Syeh Siti Jenar
July 9, 2017 | Author: Muhamad Jamaludin | Category: N/A
Short Description
Syeh Siti Jenar...
Description
KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Terhadap Kitab Bayan Budiman)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh THOYIBIN NIM: 103043127977
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM “Studi Terhadap Kitab Bayan Budiman”
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh : THOYIBIN NIM: 103043127977
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI TERHADAP KITAB BAYAN BUDIMAN) telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 7 september 2010. Skripsi ini telah diterima sebagasi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzab dan Hukum. Jakarta, 7 September 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MM NIP. 19550 505 198203 1012 PANITIA UJIAN 1.Ketua
: Dr. H. Mukri Adji, MA
(………………)
NIP.195703121985031003 2.Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
(………………)
NIP.196511191998031002 3.Pembimbing I
: Dr. Syahrul Adzam, M.Ag
(………………)
NIP.19730504200031002 4.Pembimbing II : Drs. Ahmad Yani, MA
(………………)
NIP.196404121994031004 5.Penguji I
: Dr. Jaenal Arifin, M.Ag
(………………)
NIP.197210161998031004 6.Penguji II
: Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA NIP.195811281994031001
iii
(………………)
KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Terhadap Kitab Bayan Budiman)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Thoyibin NIM: 103043127977
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I,
Pembimbing II,
DR. Syahrul Adam, M.Ag
Drs. Ahmad Yani, M.Ag
NIP.19730504200031002
NIP.196404121994031004
KONSENTRASI STUDI PERBANDINGAN MADZAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain. Maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 September 2010
Thoyibin
iv
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan kepada hambanya, berupa nikmat iman dan kesehatan. Sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir studi. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan suri tauladan kepada umatnya. Waktu yang cukup lama untuk ukuran studi S1 membuat penulis sedikit gelisah. Di saat teman-teman yang lain sudah mendapatkan gelar kesarjanaan, penulis masih berkutat dengan buku, kampus dan juga dosen pembimbing. Berbagai kendala dan juga hambatan selalu mengiringi penyelesaian penulisan skripsi. Dengan semangat yang tinggi, segala kendala dan hambatan bisa penulis atasi. Mulai dari waktu dan juga fasilitas yang terbatas, akhirnya. Penulis merasa berbangga hati karena bisa menyelesaikan studi S1 ini. Terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung dan memotivasi penulis penyelesaian karya ini. 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Mukri Adji, MA, selaku ketua jurusan PMH, dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. selaku sekretaris jurusan PMH. yang telah memberikan kelancaran dalam proses akademis.
3. Bapak Dr. Syahrul Adzam, M.Ag dan Bapak Drs. Ahmad Yani, MA. Selaku dosen pembimbing yang sabar dan telaten mengarahkan, memotivasi dan juga meluangkan waktu dalam proses bimbingan. Penulis selalu mendoakan bapak-bapak selalu sehat wal afiat dalam mendidik mahasiswanya. 4. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum. 5. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada saudara Heru Prasetyo, S.S.I dan Asharul Hakim yang telah meminjamkan koleksi bukunya, sekali lagi terima kasih banyak. 6. Salam Ta’dim kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Katidjo Malik, S. Ag (Alm) mudah-mudahan Tuhan memberikan tempat yang mulia di sisinya, (amien) dan Ibunda Siti Qomariyah selalu memberikan curahan nasehat, didikan, kasih sayang yang tanpa batas, kiranya karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada beliau berdua. 7. Untuk keluargaku tercinta Mas Safrudin, SPd, Mbak Siti Malikah, adikku Nurul Maghfiroh, Nenek, Keponakanku Fatih Saputra, Azhar Azzaki dan Ishar Azzaki dan juga kepada saudara-saudara terima kasih atas dukungan doa dan motivasi, penulis selalu bangga kepada kalian. 8. Ucapan terima kasih kepada kawan-kawan perjuangan di LS-ADI, Bang Ray, Mas Anick, Iyoh Muniroh, Dani Setiawan, Junaidi Simon,
Yudistira, Nina Rozinah, Wahyu Agung, Rizal Ali, Kang Darno, Mbak Lisa, Ki Bagus, Adi Prayitno dkk, yang telah membawa kedunia aktivis. 9. Keluarga besar PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia), dan Bapak Hendardi, Ibu Lili Piantauli Siregar, Diah Hastuti, Syamsudin Radjab, Suryadi Radjab, Reggina Hastuti, Mbak Maya, Dedi Ali Ahmad, Totok, Shonifah, Ibu cici, Hilda, Aryadi dkk, yang telah memberikan kesempatan untuk mengenal dunia HAM. 10. Keluarga Besar Terranusa Institute dan Arus Pelangi (AP) Emilianus Laggut, Bang Eddy Riyadi, Mahmuddin, Mas Wahid, Erasmus Cahyadi Budi Satria, King oey, Iyek, Mas Dodo dkk, kami akan selalu memegang komitment untuk bersama-sama berjuang. 11. Keluarga Besar FORMAL, Ust. Nur Ahmad Satria, S.Fil, Gus Zainal dkk
PMF 03, IKAI (Imam Hafidh, Mirza Wijaya dkk) BEM-J PMH,
PERMADI (Ahmad faruq, Kang Badrus, Khairul Huda, dkk) Kosn Green Castle.
Jakarta, 2 September 2010
Thoyibin
DAFTAR ISI PENGANTAR ……………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
iv
PENDAHULUAN
BAB II.
A. Latar Belakang Masalah…………………………………….
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………..
9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian …………………..
10
D. Metodologi Penelitian dan Metode Penulisan……………….
10
E. Sistematika Penulisan………………………………………...
11
ASAL-USUL SYEKH SITI JENAR DAN KONSEP PERIBADATANNYA A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar dan Kegiatan Keagamaannya ……………………………………………...
13
B. Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti Sebagai Soko Guru Ajaran Syekh Siti Jenar……………………………………………... BAB III.
20
PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM KITAB BAYAN BUDIMAN A. Tinjauan Umum Tentang Kitab Bayan Budiman……………..
29
B. Kesatuan Tunggal Antara Syariat, Tarekat, dan Hakikat……
33
C. Ajaran Makrifat………………………………………………
41
iv
BAB IV.
KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Syariah Dalam Pandangan Syekh Siti Jenar………………….
49
B. Peribadatan Syekh Siti Jenar…………………………….........
56
C. Telaah Kritis Terhadap Konsep Peribadatannya Dalam Perspektif Hukum Islam……………………………………… BAB V.
59
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………… 64 B. Saran - Saran………………………………………………….
64
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 66
v
6
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan diamalkan oleh masyarakat urban, atau masyarakat perkotaan di Makkah dan Madinah. Yakni diterima suatu lapisan masyarakat yang mampu berfikir rasional dan logis, mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara yang Islam dan yang bukan Islam. Istilah-istilah musyrik dan tauhid, Islam dan kafir, yang Islami dan jahiliyyah, mereka ciptakan adalah untuk menarik garis tegas pemisah antara sunnah ajaran Islam dengan tradisi Jahiliyah. Firman Allah Lakum diinukum waliya diin (untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) merupakan penegasan bahwa dalam masalah agama tidak bisa dikompromikan dan dicampuradukkan. jadi, dalam masalah agama tidak kenal kompromi dengan tradisi keagamaan zaman jahiliyyah agar sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan yang benar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran semisal firman Allah SWT :
“Apabila dikatakan kepada mereka :“Marilah mengikuti apa yang diturunkan allah dan mengikuti Rasul ”, mereka mengatakan : “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenenk-moyang mereka walaupun nenek-moyang
2
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk ? (Quran 5 : 104). Dengan prinsip beragama menurut dalil atau petunjuk wahyu yang benar, Umat Islam pada kurun pertama di bawah bimbingan langsung Nabi berhasil memperagakan pemahaman, penghayatan dan pengalaman Islam yang benarbenar murni dan segar sehingga terbentuk suatu umat baru dan menjadi Khairu Ummat pada waktu itu. Keistimewaan Islam adalah punya sejarah yang jelas semenjak diturunkannya wahyu pertama hingga jadi agama yang sempurna dan utuh sebelum wafatnya Nabi. Hal ini diterangkan dalam surat Ma’idah ayat 3 sebagai berikut : “ Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-ucapkan kepadamu nikmat-ku, dan telah Aku ridhloi Islam itu jadi agama bagimu”. Oleh karena itu walaupun kini Islam telah banyak mendapat pengaruh berbagai macam peradaban dan tradisi jahiliyah, namun ilmu pengetahuan modern menawarkan kemampuan untuk menggunakan analisis kritik kesejarahan bagi umat yang rindu pada jiwa Islam yang murni seperti yang di amalkan oleh nabi dan sahabat-sahabat beliau.1 Pesan terakhir Rasullulah SAW dalam haji wada’
). (
1
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, PT RG Persada, jakarta, cet 1, 1996 h. 15-17.
3
Aku tinggalkan dua hal kepada kalian dimana kalian tidaka akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah rasulnya (Diriwayatkan Al-Hakim)2 Namun semenjak abad ketigabelas mulai merosot, dan akhirnya menjadi umat yang paling kontit hingga mudah diperbudak oleh bangsa-bangsa barat yang maju dari umat Islam. Mengapa bisa terjadi kemerosotan yang demikian tragis dan terpelanting jadi umat yang paling dungu dan jauh ketinggalan dengan laju peradaban modern dewasa ini? Dalam menjawab persoalan ini para pemikir dan peneliti umumnya menyimpulkan; bahwa diantara sebab-sebab yang amat komplek, tasawuf atau sufisme-lah yang merupakan sebab yang paling utama bagi kemunduran pemikiran Islam. Hal yang demikian tersebut di atas pernah dibenarkan oleh penulis buku “The New World Of Islam“ Lothrop Stoddard, mengatakan bahwa kemunduran Islam disebabkan karena umat Islam meninggalkan ajaran ketauhidan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah diselubungi oleh khurafat dan paham kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam. Mereka menghiasi diri dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih. 3 Apakah betul kesimpulan semacam ini, dan apa kiranya alasan mereka menghukumi tasawuf sebagai penyebab yang paling utama bagi kemunduran pemikiran Islam? Untuk mengecek kebenaran pandangan disini perlu dilacak tentang sebab-sebab timbul dan berkembangnya pendekatan sufisme yang dipergunakan 2
dan
diandalkan
oleh
para
sufi
untuk
memahami
dan
Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf (Studi Kritis Kesesatan kaum Sufi), judul asli buku ini Dirasat fi Al-Tasawuf, penerjemah Fadhli Bahri Lc, Jakarta, PT Darul Falah 2000, h. 64. 3 Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, judul aslinya “ The New World Of Islam”, h. 29.
4
menginterpretasikan ajaran Islam, dan apa kelemahan pendekatan ini serta dan bagaimana kehebatannya. Tasawuf atau mistik pada dasarnya adalah ekstrim rohaniah (spritual). Maka penerapan ajaran mistik untuk memahami Islam tentu membawa perubahan besar. Aspek kerohanian Islam yang mereka tekankan dan dikembangkannya dengan penafsiran dan pemahaman dari sudut (kacamata) ajaran tasawuf. 4 Tasawuf adalah proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit di definisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami hakekat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT. Adapan aspek pertama dari upaya ini adalah segi falsafi daripada tasawuf ; sedang aspek kedua adalah segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan renungan ; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali daripada tasawuf muncul terlebih dahulu daripada segi falsafinya. Para Sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’ adalah lebih penting daripada akal bagi para sufi ; bahkan hal itu bagi para sufi adalah segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah SWT. Kutipan di atas menunjukkan bahwa tasawuf bermula dari amalan-amalan praktis. Yakni laku mujahadah yang utama. Dari kepercayaan masyarakat yang gaib, atau dari ajaran agama tentang adanya Tuhan, merangsang keinginan sebagian tokoh agama untuk mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat bertemu muka dan mendapat wangsit (wahyu) secara langsung dari Tuhan atau
4
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, h. 29.
5
Zat yang gaib. Baru sesudah diantara mereka berhasil makrifat kepada Tuhan dan mendapat wangsit, ada yang mencoba menyusun ajaran atau falsafah ketasawufannya dengan konsep-konsep hasil pemikirannya atau meminjam dan menggunakan konsep-konsep ajaran orang lain.Dalam perkembangan tasawuf misalnya, yang mula-mula timbul adalah gerakan zuhud yang meningkat ke laku tapa-brata atau mujahadah dan riyalat dirintis oleh Ibrahim Bin Adham ( w. 777M./162H.), dan Rabiah al-Adawiyah ( w. 801M./ 185H.), dan lain-lainnya. Baru kemudian muncul pemikir-pemikir tasawuf yang besar seperti Husein Bin Mansur al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibnu ‘ Arabi, dan lain-lainya. Pemikiran falsafi dalam tasawuf muncul sesudah di antara para sufi ahli pikir mencapai puncak penghayatan makrifat mereka. Kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek ajaran Islam dari sudut paham kemistikan mereka. Maka muncullah konsepkonsep ittihad, hulul, wahdat al-wujud, wushul, dan sebagainya. Istilah-istilah ini menggambarkan penilaian atau paham mereka tentang puncak penghayatan fana’ dan makrifat mereka.5 Umat Islam diajar untuk bersikap tengah-tengah dan menjauh watak yang ekstrim. Dalam Al-Quran dan Tafsirannya terbitan Departemen Agama jilid pertama ayat di atas diterangkan : “Mereka (umat Islam) dalam segala aspek persoalan hidup berada di tengahtengah antara orang-orang yang kebendaan dalam hidunya seperti orangorang yahudi, Musyrikin, serta orang-orang yang tidak beragama, dan orang-orang yang hanya mementingkan kerohanian saja seperti orang-orang (pendeta) Nasrani, Sabiin dan orang-orang Hindu “.6
5 6
Ibid, h. 141. Ibid, h. 19.
6
Di kalangan kaum sufi, istilah syari’at mempunyai makna tersendiri yang dapat dikatakan berbeda dari pengertian ynag diberikan oleh para ahli hukum Islam. Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlaq maupun aktivitas manusia baik yang baik yang berupa ibadah maupun muamalah. Sama dengan pengertian Fiqh pada periode Rasulullah SAW. Syariat dan Fiqh memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan : “ Syariat mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia ; sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan hukum, syariat senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada wahyu, ilm (pengetahuan) tetang wahyu itu tidak akan diperoleh kecuali dari atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits ; dalam fiqh kemampuan penalaran ditekankan sekali, dan kesimpualan-kesimpulan (Hukum) yang didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang meyakinkan. Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya ; sedangkan materi yang tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fiqh suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak. Sedangkan dalam syariat banyak terdapat tingkatan-tingkatan yang dibolehkan atau tidak. Dengan demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai suatu ilmu;sementara syariat lebih merupakan perintah Ilahi yang harus diikuti “. 7 Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aqidah, ibadah maupun muamalah dan juga akhlaq. Di kalangan kaum sufi, syariat berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan sholat dimulai dari menghadap kiblat, berdiri, ruku, sujud, dan seterusnya, demikian pula bacaanbacaan yang telah ditentukan di dalamnya adalah amal ibadah lahiriyah (syariat).
7
Asaf A.A. Fyee, Outlines of Muhammedan Law, (London : 1960), h.21.
7
Perjalanan ke baitullah, thawaf, sai, wukuf di Arafah dan lainnya adalah syariat, amal ibadah yang bersifat lahiriyah. Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakangerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada dalam ibadah tersebut, maka tidak obahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya terkonsentrasi kepada amal lahiriyah (syariat) ini akan hampa, karena hati kosong dari hakekat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam ibadah–ibadah inilah di kalangan tasawuf yang dikenal dengan istilah haqiqah (hakikat). 8 Timbulnya ajaran Islam kejawen itu melahirkan juga ajaran-ajaran yang berbentuk
suluk dan primbon. Ajaran ini menciptakan ajaran atau gerakan
Pamoring Kawulo Gusti. Gerakan ini mendapatkan dukungan di kalangan masyarakat Islam agraris yang berpikiran sederhana dan masih berpegang kuat terhdapa tradisi dan ajaran hindu yang asli. Masyarakat pedalaman menerima ajaran agama Islam hanya untuk abon-aboning ngaurip (kelengkapan hidup manusia), maka mereka memerlukan syariat untuk sampai pada hakikat-hakikat agama. Filsafat ini jelas bersifat teologis dan terlihat pada tulisan tentang tasawuf Islam yang muncul pada abad X1X. Hasil itu merupakan perpaduan antara agama asli, Hindu, dan Islam, seperti terungkap pada serat atau buku-buku serat senthini, falsafah Gatholoco, Serat Darmagandhul, Kramaleya, dan sebagainya. Oleh karena dalam kenyataannya 8
M.Jamil. Cakrawala Tasawuf, Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), Jakarta, GP Persada Press, 2007, h. 27.
8
agama Islam kejawen ini masih memerlukan teteki, sesirih, dan perihatin dalam rangka mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan caranya sendiri.
9
Ajaran Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi perdebatan hangat bagi ulama syariah. Kitab Bayan Budiman memberikan elaborasi yang komprehensif tentang kolerasi antara syariah dan sufisme. yang dianggap oleh syariat ajaran Syekh Siti Jenar sesat, Bidah dan anti syariah. Dalam Kitab Bayan Budiman justru terbalik apa yang selama ini dituduhkan oleh kelompok syariah. Syariah atau sufisme, semuanya merupakan bentuk pelaksanaan dari ajaran Islam dimana yang pertama mementingkan sistem tindakan ibadah dan yang kedua lebih mementingkan kebertautan hati, ruhani, dan mental ibadah dengan tujuan akhir mendekatkan diri kepada allah. Namun keduanya berakar dari suatu kepercayaan dan kesadaran akan adanya sumber kekuatan sakral atau gaib yang bisa menempali segala objek di dunia profan. 10 Pencapaian kesempurnaan dalam kitab Bayan Budiman yang disadur bukan dilakukan dengan menolak syariat. Namun, hanya dengan memegang ajaran syariat saja dipandang kitab ini belum cukup untuk bisa mencapai suatu tahap ibadah kasampurnan (kasampurnaan) dan makrifat. Pencapaian kasampurnan sebagai tujuan akhir dari ibadah kepada allah membutuhkan penyerahan sepenuh hati kepada allah yang menjadi inti dari iman yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan dengan segala sifatnya yang selalu hadir aktual dalam diri setiap orang. Kesadaran atas sifat-sifat Tuhan itu akan membuat manusia akan mempunyai
9
Mahmudi, Wirid Mistik Hidayat Jati (mutiara pemikiran teologi Islam kejawen), h. 16. Abdul Munir Mulkhan, Makrifat “Burung Surga” dan ilmu kasumpurnan” Syekh Siti Jenar”, Jogjakarta, PT Kreasi Wacana, Cet 2002 h. 5. 10
9
kemampuan menembus batas-batas fisik material dengan hatinya yang bersih dan jernih.11 Apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tergugah untuk mengetahui lebih jauh mengenai kombinasi atau kaitan antara ajaran tasawuf dan Syariah. Dalam hal, mengenai peribadatan Syekh Siti Jenar yang ada dalam Kitab Bayan Budiman. Oleh karenanya penulis merasa tertarik untuk mengupas lebih dalam hal tersebut. Dengan menjadikannya judul skripsi : “Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Terhadap Kitab Bayan Budiman)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih terarah pada tema yang diharapkan, maka penulis membatasi pembahasan pada masalah konsep peribadatan Syekh Siti Jenar yang tertulis dalam Kitab Bayan Budiman. Dengan membatasi pembahasan, penulis merumuskan pokok masalah dalam skripsi ini : 1. Bagaimana konsep peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Kitab Bayan Budiman? 2. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang konsep peribadatan Syekh Siti Jenar? Dengan pembatasan dan perumusan masalah diatas, diharapkan skripsi ini dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang kami ambil dalam judul skripsi yaitu:
11
Ibid, h. 33-34.
10
Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Perspektif Hukum Islam (studi terhadap Kitab Bayan Budiman). C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep peribadatan Syekh Siti Jenar. 2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap konsep peribadatan Syekh Siti Jenar. Adapun manfaat dari penelitian adalah : 1. Dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam studi sejarah tasawuf terutama ajaran Syekh Siti Jenar dan relevansinya dengan kajian Hukum Islam. D. Metodologi Penelitian dan Metode Penulisan Metodologi penelitian dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode jenis penelitian kepustakaan (library research) sebagai pisau analisis dengan pendekatan deskriptif, yaitu berusaha mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya. Metode ini menggunakan dua jenis data yang dibutuhkan, Primer dan Sekunder. Data primernya adalah Kitab Bayan Budiman dan juga penjelasan yang berkaitan dengan kitab tersebut. kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan pendekatan analisis kepustakaan dan analisis para ilmuwan dan juga ditambah analisis penulis pribadi.
11
Data sekundernya meliputi pengumpulan data-data yang berkaitan dengan referensi mengenai ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar. Kemudian data-data tersebut dikolaborasikan dengan penjelasan mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang ada dalam Kitab Bayan Budiman. Adapun metode penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan pedoman penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Jakarta12. E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi skripsi, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab, tiap bab yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. adapun sistematikanya sebagai berikut : BAB I.
Bab ini membahas tentang pendahuluan terdiri dari lima pokok pembahasan, yaitu latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan metode penulisan, sistematika penulisan.
BAB II.
Bab ini akan membahas tentang asal-usul Syekh Siti Jenar dan konsep peribadatannya.
kehidupan
Syekh
Siti
Jenar
dan
kegiatan
keagamaannya. ajaran manunggaling kawulo gusti sebagai soko guru ajaran Syekh Siti Jenar. BAB III. Pada bab ini membahas tentang peribadatan Syekh Siti Jenar dalam Kitab Bayan Budiman meliputi; tinjauan umum tentang Kitab Bayan Budiman. kesatuan tunggal antara syariat, tarekat, dan hakikat. Dan ajaran makrifat. 12
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta, PT Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, cet 1, 2007.
12
BAB IV. Bab ini merupakan inti dan fokus dari skripsi yang akan mengelaborasi mengenai konsep peribadatan Syekh Siti Jenar meliputi; Syariah dalam pandangan Syekh Siti Jenar. beberapa contoh peribadatan Syekh Siti Jenar. Dan telaah kritis terhadap konsep peribadatannya dalam perspektif hukum Islam. BAB V.
Bab kelima merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi, yang berisi kesimpulan dan saran seputar persoalan yang diangkat dari awal sampai akhir pembahasan
13
BAB II ASAL-USUL SYEKH SITI JENAR DAN KONSEP PERIBADATANNYA A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar dan Kegiatan Keagamaannya. Syekh Siti Jenar, sebagaimana yang berkembang dalam masyarakat, memiliki banyak banyak nama antara lain akibat di alihbahasakan ke dalam berbagai tingkatan dalam bahasa Jawa. Sebagian menyebut Syekh Siti Jenar dengan Sitibirit atau Siti Abrit. Sebagian yang lain sering memanggil dengan Siti Rekta, Lemah Bang atau Lemah Abang. 1 Berdasarkan penelitian Dalhar Shodiq menyebutkan bahwa sebagian orang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari Cirebon. Ia adalah putra dari seorang raja pendeta. Ayahnya bernama Resi Bungsu dan nama asli Syekh Siti Jenar ini ialah Ali Hasan alias Abdul Jalil. Suatu saat, sang ayah marah besar atas kesalahan yang dilakukan anaknya tersebut. Sang ayah lalu dan menyihir sang anak, sehingga berubah menjadi seekor cacing yang lalu dibuang ke sungai.
2
Syaikh Abu Al-Fadl menyatakan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar adalah Abdul Jalil bin Abdul Qadir. Jika benar Abdul Qadir yang dimaksud Mbah Dlol3 disini adalah Sunan Gunung Jati Putera Maulana Ishaq, maka dapat dikatakan bahwa Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar) adalah keponakan Raden Paku alias Sunan Giri, meskipun dari jalur yang berbeda. Jikalau Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq dengan ibu dari Blambangan, maka Sunan Gunung Jati (Abdul Qadir) yang 1
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar (pergumulan Islam-Jawa), Jogjakarta, PT Yayasan Bentang Budaya, 1999, h. 46. 2 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan kematian, Syekh Siti Jenar, Jogjakarta, PT Kreasi Wacana 2001,h 3. 3 Mbah Dlol yang dimaksud disini adalah Syaikh Abu Al-Fadl.
14
kemudian menurunkan Sayyid Abdul Jalil adalah putra Maulana Ishaq dengan ibu yang berasal dari Pasai. 4 Solichin Salam mempunyai pendapat lain lagi. Menurutnya asal-usul dari Syaikh Siti Jenar tidak diketahui secara pasti. Namun demikian Solichin Salam mengutip pendapat Cemar Amin Husain, seorang bekas Attache pers pada kedutaan RI di Mesir. Berpendapat bahwa nama Siti Jenar barangkali karena kesalahan dalam mengucapkan lafal Sidi Jinnar yang berasal dari bahasa Persia. Sidi berarti Tuan, sedangkan Jinnar adalah orang yang mempunyai kekuatan seperti Api. Hal ini dihubungkan dengan kebudayaan yang ada antara Indonesia dengan Persia. 5 Nama
Siti Jenar
menjadi penting
bukan
hanya
karena
banyak
keterkaitannya dengan sejarah perjuangan perkembangan Islam di Indonesia dan dinamika kekuasaan politik kerajaan Demak. Posisi Syekh Siti Jenar yang lebih dekat elite keturunan terakhir Majapahit yang tidak bersedia tunduk pada kekuasaan Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di luar mainstrem ajaran walisongo tersebut. Sikap dan ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan mengapa kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan Walisingo.6 Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap bahwa alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, jelas menyimpang dari pendapat Wali Songo. Syekh Siti Jenar itu telah menyimpang dari ijma’ yaitu persesuaian pendapat para waliullah, qias yaitu hukum Islam yang bersendikan perbandingan dalil dan
4 Ahmad Zacky Syafa’, Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar, Jawa Timur, PT GALAXY (Bintang Pelajar Group), 2006, hal 59. 5 Ibid, h. 62. 6 Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar’ Pergumulan Islam-Jawa, h. 47.
15
hadits, yang dipakai sebagai dasar dan pedoman pemerintahan kerajaan Bintara. Dasar keyakinan umum yang sudah berlaku yang selama ini mampu mengatasi berbagai macam persoalan, diputarbalikkan Syekh Siti Jenar dengan menyatakan bahwa dunia ini adalah alam kematian.7 Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling menarik sekaligus kontroversial ialah ajarannya tentang hidup dan mati, Tuhan dan manusia, serta kewajiban memenuhi rukun Islam. Seluruh murid dan pengikutnya dalam kisah tentang Syekh Siti Jenar memilih mati dengan caranya sendiri. Kemampuan mematikan diri itu pernah menarik Sunan Kudus yang belajar merasakan kematian pada Ki Ageng Pengging yang juga dikenal dengan nama Ki Kebokenongo. 8 Pandangan Syekh Siti jenar bahwa ia tidak wajib salat dan segala rukun dalam Islam dan aturan formal yang disusun dalam ilmu syariah, bukan hanya didasari oleh konsepnya tentang manusia- Tuhan. Melainkan juga didasari oleh pandangannya tentang makna hidup dan mati. Syekh siti jenar memandang bahwa aturan syariat hanya berlaku bagi mereka yang telah mati. Pandangan ini sekilas mirip dengan pandangan kebanyakan ulama lainnya, namun sesungguhnya berbeda. Letak perbedaannya ada pada konsep tentang siapa yang disebut mati dan dan dimana letak kehidupan dan kematian. Bagi syekh siti jenar, alam dunia ini adalah tempat kematian manusia, sehingga hukum syariah tidak berlaku disini. Hukum syariah baru berlaku nanti di sana sesudah manusia menemui ajalnya. Karena itu, syekh siti jenar memandang bahwa neraka dan surga sudah ada di 7 8
Ibid, h. 125. Abdul Munir Mulkhan, ajaran dan jalan kematian, Syekh Siti Jenar, h. 4.
16
dunia sekarang. Ia berupa pertentangan berpasangan yaitu susah-senang, bahagiamenderita, rugi-untung, dan pertentangan berpasangan lainnya. Yang merupakan kenampakan surga di dunia. Bagi Syekh Siti Jenar, hakikat manusia itu ialah jiwanya yang terperangkap dalam raga, sehingga manusia terus menerus menghadapai kesengsaraan. Manusia baru akan memperoleh kebebasan dari segala derita sesudah menemui ajal di mana kehidupan hakiki baru dimulai. Pandangan seperti ini sebenarnya bukan barang asing di dalam sejarah Islam dan sejarah pemikiran sebagaimana bisa dilihat dari pemikiran Plato dan juga Imam Al-ghazali. Sesudah manusia menemui ajal, barulah segala pertentangan akan hilang dan berakhir. Syekh Siti Jenar memandang bahwa tempat atau posisi Tuhan ada di dalam diri manusia. Pandangan seperti ini juga bisa di temukan dalam pandangan dan praktek sufi terkenal Al-Hallaj yang melahirkan konsep tentang wahdatul wujud. Ajaran Syekh siti jenar paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat keberlakuan syariat tersebut. Berbeda dari kesadaran dan pengetahuan yang umum berlaku, Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia sekarang ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Karena itu ia memandang manusia yang hidup di dunia kini sebagai bangkai yang memiliki keinginan yang selalu berubah-ubah. Konsekuensinya, ia tidak dapat di kenai hukum sebagaimana ketentuan syariah. Karena itu manusia di dunia ini tidak
17
harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Pokok pandangan itu juga membawa pada kesimpulan lain tentang hubungan manusia dengan Tuhan Allah, alam semesta dan Tuhan Allah. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Ini mirip dengan konsep Al-Hallaj tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Karena itu, Syekh Siti Jenar dan pengikutnya menolak tunduk di bawah pemeritahan raja. Bagi Syekh Siti Jenar, kataatan mereka secara mutlak diberikan hanya kepada Tuhan yang mewujud di dalam budi. Tempat bersemayam Tuhan dalam diri setiap orang. 9 Ajaran dan seluruh pandangan Syekh Siti Jenar bersumber pada gagasan sentral tentang ketuhanan yang ada dalam penelitian Dalhar dikaji dari, antara lain, buku Falsafah Siti Jenar karya Brotokesowo berbentuk tembang dalam bahasa jawa. Buku itu membahas konsepsi ketuhanan menurut penafsiran Syekh Siti Jenar yang sebagian merupakan dialog Syekh Siti Jenar dengan KI Kebokenongo atau ki Ageng Pengging yang kemudian menjadi murid setianya dan bersamanya membangkang tidak hanya kepada sultan Demak, tetapi juga kepada Wali Songo.10 Abdul Hakim Hassin dalam kitabnya Al-Tashawwuf fi al-Syi’ri ‘l-Arabi yang dikutip Simuh (Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam), menerangkan sebagai berikut :
9
Ibid, h. 5-7. Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar’ Pergumulan Islam-Jawa, h. 57.
10
18
“ Tasawuf adalah proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit didefinisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami hakikat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT. Adapun aspek pertama dari upaya ini adalah segi falsafi daripada tasawuf; sedang aspek kedua adalah segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan renungan; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali daripada tasawuf muncul terlebih dahulu daripada segi falsafinya. Para sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’ adalah lebih penting dari pada akal bagi para sufi; bahkan hati itu bagi para sufi adalah segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah SWT. Kutipan diatas menunjukkan bahwa tasawuf bermula dari amalan-amalan praktis. Yakni laku mujahadah yang utama. dan kepercayaan masyarakat tentang yang ghaib, atau dari ajaran agama tentang adanya tuhan, merangsang keinginan sebagian tokoh agama untuk mencoba bermeditasi, mencari jalan agar dapat bertemu muka dan mendapat wangsit (wahyu) secra langsung dari tuhan atau zat yang ghaib. baru sesudah di antara mereka berhasil makrifat kepada tuhan dan mendapat wangsit, ada yang mencoba menyusun ajaran atau falsafah ketasawufannya dengan konsep-konsep pemikirannya atau meminjam dan mengubah konsep-konsep ajaran orang lain. Dalam perkembangannya tasawuf misalnya, yang mula-mula timbul adalah gerakan zuhud yang meningkat ke laku tapa brata atau mujahadah dan riyalat dirintis oleh Ibrahim Bin Adham (w.777 M./162H.), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w.801M./185H.), dan lain-lainnya. Baru kemudian muncul pemikir-pemikir tasawuf yang besar seperti husain Bin Mansur al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibnu’ Arabi, dan lain-lainnya. Pemikiran falsafi dalam tasawuf muncul sesudah di antara para sufi ahli pikir mencapai puncak penghayatan makrifat mereka. Kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek ajaran Islam dari sudut paham ke mistikan mereka. Maka muncullah konsep-konsep
19
ittihad, hulul, wahdat al-wujud, wushul, dan sebagainya. Istilah-istilah ini menggambarkan penilaian atau paham mereka tentang puncak penghayatan fana’ dan makrifat mereka. Dalam hal ini R.A. Nicholson mengatakan : “ Whatever terms may be used to describe it, the unitive state is the culmination of the simplifying process by which the soul is gradually isolated from all that is foreign to it self, from all that is not God. Unlike Nirvana, which is merely the cessation of individuality, fana’, the passingaway of the sufi from his phenomenal existence. He who dies to self lives in God, and fana’, the consummation of ths death, marks the attainment of baqa’, or union with the divine life”. Dengan istilah apapun yang mungkin dipergunakan untuk melukiskannya, penghayatan manunggal (dengan Tuhan) adalah puncak penghayatan dengan mana pengalaman kejiwaan meningkat keterasingannya dengan segala yang bukan dirinya, dari apa yang bukan Tuhan. Beebeda dengan konsep Nirwana, yang semata kebebasan dari nafsu kediriannya, fana’nya dari sufi dari alam phenomena, berarti baka, didalam keberadaannya yang sejati. Barang siapa mati nafsu kediriannya hidup di dalam Tuhan; dan fana’ adalah perwujudan kematian ini, ditandai tercapainya kekekalan, atau hidup di dalam kesatuan dengan Tuhan. Dalam tasawuf penghayatan Manunggaling Kawula Gusti ini bisa mereka capai melalui memuncaknya penghayatan fana’ hingga fana’ al- fana’ dala zikir, dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada mabuk cinta (sakar) di dalam tuhan, atau dari kedua-duanya dari mendalamnya cinta dalam zikir dan fana’al-fana’). Penghayatan manunggal dengan Tuhan yang berasal dari dari gelora rasa cinta bisa dipahami dari evolusi dalam mengalami sepuluh tangga ahwal, yaitu dari cinta mendalam hingga syauq (rindu-dendam), dan kemudian meningkat jadi pengalaman ‘Uns’, yakni kegilaan dalam asyik-masyuk (intim)
20
dengan Tuhannya. Dalam Risalah al- Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut : “Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum sampai seperti itu, cintanya belum benar-benar (belum sempurna). Juga dalam Risalah di atas di nukil kata Sari Al-Saqti : ” Tidak sempurna percintaan antara dua orang sehingga keduanya saling mendaku ”. Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat a-syuhud memuncak jadi wahdat al-wujud atau monisme, segala yang ada ini adalah Allah. Dalam tasawuf kecenderungan ke arah paham kesatuan antara Tuhan ini di mulai tampak dalam penghayatan ittihad (the unitive state) yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bisthomi (w.261 H./875M). Dalam perkembangan pemikiran sufisme Abu Yazid al-Busthomi dipandang sebagai tokoh yang memperkenalkan paham ittihad atau kesatuan antara manusia dengan Tuhan, atau dalam konsep kejawen dinyatakan dengan konsep Manunggaling Kawulo Gusti. 11 B. Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti Sebagai Soko Guru Ajaran Syekh Siti Jenar. Di dalam Serat Wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Backy Syafa’, “Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar”, disebutkan bahwa jalan untuk
11
Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, h. 139-143.
21
mencapai Manunggaling Kawulo Gusti seperti ajaran Siti Jenar dapat diperoleh dengan cara “ Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu Luhung/Ilmu Hakikat”. Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama dirumuskan menjadi Sembah Catur (Empat macam sembah). Hal ini diungkapkan sebagai berukut : “ Semengko insun tutur/ Sembah catru supaya lamuntur/ Dhihn raga, cipta, jiwa, rasa kaki/ingkono lamun tinemo/ Tandha nugrahaning Mathan.“Kini kuterapkan empat macam sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan”.
Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan gubahan dari keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga adalah Syariat, sembah cipta adalah Tarekat, sembah jiwa adalah Hakikat, sedang sembah rasa adalah Hakikat. Jadi keempatnya adalah gubahan dari syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan menjalakan shalat lima waktu dan berpegang aturan syariat. Adapun sembah qalbu (cipta) secinya tanpa air akan tetapi menahan dan mengurangi kridanya hawa nafsu. Kemudian sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak akhir dari pada laku bathin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Apabila mendapat anugerah Tuhan qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak terang benderang. Adapun sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun, hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan. 12
12
Ahmad Zacky Syafa’, Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar, h. 83-85.
22
Cara Syekh Siti Jenar memaparkan pandangannya tampak lebih sesuai logika dan kesadaran hidup orang jawa yang karena itu ajarannya tampak lebih meresap-menyatu di pasar kepercayaan mereka. Nama Syekh Siti Jenar sulit ditemukan di dalam kitab-kitab resmi terbitan Indonesia atau jawa, namun ajarannya begitu populer bagi publik jawa. Ensklopedia Islam yang disusun Departemen Agama pun tidak menyebut tokoh ini ketika menjelaskan panjang lebar tentang sejarah kehadiran wali atau Wali Songo di negeri ini. Nasib Syekh Siti Jenar seperti tokoh-tokoh besar sufi lainnya yang menentang arus kekuasaan politik pada masanya seperti Al-Hallaj. Salah satu uraian panjang yang dikemukan Syekh Siti Jenar yang akrab bagi wong jawa ialah konsepnya tentang warongko Manjing curigo yang dalam khasanah Islam di kenal dengan wahdatul wujud. Sikapnya yang anti kemapanan yang memang mudah dicapai melalui doktrin-doktrin hukum fiqih atau syariah yang formal dan positifistik telah membuat tokoh ini tak pernah di akui kehadirannya dalam sejarah Islam di Nusantara. Kehadiran Siti Jenar sebagai manusia historis yang pernah hidup dalam bentangan sejarah nasional memang menjadi bahan perdebatan panjang yang tidak pernah berakhir. Namun, pandangan Siti Jenar bukanlah barang asing bagi sejarah pemikiran Islam seperti ia juga tidak asing dalam kesadaran orang jawa. Kejawen sebagai salah satu bentuk kesadaran keagamaan dan praktek hidup kaum abangan hampir selalu menimbulkan salah paham dan perdebatan di antara para ilmuwan atau para pelakunya sendiri. Kedudukan kejawen sebagai suatu
23
sistem kepercayaan itu sendiri juga menjadi perbantahan apakah ia merupakan bagian dari kebudayaan orang jawa atau merupakan salah satu bentuk kecerdasan lokal dari praktik Islam yang oleh pihak lain dikatakan sebagai praktik Islam yang belum selesai atau belum sempurna. Sementara yang lain lagi memandang kejawen sebagai suatu lapis tipis kesadaran keagamaan orang jawa yang tak memiliki akar yang kokoh, sehingga mudah berubah bentuk atau mudah bercampur dengan bentuk keagamaan yang bersumber dari beragam agama yang biasa disebut sebagai sinkretisme. Cara berpikir yang mendua inilah yang menyebabkan adanya sikap dan perilaku keagamaan orang jawa yang dapat mengekspresikan emosi keagamaan melalui ajaran dari keyakinan manapun, baik melalui agama-agama monoteis (Ilam dan kristen) maupun dengan cara mengikuti ritual suatu aliran kebatinan tertentu.13 Diluar perdebatan di atas, kasus orang jawa yang merupakan bagian dari penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan sesungguhnya bisa memberi bahan untuk memahami berbagai praktik keberagaman di kawasan nusantara, terutama di pulau jawa. Mereka, orang jawa itu, umumnya tinggal dan menetap di pulau jawa yang dalam mitologi jawa di percaya sebagai “punjering jagad” atau pusat kosmos dan sebagai pusat kehidupan umat manusia. Secara geografis pusat jagad itu terletak di satu wilayah kecil di sisi selatan jawa tengah, dan yang lebih spesifik lagi menunjukkan kawasan yogyakarta dan solo yang juga di tempatkan sebagai pusat kebudayaan jawa. 13
M. Soehadha, orang jawa memaknai agama, Jogjakarta, PT Kreasi Wacana, Cet 1, 2008, h. 20-21.
24
Dalam kaitan itu pula pergumulan keberagaman dari agama –agama besar di negeri ini sesudah beberapa abad agama itu merasuk ke wilayah nusantara nampak akan terus berlangsung dalam aras dan dimensi yang tentunya berbeda dari masa ke masa. Salah satu dari banyak hal yaitu tentang pergumulan keberagaman itu ialah hubungan mistisme di dalam semua agama-agama besar tersebut dan dimana posisi kejawen beradan dan akan berada. Niels Mulder, dalam bukunya yang edisi terjemahan Indonesia berjudul Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, dengan jelas menyatakan adanya kesepadanan antara mistisisme dengan kebatinan dan ilmu jawa kadang dan lebih sering disebut kejawen. Namun, disaat yang sama ekspansi kolosal orang jawa ke berbagai pulau di wilayah nusantara beserta budaya yang diusungnya, melalui transmigrasi, semakin menghadapi kritik amat tajam. Suatu praktik kekuasaan model Mataraman jawa yang juga mulai digugat sesudah jatuhnya rezim orde baru. Dilihat dari komunitas pemeluk Islam, agama yang dipeluk mayoritas penduduk di negeri ini, sebenarnya telah masuk dan berkembang di kawasan Nusantara lebih dari 10 abad lalu. Jauh sebelum majapahit runtuh, beberapa komunitas pemeluk Islam, konon bahkan sudah ada di pusat pemerintahan kerajaan besar tersebut. Sejak kerajaan Demak berdiri, lebih lima abad Islam terus berkembang dan menanamkan pengaruhnya dalam beragam aspek kehidupan nasional. Namun, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga dan kukuh untuk meneguhkan diri sebagai orang jawa dengan sistem kepercayaan dan budayanya sendiri.
25
Sistem kepercayaan orang jawa, yang lebih dikenal sebagai kejawen, oleh sementara pihak di duga telah mengalami kebangkitan di akhir abad ke-20. banyak pihak berpendapat adalah kesalahan besar menganggap orang jawa itu begitu gampang menjadi muslim atau kristen, Budha atau Hindu. Menurut pihak ini, hal itu di sebabkan karena penganjur agama Islam atau kristen gagal memahami kesadaran hidup orang jawa dan kekuatan kejawen. 14 Di jawa memang perpaduan antara mistik Islam dengan budaya cukup kental. Bukan sekedar itu saja, bahkan ada aliran kebatinan yang cenderung menggerogoti dan menyerang umat Islam dengan karya-karya kebhatinannya. Sebut saja, misalnya kitab Gatoloco dan Darmogandul, yang menurut T.E. Behrend, menjadi lambang pornografi dan anti Islam dalam sastra jawa prakontemporer. 15 Secara teoritis, sufí atau sufisme memang ditolak oleh berbagai gerakan Islam dan kaum sunni yang dianut mayoritas muslim di dunia. Namun demikian, praktek sufí merupakan fenomena umum yang mudah ditemukan dalam kehidupan mayoritas pemeluk Islam dari strata rakyat kebanyakan di dunia Islam.16 Sufisme berkembang meluas ditengah kekacauan politik yang berubah menjadi gerakan radikal sebagai penerapan syariah sebagai dasar hukum negara ialah wahabisme ketika mendukung kekuasaan Ibnu Saud. Di kemudian hari
14
Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Burung Surga dan Ilmu kasampurnaan Syekh Siti Jenar, h. 101-106. 15 Alwi Shihab, Islam sufistik, bandung : Mizan 2001, h. 159-160. 16 Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Islam sejati (KH.Ahmad Dahlan dan petani Muhammadiyah) Jakarta, PT. serambi ilmu semesta, cet 1, 2003, h. 98.
26
wahabisme juga mengintegrasikan beberapa unsur sufisme ke dalam Islam murni syariah tersebut. Walaupun sufime ditolak kaum sunni, namun peletak pemahaman sufi juga memberi perhatian serius atas pokok ajaran-ajaran sufisme. Hasan Basri (wafat 728 M), guru pendiri Mu’tazilah dan Asy’ary, sangat mendorong hidup saleh (baca;zuhud) dalam menghadapi pengadilan kiamat yang populer dikalangan penganut sufi. Ibn Taimiyah mengakui sahnya beberapa ajaran Sufisme, termasuk kasyf-nya Al-ghazali, pembela sunni paling masyhur dan tokoh terpenting sufisme sepanjang sejarah Islam. Gagasan dasar sufisme sebenarnya sama dengan syariah, termasuk tujuan pendekatan diri kepada Tuhan dan pencarian perkenan (keridlaan) Tuhan. Gerakan ini sering dikaitkan dengan pemikiran sufi Abu Hasyim Al Kufi dari Irak, wafat Tahun 770 M. untuk mencapai tujuan itu seorang sufi menempuh jalan (tarekat) yang panjang dan sistematis yang dikenal dengan maqam-maqam.17 Sebagaimana di ketahui, ajaran Syekh Siti Jenar banyak terkait dengan praktek hidup sufi sebagai model kehidupan pemeluk Islam baik dalam berhubungan dengan (menyembah) Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan sosial kemasyarakatan. Termasuk dalam hubungan sosial itu berbagai masalah kehidupan politik dan juga ekonomi. Praktik hidup sufi itu sendiri memiliki sejarah panjang, bahkan pada masa jauh sebelum kerasulan Muhammad saw. Sebagian pemikir Islam (ahli syari’ah) berpendapat bahwa ajaran praktik hidup sufi tidak diketemukan dasar tekstualnya dalam Al-Quran ataupun sunnah.
17
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan jalan kematian Syekh Siti Jenar, h. 11.
27
Walaupun demikian juga cukup banyak yang menghubungkan praktik hidup sufi itu dengan perikehidupan Nabi sendiri. Mereka berpendapat bahwa perikehidupan Rasul adalah sebuah contoh kehidupan sufistik itu sendiri. 18 Munculnya tasawuf juga bersamaan dengan rekonstruksi kekuasaan Islam yang dengan hebat menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah utama dunia. Proses pembentukan sistem kekuasaan ini diikuti oleh pengembangan hukum positif fiqih sebagaimana telah disebutkan. Akibatnya, hampir semua pemikiran lain dinyatakan dilarang kecuali pemikiran yang memperoleh dukungan kekuasaan resmi. Di sinilah pemikiran sufistik mulai mengambil posisi oposisional yang tak kalah kerasnya dengan ketaatan hukum fiqih dalam praktik tarekat.19 Pada saat yang sama, ajaran Syekh Siti Jenar seharusnya dapat diletakkan sebagai media dialog ajaran Islam yang berkembang dengan kepercayaan lama yang selama ini diyakini oleh hampir semua lapisan sosial di bawah sistem politik dan budaya Majapahit. Suatu hal yang dengan keras ditolak oleh Raden fatah dan dewan keagamaan yang dipimpin para wali. Sayangnya, pemikiran dan ajaran Syekh Siti Jenar yang memang cukup bukti menyimpang dari mainstreem atau pola umum sistem keagamaan dan kekuasaan resmi itu kurang disikapi secara jernih. Walaupun demikian, sikap Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya yang tak kalah keras juga harus dijernihkan. Namun jika pemikiran dan ajaran Syekh Siti Jenar itu diletakkan dalam konteks peralihan kekuasaan dan sekaligus peralihan 18 19
Ibid, h. 29-30. Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar’ Pergumulan Islam-Jawa, Jogjakarta, h. 31.
28
kesadaran budaya ketika itu, mungkin pemikiran Syekh Siti Jenar dapat dikaji secara lebih proporsional. Harus pula disadari bahwa peralihan kekuasaan dan budaya yang terjadi secara mendadak harus menyesuaikan diri dengan sistem keagamaan dan kekuasaan Islam di bawah pemerintahan demak Bintara. Tidak bisa ini dihindari hal ini akan menimbulkan kejutan dan hentakan kesadaran sosial, politik dan ekonomi yang tak mudah bagi seseorang untuk mengambil posisi yang tepat. Dalam hubungan itulah kajian terhadap pemikiran dan ajaran Syekh Siti Jenar menjadi relevan. Hal ini menjadi semakin strategis di tengah pertumbuhan bangsa yang mayoritas penduduknya umat Islam. Lebih strategis lagi ketika ketika bangsa ini tak lagi dapat menghindar untuk menempatkan diri ditengah percaturan budaya mondial yang semakin mengglobal seperti sekarang ini. 20 Ketika ajaran sufi itu dikembangkan Syekh Siti Jenar, kegelisahan para wali, bahkan diantara para elit penguasa kerajaan demak pun muncul. Karena itu, upaya memahami berbagai dimensi ajaran dan kepercayaan sufi itu diharapkan setidaknya bisa mengurangi kesalahpahaman tersebut.21
20 21
Ibid, h. 32-33. Dr. Abdul Munir Mulkhan, (ajaran kematian) h. 35.
29
29
BAB III PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM KITAB BAYAN BUDIMAN A. Tinjauan Umum Tentang Kitab Bayan Budiman. Kitab Bayan Budiman adalah kitab rakyat yang selalu dibaca di hampir setiap peristiwa penting kehidupan. Misalnya, di baca di malam-malam upacara di dalam siklus kehidupan seperti; mitoni, kelahiran bayi dan sunatan, hingga hari pernikahan. Seorang pembaca mendendangkan tembang-tembang dalam kitab yang untuk hal-hal tertentu disela-selai (disenggaki/jw) oleh pendengar. Buku yang di beri judul Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan Syekh Siti Jenar cukup menjelaskan uraian singkat tentang Kitab Bayan Budiman. Di dalamnya, berisi tentang kiasan bahwa burung surga yang mewakili fabelisasi seekor burung yang disebut Burung Bayan sebagai aktor utama dalam Kitab Bayan Budiman yang bertindak sebagai penyampai pesan ajaran kasampurnaan. Pemberian judul yang berkaitan dengan Syekh Siti Jenar didasari alasan karena nama Siti Jenar memang disebut dalam Kitab Bayan Budiman. Alasan berikutnya ialah karena kitab ini memang berisi penjelasan tentang sikap hidup manusia muslim yang mencerminkan konsep wahdatul wujud yang menjadi inti ajaran Syekh Siti Jenar. Lebih menarik ketika penjelasan tentang sikap hidup berdasar dengan konsep warongko manjing curigo dalam konteks kehidupan sehari-hari.1 Dalam pengantar editor, terbayang kalau kitab ini seperti buku-buku yang mengurai kisah-kisah dalam Hikayat Bayan Budiman yang pernah editor baca. 1
Dalam pengantar, Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, (tanpa halaman)
30
Namun meskipun ada persamaan ini (kisah) ternyata bayangan tersebut keliru. Ada perbedaan yang mendasar antara Hikayat Bayan Budiman dengan Serat Bayan Budiman, yaitu kedalaman ruh makrifat dan model kritik sosialnya. Kitab Bayan Budiman ini terdiri dari 13 bab, Terdiri dari: Pembukaan. (Bab 1) Kasampurnaan Makrifat (Bab 2) Makrifat Kesetiaan. Pupuh Pangkur: Kesetiaan Rumah Tangga. Pupuh Kinanti: Hijrah Kesetiaan. Pupuh Dandang Gula: Ketaatan Sesama Makhluk. Pupuh Gambuh:Raja Agung Dan Raja Dunia. (Bab 3) Makrifat Sifat Manusia. Pupuh Roning Kemala: Dongengan Tentang Tiga Hal. Pupuh Mijil: Bersatunya Kekuatan Empat Pencuri. Pupuh Pucung: Menggunakan Kekuatan Secara Bersama. Pupuh Yuda Kenaka: Empat Pencuri Menjelaskan Sifat. (Bab 4) Makrifat Keulamaan. Pupuh Pucung: Ulama Dan Godaan Kekuasaan. Pupuh Artane: Ujian Guru Sejati. Pupuh Yuda Kenaka: Siasat Jahat Ulama Sesat. Pupuh Sinom: Balasan Bagi Ulama Sesat. (Bab 5) Makrifat Rumah Tangga. Pupuh Pangkur: Godaan Cemburu. Pupuh Kinanti: Siasat Wanita Setia. Pupuh Maskumambang: Keteguhan Membawa Rizki. (Bab 6) Makrifat Keserakahan. Pupuh Durmo: Memberi Pelajaran Penyembah Patung. Pupuh Wirangrong: Makrifat Mensikapi Keserakahan. Pupuh Gambuh: Kesadaran Buah Makrifat. (Bab 7) Makrifat Keutamaan Priyayi Santri-Santri Priyayi. Pupuh Maskumambang: Jalan Santri Menjadi Priyayi. Pupuh Gambuh: Perempuan Dalam Kebusukan Lingkungan Priyayi. Pupuh Pucung: Perselingkuhan Priyayi Dan Bahaya Fitnah. (Bab 8) Makrifat Cinta Kasih. Pupuh Dandang Gula: Sumpah Setia Cinta Kasih. Pupuh Kinanti: Cinta Sejati Atau Cinta Jasad Semata. Pupuh Maskumambang:
Kekuatan Cinta
Kasih.
Pupuh Simon:
Cinta
Versus
31
Pengkhiantan. Pupuh Pangkur: Cinta Jasad Bisa Tergantikan. (Bab 9) Makrifat Keadilan. Pupuh Artane: Di Matalah Awal Tindak Khianat. Pupuh Asmarandana: Tiga Keindahan Rasanya Satu Juga. Pupuh Durmo: Balasan Keadilan. (Bab 10) Makrifat Jatah Rejeki. Pupuh Asmarandana: Lagak Priyayi Hina. Pupuh Dandang Gula: Makhluk Itu Tidak Punya Apa-Apa. Pupuh Pucung: Jatah Rizki. (Bab 11) Makrifat Tiga Kehidupan Utama. Pupuh Dandang Gula: Resiko Berjudi. Pupuh Asmarandana: Tiga Pilar Kehidupan Utama. Pupuh Sinom: Saling Jaga Antar Saudara. Pupuh Sinom: Kekuatan Persaudaraan. (Bab 12) Makrifat Penderitaan. Pupuh Sinom: Kekuasaan Harta Dan Ilmu. Pupuh Pangkur: Menghargai Peninggalan Orang Tua. Pupuh Megatruh: Kekuatan Bisa Melahirkan Penderitaan. Pupuh Mijil: Merasakan Penderitaan. Pupuh Asmarandana: Derita Membawa Nikmat. Pupuh Kinanti: Menggunakan Kekuatan Dengan Benar. Pupuh Yuda Kenaka: Empat Langkah Tarekat. (Bab 13) Makrifat Guru Sejati dan Jalan Kasampurnaan. Pupuh Sinom: Guru Sejati. Pupuh Sejati: Pupuh Asmarandana: Syariat, Tarekat, Dan Hakikat. Pupuh Durmo: Sifat Rasul (Utusan Tuhan) Dan Perkara Hukum. Pupuh Asmarandana: Meninggalkan Dunia Sebelum Meninggal Dunia. Di dalam Kitab Bayan Budiman ini melalui tokoh fabel burung Bayan yang tampil sebagai tokoh ahli makrifat dan kisah-kisah makrifat menjelaskan bagaimana penempatan berbagai aturan formal syariah dalam sinar kesadaran sufistis. Berbeda dengan tokoh burung Menco yang cenderung formalis, tokoh Burung Bayan tampil begitu lentur, bijak dan arif di dalam kesadaran makrifat dan karena itu selalu berhasil memainkan peran mengubah atau mentransformasikan
32
segala peristiwa dan keadaan menjadi sebuah peristiwa etika-moral atau pencerahan batin. Dari sini lah burung Bayan menjelaskan salah satu ajaran pokok tentang hukuman Tuhan di dunia ini yang merupakan hasil perbuatan makhluk itu sendiri melalui berbagai kisah mistis. 2 Dalam kisah lain, Kitab Bayan Budiman menjelaskan bagaimana menempatkan nilai dan kepentingan duniawi di atas fondasi makrifat. Tokoh sentral lain dari Kitab Bayan Budiman ialah putri Zaenab yang melukiskan syahwat duniawi yang terus menerus membuat manusia tergoda sehingga berani nabrak aturan syariat atau “ngakali” aturan itu demi kepentingan duniawi. Kisah Kancil dalam sejarah Nabi Sulaiman, kisah pencuri bijak, serta kisah-kisah mistis lain seperti yang dipaparkan dalam Kitab itu memberi gambaran bagaimana umat manusia harus menderita du dunia akibat dari kelemahan mental menghadapi godaan kekuasaan dan kekayaan duniawi. Dalam Kitab Bayan Budiman, burung surga Bayan mengajarkan bahwa derajat manusia yang paling luhur ialah jika berlaku baik. Namun manusia akan berubah lebih rendah dari hewan apabila berlaku durjana. Dengan mengutip perkataan kanjeng Nabi, Bayan Budiman menunjukkan betapa ruginya orang yang tak berilmu dan hanya mereka yang senantiasa mawas dirilah yang akan selamat. Karena itu mawas diri adalah jalan bagi mereka yang menempuh dan mencari ilmu kasampurnaan.3
2 3
Ibid, h. 159-160. Ibid, h. 160-163.
33
B. Kesatuan Tunggal Antara Syariat, Tarekat, Dan Hakikat Dalam Kitab Bayan Budiman. Jalan syariat selama ini diletakkan pada posisi terpisah dari jalan tarekat atau jalan hakikat serta sebaliknya. Pemisahan itulah yang menempatkan ajaran kasampurnaan dari Syekh Siti Jenar dipandang menyimpang karena dipandang hanya mengajarkan hakikat tanpa tarekat dan syariat. Dalam Kitab Bayan Budiman dijelaskan mengenai kasetuan syariat, tarekat dan hakikat dari ajaran Islam. Ilmu Syariat ialah jalan untuk mendekat kepada Allah yang meliputi lima rukun Islam dan bekerja memenuhi kebutuhan hidup memperhatikan halal mubah serta meninggalkan yang haram dan makruh. Demikian pula Ilmu Syariat dipraktikkan dengan nunggal syahwat, jika kuasa ia tidak lupa untuk memperhatikan teman, adil serta tidak membuat fitnah, selalu mengajak kebaikan pada teman dan memaafkan kesalahan.4 Semua aktivitas kehidupan penganut sufi di percaya sebagai cermin kehendak Allah di mana tangan dan ucapannya diyakini sebagai tangan dan ucapan Tuhan. Keyakinan ini bersumber dari konsep hulul yang menyatakan Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia sebagai tempat yang dikehendaki-Nya. Konsep hulul di dasari teori ketuhanan dengan dua sifat dasar lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan) di mana hubungan keduanya menjadi penyebab kejadian segala wujud. Wujud itu ialah Adam yang dijadikan Tuhan dari ketiadaan yang memiliki segala sifat dan namanya-Nya.
4
Ibid, h. 183-184.
34
Hulul dicapai melalui proses ibadah dan latihan rohani amat panjang dan bertahap yang disebut dengan maqam. Konsep inilah yang menyebabkan mengapa ajaran sufi di tolak oleh ulama syariah yang memandang konsep dan latihan rohani tersebut sebagai sebuah bid’ah (penyimpangan). Namun, sifat-sifat Tuhan juga menjadi identitas kesalehan yang ingin dicapai oleh umumnya pemeluk Islam seperti para ulama syariah. Sama halnya dengan ajaran kasampurnaan yang bersumber dari ide tentang insan kamil.5 Tuduhan bid’ah atas konsep persatuan manusia-Tuhan di atas memang tidak mudah dijernihkan, karena yang menuduh atau yang dituduh sama-sama merujuk ayat-ayat Al’quran yang sama yang multi tafsir. Para penganut ajaran ittihad sendiri berbeda-beda di dalam memahami dan mempraktikkan ajaran ini, terutama dalam kaitan dengan aturan Syariat (Fikih). Jika konsep ini di dalam ajaran sufisme itu bisa dikaji secara lebih jernih, salahpaham dan ruduh-menuduh antar umat dan para pihak mungkin bisa dikurangi. Disini pula kesalahpahaman terhadap ajaran Syekh Siti Jenar dari pengkritik dan penganut wali dituduh murtad itu mungkin bisa dijernihkan. Inilah antara lain yang menjadi fokus Kitab Bayan Budiman.6 Berbeda dari kesan umum atas ajaran Syekh Siti Jenar atau sufisme, seperti tentang pertentangan antara ajaran syariat, tarekat dan hakikat, Kitab Bayan Budiman berusaha menyatukan ajaran syariat, tarekat dan hakikat dalam kesatuan tunggal bagai satu nafas ibadah dan cara hidup muslim. Kritik keras Syekh Siti Jenar terhadap ketaatan syariah lebih disadari karena penggunaan aturan itu 5 6
Ibid, h. 153-154. Ibid, h. 154-155
35
kepentingan politik dan duniawai selain kepentingan pribadi. Gagasan kasampurnaan Syekh Siti Jenar lebih jernih dan lebih mudah dipahami dari model Bayan Budiman yang meletakkan syariah bukan sekedar tindakan fisik, melainkan keharusan didasari keteguhan mental dan spritual. Karena itulah seperti tanpa beban kritik, Kitab Bayan Budiman menuturkan kisah bagaimana Nabi Chaidir tiba-tiba muncul, juga Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, dan Malaikat Jibril. Banyak tokoh yang tampil dalam kitab ini mempunyai kemampuan luar biasa atau linuwih seperti mitos-mitos tentang kemampuan yang dicapai Syekh Siti Jenar. Kemampuan demikian dipercaya sebagai petunjuk atau penanda telah dicapainya tahapan ittihad oleh seseorang sehingga ia berada diatas tataran manusia biasa. Gejala ini pula dalam sejarah para rasul dikenal sebagai mukjizat.7 Kitab Bayan Budiman, saduran bebasnya dipaparkan secara jernih menjelaskan hubungan kataatan syariat secara fisik, batiniah dan makrifat diatas yang seolah memperjelas berbagai salah paham terhadap ajaran Syekh Siti jenar. Melalui tokoh fabel burung Bayan yang tampil sebagai tokoh ahli makrifat da kisah-kisah makrifat, Kitab Bayan menjelaskan bagaimana penempatan berbagai aturan formal syariat dalam sinar kesadaran sufistis. Berbeda dengan tokoh Menco yang cenderung formalis, tokoh burung Bayan tampil begitu lentur, bijak dan arif di dalam kesadaran makrifat dan karena itu selalu berhasil memainkan peran mengubah atau mentransformasikan segala peristiwa dan keadaan menjadi sebuah peristiwa etika-moral atau pencerahan batin. Dari sini pula burung bayan
7
Ibid, h. 157-158
36
menjelaskan salah satu ajaran pokok tentang hukuman Tuhan di dunia ini yang merupakan hasil perbuatan makhluk itu sendiri melalui berbagai kisah mistis. 8 Tokoh sentral lain dari Kitab Bayan Budiman ialah putri Zaenab yang melukiskan syahwat duniawi yang terus menerus membuat manusia tergoda sehingga berani nabrak aturan syariat atau “ngakali” aturan itu demi kepentingan duniawi. Kisah kancil dalam sejarah Nabi Sulaiman, kisah pencuri bijak, serta kisah-kisah mistis lain seperti paparan dalam kitab itu memberi gambaran bagaimana umat manusia harus menderita di dunia akibat dari kelamahan mental menghadapi godaan kekuasaan dan kekayaan duniawi. Dikisah yang lain Nabi Isa turun kembali ke bumi bersama malaikat memenuhi hasrat dan nafsu duniawi manusia yang tak pernah terpuaskan, namun akhirnya meminta Nabi Isa mencabut kembali pemberian usia tersebut.9 Maksud hakikat ialah pengetahuan yang sudah nyata, yang melihat dan yang dilihat sudah ketemu yaitu Allah mengetahui atau melihat manusia dan manusia melihat atau mengetahui Allah. Sudah menyatu antara lahir dan makna, wujud dan penampakan. Di dunia ini jika ada manusia yang hendak menemui Tuhan dengan tarekat tapi ninggal syariat tidak akan berhasil, jika hanya dengan syariat tapi ninggal tarekat tidak akan sampai. Tarekat bagaikan laut, syariat perahunya, dan hakikat yang dicari. Hakikat itu bagai intan indah yaitu ma’rifatullah yang hanya dimiliki siapa yang melakukan syariat dan tarekat. Orang yang mengaku ‘alim tapi ninggal syariat dan tarekat itu sama dengan begal (perampok) besar.
8 9
Ibid, h. 159-160 Ibid, h. 160-161
37
Sempurnanya orang hidup itu seperti disebut dalam kitab tarekat, shalatnya melahirkan tingkah laku yang baik. Ia bekerja keras, bila sudah kaya lalu sabar nrimo dan tawakkal dengan hati konaah. Kaya dan miskin sama-sama harus sabar, yaitu memelihara hati agar tidak mengeluh dalam berbakti kepada Yang Agung menjalani fardlu dan sunat. Nama-nama di dalam kitab ini hanyalah pemisalan seperti nama-nama Menco, Bayan, Zaenab dan nama Abdurrahman. Peksi (burung) maksudnya ialah siapa yang memahaminya akan lenyap semua hama penyakit mental. Suara burung ialah suara tentang baik dan buruk. Menco itu ialah perumpamaan orang yang diundang ke suatu perhelatan kenduri atau selamatan yang beramai-ramai bersama minum wedang dan makanan seperti kaum santri yang diminta membaca sholawat lalu pulang mendapat berkat. Sedangkan Bayan maksudnya ialah watak luhur karena mengikuti syariat tanpa meninggalkan tarekat dan hakikat sehingga ia disebut Budiman. Juragan ialah orang mukmin saleh yang banyak beramal dan banyak ilmu serta selalu siap menebarkan ilmu dan hartanya bagi amal kebajikan. Nama juragan itu ialah Nangim (Nai’m) yang berarti orang memperoleh nikmat duniawi. Dan nama zaenab ialah mitsal harta milik dan kekuasaan sebagai hiasan duniawi. 10 Nabi Muhammad pun berkata kepada Rabbil ‘Al-Amien: “ Ya Ilahi Yang Maha Suci, aku mohon petunjuk jalan sejati yang dekat dari rahmat Tuhan. Tuhan berfirman: “waktu siang itu hasil dari malam, dan waktu malam itu hasil dari siang, salatlah pada malam hari dan puasa di siang harinya pasti engkau akan
10
Ibid, h. 185-187.
38
mendapat rahmat Allah”. Nabi diutus untuk memelihara manusia agar bisa menjadi ratu dunia. Ada hakiki ada majaz yang hendaklah dimengerti maknanya. Hakiki itu bagaikan Ratu Adil menurut syariat dan majaz itu berarti melenceng dari syariat. Hati-hatilah di dalam gerak hidup. Janganlah meninggalkan syariat-nya. Itulah bedanya burung Menco dan Bayan. Walaupun sama-sama benar mengikuti perintah penguasa, tetapi Menco dibunuh karena mengikuti yang lahir tanpa sadar nasib sialnya karena kurang menyerah kepada Allah. Orang yang mengabdi itu terasa berat jika dipercaya, tetapi akan terasa ringan jika djalani. Renungkanlah hal ini dengan jernih. Seperti burung Bayan yang menyantuni sang penguasa, memberi saran dengan halus budi dan berserah diri pada Tuhan. 11 Dalam Pupuh Asmarandana (kesatuan syariat, tarekat dan hakikat) dijelaskan, Orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak tahu ilmunya, karena malas ngaji dengan alasan sudah tua, malu jika diungguli dan mengakui kebodohannya, itu adlah sia-sia. Tuhan tidak menyukai orang yang senang kepada kesalahan dan sabar nrimo menjadi orang yang bodoh. Tidaklah baik ilmu yang dijalankan dan diajarkan tidak dengan ikhlas. Karena ilmu seperti itu hanya akan menyebabkan penderitaan di dunia dan akhirat. Di dunia ini menjadi repot padahal diakhirat nanti tidak mendapat apa-apa. Ilmu itu sebenarnya bukanlah tinta dan kertas, bukan pula emas dan perak, tapi tahu dan pengertian tentang empat dalil, Qur’an, hadits, ijma dan qiyas. Dalil Qura’an ibarat alamnya Allah, dalil hadits itu perintahnya rasul, dalil ijmak itu
11
Ibid, (dalam saduran bebas Kitab Bayan Budiman). h. 213.
39
pendapatnya Imam empat, dalil qiyas itu pendapat yang mufakat atas hadits atau Qur’an, jika mungkin tidak menyebabkan kufur. Hal ini berbeda dengan ilmu jawi, bagai mulus menjadi merisi, makin lama sesudah menjadi priyayi lalu menjadi Jawan yang berarti keliru, murtad menjadi murad, belum sholat katanya sudah sholat, dan fardhu katanya tai asu (b.jawa: kotoran anjing). Ki Nangim bertanya di mana letak empat dalil jika beribadah kepada Allah tidak tahu arah tempatnya menyembah nama tanpa makna. Bayan menjawab dengan mengatakan bahwa Gusti Allah itu tidak kelihatan jika dilihat dengan dua mata selama masih hidup di dunia. Namun hati sanubari itu mengetahui bahwa Allah itu ada Yang Maha Kuasa. Wujudnya hanya satu, bukan jisim,bukan tempayan, karena adanya tanpa dibuat, tidak memerlukan tempat, namun Allah itu menghadapi semua makhluk, apalagi makhluk yang berwujud. Janganlah meninggalkan ngabekti, karena Allah itu maha mulia dan tidak tidur dari awal hingga akhir. Ia Allah itu lebih dekat kepada hamba, hamba tidak tahu Allah tapi Allah mengetahui hamba. Jika manusia itu meninggalkan ngabekti kepada Allah itu adalah kesalahan, karena manusia itu milik Allah, sehingga segala perintahNya harus dipenuhi. Ki Nangim lalu meminta Bayan menjelaskan tentang syariat, tarekat dan hakikat. Bayan pun mengatakan bahwa yang disebut ilmu syariat itu ialah jalan untuk mendekatkan kepada Allah yang meliputi tujuh hal yang harus dilakukan. Pertama, jalan syariat itu ialah mengucap syahadah. Kedua, shalat wajib lima kali dengan niat berdiri, takbiratrul ikhram, membaca fatihah, rukuk, Ik’tidal, duduk tahiyat dan salam. Ketiga, memberi zakat dan fitrah dengan menyedekahkan harta
40
kepada fakir miskin. Keempat, puasa di bulan ramadhan dengan tidak makanminum, mencegah muntah dan jimak dari pagi hingga sore hari. Kelima, naik haji dengan mengunjungi ka,bah, ihram di ‘Arofah melemper jumrah, thawaf-sai dan bercukur tanggal 9 di bulan besar. Keenam, bekerja memnuhi kebutuhan hidup memperhatikan halal mubah meninggalkan yang haram dan makruh, nunggal syahwat jika kuasa. Ketujuh, thalabu al-shuhmah yaitu memperhatikan teman yang senang nunggal agama, nunggal karep dan adil serta tidak fitnah, hanya karena Allah sesuatu terjadi, selalu mengajak kebaikan pada teman memaafkan kesalahan. Adapun tarekat itu ialah jalan menuju kepada Allah yang meliputi tujuh tindakan. Pertama merasa berdosa dan banyak bertobat yaitu memohon pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci dengan ingat didalam hati dan tidak lupa istigfar, jika berdosa terhadap sesama meminta dihalalkan atau mengganti jika mencuri. Kedua, bertapa yaitu meninggalkan dosa yang hanya mengambil keperluan hidup sekedar bagi ibadah sehari semalam, dan kuat taatnya pada Tuhan. Ketiga, hatinya qonaah yaitu menerima pemberian Allah apa adanya jika kurang tidak boleh mengeluh baik kepada Allah atau pun sesama manusia. Keempat bersikap tawakkal yaitu menyerahkan semuanya kepada Allah bagai orang mati yang ketika disiram air atau dibungkus diam saja tidak minta kepada yang lainnya, hanya yang hidup berhajat, seperti itulah manutnya manusia kepada takdir Allah. Kelima berhati sabar yaitu tidak mengeluh dan bersedia dalam ngabekti kepada Allah di waktu siang atau malam yang fardlu atau sunnat, mencegah waktu maksiat serta hatinya tawajuh yang jika diganjar fakir atau
41
melarat atau dikenai cobaan dari Allah selalu rela tidak mengeluh. Keenam, laku syukur kepada Allah yaitu mengerti makna nikmat yang berada dalam badan dengan mengucap alhamdulillah di lisan dan hati. Ketujuh, laku ikhlas yaitu beramal ibadah hanya untuk bekti kepada Allah bukan untuk lainnya. Jika ada yang beribadah kepada Allah agar bebas dari neraka atau masuk surga atau karena minta sesuatu maka itu bukanlah ikhlas. Selanjutnya maksud dari hakikat itu ialah pengetahuan yang sudah nyata antara yang melihat dan yang dilihat sudah ketemu yaitu Allah mengetahui atau melihat manusia dan manusia melihat atau mengetahui Allah. Sudah menyatu antara lahir dan makna, antara wujud dan penampakan. Di dunia jika ada manusia yang hendak menemui Tuhan dengan tarekat tapi ninggal syariat tidak akan berhasil, sebaliknya jika hanya dengan syariat tapi ninggal tarekat juga tidak akan sampai. Tarekat itu bagaikan bagaikan laut dan syariat itu perahunya sedang hakikat yang dicari wa al-syari-atu bila- thari-qatu itu akan ‘a-dhil atau kosong dan al-thariqatu bila-syari-atu itu batal, sehingga salah satu dari keduanya tidak boleh ditinggal. Hakikat itu bagai intan indah yaitu ma’rifatullah yang hanya dimiliki siapa yang melakukan syariat dan tarekat sebagai perahu dan laut untuk mencapai Allah. Karena itu jika orang mengaku ‘alim tapi ninggal syariat dan tarekat itu sama dengan begal besar. 12 C. Ajaran Makrifat Dalam wacana tasawuf, ma’rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam perjalanan tasawuf. Biasanya ma’rifat dipandang sebagai perolehan kemuliaan
12
Ibid h. 484-488.
42
sufi dan merupakan tema sentral dalam tasawuf yang sangat menarik perhatian kaum sufi. Upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) merupakan tujuan utama dan sekaligus sebagai inti ajaran tasawuf. Ma’rifat dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa’, ya’rifu,irfan, ma’rifat, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Menurut Musthafa Zahri, ma’rifat adalah mengetahui Allah dari dekat sehingga hati sanubari melihat Allah. 13 Kata ma’rifat dalam bentuk masdar (akar kata) tidak terdapat di dalam AlQuran dan Al-Hadits Rasulullah SAW. Kata “Makrifat” perspektif tasawuf merupakan hal baru dalam Islam sebagaimana kata tasawuf. Al-quran hanya menyebut kata-kata yang mustaq darinya, seperti firman Allah SWT :Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-kitab (Taurat dan Injil). Mengenail Muhammad seperti mengenal anak-anak sendiri, dan sesungguhnya sebagian di antara menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. 14 Imam Al-Ghazali menjelaskan tentang ma’rifat : “ Kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi segala jenis makhluk lainnya adalah kesiapannya untuk makrifat pada Allah SWT., yang di dunia merupakan keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaannya; dan di akhirat merupakan harta kekayaan dan simpanannya. Adapun alat untuk mencapai penghayatan makrifat adalah kalbu (hati), bukannya anggota badan lainnya. Maka 13
M. Solihin, Tasawuf Tematik (membedah tema-tema penting) Bandung, PT Pustaka Setia, 2003, h. 41. 14
Said Aqil Siraj, Ma’rifatullah (Pandangan agama-agama tradisi dan filsafat) Jakarta, PT ELSAS, h. 6.
43
hati itulah yang alim terhadap Allah dan dia pula yang taqarrub (ibadah) pada Allah, dan hati pula yang beramal untuk Allah, dan dia pula yang berusaha menuju Allah, dan hati pula pembuka tabir untuk menghaytai alam ghaib yang berada di sisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, laksana sang raja memerintah pada hamba atau khadamnya, atau laksana gembala menghalau (mimpin) yang digembalanya, atau sang tukang mempergunakan perlengkapannya. Maka hati akan diterima Allah apabila bersih dari apa yang selain Allah, dan hati pula yang diperintah untuk ibadah dan yang tercelanya. Hati itu yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih, da sebaliknya tidak akan sampai pada Allah dan celaka bila hatinya kotor dan sesat. Hati pula yang taat sesungguhnya pada Allah, adapun gerak ibadah semua anggota badan adalah pancaran hatinya..dia itulah kalbu (hati), bila manusia kenal padanya pasti kenal akan Tuhannya. 15 R.A.Nicholson mengatakan : “ Mengatakan Arif itu menyaksikan sifat-sifat Allah, dan bukannya ZatNya, oleh karena di dalam makrifat penghayatan dualisme betapapun kecilnya masih tetap ada, (pandangan dualis) ini baru lenyap di dalam penghayatan fana’ al’fana’ yaitu lenyapnya kesadaran diri sepenuhnya di dalam kesatuan dengan Tuhan. Tingkat yang tertinggi daripada fana’ tercapai bila kesadaran akan kefana’annya telah lenyap pula. Itulah yang oleh para sufi dinamakan fana’ al-fana (fana dari kefanaannya). Sang Sufi kini lebur dalam penghayatan Zat Allah.
Dan dengan demikian sang sufi penghayatannya menanjak terus ke arah yang lebih tinggi yang mereka sebut makrifat, dan kemudian hakikat, dalam mana
15
Lihat dalam Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, h. 122-123.
44
pencari Tuhan jadi yang arif atau makrifat, dan kemudian menghayati bahwa pengetahuan, yang mengetahui, dan yang diketahui adalah satu (manunggal) Dari uraian singkat di atas, menunjukkan bahwa dasar pikiran sufisme (tasawuf) mengarah pada filsafat serba Tuhan. Artinya puncak penghayatan kejiwaan yang sering dinamakan ilmu kasyfi, yaitu makrifat Zat Allah (ma’rifatullah) yang amat dibanggakan dan jadi inti-sari sufisme, menuju penghayatan Manunggaling Kawulo Gusti (union-mistik). 16 Potensi untuk memperoleh ma’rifat sesungguhnya telah ada pada manusia. Persoalannya adalah apakah ia telah memenuhi prasarana atau prasaratnya? Salah satu prasaratnya, antara lain adalah kesucian jiwa dan hati. Apakah jiwa dan hatinya telah suci ataukah masih dilumuri dosa? Jika totalitas jiwanya telah suci dan hatinya telah dipenuhi zikir kepada Tuhan, tidak mustahil bila hidupnya dipenuhi kearifan dan bimbingan-Nya. Untuk kearifan atau ma’rifah, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi “ Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna kegaiban. Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak jelek yang sering dilakukan manusia.
16
Ibid, h. 130-132.
45
Tampaknya kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat untuk berdialoq secara batin dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis bathiniyah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu ma’rifat, dan bahkan secara spesifik dapat memperoleh ilmu laduni, yakni ilmu yang datang lewat ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia. Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi untuk memperoleh ma’rifat, yaitu (1) qalb untuk mengetahui sifat Tuhan, (2) roh untuk mencintai Tuhan, dan (3) sirr untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari roh dan roh lebih halus dari qalb. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb selain dari alat untuk merasa, ada juga alat untuk berpikir. Perbedaan qalb dengan ‘aql ialah bahwa ‘aql tidak bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, sedang qalb jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. 17 Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (qalb) menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat. Qalb-lah yang akan mampu mengetahui hakikat pengetahuan karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialoq dengan Tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spontanitas dimiliki orangorang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Upaya yang dimaksud, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Riyadhah
17
Lihat, Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada (edisi revisi), 1994, h. 139.
46
Riyadhah, sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik. Yang dimaksud di sini adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. Riyadhah harus disertai mujahadah. Mujahadah yang dimaksud di sini adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Meninggalkan sifat-sifat jelek sangatlah berat karena membutuhkan kesungguhan dalam meriyadhah-kannya. Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus menerus. Dalam hal ini, riyadhah berguna untuk menempa jasmani dan akal budi seseorang yang melakukan latihan-latihan itu sehingga ia mampu menangkap dan menerima komunikasi dari alam gaib (malakut) yang trasendental. Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan Yang Kudus. 2. Tafakur Tafakur penting dilakukan oleh setiap manusia yang menginginkan ma’rifat. Tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu kebaikan akan dibukakan untuknya. Dalam Risalah Al-Laduniyah-nya, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni. 3. Tazkiyat An-Nafs Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan
47
tahalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin Abdullah Ash-Shuffi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasarkan pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materiel. Kegiatan sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin yang bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa, sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab dari Allah. 4. Zikrullah Secara etimologi, zikir adalah mengingat, sedangkan berdasarkan istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dalam munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selian Allah, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan zikir kepada Allah. Dalam pandangan sufi, zikir akan membuka tabir dalam malakut, yakni dengan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa zikir merupakan kunci pembuka kewalian.
Zikir
juga bermanfaat
untuk
48
membersihkan hati. Berkenaan dengan fungsi zikir, Al-Ghazali pun dalam Ihyanya menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada Allah.18 Sampai di mana tingkat ma’rifah manusia kepada Tuhan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifah itu tidak menyebabkan seseorang menjadi satu (ittihad) dengan Tuhan. Menurutnya, ma’rifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan keteraturan hukum-hukum ilahi pada segala benda. Karena jelas dan terangnya pengetahuan
itu,
beliau
juga
mengungkapkannya
dengan
istilah
:
“Memandang wajah Allah Ta’ala” ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata inderanya. Dan menurut al-Ghazali, inilah maqam yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Akan tetapi menurut beberapa sufi, antara lain Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lain-lain, tingkatan ini masih bisa dilampaui manusia, sampai tingkat ittihad dengan Tuhan. 19
18 19
M. Solihin, Tasawuf Tematik (Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf), h. 52-58. Asmaran A., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, h. 139-140.
50
BAB IV KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Syariah dalam Pandangan Syekh Siti Jenar. Di kalangan kaum sufi, istilah syariat mempunyai makna tersendiri yang dapat dikatakan berbeda dari pengertian yang diberikan oleh para ahli hukum Islam. Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun aktivitas manusia baik yang berupa ibadah maupun muamalah. 1 Syariat dan fiqih memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan : “ Syariat mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia;sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan hukum, Syariat senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada wahyu, ilm (pengetahuan) tentang wahyu itu tidak akan dapat diperoleh kecuali dari atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits; dalam Fiqh kemampuan penalaran ditekankan sekali, dan kesimpulan-kesimpulan (hukum) yang didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang meyakinkan. Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya;sedangkan materi yang tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fiqh suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak. Sedangkan dalam syariat banyak terdapat tingkatan-tingkatan yang dibolehkan atau tidak. Dengan demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai suatu ilmu;sementara syariat lebih merupakan perintah Ilahi yang harus diikuti.2
1 2
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), h. 26. Asaf A.A. Fyee, Outlines of Muhammedan Law, (London : 1960), h.21.
50
Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aqidah,ibadah, maupun mu’amalah dan juga akhlak. Di kalangan para sufi, syariat berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan shalat dimulai dari menghadap kiblat, berdiri, ruku’sujud dan seterusnya, demikian pula bacaan-bacaan yang telah ditentukan di dalamnya adalah amal ibadah lahiriyah (syariat). Perjalanan ke Baitullah, thawaf, sai, wukuf, di’Arafah dan lainnya adalah syariat, amal ibadah yang bersifat lahiriyah. Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakangerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada di dalam ibadah tersebut, maka tidak ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya terkonsentrasi kepada amal lahiriyah (syariat) ini akan hampa, karena hati kosong dari hakikat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam ibadahibadah inilah di kalangan tasawuf yang dkenal dengan istilah haqiqah (hakikat).3 Dalam konteks ini perlu dikutip ungkapan Al-Junayd Al-Baghdadi sebagai mana yang dikutip oleh Abdurrahman Shiddiq: “Barangsiapa yang mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barangsiapa bertasawuf tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Barangsiapa melakukan keduanya berarti ia melakukan kebenaran (tahaqquq)”.4
3 4
H.), h.7.
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), h. 27. Abdurrahman Shiddiq, Risalah Amal Ma’rifah, (Singapura: Mathba’ah al-Ahmadiyah, 1332
52
Al-Qusyairi misalnya ia mengatakan: “Setiap syariat yang tidak didukung dengan hakikat maka urusannya tidak diterima, setiap hakikat yang tidak didukung oleh syariat maka urusannya tidak berhasil ”. 5 Al-Ghazali mengatakan: “Tidak akan sampai kepada tujuan kecuali setelah diawali dengan hukum-hukum”. 6 Imam Malik menegaskan: “ Barang siapa berfiqhi (ber-tauhid) saja tanpa ber-tasawuf niscaya berlaku fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa yang ber-tasawuf tanpa ber-fiqhi (bertauhid) niscaya ia jadi golongan zindiq (penyeleng agama). Dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang hakiki (tulen)”.7
Demikian hubungan yang erat antara tasawuf dengan fiqih yang tergambar dari beberapa ungkapan di atas. memang diakui ada tokoh-tokoh tertentu dari kalangan sufi yang berfaham bahwa pada tingkat tertentu di saat seorang bersatu dengan Tuhannya, di saat dia adalah Tuhan dan Tuhan adalah dia, maka syariah dalam artian tasawuf tidak lagi diperlukan karena dia telah sampai kepada hakikat syariah tersebut. Pemahaman seperti inilah yang dengan keras ditolak oleh Al-Qusyairi dan AlGhazali. Tidak ada syariah tanpa hakikat dan tidak ada hakikat tanpa syariah.
5
Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah fi’ilm al-Tashawwuf, tahqiq Ma’ruf Zuraiq dan Ali Abd al-Hamid Balthaja, (Mishr: Dar al-Khair,tt.), h.56. 6 Muhammad Nawawi Al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah al-Hidayah Lihujjah al-Islam Abi Hamid Al-Ghazali, (Semarang: Pustaka Al-Alawiyah,tt.), h.5. 7 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Jakarta: PT Bina ilmu,1998), h.218
50
Syariah, di kalangan ahli hukum Islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. Karena syariah tidak saja mengatur masalah ibadah dan mu’amalah tetapi juga tidak juga akidah dan Akhlak, maka syariah adalah aturan yang meliputi seluruh sisi kehidupan, baik yang lahir maupun batin. Jadi tidak ada pemisahan antara syariat dengan hakikat, sebab hakikat adalah bagian dari syariat sekaligus hakikat, di mana shalat mesti dilakukan dengan gerakan-gerakan yangtelah digariskan dengan kemestian khusyu’ di dalam pelaksanaannya. Semua itu adalah ketentuan syariah yang telah digariskan di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. 8 Gagasan Siti Jenar tentang Tuhan, tentang hidup dan mati, dan tentang kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak mudah dipahami berdasar cammon sens. Pandangan Siti Jenar disusun berdasar pembalikan cammon sens. Dunia baginya dipandang sebagai kematian dan manusia yang hidup didalamnya dipandang sebagai kematian dan manusia yang hidup di dalamnya dipandang Siti Jenar sebagai mayat yang jika salah memaknai kewajiban syariah justru akan menjauhkan manusia dari kehendak Tuhan itu sendiri. Karena itu, bagi Siti Jenar, kewajiban agama tidak berlaku di sini bagi orang yang hidupnya terikat kepentingan duniawi, tetapi hanya
8
M. Jamil Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), h. 163.
54
berlaku bagi manusia yang bisa menjadikan kehidupan nanti di alam abadi sebagai pusat orientasi. 9 Konsep Tuhan yang benar bagi Siti Jenar ialah jika konsep dan pemahaman seperti itu bersumber dari hati yang tulus dan jujur. Tuhan tidak dapat dilukiskan dengan dan dari gambaran model apapun. Dia Tuhan adalah segalanya sekaligus bukan segala yang bukan. Tuhan ada di sini dan di sana, sekarang dan nanti, meliputi segala tempat, ruang, dan waktu.10 Salah Satu pandangan Siti Jenar dan pengikut ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” atau wahdatul wujud yang dikembangkannya, yang kontroversial ialah konsep tentang hidup yang sesungguhnya atau kehidupan sejati. Bagi Siti Jenar, kehidupan seseorang baru dimulai bukan sejak manusia dilahirkan ke muka bumi. Hidup sejati bagi setiap manusia baru akan dimulai ketika seseorang meninggal (kan) dunia yang fana ini. Pandangan dan ajaran demikian sebenarnya merupakan pandangan yang diterima secara umum dan tersebar meluas di kalangan pemeluk Islam. Walaupun demikian, pengikut Siti Jenar mempunyai ciri khas karena pandangan itu telah mendorong para pengikut Siti Jenar mencari jalan kematian yang bagi mereka berarti sebagai mencari jalan hidup sejati. 11 Bagi Siti Jenar, Tuhan Allah bukanlah sekedar sifat-sifat formal sebagaimana dirumuskan ilmu tauhid yang menjadi pokok materi dakwah dan pendidikan Islam. 9
Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan, Syekh Siti Jenar, 2002, h. 139-140. 10 Ibid, h. 142. 11 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Konflik elit dan lahirnya Mas Karebet), h. 54.
50
Tuhan Allah tidak bisa dikenali hanya dengan mengetahui dan manghafal sifat-sifat yang jumlahnya 99, melainkan menyatukan diri pada yang ke 100, yaitu Tuhan Allah dalam diri Tuhan itu sendiri. Ritus dan penyembahan atau pengabdian pada Tuhan, tidak cukup dilakukan hanya dengan memenuhi aturan formal dalam lima rukun Islam, yaitu : syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Pengabdian yang benar kepada Tuhan ialah dengan menampakkan ketuhanan di dalam diri dan di dalam setiap tindakan manusia dalam kehidupan objektif. Karena itulah puncak pencapaian di dalam penyembahan tidak cukup dilakukan melalui ritual formal itu, melainkan dengan menyatukan diri pada diri Tuhan Allah itu sendiri. 12 Pandangan kaum sufi terhadap syariah dapat dikelompokkan kepada dua. Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (yang masih berpegang pada syariah). Menurut kelompok ini, syariat dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian para ahli fiqih, sedangkan aspek batin (hakikat) menajdi perhatian kaum sufi. Pada bagian ini, terlihat ada pembagian tugas yang dikemukakan oleh para sufi dalam upaya membimbing umat untuk sampai kepada praktek (ajaran) yang sebenarnya (dalam pandangan mereka). Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syariah hanya ditujukan kepada masyarakat awam. Ini karena keterbatasan daya pikir dan hati mereka untuk untuk memahami makna yang tersimpan di balik syariah itu. Karena itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam dengan tata-cara yang telah ditentukan. Berbeda halnya dengan kaum sufi 12
Ibid, h. 55-56.
56
yang ekstrim ini, mereka meyakini ada hakikat dibalik syariah itu. Apabila itu telah dicapai, maka syariah bukanlah suatu hal yang penting lagi. Sebagai contoh, hakikat shalat adalah komunikasi yang berkelanjutan (langgeng) dengan Allah. Apabila itu telah dicapai, maka shalat dalam artian syariah itu tidak lagi diperlukan. Pemisahan arti syariah dan hakikat sekaligus dapat dilihat sebagai kritik terhadapnya dapat dilihat dari pernyataan Al-Qusyairi berukut : “ Syariah itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syariat, pasti tidak menghasilkan apa-apa. Syariat datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syariat memerintahkan mengibadahi dia, hakikat menyaksikannya pada Dia. Syariat melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuan-Nya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak di luar.13
Kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh Ibn Al-Jauzi: “ Ini adalah perbuatan buruk, karena syariah yang ditetapkan oleh Allah dengan hak adalah bagi kemaslahatan makhluk. Hakikat (seperti yang dikemukakan oleh orang-orang sufi) sesudahnya tidak lain hanya sebagai bisikan syaitan yang bersemayam di dalam jiwa. Dan sikap membenci para fukaha yang mereka tunjukan merupakan sebesar-besar sikap zindiq”14
Pemisahan arti syariah dan hakikat merupakan suatu hal yang tidak sampai menjadikan seseorang keluar dari akidah keislamannya, sejauh pemisahan tersebut tidak mengantarkan kepada pengabaian syariah seperti yang disebutkan di atas. Dalam hal ini yang menjadi perhatian serius adalah pengabaian syariah itu sendiri. Di samping, banyak dalil-dalil yang mewajibkan untuk tunduk kepada aturan Allah dan 13 14
Di kutip dari M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), h 165. Ibid, h. 165.
50
Rasul-Nya, pengabaian syariah akan melahirkan kesembrautan (ketidaktentu arahan) baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dengan mengatakan telah sampai kepada hakikat, seseorang akan melakukan sesuatu yang terkadang tidak sesuai dengan syariat. Maka akan lahir berbagai pelanggaran. Pelanggaran yang berakibat buruk bagi keharmonisan sosial. 15 Dalam Kitab Bayan Budiman jelas dikatakan bahwa kesempurnaan hidup tidak bisa dicapai hanya dengan salah satu dari;syariat, tarekat, dan hakikat tapi kesatuantunggal dari ketiganya, karena syariat diibaratkan perahu, tarekat lautanya, dan hakikat sebagai tujuan yang hendak dicapai. 16 B. Peribadatan Syekh Siti Jenar Pertama kali, ketika kita membahas peribadatan Syekh Siti Jenar, perlu diketahui mengenai sumber sejarah Syekh Siti Jenar. Ajaran maupun pemikiran Syekh Siti Jenar yang dianggap keluar dari mainstrem ajaran-ajaran Islam umumnya. Sehingga justifikasi sesat sering kali di alamatkan kepadanya. dan literatur-literatur mengenai ajaran Syekh Siti Jenar riwayatnya sama dengan pendahulu-pendahulu mereka, seperti Al-Hallaj, dll. Jika dibaca secara sambil lalu, ajaran Syekh Siti Jenar seperti menolak aturan syariat dan kehidupan di dunia aktual, selain pembalikan logika umum tentang apa yang disebut hidup dan mati, serta surga dan neraka. Namun demikian jika serat Siti Jenar dibaca secara jernih akan nampak bahwa inti ajaran Siti Jenar seperti keyakinan 15
Ibid, h. 165-166. Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan, Syekh Siti Jenar, (dalam sekapur sirih). 16
58
umum umat terletak pada hakikat hidup dan ada serta ketaatan terhadap syariat sebagai akar dari segala tindakan. Sebagian tokoh pembaharu gerakan Islam memandang bahwa aturan formal syariat hanya kulit luar dari sebuah ketaatan batin dan spritual. Di sini ketaatan formal syariat berupa ketaatan dalam tindakan fisik hanya bernilai jika didasari ketaatan batin dan spritual. 17 Ketaatan batin dan spiritual adalah wujud kesampurnaan hamba untuk selalu dekat dengan sang khaliq. Ketaatan tersebut di implementasikan dengan bentuk peribadatan yang lebih serius lagi. Keseriusan agar untuk mencapai tingkat kualitas ibadah yang lebih baik adalah tujuan dari pada pencapaian kasampurnaan ajaran Syehk Siti Jenar. Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam ragam kegiatan ibadah Mahdlah atau khash atau pun dalam bidang mu’amalat atau hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh dimensi esoterik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan kerasulan dan kerasulan Muhammad Saw. Dan tindakan ragawi, melainkan harus disertai kehadiran spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam melakukan shalat, zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai keterlibatan intensif ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti keikhlasan, ke-khusyuk-an, dan tumakminah. 18
17 18
Ibid, h. 158-159. Ibid, h. 144.
50
Ditinjau dari segi psikologisnya, terdapat suatu karakteristik mistis yang disebut-sebut para sufi, yaitu hilangnya perasaan dan kesadaran, dimana seorang sufi tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada organ-organ tubuhnya, tidak pula dirinya dalam alam luasnya. Dalam bahasa psikologis modern dapat dikatakan bahwa fana adalah intuitif, dimana seseorang untuk beberapa lama kehilangan perasaannya terhadap ego. Dan dalam Trimologi para sufi hal itu berarti, ”Ketidaksadaran seseorang terhadap dirinya maupun hal-hal yang berkaitan dengannya. 19 Di dalam serat wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Simuh dalam ” Sufisme Jawa” disebutkan bahwa jalan untuk mencapai Manunggaling Kawulo Gusti seperti ajaran Siti Jenar dapat di peroleh dengan cara ” Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu Luhung/Ilmu Hakikat”. Ilmu ini lebih tinggi tingkatannya dari pada Ngelmu Karang (ilmu yang dikarang-karang), untuk mempelajari dan mendapatkan Ngelmu Nyata ini orang harus berguru kepada seorang gutu. Dalam ungkapan Serat Wedhatama guru ini dinyatakan sebagai Sarjana Kang Matrapi, yaitu para pertapa yang bijaksana. Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama di rumuskan menjadi Sembah catur (Empat macam sembah). Hal ini diungkapkan sebagai berikut : ” Semengko insun tutur/sembah catur supaya lamuntur/Dhihin raga, cipta, jiwa, rasa kaki/ing kono lamun tinemu/Tandha nunggrahaning Manon. Kini kuterangkan empat macam sembah, agar dijalankannya. Yaitu sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan. 19
H. Ahmad Zacky Syafa, Ajaran dan Pemikiran Syekh Siti Jenar, h. 117.
60
Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan suatu gubahan dari keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga adalah Syariat, sembah cipta adalah Tarekat, sembah jiwa adalah Hakikat, sedang sembah rasa adalah Ma’rifat. Jadi keempatnya adalah gubahan dari syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan menjalankan shalat lima waktu dan berpegang pada aturan-aturan syari’at. Adapun sembah Qalbu (Cipta), sucinya tanpa air akan tetap menahan dan mengurangi kridanya hawa nafsu. Berusaha mengenal Tuhan di lakukan dengan penguasaan batin dan berlatih secara tekun, tertib dan teratur. Berlatih mengheningkan cipta untuk menanti terbuknya alam ghaib eneng, ening, eling (hening, awas, dan ingat). Adapun sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak akhir dari pada laku batin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Berusaha menggulung alam raya ke alam batin (jasad gedhe ginulung lan jagad cilik). Apabila mendapat anugerah Tuhan qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak terang benderang, terlihat serupa dengan Tuhan yang laksana bintang gemerlap. Adapun sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun, hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan.20 C. Telaah Kritis Terhadap Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar Dalam Perspektif Hukum Islam 20
Ibid, h. 83-85.
50
Secara umum, hukum Islam (fiqh) didefinisikan sebagai berikut : “ ilmu tentang hukum-hukum syar’iyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillah tafshiliyyah). Dari definisi ini dapat dilihat bahwa hukum Islam (fiqh) adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah yang amaliyyah yakni yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. Dari sini dapat dikatakan bahwa hukum-hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam fiqih, meskipun jika ditelusuri lebih jauh dapat dimasukkan kedalamnya.21 Tetapi, mau di akui atau tidak, persoalan yang paling mengakar dalam kehidupan umat Islam adalah persoalan ibadah –ritual. Tidak heran jika fiqh klasik identik dengan tatacara bersuci (al-thaharah), salat, puasa, haji, dan nikah. Fiqh klasik telah menjadi ajaran (antroposentris). Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan seolah-olah hilang di tengah hiruk-pikuknya persoalan ibadah-ritual. 22 Dalam artian seperti ini, jelas bahwa fiqh mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun muamalah. Dalam bidang ibadah, misalnya, fiqh mengatur syarat-syarat, rukun-rukun, sunnat-sunnat ibadah. Ibadah akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat-syarat dan rukunrukunnya. Sebagai contoh, shalat seseorang sah dari segi fiqih apabila ia shalat di waktu yang benar, telah bersuci, menutup aurat di mulai dari pusat sampai lutut (bagi laki-laki), menghadap kiblat, memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun lainnya. 21
M. Jamil. Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), h. 72. A. Fawaid Sjadzili dan Moh Guntur Romli, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Jakarta, PT LSIP Jakarta, cet pertama, 2004, h. 43. 22
62
Dalam bidang muamalah, misalnya, boleh saja mengumpul kekayaan dan harta benda sebanyak-banyaknya asal melalui jalan yang dibenarkan seperti perdagangan yang dibenarkan. Tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah shalat dalam ilmu tasawuf bukan sekedar terpenuhinya syarat-syarat dan rukun yang digariskan dalam fiqh. Lebih dari itu shalat dimaknai dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan ini mesti benar-benar diusahakan dan dirasakan lewat cara-cara yang telah digariskan tasawuf.23 Pada paro pertama abad ke-13, guru Ibn ‘Arabi dan Rumi, Syams al-Din alTabriz, menyerang para ahli hukum yang anti mistik. Namun, para fukaha ini tampanya selalu menentang ide-ide filosofis Yunani dan monoisme, bukannya menentang sufisme itu sendiri. Memang agak aneh jika ada seorang fukaha di abad ke-13 yang menentang sufism sepenuhnya. Salah satu tokoh utama dari menyebarnya kekuasaan sufi, ‘Umar Suhrawardi, menggunakan “pondokannya” sendiri untuk menampung mahasiswa-mahasiswa fikihnya. Setelah itu, lumrah bagi seorang ulama fikih untuk masuk ke dalam suatu persaudaraan (tarekat).24 Tasawuf adalah proses pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit di definisikan. Tasawuf tampak merupakan upaya akal manusia untuk memahami hakekat segala sesuatu, dan untuk menikmati hubungan intim dengan Allah SWT. Adapun aspek pertama dari upaya ini adalah segi falsafi daripada tasawuf ; sedang 23
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), h. 72-73. Julian Baldick, Islam Mistik, (edisi asli buku ini berbahasa Inggris dengan judul) Mystcal Islam : An Introduction to Sufsm, penerjemah Satrio Wahono, Jakarta, PT Serambi, 2002, h. 227. 24
50
aspek kedua adalah segi agamis. Kegiatan pertama bersifat pemikiran dan renungan ; sedang kegiatan kedua amali. Dan segi amali daripada tasawuf muncul terlebih dahulu daripada segi falsafinya. Para Sufi itu memulai kegiatannya selamanya dari mujahadah dan riyalat, bukan dengan merenung dan berpikir. Oleh karena itu ‘hati’ adalah lebih penting daripada akal bagi para sufi ; bahkan hal itu bagi para sufi adalah segalanya, karenanya hati mereka pandang sebagai ‘singgasana’ bagi Allah SWT. 25 Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam ragam kegiatan ibadah mahdlah atau kash atau pun dalam bidang mu’amalat atau hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh dimensi esotorik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad Saw dan tindakan ragawi, melainkan harus disertai kehadiran spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam melakukan shalat, zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai keterlibatan intensif ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti ke-ikhlasan, kekhusukan, dan tumakminah.26 Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama. Ada yang berkonsentrasi pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang taat kepadanya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syariah (Al-qur’an dan Al-Sunnah). Ada
25 26
Simuh, Perkembangan Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, h. 140. Abdul Munir Mulkhan (Makrifat Burung Surga), h. 144.
64
juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir adalah bersatu dengan Tuhan baik dalam bentuk ittihad, hulul dan wahdat al-wujud..27 Kritikan pedas Syekh Siti Jenar kapada Wali Songo ialah karena menurut Siti Jenar para wali ini hanya menyentuh kulit luar syariah tanpa menyentuh dimensi terdalam yang esotoris dari berbagai ketentuan syariah yang bernilai abadi seperti keabadian hidup sesudah kematian. Tidak terdapat cukup bukti bahwa Syekh Siti Jenar menolak kewajiban syariat, namun sayangnya informasi umumnya sampai kepada masyarakat publik ajaran Syekh Siti Jenar di anggap menolak kewajiban syariat. Masyarakat publik sering memandang bahwa ajaran shalat daim berarti shalat sekali seumur hidup atau shalat sebelum shalat yang selama ini banyak dihubungkan dengan ajaran Siti Jenar. Shalat daim bisa berarti shalat abadi karena dikaitkan dengan keabadian hidup yang ukuran waktunya dilihat dari kewaktuan sesudah kematian yang tanpa batas.28
27 28
M.Jamil, Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas) h. 162. Abdul Munir Mulkhan, (Makrifat Burung Surga), h. 144-145.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Perdebatan mengenai Syekh Siti Jenar seringkali di sempitkan menjadi
persoalaan politik an sich. sehingga yang terjadi menafikan sisi ajaran dan amalan keagamaannya yang humanis. Keberadaan Kitab Bayan Budiman sebetulnya lebih meluruskan bentuk stigma, bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu anti-syariah. Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar yang dijelaskan dalam Kitab Bayan Budiman adalah kebersatuan Syariat, Tarekat, dan Hakikat dari ajaran Islam. Sehingga keterpaduan inilah yang kemudian oleh Syekh Siti Jenar di anggap seorang muslim sudah mencapai titik kasampurnaan hidup. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai konsep keterpaduan antara Fiqh (Hukum Islam) dan tasawuf, penulis sepakat dengan pendapat Imam Malik (fukaha) beliau menegaskan: Barang siapa berfiqhi (ber-tauhid) saja tanpa bertasawuf niscaya berlaku fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa yang bertasawuf tanpa ber-fiqhi (bertauhid) niscaya ia jadi golongan zindiq (penyeleng agama). Dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang hakiki (tulen). B. Saran-saran Penolakan praktek peribadatan model Syekh Siti Jenar tidak hanya terjadi ketika Syekh Siti Jenar masih hidup. Tokoh sebelum dan sesudah Syekh Siti Jenar hidup pun ada yang ditolak dan di cap sesat oleh ulama dan mayoritas umat Islam. 64
65
Sebut saja misalnya Al-Hallaj yang mati di gantung karena keyakinanya bahwa Tuhan dan dirinya menyatu, maka segala ucapannya adalah perintah Tuhan. Sehingga hal ini oleh mayoritas ulama mengaianggap merusak aqidah umat Islam. Unsur-unsur sufisme (tasawuf) masuk dalam domain fiqh (syariat) bukanlah barang baru. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali sudah memberikan pondasi yang kuat tentang keterpaduan keduanya (syariat-tasawuf) seperti yang dijelaskan dalam Kitab Bayan Budiman.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah fi’ilm al-Tashawwuf, tahqiq Ma’ruf Zuraiq dan Ali Abd al-Hamid Balthaja, (Mishr: Dar al-Khair,tt.) Al-Jawi, Nawawi “ Muhammad Maraqi al-Ubudiyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah al-Hidayah Lihujjah al-Islam Abi Hamid Al-Ghazali, (Semarang: Pustaka Al-Alawiyah,tt.). Asmaran. AS., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, (edisi revisi), 1994. Baldick, Julian. Islam Mistik, (edisi asli buku ini berbahasa Inggris dengan judul Mystcal Islam : An Introduction to Sufsm, penerjemah Satrio Wahono, Jakarta, PT Serambi 2002. Guntur Romli, Moh. dan Fawaid Syadzili, Ah. dari jihad menuju ijtihad, Jakarta, PT LSIP cet 1, 2004. Ilahi Dhahir, Ihsan Darah Hitam Tasawuf (Studi Kritis Kesesatan kaum Sufi), judul asli buku ini Dirasat fi Al-Tasawuf, penerjemah Fadhli Bahri Lc, Jakarta, PT Darul Falah 2000. Jamil, M. Cakrawala Tasawuf (sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas), Jakarta PT GP Persada Press, 2007. Marhiyanto, Bambang. Siti Jenar menggugat, Surabaya, PT Jawara, 2000. Mahmudi, Wirid Mistik Hidayat Jati (Mutiara Pemikiran Teologi Islam Kejawen), PT Pura Pustaka, 2005. Mulkhan Abdul, Munir Syekh Siti Jenar (pergumulan Islam-Jawa), Yogyakarta, PT Bentang Budaya, 2002. --------------------, Makrifat Burung Surga dan ilmu kasampurnan, Syekh Siti Jenar, Jogjakarta, PT Kreasi Wacana, Cet 2002. -------------------, Ajaran dan jalan kematian Syekh Siti Jenar (konflik elit dan lahirnya Mas Karebet), Jogjakarta, PT Kreasi Wacana, cet 3, 2001. -------------------, Islam Sejati (KH. Ahmad Dahlan dan petani Muhammadiyah) Jakarta, PT. Serambi ilmu semesta, 2003. Siradj, Aqil Said. “ Ma’rifatullah (pandangan agama-agama tradicional dan filsafat) Jakarta, PT ELSAS 66
67
Shafa, Ahmad Zacky, ajaran dan pemikiran Syekh Siti Jenar, Jawa Timur, PT Galaxy (Bintang Pelajar Group) cet 2, 2006. Shiddiq, Abdurrahman. “ Risalah Amal Ma’rifah”, (Singapura: Mathba’ah alAhmadiyah, 1332 H.), h.7. Shihab, Alwi Islam Sufistik, Bandung, PT Mizan, 2001. Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1996. Soehadha, M. orang jawa memaknai agama, Jogjakarta, PT Kreasi Wacana, cet 1, 2008. Solihin, M.Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2001. -----------, Tasawuf Tematik (membedah tema-tema penting tasawuf) Bandung, Pustaka Setia, 2003. STODDARD, L. Dunia Baru Islam, (diterjemahkan dari buku asli “The World Of Islam”), Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta, PT Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, cet 1, 2007. Zahri, Mustafa Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Jakarta: PT Bina ilmu,1998)
View more...
Comments