Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf
November 7, 2017 | Author: Andy Wijaya | Category: N/A
Short Description
Strategi dan Desain Pencegahan serta Pemberantasan Korupsi Indonesia...
Description
Strategi - desain pencegahan dan pemberantasan Korupsi Indonesia Seminar Pemberantasan Korupsi Soal 1 - UAS
Andy Wijaya (04) NPM 134060018259 DIV Akuntansi 8B-BPKP
BAB I UMUM A. Pendahuluan Kata “Korupsi” bukanlah hal yang asing bagi telinga masyarakat publik. terutama semakin maraknya media massa baik lokal maupun nasional yang membahas berbagai kasus terkait dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang pada sektor pemerintahan. Banyak ahli yang telah merumuskan pemecahan permasalahan korupsi, ada yang pro ada juga yang kontra. Akan tetapi, apapun bentuk dan jenis dari korupsi dapat menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa. Berdasarkan Independent Fortnightly Report on Asian Business and Politics yang dipublished oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun 2011, Lingkungan Koruptif dibagi 3 (tiga) yaitu Political, Institutional dan Private Sector Corruption. Yang perlu kita cermati bersama bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini selalu berada pada tingkatan 2 (dua) besar negara di Asia terkorup di tiap-tiap lingkungan tersebut. Hal ini tentu tidak mengejutkan jika melihat “juara” 3 (tiga) besar negara terkorup di Asia merupakan Negara dengan penghasilanpegawai-negeri-sipil terendah dan perekonomian yang buruk, namun hal ini masih lebih baik (walaupun tidak ada yang baik dalam hal korupsi) dari tahun-tahun sebelumnya, Indonesia diberi predikat negara terkorup pada tahun 2005 berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga yang sama. Walaupun Indonesia juara dalam prestasi korupsinya, tindakan represif atas perilaku korupsi sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan sangat sulitnya pembuktianpembuktian secara pasti atas perilaku-perilaku kolusi yang berujung korupsi dan sangat sulit mengaitkannya dengan dasar-dasar hukum yang berlaku di negeri ini. Jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari pengurusan perijinan, proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah sampai pada proses penegakan hukum di negeri ini. Lambat laun tanpa disadari, perilaku koruptif mulai dianggap wajar dan dapat dimaklumi oleh masyarakat awam, seperti pemberian hadiah/bingkisan kepada pejabat/pegawai negeri sebagai imbalan dari percepatan jasa pelayanan birokrat dari defaultnya yang relatif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Kebiasaan tersebut semakin lama dianggap sebagai budaya ketimuran yang lama-lama berakar dan menumbuhkan bibit-bibit korupsi yang nyata. Kebiasaan berperilaku koruptif oleh masyarakat, salah satunya disebabkan oleh masih sangat kurangnya pemahaman terhadap definisi korupsi itu sendiri. Walaupun kata “korupsi” sudah sangat populer dan tidak asing di masyarakat mulai dari rakyat di pedesaan, perkotaan, mahasiswa, pegawai negeri, pegawai swasta, aparat penegak hukum dan pejabat negara, namun jika ditanyakan kepada mereka apa itu korupsi? Perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai korupsi? Hampir dapat dipastikan hanya sebagian kecil saja yang dapat menjawab dengan benar tentang korupsi sebagaimana dijelaskan dan termaktub dalam perundang-undangan yang berlaku.
Menjadi lebih paham terhadap definisi Korupsi, mengetahui cara pemberantasan dan modus operandi dapat dijadikan sebagai suatu langkah dini untuk mencegah seseorang/kolektif untuk tidak melakukan suatu tindakan korupsi. B. Definisi Korupsi dalam bahasa latin corruption dari kata keja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia.org). Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Perspektif atau pendekatan relatifisme kultural yang strukturalist, bisa saja mengatakan pemaksaan untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal, menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural. Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi (Rozi, “Menjinakkan Korupsi di Indonesia”). Termasuk di sini adalah melaporkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Apapun definisinya, korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan tugas dan wewenang demi keuntungan pribadi. Dampak korupsi yang sudah sangat akut, bisa menyebabkan kehancuran sebuah negara. Banyak para ahli yang merumuskan definisi korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama : 1.
2.
3.
Soedjono D, mengemukakan bahwa menurut “New World Dictionary of The American Language”, bahwa sejak abad pertengahan Inggris menggunakan kata “corruption” dan Perancis “corruption”. Kata korupsi mengandung arti perbuatan atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk, perilaku yang jahat yang tercela atau kebejatan moral, kebusukan atau tengik, sesuatu yang dikorup, seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup. J.E Sahetapy mengemukakan banyak istilah tentang korupsi di beberapa negara seperti di Muangthai “ginmoung” yang berarti “makan bangsa”, “tanwu” istilah bahasa Cina yang berarti “keserakahan bernoda”. Jepang menamakannya “oshoku” yang berarti “kerja kotor”. Menurut A.S. Hornby C.S, “corruption” adalah “the offering and accepting ”of bribes”, (pemberian dan penerimaan hadiah berupa suap) di samping diartikan juga “decay” yaitu kebusukan atau kerusakan. Yang dimaksudkan apa yang busuk atau
4.
5.
6.
rusak itu ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seseorang yang bermoral baik, tentu tidak akan melakukan korupsi. Hermien Hadiati mengemukakan bahwa “korupsi” berasal dari kata “corrupteia” yang dalam bahasa Inggris berarti “bribery” atau “seduction”, yang diartikan “corrupter” atau “seducer”. Dari kata “bribery” tersebut kemudian dapat diartikan sebagai memberikan/ menyerahkan kepada seorang agar orang tadi berbuat untuk/guna keuntungan (dari) pemberi. Sedangkan yang diartikan dengan “seduction” adalah sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisahan keuangan pribadi dengan masyarakat.
BAB II DATA DAN FAKTA A. Berbagai Modus Operandi Korupsi di Indonesia Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah, modus operandi dan pelaku. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai dengan hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai. Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp300 Trilyun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumber daya alam, menguap masuk para koruptor. Korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi , membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, Juga RUU SDA, pengadaan alat kesehatan dengan spesifikasi tertentu, pengadaan buku dengan kewajiban membeli buku di penerbit khusus, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena dibelakangnya ada motivasi korupsi. Beberapa tahun lalu Bappenas mengendus adanya kebocoran pada utang luar negeri, yang setiap tahunnya mencapai sekitar 20 persen dari total pinjaman yang diterima oleh Pemerintah Indonesia. Bentuk korupsi terhadap uang negara tidak hanya terhadp utang luar negeri, namun juga utang domestic dalam bentuk obligasi rekap bank-bank sebesar Rp650 Trilyun. Skandal BLBI yang tak kunjung usai setidaknya memnunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan, konglomerat serta banker. Kasus yang masih hangat, skandal bank century, pun telah menyebabkan uang lenyap, namun pelakunya tidak tertangkap. Kasus korupsi di BNI dengan nilai 1,7 Trilyun rupiah yang ternyata kemudian diikuti bank plat merah lainnya (yaitu BRI dan BTN), kasus jual beli quota haji di wilayah kewenangan depag, dan kasus “tarif” untuk calon legislatif yang bernilai hingga ratusan juta rupiah. Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di daerah setingkat provinsi dan kota. Bansos tahun 2009 dari Pemerintah Jawa Barat kepada Kota Bogor dipastikan diselewengkan, hanya sebesar 10 persen saja yang sampai ke masyarakat sedangkan sisanya tidak disalurkan kepada yang seharusnya menerima yaitu seperti pengurus partai politik yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah dan lembaga pendidikan. Adapula kasus korupsi kolektif yaitu di kota Padang – Sumatera Barat yang dilakukan oleh 43 orang anggota DPRD yang merugikan keuangan negara sebesar 4,9 Miliyar Rupiah. Pengadaan barang dan jasa Pemerintah juga merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan
berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tidak heran kalau begawan ekonomi, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mengidentifikasi adanya kebocoran 30 – 50 % pada dana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Bentuk korupsi di pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat berbentuk persekongkolan pada sesama rekanan dalam pelelangan yaitu dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta lelang atau lebih dikenal dengan tender arisan, dimana pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat terjadi antara rekanan dengan panitia lelang yaitu dengan membuat rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarahkan ke suatu merk sehingga menghambat rekanan lain untuk ikut pelelangan. Pada persekongkolan antara rekanan dan panitia lelang, panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan yang sama diantara para peserta lelang, pelelangan hanya dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Hal ini terjadi karena calon pemenang biasanya telah ditunjuk terlebih dahulu pada saat elang berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada panitia atau pejabat yang mempunyai pengaruh. Di samping itu, penentuan dan penyusunan Harga Perkiran Sendiri (HPS) atau Owner’s Estimate (OE) biasanya sudah direkayasa untuk mempunyai margin tertentu yang bisa disisihkan untuk dibagi-bagi (laba abnormal). Bermacam-macam cara digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya dengan memasang iklan palsu di Koran, padahal inilah yang merangsang terjadinya mark up dan korupsi. Melihat beberapa modus korupsi di atas, maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain Alatas (Professor di University of Singapore) tifologi tersebut antara lain : 1)
2)
3) 4) 5) 6) 7)
Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi sanak saudara serta kroonikroninya Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang disertai dengan ancaman dan terror. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalamnya atau membuat pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun pihak lain didalamnya Korupsi Supportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan
B. Langkah – Langkah Pemberantasan Korupsi yang Telah Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
Penghentian laju permasalahan korupsi telah menjadi agenda utama pemerintah, sehingga langkah-langkah dalam memberantas korupsi telah dilakukan sejak lama. Indonesia menempuh strategi pemberantasan korupsi melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu: sistem; regulasi; dan institusional. Pendekatan tersebut didasarkan pada keterkaitan antara elemen-elemen (pelaku) dalam pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, pemberantasan korupsi di Indonesia lebih mengedepankan pada aspek penindakan (ex post facto) dibandingkan dengan pencegahan (ex ante). Strategi Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
Berikut beberapa upaya-upaya pemerintah dalam memberangus korupsi dalam beberapa dasawarsa terakhir : 1. Peraturan Perundang-Undangan Yang Pernah Digunakan Untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi a. Delik korupsi dalam KUHP. KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan warisan Belanda. Ia merupakan kodifikasi dan unifikasi yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752 berdasarkan KB 15 Oktober 1915. Delik korupsi yang ada di dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang ada kaitannya dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan kedudukan KUHP, delik korupsi yang diatur di dalamnya masih merupakan kejahatan biasa saja. b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor PRT/ Peperpu/013/1950. Peraturan yang secara khusus mengatur pemberantasan korupsi adalah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1950, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Penguasa
Militer tanggal 9 April 1957 Nomor PRT/PM/06/1957, tanggal 27 mei 1957 Nomor PRT/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor PRT/PM/011/1957. Hal yang penting untuk diketahui dari peraturan-peraturan di atas adalah adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah korupsi sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi sebagai “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”. Yang menarik dari ketentuan Peraturan Penguasa Perang Pusat adalah adanya pembagian korupsi ke dalam 2 perbuatan, yaitu sebagai berikut Korupsi sebagau perbuatan pidana, Korupsi sebagai perbuatan lainnya c. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi. Perubahan utama dari Peraturan Penguasa Perang Pusat ke dalam Undangundang ini adalah diubahnya istilah perbuatan menjadi tindak pidana. Namun demikian undang-undang ini ternyata dianggap terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya lebih sulit. d. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam periode 1970-an, Presiden membentuk apa yang dikenal sebagai Komisi 4 dengan maksud agar segala usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Komisi 4 ini terdiri dari beberapa orang yaitu Wilopo, S.H., I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto. Dalam penyusunannya, Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 ini relatif lancar tidak mengalami masalah kecuali atas beberapa hal seperti adanya pemikiran untuk memberlakukan asas pembuktian terblik dan keinginan untuk memasukkan ketetentuan berlaku surut e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR, disusunlah TAP No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di dalamnya memuat banyak amanat untuk membentuk perundang-undangan yang akan mengawal pembangunan orde reformasi, termasuk amanat untuk menyelesaikan masalah hukum atas diri mantan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya. f. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 mempunyai judul yang sama dengan TAP MPR No. XI/MPR/1998 yaitu tentang Penyelenggara negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lahirnya undang-undang ini memperkenalkan suatu terminologi tindak pidana baru atau kriminalisasi atas pengertian Kolusi dan Nepotisme. Dalam perjalanannya, undang-undang ini tidak banyak digunakan. Beberapa alasan tidak populernya undang-undang ini adalah terlalu luasnya ketentuan tindak pidana yang diatur di dalamnya serta adanya kebutuhan untuk
menggunakan ketentuan undang-undang yang lebih spesifik dan tegas, yaitu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan korupsi. g. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya undang-undang pemberantasan korupsi Nomor 31 tahun 1999 dilatar belakangi oleh 2 alasan, yaitu pertama bahwa sesuai dengan bergulirnya orde reformasi dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas upaya pemberantasan korupsi, dan kedua undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 3 tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama dan tidak efektif lagi. Harapan masyarakat bahwa undang-undang baru ini akan lebih tegas dan efektif sangat besar, namun pembuat undang-undang membuat beberapa kesalahan mendasar yang mengakibatkan perlunya dilakukan perubahan atas Undangundang Nomor 31 tahun 1999 ini. Adapun beberapa kelemahan undang-undang ini antara lain: Ditariknya pasal-pasal perbuatan tertentu dari KUHP sebagai tindak pidana korupsi dengan cara menarik nomor pasal. Penarikan ini menimbulkan resiko bahwa apabila KUHP diubah akan mengakibatkan tidak sinkronnya ketentuan KUHP baru dengan ketentuan tindak pidana korupsi yang berasal dari KUHP tersebut. Adanya pengaturan mengenai alasan penjatuhan pidana mati berdasarkan suatu keadaan tertentu Tidak terdapatnya aturan peralihan yang tegas h. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan undang-undang yang lahir semata untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan undang-undang terdahulu. Sebagaimana telah disebutkan di atas, beberapa kelemahan tersebut kemudian direvisi di dalam undang-undang baru. i. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang menghendaki dibentuknya suatu komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara historis, tuntutan dibentuknya KPK adalah sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat atas kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi. Kedua institusi itu terlanjur dianggap masyarakat sebagai tempat terjadinya korupsi baru, baik dalam penanganan perkara-perkara korupsi maupun dalam penanganan perkara-perkara lainnya. KPK diharapkan menjadi trigger mechanism, yaitu pemicu (terutama) bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan pemberantasan korupsi. Di antara kewenangan luar biasa yang tidak dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang dimiliki KPK adalah kewenangan melakukan penyadapan pembicaraan telepon. KPK juga diberi kewenangan untuk menjadi supervisi bagi Kepolisian dan
Kejaksaan, selain ia juga dapat mengambil alih perkara korupsi yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan apabila penanganan suatu perkara oleh kedua institutsi itu dianggap tidak memiliki perkembangan yang signifikan. j. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Merajalelalanya korupsi ternyata tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir di seluruh belahan dunia. Hal ini terbukti dengan lahirnya United Nation Convention Against Corruption atau UNCAC sebagai hasil dari Konferensi Merida di Meksiko tahun 2003. Sebagai wujud keprihatinan dunia atas wabah korupsi, melalui UNCAC disepakati untuk mengubah tatanan dunia dan mempererat kerjasama pemberantasan korupsi. Beberapa hal baru yang diatur di dalam UNCAC antara lain kerjasama hukum timbal balik (mutual legal assistance), pertukaran narapidana (transfer of sentence person), korupsi di lingkungan swasta (corruption in public sector), pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery), dan lain-lainPeraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. k. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 merupakan amanat Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang mengatur adanya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. PP No. 71 tahun 2000 dibentuk untuk mengatur lebih jauh tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat sehingga apa yang diatur di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut pada dasarnya memberikan hak kepada masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, atau kepada KPK). Di samping itu PP ini juga memberikan semacam penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berperan serta memberantas tindak pidana korupsi yaitu dengan cara memberikan penghargaan dan semacam premi. l. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 lahir dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mempercepat pemberantasan korupsi, mengingat situasi pada saat terbitnya Inpres pemberantasan korupsi mengalami hambatan dan semacam upaya perlawanan/serangan balik dari koruptor. Melalui Inpres ini Presiden merasa perlu memberi instruksi khusus untuk membantu KPK dalam penyelenggaraan laporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Presiden mengeluarkan 12 instruksi khusus dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi. Adapun instruksi itu secara khusus pula ditujukan kepada menteri-menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, termasuk para Gubernur dan Bupati/Walikota, sesuai peran dan tanggungjawab masing-masing
2.
m. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi instrumen tambahan untuk memerangi korupsi, mengingat besarnya kecendrungan dari pelaku korupsi untuk melegalkan uang hasil korupsinya melalui money laundry. Badan Anti-Korupsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai alat dalam memberantas dan mencegah terjadinya korupsi Menghentikan laju permasalahan korupsi telah menjadi agenda utama pemerintah, sehingga langkah-langkah dalam memberantas korupsi telah dilakukan sejak lama. UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah titik acuan utama dan pertama dalam penanganan kasus korupsi. Meskipun menyatakan hukuman yang jelas bagi pejabat negara yang melakukan korupsi, namun peraturan ini tidak efektif dalam memberantas parahnya perilaku korupsi di kala itu. Setelah era Soeharto jatuh, muncul semangat baru untuk mengatasi masalah korupsi yang telah kronis. Semangat tersebut tercermin dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Meskipun peraturan tersebut merupakan produk dari Orde Baru yang terbukti korup. Berdasarkan ketetapan tersebut, setidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang terbit yaitu UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian lebih dipertegas dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971 sebagai acuan hukum utama dalam memberantas korupsi sampai dengan sekarang. Selain dari aturan yang jelas dan tegas mengenai pemberantasan korupsi, pemerintah juga telah membentuk suatu badan yang secara langsung/tidak langsung berfungsi memberantas korupsi selain institusi penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian) yaitu sebagai berikut : a) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) b) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) c) Badan Pemeriksa Keuangan – Republik Indonesia (BPK-RI) d) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) e) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) f) Komisi Ombudsman Indonesia g) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Setelah jatuhnya era Orde Baru, terjadi peningkatan yang signifikan pada inisiatif masyarakat untuk ikut serta memantau dan membantu dalam pemberantasan korupsi. Dengan bekerja sama dengan Lembaga Donor Asing, masyarakat membentuk suatu lembaga/organisasi independen yang secara teratur dan berkesinambungan ikut mengkritisi pemerintah untuk penanganan permasalahan korupsi, lembaga/organisasi independen tersebut adalah sebagai berikut : a) Indonesian Corruption Watch (ICW) b) Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) c) Transparansi Internasional Indonesia, d) Lembaga Swadaya Masyarakat lain, baik level Nasional dan Daerah
C. Strategi Pemberantasan Korupsi di Beberapa Negara 1. Singapura Singapura adalah negara di Semenanjung Malaka yang sejak dahulu dikenal dengan pelabuhannya yang sibuk dan riuh. Persilangan dan pertemuan antara berbagai manusia dalam usaha perdagangan menjadi pangkal masuknya pernyakit korupsi dalam negeri kecil tersebut. Masuknya korupsi serta-merta membuat Singapura berbenah dan melancarkan perang terhadap penyakit yang mulai berjangkit tersebut, bahkan sejak Singapura masih di bawah persemakmuran Inggris. Itikad yang telah dibagun sejak lama inilah yang menjadi dinding yang kuat terhadap serangan korupsi hingga kini. Langkah pemberantasan korupsi di Singapura berjalan di atas satu tujuan yang sama yaitu membuat pemerintahan yang bersih. Sehingga perwujudannya terdiri dari upaya yang bersifat preventif (mencegah) untuk membasmi bibit-bibit korupsi, represif (penegahak) untuk menindak perilaku korupsi yang telah terjadi, dan upaya nasional untuk mendukung kedua upaya tadi berjalan selaras sesuai dengan tujuan nasion Singapura. a. Upaya Represif Setelah diundangkannya Prevention of Corruption Act dan berdirinya CPIB, Singapura langsung mengambil tindakan represif melawan korupsi. CPIB diberi kewenangan yang luas dalam menindak pelaku korupsi. Kewenangan CPIB kini mencakup hal-hal seperti melakukan penahanan, penyidikan, penuntutan, hingga penggeledahan. Direktur atau penyidik CPIB dapat menahan tanpa surat perintah menangkap setiap orang yang melakukan delik menurut Prevention of Corruption Act atau mereka yang diadukan atau telah diterima informasi yang dapat dipercaya dengan dugaan telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal penyidikan, penyidik khusus atau direktur CPIB diberikan kuasa oleh Penuntut Umum untuk melaksanakan penyidikan terhadap setiap delik berdasarkan hukum tertulis. Artinya, penyidik CPIB dapat memeriksa semua delik termasuk delik yang bukan delik korupsi melalui perintah Penuntut Umum. Selain itu penyidik CPIB juga diperkenankan menyidik setiap jengkal kekayaan yang dimiliki oleh tersangka, termasuk memasuki bank dan meminta salinan buku-buku dalam bank. Penyidik CPIB juga diberikan kewenangan meminta data perihal tersangka kepada orang atau badan di mana tersangka itu mempunyai hubungan di dalamnya. Upaya penuntutan dalam kasus korupsi di Singapura disidangkan di pengadilan biasa. Penuntut umum juga berperan penting dalam pemberian izin penggeledahan dan pemberian kuasa pada penyidik CPIB. Di dalam proses pemberantasan korupsi di Singapura. Ada hal-hal penting yang diidentifikasi berdasarkan PCA, yaitu: 1) Pengembalian hasil korupsi kepada negara 2) Ketidaksesuaian antara kekayaan dengan pendapatan dapat dijadikan bukti di pengadilan. Hal ini berarti bahwa di Singapura, azas pembuktian terbalik sudah
dilakukan sejak lama. 3) Pernyataan di bawah sumpah atas kekayaan yang dimiliki seseorang (khususnya pejabat publik), pasangan, maupun anak-anaknya. 4) CPIB dapat menyelidiki kasus korupsi di sektor publik maupun swasta. Di negara industri dengan mayoritas usaha dagang dan sistem ekonomi yang liberal, maka Pemerintah Singapura menangani penyuapan sesama swasta agar mekanisme pasar tidak hancur. b.
Upaya Preventif Pemerintah Singapura memperlakukan sikap anti korupsi sebagai pondasi bangsanya. Mereka juga melaksanakan upaya pencegahan penjangkitan korupsi di masyarakat dengan cara: 1) Analisis metode kerja CPIB memiliki kewenangan untuk menganalisis cara kerja dan prosedur dari lembaga-lembaga publik untuk mengidentifikasi kelemahan administrasi yang ada di lembaga tersebut dan diidentifikasi dapat menjadi pintu masuk korupsi dan mal praktek. Hasil temuan dan identifikasi ini kemudian dilaporkan kepala lembaga badan yang bersangkutan sehingga sistem dapat diperbaiki dan pencegahan korupsi dapat dilakukan. 2) Laporan Nirutang Setiap pejabat publik dalam jangka waktu sekali dalam setahun wajib mengumumkan bahwa dirinya tidak terlilit utang. Pejabat yang terlilit utang wajib digantikan karena rawan terlibat korupsi 3) Laporan aset dan investasi Setiap aparat publik harus memberikan laporan mengenai daftar kekayaan, investasi, termasuk jumlah tanggungan yang dimilikinya baik saat insidental di mana dia diangkat maupun periodik pada tiap tahun berikutnya setelah menjabat. Apabila penambahan kekayaannya tidak wajar, maka hal tersebut akan menjadi koreksi untuk dipertanggungjawabkan. 4) Larangan menerima hadiah Pejabat publik tidak diperbolehkan untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun dari orang yang memiliki kepentingan terhadap pekerjaan pejabat tersebut. 5) Pendidikan Anti Korupsi sejak dini Salah satu program CPIB untuk menanamkan sikap anti korupsi adalah Learning Journey Briefing bagi siswa-siswi sekolah menengah pertama di Singapura.
c.
Dukungan Pemerintah dan Masyarakat Sejak Lee Kwan Yew menjabat sebagai Perdana Menteri hingga sekarang, political will Pemerintah Singapura untuk meyakinkan investor mengenai iklim perdagangan yang bebas suap dan korupsi menjadi tajuk utama. CPIB sebagai lembaga pemberantasan korupsi diberikan senjata yang kuat. Ini adalah bukti keseriusan Singapura membumihanguskan korupsi dari teritorinya. Selain itu, kultur masyarakat Singapura sudah didesain sesuai dengan kultur negara maju dengan
mengutamakan persaingan sehat sesama warga negaranya. Mereka berada sebaris dengan pemerintahnya dalam hal pemberantasan korupsi secara berkesinambungan dan mendorong pemerintah untuk membangun negara yang bersih dari segala macam bentuk penyelewengan uang negara dan berperan secara proaktif mengamati dan melaporkan indikasi penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat negara. d.
Hasil Pemberantasan Korupsi Hasil penyelenggaraan pemberantasan korupsi secara integral dan berkesinambungan membuat Singapura selalu menempati peringkat lima besar dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International selama 12 tahun terakhir. Selain itu, rakyat Singapura juga menikmati hasil pemberantasan korupsi seperti PDB per kapita yang tinggi. Pemberantasan korupsi yang berhasil sebanding dengan tingkat kemakmuran suatu negara. Singapura menjadi pionir dalam menciptakan pemerintahan yang bersih sebagai pangkal negara yang sejahtera.
Pemberantasan korupsi di Singapura tidak terbatas pada upaya represif saja. Penindakan atas pelanggaran memang penting, namun pencegahan agar korupsi tidak muncul juga tak kalah pentingnya. Singapura seakan mencegah korupsi untuk dapat berkembang dengan memangkas jalur-jalur pertumbuhannya dari segala sisi. Tidak hanya itu, iklim pemerintahan pun didesain untuk berperilaku bersih (clean government) sehingga mencapai Indeks Persepsi Korupsi yang baik serta tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dengan langkah-langkah di atas, keberhasilan pemberantasan korupsi di Singapura dapat dirumuskan sebagai hasil integrasi antara upaya represif, preventif, dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat. 2.
Korea Selatan Korea Selatan adalah sebuah negara berbentuk Republik yang dan memiliki sejarah panjang ihwal kemerdekaannya. Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara Macan Asia Timur yaitu negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia. Hal ini diperoleh karena pesatnya kemajuan yang diperoleh negara tersebut setelah selesainya Perang Korea, penjajahan Jepang atas Korea, dan Perang Dunia Kedua. Setelah periode peperangan yang melelahkan, pembangunan bertahap secara lima tahun dilanjutkan dengan industrialisasi yang cepat sehingga mampu dinikmati penduduk Korea Selatan hingga sekarang. Prakarsa pembangunan yang sudah dirintis sejak tahun 1960 dengan menitikberatkan pada sumber daya manusia berupa angkatan kerja menjadikan Korea Selatan berada di atap ekonomi dunia dengan menyandang predikat sebagai negara ekonomi terbesar ke13 di dunia. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang baik sejak dekade 60-an membawa juga praktek korupsi di dalamnya. Budaya Korea Selatan memberi peluang sangat besar bagi tumbuhnya korupsi. Di negara ini dikenal istilah “chonji” atau memberikan sedikit uang sebagai tanda terima kasih. Praktek korupsi secara masif menjadi sorotan di Korea Selatan setelah ambruknya ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998. Pembangunan kembali pondasi ekonomi Korea Selatan dilandasi kepada tuntutan akan asas transparansi dari segenap pejabat publik serta pelaku ekonomi. Tuntutan ini semakin berkembang dengan
diadopsinya demokrasi model Amerika Serikat. Model keterpautan antara demokrasi dan ekonomi yang berkembang ini mengakibatkan tuntutan agar Korea Selatan bisa menutup jurang-jurang korupsi yang masih menganga demi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Indeks Persepsi Korupsi Korea Selatan yang berada di angka 56 (peringkat 45 dari 174 negara) dianggap masih belum mencerminkan ekspektasi dari rakyat Korea Selatan itu sendiri. a. SCAC, KICAC, dan ACRC Sebelum Undang-Undang Anti Korupsi Pada tahun 1999, Komisi Khusus AntiKorupsi (SCAC) didirikan oleh Presiden Kim Dae-jung. SCAC ini hanya berperan sebagai badan penasehat saja. Oleh karena itu, SCAC diklaim tidak efektif. Setelah berlakunya UU Anti Korupsi, Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC) pun didirikan pada tanggal 25 Januari 2002. KICAC mempunyai tujuh fungsi yaitu: Mengkoordinasikan Inisiatif Anti korupsi ditingkat Nasional. Meningkatkan Peraturan dan Kerangka Institusional. Menerima dan Menangani Pengaduan kasus Korupsi. Melindungi dan Memberikan Penghargaan Kepada Saksi Pelapor Meningkatkan Kesadaran Masyarakat dalam Isu-Isu Korupsi Meningkatkan Kerjasama dengan Pihak-pihak lain di Masyarakat Bergabung dengan Dunia Internasional Dalam Memerangi Korupsieperti berhubungan dengan UN, TI, ADB, OECD, dan APEC. Selain fungsi tersebut, KICAC juga memiliki wewenang: Melakukan Inspeksi dan Menemukan Pelanggaran. Dari setiap laporan yang diterima KICAC, bagian inspeksi bertugas untuk mengolah laporan dengan cara mengolah keterangan dari saksi pelapor. Jika keterangan yang diberikan dirasakan kurang, maka KICAC dapat melakukan inspeksi kepada pihak yang dianggap telah melakukan korupsi dan jika ditemukan adanya pelanggaran maka kasus tersebut akan dilimpahkan kepada bagian hukum yang bertugas melakukan penyelidikan lebih lanjut. Melakukan Penyelidikan KICAC mengkaji kasus yang dilaporkan oleh saksi pelapor kurang lebih 30 hari dan merujuk kasus tersebut jika perlu kepada badan investigasi seperti Dewan Audit dan Pemeriksaan, Jaksa penuntut umum dan institusi yang memiliki wewenang sejenis KICAC mengimplementasi dan membuat kebijakan anti korupsi KICAC memonitor dan mengevaluasi para institusi pemerintah terkait implementasi kebijakan anti korupsi. KICAC berwenang mengurangi kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan kelembagaan sehingga dalam jabatan pemerintahan menjadi lebih transparan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah KICAC hanya memiliki wewenang hingga investigasi kasus korupsi. Penuntutan bukan menjadi wewenang dari KICAC. Umur KICAC berakhir ketika dibubarkan oleh Presiden Lee Myung-Bak ntuk dilebur menjadi bagian Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC), yang diresmikan pada tanggal 29 Februari 2008. Peleburan ini tidak hanya melibatkan
KICAC, tapi juga melibatkan Ombudsman of Korea and the Administrative Appeals Commission. ACRC dibentuk dengan orientasi membentuk layanan publik yang lebih nyaman dan efisien kepada masyarakat dengan didasari kepada sikap masyarakat Korea Selatan yang memandang bahwa transparansi pelayanan publik di Korea Selatan cukup buruk. Dalam tugasnya, ACRC merombak kerangka hukum dan kelembagaan yang telah ada dan dianggap tidak sesuai. Untuk menghadapi tugas-tugas administratif, sekretariat ACRC dibagi menjadi tiga biro yaitu Ombudsman, Anti-Korupsi dan Banding Administratif. ACRC mempunyai fungsi untuk : Menangani dan mengatasi keluhan masyarakat dan meningkatkan sistem yang baik Membangun masyarakat yang bersih dengan mencegah dan memberantas korupsi di sektor publik Melindungi hak-hak masyarakat dari praktik administrasi ilegal dan tidak adil melalui sistem banding administratif. Peleburan KICAC ke dalam ACRC, berdampak kepada terbaginya peran untuk menaklukkan korupsi di Korea Selatan. Menurut para pengamat, hal ini menjadi salah satu bentuk pelemahan terhadap fungsi-fungsi yang telah ada di dalam KICAC sebelumnya. Presiden Lee Myung-Bak mengungkapkan bahwa peleburan KICAC dilakukan karena menimbulkan ketidakharmonisan di antara para pejabat dan pengusaha. Pasca peleburan KICAC ke dalam ACRC, korupsi di Korea Selatan merebak hingga melibatkan keluarga dari Presiden Lee Myung-Bak b. Kontrol Bidang Sosial di era modern Pada awalnya masyarakat Korea Selatan tidak mempercayai para penegak hukum dalam memberantas korupsi di Negaranya karena ada anggapan bahwa para koruptor banyak berkonspirasi dengan penegak hukum sehingga para koruptor sering bebas atau terlepas dari hukuman yang di berikan. Melalui anggapan tersebut, Rakyat Korea Selatan berkomitmen untuk menghakimi dan menghukum orang – orang yang di nilai telah mencuri uang negara tersebut. Bentuk hukuman ini bukanlah hukuman fisik atau hukum sesuai peraturan. Hukunan yang ditujukan kepada mereka sebagai tersangka korupsi adalah dengan hukuman sosial. Para koruptor ini diasingkan dan dikucilkan dalam kelompok masyarakat. Mereka menganggap para koruptor adalah penyakit menular yang sangat berbahaya yang mematikan sehingga setiap para koruptor ingin berkomunikasi dengan masyarakat dan ingin bersosialisasi dengan masyarakat, masyarakat berlarian meninggalkan koruptor tersebut yang ingin berbicara kepada mereka. Pengucilan ini dilakukan pula pada keluarganya. Hukuman sosial ini cukup efektif untuk membentuk persepsi buruk pada korupsi Peran utama masyarakat sipil dalam membentuk persepsi anti korupsi juga dituangkan lewat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan
pengawasan kepada pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Tujuannya yakni membuat pemerintahan yang lebih terbuka, transparan dan partisipatif, menciptakan suatu lingkungan di mana penipuan dan korupsi tidak dapat berkembang. Pemberantasan Korupsi di Korea Selatan melalui tiga fase utama. Fase pertama adalah sebelum tahun 1998 yang merupakan tahun krisis ekonomi. Pemberantasan Korupsi dilakukan terpisah dan kurang terarah. Fase kedua adalah medio 1998 hingga 2001 yaitu melalui Komisi Khusus Anti Korupsi (SCAC). Fase ketiga adalah setelah pengesahan Undang-Undang Anti Korupsi di tahun 2002. Pemberantasan Korupsi dilakukan oleh lembaga KICAC yang kemudian dilebur menjadi ACRC. Kontrol sosial di masyarakat juga berperan penting dalam menguatkan mental anti korupsi yaitu dengan perilaku mengucilkan pelaku korupsi beserta keluarganya. Peran masyarakat sebagai watchdog juga kian berkembang melalui Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut membantu mengkritisi kebijakan pemerintah hingga pemerintahan menjadi terbuka dan akuntabel. 3.
China Membahas pemberantasan korupsi di RRC, ingatan kita tentu melayang ke ungkapan “Beri saya 100 peti mati, sembilan puluh sembilan akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi." Kutipan terkenal tersebut diucapkan oleh Zhu Rongji, Perdana Menteri RRC masa 1998-2003 sebagai pernyataan perang terhadap korupsi. Di tengah pertumbuhan ekonomi China yang tinggi dalam dekade terakhir, korupsi merupakan tantangan politik dan ekonomi terbesar yang dihadapi oleh RRC. Sebagian kasus korupsi juga melibatkan kader Partai Komunis China. Meski banyak pelaku korupsi dihukum mati, upaya RRC dalam menekan korupsi masih mengalami pasangsurut, terutama terkait komitmen pimpinan puncak dalam memerangi korupsi. Terdapat dua lembaga penting yang berperan dalam pemberantasan korupsi di China, yaitu di partai dan di pemerintahan. Central Commission for Discipline Inspection (CCDI) merupakan badan pemeriksaan disiplin dalam Partai Komunis China yang bertugas. Pemerintah RRC mendirikan Biro Pencegahan Korupsi Nasional (NBCP/National Bureau for Corruption Prevention) pada September 2007. NBCP berada di bawah state council yang bertanggungjawab dalam pencegahan korupsi di RRC. Biro ini sekarang berada di bawah Kementerian Pengawasan. Dalam biro ini terdapat dua deputi direktur, satu sebagai Vice Minister of Supervision (wakil kepala NBCP) dan lagi Vice Minister Level Oversees yang mengerjakan pekerjaan rutin di biro yang bertugas untuk memonitor jalur aset yang mencurigakan serta aktivitas yang dicurigai merupakan hasil korupsi. NBCP memiliki tugas antara lain: Bertanggung jawab terhadap perencanaan, formulasi, harmonisasi dan pengujian kebijakan serta supervisi dari pemberlakuan anti korupsi di China
Koordinasi dan pengarahan untuk pencegahan korupsi di bidang swasta, sektor publik, kelompok sosial, dan organisasi sosial lainnya Bertanggung jawab untuk kerjasama internasional dalam hal pencegahan korupsi Staf NBCP akan mengumpulkan dan menganalisis informasi dari sejumlah sektor termasuk di antaranya dari perbankan, penggunaan lahan, pengobatan, dan telekomunikasi. sehingga mampu memonitor alur keuangan masuk dan keluar para pejabat dan mendeteksi perilaku pihak-pihak yang dicurigai. Biro ini nantinya akan melaporkan langsung temuannya kepada dewan negara atau kabinet RRC. Meski demikian, NBCP tidak akan terlibat dan tidak memiliki wewenang dalam penyelidikan kasus perseorangan. Negara China dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan Indonesia. Jumlah penduduk yang besar dan aneka ragam budaya mewarnai kedua negara. Negeri tirai bambu ini sangat layak dijadikan sebagai perbandingan dan referensi dalam menyusun kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia. 4.
Jepang Jepang adalah sebuah negara di Asia Timur yang memiliki sejarah sangat kuat sejak abad ke 7 Sebelum Masehi. Sejarah yang kuat tersebut melahirkan sebuah negara yang kini menjadi salah satu pemimpin dalam perekonomian dunia. Jepang adalah negara dengan Produk Domestik Bruto terbesar kelima di dunia dan ketiga di Asia (CIA World Factbook). Selain itu, Jepang terkenal sebagai negara dengan teknologi maju dan negara dengan usia harapan hidup tertinggi di dunia menurut PBB. Pertumbuhan ekonomi di Jepang sempat memasuki masa keemasan dari tahun 1960-an hingga 1980-an yang sering disebut "keajaiban ekonomi Jepang", yakni rata-rata 10% pada tahun 1960-an, 5% pada tahun 1970-an, dan 4% pada tahun 1980-an. Di balik suksesnya Jepang meraih segala prestasi ekonominya, terdapat prahara di mana korupsi sering mengganggu proses pemerintahan. Sejak awal abad ke-20, Jepang sudah didera oleh berbagai macam kasus korupsi yang melibatkan elit politik di lingkungan pemerintahannya. Walaupun begitu, Jepang tidak menerapkan UndangUndang khusus anti korupsi. Hal ini berarti status korupsi adalah kriminal biasa yang pelanggarannya diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Faktor apa sajakah yang membuat pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan cukup baik di Jepang sehingga tidak terlalu mempengaruhi jalannya pemerintahan dalam mewujudkan kestabilan ekonomi di Jepang sebagai negara maju. Bentuk korupsi yang umum di Jepang adalah penggunaan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jika ditinjau dari hubungan birokrat dengan swasta, maka ada dua jenis praktek korupsi yang berkembang di Jepang. Pertama, bernama Economic Corruption yaitu suap yang dilakukan dengan biming-iming berupa uang atau hadiah oleh pihak swasta. Kedua adalah Politic Corruption yaitu iming-iming berupa janji untuk terpilih kembali dalam pemilihan umum. a. The Sagawa Kyûbin Scandal 1991-1993 Sagawa Kyûbin adalah perusahaan jasa pemaketan. Mereka "mendonasikan" sejumlah uang untuk politisi LDP yang bertanggung jawab di bidang transportasi serta politisi berpengaruh lainnya. Sebagai perusahaan yang tengah berkembang
pesat, Sagawa Kyûbin memiliki keinginan untuk memperoleh lisensi layanan pemaketan nasional. Sebuah catatan khusus dalam skandal ini adalah fakta bahwa uang tidak hanya telah dibayarkan kepada para politisi, tetapi juga untuk salah satu sindikat kejahatan yang terorganisir ("Yakuza"). Fakta bahwa Kanemaru Shin, Wakil Sekretaris Jenderal LDP, telah aktif mencari kontak ketika terlibat dalam kampanye pemilihan Takeshita Noboru merusak kepercayaan pada LDP. b. Skandal Penggelapan Pajak, 1993 (Kanemaru Shin) Skandal yang terjadi di Jepang umumnya berkutat pada permasalahan pembiayaan aktivitas politik, namun terdapat juga skandal yang agak berbeda yakni terkait dengan modus memperkaya diri sendiri. Skandal pengelapan pajak ini ternyata cukup besar. Ketika dilakukan penilaian, jumlah pajak yang digelapkan berkisar hingga 3,6 Milyar Yen. c. The Genecon Corruption Scandal 1993 Genecon merupakan akronim dari General Construcition. Skandal ini berhubungan dengan aksi penyuapan dari perusahaan-perusahaan besar di sektor konstruksi. Berdasarkan temuan itu, Walikota Sendai ditangkap pada tahun 1993. Skandal ini melebar dan ikut menyeret para gubernur Prefektur Ibaraki dan Miyagi. Pada Oktober 1997, Nakamura Kishiro, mantan Menteri Konstruksi, dihukum karena korupsi. d. The Sôkaiya Scandals 1997 Skandal ini adalah skandal yang terjadi di sektor swasta. Skandal ini melibatkan empat perusahaan pialang besar (Nomura shoken, Yamaichi shoken, Nikko shoken dan Daiwa shoken) dan Daiichi Kangyo Bank. Mereka terlibat tuduhan atas pembayaran uang kepada orang-orang yang memeras manajemen sehubungan dengan rapat umum pemegang saham. e. Skandal dari 1996-1998 dalam Elit Birokrasi Dalam paruh kedua medio tahun sembilan puluhan terungkap sejumlah skandal yang terjadi di mana melibatkan birokrat dengan level eselon yang tinggi. Kasus pejabat tinggi di Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan menerima suap dan gratifikasi oleh perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan panti jompo menjadi headline bersamaan dengan perlakuan yang tidak wajar kepada staf tinggi Bank of Japan dan Inspektur dari Kementerian Keuangan. Aktivitas tersebut dilakukan sebagai pertukaran terhadap penyampaian informasi rahasia mengenai rencana pemeriksaan lembaga peminjaman oleh Otoritas Pengawas. Banyaknya kasus yang terungkap dan berhasil ditangani dalam kurun waktu tersebut menjadi sebuah retorika awal bahwa korupsi umum terjadi di iklim pemerintahan Jepang. Retorika ini memiliki dua sisi. Sisi buruknya adalah praktek suap ternyata sedemikian parahnya hingga menyentuh level pemerintahan tertinggi. Sisi baiknya, setiap pelanggaran korupsi segera ditangani oleh pihak yang berkepentingan. Terkait penanganan korupsi, Jepang telah melakukan upaya seperti berikut: a. Upaya yang dilakukan oleh Kepala Pemerintahan Perdana Menteri Nakasone Yasuhiro pada tahun 1984 membuat sebuah Badan Koordinasi dan Manajemen untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang
bersih. Badan ini bertanggung jawab secara langsung kepada Perdana Menteri. Tugas dari badan ini adalah memperbaiki organisasi dan manajemen di lingkungan perdana menteri, agar PM bisa berfungsi sebaik-baiknya. Perlu waktu 16 tahun bagi badan ini untuk bisa menembus kepolisian Jepang ketika terjadi proses penguakan kasus korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian pada tahun 2000. Segera setelahnya, badan ini segera melakukan pemeriksaan dan kemudian memerintahkan agar kepolisian memperbaiki manajemen dan membuat laporan yang masuk akal. b. Upaya berbentuk badan tertentu. Semenjak PM Hatoyama memerintah, ada sebuah tim yang ditunjuk untuk memeriksa semua lembaga atau institusi pemerintah yang memanfaatkan pajak dari rakyat Jepang, apakah uang rakyat telah benar-benar dipakai dengan adil. Tim tersebut adalah Gyouseisasshinkaigi atau Goverment Revitalisation Unit, yang tugas utamanya adalah Jigyoushiwake yang berarti melakukan pemeriksaan keuangan atas proyek yang didanai oleh pajak rakyat. Kegiatan tim ini dibahas di beberapa media sebagai pendekatan yang cukup bagus untuk memeriksa penggunaan uang rakyat di lembaga atau institusi yang dikontrol negara. Pertanyaan mendasar yang mengiringi tim ini berkutat antara lain soal “ke mana uang itu pergi ?” atau “kenapa pembiayaan terlalu besar?” Program ini menjadi sangat menarik dan ditanggapi positif oleh rakyat Jepang, karena dengannya mereka dapat mengetahui bagaimana penyalahgunaan pajak yang mereka bayarkan.Tetapi mereka juga mengkritisi apakah proyek-proyek yang diputuskan berhenti atau ditinjau ulang benar-benar dilaksanakan, yang dengan demikian rakyat bisa menikmati hasilnya. c. Kontrol dari Media Jepang Pada tahun 2001 ada pengesahan sebuah undang-undang kebebasan informasi. Semua lembaga pemerintahan termasuk kepolisian mau tak mau terikat oleh undang-undang ini. Pelaksanaan Undang-Undang ini mengakibatkan makin ketatnya kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat Jepang. Sebagaimana diketahui, Jepang terkenal dengan kontrol sosialnya yang tinggi. Budaya malu yang sudah merupakan warisan turun temurun sedikit banyak menjadi senjata tak kasat mata melawan korupsi. Menurut Takahiro Yoshimaru, mahasiswa Ritsumeikan University, pejabat di Jepang akan segera mengundurkan jika kasus korupsinya telah muncul di media. Tekanan dari masyarakat yang besar mengakibatkan sikap malu ini benar-benar mendarah daging dalam masyarakat Jepang. Media Jepang benar-benar memberikan tekanan yang besar terhadap skandal yang terjadi pada institusi pemerintahan termasuk peliputan yang utuh terhadap pelaksanaan investigasi skandal. Oleh karena itu, jamak pejabat yang tak kuasa menanggung malu dan kemudian melakukan bunuh diri. Pemberantasan korupsi di Jepang dilakukan secara integral oleh Kepolisian. Korupsi merupakan tindak pidana umum di sana sehingga tidak ada badan yang didirikan khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi. Penindakan atas kasus korupsi di Jepang cukup berjalan dengan baik disebabkan budaya malu yang sudah mengakar di
sana. Buktinya adalah rombongan perdana menteri yang mundur karena skandalnya terungkap di media. Metode pengawasan yang dilakukan oleh Jepang sebagai early warning system terhadap tindak pidana korupsi adalah pengawasan dari tim bentukan Kepala Pemerintahan, pembentukan Government Revitalization Unit, juga peran kontrol sosial dari masyarakat. Ketiga bentuk pengawasan tersebut berhasil membuat Jepang memperoleh Indeks Persepsi Korupsi sebesar 74 dan berada di peringkat 17 dari 176 negara di dunia. 5.
Finlandia Sejak tahun 1995, Transparency International (TI) telah memperkenalkan sebuah indeks persepsi korupsi atau yang lebih dikenal dengan CPI (Corruption Perception Index). Indeks ini digunakan untuk memeringkat negara-negara di dunia berdasarkan anggapan publik terhadap korupsi di suatu negara. Berdasarkan Annual Report terakhir yang dipublikasikan oleh TI, yaitu tahun 2012, Finlandia berada pada peringkat pertama negara paling tidak korup di dunia. Rendahnya tingkat korupsi di Finlandia dipercaya berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan umum yang baik, sistem pendidikan yang baik, dan peningkatan daya saing negara Finlandia di mata dunia. Hal tersebut merupakan hasil dari berbagai faktor sosial dan kemasyarakatan yang terjadi di Finlandia, yang secara otomatis telah menciptakan negara tersebut sebagai negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia. a. Budaya dan Struktur Administrasi Masyarakat Finlandia Budaya masyarakat Finlandia adalah budaya taat hukum, merupakan hasil perkembangan sejarah yang panjang dan matang. Penerimaan dan penghormatan terhadap hukum semakin meningkat seiring dengan masa kekuasaan Swedia dan Rusia selama kurang lebih 8 abad sebagai penjagaan/perlindungan terhadap pelanggaran hukum yang mungkin dilakukan oleh penjajah pada waktu itu. Struktur administrasi Finlandia dibuat simpel dengan hanya beberapa tingkat pengambilan keputusan. Pemerintah daerah memiliki otoritas dan bersikap independen. Independensi ini tidak lantas disalahgunakan, sebab didukung dengan kebijakan lainnya, diantaranya gaji pejabat publik telah layak dan memadai dan transparansi perihal perekrutan dan kepegawaian pejabat sektor publik. Satu hal menarik yang dilaksanakan pemerintah Finlandia adalah mereka tidak diperkenankan untuk terlibat dalam kebijakan publik yang mempengaruhi diri mereka sendiri, keluarga, dan kolega dekatnya. Suatu mekanisme yang secara otomatis dapat menghindarkan pemerintah Finlandia untuk melakukan tindakan korupsi. Hal ini juga diterapkan pada sektor swasta. b. Publisitas dan Transparansi atas Kinerja Pemerintah Menjaga administrasi publik setransparan mungkin adalah prinsip dasar dalam administrasi publik di Finlandia. Setiap kebijakan yang diambil akan disampaikan secara transparan sehingga masyarakat dapat memberikan tanggapan seperlunya. Hal ini merupakan alat kontrol terhadap kebijakan publik yang diambil pemerintah.
Publisitas terhadap dokumen-dokumen pemerintah menjadi alat pengawasan terhadap kinerja pemerintah yang efektif. pada dasarnya, setiap warga negara berhak mengetahui informasi publik. Sebagai contoh, masyarakat dapat meminta dan memperoleh data perpajakan dari kantor perpajakan. c. Pengawasan terhadap kegiatan pemerintah Pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintah dilaksanakan dalam berbagai cara. Pengawasan dan audit internal merupakan bagian yang melekat dalam departemen di pemerintahan. Seluruh departemen pemerintah di Finlandia diaudit oleh National Audit Office of Finland. Objek auditnya adalah manajemen keuangan dan manajemen aset untuk memastikan bahwa keduanya telah dialokasikan secara bijak dan tepat sesuai dengan undang-undang. Selain pengawasan internal, komunikasi antar departemen juga dijalin dengan baik. Finlandia mempunyai lembaga hukum mencakup Kantor Ombudsman Parlemen dan Kanselir Kehakiman. Kanselir Kehakiman dan Ombudsman Parlemen memantau tindakan dari semua pegawai negeri dari tingkat tertinggi hingga yang paling bawah. Keduanya bersifat independen, dengan kewenangan untuk menyelidiki tindakan anggota legislatif, menteri dan bahkan kepala negara. d. Sistem Peradilan yang Independen dan Efisien Menurut survei yang dilakukan terhadap warga Finlandia, profesi-profesi penegak keadilan seperti polisi, jaksa, dan hakim sangat dihargai dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dimata warga. Seluruh warga Finlandia (subjek hukum), tanpa terkecuali, dapat dengan mudah melaporkan masalahnya di pengadilan untuk diproses secara adil. e. Kepercayaan terhadap para politikus. Warga Finlandia mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap para politikus. Partai politik memainkan perannya dengan handal, melaporkan keuangan dan asetnya secara transparan, serta tidak mempunyai konflik kepentingan di dalam partai. f.
Faktor Sosial Banyak faktor sosial yang mendukung rendahnya tingkat korupsi di Finlandia. Tingkat melek huruf yang hampir 100%, membantu warga untuk memahami, melaksanakan, serta melindungi hak-haknya. Finlandia juga maju dalam hal kesetaraan gender. Pada tahun 1906, Finlandia merupakan negara pertama di dunia yang memperbolehkan wanita untuk melakukan voting dan mencalonkan diri dalam pemilihan. Studi dari Bank Dunia telah menunjukkan adanya korelasi antara keterwakilan perempuan di legislatif dan pemerintahan tingkat atas dengan tingkat korupsi yang rendah. Selain itu, tingkat kesejahteraan umum yang baik telah meningkatkan kualitas hidup warga Finlandia. Tingkat pendapatan yang wajar serta kualitas hidup yang baik ini membantu mencegah praktek korupsi dan suap. Sistem pendidikan yang baik sejak bangku sekolah dasar mampu mencetak generasi masa depan yang memiliki akhlaq dan budaya jujur, bertanggung jawab, cerdas, dan rendah hati. Suatu budaya yang mampu menjauhkan pemiliknya dari tindak
kejahatan korupsi. Di Finlandia, jangankan perbuatan korupsi, berbohong saja sudah tidak disukai oleh rakyat. Hal ini menimpa Mantan Perdana Menteri wanita pertama Finlandia, Anneli Jaatteenmaki, yang mengundurkan diri pada Juni 2013. Pengunduran diri ini dilatarbelakangi oleh tuduhan bahwa Jaatteenmaki telah berbohong kepada parlemen dan rakyat dalam prosesi kampanye pemilu atas posisi PM. Media juga mempunyai peran penting dalam pemberantasan korupsi. Bila ada kecurigaan terkait korupsi maka akan dibahas secara ekstensif di media. Warga Finlandia adalah pembaca media aktif dan kritis. Oleh karena itu, kesempatan mereka untuk mendapatkan informasi dijamin dengan baik. g. Perangkat Pendukung Pemberantasan Korupsi Untuk mendukung pemberantasan korupsi, Pemerintah Finlandia menyusun beberapa perangkat pendukung pemberantasan korupsi, diantaranya: 1) Jaringan Anti Korupsi Jaringan anti korupsi yang formal didirikan di Finlandia rekomendasi GRECO (Groups of States Againts Corruption). Jaringan ini dinaungi oleh Kementerian Kehakiman negara setempat yang jangkauan kerjanya tidak hanya mencakup sektor publik tetapi juga sektor swasta, komunitas riset, dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya. Tugas dari jaringan anti-korupsi ini adalah: mempromosikan aktivitas anti-korupsi dan mengusulkan inisiatif mengenai hal ini; meningkatkan kesadaran anti korupsi di masyarakat dan meningkatkan kesadaran anti-korupsi dalam pemerintahan dan sektor swasta. mengikuti dan mempromosikan pelaksanaan kewajiban perjanjian anti korupsi internasional (Konvensi PBB atas korupsi, Konvensi OEDC serta Dewan Hukum Eropa atas korupsi). mengikuti dan mempromosikan penelitian tentang korupsi. 2) Otoritas Pendukung Anti Korupsi Finlandia tidak memiliki otoritas yang secara khusus dibebani dengan tugas pencegahan korupsi. Seperti halnya dengan pelanggaran lain, penyidikan terhadap tindak korupsi merupakan tanggung jawab polisi. Penyelidikan biasanya akan dilakukan oleh polisi setempat. Dalam kasus yang lebih serius atau kompleks, misalnya yang melibatkan kejahatan terorganisir, pejabat publik senior, atau hubungan internasional, pelanggaran biasanya akan diselidiki oleh National Bureau of Investigation. 3) Undang-Undang Pemerintah Finlandia memiliki berbagai undang-undang untuk mendukung pemberantasan korupsi. Dalam UU Hukum Pidana, terdapat pasal-pasal khusus yang mengatur perbuatan-perbuatan pegawai pemerintah yang dikategorikan sebagai melanggar
hukum, seperti menerima suap, melakukan pemerasan, membocorkan rahasia jabatan, dan melanggar kewajiban jabatan. UU Prosedur Administrasi ditekankan untuk memajukan perilaku yang baik dalam organisasi publik. Prinsip-prinsip yang melandasinya antara lain, menekankan pejabat untuk bertindak adil dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. UU Akuntansi dan auditing digunakan untuk pemantauan operasi perusahaan. Dalam prakteknya, suap sehubungan dengan operasi bisnis hampir selalu melibatkan akuntansi yang bertujuan untuk menyembunyikan suap di rekening perusahaan dan laporan keuangan. UU ini mengatur bagaiamana kewajiban akuntansi yang harus dipenuhi perusahaan. Keberhasilan Finlandia dalam menekan praktek korupsi dapat dicapai berkat komitmen pemimpin serta dukungan dari masyarakat untuk menekan jumlah kasus korupsi. Walaupun dapat dikatakan sudah bersih dari korupsi, namun Finlandia tetap melandasi sistem pemerintahannya dengan perangkat-perangkat pencegahan korupsi, mulai dari faktor-faktor sosial, penerapan berbagai perangkat pencegahan anti-korupsi di hal-hal yang dianggap vital, serta turut berperan aktif dalam jaringan pencegahan korupsi internasional. 6. Amerika Serikat Dalam survey yang dirilis oleh Global Corruption Barometer pada tanggal 9 Juli 2013, ditemukan fakta bahwa lebih dari seperempat orang di seluruh dunia telah membayar suap dalam setahun terakhir. Selain itu, partai politik dianggap sebagai lembaga yang paling korup, dan mayoritas (54 persen) dari orang yang disurvei mengatakan pemerintah mereka tidak efektif untuk memerangi korupsi. Dalam rangkaian survei yang sama ditemukan juga fakta bahwa di Amerika Serikat, 60 persen orang mengatakan korupsi telah meningkat selama dua tahun terakhir, sementara hanya 10 persen mengatakan korupsi menurun Tentu saja fakta yang disajikan ini berbanding terbalik dengan hasil yang telah dilansir oleh Transparency Internasional. Di luar faktor metode survey yang digunakan, dapat dipastikan bahwa masalah korupsi yang hinggap di tubuh pemerintah Amerika cenderung meningkat dan kepercayaan masyarakat Amerika Serikat pada institusi negaranya juga menurun. Korupsi yang ada di dalam tubuh Amerika Serikat adalah masalah kultur dan merupakan kompensasi sistem perekonomian pasar bebas yang dianutnya. Praktek korupsi yang berlangsung di Amerika Serikat sebenarnya sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. a. Praktek Korupsi di Amerika Serikat Kasus korupsi yang terjadi di Amerika Serikat berkutat seputar bentuk yang sama dengan praktek yang terjadi di negara lain yaitu penyuapan, penggelapan, pemerasan, dan penyalahgunaan jabatan. b. Langkah Pemberantasan Korupsi 1) RICO (Racketeer Influenced and Corrupt Organization Act)
Pada tahun 1970, Konggres Amerika mengesahkan undang-undang RICO, yaitu UU tentang pemerasan dan korupsi yang terorganisir. Undang-Undang ini menjadi alat yang digunakan untuk memerangi mafia. Dalam perundangan ini, jaksa berhak menelusuri penghasilan mafia hingga ke dalam keluarganya baik yang legal maupun ilegal. Dampaknya, medio tahun 1980-an dan 1990-an RICO digunakan untuk menghukum para petinggi mafia. Anggota mafia berhasil dipenjarakan dan mampu menyeret anggota mafia dan menjadikannya whistleblower bagi mafia lain. Kini, jaringan mafia masih aktif dan berkutat pada transaksi ilegal dan beberapa bisnis tradisional, termasuk rentenir, perjudian ilegal dan narkotika. 2) FCPA (Foreign Corrupt Practice Act) FCPA disahkan dengan tujuan untuk memastikan sistem pemerintahan menjamin terjadinya : 1. Perilaku bisnis yang wajar 2. Akuntabilitas dan integritas di pemerintahan 3. Distribusi sumber daya ekonomi berbasis efisiensi dan kesetaraan. Sesuai namanya, FCPA melarang adanya tindakan penyuapan kepada pejabat atau pegawai asing yang dilakukan oleh warga negara Amerika Serikat. Terdapat dua hal yang menjadi fokus FCPA: 1. Peraturan anti suap 2. Peraturan akuntansi perusahaan yang terdaftar di SEC – (Securities Exchange Commission) 3) American Corruption Act (RUU) RUU ini dibuat dengan harapan akan mengubah cara pembiayaan pemilu, bagaimana deal-deal dalam pengaruhnya di proses politik, dan bagaimana penggunaan uang dalam pemilu dipertanggungjawabkan. Usulan RUU diharapkan akan membentuk ulang aturan politik di Amerika, dan mengembalikan peran warga Amerika sebagai stakeholder negara. Beberapa hal yang diatur dalam RUU ACA antara lain: 1. Larangan politisi menerima suap. 2. Membatasi kontribusi dan koordinasi Super PAC (Political Action Commitee). Super PAC adalah komite yang diperbolehkan untuk menghimpun dana dalam jumlah tak terbatas dari perusahaan, individu, lembaga, dll. 3. Mencegah anggota legislatif dan staffnya yang melakukan penyuapan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah tidak menjabat di bidang legislatif 4. Hal untuk memeriksa pelaku lobi politik. Memperluas definisi pelobi dan mencegah mereka dari memberikan pengaruh yang besar dalam politik. 5. Membatasi sumbangan dari pelaku lobi politik 6. Melarang sumbangan gelap. 7. Memberi insentif bagi semua pemilih dengan potongan pajak, agar para pemilih aktif berkontribusi dalam politik, 8. Pengungkapan pihak-pihak memberikan kontribusi kepada para kandidat dan anggota kongres.
9. Menegakkan aturan, memperkuat independensi Komisi Pemilihan Federal dan memperkuat legislatif dan proses penegakan etika Senat. 4) OECD (Organisations for Economic Co-operation Development) Amerika Serikat menjadi negara garda depan OECD dalam perannya memberantas korupsi. Adapun kontribusi yang dilakukan Amerika Serikat adalah mendorong negara anggota OECD untuk mengaplikasikan FCPA ke dalam UU di negara tersebut. Kemudian, OECD menerbitkan “The OECD Anti Bribery Convention” yang merupakan konvensi untuk bersama-sama berperan mendakwa penyuapan asing, pemantauan penegakan hukum dan berpartisipasi dalam proses peer review yang ketat. Amerika Serikat juga meyakinkan OECD untuk mempublikasikan statistik penegakan investigasi dan penuntutan penyuapan asing dan mendorong pemantauan yang ketat. Amerika Serikat memiliki dualisme ketika berhadapan dengan korupsi. Terlalu banyaknya kasus yang ditutup-tutupi menyebabkan pandangan miring bahkan dari warga negaranya sendiri. Namun, di luar negeri Amerika Serikat berada pada garda terdepan untuk memberantas korupsi seperti perannya di OECD. Namun Amerika Serikat berusaha mengontrol korupsi yang berkembang di negaranya dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang diharapkan menjadi sebuah legalitas hukum yang bertaji mengalahkan korupsi yang berkembang di negaranya
BAB III PEMBAHASAN A. Landasan Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Pemerintah serius menangani korupsi secara konkret. Salah satu implementasinya adalah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Inpres ini merupakan lanjutan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Dalam dua Inpres ini, Pemerintah mengimplementasikan enam strategi sesuai rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Keenam strategi itu adalah: Pencegahan pada Lembaga Penegak Hukum; Pencegahan pada Lembaga Lainnya; Penindakan; Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan; Penyelamatan Aset Hasil Korupsi; Kerjasama Internasional; dan Pelaporan. Targetnya, pada 2014 Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia dapat mencapai angka 5,0 B. Evaluasi Inpres 9/2011 hingga September 2011 Saat ini pelaporan tahap akhir pelaksanaan Inpres 9/2011 masih berjalan. Sejauh ini, disiplin 16 K/L dalam melaporkan pelaksanaan rencana aksi per September 2011 sangat tinggi (100%), dan 74% subrencana aksi Inpres 9/2011 tercapai dengan status memuaskan. Namun, meski 74% target per September 2011 tercapai, jika dibandingkan juli 2011 (±90% tercapai), persentase itu menurun karena adanya pergeseran jenis capaian. Pada Juli 2011, program masih bersifat persiapan sehingga lebih mudah tercapai. Sedangkan pada September 2011, program sudah berupa pelaksanaan kegiatan dan menemui sejumlah kendala. Sejumlah capaian yang cukup signifikan tertoreh pada september 2011. Capaian itu antara lain menyangkut akuntabilitas, misalnya ada perbaikan sistem penanganan perkara di lembaga penegak hukum serta penanganan pengaduan masyarakat dan perlindungan whistleblower pada instansi pemerintah. Terkait keterbukaan informasi, ada perbaikan pada pelaksanaan keterbukaan informasi publik di lembaga penegak hukum serta Kemenkumham. Di bidang perbaikan mutu sumberdaya manusia, ada pembaruan pengaturan rekrutmen, penyusunan basis-data kepegawaian, serta tes integritas pada petugas Lapas/Rutan sebagai dasar pembinaan. Pada peningkatan koordinasi, capaian terpentingnya adalah pernyataan awal dari enam instansi penegak hukum untuk memberikan perlindungan pada whistleblower dan justice collaborator. Keenamnya adalah Kejaksaan, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Agung, Kemenkumham, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Yang tak kalah pentingnya, saat ini juga tengah berlangsung harmonisasi dan pembahasan tahap akhir sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan masuk ke proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berbagai RUU itu antara lain RUU Tindak Pidana Korupsi, RUU Perampasan Aset, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun menyangkut pengembalian aset dan kerjasama internasional, Tim Terpadu di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terus melanjutkan pekerjaan Tim Pemburu Aset dan Koruptor, selain terlaksana pula penandatanganan sejumlah perjanjian mutual legal assistance (MLA Treaty) baru, seperti MLA RI-India
C. Rencana Aksi Daerah Bagi pemerintah daerah, agenda pemberantasan korupsi merupakan isu yang sentral. Seiring dengan dilaksanakannya agenda desentralisasi, maka ada kewenangan yang substansial bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan tertentu. Kewenangan ini jika tidak didukung oleh komitmen yang kuat justru akan menimbulkan “otonomi korupsi”, sebuah fenomena yang hari-hari ini menjadi percakapan yang cukup seru. Banyak kasus korupsi diungkap yang ternyata melibatkan elit birokrasi lokal seperti DPRD dan Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Gubernur). Upaya pemberantasan korupsi secara represif, diklaim oleh sebagian besar masyarakat masih lamban dan setengah hati atau sering dilakukan tebang pilih. Demikian pula perbaikan sistemik, terutama di bidang pelayanan publik yang selama ini hanya mengandalkan kegiatan rutin instansi pemerintah dengan sedikit sekali upaya-upaya yang tergolong progresif. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah luar biasa sistemik dan mengakar, melalui upaya pemberantasan yang juga luar biasa. Berdasarkan pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan korupsi didefinisikan sebagai berikut:“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ”Jika melihat pengertian tersebut, pemberantasan korupsi mencakup juga aspek pencegahan. Aspek ini terkadang sering dilupakan oleh aktor-aktor pemberantas korupsi. Aspek pencegahan sebenarnya akan menjadi instrument yang sangat signifikan apabila kita semua menyadari bahwa salah satu penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sistem penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pelayanan publik. Dalam melaksanakan kewenangannya, pemerintah antara lain menggunakan berbagai instrumen yuridis. Salah satu instrumen itu adalah rencana. Rencana dalam pemerintahan umum dirumuskan sebagai suatu gambaran mengenai berbagai macam tindakan yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditentukan sebelumnya. Di tingkat Nasional, Bappenas telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) sebagai pengejewantahan Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut berisi instruksi umum kepada seluruh jajaran pemerintahan dan instruksi khusus kepada instansi tertentu untuk melaksanakan tugastugas tambahan tertentu. Inpres tersebut kemudian dijawantahkan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) 2004-2009 sebagai Living Document yang disusun oleh 92 instansi Pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi. Dalam RAN PK tercakup langkah-langkah yang meliputi prioritas tindakan untuk pemberantasan korupsi, antara lain: (1) penyempurnaan sistem pelayanan publik; (2) peningkatan kinerja layanan pemerintahan, (3) peningkatan kinerja lembaga pelayanan publik; (4) pengawasan atas pelayanan masyarakat; (5) penyempurnaan sistem manajemen keuangan negara; (6) penyusunan sistem procurement/pengadaan barang dan jasa pemerintah; (7) penyusunan sistem sumber daya manusia dan pembinaan
aparatur negara; (8) peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat; (9) penyempurnaan materi hukum pendukung; (10) percepatan pengadilan dan eksekusi tindak pidana korupsi, dan sebagainya. Sayangnya setelah berjalan, sejak awal 2005, belum seluruh departemen atau lembaga negara lainnya mampu menyusun RAN-PK bagi kelembagan. Sesuai dengan perkembangan dan diratifikasinya United Nations Convention Againts Corruption- Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) oleh pemerintah Indonesia yang diselanjutnya dipertegas dengan UU No. 7 Tahun 2006. Maka pemberantasan korupsi di Indonesia harus dijadikan sebagai sebuah gerakan wajib yang diawasi keseriusannya, bukan saja oleh seluruh lapisan masyarakat yang ada di dalam negeri tetapi juga masyarakat dunia. Oleh sebab itu Bappenas dalam dua tahun terakhir telah menyusun Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) 2010-2025 yang lebih konprehensif untuk dijadikan acuan bagi seluruh stakeholders. Stranas PK 2010-2025 tersebut ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasikan dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar mempunyai dampak yang kongkrit. Stranas PK 2010-2025 tersebut merupakan kelanjutan dari Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Di tingkat Daerah Inpres No. 5/2004 mengisyaratkan adanya kewajiban bagi seluruh Pemerintah Daerah (Propvinsi/kabupaten/kota menyusun Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK). Strategi RAD-PK lebih cenderung pada pencegahan korupsi. Dalam impelementasinya strategi ini masyarakat dilibatkan secara dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. RAD PK dirancang untuk masa jangka waktu 5 tahun dan secara bertahap menentukan kelembagaan/institusi yang menjadi prioritas dan percontohan sebagai kelembagaan yang bebas korupsi. D. Strategi Nasional 1. Strategi I : Melaksanakan Upaya-Upaya Pencegahan Berbagai upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia lebih terfokus pada upaya represif. Demikian pula paradigma yang berkembang di masyarakat, masih mengharapkan terjadinya upaya represif yang dianggap dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Namun hal tersebut belum mampu secara sistematis mengurangi praktek dan perilaku koruptif. Dengan kondisi praktek korupsi yang masih terjadi secara masif, sistematis dan terstrukur pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta di Badan Usaha Milik Negara, lembaga jasa keuangan dan perbankan serta di sebagian kehidupan masyarakat lainnya, upaya pencegahan diharapkan menjadi suatu langkah yang berkesinambungan sehingga akan membawa dampak perbaikan di masa yang akan datang Masyarakat Indonesia pada saat ini sudah banyak yang menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kemudahan-kemudahan dan percepatan dalam memberikan pelayanan administratif menjadi tuntutan di tengah masyarakat yang makin dinamis. Meskipun Pemerintah Pusat dan Daerah sudah banyak melakukan upaya perbaikan, namun prakteknya, masyarakat masih belum merasakan manfaat yang optimal dari pelayanan publik yang iberikan oleh
Pemerintah. Permasalahan utama terkait hal tersebut adalah belum tuntasnya Reformasi Birokrasi yang menyeluruh, terutama masalah right sizing, business process dan human resources. Upaya pencegahan sangat mempengaruhi persepsi publik terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini terjadi karena bidang-bidang pencegahan sangat terkait dengan pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan pelaku usaha. Dalam skala internasional, pengukuran terhadap persepsi publik dilakukan oleh berbagai institusi, salah satunya oleh Transparansi Internasional dengan survei Corruption Perception Index (CPI – Indeks Persepsi Korupsi). Survei tersebut masih menempatkan Indonesia pada posisi yang cukup memprihatinkan kendati ada kecenderungan peningkatan angka Indeks Persepsi Korupsi tetapi jumlahnya masih sangat kecil, terbatas serta belum konsisten. Tahun 2008, CPI Indonesia berada diurutan ke-126 dengan skors 2,6, atau naik sekitar 0,3 dibandingkan IPK 2007 lalu, tetapi tahun 2007 CPI Indonesia merosot dari 2,4 ditahun 2006, menjadi 2,3 di tahun 2007 dimana Indonesia berada pada urutan ke 143 dari 180 negara yang di survei. Pada survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2008, secara umum, dapat dlihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan di sebagian besar kota di Indonesia pemerintah daerahnya dipersepsikan koruptif, dimana hanya kota Yogyakarta dan kota Palangkaraya yang mendapatkan skor diatas 6. Sebagai catatan, skor IPK Indonesia tahun 2008 masih lebih baik dibanding CPI untuk Indonesia seperti tersebut di atas. Hal lain ditunjukkan oleh Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2007, dimana sebagian responden menyatakan melakukan pembayaran suap mencapai angka 31%. Semakin tinggi indeks di suatu lembaga maka institusi kian dipersepsikan terkorup. Indeks GCB memberikan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 kepada lembaga kepolisian, disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1. Partai politik diberikan penilaian dengan indeks 4,0, disusul pelayanan perijinan dan perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Berbagai upaya pencegahan sebenarnya telah dilakukan antara lain meningkatkan kualitas pelayanan perijinan, seperti yang dicontohkan oleh beberapa daerah dengan pembentukan one stop sevice (OSS – pelayanan satu atap). Namun persepsi masyarakat masih mencerminkan adanya kelemahan dalam implementasi pelayanan satu atap, terutama mengenai belum meratanya pembangunan fasilitas pelayanan perijinan terpadu dan berbagai regulasi perijinan di daerah yang meninggalkan berbagi celah untuk korupsi. Demikian pula dengan peningkatan pelayanan perpajakan, masih terdapat kendala dengan belum tuntas dan terintegrasinya program Single Identification Number (SIN). Selain masalah perpajakan, dipercaya bahwa penuntasan dan pengintegrasian SIN akan menyelesaikan banyak permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi. Survei Integritas yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2009 menyebutkan bahwa skor rata-rata Integritas Sektor Publik Indonesia adalah 6,54. Skor tersebut relatif rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Korea pada tahun 2007 (8,77). Dari hasil beberapa survei tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa rendahnya kualitas birokrasi dan penegakan hukum, lemahnya mekanisme pemberian ijin dan pengawasan atas penerimaan negara yang berasal dari pajak merupakan akar masalah korupsi. Hal ini diperburuk dengan belum tuntasnya reformasi manajemen keuangan negara, terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran pembangunan. Semua ini
merupalan permasalahan sistemik yang harus dapat dicegah melalui berbagai penyempurnaan sistem dan kelembagaan Korupsi tidak dapat dipisahkan dari masalah suap dan konflik kepentingan (conflict of interests). Sebenarnya persoalan suap tidak hanya terjadi di Indonesia. Survei Bribe Payer Indexs (Indeks Pembayar Suap/ IPS) yang dilakukan Transparency International tahun 2006 mengungkapkan, kegiatan suap di luar negeri yang dilakukan perusahaan negara-negara pengekspor besar masih umum terjadi. Survei itu melihat adanya kecenderungan perusahaan negara-negara pengekspor terkemuka melakukan suap di luar negeri. Pada rangking IPS ini, perusahaan dari negara-negara kaya umumnya berada pada rangking 1 sampai 15, tapi secara rutin masih melakukan suap, terutama jika beroperasi di negara-negara berkembang. Tindakan suap juga dilakukan perusahaan yang berasal dari negara kekuatan ekonomi baru, seperti: Brasil, Rusia, India, dan Cina (BRICs) yang menempati rangking yang terakhir. Pada kasus Cina dan negara-negara yang tergabung dalam kelompok BRICs lainya, upaya penerapan prinsip bisnis anti-korupsi di negaranya ternyata tidak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan mereka ketika beroperasi di luar negeri. Perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal dari negara-negara yang dianggap ”bersih” juga masih diragukan integritasnya ketika melakukan bisnis di Indonesia. Suap dan konflik kepentingan rawan terjadi ketika pengadministrasian urusan publik kurang transparan dan tidak terawasi serta terlaporkan secara baik. Keadaan seperti ini diperburuk dengan minimnya akses masyarakat terhadap informasi publik dan belum maksimalnya mekanisme pengaduan masyarakat (public complaint mechanism) Berbagai permasalahan diatas mengisyaratkan bahwa upaya pencegahan harus dilaksanakan oleh aparat publik sebagai penyedia pelayanan umum, bersama-sama dengan sektor swasta dan masyarakat untuk mencapai optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Komitmen ini perlu dibangun secara bersama-sama oleh ketiga pilar pembangunan tersebut (pemerintah, masyarakat dan swasta). Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah Peribahasa mengatakan bahwa ”upaya pencegahan lebih baik dari mengobati” adalah kata kunci untuk melaksanakan upaya-upaya pencegahan di berbagai sektor. Upaya perbaikan di bidang pencegahan akan dilakukan secara terstruktur sehingga dampak yang dihasilkan dapat memperbaiki kondisi yang ada. Adapun isu-isu berikut strategi yang akan dilakukan dalam rangka pencegahan adalah: (1) Peningkatan efektivitas kebijakan dan kelembagaan dalam rangka Pencegahan Korupsi, antara lain dengan kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan database kependudukan yang terintegrasi, melakukan penuntasan Reformasi Birokrasi, penyempurnaan sistem pelayanan publik dan peningkatan kinerja layanan kepemerintahan, juga melalui upaya peningkatan mekanism pelaporan atas hasil pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah (APIP); (2) Pelaksanaan transparansi administrasi publik, efektivitas kewajiban pelaporan kepada publik, dan meningkatkan akses publik untuk mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan administrasi publik melalui Peningkatan Pengawasan
(3)
(4)
(5)
(6)
atas Pelayanan Kepemerintahan, Peningkatan Akses Informasi Masyarakat, Penyempurnaan Sistem Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara (termasuk Laporan mengenai Konflik Kepentingan),; Percepatan reformasi manajemen keuangan negara dan pengadaan barang/jasa publik melalui Pelaksanaan percepatan reformasi sistem perencanaan dan keuangan negara, Penyempurnaan peraturan perundangundangan terkait dengan Reformasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan, Penyempurnaan Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah termasuk memperkuat mekanisme pengawasan, dan Penyediaan Fasilitas Sistem Pelaporan Keuangan Negara yang transparan dan akuntabel; Peningkatan efektivitas reformasi birokrasi di sektor publik di pusat dan daerah, melalui Penuntasan Agenda Reformasi Birokrasi, yang terdiri dari Reformasi kelembagaan, bisnis proses dan Manajemen SDM, Perbaikan Peraturan Disiplin PNS; Penguatan Komitmen anti-korupsi, melalui Konsolidasi dan kolaborasi antara sektor publik, sektor legislasi, sektor yudikatif, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan dan para pihak terkait lainnya untuk bersama-sama melaksanakan strategi Pemberantasan Korupsi serta Kormonev Pemberantasan Korupsi yang efektif yang partisipatif, efektif dan efisien dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, Penyusunan mekanisme kampanye terpadu pencegahan korupsi yang melibatkan seluruh stakeholders yang dibarengi dengan proses pembelajaran anti korupsi, Pelibatan Partai Politik dalam rangka Pemberantasan Korupsi, Memperkuat Badan Anti Korupsi dalam rangka Pemberantasan Korupsi, Melakukan penyusunan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan etika pemerintahan dan integritas pejabat sektor publik dan pembangunan karakter bangsa yang berintegritas.
2. Strategi II : Melaksanakan Langkah-Langkah Strategis Di Bidang Penindakan Berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak serta merta menyebabkan penurunan angka kejahatan korupsi dan kualitas tata kehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan menjadi bersih dari tindak KKN. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir ini, banyak kasus korupsi yang menyangkut penyelenggara negara seperti pejabat pemerintahan, anggota DPR dan DPRD hingga pejabat perbankan diproses sampai dengan tingkat peradilan. Sebagai tambahan, Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa hingga tahun 2007, ada sekitar 7 (tujuh) gubernur, 3 (tiga) wakil gubernur dan 62 (enam puluh dua) bupati/walikota tersangkut perkara korupsi. Karena itulah, disamping upaya pencegahan korupsi, upaya penegakan hukum masih menjadi prioritas pelaksanaan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Masih banyak kasus-kasus korupsi yang belum terselesaikan, padahal kasus-kasus tersebut telah menjadi perhatian masyarakat baik di dalam maupun luar negeri dan menuntut penyelesaian sesuai dengan keadilan yang berlaku. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif yang berlaku pada akhirnya berpengaruh kepada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai proses penegakan hukum, pada akhirnya
menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka dengan cara tersendiri dan sering berada di luar jalur proses hukum. Di samping itu, pada akhirnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum berdasarkan kepentingannya sendiri. Secara umum, eksistensi pihak yang kerap disebut sebagai Mafia Peradilan/Penegakan Hukum tersebut telah merusak kepastian hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat. Tidak ada lagi rasa kepercayaan (trust) diantara masyarakat sehingga ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan terhadap lembaga hukum dan aparatnya menjadi terstruktur dan menjadi hambatan tersendiri ketika ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Perlu dilakukan upaya percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat. Upaya penegakan hukum juga tidak terlepas dari tumpang tindih peraturan perundang-undangan selama ini sehingga penegakan hukum bertambah inkonsistensinya. Lemahnya pengawasan yang dilakukan baik internal maupun eksternal kepada lembaga penegak hukum, aparat penegak hukum maupun unsurunsur profesi lain yang terkait dengan penegakan hukum semakin memperburuk kondisi yang ada. Dipercaya bahwa upaya penegakan hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang memadai untuk menjamin berjalannya proses penegakkan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak larinya tersangka kasus korupsi dan terselamatkannya aset Negara yang dikorupsi. Jaminan perlindungan kepada masyarakat baik masyarakat pelapor maupun saksi juga masih belum memperlihatkan jaminan perlindungan hukum yang sepatutnya diterima, dimana masih saja terdapat upaya-upaya teror, ancaman sampai dengan upaya pembunuhan terhadap masyarakat yang melaporkan atau masyarakat yang menjadi saksi. Mekanisme pengaduan masyarakat juga belum terbangun sebagai wujud perlindungan hukum kepada masyarakat. Transparansi dalam upaya-upaya penyelesaian kasus-kasus korupsi perlu ditingkatkan di era reformasi sebagai perwujudan pertanggungjawaban penegakan hukum kepada masyarakat Indonesia. Dalam kondisi penegakan hukum dengan keterpurukan secara terstruktur tersebut, langkah-langkah perbaikan dengan strategi yang mampu menjawab permasalahan demi permasalahan yang ada perlu dilakukan sehingga optimalisasi penegakan hukum dapat dilakukan. Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah Isu dan strategi yang akan dilakukan dalam upaya memperbaiki mekanisme di bidang penindakan adalah melalui: (1) Mempercepat Penanganan Kasus Korupsi dan Penguatan Koordinasi diantara lembaga penegak hukum melalui strategi Percepatan Penanganan dan Eksekusi Tipikor; (2) Penguatan Kelembagaan Penegakan Hukum, melalui strategi Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum, Transparansi dan Akuntabilitas kinerja institusi-institusi yang terkait dengan fungsi dan tugas penuntutan dan peradilan, Memberantas mafia penegakan hukum, Melakukan pemetaan terhadap permasalahan dalam proses penegakan hukum terkait pengaturan
dalam peraturan perundang-undangan untuk proses revisi peraturan perundangundangan selanjutnya, Menyusun mekanisme pelaporan dan pengaduan kasus korupsi serta perlindungan hukum bagi masyarakat; (3) Memperkuat kerangka regulasi penegakkan hukum, melalui pengkajian kembali berbagai peraturan perundang-undangan yang menghambat atau menjadi masalah dalam proses penegakan hukum terkait kasus korupsi; (4) Menyusun mekanisme pelaporan dan pengaduan kasus korupsi serta perlindungan hukum bagi masyarakat, termasuk perumusan aturan yang jelas mengenai perlindungan terhadap saksi pelapor di dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Perlindungan Saksi dan Korban
3. Strategi 3 : Melaksanakan Harmonisasi Dan Penyusunan Peraturan PerundangUndangan Di Bidang Pemberantasan Korupsi Peraturan perundang-undangan merupakan faktor pendukung yang tidak terpisahkan dari berbagai upaya, strategi maupun rencana aksi pemberantasan korupsi, baik di bidang pencegahan maupun penindakan tindak pidana korupsi. Namun demikian, harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi dalam rangka implementasi Konvensi PBB Anti-Korupsi 2003 adalah permasalahan yang perlu ditangani secara tersendiri. Sebagai langkah yang konsisten dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (UNCAC) melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006. Hal ini mengandung arti bahwa ketentuan-ketentuan dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa ketentuan di dalamnya merupakan hal baru dan perlu diatur/diakomodasi lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal-hal baru tersebut misalnya penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik, memperdagangkan pengaruh, memperkaya secara tidak sah, korupsi di sektor swasta, penyembunyian dan lain-lain. Untuk itu diperlukan langkah-langkah akomodatif dalam proses penyusunan maupun revisi peraturan perundang-undangan Indonesia dalam rangka harmonisasi sehingga upaya pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan dasar hukum yang memadai. Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah Isu utama dalam menghadapi tumpang tindih peraturan perundang-undangan terkait upaya pemberantasan korupsi adalah dengan harmonisasi peraturan perundangundangan dan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka implementasi UNCAC. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun peraturan perundang-undangan sebagai langkah akomodatif upaya melaksanakan ketentuanketentuan yang dianggap baru di Indonesia dalam rangka implementasi ketentuan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan mensinkronkan peraturan perundangundangan nasional lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.
Langkah yang paling strategis adalah menyelesaikan pembahasan dan menerbitkan Undang-undang Pemberantasan Korupsi yang pada saat ini telah siap untuk dibahas dengan DPR. Pasal-pasal dalam RUU Pemberantasan Tipikor inisiatif Pemerintah telah memuat berbagai ketentuan yang dipersyaratkan oleh Konvensi PBB Anti Korupsi 2003. 4. Strategi IV : Melaksanakan Penyelamatan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Terkait dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik di dalam maupun di luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain. Terhadap ketentuan pelaksanaan pelaksanaan penyitaan aset sebagaimana diatur dalam UNCAC, Indonesia belum memiliki peraturan penyitaan [perampasan] aset atas permintaan negara lain, terlebih lagi terhadap pelaksanaan penyitaan [perampasan] aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Dalam rangka penyitaan aset perlu disiapkan struktur pelaksana (terdiri dari aparatur penegak hukum terkait), melalui mekanisme koordinasi oleh Central of Authority yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyitaan aset dan hal-hal lainnya. Pengelolaan aset negara yang selama ini masih belum dilaksanakan dengan baik, perlu dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tindak pidana korupsi dapat dikembalikan kembali kepada negara secara optimal. Upaya penyelamatan aset negara hasil korupsi, terutama untuk aset hasil korupsi yang berada di luar negeri memerlukan pengetahuan teknis yang mendukung pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tersebut, seperti misalnya masalah penelusuran asset. Selain itu, putusan pengadilan belum mencantumkan secara jelas upaya pengembalian asset baik di dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum terkait masih perlu dilakukan guna mengoptimalkan pengembalian aset negara. Disamping itu, kerjasama di bidang pengembalian aset sangat penting dilakukan dengan berbagai negara (terutama dengan negara-negara yang menjadi tujuan penyimpanan aset hasil korupsi). Kerjasama dalam bidang investigasi, penuntutan, persidangan, informasi-informasi wajib diberikan oleh negara Peserta atas permintaan negara Peserta lain tanpa permintaan terlebih dahulu. Hal ini telah diatur di dalam Bab VIII Kerjasama Internasional Pasal 44. UU Nomor 15 Tahun 2002 dan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun perlu diperluas untuk kejahatan-kejahatan kategori korupsi lainnya dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Langkah/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah (1) Melaksanakan upaya-upaya penyelamatan aset hasil korupsi dan kerjasama internasional melalui strategi pencegahan pengalihan aset hasil tipikor, Hal ini dapat dilakukukan melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan terhadap kinerja pejabat-pejabat publik dan Membuat suatu mekanisme yang jelas mengenai alur pengawasan terhadap kewajiban pejabat-
pejabat publik yang menguasai rekening Pemerintah (terutama di luar negeri) untuk melapor kepada otoritas tertentu, yang dapat dipantau secara komprehensif baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat; (2) Pengembalian Aset Secara Langsung, terutama dari segi pengaturan mengenai masalah pengembalian aset dalam kondisi tergugat sudah meninggal atau kondisi yang lainnya, perlu pengaturan lebih lanjut khususnya mengenai non conviction based on forfeiture dan aturan mengenai perlindungan pihak ketiga yang beritikad baik; (3) Melakukan Pelatihan-pelatihan dan Bantuan Teknik dalam rangka penyelamatan aset hasil korupsi, berupa pertukaran informasi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah teknis pemberantasan korupsi seperti: asset tracing, asset freezing, asset seizuring, asset forfeituring, forensic accounting, dan legal audit. 5. Strategi V : Meningkatkan Kerjasama Internasional Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Masih ada hambatan - hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi penanganannya cukup kompleks dan membutuhkan koordinasi yang tinggi. Upaya kerjasama internasional maupun koordinasi internal lembaga penegak hukum Indonesia yang masih belum optimal perlu ditingkatkan baik melalui jalur diplomatik, kerjasama bilateral serta multilateral. Selain itu, kerjasama internasional penanganan kasus korupsi, termasuk penyelamatan aset hasil korupsi, masih terkendala dengan kurangnya kemampuan, pengetahuan, sarana-prasarana, koordinasi dan kelengkapan informasi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum terkait kasus korupsi (POLRI, Kejaksaan, Departemen Hukum dan HAM dan KPK) guna memenuhi tuntutan kerjasama secara efektif dan intensif bersama negara peserta lain dalam memerangi korupsi. Konvensi menetapkan bahwa masalah dual criminality sebagai suatu syarat adanya kerjasama internasional harus dianggap telah dipenuhi, padahal dalam KUHP dikenal asas legalitas. Namun terkait dengan kerjasama internasional, dual criminality tidak merupakan suatu keharusan. Selain itu timbul isu in absentia dimana terdapat negara-negara peserta UNCAC yang tidak mengenal putusan in absentia yang memang hanya dikenal di Indonesia. Modus-modus kejahatan terkini seperti money laundering belum termasuk dalam daftar kejahatan (list of crime) yang dapat di ekstradisi. Sementara, ada negara peserta UNCAC yang hanya dapat memberikan ektradisi apabila kejahatan yang dilakukan pelaku ada dalam daftar kejahatan yang tercantum dalam UU nasional tentang ekstradisi Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah Langkah/Strategi yang perlu dilakukan adalah melalui peningkatan upaya kerjasama internasional dalam rangka pencegahan, pengembalian aset dan penyelesaian tindak pidana lainnya melalui penyusunan instrumen hukum dan mekanisme kerjasama internasional, bilateral maupun regional, khususnya dalam pengajuan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, kordinasi intensif antar lembaga
penegak hukum, peningkatan upaya dan kemampuan diplomasi serta amandemen Undang-undang Ekstradisi dan Undang-undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA). 6. Strategi VI : Pendekatan Carrot and Stick Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi, namun seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakan disiplin aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif para aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendapatan stick diharapkan akan menimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui. 7. Strategi VII : Reformasi Birokrasi Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sektor adalah menyangkut reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana di forum-forum terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung kepada perubahan konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi leverage dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam penerjemahannya ke dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek reformasi menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik. Parsialitas menjadi karakter dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini. Berkenaan dengan reformasi birokrasi ini, perlu adanya upaya menyangkut optimasi kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), melalui kebijakan kelembagaan, sumber daya aparatur, dan kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang tindih.
BAB IV PENUTUP Upaya pemberantasan korupsi adalah sebuah pekerjaan rumah bagi semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktik korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Sederhananya supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktik korupsi hanya mungkin terjadi apabila sistem formal memang mempunyai atau memberi celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh perilaku stakeholder dan shareholder yang komplementer. Oleh karenanya persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya bersifat sangat kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif. Namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilangsungkan. Sementara itu, dalam hal konten kebijakan, Indonesia sudah mempunyai instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang relatif lengkap. Walaupun demikian dalam uraian analisis dijelaskan beberapa kesenjangan isi perundangan kita hukum dengan the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Kesenjangan ini dapat diatasi oleh antara lain perundangan kita yang dibuat lebih akomodatif terhadap kerjasama bilateral dan multilateral dengan memberi celah atau peluang untuk melakukan kerjasama dengan negara dan lembaga internasional. Persoalan lain seputar kebijakan adalah pada tahapan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan kerap kali menemui hambatan di lapangan terutama ketika berbenturan dengan kepentingan golongan atau elit tertentu. Beberapa kasus penegakan hukum yang menyeret nama besar menjadi mandek bahkan dipeti-eskan, walaupun sudah terlanjur tercium dan di blow-up oleh media massa, Penegakkan hukum masih dianggap tebang pilih sehingga mengabaikan prinsip equality before the law.
View more...
Comments