 228, 231, 234, 237, 239, 240, 241, 244, 246, 248, 267, 268, 269, 274, 278, 280, 284, 285, 288 dukun kampung · 34, 62, 63, 64, 65, 66, 69, 70, 80, 93, 94, 95, 111, 147, 152, 157, 158, 159, 160, 164, 169, 173, 186, 188, 189, 191, 195, 196, 228, 234, 240, 244, 246, 248, 269, 274, 284, 285, 288

G gaya hidup · 175, 180 gejala · 146, 151, 177, 178, 190, 194, 230, 235, 248, 252 guna-guna · 156, 157

H hamil · 50, 89, 90, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,

292

103, 104, 105, 108, 109, 110, 111, 216, 220, 221, 223, 225, 229, 236, 239, 240, 241, 242, 243, 254, 259, 261, 262, 263, 270, 286, 298 hipertensi · 175, 176, 177, 178, 180

I imunisasi · 2, 82, 140, 141, 168, 254, 265, 278 infeksi · 143, 144, 166, 201, 203, 208, 210, 219, 251, 252, 253, 254, 255, 257, 258

J jampi-jampi · 158, 169, 173, 188, 189, 223 jantung · 115, 175, 190, 204, 206, 208 jimat · 244

K kader · 128, 139, 141, 223, 264, 265, 266, 267, 268, 288 kandungan · 73, 93, 97, 99, 100, 102, 104, 108, 110, 113, 181, 182, 204, 229, 234, 241, 255, 264, 277, 296

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

kanker · 184, 185, 188, 189 kasus · 214, 215, 230, 235, 246, 248, 251, 252, 255, 256, 259, 274, 284, 286 kelintasan · 60, 223, 233, 234, 236 kematian · 213, 214, 215, 230, 235, 248, 251, 259, 284 kendala · 81, 85, 100, 139, 275, 278, 279, 280, 281 kepercayaan · 4, 44, 269 keteguran · 61, 64, 66, 107, 110, 145, 147, 218, 232, 233, 234, 236, 247 keturunan · 48, 50, 97, 156, 163, 192, 193

132, 133, 134, 135, 216, 219, 221, 222, 224, 226, 228, 229, 236, 239, 249, 250, 251, 252, 256, 260, 262, 264, 270, 271, 272, 273, 285, 297 menempah · 221, 224, 259, 260, 261, 298 menongkah · 57 merawat · 124, 216, 219, 221, 227, 229, 253, 256, 258, 259, 261, 262 minuman · 74, 75, 120, 148, 149, 151, 156, 160, 162, 183, 192, 199

L

neonatus · 123, 214

lahir mati · 213, 214, 251 lingkungan · 8, 20, 40, 41, 42, 45, 74, 89, 98, 143, 144, 149, 156, 162, 164, 171, 197, 203, 207

O

M medis · 148, 158, 178, 182, 184, 186, 215, 271, 283, 285, 288 melahirkan · 50, 64, 88, 93, 97, 98, 99, 103, 105, 107, 111, 112, 113, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 125, 126, 127,

N

obat · 5, 29, 59, 62, 63, 66, 71, 75, 77, 80, 82, 85, 109, 119, 124, 142, 147, 148, 151, 158, 159, 160, 161, 162, 166, 173, 179, 180, 188, 189, 192, 194, 206, 211, 227, 228, 247, 253, 269, 270, 271, 274, 283, 297 orang atas · 60, 64, 223, 232, 233 orang halus · 61, 67, 228, 230, 233, 234, 235, 236, 238, 245, 285 293

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

P pandangan · 178 pantangan · 101, 102, 148, 153, 160, 161, 170, 174, 180, 183, 188, 191, 196, 220, 277 pelatihan · 261, 262, 288 pelesit · 236, 239, 298 pelindung · 24, 34, 201, 239 pendarahan · 118, 122, 236 pengobatan · 63, 65, 66, 70, 93, 147, 151, 154, 158, 159, 169, 173, 178, 179, 184, 186, 188, 191, 195, 247, 274, 299 penyakit · 59, 60, 61, 63, 64, 65, 66, 70, 71, 92, 93, 94, 133, 143, 144, 145, 149, 150, 151, 154, 155, 156, 160, 162, 163, 167, 168, 170, 171, 175, 180, 184, 188, 190, 192, 193, 195, 196, 204, 210, 211, 230, 231, 232, 234, 235, 238, 256, 258, 284, 285 penyakit tidak menular · 175 penyebab · 56, 60, 102, 119, 144, 146, 147, 150, 156, 157, 164, 165, 168, 171, 172, 176, 177, 182, 185, 186, 190, 193, 194, 210, 211, 223, 224, 230, 231, 238, 245, 248, 252, 254, 255, 275 perakang · 110, 111, 112, 236, 239, 240, 244, 298 294

peralatan · 40, 83, 85, 86, 123, 253 perawatan · 50, 78, 109, 110, 120, 121, 122, 123, 124, 217, 218, 219, 253, 255, 256, 259, 260, 261, 262, 278, 279, 287, 288 perilaku · 3, 4, 5, 8, 42, 43, 87, 101, 143, 149, 171, 172, 185, 186, 192, 197, 201, 206, 207, 215, 256, 275, 276, 279, 280, 283, 284 persalinan · 19, 63, 101, 105, 107, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 120, 127, 132, 134, 142, 197, 214, 216, 217, 221, 222, 223, 224, 226, 227, 229, 236, 237, 249, 250, 251, 252, 255, 256, 259, 261, 263, 266, 267, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 277, 278, 279, 280, 285, 286, 288, 289, 295, 296 Posyandu · 80, 82, 109, 128, 138, 139, 140, 141, 220, 264, 265 potensi · 15, 205, 275, 277 praktek · 8, 44, 82, 249, 250, 251, 261, 262, 263, 273, 274, 279, 284, 287 Puskesmas · 10, 59, 76, 78, 81, 82, 83, 108, 114, 139, 144, 148, 211, 213, 216, 218, 219, 221, 225, 227, 228, 236, 237,

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

248, 252, 255, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 269, 274, 280, 281, 284

susu formula · 99, 126, 127, 128, 218, 257, 278

T R ramuan · 63, 95, 112, 117, 120, 121, 123, 124, 152, 219, 253, 254 Riskesdas · 1, 203 ritual · 44, 64, 67, 70, 71, 88, 104, 111, 159, 188, 196, 226, 228, 234, 277, 284, 295, 299

S sanitasi · 2, 144, 149, 150, 162, 163, 164, 171, 201 scabies · 171, 172, 173 stroke · 175, 189, 190, 191, 192, 204, 208

tali pusat · 117, 123, 124, 253 tangkal · 238, 239, 241, 242, 243, 244 tekene’ · 228, 230, 234, 235, 245, 248 tempah · 220 tradisi · 57, 97, 110, 129, 131, 137, 163, 170, 206, 224, 262, 279, 288, 299 tradisioanal · 222 tradisional · 84, 88, 93, 114, 147, 151, 166, 169, 173, 179, 182, 186, 188, 195, 279, 284

295

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

296

GLOSARIUM

adom ager air baya air selusuh

air yasin

alemu ancak

anek anglo antaran aro badenden barah bekasai

racun yang bisa mematikan yang disampaikan lewat angin agar air untuk keselamatan atau menolak sial yang bisa mengganggu proses persalinan air campuran menggunakan jeruk nipis atau limau yang diiris lalu setelah itu diberikan jampi oleh bidan kampung air yang sudah dibacakan surat yasin, berfungsi untuk menghilangkan setan yang bisa menganggu proses ibu hamil pada saat persalinan nanti. ilmu pengobatan yang dilakukan dengan menggunakan ritual atau tukar ganti penyakit anak sejenis kompor yang terbuat dari tanah memberikan barang-barang isi kamar pihak wanita saya berpantun/bersyair tumor atau kanker membersihkan kotoran yang ada pada tubuh perempuan agar badannya terlihat bersih, cerah dan aura pengantin barunya keliatan dan tampil beda

297

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

belacan belaje bentan berhentih berinai

berket betangas

biarat biayu budayu bunting gajah cuci lantai

cukur alis

dapet dolak duane gilu gong

298

makanan yang terbuat dari udang kecil atau terasi belajar sakit yang biasa terjadi pada ibu nifas berhenti berhias kuku jari dan kuku kaki untuk calon pengantin wanita dengan menggunakan daun inai berkat membersihkan kotoran air keringat pada tubuh perempuan agar badannya terlihat bersih bair biaya budaya usia kandungan ibu hamil yang melebehi dari 9 bulan acara yang diperuntukkan untuk kelahiran anak bayi, selain itu acara ini diperuntukkan untuk membalas jasa bidan kampung yang telah menolong persalinan si anak bayi mencukur alis bertujuan untuk memperindah alis agar terlihat cantik ketika pesta perkawinan dapat laut Pajak gila alat musik sebagai penanda pesta pernikahan

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

ingu jiku jujuran kayu sungkur kelintasan keteguran ketuban jangan ketuban junjung ketuban lipas

kikik kukun lap letup api lonte mahar mandi cindai

mang masa pantang

obat yang digunakan untuk mengobati sakit masuk angin jika memberikan uang kepada pihak wanita atau membeli pihak wanita kayu berukuran 20 meter yang digunakan menangkap udang di kedalaman laut penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus dari laut dari atas penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus dari laut dan dari darat salah satu bentuk ketuban pecah yang menandakan anak akan keluar lama salah satu bentuk ketuban pecah yang menandakan anak akan langsung keluar salah satu bentuk ketuban pecah yang menandakan anak harus ditunggu beberapa lama sebelum akhirnya keluar kita kami hilang sejenis penyakit kulit pelacur besar uang lamaran mandi yang dilakukan pada saat memasuki usia 9 bulan dan mandi ini dilakukan karena biasanya ibu hamil memasuki bulan ini sudah mulai mengalami gatal-gatal di perut. pasti masa nifas adalah masa setelah melahirkan hingga waktu 40 hari 299

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

membentu memperkenalken menderite menempah bidan menyungkur merawai mesken mulaei naik buai param pedak peduduk pelesit penjarang anak perakang piak pialap pokong pompong puyu sahang manggah sebelom segantang sekoleh 300

membantu memperkenalkan menderita merupakan proses “melamar” bidan atau membentuk ikatan dengan bidan yang dilaksanakan oleh si keluarga ibu hamil. memasukkan tangan kedalam lumpur untuk mencari udang nenek jaring yang digunakan untuk menangkap ikan di laut Miskin Mulai prosesi anak masuk ke dalam ayunan untuk pertama kalinya bedak dingin tidak ada syarat setan yang biasa mengganggu orang hamil memutar bailk peranakan biar tidak beranak lagi setan yang biasa mengganggu orang hamil tidak ada lepas posisi bayi yang didudukkan di dalam buainya kapal motor kecil yang bermesin polio merica sesak napas sebelum setekong beras sekolah

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

sekubung senggugut

serah mantah sinso tai angina

tangkal taro tekenu temas

tepung tawar

toen togok tok kak tok kik tuam

selembar makhluk yang berbentuk seperti cicak di dalam perut yang memakan atau menggigit di dalam perut atau rahim perempuan sehingga mengakibatkan kesuburan perempuan hilang atau berkurang berupa alat-alat dapur yang serba mentah kapak listrik sejenis penyakit kembung yang diobati dengan menggunakan bawang putih, bawang merah dan merica sebuah benda jimat yang biasa di pakai dan digantungkan diatas pintu rumah letak penyakit yang disebabkan manusia tersebut terkena mahkluk halus pengobatan yang dilakukan dengan media kunyit dan kapur sirih yang berfungsi sebagai pengobatan keteguran ritual mensucikan diri, dilakukan pada saat prosesi-prosesi yang berkaitan dengan daur hidup, seperti kelahiran, gunting rambut anak ataupun pernikahan. Tuhan jaring yang digunakan untuk menangkap udang di laut nenek kakek tradisi pengobatan yang mana orang tersebut dipanaskan dekat kompor atau didudukkan 301

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tuba tulong uri wak kak

302

sejenis racun yang dapat mematikan ikan tolong ari-ari bapak

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa, Putra H.S. 2005. Kesehatan dalam perspektif ilmu sosialbudaya, dalam H.S. Ahimsa-Putra (editor), Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial-Budaya. Yogyakarta: KEPEL Press. Amin, Muhammad. 2012. Duanu Yang Teramcam Punah. Pekanbaru: PT. Riau Pos Group. Chou, Chyntia. 2003. Indonesian Sea Nomads: Money, Magic and Fear of the Orang Etnik Laut. London: Routledge Curzon. Depkes RI. 2006. Panduan Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga Melalui Tim Penggerak PKK. Jakarta: Departemen Kesehatan. Depkes RI. 2008. Informasi Seputar Kesehatan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Departemen Kesehatan. Depkes RI. 2009. Pedoman Pemantauan Dan Penyeliaan Program Kesehatan Ibu Dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Departemen Kesehatan Kalangie, Nico. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosio Budaya. Jakarta: Kesaint Blanc. Kosim, dkk. Ed., 2003. Buku Ajar Neonatalagi. Jakarta: Penerbit IDAI. Moleong. 2005. Metodologi Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

303

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Mukono, HJ. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Muninjaya Gde., A.A. 2004. Manajemen Jakarta: EGC.

Kesehatan, Edisi 2.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Kesehatan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

dan

Perilaku

Roesli, Utami. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Jakarta: Elex Media Komputindo. Saifuddin, Abdul Bari, dkk. Ed. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Shoper, D.E. 1977. The Sea Nomads: A Study Based on the Literute of the Maritime Boat People of Southeast Asia. Singapore, Memoirs of the National Museum. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiawa Wacana. Tobing, Imran SL. 2005. Dampak Sampah Terhadap Kesehatan Lingkungan Dan Manusia. Tesis. Jakarta: Universitas Nasional. Wolters, O.W. 1975. The Fall of Sriwijaya in Malay History. East Asia Historical Monographs. Singapore: Oxford University Press.

304

Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau

Internet: http://www.who.int/gho/tobacco/en/ http://www.riaudailyphoto.com/2013/03/profil-kabupatenindragiri-hilir.html http://wikipedia.org/w/index.title.tanah-merah-indragirihilir.html http://www.parenting.co.id/article/bayi/efek.buruk.madu.pada. bayi/001/002/161

Sumber Lain: Monografi Desa Tanjung Pasir Tahun 2013 Profil Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2012 Profil Kesehatan Dinas Kabupaten Indragiri Hilir 2013 Data Etnik Laut dari Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir 2014 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 416/MENKES/ PER/IX/1990 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 450/MENKES/ SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia

305

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

306

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF