Tafsir Al Baqarah 228-231
September 11, 2017 | Author: Varyzcha | Category: N/A
Short Description
Mengenai Talak...
Description
TAFSIR AL BAQARAH 228-231 Talak (Cerai) dalam Islam
Varyzcha
228. Istri-istri yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak rujuk (kembali) kepada mereka dalam masa itu, jika mereka (para suami) menghendaki islah (perbaikan). Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
229. Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu (suami) boleh rujuk kembali dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka Itulah orang-orang yang zalim.
230. Kemudian jika si suami mentalaknya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukumhukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang (mau) mengetahui.
231. Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuk mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka sungguh ia menzalimi dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Ingatlah nikmat Allah kepadamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Hikmah (As Sunnah) untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Asbabun Nuzul Al Baqarah 228 • Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnus-Sakan al-Anshariyyah, dia berkata, ‚Saya dicerai pada zaman Rasulullah dan ketika itu belum ditetapkan iddah untuk para wanita yang dicerai. Maka Allah menurunkan iddah untuk wanita-wanita yang dicerai, yaitu firman-Nya, ‘Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.‛
• Ats-Tsa’labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naasikh dan Muqatil meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah, Ismail bin Abdullah al-Ghifari mencerai istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil. Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka dia pun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya meninggal dunia. Maka turunlah firman Allah, ‚Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.‛
Asbabun Nuzul Al Baqarah 229 • At-Tirmidzi, al-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, ‚Dulu laki-laki bebas mencerai istrinya dan menjadi suaminya kembali jika merujuknya, walaupun telah mencerainya seratus kali. Hingga pasa suatu ketika ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, ‘Demi Allah, aku tidak akan menceraikanmu sehingga engkau berpisah denganku. Dan, saya tidak akan menaungimu selamanya.’ Dengan heran sang istri pun bertanya, ‘Bagaimana hal itu bisa terjadi?’ Sang suami menjawab, ‘Aku akan menceraimu dan setiap kali iddahmu akan habis, aku merujukmu kembali.’ Maka sang istri menghadap Rasulullah dan mengadukan perihal suaminya. Dalam beberapa saat Rasulullah terdiam, hingga turunlah firman Allah, ‘Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menagan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.’‛
• Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, ‚Dulu seorang suami memakan dari pemberian yang telah dia berikan pada istrinya dan yang lainnya tanpa melihat adanya dosa pada hal itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,..’‛ • Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dia berkata, ‚Ayat ini turun pada Tsabit bin Qais dan Habibah istrinya. Habibah mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah untuk kemudian meminta diceraikan. Maka Rasulullah berkata kepada Habibah, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang dia jadikan mahar untukmu?’ Habibah menjawab, ‘Ya, saya mau.’
Lalu Rasulullah memanggil Tsabit bin Qais dan memberitahunya tentang apa yang dilakukan istrinya. Maka Tsabit bin Qais berkata, ‘Apakah dia rela melakukannya?’ Rasululah menjawab, ‘Ya, dia rela.’ Istrinya pun berkata, ‘Saya benar-benar telah melakukannya.’ Maka turun firman Allah, ‘…Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah..’‛
Asbabun Nuzul Al Baqarah 230 • Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan, dia berkata, ‚Ayat ini turun untuk Aisyah binti Abdirrahman bin Atik. Ketika itu Aisyah binti Abdirrahman menjadi istri Rifa’ah bin Wahb bin Atik. Pada suatu ketika Rifa’ah mencerai Aisyah binti Abdirrahman dengan talak bain. Setelah itu Aisyah binti Abdirrahman menikah dengan Abdurrahman ibnuz-Zubair al-Qarzhi. Lalu Abdurrahman mencerainya lagi. Maka Aisyah binti Abdirrahman mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abdurrahman mencerai saya sebelum menggauli saya. Apakah saya boleh kembali kepada suami saya yang pertama?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak, hingga dia menggaulimu.’
Maka turunlah firman Allah pada Aisyah, ‘Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain,’ dan menjimanya. ‘Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya’, setelah menjimanya, ‘ maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali.’‛
Asbabun Nuzul Al Baqarah 231 • Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalur al-Aufi dari Ibnu Abbas, dia berkata, ‚Dulu seorang suami mencerai istrinya, kemudian merujuknya kembali sebelum habis masa iddahnya. Setelah itu sang suami mencerainya lagi. Sang suami melakukan hal itu untuk mempersulit sang istri dan menghalanginya menikah dengan yang lain. Maka Allah menurunkan ayat ini.‛ • Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari as-Suddi, dia berkata, ‚Ayat ini turun pada seorang lelaki dari Anshar yang bernama Tsabit bin Yassar. Pada suatu ketika dia mencerai istrinya. Lalu ketika dua atau tiga hari lagi masa iddahnya habis, dia merujuknya kembali. Kemudian setelah itu dia mencerainya lagi. Hal itu membuat mudharat pada istrinya.
Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘..Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka..’‛ • Ibnu Abi Amr dalam musnadnya dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abdu Darda’, dia berkata, ‚Dulu seorang suami mencerai istrinya lalu berkata, ‘Saya main-main saja.’ Dan dia menceraikannya lagi, kemudian berkata, ‘Saya hanya main-main saja.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘…Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan…’‛
Talak • Talak secara bahasa : melepaskan. • Secara syar’i : melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya. ‚Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.‛ (Al Baqarah : 229)
• Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haid. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)‛ (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in Seorang suami mempunyai kesempatan untuk mentalak istri yang telah digaulinya sebanyak tiga kali. Para ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam: • Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama masih menjalani masa iddah, tanpa tergantung persetujuannya dan tanpa akad yang baru. talak pertama dan kedua
• Talak bain Talak bain ada dua macam : Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang kecil) Talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya, kecuali dengan persetujuan istrinya dan dengan akad yang baru, dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain. Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak yang dijatuhkan kepada istrinya yang belum pernah digauli (berhubungan suami istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal baginya untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (baca : mantan istri) harus dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah sedangkan ini (wanita yang dicerai yang belum pernah digauli) tidak ada masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang besar) Talak yang setelah dijatuhkan oleh suami maka tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Kecuali dengan persetujuan istri, dengan akad yang baru, dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai. Contohnya seorang suami mentalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu mentalak lagi, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu dia mentalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.
Rujuk • Rujuk adalah mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad. ‚…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.‛ (Al-Baqarah : 228) Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : ‚Suruh dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.‛ (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
• Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam masa iddah. Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk rujuk begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli. • Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua yang pernah digauli statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah. Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada pada rumah suaminya. Begitu juga wajib baginya mentaati suaminya, boleh baginya membuka aurat, berdandan untuknya, bercanda dan hal-hal yang lainnya.
Iddah • Iddah adalah jangka waktu tertentu seorang istri menunggu dari menikah lagi setelah ditinggal mati oleh suaminya atau setelah dirinya ditalak. Dengan menunggu tiga kali haid, atau dengan tiga bulan atau dengan empat bulan sepuluh hari ‚Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’‛ (Al-Baqarah :228)
Hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya: • Untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab • Memberikan waktu bagi suami yang menceraikan istrinya untuk rujuk apabila dia menyesal jika pada talak raj’i • Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil. • Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya. • Memperlihatkan rasa sedih karena baru kehilangan suami/ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal
Khulu’ • Khulu’ ialah berpisahnya suami dengan istrinya dengan tebusan harta yang diberikan oleh istri kepada suaminya. ‚… dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,‛ (Al-Baqarah: 229) • Adapun dalam Islam, pemberlakuan khulu’ dinilai sebagai fasakh (pembatalan nikah). Artinya, perceraian karena khulu’ bukan termasuk talak. Demikianlah yang difahami oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika mentafsirkan firman Allah Ta’ala, ‚.. Jika kamu (wali) merasa khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya…‛ ( Al-Baqarah: 229)
• Meskipun khulu’ menggunakan lafazh talak, akan tetapi berlaku sebagai khulu’, selama dilakukan dengan cara ada penebusan dari seorang istri agar dirinya bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya. • Oleh karena itu, apabila istri mengajukan khulu’ dalam masa ‘iddahnya, setelah suami menjatuhkan talak kedua , kemudian suami menerima pengajuan khulu’ tersebut, maka status talak yang ketiga ini adalah talak ba’in shugra dan bukan talak ba-’inkubro. Karena talak yang terakhir tidak dihitung sebagai talak, tetapi fasakh. • Dengan demikian, jika dua mantan suami-istri ini hendak menikah lagi maka tidak disyaratkan sang istri harus dinikahi laki-laki lain terlebih dahulu. Karena talaknya baru dua kali dan bukan tiga kali. Hanya saja, proses pernikahannya harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, mahar yang baru pula, dan tentunya setelah istri ridha untuk menikah lagi dengannya.
Pelajaran dari ayat 228 • Wajibnya menunggu selesainya masa iddah bagi seorang wanita yang dithalaq (dicerai) yaitu selama tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci dari haid). • Kuatnya dorongan atau keinginan seorang wanita untuk menikah lagi, karena firman Allah diatas menyatakan,‚hendaklah menahan diri (menunggu)‛, seolaholah dalam diri wanita tersebut terdapat sesuatu yang menganjurkan agar terputusnya hubungannya dengan yang pertama. • Wajibnya menunggu masa iddah dalam tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci dari haid) bagi setiap wanita yang ditalak (dicerai) secara muthlaq baik talaqkbain, ataupun talak raj’i sesuai keumuman ayat diatas. Kecuali jenis talak berikut ini:
Wanita dithalaq ketika masih belum baligh (belum haid) karena masih kecil, maka masa iddahnya adalah 3 bulan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,‚Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.‛ (QS. Ath-Thalaq : 4) Wanita yang dicerai sedang ia sudah tidak haid lagi (monopause), maka masa iddahnya juga 3 bulan, sebagaimana ayat yang baru disebutkan. Wanita dicerai dalam keadaan hamil maka masa iddahnya adalah hingga ia melahirkan, sebagaimana lanjutan ayat tersebut diatas, ‚Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.‛ (QS. Ath-Thalaq : 4) Wanita dicerai sedang ia belum digauli (berhubungan suami istri), maka tidak ada masa iddah baginya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya…‛ (QS. Al-Ahzab : 49) Bagi siapa yang berpisah dari hubungan suami istri bukan karena sebab cerai (thalaq) maka masa iddahnya bukan tiga kali haid atau suci dari haid, seperti wanita yang menggugat cerai (minta khulu’) maka cukup dengan menunggu satu kali haid (untuk kejelasan kondisi rahimnya apakah hamil atau tidak). Dan bagi wanita yang suaminya meninggal dunia maka masa iddahnya adalah 4 bulan sepuluh hari, sebagaimana firman Allah, ‚Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.‛ (QS. Al-Baqarah : 234)
• Diharamkan bagi seorang wanita yang dicerai menyembunyikan apa yang ada di dalam rahimnya, baik berupa haid atau kehamilan yang Allah ciptakan dalam rahim wanita tersebut, dengan tendensi apapun, karena akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. • Adanya hak mutlak bagi seorang suami untuk rujuk kepada istrinya sebelum habisnya masa iddah. Dan dalam masa iddah tersebut suami dihukumi masih sebagai suaminya, sebagaiman ayat, ‚Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu‛. Ini adalah penetapan bahwa ia adalah masih suaminya. • Tidak dihalalkan wanita tersebut dikhitbah (dilamar) atau dinikahkan dengan laki-laki lain selama masih dalam masa iddah. • Tidak dibolehkan bagi mantan suami untuk rujuk setelah habisnya masa iddah, kecuali dengan akad nikah yang baru dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan pada umumnya.
• Adanya penetapan kepemimpinan dan keutamaan seorang laki-laki terhadap wanita, karena Allah telah memberikan kepada mereka kaum laki-laki kelebihan dan keistimewaan tersendiri yang tidak diberikan kepada kaum wanita.
Pelajaran dari Ayat 229 • Merupakan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala yang membatasi jumlah talak dengan tiga kali saja, tidak ada rujuk lagi setelah jatuh talak tiga kecuali istrinya dinikahi oleh orang lain terlebih dahulu. • Jumlah talak yang dibolehkan bagi suami untuk rujuk adalah dua kali, talak satu dan talak dua, lalu bagi siapa yang mentalak istrinya dengan talak yang kedua kemudian rujuk lagi maka ada dua pilihan baginya setelah itu : mempertahankan tali pernikahannya dengan baik selama hidupnya atau ia menceraikannya lagi (dengan talak ketiga) dengan cara yang baik, jika ia mentalaknya maka tidak halal lagi baginya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
• Haramnya talak tiga dalam sekali ucapan (seperti ucapan ‘Kamu saya talak tiga sekaligus’), karena Allah Ta’ala berfirman, ‚Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.‛ Maksudnya, seseorang mengucapkan kata talak kepada istrinya langsung talak tiga, ucapan seperti ini adalah termasuk talaq bid’iy (talaq yang bid’ah) dan jumhur ulama berpendapat bahwa walaupun demikian ia tetap jatuh talak tiga secara langsung. Dan selain jumhur berpendapat bahwa hal itu adalah talaq bid’iy akan tetapi hanya jatuh talaq satu saja, dalil mereka adalah ayat tersebut diatas (‚Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.‛) dan (‚Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’), talak dengan lafadz talak tiga sekaligus maka didalamnya tidak ada 2x thalaq raj’i seperti dalam ayat, tidak pula masa quru’ sehingga ini termasuk bid’ah. Dan tidaklah lafadz tersebut menjadi talak ba’in (jatuh talak tiga), akan tetapi hanya jatuh talak satu saja. • Wanita yang ditalak tiga tidaklah halal bagi suami yang menceraikannya sehingga wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain (dan iapun mencampurinya) lalu lakilaki yang menikahinya tadi menceraikannya atau meninggal. Maka setelah itu baru suami pertama tadi boleh menikahinya lagi.
• Disyariatkannya khulu’, yaitu seorang wanita yang tidak suka untuk meneruskan rumah tangganya bersama suaminya, lalu ia meminta untuk diceraikan dari suaminya dengan memberikan sejumlah harta kepada suaminya sebagai ganti dari mahar yang telah diberikan kepadanya ketika dia menikah. Hal itu jika keduanya atau salah satu dari keduanya khawatir tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jika kondisi keduanya tidak ada masalah maka tidak diperbolehkan bagi seorang istri meminta cerai (khulu’), sebagaimana hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,‚Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan apapun maka haram baginya baunya surga‛.(HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya, dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
• Boleh khulu’ dengan meminta lebih dari mahar atau apa yang telah ia berikan kepada isrtinya, sesuai keumuman ayat,‚tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya", bayaran berjumlah banyak atau sedikit. Ada pula yang mengatakan bahwa umumnya ayat tersebut dikembalikan ke ayat, "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,‛ sehingga maknanya : bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dari aapa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Maka dari sini dapat disimpulkan (sebagaimana yang diungkapkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah), ‚Maka jika istri tersebut yang berbuat buruk lalu meminta cerai (khulu’) maka tidak apa-apa suaminya mengambil darinya lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, dan jika tidak demikian maka suami tidak boleh mengambil melebihi pemberiannya.‛
• Wanita yang meminta khulu’ bukanlah raj’iyah, maksudnya : bahwa perpisahan sebuah hubungan pernikahan yang disebabkan karena khulu’ maka itu adalah perpisahan selamanya yang tidak ada jalan untuk ruju’ kepadanya kecuali dengan aqad nikah baru. • Bolehnya seorang wanita menggunakan hartanya sendiri tanpa izin suaminya, sesuai ayat, ‚tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya‛. • Wajib menahan diri dan berhenti terhadap batasan-batasan Allah dan haramnya melanggar batasan-batasan tersebut. • Diharamkan bagi seorang suami mengambil apa-apa yang telah diberikan kepada istri baik mahar atau lainnya, kecuali ia menthalaq istrinya sebelum dicampuri maka boleh baginya mengambil separoh dari maharnya berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 237.
• Pengulangan yang dianggap (terbanyak) terhadap suatu ucapan atau perbuatan adalah dengan tiga kali. Hal ini banyak sekali contohnya, diantaranya : pengucapan salam terbanyak adalah tiga kali, meminta izin (untuk masuk rumah misalnya) terbanyak adalah tiga kali, pengulangan suatu pembicaraan apabila belum dipahami adalah tiga kali, pengulangan dalam berwudhu terbanyak adalah tiga kali dan lain sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengulangan yang dianggap cukup (terbanyak) adalah dengan bilangan ‘tiga kali’. • Haramnya berbuat zalim, yang mana kezaliman terdapat tiga macam : Pertama, perbuatan syirik, yang hal ini tidak akan diampuni kecuali dengan bertaubat. Kedua, kezaliman seorang hamba kepada sesamanya, hal ini harus meminta keridhaan dari orang yang dizalimi. Ketiga, kezaliman seorang hamba kepada diri sendiri dengan melanggar batasan-batasan Allah. Maka hal ini sesuai dengan kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka ia diampuni, dan jika Dia berkehendak maka ia akan diazab.
Pelajaran dari Ayat 230 • Diharamkan bagi suami yang mentalaq istrinya dengan talaq tiga menikahi istri yang ditalaqnya tersebut, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, sesuai dengan ayat, ‚maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain‛. • Bahwa pernikahan dari laki-laki yang kedua dengan jalan yang tidak sah (dibolehkan secara syariat) adalah tidak menjadikan halal bagi suami yang pertama, dan tidaklah ia (laki-laki kedua) menjadi suaminya kecuali dengan ‘aqad yang sah. Pernikahan yang dianggap tidak sah adalah, seperti pernikahan dengan niat untuk menghalalkan suami yang pertama, nikah dengan sah akan tetapi belum melakukan hubungan suami istri (jimak), maka keduanya tidak menjadikan suami pertama halal bagi wanita tersebut.
• Halalnya wanita yang ditalaq tiga bagi suami pertama adalah setelah suami yang kedua berpisah dengannya baik dengan cara cerai, meninggal atau lainnya, dengan syarat suami kedua telah berhubungan badan (jimak) dengannya. • Dan dalam ayat ‚maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk ruju’ kembali‛ . Maksud ruju’ tersebut adalah dengan aqad nikah baru bukan ruju’ seperti masa iddah ketika talaq satu dan dua. • Bahwasanya tidak dibolehkan keduanya untuk kembali melakukan aqad nikah lagi kecuali keduanya memiliki dugaan kuat akan mampu melaksanakan hukum-hukum Allah, yaitu dapat memperbaharui hubungan mereka dengan baik dalam menunaikan hak dan kewajiban masing-masing, berdasarkan ayat ‚maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah‛. Karena jika tidak memenuhi syarat ini maka ia akan melakukan aqad yang sia-sia dan melelahkan saja serta rugi secara harta, karena keduanya tidak mampu menjamin untuk kembali ke keadaan awal dulu yang meyebabkan rumah tangganya berantakan.
Pelajaran dari Ayat 231 • Setiap talak memiliki batas akhir (ajal),sebagaimana firman-Nya‚lalu mereka mendekati akhir iddahnya.‛ Akan tetapi batas dalam ayat ini masih bersifat global dan diperinci dalam ayat yang lain (seperti dalam ayat 228 dan 234 surat al-Baqarah dan surat lain yang menjelaskan masalah masa iddah). • Wajib memperlakukan istri dengan baik, walaupun setelah dicerai, sebagaimana fiman-Nya‛maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula)‛. Hal itu supaya seseorang tidak menyakiti istrinya (yang telah dicerai) baik dengan perkataan atau perbuatan, atau mereka meminta kembali pemberian yang telah diberikan kepada istrinya seperti pakaian, perhiasaan dan lain-lain karena ini bertentangan dengan perintah Allah.
Kesimpulan 1. 2. 3. 4.
5.
6. 7. 8.
Perempuan yang ditalak, baik raj’i maupun bai’n, wajib iddah. Diharamkan merahasiakan kehamilan, serta wajibnya memberitahukan secara jujur dalam masalah ini. Suami berhak merujuk isterinya yang ditalak raj’i. Suami isteri mempunyai hak dan kewajiban timbal balik yang sama, tetapi suami mempunyai derajat sebagai pengurus. Talak raj’i hanya dua kali saja. Sedang setelah talak yang ketiga diharamkan untuk rujuk kecuali hingga isteri itu kawin lagi dengan laki-laki lain, dengan pernikahan shar’i dengan tujuan untuk hidup selama-lamanya. Kalau ternyata ada kemaslahatan, maka isteri boleh mengajukan khulu’ dengan membayar kepada suami. Dalam menebus diri itu, suami dilarang memberatkan isterinya. Perempuan yang ditalak tiga yang kemudian kawin dengan lelaki lain, boleh kembali lagi kepada suaminya yang pertama sesudah dicerai oleh suaminya yang kedua dengan syarat sudah dicampuri.
View more...
Comments