Studi Gender
September 21, 2017 | Author: bodonk | Category: N/A
Short Description
Download Studi Gender...
Description
STUDY GENDER (Modul Untuk Lingkungan Sendiri)
Disusun oleh :
HENDRA PRIJATNA, M.Pd
Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Universitas Bale Bandung (UNIBBA) 2012 PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
1
Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender. Memahami persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender. Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah kajiankajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian social inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya masih banyak lagi kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping kajian-kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis, meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial. Tulisan singkat ini mencoba memaparkan beberapa teori gender yang dibangun berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam sosiologi dan psikologi. Tulisan ini diharapkan memberi penjelasan awal tentang berbagai teori gender yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis gender terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Teori-teori ini juga diharapkan dapat mendasari para pengkaji dan para pengambil kebijakan dalam persoalan gender untuk memecahkan persoalan ketimpangan gender yang masih terus muncul di tengah-tengah kehidupan kita di Indonesia. Sebelum dibahas teori-teori gender, ada baiknya dibahas dulu pengertian gender.
Epistemologi Gender Episteme berasal dari bahasa Yunani yang dapat diartikan menjadi knowledge, pengetahuan. Maka, epistemologi gender adalah ilmu yang mempelajari gender. Sebelum membahas gender, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan seks. Seks dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara kodrati, keduanya memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Perbedaan inilah yang berpengaruh dan berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan suatu masyarakat, sehingga melahirkan konsep gender. Dalam bahasa Inggris, kata “gender” yaitu pengelompokkan kata benda atau kata
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
2
ganti yang menyatakan sifat laki-laki dan perempuan. Kata “gender” diartikan kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin. Namun, di Indonesia kata “gender” termasuk kosa kata dibidang ilmu sosial, maka gender merupakan istilah. Gender (genus) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun kebudayaan, tergantung pada waktu (tren) dan tempatnya. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita mendefinisikan gender sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan arti pada kepentingan dan pemusatan fungsi-fungsi dan peran antara pria dan wanita. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata „gender‟ berasal dari bahasa Inggris yang berarti „jenis kelamin‟ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata „gender‟ bisa diartikan sebagai „perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561).
Secara terminologis, „gender‟ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, „gender‟ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women‟s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara lakilaki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4). Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
3
dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
4
Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap pemahaman gender, ada beberapa istilah yang perlu diketahui: a. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian/konsep gender karena ada perbedaan kepentingan laki-laki dan perempuan. b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang sudah menyadari kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki. c. Peka/Sensitif Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan). d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang memandang suatu keadaan berdasarkan perspektif gender. e.
Peduli/Responsif
Gender
kebijakan/program/kegiatan
atau
(gender kondisi
concern/responcive), yang
sudah
dilakukan
yaitu dengan
memperhitungkan kepentingan kedua jenis kelamin.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
5
Teori gender yang berpengaruh dalam perbincangan persoalan gender : Teori Psikoanalisa atau identifikasi (Sigmund Freud) (Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas). Teori Strukturalis-Fungsionalism (Hilary M. Lip, Linda L. Lindsey, R. Dahrendolf) (Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh didalam suatu masyarakat, mendefinisikan fungsi setiap unsur dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat). Teori Konflik (Karl Mark, Friedrich Engels) (Mengemukakan bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga). Teori Feminisme.1). Feminis Liberal (Margaret Fuller, Harriet Martineau, Angelina Grimke, Susan Anthony). (Mengakui organ reproduksi merupakan konsekwensi, teori ini menekankan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi). 2). Feminis Marxis-Sosialis (Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg). (Berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan issue bahwa ketimpangan adalah faktor budaya alam). 3). Feminis Radikal (Menggugat semua yang berbau patriarki, bahkan yang ekstrem berpendapat tidak membutuhkan laki-laki, dalam kepuasan seksual juga dapat diperoleh dari sesama perempuan, mentolerir praktek lesbian). Teori Sosio-Biologis (Pierre Van Den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox) (Gabungan faktor biologis dan sosial menyebabkan lakilaki lebih unggul dari pada perempuan. Fungsi reproduksi dianggap penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki). Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”. Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
6
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi) Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum lakilaki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut. Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalahmasalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia. Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya. Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
7
Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat manusia, istilah gender yang diserap dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah mengubah gender menjadi jender--- merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3 September 1995) Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a constitutive element of social relationships based on perceived differences between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067) Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
8
cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia. Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan
daerah yang lainnya. Oleh karena itulah,
identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki. Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
GENDER DAN SOSIALISASI
Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga
maupun budaya
masyarakat,
sehingga
perlahan-lahan
citra tersebut
mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis. Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaankebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
9
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. (Soelaeman, 1998:109) Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. Adapun asal mula timbulnya kedirian antara lain karena: a) Dalam proses sosialisasi seseorang mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik, buruk, pintar, cantik dan sebagainya. b) Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain. Proses sosisalisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri, tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua berawal dari dalam lingkungan sendiri. Proses sosialisasi ini tidak berhenti sampai pada keluarga saja, tapi masih ada lembaga lain. Cohan (1983) mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok sebaya dan media massa. Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain: a) Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat. b) Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya. c) Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
10
d) Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.
Sosialisasi Peran Gender
Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63) Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi‟ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya. Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat. Pembedaan identitas berdasarkan gender
tersebut telah ada jauh sebelum
seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
11
pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan. Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia, seorang budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita sebagai kanca wingking (teman di belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham “halus – kasar” yang secara tegar menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa. Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober 1995) Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang, alasan-alasan kultural memberikan legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan melalui pelbagai pranata sosial dan adat istiadat yang mendarahdaging dalam jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi) Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan. Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
12
melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”
GENDER DAN STRATIFIKASI
Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika
pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan
itu
lebih
banyak
dirasakan
oleh
kaum
perempuan,
sehingga
bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender. Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi. Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah. Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut. Proses terjadinya pelapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mencapai satu tujuan bersama, misalnya pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal. Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
13
Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang lebih rendah.
Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender
Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi
yang telah mengawali pemapanan
pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender. Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada lakilaki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum lakilaki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan. Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki. Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk: a) Marginalisasi Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
14
anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki. Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap
“bekerja”
karena
pekerjaan
yang
dilakukannya,
seberapapun
banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki. Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut: Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 ----59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% --- persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner --politis, teknologis, atau seksual ---tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
15
b. Subordinasi Pandangan
berlandaskan
gender
juga
ternyata
bisa
mengakibatkan
subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan. Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi. Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76) Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum lakilaki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap.
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai
wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi gender
perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
16
dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki. Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas, kini kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki.
Teori-teori Gender Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teoriteori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.
1. Teori Struktural-Fungsional Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur5 unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56). Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
17
anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin). Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena masyarakat modernPIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
18
kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral. 2. Teori Sosial-Konflik Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76). Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan lakilakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa system sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81). Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan control lakilaki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
19
adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan (Nasaruddin Umar, 1999: 62). Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91). Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan isteri, senior dan yunior, lakilaki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal. 3. Teori Feminisme Liberal Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi
bagi
perempuan
membawa
konsekuensi
logis
dalam
kehidupan
bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228). Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
20
peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik. 4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan „kelas‟ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya. Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sector domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143). 5. Teori Feminisme Radikal Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
21
keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226). Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini. 6. Teori Ekofeminisme Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminism modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189). Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, selfcentered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183). 7. Teori Psikoanalisa Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
22
ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifatsifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46). Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi social berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41). Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati. Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat diperlukan agar dapat ditarik kesimpulan yang benar.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
23
Defenisi Konsep
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau persamaan (equality) dan keadilan (justice) hak dengan pria. Jadi gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada ”masalah
perempuan”
yang
mengasumsikan
bahwa
munculnya
permasalahan
ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya perempuan adalah makluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Adapun konsep persamaan (equality) dan keadilan (justice) adalah: Persamaan (Equality). Persamaan adalah suatu konsep yang menunjukkan bahwa semua manusia ”sama” dimata hukum. Persamaan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang ”sama” untuk mendapatkan perlakuan yang adil terutama persamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara. Persamaan dan perbedaan keduanya istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri, persamaan dan perbedaan telah menggambarkan perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis. Jika seseorang memperluas kerangka analisa ideologi dan geografis dengan perspektif kronologis, maka seseorang dapat melukiskan jalur teori feminis sehubungan dengan persamaan dan perbedaan sebagaimana dimulai dengan persamaan (equality), peralihan pada perbedaan, kemudian pergerakan terhadap resolusi dikotomi. Beberapa komentator telah memilih melambangkan tahapan feminisme ini sebagai feminisme gelombang-gelombang. Orang lain melihat pergerakan dari persamaan ke perbedaan sebagai internal terhadap feminisme gelombang kedua. Misalnya, Nancy Fraser menganggap bahwa perubahan terjadi dalam pergerakan wanita Amerika Serikat pada akhir era 1970an. Karena setiap cerita kronologis ini menggangap sesuatu dari perasaan dalam perdebatan feminis, maka masing-masing lebih skematis dan menanamkan dirinya 1. Gelombang pertama, yang di tandai oleh komitmen terhadap persamaan (equality). 2. Gelombang kedua, oleh komitmen terhadap perbedaan. 3. Gelombang ketiga, komitmen terhadap keragaman.
dalam
kerangka
normatif
tertentu.
Memungkinkan
juga
untuk
mengkarakterisasikan sifat dinamis dari perdebatan persamaan dan perbedaan. Memetakan perdebatan persamaan dan perbedaan dari perspektif usaha-usaha saat ini untuk bergerak PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
24
”melebihi” persamaan dan perbedaan. Pelaksanaan yang berlebihan inilah yang secara lebih jelas mengkarakteristikan momen saat ini terhadap teorisasi gender. Status perspektif keragaman ketiga adalah kompleks tidak dimaksudkan untuk meliputi semua upaya yang dilakukan untuk mlebihi alat untuk mensistensikan perspektif persamaan dan perbedaan. Lebih dipahami sebagai negosiasi kompleks dari pola dasar yang ada dari pada artikulasi dari pola dasar yang baru.
Orang-orang yang mendekati teori gender dan politik dari perspektif persamaan sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan secara politik atau tidak berhubungan, kenyataan bahwa pria dan wanita pada umumnya berbeda. Alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam lingkungan politik. Proyek pemerintahan apapun yang benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip persamaan liberal harus melebihi anggapan sexist tentang perbedaan Gender yang telah meneliti perbedaan tehadap wanita, untuk memberikan kepada wanita hak-hak yang sama dengan pria dan untuk memungkinkan wanita berpartisipasi seperti halnya pria dalam lingkungan publik. Perbedaan gender dipasang sebagai sebuah manifestasi seksisme, sebagai penciptaan yang digunakan untuk menasionalisasikan persamaan antara pria dan wanita. Anggapan yang luas bahwa wanita tidak rasional sepenuhnya digunakan secara berulang kali sebagai ”justifikasi” untuk melanjutkan pengeluaran mereka dari kewarganegaraan penuh. Gagasan bahwa wanita tidak dapat memiliki kemampuan rasional, abstrak, yang menguniversalisasikan bentuk pemikiran yang dibutuhkan untuk terlibat dalam arena penelitian dan politik publik perlu ditemui dengan penegasan kesamaan wanita dengan pria. Sebagaimana yang dijelaskan Fraser, dari perspektif persamaan, maka perbedaan gender terlihat tidak memungkinkan untuk lepas dari seksisme. Tugas-tugas politik selanjutnya akan lebih jelas, tujuan feminisme adalah untuk melepaskan belenggu ”perbedaan” dan membentuk persamaan yang membawa pria dan wanita dibawah sebuah ukuran umum. Dari perspektif persamaan tersebut. Keadilan (Justice) Mengenai keadilan (justice) dalam literatur gender, dalam teori politik disamakan dengan ”etika keadilan”. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang lebih tepat dan memungkinkan. Menurut pandangan tidak dari manapun dan oleh karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga, etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses pengenderaan identitas sosial. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
25
Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Dari perspektif pertama para ahli teori tidak mengecam etika keadilan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa tingkatan aplikasinya harus diperluas hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan sosial dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa ini adalah bentuk pemikiran moral dan bentuk yang khusus bagi pria. Ada bentuk lain yang diambil dari dalam pendekatan kedua adalah pemikiran moral yang disebut etika kepedulian yang harus juga dikenal, Bahkan dikatakan bahwa wanita lebih memungkinkan mengadopsi etika kepedulian ini dibandingkan pria, bahwa hak istimewa yang diberikan pada etika keadilan adalah untuk suara moral yang berbeda dari para wanita. Dengan kata lain ini adalah strategi universal. Berbeda dengan konsepsi yang dibedakan gender kedua tentang pemikiran moral, para ahli teori gender yang mendekati perdebatan ini dari perspektif ketiga adalah penting dari pergerakan ke bentuk-bentuk pemikiran moral yang terbagi dan untuk menyelenggarakan antitesisnya dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa etika keadilan adalah bukan salah satu dari dua bentuk pemikiran moral yang memungkinkan tentang bentuk universal tunggal dari pemikiran moral. Oleh karena itu, model keadilan dari pemikiran moral tidak hanya berbeda dengan model kepedulian ini. Dengan mengetahui bahwa model kepedulian hanya ada dalam hubungan sebagai pengingat model keadilan, maka adopsi setiap model bekerja untuk mengabadikan dualisme hirarki dari perdebatan moral yang dihasilkan oleh etika keadilan yang merupakan strategi pergantian. Untuk memahami sepenuhnya isu-isu dalam politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan dan relevansinya dengan politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan moral, terlebih dahulu harus mempertimbangkan etika keadilan dan etika kepedulian. Selanjutnya kita akan merenungkan dua isu tambahan yang telah menjadi pusat pada perdebatan keadilan dan kepedulian sifat hubungan antara dua etika dan dua gender. Ini menyebabkan pertimbangan dari beberapa strategi yang berbeda yang diadopsi untuk melebihi dikotomi keadilan dan kepedulian. Apa yang telah muncul dalam teori feminis akan dilambangkan sebagai perspektif ”etika keadilan” adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Immanuel Kant, dengan jelas memperdebatkan kerangka historis, universal untuk mendasarkan klaim-klaim moral. Kant berusaha menjelaskan dan membentuk dasar objektif dari moralitas. Dia menolak semua usaha untuk mendasarkan moralitas pada pengalaman dan bekerja untuk membentuk eksistensi dari hukum moral dasar, universal, objektif untuk semua sifat rasional. Yang mengkarakteristikan imperialitas sebagai PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
26
konsepsi pemikiran moral yang menganggap bahwa agar agen melepaskan egoisme, dan mencapai objektivisme, dia harus mengadopsi sudut pandang universal yang sama untuk semua agen rasional. Penekanan terhadap pelepasan dari konteks, sebagaimana dengan rasionalisme, dipandang sebagai alat yang mempertinggi kekhususan emosional yang menarik dan pencapaian sudut pandang universal.
Ketidakadilan Gender Merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih. Ketidakadilan gender dapat bersifat : Langsung (Perbedaan perlakuan secara terbuka, baik disebabkan perilaku atau sikap norma/nilai maupun aturan yang berlaku). Tidak Langsung (Seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu). Sistemik (Ketidakadilan yang berakar dalam sejarah atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan). Adapun bentuk diskriminasi gender : Marginaslisasi (peminggiran), biasa dalam bidang ekonomi. Subordinasi (penomorduaan), menganggap perempuan lemah. Stereotype (citra buruk), serangan fisik dan psyikis. Beban kerja berlebihan. Asma Barlah, penulis buku Cara Quran Membebaskan Perempuan mengatakan inti dari ketidaksetaraan gender adalah pencampur-adukan antara biologis (jenis kelamin) dan makna sosialnya (gender). Begitu juga Marshall Sahlin berpendapat bahwa ketidakadilan gender merupakan subordinasi hal simbolik dibawah hal alamiah.
Al-Quran (Islam) dan Kesetaraan Shahin Iravani dalam tulisannya menyebutkan Islam selalu mempunyai definisi sendiri tentang hak-hak perempuan, juga sebuah definisi yang jelas mengenai posisi perempuan. Meskipun memiliki perbedaan biologis tetapi mempunyai kedudukan yang sama secara etis-moral. Menurut Al-Quran, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis kelamin adalah bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan mengakui satu sama lain. Dalam Al-Quran laki-laki dan perempuan justru bersumber dari diri yang sama, pada saat yang bersamaan dan dengan cara yang sama, artinya keduanya adalah setara dan berasal dari sumber yang sama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
27
Laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas agensi, pilihan dan individualitas moral yang sama, yaitu : 1. Al-Quran menetapkan standar perilaku yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dan menetapkan standar penilaian yang sama bagi keduanya, artinya Al-Quran tidak mengaitkan agensi (wakil) moral dengan jenis kelamin tertentu. 2. Al-Quran menyebut laki-laki dan perempuan sebagai penuntun dan pelindung satu sama lain, dengan menyebutkan bahwa keduanya mampu mencapai individualitas moral dan memiliki fungsi penjagaan yang sama terhadap satu sama lain. Prinsip-prinsip kesetaraan (dalam buku perempuan dalam pasungan) : 1. (Adam dan Hawa) sama-sama menjadi hamba dan khalifah dibumi, termaktub dalam Al-Quran surat Az-Zariyat (51) : 56, Al-Hujarat (49) : 13, An-Nahl(16) : 97, Al-An‟am (7) : 165, Al-Baqarah (2) : 30. 2. (Adam dan Hawa) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis. a. Keduanya diciptakan disurga dan memanfaatkan surga. (Al-Baqarah (2) : 35). b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Al-A‟raf (7) : 20). c. Keduanya makan buah kuldi dan sama-sama menerima akibat jatuh dibumi (Al-A‟raf (7) : 22). d. Keduanya mohon ampun dan sama-sama diampuni (Al-A‟raf (7) : 23). 3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial, berikrar akan keberadaan Tuhan (Al-A‟raf (7) : 172). 4. Sama-sama berpotensi meraih prestasi, (Ali-Imran (3) : 195, An-Nissa (4) : 124, Al-An‟am (6) : 97, Al-Mukmin (40) : 40). Gender Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
28
dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979). Androgynous Kebanyakan dari kita melihat maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang berada di dua ujung kutub dari satu kontinum (Storm, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ). Oleh karena itu kita berasumsi bahwa semakin maskulin seseorang, maka semakin kurang feminin ia dan begitu pula kebalikannya. Sehingga, seorang pria yang memiliki sifat stereotipikal feminin seperti pengasuhan, tenderness, dan emosional sering dilihat sebagai kurang maskulin dibanding pria lain. Perempuan yang bersaing dengan laki-laki dalam dunia bisnis diterima bukan hanya lebih maskulin tapi juga kurang feminin dibanding wanita lain. Beberapa ilmuwan behavioral berargumen bahwa maskulinitas dan femininitas sebenarnya membandingkan dua dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Bem, 1975; Spence at al.,1975; Helmreich et al, 1979 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Orang yang memiliki maskulinitas tinggi, baik laki-laki maupun wanita dapat pula memiliki sifat feminin dan kebalikannya. Orang yang mempertunjukkan keasertifan dan keterampilan instrumental yang bersifat maskulin berjalan beriringan dengan pengasuhan dan kerjasama yang bersifat feminin yang cocok dengan maskulinitas dan femininitas peran gender. Mereka ini disebut telah menunjukkan psychological androgyny. Orang yang tinggi dalam assertiveness dan keterampilan instrumental hanya cocok dengan stereotipe maskulin. Orang yang tinggi dalam sifat seperti pengasuhan dan kerjasama cocok dengan stereotipe feminin. Orang yang rendah di pola stereotipe maskulin dan feminin dilihat sebagai “undifferentiated” merujuk pada stereotipe peran gender. Orang yang psychologically androgynous mampu untuk memanggil range yang lebih luas dari sifat maskulin dan feminin untuk menemukan tuntutan dari berbagai macam situasi dan untuk mengekspresikan hasrat dan bakat mereka. Terdapat pula bukti bahwa sifat feminin, seperti pengasuhan dan sensitivitas, muncul untuk memprediksi keberhasilan dalam hubungan intim-dengan laki-laki sebaik PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
29
dengan perempuan. Laki-laki androgynous lebih mungkin untuk mengekspresikan perasaan cintanya kepada pasangannya dan lebih dapat menerima kesalahan pasangannya daripada tipe maskulin (Coleman & Ganong, 1985 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ). Remaja maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk lebih popular dan memiliki harga diri yang tinggi dibanding remaja lain (Lamke, 1982 dalam Spencer&Jeffrey, 1993) . Hal ini tidak mengejutkan, merupakan hal yang biasa bahwa remaja laki-laki lebih sejahtera apabila memiliki stereotipe sifat maskulin. Namun yang lebih mengejutkan, adalah para remaja perempuan juga lebih sejahtera ketika mereka mempertunjukkan stereotip sifat maskulin, seperti assertiveness dan kemandirian. Terlihat bahwa perempuan muda tidak beresiko apabila orang lain mempertanyakan femininitas mereka apabila mereka mempertunjukkan sifat maskulin, menyediakan lebih banyak bukti bahwa konstelasi dari sifat yang kita sebut maskulinitas dan femininitas merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Laki-laki dan perempuan yang psychologically androgynous lebih merasa nyaman dengan seksualitas mereka daripada laki-laki maskulin dan wanita feminin (Wolfish & Mayerson, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Dari berbagai macam sudut pandang, kita telah memeriksa bahwa laki-laki termasuk dalam kelompok standardisasi menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda dalam mengeksploitasi dan berpetualang, di outdoor, dan secara fisik memiliki pekerjaan yang sibuk, dalam bidang perlengkapan dan mesin, ilmu sains, fenomena fisik, dan penemuan. Di pihak lain perempuan dalam kelompok kita telah menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda pada pekerjaan domestik dan pada objek dan pekerjaan estetik, mereka secara berbeda memilih pekerjaan yang menetap dan pekerjaan indoor, pekerjaan tersebut
lebih
ministrative
secara
langsung,
khususnya
bagi
orang
muda,
ketidakberdayaan, distress yang muncul. Laki-laki secara langsung maupun tak langsung memuat self-assertion yang lebih besar dan juga agresivitas : mereka lebih mengekspresikan kepayahan dan ketidaktakutan, lebih kasar dalam perbuatan, bahasa dan perasaan. Perempuan mengekspresikan diri sendiri lebih mudah terharu dan simpatik, lebih malu-malu, lebih pemilih dan sensitif secara estetik, secara umum lebih emosional, lebih kuat memegang moral, lebih lemah dalam mengendalikan emosi dan lemah dalam hal fisik. Orang-orang maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk memiliki harga diri yang lebih tinggi dan secara umum lebih baik dalam menyesuaikan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
30
secara psikologis daripada orang yang feminin atau undifferentiated. Contohnya penelitian yang menyatakan bahwa individu laki-laki maupun perempuan yang androgini dikatakan lebih baik dibandingkan individu yang menganut tipe gender pada umumnya (Major, Carnevale,&Deaux, 1981 dalam Baron&Byrne 1979), lebih kreatif dan optimis (Norlander, Erixon,&Archer, 2000 dalam Baron&Byrne 1979), lebih ,mudah menyesuaikan diri (Williams&D‟Alessandro, 1994 dalam Baron&Byrne 1979), lebih baik
dalam
beradaptasi
dengan
permintaan
dari
situasi
yang
berbeda-beda
(Prager&Bailey, 1985 Baron&Byrne 1979), lebih fleksibel dalam menangani stress (McCall&Struthers, 1994 Baron&Byrne 1979), lebih baik dalam mengurangi stress orang lain (Hirokawa et al, 2001 dalam Baron&Byrne 1979), lebih tidak rawan terkena eating disorder (Thornton, Leo,&Alberg, 1991 dalam Baron&Byrne 1979), lebih nyaman dengan seksualitasnya (Garcia, 1982 dalam Baron&Byrne 1979) dan lebih puas dengan hubungan interpersonalnya (Rosenzweig&Daley, 1989 dalam Baron&Byrne 1979) dn dengan kehidupannya secara umum (Dean-Church&Gilroy, 1993 dalam Baron&Byrne 1979). Selanjutnya hal ini muncul bahwa keuntungan tersebut lebih berkaitan secara kuat dengan kehadiran sifat maskulin daripada kombinasi antara sifat maskulin dan feminin (Bassoff & Glass, 1982; Whitley, 1983 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Sehingga, sifat maskulin seperti assertiveness dan independence dapat dikaitkan dengan psychological well-being, walau dengan atau tanpa adanya ia dikombiansikan dengan sifat feminin seperti kehangatan, pengasuhan dan kerjasama. Kehadiran dari kepribadian yang maskulin hadir pada satu sampel dari mahasiswa yang lebih kuat diasosiasikan dengan kemampuan beradaptasi dan kecakapan dalam berbagai hal daripada androgyny (Lee & Scheuree, 1983 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa mahasiswa androgynous lebih mungkin untuk memiliki sense of personal identity dan intimacy ketimbang mahasiswa feminin, undifferentiated dan maskulin (Schiedel & Marcia, 1985 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Sehingga mereka lebih mungkin dalam mengembangkan sebuah sense yang kuat mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka percayai (identitas)., dan mereka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk membentuk dan menjaga keintiman, hubungan berbagi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
31
Mengapa peran gender tradisional masih kuat pada abad 21? Seiring semakin tuanya usia dunia ini, cerita panjang mengenai perbedaan lakilaki dan perempuan dimana laki-laki lebih superior dibanding perempuan sudah terbentuk. Contohnya pada tradisi Judeo-Christian dimana laki-laki didisain sebagai pemilik dari keluarganya (Wolf, 1992 dalam Baron&Byrne 1979). Selain itu pada konteks nonreligi, terdapat buku anak-anak yang menghadirkan tokoh laki-laki dan perempuan dari berbagai umur sesuai dengan stereotip gender tradisionalnya, contohnya pada tayangan sesame street. Sementara pada masa sekarang, pembedaan gender terus berlanjut pada permainan-permainan komputer dan software lainnya, seperti Barbie fashion design untuk anak perempuan. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan bertahannya stereotip gender dan superioritas laki-laki dan mempengaruhi tingkah laku serta harapan pada laki-laki dan perempuan. Indikasi bahwa stereotip gender mulai luntur adalah penelitian bahwa mahasiswa sekarang ini sudah sering tidak mempedulikan stereotip gender dan tidak memperhatikan perbedaan gender (Swim, 1994 dalam Baron&Byrne 1979). Contohnya pada tahun 1931 mahasiswa Amerika lebih asertif dalam hal berkencan dibanding perempuan, sedangkan pada tahun 2001 sudah tidak ada perbedaan. Contoh lainnya adalah pada tahun 1970 sudah mulai muncul buku-buku yang tidak lagi membedakan gender, seperti buku „He Bear, She Bear (1974) yang mengandung pesan : “There‟s nothing that we cannot try. We can do all this things you see, wether we are he or she”. Teori Gender Expectations Gender expectations atau pengharapan akan jender membawa kita untuk lebih memilih laki-laki untuk posisi otoritas dan meletakkan wanita pada peran sub-ordinat atau hanya sebagai pelengkap. Di dalam keluarga, kelompok dan organisasi sosial, pria mempunyai status yang lebih tinggi daripada wanita (Betz & Fitzgerald, 1987; England, 1979; Kanter, 1977; Lovdal, 1989; Needleman & Nelson, 1988; Scanzoni, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999). Peran status tinggi memerlukan dominansi, kecerdasan, rasionalitas, objektifitas, inisiatif, kepemimpinan, dan penetapan keputusan (Secord, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999). Perlu dicatat bahwa karakteristik tersebut mirip dengan stereotipe maskulin, karena hanya laki-laki yang terlihat memiliki peran autoritas , mereka butuh memperlihatkan tingkah laku mereka agar dikarakterkan maskulin (Beal & Sternberg, 1999). PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
32
Sebaliknya, peran pelengkap memberikan kesempatan yang kecil untuk memiliki tingkah laku tersebut di atas. Mereka dianjurkan untuk bersifat tergantung (superior mengatur penghasilan dan pekerjaan mereka, dan pelengkap tersebut harus menunggu perintah pihak superior), menyesuaikan dan memiliki rasa hormat terhadap keputusan pihak superior, sensitif terhadap kebutuhan pihak superior, serta merawat pihak superior tersebut (Secord, 1982; Snodgrass, 1985, 1992 dalam Beal et. al., 1999). Pada zaman dahulu, semua wanita dilihat dalam posisi sub-ordinat atau pelengkap. Lalu, tingkah laku yang dibutuhkan untuk peran tersebut dikarakteristikan sebagai feminin (cf. Rothbart, Fulero, Jensen, Howard, & Birrell, 1978; both Unger, 1976,1978, and Henley, 1977 dalam Beal et. al., 1999). Sebagai akibat dari stereotipe-nya dan peran tingkah laku mereka, wanita lalu dilihat secara alami hanya cocok untuk posisi sub-ordinat. Dan seperti juga wanita, karena hanya laki-laki yang diharapkan untuk peran status yang tinggi, sikap mereka disebut sebagai maskulin, dan hanya laki-laki yang diharapkan untuk cocok dalam posisi otoritas. Pengukuran mengenai orientasi nilai menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai berdasarkan perbedaan kohort. Misalnya Laki-laki dan perempuan yang berusia sekitar 20 sampai 30 tahun memiliki orientasi yang kurang pada keluarga dan lebih berorientasi pada karir dan menjadi lebih berorientasi pada keluarga di usia 30 sampai 40. Perbedaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh keadaan sosiokultural dan budaya. Menurut Helson (1993 dalam Papalia, 2003) menyatakan bahwa menurut pandangan Jung, kualitas tertinggi dari wanita pada usia 50an diasosiasikan dengan otonomi dan keterlibatan dalam hubungan intim (intimate relationship). Menurut Gutmann, peran gender tradisional menekankan pada keamanan dan kesejahteraan perkembangan anak, dimana ibu berperan sebagai pengasuh dan ayah penyedia sumber daya. Ketika masa pengasuhan anak sudah berlalu, yang berlaku bukan lagi sekedar menyeimbangkan peran laki-laki dan perempuan, namun sudah mengarah pada pembalikan peran, atau yang disebut juga dengan gender crossover. Sex-role ideology Kepercayaan normatif atau preskriptif mengenai sifat hubungan peran yang tepat antara perempuan dan laki-laki disebut sex-role ideology. Dalam masyarakat tradisional, laki-laki biasanya dipandang lebih dominan dan/atau lebih penting dibandingkan perempuan, sedangkan di masyarakat modern, seseorang melihat pergerakan lebih PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
33
menuju pada hubungan yang lebih egaliter. Mereka mengharapkan variasi menyeberangi negara dalam kepercayan yang umum maupun tipikal mengenai ketepatan variasi pelaksanaan sosial yang melibatkan perempuan dan laki-laki, seperti tanggung jawab dalam mengurus anak atau bekerja di luar rumah, dievaluasi sepanjang skala modern/tradisional. Tambahannya, sepertinya beralasan untuk mengharapkan bahwa terdapat variasi terukur pada sex-role ideology diantara banyak individu pada negara tertentu dan variasi ini terkait secara sistematik dengan self-concept dari individu. Sebuah hipotesis prori yang beralasan bahwa semakin maskulin laki-laki dan semakin maskulin perempuan akan memegang kepercayaan secara relatif akan peran sex yang bersifat tradisional, sedangkan orang yang lebih androgynous, dari kedua sex, secara relatif lebih egaliter. Self Concept pada Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan stereotip seks ditinjau dari kebudayaan, dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan secara psikologis berbeda dalam beberapa dimensi dan model yang disediakan oleh stereotip tersebut akan mendorong laki-laki dan perempuan untuk menggambarkan diri mereka secara berbeda. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak belajar tentang stereotip seks sejak usia awal. Kebanyakan anak usia 5 tahun telah mempelajari beberapa komponen utama dari stereotip seks dan semakin meningkat selama usia awal sekolah hingga usia 11 tahun. Anak tumbuh dalam masyarakat yang percaya bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara psikologis dan hal ini akan mendorong anak untuk mempersepsikan diri mereka dengan cara yang kongruen dengan model gender mereka. Kebanyakan masyarakat memberikan sosialisasi yang berbeda, anak laki-laki diperlakukan secara berbeda dan didorong untuk terlibat dalam jenis kegiatan tertentu sedangkan anak perempuan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang berbeda dengan anak laki-laki. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan itu dan asosiasi terhadap reward memberikan alasan lain bagi perempuan untuk mempersepsikan dirinya berbeda dengan laki-laki dan hal ini menimbulkan harapan yang berbeda terhadap ideal selves laki-laki dan perempuan.. Ada banyak studi yang mempertanyakan tentang perbedaan self concept antara laki-laki dan perempuan dan diantaranya ditemukan bahwa perbedaan self concept di dalam kedua kelompok gender yaitu antara perempuan dan perempuan atau laki-laki PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
34
dengan laki biasanya lebih besar daripada rata-rata perbedaan antara kedua kelompok gender yaitu antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kepribadian antar perempuan dan antar laki-laki lebih besar daripada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Psychological Androginy Isu penting dalam psikologi androgin adalah pertanyaan tentang perbedaan self esteem individu dalam skor androgin. Hasil penelitian menemukan bahwa jika dihadapkan dengan atribut positf dari maskulin atau feminin, orang yang mempunyai self esteem yang tinggi cenderung menyeleksi sejumlah besar atribut positif yang diasosiasikan dengan laki-laki maupun atribut yang diasosiasikan dengan perempuan dan inilah yang diklasifikasikan sebagai androgynous sedangkan orang dengan self esteem yang rendah cenderung hanya memilih sedikit dari atribut positif maskulin atau feminin sehingga digolongkan sebagai undifferentiated. Penemuan lain membuktikan bahwa individu androgynous mempunyai self esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu undifferentiated atau sex-differentiated khususnya individu dengan tipe feminin (Bem, 1997; Kelly & Worell, 1977; Spence et al,1975). Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan atribut laki-laki dan perempaun yang keduanya mempunyai nilai positif dan negatif, self esteem individu androgynous akan menjadi berkurang Analisis Gender dan Sex Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori gender sebagai alat analisis sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan beragama, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan. Kata Gender sendiri berasal dari bahasa atau kata Inggris yang berarti suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berprilaku. Secara estimologis, gender berasal dari bahasa latin (Italy) yaitu Genus yang berarti tipe atau jenis. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses pada budaya yang menciptakan perbedaan gender. Gender dapat diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
35
Perbedaan krusial antara seks dan gender adalah kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi fisik dan anatomi biologis. Istilah seks (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “Jenis Kelamin”) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang, meliputi komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi sosial gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa dinamikanya, namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Gender juga dapat menjadi komoditas politik, pengalaman sejarah menunjukkan pemerintah kolonial, pengabar injil berkulit putih serta pengusaha telah membawa konsep gender dari struktur sosial mereka mencoba mengintroduksikannya pada masyarakat pribumi. Kegiatan ini menyebabkan dampak yang merusak bagi posisi dan kedudukan kaum perempuan pribumi yang berujung pada hilangnya hak, akses terhadap pekerjaan, kedudukan dan pengambilan keputusan dilingkungan Negara maupun keluarga. Terkadang penguasa kolonial juga menggunakan konsep gender untuk kepentingan ekonomi mereka, semisal untuk mempertahankan akses mereka terhadap tenaga kerja perempuan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai konsekuensi wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang berbeda. Untuk merubah prilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa laki-laki dan prempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari perbedaan biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial dan budaya telah turut mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu: 1. Teori Nurture : Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya
adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
36
terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orangorang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar “kesamaan” atau fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kuantitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri, militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negative dari kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut
2. Teori Nature : Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat
yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah. Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga tidak dapat berubah dan bersifat universal. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masingmasing. Dalam kehidupan sosial, ada pembagian tugas (division of labour), begitu pula dalam kehidupan keluarga karena tidaklah mungkin sebuah kapal dikomandani oleh dua PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
37
nakhoda. Talcott Persons dan Bales (1979) berpendapat bahwa keluarga adalah sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.
3. Teori Keseimbangan : Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori
yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya. Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan), bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota) dan tidak bersifat universal.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
38
Jadi, dalam pembahasan gender dikenal tiga pendekatan, yaitu teori nature, teori nurture, dan teori equilibrium, seperti dalam skema berikut :
Dalam pengertian identitas gender adalah defenisi seseorang tentang dirinya, khususnya dirinya sebagai perempuan dan berbagai karakteristik perilakunya yang ia kembangkan sebagai hasil proses sosialisasi. Sesuai dengan defenisi diatas, konsep gender tampak berlaku fleksibel, berbedabeda dalam ruang dan waktu dan bisa diubah. Identitas gender diperoleh melalui proses belajar, proses sosialisasi dan melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Karena tidak heran apabila identitas gender telah memberi label tentang jenis pekerjaan yang boleh atau layak dan tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Sebagai contoh pembagian kerja seksual dirumah tangga yang berlaku umum PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
39
paling tidak ditingkat ideology tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga dan tugas laki-laki adalah mencari nafkah. Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya: Perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-iri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Hilary M. Lips dan S.A. Shield, membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki memegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex). Hilary Lips, membedakan kata sex sebagai (ciri-ciri biologis, fisik tertentu, jenis kelamin biologis) Sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis (kodrat), individu dilahirkan sebagai seorang laki-laki atauseorang perempuan. Gender lebih mendekatkan arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial. The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995) menyatakan, gender adalah pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu. Illch (1998) menyatakan, gender merupakan salah satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan jenis kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata-kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin, dan netral. Fredrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis) akan tetapi merupakan divine creation. Engles memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal dengan adanya surplus penghasilan. mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal dengan adanya pemilikan secara pribadi. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
40
Oakley (1972) menyatakan dalam Sex, Gender and Society memberi makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan Universal berbeda. Sementara Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat ataubahkan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Caplan (1987) menyatakan dalam The Cultural Construction of Sexuality menegaskan bahwa perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan selain secara biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural . Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role) sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah, atau tidak perlu digugat. Kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bias hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidikan anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Persoalannya adalah ternyata peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki. Selain itu ternyata peran gender melahirkan masalah yang perlu digugat, yakni “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut. Manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan gender, yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin, akibat dari program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. 2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang umumnya pada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa “menganggap penting” kaum perempuan. Misalnya, anggapan “karena perempuan toh nantinya akan ke dapur, mengapa harus sekolah tinggitinggi”.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
41
3.
Pelabelan negative (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama kaum perempuan dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang dilabelkan pada kaum perempuan yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.
4.
Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan (seksual harassment) dan penciptaan ketergantungan.
5. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain “peran gender” perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menjadikan rasa bersalah bagi perempuan yang tidak melakukannya, sementara bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak tradisi dilarang untuk berpartisipasi. Kesemua manifestasi ketidakadilan gender tersebut di atas adalah saling berkaitan dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu“tersosialisasi” baik kaum lelaki maupun perempuan secara mantap, yang lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak lagi dapat dirasakan adanya sesuatu yang salah. Analisis gender di atas memberi perangkat teoritik untuk memahami sistem ketidakadilan gender. Kedua jenis kelamin baik pria maupun perempuan, bisa menjadi korban dari ketidakadilan gender tersebut. Namun karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan, seolah-olah analisis gender hanya menjadi alat perjuangan kaum perempuan. Analisis gender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk menjelaskan sistem ketidakadilan. Tanpa analisis gender gerakan feminisme akan menjadi reduksionisme, yang lebih memusatkan perhatian perubahan sosial bagi kaum perempuan belaka. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
42
mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melnggengkan penindasan gender. Lebih
lanjut,
analisis
gender
ini
memungkinkan
gerakan
feminisme
memfokuskan pada relasi (struktur) gender serta keluar dari pemikiran yang memfokuskan pada ”perempuan”. dengan demikian, yang menjadi agenda utama setiap usaha perubahan sosial tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis atau merubah kondisi kaum perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni memperjuangkan posisi kaum perempuan, termasuk konterhegemoni dan konter discourse terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dalam teori ini yang dianggap sesuai dengan teori gender adalah teori gerakan feminisme.
Gerakan Feminisme
Gerakan feminisme, kata feminisme dipelopori pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. kemudian pergerakan Center Eropa feminisme ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi dari John Stuart Mill, yaitu The Subjection of Woman (1869). Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pengekangan terhadap kebebasan kaum perempuan. Dimana feminisme merupakan suatu gerakan politik di beberapa negara barat yang memiliki perempuan sebagai fokus perhatiannya. Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dengan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah (domestik). Inti dari pandangan feminisme adalah: bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
43
Sejarah lahirnya gerakan feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya. Dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley dan Marquis De Condorcep. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middlesburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian, pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu dimana ada masamasa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamenatalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah “merdeka”. Biasanya mereka itu dari kalangan wanita karir yang sukses, punya prestasi, punya background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara dengan laki-laki atau perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cendrung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi Revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap kaum-kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Women yang isinya dapat meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahuntahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: Gender Inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotype, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, di tandai dengan lahirnya Negaranegara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa, lahirnya Feminisme Gelombang kedua PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
44
pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminisme Perancis seperti Helena Cixous dan Julia Kristeva bersama dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan White Anglo-Amerika-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara spesifik, banyak feminisme-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan objek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia, da Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretense universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa penelitian feminisme barat yang menjebak perempuan sebagai objek. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “All Women”. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subjek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD-II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-Negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga menjadi objek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, dan relasi sosial. Dalam gerakan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
45
feminisme ini ada beberapa aliran feminisme yang berkaitan, yaitu aliran feminisme liberal dan aliran radikal. Aliran Feminisme Liberal Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft (1759-1799) dalam tulisan “The Vindication of The Right of Woman” dan John Stuart Mill dalam tulisannya “The Subjection of Women”, kemudian Betty Frei dan dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”. Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik.20 “Masyarakat beranggapan bahwa perempuan dipengaruhi oleh kondisi alamiah yang dimilikinya, karena kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibanding laki-laki. Oleh karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Anggapan inilah yang disangkal oleh feminisme liberal. Menurut mereka, manusia, perempuan atau laki-laki diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan harus pula mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Menurut perspektif ini, jika leluasa berperan diluar rumah, perempuan pun akan dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Jadi, bukan kondisi alamiah perempuan yang menyebabkan mereka kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik seperti laki-laki, melainkan persepsi masyarakatlah yang menentukan bagaimana seorang laki-laki dan perempuan berfikir, bertindak, dan berperasaan agar perempuan dapat berkembang seperti laki-laki. Perempuan harus berpendidikan sama seperti laki-laki. Dalam tradisi feminisme liberal, penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk merubahnya, yaitu menambah kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan partisipasi perempuan. Perubahan-perubahan sosial tersebut menyediakan argumen-argumen politik maupun moral untuk gagasan-gagasan mengenai kemajuan, kontrak, sifat dasar dan alasan yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Akar teori feminisme liberal ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional, oleh sebab itu asumsi dasar dari feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
46
dan publik. Perempuan adalah makhluk rasional kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki . Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan lakilaki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaran dan keadilan dalam berbagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan ”persamaan dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi ideologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentukbentuk feminisme liberal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural. Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing didunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki. Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan (ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan (equality) haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Wolf memaparkan isu persamaan (equality) hak antara laki-laki dan perempuan serta perluasan hak-hak individu. keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan yang populer disebut women in development. Intinya ialah semua aksi pergerakan perempuan dilakukan sedikit demi sedikit tanpa mengganggu status quo kekuasaan. Pada akhirnya laki-laki harus dipaksa memberikan tempat pada perempuan dalam segala kehidupan. Dengan menekankan bahwa untuk mengatasi rintangan sosial yang dihadapi perempuan diperlukan campur tangan pemerintah. Karena aliran feminisme liberal memandang sampai sekarang campur tangan pemerintah masih kurang peduli dengan masalah perempuan tersebut. Selain aliran feminisme liberal, ada salah satu aliran yang harus diperhatikan dalam gerakan feminisme yaitu aliran feminisme radikal.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
47
Aliran Feminisme Radikal
Feminisme radikal ini muncul pertama kali sejak pertengahan tahun 1970an dimana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan” pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang “radikal” aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempersalahkan antara lain tumbuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The Personal is Political” menjadi gagasan yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai pada ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditunjukkan kepada feminisme radikal. Pada hal, karena pengalamannya membongkar persoalanpersoalan privat inilah Indonesia memiliki UU RI No. 23 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT). Teori feminisme radikal ini menganut paham sosialis dan tokoh dari paham sosialis ini adalah Marxis, menurut Marx “tidak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan. Tidak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme radikal sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh N. Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran perempuan. Agenda untuk meneranginya adalah menghapus kapitalisme dari sistem patriarki. Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem ketidakadilan, PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
48
ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan (equality), banyak orang yang mempelajari teori gender dan politik dari persfektif kesetaraan (equality) sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami berbeda dalam lingkungan politik. Selain kesetaraan (equality), keadilan (justice) pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai perspektif, etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Adapun ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan (equality), kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Sastra Feminis Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan pada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat marjinal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan / kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
49
Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 : 186). Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan : sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peranperan yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49). Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculinefeminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184). Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal (Tong, 1998 :71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985 : 137). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202). Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
50
Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998 :72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi Diri terhadap laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-nilai kutural dan bukan oleh hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan dan teori feminism berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok “yang lain”, yang termajinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi. Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba cerdas kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan manusia dari masyarakat iirasional. Studi kultural juga mempersoalkan hubungan antara budaya dan kekuasaan yang mempertanyakan konsep-konsep konvensional menyangkut kebenaran, nilai, kesatuan, dan kestabilan. Oleh karena itu, karya sastra akan dilihat sebagai teks yang merupakan objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang beragam. Teks diterima dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya di mana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi (Cavallaro, 2001 : 109-110). Jadi, teks bersifat intertekstual dan sekaligus subjektif atau dengan kata lain, teks bersifat intersubjektif. Artinya teks tergantung pada bagaimana penafsiran-penafsiran yang diajukan orang lain dalam kodePIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
51
kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan dengan demikian disahkan atau ditolak (Cavallaro, 2001 : 110-111). Julia Kristeva dan Roland Barthes menyatakan bahwa teks dibentuk oleh kodekode dan konvensikonvensi budaya serta mewujudkan ideologi tertentu. Lebih jauh Kristeva dan Barthes memperlihatkan hubungan antara teks dan tubuh, memperlihatkan keterkaitan antara tekstualitas dan fisikalitas. Kristeva memperkenalkan symbolic, yaitu tanda-tanda yang dihubungkan dengan simbol-simbol kekuasaan dominan dan menekan tubuh dengan menundukkan dorongan-dorongan pada hukum abstrak. Secara seksual, simbolik memapankan perbedaan-perbedaan yang ketat antara maskulinitas dan feminitas, heteroseksual dan homoseksual; secara kultural, simbolik mengharuskan individu-individu untuk patuh pada struktur politik, agama, kekeluargaan, hukum, dan ekonomi (Cavallaro, 2001 : 120-121). Melalui konsep hegemoni, Antonio Gramci mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang memungkinkan sebuah sistem dalam mempertahankan kekuasaannya. Hegemoni berkembang dengan cara meyakinkan kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan melekat dalam kehidupan manusia. Kaum perempuan, juga kaum gay dan kaum kulit berwarna, dipandang menyimpang dari norma-norma patriarkal, heteroseksual, dan masyarakat kulit putih. Perempuan dipandang sebagai Liyan berdasarkan jenis kelamin biologisnya, posisi gendernya dalam suatu budaya, serta berdasarkan latar bealkang etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan kemampuan serta ketidakmampuan fisik maupun psikologisnya (Cavallaro, 2001 : 223-224). Pendekatan Feminisme Dalam Studi Gender Kritik para feminist terhadap sexism di dalam wacana dan praktek ilmu social menghasilkan beraneka macam formulasi. Tetapi secara umum terdapat tiga hal penting (Stanley dan Wise 1983:17, 1990:21). Pertama, pendekatan feminis di dalam riset ilmu social memfokuskan pada kelompok perempuan, riset harus dilakukan oleh peneliti perempuan yang feminis untuk para perempuan. Kedua, peneliti feminis melihat bahwa ada perbedaan pandangan antara metode-metode kwantitatif yang cenderung bersifat maskulin dan metode-metode kwalitatif yang dipakai feminis. Yang ketiga adalah bahwa penelitian feminis memang memiliki tujuan politis yakni untuk mengubah kehidupan kaum perempuan. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
52
Nampaknya pendapat Stanley dan Wise di atas memang cukup meyakinkan karena kenyataannya memang banyak sekali peneliti feminis cenderung memilih kelompok perempuan sebagai obyek penelitian mereka. Kecenderungan ini bisa dipahami karena para peneliti feminis menganggap bahwa riset social dan budaya yang selama ini dilakukan oleh para peneliti pria cenderung memarginalkan peran perempuan. Sehingga mereka perlu melakukan suatu penelitian yang akan memperlihatkan kepada dunia tentang keberadaan perempuan. Namun, pendekatan feminis yang menekankan pada penelitian tentang perempuan, untuk perempuan dan oleh perempuan (on, for and by women) tidak cukup memuaskan untuk mengangkat pentingnya isu perempuan di ranah penelitian ilmu social. Masih terlalu sedikit penelitian yang dilakukan perempuan tentang perempuan yang memberikan hasil positip bagi perempuan. Kebanyakan justru memberikan hasil yang sangat negatip bagi perempuan. Di bidang bahasa, misalnya, banyak orang, termasuk para ahli linguistik feminis, menyudutkan perempuan karena tergesa membuat kesimpulan bahwa praktek berbahasa perempuan tidak standard dan buruk. Seperti kita lihat dari hasil penelitian Lakoff (1975) dan Kramer (1977). Kedua ahli linguistic ini menyatakan bahwa praktek berbahasa laki-laki lebih efisien, otoritatif, serius, efektip, dan berwibawa. Ciri-ciri ini menunjukkan sisi positip dari bahasa laki-laki. Sedangkan praktek berbahasa perempuan dianggap sepele, ragu-ragu, hiper-sopan, atau euphemistik. Ternyata dalam proses penelitiannya kedua ahli linguistik ini telah menggunakan bahasa laki-laki sebagai norma atau standard untuk menilai praktek berbahasa perempuan. Karena bahasa laki-laki telah dijadikan ukuran yang baku, maka dengan sendirinya praktek berbahasa kelompok perempuan akan nampak seperti “deviasi” dari bahasa standard. Penelitian seperti dilakukan oleh Lakoff dan Kramer di atas dikiritik keras oleh Spender (1980). Spender menganggap bahwa penelitian semacam itu secara metodologis bias gender dan memarginalkan posisi perempuan. Dari contoh penelitian kedua ahli linguistik di atas, kita bisa membuat kesimpulan bahwa penelitian tentang perempuan oleh peneliti perempuan tidak menjamin akan memberikan banyak manfaat bagi perempuan. Tetapi di sisi lain, bila penelitian yang dilakukan oleh perempuan memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan mungkin akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang selama ini terbungkam. Ada satu contoh berbeda yakni penelitian feminis yang dilakukan oleh Dale Spender (1986) di bidang sastra. Spender melakukan penelitian tentang asal mula tradisi PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
53
penulisan novel Inggris. Ia, seperti halnya kritikus sastra lainnya, berasumsi bahwa perintis novel Inggris adalah para pengarang laki-laki. Pada awal risetnya, Dale Spender dipengaruhi oleh anggapan bahwa sebelum Jane Austen tidak pernah ana novelis perempuan. Perlu diketahui bahwa sejarah tentang penulis novel Inggris banyak dipengaruhi oleh tulisan Ian Watt (1957), The Rise of the Novel. Watt hanya memfokuskan pengamatannya pada para penulis pria saja sehingga tradisi penulisan novel seolah-olah hanya dirintis oleh para penulis pria. Tidak mengherankan bahwa Dale Spenderpun juga memfokuskan penelitiannya kepada novel-novel yang ditulis perempuan sejak tahun 1800an, yakni ketika novel Sense and Sensibility (1811) ditulis. Namun ketika ia tengah menjalani proses penelitian, Spender berubah pikiran karena ia telah menemukan 100 novelis perempuan yang menulis karya jauh sebelum tahun 1800, tepatnya tahun 1600an. Karya-karya mereka tersisih tak dikenal. Penemuannya ini memberikan petunjuk bahwa kesuksesan Jane Austen tidak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi penulisan novel yang telah dirintis oleh para penulis perempuan jauh sebelum Jane Austen sendiri menulis karyanya. Anehnya, keseratus penulis perempuan tersebut tidak dikanonisasi. Para penulis sejarah sastra ternyata telah menyingkirkan karya-karya para pelopor novel perempuan dalam buku sejarah sastra mereka. Tidak diketahui secara pasti alasan mereka mengapa jumlah novel yang sebegitu banyak disingkirkan. Padahal, berdasarkan penelusuran sejarah yang dilakukan Spender (1986) banyak dari karya-karya tersebut yang mendapatkan respon positip baik dari para pembacanya maupun dari kalangan intelektual. Penelitian seperti yang dilakukan oleh Spender ini bagaikan membuka tabir dari sebuah realita, atau membongkar harta karun milik perempuan yang terkubut. Penelitian seperti ini sungguh sangat penting untuk melengkapi gap yang telah diciptakan oleh para peneliti terdahulu yang sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bias gender. Ada beberapa sebab mengapa peneliti perempuan gagal menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi perempuan. Pertama, karena mereka masih memakai ukuran dan norma penelitian tradisional yang cenderung “sexis” atau bias gender. Kenyataan ini nampaknya cukup rasional karena guru dan supervisor mereka adalah para peneliti/pakar laki-laki. Kedua, mereka belum mampu secara konsisten menggunakan perspektip perempuan dalam penelitiannya. Ketiga, dan yang paling penting, adalah bahwa mereka belum menyadari tentang perlunya seorang peneliti untuk mengambil “standpoint”, yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
54
oleh Dorothy Smith disebut “the standpoint of women” (standpoin perempuan). (Smith 1987: 78-88). Pendapat Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini didukung oleh banyak kalangan feminis. Mereka menganggap bahwa feminisme tidak hanya sekedar sebuah perspektip (cara memandang sesuatu), atau bahkan bukan sekedar sebuah epistemologi (cara mengetahui sesuatu), melainkan juga merupakan sebuah ontologi, yakni keberadaan seseorang di dunia ini. (Stanley 1990: 14; Weedon 1987). “The standpoint of women” diharapkan bisa sangat bermanfaat bagi para peneliti ilmu sosial agar mereka tidak terjebak pada kesimpulan-kesimpulan yang cenderung memarginalkan perempuan. Standpoint perempuan tidak sekedar berkaitan dengan jenis kelamin peneliti (perempuan) tetapi lebih pada kemampuan peneliti untuk menyadari, memahami dan merasakan posisi perempuan di dalam wacana kehidupan sehari-hari. Untuk menjelaskan tentang “the standpoint of women”, Smith mengambil analogi dari konsep Hegel di dalam The Phenomenology of Mind, tentang hubungan antara kesadaran majikan dan tenaga kerja buruhnya. Seperti dijelaskan oleh Smith (1987:79), Hegel menganalisa bahwa di dalam hubungan antara majikan dan buruh, seorang majikan yang menginginkan/membutuhkan sesuatu tidak perlu membuat barang itu sendiri. Obyek yang dikehendaki telah disediakan oleh pembantu atau buruh yang digajinya. Dengan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh majikannya, buruh selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan majikannya. Jadi di dalam hubungan antara buruh dan majikan, buruh tersebut bukan merupakan subyek yang memiliki otonomi. Di dalam kesadarannya, buruh hanya mengetahui keberadaan majikan, pelayanan yang ia berika, serta kaitan antara majikan dan obyek yang dikehendaki majikannya. Sebaliknya, di dalam kesadaran majikan terdapat kesadaran tentang dirinya sebagai subyek, kemudian obyek yang diinginkannya, dan buruh yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi obyek yang dibutuhkannya tersebut. Bilamana
konsep
Hegel
tentang
buruh
dan
majikandipakai
untuk
menginterpretasi pandangan Marx tentang perbedaan antara basis ideologi kelas penguasa (the ruling class) dan bisis kesadaran politis kelas buruh, makan akan diketemukan kemiripan antara kesadaran politis buruh dengan “standpoint of women”. Lebih jelasnya, Smith (1987: 79) menguraikan sebagai berikut: Bentuk-bentuk kesadaran sosial kita telah diciptakan oleh laki-laki yang menduduki posisi di dalam organisasi extralocal kekuasaan. Diskursus, pola pikir, teori, dan sosiologi telah menganggap bahwa kondisi menguasai itu tidak PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
55
ada. Jadi praktek riil yang membuat terjadinya tindakan menguasai itu tidak nampak. Perempuan berada di luar hubungan extralocal kekuasaan itu. Mereka, pada umumnya, berada dan berfungsi di dalam proses kerja yang menopang kekuasaan dan memiliki peran penting bagi kelangsungan kekuasaan itu.
Dari sudut pandang yang berkuasa (sudut pandang patriarki), kegiatan riil seharihari, dan organisasi kerja keseharian yang menopang keberadaan kelas penguasa (patriarki) dan kekuasaannya tidak terlihat. Jadi dari sudut pandang patriarki, aktivitas sehari-hari perempuan yang menopang keberadaan seluruh sistem patriarki dianggap tidak perlu, tidak ada artinya, bahkan tidak ada. Padahal, posisi yang menyangkut hal-hal rutin seperti pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak merupakan posisi yang diduduki perempuan. Posisi ini menopang dan memungkinkan laki-laki menguasai dunia konseptual yang abstrak. Oleh karena itu, berdasarkan logika patriarki atau ilmu sosial tradisional, perempuan yang memasuki dunia konseptual seperti misalnya menjadi peneliti atau intelektual ilmu sosial harus melepaskan diri dari konteks yang berkaitan dengan semua hal yang dilakukannya sehari-hari. Yang diusulkan oleh Smith (1987:84) adalah agar peneliti perempuan memiliki standpoint yang spesifik perempuan. Artinya, ia tidak boleh melepaskan diri daro locus kehidupannya sehari-hari. Sebagai peneliti feminis, ia harus menjadi subyek yang memiliki kesadaran ganda (bercabang). Di satu sisi ia memiliki kesadaran tentang dunia yang dialaminya (di dalam tubuhnya), dan di sisi lain ia juga memiliki kesadaran tentang dnia abstraksi yang berada di luar eksistensi dirinya. Konsep Dorothy Smith tentang standpoint perempuan yang cukup kompleks ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh Stanley (1990: 34) sebagai berikut: Peneliti feminis harus selalu melihat perempuan sebagai pihak yang secara aktip ikut membentuk sekaligus menginterpretasi proses dan hubungan sosial yang ada di dalam realitas keseharian mereka. Dengan kata lain, untuk memiliki standpoint yang sama dengan obyek yang diteliti, seorang peneliti feminis harus berada pada posisi yang sama kritisnya dengan mereka yang kehidupan sehari-harinya sedang diamat. Namun, standpoint perempuan ini jangan disalahpahami sebagai perspektip atau pandangan hidup. Ia juga tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir suatu pengalaman tertentu. Standpoint perempuan adalah suatu metode yang ketika dipakai untuk mencari tahu tentang sesuatu hal akan memberikan ruang kepada subyek, yang selama ini ditiadakan, beserta pengalaman-pengalaman riilnya yang dianggap tidak pernah ada. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
56
Dengan metode ini subyek dan pengalaman-pengalaman itu diungkapkan dengan menghadirkan pelaku perempuan yang berbicara sendiri tentang pengalaman riil keseharian mereka. Konsep Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini, walaupun cukup kompleks, mengawali diskusi yang hangat dan menarik untuk memulai pengembangan suatu epistemologi feminis yang unik (distinctive). Ini merupakan langkah maju untuk menindaklanjuti teori feminis yang semula hanya sekedar kritik terhadap ilmu sosial menjadi sebuah pemikiran tentang epistemologi feminis, yaitu sebuah teori tentang pengetahuan yang berbicara mengenai “siapa yang bisa menjadi peneliti”, “apa yang bisa diteliti”, “apa saja yang bisa membentuk pengetahuan”, dan “bagaimana seharusnya hubungan antara knowing (cara mengetahui) dan keberadaaan seseorang (Stanley 1990:26).
Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam
Tema yang diangkat dalam DIR ke-5 ini adalah "Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam." Tema ini memang sangat urgen untuk dibahas, karena sebagaimana diketahui bersama, banyak kalangan yang menuduh bahwa agama Islam tidak menghormati hak-hak wanita. Hasil ijtihad para ulama yang dibukukan dalam kitab-kitab Fiqh, Tafsir dan Kalam dipandang bercorak rasial karena didominasi oleh orang-orang Arab dan tidak adil karena dibuat oleh ulama laki-laki untuk menindas perempuan. Oleh karena itu, kitab-kitab ulama klasik dipandang usang (out of date) dan harus diganti dengan fiqh yang bersifat pluralis dan menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama. Paham feminisme ini semakin mencapai klimaks setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tesebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di setiap kampus, baik kampus Islam maupun kampus umum, banyak berdiri Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Bahkan
Kementerian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dalam
www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun seolah-olah telah menjadi global theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
57
program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%. Dalam paparan pengantarnya, Henri Shalahuddin menegaskan bahwa tuntutan kesetaraan gender oleh kaum feminis sebenarnya muncul sebagai respon atas kondisi lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi masyarakat Barat. ”Dalam masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil sebagai penyebab utama dalam merendahkan martabat wanita,"tegas Henri, panggilan akrab Henri Shalahuddin. Ia juga menulis dalam makalah yang diberikan kepada peserta bahwa dalam perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pandangan terhadap Alkitab, pertama; yaitu bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab, karena Alkitab dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk menguhkan dominasinya terhadap kaum wanita. Kedua, berbentuk neo-ortodok yang menerima Alkitab sebatas sebagai wahyu (profetis) dan fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak pada kaum tertindas dan wanita. Ketiga, berbentuk kritis yang berusaha mengungkap kesetaraan posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaat-jemaat Paulinius. Kesetaraan status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian Baru dan semakin kabur dengan budaya patriarki” Henri juga mengutip beberapa ayat-ayat Alkitab yang secara tekstual cenderung menindas perempuan. Diantaranya: ”larangan bagi perempuan untuk mengajar dan memerintah laki-laki” (I Timotius 2:12); ”perempuan dipersalahkan karena dialah yang terlebih dulu terbujuk makan buah terlarang” (I Timotius 2:13-14); ”anak keturunan perempuan menerima kutukan Tuhan atas rayuan Hawa kepada Adam” (Kejadian 3:16, Firman-Nya kepada perempuan itu: ”Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”); ”tidak ada hak bagi perempuan berbicara dalam gereja” (I Korintus 14:34-35), dan lain-lainnya. Bahkan menurut Henri, pada awalnya para filsuf Elightment hanya memfokuskan pada masalah ketidakadilan kelas sosial dan tidak membahas masalah gender. J.J. Rousseau misalnya, menggambarkan perempuan sebagai mahkluk yang tolol, sembrono dan dilahirkan untuk melengkapi laki-laki. Termasuk Declaration of the Right of Man
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
58
and of the Citizen, yang menjelaskan tentang kewarganegaraan Perancis pasca revolusi 1789, ditengarai gagal memberikan status yang sah terhadap perempuan. Henri menyayangkan, ternyata pengetahuan terhadap hal-hal yang mendasar seperti ini tidak menjadi rujukan bagi para pemikir, sarjana dan akademisi muslim sebelum berinteraksi dengan peradaban Barat lebih lanjut. Mereka terkesan tidak perduli dengan kondisi yang berbeda antara masyarakat Barat dengan Masyarakat islam. Dalam Islam sendiri tidak pernah ada tuntutan kesetaraan gender seperti yang terjadi sekarang, karena Islam telah menempatkan kedudukan perempuan sebagaimana fitrahnya. Bahkan jika ditilik dari sejarah, justru Islam satu-satunya agama yang memberikan kedudukan terhormat kepada wanita. Sedang Idrus Romli banyak menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender. Menurut intelekual mudah NU ini, kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3 adalah tidak menggunakan metodologi yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami persaoalan wanita. "Kita tidak bisa sembarangan menafsirkan Al-Qur'an atau hadits, tetapi harus mengikuti metodologi ulama yang sudah teruji,"ujarnya. (Mk) Sedang Idrus Romli banyak menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender. Menurut intelekual mudah NU ini, kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3 adalah tidak menggunakan metodologi yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami persaoalan wanita. "Kita tidak bisa sembarangan menafsirkan Al-Qur'an atau hadits, tetapi harus mengikuti metodologi ulama yang sudah teruji,"ujarnya. (Mk) Sedang Idrus Romli banyak menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender. Menurut intelekual mudah NU ini, kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3 adalah tidak menggunakan metodologi yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami persaoalan wanita. "Kita tidak bisa sembarangan menafsirkan Al-Qur'an atau hadits, tetapi harus mengikuti metodologi ulama yang sudah teruji,"ujarnya. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Umar ibn al-Khattab r.a, hendak mengadukan akhlak isterinya. Sesampainya di sana, dia berdiri menunggu di depan pintu. Tiba-tiba dia mendengar isteri Umar sedang ngomel-ngomel memarahi beliau. Umar pun hanya terdiam, tidak membalas omelan isterinya. Lelaki itu pun pulang dan berkata pada dirinya: "Jika saja seorang Amirul Mukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?" Tidak lama berselang, Umar keluar dan melihat lelaki itu sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: "Apa keperluanmu?!" Dia menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk mengadukan akhlak isteriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu aku mendengar isterimu tengah PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
59
memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: "Jika Amirul Mukminin saja sabar menghadapi omelan isterinya, lalu kenapa saya harus mengeluh?" Maka Umar berkata: "Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar, karena memang isteriku mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak makanan buatku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal kesemuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Di samping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu, aku bersabar atas segala pengorbanannya". "Wahai Amirul Mukminin, isteriku pun demikian", kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: "Bersabarlah wahai saudaraku, karena omelan istrimu itu hanyalah sebentar" Demikianlah kedudukan perempuan dalam Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan suri tauladan yang baik dalam berinteraksi dengan mereka. Namun ternyata tidak sedikit umat Islam yang tidak perduli dengan teladan yang diberikan tokoh-tokoh terkemuka umat Islam dan justru terkesima dengan paham-paham yang berasal dari Barat. Paham feminisme dan kesetaraan gender misalnya, yang merupakan respon atas kondisi lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi masyarakat Barat dalam menempatkan perempuan di ruang publik, justru marak didengung-dengungkan di dunia Islam. Padahal umat Islam memiliki tradisi, khazanah keilmuan dan latar belakang permasalahan yang berbeda dengan Barat. Ini tentu tidak terlepas dari hegemoni Barat, yang memang pada zaman ini menjadi sebuah kawasan yang sedang maju dalam bidang teknologi, persenjataan dan pembangunan fisik-empirik lainnya, sehinga mempengaruhi kawasan-kawasan yang belum maju. Hal ini sudah menjadi sunnatullah bahwa pihak yang kalah akan meniru yang menang, sebagaimana disindir oleh Ibnu Khaldun (1332-1406M) dalam pernyataannya: "Si Pecundang akan selalu meniru pihak yang mengalahkannya, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadatnya". Derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan feminisme di Barat menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin kuat pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
60
di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun seolah-olah telah menjadi global theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%. Di Indonesia, feminisme bak sebuah franchise yang telah merasuk jauh kedalam lingkungan institusi-institusi pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan, diktat-diktat perkuliahan, beragam seminar dan pelatihan, serta tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi disusun untuk mendukung paham ini. Kuatnya pengaruh feminisme dalam pendidikan, di antaranya bisa dilihat dari festival Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) VII di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 yang diprakarsai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dan UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Acara ini diikuti oleh utusan universitas-universitas Islam di Indonesia. Banyak makalah tentang isu kesetaraan gender dibentangkan untuk mengkaji ulang hukum Islam yang berkenaan dengan hak-hak perempuan. Artikel ini secara ringkas akan difokuskan pada pembahasan kesetaraan gender dalam studi Islam, seperti metode mendudukkan al-Qur'an dalam kerangka jender, beberapa contoh hasil penafsiran feminis terhadap ayat-ayat al-Qur'an, serta diskripsi ringkas tentang perkembangan gerakan gender di perguruan tinggi. Namun demikian, kajian ini tidak menyinggung kasus-kasus yang bukan merupakan substansi paham kesetaraan gender, seperti pelanggaran hukum dan kriminal terhadap perempuan, serta pembelaan terhadap nasib buruh perempuan. Di Indonesia, feminisme bak sebuah franchise yang telah merasuk jauh kedalam lingkungan institusi-institusi pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan, diktat-diktat perkuliahan, beragam seminar dan pelatihan, serta tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi disusun untuk mendukung paham ini. Kuatnya pengaruh feminisme dalam pendidikan, di antaranya bisa dilihat dari festival Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) VII di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 yang diprakarsai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dan UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Acara ini diikuti oleh utusan universitas-universitas Islam di Indonesia. Banyak makalah tentang isu kesetaraan gender dibentangkan untuk mengkaji ulang hukum Islam yang berkenaan dengan hak-hak perempuan. Feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
61
dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender. Jadi, seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis feminis. Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik. Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender. Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undangundang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan. Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
62
budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat. Sedangkan pengertian paham kesetaraan jender --seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia--, adalah "konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat". Ada beberapa definisi jender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki, perempuan dan kebudayaan. 1) Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Tim Penulis Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku yang diterbitkan atas kerjasama dengan McGill-ICIHEP ini merupakan kumpulan makalah yang menjadi bahan pengajaran mata kuliah gender di tingkat universitas. Buku ini menguraikan sejarah, konsep dan perkembangan fahaman feminisme, sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, metode penelitian berasaskan gender, analisis gender, dan kajian gender dalam Islam. 2) Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ditulis oleh Andayani, dkk., dan diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerjasama dengan Mc.Gill IISEP. Buku ini menguraikan panduan (guidance) untuk melaksanakan kaedah pengarusutamaan gender dalam strategi pembelajaran dan sistem manajemen di UIN Sunan Kalijaga. 3) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender ditulis oleh Aksin Wijaya. Buku ini asalnya merupakan tesis master di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menguraikan perlunya memandang al-Qur‟an secara terpisah, antara kedudukannya yang sakral-absolut di satu sisi dan yang profan-fleksibel/relatif di sisi lain. Menurut Aksin bahwa yang sakral dalam al-Qur'an hanyalah pesan Tuhan yang ada di dalamnya, dan itu pun masih belum jelas, karena masih dalam tahap pencarian. Oleh sebab itu tidak salah jika manusia bermain-main dengan mushaf al-Qur‟an. 4) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menulis beberapa elemen dasar ajaran Islam yang mengukuhkan landasan teori gender melalui bukunya yang berjudul Gender Dalam Perspektif Islam. Di dalam bukunya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ini, dia menguraikan prinsip-prinsip tauhid dan ajaran Islam yang tidak membedakan jenis kelamin dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai pintu masuk untuk menjustifikasi kesetaraan gender. Di samping itu dia juga menjelaskan perlunya penafsiran ulang terhadap al-Qur'an dan al-Hadith. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
63
Ini karena tafsiran yang ada merupakan rekayasa dan konspirasi ulama untuk menempatkan perempuan sebagai korban, baik di dalam rumah tangga maupun di ranah publik. Penolakan terhadap formalisasi shari'ah di beberapa kawasan di Indonesia juga dibincangkan untuk menjamin adanya keadilan terhadap hak-hak perempuan. 5) Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (editor) mengedit kumpulan makalah yang diterbitkan dalam buku berjudul: Bias Jender Dalam Pemahaman Islam (Jilid I) dan Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Jilid II). Buku ini menguraikan adanya ketidakadilan jender dalam memahami teks-teks keagamaan. Kedua buku ini ditulis oleh para dosen IAIN Walisongo Semarang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang merupakan aktivis di dalam Pusat Studi Jender (PSJ). Dengan menggunakan metode kritik sejarah dan hermeneutika, pemahaman terhadap al-Qur'an dan al-Hadith yang dipandang merugikan perempuan, dipermasalahkan kembali. Isu-isu berkenaan dengan hak perempuan sebagai wali kawin, imam shalat, pemimpin negara dan rumah tangga, relativitas batasan aurat perempuan, kebolehan perempuan pergi tanpa mahram, kesaksian perempuan setengah laki-laki, menolak perbedaan lelaki dan perempuan di dalam aqÊqah, air kencing bayi dan hak waris dibahas dalam perspektif gender. 6) Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah diedit oleh Waryono Abdul Ghafur, M.Ag dan Drs. Muh. Isnanto, M.Si. Buku ini mengkritisi buku-buku pelajaran agama, khususnya Fiqh, Tafsir dan Hadith yang diajarkan di berbagai sekolah dasar hingga menengah yang dianggapnya menindas perempuan. Buku yang diterbitkan atas kerjasama antara PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill IISEP Jakarta ini merupakan salah sebuah upaya untuk menghilangkan unsur-unsur patriarkhisme dalam kurikulum pendidikan. Isu-isu yang diangkat sebagai bentuk benih-benih penindasan terhadap perempuan di antaranya yaitu adanya ilustrasi gambar anak-anak yang sedang mengerjakan ÏahÉrah, shalat berjama'ah, adhÉn, iqÉmah, puasa, tadarrus al-Qur'an, imam, aktivitas membangun masjid, memotong hewan kurban dan lain-lain didominasi laki-laki. Di samping itu, buku ini juga memaparkan kritik terhadap pembedaan lelaki dan perempuan dalam gerakan shalat, pakaian iÍrÉm, kurangnya ditampilkan perawi hadith dari kalangan perempuan, dst. Metode pembahasan yang digunakan dalam buku ini adalah analisis gender dan tafsir hermeneutika.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
64
7) M. Nuruzzaman menulis buku berjudul Kyai Husein Membela Perempuan. Kajian buku ini awalnya merupakan tesis masternya di Universitas Indonesia di fakultas sosiologi. Dalam bukunya ini, dia menguraikan pandangan-pandangan Kyai Husein Muhammad, seorang kyai feminis di Cirebon, tentang paham kesetaraan gender. Pembahasan buku ini hanya terbatas kepada kajian kasus di kalangan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam klasik yang berwawasan gender dan menghargai kesetaraan antara lelaki dan perempuan. 8) Zunly Nadia dalam bukunya yang berjudul Waria, Laknat atau Kodrat!?, menguraikan pembelaan terhadap eksistensi waria (mukhannath) yang terasing dari ruang sosial, budaya dan politik. Buku ini pada awalnya adalah hasil skripsi (tesis) sarjana S1 di fakultas Ushuluddin, bagian Tafsir Hadith. Argumen dan dukungan terhadap kaum waria dalam buku ini dilengkapi dengan teks-teks al-Qur'an dan alHadith, kemudian dipahami berdasarkan konteks realitas sosial masyarakat setempat. 9) S. Edy Santosa (Ed.,) mengedit kumpulan makalah dalam buku yang berjudul Islam dan Konstruksi Seksualitas. Buku ini awalnya merupakan himpunan kertas kerja dalam seminar Nasional yang berjudul: "Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan", yang diprakarsai oleh PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerja sama dengan Ford Foundation, 26-29 Juli 2000. Buku ini menguraikan berbagai realitas sosial dan tafsiran agama berkenaan dengan wujudnya diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. 10) Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menerbitkan buku berjudul Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Tela'ah Kitab 'Uqud al-Lujjayn melalui kerjasamanya dengan The Ford Foundation. Buku ini mengkritik Kitab 'Uqud al-Lujjayn yang ditulis oleh Syaikh Nawawi al-Bantani yang membahas hubungan suami-isteri, masalah-masalah rumah tangga, kewajiban dan hak suami-isteri, ibadah dan tingkah laku perempuan. Kajian buku ini hanya terbatas pada kritik dan ulasan terhadap hadith-hadith yang dipandang turut mengekalkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian membahasnya dengan pendekatan kontekstual melalui metode kritik sejarah. 11) Dr. Nasaruddin Umar, MA, menulis buku berjudul: Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an. Buku ini awalnya adalah tesis Ph.D-nya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Dia menguraikan kritik terhadap berbagai metode dan pendekatan dalam memahami teks keagamaan, seperti tafsir, 'UlËm alQur'Én dan fiqh yang dinilainya bercorak patriarkhis. Metode pemahaman nas alQur'an dan al-Hadith yang ada sejak zaman Sahabat diklaim turut memberi dukungan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
65
atas munculnya ketidakadilan jender, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan QirÉ'at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti (ÌamÊr); penetapan batasan pengecualian; penetapan arti huruf 'aÏf, pengaruh riwayat isra'iliyyat, ketidakadilan jender dalam struktur bahasa Arab, kamus bahasa Arab, metode tafsir, dan pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Kemudian dia mengusulkan perlunya metode dan pendekatan baru dalam memahami teks-teks wahyu, seperti metode kritik sejarah dan tafsir hermeneutis. 12) Srinthil, Media Perempuan Multikultural: merupakan jurnal yang membahas masalah-masalah perempuan dan hubungannya dengan agama dan realitas sosial. Edisi IV jurnal ini misalnya, mengangkat tema: "Ketika Aurat Dikuasai Surat". Di sini diuraikan tentang hak dan kebebasan perempuan yang dirampas oleh aturan-aturan agama dan perundang-undangan negara, termasuk hak perempuan berekspresi dalam bidang seni, hak memiliki suami lebih dari seorang, hak melakukan kawin kontrak (kawin mut'ah), dan isu-isu lainnya terkait dengan ketidakadilan gender dalam perkawinan. 13) Jurnal Perempuan merupakan media akademik yang terbit setiap 3 bulan untuk mendukung perjuangan kesetaraan gender. Kajian jurnal ini mencakup isu-isu gender yang dipandang merugikan perempuan, baik berkenaan dengan realitas sosial, pemikiran keagamaan, budaya, ekonomi atau politik. Sebagai media untuk menolak hegemoni patriarkhi, maka isu-isu yang dikaji berasaskan analisis dan perspektif gender, termasuk kajian tentang pemikiran Islam, seperti metode penafsiran, fiqh, ilmu hadith dan seumpamanya. 14) Diah Ariani Arimbi menulis tesis Ph.D di Fakulti Art and Social Sciences University of New South Wales berjudul Reading the Writings Contemporary Indonesian Muslim Women Writers: Representation, Identity and Religion of Muslim Women in Indonesian Fictions. Tesis ini menguraikan isu-isu perempuan tentang kesetaraan gender di Indonesia yang didasarkan pada tulisan-tulisan empat tokohnya. Pembahasan dalam tesis ini dititikberatkan pada masalah bagaimana permasalahan gender dikonstruksi dan bagaimana konsepsi-konsepsi tentang identitas, peranan (role) dan status perempuan Indonesia dibentuk, baik sebelum atau sesudah zaman kemerdekaan. Selain penerbitan buku-buku karya pengusung feminisme lokal, juga dilakukan penterjemahan buku feminisme manca negara. Di antaranya adalah sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
66
15) Buku "Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate" karya Leila Ahmed telah diterjemahkan dengan judul Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern. Dalam bukunya ini, Leila menguraikan tentang akar-akar sejarah yang menjadi perdebatan hingga kini tentang pandangan Islam terhadap perempuan. Pembahasan buku ini dimulai dari kondisi kawasan Timur Tengah sebelum Islam, zaman kedatangan Islam dan penghargaannya terhadap perempuan. Selain itu juga dibahas masalah penafsiran dan kejumudan Islam abad pertengahan, sehingga munculnya wacana perubahan sosial dan intelektual berkenaan dengan hak dan kebebasan perempuan. 16) "Women's Rebellion & Islamic Memory" karya Fatima Mernissi telah diterjemahkan dengan judul: Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim. Buku ini menguraikan fenomena ketidakadilan sosial dan budaya yang dihadapi perempuan di negara-negara muslim. Mernissi lebih banyak mengkaji isu-isu fiqh, masalah kesehatan, politik dan peranan sosial yang dipandang merugikan perempuan. Sebagai justifikasi atas idenya tentang kesetaraan gender, dia memaparkan kisah-kisah kepahlawanan para perempuan sejak masa Sahabat dan peran sosial mereka. 17) "Islam and Democracy, Fear of the Modern World" karya Fatima Mernissi ini telah diterbitkan dalam edisi Indonesia berjudul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Mernissi menguraikan sejarah hitam peradaban Islam yang dipenuhi dengan pembunuhan politik, karena ketakutan para penguasa terhadap kebebasan berfikir. Buku ini juga menganalisis ketakutan di kalangan umat saat ini untuk membahas wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang disebabkan adanya trauma sejarah dalam menempatkan perempuan di balik jilbab dan tembok-tembok pergundikan. 18) Karya Fatima Mernisi lainnya juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik. Di buku ini dia menjelaskan masalah peran politik kaum perempuan dan realitas ketidakadilan terhadapnya. Pembahasan isu perempuan dalam berpolitik dalam buku ini lebih terfokus kepada jilbab yang merupakan indikasi perampasan hak dan kebebasan perempuan di ruang publik. 19) Haideh Moghissi menulis buku berjudul: Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Buku ini adalah terjemahan dari judul aslinya, "Feminism and Islamic Fundamentalism, The Limits of Postmodern Analysis". Haideh memamparkan realitas sosial di kawasan Iran dan Timur Tengah tentang masalah hak dan kebebasan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
67
perempuan. Kajian buku ini didasarkan pada analisis postmodernis dan menempatkan fundamentalisme dalam Islam sebagai "rival antagonis" pembahasan untuk mengekalkan adanya kekecewaan muslim feminis dan seruan kepada perubahan sosial. 20) Budhi Munawar Rachman dkk menulis buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan yang diterbitkan atas anjuran Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII). Buku ini adalah kumpulan kertas kerja yang dibentangkan dalam seminar nasional berjudul "Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern" di UII Yogyakarta.
Ringkasnya,
buku
ini
menguraikan
perlunya
perubahan
fiqh
konvensional yang dianggap membelenggu kaum perempuan dalam mengembangkan perannya di berbagai sektor kehidupan secara makro. Hal ini dikarenakan bangunan fiqh yang sarat dengan norma dan doktrin di satu sisi dan di sisi lainnya bernuansa permasalahan zaman klasik, sehingga fiqh klasik dipandang tidak relevan dan menghambat aktualisasi potensi kaum perempuan dalam transformasi sosial.
Perkembangan Wacana Kesetaraan Gender dalam Studi Islam di Indonesia
Di atas telah disinggung sekilas tentang usaha-usaha membumikan paham kesetaraan gender di lingkungan pendidikan tinggi, seperti penyusunan kurikulum, diktat perkuliahan, tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi, serta penyelenggaraan seminar dan pelatihan. Pada sub bab ini, penulis akan menguraikan sebagian kecil contoh dari gerakan feminisasi pendidikan, khususnya dalam penerbitan buku. Gerakan feminisme dan kesetaraan gender yang merambah ke dalam studi Islam tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadith saja, tetapi ia juga masuk dalam studi al-Qur'an, sebuah jantung ilmu-ilmu keislaman. Feminisme yang terlanjur dianggap sebagai solusi terhadap problem perempuan di dunia Islam, tidak berarti apa-apa jika hanya membatasi kajiannya di luar jantung studi Islam. Inilah konsekwensi dari pemujaan ideologi Barat secara berlebihan yang dikiranya akan membawa pada kemajuan. Bahkan, karena silaunya terhadap Barat, ÙÉhÉ Husein, seorang pakar sastera Arab asal Mesir (1889-1976), dalam bukunya Mustaqbal al-ThaqÉfah fi MiÎr, menyatakan: "Kita harus meniru (gaya hidup) orang-orang Eropa agar dapat sejajar
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
68
dengan mereka dalam peradaban; (tidak perduli) apakah itu baik atau buruk, manis atau pahit, dan yang disukai atau yang dibenci dari mereka". (1982:54). Bagi kalangan feminis-liberal, usaha menundukkan al-Qur'an dalam paham kesetaraan jender ala Barat, biasanya tidak menolak ayat-ayat al-Qur'an secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran ayat-ayat melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical criticism) adalah kritik sastera yang mengacu pada bukti sejarah atau berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang kehidupan pengarang/penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial saat itu. Ide mendudukkan al-Qur'an dalam persepsi jender tidak dilontarkan secara sederhana dan serampangan, tapi ide ini dikaji melalui riset khusus dalam jenjang kesarjanaan tertinggi di perguruan tinggi Islam negeri yang dibimbing oleh para profesor dari lintas agama dan negara, serta menghabiskan waktu 6 tahun, dan –kononnyadengan kajian kepustakaan di 27 negara, yang bahan-bahan pustakanya tidak hanya berbahasa Arab dan Inggris, tapi juga Ibrani, seperti yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar. Dalam kasus Nasaruddin Umar, misalnya seperti yang dijelaskan dalam disertasi S3-nya yang telah dipublikasikan dengan tema "Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an", ketika hendak memaparkan adanya bias jender dalam pemahaman teks, Nasaruddin melakukan beberapa langkah metodologis, seperti berikut: a. Mendudukkan teks al-Qur'an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, Nasaruddin menulis: "Dalam menganalisa sebuah teks, baik teks al-Qur'an maupun teks naskah-naskah lainnya, ada beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, antara lain: Dari mana teks itu diperoleh? Bagaimana autentitas dan orisinalitas teks itu? Teks aslinya dari bahasa apa? Siapa yang menterjemahkannya? Terjemahan dari bahasa asli atau bahasa lain? Jarak waktu penerjemah dengan teks-teks terjemahan? Atas sponsor siapa teks dan penerjemahan itu? Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya; bagaimana latar belakang budaya teks itu?" b. Melakukan kritik terhadap metode-metode khazanah tafsir dan 'Ulum al-Qur'an yang telah digali sejak zaman Sahabat dalam berinteraksi dengan al-Qur'an. Tentang kritiknya ini, Nasaruddin menganalisa beberapa faktor yang –menurutnya- turut memberi peran bias jender dalam pemahaman teks al-Qur'an, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan Qira'Ét; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti; penetapan batas pengecualian; penetapan arti huruf 'aÏf; bias dalam struktur PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
69
bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; pengaruh riwayat isra'iliyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Tentunya dengan terbatasnya ruang di sini, penulis hanya akan menjelaskan atau mengomentari sebagian faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, tentang adanya Bias dalam Struktur Bahasa Arab yang digunakan Nasaruddin untuk mengungkap bias jender dalam pemahaman teks, ia menulis: "Bahasa Arab yang "dipinjam" Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa kata (mufradat) maupun dalam strukturnya". Kemudian dia memaparkan contoh bahwa dalam tradisi bahasa Arab, jika yang menjadi sasaran pembicaraan laki-laki atau perempuan digunakan bentuk maskulin, misalnya kewajiban mendirikan shalat cukup dikatakan aqÊmË l-ÎalÉh, tidak perlu lagi dikatakan aqimna l-ÎalÉh, karena ada kaedah mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan jika berkumpul di suatu tempat cukup dengan menggunakan bentuk maskulin dan secara otomatis perempuan termasuk di dalamnya, kecuali ada hal lain mengecualikannya. Sehingga tidak berlebihan jika pernyataan tersebut dipahami bahwa Tuhan salah memilih bahasa Arab yang bias jender itu, untuk dijadikan sebagai media firman-Nya. c. Paham relativisme. Hal ini bisa dilihat dari pandangannya setelah menyatakan bahwa seolah-olah Tuhan dia vonis bersalah karena menjadikan bahasa Arab sebagai media Firman-Nya, kemudian Nasaruddin menolak disimpulkan bahwa Tuhan lebih memihak laki-laki. Nampak seperti kebingungan, di satu sisi mengklaim bahwa bahasa Arab yang digunakan sebagai media firman-Nya adalah bias jender, namun di sisi lain menyatakan Tuhan tidak memihak laki-laki. Tulisnya: "Bias jender dalam teks, tidak berarti Tuhan memihak dan mengidealkan laki-laki, atau Tuhan itu lakilaki karena selalu menggunakan kata ganti mudhakkar, -misalnya Qul HuwallÉhu AÍad, kata huwa adalah kata ganti maskulin, tidak pernah menggunakan kata ganti feminin (hiya)-, tetapi demikianlah struktur bahasa Arab, yang digunakan sebagai bahasa al-Qur'an". d. Metode kritik sejarah, yaitu dengan mengkaji latar belakang budaya yang dimiliki suatu bahasa dan membedakan antara unsur normatif dan kontekstual. Tentang metode ini, dia menulis di bab pendahuluan: "Hal ini (kajian mendalam terhadap kondisi objektif di kawasan jazirah Arab) dinilai penting karena al-Qur'an pertama kali dialamatkan di kawasan ini. Seperti diketahui, kawasan ini bukanlah suatu kawasan yang hampa budaya, melainkan sudah sarat dengan berbagai nilai". PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
70
Selanjutnya, dalam kesimpulan kajiannya, dia menyatakan: "Dalam kenyataan sejarah, kondisi obyektif sosial-budaya tempat kitab suci itu diturunkan menjadi referensi penting di dalam memahami teks tersebut". Di samping itu, dia menjelaskan: "Memahami kondisi obyektif Jazirah Arab tidak dapat ditinggalkan bagi siapa saja yang ingin memahami lebih mendalam ayat-ayat al-Qur'an, karena tidak sedikit ayat-ayat al-Qur'an diturunkan untuk menanggapi atau mendukung budaya lokal masyarakat Arab". e. Penggunaan teori khuÎËÎ al-sabab yang minor dan ganjil di kalangan ulama tafsir sebagai justifikasi untuk menguatkan metode kritik sejarah. Dalam memahami ayat, teori khuÎËÎ al-sabab mengharuskan penafsir untuk mengutamakan sebab khusus (peristiwa, kejadian dan pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat. Sehingga dengan pendekatan ini, ayat-ayat yang dia pandang merugikan perempuan, tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan saat ini, walaupun redaksi ayat tersebut bersifat umum. Dalam meniscayakan penggunaan teori khuÎËÎ al-sabab, Nasaruddin menulis: "Hampir semua ayat jender turun dalam suatu sebab khusus, tetapi hampir semua ayat-ayat tersebut menggunakan bentuk (ÎÊghah) lafadh umum". Kemudian dia simpulkan bahwa jumhur ulama yang menggunakan lafadh umum lebih tekstual dan minoritas ulama yang menggunakan khuÎËÎ al-sabab lebih kontekstual. f. Dialektika antara tekstual dan kontekstual. Kata tekstual (literal, harfiyah) selalu digambarkan sebagai hal yang negatif, kolot, radikal, konservatif, fundamentalis, dsb. Sebaliknya kontekstual selalu digambarkan sebagai hal yang moderat, terbuka dan representatif untuk ruang kekinian. Metode kritik sejarah yang diadopsi tokoh-tokoh liberal semisal Nasaruddin untuk memperkuat teori jendernya mengharuskan pembaca al-Qur'an untuk menganalisa budaya yang melatarbelakangi bahasa Arab sebagai media wahyu. Dengan metode ini, akan disimpulkan bahwa budaya Timur Tengah yang memposisikan laki-laki lebih dominan daripada perempuan, telah menghegemoni pemahaman ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Dengan kata lain, karena al-Qur'an menggunakan bahasa Arab, maka ia juga terpengaruh oleh budaya Arab pra-Islam. Metode yang digunakan Nasaruddin ini dalam tradisi Kristen, biasa dikenal dengan metode kritik sejarah atau kritik Bibel (Biblical criticism). Kritik Bibel adalah disiplin ilmu yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru. Kritik Bibel memberikan dasar untuk penafsiran yang penuh
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
71
arti atas Bibel. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tanpa metode ini, pemahaman terhadap teks-teks Bibel menjadi tidak atau kurang bermakna.
Pengaruh Woman's Bible?
Kajian bias bahasa yang dilakukan oleh Nasaruddin ini bukan hal baru, bahkan memiliki banyak kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh aktivis feminis Barat yang tidak puas dengan teks Bibelnya. Dalam segi bahasa, mereka menuntut penggunaan bahasa
gender-inclusive,
seperti
mengganti
kata
mankind
dengan
humanity,
mengusulkan penggunaan kata chairwoman untuk mengimbangi kata chairman, dsb. Dalam agama, mereka menuntut tafsir feminis terhadap kitab suci. Sedangkan dalam strata sosial, mereka menuntut hak reproduksi atau meninggalkannya, melegalkan undang-undang aborsi, kesamaan gaji, hak meninggalkan pengasuhan anak, sterilisasi kandungan, dsb. Dalam masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil sebagai penyebab utama dalam merendahkan martabat wanita. Pada tahun 1837, Sarah Grimke menyatakan bahwa penafsiran biblis secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka. Hal ini didukung dengan publikasi Woman's Bible pada tahun 1895. Pada tahun 1960 perjuangan hak-hak kaum perempuan difokuskan pada masalah status dan peran perempuan dalam tradisi agama Kristiani dan Yahudi serta bagian yang dimainkan oleh Alkitab dalam mempertahankan status quo yang tidak adil. Phyllis Trible dalam artikelnya "Eve and Miriam: From the Margins to the Center" menjelaskan bahwa Bibel terlahir dan terpelihara dalam suasana patriarkhi, ia dipenuhi dengan tamsil, perumpamaan dan bahasa laki-laki. (The Bible was born and bred in a land of patriarchy; it abounds in male imagery and language). Sedangkan Pamela J. Milne dalam artikelnya "No Promised Land: Rejecting the Authoriy of the Bible" bahwa dalam kultur Barat Bibel dijadikan justifikasi dasar pemikiran untuk menindas perempuan. (In Western culture, the Bible has provided the single most important sustaining rationale for the oppression of women). Penelitian terhadap peran negatif Alkitab ini, juga dilakukan oleh Michael Keene. Keene memusatkan penelitiannya pada 5 bidang: a). Kebutuhan untuk mengetahui lebih jauh mengenai status dan peran perempuan dalam budaya biblis. b). Pencarian gambaran PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
72
yang lebih lengkap dan seimbang tentang pengajaran aktual tentang Alkitab atas isu-isu yang berkaitan dengan gender. c). Tumbuhnya penafsiran alternatif atas teks-teks biblis yang menindas perempuan, seperti teks Alkitab yang mengharuskan perempuan tutup mulut di gereja (1Korintus 14:34-35). Ayat ini kemudian ditafsirkan sebagai tanggapan terhadap masalah lokal khusus dan bukan sebagai sarana penundukan perempuan pada umumnya. d). Mengembangkan gambaran tentang Tuhan yang lebih lengkap dalam Alkitab dengan menerapkan gambar-gambar feminin, misalnya gambar tentang seorang perempuan dan ibu ke dalam konsep ketuhanan. e). Membuat terjemahan yang segar tentang Alkitab yang mencoba mengurangi sejumlah bahasa eksklusif gender di dalam teks. Buku "Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan", yang edisi aslinya berjudul The Interpretation of the Bible in the Church, the Pontifical Biblical Commision, menjelaskan bahwa asal-usul sejarah penafsiran kitab suci ala feminis dapat dijumpai di Amerika Serikat di akhir abad 19. Dalam konteks perjuangan sosio-budaya bagi hak-hak perempuan, dewan editor komisi yang bertanggung jawab atas revisi (tahrif) Alkitab menghasilkan The Woman's Bible dalam dua jilid. Gerakan feminisme di lingkungan Kristen ini kemudian berkembang pesat, khususnya di Amerika Utara. Dalam perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pandangan terhadap Alkitab, Pertama; yaitu bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab, karena Alkitab dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk meneguhkan dominasinya terhadap kaum wanita. Kedua, berbentuk neo-ortodoks yang menerima Alkitab sebatas sebagai wahyu (profetis) dan fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak pada kaum tertindas dan wanita. Ketiga, berbentuk kritis yang berusaha mengungkap kesetaraan posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaatjemaat Paulinis. Kesetaraan status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian Baru dan semakin kabur dengan budaya patriarki. Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of The Bible yang telah diindonesiakan dengan tema "Perempuan & Tafsir Kitab Suci", menjelaskan lebih rinci 3 metode tafsir feminis terhadap Alkitab. Ketiga metode ini adalah: a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas perempuan. b) Menyelidiki Kitab Suci secara umum untuk menemukan perspektif teologis yang mengkritik patriarki. c) Menyelidiki teks
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
73
tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan modern yang hidup dalam kebudayaan patriarkal. Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat yang muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks biblis, --seperti yang diungkapkan oleh Nicola Slee, teolog feminis dan penulis asal Inggris--, agar menolak untuk terus-menerus membaca teks-teks kitab suci dan tradisi patriarkal kuno, yakni cara-cara yang sudah mapan. Kemudian mereka berusaha menemukan penafsiran segar dengan menggunakan metode hermeneutika. Landasan Bibel Kutukan Tuhan terhadap perempuan: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." Kejadian 3:16 Sama seperti dalam semua Jemaat orangorang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuanpertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat (I Korintus 14:34-35) Larangan mengajar: Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri (I Timotius 2:12)
Larangan bercerai: Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."Matius 19:6 Seorang janda atau perempuan yang telah diceraikan atau yang dirusak kesuciannya atau perempuan sundal, janganlah diambil, melainkan harus seorang perawan dari antara orang-orang sebangsanya. Imamat 21:14 PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
Perlakuan Barat Perempuan adalah sumber dosa. (Tertullian (150M), Bapak Gereja I. Wanita adalah setan, kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik. (St John Chrysostom [345-407M], Bapak Gereja Yunani) Perempuan adalah laki-laki yang cacat (Thomas Aquinas) J.J. Rousseau menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang tolol dan sembrono (silly and frivolous creatures) dan dilahirkan untuk melengkapi laki-laki.
Reformasi Feminisme Hak yang tidak terbatas melakukan aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan kebebasan melakukan lesbian sehingga tidak tergantung pada laki-laki.
Pendidikan yang cocok untuk perempuan adalah ajaran agama yang sederhana tentang emosi. Sebab pendidikan intelektual bagi perempuan bukanlah hal pokok dan harus dibatasi pada pembelajaran tentang masalah-masalah praktis saja. Perempuan di Barat pada abad pertengahan tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun
Mary Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Woman, yang menantang anggapan keberadaan perempuan hanya untuk menyenangkan pria. Dia mengusulkan perempuan dan laki-laki diberi peluang sama dalam pendidikan, pekerjaan dan politik. Perempuan baru memperoleh hak untuk bisa bercerai di tahun 1792
Kaum perempuan di Inggris dan Amerika Serikat baru mendapatkan hak-haknya yang memadai, terutama dalam berpolitik setelah tahun 1832. Sebelum tahun ini, mereka sama sekali tidak mempunyai hak suara dan hak pilih.
74
Beberapa Contoh Hasil Tafsir Feminis Batasan aurat: Dalam menafsirkan kata aurat pada QS. 24:31. "Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…", Dr. MuÍammad ShaÍrËr (tokoh liberal asal Syiria) mengartikan bahwa aurat itu adalah "apa yang membuat seseorang malu bila diperlihatkannya". Kemudian dia menjelaskan bahwa "aurat itu tidak berkaitan dengan halal-haram, baik dari dekat maupun dari jauh". Dalam merelatifkan batasan aurat, ShaÍrËr memberikan contoh: "Apabila ada seorang yang botak (aÎla') yang tidak suka orang lain melihat kepalanya yang botak itu, maka dia memakai rambut palsu. Sebab dia menganggap bahwa botak di kepalanya adalah aurat". Makna aurat kemudian dirancukan oleh ShaÍrËr dengan mengutip Hadith Nabi: "Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya". Lalu dia berkomentar: "Menutupi aurat mukmin di sini (dalam hadith itu) bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat". Berangkat dari sini, ShaÍrËr menyimpulkan bahwa: "Aurat datang dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang dalam menampakkan sesuatu baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Dan rasa malu ini relatif - tidak mutlak, sesuai dengan adat istiadat. Maka dada (al-juyËb) adalah tetap sedangkan aurat berubah-ubah menurut zaman dan tempat". Di samping itu, ShaÍrËr juga menafsirkan QS. Al-Ahzab:59 Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurutnya: "Ayat ini didahului dengan lafadz 'Hai Nabi' (yÉ ayyuha l-nabÊ), yang berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat pengajaran (Éyat al-ta'lÊm) dan bukan ayat pemberlakuan syariat (Éyat al-tashrÊ'). Di sisi lain, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal (fahman marÍaliyyan), karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan orang-orang iseng, yaitu ketika para wanita tengah bepergian untuk suatu keperluan. Namun, syarat-syarat ini (yaitu alasan keamanan) sekarang telah hilang semuanya". Oleh sebab itu, mengingat ayat di atas adalah ayat al-ta'lÊm yang bersifat anjuran, maka menurut ShaÍrËr, hendaknya bagi wanita mukminah, -dianjurkan bukan diwajibkan-, untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan (al-adhÉ). Ada dua jenis gangguan: alam (ÏabÊ'i) dan sosial (ijtimÉ'Ê). Gangguan alam adalah yang berkenaan dengan cuaca seperti suhu PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
75
panas dan dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca, sehingga ia terhindar dari gangguan alam. Sedangkan gangguan sosial (al-adhÉ alijtimÉ'Ê) adalah berkaitan dengan kondisi dan adat istiadat suatu masyarakat. Oleh karena itu, pakaian mukminah untuk keluar harus disesuaikan dengan lingkungan masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan dan gangguan mereka. Pada akhirnya ShaÍrËr menyimpulkan bahwa batasan pakaian wanita dibagi dua: batasan maksimal yang ditetapkan Rasulullah SAW (al-Íadd al-a'lÉ) yang meliputi seluruh anggota tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. Batasan minimal yaitu batasan yang ditetapkan oleh Allah SWT (al-Íadd al-adnÉ) yang hanya menutup juyËb. Menurut ShaÍrËr juyËb tidak hanya dada saja, tapi meliputi belahan dada, bagian tubuh di bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Sedangkan semua anggota tubuh selain juyËb, diperkenankan terlihat sesuai dengan kultur masyarakat setempat, termasuk pusar (surrah). Penutup kepala untuk laki-laki dan perempuan hanyalah kultur masyarakat, tidak terkait dengan iman dan Islam. ShaÍrËr menilai banyak ulama Fiqih (fuqahÉ') yang salah paham saat mendudukkan Hadith Rasulullah SAW bahwa semua anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya sebagai penjelas QS. Al-Ahzab:59 dan QS. Al-Nur:31, inilah contoh kesalahan ulama Fiqih dalam metode berfikir. Hukum Waris Tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak lakilaki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini, seperti yang termaktub dalam al-Qur‟an: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan… (QS. Al-NisÉ‟: 11) Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-NisÉ‟: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dhakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li lPIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
76
unthayayni mithlu ÍaÐÐi l-dhakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur‟an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Qur‟an –secara perlahan dan pasti-- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan. Inilah yang dia sebut sebagai “yang tidak terkatakan” (al-maskËt „anhu). Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7M. Tentunya teori “al-maskËt „anhu” ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya. Di sisi lain teori “al-maskËt „anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadrÊjÊ) versi al-ÙÉhir al-×addÉd, pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “al-Mar‟ah fÊ KhiÏÉbi l-Azmah” (=Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-ÙÉhir dan menguatkannya. Di samping itu, manhaj tadrÊji juga sering digunakan untuk mengharamkan poligami dengan asumsi dalih analogi (qiyÉs) metode larangan perbudakan. Contoh Pendekatan Manhaj TadrÊji dalam Kasus Poligami 1. Pembatasan Jumlah poligami َّ َّللا صَ لَّى ٍ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل لِرَ ج ٍُل مِنْ َثقِي ٍ ْن شِ هَا ف أَسْ لَ َم َوعِ ْن َدهُ َع ْش ُر ِ َّ ب أَ َّن ُه َقا َل َبلَ َغنِي أَنَّ رَ سُو َل ِ وحَ َّد َثنِي َيحْ يَى َعنْ مَالِك َعنْ اب َالث َقفِيُّ أَمْسِ كْ ِم ْنهُنَّ أ َّ نِسْ َو ٍة حِينَ أَسْ َل َم َ ْر )1701 ، جامع الطالق،ار ْق َسائِرَ هُنَّ (موطأ مالك ف و ًا ع ب َ َ ِ 2. Pembolehan poligami tapi disertai syarat bersikap adil ُ َِوإِنْ ِخ ْف ُت ْم أَلَّ ُت ْقس َ َطو ْا فِي ْال َي َتامَى َفان ِك ُحو ْا مَا َطابَ لَ ُكم مِّنَ ال ِّنسَاء م َْث َنى َو ُثال 3 : النساء.ث َو ُربَاعَ َفإِنْ ِخ ْف ُت ْم أَلَّ َتعْ ِدلُو ْا َف َواحِدَ ًة 3. Manusia mustahil bisa berlaku adil di antara isteri-isterinya 121 النساء. َولَن َتسْ َتطِ يعُو ْا أَن َتعْ ِدلُو ْا َب ْينَ ال ِّن َساء َولَ ْو حَ رَ صْ ُت ْم 4. kesimpulan Poligami diharamkan meskipun tidak termaktub al-Qur'an & HadÊth
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
77
Pembahasan Ringkas: Kenapa Tafsir Feminis Harus ditolak? Islam diturunkan sebagai rahmatan lil 'alamin, bukan untuk membandingbandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ajaran Islam bukan disusun berdasarkan jenis kelamin, sehingga tafsir al-Qur'an pun tidak pernah ditulis berdasarkan hal ini. Maka jika corak tafsir feminis yang mendasarkan metodenya pada kritik sejarah sebagai tren baru dalam metode tafsir al-Qur'an, otomatis akan banyak menyisakan pertanyaan yang berjubel: Sejauhmanakah keabsahan metode ini digunakan untuk menafsirkan ayatayat al-Qur'an? Apakah terbatas pada ayat-ayat yang dipandang merugikan perempuan, dan tidak pada laki-laki? Ataukah metode kritik sejarah ini juga bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur'an, baik yang terkait dengan tauhid, ibadah, hukumhukum yang terkait dengan individu dan sosial, baik yang bersifat hukum kriminal maupun kekeluargaan, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, makanan, minuman, pakaian, serta bisakah juga diterapkan untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat muÍkamÉt dan mutashÉbihÉt, baik itu ayat-ayat yang lafadznya berindikasi qaÏ'i-Ðanni, muÏlaqmuqayyad, khÉs-'Ém dsb?! Ataukah metode kritik sejarah baru digunakan untuk menafsirkan sebagian ayat dalam rangka menolak sebagian ajaran-ajaran Islam tertentu yang tidak sejalan dengan paham humanisme dan pandangan-pandangan hidup BaratKristen kontemporer? Paham liberalisme Barat pada dasarnya berpijak pada prinsip kebebasan mutlak dan tak terkendali dalam pemikiran, agama, keyakinan, keimanan, bicara, pers dan politik (an absolute and unrestrained freedom of thought, religion, conscience, creed, speech, press, and politics). Sehingga pada gilirannya akan membawa dampak yang mengikis habis peran agama dalam kehidupan pribadi dan sosial. Sebab dampak terbesar dari liberalisme adalah (a) penghapusan hak Tuhan dan semua bentuk kekuasaan yang berasal dari Tuhan; (b) menjauhkan agama dari kehidupan publik dan memindahkannya ke ruang privat dalam keyakinan seseorang; (c) pengabaian mutlak terhadap agama Kristen dan gereja selaku institusi publik, legal dan sosial. (the abolition of the Divine right and of every kind of authority derived from God; the relegation of religion from the public life into the private domain of one's individual conscience; the absolute ignoring of Christianity and the Church as public, legal, and social institutions). Inilah hakekat gerakan pembaharuan intelektual di Eropa pada abad 17 dan 18 (enlightenment, aufklarung, renaissance dan Revolusi Perancis) yang membentuk pandangan hidup (worldview) baru masyarakat Barat yang sekular dan melahirkan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
78
pemikir-pemikir yang agnostik terhadap agama. Sarjana-sarjana Barat abad 18 menganggap agama sebagai suatu ilusi dan penyimpangan intelektual. Gerakan pembaharuan intelektual di Eropa juga memberi pengaruh kuat terhadap munculnya gerakan feminisme. Para aktivis feminis kemudian menyuarakan bahwa Renaissance tidak pernah menyatu pada falsafah dan gerakan yang koheren. Enlightenment selanjutnya dijadikan momen untuk menyuarakan tuntutan wanita tentang kebebasan, kesetaraan dan hak-hak natural lainnya. Pada awalnya para filsuf Enlightenment hanya memfokuskan pada masalah ketidakadilan kelas sosial dan tidak membahas masalah gender. J.J Rousseau misalnya menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang tolol dan sembrono (silly and frivolous creatures) dan dilahirkan untuk melengkapi laki-laki. Bahkan Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, yang menjelaskan tentang kewarganegaraan Perancis paska revolusi 1789, ditengarai gagal memberikan status yang sah terhadap perempuan. Para intelek perempuan di era Enlightenment langsung mengkritisi deklarasi tersebut yang tidak inklusif dan terbatas skupnya. Akhirnya, pada tahun 1791, Olympe de Gouges, mempublikasikan “Declaration of the Rights of Woman and of the [Female] Citizen”. Di situ dia mendeklarasikan bahwa perempuan tidak saja sejajar dengan pria, tapi juga sebagai patnernya. Setahun kemudian (1792), Mary Wollstonecraft meluncurkan A Vindication of the Rights of Woman (pemulihan hak-hak perempuan), sebuah karya feminis tentang perkembangan bahasa Inggris dan dipublikasikan di Inggris. Karya ini menantang anggapan bahwa keberadaan perempuan hanya untuk menyenangkan kaum pria. Sebaliknya, dia mengusulkan seharusnya perempuan dan lakilaki diberi peluang sama di bidang pendidikan, pekerjaan dan politik. Menurutnya, kaum wanita secara alami adalah makhluk yang rasional sebagaimana kaum pria. Jika mereka bodoh, ini dikarenakan masyarakat mendidik mereka untuk menyimpang. Meskipun gerakan pembaharuan di Eropa telah berjalan sekitar 2 abad dan karya feminis, A Vindication of the Rights of Woman, telah dipublikasikan secara luas di Inggris pada tahun 1792, namun kaum perempuan masih belum mendapatkan hakhaknya yang memadai, terutama dalam berpolitik. Hingga tahun 1832, hak perempuan di Inggris untuk memberikan suaranya masih tidak diakui. Pada abad 19, akhirnya pertanyaan tentang hak memberikan suara bagi perempuan menjadi isu dan perjuangan yang hebat di Inggris dan Amerika Serikat. Inilah sejarah kelam Barat dalam menempatkan posisi perempuan yang dilatarbelakangi oleh teks Bibel sehingga membangkitkan teologi "kemarahan" di PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
79
kalangan aktivis perempuan. Pengetahuan terhadap hal-hal yang mendasar seperti ini seharusnya menjadi rujukan bagi para pemikir, sarjana dan akademisi muslim sebelum berinteraksi dengan peradaban Barat lebih lanjut. Isu-isu syariah yang dipropagandakan kalangan liberal, seperti masalah batasan aurat dan hak waris tidak luput dari pemahaman yang salah tentang makna tekstual dan kontekstual. Ayat-ayat al-Qur'an tidak bisa didekati secara dikotomis seperti ini. Sebab yang dikatakan tekstual juga mengandung kontekstual dan memerlukan pemaknaan yang lebih luas dari sekedar keduanya. Sebagai contoh satu kata dalam bahasa Arab bisa mencakup makna hingga puluhan, misalnya kata naÐirah bisa berarti melihat, menunggu, menanti, menangguhkan dsb. Namun dalam QS. Al-Qiyamah: 23 misalnya, kenapa kata ini tidak boleh dimaknai selain melihat? Ini berarti bahwa secara etimologis pun, lafadz dalam ayat al-Qur'an sudah tercakup pengertian kontekstual. Pendekatan dikhotomis antara tekstual dan kontekstual tidak pernah dijumpai dalam tradisi khazanah Islam, kecuali sebatas suara minor yang tergerus oleh zaman. Dikhotomi ini adalah warisan intelektual Barat dalam memahami teks-teks Bibel yang banyak bermasalah, sehingga memerlukan kontekstualisasi melalui metode kritik sejarah. Misalnya, kata konteks dalam The New Oxford Dictionary of English diartikan the circumstances that form the setting for an event, statement, or idea, and in terms of which it can be fully understood and assessed. Kata ini juga berarti the parts of something written or spoken that immediately precede and follow a word or passage and clarify its meaning. Mengkontekstualisasikan (contextualize) berarti menempatkan atau mengkaji masalah dalam suatu konteks. Patut dicatat dalam contoh kalimat untuk kata contextualize dalam kamus ini disebutkan some Christians fail to contextualize the words of Jesus. Sehingga ada kesan bahwa dalam pandangan Barat Kristen kata Jesus masih merupakan problem yang belum terpecahkan. Batasan Aurat Pendapat ShaÍrËr dalam memaknai aurat dan batasannya seperti diuraikan di atas sangat rancu. Bahkan, dengan teori batasnya ini justru dia telah merendahkan martabat wanita. Padahal kedudukan wanita-wanita mukminah dalam Islam sangat mulia. Oleh sebab itu Rasulullah SAW diperintah Allah SWT agar menyuruh istri-istri dan putri beliau serta seluruh kaum mukminah untuk menjulurkan jilbab mereka demi menjaga kemuliaan dan kehormatan mereka. Di samping itu, perintah ini ditujukan untuk membedakan mereka dari wanita-wanita Jahiliyah, sahaya (imÉ') dan pelacur ('awÉhir). PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
80
Perintah menjaga kehormatan wanita mukminah dimulai dengan menutup batasbatas aurat, terlebih lagi saat mereka hendak keluar rumah pada malam hari, sehingga mereka mudah dikenali sebagai wanita mukminah yang merdeka dan terhormat. Sebab kebiasaan penduduk Madinah yang fasik kala itu, adalah suka keluar malam untuk menggoda wanita dan berbuat iseng. Apabila mereka melihat wanita berjilbab, mereka berkata: "Ini wanita merdeka, maka tahanlah (jangan diganggu)". Namun apabila melihat wanita yang tidak berjilbab, mereka berkata: "Ini wanita sahaya", lalu mereka menghampirinya. Menurut al-AlËsÊ, setelah Allah SWT menjelaskan buruknya perihal orang-orang yang menyakiti/menggoda kaum muslimin pada ayat sebelumnya, Allah memerintahkan Nabi -dengan lafadz Ya ayyuha l-nabi, agar menyuruh umat Islam untuk melindungi diri mereka dari hal-hal yang dapat memancing kebiasaan orang-orang iseng. Sebelumnya, banyak wanita di Madinah yang keluar malam dan tidak bisa dibedakan antara wanita merdeka dan tidak. Sedangkan di sisi lain banyak pemuda iseng (fasik) yang keluar malam mencari-cari wanita untuk digoda. Kebiasaan keluar malam di kalangan pemuda iseng untuk menggoda wanita tentunya tidak bisa dibatasi pada penduduk Madinah dan bangsa Arab abad 7M. Umm al-MukminÊn, 'Aishah RA, menjelaskan QS. 24:31: wal yaÌribna bi khumurihinna 'ala juyËbihinna sebagaimana dituturkan oleh Ibn Sa'd: "Aku (ibu 'Alqamah) HafÎah binti 'AbdirraÍmÉn ibn Abi Bakr (keponakan 'Aishah) masuk ke rumah 'Aishah dan memakai kerudung tipis (khimÉr raqÊq), sehingga dadanya terlihat secara transparan. Lalu 'Aishah pun melepasnya dan berkata: Tidakkah kamu mengetahui sebuah ayat yang diturunkan dalam surat al-Nur? Lalu beliau mengajaknya memakai kerudung (yang tebal), dan HafÎah pun memakainya". Imam Bukhari juga mengutip penjelasan 'Aishah ini dalam ØaÍÊÍ-nya sebagai berikut: Dari 'Aishah RA, beliau berkata: "Allah merahmati wanita-wanita muhajirat awal, ketika Allah menurunkan ayat; wal yadribna bi khumurihinna 'ala juyËbihinna, mereka memotong sebagian kain wol dan sutera mereka dan memakainya sebagai kerudung". 'Aishah RA juga menjelaskan QS. 33: 59, "Jikalau Rasulullah SAW mengetahui apa yang terjadi pada diri wanita (yaitu kegemaran berhias secara berlebihan baik dengan perhiasan, busana, dan minyak wangi yang banyak menimbulkan fitnah), pastilah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid (dan menyuruhnya shalat di rumah), seperti halnya dilarangnya wanita-wanita Bani Israil". Lalu YaÍyÉ ibn Sa'Êd bertanya pada 'Amrah: Apakah wanita Bani Israil dilarang keluar ke
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
81
tempat ibadah mereka? Ia menjawab: Ya". Tentunya penafsiran ShaÍrËr di atas, sangat bertentangan dengan penjelasan istri Rasulullah SAW tersebut. Isu tentang Hak Waris Dalam ajaran Islam, besar kecilnya bagian waris tidak ditentukan oleh jenis kelamin, baik itu laki-laki atau perempuan, tapi lebih ditentukan oleh beberapa faktor berikut ini: 1. Tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) dan orang yang meninggal. Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar juga bagian warisan yang dia terima. 2. Kedudukan tingkat generasi. Maka generasi muda dari kalangan pewaris yang masa depannya masih panjang terkadang memperoleh bagian warisan yang lebih besar dibanding generasi tua, tanpa memandang kelelakian atau kewanitaannya. Sebagai contoh anak perempuan (bint) mendapatkan warisan yang lebih banyak dari ibunya atau ayahnya; anak laki-laki (ibn) mendapatkan warisan lebih banyak dari ayahnya (ab). 3. Tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Poin inilah yang terkadang membuahkan perbedaan bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, walaupun berada pada tingkat kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung nafkah istri dan keluarganya. Sedangkan anak perempuan tidak diberi tanggung jawab seperti laki-laki. Selanjutnya, hak waris perempuan tidak selamanya lebih sedikit dari laki. Sebaliknya dalam banyak hal, perempuan mendapatkan bagian harta waris lebih banyak dari laki-laki, seperti pada hal berikut ini: a. Ada empat (4) kondisi/kasus, di mana bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris laki-laki. b. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris yang persis sama dengan bagian waris laki-laki. c. Terdapat sepuluh (10) kasus, di mana bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian waris laki-laki. d. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris yang tidak didapatkan oleh laki-laki. Adapun sebagai penjelasan singkat keempat poin di atas adalah sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
82
a.
Kedudukan/kondisi-kondisi yang membuat bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris laki-laki adalah sebagai berikut: 1) Ahli waris hanya anak laki-laki (ibn) dan anak perempuan (bint), yaitu seperti yang terkandung dalam Firman-Nya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan QS. 4:11 Misalnya: seorang wafat dan meninggalkan: Anak laki-laki (ibn) 2
Bagian
Anak perempuan (bint) 1
2) Ahli waris hanya orang tua mayit, dan si mayit tidak mempunyai anak maupun suami/istri, yaitu seperti yang difirmankan Allah: ...jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga… QS. 4:11 Misalnya: seorang wafat dan meninggalkan: Ayah (ab) 2
Bagian
Ibu (Umm) 1
3) Ahli waris hanya saudara dan saudari kandung mayit, atau saudara dan saudari seayah dari si mayit, yaitu seperti yang difirmankan Allah: Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan QS. 4:176 Misalnya: seorang wafat dan meninggalkan:
Bagian
Saudara kandung (akh shaqÊq) 2
Saudari kandung (ukht shaqÊqah) 1
Atau
Saudara seayah (akh lil ab) 2
Saudari seayah (ukht lil ab) 1
4) Perbandingan antara bagian suami dan bagian istri, seperti Firman-Nya: "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
83
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.."
Bagian
Suami (zauj) istri (zaujah) Jika tidak punya anak 1/2 1/4
Atau
Suami (zauj) istri (zaujah) Jika punya anak 1/4 1/8
b. Kedudukan/kondisi-kondisi yang membuat bagian waris perempuan sama dengan bagian laki-laki adalah sebagai berikut: 1) Ahli waris Bagian
Ayah (ab) 1/6
Ibu (umm) 1/6
Anak laki-laki (ibn) Sisa ('aÎabah)
2) Ahli waris Bagian Jumlah
Ayah (ab) 1/6 + Sisa ('aÎabah)
Ibu (umm) 1/6 1
2 Anak pr (bintÉni) 2/3 4
1 3) Ahli waris Bagian Jumlah
Suami (zauj) 1/4 3
Ayah (ab) 1/6 + Sisa ('aÎabah) 2
Ibu (umm) 1/6 2
1 Anak pr (bint) 1/2 6
4) Ahli waris
Ayah (ab)
Nenek dari ibu (jaddah li umm)
Anak lk (ibn)
Bagian
1/6
1/6
Sisa
Ayah
Nenek dari ibu (jaddah li umm)
2 anak pr (bintÉni)
1/6 + sisa
1/6
2/3
atau
Nb. Bagian ayah dan nenek pada tabel 4 ini sama jumlahnya, padahal hubungan kekerabatan nenek dari ibu (ibunya ibu) dengan si mayit lebih jauh daripada ayah. 5) Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu QS. 4:12
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
84
Ahli waris Bagian Jumlah
Suami (zauj) 1/2 3
Ibu (umm) 1/3 2
Saudara seibu (akh lil umm) 1/6 1
Suami (zauj) 1/2 3
Ibu (umm) 1/3 2
Saudari seibu (ukht lil umm) 1/6 1
6) Ahli waris
Suami (zauj) 1/2 3
Ibu (umm)
Ahli waris
Suami (zauj)
Ibu (umm)
Bagian
1/2
1/6
2 Saudari seibu (ukhtÉn lil umm) 1/3
Jumlah
3
1
2
Bagian Jumlah
Saudara seibu Saudari seibu (ukht (akh lil umm) lil umm) bersekutu dalam yang sepertiga 1 1
1/6 1
7) Saudara kandung (akh shaqÊq) Sisa, tapi sudah habis NOL
Pendapat 'Ali ibn AbÊ ÙÉlib dan Ibn 'AbbÉs
Ahli waris
Suami (zauj)
Ibu (umm)
Bagian Jumlah
1/2 3
1/6 1
2 Saudari seibu (ukht lil umm)
Saudara kandung (akh shaqÊq) bersekutu dalam yang sepertiga 1 1
Pendapat 'Umar, Zayd ibn ThÉbit dan 'UthmÉn
8) Bagian waris yang sama antara laki-laki dan perempuan saat mereka dalam kedudukan tunggal/sendirian Ahli waris
Suami (zauj) 1/4
Anak lk (ibn)
Istri (zaujah) 1/4
Saudara (akh)
Ahli waris
Suami (zauj)
Bagian
1/2
Saudara kandung (akh shaqÊq) Sisa
Bagian
Sisa
Istri (zaujah) 1/8
Anak pr (bint)
Istri (zaujah) 1/4
Saudari (ukht)
1/2 + sisa
9) Ahli waris Bagian
Sisa
1/2 + sisa
10)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
Suami (zauj)
Saudari kandung (ukht shaqÊqah)
1/2
1/2 + sisa
85
11)
c.
Ahli waris
Suami (zauj)
Anak pr (bint)
Suami (zauj)
Anak pr (bint)
Saudari kandung (ukht shaqÊqah)
1/2
Saudara kandung (akh shaqÊq) Sisa
Bagian
1/4
1/4
1/2
2
1
1
2
Sisa bersama bint ('aÎabah ma'a lghair) 1
Jumlah
1
Kedudukan/kondisi-kondisi yang membuat bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian laki-laki adalah sebagai berikut: Sebelum memaparkan kedudukan/kondisi, dimana perempuan mendapatkan hak
waris yang lebih besar dari laki-laki, akan dijelaskan terlebih dulu sistem bagian waris dalam syariah. Besaran bagian waris dalam syariah ditentukan dengan dua jalan: a) alMirÉth bi l-FarÌi yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Yaitu jumlah bagian tertentu yang diberikan pada ahli waris, seperti 2/3, 1/3, 1/6, 1/2, 1/4, atau 1/8. b) alMirath bi l-ta'ÎÊb; yaitu sisa bagian yang telah dikurangi dari bagian tertentu (al-MirÉth bi l-FarÌi). Untuk lebih jelasnya siapa penerima bagian ini, silahkan memperhatikan tabel berikut: Perincian bagian waris dalam al-Qur'an dan al-Sunnah 2/3
1/2
2 anak pr (bintÉni) 2 cucu pr dari anak lk (bintÉ l-ibn) 2 Saudari kandung (ukhtÉni shaqÊqÉni) 2 Saudari seayah (ukhtÉni lil ab)
1 anak pr (bint)
Ibu (umm)
Ibu (umm)
Suami (zauj)
1 cucu pr dari anak lk (bint libn) 1 Saudari kandung (ukht shaqÊqah)
Saudari seibu (ukht lil um)
Nenek
Istri (zaujah)
Saudara seibu (akh lil um)
Cucu dari anak lk (bintul ibn)
1 saudari seayah (ukht lil ab) Suami (zauj)
1/3
1/6
1/4
1/8 Istri (zaujah)
Saudari seayah (ukht lil ab) Saudari seibu (ukht lil um) Saudara seibu (akh lil um) Ayah Kakek
Dari tabel di atas dapat dipahami sebagai berikut: PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
86
Bagian terbesar dalam hukum waris yaitu (2/3) hanya diperuntukkan bagi wanita. Bagian 1/2 tidak didapati oleh laki-laki, kecuali hanya suami pada kasus yang jarang terjadi, di antaranya karena si mayit (istri) tidak memiliki anak maupun tidak adanya ahli waris lainnya yang mengurangi hak 1/2nya (far'u l-wÉrith), sedangkan selebihnya, bagian 1/2 didapatkan oleh para wanita dalam empat (4) kasus. Sedangkan bagian terkecil (1/8), diperoleh istri karena adanya para ahli waris lainnya yang mengurangi hak 1/4nya. Namun demikian dalam ketentuan bagian ahli waris (aÎÍÉb al-furËÌ) yang disebutkan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, terdapat 17 kasus di mana penerimanya adalah wanita, dibanding laki-laki yang hanya enam kasus. Untuk lebih jelasnya perhatikan beberapa tabel berikut ini: 1) Misalnya ada wanita meninggal dan meninggalkan uang 60 juta dengan ahli warisnya sebagai berikut: Ahli waris
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (um)
Bagian
1/4
1/6+sisa
1/6
2 Anak pr (bintÉni) 2/3
Jumlah Jml. waris
3 12jt
2+0 8jt
2 8jt
8 32jt
Bandingkan
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (um)
2 Anak lk (ibnÉni)
1/4
1/6
1/6
3 15jt
2 10jt
2 10jt
Sisa ('aÎabah) 5 25jt
Jadi 1 anak perempuan dapat Rp. 16.000.000; sedangkan 1 anak laki-laki Rp.12.500.000 2) Jika ada wanita wafat dan meninggalkan warisan 48 juta dengan ahli warisnya sbb: Ahli waris
Suami (zauj)
Ibu (um)
Bagian Jumlah Jml. waris
1/2 3 18jt
1/6 1 48/8= 6 ('aul) 6jt
2 saudari kandung (shaqiqatÉni) 2/3 4 24jt
Bandingkan
Suami (zauj)
Ibu (um)
1/2 3 24jt
1/6 1 8jt
2 saudara kandung (shaqiqÉni) Sisa ('aÎabah) 48/6 x 2 ('aul) 16jt
Jadi 1 saudara dapat Rp. 8.000.000; sedangkan 1 saudari Rp. 12.000.000 Dan masih banyak kasus lainnya yang menunjukkan bahwa bagian perempuan lebih besar bila dibanding laki-laki. d. Kedudukan/kondisi-kondisi yang membuat harta waris hanya didapatkan perempuan dan tidak didapatkan oleh laki-laki, seperti pada tabel berikut: 1) Bila seorang wanita wafat, dan meninggalkan harta 195 hektar dengan ahli waris sbb:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
87
Ahli waris
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (um)
Bagian Jumlah Jml. waris
1/4 3 39 ha
1/6+sisa 2 26 ha
1/6 2 26 ha
Anak pr (bint) 1/2 6 78 ha
Cucu pr dari Anak lk (bintu ibn) 1/6 2 26 ha
Bandingkan jika ahli warisnya: Ahli waris
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (um)
Bagian Jumlah Jml. waris
1/4 3 45
1/6 2 30
1/6 2 30
Anak pr (bint) 1/2 6 90
Cucu lk dari anak lk (ibnu ibn) Sisa NOL
2) Bila seorang wanita wafat, dan meninggalkan harta 84 hektar dengan ahli waris sbb: Ahli waris
Suami (zauj)
Bagian Jumlah Jml. waris
1/2 3 36jt
Saudari kandung (shaqÊqa) 1/2 3 36jt
saudari seayah* (ukht lil ab) 1/6 1 12jt
Suami (zauj) Bandingkan
1/2 1 42 ha
Saudari kandung (shaqÊqah) 1/2 1 42ha
saudara seayah (akh lil ab) Sisa ('aÎabah) NOL
*ada 'aul karena adanya saudari seayah, sehingga pembagiannya 84:7= 12
PERKEMBANGAN STUDI PEREMPUAN, KRITIK, DAN GAGASAN SEBUAH PERSPEKTIF UNTUK STUDI GENDER KE DEPAN
Sampai saat ini berbagai instrumen yuridis telah dibuat untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di Indonesia (KemNeg PP dan BPS, 2006). Komitmen pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi. Namun, dalam kenyataannya ketimpangan gender dalam segala aspek kehidupan tetap terjadi, sehingga sangat perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya. Wacana tentang isu gender sudah menjadi isu yang mendunia. Pada umumnya isu gender yang paling sering dibahas adalah masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dinilai subordinal atau marginal. Persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender bukanlah persoalan sederhana dan berdimensi lokal, namun persoalan ini ditemui di seluruh belahan dunia, serta berkaitan erat dengan segala sendi kehidupan manusia. Maka tidaklah PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
88
mengherankan jika boleh dikatakan perjuangan para pemerhati masalah perempuan, untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah sekian lama seolah-olah jalan di tempat, atau paling sedikit hasil yang dicapai belum sesuai dengan harapan. Dilihat dari sejarah perhatian dunia secara formal mengenai persamaan antara lakilaki dan perempuan sudah dimulai pada tahun 1948 melalui suatu deklarasi yang disebut sebagai The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan tahun 1976 dilengkapi menjadi The International Bill of Human Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia). Dalam prakatanya Presiden Amerika pada saat itu Jimmy Carter menyatakan bahwa Piagam PBB berbicara tentang keyakinan pada hak asasi manusia yang fundamental, pada martabat dan penghargaan manusia, pada persamaan hak laki-laki dan perempuan dan bangsa-bangsa besar dan kecil (Heraty, 1999). Pernyataan tersebut secara implisit mengemukakan bahwa ada ketidaksamaan hak antara laki-laki dan perempuan didunia ini, sehingga perlu dibuat dalam sebuah pernyataan agar negara, maupun masyarakat, mengindahkan persamaan hak tersebut sebagai sebuah hak asasi manusia. Gerakan feminis di negara Amerika Serikat sudah dimulai jauh sebelum masa itu, misalnya seorang Feminis Amerika yang bernama Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) yang memprakarsai konvensi hak-hak perempuan tahun 1848 di Seneca Falls dan memperjuangkan hak suara kaum perempuan di negara itu (Hadiz, 1998), namun baru seratus tahun kemudian PBB secara resmi menyampaikan deklarasi tentang hak asasi manusia termasuk hak perempuan dan laki-laki. Ini juga sebuah pertanda bahwa demikian tidak mudah untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Kesetaraan gender juga sangat penting artinya dalam peningkatan kualitas kehidupan keluarga melalui penurunan tingkat fertilitas dalam sebuah keluarga. Seperti yang dikatakan oleh Ilyas (2006), bahwa suatu tema dari konferensi internasional tentang penduduk dan pembangunan tahun 1994 menyatakan bahwa tingkat kesetaraan gender yang tinggi sangat diperlukan bagi negara-negara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas di negaranegara tersebut. Penurunan fertilitas ini terjadi melalui kesetaraan gender di empat bidang yaitu kesetaraan ekonomi/pendapatan, kesetaraan waktu kerja dalam mencari nafkah, kesetaraan peran dalam kemasyarakatan, kesetaraan dalam pengambilan keputusan penting dalam rumah tangga.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
89
Peningkatan kesetaraan gender pada empat bidang tersebut mengakibatkan penurunan fertilitas melalui hak reproduksi istri, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas keluarga. Dengan demikian jika pemerintah menginginkan terjadi penurunan fertilitas di dalam sebuah keluarga, maka cara tidak langsung yang dapat digunakan adalah melalui peningkatan kesetaraan gender. Secara umum di Indonesia, maupun secara khusus di masing-masing provinsi berbagai ketimpangan gender masih terlihat sampai saat ini, termasuk di Provinsi Bali. Dari data secara makro jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Bali pada tahun 2005 adalah 1.710.057 orang dan 1.673.515 orang, dengan perbandingan 50,54 persen penduduk laki-laki dan 49,46 persen penduduk perempuan (BPS, 2006). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan di Bali relatif berimbang. Demikian pula apabila dilihat jumlah penduduk usia kerja (PUK) umur 15 tahun ke atas, perbedaan antara kedua jenis kelamin tersebut semakin mengecil yaitu dengan jumlah 1.258.008 orang untuk PUK laki-laki dan sebanyak 1.254.126 orang untuk PUK perempuan (BPS, 2006). Meskipun PUK laki-laki dan perempuan di Provinsi Bali tahun 2005 hampir sama jumlahnya, namun jumlah maupun tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki. Kondisi ini juga merupakan bukti terjadi ketimpangan gender di bidang ketenagakerjaan. TPAK laki-laki pada tahun 2005 di Provinsi Bali sebesar 77,71 persen; sedangkan TPAK perempuan 66,80 persen. Berdasarkan data Survai Angkatan Kerja Indonesia tahun 2007, TPAK perempuan meningkat menjadi 67,78 persen, sedangkan TPAK laki-laki menjadi 84,78 persen. Selisih TPAK laki-laki dengan perempuan terlihat cukup tinggi yang mencapai sekitar 11 persen poin tahun 2005 dan selisih tersebut meningkat lagi menjadi 17 poin pada tahun 2007. Hal yang dapat dilihat dari TPAK perempuan di Bali adalah semakin meningkatnya TPAK perempuan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2003 TPAK perempuan 59,92 persen meningkat menjadi 61,43 persen tahun 2004, dan tahun 2005 sebesar 66,80 persen, dan tahun 2007 sebesar 67,78 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender dari segi ketenagakerjaan khususnya dari segi tingkat partisipasinya sudah semakin mengecil. Ketimpangan gender dari segi ketenagakerjaan dapat juga dilihat dari persentase pekerja yang tidak dibayar. Pada tahun 2005 persentase pekerja laki-laki yang tidak dibayar hanya 8,5 persen; sedangkan persentase pekerja perempuan yang tidak dibayar mencapai 30,04 persen. Suatu kesenjangan yang sangat tinggi. Kesenjangan ini semakin PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
90
melebar bila dilihat di daerah perdesaan dengan perbandingan 11,95 persen dengan 41,64 persen. Demikian pula jika dilihat dari data persentase karyawan / pegawai juga terlihat ada ketimpangan yang cukup besar yaitu sebanyak 24,81 persen dari total penduduk lakilaki yang bekerja tergolong karyawan /pegawai, sedangkan perempuan hanya 13,79 persen. Selain di bidang ketenagakerjaan, ketimpangan gender juga terlihat di bidang pendidikan. Walaupun telah terjadi transisi di bidang pendidikan baik di Indonesia maupun di Bali. Transisi pendidikan dapat dilihat dari telah terjadinya perubahan dari masyarakat yang tidak terdidik menjadi masyarakat yamg lebih terdidik, dan juga perubahan ke arah bentuk pendidikan yang mempunyai kualitas yang lebih baik (Nachromi, 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa transisi tersebut meliputi tiga hal yaitu (1) adanya kesempatan belajar yang semakin luas dan merata; (2) makin lamanya seseorang menghabiskan waktunya di bangku sekolah; (3) semakin meningkatnya kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan yang lebih berkualitas. Kebijakan maupun program pemerintah di bidang pendidikan di semua jenjang pendidikan memang tidak memperlihatkan adanya bias gender, namun jika dilihat dari komposisi lulusan terutama di tingkat pendidikan menengah dan tinggi menurut jenis kelamin masih nyata menunjukkan adanya ketimpangan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketimpangan di bidang pendidikan antara lain seperti berikut. Pertama, kemampuan baca tulis penduduk dilihat dari persentase buta huruf, dimana pada tahun 2005 persentase buta huruf laki-laki hanya 1,62 persen, sedangkan perempuan mencapai 5,47 persen dari total penduduk menurut jenis kelamin di Provinsi Bali yang berumur 10-44 tahun. Apabila dilihat dari data tersebut, persentase buta huruf perempuan mencapai lebih dari tiga kali lipat dari persentase buta huruf laki-laki. Kedua, pendidikan tertinggi yang ditamatkan dimana dari indikator ini persentase penduduk laki-laki umur 10 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan SMU ke atas sebesar 35,64 persen, sedangkan perempuan hanya 28,69 persen. Demikian juga persentase penduduk yang tidak memiliki ijazah yang berumur 10 tahun ke atas untuk laki-laki 18,85 persen, sedangkan perempuan mencapai 21,57 persen (BPS, 2006). Meskipun telah dilakukan berbagai program pemerintah di bidang pendidikan seperti Kejar Paket A, Kejar Paket B, Program BOS (Bantuan Operasional PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
91
Sekolah), namun masih tetap terjadi ketimpangan antara pendidikan laki-laki dengan perempuan. Di bidang politik juga terjadi ketimpangan gender yang sangat tinggi. Untuk melihat ketimpangan ini dapat digunakan indikator jumlah anggota DPRD hasil pemilihan umum menurut jenis kelamin. Dari hasil pemilihan umum tahun 2004, jumlah anggota DPRD perempuan di seluruh kabupaten di Provinsi Bali hanya 19 orang, sedangkan anggota DPRD laki-laki sebanyak 385 orang (KemNeg PP & BPS, 2006). Dari data tersebut dapat dihitung bahwa proporsi anggota DPRD perempuan di Provinsi Bali hasil pemilu 2004 adalah 4,7 persen, dan sisanya laki-laki 95,3 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan ketimpangan gender di bidang politik sangat tajam. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, jumlah anggota DPRD perempuan di DPRD Bali paling banyak yaitu 4 orang, sedangkan di Kabupaten Klungkung tidak terdapat anggota DPRD perempuan. Kabupaten/kota lainnya memiliki anggota DPRD perempuan rata-rata 2 orang, sedangkan anggota DPRD laki-laki rata-rata 37 orang. Selain keanggotaan dalam DPRD, ketimpangan gender di bidang politik dapat juga dilihat dari indikator pengurus dan pemimpin partai politik. Apabila dilihat dari data yang ada keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik di Provinsi Bali sangat rendah. Disini masih kental kelihatan pandangan bahwa dunia politik adalah dunianya lakilaki. Pada tahun 2006 jumlah pengurus partai politik di Provinsi Bali sebanyak 1.624 orang, dimana hanya 14,7 persen yang berjenis kelamin perempuan, sisanya 85,3 persen adalah laki-laki. Bahkan untuk pimpinan parpol sama sekali tidak ada perempuan dari 147 orang pimpinan parpol di seluruh Bali (KemNeg PP & BPS, 2006). Dengan memperhatikan data dari kedua indikator tersebut, maka dapat disimpulkan terjadi ketimpangan gender yang sangat tinggi di bidang politik. Jika diperhatikan perjuangan atau aspirasi para pejuang/pemerhati masalah gender di Indonesia, aliran-aliran feminisme tersebut secara implisit juga menjadi tuntutan atau menjadi dasar perjuangan. Misalnya di bidang politik tuntutan yang diajukan adalah adanya kuota sebanyak 30 persen keanggotaan perempuan di DPR, meskipun itu tidak pernah terpenuhi. Jika dibandingkan dari awal perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk meningkatkan kesetaraannya dengan kaum laki-laki melalui berbagai program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah, memang sudah memperlihatkan berbagai kemajuan yang telah dicapai, baik di bidang pendidikan maupun di bidang-bidang lainnya. Namun demikian, sampai saat ini perjuangan tersebut PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
92
boleh dikatakan belum berhasil seperti yang diharapkan, dengan bukti-bukti masih terdapat berbagai ketimpangan kondisi antara laki-laki dan perempuan seperti di bidang pendidikan, kesempatan untuk menduduki jabatan tertentu, maupun dibidang politik seperti pencapaian kursi di DPR. Melihat kondisi seperti ini haruslah dicari penyebabnya secara menyeluruh, kondisikondisi yang mendukung, yang menyebabkan seolah-olah terjadi pelestarian berbagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Dengan diketahui penyebabnya, maka kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender akan lebih tepat sasaran atau mungkin juga kebijakan tertentu tidak diperlukan, jika memang para perempuan sendiri tidak menginginkannya. Dengan kata lain tidak akan bijaksana jika membuat kebijakan yang sama di semua daerah bagi seluruh perempuan yang demikian heterogen.
Perkembangan Studi Perempuan/Studi Gender di Indonesia
Perkembangan studi perempuan atau studi gender di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan studi gender di berbagai negara. Perkembangan itu berkaitan erat dengan pelaksanaan konferensi perempuan yang dilaksanakan di berbagai negara
yang
dimotori
oleh
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB).
Salah
satu
kegiatan/media untuk menyuarakan tuntutan para perempuan adalah melalui konferensi yang telah dilaksanakan beberapa kali di berbagai negara. Sampai saat ini telah dilaksanakan konferensi perempuan sebanyak 4 kali dan konferensi yang kelima direncanakan pada tahun 2010. (1) Konferensi Perempuan Sedunia I di Mexico City tahun 1975 Dari konferensi ini dapat diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan lebih terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan, baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat hasil pembangunan (BKKBN, Kem Neg PP, 2005). Setelah konferensi tahun 1975 tersebut, oleh PBB tahun 1976-1985 disebut sebagai dasa warsa perempuan, dan setelah tahun tersebut topik bahasan mengenai perempuan berkembang pesat baik di bidang akademis, maupun di organisasi internasional. (2) Koferensi Perempuan Sedunia II di Copenhagen tahun 1980, untuk melihat kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, mengenai keikutsertaan perempuan dalam pembangunan. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
93
(3) Konferensi Perempuan Sedunia III di Nairobi Kenya tahun 1985, salah satu kesepakatannya adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk melihat mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang kehidupan. (4) Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tahun 1995, yang telah menyepakati 12 isu kritis yang berkaitan dengan perempuan yang perlu mendapat perhatian dunia dan segera ditangani. Deklarasi Beijing ini dan program aksinya sudah mencantumkan isu gender dan informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan. Deklarasi Beijing mencatat bahwa pengarusutamaan gender sebagai suatu isu yang strategis dan penting untuk program kemajuan perempuan dan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan (Sutanto, 2004). Program aksi Deklarasi Beijing ini menekankan pada perlunya pemberdayaan perempuan melalui peningkatan keterampilan, pengetahuan, akses kepada dan penggunaan teknologi informasi. (5) Konferensi Perempuan Sedunia V, yang pelaksanaannya diundur sampai tahun 2010 dengan nama Beijing Plus 10. Untuk memperingati perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan status dan kedudukannya, ditetapkan hari perempuan sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Selain itu pada saat konferensi dunia Hak Asasi Manusia (HAM) II di Wina pada tahun 1993, juga telah dibicarakan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang memberikan perlindungan bagi korban kekerasan serta memberikan sanksi pidana bagi pelakunya (Soeparman, 2006). Secara rinci perkembangan pembahasan mengenai studi perempuan berkaitan dengan paradigma yang melandasi perjuangan atau tuntutan para pemerhati persoalan gender di Indonesia dapat dilihat dalam uraian berikut. Secara garis besar terdapat 4 paradigma dalam pembahasan mengenai studi perempuan.
1) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Women in Development (WID) Konferensi Perempuan Sedunia I tahun 1975 melahirkan perspektif Women in Development (WID) yang menuntut agar terdapat persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan (Caraway, 1998). Mereka menuntut agar perempuan diintegrasikan dalam proses pembangunan. Jadi diharapkan perempuan memiliki akses di segala bidang seperti ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Pada PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
94
pendekatan WID ini perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan karena perempuan dianggap kurang pendidikan, kurang pelatihan, maupun tidak ada rasa percaya diri. Untuk itu perempuan harus meningkatkan kemampuannya agar dapat terlibat dalam pembangunan (Dewi, 2006). Keterlibatan perempuan di bidang ekonomi akan meningkatkan posisi ekonomi perempuan, sehingga mereka percaya status dan kedudukan perempuan akan meningkat di masyarakat. Jadi konsep WID adalah memfokuskan pada perubahan situasi, yang bertujuan untuk menarik dan menempatkan perempuan dalam arus pembangunan, karena perempuan merupakan sumber daya manusia yang melimpah, yang dapat menggerakkan roda pembangunan, asalkan kemampuan mereka ditingkatkan (Silawati, 2006). Untuk dapat mengakomodir perubahan situasi tersebut misalnya harus dilakukan peningkatan akses perempuan di bidang ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Konferensi Perempuan Sedunia I tahun 1975, maka dibentuk Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pada tahun 1978. Melalui kementerian inilah dilakukan usaha-usaha untuk mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan. Pada masa paradigma/pendekatan inilah riset-riset banyak dilakukan berkaitan dengan usaha-usaha peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan, sebagai satu bukti pengintegrasian mereka di bidang ekonomi. Beberapa alasan yang sering dikemukan kenapa usaha peningkatan TPAK perempuan menjadi penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah antara lain adalah : 1) jumlah penduduk perempuan yang termasuk usia produktif hampir sama jumlahnya dengan penduduk laki-laki, sehingga kalau tidak dimanfaatkan/didayagunakan dibidang ekonomi, maka akan mengurangi jumlah output yang dapat dicapai oleh negara, jadi ini akan merupakan satu kerugian yang besar jika perempuan tidak dilibatkan dalam proses produksi barang dan jasa; 2) berkaitan dengan masalah keadilan sosial, dimana laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk terlibat dalam proses pembangunan; 3) berkaitan dengan potensi yang dimiliki oleh perempuan baik berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan, ataupun keahlian, yang jika tidak dimanfaatkan akan sangat merugikan masyarakat ataupun negara; 4) berkaitan dengan peranan perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya melalui sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga; 5) adanya penegasan secara formal oleh pemerintah melalui GBHN bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam semua proses pembangunan yang dilaksanakan. Gerakan-gerakan yang didukung oleh ideologi feminisme telah berhasil PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
95
meningkatkan partisipasi perempuan di sektor publik secara signifikan, namun dengan biaya ideologis yang tinggi yang harus dipikul oleh perempuan (Abdullah, 2006). Paradigma ini boleh dikatakan muncul dari hasil penelitian atau kritik dari salah satu pengacara feminis terkemuka dari pendekatan WID yaitu Ester Boserup. Ester Boserup mengkritik pendekatan kesejahteraan dalam kebijakan dan program pembangunan sebelum tahun 1970-an, yang menurutnya pembangunan seringkali berdampak negative terhadap perempuan. Kerugian perempuan inilah yang dilihat oleh Ester Boserup dalam penelitiannya di beberapa negara sedang berkembang. Lebih lanjut pendekatan ini mengkritik bagaimana para perempuan miskin hanya ditempatkan pada peran di wilayah rumah tangga, bergantung pada suami, bukan sebagai warga negara atau masyarakat sipil (Dewi, 2006). Kegiatannya hanya berkutat pada program-program untuk ibu dan anak seperti gizi, kesehatan dan pengasuhan. Boserup (1984) menggambarkan dalam bukunya yang berjudul Peranan Perempuan dalam Pembangunan Ekonomi (Women‟s Role in Economic Development), bahwa seiring dengan meningkatnya kondisi suami para istri mulai kehilangan status. Para istri dianggap tradisional dan terbelakang, sedangkan para suami dianggap maju dan modern. Dengan akibat yang dirasakan dari kebijakan pembangunan tersebut khususnya bagi perempuan, maka tuntutan para feminis adalah mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan melalui pendekatan WID. Kesuksesan besar dari pendekatan WID ini adalah berdirinya biro dan kementrian pemberdayaan perempuan serta munculnya organisasi-organisasi perempuan di berbagai negara. Pada paradigma ini, selain di bidang ekonomi, perempuan juga didorong atau dilibatkan dalam berbagai organisasi perempuan, seperti organisasi PKK, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, maupun organisasi Bhayangkari, dimana keanggotaan perempuan dalam organisasi ini akibat keberadaan kedudukan para suami-suami mereka. Dengan melihat bahwa banyak terjadi diskriminasi pada perempuan baik sebagai subyek maupun obyek pembangunan, maka pada tanggal 18 Desember tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyetujui konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang dikenal dengan Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW). Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui UU RI No. 7 tahun 1984, yang pelaksanaannya diserahkan kepada MenUPW (Heraty, 1999).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
96
2) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Gender and Development (GAD) Pada paradigma ini diperkenalkan konsep gender, dimana studi tentang perempuan dihubungkan dengan laki-laki. Dengan perspektif gender wacana tentang perempuan sekaligus dihubungkan dengan laki-laki, dimana dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan menjadi kajian utama (Abdullah, 1998). Konsep gender ini muncul setelah Konferensi Perempuan Sedunia III di Nairobi, Kenya tahun 1985. Pada paradigm ini dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang berbeda, demikian pula dari sesama perempuan berdasarkan kategori sosial mereka. Pada paradigm ini disadari bahwa terjadi ketimpangan gender/hubungan gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang terjadi baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara. Dalam paradigma atau pendekatan GAD ini, melihat ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik yang tidak adil pada mereka. Jadi yang harus dibenahi adalah hubungan-hubungan tersebut, bukan perempuannya (Silawati, 2006). GAD menekankan pada redistribusi kekuasaan (power) dalam relasi social perempuan dan laki-laki, dimana kekuasaan laki-laki di bidang ekonomi, sosial, dan budaya terus digoyang dan dipertanyakan (Dewi, 2006). Dalam pendekatan ini dipandang bahwa yang menciptakan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan adalah struktur dan proses sosial politik. Ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan terlihat pada akses dan kontrol terhadap sumber daya, kesempatan dan manfaat, serta dalam pengambilan keputusan (partisipasi dan representasi). Untuk itu pendekatan dalam GAD ini adalah masyarakat dan berbagai institusi mengubah cara berpikir dan praktek untuk mendukung persamaan kesempatan, pilihan, dan kesetaraan. Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum lakilaki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki. Dengan konsep GAD yang melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, lalu muncul dan disadari bahwa terdapat fenomena ketidakadilan dan diskriminasi gender. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil yang dialami oleh laki-laki dan perempuan akibat dari system dan struktur sosial yang PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
97
telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005). Secara umum ketidakadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan. Ketidakadilan ini dapat bersumber dari berbagai perlakuan atau sikap yang secara langsung membedakan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Secara tidak langsung ketidakadilan ini dapat bersumber dari dampak suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender tersebut dapat meliputi hal berikut.
(1) Marginalisasi Perempuan Salah satu bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah marginalisasi atau pemiskinan kaum perempuan. Ada berbagai contoh marginalisasi yang dialami perempuan dalam proses pembangunan bangsa ini. (a) Misalnya pembangunan di sektor pertanian, dengan program revolusi hijau yang salah satunya adalah penggunaan bibit unggul telah membuat perempuan yang berkecimpung di sektor ini menjadi lebih miskin. Penggunaan padi bibit unggul tidak memungkinkan lagi perempuan untuk memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Karena padi bibit unggul lebih pendek, maka cara panennya menggunakan sabit yang umumnya digunakan oleh laki-laki. Dengan demikian kesempatan kerja yang selama ini dimiliki oleh perempuan di sektor pertanian diambil alih oleh lakilaki, sehingga perempuan menjadi bertambah miskin. Jadi banyak perempuan tersingkir dari sektor pertanian dan menjadi lebih miskin, akibat program intensifikasi di sektor pertanian hanya memfokuskan pada petani laki-laki. (b) Pembagian kerja menurut gender yang selama ini ada juga menyebabkan marginalisasi pada perempuan. Karena konsep gender, ada jenis pekerjaan yang hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya karena perempuan dianggap tekun, sabar, teliti, maka pekerjaan yang cocok seperti guru, perawat, penerima tamu, sekretaris, atau pembantu rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan ini dipandang masih merupakan perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga. Dengan menganggap pekerjaan tersebut cocok untuk perempuan, maka pekerjaan-pekerjaan lainnya yang dianggap cocok untuk laki-laki akan tertutup bagi perempuan. Kesempatan perempuan akan lebih sedikit dalam memperoleh jenis-jenis pekerjaan tertentu. (c) Dengan menganggap pekerjaan yang cocok bagi perempuan adalah pekerjaan yang merupakan perpanjangan dari pekerjaan domestik, maka pekerjaan yang dikuasai PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
98
perempuan dinilai lebih rendah. Pada pekerjaan-pekerjaan yang juga membutuhkan keterampilan yang sama dengan laki-laki tetap ada kecenderungan tingkat upah yang diterima perempuan lebih rendah. (d) Adanya peraturan kepegawaian khusus bagi perempuan yang tidak dibolehkan bekerja
pada
shift
malam
hari,
akan mengakibatkan
perusahaan untuk
mempekerjakan karyawan perempuan sesedikit mungkin. Jadi peraturan ini menyebabkan kesempatan perempuan untuk memperoleh pekerjaan juga menjadi berkurang. (e) Perempuan yang sudah berkeluarga di Indonesia pada umumnya tetap dianggap perempuan lajang ditempat kerjanya, artinya mereka tidak mendapat tunjangan keluarga.
(2) Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Pandangan gender yang memandang perempuan lebih emosional, lebih lemah daripada laki-laki, maka perempuan tidak mampu memimpin, sehingga perempuan tidak perlu diberikan posisi/pekerjaan yang penting. Beberapa bentuk subordinasi yang dialami oleh perempuan, misalnyasebagai berikut. (a) menomorduakan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh pendidikan jika dalam rumah tangga memiliki keterbatasan sumber daya, (b) mengorbankan anak perempuan untuk masuk pasar kerja demi membantu membiayai saudara laki-lakinya untuk sekolah; (c) memiliki peluang yang rendah untuk memperoleh jabatan karir maupun jabatan politik tertentu, dan jika karena kemampuannya perempuan mampu menempati posisi penting sebagai pimpinan, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa tertekan. Menjadi bawahan seorang perempuan menyebabkan lakilaki merasa “kurang laki-laki”; (d) bagian waris perempuan di beberapa agama lebih sedikit daripada laki-laki; dan (e) dipandang sebagai orang belakang (pengikut).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
99
(3) Stereotype (Pelabelan Negatif) Pelabelan negatif/stereotype adalah sebuah bentuk ketidakadilan yang umumnya dialami oleh perempuan. Beberapa contoh pelabelan negatif yang merugikan perempuan, misalnyasebagai berikut. (a) Perempuan dipandang pesolek, suka menarik perhatian laki-laki. Dengan label ini, jika terjadi pelecehan seksual, maka sering yang disalahkan adalah perempuan. (b) Ada anggapan di masyarakat bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga dan melayani suami, sehingga jika perempuan bekerja, maka hasil pekerjaannya dipandang sebagai penghasilan tambahan, walaupun lebih banyak daripada penghasilan suaminya. (c) Laki-laki dipandang sebagai tulang punggung keluarga, sehingga meskipun suami tidak bekerja, maka pekerjaan rumah tangga tetap menjadi tanggung jawab perempuan (sumur, dapur, masak, manak). (d) Ada pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dianggap pekerjaan yang tidak bermoral, misalnya pekerjaan yang dilakukan di malam hari, pekerjaan di industri perhotelan, pelayan tempat minum, yang tentunya merugikan perempuan.
(4) Violence Violence atau kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dapat berupa kekerasan fisik maupun non fisik. Berbagai kekerasan terhadap perempuan muncul sebagai akibat perbedaan peran. Kata kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005). Pelaku kekerasan terhadap perempuan dapat bersifat individual seperti dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara. Salah satu jenis kekerasan yang dihadapi perempuan bersumber dari anggapan gender yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Contoh kekerasan fisik yang dialami oleh perempuan, misalnya berikut ini : a) pemerkosaan, termasuk yang terjadi dalam perkawinan; b) pelecehan seksual; dan c) pemukulan dalam rumah tangga (domestic violence). Kekerasan non-fisik yang terjadi pada perempuan, seperti berikut ini : a) prostitusi/pelacuran dimana seseorang atau sekelompok orang diuntungkan; b) pornografi (tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang); c) eksploitasi terhadap perempuan; dan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
100
d) Program keluarga berencana yang bertujuan untuk mengendalikan jumlah penduduk, menjadikan perempuan menjadi target program. Sangat sedikit alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi laki-laki.
(5) Beban Kerja Lebih Berat Karena ada anggapan bahwa perempuan lebih cocok untuk mengerjakan pekerjaan domestik, maka akibatnya seluruh pekerjaan rumah tangga dibebankan pada perempuan. Persoalan terdapat pada keluarga yang tergolong miskin, karena penghasilan suami tidak mencukupi, maka istri turut bekerja, sehingga pada keluarga ini perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah. Pekerjaan di dalam rumah seperti mendidik anak (mengajari anak belajar), dan pekerjaan rumah tangga lainnya semua menjadi beban perempuan, meskipun perempuan dalam keluarga tertentu menjadi pencari nafkah utama (suami tidak bekerja). Jadi beban perempuan demikian berat. Ini juga sebuah bentuk ketidakadilan yang diterima oleh perempuan di dalam masyarakat dan rumah tangganya. Pada keluarga yang kaya beban untuk pekerjaan rumah tangga dapat dialihkan pada pembantu rumah tangga yang umumnya juga perempuan, yang bekerja berat tanpa perlindungan. Kondisi ketimpangan atau ketidakadilan gender berlangsung sampai sekarang, meskipun berbagai usaha telah dilakukan untuk mengurangi masalah tersebut. Ada kondisi-kondisi di masyarakat yang mendukung hal tersebut dapat terus terjadi. Pada paradigma atau pendekatan ini area riset mengenai perempuan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Topik-topik yang diteliti antara lain banyak berkaitan dengan kesetaraan gender/hubungan laki-laki dan perempuan, seperti pengambilan keputusan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kepemilikan barang berharga, pelecehan seksual, perdagangan anak dan perempuan, eksploitasi perempuan oleh media. Namun demikian barangkali kajian-kajian tersebut belum cukup mampu untuk mengubah secara signifikan relasi antara laki-laki dan perempuan pada tingkatan keluarga, masyarakat, apalagi negara.
3) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Pemberdayaan Perempuan (Women’s Empowerment) Konsep pemberdayaan perempuan ini muncul setelah konferensi perempuan sedunia IV di Beijing. Selain itu, pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan „The Millenium Development Goals‟ (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
101
pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Dep. Kehutanan, 2005). Kebijakan pemberdayaan perempuan di Indonesia diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis perempuan. Pemenuhan kebutuhan praktis meliputi kebutuhan perempuan agar dapat menjalankan peran-peran sosial untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti perbaikan taraf kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan buta aksara dan sebagainya. Dengan kata lain kebutuhan praktis perempuan merupakan program intervensi untuk mengejar ketertinggalan perempuan yang umumnya berada di tingkat individu. Kebutuhan strategis, di antaranya berupa kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan perubahan sub-ordinasi perempuan terhadap laki-laki, seperti perubahan pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan, kontrol terhadap sumber daya dan lain-lain. Kebutuhan strategis gender juga meliputi perubahan hak-hak hukum, penghapusan kekerasan dan diskriminasi, persamaan upah, dan sebagainya (Dep. Kehutanan, 2005). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan strategis merupakan program pemberdayaan perempuan dalam mematangkan potensi yang memungkinkan perempuan dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki di peran public (Subhan, 2002). Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis perempuan adalah melalui Program Pengarusutamaan Gender/PUG (Gender Mainstreaming). Di antara kedua kebutuhan tersebut, kebutuhan strategis akan lebih cepat meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender, mengingat kesenjangan gender selama ini bersumber dari pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang memberikan posisi lebih rendah pada perempuan, sehingga kekuasaan yang dimiliki perempuan baik dalam rumah tangga maupun masyarakat juga lebih rendah daripada laki-laki. Jika pembagian kerja ini sudah dapat diperbaiki, misalnya perempuan juga memiliki akses yang tinggi di bidang pekerjaan, suami juga berkontribusi pada pekerjaan rumah tangga, dan dapat dicapai persamaan tingkat upah antara laki-laki dan perempuan, maka kekuasaan perempuan akan dapat ditingkatkan seperti dalam kepemilikan barangbarang berharga, dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Secara operasional pemberdayaan perempuan di Indonesia pelaksanaannya berada di bawah koordinator Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Garis-garis PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
102
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 mengamanatkan bahwa kebijakan pemberdayaan perempuan dilaksanakan melalui: pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Subhan, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan pemberdayaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemberdayaan menyeluruh untuk kemajuan di segala bidang.membangun tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta mewujudkan Visi Pembangunan Pemberdayaan Perempuan adalah kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk dapat mencapai visi tersebut, maka dituangkan beberapa Misi Pemberdayaan Perempuan yang meliputi: a) Peningkatan kualitas hidup perempuan diberbagai bidang strategis; b) Penggalakan sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender; c) Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; d) Penegakan HAM bagi perempuan dan anak perempuan; e) Meningkatkan kemampuan, kemandirian lembaga dan organisasi perempuan. Beberapa Tujuan dan Sasaran Pemberdayaan Perempuan untuk mencapai Visi dan Misi tersebut adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan di berbagai bidang kehidupan,
berkeluarga,
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara;
b)
Meningkatkan peranan perempuan sebagai pengambil keputusan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender; c) Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan; d) Meningkatkan komitmen dan kemampuan semua lembaga yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender; e) Mengembangkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Sasaran program pemberdayaan perempuan (empowerment of women) diarahkan untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri perempuan yang memungkinkannya untuk memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki (equality), serta untuk memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama terhadap berbagai sumber daya pembangunan. Dengan demikian kebijakan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
103
pemberdayaan perempuan diarahkan untuk secara bertahap dan berkesinambungan memenuhi kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis perempuan (Subhan, 2002). Pada paradigma inilah banyak dilakukan program-program untuk lebih memberdayakan perempuan misalnya di bidang ekonomi melalui pemberian kredit mikro kepada mereka. Pada paradigma ini Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) besar peranannya dalam usaha membantu meningkatkan pemberdayaan perempuan utamanya di bidang ekonomi. Pada kegiatan Asosiasi Pendampingan Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) sebagai salah satu contoh bentuk pemberdayaan perempuan, kegiatan yang dilakukan di tingkat komunitas adalah pembentukan kelompok-kelompok perempuan yang menjadi produsen dan konsumen kebutuhan sehari-hari baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun komunitasnya. ASPPUK adalah organisasi perempuan di Indonesia yang aktif melakukan usaha-usaha penguatan pada perempuan yang bekerja di wilayahwilayah marginal atau terpinggir, yaitu pada usaha mikro (Hartini, 2006). Sampai saat ini ASPPUK beranggotakan 54 LSM dan 40 partisipan yang tersebar di 22 provinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Kegiatan yang dilakukan di tingkat regional dan nasional adalah dengan dibentuknya organisasi jaringan yang dapat member kekuatan politis bagi perempuan, dan siap melakukan advokasi kapan saja. Jadi dengan telah terbentuknya kelompok-kelompok usaha perempuan tersebut berarti perempuanperempuan tersebut sudah lebih berdaya dibandingkan dengan sebelumnya atau pemberdayaan yang dilakukan telah berhasil meningkatkan aktivitas ekonomi perempuan. Dengan demikian pada kegiatan ASPPUK ini, kegiatan pemberdayaan dilakukan melalui : 1) pengorganisasian sumber daya lokal; 2) mobilisasi sumber daya lokal; 3) pembentukan organisasi jaringan yang akan melakukan pembinaan/advokasi, dan 4) pembentukan kelompok-kelompok perempuan. Salah satu hal penting yang disampaikan dalam tulisan Hartini, (2006) adalah penguatan ekonomi merupakan entry point dari pemberdayaan perempuan.
4) Paradigma yang Bekaitan dengan Konsep Pengarusutamaan Gender/PUG atau Gender Mainstreaming Konsep PUG pertama kali saat konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995. Pada saat itu berbagai area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan (Silawati, 2006). Terdapat 12 wilayah kritis yang PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
104
harus ditempuh dalam upaya pemberdayaan perempuan di negara-negara anggota PBB. Wilayah kritis tersebut adalah: 1) perempuan dan kemiskinan; 2) pendidikan dan pelatihan untuk perempuan; 3) perempuan dan kesehatan; 4) kekerasan terhadap perempuan; 5) perempuan dan konflik bersenjata; 6) perempuan dan ekonomi; 7) perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; 9) hak asasi perempuan; 10) perempuan dan media; 11) perempuan dan lingkungan; dan 12) anak perempuan (Cattleya, 2006). PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Platform for Action (BPFA) yang menyatakan bahwa pemerintah dan pihak-pihak lain harus mempromosikan kebijakan gender mainstreaming secara aktif dan nyata terlihat dalam semua kebijakan dan program, sehingga sebelum keputusan diambil, analisis tentang dampak kebijakan terhadap perempuan dan laki-laki telah dilakukan (Dewi, 2006). Lebih lanjut Silawati (2006) menyatakan bahwa PUG yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris yaitu Gender Mainstreaming bukanlah konsep yang mudah untuk dipahami mereka yang tidak menggunakan Bahasa Inggris. Kondisi seperti tidak hanya terjadi di Indonesia, juga terjadi di berbagai negara lainnya seperti di Jerman, Swedia, atau di negara-negara Asia lainnya. Dengan tidak mudahnya pemahaman konsep PUG, maka akan ada potensi penerapan PUG di berbagai negara tidak sama sehingga tingkat pencapaian kesetaraan gender juga akan berbeda. PUG telah diadopsi secara resmi di Indonesia sejak tahun 2000 dengan keluarnya Instruksi Presiden atau Inpres No. 9 tahun 2000. Inpres ini merupakan suatu dasar hukum untuk pelaksanaan PUG yang merupakan suatu
bentuk
komitmen
pemerintah
Indonesia
dalam
mengikuti
kesepakatan
internasional dan juga dari desakan masyarakat luas misalnya melalui para pakar atau pemerhati masalah gender agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan nyata yang dalam usaha mempercepat keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dilakukan mengingat akar masalah ketidakadilan yang terjadi selama ini mungkin saja berasal dari praktek kebijakan dan program pembangunan (selain masalah budaya), yang menyebabkan ada kelompok yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil, dan kelompok lainnya menikmati keuntungan dari proses pembangunan tersebut. Sebagai contoh dalam proses sosialisasi mengenai bagaimana menjadi perempuan yang ideal, seringkali keluarga, sekolah, bacaan dan televisi yang menjadi sumber informasi, menegaskan suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki tetap ditonjolkan, serta perempuan cenderung dihubungkan dengan kegiatan domestik (Abdullah, 2001). PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
105
Presiden telah menginstruksikan kepada seluruh jajaran eksekutif, gubernur, bupati, dan walikota untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender (PUG) sebagai bagian dari pembangunan nasional (Soeparman, 2006). Para pelaksana pemerintahan di pusat maupun di daerah tersebut, harus melaksanakannya di setiap tahap penyusunan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan berbagai kebijakan, program, dan kegiatan termasuk penganggarannya sesuai dengan fungsi, bidang tugas, dan kewenangan masing-masing. Instruksi Presiden ini juga memberi mandat kepada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk bertindak sebagai koordinator dan fasilitator dalam pelaksanaan strategi PUG ini. Program Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam relasi social yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik di lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara (Dep. Kehutanan, 2005). Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 20002004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender (Subhan, 2004).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
106
Kritik terhadap Studi Gender Selama Ini Jika dilihat kembali usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, hasil yang dicapai belumlah seperti yang diharapkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada hal-hal yang mungkin memerlukan perhatian yang lebih kritis, sehingga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program perempuan dapat mencapai hasil seperti harapan. Beberapa kritik terhadap studi gender maupun kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini yang berkaitan bidang perempuan disampaikan berikut ini. 1) Program-program yang diterapkan selama ini oleh pemerintah melalui Menteri Urusan Peranan Wanita atau yang sekarang disebut Menneg Pemberdayaan Perempuan bersifat sentralistik, artinya program-programnya sama sesuai dengan kebijakan dari pusat, padahal kondisi dan permasalahan yang diihadapi oleh perempuan di masing-masing provinsi sangatlah berbeda yang sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi perempuan yang bersangkutan. Dapat dikatakan perempuan Indonesia demikian heterogen. Misalnya perempuan yang tergolong miskin, mereka pasti akan berpartisipasi di bidang ekonomi karena tuntutan atau keharusan demi kelangsungan hidup keluarga, tidak perlu didorong.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
107
Perempuan yang tergolong kelompok menengah dan atas yang segi ekonomi sudah cukup atau sudah mapan, mungkin merupakan kelompok yang pertamakali menanggalkan peran gandanya. Mereka ini mungkin akan lebih menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga, dan kelompok ini akan sulit didorong untuk berperan ganda. Selain itu kondisi ini juga tidak lepas dari budaya yang berlaku di satu daerah, misalnya seperti di Bali dalam konsep Agama Hindu diyakini bahwa bekerja adalah Dharma atau bekerja adalah suatu kewajiban bagi manusia baik laki-laki maupun perempuan, sehingga terlihat TPAK perempuan di Bali tertinggi di Indonesia. Jadi kebijakan-kebijakan mengenai perempuan akan kurang bijaksana jika dibuat sama, oleh karena itu diperlukan suatu informasi mengenai apa yang diinginkan oleh para perempuan di masing-masing daerah/provinsi misalnya, sehingga kebijakan diharapkan akan menjadi lebih tepat. 2) Selama ini studi atau kajian tentang gender lebih banyak atau boleh dikatakan hamper semuanya hanya mengkaji perempuan, sehingga akan ada kemungkinan kesimpulan menjadi bias karena seolah-olah menyimpulkan sesuatu secara sepihak. Misalnya sering dikatakan terjadi diskriminasi terhadap perempuan, seperti di perusahaan atau di sector pertanian, dimana untuk menyimpulkan hal tersebut yang diteliti hanya tenaga kerja perempuan. Jadi, tidak akan pernah diketahui apakah ada atau tidak laki-laki yang juga mengalami diskriminasi, dengan kata lain akan sangat sedikit atau mungkin bahkan tidak ada informasi mengenai apa yang dialami oleh pekerja laki-laki, karena riset selalu ditekankan hanya pada perempuan. 3) Pembicaraan mengenai kesetaraan dan keadilan gender boleh dikatakan hanya diketahui oleh mereka yang berkecimpung di bidang tersebut, dan mungkin juga mereka yang berpendidikan cukup tinggi. Namun masyarakat umum baik perempuan maupun lakilaki apalagi yang berpendidikan kurang dan tinggal di pedesaan barangkali tidak pernah mendengar mengenai kesetaraan dan keadilan gender, peran ganda perempuan, dan lain-lain, apalagi untuk memahami apa yang dimaksudkan. Bagaimana mereka dapat merespon kalau mendengar saja mereka belum pernah, padahal mereka inilah yang mungkin jumlahnya lebih banyak. Dalam hal ini dapat juga dikatakan para perempuan tersebut juga mengalami diskriminasi, tidak pernah sampai informasi kepada mereka tentang perbincangan mengenai nasib mereka. Apakah para pemerhati masalah gender sudah merasa PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
108
yakin bahwa semua lapisan perempuan mengetahui persoalan-persoalan tersebut, dan mengetahui program-program yang dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan keadilan terhadap mereka?. Sudah 30 tahun program-program untuk perempuan digulirkan oleh pemerintah semenjak berdirinya Men UPW, apakah semua perempuan sudah dapat merasakannya? Inilah sebuah pertanyaan yang mungkin perlu dicarikan jawabannya. 4) Dalam tulisan-tulisan mengenai perempuan khususnya bagi mereka yang bekerja, sering diwacanakan dan ditulis bahwa terjadi diskriminasi pengupahan terhadap perempuan. Sering dikatakan perempuan menerima upah yang lebih rendah daripada lakilaki. Memang kalau dilihat data rata-rata upah menurut jenis kelamin, selalu upah yang diterima perempuan pada setiap jenjang pendidikan dari SD sampai Perguruan Tinggi lebih rendah daripada laki-laki dengan pola meningkatnya jenjang pendidikan, maka semakin rendah ketimpangannya. Jika dilihat struktur pengupahan di perusahaan-perusahaan swasta, upah atau gaji untuk jenis pekerjaan tertentu akan ditentukan oleh besarnya tanggung jawab, tingkat kerumitan, tingkat keahlian yang dibutuhkan, dengan kata lain ditentukan oleh Deskripsi Pekerjaan dan Kualifikasi yang dibutuhkan (Job Description dan Job Spesification). Jika perempuan menempati pekerjaan dengan deskripsi dan kualifikasi yang lebih rendah, maka adalah wajar perempuan memperoleh upah lebih rendah (misalnya dengan human capital yang lebih rendah). Bukan karena dia perempuan maka memperoleh upah yang lebih rendah, tetapi karena jenis pekerjaan yang dikerjakannya. Sebenarnya yang perlu dilihat/dijawab atau akar masalahnya adalah mengapa perempuan memasuki jenis pekerjaan yang upahnya lebih rendah, apakah karena keahlian/kemampuan perempuan memang disitu atau alasan yang lainnya. Hal itu sebenarnya yang lebih penting untuk dicari jawabannya daripada mempersoalkan upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Pada sistem kapitalisme yang ditekankan adalah efisiensi dan produktivitas, maka pekerja perempuan pada sistem ini sebenarnya didorong untuk meningkatkan kemampuan, ketrampilan, maupun kualifikasinya untuk mampu mencapai tujuan itu. Jika perempuan tidak mampu, maka mungkin saja perempuan akan menerima imbalan yang lebih rendah.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
109
5) Dalam konsep peran ganda dimana perempuan selain mengerjakan pekerjaan domestik, juga pekerjaan publik, membuat beban perempuan menjadi demikian berat. Dalam studistudi selama ini selalu ditonjolkan atau diharapkan agar perempuan berperan ganda dalam pembangunan, yang sering juga dikatakan sebagai bentuk emansipasi perempuan. Kondisi seperti ini akan dapat menjadi jebakan bagi perempuan seperti istilah yang disampaikan oleh Noerhadi (1998), jika tidak diiringi oleh emansipasi lakilaki. Jadi dalam studi gender seyogyanya juga melibatkan laki-laki dalam usaha peningkatan kesadaran dan aktualisasi mereka agar ikut juga berperan ganda. Sebagai contoh dalam masalah kesehatan reproduksi selama ini selalu menekankan pada perempuan, disini juga sebenarnya sangat diperlukan partisipasi laki-laki sebagai pasangan. Peranan laki-laki di dalam keluarga baik untuk kebaikan anak, perempuan, maupun untuk laki-laki itu sendiri seharusnya juga dipertimbangkan dalam program-program perempuan. Jika perempuan dalam studi ini didorong untuk meningkatkan partisipasinya dalam pekerjaan publik, maka seharusnya secara seimbang laki-laki juga didorong untuk meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan domestik. Apabila hanya perempuan saja yang bergerak sendiri, tanpa melibatkan laki-laki, maka konsep mitra sejajar hanya ada di tingkat wacana, bukan dalam aktualisasi. 6) Studi mengenai perempuan sudah memasuki paradigma terakhir yaitu pengarusutamaan gender (PUG), yang dimulai tahun 2000 dan sampai saat ini belum menunjukkan hasil berupa peningkatan pemberdayaan perempuan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya proporsi perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. Mungkin dapat dikatakan pemerintah masih setengah hati atau tidak bersungguh-sungguh untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan, yang secara implicit juga berarti bahwa pemberdayaan perempuan belum mendapat tempat yang penting dalam pembangunan bangsa ini. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya alokasi dana yang dianggarkan birokrasi publik untuk pemberdayaan perempuan yaitu hanya mencapai 1,15 persen dari keseluruhan APBN tahun 2001 untuk program PUG (Darwin, 2002). Selanjutnya dikatakan pula bahwa belum ada kesadaran dari pembuat kebijakan atau pimpinan birokrasi publik akan pentingnya PUG dalam kebijakan yang dibuat, koordinasi antarinstansi terhadap program pemberdayaan perempuan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
110
sering tumpang tindih, terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di bidang pemberdayaan perempuan. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah belum siap untuk melaksanakan PUG dengan baik. 7) Ketidaksetaraan gender yang belum dapat dihapuskan sepenuhnya sampai sekarang, tidak saja diabadikan oleh keluarga, dan masyarakat (sekolah, bukubuku, dan media massa), juga dilestarikan oleh negara sendiri. Kondisi ini sangat nyata terlihat pada pemerintahan Orde Baru, khususnya yang berkaitan dengan Organisasi Dharma Wanita, PKK, Dharma Pertiwi, dan Bhayangkari, melalui pernyataan-pernyataan yang tertuang dalam Panca Dharma Wanita. Contohnya pernyataan mengenai perempuan sebagai pencari nafkah tambahan, sudah tersirat adanya ketidaksetaraan/ketimpangan gender. Demikian juga pada pernyataanpernyataan lainnya tersirat isu subordinasi (seperti pernyataan perempuan sebagai pendamping suami), maupun stereotype (perempuan sebagai pengelola rumah tangga serta perempuan sebagai penerus keturunan dan pendidik). Demikian pula terdapat beberapa undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat, maupun Peraturan Daerah (Perda), yang kontroversial yang menyiratkan adanya ketimpangan gender. 8) Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa sumbangan ekonomi perempuan dalam rumah tangga sangat menentukan otonomi yang dimiliki perempuan terutama di dalam memenuhi kebutuhannya sebagai perempuan. Jadi disini konsep bekerja bagi perempuan selama ini diukur dari jumlah uang atau barang/jasa yang dapat dinilai dengan uang yang dibawa pulang oleh perempuan. Sering terdengar seorang ibu yang tidak bekerja di sektor publik menyatakan, ah saya hanya sebagai ibu rumah tangga. Kata-kata itu menyiratkan bahwa penghargaan ibu rumah tangga yang bekerja di sektor publik karena mampu memperoleh penghasilan seolah-olah lebih tinggi daripada hanya sebagai ibu rumah tangga. Jadi belum ada usaha-usaha oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dengan jajarannya atau pemerhati/peneliti gender untuk mencari jalan keluar guna melakukan penilaian ekuivalen secara ekonomi pekerjaan-pekerjaan domestik yang dilakukan oleh ibu rumah tangga. 9) Dalam kenyataannya kuota 30 persen perempuan di DPR sampai sekarang belum mampu terpenuhi, mungkin akibat ketiadaan sumber daya manusia (perempuan) yang mengajukan diri sebagai calon melalui partai politik tertentu. Ini berarti kesadaran atau keinginan perempuan untuk masuk dunia politik dapat dikatakan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
111
masih rendah. Meskipun di tingkat kebijakan perjuangan untuk memperoleh kuota 30 persen berhasil, namun kalau tidak ada calon atau persyaratan tidak dapat dipenuhi oleh perempuan, maka tentu kuota tersebut tidak akan dapat terealisasi. Ini mengindikasikan bahwa para pejuang kesetaraan gender di bidang politik belum mengetahui peta kemampuan dan keinginan para perempuan yang akan diperjuangkan untuk duduk di lembaga legislatif. 10) Belum ada perjuangan secara nyata dari kementrian pemberdayaan perempuan dan jajarannya serta pemerhati/peneliti gender berkaitan dengan cuti melahirkan bagi laki-laki, serta anggapan bahwa perempuan adalah pekerja lajang, sehingga tidak perlu diberikan tunjangan keluarga ataupun tunjangan melahirkan bagi perempuan.
Perspektif Alternatif untuk Kajian Studi Gender ke Depan Dengan melihat beberapa kelemahan atau kritik yang telah disampaikan sebelumnya dapat disampaikan beberapa perspektif alternatif untuk studi atau penelitian tentang gender di masa mendatang. 1) Dengan memperhatikan heterogenitas perempuan di Indonesia baik dari segi budaya, sosial, maupun ekonomi, maka perlu dilakukan penilaian kebutuhan di tingkat individu, maupun di tingkat lembaga, yang dikenal dengan istilah melakukan need assessment, untuk mengetahui apa yang dibutuhkan perempuan, dan lembaga-lembaga/institusi pelaksana di masing-masing wilayah, sehingga diharapkan kebijakan akan menjadi lebih tepat, dan direspon oleh perempuan. 2) Melihat kajian atau studi gender selama ini pada umumnya hanya menekankan atau meriset perempuan yang dapat menyebabkan bias, maka ke depan agar diperoleh informasi yang seimbang mengenai apa yang dialami dan dirasakan oleh laki-laki baik di tempat kerja, rumah tangga, maupun di masyarakat, untuk itu perlu melibatkan responden laki-laki dalam studi gender. 3) Mengingat program-program untuk perempuan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun dibantu oleh LSM-LSM yang ada ditujukan tidak hanya untuk perempuan yang terdidik atau yang hanya tinggal di perkotaan, maka sangat diperlukan kegiatan-kegiatan untuk penyebaran informasi atau diistilahkan diseminasi informasi kepada para perempuan di seluruh pelosok tanah air atau mungkin meminjam istilah Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai program-program perempuan yang selama ini telah dilaksanakan. Progran ini PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
112
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang apa yang terjadi pada mereka, meningkatkan pemahaman mereka apa yang seharusnya mereka lakukan dan sebagainya. Tentu saja kegiatan ini tidak dapat dilakukan sekaligus, namun secara bertahap di seluruh wilayah yang dapat menjadi tanggung jawab Biro Pemberdayaan Perempuan dan PSW di masing-masing provinsi, dan kegiatan ini adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dikerjakan, agar perempuan desa dan perempuan yang tidak berpendidikan tidak mengalami diskriminasi oleh kementrian perempuan sendiri. 4) Mengingat dari data secara rata-rata perempuan menerima upah yang lebih rendah daripada laki-laki, mungkin perlu studi atau kajian yang mendalam mengenai jenis pekerjaan yang digeluti perempuan, deskripsi pekerjaan, serta kualifikasi yang dibutuhkan oleh pekerjaan yang dikerjakan perempuan. Jika perempuan memang lebih menyenangi dan lebih bahagia, lebih menikmati pekerjaan-pekerjaan yang dekat dengan pekerjaan domestik, maka sebenarnya jangan hanya menghitung balas jasa yang diperoleh perempuan hanya dari nilai ekonomi, namun mungkin harus lebih luas daripada itu. Jika memang diharapkan perempuan mengerjakan pekerjaan dengan kualifikasi yang tinggi agar memperoleh imbalan yang tinggi pula, maka sebenarnya yang harus dilakukan adalah membuat program-program yang mengarahkan perempuan pada saat memasuki jenjang sekolah untuk memilih sekolah-sekolah yang tamatannya memiliki kualifikasi yang tinggi. Program yang dapat dilakukan misalnya memberi insentif, atau memberikan beasiswa kepada para perempuan yang bersedia memasuki sekolah-sekolah yang membutuhkan kemampuan yang tinggi. 5) Peran ganda menyebabkan perempuan bebannya bertambah berat, oleh karenanya perlu usaha-usaha oleh pemerintah misalnya melalui Menneg Pemberdayaan Perempuan, untuk melakukan sosialisasi dan menerapkan cuti melahirkan bagi bapak agar dapat bersama bayi dan istrinya dalam hari-hari post-partum. Lakilaki/ayah yang dekat dengan anaknya sejak bayi mempunyai pengaruh yang penting bagi anak-anaknya dan bagi si ayah sendiri ada rasa ketergantungan pada anak dan ini akan mempunyai arti tersendiri (Davis dan Chaves, 1995 dalam Engle, 1998). Dengan penerapan ini secara implisit akan menghilangkan persepsi bahwa tanggung jawab reproduktif khususnya merawat anak adalah tanggung jawab ibu. Dengan demikian tanggung jawab ini akan dapat dipikul bersamasama secara lebih seimbang. Demikian pula dalam masalah kesehatan reproduksi PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
113
semestinya juga memasukkan program untuk laki-laki/ayah agar tanggung jawab dapat dapat terdistribusi secara merata. 6) Dengan melihat beberapa kelemahan yang masih ada dalam penerapan PUG di Indonesia, diperlukan pembenahan terutama berkaitan dengan komitmen pemerintah tertinggi agar secara sungguh-sungguh melaksanakan peraturan pemerintah (PUG) yang telah dibuat di seluruh instansi. Hal ini juga berarti sensitivitas gender dalam birokrasi publik harus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan alokasi anggaran untuk PUG dari pemerintah melalui APBN, agar terjadi peningkatan kegiatan secara signifikan. Selain itu dapat juga dilakukan Gender Scanning (Darwin, 2002) untuk melihat perilaku birokrasi apakah sudah sensitif gender atau belum, dan juga Gender Watch untuk memantau pelaksanaan prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan, program-program dan kegiatan-kegiatan negara. Secara berkesinambungan mungkin sangat diperlukan kegiatan oleh Kemneg Pemberdayaan Perempuan dan jajarannya untuk melakukan sosialisasi dan training mengenai sensitivitas gender di kalangan aparat birokrasi publik. 7) Dengan melihat masih ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang bias gender, mungkin diperlukan semacam panitia atau badan khusus atau ditugaskan kementrian tertentu, yang bertugas melakukan pemantauan, penganalisaan, pemeriksaan, dan penolakan terhadap kebijakan-kebijakan atau program yang secara eksplisit maupun implisit mengandung ketidaksetaraan gender. Selain itu kementrian Pemberdayaan Perempuan dapat melakukan kegiatan-kegiatan secara berkesinambungan untuk
melakukan pemantauan pengajaran guru-guru di
sekolah terutama di Sekolah Dasar, agar tidak bias gender dalam mengajar. Demikian pula dapat dilakukan kegiatan observasi dan identifikasi buku-buku pelajaran di sekolah yang bias gender. 8) Memperhatikan konsep bekerja bagi perempuan di sektor publik selama ini selalu berkaitan dengan jumlah kompensasi yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak memberikan nilai secara ekonomi bagi pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan oleh istri, padahal kalau pembantu rumah tangga yang mengerjakannya dapat dinilai dengan uang. Dengan demikian diperlukan redefinisi untuk konsep bekerja yang dapat diwacanakan oleh peneliti/pemerhati masalah gender. Bekerja mengandung 3 unsur yaitu: (1) melakukan aktivitas fisik; (2) menyalurkan kreativitas; dan (3) memberikan manfaat bagi orang lain, seperti dinyatakan oleh PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
114
Kondo Yoshio 1989 (Riyono, 1997). Dengan definisi tersebut maka ibu rumah tangga dan pekerja sosial lainnya yang tidak memperoleh pendapatan berupa uang akan dapat dimasukkan sebagai bekerja/pekerja. 9) Dengan tidak terpenuhinya kuota perempuan di lembaga legislatif sebanyak 30 persen, kegiatan pemetaan sumber daya manusia perempuan di masing-masing provinsi/kabupaten perlu dilakukan oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan secara berkesinambungan. Dengan demikian diharapkan akan dapat diketahui perkiraan jumlah dan kondisi perempuan yang mungkin akan diikutkan dalam Pemilu. Selain kegiatan pemetaan, maka program-program untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan keahlian di bidang politik bagi perempuan merupakan hal yang penting untuk dilakukan. 10) Kementrian Pemberdayaan Perempuan beserta jajarannya dapat merancang program atau kegiatan untuk melakukan sosialisasi atau advokasi ke perusahaanperusahaan
swasta
mengenai
kesetaraan
gender,
sehingga
dapat
mempertimbangkan kesetaraan gender dalam penunjukan jabatan atau kegiatan promosi karyawan. Advokasi ini dapat diperluas pada pemberian cuti melahirkan bagi karyawan laki-laki jika istrinya melahirkan, demikian pula berkaitan dengan tunjangan keluarga bagi karyawan perempuan, sehingga tidak menganggap karyawan perempuan sebagai pekerja lajang.
Penutup
Kesetaraan dan keadilan gender yang telah diperjuangkan berpuluh-puluh tahun belumlah memperoleh hasil seperti yang diharapkan, meskipun berbagai instrumen yuridis telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapainya. Banyak faktor yang member kontribusi terhadap masih tingginya ketimpangan gender di masyarakat. Ketimpangan gender ini masih ditemui di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, sosial, politik, maupun dalam jabatan di birokrasi publik. Ketidaksetaraan gender ini dapat dikatakan direproduksi oleh keluarga, masyarakat, maupun negara. Jika dilihat perkembangan studi perempuan di Indoensia khususnya maupun di dunia secara umum telah melewati 4 paradigma/pendekatan, dimana kelahiran paradigm ini tidak terlepas dari pelaksanaan konferensi perempuan sedunia yang telah dilaksanakan sebanyak 4 kali yaitu pada tahun 1975, 1980, 1985, dan 1995. Konferensi berikutnya rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2010. Keempat paradigma dalam PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
115
studi perempuan/gender meliputi konsep WID, GAD, pemberdayaan perempuan, dan pengarusutamaan gender (PUG). Untuk studi gender ke depan perlu diperhatikan beberapa cara pandang atau perspektif seperti berkaitan dengan heterogenitas perempuan di Indonesia, pelibatan responden laki-laki dalam studi gender, diseminasi informasi ke seluruh pelosok tanah air mengenai kesetaraan dan keadilan gender, memperluas cuti melahirkan untuk bapak (laki-laki), keterlibatannya dalam program kesehatan reproduksi. Selain itu perlu juga pemikiran oleh para peneliti/pemerhati masalah gender mengenai redefinisi konsep bekerja. Berislam yang benar adalah dengan memperhatikan isnÉd atau silsilah sanad tentang ajaran agama yang hendak dijadikan pegangan. IsnÉd adalah bagian dari agama, tanpa memperhatikan rantai isnÉd semua orang tanpa kualifikasi dan kapasitas akan berbicara tentang semua masalah dalam agama. Bagaimana sekiranya rantai isnÉd dalam berislam ternyata berpenghujung dan berasal dari Barat Kristen yang tidak sejalan dengan Islam? Feminisme yang kemudian dikenal dengan paham kesetaraan gender hanyalah upaya solusi lokal masyarakat Barat untuk keluar dari sebuah krisis ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan Barat. Tentunya, krisis dan solusi ini tidak bersifat universal. Meskipun demikian, solusi yang ditawarkan Barat pun akhirnya membawa dampak terjadinya peristiwa-peristiwa masa kini yang bersumber dari pengalaman, pemahaman dan pemaknaan terhadap kehidupan dalam peradaban perkotaan. Paham Feminisme sebenarnya adalah buah dari liberalisasi dan sekularisasi agama yang mendasarkan pada paham relativisme ini. Dengan sekularisasi, para penganut Kristen bebas memahami konsep apapun tentang Tuhan dan kehidupan sesuai dengan keinginan mereka. Baik pemahaman yang bersifat skriptural (sesuai dengan Bibel), scholastik abad pertengahan maupun eksistensialisme modern. Sehingga memungkinkan mereka untuk ikut terlibat dalam pengalaman kekinian yang selalu berorientasi pada sejarah. Konsep mereka tentang Tuhan yang selama ini terbukti problematik, akhirnya membuat nama "Tuhan" sendiri juga problematik bagi mereka. Maka konsep dan nama "Tuhan" pun dibuang dan hanya dijadikan sebagai sejarah. Sebagai gantinya, dimunculkanlah nama baru yang sesuai dengan realita kekinian yang mereka percayai, seperti yang dijelaskan S.N. Al-Attas dalam Islam and Secularism. Pengalaman tentang kesuksesan sekularisme di Barat-Kristen, tentunya tidak bisa diterapkan begitu saja dalam Islam. Sebab pengalaman itu bersifat lokal dan nilai-nilai PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
116
kebenarannya pun tidak universal. Ia berhubungkait dengan latar belakang sejarah, kondisi sosial dan karakter agama setempat. Sehingga sangat naif jika dicomot begitu saja, apalagi diterapkan sebagai pertimbangan dalam fatwa yang memiliki tradisi keilmuan sendiri. Seakan-akan Islam dan Kristen atau umat Islam dan Barat mempunyai problem yang sama dalam memandang perempuan, sehingga sama-sama memerlukan feminisme.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
117
Daftar Pustaka Abdullah, Irwan 1998, Rekonstruksi Gender terhadap Realitas Wanita, dalam Bainar (ed) : Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, Yogyakarta : PT. Pustaka Cidesindo Abdullah, Irwan, 2001, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang Press Abdullah, Irwan, 2006, Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan, dalam Abdullah (Ed): Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Jakarta: Deputi Bidang PUG Kemneg PP RI. BPS, 2006, Penduduk Provinsi Bali, Hasil Supas 2005, Jakarta : BPS BPS, 2007, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Jakarta : BPS Boserup, Ester 1984, Peranan Wanita dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985 Caraway, Tery. L, 1998, Perempuan dan Pembangunan, dalam Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Cattleya, Leya, 2006, Pelembagaan Akuntabilitas Pengarusutamaan Gender: Bukan Sesuatu yang Mustahil, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Darwin, Muhadjir dan B. Kusumasari, 2002, Sensitivitas Gender Pada Birokrasi Publik, dalam Policy Brief, No. 09/PB/2002, Yogyakarta: Center For Population and Policy Studies Departemen Kehutanan, 2005, Pengarusutamaan Gender Lingkup Departemen Kehutanan, Jakarta : Departemrn Kehutanan. Dewi, Sinta R, 2006, Gender Mainstreaming Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
118
Engle, Patrice L, 1998, Upaya Untuk Meraih Kesetaraan Gender dan Untuk Mendukung Anak-anak, dalam Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Hadiz, Lisa 1998, Elizabeth Cady Stanton (1815-1902), dalam Jurnal Perempuan, No. 07, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Hakeem, Ali Hosein. Membela Perempuan Menalar Feminisme dengan Nalar Agama. 2005. Al-Huda: Jakarta. Hartini, Titik, 2006, Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Heraty, Toeti, 1999, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Perempuan, No. 09, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998 Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Ilyas, Baharuddin 2006, Dampak Tingkat Kesetaraan Gender terhadap Hak Reproduksi dan Fertilitas di Sulawesi Selatan, Warta Demografi Tahun 36, No 2 Th. 2006, Jakarta : Pika Pratama Jaya Khan, Wahiduddin. Antara Islam dan Barat. 2001. Serambi: Jakarta. Kementerian Negara PP dan BPS, 2006, Statistik Gender dan Analisis Provinsi Bali Tahun 2006, Denpasar : BPS Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing Company. Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet. I. Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women‟s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996 Mulia, Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka Utama. Cet. I. Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan, 1999 Nachrowi, D, 1995, Transisi Pendidikan : Suatu Pemikiran Awal dengan Indonesia Sebagai Latar Belakang, dalam Ananta (Ed) : Transisi Demografi, Transisi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
119
Pendidikan, dan Transisi Kesehatan di Indonesia, Jakarta : Kantor Meneg Kependudukan dan BKKBN Neufeldt, Victoria (ed.) (1984). Webster‟s New World Dictionary. New York: Webster‟s New World Clevenland. Noerhadi, Toeti H, 1998, Mitra Sejajar Dalam Pembangunan: Tantangan Atau Jebakan, Jurnal Perempuan, No.5, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1997 Riyono, Bagus, 1997, Sistem Manajemen yang Manusiawi, dalam Buletin Psikologi, Tahun V, No. 1, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997 Showalter, Elaine (ed.) (1989). Speaking of Gender. New York & London: Routledge. Silawati, Hartian,2006, Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Soelaeman, M. Munandar. Ir. MS. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama, 1998 Soeparman, Surjadi, 2006, Mengapa Gender Mainstreaming Menjadi Aksi Nasional, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Stowasser, Barbara Freyer. Reinterpretasi Gender. 2001. Pustaka Hidayah: Bandung. Subhan, Zaitunah, 2002, Menanggulangi Budaya Marjinalisasi di Perusahaan, dalam Mimif Hidayat dan Edi Junaedi (Ed): Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam, Jakarta: El KAHFI. Subhan, Zaitunah, 2004, Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Jender, dalam Membangun Good Governance, Jakarta. Sutanto, Roni 2004, Gender dan ICT: Isu Baru Upaya Pemberdayaan Perempuan di Indonesia, 2004, Warta Demografi Th. 34 No. 1, Jakarta : Sutanto, Roni 2004, Gender dan ICT: Isu Baru Upaya Pemberdayaan Perempuan di Indonesia, 2004, Warta Demografi Th. 34 No. 1, Jakarta : Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur‟an. Jakarta: Paramadina. Cet. I.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
120
View more...
Comments