skripsi: Pneumonia pada balita

May 21, 2018 | Author: aghniajolanda | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Pneumonia...

Description

BAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pneumonia merupakan infeksi saluran pernapasan akut yang mengenai  parenkim paru dan menjadi penyebab kematian utama pada balita di dunia. Penyakit global tersebut dapat diatasi di negara maju, namun cukup fatal di negara  berkembang (Scott dkk., 2008). Rudan dkk.(2008) menyebutkan bahwa insidensi  pneumonia balita negara berkembang adalah 151.8 juta kasus baru per tahunnya, dan di negara maju sekitar empat juta. Sekitar 1,1 juta balita di dunia dunia meninggal setiap tahun karena pneumonia, terutama di Afrika dan Asia tenggara (WHO, 2013). Period 2013).  Period prevalence pneumonia prevalence  pneumonia di Indonesia yang tinggi terjadi pada balita sebesar 18,5 per mil (Kemenkes, 2014). Kasus pneumonia di kota Padang meningkat dari 780 kasus pada tahun 2010 menjadi 1426 kasus pada tahun 2011 (Dinkes Padang, 2012). Pneumonia dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk berdasarkan tempat terjadinya infeksi, yaitu Community Acquired Pneumonia (CAP) yang sering terjadi pada masyarakat dan  Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau  pneumonia nosokomial yang didapat di Rumah Sakit. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, penyakit dasar atau penyakit penyerta, serta  prognosisnya (lebih kompleks pada HAP) (Said, 2008). Pneumonia menurut derajatnya, dapat diklasifikasikan menjadi bukan pneumonia, pneumonia,dan  pneumonia berat yang dilhat dari gejala klinisnya (Rahajoe dkk., dkk., 2008).

1

Mikroorganisme penyebab pneumonia dapat berupa virus, bakteri, dan jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan oleh  bakteri, terutama Streptococcus pneumonia  pneumonia  dan  Hemophilus influenza tipe B (UNICEF, 2009). Pemeriksaan mikroorganisme mikroorganisme penyebab penyebab pneumonia pada balita masih belum sempurna karena balita sulit memproduksi sputum dan tindakan invasif seperti aspirasi paru atau kultur darah sulit dilakukan (Rudan dkk., 2013). Faktor risiko yang selalu ada (definite risk factor ) pada pneumonia meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan ASI, polusi udara dalam ruang, dan pemukiman padat (Rudan dkk., 2008). Balita dengan gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko terjadinya pneumonia pada balita (Kartasasmita dkk., 2010). Prevalensi status gizi berat-kurang pada balita sebesar 19,6% pada tahun 2013 dengan rincian 5,7% untuk gizi buruk dan 13,9% untuk gizi kurang. Sumatera Barat menempati urutan ke 18 dari 33 provinsi di Indonesia dengan status gizi buruk-kurang (Kemenkes, 2014). Pemenuhan gizi pada balita mencakup protein, mineral, air, dan vitamin. Kekurangan gizi pada proses tubuh menyebabkan sistem imunitas dan antibodi berkurang sehingga orang mudah terkena infeksi. Hampir setengah kematian balita setiap tahun dihubungkan dengan keadaan malnutirisi (Almatsier, 2010). Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama hingga usia 5 tahun masih  belum matang. Walaupun pada neonatus jumlah sel T tinggi, keseluruhan sel tersebut berupa sel naif dan tidak memberikan respon yang adekuat terhadap antigen. Selain itu, Kerentanan infeksi pada balita lebih rendah dari pada anak dengan usia yang lebih tua sehingga balita mudah terinfeksi (Darwin, 2006). Anak

2

dengan daya tahan terganggu menderita pneumonia berulang atau tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Malnutrisi adalah faktor risiko utama  penyebab infeksi balita pada negara berkembang karena mengganggu proses fisiologis tubuh (Cripps dkk., 2008). Dari berbagai uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di RS DR. M. Djamil. Penelitian dilakukan di RS DR. M. Djamil karena rumah sakit tersebut merupakan  pusat rujukan seluruh daerah di Sumatera Barat.

1.2 Rumusan masalah

1. Berapakah distribusi frekuensi pneumonia balita berdasarkan tingkatan usia dan  jenis kelamin di RS DR. M. Djamil pada tahun 2011-2013? 2. Berapakah distribusi frekuensi pneumonia pada balita berdasarkan berat ringan  pneumonia di RS DR. M. Djamil pada tahun 2011-2013? 2011-2013? 3. Adakah hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita?

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian adalah mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di RS DR. M. Djamil periode 2011-2013 1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Melihat distribusi frekuensi status gizi pada penderita pneumonia berdasarkan tingkatan usia dan jenis kelamin di RS DR. M. Djamil tahun 2011-2013

3

2. Melihat distribusi frekuensi pneumonia pada balita berdasarkan berat-ringan  pneumonia di RS DR. M. Djamil tahun 2011-2013 3. Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di RS DR. M. Djamil

1. 4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian dapat menguji secara empiris hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di RS. DR. M. Djamil

1.4.2 Praktis 1. Bagi peneliti

Hasil penelitian dapat menambah ilmu pengetahuan dan menambah referensi untuk penelitian selanjutnya 2. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan  pertimbangan untuk memperhatikan dengan optimal status gizi pada penderita  pneumonia. 3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah sumbangan pikiran bagi masyarakat sehingga dapat mengurangi angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat.

4

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Pneumonia

Pneumonia merupakan salah satu infeksi saluran pernapasan akut bagian  bawah. Pneumonia adalah radang parenkim paru dengan kondisi asinus terisi cairan radang, baik disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstisium maupun tidak (Soedarsono, 2010). Secara garis besar, klasifikasi pneumonia dibagi ke dalam Community Acquired Pneumonia (CAP) dan Hospital dan Hospital Acquired Pneumonia (HAP). CAP adalah pneumonia yang ada di masyarakat. Kriteria CAP adalah  pasien tidak dirawat sedangkan untuk HAP terjadi setelah pasien dirawat setelah 48-72 jam masuk rumah sakit (PDPI, 2003). Pneumonia pada anak dibedakan menjadi

pneumonia

lobaris,

pneumonia

interstisial

(bronkiolitis)

dan

 bronkopneumonia  bronkopneumonia yang sering mengenai balita (Bennete, 2013). Klasifikasi  pneumonia menurut derajat klinis terbagi ke dalam Pneumonia (ringan-sedang) dan Pneumonia Berat (Rahajoe dkk, 2008). Tabel 2.1 Klasifikasi Pneumonia (Rahajoe NN dkk., 2008) Klasifikasi Bukan Pneumonia Pneumonia

Pneumonia berat

Tanda Tidak ada napas cepat dan sesak napas Tidak ada sesak napas. Nafas cepat >40 kali/ menit Retraksi epigastrium Sesak napas. Retaksi epigastrium, inerkostal, suprasternal Ada tanda bahaya (Kejang, letargi, gizi  buruk)

5

2.1.2 Epidemiologi Pneumonia

Insidensi pneumonia dapat dilihat dari usia, jenis kelamin dan geografi. geografi. Pada 2009  perbandingan kasus pneumonia pada balita dibandingkan dengan usia ≥5 tahun adalah 6:4. Pneumonia pada balita masih tetap merupakan proporsi terbesar. Angka pneumonia balita (1-4 tahun) pada tahun 2009 dibandingkan dengan bayi (4%) pada tahun 2005 ada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka Belitung, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi tengah (Kemenkes, 2010).  Period prevalence  prevalence  pneumonia  balita di Indonesia adalah 18,5 per mil (Kemenkes, 2014). Cakupan penderita  pneumonia pada balita tahun 2010 sebesar 21,9% di Sumatera Barat (Kemenkes, 2007). Kasus pneumonia di kota Padang meningkat dari 780 kasus pada tahun 2010 menjadi 1426 kasus pada tahun 2011 (Dinkes Padang, 2012). Sekitar 1,1 juta anak di bawah 5 tahun meninggal karena pneumonia. Data menunjukkan 18% kematian terjadi pada balita di dunia, terutama di Asia

6

tenggara dan Sub-Sahara Afrika (WHO, 2013). Dunia internasional menargetkan kematian balita menjadi 2/3 dari tahun 1990 hingga 2015 pada  Millenium  Development Goal 4 (Rudan dkk., 2008). Pneumonia masih menjadi penyebab kematian utama pada anak di negara yang memiliki pendapatan rendah. Di negara  berkembang, lebih dari 0.25 episode balita menderita pneumonia dan sekitar 2-3% dari jumlah tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit. Dari 1000 anak yang lahir, sekitar 100-150 balita mengalami pneumonia berat dan paling banyak di usia 2 tahun pertama kehidupan. Angka mortatlitas balita pneumonia di negara  berkembang sekitar 12-20 per 1000 kelahiran. Sekitar 83 balita di Indonesia meninggal setiap hari akibat pneumonia (Kemenkes, 2010). Hanya sedikit dari kasus kematian tersebut yang diketahui mikroorganisme penyebabnya. Mortalitas  biasanya disebabkan oleh kemiskinan dan malnutrisi serta bisa jadi karena kurangnya akses ke tempat layanan kesehatan (Scott dkk., 2008). 2.1.3 Etiologi Pneumonia

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh virus, bakteria, dan jamur. Sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi, dll (Said, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan oleh  bakteri, terutama Streptococcus pneumonia  pneumonia  dan  Hemophilus influenze tipe B (UNICEF, 2009). Virus yang menyebabkan pneumonia antara lain  Respiratory Syncytial Virus  Virus  (RSV), virus influenza, adenovirus, dan virus sitomegalik. Sedangkan golongan jamur yang dapat menyebabkan pneumonia adalah  Histoplasma capsulatum, capsulatum, Cryptococcus neoformans, neoformans,  Candida albicans, albicans , dll. (FK UI, 2010).

7

Mikroorganisme penyebab pneumonia pada balita di negara berkembang sulit ditemukan. Hal tersebut dapat dimengerti karena beberapa alasan. Pertama, sulitnya mendapatkan spesimen yang baik dari saluran pernapasan bawah karena anak-anak biasanya sulit memproduksi sputum. Kedua, aspirasi paru diperlukan untuk mengetahui penyebab secara mikrobiologi, namun tindakan ini merupakan tindakan invasif sehingga jarang dilakukan. Ketiga, metode pemeriksaan pada anak untuk pneumonia masih belum sempurna sehingga tidak ada baku emas untuk menegakkan penyebabnya (Rudan dkk., 2013). 2.1.4 Faktor Risiko Pneumonia

Faktor risiko yang selalu ada (definite risk factor ) pada pneumonia meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak ada pemberian ASI, polusi udara dalam ruang, dan pemukiman padat (Rudan dkk., 2008). Anak yang sehat memiliki pertahanan natural yang baik untuk melindungi paru dari patogen  penyebab pneumonia. Balita dengan gizi kurang dan supresi imun memiliki  pertahanan yang lemah terhadap infeksi (West, 2007). Faktor lingkungan yang dapat meningkatkan risiko pneumonia yaitu  pemukiman yang padat dan orang tua yang merokok. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI (2010), penyakit menahun, faktor iatrogen seperti trauma  pada paru, anesthesia, aspirasi, dan pengobatan antibiotika yang tidak sempurna ikut berperan dalam meningkatkan risiko pneumonia pada balita. 2.1.5 Patogenesis Patogenesis

Kuman yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Defesiensi dan kerusakan dari setiap komponen pertahanan saluran napas atas akan menyebabkan kolonisasi

8

kuman patogen yang mempermudah terjadinya infeksi saluran napas bawah. Soedarsono (2010) menyebutkan ada beberapa cara mikroorgnasime untuk mencapai permukaan saluran napas: 1) Inokulasi langsung 2) Penyebaran melalui pembuluh darah 3) Inhalasi bahan aerosol 4) Kolonisasi pada permukaan mukosa Bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Patogen yang menyebabkan pneumonia mencapai paru-paru balita dengan berbagai rute. Secara garis besar, bakteri sudah berada pada hidung dan tenggorokan sang anak kemudian masuk ke dalam paru saat bernapas. Patogen juga dapat menyebar dari droplet yang terkontaminasi atau dari darah. Risiko bayi terkena pneumonia meningkat melalui kontak dengan jalan lahir atau zat yang terkontaminasi selama  proses melahirkan (UNICEF, 2006). Respon

yang

ditimbulkan

oleh

bakteri

Streptococcus

pneumonia

(pneumokokus) setelah mencapai alveoli ada 4 tahap, yaitu kongesti, hepatisasi merah, hepatisasi kelabu, dan resolusi. Kongesti (4 sampai 12 jam pertama) terjadi ketika eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang  berdilatasi dan bocor. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) adalah tahap dimana  paru-paru tampak merah dan bergranula. Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari) karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang. Alveoli terisi pus atau cairan yang akan mengganggu absorpsi oksigen sehingga penderita akan sulit bernapas. Tahap

9

terakhir adalah resolusi (7 sampai 11 hari), yaitu eksudat mengalami lisisdan direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula (Price dkk., 2005). 2.1.6 Gejala dan Penularan Pneumonia

Gejala pneumonia (ringan-sedang) pada anak di bawah 5 tahun adalah batuk dan/ sulit bernapas dengan disertai demam atau tidak dan memiliki frekuensi napas ≥40 kali. Pneumonia berat ditandai apabila disertai dengan tarikan dinding dada bagian bawah pada daerah epigastrium, interkostal, dan suprasternal, kesadaran menurun, pucat, tidak bisa minum, kejang, stridor pada waktu anak tenang, dan gizi buruk. Napas berbunyi (wheezing  ( wheezing ) biasanya untuk pneumonia yang disebabkan virus (WHO, 2013). Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Hasil  pemeriksaan inspeksi terdapat te rdapat nafas cuping hidung dan terlihat te rlihat bagian b agian yang sakit tertinggal waktu bernapas. Pada pemeriksaan palpasi fremitus dapat mengeras. Hasil pemeriksaan perkusi yaitu yaitu redup. redup.

Pada pemeriksaan auskultasi dapat dapat

terdengar suara napas (bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronki  basah halus nyaring, yang kemudian menjadi ronki kasar pada stadium resolusi (FK UI, 2010). 2.2 Mekanisme Pertahanan Tubuh terhadap Infeksi

Udara yang kita hirup, kulit, dan saluran cerna, mengandung banyak mikroba,  biasanya berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah (nonspesifik) dan didapat (spesifik). Sistem imun tersebut secara umum dapat dijelaskan pada gambar berikut:

10

Sistem Imun

Non Spesifik (Alamiah)

Fisik 1) Kulit 2) Selaput Lendir 3) Silia 4) Batuk 5) Bersin

Larut 1)Biokimia -Lisozim -Sekresi/sebaseus -Asam lambung -Laktoferin -Asam neuraminik 2)Humoral -Komplemen

Spesifik (Didapat)

Selular 1)Fagosit -Mononuklear -Polimorfonuklear 2) Sel NK 3) Sel Mast 4) Basofil 5) Eosinofil 6) SD

Humoral 1) Sel B -IgG -IgA -IgM -IgE -IgD 2) Sitokin

Selular 1) Sel T -Th1 -Th2 -Ts/Tr/ - Tdth -Ctl/Tc -NKT -Th17

Gambar 2.1 Gambaran Umum Sistem Imun (Dikutip sesuai aslinya dari Imunologi Dasar: Baratwidjaja dkk., 2009)

Imunitas alamiah sudah ada sejak lahir. Respon imun alamiah merupakan  pertahanan utama dan pertama pada invasi mikroorganisme. Sistem Sist em imun alamiah memiliki empat komponen, yaitu proteksi melalui barier fisik, mekanik dan  biokomia, barier humoral, serta mekanisme seluler (Darwin, 2006). Proteksi melalui barier fisik diperoleh dari struktur saluran pernapasan. Silia di saluran napas membantu menurunkan jumlah mikroba yang masuk tubuh. Strukur pernapasan berupa cincin banyak ditemukan di berbagai tempat, berisikan nodul yang terletak sekitar bronkus dan berhubungan dengan epitel seperti plak sel limfoid. Sel-sel  Bronchus Associated Lymphoid Tissue (BALT) memiliki kemampuan pergantian yang dan berperan dalam respon terhadap antigen (Baratawidjaja dkk., 2009).

11

Tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru dalam keadaan sehat karena adanya mekanisme pertahanan di paru. Paru memiliki mekanisme  pertahanan untuk mencegah agar kuman kuman tidak masuk ke dalam paru, yaitu: 1) Reepitelisasi saluran napas 2) Aliran lendir pada permukaan epitel 3) Bakteri alamiah atau epithelial cell binding site analog  4) Kompetesi mikroba setempat 5) Sistem transpor mukosilier 6) Refleks bersin dan batuk (Soedarsono, 2010) Bakteri dari luar yang masuk tubuh (jalur eksogen) akan segera diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen,  Acute Phase Protein Protei n (APP) atau dinetralkan oleh antibodi spesifik yang sudah ada di dalam darah. Pertahanan  pejamu terdiri atas sarana-sarana untuk memerangi patogen lokal (Darwin, 2006). Respon imun adaptif berbeda dengan respon alamiah, karena respon imun adaptif terjadi melalui identifikasi dan pengenalan terlebih dahulu terhadap stimulus misalnya virus dan bakteri. Respon ini dibagi menjadi respon humoral dan selular. Terdapat tiga elemen yang berperan pada respon imun humoral dalam  pengenalan dan pengikatan antigen, yaitu antibodi, reseptor sel T, dan molekul  Mayor Hustocompatibility Complex (MHC) (Darwin, 2006). IgA adalah salah satu jenis antibodi yang diproduksi dari limfosit B. IgA merupakan pertahanan permukaan mukosa. Infeksi lebih sering terjadi dan lebih  berat pada anak usia balita (Baratawidjaja dkk., 2009). sIgA melindungi tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen  potensial sehingga mencegah menc egah adherens dan kolonisasi kolonisas i patogen tersebut ters ebut dalam dal am sel

12

 pejamu. IgA juga dapat bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit, dan makrofag sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisasi toksin (Keperien dkk., 2012). Pertahanan imun terhadap bakteri terdiri antara lain atas antibodi yang menetralkan toksin, opsonisasi organisme, aktivasi komplemen yang dapat melisiskan secara langsung. Vasodilatasi memungkinan sel PMN, makrofag, dan sel T bermigrasi untuk membantu mengontrol infeksi (Jackson, 2006). Antibodi tidak dapat menjangkau mikroorganisme yang hidup dan  berkembang biak secara intraseluler. Untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut, sistem imunitas tubuh mengaktifkan fungsi limfosit T. Subpopulasi sel T (Th) mengaktivasi dan mengekspansi limfosit B. Respon imul seluler diawali oleh interaksi antara limfosit Th dengan  Antigen Presentating Cell   (APC) atau interaksi limfosit Tc dengan sel sasaran. Sel Tc memproduksi perforin yang dapat merusak memberan sel dengan membentuk pori, dan  granzyme   granzyme  yang berfungsi membunuh sel sasaran (Darwin, 2006). Imunitas utama terhadap setiap jenis mikroorganisme dapat dilihat di tabel berikut: Tabel 2.2 Mekanisme Pertahan Imun Utama (Dikutip sesuai aslinya dari Imunologi Dasar: Baratawidjaja dkk., 2009) Jenis Infeksi

Mekanisme pertahanan imun

Bakteri

Antibodi, kompleks imun, sitotoksisitas

Mikobakteri

DTH dan reaksi granulomatosa

Virus

Antibodi (netralisasi), CTL, dan Tdth

Protozoa

DTH dan antibody

Parasit cacing

Antibodi (Atopi, ADCC) dan reaksi granulomatosa

Jamur

DTH dan reaksi granulomatosa

13

Pada tingkat seluler oksigen merupakan nutrisi yang penting bagi metabolisme sel, terutama produksi energi. Energi tersebut terutama diperoleh dari co-enzim ATP, yang merupakan energi kimia paling penting pada level molekul dan enzim ssATP disintesis dalam mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif. Reaksi tersebut sangat bergantung pada oksigen dan tidak dapat  berlangsung tanpa keberadaan oksigen.  NADPH-linked oxygenase  oxygenase  merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses fagositosis leukosit. Enzim tersebut memproduksi sejumlah oksigen melalui konsumsi sejumlah besar oksigen. Oksidan dibutuhkan untuk mencegah infeksi. (Bartlett, 2004). Oksidan atau mikrobisidal yang dilepas selama fagositosis disebut ROI (Radical oxygen Intermediet) yang dapat berupa anion superoksid, H 2O2 dan radikal bebas lainnya. Bahan-bahan tersebut sangat toksik untuk bakteri dan jaringan tetapi sangat tidak stabil karena segera dipecah oleh katalase (Baratawidjaja dkk., 2009).

2.2.1. Mekanisme Pertahanan Tubuh pada Anak

Pertahanan imun pada bayi baru lahir sudah ada, tapi belum matang. Untuk mengkompensasinya, IgG dari ibu melewati plasenta. IgG tersebut bertahan 6 sampai 12 bulan pertama dan selanjutnya menerima antibodi dari ASI. ASI mengandung banyak IgA yang dapat melindungi bayi dari infeksi. Anak usia 0-2 tahun masih mendapatkan asupan ASI (Brunt ( Brunt dkk., 2011). ASI mengandung protein, gula, lemak, termasuk faktor imun seperti antibodi (IgA), enzim, dan sel darah putih. ASI, terutama kolostrum, terdiri dari 5x10 6 sel leukosit per ml, 10 kali lipat dibandingkan yang ada pada susu formula.

14

Makrofag, neutrofil, limfosit, sl NK, dan sel pembuat antibodi B, terdapat dalam 10% leukosit dari ASI (Brunt ( Brunt dkk., 2011) Bayi sering mengalami infeksi saluran napas berulang kali dan hal ini  biasanya dihubungkan dengan defisiensi IgG (Hipogamaglobulin (Hi pogamaglobulin fisiologis) serta dapat berubah menjadi normal secara spontan pada umur 4 tahun. Dalam waktu 3  bulan, bayi normal sudah mulai membentuk antibodi sendiri, namun antibodi terhadap kapsul polisakarida bakteri tidak terbentuk dalam jumlah memadai sebelum ia berumur 2 tahun tah un (Darwin, 2006). Sistem imun pada anak usia satu pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang. Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, keseluruhan sel tersebut adalah sel naif yang tidak memberikan respon yang adekuat terhadap antigen (Darwin, 2006). ASI juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan mencegah infeksi paru dan saluran cerna (Jackson, 2006). Kerentanan infeksi  pada balita lebih rendah dari pada anak usia lebih tua dan dewasa karena itu balita mudah terinfeksi (Darwin, 2006) Timus adalah organ imunitas primer yang bertanggung jawab pada  perkembangan limfosit T. Selama proses maturasi, limfosit T muda berlatih untuk membedakan antigen  self dan non-self. non-self. Ukuran timus akan berkurang secara  perlahan-halan mulai usia 5 tahun sampai usia pubertas (Darwin, 2006). Hasselbalch (Dalam Jackson, 2010) menyebutkan bahwa kelenjar timus lebih  berkembang pada bayi 4 bulan yang mengkomsumsi ASI ekslusif dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI secara parsial atau susu formula. ASI dapat mencegah autoimuniti pada bayi baru lahir.

15

2.3 Gizi

I Dewa Nyoman S (2001) (2001) dalam buku “Penilaian “Penilaian Status Gizi” menyebutkan  bahwa gizi adalah zat yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan. Sumber lain menyatakan zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun, dan memelihara jaringan, serta mengatur  proses kehidupan. Gizi terdiri dari Karbohidat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Almatsier, 2010). Tabel 2.2 Zat-zat Gizi Esensial yang Dibutuhkan Tubuh (Almatsier, 2003) Karbohidrat Glukosa Serat

Lemak/Lipid Asam linoleat (Omega-6) Asam linolenat (Omega-3)

Mineral Vitamin Kalsium Klor A (retinol) Fosfor Sulfur D (kolekalsiferol)  Natrium Kalium E (tokoferol) Zat besi Selenium K (menadion) Seng Mangan Tiamin Tembaga Kobalt Riboflavin Iodium Krom  Niasin Fluor Timah Biotin  Nikel Silikon Folasin/Folar Vanadium Vitamin B6 Magnesium Vitamin B12 Vitamin C Protein Air Asam Amino

2.3.1 Manfaat Gizi untuk Tubuh

 American Society for Clinical Cli nical Nutrition Nutriti on (1999)  (1999) menyebutkan bahwa manfaat gizi antara lain:

16

1) Memberi Energi Zat gizi yang dapat memberikan energi adalah karbohidrat, lemak, dan  protein. Oksidasi zat-zat tersebut menghasilkan energi e nergi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas 2) Memelihara Jaringan Tubuh dan Pertumbuhan Protein, mineral, dan air adalah bagian dari jaringan tubuh. Zat-zat tersebut diperlukan untuk membentuk sel-sel baru, memelihara, dan mengganti sel-sel yang rusak. 3) Mengatur Proses Tubuh Protein, mineral, air, dan vitamin diperlukan untuk mengatur proses tubuh. Protein mengatur keseimbangan air di dalam sel, bertindak sebagai buffer dalam upaya memelihara netralitas tubuh dan membentuk antibodi sebagai  penangkal organisme yang bersifat infektif. Mineral dan vitamin diperlukan sebagai pengatur dalam proses-proses oksidasi, fungsi normal saraf dan otot, serta proses penuaan. Air diperlukan untuk melarutkan bahan-bahan dalam tubuh. 2.3.2 Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan  penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan menjadi status gizi butuk, kurang,  baik, dan lebih (Almatsier, 2010). Penilaian status gizi secara langsung dapat diukur dengan cara antropometri, klinis, dan biokimia. Penilaian status gizi secara garis besar yaitu sebagai berikut:

17

Penilaian Status Gizi

Pengukuran langsung

Pengukuran tidak langsung

1. Survei Konsumsi 2. Statistik Viral 3. Faktor Ekologi

1. Antropometri 2. Biokimia 3. Klinis 4. Biofisik

Gambar 2.2 Penilaian Status Gizi (Dikutip sesuai dengan aslinya dari Penilaian Status Gizi: Supariasa dkk., 2001)

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode penilaian status gizi adalah tujuan, unit sampel yang akan diukur, jenis informasi yang dibutuhkan, tingkat reabilitas dan akurasi yang dibutuhkan, tersedianya fasilitas dan peralatan, tenaga, waktu, dan dana. Status gizi secara langsung salah satunya adalah antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam  pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Jenis parameter (ukuran tunggal) dalam antropometri antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, dan jaringan lunak (Supariasa dkk., 2001). Status gizi pada balita diukur berdasarkan umur, berat badan, dan tinggi  badan. Berat badan anak ditimbang dengan timbangan digital yang memiliki  presisi 0,1 kg, panjang badan b adan diukur dengan length-board length -board dengan persisi 0,1 cm,

18

dan tinggi badan diukur dengan microtoise dengan presisi 0,1 cm. Variabel anak disajikan dalam bentuk tiga indikator antoprometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi  badan (BB/TB) (Kemenkes, 2010). Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi akut (Supariasa dkk., 2001). Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan dan  perilaku hidup. Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat peristiwa yang terjadi dalam waktu yang singkat seperti adanya wabah penyakit dan kekurangan makan (Kemenkes, 2010) Salah satu indeks antropometri yang dianjurkan oleh WHO adalah Standar deviasi unit (SD) yang disebut juga Z- score.  score. WHO merekomendasikan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. WHO memberikan gambaran  perhitungan SD unit terhadap baku  National Center for Health Statistics (NCHS), yaitu 1 SD Unit kurang lebih sama dengan 11% dari median BB/U, 10% dari median BB/TB, dan 5% dari median TB/U. Dalam Buku Diagnostik Fisik Pada Anak (2008), indikator gizi menurut BB/U dapat diperoleh dengan menggunakan kurva CDC rujukan WHO-NCHS dengan rumus: BB/U =

     

  100.

19

Kriteria status gizi menurut BB/U dengan rumus tersebut adalah: 

80-120%=> Gizi baik



60-80% => Gizi kurang. Dengan Dengan edema menjadi gizi buruk buruk



Gizi buruk. Tanpa edema: marasmus. Dengan edema:Marasmus-

Kwashiorkor 2.3.4 Epidimiologi Status Gizi

Prevalensi status gizi berat-kurang pada balita sebesar 19,6% pada tahun 2013 dengan rincian 5,7% untuk gizi buruk dan 13,9% untuk gizi kurang. Sumatera Barat menempati urutan ke 18 dari 33 provinsi di Indonesia dengan status gizi buruk-kurang (Kemenkes, 2014). 2.4 Hubungan Status Gizi dengan Infeksi Pneumonia

Asupan nutrisi yang menurun pada balita menyebabkan balita mengalami gizi kurang/buruk yang berakibat pada penurunan sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru (saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung. Akibat dari gizi  buruk terhadap sistem imun antara lain: 1) Penurunan T-cell helper  T-cell helper  terhadap  terhadap respon imun dependen pada CD 4 matur 2) Pemanjangan respon Antiobodi terhadap antigen tertentu 3) Mendepresi mukus sIgA dan antibodi terhadap infeksi mukus 4) Memperburuk aktivasi komplemen 5) Memperburuk aktivitas opsonik 6) Atrofi timus (West, 2007).

20

Selain gizi yang berpengaruh terhadap sistem imun balita, infeksi yang terjad i  pada balita juga mempengaruhi status gizi balita. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi. Akibat dari infeksi terhadap status gizi antara lain: 1) Katabolisme protein dan keseimbangan protein negatif 2) Deplesi penyimpanan karbohidrat 3) Meningkatkan metabolisme resting energi 4) Meningkatkan glukoneogenesis 5) Resistensi insulin perifer 6) Perubahan metabolisme lemak dan anabolisme protein 7) Redistribusi trace elemen (Fe, Cu, Zn) 8) Meningkatkan eksresi vitamin (West, 2007) 2007) Selain 20 sampai 30 gram protein yang dipecahkan secara obligat setiap hari, tubuh memakai hampir semua karbohidrat atau lemak sebagai sumber energi, selama keduanya masih tersedia. Setelah beberapa minggu mengalami kelaparan, sewaktu jumlah simpanan lemak dan karbohidrat mulai berkurang, asam amino darah akan dideaminasi dan dioksidasi dengan cepat sebagai sumber energi. Dari  proses ini, protein jaringan dipecahkan dengan cepat -sebanyak 125 gram tiap hari- sehingga fungsi sel menurun dengan cepat (Guyton, 2003). Protein mengatur keseimbangan air di dalam sel, bertindak sebagai buffer  dalam upaya memelihara netralitas tubuh dan membentuk antibodi sebagai  penangkal organisme yang besifat infektif. Kekurangan gizi pada proses tubuh menyebabkan sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga orang mudah terkena infeksi. Hal ini dapat mebawa kematian pada anak-anak terutama pada  balita (Almatsier, 2010).

21

Bahan dasar protein dibentuk langsung menjadi antibodi, selanjutnya  berkembang menjadi bahan dasar tingkat molekul DNA yang akan disesuaikan  perubahan menjadi DNA spesifik sebagai kode genetik antibodi yang dibutuhkan untuk mengikat antigen/epitop (Subowo, 2009). Sel T, yang diproduksi oleh Timus pada balita, sangat berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh dari benda asing. Organ timus sangat sensitif terhadap malnutrisi karena kekurangan protein dapat menyebabkan atrofi timus. Hampir semua mekanisme pertahanan tubuh memburuk dalam keadaan malnutrisi, sekalipun dalam keadaan kurang gizi (Keperien dkk., 2011). Malnutrisi yang disebabkan oleh kekurangan energi protein akan dise rtai oleh kekurangan vitamin A, vitamin E, vitamin B6, vitamin C, folat, zink, zat besi, tembaga, dan selenium. Malnutrisi yang berat dan kronis menjadi penyebab utama atrofi timus yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan (Keperien dkk., 2011). Vitamin A menjadi faktor penentu dalam proses diferensiasi sel, terutama sel goblet yang mengeluarkan mukus. Mukus melindungi sel-sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan akan terbawa keluar bersama mukus karena adanya epitel yang menyapu mukus keluar. Kekurangan vitamin A menghalangi fungsi sel-sel kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel epitel bersisik dan kering. Membran mukosa tidak dapat lagi mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna sehingga mudah terserang bakteri. Retinol pada vitamin A berpengaruh  pada diferensiasi limfosit B (Almatsier. 2010).

22

Metabolisme vitamin A juga dibantu oleh adanya mineral mikro seperti seng (Zn). Zink berperan penting sebagai mediasi imun non spesifik seperti neutrofil dan sel NK dan imun non spesifik seperti keseimbangan sel Th. Defesiensi zink sebesar 100 mg menjadi penentu utama pneumonia (Brunt dkk., 2011). Malnutrisi merupakan masalah yang penting karena terganggunya imun yang kompeten. Pada saat sistem imun seseorang belum sempurna atau terkompresi,  balita yang malnutrisi akan mudah terke na infeksi kronik dan berulang. Pengaruh terhadap pertahanan mukosa dan fungsi barrier  terhadap invasi patogen berubah  pada saat malnutrisi (Kartasasmita dkk., 2010). Kurangnya asupan makanan pada kebanyakan penderita malnutrisi cenderung menyebabkan infeksi sekunder penyakit endemik. Penyakit seperti pneumonia, malaria, tuberkulosis, diare, dan infeksi parasit menjadi beban utama pada balita di negera berkembang. Hampir setengah dari kematian balita setiap tahunnya yang disebabkan oleh penyakit-tersebut dihubungkan dengan keadaan malnutrisi. Interaksi antara patogeneis dari malnutrisi, gangguan ontogeni sistem imun, dan  peningkatan antigen pada infeksi kronis menjadi penyebab kematian utama. Pengaruh lingkungan seperti nutrisi, pemberian makan, dan kolonisasi mikroflora di usus halus berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh (Cripss dkk., 2008). Infeksi bakterial rekuren sering mengenai sel B, sel fagosit, dan komplemen. Sedangkan infeksi virus, jamur, dan protozoa berat sering mengenai sel T. Defesiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya sirosis hati dan malnutrisi protein /kalori. Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan

23

elemen gizi tertentu (Fe, Zn) sebab tersering defisiensi imun sekunder (Baratawidjaja dkk., 2009). Malnutrisi dapat menimbulkan defisiensi imun, Adanya defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda peningkatan ketahanan terhadap infeksi dan jenis infeksi tergantung dari komponen sistem imun yang defektif. Defisiensi imun dapat tejadi akibat defek pematangan limfosit atau aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspesifik dan spesifik. Penderita defisiensi IgA memiliki risiko terjadi infeksi saluran napas berulang (Baratawidjaja dkk., 2009). Anak dengan daya tahan terganggu menderita pneumonia berulang atau tidak mampu mengatasi  penyakit ini dengan sempurna. Malnutrisi mengganggu fisiologis tubuh. Hampir setengah kematian balita setiap tahun meninggal dihubungkan dengan keadaan malnutirisi (Cripss dkk., 2008). Penelitian Achmad Ghozali (2010) menunjukkan bahwa anak balita yang  pneumonia lebih banyak pada anak dengan status gizi kurang dan buruk. Gizi  buruk akan menyebabkan menyebabkan balita lebih rentan terhadap infeksi.

24

BAB 3 Kerangka Konsep dan Hipotesis

3.1 Kerangka Konsep Agen (Bakteri, Virus, Jamur) Virulensi Jumlah v Imunogenik

Lingkungan Higienitas/Sanitasi Asap rokok Polusi udara Pemukiman padat

↓ Pertahanan

Infeksi

vPatogenitas Inhalasi Kolonisasi Hematogen

Host Umur Defisiensi Gizi (Protein, Vit.A, Zn, Fe)

Tubuh

Saluran  pernapasan atas Inflamasi  parenkim  paru

Saluran  pernapasan  bawah

Frekuensi napas >40, tarikan dinding dada bagian bawah, dll

Pneumonia

Ringansedang Berat

Keterangan : Variabel yang diteliti

25

Penilaian Status Gizi rujukan WHO-NCHS

3.2 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian pneumonia di RS DR. M. Djamil tahun 2011-2013

26

BAB 4 Metodologi Metodologi Penelitian

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian rancangan retrospektif analitik dengan  pendekatan

cross-sectional .

Peneliti

mencari

hubungan

antara

variabel

independen dan variabel dependen dengan melakukan pengukuran pada satu waktu menggunakan data sekunder berupa rekam medis

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pusat pelayanan rekam medis DR.M. Djamil Padang dan dilaksanakan pada Januari 2014-November 2014

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah rekam medis penderita pneumonia balita dari Januari 2011 sampai dengan Desember 2013 4.3.2 Sampel Penelitian 4.3.2.1 Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini adalah seluruh rekam medis balita penderita  pneumonia rawat jalan dan rawat inap di RS. Dr. M. Djamil Djamil yang memenuhi kriteria dari Januari 2011 sampai Desember 2013.

27

4.3.2.2 Teknik pengambilan sampel

Teknik pemilihan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total  sampling  sehingga  sehingga setiap sampel memiliki peluang yang sama. 4.3.2.3 Kriteria Sampel Kriteria inklusi:

1) Balita pneumonia dengan rekam medis yang lengkap dengan berat badan, umur, dan riwayat penyakit sekarang (RPS). 2) Balita pneumonia rawat jalan atau rawat inap 2) Balita dengan diagnosis pneumonia atau pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronkopneumonia), dan pneumonia interstisial yang tercatat di rekam medis RS. Dr. M. Djamil Padang Kriteria eksklusi:

1) Balita penderita pneumonia yang menderita HIV/AIDS, kanker, atau dalam keadaan immunocompromised  2) Balita dengan diagnosis pneumonia setelah berada lebih dari 48 jam di r umah sakit ( Hospital  Hospital Acquired Pneumonia Pneumonia). ). 3) Balita yang mengalami kekurangan gizi kronis

4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel Dependen

Variabel Dependen : Pneumonia pada balita yang diperoleh dari rekam medis di Pusat Rekam Medis RS. M. Djamil

28

Definisi

: Pneumonia  (ringan-sedang) memiliki gejala batuk dan/ sulit bernapas, dengan disertai demam atau tidak serta memiliki frekuensi napas ≥40 kali. Pneumonia berat   ditandai apabila disertai dengan tarikan

dinding dada bagian bawah pada daerah epigastrium, interkostal, dan suprasternal, dengan atau tanpa ronki, kesadaran menurun, kurang bisa minum, kejang, stridor, dan gizi buruk (WHO, 2013). Hal tersebut didapatkan dari catatan diagnosis akhir pasien pada rekam medis. Cara ukur

: Observasi data rekam medis pasien pneumonia berumur 1259 bulan

Hasil ukur

: 1. Pneumonia 2. Pneumonia Berat

Skala

: Nominal

4.4.2 Variabel independen

Variabel independen : Status gizi Definisi

:Keadaan gizi balita yang ditentukan berdasarkan indeks  berat badan terhadap umur (BB/U), dengan mengukur skor Dalam Buku Diagnostik Fisik Pada Anak oleh Abdul Latief dkk. dkk. (2008), indikator gizi menurut BB/U dapat diperoleh dengan menggunakan kurva CDC rujukan WHO NCHS dengan rumus:

BB/U =

      

29

  100

\Cara ukur

: Observasi data rekam medis pasien pneumonia berumur 12-59 bulan

Hasil ukur

: 1. Status gizi baik (80-120%) 2. Status gizi kurang-buruk (60%>x
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF