soal ukdi TO optima mei 2015

April 25, 2018 | Author: Diego Topia | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

soal ukdi TO optima mei 2015...

Description

1.

C. E3M6V5 Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran. Terdiri dari penilaian terhadap tiga komponen respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni: - Respon buka mata - Respon motorik - Respon verbal Setiap penilaian mencakup poin-poin, dengan nilai total 3-15

Jenis Pemeriksaan Nilai Respon buka mata (Eye Opening, E) Respon spontan (tanpa stimulus) 4 Respon terhadap suara/perintah 3 Respon terhadap nyeri 2 Tidak ada respon 1 Respon verbal (V) Orientasi baik 5 Berbicara mengacau (bingung/disoriented) 4 Kata terucap jelas dengan substansi tidak jelas, tidak 3 membentuk kalimat (misalnya, “aduh bapak..”) Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) 2 Tidak ada suara 1 Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6 Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus 5 saat diberi rangsang nyeri) 4 Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 3 Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat 2 diberi rangsang nyeri) Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau 1 keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) Tidak ada respon Interpretasi hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol: E…V…M…

Berdasar Advanced Trauma Life Support, GCS digunakan untuk menentukan derajat cedera kepala

Derajat Cedera Kepala Cedera Kepala Ringan (CKR) Cedera Kepala Sedang (CKS) Cedera Kepala Berat (CKB)

Skor GCS 14 – 15 9 – 13 3–8

Referensi: Committee on Trauma, American College of Surgeons.2008. ATLS: Advanced Trauma Life Support Program for Doctors (8th ed.). Chicago: American College of Surgeons. 2.

E. Gangguan skizoafektif tipe manic Pembahasan: Gangguan manik tanpa gejala psikotik dengan pedoman diagnostik sebagai berikut: episode seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya satu minggu dan cukup berat sehingga mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan biasa dan aktivitas sosial. Perubahan suasana perasaan (mood) seharusnya disertai dengan enersi yang meninggi dan beberapa gejala (khususnya percepatan berbicara, kebutuhan tidur yang kurang, grandiositas, dan terlalu optimis) Gangguan manik dengan gejala psikotik merupakan bentuk mania yang lebih berat. Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi waham dan iriitabilitas serta kecurigaan menjadi waham kejar. Selain itu, wham kebesaran atau religius tentang identitas seringkali mencolok dan gagasan yang takabur dan percepatan bicarany mengakibatkan individu tidak dapat dipahami. Gangguan Skizoafektif tipe manik memiliki pedoman diagnostik sebagai berikut: suasana perasaan harus meningkat menonjol atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi dengan irritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih gejala skizofrenik yang khas seperti: a) Thought echo, thought insertion atau withdrawl dan thought broadcasting b) Waham dikendalikan, waham dipengaruhi, atau passivity yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak atau pikiran, perbuatan atau perasaan khusus; persepsi delusional. c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal perilaku pasien di antara perilaku mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, mampu berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Sumber: - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III. 1993. editor Dr, Rusdi Maslim.

3. B. Miopi simplek Pandangan kabur pada anak usia 12 tahun, tanpa adanya keluhan lain, dan membaik dengan penggunaan lensa sferis negatif, merupakan kondisi dari diagnosis Miopia Simplek. Hipermetrop: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan di belakang retina. Penyebab hipermetrop adalah sumbu mata terlalu pendek (hipermetropia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu lemah (hipermetrop pembiasan). Gejalanya timbul keluhan lelah, pusing, dan nyeri kepala. Miopia: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibias di depan retina, tajam penglihatan selalu kurang dari pada 5/5. Penyebab miopia adalah sumbu mata terlalu panjang (miopia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu kuat (miopis pembiasan). Gejala yang timbul: penglihatan untuk jauh kabur, jika miopia terlalu tinggi memungkinkan timbul keluhan astenovergen sampai dengan strabismus konvergen. Jika terdapat perbedaan yang terlalu tinggi derajat miopia satu mata dengan lainnya, dapat terjadi ambliopia. Pengobatan miopia dengan lensa sferis negatif yang terkecil. Presbiop: umumnya timbul mulai umur kira-kira 40 tahun. Di mana pungtum proksimum letaknya jauh dari jarak baca seseorang (lebih dari 35 cm). Agar pungtum proksimum letaknya lebih dekat daripada jarak baca, maka perlu ditambah adisi sferis positif. Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan adanya suatu astigmat. Referensi: Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto. 4. A. Mematikan dengan gliserin dan dikeluarkan Pada kasus anak di atas terdapat benda asing di telinga bagian luar yang berupa benda hidup. Liang telinga luar terdiri dari cartilago dan tulang yang dilapisi oleh periosteum dan kulit. Bagian tulang merupakan bagian yang sangat sensitive. Karena itulah percobaan mengeluarkan benda asing di telinga terasa sangat sakit. Liang telinga luar menyempit pada bagian persambungan antara cartilago dan tulang. Benda asing dapat terjepit disini sehingga membuat semakin sulit pada pengangkatan benda asing. Percobaan mengambil benda asing dapat membuat benda tersebut semakin masuk kedalam dan tersangkut pada tempat penyempitan tersebut. Benda asing yang sering terdapat pada telinga adalah manik-manik, mainan plastik, kelereng, biji jagung. Serangga lebih sering pada pasien berumur lebih dari 10 tahun. Bila benda asing tersebut adalah serangga yang hidup, maka pergerakan serangga dapat menyebabkan nyeri hebat dan bila tidak segera diatasi dapat terjadi infeksi. Pada beberapa kasus pasien dengan benda asing di telinga adalah tanpa gejala, dan pada anak-anak ditemukan secara kebetulan. Pasien yang lain mungkin merasa sakit dengan gejala seperti otitis media, pendengaran berkurang, atau rasa penuh ditelinga. Beberapa kasus sering ditemukan pada anak-anak berumur kurang dari 8 tahun. Bila benda asing tersebut masih hidup maka harus dimatikan terlebih dahulu dengan

memasukkan tampon basah ke liang telinga lalu meneteskan cairan anestesi local seperti lidokain atau desinfektan lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat. Sumber: Sosialisman et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 58. 5. B. Pubertas prekoks dependen gonadotropin Sebagian besar anak akan mengawali pubertas pada umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan 9-14 tahun untuk anak laki-laki. Pubertas prekoks didefinisikan sebagai suatu keadaan saat terjadi perkembangan seksual sekunder yang terjadi sebelum umur 8 tahun pada anak perempuan dan sebelum umur 9 tahun pada anak laki-laki. Etiologi dan klasifikasi: 1. Pubertas prekok lengkap/sejati/dependent/sentral/tergantung gonadotropin (Gonadotropin-dependent precocious puberty) Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh aktivitas prematur dari poros hipotalamushipofisis, GnRH yang menstimulasi pelepasan Gonadotropin sebelum waktunya. 2. Pubertas prekok tidak lengkap/semu/independent/perifer/tidak tergantung gonadotropin (Gonadotropin-independent precocious puberty) Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh sekresi gonadotropin ektopik atau sekresi steroid seks otonom tidak dipengaruhi oleh poros hipotalamus-hipofisis-gonad atau aktivitas GnRH, dan hal ini memicu terjadinya pubertas sebelum waktunya. 3. Varian Perbedaan etiologi dan manifestasi klinis Gonadotropin-dependent precocious puberty dan Gonadotropin-independent precocious puberty Klasifikasi dan Etiologi Manifestasi Klinis Idiopatik - Isoseksual Gonadotropin- Melibatkan aktivasi dependent precocious Kelainan SSP (tumor atau nontumor): hipotalamuspuberty - Hypothalamic Hemartoma, hipofisis-gonad - Gliomas - Perkembangan Hipotiroidisme berkepanjangan seksual mengikuti dan tidak diobati urutan yang terjadi pada pubertas normal - Peningkatan GnRH dan LH/FSH Gonadotropinindependent precocious puberty

Pria Tumor pensekresi gonadotropin: Gangguan adrenal:

- Isoseksual atau heteroseksual - Peningkatan kadar

-

Variasi perkembangan pubertas

Congenital Adrenal hyperplasia: menyebabkan produksi hormon androgen berlebih akibat terjadinya hyperplasia kelenjar adrenal. - Adrenal tumors: hal ini juga memacu terjadinya pubertas prekoks akibat sekresi berlebih hormon androgen Produksi androgen berlebihan Pematangan dini sel leydig dan sel benih Wanita - Kista ovarium - Noplasma pensekresi estrogen - Pria dan wanita - Hipotiroidisme berat - Sindroma McCune Albright Telarke prematur Menarke prematur Adrenarke prematur Ginekomastia adolesen

hormon sex tanpa disertai peningkatan GnRH dan LH/FSH - Perkembangan seks sekunder tidak sinkron

Delayed Puberty Seorang anak dinyatakan mengalami delayed puberty atau pubertas yang terlambat jika dirinya belum menunjukkan perkembangan payudara menjelang usia 13 atau belum mengalami menarche menjelang usia 16 tahun, untuk anak perempuan dan belum mengalami pembesaran pada alat kelamin menjelang usia 14 tahun, untuk anak laki-laki. Jika melihat pilihan jawaban pada kasus ini: Pubertas prekoks independen gonadotropin, Pubertas prekoks parsial, Hipertrofi adrenal kongenital (yang dimaksud adalah hiperplasi adrenal kongenital), merupakan satu istilah yang sama sehingga bukan merupakan jawaban yang tepat. Referensi: 1. Pulungan AB. 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam : Jose RL Batubara dkk, penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2. Styne DM. 1998. Pubertas.Dalam: Greenspan FS, Baxter JD, penyunting.Endokrinologi Dasar dan Klinik Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 3. Setiyohadi B. 2007. Kesehatan Remaja. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia.

6.

B. Pirazinamid Pirazinamid merupakan obat TB yang bersifat bakterisidal. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksisitas dengan peningkatan serum SGOT dan SGPT. Pada pasien dengan dengan hepatitis akut atau klinis ikterik maka pemberian OAT ditunda sampai hepatitis akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan di mana obat TB sangat diperlukan, maka diberikan streptomisin dan etambutol selama 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid. Tidak diberikan pirazinamid. Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, SGOT dan SGPT meningkat 3 kali lipat, maka OAT tidak diberikan, dan apabila dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika peningkatan kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan pirazinamid. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

Tabel 1. Efek Samping Ringan OAT

Tabel 2. Efek Samping Berat OAT

Jika pasien mengeluh gatal-gatal, maka diberikan antihistamin terlebih dahulu sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika timbul kemerahan maka hentikan OAT terlebih dahulu. Sumber: Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. 7. C. Massage glans penis 1. Fimosis Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke belakang (proksimal)/membuka. Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga sulit untuk keluar (Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat ditarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa, tahun 2008). Keadaan yang dapat menimbulkan fimosis adalah: 1) Bawaan (kongenital), paling banyak 2) Peradangan (Purnomo, tahun 2003) 2. Parafimosis Parafimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup. Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak. Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993). Pengobatan: Preputium dikembalikan secara manual dengan memijat glans penis selama 3-5 menit Gagal insisi dorsum Setelah edema dan proses inflamasi menghilang sirkumsisi 8. B. Ventrikel kiri dan atrium kiri Ukuran jantung dalam proyeksi radiologi foto polos tidak dihitung menggunakan pengukuran absolut namun menggunakan rasio diameter transvesal jantung terhadap diameter transversal rongga thoraks yang disebut sebagai Cardio-Thoracic Ratio (CTR). Pengukuran CTR dilakukan menggunakan foto polos proyeksi Postero-Anterior (PA) dalam posisi erect, karena bila dilakukan dengan proyeksi Anteroposterior atau dalam posisi supine akan mengubah dimensi dada dan organ visera di dalamnya. CTR dinilai normal apabila nilainya kurang dari 50% kecuali pada orang lanjut usia lebih dari 60 tahun, toleransi rasio ukuran jantung tersebut bisa bisa sedikit membesar tanpa adanya keadaan patologis. o Jarak batas kanan terluar jantung dengan linea mediana

o Jarak batas kiri terluar jantung dengan linea mediana o Diameter transversal dinding dada

= CTR 60% pada wanita usia 30 tahun menandakan terjadinya pembesaran jantung (cardiomegali), sesuai dengan anatomi jantung yang terproyeksi pada foto polos thoraks, pinggang jantung yang terbentuk oleh sudut antara atrium kiri dan ventrikel kiri, dan apeks jantung yang merupakan bagian dari ventrikel kiri tenggelam dalam diafragma menunjukkan adanya pembesaran jantung sebelah kiri (atrium dan ventrikel kiri). Referensi: Browne, RFJ; O'Reilly G, McInerney D (June 2004). "Extraction of the Two-Dimensional Cardiothoracic Ratio from Digital PA Chest Radiographs: Correlation with Cardiac Function and the Traditional Cardiothoracic Ratio" (PDF). Journal of Digital Imaging 17 (2): 120–3 Gambar diperoleh dari http://www.crkirk.com/thumbnail/investigations/cxr.htm 9. E. Scurvy Defisiensi vitamin: Beri-beri Defisiensi vitamin B1 (thiamine) Manifestasi Klinis: berat badan turun drastis, gangguan syaraf, lemah dan lesu, pembengkakan tungkai bawah, sesak napas, gangguan denyut jantung dan tak jarang menimbulkan kematian karena gagal jantung Pellagra

Defisiensi vitamin B3 (nistatin) Manifestasi Klinis: 4D ‘diarrhea, dermatitis, dementia, death’ Klinis yang mencolok: rush, bersisik, mengelupas, terutama pada bagian yang tak terlindung dari sinar matahari. Tampak seperti penderita lepra (kusta) disebut ‘Asturian leprosy’

Scurvy

Defisiensi vitamin C

Manifestasi Klinis: Khas: terjadinya perdarahan di bawah jaringan pelindung tulang dan di sekitar gigi. letih dan lesu (malaise and lethargy), sesak napas, nyeri tulang, kulit menjadi kasar dan mudah memar (bruising) dan gusi bengkak serta gigi goyang Daftar Pustaka: 1. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2. http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid=000342 3. http://img.wikinut.com/img/3dp3.ai3ty0adjde/jpeg/0/Scurvy.jpeg 4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/438830 5. http://www.redorbit.com/news/health/110093/gastrointestinal_beriberi_a_previously_unreco gnized_syndrome/ 10. C. Miliaria rubra Pembahasan: Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai dengan vesikel miliar, tersebar di tempat predileksi. Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan histopatologi - Miliaria Kristalina (sudamina) Terdiri atasvesikel miliar (1-2 mm) subkorneal, tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan garukan dan deskuamasi dalam beberapa hari. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum korneum.

- Miliaria rubra (prickly heat) Merupakan jenis tersering, vesikel miliar atau papulovesikel di atas dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum.

-

Miliaria pustolosa Berasal dari miliaria rubra vesikelnya berubah menjadi

dimana pustule.

Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum. - Miliaria profunda Merupakan kelanjutan miliaria rubra berbentuk papul, mirip folikulitis, dapat disertai pustule. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di dermo epidermal junction.

11. D. Paget’s disease Penyakit paget pada tulang (Osteitis deformans) adalah suatu penyakit metabolisme pada tulang, di mana tulang tumbuh secara tidak normal, menjadi lebih besar dan lunak. Kelainan ini dapat mengenai tulang manapun, tetapi yang paling sering terkena adalah tulang panggul, tulang paha, tulang tengkorak, tulang kering, tulang belakang, tulang selangka dan tulang lengan atas. Diagnosa penyakit paget sudah dapat diduga dari keluhan dan symptom, tetapi dengan radiography dapat memastikan diagnosa. Pasien penyakit paget derajat pertama sangat relatif, biasanya dapat ditemukan dari pemeriksaan tes serum alkalifospat setiap 2 hingga 3 tahun. Jika ditemukan peningkatan serum alkali posfatase dan adanya deteriorsi yang luas pada gambaran CT scan tulang, itu merupakan suatu petunjuk adanya aktivitas dari penyakit paget’s. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis paget disease adalah: 1. Biochemical marker Adanya banyak biochemical markers yang menandakan adanyan penyakit paget, tetapi 2 yang paling penting adalah adanya peningkatan total alkali posfatase dan urinary pyrydinoline. 2. Radiography Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan dua keadaan pada tulang, yaitu litik dan sklerotik. Pada pemeriksaan radiography pada pasien asimptomatik memberikan gambaran lokasi pembengkakan dari tulang. Radiography biasanya mempunyai spesifitas yang tinggi dan sensifitas yang rendah. 3. Rontgen tulang (menunjukkan adanya peningkatan kepadatan tulang, penebalan, pembengkokan dan pertumbuhan berlebih). 4. Scanning tulang dapat digunakan pada kasus suspek atau dugaan penyakit paget. 5. Pemeriksaan darah (peningkatan serum alkalin fosfatase). Referensi: Ralston, Stuart H. (Feb 14, 2013). "Paget's Disease of Bone". New England Journal of Medicine 368 (7): 644–650.

12. B. Abortus inkomplit Klasifikasi Abortus Abortus dapat dibagi atas dua golongan, yaitu: Menurut terjadinya dibedakan atas: 1. Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. 2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi: 1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica), yaitu abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli. 2) Abortus kriminalis, yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional. Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut: 1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. 2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. 3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. 4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. 6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. 7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. 8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis. Abortus Iminens

Nyeri (-)

Portio Tertutup

Insipiens

(+)

Terbuka

Incomplete Complete

(-) (-)

Terbuka Terbuka

Jaringan Masih dalam cavum uteri Masih dalam cavum uteri Teraba jaringan (-)

Referensi: Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008. 13. E. Terdapat kumpulan cairan di alveoli pada kanan dan kiri lapang paru Pada pasien di atas menunjukkan gejala-gejala pneumonia. Diagnosis Pneumonia Berat Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: Kepala terangguk-angguk Pernapasan cuping hidung Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll) Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: Napas cepat: Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit Suara merintih (grunting) pada bayi muda Pada auskultasi terdengar: Crackles (ronki) Suara pernapasan menurun Suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya Kejang, letargis atau tidak sadar Sianosis Distres pernapasan berat.

Referensi: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: WHO. 14. A. 10 Pembahasan: Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut: Campak Jumlah Positif Negatif Vaksin (-) 100 (A) 990 (B) 1000 Vaksin (+) 10 (C) 900 (D) 1000 Total 110 1890 2000 Untuk menentukan faktor resiko kasus tersebut dengan menggunakan rumus : RR = (A/A+B) (C/C+D) = (100/1000) (10/1000) = 10 15. D. Autonomy Autonomi: prinsip tentang kemandirian, kebebasan, dan membiarkan inividu bebas menentukan pilihn dan tindakan yang diinginkan.

Dalam kasus di atas pasien berhak menolak saran dokter untuk tidak dilakukan rawat inap. Sehingga dokter harus menghormati dasar etika autonomi dalam menanggapi keputusan pasien. Sumber: Hanafiah, MJ. 2009. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 16. B. Kuning Pembagian Triage: Segera-Immediate (merah): pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax, distress pernapasan (RR < 30x/mnt), perdarahan internal, dsb. Tunda-Delayed (kuning): pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya: pendarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan pendarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb. Minimal (hijau): pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya: Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial. Expextant (hitam): pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya: luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna: merah, kuning, hijau, hitam. 17. B. Astigmatisme miopius simpleks Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan adanya suatu astigmat. Jenis astigmatisme ada 5, yaitu: 1. Astigmatisme Myopia Simplek, atau simple atau sederhana, yaitu kondisi astigmatisme di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satu lagi jatuh di depan retina. Misal resepnya C-1.00×90 2. Astigmatisme Hypermetropia Simplek, di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satunya jatuh di belakang retina. Misal resepnya C+1.00×90 3. Astigmatisme myopia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di depan retina. Misal resepnya S-1.00-1.00×90 4. Astigmatisme hypermetropia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di belakang retina. Misal resepnya S+1.00+1.00×90 5. Astigmatisme Mixtus, di mana sinar jatuh dengan satu meredian di depan retina dan satu lagi di belakang retina. Misal resepnya S +1.00-1.00×90 Referensi:

Ilyas, Sidarta. dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta. 18. E. Intermediate insulin Para ahli sepakat bahwa insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan fi nansial),sosiokultural (sikap Muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat. Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya:

Insulin kerja cepat (Rapid Insulin) Insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari, atau regimen basal-bolus. Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat efektif digunakan: Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah. Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial pada anak prapubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi, balita, dan anak prasekolah). Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau pompa insulin. Hiperglikemia dan ketosis saat sakit.

-

Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting). Terlihat lama kerja relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15 menit, dan puncak kerja 30-90 menit. Insulin Kerja Pendek (short acting) Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai insulin ’reguler’. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah juga pada penderita DM tipe I usia balita. Kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari.

Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat lama kerja relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30 – 60 menit, dan puncak kerja 2-4 jam. -

Insulin Kerja Menengah (intermediate acting) Digunakan dalam regimen dua kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian besar diabetisi anak menggunakan insulin jenis ini. DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum, dan tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik yang baik.

Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediateacting). Terlihat lama kerja relatif 12 -24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam, dan puncak kerja 4-12 jam. -

-

Insulin Kerja Panjang (long acting) Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal bolus.

Profil farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting). Terlihat lama kerja relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan puncak kerja 12-24 jam. Insulin kerja campuran Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut: Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah. Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya. Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran yang rumit. Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil

. Profil farmakokinetik insulin kerja campuran -

Insulin Basal Analog Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja panjang sampai dengan 24 jam, yang termasuk insulin ini: insulin glargine, detemir, dan NPH. NPH : Insulin ini tidak direkomendasikan untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun.

Insulin glargine dan detemir direkomendasikan sebagai insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH, glargine dan detemir dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik pada kelompok usia 5-16 tahun, namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna. Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal berat.

Sesuai dengan penjelasan di atas dan informasi yang ada pada soal, maka insulin yang tepat untuk anak ini adalah insulin intermediete. Referensi: Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Ukk Endokrinologi Anak Dan Remaja, Ikatan Dokter Anak Indonesia World Diabetes Foundation 2009.

19. B. Vibrio kolera Pasien mengalami diare akut yang berlangsung selama 2 hari. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Diare yang dialami pasien merupakan diare sekretorik yang khas, yaitu diare dengan volume feses banyak. Penyebab diare tersebut antara lain adalah enterotoksin Vibrio cholera, atau Enteroksik E.coli (ETEC). Karakteristik Non Inflamatory Inflamatory Penetrating Gambaran Feses Watery Volume >> Bloody, mucus Mukus, volume Leukosit (-) volume sedang, sedikit, Leukosit Leukosit PMN MN Demam (-) (+) (+) Nyeri perut (-) (+) (+)/(-) Dehidrasi (+++) (+) (+)/(-) Tenesmus (-) (+) (-) Komplikasi Hipovolemik Toksik Sepsis Pada kasus di atas pemeriksaan karakteristik feses dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya tanda dehidrasi, maka mengarah pada diare akut yang disebabkan oleh vibrio kolera.

Transmisi penularan kolera menularkan kolera adalah air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Vibrio cholera. Vibrio cholera berkoloni pada mukosa usus halus. Setelah mencapai usus halus, maka bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin. Toksin yang dilepaskan berupa enterotoksin. Toksin kolera dapat memengaruhi transpor cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorbs cairan. Manifestasi klinis yang muncul adalah: Diare cair dan muntah setelah masa inkubasi 6-72 jam Diare cair dalam jumlah banyak Konsistensi seperti air cucian beras Berbau amis Tenesmus (-) Demam tidak tinggi Tanda-tanda dehidrasi berat segera muncul: kesadaran menurun, takikardi, takipneu, mata cekung, turgor kulit kembali lambat, oliguria. Kehilangan cairan dapat berlangsung selama 7 hari. Diagnosis pasti kolera ditegakkan dengan kultur tinja ditemukan adanya V.cholerae O1 atau O139. Rotavirus Virus merupakan penyebab infeksi pada anak-anak. Rotavirus menyebabkan infeksi pada epitel mukosa usus, infeksi sel-sel radang di lamina propia, pemendekan jonjot usus, pembengkakan mitokondria, dan bentuk mikrovili tidak teratur, sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan absorbs cairan/elektrolit pada usus halus dan terjadinya gangguan pencernaan makanan akibat kerusakan epitel mukosa.

Eschericia coli Eschericia coli memiliki 5 golongan yang dapat meyebabkan diare, yaitu: Enterotoxic E.coli (ETEC) Memiliki 2 faktor virulensi yang penting, yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada eritrosit usus halus dan enterotoksin, yaitu heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menginvasi mukosa usus atau merusak mikrovili. Enteropathogenic E.coli (EPEC) Bakteri membentuk koloni di usus dan tidak mampu menembus dinding usus. Bakteri ini sering menimbulkan manifestasi diare berair, disertai muntah, dan demam pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun terutama bagi yang tidak minum ASI (proong diarrhea). Enteroinvasive E.coli (EIEC) Sering menyebabkan KLB karena keracunan makanan (food borne). Bakteri dapat menembus mukos usus halus, berkoloni dan menyebabkan disentri basiler. Dalam pemeriksaan feses sering ditemukan eritrosit dan leukosit.

Enteroadherent E.coli (EAEC) Bakteri ini mengeluarkan sitotoksin yang menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7 hari (prolonged diarrhea). Enterohemoragic E.coli (EHEC) Transmisi berupa daging yang kurang matang dimasak. Diare disertai nyeri perut hebat (kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas, diare cair, darah (+). Sumber: 1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Goldfinger SE: Constipation, Diarrhea, and Disturbance of Anorectal Function, In: Barunwald, E, Isselbacher, K. J., Petersdorf, R. G., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci AS (Eds) : Harrison’s Principle of Internal Medicine, 11th Ed. McGrawHill book Company. 20. D. Gangguan mental organik Pembahasan: Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan di mana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak di mana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia, Depresi). Gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak. Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh. Pada kasus d iatas, terdiagnosis Gangguan Mental Organik. Gangguan mental organik adalah diagnosis gangguan jiwa yang dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera, atau rudapaksa otak yang akibatnya disfungsi otak. Pada kasus di atas, pasien sebelumnya mengalami kejang-kejang. Sumber: - Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540. - Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42. - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. hal 3 21. B. Tension type headache Nyeri kepala tipe tegang (Tension type headache-TTH ) didefinisikan sebagai serangan nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari, dengan

sifat nyeri biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, bilateral, tidak dipicu oleh aktifitas fisik dan gejala penyertanya tidak menonjol. Tension type headche adalah penyebab tersering nyeri kepala primer kronik/berulang, berhubungan dengan kontraksi otot-otot wajah dan leher. Episode TTH biasanya dikaitkan dengan peristiwa yang stessfull secara fisik dan mental.

Referensi: Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society (2004). "The International Classification of Headache Disorders: 2nd edition". Cephalalgia 24 (Suppl 1): 9–160. Martin V, Elkind A. (2004) Diagnosis and classification of primary headache disorders. In: Standards of care for headache diagnosis and treatment. Chicago (IL): National Headache Foundation. Gambar diperoleh dari https://uvahealth.com/services/neurosciences/conditions-andtreatments/11515 22. A. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya ± 60x45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio sedangkan yang tidak dibuahi lebih besar yaitu berukuran ± 90x40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdapat dua lapisan dan dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, yaitu telur yang tanpa lapisan albumin atau albuminnya terlepas karena proses mekanik. Dalam lingkungan yang sesuai (tanah liat, kelembapan tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25o-30 oC), telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam waktu ±3 minggu.

Gambar telur cacing Ascaris lumbricoides 23. E. Pure tone audiometry Gangguan pendengaran pada bayi dan anak umumnya didahului dengan keterlambatan bicara (delayed speech). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar. Tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak adalah: Audiometri nada murni (pure tone audiometry) Pemeriksaan dilakukan pada anak usia ≥ 4 tahun yang kooperatif. Alat yang digunakan adalah audiometer dan dicatat sebagai audiogram. Sumber suara digunakan nada murni (pure tone), yaitu bunyi yang terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan melalui hantaran suara (air cinduction) melalui headphone serta hantaran melalui tulang (bone conduction) diperiksa melalui pemasangan bone vibrator pada posesus mastoid. Suara dengan intesitas tersendah dicatat untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian. Behavioral Observation Audiometry (BOA) Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respons yang disadari. BOA untuk mengetahui respons subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk penilaian rehabilitasi pendnegaran, yaitu pada pengukuran alat bantu dengar. Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi. BA dibedakan menjadi: Behavioral Reflex Audiometry Respons yang dapat diamati antara lain mengejapkan mata, melebarkan mata, mengerutkan wajah, berhenti menyusu, denyut jantung meningkat, reflex Moro. Dilakukan pengamatan respons yang bersifat refleks terhadap stimulus bunyi. Behavioral Respon Audiometry Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan stimulus akustik akan menghasilkan pola respon khas, yaitu menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Teknik yang sering digunakan adalah Tes distraksi dan Visual

Reinforcement Audiometry (VRA). Pada tes VRA stimulus bunyi diberikan bersama stimulus visual, maka bayi akan memberi respons berupa orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Pemeriksaan VRA dapat digunakan untuk memnentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara, maka respons yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik. Otoacoustic Emission (OAE) Pemeriksaan untuk menilai fungsi koklea yang obyektif, tidak invasive, tidak membutuhkan waktu lama. Efisien untuk pemeriksaan skrinning pendengaran bayi baru lahir. Pemeriksaan juga digunakan untuk: memonitor efek ototoksik obat, diagnois euroati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dnegar, skrining noise induced hearing loss, pemeriksaan penunjang gangguan koklea. Terdapat 2 jenis OAE, yaitu Spontaneous OAE (SPOAE) dan Evoked OAE. Auditory Brainstem Respons/Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) Merupakan pemeriksaan menilai integritas sistem auditorik, obyektif, tidak invasive. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma. Bermanfaat pada kondisi pasien bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensia rendah, dan cacat ganda. Pemeriksaan yang dialakukan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII. Sumber: Swento, R. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 31- 42. 24. D. Glomerulonefritis akut Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi. Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus. Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah setelah infeksi bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi Streptococcus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau glomerulonefritis progresif cepat. Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada analisis urine ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab umum (80%) dari sindrom nefris akut

adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu dipikirkan diagnosa diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS. Gambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur < 4 tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya, ditemukan penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan infeksi kuman Streptococcus dan adanya gejala klinis yang mengarah ke penyakit ginjal kronis/CKD (anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi ventrikel kiri). Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut, yang timbul setelah infeksi Streptococcus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi Streptococcus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Referensi: Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute glomerulonephritis and the nephrotic syndrome. Arch Intern Med. 2001;161(1):25-34. Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer; 2009. h. 743-55. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford; 2003. h. 367-80. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339(13):888-99. 25. C. STEMI Infark myokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari STEMI, Non STEMI, dan Unstable angina. Diagnosis infark myokard akut ditegakkan berdasar anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST ≥ 2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan, atau ≥ 1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis meskipun tanpa pemeriksaan cardiac enzym sekalipun diagnosis STEMI dapat ditegakkan, mengingat terapi harus diberikan pada penderita sesegera mungkin. Prinsip penatalaksanaan infark miokard adalah time is muscle. Sebagian besar penderita STEMI akan mengalami evolusi pada pemeriksaan EKG dengan munculnya gelombang Q, dan disebut sebagai Q-wave Myocardial Infarction, dan sebagian kecil menetap menjadi Non Q-wave MI.

Normal

ST Elevasi

ST Elevasi; T inversi

T Inversi

Q Patologis

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak oleh oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya. Stenosis arteri yang berkembang lambat biasanya tidak memicu STEMI, karena tumbuhnya pembuluh darah kolateral yang mengompensasi. Jika obstruksi trombus bersifat parsial, sementara, atau sirkulasi kolateral telah terbentuk maka pasien akan mengalami Non ST-Elevatin Acute Coronary Syndrome (Non STEMI, Unstabla angina) Referensi: Alwi. I. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 26. B. Rehidrasi 30 cc/kgBB/1 jam pertama di puskesmas, lalu dirujuk ke rumah sakit Anak usia < 1 tahun keluhan buang air besar cair, frekuensi 5x/hari, muntah (+), malas minum. Pemeriksan fisik: mata cekung, turgor kembali lambat, nadi lambat. Sesuai dengan definisinya, anak ini mengalami diare cair akut, yaitu buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih sering dari biasanya dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari. Terdapat lima lintas tatalaksana diare yang direkomendasikan IDAI: 1. Rehidrasi 2. Dukung nutrisi 3. Suplemen zinc 4. Antibiotik selektif 5. Edukasi orang tua Salah satu komplikasi diare yang paling sering adalah dehidrasi sehingga dalam pemberian cairan yang tepat perlu disesuaikan dengan derajat diare: KATEGORI TANDA DAN GEJALA 2 atau lebih tanda berikut: Dehidrasi berat Letargi atau penurunan kesadaran Mata cowong Tidak bisa minum atau malas minum Cubitan kulit kembali dengan sangat lambat (> 2 detik) Dehidrasi tak berat 2 atau lebih tanda berikut:

Tanpa dehidrasi

Gelisah Mata cowong Kehausan Cubitan kulit kembali dengan sangat lambat (> 2 detik) Tidak ada tanda gejala yang cukup untuk mengelompokkan dalam dehidrasi berat atau tak berat

Berdasarkan klasifikasi di atas,kasus ini memenuhi kriteria dehidrasi berat. Tatalaksanan dehidrasi berat menggunakan rencana terapi C. Pasien dalam kasus ini sudah berada di puskesmas, berarti terdapat akses intravena (I.V.). Segera berikan 100 cc/kgBB cairan Ringer Laktat (RL) (atau cairan normal salin, atau ringer asetat bila RL tidak tersedia), sebagai berikut: Pemberian Pertama Pemberian Kedua 30ml/kg dalam 70 cc/kg dalam Bayi < 1 tahun 1 jam 5 jam Anak 1-5 tahun 30 menit 2 ½ jam Daftar pustaka: Modul Diare. UKK Gastro-Hepatologi IDAI Edisi Pertama 2009. 27. E. Dermatografisme Pembahasan: Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit yang ditandai dengan adanya edema setempat yang timbul cepat dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, bagian tepi meninggi, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subjektif berupa sensasi gatal disertai rasa tertusuk atau tersengat. Klasifikasi berdasrkan lamanya serangan dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Urtikaria akut (bila berlangsung < 6 minggu) 2. Urtikaria kronis (bila berlangsung > 6 minggu) Kriteria diagnostik - Keluhan subjektif: gatal, rasa panas, tersengat, terbakar atau tertusuk - Predileksi: kulit dan mukosa, lokal maupun generalisata - Urtikaria dengan atau tanpa angioedema, bila dengan angioedema dapat sulit bernapas, juga dengan atau tanpa kelainan sistemik - Bila mengenai submukosa, subkutis, dan organ lainnya dapat angioedema. - Bentuk urtikaria: teratur atau tak beraturan - Ukuran: bervariasi dari miliar, lentikuler sampai plakat - Pada urtikaria fisik dapat berbentuk linear (dermografism) atau bentuk yang mengikuti bentuk tekanan. - Urtikaria akibat penyinaran biasanya berbentuk popular urtikaria, terjadi 18-72 jam setelah paparan.

-

Urtikaria kolinergik, timbul setelah berkeringat, gatal, ukurannya kecil kemudian meluas dan melebar. - Gejala sistemik yang menyertai: pusing, sakit kepala, mual dan muntah, nyeri perut dan diare, serta dapat kesulitan bernapas. Pemeriksaan penunjang: - Pemeriksaan laboratorium darah rutin, urine, feses untuk mencari infeksi lokal - Pemeriksaan jumlah eosinofil dalam darah tepi, kadar IgE dalam darah - Pada dugaan urtikaria dingin: cyroglobulin, cold hemolysin - Uji kulit dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi kulit (minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang) dan memenuhi syarat uji kulit. Dilakukan ditahap lanjut: uji dermografism, uji ice cube, uji temple tertutup, uji tusuk bila uji temple negative, uji provokasi peroral bila uji tusuk negative, uji serum autolog. Tes foto temple dilakukan pada urtikaria akibat fotosensitivitas. - Tes mecholyl intradermal bila diduga urtikaria kolinergik. - Uji eliminasi makanan bila diduga alergi terhadap makanan. Sehingga pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skenario tersebut adalah dengan dermatografisme.

28. C. Mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan pasien, hal ini wajar pada setiap wanita dan berlangsung fisiologis Klimakterium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium. Menopause adalah haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir. Bagian klimakterium sebelum menopause disebut premenopause dan sesudah menopause adalah pascamenopause. Senium adalah masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis. Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal, yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Pada wanita dalam klimakterium terjadi perubahan-perubahan tertentu yang dapat menimbulkan gangguangangguan ringan atau kadang-kadang berat. Perubahan dan gangguan itu sifatnya berbeda-beda menurut waktunya klimakterium. Pada permulaan klimakterium kesuburan menurun, pada masa pramenopause terjadi kelainan pendarahan, sedangkan terutama pada masa pascamenopause terdapat gangguan vegetatif, psikis, dan organis. Gangguan vegetatif biasanya berupa rasa panas

dengan keluarnya keringat malam, dan perasaan jantung berdebar-debar. Dalam masa pascamenopause, dan seterusnya dalam senium, terjadi atrofi alat-alat genital. Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 29. B. Respiratory Disstress Syndrome Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas didapatkan bahwa bayi tersebut mengalami sindrom gawat napas yang dapat disebabkan karena bayi lahir saat umur kehamilan ibu 34 minggu sehingga paru-paru belum matur sehingga menyebabkan bayi mengalami gawat napas. Sindrom gawat napas (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. Gangguan pernapasan ini sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnoe (> 60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA. Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, pendarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara di antara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS. Etiologi RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS, yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesarea. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur di mana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.

Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH). Patofisiologi Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernapasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). Manifestasi Klinis Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS, yaitu: 1) Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. 3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. 4) Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat. Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe: 0 Frekuensi < 60x/menit Napas Tidak ada Retraksi retraksi Tidak sianosis Sianosis

Air Entry Udara masuk Merintih Tidak merintih

1 60-80 x/menit

2 > 80x/menit

Retraksi ringan

Retraksi berat

Sianosis hilang dengan O2

Sianosis menetap walaupun diberi O2

Penurunan ringan udara masuk Dapat didengar dengan Dapat didengar stetoskop tanpa alat bantu

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe gangguan pernapasan ringan Skor < 4 gangguan pernapasan sedang Skor 4 – 5 gangguan pernapasan ringan (pemeriksaan gas darah Skor > 6 harus dilakukan) Penunjang/Diagnostik Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn Test Blood culture

Indication May indicate bacteremia Not helpful initially because results may take 48 hours Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually used unless high oxygen requirement) Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection count with differential

Lumbar puncture Pulse oximetry

Neutropenia correlates with bacterial infection Low hemoglobin level shows anemia High hemoglobin level occurs in polycythemia Low platelet level occurs in sepsis If meningitis is suspected Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation

Komplikasi Penyakit Komplikasi jangka pendek dapat terjadi: 1. Kebocoran alveoli: apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap. 2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: pendarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi: 1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi. 2. Retinopathy of Premature (ROP) 3. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi. Referensi: HanifaWiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 30. B. 5/10 Pembahasan: - Case Fatality Rate adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan kegawatan/keganasan penyakit tersebut.

CFR

-

-

jumlah kematian penyakit X 100% jumlah kasus penyakit X

Sehingga berdasarkan kasus tersebut CFR = 5/10 Crude Death Rate adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi jumlah penduduk pada pertengahan tahun. jumlah semua kematian CDR k (konstanta) jumlah semua penduduk jumlah semua kematian CDR k (konstanta) jumlah semua penduduk Maternal Mortality Rate Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/melahirkan/nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup. jumlah kematian ibu MMR 100.000 jumlah kelahiran hidup

31. E. Neuromuscular junction Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun di mana antibodi terbentuk terhadap reseptor acetylcholine postsynaptic pada Neuromuscular Junction (NMJ) otot skelet, hal ini mengakibatkan penurunan reseptor acetylcholine di membran post synaps sehingga menimbulkan karakteristik perlemahan otot skelet yang progresif setelah aktivitas dan diikuti perbaikan kekuatan setelah istirahat. Neuromuscular junction adalah penghubung antara sistem saraf dengan otot, hubungan ini dibentuk antara serabut saraf efferen dengan serabut otot melalui celah yang disebut synaps.

Kontraksi otot normalnya terjadi setelah aktivasi reseptor acetylcholin post sinap menyebabkan influx ion Na+ ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel otot diikuti terbukanya kanal natrium, diikuti keluarnya kalsium dari retikulum sarkoplasma. Ketika

jumlah kalsium dalam otot telah mencapai threshold, maka terjadi kontraksi otot. Penurunan jumlah reseptor acetylcholin karena antibodi yang terbentuk pada MG mengakibatkan gangguan kontraksi karena depolarisasi tidak terjadi. Otot-otot kecil seperti otot ocular dan bulbar merupakan bagian yang paling umum terimbas dan paling berat gejalanya, meskipun kebanyakan penderitanya mengalami kelemahan umum dengan berbagai tingkat keparahan. Myasthenia gravis dapat berevolusi menjadi kegawatan yang mengancam jiwa apabila terjadi perburukan akut menyebabkan kelemahan generalisata terutama otot-otot pernapasan. Myasthenia Gravis kini merupakan keadaan yang dapat diobati bahkan disembuhkan, terapi farmakologi seperti anticholinesterase yang mencegah degradasi acetylcholin, obat-obat antisupresan untuk mencegah terbentuknya antibodi, dan terapi plasmapharesis serta imunoglobulin intravena (IVIG) telah tersedia pada masa sekarang. Referensi: Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. 2008. Lifetime course of myasthenia gravis. Muscle Nerve;37(2):141-9. McGrogan A, Sneddon S, de Vries CS. 2010. "The incidence of myasthenia gravis: a systematic literature review".Neuroepidemiology 34 (3): 171–183 Gambar diperoleh dari http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=200734 32. A. Gangguan konversi Pembahasan: Pada kasus di atas terdiagnosis Gangguan Konversi di mana untuk diagnosis pasti harus memiliki kriteria di bawah ini, yaitu: a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44 (adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh). b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan problem dan peristiwa yang “stressfull” atau hubungan interpersonal yang terganggu. Hipokondriasis: kriteria diagnostik pasti hipokondriasis di antaranya sebagai berikut. a) Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun adanya preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampakan. b) Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya. Gangguan Somatisasi: diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut di antaranya: a) Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya dasar kelainan fisik yang memadai, yang sudah berlangsung sekurangnya 2 tahun.

b) Selalu tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya. c) Terdapat hendaya dalam taraf tertentu dalam berfungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhannya dan dampak pada perilakunya. Malingering merupakan suatu perilaku berpura-pura terkena penyakit (bahkan dengan mencederai diri) yang dengan sengaja ditimbulkan karena alasan tertentu, yang umumnya timbul untuk maksud tertentu seperti menghindari hukuman, ingin mendapatkan kompensasi, mencari sensasi, dan sebagainya. Sindroma malingering terdiri dari gejala fisik berupa: (1) Dibuat sesuai keinginan dan kesadaran pasien (di bawah kendali volunter) dengan tujuan yang jelas yang dapat dikenali dari situasi lingkungannya (dalam rangka menghindari kewajibab tertentu yang ingin dihindari). (2) Penyajian bentuk gejala dapat berupa: a. seluruhnya dibuat-buat, misalnya mengeluh nyeri perut yang hebat seperti kolik ginjal b. dengan sengaja menimbulkan penyakit, misalnya menyuntikkan air liur ke dalam kulit c. melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada sebelumnya, misalnya membiarkan dirinya disuntik penisilin padahal mengetahui bahwa dirinya alergi terhadap obat tersebut. Gejala fisiknya berupa: a. dibuat sesuai kehendak pasien dengan tujuan yang jelas b. gejala-gejala yang muncul tidak sesuai dengan ciri-ciri gangguan seperti biasanya. Factitious disorders atau gangguan buatan adalah suatu kondisi di mana orang memperlihatkan bahwa ia mempunyai penyakit fisik atau mental, yang mana sebenarnya dia tidak benar sakit. Para penderita FD ini memperlihatkan sakitnya kepada orang-orang di sekitar mereka yang tidak memperhatikan mereka. Pada dasarnya FD ini berkaitan dengan kondisi psikiatrik di mana individu berpura-pura dalam memerankan sakitnya yang maksudnya hanya untuk memperlihatkan saja. Pada gangguan buatan ini pasien secara sengaja menghasilkan tanda gangguan medis atau mental dan salah menggambarkan (misrepresent) riwayat penyakit dan gejalanya. Tujuan satu-satunya yang tampak dari perilaku adalah mendapatkan peranan dari seorang pasien. Kriteria diagnostik untuk gangguan buatan adalah sebagai berikut: a. Menimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat tanda atau gejala fisik atau psikologis. b. Motivasi untuk perilaku adalah untuk mendapatkan peranan sakit (sick role). c. Tidak terdapat keuntungan eksternal untuk perilaku (seperti tujuan ekonomi, menghindari tanggung jawab hukum, atau memperbaiki kesejahteraan fisik seperti pada malingering). Sumber: - Anonima, Mental Health: Factitious Disorder, August 08th, 2006, available at http://www.webmd.com/content/article/60/67132.htm

-

Elwyn, Todd S., Factitious Disorders, http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe

April

13th,

2006,

available

at

33. A. Keratitis Bakteri gram negatif Disebut bakteri gram negatif karena bakteri ini mempunyai sifat kebalikan dari bakteri gram positif, yaitu apabila bakteri tersebut diberi pewarna gram dan diamati dengan menggunakan mikroskop maka warnanya akan berubah menjadi merah. Hal ini terjadi karena bakteri gram negatif memiliki struktur lapisan peptidoglikan yang sangat tipis serta kandungan lemak penyusun dindingnya sangat tinggi. Beberapa contoh bakteri yang termasuk bakteri gram negatif adalah Salmonella typhi, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella pneumonia. Kelompok

Obat

Aminoglycosides

Amikacin, Astromicin, Dibekacin, Dihydrostreptomycin, Framycetin, Gentamicin, Isepamicin, Kanamycin,Micronomicin, Neomycin, Netilmicin, Paromomycin, Sisomicin, Streptomycin, Tobramycin

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda atau interstisial (Ilyas, 2004) Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. 1. Berdasarkan lapisan yang terkena. Keratitis dibagi menjadi: a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel) Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004). b. Keratitis Marginal Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004). c. Keratitis Interstisial Keratitis interstitial adalah kondisi serius di mana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich, 1993).

2. Berdasarkan penyebabnya Keratitis diklasifikasikan menjadi: a. Keratitis Bakteri Etiologi Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).

Gejala klinis Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur (Kanski, 2005). Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea. Pemeriksaan laboratorium Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram (Biswell, 2010).

b. Keratitis Jamur Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland, 2000). Etiologi Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan: 1) Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa. 2) Jamur bersepta: Furasium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp., Cladosporium sp., Penicillium sp., Paecilomyces sp., Phialophora sp., Curvularia sp., Altenaria sp.. 3) Jamur tidak bersepta: Mucor sp., Rhizopus sp., Absidia sp. 4) Jamur ragi (yeast), yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Cryptococcus sp., Rodotolura sp. 5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp., Coccidiodidies sp., Histoplastoma sp., Sporothrix sp. Gejala klinis Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut: 1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama. 2) Lesi satelit. 3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh. 4) Plak endotel. 5) Hipopion, kadang-kadang rekuren. 6) Formasi cincin sekeliling ulkus. 7) Lesi kornea yang indolen. 34. A. Karsinoma nasofaring

Gejala klinis khas pada kasus ini adalah adanya benjolan dalam cavum nasi sejak 3 bulan yang lalu. Hal ini mengarah pada kronisitas dan keganasan. Manifestasi klinis karsinoma nasofaring dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: Gejala nasofaring sendiri Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawag mukos (creeping tumor). Gejala telinga Gangguan pada teinga yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan berupa tinnitus dan rasa tidak nyaman di telinga sampai nyeri (otalgia). Gejala mata dan saraf Gangguan pada saraf dapat mengenai N.III – N.XII. Gejala yang muncul adalah diplopia, neuralgia trigeminal, sindrom Jackson, dan destruksi tulang tengkorak. Metastase atau gejala di leher Metastase ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.

Sumber: 1. Roezin, et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 183 2. Kelompok Studi Perhati – KL. 2007. Guideline Penyakit THT-KL. 35. D. Volume meningkat, osmolaritas menurun Pada keadaan dehidrasi menimbulkan penurunan volume cairan ekstra seluler (CES) terutama jika kehilangan Na+ melalui keringat. Hal ini akan menyebabkan tekanan osmotik efektif plasma meningat dan akan terjadi peningkatan sekresi vasopresin serta perangsangan mekanisme haus. Air akan diretensi oleh tubuh, dan terjadi pengenceran plasma yang hipertonik ini serta terjadi pemasukan air yang meningkat. Peningkatan osmolalitas CES

Rasa Haus

Peningkatan sekresi vasopresin

Peningkatan masukan air

retensi air

Pengenceran CES

Mekanisme mempertahankan tonisitas CES. *Garis terputus-putus menggambarkan inhibisi (J. Fitzsimmons) Rangkuman stimulus (pengaturan) rasa haus: Peningkatan Rasa Haus Penurunan Rasa Haus Osmolalitas Osmolalitas Volume darah Volume darah Tekanan darah Tekanan darah Angiotensin II Angiotensin II Kekeringan mulut

Distensi lambung

Referensi: Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. EGC. Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC. 36. D. Hernia ireponibel Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Penyebab dari hernia adalah adanya peningkatan tekanan intraabdominal akibat adanya tindakan valsava maneuver seperti batuk, mengejan, mengangkat

benda berat atau menangis. Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah faktor congenital, yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu kehamilan yang dapat menyebabkan masuknya isi rongga perut melalui kanalis inguinalis, faktor yang kedua adalah faktor yang didapat seperti hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat dan faktor usia, masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika cukup panjang maka akan menonjol keluar dari anulus ingunalis eksternus. Apabila hernia ini berlanjut tonjolan akan sampai ke skrotum karena kanal inguinalis berisi tali sperma pada lakilaki, sehingga menyebakan hernia. Klasifikasi hernia berdasarkan sifatnya adalah: Hernia reponibel Bila isi hernia dapat keluar masuk, tetapi kantungnya menetap. Isinya tidak serta merta muncul secara spontan, namun terjadi bila disokong gaya gravitasi atau tekanan intraabdominal yang meningkat. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. Hernia ireponibel Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun sumbatan usus. Hernia ireponibel mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadi obstruksi dan strangulasi daripada hernia reponibel. Hernia akreta Yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium kantong hernia. Hernia inkarserata Yaitu bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia. Hernia ireponibel yang mengalami obstruksi dapat juga disebut dengan inkarserata. Nyeri dan muntah muncul saat erjadi inkarserasi karena ileus. Hernia strangulata Suplai darah untuk isi hernia terputus. Kejadian patologis selanjutnya adalah oklusi vena dan limfe; akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan pembengkakan lebih lanjut; dan sebagai konsekuensinya peningkatan tekanan vena. Terjadi perdarahan vena, dan berkembang menjadi lingkaran setan, dengan pembengkakan akhirnya mengganggu aliran arteri. Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Jika isi hernia abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis yang terjadi bersifat steril, tetapi strangulasi usus yang paling sering terjadi dan menyebabkan nekrosis yang terinfeksi (gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi permeabel terhadap bakteri, yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan dari sana menuju pembuluh darah. Usus yang infark dan rentan, mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong hernia) dan cairan lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial menyebabkan peritonitis. Terjadi syok sepsis dengan gagal sirkulasi dan kematian. Hernia didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan penunjang jarang dilakukan dan jarang memiliki nilai. Info tambaha : Seringkali muncul pertanyaan mengenai hernia inguinalis dan membedakan antara hernia inguinalis direk dan indirek. Berikut dilampirkan pembahasan singkat.

Usia

Perbedaan Hernia Inguinalis Indirek Dan Hernia Inguinalis Direk Indirek Direk Usia berapapun, terutama Usia lebih tua muda

Penyebab Bilateral Penonjolan saat batuk Muncul saat berdiri Reduksi saat berbaring Penurunan ke skrotum Oklusi cincin internus Leher kantong Strangulasi Hubungan dengan pembuluh darah epigastrik inferior

Kongenital 20% Oblik Tidak segera mencapai ukuran terbesarnya Tidak tereduksi dengan segera Sering Terkontrol Sempit Tidak jarang Lateral

Didapat 50% Lurus Mencapai ukuran terbesar dengan segera Tereduksi segera Jarang Tidak terkontrol Lebar Tidak biasa Medial

Sumber: 1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta, EGC, Hal: 523-537 2. Sabiston. 1995. Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua. Jakarta : EGC. Hal : 228, 243. 3. Henry MM, Thompson JN. 2005. Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier Saunders, page 431-445. 37. A. Paraphimosis

Parafimosis adalah keadaan di mana preputium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup. Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak. Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993). Balanitis adalah infeksi pada glans penis (kepala penis) yang dapat terjadi pada mereka yang tidak bersunat karena masalah higiene yang buruk. Gejalanya berupa bengkak pada kepala penis dan bisa disertai nyeri. Umum dialami pada pria, khususnya pria yang tidak disunat. Biasanya infeksi ini disebabkan oleh preputium atau kulup yang menutupi glans penis dan jarang dibersihkan dan menjadi tempat berkumpulnya smegma, suatu lapisan pelumas bersifat lemak yang karena bercampur dengan tetesan urine dapat menimbulkan bau tak sedap. Akumulasi smegma yang berlebihan dapat menciptakan suatu kondisi bernama balanitis, suatu peradangan akibat keikutsertaan bakteri dalam tumpukan smegma menginfeksi glans penis. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada

dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi. Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis. Penyebab Orchitis, antara lain: Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis). Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke 4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening. Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya Coxsackievirus, Varicella, dan Echovirus. Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis, yakni infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis). 38. E. Nekrosis Koagulatif Nekrosis Koagulatif ditandai dengan pembentukan substansi gelatinous pada jaringan yang mati, dengan bentuk sel tetap. Koagulasi terjadi karena proses denaturasi protein, menyebabkan albumin menjadi zat putih padat. Nekrosis tipe ini terjadi pada keadaan hipoksik seperti infark jaringan, dapat terjadi terutama pada ginjal, jantung, dan kelenjar adrenal. Iskemia berat merupakan penyebab tersering nekrosis koagulatif.

Area yang mengalami nekrosis koagulatif pada jantung (panah kuning) Nekrosis Kaseosa dapat dianggap sebagai perpaduan dari nekrosis koagulatif dan likuefaktif, khas disebabkan oleh mycobacteria (ex. Tuberculosis), jamur, atau beberapa zat kimia. Jaringan nekrosis membentuk substansi putih lembek seperti keju yang mencair-perkejuan. Sel yang mati terdisintegrasi namun tidak sepenuhnya tercerna, meninggalkan partikel granular (granuloma). Pengamatan dengan mikroskop menampakkan debris granular amorphous dikelilingi peradangan berbatas tegas. Nekrosis Fibrinoid merupakan bentuk nekrosis pembuluh darah spesifik yang diperantarai oleh proses imun, ditandai dengan terbentuknya deposit komplek antigenantibodi beserta fibrin yang ditemukan dalam dinding arteri. Nekrosis Likuefaktif berkebalikan dengan nekrosis koagulatif, ditandai dengan perubahan sel mati menjadi bentuk massa cair. Proses ini khas pada infeksi bakterial

(terkadang fungal), yang menyebabkan respons inflamasi. Massa cair yang terbentuk sering berwujud kekuningan karena adanya leukosit yang mati, dikenal dengan pus. Infark pada otak sering menghasilkan nekrosis tipe ini, karena otak mengandung sedikit jaringan ikat, dan banyak terdapat enzim cerna; sehingga sel yang ada segera terdegradasi oleh enzim tersebut. Nekrosis Enzimatik spesifik terjadi pada jaringan lemak disebut juga nekrosis lemak, terjadi karena kerja enzim lipase teraktivasi pada jaringan berlemak seperti pankreas. Sebagai contoh, apabila terjadi pankreatitis akut yang menyebabkan enzim-enzim pankreas akan keluar ke rongga peritonium menyebabkan reaksi saponifikasi lemak melibatkan ion kalsium, magnesium, dan natrium membentuk substansi putih menyerupai kapur. Deposit kalsium yang terbentuk biasanya cukup besar dan dapat tampak pada pemeriksaan radiografis. Referensi: Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N. & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran Pathological Basis of Disease. 8 edn, (Saunders Elseveir). McConnell, T. H. 2007. The Nature of Disease: Pathology for the Health Professional. (Lippincott Williams & Wilkins).

39. D. 5 cc/KgBB/jam Pendekatan diagnosis demam: Algoritma Kasus (Susyanto,2011) Demam 1-7 hari

Tentukan ada/ tidaknya infeksi lokal

Tidak Tentukan apakah penderita malaria/bukan Bukan malaria

Tentukan apakah ada gejala/ tanda infeksi dengue

Ya

Tidak ada

Tentukan adakah tanda kebocoran plasma

Ya

Tidak ada

DHF

DF

Tentukan derajat DHF

Tentukan tatalaksana DHF = Dengue Haemmorragic Fever; DF = Dengue Fever

Ya Diagnosis sesuai fokal Tetap pertimbangkan kemungkinan infeksi sistemik

DIAGNOSIS DEMAM

DIDASARKAN PADA KEADAAN Demam atau riwayt demam mendadak tinggi selama 2-7 hari Manifestasi pendarahan (sekurangkurangnya uji bendung positif) Infeksi virus dengue : demam dengue, Pembesaran hati demam brdarah denguee, dan Sindrom Tanda-tanda gangguan sirkulasi syok dengue Penngkatan nilai hematokrit, trombositopenia (100 000/μl atau kurang), dan leukopenia Ada riwayat keluarga atau tetangga sekitar menderita atau tersangka demam berdarah dengue DIAGNOSIS DHF Demam: tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari Terdapat manifestasi pendarahan ditandai dengan: uji bendung positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena Kriteria Klinis Pembesaran hati Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dantangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) danpasien tampak gelisah. Trombositopenia (100 000/μl atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut: Kriteria Laboratorium - Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar - Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan - Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia. DIAGNOSIS DITEGAKKAN JIKA MEMENUHI KRITERIA: 2 DARI KRITERIA KLINIS + THROMBOSITOPENIA DAN HEMOKONSENTRASI ATAU PENINGKATAN HEMATOKRIT HEMATOKRIT 2 DARI KRITERIA KLINIS + HEPATOMGALI SUGGESTIVE DHF SEBELUM MUNCUL TANDA ADANYA KEBOCORAN PLASMA

Setelah ditentukan diagnosisnya, maka dalam penatalaksanaannya disesuaikan dengan derajat demam dengue. Derajat penyakit demam dengue diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Manajemen of DHF grade I, II (kasus non-syok) Manajemen caiaran penunjang (oral+i.v.) untuk DHF grade I, II, yaitu kebutuhan maintenan cairan dalam sehari (M) + 5% defisit (oral dan i.v. secara bersamaan) diberikan dalam waktu 48 jam. Kecepatan cairan IV yang diberikan ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Daftar Pustaka: 1. Susyanto, M.B.E.S. 2011. Anak dengan Demam 1-7 Hari dalam Study Guide Panduan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak. Program Pendidikan Profesi Dokter FKIK UMY 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed. 3. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.

40. B. Pemberian tranfusi PRC Analisis kasus pada soal ini: Keluhan: Anak 3 tahun, pucat sejak 1 bulan yang lalu, tampak malas bermain, mudah lelah dan nafsu makan menurun. Berdasarkan informasi keluhan, kasus ini mengarah pada anemia berat. Pemeriksaan fisik: Inspeksi: mukosa bibir pucat - Auskultasi: bising sitolik derajat 3/6 Pada anak-anak seringkali terdengar bising sistolik yang innocent. Pada keadaan anemia dan keadaan demam seringkali terdengar bising jantung faali, dalam hal ini kita sebut hemic murmur yang tidak menunjukkan kelainan jantung organik. Hal ini disebabkan aliran darah yang menjadi lebih cepat dari biasa dan kepekatan darah yang menurun. Bising inosen adalah bising yang tidak berhubungan dengan kelainan organik atau kelainan struktural jantung. Bising ini sering sekali ditemukan pada anak normal; pada lebih dari 75% anak normal pada suatu saat dapat ditemukan bising inosen. Bising ini dibedakan dari bising fungsional, yaitu bising akibat hiperaktivitas fungsi jantung sehingga curah jantung meningkat, misalnya pada anemia atau tirotoksikosis. Karakteristik bising inosen: 1. Hampir selalu berupa bising ejeksi sistolik, kecuali dengan vena (venous hum) dan bising a. Mamaria (mammary soufle) yang bersifat bising kontinu. 2. Berderajat 2/6 atau kurang, sehingga tidak disertai getaran bising Penjalarannya terbatas, meskipun kadang-kadang dapat terdengar pada daerah luas di prekordium. 3. Cenderung berubah intensitasnya dengan perubahan posisi; biasanya bising ini terdengar lebih baik bila pasien terlentang dan menghilang atau melemah bila pasien duduk, kecuali pada dengung vena yang justru baru dapat terdengar bila pasien duduk. 4. Tidak berhubungan dengan kelainan struktural jantung. Maka bising yang ditemukan pada kasus ini bukan merupakan pertanda gagal jantung. Pemeriksaan Laboratorium: Hb: 4.5, Ht: 22%, MCV: 56, MCH: 24, RDW: 16%, Leukosit: 6.000, Trombosit: 220.000, LED 1 jam: 8mm, LED 2 jam: 15mm, Hitung retikulosit: 4%. Batasan anemia berdasarkan umur:

Kadar Hb pada anak ini < 12,5 g/dL sehingga dapat dikatakan anemia. Pendekatan etiologi dan jenis anemia pada anak dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV), pada klasifikasi jenis ini, anemia dalam kasus ini termasuk anemia mikrositik (MCV kurang dari 80 fL) dan nilai MCH (mean concentration hemoglobin) = 24 pg termasuk rendah (normal 26-32 pg) sehingga dalam kasus ini didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Nilai RDW meningkat (RDW normal 11,5-14,5%) peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel. Klasifikasi anemia berdasarkan MCV dan RDW:

Berdasarkan analisis di atas, anak dalam kasus ini mengalami Anemia Defisiensi Besi, (thalasemia disingkirkan karena tidak ada hepatosplemomegali) sesuai teori pada anamnesa ditemukan gejala dan tanda sebagai berikut: a. Keluhan anemia pada umumnya: iritabel, lesu, cepat lelah, kurang perhatian, perkembangan kepandaian lambat, Hb rendah. b. Kardiomegali, bising sistolik, gangguan pertumbuhan epitel. c. Glositis, stomatitis, atropi papil lidah, sudut bibir pecah-pecah. Penatalaksanaan anemia: Berdasarkan WHO (2013), Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%) tanpa gizi buruk, maka anemia diterapi dirumah dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Indikasi transfusi: Beri transfusi darah sesegera mungkin untuk: Semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan beberapa tampilan klinis berikut: o Dehidrasi yang terlihat secara klinis o Syok o Gangguan kesadaran

Gagal jantung o Pernapasan yang dalam dan berat o Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit). o

Derajat bising, yang dibagi dalam skala 1-6: 1. Derajat I, bising sangat lemah yang hanya terdengar oleh pemeriksa yang berpengalaman di tempat yang tenang. 2. Derajat II, bising lemah tapi mudah di dengar, penjalaran terbatas. 3. Derajat III, bising cukup keras, tidak disertai dengan getaran bising, penjalaran sedang sampai luas. 4. Derajat IV, bising yang keras dengan disertai getaran bising, penjalaran luas. 5. Derajat V, bising keras, yang juga terdengar meskipun stetoskop tidak seluruhnya menempel di dinding thoraks, penjalaran luas. 6. Derajat VI, bising sangat keras, terdengar bila stetoskop diangkat 1 cm dari dinding thoraks, Penjalaran sangat luas. Daftar Pustaka: 1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010. 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed 3. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. www.uptodate.com 4. Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p : 3-16. 5. Markum. H.M.S. 2005. Anamnesis dan Pemriksaan Fisis. Hal; 95-100, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 6. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. 2008. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders.

41. C. Pemberian cairan intravena 250 cc dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 600 cc dalam 5 jam pertama Pada kasus di atas anak mengalami diare dengan dehidrasi berat. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya anak tampak lemas, tidak mau menyusu, dan turgor elastisitas kulit kembali sangat lambat ≥ 2 detik.

Sumber: World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.

42. C. Karbunkel Pembahasan: Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis pada folikel rambut yang disebabkan oleh Staphylococus aureus gram positif. Terdapat dua tipe, yaitu folikulitis superfisialis dan folikulitis profunda. Lesi berupa pustul dengan dasar eritematosa dan predileksi paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas. Faktor yang mempengaruhi timbulnya folikulitis diantaranya adalah paparan senyawa kimia ditempat kerja, penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi, higiene yang buruk, DM, kelelahan dan kurang gizi. Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu singkat membesar membentuk nodula eritematosa. Penyebabnya adalah staphylococcus aureus. Predileksi pada bagian tubuh yang berambut dan mudah terkena iritasi, gesekan atau tekanan atau daerah yang lembap seperti ketiak, bokong, punggung, leher, dan wajah. Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit diantaranya adalah higiene yang kurang, musim psanas karena sering berkeringat, obesitas, DM, hiperhidrosis, anemia, stress emosional. Karbunkel adalah gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal dari jaringan subkutan yang padat. Biasanya terasa nyeri pada lesi dan malaise. Lesi berupa makula eritematosa yang kemudian menjadi nodula lentikuler hingga numuler, regional, bentuk teratur dan tampak fistula mengeluarkan pus. Predileksi pada daerah tengkuk, punggung dan bokong. Faktor yang mempengaruhi timbuknya karbunkel adalah higiene yang kurang, DM, hiperhidrosis, obesitas, lingkungan yang kotor.

Hidradenitis suppurativa adalah penyakit kulit yang mengenai kelenjar apokrin yang menuju ke kulit. Ditandai dengan adanya nodul bulat yang berulang, nyeri, yang dapat membentuk abses dan sinus dengan supurasi dan jaringan parut hipertrofik dari kelenjar apokrin. Faktor resiko yang mempengaruhi adalah genetik, hormonal dan imunologi. Lesi berupa nodul yang terasa nyeri kemudian menjadi abses, sinus, scar. Predileksi pada aksila, pangkal paha, perineum dan perianal, bokong, lipatan mamae dan intermamae.

43. B. Kondom Pada umumnya klien pascapersalinan ingin menunda kehamilan berikutnya paling sedikit 2 tahun lagi, atau tidak ingin tambahan anak lagi. Konseling tentang keluarga berencana atau metode kontrasepsi sebaiknya diberikan sewaktu asuhan antenatal maupun pascapersalinan. Klien pascapersalinan dianjurkan: Memberi ASI eksklusif (hanya memberi ASI saja) kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan. Sesudah bayi berusia 6 bulan diberikan makanan pendamping ASI, dengan pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun.

Tidak menghentikan ASI untuk mulai suatu metode kontrasepsi. Metode kontrasepsi pada klien menyusui dipilih agar tidak mempengaruhi ASI atau kesehatan bayi. INFERTILITAS PASCAPERSALINAN Pada klien pascapersalinan yang tidak menyusui, masa infertilitas rata-rata berlangsung sekitar 6 minggu. Pada klien pascapersalinan yang menyusui, masa infertilitas lebih lama. Namun, kembalinya kesuburan tidak dapat diperkirakan. METODE AMENOREA LAKTASI (MAL) Menyusui secara eksklusif merupakan suatu metode kontrasepsi sementara yang cukup efektif, selama klien belum mendapat haid, dan waktunya kurang dari 6 bulan pascapersalinan. Efektivitas dapat mencapai 98%. Efektif bila menyusui lebih dari 8 kali sehari dan bayi mendapat cukup asupan per laktasi. SAAT MULAI MENGGUNAKAN KONTRASEPSI Waktu mulai kontrasepsi pasca persalinan tergantung dari status menyusui. Metode yang langsung dapat digunakan adalah: Spermisida Kondom Koitus interuptus Klien menyusui: Klien menyusui tidak memerlukan kontrasepsi pada 6 minggu pascapersalinan. Pada klien yang menggunakan MAL waktu tersebut dapat sampai 6 bulan. Jika klien menginginkan metode selain MAL, perlu didiskusikan efek samping metode kontrasepsi tersebut terhadap laktasi dan kesehatan bayi. Sebagai contoh pil kombinasi dan suntikan kombinasi merupakan pilihan terakhir. Pil kombinasi, meskipun dengan pil dosis rendah (30-35 µg EE) akan mengurangi produksi ASI, dan secara teoritis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan normal bayi pada 6-8 minggu pascapersalinan. Tunggulah 8-12 minggu pascapersalinan sebelum mulai pil kombinasi atau suntikan kombinasi. Referensi: Abdul Bari Saifuddin, dkk. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 44. C. Pertusis Diagnosis Banding Batuk Kronik

Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit. Diagnosis Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna: Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah Perdarahan subkonjungtiva Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.

Referensi: WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta. 45. B. M. leprae Pembahasan: Kriteria diagnosis Morbus Hansen (lepra, kusta), berdasarkan kriteria WHO 1997 terdapat tanda cardinal berupa: - Kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematosa dengan anestesi yang jelas. - Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi. - Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai 1 tanda utama tersebut. Penyebab MH adalah Mycobacterium leprae yang bersifat interseluler obligat, basil tahan asam, 1 – 8 x 0,2 – 0,5 mikron. Pada pemeriksaan histopatologik akan didapatkan sel Virchow (sel lepra, sel busa)

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) Pausi Basiler (PB) 1. Lesi Kulit - 1-5 lesi - Distribusi tidak simetris - Hilangnya sensasi yang jelas 2. Kerusakan saraf (menyebabkan - Hanya 1 hilangnya sensansi / kelemahan otot cabang saraf yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) 3. BTA -

Multi Basiler (MB) - >5 - Distribusi lebih simetris - Hilangnya sensasi kurang jelas - Banyak cabang saraf +

Klasifikasi Ridley Jopling (1960) membaginya menjadi: - Lepromatosa (LL) - Borderline Lepromatosa (BL) - MD Borderline (BB) - Tuberkuloid (TT) - Borderline Tuberkuloid (BT) - Intermediet (I)

1. 2. 3.

Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Multibasiler (MB) Sifat Lepromatosa (LL) Borderline MD Borderine Lepromatosa (BL) (BB) Lesi Bentuk Makula, Infiltrat Makula, plakat, Plakat, kubah, difus, papul, nodul papul punch Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, outdapat praktis tidak ada masih ada kulit dihitung, kulit kulit yang sehat yang sehat sehat jelas ada Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, berkilat Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas Anestesi Biasanya tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas BTA Lesi Kulit Banyak (ada Globus) Banyak Agak banyak Sekret hidung Banyak (ada Globus) Biasanya negatif Negatif Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Pausibasiler (PB) Sifat Turbekuloid Borderline Intermediate (I) (TT) Tuberkuloid (BT)

1. Lesi - Bentuk -

Jumlah

-

Distribusi Permukaan

Makula dibatasi Makula dibatasi infiltrat infiltrate, infiltrate saja Satu, dapat Beberapa saja atau beberapa satu dengan satelit Asimetris Asimetris Kering bersisik Kering bersisik

-

Batas

Jelas

Jelas

-

Anestesi

Jelas

Jelas

2. BTA - Lesi Kulit 3. Tes Lepromin

Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ negatif Positif kuat (3+) Positif lemah

Infiltrat saja Satu atau beberapa Variasi Halus, agak berkilat Dapat jelas, atau tidak Tidak ada sampai tidak jelas Biasanya negatif Positif lemah, atau negatif

Penatalaksanaan: Diberikan berdasarkan regimen Multi Drug Therapy (MDT) 1. Pausibasiler - Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas - DDS 100 mg/bulan A. Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan. 2. Multibasiler - Rifampisin 600 mg/bulan, dosis tunggal - Lamprene 300 mg/hari, dosis tunggal Ditambahkan - Lamprene 50 mg/hari - DDS 100/hari A. Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan Release From Treatment (RTF), meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+). Sumber: - Kokasih, A et all. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edn. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 73-88 - Barakbah, Jusuf et all. 2008. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 41-54 - WHO, diambil dari: http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf

46. D. Hookworm Hookworm Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada 2006; Prasetyo, 2003)

Trichuris trichiura Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembap dan tempat yang teduh. (Gandahusada, 2006 dan Prasetyo, 2003)

47. A. Ergotamin Migrain merupakan sebuah gangguan kompleks yang ditandai oleh perulangan episode nyeri kepala, unilateral, dan dalam beberapa keadaan berhubungan dengan gejala visual dan sensoridikenal dengan aura, yang sering muncul mendahului nyeri kepala namun dapat pula terjadi setelah serangan. Secara epidemiologi, migraine lebih banyak terjadi pada perempuan dan diduga kuat berhubungan dengan faktor genetik.

Pengobatan migraine terdiri dari terapi pada keadaan akut (abortive) dan preventif (profilaktik). Pasien dengan serangan berulang seringnya memerlukan keduanya. Penelusuran faktor pencetus migrain juga harus diidentifikasi untuk meminimalkan serangan ulang. Pengobatan dalam keadaan akut, bertujuan untuk membalikkan atau setidaknya menghentikan progresivitas nyeri kepala yang berlangsung. Pengobatan preventif tidak diberikan pada saat serangan, bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan serangan migraine, dan apabila terjadi episode serangan maka penderita akan lebih responsive terhadap pengobatan abortive. Prioritas pengobatan pada keadaan serangan seperti pada kasus selain terapi farmakologi juga meliputi menyediakan lingkungan yang mendukung seperti ruang istirahat yang gelap dan sunyi, karena penderita migrain dalam serangan serin mengalami photophobia dan phonophobia. Sejumlah pengobatan abortive dapat digunakan dalam keadaan serangan baik berupa analgesik tunggal ataupun dalam kombinasi dengan senyawa lain, selain itu terdapat pula golongan obat migraine-specific seperti triptan dan ergot alkaloid. Ergot dan dihydroergotamine merupakan pengobatan yang telah lama ada untuk migraine, dan terbukti memiliki efektivitas yang setara, dan harga yang lebih murah dibandingkam golongan triptan yang lebih baru. Referensi: American Academy of Neurology. 1995. Practice parameter: appropriate use of ergotamine tartrate and dihydroergotamine in the treatment of migraine and status migrainosus (summary statement). Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology;45(3 Pt 1):585-7. Bartleson JD, Cutrer FM. 2010. "Migraine update. Diagnosis and treatment". Minn Med 93 (5): 36–41. 48. E. 2 tahun bebas dengan penurunan dosis sebelumnya Syarat penghentian obat anti epilepsi: Penghentian penggunaan OAE dimulai 2 sampai 5 tahun bebas bangkitan kejang. 1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan 2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan 3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE: Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. Epilepsi simtomatik. Gambaran EEG abnormal. Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

Penggunaan OAE lebih dari 1. Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi. Referensi: Ahmed Z, Spencer S.S 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003.: Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. 49. C. Asosiasi longgar Pembahasan: - Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien dengan mengombinasikan suku kata lain. - Apraksia: suatu kondisi di mana seseorang tidak bisa lagi melakukan gerakan ketika diminta untuk melakukannya. Tidak ada yang salah dengan otot-ototnya. Orang tersebut juga memahami perintah dan ingin membuat gerakan, tetapi tidak dapat secara fisik melakukannya. - Asosiasi longgar: mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Contoh: “saya mau makan. Semua orang dapat berjalan”. Bila ekstrim, maka akan terjadi inkoherensi. Asosiasi yang sangat longgar dapat dilihat dari ucapan seorang penderita seperti berikut ini, “….Saya yang menjalankan mobil kita harus membikin tenaga nuklir dan harus minum es krim…”. - Ekolalia: pengulangan kata atau frasa seseorang oleh seseorang lain (psikopatologis), cenderung berulang dan menetap, dapat diucapkan dengan mengejek atau intonasi terputus-putus. - Logorrhoe: bicara yang banyak sekali, berkaitan atau berhubungan, dan logis. 50. B. Anticholinergik Pembahasan: Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut, tardiv diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson). a) Reaksi Distonia Akut (ADR) Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang

tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine. b) Akatisia EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. c) Sindrom Parkinson Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahuntahun. Manifestasinya meliputi: Akinesia: yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia. Tremor: khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap medikasi antikolinergik. Gaya berjalan membungkuk: menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan hilangnya ayunan lengan. Kekakuan otot: terutama dari tipe cogwheeling. d) Tardive Diskinesia Merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu memengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan. Faktor predisposisi

dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktivitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Penatalaksanaan: a) Reaksi Distonia Akut (ADR) Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit. b) Akatisia Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu. c) Sindrom Parkinson Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. d) Tardive Diskinesia Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gammaaminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi

depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan. 51. B. Oftalmoskopi Perimeter dan kampimeter: alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan terutama daerah sentral atau parasentral. Oftalmoskop: merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat fundus okuli. Terdapat 2 kegunaan, yaitu memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh seperti pada kornea, lensa dan badan kaca, serta memeriksa fundus okuli terutama retina dan papil saraf optik. Gonioskopi: dapat melihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai adanya glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut. Tonometri: suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan alat yang disebut tonometer. Dikenal beberapa alat tonometer seperti alat tonometer Schiotz dan tonometer aplanasi Goldman. Referensi: Ilyas, Sidarta. 2009. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI. 52. D. BPPV BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yag sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya. Diagnosis BPPV dapat dilakukan dengan melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus pada posisi tersebut. Pemeriksaan untuk memprovokasi timbulnya nistagmus adalah perasat Dix Hallpike, perasat side lying, dan perasat roll. Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat arah fase cepat nistagmus yang abnormal: Fase cepat ke atas, berptar ke kanan : BPPV kanalis posterior kanan Fase cepat ke atas, berputar ke kiri : BPPV kanalis posterior kiri Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan : BPPV kanalis anterior kanan Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri : BPPV kanalis anterior kiri Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior sebanyak 49% dan kanalis anterior sebanyak 12%. PERBEDAAN VERTIGO CENTRAL DAN PERIFER Gejala dan Tanda Perifer Sentral Onset Mendadak/bertahap Mendadak/bertahap Tingkat keparahan Berat Sedang

Paroksismal/Terus menerus Berkaitan dengan perbahan gerakan Mual, muntah Tipe nistagmus Intensitas nistagmus Penurunan pendengaran Gejala berkaitan CNS

Paroksismal

Konstan

Ya

Tidak

Sering dan mencolok Horizontal atau torsional, tidak pernah vertikal Intensitas menurun Kadang-kadang Tidak ada

Jarang dan ringan Horizontal, torsional, vertikal Tidak terpengaruh Sering Ada

Sumber: Bashiruddin, J. (2009). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 104-113. 53. A. Sindroma metabolic Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEPATP III), Sindrom Metabolik ditegakkan setidaknya memenuhi 3 kriteria berikut: 1. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2. Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L); 3. Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau 30kg/m2 Lingkar Obesitas sentral pinggang: dan atau pinggang (lingkar perut) L >102 cm, rasio perut- L >102 cm, Asia: P>88cm pinggul: P>88cm L>90 cm L >0,90 P>80 cm P>0,85 (nilai tergantung etnis) GD puasa ≥ DM tipe 2 atau GD puasa GD puasa ≥100 110 mg/dL TGT ≥100 mg/dL atau diagnosis mg/dL DM tipe 2 Mikroalbuminuri ≥20 µg/menit (rasio albumin: kreatinin ≥ 30)

3 DM tipe 2 atau Minimal 3 Obesitas sentral + 2 TGT dan 2 kriteria kriteria di atas kriteria di atas. Jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria Keterangan: TD = Tekanan Darah; L = Laki-laki; P = Perempuan; TG = Trigliserida; HDL-C = Kolesterol HDL; IMT = Indeks Massa Tubuh; DM = Diabetes Melitus; TGT = Toleransi Glukosa Terganggu; GD = Gula Darah Kriteria Diagnosa

Minimal kriteria

Referensi: 1. Alberti, KGMM; Zimmet .1999. "Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications". World Health Organization. pp. 32–33. 2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (May 2001). "Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III)". JAMA: the Journal of the American Medical Association 285 (19): 2486–97. doi:10.1001/jama.285.19.2486.PMID 11368702 3. Grundy SM, Brewer HB, Cleeman JI, Smith SC, Lenfant D, for the Conference Participants. 2004. Definition of metabolic syndrome: report of the National, Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association conference on scientific issues related to definition. Circulation.

54. A. Ileus Obstruktif Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut. Ileus dibagi menjadi ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus obstruktif disebut juga ileus mekanik adalah keadaan di mana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.

Berdasarkan letak obstruksinya, ileus obstrktif dibagi menjadi: Ileus obstruktif letak tinggi Mengenai usus halus yaitu dari gaster sampai ileum terminal Ileus obstruktif letak rendah Mengenai usus besar yaitu dari ileum terminal sampai rectum Berdasarkan stadiumnya, ileus obstruktif dibagi menjadi: Obstruksi sebagian (partial obstruction) Obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih bisa melewati, dapat flatus, dan defekasi sedikit. Obstruksi sederhana (simple obstruction) Obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) Obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangguan. Manifestasi klinis muncul sebagai berikut: Obstruksi sederhana Manifestasi klinis yang muncul adalah nyeri kram pada perut disertai kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal imbul muntah yang banyak dan jarang menjadi muntah fekal. Tanda vital normal namun akan berlanjut dengan dehidrasi karena kehilangan cairan dan elektrolit. Distensi abdomen tidak ada atau minimal. Bising usus meningkat dan metallic sound didengar sesuai dnegan timbulnya nyeri pada daerah obstruksi. Obstruksi disertai proses strangulasi Geala yang muncul adalah nyeri hebat abdomen disertai perburukan gejala. Apabila muncul tanda strangulasi berupa nyeri iskemik, yaitu nyeri sangat hebat, menetap, tidak menyurut maka merupakan keadaaan emergensi. Obstruksi komplit Gejala yang muncul adalah nyeri hebat yang terus-menerus, bobrygmus timbul sesuai dengan nyeri, muncul konstipasi. Muntah fekal bisa terjadi. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan distensi abdomen, gerakan usus akan tampak pada pasien kurus, terdengar metallic sound. Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis: syok, oliguria, meteorismus, hiperperistaltik berkala, kolik, flatus (-), defekasi (-). Pemeriksaan fisik: pembesaran perut, distensi abdomen, bising usus meningkat atau tidak terdengar sama sekali. Pemeriksaan radiologi: Untuk menegakkan diagnosis secara radiologis dilakukan foto abdomen 3 posisi. Ileus obstruktif letak tinggi Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal junction) dan kolaps usus di bagian distal sumbatan. Coil spring appearance

Herring bone appearance Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign) Ileus obstruktif letak rendah Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi. Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen. Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sumber: 1. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal: 623. 2. Sutton, David. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Edisi 7. London: Churchill Livingstone. 55. C. Kista Entamoeba histolitica Pasien mengeluhkan diare dengan frekuensi 5-8x/hari yang disertai lender dan darah. Hal ini menunjukkan pathogen yang menginvasi mukosa usus. Pasien telah diberikan antibiotik tidak membaik, dikarenakan penyebabnya berupa entamoeba. Diare yang disebabkan oleh Entamoeba histolitica adalah diare diesrtai darah dan lender yang dapat terjadi hingga 10 kali/hari. Sifat khas pada diare Amoeba adalah: Volume tinja setiap kali buang air besar lebih banyak Bau tinja menyengat Warna tinja umumnya merah tua denga darah dan lender bercampur feses Entamoeba histolitica memiliki bentuk trofozoit dan kista. Ciri-ciri morfologi sebagai berikut: Trofozoit Ukuran 10-60 µm. Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit. Terdapat 1 inti entamoeba ditandai dengan karyosom padat yang terletak di tengah inti, serta kromatin yang terletak di pinggiran inti. Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar disebut pseudopodia. Kista Ukuran 10-20 µm. Bentuk memadat mendekati bulat. Kista matang memiliki 4 buah inti Entamoeba. Tidak dijumpai eritrosit di dalam sitoplasma. Kista yang belum matang memiliki glikogen berbentuk seperti cerutu, namun biasanya menghilang setelah kista matang. Sumber: Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N. Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, San Francisco: University of California.

56. A. Ruptur uretra Ruptur uretra anterior disebabkan oleh straddle injury (cedera selangkangan), di mana terjadi kontusio dinding uretra, ruptur uretra parsial atau ruptur totalis dinding uretra. Uretra anterior dibungkus corpus spongiosum. Di mana corpus spongiosum bersama dengan corpus kavernosum dibungkus fascia buck dan fascia colles. Jika ruptur beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tapi masih berbatas pada fascia Buck yang secara klinis tampak hematoma pada penis. Jika fascia buck robek, ekstravasasi darah dan urine dibatasi fascia colles yang klinisnya tampak sebagai hematoma sampai skrotum dan dinding abdomen. Robekan ini memberikan gambaran Butterfly apperiance, yang merupakan tanda khas dari ruptur uretra. 57. E. Hipospadia

Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat di tarik ke belakang (proksimal)/membuka.Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga sulit untuk keluar (Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat di tarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa,tahun 2008) . Hipospadia: kelainan bawaan lahir pada anak laki-laki yang dicirikan dengan letak abnormal lubang kencing tidak diujung kepala penis seperti seharusnya, tetapi berada lebih bawah. Kelainan ini jarang ditemukan, angka kejadian kasus hipospadia 1 : 250-400 kelahiran. Penyebab dari hipospadia sampai saat ini belum dapat diijelaskan secara pasti, namun teori-teori yang berkembang umumnya mengaitkan kelainan ini dengan masalah hormonal. Sebuah teori mengungkapkan kelainan ini disebabkan oleh penghentian prematur perkembangan sel-sel penghasil androgen di dalam testis, sehingga produksi androgen terhenti dan mengakibatkan maskulinisasi inkomplit dari alat kelamin luar. Proses ini menyebabkan gangguan pembentukan saluran kencing (uretra), sehingga saluran ini dapat berujung di mana saja sepanjang garis tengah penis tergantung saat terjadinya gangguan hormonal. Semakin dini terjadinya gangguan hormonal, maka

lubang kencing abnormal akan bermuara semakin mendekat ke pangkal. Diagnosis hipospadia Hipospadia sangat mudah dikenali saat pemeriksaan fisis bayi laki-laki yang baru lahir. Tidak adanya lubang kencing di ujung kepala penis, serta bentuk penis melengkung menjadi ciri khas bayi laki-laki dengan hipospadia. Pada kelainan yang sangat berat, jenis kelamin bayi seringkali sukar untuk dikenali sebagai laki-laki atau perempuan jika berdasar dari pemeriksaan fisik semata. Dalam hal tersebut, penderita akan disarankan untuk menjalani pemeriksaan kromosompenanda-kelamin (sex chromatin). Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna meskipun jarang dilakukan adalah pemeriksaan radiologis urografi (IVP, sistouretrografi) untuk menilai gambaran saluran kemih secara keseluruhan dengan bantuan kontras. Pemeriksaan ini biasanya baru dilakukan bila penderita mengeluh sulit berkemih. 58. C. AV blok Gangguan konduksi nodus AV (AV Blok) tampak pada pemeriksaan EKG sebagai abnormalitas interval PR, gambaran ini menunjukkan kelainan impuls listrik dari atrium menuju nodus AV dan Bundle of His serta cabang-cabangnya di ventrikel. Interval PR normal berkisar 0.12 – 0.20 detik. Berdasar pemeriksaan EKG AV blok dibagi 3, yaitu: AV blok derajat I: interval PR memanjang lebih dari 0.20 detik AV blok derajat II: terjadi kegagalan impuls dari atrium untuk mencapai ventrikel secara intermiten sehingga denyut ventrikel berkurang. AV blok derajat II dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: Mobitz I Interval PR memanjang secara progresif sampai suatu ketika kompleks QRS menghilang. Mobitz II interval PR tetap namun didapatkan denyut ventrikel/komplek QRS menghilang (drop beat) dapat terjadi reguler seperti 2:1, 3:1 atau tidak teratur.

AV blok derajat III: blok jantung komplit di mana terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari atrium tidak mencapai ventrikel, sehingga masing-masing berjalan sendiri sesuai impuls intrinsiknya.

Referensi: Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 59. B. Paracetamol 120-180 mg/kali beri Kasus pada soal ini mengarah pada infeksi virus dengue. Langkah diagnosis bedasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesis (IDAI): Anamnesis - Demam merupakan tanda utama (suhu 38,5 0C), terjadi mendadak tinggi, selama 27 hari - Disertai lesu tidak mau makan, dan muntah - Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut. - Diare kadang-kadang dapat ditemukan - Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan Pemeriksaan fisik - Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri d ibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD. - Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dn syok. - Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan peritoneal selama 24-48 jam. - Perdarahan dapat berupa petekie (terprovokaasi uji RL (+), hematemessis,dan melena, ataupun hematuria. Kasus ini tidak menunjukkan tanda-tanda syok di mana denyut nadi dan frekuensi pernapasannya masih baik, sehingga anak ini dapat didiagnosis sebagai suspek demam dengue berdasarkan klinisnya. Hal ini juga sesuai dengan kriteria klinis demam dengue berdasarkan WHO (2013), yaitu : Demam tinggi mendadak, ditambah gejala penyerta 2 atau lebih: - Nyeri kepala - Nyeri retro orbita - Nyeri otot dan tulang - Ruam kulit - Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan - Leukopenia - Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif. - Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, hipoproteinemia). Terapi medikamentosa yang dianjurkan:

-

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian paracetamol bukan aspirin ataupun ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang pendarahan. Dosis paracetamol yang dianjurkan adalah 10-15mg/kgBB/kali per 6 jam. - Diusahakan tidak memberika obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. - Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan. - Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati. Anak dalam soal ini memiliki berat 12 kg sehingga dosis paracetamol yang diperlukan adalah 120-180 mg/kali beri. Referensi: 1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010. 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed.

60. A. Nadi 120 x/menit Kasus pada soal ini mengarah pada sindrom syok dengue (meskipun informasi yang terdapat pada soal kurang lengkap). DIAGNOSIS DEMAM DIDASARKAN PADA KEADAAN Demam atau riwayt demam mendadak tinggi selama 2-7 hari Manifestasi perdarahan (sekurangkurangnya uji bendung positif) Pembesaran hati Infeksi virus dengue: demam dengue, demam berdarah dengue, dan sindrom Tanda-tanda gangguan sirkulasi syok dengue Peningkatan nilai hematokrit, trombositopenia (100 000/μl atau kurang), dan leukopenia Ada riwayat keluarga atau tetangga sekitar menderita atau tersangka demam berdarah dengue Pada anak, hipotensi biasanya baru terjadi pada syok yang telah lanjut, oleh karena itu hipotensi tidak merupakan keharusan untuk diagnosis syok. Syok pada kasus ini termasuk syok hipovolemik dimana faktor resiko untuk kasus ini selain kebocoran plasma juga adanya keluhan klinis muntah. Pada fase awal, terjadi kompensasi tubuh, secara klinis dapat dijumpai takikardi (usia 10 tahun normalnya 60-110 denyut/menit), ekstremitas dingin, capllary refill yang mulai memanjang, pulsasi perifer melemah, sementara tekanan darah masih normal. Tanda awal yang utama adalah takikardi dan penurunan perfusi perifer. Referensi: 1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010. 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed.

61. B. Pemfigus vulgaris

Pembahasan: Etiologi Usia Keluhan Kelainan kulit Nikolsky Sign Predileksi Kelainan Mukosa Mulut Histopatologi

Imunoflouresensi langsung Terapi

Pemfigus Vulgaris Pemfigoid Bulosa autoimun Disangka autoimun 30-60th Biasanya usia tua Tidak gatal Tidak gatal Bula, dinding kendur, krusta Bula berdinding tegang bertahan lama + generalisata Perut, lengan bagian fleksor, lipat paha, tungkai medial 60% 10-40% Bula intraepidermal, Celah diantara dermalakantolisis epidermal, bula subepidermal, sebukan terutama eosinofil Ig G dan komplemen di Ig G seperti pita di membran epidermis basal Kortikosteroid (prednison Kortikosteroid (prednison 60-150 mg/hr, sitostatika) 40-60 mg/hr)

62. B. Ekstraksi moluskul bodies Pembahasan: Pada kasus di atas, pasien terdiagnosis Moluscum Kontagiosum. Moluscum Kontagiosum merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Poxvirus. Terutama menyerang pada anak-anak dan juga menyerang pada dewasa sebagai infeksi menular seksual. Penyakit ini tidak ada keluhan. Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk kubah miliar, di tengahnya terdapat delle. Jika dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih seperti nasi yang merupakan badan moluskum. Terkadang berbentuk lentikular dengan warna ptuih seperti lilin. Penatalaksanaan pada penyakit ini adalah dengan ekstraksi moluskum bodies yaitu dapat dengan bedah kuretase/enukleasi atau dengan topikal seperti TCAA 25-35%, tinctura podofilin 10-25%, Kantaridin 0,7-0,9%.

63. A. Indomethacin Sasaran pengelolaan Arthritis Gout terdapat 3 hal, yaitu: Mengobati serangan akut. Mencegah episode serangan akut (profilaksis). Menurunkan kelebihan kadar urat untuk mencegah arthritis, dan deposisi kristal urat dalam organ. Pengobatan Gout serangan akut seperti pada kasus, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi yang berlangsung. American College of Rheumatology (ACR) merekomendasikan pemberian terapi farmakologi dalam kasus akut segera dalam 24 jam sejak onset serangan, pilihan terapi yang direkomendasikan oleh adalah Nonsteroidal anti-inflammatory drugsNSAIDs, corticosteroids, dan colchicine. Ketiganya memiliki ‘Level of Evidence: A’ sehingga pemilihan modalitas terapi disesuaikan dengan pertimbangan dokter dan pilihan pasien bagi masing-masing kasus. Pengobatan monoterapi ditujukan bagi serangan akut derajat ringan-sedang yang melibatkan 1-2 sendi besar, atau beberapa sendi kecil; sedangkan terapi kombinasi ditujukan bagi serangan akut berat yang melibatkan 1-2 sendi besar atau poliartikular. NSAIDs merupakan obat pilihan pada pasien gout serangan akut yang tidak memiliki penyakit komorbid sistemik lain, karena NSAIDs selain memiliki efek anti inflamasi juga analgetik, terutama agen dengan onset cepat. Jenis obat yang banyak dipilih untuk gout serangan akut adalah Indometasin (Level of Evidence : A) 150-200mg selama 2-3 hari, dilanjutkan 75-100mg/hari sampai dengan 7 hari atau peradangan dan nyeri membaik. Kolkisin oral merupakan modalitas pilihan dalam tatalaksana gout arthritis akut terutama dalam 36 jam sejak onset serangan. Dosis yang direkomendasikan adalah loading dose 1.2 mg dilanjutkan 0.6 mg 1 jam kemudian, kemudian 0.6 mg tiap 12 jam sampai dengan keluhan membaik. Kortikosteroid yang direkomendasikan untuk serangan akut diberikan melalui rute oral. Pada gout serangan berat atau melibatkan poliartikular yang membutuhkan injeksi kortikosteroid, atau kombinasi kortikosteroid dan NSAIDs.

Obat penurun asam urat seperti Allopurinol atau obat urikosurid (ex. Probenesid) tidak boleh diberikan dalam stadium akut, kecuali pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat dan mengalami serangan akut. Referensi: Khanna et. al., 2012. 2012 American College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis. Arthritis Care & Research Vol. 64, No. 10, pp 1447–1461 Tehupeiroy. E. S. 2006. Artritis Pirai (Gout). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 64. D. Atonia uteri Pada pasien di atas terdapat dua kemungkinan penyebab perdarahan pasca salin, yaitu atonia uteri dan laserasi jalan lahir akibat penggunaan forsep. Tetapi pada kasus di atas memiliki faktor resiko paling banyak terjadinya atonia uteri, yaitu multiparitas, kala 1 lama, dan bayi yang cukup besar. Perdarahan pasca salin (PPS) adalah perdarahan yang mencapai 500-1000 cc setelah anak lahir yang bisa diakibatkan oleh atonia uteri, perlukaan jalan lahir, sisa jaringan plasenta, dan kelainan faktor pembekuan. Secara klasik WHO mengklasifikasikan PPS sebagai: Perdarahan pasca salin primer/dini yaitu perdarahan ≥ 500 cc dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir.

Perdarahan pasca salin sekunder/lanjut, yaitu perdarahan ≥ 500 cc sesudah 24 jam pertama setelah persalinan. Penyebab PPS adalah 1 atau lebih dari 4 faktor di bawah ini: Tone (gangguan kontraksi uterus) Tissue (sisa produk konsepsi) Trauma (robekan jalan lahir) Thrombin (gangguan fungsi koagulasi) Penyebab terbanyak PPS dini adalah atonia uteri. Akan tetapi pemeriksaan klinis harus dilakukan dengan seksama untuk menyingkirkan sebab lain atau penyebab plasenta lainnya, seperti: Sisa jaringan (plasenta, membran, bekuan darah) Laserasi vagina/serviks atau hematom Ruptur uteri Hematom ligamentum latum Perdarahan ekstragenital (misalnya ruptur subkapsula hepar) Inversio uteri Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis kemungkinan yang selalu ada kadang-kadang ada Atonia uteri Uterus tidak Syok berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir Robekan jalan lahir Perdarahan segera Pucat Darah segar yang Lemah mengalir segera Menggigil setelah bayi lahir Uterus kontraksi baik Plasenta lengkap Plasenta belum lahir Tali pusat putus Retensio plasenta setelah 30 menit akibat traksi berlebihan Perdarahan segera Inversio uteri akibat Uterus kontraksi baik tarikan Perdarahan lanjutan sebagian Plasenta atau Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya sebagian selaput tinggi fundus tidak berkurang plasenta (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap Perdarahan segera

Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir) Perdarahan segera (inversi komplit mungkin tidak menimbulkan perdarahan) Nyeri sedikit atau berat Subinvolusi uterus Nyeri tekan perut bawah Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Perdarahan sekunder. Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi) Perdarahan segera (perdarahan intraabdominal dan/atau vaginum) Nyeri perut berat (kurangi dengan ruptur)

Syok neurogenik Pucat dan limbung

Inversio uteri

Anemia Demam

Perdarahan terlambat Endometritis atau plasenta (terinfeksi tidak)

Syok Nyeri tekan perut Denyut nadi ibu cepat

Robekan dinding (ruptura uteri)

sisa atau

uterus

Referensi: Abdul Bari Saifuddin dkk. 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Made Kornia Karkata dkk. 2012. Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 65. C. Oligoasthenozoospermia

Analisis Sperma adalah suatu pemeriksaan yang penting untuk menilai fungsi organ reproduksi pria (untuk mengetahui apakah seorang pria fertil atau infertil). Semen harus diperiksa dari seluruh ejakulat. Karena itu mengambilnya dari tubuh harus dengan masturbasi atau coitus interuptus (bersetubuh dan waktu ejakulasi, persetubuhan dihentikan dan mani ditampung semua). Ada juga bersetubuh dengan menggunakan kondom khusus. Sebelum melakukan pemeriksaan disarankan untuk berpuasa bersetubuh (abstinensi) terbaik sekitar 3-5 hari. Pemeriksaan semen terbaik selambatnya sejam sesudah ejakulasi. Semen adalah cairan putih atau abu-abu, terkadang kekuningan, yang dikeluarkan dari uretra (pipa di dalam penis) pada saat ejakulasi. Fungsi semen adalah membawa jutaan sperma ke dalam saluran reproduksi wanita. Karakteristik Semen Menurut WHO, berikut adalah empat kriteria yang dilihat dalam pengujian semen: 1. Volume Pria subur rata-rata mengeluarkan 2 hingga 5 cc semen dalam satu kali ejakulasi. Secara konsisten mengeluarkan kurang dari 1,5 cc (hypospermia) atau lebih dari 5,5 cc (hyperspermia) dikatakan abnormal. Volume lebih sedikit biasanya terjadi bila sangat sering berejakulasi, volume yang lebih banyak terjadi setelah lama “berpuasa”. 2. Konsentrasi sperma Pria subur memiliki konsentrasi sperma di atas 20 juta per cc atau 40 juta secara keseluruhan. Jumlah di bawah 20 juta/cc dikatakan konsentrasi sperma rendah dan di bawah 10 juta/cc digolongkan sangat rendah. Istilah kedokteran untuk konsentrasi sperma rendah adalah oligospermia. Bila sama sekali tidak ada sperma disebut azoospermia. Semen pria yang tidak memiliki sperma secara kasat mata terlihat sama dengan semen pria lainnya, hanya pengamatan melalui mikroskoplah yang dapat membedakannya. 3. Morfologi sperma Sperma normal memiliki bentuk kepala oval beraturan dengan ekor lurus panjang di tengahnya. Sperma yang bentuknya tidak normal (disebut teratozoospermia) seperti kepala bulat, kepala pipih, kepala terlalu besar, kepala ganda, tidak berekor, dll, adalah sperma abnormal dan tidak dapat membuahi telur. Hanya sperma yang bentuknya sempurna yang disebut normal. Pria normal memproduksi paling tidak 30% sperma berbentuk normal. 4. Motilitas (pergerakan) sperma Sperma terdiri dari dua jenis, yaitu yang dapat berenang maju dan yang tidak. Hanya sperma yang dapat berenang maju dengan cepatlah yang dapat mencapai sel telur. Sperma yang tidak bergerak tidak ada gunanya. Menurut WHO, motilitas sperma digolongkan dalam empat tingkatan: Kelas a : sperma yang berenang maju dengan cepat dalam garis lurus seperti peluru kendali. Kelas b: sperma yang berenang maju tetapi dalam garis melengkung atau bergelombang, atau dalam garis lurus tetapi lambat. Kelas c : sperma yang menggerakkan ekornya tetapi tidak melaju. Kelas d: sperma yang tidak bergerak sama sekali.

Sperma kelas c dan d adalah sperma yang buruk. Pria yang subur memproduksi paling tidak 50% sperma kelas a dan b. Bila proporsinya kurang dari itu, kemungkinan akan sulit memiliki anak. Motilitas sperma juga dapat terkendala bila sperma saling berhimpitan secara kelompok sehinga menyulitkan gerakan mereka menuju ke sel telur. Penghitungan Sperma (Sperm Count) Kesuburan pria ditentukan oleh kombinasi keempat kriteria di atas, yaitu jumlah sperma berbentuk sempurna dalam semennya yang dapat bergerak agresif. Misalnya, seorang pria yang memproduksi 20 juta sperma per ml, 50% -nya bermotilitas bagus dan 60% -nya berbentuk sempurna, maka dia dikatakan memiliki hitungan sperma 20 x 0,5 x 0,6 = 6 juta sperma bagus per ml. Bila volume ejakulasinya adalah 2 ml, maka total sperma bagus dalam sampelnya adalah 12 juta. Standar yang telah ditetapkan WHO adalah: Volume: 2 ml atau lebih pH: 7,2 sampai dengan 8,0 Konsentrasi spermatozoa: 20 juta spermatozoa / ml atau lebih Jumlah total spermatozoa: 40 juta spermatozoa per ejakulasi atau lebih Motilitas spermatozoa: Dalam waktu 1 jam setelah ejakulasi, sebanyak 50% dari jumlah total spermatozoa yang hidup, masih bergerak secara aktif. Morfologi permatozoa: 30% atau lebih memiliki bentuk yang normal Vitalitas spermatozoa: 75% atau lebih dalam keadaan hidup Jumlah sel darah putih: lebih sedikit dari 1 juta sel/ml Macam dan definisi dari kesimpulan tersebut adalah: 1. Normozoospermia: karakteristik normal. 2. Oligozoospermia: konsentrasi spermatozoa kurang dari 20 juta per ml. 3. Asthenozoospermia: jumlah sperma yang masih hidup dan bergerak secara aktif, dalam waktu 1 jam setelah ejakulasi, lebih dari 50%. 4. Teratozoospermia: jumlah sperma dengan morfologi normal kurang dari 30%. 5. Oligoasthenoteratozoospermia: kelainan campuran dari 3 variabel yang telah disebutkan sebelumnya. 6. Azoospermia: tidak adanya spermatozoa dalam sperma. 7. Aspermia: sama sekali tidak terjadi ejakulasi sperma. Dari interpretasi inilah, awal masalah ketidaksuburan sebuah pasangan dapat terungkap. Apabila hasil analisis sperma menyatakan nilai normal, kemungkinan besar penyebab ketidaksuburan terdapat pada sang wanita. Oleh karena itu, analisis kesuburan wanita dapat dijalankan sebagai langkah lanjut. Berikut ini beberapa hal yang akan diperiksa saat analisis sperma dilakukan: Hitungan sperma (sperm count). Angka yang normal untuk ini adalah 200 juta per centimeter kubik.

Kelincahan gerak (motilitas). Uji ini, yang diberi nilai dari buruk sampai istimewa, menyatakan tingkat aktivitas sperma. Jika sperma tidak bergerak, mereka tidak dapat sampai ke telur. Morfologi: memberi informasi tentang bentuk sperma. Bisa mikro (dalam hal ini berarti terlalu kecil), bisa makro (dalam hal ini berarti terlalu besar). Ukuran yang diharapkan adalah sedang. pH: semen harus bersifat agak basa -7,0 hingga 8,5. Viskositas: semen harus mudah dituang. Volume: yang normal dalam hai ini adalah dua hingga lima sentimeter kubik (kira-kira 1/2 hingga 1 sendok teh). 66. A. Prolaps uteri Prolapsus uteri adalah pergeseran letak uterus ke bawah sehingga serviks berada di dalam orifisium vagina (prolapsus derajat 1), serviks berada di luar orifisium (prolapsus derajat 2), atau seluruh uterus berada di luar orifisium (prolapsus derajat 3). Prolapsus uteri disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya karena kelemahan jaringan ikat di rongga panggul, perlukaan jalan lahir. Menopause juga faktor pemicu terjadinya prolapsus uteri. Pada prolapsus uteri gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang kala penderita dengan prolaps yang sangat berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan. Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan turun dan peranakan terbalik. Dewasa ini penentuan letak alat genital bertambah penting artinya bukan saja untuk menangani keluhan-keluhan yang ditimbulkan olehnya, namun juga oleh karena diagnosis letak yang tepat perlu sekali guna menyelenggarakan berbagai tindakan pada uterus. Prolapsus uteri adalah keadaan dimana turunnya uterus melalui hiatus genitalis yang disebabkan kelemahan ligamen-ligamen (penggantung), fasia (sarung) dan otot dasar panggul yang menyokong uterus. sehingga dinding vagina depan jadi tipis dan disertai penonjolan kedalam lumen vagina. Sistokel yang besar akan menarik utero vesical junction dan ujung ureter kebawah dan keluar vagina, sehingga kadang-kadang dapat menyebabkan penyumbatan dan kerusakan ureter. Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk dasar panggul. Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause, persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Oleh karena itu prolapsus uteri tersebut akan terjadi bertingkat-tingkat. Anatomi ANATOMI PANGGUL dan STRUKTUR PENYANGGA ORGAN PANGGUL Secara anatomis, organ panggul seperti vagina – uterus – kandung kemih dan rectum dipertahankan pada posisi yang normal dalam panggul oleh sepasang muskulus levator ani bilateral yang kearah posterior mengalami fusi.

Celah muskulus levator ani di bagian anterior disebut sebagai hiatus levator ani. Ke arah inferior, hiatus levator ani tertutup dengan diafragma urogenitalis. Saat masuk kedalam panggul, urethra – vagina dan rektum melintas hiatus levator ani dan diafragma urogenitalis. Fascia endopelvikum adalah fascia organ visera panggul yang membentuk kondensasi bilateral dalam bentuk ligamentum (yaitu ligamentum pubourethralis – kardinalis dan uterosakralis). Ligamentum tersebut menempelkan organ dengan fascia dinding lateral pelvis dan tulang panggul. Corpus Perineal adalah titik pusat seluruh otot panggul. Meskipun saat meneran isi cavum abdomen mendesak organ panggul, organ panggul akan tetap berada pada tempatnya dan berada diatas “levator sling” dan corpus perinealis. Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk dasar panggul. Prolapsus uteri terjadi ketika ikatan sendi atau otot-otot dasar panggul meregang atau melemah, membuat sokongan pada uterus tidak adekuat. Faktor penyabab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause. Persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah Etiologi Etiologi dari prolapsus uteri terdiri dari: kelemahan jaringan ikat pada daerah rongga panggul, terutama jaringan ikat tranversal. Pertolongan persalinan yang tak terampil sehingga meneran terjadi pada saat pembukaan belum lengkap. Terjadi perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan lemahnya jaringan ikat penyangga vagina. Serta ibu yang banyak anak sehingga jaringan ikat di bawah panggul kendor. Menopause juga dapat menyebabkan turunnya rahim karena produksi hormon estrogen berkurang sehingga elastisitas dari jaringan ikat berkurang dan otot-otot panggul mengecil yang menyebabkan melemahnya sokongan pada rahim Dasar panggul yang lemah oleh kerusakan dasar panggul pada partus (rupture perinea atau regangan) atau karena usia lanjut. Menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Tekanan abdominal yang meninggi karena ascites, tumor, batuk yang kronis atau mengejan (obstipasi atau strictur dari tractus urinalis). Partus yang berulang dan terjadi terlampau sering. Partus dengan penyulit. Tarikan pada janin sedang pembukaan belum lengkap. Ekspresi menurut creede yang berlebihan untuk mengeluarkan placenta. Jadi, tidaklah mengherankan jika prolapsus genitalis terjadi segera setelah partus atau dalam masa nifas. Ascites dan tumor-tumor didaerah pelvis mempermudah terjadinya hal tersebut. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, factor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus. Fisiologi Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligament, fascia serta otot-otot dasar panggul. Te Linde (1966) membagi atas 4 golongan, yaitu : Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan ditutupi oleh peritonium :

ligamentum rotundum (lig teres uteri): ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan. Ligamentum sacrouterina : ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sacrum kiri dan kanan. Ligamentum cardinale (Mackenrodt): ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah a v uterina. Ligamentum latum: ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya. Ligamentum infundibulopelvikum (lig. Suspensorium ovarii): ligamentum yang menahan tuba fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, a v ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya. Jaringan-jaringan yang menunjang vagina Fasia puboservikalis (antara dinding depan vagina dan dasar kandung kemih) membentang dari belakang simfisis ke serviks uteri melalui bagian bawah kandung kencing, lalu melingkari urethra menuju ke dinding depan vagina. Kelemahan fasia ini menyebabkan kandung kencing dan juga uretra menonjol ke arah lumen vagina. Fasia rektovaginalis (antara dinding belakang vagina dan rectum). Kelemahan fasia ini menyebabkan menonjolnya rektum ke arah lumen vagina. Kantong Douglas Dilapisi peritonium yang berupa kantong buntu yang terletak antara ligamentum sacrouterinum di sebelah kanan dan kiri, vagina bagian atas di depan dan rektum di belakang. Di daerah ini, oleh karena tidak ada otot atau fasia, tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan hernia (enterokel). Otot-otot dasar panggul, terutama otot levator ani Dasar panggul terdiri dari: - diafragma pelvis - diafragma urogenital - otot penutup genitalia eksterna Diafragma pelvis: - otot levator ani: iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis - koksigeus - fasia endopelvik Fungsi levator ani: mengerutkan lumen rektum, vagina, urethra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang pubis, sehingga organ-organ pelvis di atasnya tidak dapat turun (prolaps).

mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer, sehingga ligamen-ligamen tidak perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ pelvis diatasnya. Sebagai sandaran dari uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot levator rusak atau mengalami defek maka ligamen seperti ligamen cardinale, sacrouterina dan fasia akan mempunyai beban kerja yang berat untuk mempertahankan organ-organ yang digantungnya, sebaliknya selama otot-otot levator ani normal, ligamen-ligamen dan fasia tersebut otomatis dalam istirahat atau tidak berfungsi banyak. M. Pubovaginalis berfungsi sebagai: Penggantung vagina. Karena vagina ikut menyangga uterus serta adnexa, vesica urinaria serta urethra dan rectum, maka otot ini merupakan alat penyangga utama organ-organ dalam panggul wanita. Robekan atau peregangan yang berlebihan merupakan predisposisi terjadinya prolapsus cystocele dan rectocele. Sebagai sphincter vaginae dan apabila otot tersebut mengalami spasme maka keadaan ini disebut vaginismus. M. puborectalis berfungsi sebagai: penggantung rectum mengontrol penurunan feces memainkan peranan kecil dalam menahan struktur panggul. M. iliococcygeus berfungsi sebagai: Sebagai lapisan musculofascial. Diafragma urogenital Fungsi diafragma urogenital: memberi bantuan pada levator ani untuk mempertahankan organ-organ pelvis Patologi Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri kompleta atau totalis. Sebagai akibat persalinan, khususnya persalinan yang susah terdapat kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam fascia endopelvika dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul. Dalam keadaan demikian tekanan intraabdominal memudahkan penurunan uterus, terutama apabila tonus oto-otot berkurang. Jika serviks uteri terletak di luar vagina, maka ia menggeser dengan celana yang dipakai oleh wanita dan lambat laun bias berbentuk ulkus, yang dinamakan ulkus dekubitus. Jika fascia didepan dinding vagina kendor oleh suatu sebab, biasanya trauma obstetric, ia terdorong oleh kandung kencing ke belakang dan menyebabkan menonjolnya dinding depan vagina ke belakang, hal ini dinamakan sistokel. Sistokel ini pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar kar\ena persalinan berikutnya, terutama jika persalinan itu berlangsung kurang lancar, atau harus diselesaikan dengan menggunakan peralatan. Urethra dapat pula ikut serta dalam penurunan itu den menyebabkan urethrokel. Uretherokel ini harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal, hanya dibelakang urethra ada lubang yang menuju ke kantong antara urethra dan vagina.

Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina, ini dinamakan rectokel. Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun, oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong hernia ini adalah usus halus atau sigmoid. Klasifikasi

Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu: A) Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina Prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol keluar dari introitus vagina Prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari vagina; prolapsus ini juga disebut prosidensia uteri B) Prolapsus uteri tingkat I, serviks mencapai introitus vagina Prolapsus uteri tingkat II, uterus keluar dari introitus kurang dari setengah bagian Prolapsus uteri tingkat III, uterus keluar dari introitus lebih besar dari setengah bagia

C) Prolapsus uteri tingkat I, serviks mendekati prosesus spinosus Prolapsus uteri tingkat II, serviks terdapat antara prosesus spinosus dan introitus vagina Prolapsus uteri tingkat III, serviks keluar dari introitus. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi D ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (prosidensia uteri). Prosidensia uteri adalah suatu penyimpangan anatomi yang paling kompleks. Dapat menjadi sistokel karena kendornya fasia dinding depan vagina (misal trauma obstetrik) sehingga vesika urinaria terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong ke belakang. Dapat terjadi rektokel, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina, oleh karena trauma obstetrik atau lainnya, sehingga rekrum turun ke depan dan menyebabkan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan. Diagnosa Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan vaginal dengan menggunakan Spekulum Sim yang berdaun tunggal. Pasien diminta meneran dan pada saat yang bersamaan dokter menekan dinding posterior vagina. Dengan cara ini dapat terlihat penurunan dinding depan vagina beserta sistokel dan pergeseran muara urethra. Selanjutnya mintalah pasien meneran sambil menekan dinding anterior vagina, dengan cara ini dapat terlihat enterokel dan rektokel. Pemeriksaan rektal sering berguna untuk menunjukkan adanya rektokel dan membedakannya dengan enterokel. Keluhan-keluhan penderita, kehamilan, fisik dan pemeriksaan ginekologik umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia. Friedman dan Little (1961) menganjurkan cara pemeriksaan sebagai berikut: 1. Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan, dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal, atau porsio sampai introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi, ditentukan pula panjangnya serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari biasa dinamakan elongasio kolli. 2. Pada sistokel dijumpai didinding vagina depan benjolan kistik lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita mengejan. Jika dimasukkan ke dalam kantung kencing kateter tersebut dekat sekali pada dinding vagina. Uretrokel letaknya lebih kebawah dari sistokel, dekat pada orifisium urethrae eksternum. 3. Menegakkan diagnosis rektokel yaitu menonjolnya rektum ke lumen vagina sepertiga bagian bawah. Penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke distal, kistik dan tidak nyeri. Untuk memastikan diagnosis, jari dimasukkan kedalam rektum, dan selanjutnya dapat diraba dinding rektokel yang menonjol kelumen vagina. Enterokel menonjol kelumen vagina lebih atas dari rektokel. Pada pemeriksaan rektal dinding rektum lurus, ada benjolan ke vagina terdapat diatas rektum. 4. Endoskopi. Visualisasi sistoskopi peristaltik usus di bawah dasar vesika urinaria atau trigonum dapat mengidentifikasi enterokel anterior pada beberapa pasien.

5. Fotografi. Fotografi pada stadium II dan prolaps yang lebih besar dapat digunakan baik untuk membuktikan kebenaran perubahan kondisi masing-masing pasien. Prosedur immaging. Teknik imaging yang berbeda telah digunakan untuk melihat anatomi dasar pelvik, defek penunjang, dan hubungan antara organ yang berdekatan. Teknik ini mungkin lebih akurat dari pemeriksaan fisis dalam menentukan organ mana yang terlibat dalam prolaps organ pelvik. Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Junizaf. 2002. Buku Ajar Uroginekologi. Jakarta: Subbagian UroginekologiRekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi. FKUI/RSUPN-CM. 67. B. 36% derajat II Penghitungan luas luka bakar dengan Rules of nine: Luas permukaan kepala :9% Luas pernukaan kedua lengan : 18 % Luas pernukaan dada :9% Luas pernukaan perut :9% Luas pernukaan punggung :9% Luas pernukaan pinggang :9% Luas pernukaan kedua paha : 18 % Luas pernukaan kedua betis : 18 % Luas pernukaan daerah perineum + genital : 1 %

Pembagian derajat luka bakar: Derajat I: Kerusakan terbatas pada

Derajat II: Kerusakan

Derajat III: meliputi

Kerusakan

seluruh

lapisan epidermis (superficial) Kulit kering, hiperemik berupa eritem Tidak dijumpai bula Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 5-10 hari

epidermis dan sebagian dermis, berupa inflamasi disertai proses eksudasi Dijumpai bula Nyeri karena ujungujung saraf sensorik teriritasi Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas kulit normal

dermis dan lapisan yang lebih dalam Organ- organ kulit seperti folikel rambut, kel.keringat dan kel.sebasea rusak Tidak dijumpai bula Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung-ujung saraf sensorik telah rusak Penyembuhan luka lama, karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka

Derajat II: dibedakan menjadi 2: Derajat II Superficial: Kerusakan mengenai superficial dermis. Organ- organ kulit seperti folikel rambut, kel.keringat dan kel.sebasea masih utuh Penyembuhan spontan dalam 10–14 hari. Derajat II Deep: Kerusakan hampir seluruh dermis. Organ- organ kulit seperti folikel rambut, kel.keringat dan kel.sebasea masih utuh Penyembuhan lebih lama, tergantung dari biji epitel yang tersisa (> 1bulan). 68. A. Anak kandung Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Ada 2 bentuk informed consent, yaitu: Implied consent Implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada di tempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Expressed consent

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung risiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi. Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Individu yang dapat memberikan persetujuan adalah orang yang berusia 18 tahun atau lebih atau telah menikah dan berkompeten. Individu yang dianggap tidak berkompetan apabila mengalami gangguan jiwa dan menderita nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Persetujuan tindakan medis pada individu yang tidak berkompeten diberikan kepada suami atau istri, orang tua yang sah atau anak yang berkompeten, saudara kandung, wali. Pada kasus di atas anak kandung dan istri ke-2 nya berha memberikan persetujuan tindakan medis, namun dalam kondisi di atas istri ke-2 sedang dalam perjalanan sedangkan yang berada di RS adalah anak kandungnya, sehingga anak kandungnya berhak memberikan persetujuan tindakan medis tanpa harus menunggu istri pasien. Referensi: 1. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996. 2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 69. C. (160 x 120) / (80 x 40) Pembahasan: Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut: Riwayat Rubella Jumlah Positif Negatif Katarak Kongenital (+) 160 (A) 40 (B) 200 Katarak Kongenital (-) 80 (C) 120 (D) 200 Total 110 1890 2000 Untuk menentukan Odd Ratio kasus tersebut dengan menggunakan rumus: OR = A x D BxC

= 160 x 120 40 x 80 70. B. Laringomalasia Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Kelainan ini ditandai dengan adanya kolaps struktur epiglotis pada saat inspirasi akibat memendeknya plika ariepiglotika, prolaps mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, atau melekuknya epiglotis ke arah posterior. Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernapasan. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi saluran napas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernapas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan. Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi. Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi napas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.

Referensi : Stern RC. Congenital anomalies. In: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson textbook of pediatric. 16th ed, Philadelphia: WB Saunders, 2000: p. 1271-2. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5 Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB editors. Otorhinolaryngology head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003: p. 1049-51 Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: BalaiPenerbit FK-UI. 2007: p. 231-236 Bye MR. Laryngomalacia. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527. 71. A. Tuberkulosis paru Beberapa gambaran radiologis penyakit paru: A. Tuberkulosis (TB paru): Tanda radiologi TBC dibagi 3 macam: TBC aktif : bercak, berawan, cavitas. TBC lama tenang : bintik kalsifikasi, fibrosis. TBC lama aktif : bila terdapat minimal 1 tanda kategori 1 dan minimal 1 tanda kategori 2 dengan lokasi di apex paru. NB : Lokasi utama untuk penyakit TBC adalah di apex paru, dengan kata lain bila perselubungannya tidak terdapat di apex paru, maka suspek TBC bisa dihilangkan. B. Penyakit bronkopneumoni : bercak, berawan, lokasi bisa di lapangan tengah dan bawah paru. C. Penyakit pneumoni : berawan, lokasi bisa diatas, ditengah, maupun di lapangan bawah paru. Pneumonia dibagi menjadi 2 : pneumonia dan pneumonia lobaris (bila mengenai lobus tertentu). D. Tumor : berawan, lokasi di atas, tengah, atau lapangan bawah paru. E. Efusi pleura : sinus costophrenicus tumpul, berawan. F. Pneumothorax : terjadi pada pleura. Gambarannya lussen avascular, diafragma normal (di ICS 10) G. Emfisema : terjadi pada paru, radiolussen vascular, diafragma letak rendah (ICS 10-11), sela iga melebar, jantung ramping.

Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa: • bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah • bayangan berawan atau berbercak • Adanya kavitas tunggal atau ganda • Bayangan bercak milier • Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral • Destroyed lobe sampai destroyed lung • Kalsifikasi • Schwarte. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut: Lesi minimal (Minimal Lesion): Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. Lesi luas (FarAdvanced): Kelainan lebih luas dari lesi minimal Pedoman Nasional Tuberkulosis dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 menyebutkan secara tegas bahwa: “Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis”. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Diagnosis TB paru Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. ALUR DIAGNOSIS TB

Keterangan:

· Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain. · Antibiotik non OAT: Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).

Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 72. D. Lesi Hiperdens dengan perifokal edema Pasien dengan stroke perdarahan sering datang dengan keluhan defisit neurologis fokal serupa dengan yang mengalami stroke iskemik, sehingga pencitraan otak merupakan langkah krusial yang semestinya dilakukan dalam evaluasi pasien dengan presentasi klinis stroke. Computed Tomography Scan (CT-Scan), merupakan proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar-X untuk mengambil gambar otak. Dengan menggunakan komputer, beberapa seri gambar sinar-X akan memperlihatkan gambar tiga dimensi kepala dari beberapa sudut. CT scan dapat menunjukkan ; jaringan lunak, tulang, otak dan pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak yang abnormal, dan dapat menentukan penyebab stroke , apakah karena insufisiensi aliran darah (stroke iskemik), rupture pembuluh darah (hemoragik) atau penyebab lainnya. CT scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah, pembekuan darah, dan masalah lainnya. Gambaran Radiologis CT-Scan 1. Stroke hemoragik (Perdarahan) a. Tampak gambaran lesi hiperdens (warna putih) dengan batas tegas b. Pada setadium lanjut akan terlihat edema disekitar perdarahan ( edema perifokal) yang dapat menyebabkan pendesakan. Pada perjalanannya jika sel-sel darah telah lisis dan terabsopsi maka gambaran tersebut akan berevolusi menjadi lesi yang tampak sebagai gambaran hipodens (warna hitam).

Gambaran CT-Scan Stroke hemoragik akut, Lesi hyperdens (putih-panah merah) menunjukkan area perdarahan yang dikelilingi area edema hypodens (hitam-panah biru) disekelilingnya. 2. Stroke Non hemoragik (Iskemik/Infark) a. Pada stadium awal sampai 6 jam pertama, tak tampak kelainan pada CT-Scan. Kadang kadang sampai 3 hari belum tampak gambaran yang jelas. Sesudah 4 hari tampak gambaran lesi hipodens (warna hitam), batas tidak tegas. b. Fase lanjut, densitas akan semakin turun, batas juga akan semakin tegas, dan bentuk semakin sesuai dengan area arteri yang tersumbat. c. Fase akhir, terlihat sebagai daerah hipodens dengan densitas sesuai dengan densitas liquor dan berbatas tegas. Progresivitas Stroke Iskemik dengan pencitraan CT-Scan

Gambaran hipodensitas (gelap) menunjukkan evolusi area yang mengalami iskemik, dalam gambar menunjukkan area yang divaskularisasi Arteri Cerebri Medialis. (A) Gambaran hari ke-2 setelah serangan (B) Gambaran hari ke-4 setelah serangan

More info 1. Gambaran ring enhancement pada pencitraan otak (CT Scan dan MRI) paling baik dilakukan menggunakan kontras. Lesi ini dapat terlihat pada beberapa keadaan patologis seperti limfoma yang melibatkan susunan saraf pusat, abses otak, dan khas pada penderita HIV yang mengalami toxoplasmosis. 2. Terminologi ‘hyperintens’ dan ‘hypointens’ digunakan dalam interpretasi hasil pencitraan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Referensi: Ekayuda, Iwan, Sjahriar Rasad, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik, Departmen Radioligi FK UI-RSCM, 2005 Yock-Corrales A, Mackay MT, Mosley I, Maixner W, Babl FE. Acute childhood arterial ischemic and hemorrhagic stroke in the emergency department. Ann Emerg Med. Aug 2011;58(2):156-63. Gambar diperoleh dari http://posterng.netkey.at/esr/viewing/index.php?module=viewing_poster&task=viewsection &pi=108919&ti=341796&searchkey= http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=117&seg_id=229 0 73. D. Gangguan hipokondrik Pembahasan: Gangguan Konversi dimana untuk diagnosis pasti harus memiliki kriteria dibawah ini yaitu: a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44 (adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh) b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan problem dan peristiwa yang “stressfull” atau hubungan interpersonal yang terganggu. Ciri utama dalam gangguan somatoform adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Biasanya penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi. Ciri utama dalam gangguan hipokondrik adalah adanya preokupasi yang menetap akan kemungkinan menderita satu atau lebih gangguan fisik yang serius dan progresif. Pasien menunjukkan keluhan somatik yang menetap atau preokupasi yang menetap dengan penampilan fisiknya. Pengindraan dan penampilan yang normal sebenarnya biasa dan oleh pasien seringkali ditafsirkan sebagai abnormal dan tidak mengenakkan, mekipun pemeriksaan yang berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun

adanya preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampakan. Pada penderita terdapat penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit ataupun abnormalitas fisik yang melandasi keluahan-keluhannya. Gangguan undiferentiated somatoform: bilamana keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi, dan menetap, akan tetapi gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi. Misalnya saja cara mengemukakan keluhan-keluhan tidak dramatis dan tidak kuat, keluhannya tidak terlalu banyak atau tidak ada gangguan pada fungsi sosial dan fungsi keluarga. Sumber: Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 74. A. Tonsilitis difteri Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada anak usia 2-5 tahun. Tonsilitis difteri disebabkan oleh Coryne bactherium diphteriae yang termasuk kuman gram positif. Gambaran umum tonsillitis difteri dibagi menjadi 3 gejala, yaitu gejala umum, gejala lokal, dan gejala akibat eksotoksin. GEJALA TONSILITIS DIFTERI Gejala Umum Gejala Lokal Gejala Akibat Eksotoksin Miokarditis Kenaikan suhu Tonsil membengkak tubuh Nyeri kepala Kelumpuhan otot palatum Bercak putih kotor menutupi dan otot pernapasan tonsil Tidak nafsu makan Bercak meluas membentuk Ginjal : albuminuria membrane semu Badan lemah Membran semu : Melekat pada dasarnya Mudah berdarah bila diangkat Nadi lambat Pembengkakan kelenjar limfa leher sehingga terjadi bull neck Nyeri menelan atau Burgemeester’s hals Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran kinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. Penatalaksanaan dilakukan sebagai berikut: Isolasi dan karantina Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Bila kultur (-)/Shick test (-) : bebas isolasi Bila kultur (+)/Shick test (-) : pengobatan carier Bila kultur (+)/Shick test (+)/gejala (+) : ADS + Penisilin Bila kultur (-)/Shick test (+) : Toksoid (imunisasi aktif)

Anti Difteri Serum (ADS) Diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur. Dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung usia dan beratnya penyakit. Antibiotika Diberikan Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid Diberikan 1,2 mg/kgBB/hari.

Gambar Tonsilitis Difteri timbul pseudomembran Sumber: 1. Rusmarjono et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 226-221-222. 2. Gambar diambil dari: http://biomedicalephemera.tumblr.com 75. A. Peritonitis Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkna oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi feses atau urin orang yang terinfeksi. Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari. Manifestasi klinis khas pada demam tifoid adalah: Minggu 1 (awal infeksi) Demam tinggi yang berkepanjangan Pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah Nadi 80-100 kali/menit Akhir minggu lebih sering timbul diare Lidah kotor dan tremor Rose spot muncul lebih sering pada kulit putih Splenomegali Minggu 2 Delirium Diare lebih sering kadang berwarna gelap Bradikardi relative

Hepatomegali dan splenomegali Minggu 3 Suhu tubuh berangsur normal Delirium atau stupor Meteorismus Inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Nyeri perut Peritonitis local Minggu 4 Stadium penyembuhan Diagnosis defiitif ditegakkan denggan kultur gal. Pemeriksaan kultur gal memiliki sensitivitas rendah dan membutuhkan waktu yang lama. Uji widal digunakan sebagai penunjang diagnosis. Uji widal menggunakan titer agglutinin O dan H. Titer O yang tinggi ( ≥ 160) menunjukkan adanya infeksi akut. Titer H yang tinggi (≥ 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah terinfeksi. Namun mengingat Indonesia adalah Negara endemis, maka titer yang dibutuhkan harus melebihi angka tersebut. Antigen ) muncul setelah hari ke-6 sedangkan antigen H muncul setelah hari ke-10. Pemeriksaan tunggal dengan Widal dievaluasi kurang baik. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan IgM anti Salmonella dengan reagen TubexRTF. Pemeriksaan ini spesifik terhadap bakteri Salmonella typhii. Anttibodi IgM dapat muncul setelah 3-4 hari munculnya demam. Komplikasi yang muncul adalah: Perdarahan Usus Terjadi sebanyak 25% pada penderita. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien mengalami syok. Perforasi Usus Terjadi sebanyak 3% pada penderita. Muncul pada akhir minggu ke-3. Tanda-tanda terjadinya perforasi usus adalah nyeri abdomen yang tidak tertahankan (akut abdomen) atau nyeri perut yang mengalami perburukan. Adanya cairan atau darah dalam rongga peritoneum akan memberikan rangsangan peritoneum yang menimbulkan nyeri dan defans muscular. Pekak hepar akan menghilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus akan menurun bahkan sampai menghilang. Bila telah terjadi peritonitis bacterial maka akan muncul suhu badan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, penurunan kesadaran, dan syok. Pentalaksanaan diberikan kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis po atau iv selama 10-14 hari. Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol dapat diberikan amoksisilin 100mg/kgBB/hari po atau ampisilin iv selama 10 hari atau kotrimoksazol 48mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis diberikan selama po selama 10 hari. Bila klinis tidak ada perbaikan maka diberikan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson 80mg/kgBb IV/IM sekali sehari selama 507 hari atau sefiksim oral 20mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.

Pada peritonitis prinsip penatalaksanaan adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang dilakukan secara IV. Resusitasi dilakukan dengan larutan isotonic. Sumber: 1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia. 2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC. 76. A. Pecahnya varises esophagus Sirosis hepar secara klinis dibagi menjadi sirosis hepar kompensata dan dekompensata. Sirosis hepar merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik. Manifestasi klinis sirosis yang muncul adalah: Gejala sirosis kompensata: mudah lelah; nafsu makan menurun; perut kembung; mual; berat badan menurun; pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Gejala sirosis dekompensata: timbul gejala hipertensi porta. Pemeriksaan fisik: Spider teleangiektasis Tanda ini muncul di bahu, muka, dan lengan atas. Yaitu suatu lesi vaskuler yang dikelilingi beberapa vena kecil Eritem Palmaris Yaitu warna merah segar pada thenar atau hipithenar telapak tangan. Kontraktur Dupuytren Ginekomastia Atrofi testis hipogondisme Hepatomegali Ukuran hepara bias normal, membesar, atau mengecil. Bila teraba hepar maka perabaan keras dan nodular. Asites ikterus Hipertensi porta, ascites, dan varises bleeding adalah komplikasi yang paling sering pada penderita sirosis. Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati. Varises esophagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke vena porta. Varises terjadi jika terdapat peingkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan vena hepatica lebih dari 10 mmHg. Pasien sirosis hepar dengan tekanan portal yang normal, maka belum terbentuk varises esophagus. Ketika tekanan portal meningkat maka secara progresif akan terbentuk varises yang kecil. Dengan berjalan waktu, terjadi peningkatan sirkulasi hiperdinamik maka aliran darah di dalam varises akan meningkat dan meningkatkan tekanan dinding. Perdarahan varises akibat ruptur yang terjadi karena tekanan dinding yang maksimal.

Gejala khas yang dikeluhkan pada penderita varises esophagus adalah hematemesis, hematocezia atau melena, penurunan tekanan darah dan anemia. Sumber: 1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Jurnalis, Y.D et al. 2007. Sirosis Hepatis dengan Hipertensi Portal dan Pecahnya Varises Esofagus. Majalah Kedokteran Andalas. No.2 Vol.31, Juli-Desember. 77. C. Efek autonom baik simpatis dan parasimpatis Sinus takikardia adalah irama sinus >100 kali per menit, keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil, juga terjadi pada orang dewasa dengan keadaan stress fisiologis maupun patologis seperti kegiatan fisik olah raga, demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi, sepsis, hip[ovolemia, dan PPOK. Obat-obatan seperti atropin, katekolamin, kafein, dan hormon tiroid juga dapat menyebabkan sinus takikardia.

Pasien pada skenario menunjukkan gambaran kecurigaan aktivitas hormon thyroid yang meningkat didukung dengan adanya eksoftalmus yang merupakan salah satu tanda hiperthyroidisme, dengan demikian gambaran EKG berupa sinus takikardia yang terjadi bukan disebabkan proses konduksi yang terjadi dalam jantung namun sebagai akibat peningkatan hormon thyroid. Hormon thyroid dibutuhkan oleh hampir semua proses metabolisme tubuh, sehingga perubahan kadar hormon dalam sirkulasi akan berpengaruh terhadap berbagai sistem organ di antaranya Efek kardiovaskular: meningkatkan kontraktilitas myokard, dan tonus diastolik (Inotropik dan kronotropik positif) secara klinis nampak sebagai peningkatan curah jantung dan denyut nadi . Efek Autonom (Simpatis dan Parasimpatis): Hormon thyroid merangsang ekspresi reseptor beta-adrenergik myokard, serta otot-otot polos dan skelet lainnya. Sehingga sensitivitas terhadap katekolamin meningkat yang mengakibatkan peningkatan aktivitas jantung.

Referensi: Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Djokomoeljanto. R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Gambar diperoleh dari http://www.ceufast.com/courses/viewcourse.asp?id=239#Sinus_Tachycardia 78. C. trichomoniasis Pembahasan: Herpes Simpleks Penyakit yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 atau 2, sering bersifat rekurens, bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan syaraf tepatnya di ganglia dorsalis. Klasifikasi: Herpes simpleks episode pertama lesi primer, herpes simpleks episode pertama lesi non primer, herpes simpleks rekuren, herpes simpleks asimtomatik. - Herpes simpleks episode pertama lesi primer Kelainan kulit berupa vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematosa disertai rasa nyeri. Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina atau uretra, dapat disertai keluhan sistematik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan pembengkakan inguinal. Terdapat keluhan neuropati, pembengkakan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari. - Herpes simpleks episode pertama lesi non primer Umumnya lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer. Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari serta jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan sistemik dan neuropati. - Herpes Simpleks rekuren Lesi lebih sedikit, bersifat lokal, unilateral, lebih singkat dan menghilang selama 5 hari, dapat didahului oleh keluhan parastesia 1-2 hari sebelum timbul lesi dan umumnya mengenai daerah yang sama yaitu penis, vulva, anus, atau bokong. - Herpes Simpleks Asimptomatik Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis antibody herpes positif. Terapi: antivirus acyclovir 5x200mg selama 5 hari Vaginosis bacterial Candidiasis Trichomoniasis Gonorhoe vulvovaginal Etiologi Gadnerella Candida Trichomonas Neisseria vaginalis Albicans Gonorhoe Keluhan Gatal, terasa tidak Gatal pada Gatal di bagian Keluarnya sekret nyaman, nyeri saat genitalia labia mayora, purulen dan nyeri berhubungan interna dan nyeri BAK dan BAK

seksual dan BAK Discharge

Sekret berwarna putih homogen, melekat pada dinding vagina dan vestibulum, berbau amis seperti ikan

Pemeriksaan

Clue cells + (squamous epitelial cell yang dilapisi oleh bakteri), sniff test + (mengeluarkan bau amis setelah ditambahka pottasium hidroxide)

Terapi

Metronidazol 2gr dosis tunggal atau metronidazol 2x500mg selama 7 hari

eksterna

terkadang sakit pinggang Sekret Sekret encer Sekret purulen berwarna putih berwarna kuning atau susu, kehijauan, berbau mukopurulen bergumpal dan berbusa menyerupai susu basi, tidak berbau Eritem dan Cerviks: Edema dan edema, strawberry red eritem pada sediaan apus appearance OUE, sediaan dengan gram Sniff test + apus gram dan sediaan ditemukan basah dengan diplokokus gram KOH negatif intrasel ditemukan blastospora dan pseudohifa Ketokonazol Metronidazol 2gr Sefiksim 400mg 2x200mg dosis tunggal atau peroral dosis selama 7hari metronidazol tunggal 2x500mg selama 7 hari

79. C. VDRL Pembahasan: Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum bersifat kronis dan menahun. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Sifilis mempunyai beberapa stadium infeksi, yaitu: Stadium pertama dari gejala penyakit sifilis bisa ada sebuah luka terbuka yang disebut chancre di daerah genital, rektal, atau mulut. Luka terbuka ini tidak terasa sakit. Pembesaran kelenjar limfe bisa saja muncul. Seorang penderita bisa saja tidak merasakan sakitnya dan biasanya luka ini sembuh dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu, maka dari itu penderita biasanya tidak akan datang ke dokter untuk berobat, tetapi bukan berarti sifilis ini menghilang, tapi tetap beredar di dalam tubuh. Jika tidak diatasi dengan baik, akan berlanjut hingga stadium selanjutnya. Stadium kedua dari gejala penyakit sifilis muncul sekitar 1-6 bulan (rata-rata sekitar 6-8 minggu) setelah infeksi pertama, ada beberapa manifestasi yang berbeda pada stadium kedua ini. Suatu ruam kemerahan bisa saja timbul tanpa disertai rasa gatal di bagianbagian tertentu, seperti telapak tangan dan kaki, atau area lembab, seperti skrotum dan bibir vagina. Selain ruam ini, timbul Gejala Penyakit Sifilis lainnya, seperti demam, pembesaran kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, sakit kepala, kehilangan berat

badan, nyeri otot, dan perlu diketahui bahwa gejala dan tanda dari infeksi kedua sifilis ini juga akan bisa hilang dengan sendirinya, tapi juga perlu diingat bahwa ini bukan berarti sifilis hilang dari tubuh Anda, tapi infeksinya berlanjut hingga stadium laten. Stadium laten adalah stadium di mana jika diperiksa dengan tes laboratorium, hasilnya positif, tetapi gejala penyakit sifilis bisa ada ataupun tidak. Stadium laten ini juga dibagi sebagai stadium awal dan akhir laten. Dinyatakan sebagai sifilis laten awal ketika sifilis sudah berada di dalam badan selama dua tahun atau kurang dari infeksi pertama dengan atau tanpa gejala. Sedangkan sifilis laten akhir jika sudah menderita selama dua tahun atau lebih dari infeksi pertama tanpa adanya bukti gejala klinis. Pada praktiknya, sering kali tidak diketahui kapan mulai terkena sehingga sering kali harus diasumsikan bahwa

penderita sudah sampai stadium laten. Sifilis tersier yang muncul pada 1/3 dari penderita yang tidak ditangani dengan baik. Biasanya timbul 1-10 tahun setelah infeksi awal, tetapi pada beberapa kasus bisa sampai 50 tahun baru timbul, stadium ini bisa dilihat dengan gejala penyakit sifilis berupa timbulnya benjolan seperti tumor yang lunak. Pada stadium ini, banyak kerusakan organ yang bisa terjadi, mulai dari kerusakan tulang, saraf, otak, otot, mata, jantung, dan organ lainnya. Pemeriksaan Penunjang - VDRL: Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)/Serum atau Cerebrospinal Fluid (RPR) merupakan pemeriksaan penyaring atau Skrining Test, dimana apabila VDRL positif maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA (Trophonema pallidum heamaglutinasi). Hasil uji serologi tergantung pada stadium penyakit misalnya pada infeksi primer hasil pemeriksaan serologi biasanya menunnjukkan hasil non reaktif. Troponema palidum dapan ditemukan pada chancre. Hasil serologi akan menunjukan positif 1-4 minggu setelah timbulnya chancre. Dan pada infeksi sekunder hasil serelogi akan selalu pisitif dengan titer yang terus meningkat.

Hasil kualitatif: o REAKTIF : Bila tampak gumpalan sedang atau besar o REAKTIF LEMAH : Bila tampak gumpalan kecil-kecil

o NON REAKTIF : Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan - TPHA: Test TPHA (Treponema pallidum hemaglutination). Tindakan ini untuk mengetahui secara spesifik apakah ada reaksi antibodi terhadap kuman treponema. Jika di dalam tubuh ditemukan adanya kuman ini, maka hasil tes positif. Pasien dinyatakan positif tertular. Berdasarkan kasus tersebut, maka pemeriksaan skrening yang dilakukan pada wanita tersebut adalah dengan pemeriksaan VDRL, jika hasilnya positif dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA Sumber: http://www.penyakitkelamin.net/mengetahui-gejala-penyakit-sifilis/ 80. E. CRL (crown rump length) Pengukuran Biometri pada Trimester Pertama Pada trimester pertama dapat dilakukan pengukuran biometri dari kantong gestasi, yolk sac, crown rump length, dan kadang-kadang diameter biparietal. Satu-satunya parameter yang paling kecil kesalahannya dalam penentuan usia gestasi adalah CRL (kurang dari satu minggu), oleh karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan CRL pada setiap kehamilan trimester pertama, kemudian hasilnya ditulis pada status pasien (termasuk perkiraan tanggal persalinannya). Perkiraan tanggal persalinan jangan dirubah-rubah lagi dan dijadikan patokan dalam penentuan usia gestasi, terutama bila siklus haid tidak teratur, riwayat memakai obat hormonal, dan kehamilan ganda. Pengukuran biometri pada trimester pertama: Kantong gestasi (KG): kantong gestasi dapat dilihat sejak kehamilan 4 minggu melalui USG transvaginal (diameter 4-5 mm) dan sekitar 5-6 minggu (diameter 10 mm) melalui USG transabdominal. Kesalahan pengukuran kantong gestasi dalam penentuan usia gestasi sekitar 1-2 minggu. Crown Rump Length (CRL): pengukuran CRL memiliki akurasi yang baik dengan kesalahan sekitar 5-7 hari, sehingga parameter ini merupakan satu-satunya parameter tunggal dengan kesalahan perhitungan usia gestasi kurang dari satu minggu. Pengukuran CRL hanya dapat dipakai sampai usia gestasi 12 minggu karena pada usia gestasi selanjutnya bentuk tubuh janin akan melengkung, sehingga pengukuran usia gestasi setelah 12 minggu akan memiliki kesalahan lebih dari satu minggu. Waktu terbaik pengukuran CRL adalah pada usia gestasi 8-10 minggu. Yolk Sac (YS): Yolk sac mulai tampak secara sonografis pada usia kehamilan 5-6 minggu, letaknya berdekatan dengan embrio, dihubungkan dengan embrio melalui duktus vitellinus, dan merupakan organ ekstra amniotik yang terletak di antara amnion dan korion. Bila diameter yolk sac ≤ 3 mm atau ≥ 8 mm, menunjukkan prognosa kehamilan buruk. Adanya yolk sac intra uterin merupakan salah satu tanda dari kehamilan intra uterin. Bila yolk sac atau embrio tidak ditemukan pada kantung gestasi dengan diameter lebih dari 25 mm (USG transabdominal) atau 15 mm (USG transvaginal), maka

kemungkinan kehamilan yang ada saat ini adalah suatu kehamilan nir mudigah (blighted ovum). Tabel penentuan usia gestasi Pengukuran biometri pada trimester kedua dan ketiga: Setelah usia kehamilan 12 minggu parameter berikut dapat dipakai dalam pemeriksaan biometri janin, yaitu: DBP (diameter biparietal): pengukuran DBP merupakan pengukuran biometri yang paling popular (sering dilakukan) sekaligus paling sering menimbulkan masalah akibat kesalahan dalam pengukurannya. Waktu terbaik untuk penentuan usia gestasi berdasarkan diameter biparietal adalah 15-24 minggu. Setelah usia 24 minggu terdapat variasi individu janin dalam hal ukuran biometri dan kecepatan tumbuh sehingga penentuan usia gestasi berdasarkan DBP menjadi semakin tidak akurat. PF (panjang femur): pada usia gestasi 12 minggu panjang femur (PF) sudah dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi. Ketepatan pemeriksaan panjang femur (PF) dalam penentuan usia gestasi sama dengan diameter biparietal. PF dapat diukur mulai kehamilan 12 minggu hingga aterm. TBJ (Taksiran Berat Janin): sampai saat ini sangat sulit menentukan TBJ secara akurat. Banyak faktor yang mempengaruhi pengukuran biometri janin, misalnya ras, jenis kelamin, jumlah cairan ketuban, presentasi dan letak janin dan tabel yang digunakan. LK (lingkar kepala) DOF (Diameter Oksipito-Frontalis) DTS (diameter transserebellar) PH (panjang humerus) LP (lingkar perut) Referensi: Judi Januadi Endjun. Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : FKUI. 2009. 81. E. KET (Kehamilan Ektopik Terganggu) Pada pasien di atas gejala-geja yang dialami, yaitu nyeri hebat pada perut bawah dan amenorea mengarahkan kepada gejala kehamilan ektopik terganggu. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil pemeriksaan yang menunjukkan bahwa tes kehamilan (+), Hb rendah, dan adanya nyeri goyang portio. Kehamilan Ektopik Implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik. Etiologi:

Faktor tuba, yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba, pembedahan sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan kehamilan ektopik sebelumnya. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi. Faktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum. Penggunaan hormon eksogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral. Faktor lain, antara lain aborsi tuba dan pemakaian IUD. Patogenesis : Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba, dan kehamilan infundibulum tuba. Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder. Kehamilan intrauterin dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan ektopik. Disebut combined ectopic pregnancy bila terjadi bersamaan dan compound ectopic pregnancy bila kehamilan ektopik terjadi lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion. Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada kehamilan 6-10 minggu, berupa : Hasil konsepsi mati dan diresorpsi Abortus ke dalam lumen tuba Ruptur dinding tuba Uterus menjadi besar dan lembek; endometrium dapat berubah menjadi desidua karena pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis dan trofoblas. Pada endometrium juga dapat ditemukan fenomena Arias-Stella. Manifestasi klinis: Amenore. Gejala kehamilan muda Nyeri perut bagian bawah. Pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat, menyebabkan penderita pingsan sampai syok. Pada abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai ke diafragma bisa menyebabkan nyeri bahu, dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua. Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri pada perabaan, dan kavum Douglas menonjol karena ada bekuan darah. Diagnosis: Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis, yaitu USG, laparoskopi, dan kuldoskopi. Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik terganggu dapat didapatkan dari:

Anamnesis: amenorea dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah. Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat; pada perdarahan dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok. Pemeriksaan ginekologi: ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada pergerakan serviks; uterus dapat teraba agak membesar dan kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan; kavum Douglas menonjol, berisi darah, dan nyeri bila diraba. Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.

Referensi: Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008. 82. E. Depresi Teori penerimaan (acceptance) Kubbler Ross, yakni: Tahap Denial (penolakan) Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat.

Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya pasti nanti kembali". Tahap anger (marah) Reaksi respon: timbul kesadaran akan kenyataan kehilangan. kemarahan meningkat kadang diproyeksi ke orang lain, tim kesehatan atau lingkungan.Reaksi fisik: nadi cepat, tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif. Contoh: “Ini terjadi karena dokter tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannnya". Tahap Bargainning (tawar-menawar) Reaksi respon: Pasien berunding dengan cara halus untuk mencegah kehilangan dan perasaan bersalah. Memohon pada Tuhan. Pasien juga mempunyai keinginan untuk melakukan apa saja untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Contoh: "Kalau saja saya sakit, bukan anak saya....", "Kenapa saya ijinkan pergi. Kalau saja dia dirumah ia tidak akan kena musibah ini"., "Seandainya saya hati-hati, pasti hal ini tidak akan terjadi". Tahap Depresi Reaksi respon: sikap menarik diri, perasaan kesepian, tidak mau bicara dan putus asa. Individu bisa melakukan percobaan bunuh diri atau penggunaan obat berlebihan. Reaksi fisik: susah tidur, letih, menolak makan, dorongan libido menurun. Contoh: "Biarkan saya sendiri"., "Tidak usah bawa ke rumah sakit, sudah nasib saya". Tahap Acceptance (Penerimaan) Reaksi respon: reorganisasi perasaan kehilangan, mulai menerima kehilangan. Pikiran tentang kehilangan mulai menurun. Mulai tidak tergantung dengan orang lain. Mulai membuat perencanaan. Contoh: “Ya sudah, saya iklaskan dia pergi.", "Apa yang harus saya lakukan supaya saya cepat sembuh". "Ya pasti dibalik bencana ini ada hikmah yang tersembunyi" 83. C. Abses paru ABSES PARU Abses paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri. Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya, Abses Paru terjadi karena: Abses paru timbul bila parenkim paru obstruksi, infeksi kemudian proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi empyema.

Etiologi Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan peneliti dan teknik penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus. Patofisiologi Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses. Manifestasi Klinis 1. Gejala klinis Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya, yaitu: a. Panas badan berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur > 400oC. b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%). c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75% penderita abses paru. d. 50% kasus Nyeri dada e. 25% kasus Batuk darah f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara napas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi. 2. Pemeriksaan Radiologis Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau 2 – 20 cm. dengan ukuran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus

maka didalam kavitas terdapat air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas). 3. Pemeriksaan laboratorium a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3. bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan shit to the left b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat. c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan fisik Rontgen dada CT scan Drainage postural Fisioterapi dada Pemeriksaan mikrobiologi Terapi medik Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi suportif fisio terapi. Penatalaksanaan Penatalaksanaan abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses paru. 1. Medika Mentosa Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik. Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan Abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin. Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru. Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu. 2. Drainage

Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk mempercepat proses resolusi Abses paru. Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi. 3. Bedah Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila: a. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika. b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi c. Infeksi paru yang berulang d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi. Referensi: Assegaff H. dkk. Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. AUP. Surabaya, 136 – 41. Finegold SM, Fishman JA. Empyema and Lung Abscess in Fishman’s pulmonary Diseases and disorders 3rd ed, Philadelphia. 1998, 2021 – 32. Garry et al. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual Internal Medicina Diagnosis and Therapy 3rd, Oklahoma. 199. 119 – 120. Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess. Chest. 108, 4, 1995, 937 – 41. Hirshberg B et al. Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess, Chest. 115. 3-1999, 746 – 52 84. B. Hematothoraks Trauma thorax Semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. Trauma dada atau thorax adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematopneumothoraks. Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi berikut: 1. Hipoksia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar uga, dan otot pernapasan, kolaps paru dan pnemotoraks 2. Hipovolemia akibat kehilangan cairan pasif dari pembuluh besar, rupture jantung, atau hemotoraks Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intratoraks yang meningkat.

Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan. Etiologi 1. Trauma tembus (penetrating trauma). 1. Luka Tembak 2. Luka Tikam / Tusuk Pada trauma tusuk biasanya diakibatkan oleh luka tembak, atau luka tusuk, dengan penyebaran tenaga pada area yang kecil, tidak seluas trauma tumpul. Pada luka tembak, arah tembakan peluru, tidak dapat dipredikisi dengan jelas, sehingga seluruh organ dada memiliki risiko tinggi. 2. Trauma tumpul (blunt trauma) 1. Kecelakaan kendaraan bermotor 2. Jatuh 3. Pukulan pada dada Pada trauma tumpul, kekuatan hantaman didistribusikan ke area yang luas, dan kerusakan visceral terjadi akibat tahanan, penyebaran kekuatan hantaman, tekanan Tanda dan Gejala pada Trauma Thorax Secara umum tanda dan gejala trauma thorax adalah : 1. Ada jejas pada thorak 2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi 3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi 4. Pasien menahan dadanya dan bernapas pendek 5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan 6. Penurunan tekanan darah 7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher 8. Bunyi muffle pada jantung 9. Perfusi jaringan tidak adekuat 10. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung Jenis-jenis kegawatdaruratan pada trauma thoraks Hematothoraks Hemothoraks adalah suatu keadaan yang paling sering dijumpai pada penderita trauma thoraks yang sering disebabkan oleh trauma pada paru, jantung, pembuluh darah besar. Pada lebih 80% penderita dengan trauma thoraks dimana biasanya terdapat darah>1500ml dalam rongga pleura akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari adanya cedera pada paru- paru, arteri interkostalis, robeknya arterimamaria interna maupun pembuluh darah lainnya seperti aorta dan venacava. Dalam rongga pleura dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematothoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa

terlihat adanya perdarahan yang nyata, distres napas juga akan terjadi karena paru disisi hemothoraks akan kolaps akibat tertekan volume darah. Pada pemeriksaan dapat ditemukan shock,deviasi trakea, suara pernapasan yang melemah (unilateral), vena dileher menjadi kolaps akibat hipovolemia atau penekanan karena efek mekanik oleh darah di intrathoraks. Rib Fracture (Fraktur costae) Fraktur iga (costae) merupakan kejadian tersering yang diakibatkan oleh trauma tumpul pada dinding dada.Walaupun fraktur tulang iga seringmuncul, sukar untuk menentukan prevalensi yang sesungguhnya di antara pasien-pasien dengan cedera serius, karena radiografi anteroposterior sangat kurang sensitive untuk fraktur tulang iga. Iga 4-10 merupakan daerah yang tersering mengalami fraktur. Pasien sering melaporkan nyeri pada dada saat inspirasi dan rasa tidak nyaman. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekandan juga terdapat krepitasi pada daerahfraktur. Fraktur iga bisa juga menjadi petanda adanya hubungan signifikan antara fraktur intrathorakal danextrathorakal. Pernah dilaporkan, 50% pasien mengalami trauma tumpul pada jantung juga terdapat fraktur iga. Fraktur pada iga 8-12 patut dicurigai adanya trauma pada organ abdomen. Organ abdomen yang paling sering cedera adalah liver dan splen. Pasien-pasien dengan fraktur tulang iga sebelah kanan, termasuk iga kedelapan dan dibawahnya,memiliki kemungkinan 19% sampai56% mengalami cedera hati, sedangkan fraktur sisi kiri memiliki kemungkinan 22% sampai 28% mengalami cederasplenn. Trauma tajam lebih jarangmengakibatkan fraktur iga, oleh karenaluas permukaan trauma yang sempit,sehingga gaya trauma dapat melalui selaiga. Fraktur iga bagian bawah juga dapatdiserati adanya trauma pada diafragma. Adanya fraktur iga terutama kurang baik pada anak-anak dan orang tua. Tulang anak-anak cepat mengalami kalsifikasi,konsekuensinya, dinding dada merekalebih rapuh dari pada orang dewasa. Fraktur tulang iga pada anak-anak mengindikasikan suatu tingkat absorpsi energi yang tinggi daripada mungkin pada perkiraan orang dewasa. Dengansuatu kesimpulan, ketiadaan fraktur tulang iga pada anak tidak akan mengurangi perhatian untuk cedera intrathoraks yang parah. Pada suatu penelitian dari 986 pasien anak dengantrauma tumpul dada, 2% memiliki cedera thoraks yang parah tanpa bukti adanya trauma dinding dada. Tiga puluh delapan persen anak dengan kontusio paru tidak memiliki bukti radiografiadanya fraktur tulang iga.Tiga atau lebih fraktur iga yang terjadi berhubungan dengan meningkatnya resiko trauma organ dalam dan mortalitas. Pneumothoraks Pneumothoraks merupakan salah satu kelainan pada rongga pleura ditandai dengan adanya udara yang terperangkap dalam rongga pleura sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan negatif intrapleura dan akan mengganggu proses pengembangan paru. Pneumothoraks merupakan salah satu akibat dari trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi fraktur iga pada parenkim parudan laserasi paru. Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu: Simple pneumothoraks

Simple pneumothoraks yaitu pneumothoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intrathoraks yang progresif. Ciri-cirinya adalah paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsia latau total), tidak ada mediastinal shift. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bunyi napas melemah, hyperresonance (perkusi), pengembangan dada menurun. Tension pneumothoraks Tension Pneumothoraks adalah pneumothoraks yang disertai peningkaan tekanan intra thoraks yang semakin lama, semakin bertambah (progresif). Pada tension pneumothoraks ditemukan mekanisme ventil yaitu udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Ciri-cirinya yaitu terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps paru total, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakea. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi. Open Pneumothorak Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini lebih besar dari pada2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak napas yang hebat. Flail chest Flail chest jarang terjadi, tapi merupakan cedera tumpul dinding dada yang serius. Prevalensi flail chest pada pasien-pasien dengan cedera dinding dada diperkirakan antara 5% sampai13%.Flail chest adalah area thoraksyang “melayang” (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan lebih dari 3 iga , dan memiliki garisfraktur lebih dari 2 (segmented) pada tiap iganya dapat tanpa atau dengan fraktur sternum. Akibatnya adalah:terbentuk area “flail” segmen yang mengambang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi, keadaan ini disebut dengan respirasi pendelluft. Fraktur pada daerah iga manapun dapat menimbulkan flailchest. Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemothoraks, pneumothoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang akan memperberat keadaan penderita. Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu insufisiensi respirasidan jika korban trauma masuk rumah sakit, atelectasis dan berikut pneumonia dapat berkembang. Diagnosis flail chest ditetapkandengan mengobservasi gerakan paradoksal dari tempat yang dicurigai pada keadaan napas spontan. Pada inspirasi, segmen flail ditarik kedalamoleh tekanan negative intrathoraks. Dengan ekshalasi, kekuatan tekanan positif segmen akan menonjol kearah luar. Tamponade jantung Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang berat, trauma tajam yangmengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala trias Beck

yaitu distensi vena leher, hipotensidan menurunnya suara jantung. Kontusiomiokardium tanpa disertai ruptur dapat menjadi penyebab tamponade jantung. Patut dicurigai seseorang mengalami trauma jantung bila terdapat: trauma tumpul di daerah anterior, fraktur pada sternum, trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga IIkiri, garis mid klavikula kiri, arkus kostakiri). Pada otopsi ditemukan sebuah daerah yang terbatas dan tersering pada ventrikel kanan dan menyerupai suatu infark, perdarahan yang mencolok. Kontusio Jantung cedera ini mengacu pada luka atau memar pada miokardium (otot jantung). Kontusio (memar) miokardiumadalah hasil dari cedera yang melibat kankekuatan tumpul yang mengarah ke dada (misalnya kecelakaan lalu lintas). Contusio miokard mungkin berhubungan dengan pneumothoraks, fraktur sternum, fraktur iga, contusio paru atau hemothoraks. Luka memar jantung menyebabkan detak jantung tidak beraturan (aritmia) yang dapat mengancam nyawa. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Fraktur klavikula Klavikula adalah salah satu tulang pada tubuh yang paling sering mengalami cedera dan merupakan fraktur yang paling sering berhubungan dengan proses kelahiran. Klavikula, atau tulang kerah, adalah tulang yang relativelurus yang menghubungkan sternum dengan tulang scapula. Klavikula dapat mengalami fraktur melalui pukulan langsung ke daerah tersebut, atau lebih umum, karena terjatuh pada ujung bahu. Gejala umum termasuk bengkak dan nyeri di dada, yaitu posisi pertengahan antara leher dan bahu. Tanda-tanda fraktur klavikula meliputi: titik perlunakan, krepitasi dan bengkak di tempat fraktur (biasanya di pertengahan klavikula pada anak-anak dan didekat ujung bahu pada orangdewasa). Pasien biasanya merasakan sakit sementara pada saat istirahat yang diperhebat dengan adanya gerakan sendi bahu. Ruptur Trakeobronkial Ruptur trakea dan bronkus utama (rupture trakeobronkial) dapat disebabkan oleh trauma tajam maupun trauma tumpul dimana angka kematian akibat penyulit ini adalah 50%. Pada trauma tumpul ruptur terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat peningkatan hebat dan mendadak dari tekanan saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobron kialini. Kemungkinan kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan percabangan bronkus. Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan hemoptisis, sesak napas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini. Ruptur esophagus Ruptur esofagus lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma tumpul thoraks dan lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus. Akibat ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan penderitanya. Keluhan pasien berupa nyeri tajam yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak napas, sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat

Ruptur Aorta Aorta thorakalis sering bermasalah terhadap kekuatan deselerasi cepat, yang sering terjadi pada suatu kecelakaan kendaraan bermotor (cedera depan), ketika dada terbentur dengan alat kemudi. Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, diperkirakan penyebab kedua tersering kematian pada pasien dengan ceder adada dan lokasi ruptur tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiridekat ligamentum arteriosum. Hanyakira-kira 15% dari penderita trauma dada dengan ruptur aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto thoraks bila didapatkan mediastinum yang melebar, fraktur iga 1dan 2, trakea terdorong ke kanan, gambaran aorta kabur, dan penekanan bronkus utama kiri. Ruptur diafragma Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah thoraks inferior atau abdomen atas yang tersering disebabkan oleh kecelakaan. Trauma tumpul didaerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yangditeruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut, herniasi organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat terjadi. Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intrathoraks atau intra abdominal). Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma, ataupun kita bisa curigai bilaterdapat luka tusuk dada yang didapat kan pada: dibawah ICS 4 anterior, di daerah ICS 6 lateral, didaerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock dan perdarahan pada cavum pleura kiri. Referensi: Bagus, Risang.2009.Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib Di Rumah Anda.Yogyakarta: Aulia Publishing. Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 PMI. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama.Jakarta : Markas Pusat Palang Merah Indonesia 85. C. OD -0,5 OS : -3,5 Klasifikasi Anisometropia 1. Simple anisometropia: di mana refraksi satu mata adalah normal (emetropia) dan mata yang lainnya miopia (simple miopia anisometropia) atau hipermetropia (simple miopia anisometropia). 2. Coumpound anisometropia: di mana pada kedua mata hipermetropia (coumpound hipermetropic anisometropia) atau miopia (coumpound miopia anisometropia), tetapi sebelah mata memiliki gangguan refraksi lebih tinggi dari pada mata yang satunya lagi. 3. Mixed anisometropia: dimana satu mata adalah miopia dan yang satu lagi hipermetropia, ini juga disebut antimetropia.

4. Simple astigmmatic anisometropia: di mana satu mata normal dan yang lainnya baik simple miopia atau hipermetropi astigamatisma. 5. Coumpound astigmatismatic anisometropia: di mana kedua mata merupakan astigmatism tetapi berbeda derajatnya. Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat, yaitu: 1. anisometropia kecil, beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D 2. anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D 3. anisometropia besar, beda refraksi lebih besar dari 2,5 D Penatalaksanaan Anisometropia merupakan salah satu gangguan penglihatan, yaitu suatu keadaan dimana kedua mata terdapat perbedaan kekuatan refraksi, sehingga penatalaksanaan anisometropia adalah memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata. Adapun beberapa penatalaksanan baik menggunakan alat maupun tindakan, yaitu: 1. Kaca mata. Kacamata koreksi bisa mentoleransi sampai maksimum perbedaan refraksi kedua mata 4D. lebih dari 4D koreksi dengan menggunakan kacamata dapat menyebabkan munculnya diplopia. 2. Lensa kontak. Lensa kontak disarankan untuk digunakan untuk anisometropia yang tingkatnya lebih berat. 3. Kacamata aniseikonia. Hasil kliniknya sering mengecewakan. 4. Modalitas lainnya dari pengobatan, termasuk diantaranya: a) Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler b) Refractive cornea surgery untuk miopia unilateral yang tinggi, astigmata, dan hipermetropia c) Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral yang sangat tinggi (operasi fucala) 86. C. Hiperkortisolisme Pada kasus ini yang perlu digarisbawahi adalah: - Pemakaian obat kuat - Pemeriksaan fisik: suhu 390C, tekanan darah 160/90 mmHg, Nadi 120x/menit, muka pucat, moon face, obesitas sentral, striae pada perut dan kulit, bula yang pecah meninggalkan bercak kehitaman pada ekstremitas bawah Kondisi ini mengarah pada keadaan hiperkortisolism. Dalam skenario ini yang menjadi faktor resiko adalah pemakaian obat kuat dimana kandungannya dapat berisi sex steroid.

Manifestasi klinis Cushing syndrome:

Sindrom Chusing: Gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik. Secara etiopatogenesis, cushing syndrome diklasifikasika menjadi 2 kelompok: ACTH- dependent Non-ACTH-dependent - Iatrogenik, terapi ACTH - Iatrogenik, terapi steroid (penyebab - hipersekresi ACTH oleh pituitary ( tersering Cushing’s syndrome) Cushing’s diseases) - Adenoma Adrenocortical - produksi ACTH atau CRH ektopik - Ca adrenocortical oleh faktor non-endokrin neoplasma (contoh: oat cell Ca bronkus) Smart Recall: Untuk mempermudah mengingat gejala dan komplikasi cushing syndrome, digunakan mnemonic "CUSHINGOID" Cataracts Ulcers Skin: striae, thinning, bruising Hypertension/Hirsutism/hyperglycemia Infections Necrosis, avascular necrosis of the femoral head Glycosuria Osteoporosis, obesity Immunosuppression Diabetes

Diagnosis Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan ditemukan peningkatan kortisol plasma. Etiologi dari penyakit ini dapat dijelaskan melalui : 1. Test supresi dexamethasone ( Supresi kortisol pada cushing syndrome karena supresi sekresi ACTH oleh hipofisis) 2. MRI dan CT scan 3. Analisi ACTH dalam darah ( tinggu=adenoma piituitary atau sumber ACTH ektopik; rendah = tumor adrenal primer) Referensi: 1. O’Connor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash Course Pathologi 2nd edition. Elsevier. 2. http://www.medicalmnemonics.com/

87. C. Pielonefritis akut Nephrolithiasis: adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di dalam pelvis atau kalik ginjal atau di dalam saluran ureter. Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu yang besar dengan permukaan kasar yang masuk ke dalam ureter akan menambah frekuensi dan memaksa kontraksi ureter secara otomatis sehingga bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam. Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter. Pielonefritis akut: adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman ini ascending dari bagian bawah ke atas. Kumankuman yang sering adalah Escheria coli,Proteus, Klebsiella spp, dan kokus gram positif. Adapun gejala dan tanda dari pielonefritis akut adalah demam tinggi yang disertai menggigil nyeri di daerah perut dan pinggang, mual maupun muntah. Dapat pula terjadi disuria, frekuensi, dan urgensi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah menilai adanya nyeri pinggang pada regio flank. pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya leukositosis disertai meningkatnya LED, urinalisis terdapat piuria, bakteriuria dan hematuria. Uretritis : adalah peradangan uretra. Gejala utama adalah disuria, buang air kecil yang menyakitkan atau sulit. Gejala uretritis : Discharge (susu atau nanah-suka) dari penis, menyengat atau terbakar saat buang air kecil, gatal, terbakar kesemutan, atau iritasi di dalam penis. Referensi: Purnomo, Basuki. 2007. Dasar-dasar urologi. Sagung seto. Jakarta.

88. A. Sistisis Sistitis: adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih umumnya terjadi pada wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa wanita menderita infeksi kandung kemih secara berulang. Gambaran Klinik Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air kecil dan rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil. Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga dirasakan di punggung sebelah bawah. Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari). Urin tampak berawan dan mengandung darah. Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan diketahui pada saat pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.) Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa menderita inkontinensia uri sebagai akibatnya. Adneksitis atau Salpingo-ooforitis adalah radang pada tuba falopi dan radang ovarium yang terjadi secara bersamaan, biasa terjadi karena infeksi yang menjalar ke atas sampai uterus, atau akibat tindakan post kuretase maupun post pemasangan alat kontrasepsi (IUD) (Sarwono.Winkjosastro, Hanifa.Hal 287.2007). Adnexa atau salpingo-ooporitis terbagi atas: 1.Salpingo ooporitis akuta: disebabkan oleh gonorroe sampai ke tuba dari uterus sampai ke mukosa 2.Salpingo ooporitis kronika: dibedakan menjadi: a. Hidrosalping b. Piosalping c. Salpingitis interstisialis kronika d. Kista tubo ovarial, abses tubo ovarial. e. Salpingitis tuberkulosa 89. B. Transfusi PRC Kasus anemia pada soal ini memunculkan karakteristik dari anemia defisiensi besi : Mata tampak pucat, papil lidah atrofi +, spoon nail +, sclera anikterik, dan apusan darah tepi ditemukan eritrosit mikrositik hipokromik. Penyebab anemia mikrositik hipokrom: Berkurangnya Fe: anemia dei siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, defi siensi tembaga. Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital dan didapat. Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati. Manifestasi Klinis 1. Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah,

mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl, maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas. 2. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah: a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring (‘pharyngeal web’) e. Glositis f. Pica/ keinginan makan yang tidak biasa g. Atrofi mukosa gaster. h. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson kelly ini merupakan kumpulan gejala dari anemia hipokromik mikrositik,atrofi papil lidah dan disfagia. 3. Gejala lain yang dapat menyertai: Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Pada kasus ini Hb 10 dioptri Komplikasi pada miopia tinggi berupa ablasio retina, perdarahan vitreous, katarak, perdarahan koroid dan juling esotropia atau juling ke dalam biasanya mengakibatkan mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia. Referensi: Ilyas S, Tanzil M, Salamun dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003:5. 155.B. Denial Pembahasan: Mekanisme koping adalah suatu pola untuk menahan ketegangan yang mengancam dirinya (pertahanan diri/maladaptif) atau untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi (mekanisme koping/adaptif). - Denial (Fase Penyangkalan dan Pengasingan Diri) Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak dapat disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya, bahwa kematiannya sudah

-

-

-

-

dekat, dan mekanisme ini ternyata memang menolong mereka untuk dapat mengatasi shock khususnya kalau peyangkalan ini periodik. Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan antara menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia hadapi. Anger (Fase Kemarahan) Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus menerus. Masanya tiba dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah dekat. Tetapi kesadaran ini seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka yang sudah tua, yang memang hidupnya sudah tidak berguna lagi?" Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan kadang-kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta, maupun Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku pasien tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya. Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan argumentasiargumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh karena kemarahannya. Bargaining (Fase Tawar Menawar) Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan macam-macam hal kepada Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu, maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayaniMu." Depression (Fase Depresi) Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi. Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan. Sebagai orang percaya memang mungkin dia mengerti adanya tempat dan keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan di surga. Namun, meskipun demikian perasaan putus asa masih akan dialami. Acceptance (Fase Menerima) Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami. Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima kenyataan, bahwa kematian sudah dekat, sehingga mereka mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalanpersoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini biasanya membosankan dan mereka seringkali dilupakan oleh teman-teman dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga pada saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar.

156.A. Trunkus superior pleksus brachialis Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi. Sesuai dengan letak pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma lahir pada saraf tersebut dapat dibagi menjadi 1. Trunkus superior pleksus brachialis (C.5-C6): Paralisis Duchene-Erb menyebabkan adduksi dan endorotasi sendi bahu; dan lengan bawah pronasi-ekstensi. serta hilangnya reflek radial dan biseps. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat lengan akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas disebut sebagai waiter’s tip. 2.

Trunkus inferior pleksus brachialis (C.7,8-Th.1): Paralisis Klumpke lebih jarang terjadi pada trauma kelahiran menyebabkan kelemahan pada seluruh otototot tangan yang diprsarafi oleh nervus medianus dan ulnaris. Pergelangan tangan dan metacarpophalank (MCP) dalam keadaan hyperekstensi, dan fleksi pada sendi-sendi interphalank menyebabkan gambaran claw hand. Secara lengkap anatomi dari pleksus brachialis dibagi menjadi: Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan Branches maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan kelainan yang berbeda-beda. 1. Roots: berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1 2. Trunks: dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks 3. Divisions: dari 3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6 division 4. Cords: 6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords 5. Branches: cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu : n.musculocutaneus, n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris Referensi: Solomon L., Warwick D. J., Selvadurai N.; (2010). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. United Kingdom : Holder Arnold Gambar diperoleh dari http://pediatricneuro.com/alfonso/pg220.htm

157.A. Baru Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif. 2) Kasus yang sebelumnya diobati Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Kasus setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 4) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti yang: i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, iii. kembali diobati dengan BTA negative. Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik. Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 158.A. Kesehatan jiwa Pembahasan: Program wajib yang telah standar dilakukan sesuai pengamatan dan pengalaman penulis, antara lain: 1. Promosi Kesehatan (Promkes) a. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat b. Sosialisasi Program Kesehatan c. Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) 2. Pencegahan Penyakit Menular (P2M) a. Surveilens Epidemiologi

3.

4.

5. 6.

b. Pelacakan Kasus: TBC, Kusta, DBD, Malaria, Flu Burung, ISPA, Diare, IMS (Infeksi Menular Seksual), Rabies Program Pengobatan a. Rawat Jalan Poli Umum b. Rawat Jalan Poli Gigi c. Unit Rawat Inap: Keperawatan, Kebidanan d. Unit Gawat Darurat (UGD) e. Puskesmas Keliling (Puskel) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) a. ANC (Antenatal Care), PNC (Post Natal Care), KB (Keluarga Berencana), b. Persalinan, Rujukan Bumil Resti, Kemitraan Dukun Upaya Peningkatan Gizi a. Penimbangan, Pelacakan Gizi Buruk, Penyuluhan Gizi Kesehatan Lingkungan a. Pengawasan SPAL (saluran pembuangan air limbah), SAMI-JAGA (sumber air minum-jamban keluarga), TTU (tempat-tempat umum), Institusi pemerintah b. Survey Jentik Nyamuk

159.B. Rifampicin Pasien TB dengan Diabetes Melitus harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangiefektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasiretinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Jadi obat TB yang harus diperhatikan pada penderita DM adalah Rifampicin dan Ethambutol. Masalah yang muncul pada kasus ini lebih menekankan interaksi obat TB dengan obat antidiabetik, sehingga jawaban yang tepat adalah Rifampicin. Referensi: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Edisi II Tahun 2011.

160.D. Alfa glukosidase inhibitor Glibenklamid Obat ini termasuk golongan sulfonilurea. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Sulfonil urea kerja panjang tidak dianjurkan pada kondisi: penderita lanjut usia, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular. Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada: - Pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, - Pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Efek samping: metformin dapat memberikan efek mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikanpada saat atau sesudah makan. Pioglitazon Termasuk golongan tiazolidindion bekerja dengan berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensicairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Alfa glukosidase inhibitor/Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung, flatulens (74%), nyeri perut (19%), diare (31%), dan peningkatan serum transaminases. Repaglinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Referensi: 1. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011. PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2011. 2. Acarbose (Rx). http://reference.medscape.com/drug/precose-acarbose-342701#0 161.C. Tanda-tanda kehidupan Terdapat beberapa alasan kuat bagi penolong untuk menghentika RJP, antara lain: Penolong sudah melakukan bantuan hidup dasar dan lanjut secara optimal, seperti RJP, defibrilasi pada penderita VT/VF tanpa nadi, pemberian vasopresin,

membuka jalan napas, ventilasi dan oksigenasi, serta sudah melakukan semua pengobatan sesuai pedoman yang ada. Penolong sudah mempertimbangkan bahwa penderita terpapar bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang akan menghambat susuna saraf pusat. Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong. Penolong sudah meremak melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau lebih. Penderita yang tidak respons setelah dilakukan bantuan hidup jantung lanjut setidaknya selama 20 menit. Munculnya Return of Spontaneous Circulation (ROSC) atau kembalinya aktifitas jantung dan pernapasan spontan setelah terjadi henti jantung. *Tanda dari ROSC di antaranya pernapasan spontan, batuk, pergerakan tubuh, denyut nadi teraba, dan tekanan darah terukur.

Menurut panduan kursus bantuan hidup dasar, tanda-tanda klinis kematian yang irreversible seperti kaku mayat, lebam mayat, dan pembusukan merupakan keadaan di mana RJP tidak dilaksanakan. Referensi: PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Lanjut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia: Jakarta. PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Dasar. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.

162.C. Cairan RL 600 cc dalam ½ jam Pada kasus di atas pasien anak mengalami diare dengan dehidrasi berat yang ditandai dengan adanya mata cowong dan turgor kembali sangat lambat. Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang diikuti dengan terapi rehidrasi oral.

Umur < 12 bulan Umur ≥ 12 bulan

Pertama, berikan 30 ml/kg Selanjutnya, berikan 70 ml/kg dalam: dalam: 1 jam 5 jam 30 menit 2,5 jam

Pada kasus di atas usia anak 3 tahun dengan berat badan 20 kg sehingga cairan yang dibutuhkan adalah : (30 ml x 20 ) = 600 ml dalam 30 menit dan selanjutnya diberikan (70 ml x 20 ) = 1.400 ml dalam 2,5 jam. Sumber: World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia. 163.D. Penyakit Hirscprung Anak tersebut mengalami penyakit Hirscprung oleh karena tidak adanya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja secara normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, tidak produktif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan pasase usus. Trias gejala adalah: Keterlambatan evakuasi mekonium Muntah hijau Distensi abdomen Pemeriksaan yang dilakukan dalam menunjang diagnosis adalah: Foto polos abdomen dan pelvis Pada proyeksi lateral dapat memperlihatkan gambaran usus berbentuk corong, sebagai transisi antara bagian usus yang kolaps di sebelah distal dengan bagian dilatasi proksimal yang persarafannya normal. Enema barium Usus tidak perlu dikosongkan terlebih dahulu. Barium tampak mengisi bagian yang tidak berdilatasi, terus masuk ke bagian megakolon yang berdilatasi, melalui bagian transisi yang khas berbentuk corong. Biopsi rectal Biopsi hisap melalui rectal untuk mencari sel ganglion submukosa. Biopsi jaringan usus untuk mencari sel ganglion intermienterik. Pemeriksaan tekanan rectal

Sumber: 1. Short, J.R. Sinopsis Pediatri. Tengerang : Penerbit Binarupa Aksara Pubisher. Hlm 244-246. 2. Kartono, D. Kumpula Kuliah Bedah. Tangerang: Penerbit Binarupa Aksara Pubisher. Hlm 141. 3. Gambar dari : http://medicastore.com/penyakit/903/Penyakit_Hirschprung.html 164.A. Hidrokel Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi. Torsio testis intravaginal terjadi karena korda spermatikus, juga testis, terpuntir bersama tunika vaginalis. Torsio testis intravaginal lebih sering terjadi pada sisi kiri karena korda spermatikus kiri lebih panjang daripada yang kanan sehingga lebih mudah terjadi puntiran. Gejala yang timbul adalah rasa sakit yang sedang sampai berat pada testis yang torsio. Kadang-kadang rasa sakit menjalar sepanjang korda spermatikus ke panggul atau abdomen bagian bawah. Gejala penting yang sangat membantu adalah adanya nyeri testis yang hilang timbul dengan hilangnya rasa sakit secara spontan dalam waktu singkat. Keluhan biasanya disertai mual dan muntah. Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis. Penyebab Orchitis, antara lain: Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis). Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke 4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening. Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya coxsackievirus, varicella, dan echovirus.

Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis, yakni infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis). Tumor testis berasal dari sel germinal atau jaringan stroma testis. Lebih dari 90% berasal dari sel germinal. Tumor ini mempunyai derajat keganasan tinggi, tetapi dapat sembuh bila diberi penanganan adekuat. Pasien biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang seringkali tidak nyeri, namun 30% mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut pada skrotum. 165.E. E. Coli Pielonefritis akut: adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman ini ascending dari bagian bawah ke atas. Kumankuman yang sering adalah Escheria coli, Proteus, Klebsiella spp., dan kokus gram positif. Adapun gejala dan tanda dari pielonefritis akut adalah demam tinggi yang disertai menggigil nyeri di daerah perut dan pinggang, mual maupun muntah. Dapat pula terjadi disuria, frekuensi, dan urgensi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah menilai adanya nyeri pinggang pada regio flank. pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya leukositosis disertai meningkatnya LED, urinalisis terdapat piuria, bakteriuria dan hematuria. Organisme penyebab infeksi tractus urinarius yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli, (80% kasus). E.coli merupakan penghuni normal dari kolon. Organismeorganisme lain yang juda dapat menyebabkan infeksi saluran perkemihan adalah: Golongan Proteus, Klebsiela, Pseudomonas, Enterococcus, dan Staphylococcus. Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan Enterococcus dan Staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut dengan hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan Staphylococcus aureus dalam urine harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal. Demikian juga Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih melalui jalur hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi Salmonella pada urin. Referensi: Suyono, Slamet. 2001. “Ilmu Penyakit Dalam”, edisi 3: Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

166.A. Otitis eksterna difusa

Lokasi Kuman penyebab Gejala

Pengobatan

Otitis Eksterna Sirkumkripta Mengenai kulit liang telinga 1/3 luar Staphylococcus aureus atau Staphylococcus albus

Otitis Eksterna Difusa

Mengenai kulit liang telinga 2/3 dalam Pseudomonas Staphylococcus albus Eschericia coli Nyeri hebat tidak sesuai Nyeri tekan tragus besar bisul Liang telinga sangat sempit Liang telinga sempit Nyeri muncul saat KGB regional membuka mulut membesar dan nyeri tekan Gangguan pendengaran Sekret berbau Jika furunkel besar maka menyumbat liang telinga Antibiotika lokal Membersihkan liang telinga Jika dinding tebal: dilakuka insisi Tampon antibiotic kemudian dipasang drain untuk mengalirkan nanah

Sumber: Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 64-77. 167.E. Sampo selenum sulfida 1,8% 10 menit sebelum mandi, 2x/seminggu, selama 7 hari Pada kasus di atas, pasien terdiagnosis Pitiriasis Versikolor. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien berupa gatal, kelainan kulit yang terjadi, yaitu ditandai dengan adanya makula hipo atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di atasnya, serta predileksi terutama pada daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas. Pada pemeriksaan penunjang dengan KOH 10% tampak spora, blastospora dan hifa pendek. Penatalaksaan Pitiriasis Versikolor: Topikal: sampo selenium sulfida 1,8% dioleskan diseluruh daerah yang terinfeksi selama 15-30menit sebelum mandi, 2-3x perminggu. Atau dengan sampo ketokonazol 2%, sampo zinc pyrithione dengan cara pemakaian yang sama. Sistemik: hal ini diberikan apabila lesi luas atau sulit untuk disembuhkan, yaitu dengan ketokonazol 200mg/hari selama 10 hari.

168.A. Psoriasis Psoriasis: peradangan kulit yang kronik residif yang ditandai dengan plak eritematosa, diataasnya tertutup skuama kasar, transparan, berlapis-lapis disertai dengan adanya fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner. » Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang warnanya berubah menjadi putih pada goresan, seperti lilin yang digores, hal ini disebabkan terjadi perubahan indeks bias. Menggores dapat dilakukan dengan pinggir gelas alas. (Istilah ini hanya dikenal di Indonesia) » Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara mengerjakannya yaitu skuama yang berlapis-lapis tersebut dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis, pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan terlihat bintik perdarahan. » Fenomena Koebner terlihat pada letak lesi kulit pada psoriasis yang bersesuaian dengan bagian tubuh yang sering terpajan trauma/gesekan (lutuu, siku, lumbosakral). Tinea Corporis: merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh kelompok dermatofita (Trychopyton sp., Epidermophyton sp., dan Microsporum). Biasanya mengenai pada kulit yang tidak berambut dengan keluhan gatal terutama saat berkeringat dan secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda peradangan lebih jelas dan polimorfik yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, serta terdapat penyembuhan di tengah. Pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan KOH tampak hifa panjang atau artrospora. Pitiriasis Rosea: erupsi kulit yang akut dan sering dijumpai, bersifat swasirna, secara khas dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch) dan sering tanpa disertai gejala. Heral patch biasanya berbatas tegas, berdiameter 2-4cm, berbetuk oval/bulat, berwarna salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di bagian tepi perifer plak. Lesi primer ini biasanya terletak dibagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang di leher atau ekstremitas proksimal. Lesi sekunder antara 2 hari-2 bulan setelah lesi awal, tetapi umumnya dalam 2 minggu setelah plak primer. Erupsi simetris terutama pada badan, leher dan ekstremitas proksimal. Morfologi lesi sekunder tidak khas , dapat berupa makula tanpa skuama, maupun plak tidak khas. Terdapat 2 tipe utama lesi sekunder, yaitu: (1) Plak kecil menyerupai plak primer tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan aksis panjang lines of cleavage dengan distribusi seperti pola pohon cemara. (2) Papul kecil, kemerahan, biasanya tanpa skuama yang secara bertahap bertambah jumlahnya dan menyebar ke perifer. Dermatitis Seboroik: penyakit kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik. Dermatitis ini dapat dimulai pada masa bayi berusia 2 minggu, menyembuh sebelum usia 1 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan papuloskuama membentuk plakat eritemaskuamosa di tempat predileksi (daerah seboroik), yaitu wajah, terutama alis dan nasolabial, skalp, retroaurikuler, sternal. Pada bayi dan anak, relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopik tettapi skuama dan krusta lebih berminyak. Di skalp krusta dapat menebal dan menyerupai topi. Pada orang

dewasa, kelainan kulit lebih kering tempat predileksi terutama daerah berambut atau kepala dan gatal dirasakan bila berkeringat atau udara panas. Tinea Intertriginosa: merupakan salah satu bentuk tinea pedis, keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari terutama jari IV dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum. 169.B. Impetigo Krustosa Pembahasan: Etiologi Keluhan Klinis

Pemeriksaan penunjang Terapi

Etiologi Usia Keluhan Kelainan Kulit

Nikolsky Sign

Dermatitis Kontak Iritan Terpajan bahan iritan Gatal, terbakar/nyeri Terjadi reaksi dermatitis (eritem, kering, sering terdapat likenifikasi, papul), bila iritan kuat dermatitis akut, iritan lemah dermatitis kronis setelah pajanan berulang Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi lokalisata, berbatas tegas, luas sesuai kontak bahan penyebab, efloresensi monomorf. Tes tempel guna membedakan dengan DKA Pemberian antihistamin generasi kedua (untuk mengurangi gatal) Pemberian kortikosteroid oral (prednison 20 mg/hari selama 3 hari) berat

Impetigo Krustosa Staphylococcus aureus dan Streptococus β hemoliticus Anak pra sekolah Gatal dan rasa tidak nyaman Awal lesi berupa vesikel atau pustul berdinding tipis yang mudah pecah membentuk krusta tebal kekuningan, lesi dapat melebar 1-2cm disertai lesi satelit di sekitarnya. Positif

Dermatitis Kontak Alergi Terpajan alergen Gatal Terjadi reaksi dermatitis setelah terjadi pajanan alergen. Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi dapat generalisata atau lokalisata, efloresensi polimorf.

Tes tempel untuk mencari penyebab Pemberian antihistamin generasi kedua (untuk mengurangi gatal) Pemberian kortikosteroid oral (prednison 20 mg/hari selama 3 hari) sedangberat

Impetigo Bulosa Staphylococcus aureus dan Streptococus β hemoliticus Anak sekolah Gatal Vesikel-bula kendor, berisi cairan jernih dan dapat pula timbul hipopion di atas kulit normal. Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritem. Negatif

Predileksi Terapi

Daerah wajah, mulut dan hidung antibiotik

terutama Daerah intertriginosa, dada dan punggung Antibiotik

170.B. Konjunctivitis Vernal Konjungtivitis viral: inflamasi pada konjungtiva yang disebabkan oleh adenovirus (paling sering) coxsaxie dan pikornavirus (lebih jarang). Konjungtivitis viral dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan: sekret berair dan purulen terbatas, adanya folikel konjungtiva dan pembesaran kelenjar getah bening periaurikular, mungkin juga terdapat edema kelopan dan lakrimasi berlebih. Konjungtivitis Vernal: Ditemukan terbanyak pada usia 5–25 tahun. Jika di atas 25 tahun, dipikirkan kemungkinan Konjungtivitis Atopik. Gejala yang muncul : rasa gatal yang sangat pada mata, terutama saat ditempat terbuka yang panas terik. Pada pemeriksaan didapatkan tanda khas adanya cobblestone dikonjungtiva tarsalis superior, yang biasanya terdapat pada kedua mata. Sekret mata pada dasarnya mukoid dan menjadi mukopurulen jika terdapat infeksi sekunder. Konjungtivitis bacterial: dengan gejala mata merah, sekret mata dan iritasi mata. Organisme penyebab tersering adalah konjungtivitis bakteri (gram positif), Neisseria gonorrhoea, Herpes simpleks dan Clamidia. Referensi: Ilyas, Sidarta. 2002. dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto. 171.A. Atropin Penanganan keracunan organofosfat selanjutnya adalah pemberian antidotum. Antidotum yang diberikan adalah sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10–15 menit

sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan menghialngkan gejala-gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernapasan diperbaiki karena atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernapasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernapasan. Sumber: 1. Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266 – 268. 2. T. A. Gossel dkk. Principle of Clinical Toxicology. Second Ed. Raven Press. New York. 1990 : 133 –139. 3. Budiyanto, A. et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik : Keracunan insektisida. Jakarta : Bagian Kedokteran forensic Fakultas Keokteran Universitas Indonesia.

172.C. Artesunat 100 mg + Amodiakuin 400 mg dibagi 4 dosis selama 3 hari + Primakuin hari I

Dalam kasus ini memenuhi Trias malaria, yaitu Dingin (menggigil), Demam, dan Berkeringat. Dari tetes darah tebalnya didapatkan gambaran: Accole form Khas Plasmodium Falciparum stadium cincin (ring)

Pengobatan Lini Pertama Malaria falsiparum menurut berat badan dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin:

*Tablet mengandung 50 mg sodium artesunat; Tablet 200 mg Amodiakuin basa *Dosis obat: Amodiakuin basa = 10mg/kgBB dan Artesunat = 4mg/kgBB Primakuin = 0,75mg/kgBB (P. falciparum untuk hari I)

Pada soal tidak didapatkan informasi mengenai berat badan sehingga pemberian terapi didasarkan pada tabel menurut umurnya ( dalam kotak merah) yaitu Artesunat 2 tablet+ Amodiakuin 2 tablet perhari selama 3 hari, karena eliminasi waktu paruh adalah 2- 5 jam maka dapat terbagi menjadi 4 dosis. Terapi artesunat harus dikombinasikan dengan amodiakuin. Daftar Pustaka : Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata Laksana Malaria.

173.E. Trombosit – hematokrit Kasus soal dinomor ini mengarah pada kasus infeksi dengue dimana secara klinis menunjukkan demam antara 1-7 hari, dengan gejala lain seperti mialgia, nyeri kepala, dan nyeri uluhati. Pada pemeriksaan fisik juga menunjukkan hasil positif terhadap dengue. protein non struktural antigen– 1 (+) atau NS1 antigen muncul pada hari 1 setelah onset demam dan menurun sampai tidak terdeteksi pada hari 5-6. Oleh karena itu, tes ini dapat digunakan untuk diagnosis dini. Parameter standar pemeriksaan hematologi adalah trombosit dan hematokrit yang merupakan bagian penting dari diagnosis biologis infeksi dengue . Sehingga harus dimonitor secara cermat. Trombositopenia (penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000/ ml) adalah indikator konstan dalam DHF. Trombositopenia biasanya ditemukan antara hari ketiga dan kedelapan penyakit sering sebelum atau bersamaan dengan perubahan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20 % atau lebih dianggap sebagai bukti definitif peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma. Parameter yang harus dimonitor pada pasien DHF yang dirawat selama masa kritis: Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda gejala lain Perfusi perifer diperiksa sesering mungkin sesuai indikasi karena merupakan indikator awal syok yang mudah dan cepat muncul.

Vital sign (temperatur, denyu nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah) dipantau setidaknya setap 2-4 jam pada pasien tanpa syok dan setiap 1-2 jam pada pasien dengan syok. Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan harus lebih sering pada pasien dengan kondisi tidak stabil atau pada pasien suspek perdarahan. Perlu dicatat bahwa hematokrit harus dilakukan sebelum dilakukan resusitasi cairan. Jika idak mungkin dilakukan maka pemeriksaan hematokrit dilakukan setelah bolus cairan bukan selama diinfus. Urine output harus dicatat setidaknya setiap 8-12 jam pada kasus tanpa komplikasi dan setiap jam pada pasien dengan syok lama atau orang-orang dengan kelebihan cairan. Selama periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml / kg / jam (perhitangan berdasarkan pada berat badan ideal). Daftar Pustaka : Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.

174.A. Polio Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), untuk bayi dan anak berusia 0 hingga 18 tahun, edisi tahun 2011 yang masih baku dan ditampilkan dalam situs resmi IDAI yang diunduh pada Maret 2014, hingga ada pembaharuan lebih lanjut.

Referensi: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).http://idai.or.id/. Diakses Maret 2014. 175.D. Pungsi pleura + OAT kategori I + kortikosteroid tappering off Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya. a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: · Pasien baru TB paru BTA positif. · Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif · Pasien TB ekstra paru Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: · Pasien kambuh · Pasien gagal · Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: · Meningitis TB · TB milier dengan atau tanpa meningitis · TB dengan Pleuritis eksudativa · TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 176.E. Dermatitis Kontak Iritan Pembahasan : Pada kasus diatas, pasien terdiagnosis Dermatitis Kontak Iritan dimana UKK sesuai dengan dermatitis dan pasien merasakan keluhan setelah mencuci pakaian secara manual. Hal ini berarti akibat pasien terpajan bahan iritan seperti detergen. Dermatitis Kontak Dermatitis Dermatitis Atopik Iritan Kontak Alergi Etiologi Terpajan bahan Terpajan alergen Multifaktorial, seperti faktor iritan genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik.

Keluhan

Gatal, terbakar/nyeri Gatal

Klinis

Terjadi reaksi dermatitis (eritem, kering, sering terdapat likenifikasi, papul), bila iritan kuat dermatitis akut, iritan lema h dermatitis kronis setelah pajanan berulang Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi lokalisata, berbatas tegas, luas sesuai kontak bahan penyebab, efloresensi monomorf.

Pemeriksaan penunjang

Tes tempel membedakan dengan DKA

Terjadi reaksi dermatitis setelah terjadi pajanan alergen. Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi dapat generalisata atau lokalisata, efloresensi polimorf.

guna Tes tempel untuk mencari penyebab

Gatal, kulit kering, peradangan dan eksudasi Secara klinis pada - fase infantil (0-2 tahun): di kedua pipi, leher, ekstremitas ekstensor, fosa cubiti, fosa poplitea, simetris, bersifat akut, ditandai makula eritematosa yang gatal dapat diikuti dengan lesi papulovesikuler, bila pecah menjadi basah dan membentuk krusta. - Pada fase anak (2-12 tahun) : di fosa cubiti, fosa poplitea (dapat meluas), simetris, bersifat subakut sampai kronik, bekas garukan menyebabkan lebih banyak erosi dan ekskoriasi. - Fase remaja dan dewasa (usia >12 tahun) bersifat kronik, hilang timbul, hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, terutama ekstensor ekstremitas dan tengkuk serta biasanya simetris. Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria Mayor Pruritus Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya Kriteria Minor Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris Pitiriasis alba Dermatitis di papila mame

Terapi

White dermatografism dan delayed blanched response Keilitis Lipatan infra orbital Dennie – Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap Muka pucat dan eritema Gatal bila berkeringat Intolerans perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi Tes alergi kulit tipe dadakan positif Kadar IgE dalam serum meningkat Awitan pada usia dini Pemberian Pemberian Topikal antihistamin antihistamin - Hidrasi kulit generasi kedua generasi kedua - Kortikosteroid topikal (untuk mengurangi (untuk - Imunomodulator topikal gatal) mengurangi Sistemik Pemberian gatal) - Kortikosteroid (untuk kortikosteroid oral Pemberian mengendalikan eksaserbasi (prednison kortikosteroid akut) 20mg/hari selama 3 oral (prednison - Antihistamin (untuk hari) berat 20mg/hari mengurangi rasa gatal) selama 3 hari) - Anti Infeksi (Eritromisin, sedang-berat Kaltromisin), bila ada infeksi virus asiklovir 3x400 mg/hari selama 10 hari

177.D. Frank breech

Presentasi bokong murni (frank breech) Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong. Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech) Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba kaki. Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete breech atau footling) Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki di samping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki. Referensi: Cunningham FG. William Obstetrics 22nd ed. Mc Grawhill Companies. 2005. 178.B. Lesi praganas Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopik yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut: Kategori temuan IVA 1. Normal Licin, merah muda, bentuk porsio normal 2. Infeksi Servisitis (inflamasi, hiperemis) Banyak fluor Ektropion Polip 3. Positif IVA Plak putih Epitel acetowhite (bercak putih) 4. Kanker leher rahim Pertumbuhan seperti bunga kol Pertumbuhan mudah berdarah

Kategori temuan IVA 1. Negatif

2. Positif 1 (+)

3. Positif 2 (++)

Tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) Bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi Garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar Samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih yang irregular pada serviks Lesi bercak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite lessions yang terletak jauh dari sambungan skuamokolumnar. Lesi acetowhite yang buram, padat, dan berbatas jelas sampai ke sambungan skuamokolumnar Lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas, tebal, dan padat Pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite

Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Referensi: Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 179.E. Tablet Fe hingga 2 bulan setelah Hb normal Anak 5 tahun dengan anemia, tanpa demam dan batuk lama menyingkirkan penyebab anemia karena penyakit kronis, pemeriksaan fisik tidak didapatkan splenomegali menyingkirkan adanya hemolisis dan gangguan hemoglobin (thalasemia). Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan apusan darah tepi:

Maka pada anak ini, termasuk anemia defisiensi besi. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi menurut WHO (2013): Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia,maka segera atasi. Beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Minta orang tua anak untuk datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin,pengobatan harus diberikan selama 3 bulan (Dalam panduan WHO tahun 2009 pengobatan diberikan selama 2 bulan). Dibutuhkan waktu 2 – 4 minggu untuk menyembuhkan anemia dan 1-3 bulan setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan persediaan besi tubuh. Jika anak berumur ≥ 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun waktu 6 bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan adanya infeksi cacing cambuk atau cacing pita. Dosis

Kemasan

1x/hari selama 14 hari

Tablet besi/folat (Sulfas ferosus 200 mg + 250 mikrog folat =60 mg elemental iron) Sirup besi (Ferous fumarat 100 mg/5 ml = 20 mg/ml elemental iron)

3- 103 CFU/mL uropatogen

Spesimen yang diambil dari atau melalui - Kondom (secara lege artis) - Aspirasi kateter (lege artis) CFU = colony forming unit

> 105 CFU/mL > 103 CFU/mL

Referensi: Nicolle LE. 2008. "Uncomplicated urinary tract infection in adults including uncomplicated pyelonephritis". UrolClin North Am 35 (1): 1–12, v. Richardson JP. Infection in the urinary tract. In: Adelman AM, Daly MP (eds). Twenty common problems in geriatrics. Singapore: McGraw-Hill; 2001.p.349-55.

181.E. Terbinafin Terbinafin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan penyakit liver kronik ataupun akut (aktive). Idealnya pemberian terbinafin dilakukan setelah pemeriksaan fungsi liver, karena hepatotoksisitas dapat terjadi pada pasien dengan atau tanpa kelainan liver sebelumnya. Pemakaian terbinafin harus segera dihentikan apabila terjadi peningkatan pada pemeriksaan laboratorium fungsi liver, pemeriksaan fungsi liver direkomendasikan dilakukan berkala bagi pasien yang mendapat terapi terbinafin. Telah dilaporkan kasus terjadinya liver failure, bahkan kematian pada pasien yang mendapatkan terapi terbinafin dengan atau tanpa riwayat penyakit liver sebelumnya. Derajat keparahan penyakit berhubungan positif dengan keparahan penyakit sistemik yang telah ada sebelumnya. Pasien yang memperoleh terapi terbinafin harus diberikan penjelasan untuk segera menghentikan minum obat dan menemui dokter apabila mengalami gejala mual, anoreksia, urin berwarna gelap, dan feses pucat. *Apabila menemui soal seperti pada kasus, melihat pilihan jawaban akan cukup membantu karena dari 5 pilihan hanya 1 jawaban (Terbinafin) yang tidak berasal dari golongan azole. Referensi: http://www.drugs.com/pro/terbinafine.html 182. A. Tekanan positif

Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi cukup bulan, apakah bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik. Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini: A. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas jika diperlukan, mengeringkan, merangsang) B. Ventilasi C. Kompresi dada D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan dan frekuensi denyut jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah pemberian oksigen tambahan, penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut jantung, pernapasan, dan status oksigenasi.

Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan pada tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk resusitasi neonatus: 1. Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan. 2. Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara dibanding dengan oksigen 100%. 3. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen), dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri. 4. Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada langkah awal). 5. Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan. 6. Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan. 7. Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit. 8. Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi. Langkah Awal Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit tengadah untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan stimulasi napas. Membersihkan jalan napas: a. Jika cairan amnion jernih. Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP. b. Jika terdapat mekonium. Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan. Praktek yang dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika terdapat bradikardia persisten. Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak bayi. Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma. Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:

1. Resusitasi diantisipasi 2. VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas 3. Sianosis menetap 4. Oksigen tambahan diberikan. Pemberian oksigen tambahan Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal. Ventilasi Tekanan Positif (VTP) Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai. Pernapasan awal dan bantuan ventilasi Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung. Tekanan akhir ekspirasi Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir. Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan dengan gawat napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan CPAP di ruang bersalin. Alat untuk ventilasi Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥ 34 minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti untuk digunakan pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau untuk pemberian obat melalui trakea. Pemasangan intubasi endotrakeal Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah: 1. Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar. 2. Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu lama. 3. Jika dilakukan kompresi dada. 4. Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir amat sangat rendah. Kompresi dada Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.

Medikasi Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang volume atau ke duanya dapat dilakukan. Epinefrin Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena 0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat dipertimbangkan sambil menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL). Pengembang volume Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat diulangi. Perawatan pasca resusitasi Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan. Nalokson Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang bersalin untuk bayi dengan depresi napas. Glukosa Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik iskemik. Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah resusitasi dengan tujuan menghindari hipoglikemia. Hipotermia untuk terapi Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur kehamilan 36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan berat. Hasil penelitian ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan neurologik yang lebih rendah pada bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi terapi hipotermia. Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan dilakukan di fasilitas yang memadai. Penghentian resusitasi Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.

Referensi : Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287. Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics 2010;126:e1400-e1413. 183.B. Luka sedang Luka ringan Luka yang tidak mengakibatkan sakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan Misalnya memar atau lecet: o Yang berdasarkan lokasi dan luasnya dianggap tidak mengakibatkan gangguan fungsi

Luka sedang Luka/cedera di antara luka berat dan luka ringan Misalnya: o Vulnus laceratum o Vulnus scissum o Fracture Yang tidak mengancam nyawa Luka berat Menurut pasal 90 KUHP • Tak dapat diharapkan sembuh • Mengancam nyawa • Halangan bekerja permanen • Kehilangan salah satu indera • Cacat berat • Kelumpuhan • Tak dapat berpikir 4 minggu atau lebih • Gugurnya kandungan 184.E. Rett Syndrome Sindrom Rett (DSM IV) adalah suatu gangguan perkembangan pervasive yang mengenai subtansia gricea cerebri, hanya terjadi pada wanita dan berlaku sejak lahir; sindrom ini bersifat progresif dan dikenal pasti dengan tingkah laku autistik, ataxia, dementia, kejang, dan kehilangan kegunaan tangan dengan fungsi tertentu, dengan atrofi cerebral, hyperamonemia ringan Gejala Gangguan Rett atau Rett sindrom terdiri dari beberapa tahap gangguan; 1. Stage I Gejala gangguan ini dimulai pada usia 6 sampai 18 bulan. Pada tahap ini bayi mulai menghindari kontak mata dan kehilangan minat pada benda-benda mainan. Pada tahap ini bayi mengalami keterlambatan dalam merangkak dan duduk. 2. Stage II Gejala gangguan dimulai pada usia 1-4 tahun. Beberapa gangguan yang muncul : Kehilangan kemampuan untuk berbicara Mengulang-ulang perbuatan yang sama Suka menggerakan tangan seperti sedang mencuci Menangis atau menjerit tanpa adanya provokasi Hambatan atau kesulitan dalam berjalan 3. Stage III Gejala gangguan dimulai berkisar antara usia 2-10 tahun. Meskipun gangguan gerak terus berlanjut, anak dengan gangguan Rett masih mengalami perkembangan perilaku. Beberapa gangguan lain pada tahap ini: Sering menangis atau menjerit tanpa sebab yang jelas

Perilaku waspada Permasalahan atensi Hambatan dalam komunikasi nonverbal 4. Stage IV Tahap gangguan ini merupakan lanjutan dari stage sebelumnya, gejala yang muncul pada usia relatif terutama pada ebilitas (kemampuan) mobilitas diri. Gangguan yang muncul berupa gangguan komunikasi, kesulitan dalam memahami bahasa, gangguan psikomotorik pada tangan. Penderita gangguan Rett terlihat lemah dan beberapa diantaranya didiagnosa mengidap scoliosis. Beberapa fakta, pada tahap ini terjadinya penurunan perilaku mengulang ―bermain-main jari-jari tangan seperti mencuci. 185.B. Stroke perdarahan subarachnoid (PSA) Perdarahan Subarachnoid (PSA/ Subarachnoid Hemorrhage-SAH) yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang antara membran Arachnoid dan Pia mater dapat terjadi secara spontan, karena trauma kepala, dan yang paling sering karena ruptur aneurisma pembuluh darah cerebral.

Gejala klasik PSA adalah nyeri kepala hebat seperti tersengat listrik (thunderclap headache) sering terasa pada bagian occipital. Gejala penyerta yang sering muncul adalah muntah, kejang, dan perubahan status mental sampai dengan koma keseluruhan gejala ini muncul karena proses peningkatan tekanan intra kranial. Gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya rangsang meningeal yang terjadi pada PSA meliputi kaku dan nyeri kuduk, nyeri punggung dan nyeri kedua tungkai muncul dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, terjadi pada 80% kasus PSA. Diagnosis klinis PSA harus dicurigai apabila terdapat satu atau lebih dari 6 karakteristik di bawah ini pada pasien yang mengalami nyeri kepala akut hebat non traumatik dalam 1 jam sejak onset nyeri kepala. Usia ≥ 40 tahun Hilang kesadaran Keluhan kaku dan nyeri kuduk Keluhan yang memberat dengan aktivitas Muntah

Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg Referensi: Perry JJ, Stiell IG, Sivilotti ML, Bullard MJ, Lee JS, Eisenhauer M. High risk clinical characteristics for subarachnoid haemorrhage in patients with acute headache: prospective cohort study. BMJ. 2010;341:c5204. Gambar diperoleh dari http://www.mayfieldclinic.com/PE-SAH.HTM#.U2IsQ-SrDgE 186.D. Skizofrenia paranoid Skizoafektif: gangguan-gangguan yang bersifat episodik dengan gejala afektif dan skizofrenik yang sama menonjol dan secara bersamaan ada dalam episode yang sama dari penyakit itu atau setidaknya dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain. Skizofrenia Herbefrenik: suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus. Pada pedoman diagnostik, kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia harus terpenuhi. Diagnosis herbefrenik pertama kali ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda. Kepribadian promorbid secara khas tetapi tidak selalu pemalu dan suka menyendiri. Diagnosis herbrefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinyu selama 2-3 bulan lamanya. Skizofrenia Simpleks: suatu kelainan yang tidak lazim dimana ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh. Tidak terdapat waham maupun halusinasi ataupu manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya dan disertai dengan perubahan yang bermakna pada perilaku dorongan, yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial. Skizofrenia Paranoid: pada pedoman diagnostik, kriteria umum skizofrenia harus dipenuhi dan sebagai tambahan, halusinasi/waham harus menonjol. Halusinasi biasanya berupa halusinasi audiotorik seperti mengancam pasien atau memberi perintah atau halusinasi auditorik tanpa verbal seperti bunyi pluit, bunyi tawa, bunyi mendengung. Selain itu, halusinasi pembauan atau pengecapan-rasa atau bersifat seksual atau lain-lain perasaan tubuh. Waham dapat berupa hampir setiap jenis waham tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi atau “passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam merupakan yang paling khas. Skizofrenia Residual: suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala negatif jangka panjang. Pada pedoman diagnostik, persyaratn di bawah ini harus terpenuhi: a) Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor, aktivitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.

b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia. c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” skizofrenia. d) Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis yang dapat menjelaskan hendaya negatif tersebut. Sumber: - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 187.C. Ascaris lumbricoides Askariasis adalah infeksi yang disebabkan cacing usus Ascaris lumbricoides atau dikenal sebagai cacing gelang yang penularannya dengan perantara tanah (Soil Transmitted Helmints). Morfologi sebagai berikut: Ukuran cacing jantan 10-30 cm; sedangkan betina 25-30 cm Stadium dewasa hidup di rongga usus halus Telur yang dibuahi: bentuk oval melebar; memiliki lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol; berwarna coklat keemasan. Telur berbentuk infektiv dalam waktu 2-3 minggu. Manifestasi klinis yang muncul adalah: Fase larva Timbul gangguan pada paru yang berupa batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thorax tampak infiltrate. Keadaan tersebut dinamakan Sindrom Loeffler. Fase cacing dewasa Terjad gangguan usus ringan yaitu mual, nafsu makan menurun, diare atau konstipasi. Pada keadaan infeksi berat yang menyerang anak-anak dapat terjadi keadaan malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses secara langsung, atau ditemukan cacing dewasa yang keluar melalui anus.

PERBEDAAN TELUR CACING Ascaris Lumbricoides

Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis atau cacing kremi adalah parasit yang menyebabkan infeksi usus yang disebut sebagai oxyuriasis atau enterobiasis. Anak berumur 5-14 tahun lebih sering mengalami infeksi dibandingkan dengan orang dewasa. Morfologi cacing adalah: Telur Berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar. Telur memiliki kulit dua lapisan, yaitu: lapisan luar berupa albuminous, translusen, bersifat mechanical protection. Di dalam telur terdapat bentuk larva. Cacing dewasa Cacing dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Cacing jantan memiliki sayap dan ekornya melingar seperti tanda Tanya. Cacing betina memiliki sayap, bulbus esophagus nampak jelas, ekor panjang dan runcing. Bentuk khas adalah tidak terdapat rongga mulut tetapi dijumpai 3 buah bibir, double bulb oesophagus, terdapat cervical alae. Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perineum. Migrasi tersebut disebut sebagai nocturnal migration. Gejala klinis yang menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid. Penderita sering menggaruk daerah tersebut. Gejala klinis yang lain adalah kurang nafsu makan, berat badan turun, insomnia. Pemeriksaan yang mudah dan sering digunakan adalah Graham Scotch Tape. Waktu pengambilan spesimen adalah pagi hari sebelum penderita BAB dan malam hari sebelum tidur saat gejala rasa gatal muncul di sekitar anus. Sumber: 1. Jawetz, Melnick & Adelberg’s. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc. Twenty Second Edition. 2001. 2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993. 3. Gmbar diambil dari : http://itg.contente.eu/Generated/pubx/173/helminthiasis/intestinal_nematodes.htm

188. E. Syok Septik Syok merupakan keadaan di mana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolism sel/jaringan. Syok septic adalah sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Sepsis adalah keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) adalah respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih gejala: Suhu > 38oC atau < 36oC Frekuensi nadi > 90 x/menit RR > 20 x/menit atau PaCO2 12.000 /mm3 , < 4.000 / mm3 atau batang > 10%

Sumber: Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 189.A. Diuretik Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obatobatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan. a). Diuretik Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari. b). Diet Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan

asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini. c) Terapi antikoagulan Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan heparin harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi heparin intravena, antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi. d) Terapi Obat Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 – 6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai 75 %. Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL. Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Referensi: Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4, Aru W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006 Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.

190.C. Kista lutein Kista teka lutein: pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-kadang tanpa adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi sebesar tinju. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan tetapi seringkali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini ialah akibat pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan. Kista folikel: kista ini berasal dari folikel de Graaf yang tidak sampai berovulasi, namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi kista. Kista yang berdiri sendiri bisa menjadi sebesar jeruk nipis. Bagian dalam dinding kista yang tipis terdiri atas beberapa lapisan sel granulosa, akan tetapi karena tekanan di dalam kista, terjadilah atrofi pada lapisan ini. Kista dermoid: tidak ada ciri-ciri yang khas pada kista dermoid. Dinding kista kelihatan putih, keabu-abuan, dan agak tipis. Konsistensi tumor sebagian kistik kenyal, di bagian lain padat. Tumor mengandung elemen-elemen ektodermal, mesodermal, dan entodermal. Maka dapat ditemukan kulit, rambut, kelenjar sebasea, gigi (ektodermal), tulang rawan, serat otot jaringan ikat (mesodermal), dan mukosa traktus gastrointestinalis, epitel saluran pernapasan, dan jaringan tiroid (entodermal). Bahan yang terdapat dalam rongga kista ialah produk dari kelenjar sebasea berupa massa lembek seperti lemak, bercampur dengan rambut. Rambut ini terdapat beberapa serat saja, tetapi dapat pula merupakan gelondongan seperti konde. Kista cokelat (endometriosis): gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat bervariabel. Lokasi yang sering terdapat ialah pada ovarium, dan biasanya di sini didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil samapi kista besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma). Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas pada endometriosis, yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan endometriosis). Referensi: Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005.

191.D. Hitung jumlah platelet Anak perempuan 5 tahun dengan bintik-bintik merah di tangan: Tidak gatal, tidak ada riwayat keluarga menyingkirkan diagnosis dermatitis atopi. Riwayat demam disangkal menyingkirkan adanya perdarahan karena infeksi atau keganasan dan tidak ada nyeri sendi menyingkirkan adanya infeksi yang menyebabkan petekie seperti Sindrom Henoch-Schonlein Purpura.

Riwayat tanpa demam, nyeri sendi, tidak ada gejala anemia dapat menyingkirkan Leukimia Akut.

Riwayat pemakaian obat disangkal dapat menyingkirkan purpura steroid. Maka perdarahan abnormal pada kasus ini disebabkan karena trombositoenia atau fungsi trombosit abnormal yang ditandai dengan purpura kulit spontan, perdarah mukosa, dan perdarahan nberkepanjangan setelah trauma. Keadaan trombositopenia dengan penyebab yang tidak diketahui, juga dikenal sebagai Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP). ITP bentuk akut lebih sering terjadi pada anak-anak,sementara bentuk kronis lebih sering terjadi pada dewasa muda. ITP paling sering terjadi pada anak antara umur 2 – 7 tahun.

Jumlah trombosit yang sangat menurun hingga di bawah 50.000 permikroliter (trombositopenia) dapat menyebabkan seseorang cenderung mengalami perdarahan yang berasal dari venula-venula atau kapiler-kapiler kecil di mana diketahui bahwa trombosit terutama diperlukan untuk menutup kebocoran-kebocoran kecil di kapiler dan pembuluh kecil lainnya tersebut. Sebagai akibatnya, timbul bintik-bintik perdarahan yang dapat berwarna merah atau ungu di seluruh jaringan tubuh. Pada penderita Purpura Trombositopenia Idiopatik dapat ditemukan trombosit yang dihancurkan oleh pembentukan antibodi yang diakibatkan oleh autoantibodi (IgG). Umur eritrosit menjadi lebih pendek akibat destruksi yang menigkat tersebut. Pemeriksaan penunjang: 1. Hitung trombosit/ platelet biasanya 10-50 x 109/l. Konsentrasi hemoglobin an hitung leukosit biasanya normal kecuali bila terdapat anemia defisiens besi akibat kehilangan darah. 2. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal, prothrombin consumptionmemendek, test RL (+). Referensi: 1. Behrman, Kliegman, Jensen. 2000. Nelson Text Book of Pediatrics; 16th Edition. 2. Hoffbrand.A.V, Pettit.J.E, Moss.H.A.P.2005. Kapita selekta Hematologi Edisi 4. EGC: Jakarta 3. William W. Hay,Jr, Anthony R Hayward, Myron J.Levin, Judith M Sondheimer.2001,Current Pediatric Diagnosisand Treatmen, Lange, 15th Edition, International Edition. 192.E. Malaria Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosa pasti malaria apabila ditemukan parasit malaria dalam darah. Anamnesis: Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan: 1. riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria; 2. riwayat tinggal di daerah endemik malaria; 3. riwayat sakit malaria/riwayat demam;

4. riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; 5. riwayat mendapat transfusi darah Pemeriksaan Fisik 1. Demam (>37,5 ºC aksila) 2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat 3. Pembesaran limpa (splenomegali) 4. Pembesaran hati (hepatomegali) 5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urine berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration). Pemeriksaan Laboratorium Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis. Pada soal ini informasi mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ada sehingga analisis terhadap kasus tidak dapat dilakukan secara ideal. Untuk menjawab soal seperti ini hanya dapat dikerjakan secara praktis melalui kata kunci yang diberikan, yaitu pasien sepulang bepergian dari Kalimantan dalam artian pasien memiliki riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria. More info: Diagnosis Banding Malaria Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut.

Manifestasi Klinis

Pemeriksaan fisik dan Laboratorium

Uji Diagnostik

Demam tifoid

Demam dengue

Leptospirosis

Demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit perut (diare, obstipasi)

Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari disertai keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering muntah - Uji torniquet positif, - penurunan trombosit - peninggian hemoglobin dan hematokrit pada demam berdarah dengue Tes serologi (antigen dan antibodi).

Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah,

lidah kotor, bradikardi relatif, roseola, leukopenia, limfositosis relatif, aneosinofilia,

uji serologi dan kultur.

conjunctival injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri betis yang mencolok

Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test

(MAT) atau tes serologi positif.

Referensi: Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata Laksana Malaria. 193.B. Rhinitis Vasomotor Rhinitis vasomotor memiliki gejala klinis: Dicetuskan oleh gejala non spesifik seperti asap/rokok, bau menyengat, udara dingin, stress/emosi. Hidung tersumbat biasanya bergantian kiri dan kanan tergantung posisi. Rinorea mukoid atau serosa; jarang disertai keluhan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur. Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis: faktor yang memengaruhi timbulnya gejala Pemeriksaan rhinoskopi anterior: khas berupa konka merah gelap atau merah tua, dapat pula pucat; permukaan konka licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi); pada rongga hidung terdapat secret mukoid atau serosa.

Referensi: Irawati, Nina et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 135-138.

194.C. Urtikaria Pigmentosa Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal yang khas terjadi pada anak-anak. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel. Darier’s sign digunakan pada pemeriksaan fisik diagnosis urtikaria pigmentosa, prisnipnya dilakukan dengan merangsang pelepasan histamin sehingga menimbulkan reaksi alergi lokal. Darier’s sign dapat dimunculkan dengan menggosok dengan sedikit penekanan, atau dengan perangsangan thermal akan memunculkan urtika pada area yang diperiksa. Lentiginosis adalah keadaan terbentuknya makula coklat atau coklat kehitaman berbentuk bulat atau polisiklik dengan jumlah yang banyak dan distribusi tertentu. Penyakit ini disebabkan karena bertambahnya melanosit pada taut dermo-epidermal tanpa adanya proliferasi fokal. Klasifikasi lentiginosis dibagi menjadi 3 sebagai berikut : Lentiginosis Generalisata: umumnya multipel, timbul satu demi satu atau dalam kelompok kecil sejak sama anak-anak. Timbul pada waktu lahir dan bertambah sampai masa pubertas, ditemukan pada daerah leher pada bagian atas, tetapi dapat juga ditemukan diseluruh tubuh, sering disertai kelainan jantung, stenosis pembuluh nadi paru dan sub aorta. Lentiginosis Sentrofasial diturunkan secara autosomal dominan, timbul pada waktu tahun pertama kehidupan bertambah jumlahnya pada umur 8-9 tahun. Efloresensi berupa makula kecil berwarna coklat atau hitam dengan distribusi terbatas pada garis horisontal melalui sentral muka tanpa mengenai membran mukosa. Sindrom Peutz-Jegher hampir selalu terjadi pada laki-laki, merupakan kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal dominan. berupa makula hiperpigmentasi yang timbul sejak lahir dan berkembang pada masa anak-anak. Efloresensi berupa makula diselaput lendir mulut berbentuk bulat dan oval, tidak teratur, berwarna coklat kehitaman berukursn 1-5 mm. Dengan predileksi pada bukal, gusi, palatum durum, bibir. Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada fase akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Makula café au lait (CAL) adalah makula atau bercak (patch) hiperpigmentasi berwarna seperti kopi susu, biasanya berbentuk bulat atau oval berbatas tegas dengan permukaan halus dan ukuran yang bervariasi. Makula CAL dapat timbul secara kongenital atau

didapat pada saat lahir, segera setelah lahir atau saat masa kanak-kanak. Pengobatan pada makula CAL umumnya tidak diperlukan. Neurofibromatosis tipe 1 (NF-1) adalah sebuah gangguan genetik pada sistem syaraf yang menyebabkan tumor tumbuh pada syaraf di seluruh tubuh. NF dapat mempengaruhi otak, syaraf tulang belakang, atau kulit. NF-1 merupakan spektrum klinis makula CAL stadium lanjut, bahkan makula CAL dapat merupakan satu-satunya tanda awal penyakit ini. Penyakit ini pertama kali menyerang saat masa kanak-kanak, terutama masa pubertas. NF kadang-kadang didiagnosa pada masa bayi, tapi lebih sering pada anakanak antara 3-16 tahun. Referensi: Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. 195.C. Anemia defisiensi B12 Secara kllinis, pasien pada soal ini menunjukkan gejala anemia. Pendekatan diagnostik berdasarkan morfologi dari ukuran eritrosit didapatkan ukuran sel darah merah termasuk makrositer. Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh: Peningkatan retikulosit Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran peningkat-an MCV. Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defi siensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine, hidroksiurea). Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut). Penggunaan alkohol: penyakit hati, Hipotiroidisme. Kemungkinan anemia dalam kasus ini berarti defi siensi folat atau cobalamin (B12). Perbedaan Anemia defisiensi folat dan anemia defisiensi cobalamin (B12). ANEMIA DEFISIENSI ANEMIA DEFISIENSI VIT. B12 ASAM FOLAT Manifestasi Klinis Gastrointestinal: Lebih sering kurang gizi dibanding defisiensi B12 - nyeri lidah - inspeksi: papil lidah Manifestasi halus dan kemerahan gastrointestinal lebih - anorexia, berat badan berat mengakibatkan turun malabsorbsi - diare Tidak nampak Sistem nervorum: abnormalitas neurologis - rasa kebas - parestesia ekstremitas, kelemahan, dan ataksia - Kemungkinan gangguan sfingter

Penyebab

Anemia pernisiosa Penyebab paling lazim karena tidak ada faktor intrinsik dan adanya atrofi pada mukosa maupun dekstruksi autoimun dari sel parietal. Pasca Gastrektomi sumber intrinsik dibuang menyebabkan gangguan absorbsi B12 anemia Organisme intestinal Abnormalitas Ileum: dijumpai pada tropical sprue Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditas lambung e.c. tumor pensekresi gastrin) Nitrous Oxide

Defisiensi asam folat yang berhubungan dengan: asupan inadekuat: peminum alkohol alkohol mengganggu metabolisme folat, drug user karena malnutrisi. peningkatan utilitas: Kehamilan malabsorbsi

Berdasarkan riwayat pasien yang pernah menjalani gastrektomi 4 tahun yang lalu dan juga gejala klinis khas adanya gejala neurologis yang tampak, maka pada pasien ini termasuk anemia defisiensi cobalamin (B12) Referensi: 1. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. 2011. www.uptodate.com 2. Soenarto. 2007. Anemia Megaloblastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.PDPERSI.FKUI

3. Schrier SL. 2011. Macrocytosis. January 2011. www.uptodate.com 196.D. tetes tebal darah Resume kasus: - Keluhan :BAK putih susu - Riwayat penyakit dahulu: demam hilang timbul disertai bengkak pada kelenjar lipat paha 2 tahun yang lalu - Pemeriksaan fisik: edem tungkai bawah dan skrotum Kasus diatas mengarah pada filariasis. Tanda-tanda yang dapat mngarahkan kasus ini adalah: - BAK seperti susu (Kiluria) Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan. -

Limfedema

Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal. - Pembesaran Scrotum 1. Lymph Scrotum Pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar 2. Hidrokel Hidrokel terjadi karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau kedua scrotum, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi . Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus. Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Tanda paling khas adalah pembesaran kaki dan scrotum yang disertai nyeri atau panas, sehingga pada pasien ini kemungkinan cacing yang menjadi penyebab filariasis adalah Wuchereria brancofti (keterlibatan organ genitourinaria). Untuk mendukung kecurigaan terhadap filariasis maka diperlukan pemeriksaan penunjang diagnosis arasitologi. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott. Mikrofilaria aktif pada malam hari terutama pukul 22.00-02.00 sehingga pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan waktu tersebut. Pengambilan spesimen darah lebih baik diambil dari kapiler dibanding dengan darah vena. More info: Manifestasi klinis sebagai infeksi Wuchereria bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Gejala akut yang tampak biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testis, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma.

Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia. Penatalaksanaan: Pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dosis tunggal 6 mg/kg berat badan, Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun pada penduduk yang berusia 2 tahun ke atas. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis, kecuali: 1. Anak-anak berusia < 2tahun 2. Ibu hamil dan menyusui 3. Orang yang sedang sakit 4. Orang tua yang lemah 5. Penderita serangan epilepsi Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC. Referensi: 1. Kumar, Abbas, Fausto, 2005. Pathologic Basic of Disease : 7th edition, Elsevier Saunders, 8: 409-410 2. Departemen Kesehatan RI DirJen PPM & PL. 2004. Buku 4. Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah. Jakarta. 3. Widoyono.2008.Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga. 4. http://content.nejm.org/cgi/content/full/347/23/1885 5. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 197.E. Luka yang menyebabkan keterbatasan fisik dan aktivitas atau hambatan pekerjaan Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan

untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah: • jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; • tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; • kehilangan salah satu panca indera; • mendapat cacat berat; • menderita sakit lumpuh; • terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; • gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Referensi: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia. Pedoman teknik pemeriksaan dan interpretasi luka dengan orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta, 2005. Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. Aplikasi trauma-related injury severity score (TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks mediklegal. J I Bedah Indones. 2005;33(2):37- 43. 198.A. Tinel test Sindrom Karpal Tunnel (Carpal Tunnel Syndrome-CTS) mengacu pada penekanan saraf median pergelangan tangan pada struktur yang disebut karpal tunnel. Saraf median membawa sensasi dari permukaan telapak tangan ibu jari dan jari tangan lainnya (kecuali jari kelingking). Saraf ini juga mengontrol otot yang menggerakkan ibu jari. Karpal tunnel dibentuk oleh tulang pergelangan tangan dan ligamen yang disebut fleksor retinakulum yang mengelilingi pergelangan tangan. Tunnel ini jalur sempit bagi saraf median juga banyak tendon yang mengontrol pergerakan jari tangan. Inflamasi maupun penebalan struktur di dalam ataupun di sekitar karpal tunnel dapat menekan saraf median, mengakibatkan nyeri , mati rasa dan melemahnya tangan dan ibu jari. Terdapat beberapa manuver pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis CTS 1. Tinel test/sign

Dilakukan untuk memeriksa adanya iritasi saraf, dikerjakan dengan cara perkusi ringan di pergelangan tangan bagian volar di atas nervus medianus untuk membangkitkan sensasi kesemutan. Positif apabila rasa kesemutan muncul pada area yang dipersarafi N. Medianus (ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan separuh medial jari manis).

2. Manuver Phalen: siku pasien diletakkan di atas meja, lengan bawah tegak lurus terhadap meja dan pergelangan tangan difleksikan. Posisi ini ditahan selama 60 detik. Tes dikatakan positif bila rasa baal atau kesemutan muncul pada jari-jari sisi radial

Referensi: Spicher, C.; Kohut, G.; Miauton, J. 1999. "At which stage of sensory recovery can a tingling sign be expected? A review and proposal for standardization and grading". Journal of hand therapy : official journal of the American Society of Hand Therapists 12 (4): 298–308. Gambar diperoleh dari http://www.drwolgin.com/Pages/carpaltunnel.aspx 199.A. Heimlich maneuver Kacang-kacangan, biji-bijian atau benda kecil lainnya dapat terhirup anak, dan paling sering terjadi pada anak umur < 4 tahun. Benda asing biasanya tersangkut pada bronkus (paling sering pada paru kanan) dan dapat menyebabkan kolaps atau konsolidasi pada bagian distal lokasi penyumbatan. Gejala awal yang tersering adalah tersedak yang dapat diikuti dengan interval bebas gejala dalam beberapa hari atau minggu kemudian sebelum anak menunjukkan gejala wheezing menetap, batuk kronik atau pneumonia yang tidak berespons terhadap terapi. Pertolongan pertama pada anak yang tersedak adalah mengeluarkan benda asing tersebut.

Pada kasus tersebut anak berusia > 1 tahun sehingga dilakukan perasat Heimlich untuk mengeluarkan benda asing sebagai penangan dini. Referensi: WHO Indonesia. (2013). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 200.E. Malaria falciparum Kasus ini mengarah pada malaria. Faktor resiko dari pasien ini adalah baru pulang dari Papua dimana merupakan daerah endemis malaria. Trias Malaria: Periode dingin (minggigil), Demam, Berkeringat. Pembeda P. Falciparum P.Vivax P. Ovale P. Malariae Fase 48 jam/ 48 jam/ 49-50 jam/ 72 jam/ eritrosit / Demam setiap 24Demam tiap hari ke- Demam tiap hari Demam tiap hari Periode 48 jam/tidak teratur 3 (Tertiana Benigna) ke-3 (Tertiana ke-4 (Quartana) demam (Tertiana/ sub Benigna) Tertian/ Tropikana) Ring Cincin halus Cincin tebal Cincin tebal Cincin tebal Accole form Schuffner’s dot Schuffner’s dot (menempel di dinding) Maurer’s dot (di permukaan eritrosit) Ukuran eritrosit: Ukuran eritrosit: Ukuran eritrosit: Ukuran eritrosit: normal membesar membesar kecil

Tropozoit Schizont Gametosit

Headphone configuration Star in the sky (merozoit >>) Sausage/ crescent/banana shape

Schuffner’s dot

Schuffner’s dot

Schuffner’s dot

Schuffner’s dot

Band form (onameboid) Ziemann’s dot

-

-

-

Referensi: 1. Harijanto PN. 2007. Malaria Dalam: Sudoyo AW,et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:FKUI 2. Matteelli A, Castelli F, Caligaris S. 1997.Life cycle of malaria parasites. In Carosi G, Castelli F. (Ed) Handbook of Malaria Infection in the Tropics. Associazione Italiana

‘Amici di R Follereau’ Organizzazione per la Cooperazione Sanitaria Internazionale. Bologna. 3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC).2013.Malaria. http://www.cdc.gov/dpdx/malaria/

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF