stevens johnson syndrome
May 29, 2018 | Author: Alifa Nasyahta Rosiana | Category: N/A
Short Description
terapi ajuvan pada SSJ dengan alfa-1 mikroglobulin...
Description
Α1M/ α1MIKROGLOBULIN
SEBAGAI TERAPI AJUVAN
PADA SINDROM STEVENS-JOHNSON
Oleh:
Hanifratiwi
(G2A 009182)
Angkatan 2009
Alifa Nasyahta Rosiana
(22010110110055) (22010110110055)
Angkatan 2010
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Kegiatan
α1mikroglobulin sebagai Terapi Ajuvan pada : A1M/ α1mikroglobulin Sindrom Stevens-Johnson Stevens-Johnson
Penulis
: 1.
Nama : Hanifratiwi NIM
2.
: G2A 009 182
Nama : Alifa Nasyahta Rosiana NIM
: 22010110110055 22010110110055
Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar
: dr. Buwono Puruhito Sp.KK
b. NIP
: 19760625.2008.12.1.002 19760625.2008.12.1.002
Semarang, 17 Oktober 2012
Mengetahui dan Mengesahkan Pembantu Dekan III
Dosen Pendamping
FK Universitas Diponegoro
(dr. Edwin Basyar M.Kes,Sp.B,Sp.BA) NIP. 196209251992031002 196209251992031002
(dr. Buwono Puruhito Sp.KK) NIP. 119760625.2008.12.1.002 119760625.2008.12.1.002
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Kegiatan
α1mikroglobulin sebagai Terapi Ajuvan pada : A1M/ α1mikroglobulin Sindrom Stevens-Johnson Stevens-Johnson
Penulis
: 1.
Nama : Hanifratiwi NIM
2.
: G2A 009 182
Nama : Alifa Nasyahta Rosiana NIM
: 22010110110055 22010110110055
Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar
: dr. Buwono Puruhito Sp.KK
b. NIP
: 19760625.2008.12.1.002 19760625.2008.12.1.002
Semarang, 17 Oktober 2012
Mengetahui dan Mengesahkan Pembantu Dekan III
Dosen Pendamping
FK Universitas Diponegoro
(dr. Edwin Basyar M.Kes,Sp.B,Sp.BA) NIP. 196209251992031002 196209251992031002
(dr. Buwono Puruhito Sp.KK) NIP. 119760625.2008.12.1.002 119760625.2008.12.1.002
ABSTRAK
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis, pengelupasan epidermis luas, dan dapat menyebabkan kematian. Penyebab terbanyak adalah akibat reaksi efek samping obat. Insiden keseluruhan sindrom Stevens-Johnson diperkirakan 16 kasus/ juta/ tahun dengan angka angka kematian kematian 5 – 21% 21% dapat mengenai semua ras dan usia. Patogenesis pada reaksi efek samping obat pada kulit termasuk SSJ juga melibatkan pelepasan oksidan berasal leukosit yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menginduksi stress oksidatif. ROS diketahui ju ga terlibat dalam beberapa langkah penting yaitu aktivasisi / pematangan sel dendritik, pelepasan sitokin dan aktivasi sel limfosit T pada respon imun di kulit. Beberapa obat yang dapat menghasilkan ROS secara langsung dapat memodifikasi respon imun yang mengakibatkan kerusakan jaringan langsung yaitu inflamasi. α1 Mikroglobulin merupakan protein yang disintesis terutama A1M/ α1 di hati memiliki fungsi sebagai reduktase multispesifik dari radikal organik dan memiliki komponen antioksidan. A1M memiliki sifat antioksidan dapat melindungi kulit dan keratinosit dari kerusakan akibat stress oksidatif yang dihasilkan oleh ROS. Secara tidak langsung menghambat reaksi imun sitotoksik dari sel limfosit T. Sampai saat ini terapi untuk SSJ meliputi terapi spesifik dan terapi simptomatik, A1M digunakan sebagai terapi ajuvan dengan tujuan agar kerusakan jaringan ( mukosa dan kulit) dapat dihambat agar tidak semakin luas. Kata kunci : Sindrom Stevens-Johnson, α1 Mikroglobulin, Reactive Oxygen Species (ROS)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “A1M/ α1mikroglobulin sebagai Terapi Ajuvan pada Sindrom Stevens-Johnson
”.
Dalam menulis karya tulis ini, penulis tidak terlepas
dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmatNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Pembimbing penulis, dr. Buwono Puruhito Sp.KK atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan.
Orang tua penulis yang telah memberi bantuan baik spirit maupun materi.
Teman-teman yang telah memberikan masukan dan bimbingan.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari, sebagai mahasiswa yang baru belajar dan belum memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman dalam topik yang diangkat dalam karya tulis ini, bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharap berbagai masukan, baik berupa saran maupun kritik yang bersifat membangun dari penyempunaan penulisan-penulisan mendatang. Harapan penulis, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, utamanya para pembaca, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Semarang, 17 Oktober 2012
PENULIS
DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................................. i Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii Abstrak ............................................................................................................ iii Kata Pengantar ................................................................................................. iv Daftar Isi........................................................................................................... v Daftar Gambar.................................................................................................. vii Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 2. Gagasan................................................................................................... 2 3. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2 4. Manfaat Penulisan .................................................................................. 3 Telaah Pustaka 1.
Sindrom Stevens-Johnson....................................................................... 4 1.1 Definisi ............................................................................................. 4 1.2 Etiologi ............................................................................................. 4 1.3 Insidensi dan Prevalensi ................................................................... 5 1.4 Patogenesis ....................................................................................... 6 1.4.1 ROS ( Reactive Oxygen Species) .............................................. 9
2.
A1M/ α1 Mikroglobulin .......................................................................... 10
3.
Peran A1M/ α1 Mikroglobulin ................................................................ 11
4.
Terapi Sindrom Stevens-Johnson .......................................................... 12
Metode Penulisan ............................................................................................ 14
Analisis dan Sintesis 1.
Sindrom Stevens-Johnson dan ROS ...................................................... 15
2.
A1M/α1 mikroglobulin dan ROS .......................................................... 16
3.
Peran A1M/α1 mikroglobulin pada sindrom Stevens-Johnson .............. 18
Simpulan dan Saran.......................................................................................... 21 Daftar Pustaka .................................................................................................. vii Daftar Riwayat Hidup ...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Obat menginduksi reaksi imun ........................................................... 8 Gambar 2. Gambar 2. Struktur A1M ................................................................... 11 Gambar 3. A1M sebagai antioksidan ............................................................... 17 Gambar 4. Mekanisme kerja A1M ................................................................... 19
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, dan dapat menyebabkan kematian.
1
Sindrom Stevens-Johnson merupakan salah satu
manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit dengan penyebab terbanyak adalah akibat reaksi samping obat.
2,3
Insiden keseluruhan sindrom Stevens-Johnson diperkirakan 1-6 kasus/ juta/ tahun dengan angka kematian 5 – 21% dapat mengenai semua ras dan usia terbanyak pada 25 – 40 tahun.
4,5,6
Sindrom Stevens-Johnson insidennya
semakin meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat dan 7
sekarang sebagian besar obat dapat diperoleh secara bebas. Penggunaan obat antibiotik, analgesik, antikonvulsan, antiinflamasi non-steroid dan allopurinol merupakan etiologi dari sindrom Stevens-Johnson.
8
Patogenesis sindrom Stevens-Johnson sampai saat ini belum jelas namun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV ( delayedtype hypersensitivity reactions ) merupakan reaksi yang dimediasi oleh sel
limfosit T. Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi imun sitotoksik dengan sasaran destruksi keratinosit.
7
Mekanisme kerusakan keratinosit merupakan
gabungan dari dua faktor yaitu sitokin Tumor Necrosis Factor (TNF-α) dan 9
stress oksidatif Keterlibatan mediator - mediator dalam proses ini salah .
satunya adalah Reactive Oxygen Species (ROS) yang menginduksi stress oksidatif dan ROS diketahui juga terlibat dalam beberapa langkah penting yaitu aktivasisi / pematangan sel dendritik, pelepasan sitokin, aktivasi sel limfosit T pada respon imun di kulit.
10,11,12
1
A1M/ α1 Mikroglobulin merupakan salah satu protein yang disintesis terutama di hati memiliki fungsi sebagai reduktase multispesifik dari radikal organik dan memiliki komponen antioksidan.
13,14,15
Dengan adanya A1M yang
memiliki sifat antioksidan dapat melindungi kulit dan keratinosit dari kerusakan akibat stress oksidatif yang dihasilkan oleh ROS dan secara tidak langsung menghambat reaksi imun sitotoksik dari sel limfosit T. Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian sehingga perlu penanganan cepat dan tepat/optimal. Selama ini pengobatan yang dilakukan adalah terapi simtomatik dan terapi spesifik menekan aktivitas sel limfosit T.
16
A1M dapat berperan dalam mengurangi
destruksi keratinosit pada SSJ dengan menghambat aktivitas mediator ROS sehingga dapat menjadi terapi ajuvan pada SSJ dengan cara menghentikan pengelupasan kulit lebih lanjut dapat mengurangi terjadinya infeksi, kejadian morbiditas dan mortalitas pada penderita SSJ.
2.
Gagasan
Peran A1M sebagai antioksidan dalam mencegah destruksi keratinosit pada SSJ dikarenakan penyebab adanya mediator ROS yang menyebabkan kerusakan oksidatif. A1M/ α1mikroglobulin juga menghambat aktivitas sel limfosit T yang berperan dalam reaksi siitotoksik. Adanya kemampuan yang dimiliki A1M sebagai antioksidan sehingga memungkinkan penggunaanya sebagai terapi ajuvan pada SSJ dalam mengurangi reaksi kerusakan kulit akibat mediator ROS.
3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian rumusan masalah, maka tujuan penulisan dalam karya tulis ini adalah:
2
1. Mengetahui peran A1M sebagai terapi ajuvan pada SSJ. 2. Mengetahui peran A1M dalam menghambat aktivitas mediator ROS.
4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penulisan karya tulis ini adalah: 1. Menjadi referensi lebih lanjut mengenai penggunaan A1M sebagai terapi ajuvan pada SSJ. 2. Memberi informasi mengenai mekanisme mengenai pengurangan destruksi kulit pada SSJ oleh A1M.
3
TELAAH PUSTAKA
1.
Sindrom Stevens-Johnson 1.1.
Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang dimediasi oleh kompleks imun biasanya melibatkan kulit dan mukosa. Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan yang ditandai dengan cepatnya perluasan ruam makula, sering disertai dengan lesi target atipikal (datar, irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut, konjungtiva, dan genital).
16,17
Keterlibatan yang signifikan pada mulut, hidung,
mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa pada saluran pernapasan bawah dapat berkembang seiiring perjalanan penyakit. Kerusakan yang terjadi pada saluran pencernaan dan pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. Sindrom Stevens-Johnson adalah gangguan sistemik serius dengan potensi morbiditas yang parah dan bahkan kematian.
18
Sindrom ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1922, ketika dokter anak di Amerika Albert Mason Stevens dan Frank Chambliss Johnson melaporkan kasus 2 anak laki-laki berusia 7 dan 8 tahun dengan erupsi kulit yang luas, demam, peradangan pada mukosa bukal, dan konjungtivitis purulen yang berat. 1.2.
18
Etiologi
Empat kategori etiologi pada sindrom Stevens-Johnson adalah infeksi, obat, malignancy related , genetik (HLA-B12) dan idiopatik.
19
Obat menjadi
penyebab paling umum dari sindrom Stevens-Johnson dan telah ditemukan sebanyak 60% dari kasus.
20
Penemuan pada obat – obat
sulfonamid,
4
aminopenisillin, kuinolon, dan sefalosporin meningkatkan risiko sindrom Stevens-Johnson.
21
Terapi jangka panjang dengan agen antikonvulsan, oxicam,
obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs), atau allopurinol juga telah disebut sebagai kemungkinan penyebab sindrom Stevens-Johnson.
21
bahan kimia, seperti nitrit perak dapat menyebabkan eritema. Hasil
penelitian
Srisupalak
Singalavanija
Bahkan beberapa 22
MD
dan
Wanida
Limpongsanurak MD di Thailand dari 189 kasus, 165 kasus (87%) diantaranya karena reaksi obat.
23
Obat yang paling sering menyebabkan dalam kasus ini
adalah antibiotik yaitu sebesar 69 kasus ( 42%), diantaranya 25% golongan penisilin 12% golongan sulfonamid dan cephalosporin yang baru dilaporkan 10 tahun terkahir ini (1998-2007) .
23
Obat penyebab kedua yang tersering yaitu
antikonvulsan 58 kasus ( 35%) yaitu fenobarbital (16%), karbamazepin (15%) dan fenitoin (4%). Obat – obat lain seperti NSAID sebesar 8 kasus (5%), anti malaria 4 kasus (2%) dan obat – obat lain yang belum diketahui sebesar 26 kasus (16%).
23
1.3. Insidensi dan Prevalensi
Insiden keseluruhan sindrom Stevens-Johnson diperkirakan 1-6 kasus/ juta/ tahun dengan angka kematian 5 – 21% dapat mengenai semua ras dan usia terbanyak pada 25 - 40 tahun.
4,5,6
SSJ merupakan reaksi parah terhadap obat-
obatan yang merugikan. Adverse drug reantions (ADRs) menyumbang sekitar 150.000 kematian per tahun di Amerika Serikat , membuat reaksi obat keempat terkemuka penyebab kematian di Amerika Serikat. SSJ diakui sebagai salah satu yang paling membahayakan dari ADRs ini.
9
Di Jerman dilaporkan insidensi sindrom Stevens-Johnson sebesar 1,1 kasus tiap satu juta orang pertahun. penderita adalah 20 - 40 tahun.
24
10
Menurut Parillo, et al rata-rata umur
Hasil penelitian Foster, et al menyatakan
5
bahwa rata-rata umur penderita sindrom Stevens-Johnson adalah 25 - 47 tahun. 13
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara pria dan wanita pada
penderita sindrom Stevens-Johnson adalah 2:1.
14
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus, sebanyak 35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus.
25
Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, insidensi sindrom Stevens-Johnson setiap tahun kira-kira terdapat 10 kasus, sindrom ini makin meningkat karena salah satu penyebabnya ialah alergi obat dan sekarang sebagian besar obat dapat diperoleh secara bebas.
26
1.4. Patogenesis
Patogenesis sindrom Stevens-Johnson sampai saat ini belum jelas namun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV ( delayedtype hypersensitivity reactions) adalah reaksi yang dimediasi oleh sel limfosit T
yang spesifik.
13
Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi imun sitotoksik
dengan sasaran destruksi keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari; ratarata 14 hari). Aktivasi sel limfosit T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah dilihat secara in vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh (bullousdrug eruption); adanya produksi yang tinggi dari IL-5.
10
Kerusakan epidermis berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat ekspresi berlebih yang drastis dari TNF- α pada epidermis. TNF-α memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan menginduksi apoptosis secara langsung atau dengan menarik sel-sel efektor sitotoksik atau keduanya.
13
6
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak danterbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
17
Kompleks imun beredar dapat
mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel limfosit T serta mediator yang dihasilkannya.
13
Patogenesis pada reaksi efek samping obat pada kulit termasuk SSJ juga melibatkan pelepasan oksidan berasal leukosit yaittu ROS.
27
Sebuah obat atau
metabolitnya dapat menjadi hapten protein endogen sebagai molekul pembawa membentuk imunogen, yang merangsang sistem kekebalan tubuh. situasi
ini
leukosit
dirangsang
menghasilkan
sejumlah
besar
28
Dalam ROS.
29
Selanjutnya, beberapa obat yang dapat menghasilkan oksidan atau ROS secara langsung dapat memodifikasi respon imun yang mengakibatkan kerusakan jaringan langsung yaitu inflamasi.
30,31
7
Gambar 1. Obat menginduksi reaksi imun
32
Obat atau metabolit masuk ke epidermis melalui stratum korneum dan menyebar ke keratinosit atau masuk melalui sirkulasi sistemik. Obat dapat mengalami bioaktivasi, diikuti oleh haptenisasi protein intraselular. Haptens ini diambil oleh antigen presenting cell di kulit baik oleh pinocytosis atau dengan reseptor-mediated endositosis. setelah hapten diikat APC meningkatkan
ekspresi permukaan molekul spesifik misalnya, Major Histocompatability Complex (MHC), costimulatory molecule misalnya, CD80, dan sitokin.. APC
pada kulit yaitu sel Langerhans merupakan bagian dari sel dendritik. Akibat adanya antigen, sel langerhans bermigrasi ke kelenjar getah bening membawa hapten dan mengaktifkan sel limfosit T. Epidermal keratinosit juga memainkan peran penting dalam inisiasi dan propagasi respon imun di kulit.
32
8
1.4.1. ROS ( Reactive Oxygen Species)
ROS ( Reactive Oxygen Species) adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide anion (O2· ), hydroxyl radicals (OH· ), dan peroxyl radicals (RO2· ). Yang
nonradikal misalnya hydrogen peroxide (H2O2), dan organic peroxides (ROOH) (Halliwell and Whiteman, 2004). Senyawa oksigen reaktif ini dihasilkan dalam proses metabolisme oksidatif dalam tubuh misalnya pada proses oksidasi makanan menjadi energi.
33
Reaktif oksigen spesies (ROS) dihasilkan dari metabolisme mitokondria pada sel-sel kulit dan produksi enzimatik oleh NADPH oxidases fagositik dan non-fagositik, tetapi juga dari paparan kulit terhadap radiasi pengion, iradiasi sinar UV, racun lingkungan, senyawa kemoterapi dan lain-lain.
4,5,6
ROS
termasuk hidrogen peroksida (H 2O2) dan hidroksil dan radikal superoksida, yang menginduksi stres oksidatif oleh reaksi oksidatif dengan molekul seluler dan komponen ekstraseluler. Secara molekuler kerusakan mekanisme stres oksidatif di kulit tidak sepenuhnya diketahui, namun peningkatan stres oksidatif dan pertahanan antioksidan yang tidak mencukupi diyakini memainkan peran penting dalam banyak penyakit kulit.
21
ROS diketahui terlibat dalam beberapa
langkah-langkah penting misalnya, aktivasi / pematangan sel dendritik, pelepasan sitokin dan aktivasi sel limfosit T yang terlibat pada respon imun di 11
kulit.
ROS dan oksidan lainnya yang dinetralkan oleh antioksidan termasuk high molecule enzyme yaitu superoxide dismutase (SOD), katalase, peroksidase
glutation (GPX) dan berat molekul rendah non-enzimatik senyawa glutathione (GSH), vitamin C dan E.
7,8,9,10
Efek berbahaya dari ROS adalah kerusakan
deoxyribonucleic acid (DNA), oksidasi polyunsaturated fatty acid atau
9
peroksidasi lipid dan oksidasi asam amino protein yang berujung pada kematian sel. 2.
2,3
A1M/ α1 Mikroglobulin
A1M / α1 Mikroglobulin merupakan protein dengan berat molekul kecil (26 kD) terutama disintesis di hepar. Berasal dari gen alpha-1-Mikroglobulin atau prekursor bikunin tapi juga dalam jumlah kecil pada organ perifer seperti sel darah, pankreas dan ginjal.
17,18
Dari sel hati di sekresikan ke aliran darah
ditemukan dalam bentuk bebas (~1μM) dan sama dengan berat molekular IgA, 19,20
albumin dan protrombin (~1μM).
A1M didistribusikan degan cepat ke
semua jaringan yang ditransportasikan dari pembuluh darah ke kompartemen ekstravaskuler.
21
Karena memiliki struktur yang kecil A1M cepat diekskresi
oleh ginjal. A1M sebagai reduktase multispesifik terhadap radikal organik dan memiliki komponen antioksidan yang sangat baik sehingga dapat berperan pada penyakit
yang
diinduksi
oleh
stress
okdisatif.
24,25,26
A1M
merupakan
antioksidan endogen dan berperan melalui donor elektron. A1M merupakan bagian dari superfamili kelompok protein lipokain yang ditemukan pada sel hewan, tumbuhan dan bakteri dengan fungsi yang beragam. Setiap lipokain tersusun dari 160-190 asam amino yang berlipat ke dalam struktur β-barrel dengan interaksi hidrofobik. Urutan susunan asam amino protein A1M pada manusia pertama kali ditemukan oleh Kaumeyer et al. Protein ditemukan tersusun dari 183 residu asam amino, ditemukan rantai sistein pada urutan ke 34 yang terlibat dalam reksi reduksi-oksidasi.
10
Gambar 2. Struktur A1M. 35
3.
Peran A1M/ α1 Mikroglobulin
Stress oksidatif yang berlebihan dan tidak terkendali, berperan sebagai faktor penting menyebabkan terganggunya penyembuhan luka.
9
Pemberian
A1M pada luka kronis di kulit dapat berperan sebagai antioksidan melindungi dari hemoglobin bebas dan mengikat radikal bebas yang merupakan penyebab stress oksidatif.
14
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa A1M memiliki sifat antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat stress oksidatif sehingga penggunaan medis A1M dapat diberikan dalam pengobatan atau pencegahan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan adanya radikal bebas atau hemoglobin bebas. Salah satu penyakit yang berhubungan dengan stress oksidatif yaitu preeklamsia. Hasil uji preklinik pemberian A1M intravena menujukkan perbaikan kerusakan jaringan pada plasenta dan juga dapat berperan sebagai penanda terhadap preeklamsi akibat adanya stress oksidatif menyebabkan terjadi peningkatan A1M endogen.
3
11
4.
Terapi Sindrom Stevens-Johnson
SSJ dan TEN merupakan suatu kondisi kehidupan yang mengancam. Keberhasilan pengobatan tergantung pada munculnya gejala awal kemudian diikuti pemberhentian pemakaian obat penyebab dan perawatan yang suportif dan intensif seperti di rumah sakit .
14
Beberapa agen anti-inflamasi atau
imunosupressan telah dicoba untuk mengubah perjalanan penyakit, tetapi tidak ada agen tunggal yang memiliki efikasi yang jelas dan telah dibuktikan dengan uji klinis.
15
Terapi utama pada sindrom Stevens-Johnson adalah terapi spesifik
dan terapi simptomatik. Terdapat beberapa terapi spesifik SSJ yang telah dilakukan diantaranya adalah immunoglobulin intravena, kortikosteroid, cyclosporin A, plasmaperesis atau hemodialisis dan anti TNF- α. Immunoglobulin intravena terbuat dari plasma, IVIG ( Intravena Imunnoglobulin) mengandung kekebalan antibodi mengganggu jalur apoptosis yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor. Secara teoritis terapi terbaik adalah memberikan IVIG pada awal terjadi gejala (dalam waktu 24-72 jam dari pertama munculnya bula).
16,17
Pasien dengan defisiensi
IgA misalnya orang dengan riwayat infeksi berulang akan menimbulkan reaksianafilaksis untuk IVIG.
15
Terapi kedua yang sering diberikan adalah dengan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid menghambat berbagai proses intraseluler yang memodifikasi respon inflamasi dan sistem kekebalan tubuh. Beberapa penelitian menganjurkan penggunaan kortikosteroid sistemik untuk tahap awal SSJ. agen yang menunjukkan peningkatan sepsis dan komplikasi lain. Cyclosporin A merupakan agen imunosupresif kuat memiliki efek biologik . Mekanisme kerja obat dengan cara mengaktivasi sitokin T helper 2,
12
menghambat mekanisme sitotoksik CD8 dan efek anti apoptosis dengan cara menghambat ligan Fas, nuclear factor dan TNF-α.
16
Terapi spesifik yang lain yaitu dengan plasmaperesis atau hemodialisis. Secara
rasional
plasmaperesis
atau
hemodialisis
digunakan
untuk
menghilangkan metabolit obat penyebab SSJ atau menghilangkan mediator inflamasi seperti sitokin.
14
Selain plasmaperesis atau hemodialisis dapat juga
menggunakan antiTNF-α. Selain terapi spesifik ada juga terapi simptomatik yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Biasanya diberikan antibiotik profilaksis, terapi cairan dan menjaga agar asupan nutrisi tetap baik.
16
13
METODE PENULISAN
Karya
tulis
ini
merupakan
studi
kepustakaan.
Bahan
kepustakaan
dikumpulkan dengan membaca, mengutip, dan menyimpulkan secara langsung dari bahan-bahan yang berhubungan dengan karya tulis ini, baik berupa jurnal, textbook , majalah kedokteran, serta artikel berbasis ilmiah di internet. Bahan kepustakaan kemudian dianalisis dengan metode menghubungkan literatur satu dengan lainnya, untuk memperjelas makna literatur – literatur tersebut. Berdasarkan literatur tersebut, kemudian dilakukan sintesis dalam bentuk aplikasi. Secara garis besar, bahan – bahan kepustakaan yang diperoleh diolah dengan cara : 1. Menentukan tema : peran A1M/ α1 mikroglobulin sebagai terapi ajuvan pada sindrom Stevens-Johnson. 2. Menentukan jenis bahan kepustakaan yang dikumpulkan. Bahan – bahan yang dikumpulkan menjelaskan tentang sindrom Stevens-Johnson, A1M dan ROS. 3. Menentukan kerangka penulisan : kerangka penulisan disusun berdasarkan tema yang kemudian dijadikan beberapa sub - bab. 4. Menyusun analisis dan sintesis : analisis dan sintesis disusun berdasarkan kerangka yang telah dibuat dan bahan kepustakaan yang diperoleh. 5. Menarik kesimpulan berdasarkan pada analisis dan sintesis. 6. Merekomendasikan untuk dilakukannya penelitian selanjutnya.
14
ANALISIS DAN SINTESIS
1.
Sindrom Stevens-Johnson dan ROS
Sindrom Stevens-Johnson merupakan salah satu manifestasi klinis dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit dan disebabkan paling banyak akibat reaksi obat. Patogenesis dari SSJ belum diketahui secara pasti, namun dalam mekanisme hipersensitivitas ini terdapat beberapa mediator yang berperan yaitu sitokin/kemokin, Nitrit oksida (NO) dan Reactive Oxygen Species (ROS).
ROS adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif dihasilkan dari metabolisme mitokondria pada sel-sel kulit dan produksi enzimatik
oleh
NADPH
oksidase
fagositik
dan
non-fagositik.
ROS
menginduksi stres oksidatif dan terlibat dalam beberapa langkah penting misalnya aktivasi / pematangan sel dendritik, pelepasan sitokin dan aktivasi sel limfosit T yang terlibat pada respon imun di kulit.
11
Terjadinya inflamasi dan
kerusakan jaringan telah dikaitkan dengan pelepasan berbagai pro-oksidan yang dapat berpotensi mengubah fenotip atau fungsi dari sel dendritik.
12
Pro-oksidan
ini secara langsung dapat mempengaruhi pematangan dan aktivasi sel dendritik atau bertindak sebagai sinyal untuk menginduksi ekspresi regulasi molekul kekebalan tubuh lain misalnya ICAM-1, MHC-II dan sitokin .
14,15,16
Di antara berbagai ROS, superoksida telah terbukti menginduksi awal pematangan (monosit yang diturunkan) sel dendritik melalui peningkatan ekpresi penanda permukaan sel (CD80, CD83, dan CD86) dan untuk menurunkan aktivitas endositik. Pematangan sel dendritik yang diinduksi oleh superoksida
dihambat
dengan
adanya
antioksidan
N-acetylcysteine.
Sebaliknya, H2O2 tidak menyebabkan pematangan sel dendritik dan penngkata
15
dari CD86.
151, 159
Namun, H2O2 dapat menyebabkan peningkatan pengeluaran
sitokin (misalnya, TNF-a, IL-8) oleh sel dendritik manusia, menunjukkan bahwa sel-sel bisa menyampaikan respon kekebalan tubuh melalui peningkatan produksi sitokin sebagai konsekuensi dari stres oksidatif. ROS juga dikenal untuk mempengaruhi jalur sel dendritik dan sel limfosit T, salah satu kriteria yang paling penting untuk presentasi antigen. Interaksi antara sel dendritik dan sel limfosit T adalah fenomena dua arah, di mana sel dendritik memberikan sinyal aktivasi sel limfosit T dan juga menerima sinyal kembali berasal dari respon Sel limfosit T, sehingga mengalami pematangan terminal. Interferensi dalam jalur regulasi seluler redoks oleh ROS
telah
ditemukan mempengaruhi komunikasi dua arah antara sel dendritik dan sel limfosit T.
163
Secara khusus, baik sel dendritik dan Sel limfosit T menunjukkan
peningkatan lebih tinggi dari ROS seiring dengan interaksi antigen spesifik, yang dihambat
oleh antioksidan. Selain itu, antioksidan juga menghambat
proliferasi sel dendritik yang menginduksi proliferasi dan produksi sitokin oleh sel limfosit T. Zat endogen yang diproduksi ROS di sel dendritik dan sel limfosit T bertindak sebagai utusan kedua, yang memainkan peran penting dalam mengubah fungsi selular selama presentasi antigen. 2.
A1M/α1
mikroglobulin dan ROS
A1M merupakan protein dari golongan lipokain memiliki rantai sistein pada susunan asam amino yang berperan dalam reaksi reduksi-oksidasi, sehingga mempunyai sifat sebagai reduktase selain itu A1M juga multispesifik terhadap radikal organik dan memiliki komponen antioksidan.
17
Pada sindrom
Stevens-Johnson terjadi kerusakan pada sel terutama keratinosit disebabkan oleh mediator ROS, sehingga A1M dapat berperan dalam mengurangi efek ROS. Paparan metabolit reaktif dari obat sulfametoksazol dan dapson diketahui dapat menyebabkan CDRs ( cutaneus drug reaction) dan telah terbukti dapat
16
menyebabkan penurunan jumlah glutathione yang memiliki fungsi sebagai antioksidan, berbanding terbalik dengan kadar ROS yang tinggi pada keratinosit di epidermis.
18,19
Status antioksidan yang berkurang dan atau lebih
tinggi kadar ROS di dalam sel - sel kulit dapat mempengaruhi individu untuk terjadinya CDRs. Selain itu, mengubah status antioksidan dalam sel darah mononuklear dari pasien dengan CDRs menunjukkan keterlibatan langsung ROS selama reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan salah satu manifestasinya adalah SSJ.
20
Gambar 3. A1M sebagai antioksidan Pada hasil penelitian in vitro peningkatan ekspresi dari ROS dan oksidan dihambat oleh penambahan A1M. Pada keratinosit, ekspresi lebih rendah secara signifikan dari HO-1 gen, dengan penambahan A1M. Kematian sel pada keratinosit berkurang 15% dengan penambahan A1M. Hasil yang diperoleh oleh imunohistokimia lokasi A1M pada serat kolagen dan efek perlindungan dari protein dalam matriks ekstraseluler. Pada penelitian in vitro heme yang
17
menginduksi kelompok formasi karbonil pada monomer kolagen yang dihambat oleh penambahan A1M. Pembentukan karbonil pada kolagen menunjukkan bahwa A1M terikat cukup untuk mencapai penghambatan. Peran fisiologis dari A1M adalah sebagai pelindung sel dan jaringan terhadap hem-hemoglobin dan ROS yang menginduksi kerusakan.
25
A1M
mempunyai enzim reduktase dan komponen dehidrogenase dengan spektrum luas substrat organik dan anorganik,
A1M juga dengan cepat mereduksi
radikal. A1M juga mengurangi produk oksidasi pada kolagen, liporptein dan membran eritrosit oleh hem, hemoglobin, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil.
3.
Peran A1M/α1 mikroglobulin pada sindrom Stevens-Johnson
ROS merupakan salah satu mediator yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat, salah satu manifestasi klinisnya berupa SSJ. ROS memiliki aktivitas pro-oksidan sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel penghambatan mediator ROS melalui A1M dapat mengurangi reaksi destruksi sel keratinosit sehingga mengurangi dampak kerusakan pada epidermis. A1M/α1mikroglobulin
merupakan
protein
dari
golongan
lipokain
memiliki rantai sistein pada susunan asam amino yang berperan dalam reaksi reduksi-oksidasi, sehingga mempunyai sifat sebagai reduktase selain itu A1M juga multispesifik antioksidan.
terhadap radikal organik dan
memiliki komponen
24,25
18
Kerusakan sel
A1M
Gambar 4. Mekanisme kerja A1M Respon imun terhadap kekebalan berhubungan dengan agen yang tersensitisasi. Kompleks imun melibatkan beberapa jenis sel dan dimodulasi oleh berbagai mediator endogen. Obat sebagai hapten merangsang APC di kulit baik oleh setelah hapten diikat, APC meningkatkan ekspresi permukaan molekul spesifik (misalnya, kompleks major histocompatability [MHC]) dan molekul costimulatory (misalnya, CD80). Reaksi ini juga memicu pengeluaran mediator-mediator berupa NO, sitokin, dan ROS yang ikut berperan dalam terjadinya kerusakan sel maupun jaringan kulit.
32
19
Sindrom Stevens-Johnson paling banyak disebakan oleh obat juga melibatkan pelepasan oksidan berasal leukosit (spesies oksigen reaktif atau ROS).
31
Sebuah obat atau metabolitnya dapat menjadi hapten protein endogen
sebagai molekul pembawa pembentuk imunogen, yang merangsang sistem kekebalan tubuh.
24
Dalam situasi ini leukosit yang dirangsang menghasilkan
sejumlah besar ROS.
35
ROS dapat memodifikasi respon imun (yang
mengakibatkan kerusakan jaringan imunologi) dan kerusakan jaringan langsung inflamasi.
22,23
Pada sindrom Stevens-Johnson terjadi kerusakan pada sel terutama keratinosit disebabkan juga oleh mediator ROS selain sitokin dan NO. Sifat reduktase pada A1M dapat menghentikan reaksi kerusakan pada sel dengan menghambat mediator ROS. Aktivasi sel limfosit T berlebihan akibat sinyal dari mediator ROS
sehingga A1M dapat berperan dalam mengurangi efek
ROS. Apabila mediator ROS dapat dihambat maka kerusakan sel akibat oksidan juga dapat berkurang.
20
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
A1M/ α1 Mikroglobulin sebagai antioksidan dapat menjadi terapi ajuvan dalam menangani sindrom Stevens-Johnson dengan cara menghambat jalur peningkatan
ROS
( Reactive
Oxygen
Species)
membersihkan
jaringan
pembentuk radikal bebas dan oksidan dibawa ke ginjal untuk mengalami degradasi atau ekskresi. A1M secara tidak langsung menghambat reaksi imun sitotoksik dari sel limfosit T. Selain itu A1M berperan untuk mengurangi komponen oksidan yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan, mencegah kerusakan keratinosit lebih lanjut pada sindrom Stevens-Johnson.
Saran
1. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai efek A1M/ α1 mikroglobulin terhadap ROS pada sindrom Stevens-Johnson. 2. Diperlukan adanya penelitian mengenai cara pemberian A1M/ α1 mikroglobulin agar efektif pada sindrom Stevens-Johnson.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndromeHarr and French Orphanet Journal of Rare Diseases. 2010. http://www.ojrd.com/content/5/1/39 (diakses 12 Oktober 2012) 2. McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol Allergy Clin North Am 2004; 24: 399 – 423. 3. Roujeau J-C, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. 1995;333:1600-8.
4. Valeyrie-Allanore L, Roujeau J-C. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc, 2008; p349-355. 5. Foster CS, Letko E. Stevens-Johnson syndrome. eMedicine. 2007;1-11. 6. 3. Parrillo SJ, Parrillo CV. Stevens-Johnson syndrome. eMedicine. 2008:1-11. 7. Foster, et al. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. at:http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview (diakses 10 Oktober 2009) 8. Roujeau, et al. 1995. Medication Use and the Risk of Stevens-Johnson Syndrome or ToxicEpidermal Necrolysis. NEJM 333 (24) : 1600-1608. 9. New Insights in Toxic Epidermal Necrolysis (Lyell's Syndrome): Clinical Considerations, Pathobiology and Targeted Treatments Revisited. Paquet, Philippe; Piérard, Gérald E. 10. Jeney V, Balla J, Yachie A, Varga Z, Vercellotti GM, et al. (2002) Prooxidant and cytotoxic effects of circulating heme. Blood 100: 879 – 887. 11. Kumar S, Bandyopadhyay U (2005) Free heme toxicity and its detoxification systems in human. Toxicol Lett 157: 175 – 188. 12. Fuchs J , Zollner TM , Kaufmann R , et al . Redox-modulated pathways in infl ammatory skin diseases. Free Radic Biol Med . 2001 ; 30 : 337 - 353 . 13. Allhorn M, Klapyta A, A ° kerstro¨m B (2005) Redox properties of the lipocalin alpha-1-microglobulin: reduction of cytochrome c, hemoglobin, and free iron. Free Radic Biol Med 38: 557 – 567.
22 viii
14. A ° kerstro¨m B, Maghzal GJ, Winterbourn CC, Kettle AJ (2007) The lipocalin alpha-1-microglobulin has radical scavenging activity. J Biol Chem 282: 31493 – 31503. 15. Olsson MG, Olofsson T, Tapper H, A ° kerstro¨m B (2008) The lipocalin alpha-1- microglobulin protects erythroid K562 cells against oxidative damage induced by heme and reactive oxygen species. Free Radic Res 42: 725 – 736. 16. Fitzpatrick, T.B., et al. 1999. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 5thedition. TheMcGraw-Hill 17. Namayanja, G.K, et al. 2005. Stevens-Johnson Syndrome Due to Nevirapine. Uganda. MakarereMedical School 18. Sindrom steven johnson. http://emedicine.medscape.com/article/1197450 overview#a0101 (diakses 8 Oktober 2012) 19. Parrillo SJ, Parrillo CV. Stevens-Johnson syndrome. eMedicine. 2008:1-11. 20. Fritsch PO, Ruiz-Maldonado R. Stevens-Johnson Syndrome toxic epidermal necrolysis. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 5th ed. Vol 1. New York McGraw-Hill; 1999: p644-54. 21. Roujeau J-C, Kelly JP, Naldi L, et al. Medication use and the risk of Steven Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med 1995 Dec 14;333(24):1600-7 22. Lehrer-Bell KA, Kirsner RS, Tallman PG, et al. Treatment of the cutaneous involvement in Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis with silver nitrate-impregnated dressings. Arch Dermatol 1998 Jul;134(7):877-9.8 23. Stevens-Johnson syndrome in Thai Children: A 29-Year Study. Srisupalak Singalavanija MD, Wanida Limpongsanurak MD. Med Assoc Thai 2011; 94 (Suppl. 3): S85-S90 24. Parillo, et al. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. 25. Budimulja, U.; L. S. Selamat. 1998. Epidemiology of Drug Eruption and Skin Testing withDrugs in Indonesia. Environ Dermatol 5(Suppl 2) : 63-68 26. (Hamzah, 2002). Hamzah, M. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia 27. Packer L, Valacchi G (2002) Antioxidants and the response of skin to oxidative stress: Vitamin E as a key indicator. Skin Pharmacology and Applied Skin Physiology 15: 282 – 290. 28. Trouba KJ, Hamadeh HK, Amin RP, Germolec DR (2002) Oxidative stress and its role in skin disease. Antioxidants & Redox Signaling 4: 665 – 673. 29. Ray G, Husain SA (2002) Oxidants, antioxidants and carcinogenesis. Indian J Exp Biol 40: 1213 – 1232.
ix23
30. Li YX, Li Y, Lee SH, Qian ZJ, Kim SK (2010) Inhibitors of oxidation and matrix metalloproteinases, floridoside, and D-isofloridoside from marine red alga Laurencia undulata. J Agric Food Chem 58: 578 – 586. 31. Ushakova T, Melkonyan H, Nikonova L, Afanasyev V, Gaziev AI, et al. (1999) Modification of gene expression by dietary antioxidants in radiationinduced apoptosis of mice splenocytes. Free Radic Biol Med 26: 887 – 891. 32. The AAPS Journal 2005 (http://www.aapsj.org). Mechanisms of Druginduced Delayed-type Hypersensitivity Reactions in the Skin Sanjoy ix Roychowdhury 1 and Craig K. Svensson 1 Division of Pharmaceutics, College of Pharmacy. 33. Bickers DR, Athar M. Oxidative stress in the pathogenesis of skin disease. J Invest Dermatol 2006;126:2565-75 34. Schafer M, Werner S (2008) Oxidative stress in normal and impaired wound repair. Pharmacol Res 58: 165 – 171 35. ° kerstro¨m B, Lo¨gdberg L (2006) Alpha-1-microglobulin. In: A ° kerstro¨m B, Borregaard N, Flower DR, Salier J-P, eds. In: Lipocalins. Georgetown, TX, USA: Landes Bioscience. pp 110 – 120. 36. Up-Regulation of A1M/a1-Microglobulin in Skin by Heme and Reactive Oxygen Species Gives Protection from Oxidative Damage Magnus G. Olsson1*, Maria Allhorn1, Jo¨ rgen Larsson1, Martin Cederlund1, Katarina Lundqvist2, Artu Schmidtchen2, Ole E. Sørensen1, Matthias Mo¨ rgelin1, Bo A°kerstro¨m1www.plosone.org 37. Preeklampsi. 2010. http://www.a1m.se/en/preeklampsi/(diakses 5 Oktober 2012)
x24
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
:
Hanifratiwi
Tempat, Tanggal Lahir
:
Palembang, 23 Januari 1992
Fakultas
:
Kedokteran
Universitas
:
Universitas Diponegoro
Angkatan
:
2009
NIM
:
G2A 009 182
Telepon
:
081901716627
Asal Sekolah
:
SD N 30 Palembang SMP N 22 Palembang SMA N 17 Palembang
Karya Ilmiah
:
Karya Tulis Ilmiah “Pencegahan Kekurangan Asupan Gizi Anak pada Masyarakat Kurang Mampu dengan Modifikasi Model Hearth yang Berbasis pada Perilaku Positive Deviance ”
Poster Ilmiah “Shallot Extract ( Allium ascalonicum) As Antidiabetic Agent: In-Vivo Study in Wistar Rats with Hyperglicemic”
Karya tulis ilmiah “ Potensi Soygurt Terfortifikasi Vitamin A dan Vitamin D sebagai Terapi Adjuvan pada Tuberkulosis Anak ”
xi 25
View more...
Comments