Sunan Kuning Dan Geger Pacinan
January 7, 2019 | Author: toko pojok | Category: N/A
Short Description
geger pacinan 1740 dan oerang jawa...
Description
Sunan Kuning dan Geger Pacinan Sunan Kuning salah satu tokoh penting dalam peristiwa Geger Pacinan.
Kongco berbentuk Sunan Kuning di Klenteng Gie Yong Bio, bukti bahwa S unan Kuning sangat dihormati di kalangan masyarakat Tionghoa. Foto: koleksi Gatot Hendraputra. Muhammad Yogi Fajri/Kontributor, Semarang Sabtu 05 Juli 2014 WIB pengunjung 18.8k A A MENYEBUT Sunan Kuning, Kuning, pikiran sebagian besar orang tertuju pada lokalisasi di bagian barat Kota Semarang. Sebelumnya, lokalisasi yang berdiri berdiri pada 1966 ini dinamakan lokalisasi Argorejo. “Lokalisasi ini kelak dikenal sebagai lokalisasi Sunan Kuning karena terdapat petilasan Sun Kun-Ing yang dipercaya sebagai tokoh Tionghoa penyebar penyebar agama Islam di kawasan lokalisasi Argorejo tersebut. Petilasannya pada waktu-waktu waktu- waktu tertentu diramaikan oleh para peziarah,” tandas Akhriyadi Sofian, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro Semarang, yang meneliti sejarah perkembangan Sunan Kuning dari tahun 1966 hingga 1984.
Menurut Remy Silado dalam 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, Sejarah , dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Sunan Kuning berasal dari kata cun ling (bangsawan (bangsawan tertinggi) merupakan salahsatu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC , VOC , R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara. Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar “Sunan Amangkurat V Senopati Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Sayidin Panatagama” pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun – sumber sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa.” Pengangkatan Sunan Kuning sebagai simbol perlawanan rakyat Mataram yang dikhianati Pakubuwono II, raja Mataram yang bersekongkol dengan VOC. Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Tionghoa-Jawa terhadap VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Tionghoa kalah perang, banyak pembesar Jawa tidak tertarik pada kebijakannya, dan bagian timur kerajaannya jatuh ke tangan Cakraningrat IV, raja Madura yang bersekutu dengan VOC. Balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang yang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan. Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura, dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorf ke arah timur Kartasura, menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan candrasengkala candrasengkala (penanda (penanda waktu) yang berbunyi yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Angoyog Jagad” (seorang raja Mataram telah kehilangan keratonnya). Sunan Kuning bertahta di Kartasura, ibukota kerajaan Mataram, terhitung 1 Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan, seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden
Menurut Remy Silado dalam 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, Sejarah , dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Sunan Kuning berasal dari kata cun ling (bangsawan (bangsawan tertinggi) merupakan salahsatu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC , VOC , R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara. Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar “Sunan Amangkurat V Senopati Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Sayidin Panatagama” pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun – sumber sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa.” Pengangkatan Sunan Kuning sebagai simbol perlawanan rakyat Mataram yang dikhianati Pakubuwono II, raja Mataram yang bersekongkol dengan VOC. Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Tionghoa-Jawa terhadap VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Tionghoa kalah perang, banyak pembesar Jawa tidak tertarik pada kebijakannya, dan bagian timur kerajaannya jatuh ke tangan Cakraningrat IV, raja Madura yang bersekutu dengan VOC. Balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang yang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan. Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura, dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorf ke arah timur Kartasura, menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan candrasengkala candrasengkala (penanda (penanda waktu) yang berbunyi yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Angoyog Jagad” (seorang raja Mataram telah kehilangan keratonnya). Sunan Kuning bertahta di Kartasura, ibukota kerajaan Mataram, terhitung 1 Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan, seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden
Suryokusumo Suryokusu mo sebagai s ebagai panglima perang – perang – kelak kelak dikenal sebagai Pangeran Prangwedana. Pr angwedana. Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 prajurit gabungan Jawa-Tionghoa dipimpin Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan itu. Setelahnya Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan TionghoaJawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sa na. Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru: Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwono II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran Ungaran Salatiga. Sunan Kuning meninggalkan meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa. Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Mataram. Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan. Terpisah dari da ri kawalan Kapitan Sepanjang, Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul oleh banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke ke Ceylon (Sri Lanka). Menurut Remy, sumber riwayat Semarang menyebutkan m enyebutkan bahwa Sunan Kuning dimakamkan di bagian barat kota, di atas sebuah bukit. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran, dan ini terus dikecam oleh banyak kalangan yang mengira bahwa sebutah sebu tah ‘sunan’ niscaya nisca ya berhubungan dengan Walisanga.
Geger Pecinan 1740 & Sunan Kuning Posted on Februari 27, 2013 by 2013 by Admin
Sekitar tahun 1740an, VOC melakukan politik pengurangan jumlah etnis Cina (Tionghoa) di Batavia karena jumlah etnis Cina melebihi jumlah serdadu VOC. Diperkirakan pada saat itu, jumlah Tionghoa diperkirakan telah mencapai sekitar 15.000 jiwa atau sekitar 17% total penduduk di Batavia. Kebanyakan kaum Tionghoa pendatang itu tidak dapat memperoleh pekerjaan dan sebagian dari mereka menjadi sumber kerentanan sosial dengan semakin meningkatnya aksi-aksi kejahatan. Akhirnya VOC membuat larangan untuk mencegah etnis Cina untuk memasuki Batavia dan mendeportasi sebagian dari mereka ke l uar Pulau Jawa. Padahal menurut Kahin dalam “Nationalism and Revolution ini Indonesia” pada awalnya Gubernur Jenderal J.P. Coen, Gubernur Jenderal era 1618-1623 dan 1627-1629, menilai kaum Tionghoa dapat bekerjasama dengan d engan baik dengan VOC sehingga J.P. Coen membuka Batavia bagi para imigran Cina. Tetapi rupanya dampak kebijakan J.P. Coen ini terasa bermasalah sekitar 100 tahun kemudian pada masa Gubernur Jenderal Valckenier, yang mulai memerintah pada tahun 1737. Valcknier Valcknie r mengambil beberapa langkah untuk mengurangi jumlah etnis Cina di Batavia, diantaranya menangkapi orang-orang Cina yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki “permisssie brief” dan kemudian mendeportasi mereka ke Srilangka (Ceylon) dan Tanjung Harapan (Afrika Selatan). Namun sebagian besar etnis Cina menolak untuk dideportasi, karena mereka mendengar isu bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut jika dideportasi keluar Batavia. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1740, gerombolan-gerombolan orang Tionghoa Tionghoa yang berada di luar kota Batavia melakukan penyerangan dan pembunuhan pembunuhan beberapa orang Eropa. Agar Agar orang-orang Tionghoa di dalam kota tidak bergabung dalam kerusuhan itu, VOC melakukan jam malam dan penggeledahan kepemilikan senjata di rumah-rumah orang Tionghoa. Ternyata penggeledahan atas rumahrumah Tionghoa tidak terkendali lagi. Tembakan membabi buta dilakukan oleh VOC. Pada 9 Oktober 1740 dimulailah pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Diperkirakan orang-orang Tionghoa yang terbunuh sebanyak 10.000 orang. Perkampungan Tionghoa dirampok dan dibakar selama delapan hari. Perampokan baru berhenti setelah VOC memberi premi kepada tentaranya untuk menghentikan menghentikan penjarahan dan kembali kepada tugas rutinnya. Sementara, orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke timur, menyusuri sepanjang daerah daerah pesisir bergabung dengan komunitasnya komunitasnya di Jawa Tengah untuk melakukan melakukan perlawanan terhadap VOC lebih lanjut. Dalam tulisannya De Klerck, ”History of Nederlands Indies”, menggambarkan pembantaian VOC-Belanda VOC- Belanda terhadap etnis Cina sebagai ”The Batavian Fury” Fury” (Amuk Masyarakat Batavia). Suasana konflik VOC dengan etnis Cina pun dimanfaatkan oleh Kesultanan Mataram untuk menyerang hegemoni VOC di Jawa Tengah. Meskipun awalnya ragu-ragu, Pakubuwono II akhirnya tetap mengirim pasukan berjumlah 20.000 orang dari Kartasura menyerang markas VOC di Semarang dibawah pimpinan Patih Notokusumo. Etnis Cina yang yang menaruh dendam kepada VOC-Belanda tidak menyia-nyiakan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekitar 3.500 etnis Cina bergabung dengan pasukan Kesultanan Mataram.
Menghadapi serangan Mataram dan etnis Cina tersebut, VOC meminta bantuan Cakraningrat IV dari Madura. Mereka berhasil memukul mundur kepungan Mataram yang dibantu oleh kaum Tionghoa di Markas VOC Semarang. Bahkan Cakraningrat IV berhasil mengalahkan para pejuang Tionghoa di wilayah timur. Setelah kekalahan itu, Pakubuwono II baru menyadari bahwa pilihannya untuk melawan VOC adalah sebuah tindakan yang keliru. Untuk itu Pakubuwono segera memohon ampun kepada VOC. VOC mengabulkan dan mengirim utusan yang dipimpin Kapten Van Hohendorff ke Kartasura untuk melakukan perundingan. Sementara, Pakubuwono II mengirim juru runding yang dipimpin oleh Patih Notokusumo ke VOC Semarang, namun VOC menangkap Patih itu dan membuang ke luar negeri. Penangkapan dan pembuangan Patih Natakusuma ini at as seizin Pakubuwono II. Perubahan sikap Pakubuwono II yang berbalik 180 derajat ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para pejuang anti VOC baik dari kalangan Jawa maupun Tionghoa merasa telah dikhianati oleh Raja. Situasi ini memunculkan perlawanan pejuang yang lebih hebat baik kepada VOC maupun Pakubuwono II. Isu perlawanan pun berubah dari anti VOC menjadi anti Pakubuwono, maka sasaran penyerangannya adalah Ker aton Pakubuwono II di Kartasura. Pada tahun awal 1742, para pemberontak itu mengangkat salah seorang pangeran cucu laki-laki dari Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun yang bernama Raden Mas Gerendi atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah sebutan sunan yang diangkat oleh komunitas Tionghoa. (Sebagaimana yang diketahui Amangkurat III dibuang ke Srilangka oleh VOC akibat berselisih dengan Pangeran Puger atau Pakubuwono I) Pemberontakan ini berhasil merebut Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo. Namun demikian, VOC dibawah pimpinan Kapten Wi lhem atas perintah Wakil Gubernur Jenderal Gustaaf W. Van Imhoff dan dengan dibantu oleh Pangeran Cakraningrat IV menyerang Kartasura dan berhasil merebut Kartasura bulan Desember 1742. Cakraningrat IV mendesak VOC agar Pakubuwana II dibuang saja karena dinilai tidak setia. Namun VOC menolak permintaan itu karena Pakubuwana II masih bisa dimanfaatkan. Cakraningrat IV terpaksa mengikuti kemauan VOC karena khawatir VOC batal membantu kemerdekaan Madura. Raden Mas Gerendi sendiri tertangkap beberapa bulan kemudian, yaitu pada bulan Oktober 1743. Karena istana Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala, yang bernama Surakarta. Istana baru ini ditempatinya mulai tahun 1745.
Monumen Laskar Tionghoa dan Kisah Geger Cina 1742 Rep: hasanul rizqa/ Red: Muhammad Subarkah
Geger Pecinan
Terkait Kisah Geger Pacinan
Seperti yang dimaklumatkan pada monumen tersebut, perang yang populer dengan nama Geger Pecinan itu berlangsung selama 1740-1743. Di salah satu prasasti pada monumen tersebut, dikutip sebuah tulisan dari Daradjadi, sosok yang menggagas pendirian monumen itu. “Atas perintah Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier, pada bulan Oktober tahun 1740, dilakukan pembantaian semena-mena terhadap sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia. Mereka dianiaya dengan dalih telah melanggar peraturan keimigrasian dan perpajakan. Sedang tujuan yang sesungguhnya untuk memeras dan merampas harta benda orang-orang Tionghoa. Di tengah kerusuhan seorang yang bernama Souw Phan Ciang, alias Khe Panjang atau Sepanjang bertempat di Gandaria, wilayah pinggiran Batavia membentuk suatu laskar untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Mereka menyerang pos-pos pertahanan VOC di sekitar Batavia hingga Cirebon, yang akhirnya pada tahun 1741 memasuki wilayah kerajaan Mataram, yang beribu kota di Kartasura. Kedatangan mereka disambut oleh laskar-laskar Tionghoa lokal di bawah pimpinan Tan Si Ko alias Singseh, Oey Ing Kiat/Raden Tumenggung Widyaningrat/Bupati Lasem, Tan Kee
Wie, dan lain-lainnya. Raja Mataram waktu itu, Pakubuwono II membangun persekutuan dengan Laskar Tionghoa tersebut dan menyerang pertahanan VOC di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terkait Kisah Geger Pacinan
Seperti yang dimaklumatkan pada monumen tersebut, perang yang populer dengan nama Geger Pecinan itu berlangsung selama 1740-1743. Di salah satu prasasti pada monumen tersebut, dikutip sebuah tulisan dari Daradjadi, sosok yang menggagas pendirian monumen itu. “Atas perintah Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier, pada bulan Oktober tahun 1740, dilakukan pembantaian semena-mena terhadap sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia. Mereka dianiaya dengan dalih telah melanggar peraturan keimigrasian dan perpajakan. Sedang tujuan yang sesungguhnya untuk memeras dan merampas h arta benda orang-orang Tionghoa. Di tengah kerusuhan seorang yang bernama Souw Phan Ciang, alias Khe Panjang atau Sepanjang bertempat di Gandaria, wilayah pinggiran Batavia membentuk suatu laskar untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Mereka menyerang pos-pos pertahanan VOC di sekitar Batavia hingga Cirebon, yang akhirnya pada tahun 1741 memasuki wilayah kerajaan Mataram, yang beribu kota di Kartasura. Kedatangan mereka disambut oleh laskar-laskar Tionghoa lokal di bawah pimpinan Tan Si Ko alias Singseh, Oey Ing Kiat/Raden Tumenggung Widyaningrat/Bupati Lasem, Tan Kee Wie, dan lain-lainnya. Raja Mataram waktu itu, Pakubuwono II membangun persekutuan dengan Laskar Tionghoa tersebut dan menyerang pertahanan VOC di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kisah Sunan Kuning
Perang antara pasukan laskar Tionghoa – Jawa melawan VOC makin bertambah dahsyat, setelah Pakubuwono II diganti oleh Raden Mas Garendi yang bergelar Amangkurat V. Di samping tokoh-tokoh seperti : Bupati Grobogan Martopuro, Patih Notokusumo, Pangeran Mangkubumi, muncul tokoh-tokoh muda dengan nama Raden Mas Said, Raden Panji Margono dan lain sebagainya. Perang yang mempunyai cakupan daerah terluas dengan korban besar yang dihadapi VOC ini, berakhir pada tahun 1743. Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning tertangkap di Surabaya dan dibuang ke Sri Lanka, menyusul Patih Notokusumo yang telah tertangkap sebelumnya. Tan Sin Ko dan Tan Kee Wie gugur dibunuh serdadu VOC. Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Mangkunegoro I tetap melakukan perjuangan di daerah Jawa Tengah. Kelak keduanya oleh pemerintah RI diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan Sepanjang meneruskan perlawanannya ke arah timur. Ia terlihat di Pulau Bali pada tahun 1758.
Monumen Didirikan Paguyuban Warga Lasem
"Monumen ini didirikan oleh Paguyuban Warga Lasem s ebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan – pejuang bangsa yang telah memberikan pengorbanan dan dharma baktinya untuk tercapainya kemerdekaan bangsa.” Demikian sambungan tulisan Daradjadi. Di prasasti monumen itu, dikutip pula sebuah kalimat pidato mendiang Bung Karno : Bangsa besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.” Monumen ini menampilkan adegan baku tempur antara pihak VOC di sisi kiri dan pihak etnis Cina serta Jawa di sisi kanan. Kedua kubu tampil berhadap-hadapan. Pematung seakan mencoba menampilkan kegigihan kubu Cina-Jawa, tak gentar melawan VOC. Di kompleks ini, tak dicantumkan nama seniman pematung. Ada empat patung di atas balok pualam setinggi satu meter itu yang menggambarkan sosoksosok kunci VOC dalam pertempuran Geger Pecinan. Mereka adalah serdadu (tanpa nama) pembawa bendera VOC, Kapten Nathaniel Steinmetz, Mayor Gerrit Mom, dan Mayor Baron van Hohendorff. Kemudian, berhadapan dengan mereka, ada tujuh patung yang menampilkan s osok-sosok pejuang dari etnis Cina dan Jawa. Mulai dari yang terdepan menghadap patung pasukan VOC, yakni Singseh/Tan Sin Ko (Welahan), Sepanjang/Souw Phan Ciang, Raden Mas Said/Mangkunegoro I (Kartasura), Raden Tumenggung Widyaningrat/ Oey Ing Kiat (Bupati Lasem), Raden Panji Margono (Lasem), Tan Kee Wie (Lasem), dan Bupati Martopuro (Grobogan). Pualam setinggi satu meter yang merupakan panggung adegan “pertempuran" itu, dikelilingi kolam kecil selebar 50 cm. Kompleks monumen ini pun tak jauh dari patung berwarna putih setinggi kira-kira tiga meter. Patung filsuf Cina klas ik, Khong Hu Cu, itu berdiri dalam sunyi. Hasil Sumbangan 63 Donatur
Pendirian monumen “Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC 17401743” ditaja oleh 63 donator, baik atas nama perorangan, keluarga, maupun komunitas arisan. Nama-nama mereka tercantum dalam prasasti di sisi kanan monumen, yakni tempat di bawah berdirinya tujuh sosok patung dari laskar Cina-Jawa. Musiyati menjelaskan, monumen ini didirikan dengan dana dari perhimpunan etnis Cina yang didominasi komunitas Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Namun, ia mengaku tak tahu berapa rupiah besarannya. “Dananya dari Paguyuban Lasem. Itu kan gagasannya dari Mangkunegaran,” ucap Musiyati. Di sebelah kiri prasasti peresmian monumen ini, ada prasasti yang memaklumkan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak penggagas dan pendukung. Terdapat nama-nama Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua Paguyuban Hanebu Sauyun Himpunan Kerabat Mangkunagaran Suryasumirat GR Ay Retno Roosati Kadarisman. Kemudian, Pembina Yayasan Harapan Kita Suhardjo Soebardi, Direktur Utama TMII AJ Bambang Soetanto, Ketua Paguyuban Warga Lasem Tamtana, KRM H Daradjadi
Gondodiprodjo sebagai penggagas, dan pengurus Taman Budaya Tionghoa TMII. Kompleks Taman Budaya Tionghoa Indonesia sendiri luasnya 4,5 hektar e dan diresmikan pada 8 November 2006 lalu oleh bekas presiden RI, Soeharto. Namun, dalam prasasti di pintu masuk kompleks ini, pemimpin Orde Baru itu dikatakan sebagai Ketua Yayasan Harapan Kita.
Mencari Pecinan Kota Bandung September 3, 2015 / KomunitasAleut! Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Setiap Ngaleut bertema daerah Pecinan dengan Komunitas Aleut, saya selalu mendengar sebuah pertanyaan yang sama berulang kali dari beberapa peserta: Di mana sebetulnya daerah Pecinan di Kota Bandung? Kami memang sering mengidentikan Pecinan di Kota Bandung dengan daerah Pasar Baru dan Cibadak, namun belum pernah sekalipun mengatakan kedua daerah ini adalah Pecinan Kota Bandung. Alasannya mudah, yaitu karena butuh penelitian mendalam untuk menentukannya. Nah, kebetulan Hari Minggu kemarin saya diundang sebagai perwakilan Komunitas Aleut dalam acara Wisata Kawasan Pecinan yang diadakan Bandung Heritage. Asiknya lagi, Pak Sugiri Kustedja menjadi interpreter perjalanan Wisata Kawasan Pecinan ini. Pak Sugiri adalah pegiat Bandung Heritage yang sangat perhatian dengan kebudayaan Tionghoa di Kota Bandung.
Pak Sugiri Kustedja *** Apa sih sebetulnya Pecinan itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Pecinan sebagai berikut: pecinan/pe·ci·nan/ n tempat permukiman orang Cina: pusat-pusat perbelanjaan berdampingan dng rumah-rumah model — yg sumpek. Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, se tidaknya ada dua alasan terbentuknya Pecinan. Alasan pertama adalah alasan sosial. berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, tapi tidak bisa digeneralisasi karena sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun. Contohnya di Fujian, Tiongkok yang terdapat Kampung Arab dan di Shanghai yang terdapat Kampung Yahudi. Ada juga alasan kedua, yaitu alasan politis. Inilah yang melatari munculnya Pecinan di Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda, pemerintah lokal mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur. Kebijakan ini dikenal dengan nama Wijkenstelsel. Pemerintah Hindia Belanda menganggap kedekatan kaum pribumi dengan para warga Tionghoa membahayakan keamanan mereka. Pecinan umumnya dapat ditemui di daerah pesisir utara Pulau Jawa yang usianya cukup tua seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Hal tak ditemui di Bandung. Ini disebabkan karena pada tahun 1835 Pemerintah Hindia belanda menambahkan satu aturan di dalam Wijkenstelsel yang memungkinkan wijk kelompok etnis Tionghoa untuk tinggal di luar Chineeschekamp yang telah ditentukan. Dikarenakan usia Bandung pada saat itu masih sangat muda, peraturan pengkonsentrasian etnis Tionghoa hanya berlangsung sangat singkat dan peraturan baru keburu berlangsung. *** Menurut penuturan Pak Sugiri kemarin, Kota Bandung saat ini sedang mencari Pecinan di Kota Bandung. Agak sulit memang, mengingat berdasarkan sejarahnya tidak ada batas tegas tentang Pecinan di Kota Bandung. Namun berdasarkan penelusuran Pak Sugiri, ada dua kawasan yang layak menjadi kandidat Pecinan Kota Bandung. Kedua Kawasan itu adalah: Cibadak
Siapa tak kenal Cibadak ini. Di sekitar akhir tahun 1990-an, daerah ini terk enal dengan nama Cibadak Mal atau lebih lazim disebut Cimol. Tentu saja cimol yang dimaksud bukanlah makanan yang terbuat dari tepung singkong itu. Saat mendengar kata Mal, jangan bayangkan mal dengan udara sejuk dari AC dan aroma yang sedap di hidung, kondisinya tak seindah itu. Sentra penjualan baju dan celana bekas ini tak ubah la yaknya pasar kaget di daerah Gasibu sebelum revitalisasi terakhir. Para pembeli harus berjibaku dan berdesakan demi mendapatkan satu atau dua potong baju. Namun berhubung harganya yang sangat miring, para pembeli tak menghiraukan kondisi tersebut.
Itu Cibadak yang dulu. Sekarang Cibadak sudah ja uh lebih bersih dan nyaman. Cibadak kini dikenal sebagai salah satu sentra tanda mata undangan atau pengajian. Pembeli yang berbelanja di sini tak perlu lagi berjibaku dan berdesakan. Di salah satu sisi Cibadak kita bisa menemui dua gapura bergaya Tionghoa. Gapura ini dipasang dal am rangka penghias Cibadak Culinary Night pertama yang berlangsung bulan Februari 2014 si lam.
Secara demografis, Cibadak layak untuk disebut sebagai Pecinan Kota Bandung. Diadakannya Cibadak Culinary Night yang bernuansa Tionghoa menjadi pertanda bahwa kawasan ini sudah dikenal warga Kota Bandung sebagai daerah Pecinan. Namun, betulkah demikian? Menurut Pak Sugiri 95% penguni Cibadak merupakan etnis Tionghoa. Tentu saja ini sesuai dengan definisi Pecinan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini juga didukung dengan adanya tujuh kelenteng (tempat aktivitas dan rumah ibadah etnis Tionghoa) di sepanjang Jalan Cibadak. Namun menurut Pak Sugiri, terlepas dari dua fakta tersebut, Cibadak masih kurang pas untuk dijadikan sebagai Pecinan.
Salah satu kelenteng di Jl. Cibadak Satu alasan kuat Pak Sugiri mengenai ketidakcocokannya Cibadak untuk disebut sebagai Pecinan Kota Bandung adalah karena Cibadak merupakan kawasan yang masih muda sehingga tak ada peninggalan arsitektur lama. Kawasan ini baru mulai berkembang pasca kemerdekaan, yaitu pada sekitar tahun 1950-an. Kondisi ini tidak sesuai dengan kawasan Pecinan lain di pesisir utara Pulau Jawa yang terbentuk sejak era kolonial. Jika Cibadak dirasa tidak cocok untuk dijadikan Pecinan, Pak Sugiri memiliki satu kawasan lain yang dirasa lebih cocok untuk disebut sebagai Pecinan Kota Bandung. Kawasan Waringin
Salah satu bangunan di hook Jl. Waringin – Jl. Sudirman Kawasan ini terletak sedikit lebih barat dari Jl. Cibadak, tepatnya berada di sebelah sela tan Pasar Andir. Dulunya, kawasan ini lebih dikenal dengan nama kawasan Yap Lun. Yap Lun, atau Yap Loen, adalah seorang pengusaha tekstil dan properti. Ia aktif pada banyak organisasi Tionghoa, THHK (pendidikan), Siang hwe (perdagangan), Hong Hoat Tong (paguyuban), dan anggota dewan regentschapsraad Bandoeng. Yap Lun menjadi kaya raya ketika pecah Perang Dunia ke-1 (1914-1918). Ia kaya karena usaha impor kain dalam jumlah besar dari Jepang pada saat Eropa berperang sehingga Eropa tidak mampu menyuplai barang ke Hindia Belanda. Yap Lun menjadi developer Gg. Luna, di daerah jalan Waringin, Pasar Andir. Daerah itu disebut sebagai kompleks Yap -lun, Yaploenstraat, dan Yaploenplein. Di daerah itu terdapat sekitar 130 buah rowhouse ruko satu lantai khas Tionghoa.
Salah satu ruko Yap Lun Beberapa bangunan hasil karya Yap Lun masih bisa kita temukan dengan mudah di Jl. Gabus, Jl. Peda, Jl. Teri, dan sekitarnya. Penamaan jalan yang baru ini sempat mengusik pikiran saya. Mengapa harus diberi nama ikan asin? Namun setelah mulai memasuki kawasan ini, aroma yang ada langsung menjawab pertanyaan saya. Rupanya penamaan ikan asin diambil karena kawasan ini menjadi sentra penjualan ikan as in. Sayangnya, kawasan ini lebih mirip seperti kota mati. Sepanjang mata memandang, tak ada satupun ruko yang buka selain dua tempat pangkas rambut pinggir jalan. Menurut Pak Sugiri, daerah ini menjadi daerah yang ditinggalkan karena secara tak lagi menguntungkan secara ekonomi. Kebanyakan bangunan di sini berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan.
Keadaan ruko Yap Lun di sekitar Waringin Dari aspek sejarah dan peninggalan, kawasan ini menurut Pak Sugiri sangat cocok untuk dijadikan Pecinan Kota Bandung. Namun, dibutuhkan upaya lebih untuk membangun kembali daerah ini. Selain karena sudah ditinggalkan penghuninya, daerah ini butuh perbaikan menyeluruh. Bangunan-bangunan yang dibangun Yap Lun butuh penanganan yang tak mudah agar bisa terus lestari. Begitu juga dengan lingkungan sekitar yang butuh perbaikan agar tak ada kemacetan dan bau yang menyengat hidung. *** Kota Bandung kini sudah mempunyai dua opsi yang bisa dijadikan Pecinan. Setiap opsi memiliki nilai plus dan minus masing-masing. Cibadak memang tidak membutuhkan upaya ekstra dalam masalah perbaikan, namun daerah ini kurang cocok untuk dipilih menjadi Pecinan karena berusia terlalu muda. Waringin memang lebih cocok jika dilihat dari aspek sejarah dan peninggalan, namun dibutuhkan keseriusan dalam upaya membenahi kawasan ini. Bagaimana dengan pembaca? Daerah mana yang lebih cocok untuk dijadikan Pecinan Kota Bandung?
Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/09/03/mencari-pecinan-kota-bandung/ Kisah Pembantaian Orang Tionghoa 10 Okt 1740 oleh Gubernur Jendral Belanda Adrian Valckenier
Warga Jakarta dikejutkan dengan penemuan dua tengkorak manusia.
Kamis, 12 Maret 2015 | 06:21 WIB
Beberapa tahun lalu warga Jakarta dikejutkan dengan penemuan dua tengkorak manusia di Gedung Bank Mega, Jalan Pintu Besar Utara Nomor 31-33, Jakarta Barat. Tengkorak itu ditemukan oleh dua penggali tanah saat hendak menggali septic tank. Dari hasil otopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo diketahui bahwa tengkorak itu telah berumur ratusan tahun.
Tak lama setelah itu sejumlah pekerja proyek renovasi Gereja Kristen Baptis Jakarta (GKBJ) Sawah Besar menemukan benda yang diduga tulang belulang manusia.
Pihak kepolisian segera membawa potongan benda asing itu ke RS Cipto. Dugaan awal, pecahan tulang itu merupakan tulang manusia. Untuk memastikannya, pecahan tulang itu diteliti.
GKBJ sudah berdiri sejak tahun 1952. Benda-benda yang ditemukan para pekerja berada di bawah gereja bersejarah itu diduga, mungkin tulang tengkorak dari zaman Belanda.
“Sebenarnya pada 1972 juga telah ditemukan puluhan te ngkorak manusia di Jalan Kopi 2A,” kata Sejarahwan Betawi Alwi Shahab saat ditemui di rumahnya, bilangan Condet, Jakarta Timur.
Alwi menceritakan, saat itu beberapa penggali lobang fondasi dari rencana pembangunan sebuah toko bertingkat di Jalan Kopi 2A di daerah Kota, menemukan beberapa tengkorak. Tak ayal lagi Dinas Museum & Sejarah DKI Jakarta serta Lembaga Purbakala & Peninggalan Nasional segera
datang melakukan penelitian.
Saat itu berhasil memperoleh 83 tengkorak manusia, serta tulang-tulang tubuh lain yang belum dihitung jumlahnya. Pada 10 lobang penggalian yang, memendam tengkorak atau rangka ini terdapat pula rantai-rantai besi, borgol, uang logam serta benda-benda keramik Tiongkok .
Sebagian rangka dalam keadaan tertekuk --kepala bertemu kaki-- s edang yang lain banyak tertusuk paku sehingga memberi kesan disalib. Diduga tengkorak-tengkorak itu berasal ketika terjadi peristiwa pembantaian Orang-orang Tionghoa di Batavia pada 1740.
Alwi mengkisahkan Sejak Jan Pieters Zoon Coen menjadi Gubernur Jendral dan merebut Batavia, ia mengimbau agar orang-orang Tionghoa membangun kota tersebut.
Maka ada 8000 orang Tionghoa yang bermukim di sini, dan di antara mereka ada yang diberi pimpinan atau kepala sendiri yang diberi pangkat Kapten (Kapitein der Chineze atau Kapten Orang-Orang China). Gubernur Jendral setelah Jan Pieters Zoon Coen juga memberi kesempatan luas bagi kiprah orang-orang Tionghoa.
Di masa Jacques Specx, orang Tionghoa sangat puas atas penerimaan VOC, sehingga ketika akan mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur Jendral VOC, masyarakat Tionghoa menganugerahinya medali emas.
"Sebagai tanda terima kasih dan kenangan selalu. Kami warga Tionghoa Batavia membuat medali ini untuk Jacques Specx, Gubernur Jendral di Hindia Timur tokoh terkemuka dan pelindung kami," demikian tulisan yang terdapat dalam medali emas tersebut.
Namun peningkatan jumlah penduduk Tionghoa membuat khawatir para pembesar VOC lainnya. Mereka melihat diantara orang-orang yang pendatang itu, tidak semuanya jago dagang dan berkebun, tapi ada diantara mereka yang menganggur.
“Tak heran bila kemudian bermunculan kasus pencurian, perampokan, dan pembunuhan. Para penganggur ini tidak hanya menyerang warga pribumi tetapi juga warga Belanda,” kata Alwi.
Bagian 2 ;
Pimpinan Perusahaan Hindia Timur Belanda ( Vereenigde Oostindische Compagnie / VOC ) membuat aturan yang membatasi kedatangan orang-orang China di Batavia. Pada abad ke-17, diperkirakan ada 4000 orang Tionghoa di Batavia. Akan t etapi orang Tionghoa menggunakan segala macam cara untuk lolos dari aturan tersebut, ada yang menyogok pegawai VOC ada pula yang membuat kekacauan.
VOC lalu membuat aturan untuk menangkap orang-orang Tionghoa yang tidak mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian, baik yang sudah memiliki izin menetap maupun yang tidak mempunyai surat tersebut. Kondisi panas tersebut menyebabkan terjadinya saling curiga antara orang-orang Tionghoa dan Kompeni Belanda.
Ada kabar yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang ditahan di kirim sebagai budak ke Ceylon (Srilangka). Desas-desus itu menyebutkan mereka dipekerjakan sebagai pengupas kulit kayu manis dan banyak yang mati sehingga dibuang ke laut oleh VOC.
“Warga Tionghoa lantas membentuk kelompok -kelompok atau laskar yang terdiri dari 50100 orang. kabar lain menyebutkan bahwa orang Tionghoa sudah bersatu untuk menyerbu VOC,” kata Sejarahwan Betawi Alwi Shahab saat ditemui di rumahnya, Condet, Jakarta Timur.
Gubernur Jendral Adrian Valckenier pada 10 Oktober 1740 akhirnya memerintahkan untuk membunuh orang-orang Tionghoa yang ada dalam penjara Batavia. Hal ini diikuti pembantaian yang dilakukan tentara dan pegawai VOC di pemukiman Tionghoa/Pecinan . Alhasil beratus-ratus rumah dan gedung musnah dimangsa api. Maklum, orang Tionghoa ketika itu termasuk golongan menengah yang mendominasi sektor perdagangan dan industri. Sampai beberapa lama roda ekonomi di Batavia lumpuh.
Belum puas dengan peraturan itu, VOC mengeluarkan peraturan lebih berat. Warga Tionghoa, baik yang sudah memiliki surat izin tinggal maupun belum, tapi tak memiliki
pekerjaan, harus ditangkap. Warga Tionghoa terguncang, mereka terpaksa tinggal di rumahrumah dan menutup toko-toko.
Ratusan warga yang kena razia diberangkatkan paksa ke Sri Langka yang kala itu merupakan jajahan Belanda. Tapi, kemudian tersiar isu, di tengah perjalanan mereka dilemparkan ke tengah laut. Maka gegerlah warga Tionghoa di Batavia dan sekitarnya.
10 Ribu korban
Menurut laporan, jumlah orang Tionghoa yang tewas me ncapai 10.000 orang, termasuk 500an orang luka parah, 700 rumah dibakar. Laporan tersebut menyatakan juga bahwa orang-orang Belanda, baik sipil maupun militer bersama-sama melakukan penjarahan dengan pasukan milisi pribumi bentukan Belanda yang kejam dan rakus.
Begitu biadabnya pembantaian itu, hingga para pasien termasuk bayi-bayi yang berada di RS Tionghoa ( kira-kira di depan Stasion KA Beos ), juga dibunuh. Orang-orang Tionghoa di penjara bawah tanah di Balai Kota (Stadhuis) yang berjumlah 500 orang, semuanya juga dibunuh.
Untuk menggambarkan dasyatnya peristiwa tersebut, Wi llard A Hanna dalam buku Hikayat Jakarta menulis, ”Tiba-tiba secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilah pemandangan yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota.”
Menurut laporan kontemporer, 10 ribu orang China dibunuh, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan barang- barang mereka habis dirampok. ”Pendeknya, semua orang Tionghoa, baik bersalah atau tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut ” tulis Hanna.
Bagian 3
Orang-orang Tionghoa Batavia membentuk kelompok-kelompok terdiri dari 50 sampai 100 orang dan mempersenjati diri untuk melawan Belanda. Kemudian pasukan VOC yang tengah menuju Benteng (Tangerang) diserang orang-orang Tionghoa .
Pada 8 Oktober 1740 orang-orang Tionghoa yang berada di lua r Kota Batavia mulai menyerang kota. Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai-pegawai VOC untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap etnis Tionghoa . J am malam pun diberlakukan di Batavia.
“Pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Adrian Volckanier mengeluarkan sur at perintah, bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa ,” kata Sejarahwan Betawi Alwi Shahab saat ditemui di rumahnya, bilangan Condet, Jakarta Timur.
Suasana kota sangat kalut. Para prajurit VOC, bahkan kelasi-kelasi yang kapalnya bersandar di Bandar Sunda Kalapa, diminta untuk melakukan pembantaian. Mereka merampok, membakar dan menjarah toko-toko, serta tanpa mengenal malu memperkosa wanita-wanita Tionghoa .
Pasukan kavaleri VOC berbaris dengan pasukan Penisten mengepung tempat-tempat kediaman orang-orang Tionghoa . Setelah pembakaran rumah-rumah, sepert i yang telah di persiapkan, para penduduk yang lari keluar pemukiman segera dihadang meriam oleh para pengepung.
Sebagian yang bertahan dipemukiman terpanggang hidup-hidup. Penduduk yang mencoba melarikan diri melalui kanal kota sebelah timur telah dihadang dan ditembaki oleh para pelaut VOC yang menggunakan perahu-perahu kecil. Sebagian penduduk yang putus asa bunuh diri dengan meloncat dari loteng rumah-rumah yang terbakar.
Kanal-kanal menjadi merah dengan darah orang Tionghoa, jalan-jalan penuh dengan mayatmayat. Di mana-mana terjadi pembunuhan dengan cara-cara yang menyeramkan. Kegelapan malam yang kemudian tiba tidak mengakhiri kekejaman yang telah berlangsung sepanjang hari. Malam ini terdengar jeritan-jeritan ketakutan dan rintihan orang-orang yang sedang sekarat menghadapi maut dan teriakan-teriakan para pembunuh.
Hari berikutnya pembunuhan besar-besaran ini tidak mereda. Orang-orang Tionghoa yang berada di rumah sakit dikeluarkan dan dibunuh. Beberapa penduduk yang masih selamat dari pembantaian hari sebelumnya bersembunyi di celah-celah tembok dan puing-puing. Hal ini membuat sibuk para bandit yang memburu mereka.
“Selama kurang lebih seminggu mereka menangkapi orang-orang Tionghoa yang masih hidup yang dalam keadaan sekarat karena kelaparan dan kehausan, bila mereka ditemukan langsung dibantai dengan kejam. Setelah dua minggu, akhirnya orang Tionghoa di dalam tembok Batavia telah berhasil di sapu bersih,” kata Alwi.
Tamat. Disadur dari : VIVA.co.id.
Oleh : Hadi Suprapto.
Beginilah Imlek Ala Batavia Tempo Dulu Minggu, 22 Januari 2012 | 08:41 WIB
Seorang pedagang saat merapihkan lampu lampion sebagai pernak penik Imlek di kawasan Glodok, Jakarta, Selasa (10/1). TEMPO/Aditia Noviansyah TEMPO.CO , Jakarta - Lain dulu lain sekarang. Begitu kata orang. Kota Jakarta yang dulunya bernama Batavia ini rupanya menyimpan sejarah menarik mengenai Imlek pada periode 1950-an. Orang Betawi ternyata ikut serta dalam perayaan Imlek, tak seperti sekarang. Begini cerita budayawan Betawi, Ridwan Saidi, kepada Tempo.
Pada kalender Cina terdapat perayaan penting seperti Imlek di hari pertama, Cap Gomeh di hari ke-15, Ceng Beng pada hari ke-60, lalu Peh Cun pada hari ke-100, dan Cit Gwee di bulan ke 7. "Perayaan tersebut dirayakan besar-besaran tidak hanya oleh orang Cina, tapi juga oleh orang Betawi," tutur Ridwan. Perayaan Imlek dimulai pada malam sebelumnya, hampir sama dengan malam ta kbiran orang Islam. Pada malam itu orang Cina pergi soja (membakar hio) sembahyang, dan membeli keperluan Imlek. Biasanya orang Cina yang keluar rumah membeli kembang sedap malam di Pasar Baru Tangerang. Tapi beberapa juga ada yang sembahyang di rumah masing-masing. Kegiatan di Pasar Baru Tangerang pada malam Imlek sangat ram ai dikunjungi orang Cina dan Betawi. Tempat tersebut merupakan pusat kegiatan pasar mala m Imlek. Kebanyakan datang untuk membeli kue keranjang (tiong ciu pia), kembang sedap malam, dan Patung Dewi Kwan Im. Selain di Pasar Baru Tangerang juga terdapat tempat la in seperti di Glodok, Mester, Senen.
Pada malam Imlek juga ada tradisi tidak boleh membersihkan rumah mereka karena kalau dibersihkan dulu sebelum Imlek tidak akan dapat rezeki. "Kalau nyapu duluan, rezekinya ikut kesapu," kata Ridwan. Biasanya orang Betawi menghibur orang Cina dengan cara ngamen menyanyikan lagu keroncong, gambang kromong. Setelah menghibur, mereka mendapatkan uang angpao dan kue dodol dari orang Cina. Wilayah arak-arakan terdapat di seluruh wila yah kampung Betawi seperti Mangga Besar, Kwitang, Kota, Kebon Jeruk. Tidak hanya menghibur, orang Betawi juga memberikan ucapan selamat kepada orang Cina yang merayakan. Pada saat Cap Gomeh, orang Cina pergi soja ke Pekonga alias rumah ibadah Konghucu. "Mereka melakukan arak-arakan dari pekong di Mester ke Senen lalu ke Pasar Baru sampai ke pusatnya di Glodok," kata Ridwan. Pada saat itu juga diadakan pesta yang juga diramaikan oleh orang-orang Betawi. Ridwan ingat betul pada saat arak-arakan ke Pekong sore hari pasti muncul Jeng Ge yang selalu dinanti-nanti masyarakat. Jeng Ge adalah sebutan wanita cantik memakai baju terusan panjang yang mirip baju Timur Tengah, dan berparas cantik lengkap dengan riasan wajah. Jeng Ge diarak di atas tandu yang megah, sehingga banyak yang terpukau. Wanita yang jadi Jeng Ge pasti merupakan wanita pilihan oleh pihak pusat kelenteng. Setelah Cap Gomeh, pada hari ke-60 sampai ke-90 diadakan perayaan Ceng Beng. Pada saat Ceng Beng, orang Cina akan ziarah ke kuburan keluarganya. Sedangkan di saat yang sama orang-orang Betawi dan Melayu dipanggil ke rumah orang Cina untuk menangisi arwah leluhur mereka. "Orang Betawi diminta tolong nangisin arwah leluhur di rumah orang Cina tersebut, pas pulang bisa dapet pakaian-pakaian dan borsak (kasur)," kata Ridwan. Memasuki hari ke-100, orang Cina akan merayakan Peh Cun. Pada perayaan ini diadakan kegiatan makan bakcang yaitu nasi berbentuk prisma segitiga berisi daging, menggantungkan rumput Ai dan Changpu di depan rumah, dan mandi pada tengah hari. Pada tahun 1950-an Peh Cun juga menggelar pasar malam yang menyediakan jajanan khas. Seperti es shanghai, yaitu semacam sop buah pada saat ini dan kacang kulit khas Imlek adalah yang paling spesial. Pada bulan ketujuh diadakan Cit Gwe. Cit Gwee adalah perayaan menyambut arwah leluhur orang Cina yang dilepas oleh Dewa Giam Kun selama 15 hari. Orang Cina menyambut arwah dengan cara memberikan makanan di Kali Jodoh Tangerang. "Kali Jodoh itu pusatnya Cit Gwee, semua orang pasti ke sana," kata Ridwan. Meski pusatnya di Tangerang, ada juga beberapa tempat yang juga merayakan Cit Gwee, yakni di Angke dan Kwitang. Setelah Cit Gwee, orang Cina pun kembali bekerja keras lagi mengumpulkan kekayaan sampai datang Imlek lagi. Semua perayaan itu akhirnya dilarang pada 1958 oleh Surat Keputusan yang dikeluarkan Wali Kota Jakarta Sudiro. Inti surat keputusan itu menyatakan pesta perayaan Imlek dianggap merusak moral masyarakat. Padahal orang Betawi sangat senang dengan perayaan Imlek dan memiliki hubungan harmonis dengan orang Cina. "Tidak ada bentrok dengan orang Cina, yang saya tahu pada saat itu bentrok antara pusat dan daerah," tutur Ridwan. Orang-orang Betawi dan Melayu sangat sedih dengan dihapuskan perayaan imlek, apalagi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 yang melarang orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran dari tingkat kabupaten ke bawah. Peraturan ini menyebabkan orang-orang Cina harus mengalihkan bisnisnya kepada pribumi. Peris tiwa itu
juga mengakibatkan eksodus besar-beasaran orang Cina nonwarga negara Indonesia dan Tionghoa peranakan kembali ke Cina Daratan. Menurut Ridwan, ada beberapa tradisi tersebut yang sudah ditinggalkan. Arak-arakan ke Pekong sudah tidak lagi dijalani. Padahal arak-arakan itu membuat suasana lebih berkesan. "Dulu orang Cina merayakan bersama-sama dengan orang Betawi dengan harmonis, tidak ada bentrok," tuturnya. Sangat disayangkan sekarang Imlek lebih sering dirayakan di mal, karena sudah banyak yang tidak tahu tradisi leluhur. Padahal banyak orang Cina yang tidak bisa merayakan Imlek dengan mewah di mal, contohnya Cina Benteng di Tangerang. Bahkan penyebutan selamat tahun baru Imlek pun sudah berubah. Dulu kita mengucapkan Sin Cun Kiong Hi atau selamat tahun baru, tapi sekarang jadi Gong Xi Fat Cai. "Gong Xi Fat Cai itu adopsi dari Hong Kong lho, bukan dari Cina Daratan," ujar Ridwan. INU KERTAPATI
Kemeriahan Imlek di Jakarta Tempo Dulu Red: Karta Raharja Ucu allthatisinteresting.com
tahun baru cina atau imlek
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab Gus Dur bagi masyarakat Tionghoa merupakan tokoh yang menghidupkan kembali tradisi dan kebudayan mereka setelah dilarang sejak zaman Orba. Sejumlah warga Tionghoa di
Medan mengusulkan supaya namanya diabadikan sebagai nama jalan di kota itu. Di Jakarta dan beberapa kota lain juga terdapat na ma jalan yang mengabadikan nama ayahnya, KH Wahid Hasyim, dan kakeknya, KH Has yim Ashari. Keduanya merupakan pahlawan nasional, sementara makin berkembang desakan agar Gus Dur diangkat dengan predikat yang sama. Salah satu kebiasaan yang kudu dirayakan sebelum dilarang Orba adalah Imlek atawa Tahun Baru Cina. Imlek di tempo doeloe berlangsung selama dua pekan dan ditutup dengan pesta Cap Go Meh. Keramaian dan kemeriahan Cap Go Meh tidak kalah dengan Fiesta ala Brasil, dimana orang menari dan bernyanyi-nyanyi di jalan-jalan raya dengan menggunakan berbagai kostum. Berburu Nasib Lewat Feng Shui
Imlek yang jatuh pada Senin (8/2) membuat warga keturunan Tionghoa di Jakarta sibuk. Di Pancoran Glodok, sudah terasa persiapan-persiapa nnya, termasuk penjualan buku-buku Feng Shui yang secara harfiah berarti angin dan air. Suatu si stem ramalan mengenai nasib, letak tempat dan lingkungan. Feng Shui yang berasal dari abad ke-10 SM sampai kini masih hidup subur dan dipraktekkan orang Tionghoa untuk mendatangkan keberuntungan dan mengusir pengaruh buruk dengan cara meletakkan tempat makam, bangunan dan perabot rumah tangga dalam posisinya yang sesuai (harmoni). Bahkan ramalan semacam ini marak di televisi-televisi. Warga non-Tionghoa pun banyak yang mempercayai ramalan-ramalan yang disampaikan para pakar fung shui. Orang Tionghoa sendiri telah datang ke Nusantara sebelum kedatangan Portugis (abad ke-15) dan Belanda (abad ke-17). Pada masa itu sudah terdapat kampung Tionghoa di Jakarta. Letaknya bukan di Glodok, tapi di dekat muara Ciliwung --sekitar 2-3 km utara Glodok. Mereka tetap mempertahankan adat istiadat leluhurnya, sekalipun sudah turun-temurun tinggal di Jakarta.
Sekelompok penari topeng Nusantara diarak diantara ribuan penonton dalam Cap Go Meh Steet Festival 2013 di Jalan suryakancana, kota Bogor, Jabar
Kemeriahan Imlek Berlanjut Hingga Cap Go Meh
Salah satu adat leluhur yang masih dilestarikan keturunan Tionghoa adalah memperingati Hari Raya Tahun Baru Imlek dengan penuh kesukaan. Kemeriahan Imlek di tempo doeloe baru berakhir setelah Cap Go Meh hari ke-15 Imlek. Acara tidak hanya dipusatkan di Glodok-Pancoran. Tapi juga di Tanah Abang, Palmerah, dan Meester Cornelis ( Jatinegara). Menurut Prof Dr James Danandjaja dalam buku Folklor Tionghoa, pada pesta rakyat ini semua jenis seni pertunjukan rakyat Betawi ditampilkan. Seperti, wa yang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju kurang beraneka warna. Musik pengiringnya adalah gambang kromong. Jenis wayang lainnya yang dipertujukkan adalah komedi bangsawan, Stambul (dari kata Istanbul), dan wayang simpe yang mempertunjukan lakon seribu satu malam.
Perayaan Cap Gomeh
Berpesta di Cap Go Meh
Untuk melengkapi keramaian Cap Go Meh, orgel putar orang-orang Italia juga turut mengamen, selain tanjidor yang berasal dari Portugis. Pokoknya tidak kalah dengan malam penggantian tahun baru Masehi. Yang paling meriah adalah saat mengarak topekong yang keluar dari klenteng ke jalan-j alan bersama barongsai. Daya tariknya demikian besar. Hingga di malam Cap Go Meh, sejak Magrib semua orang Betawi keturunan Tionghoa, tua muda berpakaian indah-indah menuju Glodok-Pancoran menonton keramaian atau terjun langsung berjoget di jalan. Orang-orang tua yang turut berjoget memakai kostum ala bintang Hollywood, seperti Douglas Faibank, bintang terkenal medio 1930-an. Di samping warga Tionghoa, juga keturunan Belanda dan Arab serta pribumi ikut berpesta. Pesta rakyat ini berlangsung hingga dini hari, sementara yang teler karena menenggak minuman keras banyak yang tergeletak di pinggir jalan.
Nostalgia Abah Alwi Suluh Breaking History Tuturan
x
Kanal News Khazanah Sepakbola Oto-Tek Leisure InPicture Video Publika Ekonomi English Selarung Indeks About Us Privacy Policy Disclaimer Career News Guidance
0 0 0 Mail Copy 0
Home > Selarung > Nostalgia Abah Alwi Senin , 08 February 2016, 07:00 WIB
Kemeriahan Imlek di Jakarta Tempo Dulu Red: Karta Raharja Ucu
Warga keturunan Tionghoa mengikuti pawai Cap Go Meh di jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Gadis Pingitan Bebas Ikuti Cap Go Meh
Di malam Cap Go Meh para gadis, yang biasanya dipingit, diberi kebebasan untuk mengikuti kemeriahan pesta ini. Sejak sore hari para siocia telah dandan seelok mungkin menunggu datangnya sang kekasih untuk wakuncar (waktu kunjung pacar). Ada kebiasaan kala itu, saat si pemuda berkunjung ke rumah kekasihnya dia harus membawa sepasang ikan bandeng. Menurut Prof Danadjaja, ikan bandeng itu berasal dari tambak Cilincing. Ada juga kue keranjang yang oleh warga Betawi disebut kue Cina, bewarna kecoklatan terbuat dari ketan dan manis rasanya. Ada kebiasaan warga Tionghoa, di malam Imlek, mereka boleh makan semaunya tanpa pantangan. Artinya, penderita diabetes diperbolehkan melahap makanan yang manis-manis sepuas-puasnya. Mereka yakin makanan di malam itu tidak akan mengganggu kesehatan.
Tahun Baru Imlek (ilustrasi)
Melamar dengan Sepasang Ikan Bandeng
Seorang pemuda yang datang ke kediaman pacarnya dihar uskan membawa sepasang ikan bandeng sebagai lambang agar perjodohan berlangsung tanpa hambatan. Cilaka dua belas saat mengunjungi pacarnya sang pemuda tidak membawa ikan bandeng. Pemuda demikian, tidak mengenal liangsim (balas budi) dan bikin calon mertoku (mertua) malu pada para tetangga. Bisa-bisa pertunangan putus sekalipun si pemuda sudah sujud sambil meminta ampun. Malahan terdengar kabar pada waktu hari raya Imlek, ada ban yak orang Betawi (pada masa itu disebut Slam) akan merasa kuciwa apabila menantu lelakinya tidak menghadiahkan beberapa ekor ikan bandeng. Lonceng kematian pesta rakyat Cap Go Meh sebenarnya dicanangkan jauh sebelum masa Orde Baru. Tepatnya pada waktu Sudiro menjadi gubernur Jakarta pada 1950-an. Dia merasa harga diri bangsa Indonesia direndahkan dengan mendatangi rumah-rumah warga Tionghoa meminta saweran. Padahal, kini pengamen tidak terhitung jumlahnya.
Home » Alwi Shahab » Betawi Tempoe Doeloe » Cina Betawi » [Nostalgia Jakarta Tempoe Doeloe - Jelang Imlek] Menelusuri China Town Go Betawi Rabu, 18 Februari 2015 Alwi Shahab, Betawi Tempoe Doeloe, Cina Betawi
[Nostalgia Jakarta Tempoe Doeloe - Jelang Imlek] Menelusuri China Town
GoBetawi.com - Glodok yang mendapat julukan China Town atawa Pecinan merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang banyak didatangi pembeli. Glodok dalam sejarahnya merupakan salah satu pasar tertua di Jakarta, lebih tua dari Pasar Tanah Abang dan Senen yang dibangun pada abad ke-18.
Glodok berasal dari nama yang berbunyi grojok-grojok pada masa VOC merupakan kampung yang terletak di luar kota berbenteng. Jauh sebelum dibangunnya Batavia (Mei 1619), dan semenjak bernama Sunda Kalapa, orang Cina sudah banyak tinggal di tepi pantai tidak jauh dari bandar Sunda Kalapa. Tapi, ketika Olanda membangun loji di sini, mereka pun diusir. Baru setelah terjadinya pembantaian orang Tionghoa (November 1740) mereka ditempatkan di kawasan yang sekarang ini kita kenal dengan sebutan Glodok. Mendatangi pusat-pusat pembelanjaan di Glodok saat puasa, kita harus ekstra kuat menahan haus. Berdampingan dengan Glodok terdapat pertokoan Pancoran yang dulunya merupakan pancuran tempat orang mengambil air minum dan mandi. Glodok memiliki pusat elektronik yang dikenal sebagai pertokoan Harco. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa yang
membangunnya pada tahun 1970-an adalah seorang keturunan Arab bernama Abubakar Bahfen. Dia juga membangun pertokoan dengan nama yang sama di Pasar Baru. Baik di Glodok maupun di Pasar Baru, sampai tahun 1960-an terdapat Markas Polisi Seksi II dan III — semacam Polsek sekarang ini. Di Harco kita dapat membeli berbagai produk elektronik dengan harga miring, dan kini didominasi oleh produk Cina. Konon, di sini juga terdapat barang-barang selundupan, yang begitu gampang lolos dan dijual bebas. Di sekitar Harco terdapat para pedagang VCD dan DVD, termasuk film-film porno. Entah sudah berapa puluh kali dilakukan razia, tapi tidak pernah berhasil menghalau para pedagamg VCD porno yang jumlahnya ratusan. Menelusuri jalan-jalan di daerah ini, diperlukan banyak fantasi. Bukan saja untuk membayangkan tragedi 1740 yang menelan korban 10 ribu Tionghoa, tapi situasi tempat dan masyarakat ketika itu. Pria Cina ketika itu berlalu lalang dengan rambut dikepang panjang dan rambut bagian depan dicukur licin, sebagai tradisi ketika daratan Cina dijajah Manchu selama tiga ratus tahun. Pemerintah kolonial Belanda, disamping mengharuskan orang Cina tinggal di satu tempat, juga melarang mereka berpakaian seperti pribumi dan barat. Yang melanggar dikenai denda atau kurungan. Hingga kini — sekalipun harus bersaing dengan pusat perdagangan lain yang menjamur di Jakarta — Glodok masih tetap merupakan tempat perbelanjaan paling bergengsi. Hampir semua tempat tinggal telah berubah fungsi menjadi tempat perdagangan. Penghuninya kini tinggal di perumahan-perumahan mewah, seperti Pluit, Ancol, Sunter dan Kawasan Indah Kapuk. Pada masa Bung Karno dan awal pemerintahan Soeharto, konon sebagian besar uang yang beredar berada di Glodok. Sebelum dilarang di masa pemerintahan Soeharto, di Glodok dapat disaksikan berbagai atraksi kesenian Cina, yang juga diminati pribumi. Misalnya, pesta-pesta pada tahun baru Imlek yang meriah dan gemerlapan. Lalu, perayaan Cap Go Meh yang berlangsung setiap malam mulai dari Pecinan hingga Meester Cornelis (Jatinegara), dan diteruskan ke Buitenzorg (Bogor), Sukabumi dan Cianjur. Ketika kita menelusuri jalan-jalan di Pecinan, serta puluhan jalan kecil di sekitarnya, aroma hio terasa menyengat dan merupakan tipikal kawasan ini. Tidak usah heran, hio bagi masyarakat setempat bukan saja dipasangkan di hio lau, tapi juga di pojok-pojok pintu rumah. Itu membuktikan adat istiadat leluhur masih mendapat tempat. Termasuk bagi generasi mudanya, yang kita dapati banyak mendatangi klenteng-klenteng untuk bersoja sebagai tanda bakti kepada leluhur. Dalam masyarakat Tionghoa, berbakti pada orang tua merupakan kemustian, agar tidak jadi orang doraka. Di China Town kita akan mendapati belasan sinshe yang membuka praktek pengobatan sejak puluhan tahun lalu. Dulu, ketika dokter masih sedikit, sinshe paling banyak didatangi orang yang ingin berobat. Di samping sinshe, kita akan mendapati kios-kios pedagang obat-obatan Cina yang dijual secara bebas. Pengobatan Cina, yang dikenal sejak ribuan tahun lalu, kini makin diminati. Sayangnya, banyak obat-obat produk Cina yang palsu, seperti berulang kali disiarkan pers. Berdekatan dengan Glodok terdapat Kali Besar yang oleh Belanda disebut Groote Kanaal. Dulu merupakan alur pelabuhan, di mana kapal-kapal kecil dapat masuk dan sandar untuk membongkar barang-barang, khususnya rempah-rempah. Sampai tahun 1950-an, banyak
perusahaan besar berkantor di Kali Besar. Sebelum perusahaan Belanda dinasionalisasi, mereka berkantor di Kali Besar. Banyak pegawai Belanda yang datang ke kantor dari Menteng dan Pasar Baru dengan naik trem listrik. Di Kali Besar muara Ciliwung pada saat Peh Cun hari keseratus tahun baru Imlek banyak masyarakat Cina melakukan lomba sampan. Ketika itu airnya masih jernih, sering digunakan untuk mandi oleh anak-anak dan mencuci pakaian oleh ibu-ibu. Oleh : Alwi Shahab
[Nostalgia Jakarta Tempoe Doeloe - Jelang Imlek] Glodok, Sinshe dan Obat Cina
GoBetawi.com - Menyambut hari raya Imlek Glodok atawa China Town berhias diri. Inilah foto Glodok, tepatnya di Pintu Kecil, Jakarta Kota yang diabadikan tahun 1957. Terlihat lalu lalang yang mulai ramai. Sementara mobil-mobil merek Morris, Austin dan Opelet dari Eropa yang kemudian pada tahun 1970-an menjadi angkutan penumpang dengan nama yang sama. Otobus, delman, dan sepeda turut meramaikan jalan raya.
Memang suasana setengah abad lalu di kawasan Glodok masih kental dengan ciri-ciri Cinanya. Tulisan-tulisan Mandarin terlihat di semua toko dan tempat perdagangan,diselingi bahasa Indonesia.Sementara rumah-rumah masih meniru tradisi di negeri leluhur — daratan Cina – , dengan genteng-genteng meruncing di bagian atasnya. Konon, kala itu sebagian besar uang beredar di kawasan Glodok. Setelah terjadi pemberontakan G30S yang didalangi PKI, huruf dan bahasa Mandarin dilarang diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa.Dalam foto terlihat toko obat yang menjual anggur kolesom penambah tenaga terutama bagi ibu-ibu yang baru melahirkan.Sampai
sekarang Glodok masih banyak didapati tempat praktik para sinshe dan toko-toko penjual obat yang banyak didatangi pembeli. Menurut Prof Dr James Danandjaya dari UI, pengobatan Cina kini sudah terkenal di seluruh dunia dan menjadi kajian ahli-ahli pengobatan Barat.Kekhasannya adalah menggunakan bahan obat-obatan dari alam, khususnya tanamtanaman (herbal) sehingga efek samping yang ditimbulkan relatif kecil dibandingkan obat-obatan Barat. Pengobatan Cina juga terkenal dengan tusuk jarum (akupuntur). Presiden Soekarno pada tahun 1965,ketika menderita sakit cukup parah mendatangkan tim dokter dari Republik Rakyat Cina untuk turut mengobatinya.Kembali kepada pengobatan Cina,apabila penyakit seorang pasien telah didiagnosis sang sinshe kemudian akan membuatkan resep dari kombinasi daun-daunan serta akar-akaran untuk memulihkan kesehatannya. Lalu si pasien akan membawa resep tersebut ke toko obat tradisional Cina. Selain berbentuk jamu-jamuan, obat herbal dapat berupa kapsul atau minuman tonik. Tapi, sekarang kita harus berhati-hati dengan obat-obatan Cina yang banyak dijual di berbagai tempat karena banyak dipalsukan.Sehingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan puluhan obat Cina yang terlarang beredar karena membahayakan. Oleh : Alwi Shahab
« Kerusuhan Malari Dekat Istana Banjir Jalan Thamrin 1968 »
Ngibing di Malam Cap Go Meh Februari 16, 2009 oleh alwishahab Masyarakat Tionghoa memiliki hari raya cukup banyak. Setelah tahun baru Imlek dengan hidangan khas kue keranjang atawa kue cina, pada malam ke-15 ditutup dengan pesta Cap Go Meh. Masih ada hari raya Cengbeng di mana orang-orang membersihkan makam orangtuanya sebagai tanda bakti pada leluhur. Kemudian disusul dengan Pehcun (hari keseratus setelah Imlek). Pada hari itu makanan khas adalah bahcang sekaligus disusul dengan pesta perahu (dragon boat ) di kali Ciliwung dan kali Cisadane (Tangerang). Masih ada hari raya Tong Ciu dengan makanan khas kue bulan. Ditutup dengan hari raya Tang Ce yang jatuh pada bulan bulan menjelang Imlek. Yang paling meriah di tempo doeloe pesta Cap Go Meh penutup tahun baru Imlek. Sejak sore para siauce (gadis) berdandan semenor mungkin. Menanti sang pacar untuk datang sowan pada calon mertua sambil mempersembahkan sepasang ikan bandeng. Muka mertua akan cemberut seperti ‘dompet tanggung bulan’ bila calon mantu tidak membawa ikan bandeng. Menantu begini dianggap tidak punya hormat pada mertua. Di malam Cap Go Meh semua orang Betawi keturunan Tionghoa berpakaian indah-indah. Lalu naik trem menuju Glodok dan Pancoran untuk menonton keramaian atau langsung terjun ngibing (kini berjoget) di jalan-jalan. Keramaian kala itu tidak kalah meriahnya dengan fiesta yang diadakan tiap tahun di Brasil. Orang yang turut ngibing , biasanya memakai kostum ala bintang film Hollywood. Seperti Douglas Fairbank, bintang terkenal tahun 1930- an dan ’40-an dalam perannya sebagai Zorro dalam film Mark of Zorro. Ada juga yang menyaru sebagai seorang wanita gembrot lengkap dengan konde sebesar mangkuk sayur, tulis Prof Dr James Dananjaja (75 tahun), dalam Folklor Tionghoa. Wajahnya dibedak tebal-tebal, pipinya diberi tahi lalat (tompel) sebesar uang sen Hindia Belanda. Mulutnya disumpel dengan tembakau sisik. Kwee Tek Hoay dalam karangan berjudul Nonton Capgome yang diterbitkan 1930, menuturkan, Tidak ada pesta Capgome di Java yang melebihkan ramenya dari Batavia. Bukan saja sebab Batavia ada kota yang paling besar, keramaiannya tak ada bandingannya di lain-lain tempat di Buitenzorg (Bogor), Sukabumi, Cianjur, dan Bandung. Di sepanjang jalanan ada penuh dengan rumah makan yang buka sampai pagi pada malam Capgome. Tempo doeloe, semua perayaan pada malam tanggal 15 menurut almanak Tionghoa, dipusatkan di Glodok-Pancoran. Sementara malam tanggal 16 dilanjutkan di Tanah Abang, Pal Merah, dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Pada pesta rakyat ini, semua jenis pertunjukan rakyat Betawi ditampilkan. Seperti wayang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju kurung aneka warna. Musik pengiringnya adalah gambang kromong. Komedi bangsawan, stambul, dan wayang simpe juga i kut memeriahkan. Selain cerita-cerita Tionghoa kuno, wayang ini juga mempertunjukkan kisah 1001 malam. Para orangtua yang anak gadisnya menonton Cap Go Meh, memesan kepada mereka agar waspada terhadap tangan-tangan jahil berupa pemuda-pemuda iseng. Apalagi di antara mereka banyak yang teler karena menenggak minuman yang diharamkan. Pesta rakyat di jalanan berlangsung hingga dini hari. Karena begadang semalam suntuk, keesokan harinya banyak yang malas bekerja. Bahkan bagi orang yang yang gemar pesta, Cap Go Meh belum usai karena masih dilanjutkan lagi dengan pesta rakyat yang disebut Cap Lak Meh di daerah daerah Tanah Abang, Pal Merah, Senen, dan Meester Cornelis pada malam keenam belas. Namun, tidak seramai di Glodok-Pancoran. Seperti juga sekarang saat pesta dangdutan, malam Cap Go Meh juga kerap dinodai keributan. Terutama saat-saat keluarnya naga Tionghoa yang disebut liong-liong, barongsai, dan cungge. Para pemain barongsai adalah para anggota perkumpulan pencak silat (kuntau atau kungfu). Adakalanya bila rombongan dari perkumpulan yang bersaing berte mu, terjadilah perang tanding yang seru, hingga harus dipisahkan oleh polisi. Menurut Prof James Dananjaja, cungge adalah semacam tandu-tandu berhias, berisikan anakanak kecil yang mengenakan kostum tokoh-tokoh mitologi atau legendaris Tiongkok kuno, seperti Sie Jin Kui dan Koan Kong. Kala itu, barongsai selain berpawai di jalan raya, juga mengunjungi rumah-rumah orang kaya dan opsir Tionghoa untuk ngamen. Mereka memperoleh angpau cukup besar. Cungge juga disponsori para hartawan. Ketika itu di depan toko-toko tertentu dipasang rencengan petasan besar-besar, digantungkan di atas tiang-tiang tinggi, yang pada ujungnya diikat angpau berisi uang berjumlah banyak. Hadiah ini khusus diperuntukkan bagi rombongan barongsai yang pandai berakrobat, hingga dapat memanjat tiang tinggi yang digantungi petasan yang terbakar. Selain di kota, barongsai juga mendatangi perkampungan. Banyak keluarga berharap rumahnya didatangi binatang mitologi suci itu karena menurut keyakinan, rumah yang disinggahi barongsai dapat bersih dari pengaruh arwah roh jahat yang mendatangkan penyakit atau kesialan bagi penghuninya. Tidak heran pemilik rumah akan membuka pintu pekarangannya lebar-lebar menyambut sang barongsai.
Kebinekaan dalam Imlek di Pecinan Semarang Kompas.com - 24/01/2017, 07:00 WIB
Kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah, kini tengah bersiap merayakan Imlek. Begini suasana Jalan Wotgandul Timur, Rabu (18/1/2017), yang merupakan pusat keramaian di kawasan Pecinan. Di sini ada Pasar Gang Baru (kanan jalan) juga kelenteng tertua Siu Hok Bio yang dibangun 1753 (kiri), yang menjadi lokasi pasar Imlek Semawis, 24-26 Januari 2017.(KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO) KOMPAS.com - Ritual merayakan Tahun Baru Imlek 2568 pada 28 Januari 2017 masih beberapa hari lagi. Namun, jika menyusuri kawasan Pecinan di Kota Semarang, Jawa Tengah akhir-akhir ini, mulai dari Jalan Wotgandul, Gang Baru, Gang Pinggir, sampai Gang Lombok di Semarang Tengah, suasana dan antusiasme warga Tionghoa menyambut tahun baru itu sangat terasa.
Seperti terlihat di Gang Baru, Pecinan, Semarang, Rabu (18/1), beberapa toko sudah memasang sejumlah lampion warna merah di teras. Toko yang menjual aksesori Imlek pun mulai dikunjungi pembeli untuk keperluan perayaan itu. Begitu pula di Kelenteng Tay Kak Sie, Kelenteng Siu Hok Bio, dan Kelenteng Liong Hok Bio juga terlihat ada kesibukan, di antaranya membersihkan kelenteng dan patung-patung di dalamnya. "Bersih-bersih kelenteng ini wajib supaya saat perayaan Imlek sampai Cap Go Meh pada 11 Februari nanti, tamu-tamu yang datang senang karena kelenteng bersih dan seperti baru.
Untuk membantu membersihkan ini, beberapa warga di luar penganut keyakinan juga turun tangan," ujar Daryanto, pekerja di Kelenteng Tay Kak Sie. Menyusuri kawasan Pecinan, menurut Jongkie Tio, pemerhati budaya peranakan Tionghoa di Semarang, seolah jalan kenangan untuk menyaksikan kenyataan Kota Semarang sangatlah heterogen. Pecinan menjadi lokasi berbaurnya wa rga keturunan Tionghoa, orang pribumi Jawa, serta warga keturunan Arab dan India yang tinggal di kampung Kauman dan sekitarnya. Warga di luar Pecinan memperoleh pengalaman untuk ikut menyaksikan rangkaian ritual perayaan Imlek di sejumlah kelenteng. Acara inti itu sendiri biasanya rutin berlangsung di Kelenteng Kay Tak Sie, kelenteng terbesar di Pecinan yang terletak di Gang Lombok. Menurut Heng Tie Ong, pengurus Kelenteng Tay Kak Sie, Minggu (22/1), warga bisa menyaksikan ritual pembersihan dewa-dewa di kelenteng itu. Rangkaian ritual lain pun dapat disaksikan seperti doa tolak bala (12 Februari) dan Cap Go Meh (11 Februari). Sebelumnya, ada ritual doa dan sembahyang pada 28 Januari, didahului ritual doa pada malam hingga pagi. Sehari sebelum malam Tahun Baru Imlek , kemeriahan juga berlangsung di Pasar Gang Baru. Warga Tionghoa melakukan tradisi Ji Kauw Mee, yakni berbelanja kebutuhan untuk persiapan makan besar bersama keluarga. Pada malam itu, anggota keluarga banyak yang mudik untuk merayakan tahun baru sebelum kembali ke kota masing-masing. Pada masa lalu, acara ini banyak didatangi muda-mudi untuk menemukan jodohnya. Tradisi kebinekaan
Tidak banyak perayaan Imlek di kota lain yang menyertakan kegiatan untuk mengenang kembali tradisi lama. Di Pecinan, Kota Semarang, perayaan Imlek sudah lebih dua tahun ini selalu diiringi kegiatan Pasar Imlek Semawis. Pasar Semawis digelar selama tiga hari, yaitu pada 24-26 Januari. Suasananya seperti pasar malam dengan menonjolkan aneka ragam kuliner khas dan budaya Tionghoa di lokasi sepanjang Gang Warung hingga luber ke Wotgandul. Kampung padat itu dibikin mirip lorong lampion. Di kawasan yang penuh dengan pernak-pernik Imlek , dengan pemandangan rumahrumah dan bangunan tua khas pecinan, pengunjung dapat menikmati nasi ayam, aneka kue, dan lontong Cap Go Meh. Ada pula pertunjukan tradisi seni Tionghoa, seperti wayang potehi, gambang semarang, jipin, barongsai, atraksi wushu, dan cengge. Tema perayaan Pasar Semawis tahun ini adalah "Obar Abir" yang artinya warna-warna, untuk mengingatkan kebinekaan Indonesia, khususnya Kota Semarang. Biasanya pengunjung yang datang tidak hanya warga keturunan Tionghoa, baik dalam maupun luar kota. Warga di Semarang dan sekitarnya juga ikut meramaikan pasar itu Pengamat pecinan Semarang, Tubagus P Svarajati, berpendapat, kebinekaan selalu menjadi simbol perayaan Imlek agar pohon itu makin tumbuh subur. Hanya saja, Pasar Semawis perlu kuat lagi dalam konsep revitalisasi budaya dan tradisi Tionghoa lama supaya tidak terkesan hanya selebrasi komersial. Pada tataran budaya Tionghoa, kemeriahan Pasar Semawis masih kalah gaungnya dengan tradisi kirab Cheng Ho, kirab jalan kaki dari Kelenteng Kay tak Sie ke Kelenteng Sam Poo
Kong di Gedung Batu. Namun, Pasar Semawis lambat laun akan menjadi salah satu ikon Imlek di Pecinan, Semarang, yang mulai banyak dikunjungi wisatawan luar kota. (Winarto Herusansono)
Versi cetak artikel ini terbit di hari an Kompas edisi 23 Januari 2017, di halaman 24 dengan judul " K ebinekaan DalamI mlek di Pecinan Semarang" .
Semarak Sincia Kita Tradisi pergantian tahun dalam kalender Imlek, atau Sincia, sudah jadi budaya Indonesia. Perayaannya menyemarakkan jantung pecinan hingga perumahan pinggiran.
Warga keturunan Tionghoa beribadah di Kelenteng Tay Kak Sie, di kawasan Pecinan, Semarang (22/1). Tahun Naga Air bertarikh 2563 di kalender China dimulai dengan diawali sembahyang Imlek malam hari di ribuan kelenteng di penjuru Indonesia. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler )
Tradisi pergantian tahun dalam kalender Imlek, atau Sincia, sudah menjadi budaya Indonesia. Kemeriahannya menggelorakan suasana jantung pecinan hingga perumahan pinggiran. Lewat akun @NGTravelerID, para pejalan berbagi kesan dan cerita seputar perayaan Sincia di berbagai kota. Kionghi! Kawan @dias_pratami mengisahkan suasana Imlek di kampung halamannya, Sintang, Kalimantan Barat."Bagi kami yang bukan beretnik Tionghoa, perayaan Imlek adalah hiburan," ungkapnya.
Ia juga menuturkan bahwa keberadaan kelenteng sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat lokal. "Etnik Melayu, Dayak, dan Tionghoa hidup berdampingan dengan rukun di sana."
Puncak perayaan Tahun Baru Imlek adalah perayaan Cap Go Meh. Di Samarinda, puncak malam Cap Go Meh dirayakan sebagai malam mencari jodoh. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)
Di Semarang, Anda bisa menikmati suasana perayaan Sincia sekali gus berwisata kuliner di Pasar Semawis. "Di Semawis seru pera yaannya. Kulinernya juga enak-enak," kicau @ArdiannArd. Sementara itu, @rivaihidayat menyarankan untuk berkunjung ke kelenteng terbesar di Semarang, Klenteng Tay Kak Sie. Anda bisa mencoba Ciam Si, yaitu sarana meramal di kelenteng. "Di sebelah Tay Kak Sie terdapat salah satu lumpia yang paling enak di Semarang, yaitu Lumpia Gang Lombok," ujarnya.
View more...
Comments