SOP REVISI DR. YOGA.doc
December 28, 2017 | Author: YenniArmayanti | Category: N/A
Short Description
Download SOP REVISI DR. YOGA.doc...
Description
SOP
UPT KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian
2. Tujuan
3. Kebijakan 4. Referensi
5. Alat dan Bahan 6. Langkahlangkah
PELAYANAN No. Dokumen No. Revisi Tanggal terbit Halaman
MEDIS :800/1177/UPT.Py : : 29-12-2016 : 1/2 dr. I. G. N. Gede Putra NIP. 198010312009031003
Prosedur ini mengatur standar pelayanan medis di Puskesmas Payangan . Proses pelayanan pasien dilakukan oleh tenaga yang kompeten dan sesuai dengan standar profesi Menjadi acuan bagi seluruh aktifitas pelayanan medis yang diberikan kepada pasien, sehingga dapat memberikan pelayanan yang sesuai standar profesi SK Kepala UPT. Kesmas Payangan No Tentang Peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien - Permenkes No 75 tahun 2014 tentang Puskesmas - Kemenkes RI 514 Tahun 2015 Tentang Panduan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tinkat Pertama - ATK - Rekam Medis 1. Petugas dari masing-masing unit pelayanan mengidentifikasi kebutuhan pasien 2. Petugas melakukan kajian sesuai standar profesi yang telah ditetapkan 3. Petugas melakukan pencatatan hasil kajian pada rekam medis sesuai dengan standar profesi meliputi : - Biodata /data sosial yang meliputi : nama pasien, nama kepala keluarga, pekerjaan pasien, alamat, jenis kelamin dan tanggal lahir, agama, nomor rekam dan nomor kartu jaminan jika ada - Data anamnesis ( data subyektif ) yang mencakup keluhan pasien, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit dalam keluarga, riwayat alergi obat atau makanan - Data pemeriksaan fisik (data subyektif) yang meliputi: hasil pemeriksaan vital sign ( tekanan darah, suhu, nadi, respirasi, tinggi badan, berat badan ), hasil pemeriksaan spesifik yang mengacu dan sesuai dengan keluhan pasien, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjang kajian pasien - Data diagnosis yang berupa diagnosis klinis pasien beserta kode ICD X pada kasus 10 besar penyakit pada pasien - Data terapi yang berupa jenis obat, jumlah obat, jumlah obat yang diberikan, dan cara pemakaian obat - Data penunjang lain seperti rujukan ke unit lain, dan edukasi yang diberikan ke pada pasien - Paraf dan nama petugas
7. Bagan Alir Petugas mengidentifikasi kebutuhan pasien
Petugas membubuhi paraf dan nama petugas
Petugas melakukan kajian sesuai standar profesi yang telah ditentukan
Petugas melakukan pencatatan pada rekam medis sesuai dengan standar profesi
8. Hal-hal yang perlu diperhatikan
Pelayanan yang profesional dilakukan oleh petugas sesuai standar profesi
9. Unit Terkait
1. Poli Umum 2. Poli KIA 3. Poli Gigi 4. UGD 5. Unit Rawat Inap 6. Puskesmas Pembantu 1. Rekam Medis
10. Dokumen terkait 11. Rekam historis perubahan
No
Yang diubah
Isi Perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
DAFTAR TILIK
PELAYANAN No.Dokumen No. Revisi Tanggal terbit Halaman
MEDIS : 00/1177/UPT.Py : : 29 – 12 – 2016 : 1/2
UPT KESMAS PAYANGAN
dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
NO
KEGIATAN
1
Petugas dari masing-masing unit pelayanan mengidentifikasi kebutuhan 1. Petugas melalukan kajian sesuai standar profesi yang telah ditetapkan 4. Petugas melakukan pencatatan hasil kajian pada rekam medis sesuai dengan standar profesi meliputi : - Biodata /data sosial yang meliputi : nama pasien, nama kepala keluarga, pekerjaan pasien, alamat, jenis kelamin dan tanggal lahir, agama, nomor rekam dan nomor kartu jaminan jika ada - Data anamnesis ( data subyektif ) yang mencakup keluhan pasien, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit dalam keluarga, riwayat alergi obat atau makanan - Data pemeriksaan fisik (data subyektif) yang meliputi: hasil pemeriksaan vital sign ( tekanan darah, suhu, nadi, respirasi, tinggi badan, berat badan ), hasil pemeriksaan spesifik yang mengacu dan sesuai dengan keluhan pasien, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjang kajian pasien - Data diagnosis yang berupa diagnosis klinis pasien beserta kode ICD X pada kasus 10 besar penyakit pada pasien - Data terapi yang berupa jenis obat, jumlah obat, jumlah obat yang diberikan, dan cara pemakaian obat - Data penunjang lain seperti rujukan ke unit lain, dan edukasi yang diberikan ke pada pasien
2 3
4
CR
-
Paraf dan nama petugas
=
Ya / ( Ya + Tidak ) x 100 %
=
( / (
+
) x 100%
YA
TIDAK
TIDAK BERLAKU
=
Pemeriksa
:
Yang diperiksa: Tanggal
:
PENANGANAN DEMAM TIFOID No.Dokumen : 800/535/UKP/UPT Py Tahun 2016 SOP No. Revisi : Tanggal Terbit : 18-1-2016 Halaman : 1/6 UPT KESMAS PAYANGAN 1.Pengertian 2.Tujuan 3.Kebijakan 4.Referensi 5.Penyebab 6.Gambaran Klinis
dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi. Sebagai acuan tatalaksana penderita demam tifoid sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514Tahun 2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Salmonella typhi 1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapatterjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua. 2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal 3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah 4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia 5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat. 2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma) 3. Demam, suhu > 37,5ºC. 4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 1ºC. 5. Ikterus 6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis 7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali 8. Delirium pada kasus yang berat Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut 1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan gejalagejala psikosis (organic brain syndrome). 2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih
menonjol. 3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen 1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosit Dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia. 2. Serologi a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)® Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®) Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
7.Pemeriksaan Penunjang
c. Tes Widal tidak direkomendasi Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari. Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment. 3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) Dapat dilakukan pada spesimen: a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi b. Feses : Pada minggu kedua sakit c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carriertyphoid 4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase
8.Diagnosa
Suspek demam tifoid (Suspect case) Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Demam tifoid klinis (Probable case) Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid. Diagnosis Banding Demam berdarah dengue
9.Penatalaksanaan
Malaria Leptospirosis Infeksi saluran kemih Hepatitis A Sepsis Tuberkulosis milier Endokarditis infektif Demam rematik akut Abses dalam Demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan: a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi. b. Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral. c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat. d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas. e. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien. 2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan gastrointestinal. 3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol). 4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak 30 hari disebut kronis. WHO (World Health Organization) mendefinisikan diare akut sebagai diare yang biasanya berlangsung selama 3 – 7 hari tetapi dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah episode diare yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan kematian Sebagai acuan tatalaksana penderita Diare / GE sesuai standar terapi Penerapan standar terapi di Puskesmas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama 1. Infeksi 2. Malabsorbsi 3. Keracunan atau alergi makanan 4. Psikologis penderita. 1. Pasien datang ke dokter karena buang air besar (BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual dan muntah serta tenesmus. 2. Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan volume yang besar (asal dari usus kecil) atau volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila diare disertai demam maka diduga erat terjadi infeksi. 3. Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau minum dari sumber yang kurang higienenya, GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat bepergian ke daerah dengan wabah diare, riwayat intoleransi laktosa (terutama pada bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu, diet cola, atau makan obat-obatan seperti laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium sitrat, obat jantung quinidine, obat gout (kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil xantine, agen endokrin (preparat pengantian tiroid), misoprostol, mesalamin, antikolinesterase dan obat-obat diet perlu diketahui. 4. Kondisi imunokompromais (HIV/AIDS) dan demam tifoid perlu diidentifikasi Pemeriksaan Fisik 1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. 2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa
3. 4. 5. 6.
haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah. Pernapasan yang cepat indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria. Pada anak menggunakan kriteria WHO 1995.
Pemeriksaan derajat dehidrasi a. Dehidrasi minimal (2 detik; isian kapiler memanjang; ektremitas dingin; output urine minimal. Skor penilaian klinis dehidrasi Klinis Rasa hasus/ muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg Tekanan darah sistolik 120 x/menit Kesadaran apati Kesadaran somnolen, spoor atau koma Frekuensi napas > 30x/ menit Facies Cholerica Vox Cholerica Turgor kulit menurun Washer woman’s hand Ekstremitas dingin Sianosis Umur 50 – 60 tahun Umur > 60 tahun
Skor 1 1 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 -1 -2
Kebutuhan cairan = (Total Skor/15) x 10% x kgBB x 1 ltr
7.Diagnosa
8.Pemeriksaan Penunjang 9.Penatalaksanaan
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan pemeriksaan fisik (ditemukan tandatanda hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB). Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding - Demam tifoid - Kriptosporidia (pada penderita HIV) - Kolitis pseudomembran Pada kondisi pasien yang telah stabil (dipastikan hipovolemik telah teratasi), dapat dilakukan pemeriksaan: - Darah rutin (lekosit) untuk memastikan adanya infeksi. - Feses lengkap (termasuk analisa mikrobiologi) untuk menentukan penyebab. Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan evaluasi lebih lanjut. Terapi dapat diberikan dengan 1. Memberikan cairan dan diet adekuat a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat untuk rehidrasi. b. Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien. c. Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein, karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus. d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung gas, dan mudah dicerna. 2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat antidiare untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif. Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau antiparasit, atau antijamur tergantung penyebabnya. Obat antidiare, antara lain: 1. Turunan opioid: Loperamid atau Tinktur opium. 2. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai demam, dan penggunaannya harus dihentikan apabila diare semakin berat walaupun diberikan terapi. 3. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien immunokompromais, seperti HIV, karena dapat meningkatkan risiko terjadinya bismuth encephalopathy. 4. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop. 5. Obat antisekretorik atau anti enkefalinase: Racecadotril 3x1 Antimikroba, antara lain:
1. Golongan kuinolonyaitu Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 5- 7 hari, atau 2. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160/800 2x 1 tablet/hari. 3. Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, Metronidazol dapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari. 4. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi. Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan langkah sebagai berikut: 1. Menentukan jenis cairan yang akan digunakan Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap liter. Cairan ini diberikan secara oral atau lewat selang nasogastrik. Cairan lain adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena. 2. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan Prinsip dalam menentukan jumlah cairan inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma dengan rumus: Defisit cairan : BJ plasma – 1,025 X Berat badan X 4 ml 0,001 Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter 15 3. Menentukan jadwal pemberian cairan: a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin. b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atauskor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral. c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss. Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila ditemukan: 1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus dianalisa lebih lanjut 2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun 3. Pasien usia lanjut 4. Muntah yang persisten 5. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable 6. Terjadinya outbreak pada komunitas 7. Pada pasien yang immunokompromais. Konseling dan Edukasi Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada keluarga untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah terjadinya GE dan mencegah penularannya.
Kriteria Rujukan 1. Tanda dehidrasi berat 2. Terjadi penurunan kesadaran 3. Nyeri perut yang signifikan 4. Pasien tidak dapat minum oralit 5. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan Penatalaksanaan pada Pasien Anak Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE yaitu: 1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah a. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti larutan air garam. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus. Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi a. Diare tanpa dehidrasi - Umur < 1 tahun: ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret (50– 100 ml) - Umur 1 – 4 tahun: ½-1 gelas setiap kali anak mencret (100–200 ml) - Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas setiap kali anak mencret (200– 300 ml) b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang b. Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi. c. Diare dengan dehidrasi berat c. Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk diinfus. 2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare. Dosis pemberian Zinc pada balita: - Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari. - Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10
hari. Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare. 3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan beratbadan 4. Antibiotik Selektif Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena Shigellosis) dan suspek kolera , Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia). 5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat tentang: a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila : - Diare lebih sering - Muntah berulang - Sangat haus - Makan/minum sedikit - Timbul demam - Tinja berdarah - Tidak membaik dalam 3 hari. 10.Diagram Alir
Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Memenuhi kriteria rujukan
Ya
Ruju k
Tidak Kk
Ya
Pemeriksa an penunjang
Bisa dikerjakan puskesmas
Ya
Tidak
Ruju k
Tidak
Tidak
Diagnosa Kerjadan Diagnosa Banding
Bisa ditangani di puskesma s
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11.Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 12.Unit Terkait
13.Dokumen Terkait 14.Rekaman Historis Perubahan
1. 2. 3. 4. 1. 2. No.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan. Yang diubah Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN DIARE No.Dokumen : No. Revisi : DAFTAR Tanggal Terbit : TILIK Halaman : dr.I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN NO 1
2
KEGIATAN Petugas sudah memberikan cairan dan diet adekuat,disesuaikan dengan status dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang maka hanya diberikan cairan peroral Petugas sudah memberikan terapi simptomatik dengan pemberian obat anti diare
3
Petugas sudah melakukan rujukan apabila diare memburuk atau menetap setelah 7 hari
4
Petugas sudah melakukan rujukan bila diare dengan dehidrasi berat
CR = {Ya/(ya + tidak)}x100% = {…/(..+…)x100% =………… Pemeriksa
:
Yang diperiksa : Tanggal
:
YA
TIDAK
TIDAK BERLAKU
PENANGANAN TUBERKULOSIS (TB) PARU No.Dokumen : 800/536/UKP/UPT PyTahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 18-11-2016 Halaman : 1/5 UPT. KESMAS PAYANGAN 1.Pengertian 2.Tujuan 3 Kebijakan 4.Referensi 5.Penyebab
dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagai acuan tatalaksana penderita Tuberkulosis sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Mycobacterium tuberculosis. Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai: 1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau 2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah).
6.Gambaran Klinis
Pemeriksaan Fisik Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak).
7.Diagnosa
8.Pemeriksaan Penunjang
9.Penatalaksanaan
Kriteria Diagnosis Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014) Standar Diagnosis 1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB. 2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB. 3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. 4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat. 5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan antituberkulosis setelah pemeriksaan kultur. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun. 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu. 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. 4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul). Prinsip-prinsip terapi: 1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi. 2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan. 3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong. 4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat. 5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama. 6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat. 7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan. 8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan tersimpan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan 1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. a. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat. b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu. c. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut. 2. Tahap lanjutan menggunakan panduan obat rifampisin dan isoniazid a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan). b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program) atau tiap hari (obat non program). c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut : a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan. b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan. 2. OAT sisipan : HRZE Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE. Kriteria Rujukan a. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu b. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan) c. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu d. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid) e. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TBMDR.
10. Diagram Alir Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Memenuhi kriteria rujukan
Ruju k
Tidak Kk
Ya
Pemeriksa an penunjang
Bisa dikerjakan puskesmas
Tidak
Diagnosa Kerjadan Diagnosa Banding
Ya
Tidak
Ruju k
Ya
Tidak
Bisa ditangani di puskesma s
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11.Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
Pengobatan rutin
12.Unit Terkait
1. 2. 3. 4. 1. 2. No.
13.Dokumen Terkait 14. Rekaman Historis Perubahan
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan. Yang diubah Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN TUBERKOLOSIS PARU No.Dokumen : No. Revisi : DAFTAR Tanggal Terbit : TILIK Halaman : dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN NO 1
2
3
KEGIATAN Semua pasien(termasuk pasien dengan infeksi HIV)yang tidak pernah diterapi sebelumnya harus mendapat terapi Obat Anti TB(OAT) lini pertama sesuai ISTC Semua pasien dimonitor respon terapi, penilaian terbaik adalah follow up mikroskopik dahak (2spesimen) Petugas melakukan rujukan terhadap pasien TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)seperti TB pada orang dengan HIV,TB dengan penyakit metanbolik,TB anak
CR = {Ya/(ya + tidak)}x100% = {…/(..+…)x100% =………… Pemeriksa
:
Yang diperiksa
:
Tanggal
:
YA
TIDAK
TIDAK BERLAKU
PENANGANAN TUBERKULOSIS (TB) PADA ANAK No.Dokumen : 800/538/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 18-1-2016 Halaman : 1/5 UPT. KESMAS PAYANGAN 1.Pengertian 2.Tujuan 3.Kebijakan 4.Referensi 5.Penyebab
6.Gambaran Klinis
dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagai acuan tatalaksana penderita Tuberkulosispada Anak sesuai standar terapi Penerapan standar terapi di Puskesmas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Mycobacterium tuberculosis. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Gejala sistemik/umum TB pada anak: 1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). 2. Masalah Berat Badan (BB): BB turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, ATAU BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik ATAU BB tidak naik dengan adekuat. 3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain lain). Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam. 4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. 5. Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu, batuk bersifat nonremitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab batuk lain telah disingkirkan 6. Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada anak tidak spesifik tergantung seberapa berat manifestasi respirasi dan sistemiknya.
7.Diagnosa
Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua pendekatan utama, yaitu : 1. Investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif dan menular 2. Anak yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala dan tanda klinis yang mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada anak tidak khas). Sistem skoring (scoring system) Probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan profilaksis INH terutama anak balita
Catatan: 1. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan. 2. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas 3. Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. 4. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut. Sistem Skoring TB Anak Parameter Kontak TB
0 Tidak jelas
Uji Tuberkulin (Mantoux)
-
Berat badan keadaan gizi
/
Demam yg tidak diketahui penyebabn ya Batuk kronik Pembesara n kel. Limfe colli, aksila, inguinal Pembengk akan tulang / sendi
1
2 3 Laporan BTA + keluarga, BTA – atau BTA tidak jelas/tida k tahu (+) ≥ 10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan imunoko mpromais BB/ TB < Klinis gizi 90% atau buruk BB/U < atau 80% BB/TB < 70% atau BB/U < 60% ≥ 2 minggu
≥ 3 minggu ≥ 1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak nyeri Ada pembeng ka-kan
panggul, lutut, falang Foto thorax Normal , kelaina n tidak jelas
8. Pemeriksaan Penunjang
Gambara n sugestif TB
Pemeriksaan Penunjang 1. Uji Tuberkulin Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48−72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. 2. Foto toraks Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainankelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut: a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat b. Konsolidasi segmental/lobar c. Milier d. Kalsifikasi dengan infiltrat e. Atelektasis f. Kavitas g. Efusi pleura h. Tuberkuloma b. Mikrobiologis
Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (Skor ≥ 6 sebagai Beri OAT
Tidak ada perbaikan klinis
Ada perbaikan klinis
Terapi TB
Terapi TB diteruskan sambil mencari penyebabnya
Untuk RS fasilitas terbatas, rujuk ke RS dgn fasilitas lebih lengkap
Berat Badan 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari (kg) 3KDT Anak RHZ 2KDT Anak RH (75/50/150) (75/50) 5-9 1 tablet 1 tablet 10-14 2 tablet 2 tablet 15-19 3 tablet 3 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet
9.Penatalaksanaan
Keterangan : a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit b. Anak dengan BB >33 kg , harus dirujuk ke rumah sakit. c. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah. d. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerussesaat sebelum diminum. Kriteria Rujukan 1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan pengobatan. 2. Terjadi efek samping obat yang berat. 3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani pengobatan selama >2 minggu.
10.Diagram Alir Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Memenuhi kriteria rujukan
Ya
Ruju k
Tidak Kk
Ya
Pemeriksa an penunjang
Bisa dikerjakan puskesmas
Ya
Tidak
Diagnosa Kerjadan Diagnosa Banding
Tidak
Ruju k
Tidak
Bisa ditangani di puskesma s
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11. Hal-Hal Yang Pengobatan rutin dan pemeriksaan rutin Perlu Diperhatikan 12. Unit Terkait
13. Dokumen Terkait
14. Rekaman Historis Perubahan
1. 2. 3. 4. 1. 2.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan.
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN MORBILI / CAMPAK No.Dokumen : 800/538/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 18-11-2016 Halaman : 1/4 UPT. KESMAS PAYANGAN
1.Pengertian
2.Tujuan 3.Kebijakan 4.Referensi 5.Penyebab
6.Gambaran Klinis
dr. I. G. N. Gede Putra Nip.198010312009031003
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis. Sebagai acuan tatalaksana penderita Morbili / Campak sesuai standar terapi Penerapan standar terapi di Puskesmas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama virus Measles Anamnesis: 1. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan konjungtivitis. 2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem, yang dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga. 3. Masa inkubasi 10-15 hari. 4. Belum mendapat imunisasi campak Pemeriksaan fisik: 1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati general. 2. Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya eksantem. 3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala pada daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal dan ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki 4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan-lahan menghilang dengan urutan sesuai urutan muncul, dengan warna sisa coklat kekuningan atau deskuamasi ringan. Eksantem hilang dalam 4-6 hari
Diagnosis klinis: Diagnosis umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
7.Diagnosa
8.Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis banding: a. Erupsi obat b. Eksantem virus yang lain (rubella, eksantem subitum), c. Scarlet fever d. Mononukleosis infeksiosa e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis Penatalaksanaan a. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis. b. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik.Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik. c. Suplementasi vitamin A diberikan pada: 1. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis. 2. Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis. 3. Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis. 4. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4 minggu kemudian. Kriteria rujukan Campak dengan komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi, croup, ensefalitis)
9.Penatalaksanaan
10.Diagram Alir
Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Memenuhi kriteria rujukan
Ya
Ruju k
Tidak
Ya
Pemeriksaa n penunjang
Bisa dikerjakan puskesmas
Tidak
Diagnosa Kerjadan Diagnosa Banding
Ya
Tidak
Bisa ditangani di puskesmas Ruju k
Tidak
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11.Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 12.Unit Terkait
13.Dokumen Terkait 14.Rekaman Historis Perubahan
Campak dengan komplikasi
1. Poli Umum 2. UGD 3. Puskesmas Pembantu 4. Puskesmas Keliling 1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan. No. Yang diubah Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN VARISELA No.Dokumen : 800/539/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 18-11-2016 Halaman : 1/5 dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN 1.Pengertian
2.Tujuan 3.Kebijakan 4.Referensi 5.Penyebab
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan melalui udara (air-borne) dan kontak langsung. Sebagai acuan tatalaksana penderita Varisela sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Virus Varicella zoster Keluhan Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal. Faktor Risiko 1. Anak-anak. 2. Riwayat kontak dengan penderita varisela. 3. Keadaan imunodefisiensi.
6.Gambaran Klinis
7.Diagnosa
Pemeriksaan fisik: Tanda Patognomonis Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk varisela. Penyebaran terjadi secara sentrifugal, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding 1. Variola 2. Herpes simpleks disseminata 3. Coxsackievirus 4. Rickettsialpox
8.Pemeriksaan Penunjang
9.Penatalaksanaan
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan sel Tzanck yaitu sel datia berinti banyak. Penatalaksanaan 1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan pecahnya vesikel. Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain. 2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome. 3. Losio kalamin dapat diberikan untuk mengurangi gatal. 4. Pengobatan antivirus oral, antara lain: a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah timbul lesi.
10. Diagram Alir 11.Unit Terkait
12.Dokumen Terkait 13.Rekaman Historis Perubahan
1. Poli Umum 2. UGD 3. Puskesmas Pembantu 4. Puskesmas Keliling 1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan. No. Yang diubah Isi perubahan
Tglmulai diberlakukaln
PENANGANAN MALARIA No.Dokumen : 800/540/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 18-11-2016 Halaman : 1/5 UPT. KESMAS PAYANGAN 1.Pengertian 2.Tujuan 3.Kebijakan 4.Referensi
5.Penyebab 6.Gambaran Klinis
dr. I.G.N Gede Putra NIP.198010312009031003
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Sebagai acuan tatalaksana penderita Malaria sesuai standar terapi Penerapan standar terapi di Puskesmas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Ada 4 jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Keluhan : 1. Keluhan utama pada malaria tanpa komplikasi: demam, menggigil,berkeringat dapat disertai sakit kepala, mual, muntah diare dan nyeriotot atau pegal-pegal. 2. Gejala pada malaria dengan komplikasi (malaria berat): gangguankesadaran, keadaan umum yang lemah, kejang–kejang, panas sangattinggi, perdarahan, warna air seni seperti teh tua dan gejala lainnya. 3. Malaria falciparum yang sering menyebabkan terjadinya malariadengan komplikasi (malaria berat) Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis a. Pada periode demam: 1. Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat dapatsampai di atas 40 OC dan kulit kering. 2. Pasien dapat juga terlihat pucat. 3. Nadi teraba cepat 4. Pernapasan cepat (takipnue) b. Pada periode dingin dan berkeringat: 1. Kulit teraba dingin dan berkeringat. 2. Nadi teraba cepat dan lemah. 3. Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan kesadaran. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan pada malaria serebral dapat ditemukan kaku kuduk. Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
7.Pemeriksaan Penunjang
Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan limpa, dapat juga ditemukan asites. Ginjal : bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oligouri atau anuria. Ekstermitas : akral teraba dingin merupakan tanda-tanda menuju syok. 1. Pemeriksaan dengan mikroskop Merupakan Gold standard untuk diagnosis pasti malaria. Dilakukandengan menemukan parasit dalam pulasan darah yang diwarnai Giemsa dan diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis. 2. Rapid Diagnostik Test (RDT) dengan mekanisme kerja berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, yang bermanfaat digunakan pada unit gawat darurat, saat kejadian luar biasa dan daerah terpencil yang tidak terdapat fasilitas laboratorium. Pemeriksaan ini hanya digunakan pada fasilitas kesehatan yang tidak ada pemeriksaan mikroskopis dan dalam keadaan pasien dicurigai dengan malaria berat. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias Malaria: panas – menggigil – berkeringat), pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis hapusan darah tebal/tipis.
8.Diagnosa
Klasifikasi a. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium falsiparum. b. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium vivax. c. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale. d. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium malariae. e. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium knowlesi.
9.Penatalaksanaan
Diagnosis Banding a. Demam Dengue b. Demam Tifoid c. Leptospirosis d. Infeksi virus akut lainnya Penatalaksanaan a. Pengobatan malaria falsiparum 1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination = FDC yang terdiri dari Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg diberikan DHP peroral 3 tablet satu kali per hari selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian, sedang untuk BB >.60 kg diberikan 4 tablet DHP satu kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian. - Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis tunggal), - Piperakuin = 16-32mg/kgBB (dosis tunggal), - Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal). 2. Lini kedua: Pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.
Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. - Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/ hari selama 7 hari), - Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari (dewasa, 2x/hr selama7 hari) , 2,2 mg/ kgBB/hari ( 8-14 tahun, 2x/hr selama7 hari), - Tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari). b. Pengobatan malaria vivax dan ovale 1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan peroral satu kali per hari selama 3 hari, primakuin= 0,25mg/kgBB/hari (selama 14 hari). 2. Lini kedua: Pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap pengobatan DHP. Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hrselama 7 hari), Primakuin = 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari). 3. Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh): - Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuinditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari. - Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiundosis 0,25 mg/kgBB/hr sudah diminum selama 14 hari dan penderitasakit kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggusampai 3 bulan setelah pengobatan. c. Pengobatan malaria malariae Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan Primakuin. d. Pengobatan infeksi campuran antara malaria falsiparum dengan malariavivax/malaria ovale dengan DHP.Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hariselama 3 hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuindosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari. e. Pengobatan malaria pada ibu hamil 1. Trimester pertama diberikan Kina tablet 3x 10mg/ kg BB + Klindamycin10mg/kgBB selama 7 hari. 2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari. f. Pencegahan/profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/haridiminum 2 hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar/pulangdari daerah endemis. Kriteria Rujukan a. Malaria dengan komplikasi b. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis awalArtemisinin atau Artesunat per Intra Muskular atau Intra Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg BB
Anamnesa dan pemeriksaan fisik
10.Diagram Alir
Memenuhi kriteria rujukan
Ya
Ruju k
Tidak Kk
Pemeriksa an penunjang
Ya
Bisa dikerjakan puskesmas
Ya
Tidak
Tidak
Ruju k
Tidak
Diagnosa Kerjadan Diagnosa Banding
Bisa ditangani di puskesma s
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11.Unit Terkait
12.Dokumen Terkait
13.Rekaman Historis Perubahan
1. 2. 3. 4. 1. 2.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan.
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggalmulai diberlakukan
PENANGANAN DEMAM DENGUE DANDEMAM BERDARAH DENGUE No.Dokumen : No. Revisi : SOP Tanggal Terbit : Halaman : UPT. KESMAS PAYANGAN 1.Pengertian 2.Tujuan 3.Kebijakan 4.Referensi 5.Penyebab
6.Gambaran Klinis
7.Diagnosa
dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue. Sebagai acuan tatalaksana penderita Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue sesuai standar terapi Penerapan standar terapi di Puskesmas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Virus Dengue Keluhan : Demam bifasik akut 2-7 hari, nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/atralgia, ruam, gusi berdarah, mimisan, nyeri perut, mual/muntah, hematemesis dan melena. Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonik untuk demam dengue a. Suhu Suhu > 37,5 derajat celcius b. Ptekie, ekimosis, purpura c. Perdarahan mukosa d. Rumple Leed (+) Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue a. Suhu > 37,5 derajat celcius b. Ptekie, ekimosis, purpura c. Perdarahan mukosa d. Rumple Leed (+) e. Hepatomegali f. Splenomegali g. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tandaefusi pleura dan asites. h. Hematemesis atau melena Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi: a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik/ pola pelana b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut 1. Uji bendung positif 2. Petekie, ekimosis atau purpura 3. Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain 4. Hematemesis atau melena c. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% 2. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
3. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asistes atau hipoproteinemia Klasifikasi Derajat DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat berdasarkan klasifikasi WHO 1997: 1. Derajat I : Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung. 2. Derajat II : Seperti derajat I namun disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. 3. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab. 4. Derajat IV : Syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur.
8.Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Banding a. Demam karena infeksi virus ( influenza , chikungunya, dan lain-lain) b. Demam tifoid Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap, NS1, Ig G dan Ig M a. Leukopenia cenderung pada demam dengue b. Peningkatan hematokrit diatas 20% dibandingkan standard sesuai usia dan jenis kelamin dan atau menurun dibandingkan nilai hematokrit sebelumnya > 20% setelah pemberian terapi cairan. c. Trombositopenia (Trombosit 13 g/dl Perempuan: > 12 g/dl Perempuan hamil: > 11 g/dl Diagnosis Banding a. Anemia defesiensi besi b. Anemia defisiensi vit B12, asam folat c. Anemia Aplastik
8.Pemeriksaan Penunjang
d. Anemia Hemolitik e. Anemia pada penyakit kronik Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah: Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), leukosit, trombosit, jumlah eritrosit, morfologi darah tepi (apusan darah tepi), MCV, MCH, MCHC, retikulosit. Penatalaksanaan Atasi penyebab yang mendasarinya.. Pada anemia defisiensi besi: Anemia dikoreksi peroral: 3 – 4x sehari dengan besi elemental 50 – 65 mg Pada anemia defisiensi asam folat dan defisiensi B12 Anemia dikoreksi peroral dengan: 1. Vitamin B12 80 mikrogram (dalam multivitamin). 2. Asam folat 500 – 1000 mikrogram (untuk ibu hamil 1 mg).
9.Panatalaksanaan
Kriteria rujukan 1. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%). 2. Untuk anemia karena penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter layanan primer, dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam.
10.Diagram Alir
Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Memenuhi kriteria rujukan
Ruju k
Tidak Kk
Ya
Pemeriksa an penunjang
Bisa dikerjakan puskesmas
Ya
Tidak
Ruju k
Ya
Tidak
Tidak
Diagnosa Kerjadan Diagnosa Banding
Bisa ditangani di puskesma s
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11.Unit Terkait
12.Dokumen Terkait 13.Rekaman Historis Perubahan
1. 2. 3. 4. 1. 2. No.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan. Yang diubah Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
DAFTAR TILIK PENANGANAN ANEMIA No.Dokumen : No. Revisi : SOP Tanggal Terbit : Halaman : dr. I. G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN NO 1 2 3
4
KEGIATAN Petugas sudah menginformasikan agar pasien mengatasi penyebab yang mendasarinya Pada anemia defisiensi besi: anemia dikoreksi peroral: 3-4x sehari dengan besi elemental 5065mg Pada anemia defesiensi asam folat dan defesiensi B12 anemia dikoreksi peroral dengan:vitamin B12 80 mikrogram (dalam multivitamin) asam folat 500-1000 mikrogram(untuk ibu hamil 1mg) Petugas melakukan rujukan pada anemia berat dengan indikasi transfuse (HB 5 Penebalan saraf Hanya 1 saraf Lebih dari 1 tepi saraf disertai gangguan fungsi (mati rasa dan atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf yangbersangkut an) Kerokan BTA negatif BTA positif jaringan kulit Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris bilateral asimetris Permukaan Kering, kasar Kurang tegas bercak Mati rasa Jelas Biasanya kurang padabercak jelas Deformitas Proses terjadi Terjadi pada lebih cepat tahap lanjut Ciri khas Mandarosis, hidung pelana, wajah singa (facies leonina), ginekomastia pada laki-laki
9.Penatalaksanaan
Diagnosis Banding Bercak eritema a. Psoriasis b. Tinea circinata c. Dermatitis seboroik Bercak putih a. Vitiligo b. Pitiriasis versikolor d. Pitiriasis alba Nodul a. Neurofibromatosis b. Sarkoma Kaposi c. Veruka vulgaris Penatalaksanaan a. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, sertamengenai pengobatan serta pentingnya kepatuhan untuk eliminasipenyakit. b. Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
c. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapidilaksanakan. d. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada: 1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT. 2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami halhal di bawah ini: a. Relaps b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB) c. Pindahan (pindah masuk) d. Ganti klasifikasi/tipe e. Terapi pada pasien PB: 1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum didepan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) dan1 tablet dapson/DDS 100 mg. 2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tabletdapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan. 3. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister). 4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg. f. Terapi pada Pasien MB: 1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum didepan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg), 3tablet lampren (klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tabletdapson/DDS 100 mg. 2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan. 3. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister). 4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, lampren 150 mgdan DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harianuntuk lampren 50 mg diselang 1 hari. g. Dosis MDT pada anak 1 mm pada 2 sadapan prekordial (V1-V6) atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang berdekatan (contagious lead), atau LBBB yang dianggap baru. b. Non- STEMI Depresi segmen ST ≥ 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten maupun transient elevasi segmen ST ≥ 0.5 mm (< 20 menit) serta inversi gel T ≥ 0.2 mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih. 2. Thorax Foto
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan a. Segera rujuk setelah pemberian MONACO: M : Morfin, 2,5-5 mg IV O : Oksigen 2-4 L/menit N : Nitrat, bisa diberikan nitrogliserin infus dengan dosis mulai dari 5mcg/m (titrasi) atau ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3 kali A : Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x 160 mg CO : Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x 75 mg Rujuk dengan terpasang infus dan oksigen b. Pengobatan farmakologis (dilakukan di layanan rujukan): 1. Antikoagulan: Heparin 20.000-40.000 U/24 jam IV tiap 4-6 jam 2. Streptokinase/trombolisis 3. PCI (Percutaneous coronary intervention)
10. Hal-hal yang perlu diperhatikan 11. Unit Terkait
1. 2. 3. 4.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling
12. Dokumen Terkait
1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan
13. Rekaman Historis Perubahan
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN GAGAL JANTUNG AKUT AKUT No.Dokumen : 800/572/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-11-2016 Halaman : 1/2 UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab 6. Gambaran Klinis
dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi jantung. Sebagai acuan tatalaksana penderita gagal jantung akut sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Tanda dan gejala GJA: 1. Sesak napas saat istirahat 2. Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung kronik) 3. Orthopnoe (sesak memberat saat berbaring) 4. Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru 5. Takikardi 6. Takipnoe 7. Tekanan vena jugularis / JVP meningkat
7. Diagnosa
a. Rontgen thoraks (kardiomegali, gambaran edema paru/alveolaredema/butterfly appearance) b. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T,dan gambaran abnormal lainnya. c. Darah perifer lengkap
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Kriteria Gagal Jantung: a. Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktivitas fisik. b. Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat. c. Respons terhadap terapi gagal jantung. d. Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal jantung. 2. Kriteria Framingham: minimal 1 kriteriamayor dan 2 kriteria minor. a. Kriteria Mayor: 1. Paroxysmal nocturnal dyspnea 2. Distensi vena jugularis 3. Ronki basah halus 4. Rontgen : kardiomegali 5. Udem pulmonal akut
6. S3 gallop 7. Tekanan vena sentral >16 cm H2O 8. Waktu sirkulasi +25 detik 9. Hepatojugular refluks 10. Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali pada autopsi 11. Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang respon terhadap terapi gagal jantung. b. Kriteria Minor: 1. Edema kaki bilateral 2. Batuk nokturnal 3. Dyspnea pada aktivitas sehari-hari 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari nilai maksimal 7. Takikardia ( nadi >120 kali/menit) Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) Kelas 1 2
3
4
Kriteria Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capai,sesak napas, atau palpitasi. Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saatistirahat tetapi aktivitas fisik biasa menyebabkan lelah, sesak napas, atau palpitasi. Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik: tidak ada gangguanpada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi. Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan: gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahatdengan keluhan yang semakin bertambah pada aktivitas fisik.
Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap (kelas III danIV), juga berguna dalam menentukan penatalaksanaan dan prognostikkelainan yang dialami. Diagnosis Banding 1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paruberat (ARDS), emboli paru 2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik 3. Penyakit Hati: sirosis hepatik 9. Penatalaksanaan Penatalaksaaan resusitasi 1. Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation (ABC). 2. Oksigen nasal 2-4 L/menit. 3. Posisi setengah duduk (semi fowler position). 4. Berikan diuretik furosemid 20 - 40 mg i.v. (jika TD >100 mmHg) bolus dapat diulang tiap jam sampai dosis maksimal 600mg/hari. 5. Berikan ISDN 5 mg sublingual jika TD >100 mmHg. 6. Jika TD sistolik 180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x 12,5 mg (dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg
bisa diulang hingga5 kali sampai mendapat pertolongan lebih lanjut. 8. Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. 10. Hal-hal yang perlu diperhatikan 11. Unit Terkait
1. 2. 3. 4.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling
12. Dokumen Terkait
1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan
13. Rekaman Historis Perubahan
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN GAGAL JANTUNG AKUT KRONIK (DEKOMPENSASI KORDIS) No.Dokumen : 800/573/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-11-2016 Halaman : 1/6 dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab 6. Gambaran Klinis
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks timbul karena olehkelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan padaejeksi dan pengisian. Sebagai acuan tatalaksana penderita gagal jantung kronik sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Sesak napas saat aktivitas, Edema tungkai Mudah kelelahan Takikardia Takipneu Ronkhi basah peningkatan tekanan vena jugular Bunyi jantung gallop Ascites Hepatomegali
7. Diagnosa
1. Rontgen thoraks (kardiomegali, gambaran edema paru/alveolaredema/butterfly appearance) 2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T,dan gambaran abnormal lainnya) 3. Darah perifer lengkap
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Kriteria Gagal Jantung: a. Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktivitas fisik. b. Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat. c. Respons terhadap terapi gagal jantung. d. Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal jantung. 2. Kriteria Framingham: minimal 1 kriteriamayor dan 2 kriteria minor. a. Kriteria Mayor: 1. Paroxysmal nocturnal dyspnea 2. Distensi vena jugularis 3. Ronki basah halus
4. Rontgen : kardiomegali 5. Udem pulmonal akut 6. S3 gallop 7. Tekanan vena sentral >16 cm H2O 8. Waktu sirkulasi +25 detik 9. Hepatojugular refluks 10. Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali pada autopsi 11. Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang respon terhadap terapi gagal jantung. b. Kriteria Minor: 1. Edema kaki bilateral 2. Batuk nokturnal 3. Dyspnea pada aktivitas sehari-hari 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari nilai maksimal 7. Takikardia ( nadi >120 kali/menit) Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) Kelas 1 2
3
4
Kriteria Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capai,sesak napas, atau palpitasi. Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saatistirahat tetapi aktivitas fisik biasa menyebabkan lelah, sesak napas, atau palpitasi. Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik: tidak ada gangguanpada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi. Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan: gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahatdengan keluhan yang semakin bertambah pada aktivitas fisik.
Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap (kelas III danIV), juga berguna dalam menentukan penatalaksanaan dan prognostikkelainan yang dialami. Diagnosis Banding 1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paruberat (ARDS), emboli paru 2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik 3. Penyakit Hati: sirosis hepatik 9. Penatalaksanaan
a. Modifikasi gaya hidup: 1. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1liter (berat) 2. Pembatasan asupan garam maksimal 2 gram/hari (ringan), maksimal 1 gram/hari (berat) 3. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol b. Aktivitas fisik: batasi beban kerja sampai 60% hingga 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur) c. Terapi Farmakologi I. Diuretik 1. Utamakan loop diuretik (furosemide) bila perlu dikombinasikan dengan Thiazid, bila dalam 24 jam
II.
III.
tidak ada respon rujuk ke layanan sekunder. ACE inhibitor (kaptopril) 1. Direkomendasikan sebagai first-line therapy. 2. Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg) dapat di up titrasi hingga 3 x 50 mg. 3. Rujuk jika sudah mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai. Digitalis 1. Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial pada gagaljantung. 2. Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik daripadahanya menggunakan salah satu jenis saja. 3. Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika terdapat fibrilasiatrial. 4. Dalam keadaan irama sinus, digoksin direkomendasikan untukmemperbaiki status klinis pada keadaan gagal jantung persistenselain dengan terapi ACE inhibitor, beta blocker dan diuretik. 5. Bila NYHA II-IV dengan LVEF < 40% disertai tandatandagagal jantung yang telah mendapat penghambat EKA danpenyekat beta.
10. Hal-hal yang perlu diperhatikan 11. Unit Terkait
1. 2. 3. 4.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling
12. Dokumen Terkait
1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan
13. Rekaman Historis Perubahan
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN STROKE No.Dokumen : 800/574/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-11-2016 Halaman : 1/4 UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi
5. Penyebab
6. Gambaran Klinis
dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor vaskuler. Secara global, saat ini stroke merupakan salah satu penyebab kematian utama, dan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Sebagai acuan tatalaksana penderita Stroke sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah terjadinya serangan stroke, misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), berat badan lahir rendah, faktor herediter (familial), ras (etnik), memang tidak bisa dihindari atau diubah (non modifiable risk factors). Sedangkan faktor risiko lainnya mungkin masih bisa dihindari, diobati atau diperbaiki (modifiable risk factors). Keluhan: Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak (tiba-tiba), yang sering dijumpai adalah 1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, hemiplegi) 2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai (hemihipestesi, hemianesthesi) 3. Gangguan bicara (disartria) 4. Gangguan berbahasa (afasia) 5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan sempoyongan (ataksia), rasa berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia), melihat ganda (diplopia), penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia, kwadran-anopsia) Pemeriksaan fisik: 1. Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi, suhu, tekanan darah harus diukur kanan dan kiri 2. Pemeriksaaan jantung paru 3. Pemeriksaan bruitkarotis dan subklavia 4. Pemeriksaan abdomen 5. Pemeriksaan ekstremitas 6. Pemeriksaan neurologis a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur dengan menggunakan Glassgow Coma Scale (GCS) b. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan Brudzinski b. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, IX/X,dan saraf kranialis lainnya c. Motorik: kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks
patologis d. Sensorik e. Tanda serebelar: dismetria, disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus f. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama fungsi kognitif (bahasa, memori dll) g. Pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan pemeriksaan refleks batang otak: • Pola pernafasan: Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, apneustik, ataksik • Refleks cahaya (pupil) • Refleks kornea • Refleks muntah • Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes phenomenon) 7. Diagnosa
Diagnosis klinis Diagnosis awal ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Cara skoring ROSIER (Recognition of Stroke in Emergency Room) dapat digunakan pada stroke akut.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pendukung yang diperlukan dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut 1. Pemeriksaan standar: a. CT scan kepala (atau MRI) b. EKG (elektrokardiografi) b. Kadar gula darah c. Elektrolit serum d. Tes faal ginjal e. Darah lengkap f. Faal hemostasis 2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): a. Foto toraks b. Tes faal hati c. Saturasi oksigen, analisis gas darah d. Toksikologi e. Kadar alkohol dalam darah f. Pungsi lumbal (pada perdarahan subaraknoid) g. TCD (transcranial Doppler) h. EEG (elektro-ensefalografi.
9. Penatalaksanaa Pertolongan pertama pada pasien stroke akut. n 1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi 2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat 3. Memberikan oksigen bila diperlukan 4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi (head-andtrunk up) 20-30 derajat 5. Memantau irama jantung 6. Memasang cairan infus salin normal atau ringer laktat (500 ml/12 jam) 7. Mengukur kadar gula darah (finger stick) 8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram intravena (bila hipoglikemia berat) 9. Menilai perkembangan gejala stroke selama perjalanan ke rumah sakit layanan sekunder 10. Menenangkan penderita
Rencana Tindak Lanjut 1. Memodifikasi gaya hidup sehat o Memberi nasehat untuk tidak merokok atau menghindari lingkungan perokok o Menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol o Mengurangi berat badan pada penderita stroke yang obes o Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik atau TIA. Intensitas sedang dapat didefinisikan sebagai aktivitas fisik yang cukup berarti hingga berkeringat atau meningkatkan denyut jantung 1-3 kali perminggu. 2. Mengontrol faktor risiko o Tekanan darah o Gula darah pada pasien DM o Kolesterol o Trigliserida o Jantung 3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-obat antiplatelet: asetosal, klopidogrel 10. Bagan Alir Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Memenuhi kriteria rujukan TidakK k
Ya
Pemeriksa an penunjang
Bisa dikerjakan puskesmas
Ya
Tidak
Ruju k
Tidak
Ya
Ruju k
Tidak
Diagnosa Kerja dan Diagnosa Banding
Bisa ditangani di puskesma s
Ya
Rawat jalan Rawat inap
11. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 12. Unit Terkait
1. Poli Umum 2. UGD
13. Dokumen Terkait 14. Rekaman Historis Perubahan
3. Puskesmas Pembantu 4. Puskesmas Keliling 1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan. No. Yang diubah Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN VERTIGO No.Dokumen : No. Revisi : SOP Tanggal Terbit : Halaman : UPT. KESMAS PAYANGAN
1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab 6. Gambaran Klinis
7. Diagnosa 8. Pemeriksaan Penunjang 9. Penatalaksanaan
dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa: - Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan vestibular. - Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual Sebagai acuan tatalaksana penderita Vertigo sesuai standar terapi Penerapan standar terapi di Puskesmas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Gangguan a. Vertigo vestibular Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh gerakan kepala, bisa disertai rasa mual atau muntah. 1. Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan posisi kepala dengan rasa berputar yang berat, disertai mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa disertai gangguan pendengaran berupa tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. 2. Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala. Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa mual dan muntah, tidak disertai gangguan pendengaran. Keluhan dapat disertai dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. b. Vertigo non vestibular Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang, berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya seperti di tempat keramaian misalnya lalu lintas macet. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi. Penatalaksanaan 1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode brandDaroff. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua
tungkai tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi dan sore hari. 2. Terapi simptomatik. 1. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin) a. Dimenhidrinat per oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. b. Difenhidramin HCl, dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. c. Senyawa Betahistin (suatu analog histamin): f. Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral. g. Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. Maksimum6 tablet dibagi dalam beberapa dosis. 2. Kalsium Antagonis Cinnarizine, dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari. Kriteria Rujukan 1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk. 2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapifarmakologik dan non farmakologik. 10. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 11. Unit Terkait
12. Dokumen Terkait 13. Rekaman Historis Perubahan
1. Poli Umum 2. UGD 3. Puskesmas Pembantu 4. Puskesmas Keliling 1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan. No. Yang diubah Isi perubaha n
Tanggal diberikan
Mulai
DAFTAR TILIK PENANGANAN VERTIGO No.Dokumen : No. Revisi : DAFTAR Tanggal Terbit : TILIK Halaman : dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN NO 1 2 3
KEGIATAN Petugas melakukan latihan vestibular dengan metode bran daroff Petugas sudah memberikan terapi simptomatik Petugas melakukan rujkan terhadap pasien Vertigo vestibular tipe sentral
CR = {Ya/(ya + tidak)}x100% = {…/(..+…)x100% =………… Pemeriksa
:
Yang diperiksa
:
Tanggal
:
Nama Pasien
:
No. Rekam medik
:
YA
TIDAK
TIDAK BERLAKU
PENANGANAN LIMFADENITIS No.Dokumen : 800/576/UKP/UPT Py SOP Tahun 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-112016 Halaman : 1/2 dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian 2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab
6. Gambaran Klinis
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening. Sebagai acuan tatalaksana penderita Limfadenitis sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama - Infeksi bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. - Sekunder oleh karena penyakit lain 1. Pembengkakan kelenjar getah bening 2. Demam 3. Kehilangan nafsu makan 4. Keringat berlebihan 5. Nadi cepat 6. Kelemahan 7. Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas 8. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum(serum sickness) Diagnosis Klinis Diagnosa ditegakkan pemeriksaan fisik.
berdasarkan
anamnesis
dan
7. Diagnosa
Diagnosis Banding a. Mumps b. Kista Duktus Tiroglosus c. Kista Dermoid d. Hemangioma 8. Pemeriksaan Pemeriksaan skrining TB : BTA sputum, LED, mantoux test. Penunjang Laboratorium : Darah perifer lengkap 9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan a. Kompres hangat untuk membantu mengurangi rasa sakit b. Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada penyebabnya. 1. Penyebab oleh virus :dapat sembuh sendiri, observasi. 2. Penyebab olehbakteri : adalah antibiotik oral selama 10 hari, golongan penicillin atau erythromycin. 3. Penyebab oleh mycobacterium tuberculosis :obat anti tuberculosis. Kriteria rujukan 1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk
untuk mencaripenyebabnya (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar getahbening). 2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkankepada keganasan, KGB yang menetap atau bertambah besar denganpengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan. 10. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 11. Unit Terkait
12. Dokumen Terkait 13. Rekaman Historis Perubahan
1. 2. 3. 4. 1. 2.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan.
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN TETANUS No.Dokumen : 800/577/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-11-2016 Halaman : 1/4 UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian 2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab 6. Gambaran Klinis
dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Sebagai acuan tatalaksana penderita Tetanus sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Clostridium tetani Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismussampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: a. Tetanus lokal Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasasakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapatberkembang menjadi tetanus umum. b. Tetanus sefalik Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis mediakronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dandisfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembangmenjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. c. Tetanus umum/generalisata Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher,susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dankecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi denganrangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaranyang tetap baik. d. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi talipusat, Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untukmenetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. 1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap. 2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dandisfungsi nervus kranial.
7. Pemeriksaan Penunjang 8. Diagnosa
3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher,kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan sertaekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsanganringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetapbaik. 4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisitubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkanopisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankanekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawahhiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jarikaki. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi. Tingkat keparahan tetanus: Kriteria Pattel Joag 1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan kekakuan otot tulang belakang. 2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajatkeparahan. 3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari. 4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam. 5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal > 40 oC), atau aksila( 37,6 ºC ). Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s : 1. Grade 1 (ringan) Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulitpernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia. 2. Grade 2 (sedang) Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namunsingkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu. 3. Grade 3 (berat) Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dansering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontanyang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengantakipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terusmeningkat. 4. Grade 4 (sangat berat) Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kalimenyebabkan “autonomic storm”. Diagnosis Banding a. Meningoensefalitis b. Poliomielitis c. Rabies d. Lesi orofaringeal e. Tonsilitis berat f. Peritonitis g. Tetani, timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia
dimana kadarkalsium dan fosfat dalam serum rendah. h. Keracunan Strychnine i. Reaksi fenotiazine 9. Penatalaksanaa Penatalaksanaan n a. Manajemen luka Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C.tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi lukayang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanusdengan kriteria sebagai berikut: Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus > 6-8 jam < 6 jam Kedalaman > 1 cm Superfisial < 1 cm Terkontaminasi Bersih Bentuk stelat, avulsi, Bentuknya linear, tepi tajam atau hancur(irreguler) Denervasi, iskemik Neurovaskular intak Terinfeksi (purulen, Tidak infeksi jaringannekrotik)
b. c. d.
e.
f.
g.
1. Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. 2. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. 3. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian Tig Terapi suportif, diet dan istirahat Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu. Antikonvulsan sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam atau vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Anti Tetanus Serum (ATS) dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka. Antibiotika untuk eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat diberikan tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan membersihkannya dengan H202 3%. Port d’entre lain seperti OMSK atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu.
Kriteria Rujukan 1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama. 2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan. 3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi. 10. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 11. Unit Terkait
12. Dokumen Terkait 13. Rekaman Historis Perubahan
1. 2. 3. 4. 1. 2.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan.
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
DAFTAR TILIK PENANGANAN TETANUS No.Dokumen : No. Revisi : DAFTAR Tanggal Terbit : TILIK Halaman : dr. I G.N.Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN NO
KEGIATAN
1
Petugas sudah melakukan perawatan luka kepada pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C tetani Petugas sudah melakukan terapi suportif,diet dan istirahat Petugas sudah memberikan oksigen,pernafasan buatan dan trakeostomo bila perlu Petugas memberikan antikonvulsan sesuai kebutuhan dan respon klinis Petugas memberikan ATS dosisi bias 50.000iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000unit dengan infus IV lambat Petugas memberikan antibiotic untuk eleminasi bakteri Petugas melakukan explorasi luka untuk mencegah penyebaran racun lebih lanjut Petugas melakukan rujukan pada pasien bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan
2 3 4 5 6 7 8
YA
CR = {Ya/(ya + tidak)}x100% = {…/(..+…)x100% =………… Pemeriksa
:
Yang diperiksa
:
Tanggal
:
Nama Pasien
:
No. Rekam medik
:
TIDAK
TIDAK BERLAKU
PENANGANAN MIGREN No.Dokumen : 800/578/UKP/UPT Py Tahun SOP 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-11-2016 Halaman : 1/3 UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian 2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab
6. Gambaran Klinis
7. Pemeriksaan Penunjang
dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi. Sebagai acuan tatalaksana penderita Tetanus sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Vasodilatasi pembuluh darah di otak. Keluhan a. Nyeri hanya pada satu sisi kepala, nyeri moderat sampai berat, namun penderita mungkin merasakan nyeripada kedua sisi kepala. b. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk. c. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik. d. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga tidak dapat melakukanaktivitas sehari-hari. e. Mual dengan atau tanpa muntah. f. Fotofobia atau fonofobia. g. Sakit kepalanya mereda secara bertahap pada siang hari dan setelahbangun tidur, kebanyakan pasien melaporkan merasa lelah dan lemahsetelah serangan. h. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala prodormal, seringkali terjadibeberapa jam atau beberapa hari sebelum onset dimulai. Pasienmelaporkan perubahan mood dan tingkah laku dan bisa juga gejalapsikologis, neurologis atau otonom. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan ini dilakukanjika ditemukan hal-hal, sebagai berikut: 1. Kelainan-kelainan struktural, metabolik dan penyebab lain yangdapat menyerupai gejala migren. 2. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta yang dapatmenyebabkan komplikasi. 3. Menentukan dasar pengobatan dan untuk menyingkirkankontraindikasi obat-obatan yang diberikan. b. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan). c. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut: 1. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hiduppenderita. 2. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis padamigren. 3. Pemeriksaan neurologis yang abnormal. 4. Sakit kepala yang progresif atau persisten. 5. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria
migren denganaura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. 6. Defisit neurologis yang persisten. 7. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengangejala-gejala neurologis yang kontralateral. 8. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin. 9. Gejala klinis yang tidak biasa. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaanfisik umum dan neurologis.
8. Diagnosa
Kriteria Migren: Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari nyerikepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, intensitassedang sampai berat ditambah satu dari mual atau muntah, fonopobia ataufotofobia.
Diagnosis Banding c. Arteriovenous Malformations d. Atypical Facial Pain e. Cerebral Aneurysms f. Childhood Migraine Variants g. Chronic Paroxysmal Hemicrania h. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster) Penatalaksanaan 1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasisensoris berlebihan. 2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengandikompres dingin. 3. Perubahan pola hidup, menghindari pemicu, berolahraga secara teratur, dan hindari stres dan rokok. 4. Pengobatan Abortif: - Obat spesifik: ergotamin tablet 1 mg kombinasi kafein, dosis disesuaikan kondisi penyakit. 9. Penatalaksana - Obat nonspesifik: parasetamol 500 mg atau ibuprofen an 400 mg - Obat penunjang: Domperidon atau metoklopramid tablet - Obat profilaksis (keadaan tertentu): propanolol 10 mg tiap 8-12 jam atau asam valproat 500 mg tiap 12 jam. Kriteria Rujukan - Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang denganpengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan sekunder(dokter spesialis saraf). 10. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 11. Unit Terkait
12. Dokumen Terkait
1. 2. 3. 4. 1. 2.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Rekam Medis Catatan tindakan.
13. Rekaman Historis Perubahan
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
DAFTAR TILIK PENANGANAN MIGREN No.Dokumen : No. Revisi : DAFTAR Tanggal Terbit : TILIK Halaman : dr. I G. N. Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN
NO 1 2 3 4
KEGIATAN Petugas menganjurkan pada pasien pada saat serangan sebaiknya menghindarinstimulasi sensoris berlebihan Petugas menyarankan bila memungkinkan sebaiknya beristirahat ditempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin Petugas menginformasikan perubahan pola hidup,menghindari pemicu,berolahraga secara teratur,dan hindari setres dan rokok Petugas memberikan pengobatan abortif dan melakukan rujukan jika migren terus berlanjut
CR = {Ya/(ya + tidak)}x100% = {…/(..+…)x100% =………… Pemeriksa
:
Yang diperiksa
:
Tanggal
:
Nama Pasien No. Rekam medik
: :
YA
TIDAK
TIDAK BERLAKU
PENANGANAN BELLS’ PALSY No.Dokumen : 800/579/UKP/UPT Py Tahun 2016 SOP No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-11-2016 Halaman : 1/3 UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi
5. Penyebab 6. Gambaran Klinis
dr. I G.N.Gede Putra NIP.198010312009031003
Bells’palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut, unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami perbaikan pada 80-90% kasus. Sebagai acuan tatalaksana penderita Bells’ palsy sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik. Pasien datang dengan keluhan: a. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut(periode 48 jam) b. Nyeri auricular posterior b. Penurunan produksi air mata c. Hiperakusis d. Gangguan pengecapan e. Otalgia Gejala awal: a. Kelumpuhan muskulus fasialis b. Tidak mampu menutup mata c. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%) d. Perubahan pengecapan (57%) e. Hiperakusis (30%) f. Kesemutan pada dagu dan mulut f. Epiphora g. Nyeri ocular h. Penglihatan kabur Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harusdilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial. a. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkankelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supranuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalamikelumpuhan M.orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasibilateral pada level batang otak. b. Inspeksi awal pasien memperlihatkanlipatan datar pada
dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan. c. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi danlateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan. d. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar. e. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yanglumpuh. Komplikasi okular awal: a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total) b. Corneal exposure c. Retraksi kelopak mata atas d. Penurunan sekresi air mata e. Hilangnya lipatan nasolabial f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)
7. Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi okular lanjut a. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral. b. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik. c. Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah). d. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karenapenurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata. Periksaan darah lengkap, glukosa darah Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi.
8. Diagnosa
Diagnosis Banding Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu: a. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle. b. Otitis media akut atau kronik. c. Amiloidosis. d. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis. e. Sindroma autoimun. f. Botulismus. g. Karsinomatosis. h. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli. i. Cholesteatoma telinga tengah. j. Malformasi congenital. k. Schwannoma N. Fasialis. l. Infeksi ganglion genikulatum
9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatanmasih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset. a. Pengobatan inisial
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untukpengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011). 2. Steroid :Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari. 3. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehariselama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800mg oral 5 kali/hari. b. Lindungi mata Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada sianghari) dapat mencegah corneal exposure. c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan danmenurunkan sequele. Kriteria Rujukan a. Bila dicurigai kelainan supranuklear b. Tidak menunjukkan perbaikan 10. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 11. Unit Terkait
12. Dokumen Terkait 13. Rekaman Historis Perubahan
1. Poli Umum 2. UGD 3. Puskesmas Pembantu 4. Puskesmas Keliling 1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan. No. Yang diubah Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
PENANGANAN RABIES No.Dokumen : 800/580/UKP/UPT Py SOP Tahun 2016 No. Revisi : Tanggal Terbit : 19-112016 Halaman : 1/ UPT. KESMAS PAYANGAN 1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Penyebab 6. Gambaran Klinis
dr. I G.N.Gede Putra NIP.198010312009031003
Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui gigitan HRP / hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala, kelelawar) Sebagai acuan tatalaksana penderita Rabies sesuai standar terapi SK. Ka. UPT kesmas Payangan No.800/046/UKP/UPT Py Tahun 2016 Tentang Layanan Klinis Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Virus rabies genus Lyssa-virus Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengananjing, kucing, atau binatang lainnya yang: a. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka). b. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh). c. Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya). d. Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain). Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari-7 tahun.Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan,dan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajatpatogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan). Keluhan i. Stadium prodromal Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokanselama beberapa hari. j. Stadium sensoris Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada tempatbekas luka cemas dan reaksi yangberlebihan terhadap rangsang sensoris. k. Stadium eksitasi Tonus otot dan aktivitas simpatis mningkat,timbulgejalahiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hidrofobia khas. Pada stadium ini dapat terjadi apneu,sianosis, konvulsan, dan takikardia. Emosi labil, responsif. Gejala eksitasiterus berlangsung sampai penderita meninggal. l. Stadium paralisis
Paresis otot yang terjadi secara karenagangguan pada medulla spinalis.
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Diagnosa
9. Penatalaksanaan
progresif
Pemeriksaan Fisik a. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkanmungkin telah dilupakan. b. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada lukabekas gigitan yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap selamaperjalanan penyakit). c. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat: hiperventilasi,hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf otonom, sindromaabnormalitas ADH, paralitik/paralisis flaksid. d. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian. e. Tanda patognomonis h. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yangpersisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratorisspasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia. Tidak dikerjakan di fasilitas pelayanan primer Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigitmati dalam 1 minggu. - Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia, kadang ditemukanparestesia pada daerah gigitan. - Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten,nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme),hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia. Diagnosis Banding 1. Tetanus. 2. Ensefalitis. 3. lntoksikasi obat-obat. 4. Japanese encephalitis. 5. Herpes simplex. 6. Ensefalitis post-vaksinasi. Penatalaksanaan 1. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untukmenghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasmeotot ataupun untuk mencegah penularan. 2. Fase awal: d. Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen)10 – 15 menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridementdan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, atau Betadin. e. Jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung ataumulut, maka cucilah kawasan tersebut dengan air lebih lama f. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. 3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies
4.
5.
6. 7.
8.
9.
yang sudahmenunjukkan gejala rabies, penanganan hanya berupa tindakansuportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Indikasi pemberian Vaksin Anti Rabies. d. Luka risiko tinggi, yaitu jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). – HPR Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka). – HPR mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh). – HPR tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya). – Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain). Dosis dan cara pemberiannya Vaksin Anti Rabiesuntuk kasus gigitan adalah e. Dosis : 0,5 ml dengan 3 kali pemberian sebanyak 4 dosis yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali pemberian (dosis anak dan dewasa sama) f. Cara pemberian : VAR disuntikkan secara intra muskular (im) didaerah deltoideus / lengan atas kanan dan kiri. g. Apabila luka gigitan termasuk risiko tinggi maka diberikan VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit ; cara pemberiannya sama diatas. DiberikanVAR ulangan sebanyak 1 dosis 0,5 ml pada hari ke 90. Indikasi pemberian Serum Anti Rabies (SAR : - Luka gigitan yang beresiko tinggi dan HPR positif Rabies Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies (SAR) - Serum heterolog ( Kuda ), mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml ( 1ml=100 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 40 Iu/KgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu. - Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1 ml= 150 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 20 Iu/kgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan sebelumnya dilakukan skin test. Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Bila seorang pasien yang telah divaksinasi dengan Vaksin Anti Rabies secara komplit dengan VPRV dan dalam jangka waktu 3 bulan setelah divaksinasi digigit lagi oleh anjing, kucing, kera maupun hewan lain yang
positif rabies, maka pasien tadi tak perlu divaksinasi lagi : sedangkan jika digigit HPR tersangka rabies lagi antara 3 bulan hingga 1 tahun cukup diberi VAR 1 kali pada hari ke – 0.Sedangkan jika telah divaksinasi 1 tahun atau lebih dianggap penderita baru, dan diberikan VAR lengkap. 10. Perlu dipertimbangkan pemberian anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik, sesuai indikasi. Kriteria Rujukan 1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies. 2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokterspesialis neurolog. 10. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 11. Unit Terkait
1. 2. 3. 4.
Poli Umum UGD Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling
12. Dokumen Terkait
1. Rekam Medis 2. Catatan tindakan.
13. Rekaman Historis Perubahan
No.
Yang diubah
Isi perubahan
Tanggal mulai diberlakukan
DAFTAR TILIK PENANGANAN RABIES No.Dokumen : No. Revisi : DAFTAR Tanggal Terbit : TILIK Halaman : dr I G.N.Gede Putra NIP.198010312009031003
UPT. KESMAS PAYANGAN
NO 1
2
3
4
5 6 7
KEGIATAN Petugas sudah melakukan isolasi pasien setelah diagnosis ditegagkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme otot ataupun untuk pencegahan penularan Untuk fase awal luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen)10-15menit kemudian dibilas dengan air bersih,didilakukan debridement dan diberikan desinfektan Untuk fase lanjut tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies,penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas Petugas sudah memberikan Vaksin Anti Rabies.Untuk luka resiko tinggi,yaiu jilatan /luka pada mukosa,luka diatas daerah bahu(muka,kepala,leher)luka pada jari tanagan/kaki, genetalia,luka yang lebar /dalam dan luka yang banyak(multiple)? Petugas sudah memberikan vaksin anti rabies sesuai dengan dosis Petugas sudah memberikan serum Anti Rabies(SAR) sesuai indikasi Petugas melakukan rujkan terhadap pasien dengan gejala rabies
CR = {Ya/(ya + tidak)}x100% = {…/(..+…)x100% =………… Pemeriksa
:
Yang diperiksa
:
Tanggal
:
Nama Pasien No. Rekam medik
: :
YA
TIDAK
TIDAK BERLAKU
View more...
Comments