SKRIPSI BAB 1-5

April 19, 2019 | Author: Elya Cadam | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

skripsi vitras...

Description

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dewasa ini perusahaan semakin dituntut untuk melakukan berbagai  perubahan agar dapat bersaing. Negara-negara dan badan internasional mendukung kesepakatan global terhadap standar akuntansi sehingga menghasilkan  International Financial Reporting Standars  Standars   (IFRS). Apabila  International Financial Reporting Standars  Standars   (IFRS) dijadikan standar oleh negara-negara di seluruh dunia terhadap laporan keuangannya untuk menyampaikan informasi keuangan khususnya bagi pihak eksternal maka akan menghasilkan laporan keuangan yang berada dalam satu standar yang sama. Hal tersebut akan menghasilkan mutu laporan keuangan perusahaan mempunyai pengungkapan yang lebih luas, kredibilitas yang tinggi, serta informasi keuangan yang dihasilkan lebih relevan serta akurat yang pada akhirnya informasi dalam laporan keuangan tersebut dapat dibandingkan satu sama lain sehingga akan memudahkan pemakai laporan keuangan untuk memahami dan dapat diterima secara internasional (Immanuela, 2004). Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) menyusun peta arah program konvergensi IFRS terhadap PSAK dalam tiga tahap, yaitu tahap adopsi, tahap  persiapan akhir, dan tahap implementasi. i mplementasi. Tahap adopsi diterapkan pada tahun 2008 hingga 2011 yang merupakan adopsi pada sel uruh IFRS ke dalam PSAK, mempersiapkan infrastruktur, mengevaluasi dan mengelola terhadap dampak

1

2

adopsi pada penerapan PSAK. Tahap persiapan diterapkan pada akhir tahun 2011 dengan menyelesaikan infrastruktur yang dibutuhkan dan dilakukan  penerapan secara bertahap terhadap PSAK berbasis berbasis IFRS. Tahap implementasi diterapkan pada tahun 2012 yang merupakan penerapan PSAK yang sudah diadopsi IFRS secara keseluruhan dan mengevaluasi terhadap dampak  penerapan PSAK secara komprehensif (Daniel, 2012). Diadopsinya IFRS kedalam PSAK menyebabkan terjadinya perubahan perubahan, salah satunya yaitu pada PSAK No 16 tentang aset tetap. PSAK (1994) memiliki banyak perbedaan terhadap PSAK 16 (Revisi 2007) yang  berupa penggantian istilah aktiva menjadi aset terhadap keseluruhan PSAK dan  pengukuran setelah pengakuan pengakuan awal. Pada PSAK 16 (Revisi 2007) 2007) terdapat dua  pilihan model mengenai pengukuran setelah pengakuan awal yang dapat dilakukan oleh entitas yaitu model biaya dan model revaluasi yang dapat diterapkan pada seluruh aset tetap perusahaan dalam kelompok yang sama. Setelah pengakuan awal pada model revaluasi, aset tetap dicatat sebesar  jumlah revaluasinya, yaitu nilai wajar aset pada tanggal revaluasi dikurangi  jumlah rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi dan akumulasi  penyusutan. PSAK 16 (Revisi 2007) tidak mengharuskan perusahaan yang melakukan revaluasi aset tetap te tap untuk mengikuti ketentuan perpajakan, kecuali untuk tujuan perpajakan. Penelitian yang dilakukan oleh Seng dan Su (2010) terhadap perusahaan-perusahaan di New Zealand dan Brown, dkk (1992) terhadap perusahaan-perusahaan di Australia membuktikan bahwa keputusan

3

untuk melakukan revaluasi terhadap aset perusahaan oleh manajer dipengaruhi oleh faktor perkontrakan, faktor politis, dan faktor asimetri informasi. Yulistia, dkk (2015) mengungkapkan bahwa leverage  leverage  tidak memiliki  pengaruh terhadap revaluasi aset tetap. tet ap. Hal tersebut didukung oleh penelitian peneliti an yang dilakukan Seng dan Su (2010), Firmansyah dan Sherllita (2012), dan  Nurjanah (2013). (2013). Namun Brown Brown et al (1992) menemukan bukti empiris bahwa leverage memiliki pengaruh positif terhadap revaluasi aset tetap. Hasil ters ebut sejalan dengan penelitian Lin dan Peasnell (2000), Piera (2007),

Barać dan

Šodan (2011), serta Manihuruk dan Farahmita (2015) yang memberikan hasil  bahwa leverage memiliki leverage memiliki pengaruh positif pada revaluasi aset. Ukuran perusahaan (firm size) telah size) telah digunakan oleh para peneliti sebagai  proksi dari faktor politis dan insentif manajer untuk memilih prosedur

 pengurangan  pengurangan laba. Barać dan Šodan (2011) membuktikan bahwa ukuran  perusahaan ( firm  firm size) memiliki size) memiliki kontribusi yang signifikan terhadap keputusan revaluasi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian oleh Tay (2009), Seng dan Su (2010). Namun, penelitian yang dihasilkan oleh Firmansyah dan Sherlita (2012), Nurjanah (2013), Ramadhani (2016), dan Latifa dan Haridhi (2016) memberikan hasil bahwa ukuran perusahaan ( firm size)  size)  tidak memiliki  pengaruh pada keputusan revaluasi. Sedangkan Yulistia, dkk (2015) dan Manihuruk dan Farahmita (2015) memperoleh hasil yaitu terdapat pengaruh negatif ukuran perusahaan (firm size)  size)  terhadap revaluasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan kecil memiliki kemungkinan untuk mencatat aset tetapnya menggunakan model revaluasi.

4

Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani (2016) menjadikan intensitas aset tetap (fixed asset intensity) sebagai proksi dari faktor asimetri informasi. Penelitiannya menghasilkan bahwa intensitas aset tetap (fixed asset intensity) memiliki pengaruh secara positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap. Hasil tersebut di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh nurjanah (2013), Manihuruk dan Farahmita (2015) dan Latifa dan Haridhi (2016). Namun,  penelitian yang dilakukan oleh Yulistia, dkk (2015), dan

Barać dan Šodan

(2011) menemukan bahwa intensitas aset tetap (fixed asset intensity)  tidak memiliki pengaruh terhadap revaluasi aset tetap. Seng dan Su (2010) menunjukkan bahwa intensitas aset tetap (fixed asset intensity)  yang diuji melalui univariate adalah signifikan namun secara statistik melalui metode regresi logistik adalah tidak signifikan. Seng dan Su (2010) menggunakan penurunan arus kas operasi ( declining cash flow from operation), sebagai proksi dari faktor perkontrakan dan menemukan bahwa penurunan arus kas operasi, tidak memiliki pengaruh terhadap revaluasi aset keatas. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2013), Firmansyah dan Sherllita (2012), Yulistia, dkk (2015), dan Ramadhani (2016) bahwa keputursan revaluasi aset tetap tidak dipengaruhi oleh penurunan arus kas operasi. Namun hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan Latifa dan Haridhi (2016) yang menemukan bahwa  penurunan arus kas operasi, memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap revaluasi aset tetap. Hasil lain ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Cotter dan Zimmer (1995), dan

Barać dan Šodan (2011)   yang memberikan

5

 bukti bahwa penurunan arus kas operasi (declining cash flow from operation)  berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap.  Nurjanah (2013) melakukan penelitian pada perusahaan di Indonesia dan  berhasil membuktikan bahwa ownership control   (kontrol kepemilikan) memiliki hubungan negatif terhadap revaluasi. Namun hasil penelitian yang  berbeda ditunjukkan oleh Wicaksana (2016) terhadap perusahaan di Indonesia, Lopes (2012) terhadap perusahaan di Brazil dan Piera (2007) terhadap  perusahaan di Swiss yang memberikan bukti empiris bahwa ownership control  (kontrol kepemilikan) tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap. Watts dan Zimmerman (1986) memperkenalkan teori yang dapat menjelaskan mengapa suatu pilihan metode akuntansi dilakukan oleh manajer, teori tersebut yaitu teori akuntansi positif. Manajer akan memilih suatu metode akuntansi yang dapat meningkatkan kompensasinya (hipotesis rencana bonus), mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran perjanjian utang (hipotesis  perjanjian utang) dan menurunkan biaya politis. Oleh sebab itu, manajer mungkin saja memilih metode revaluasi untuk alasan tersebut. Untuk dapat mencapai tujuan hipotesis rencana bonus maka manajer akan meninjau kesehatan keuangan perusahaan. Penentuan metode akuntansi yang dilakukan oleh manajer juga mempertimbangkan perspektif informasi dan karakteristik aset. Perusahaan di Indonesia tidak banyak yang memilih melakukan revaluasi untuk menentukan jumlah tercatat aset tetapnya, begitu juga dengan

6

 perusahaan-perusahaan di ASEAN (Manihuruk dan Farahmita, 2015). Metode  biaya merupakan metode yang banyak dipilih oleh perusahaan-perusahaan di ASEAN untuk menentukan jumlah tercatat asetnya. Padahal, apabila dibandingkan antara model biaya dengan model revaluasi, maka penerapan model revaluasi aset tetap akan menghasilkan nilai kekayaan yang wajar yang lebih relevan dalam pengambilan keputusan. Manihuruk dan Farahmita (2015) menunjukkan data bahwa pada tahun 2008 hingga tahun 2013 perusahaan perusahaan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura memilih menggunakan model biaya daripada model revaluasi dalam penentuan jumlah tercatat aset yang dimiliki perusahaan setelah pengakuan awal. Tabel 1.1 Jumlah Perusahaan yang Menggunakan Model Revaluasi dan Model Biaya Model akuntansi Indonesia Malaysia Filipina Singapura Model Revaluasi 39 817 129 249 Model Biaya 1.400 2.916 423 2.265 Jumlah 1.439 3.733 552 2.514 Sumber: Manihuruk dan Farahmita (2015)

Topik penelitian ini menjadi menarik diteliti kembali untuk menemukan faktor-faktor mengapa hanya sedikit perusahaan yang memilih metode revaluasi dibandingkan metode biaya. Peneliti memilih Malaysia untuk dijadikan

sebagai

pembanding

terhadap

Indonesia

dalam

keputusan

 perusahaan untuk menentukan metode biaya atau metode revaluasi terhadap  penentuan jumlah tercatat asetnya. Negara Malaysia dipilih karena Malaysia memiliki kesamaan dengan Indonesia terhadap standar akuntansinya yaitu dalam pengadopsian IFRS. Kedua negara tersebut dalam mengadopsi IFRS

7

menggunakan gradual strategy yang dilakukan dengan mengadopsi 21 standar IFRS pada tanggal 1 Januari 2006 (Chintya, 2015). Penelitian ini merupakan hasil kompilasi dari penelitian yang dikembangkan oleh Yulistia, dkk (2015) dan Nurjanah (2013). Perbedaan  penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini merupakan  penelitian komparatif dengan membandingkan perusahaan manufaktur di Indonesia dan perusahaan manufaktur di Malaysia, serta t ahun penelitian 20142016. Perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam BEI dan KLSE pada tahun 2014-2016 menjadi fokus utama dalam penelitiaan ini karena perusahaan manufaktur memiliki jumlah terbesar jika dibandingkan dengan sektor  perusahaan lain sehingga sesuai untuk dilakukan penelitian. Menurut Cahyonowati dan Ratmono (2010), penelitian yang memfokuskan pada satu industri saja dalam pengujian sampelnya akan dapat mengontrol variabel  pengganggu. Maka perusahaan sektor manufaktur digunakan dalam penelitian ini sebagai sampel dan diharapkan dapat menjelaskan keseluruhan populasi. Tay (2009) menyebutkan bahwa revaluasi dapat menghasilkan nilai suatu aset menjadi lebih tinggi maupun lebih rendah dari aset yang tercatat. Oleh karena itu terdapat dua revaluasi yaitu revaluasi menaik dan revaluasi ke  bawah. Sebagian besar penelitian mengenai revaluasi aset tidak menentukan revaluasi apa yang digunakan, apakah revaluasi menaik atau revaluasi ke  bawah. Maka peneliti terdorong untuk menggunakan kekosongan pada area tersebut dengan menggunakan revaluasi menaik sebagai revaluasi dalam  penelitian ini. Pemilihan revaluasi menaik dalam penelitian ini disebabkan

8

karena penelitian ini mensyaratkan adanya peningkatan pada nilai aset untuk mendukung

hipotesis

penelitian,

serta

bertujuan

untuk

mengurangi

ketidaksetaraan dan menyetarakan perusahaan-perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel penelitian. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian kembali mengenai leverage, declining cash flow from operation,  firm size, fixed assets intensity, dan ownership control   terhadap kebijakan revaluasi aset tetap dengan rentang waktu 2014-2016. Berdasarkan tujuan tersebut peneliti menarik judul “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kebijakan

Revaluasi

Aset

Tetap

(Studi

Komparatif

Perusahaan

Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan di Bursa Efek Malaysia Tahun 2014-2016)”. B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam menjelaskan hubungan leverage, declining cash flow from operation,  firm size, fixed assets intensity, dan ownership control   terhadap revaluasi aset tetap antara lain: 1. Apakah leverage memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia? 2. Apakah  firm size  memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia? 3. Apakah fixed asset intensity memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia?

9

4. Apakah declining cash flow from operation memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia? 5. Apakah ownership control memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 6. Apakah terdapat perbedaan penerapan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam  penelitian ini yaitu untuk menguji dan memperoleh bukti empiris tentang: 1. Untuk menguji pengaruh positif leverage terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 2. Untuk menguji pengaruh positif firm size terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 3. Untuk menguji pengaruh positif  fixed asset intensity  terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 4. Untuk menguji pengaruh positif declining cash flow from operation terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 5. Untuk menguji pengaruh negatif ownership control terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 6. Untuk menguji perbedaan penerapan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia.

10

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan hasil berupa masukan yang berarti dalam pengembangan ilmu ekonomi, khusunya di bidang ilmu akuntansi. Serta penelitian ini memberikan pemahaman keterkaitan secara teori dengan penerapan praktik secara nyata mengenai pengaruh leverage,  firm size, fixed asset intensity, declining cash flow from operation, dan ownership control terhadap revaluasi aset tetap.  b. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi alternatif rujukan bagi  penelitian-penelitian selanjutnya yang akan meneliti revaluasi aset tetap. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Perusahaan

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat digunakan sebagai referensi bagi manajemen dalam pengambilan keputusan terhadap penerapan kebijakan akuntansi aset tetap dimasa mendatang apabila perusahaan hendak menggunakan metode revaluasi aset. b. Bagi Pengguna Laporan Keuangan Lainnya

Penelitian

ini

diharapkan

memberikan

hasil

yang

dapat

memberikan gambaran maupun informasi dalam pengambilan keputusan  bagi para pengguna laporan keuangan lainnya mengenai faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi kebijakan revaluasi aset tetap.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Rerangka Teori 1. Teori Akuntansi Positif

Teori akuntansi positif adalah proses yang menggunakan kemampuan,  pemahaman, serta pengetahuan ilmu akuntansi dalam pemilihan kebijakan akuntansi yang sesuai dengan tujuan tertentu dalam menghadapi suatu keadaan dimasa depan (Watts dan Zimmerman, 1986). Teori akuntansi  positif menjelaskan bahwa setiap perusahaan memiliki kebijakan akuntansi yang berbeda satu sama lain, dan perusahaan bebas untuk menentukan salah satu alternatif kebijakan akuntansi yang tersedia yang dapat meminimalisir  biaya kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Kebebasan yang diberikan kepada manajer perusahaan untuk menentukan kebijakan akuntansi akan menyebabkan manajer melakukan kecenderungan untuk melakukan tindakan oportunitis (Scott, 2009). Tindakan oportunitis dalam menentukan kebijakan akuntansi bertujuan untuk menguntungkan manajer yang akhirnya tingkat kepuasan manajer akan meningkat. Terdapat

tiga

hipotesis

yang

dihubungkan

dengan

perilaku

oportunistik manajemen oleh Watts dan Zimmerman (1986) yaitu bonus  plan hypothesis, debt covenant hypothesis, dan  political cost hypothesis. Hipotesis tersebut digunakan untuk menjawab dan menjelaskan alasan suatu  praktik akuntansi dipilih oleh suatu perusahaan serta memperkirakan peran

11

12

akuntansi dan informasi terhadap kebijakan ekonomi yang diambil oleh  perusahaan, individu, dan pihak lainnya. Penelitian oleh Watts dan Zimmerman (1986) menemukan bahwa hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) ditunjukkan melalui sikap manajer terhadap pemilihan suatu metode akuntansi yang dapat meningkatkan kompensasi yang didapatkannya. Hipotesis kontrak hutang (debt covenant hypothesis) ditunjukkan dengan mengurangi kemungkinan terlanggarnya perjanjian obligasi (bond covenant).  Sedangkan pada hipotesis biaya politik   (political cost hypothesis) ditunjukkan dengan  pemilihan

prosedur

akuntansi,

yaitu

perusahaan

besar

memiliki

kecenderungan menggunakan prosedur akuntansi yang dapat mengurangi labanya dalam laporan keuangan. 2. Aset dan Karakteristik Aset

PSAK No 16 (Revisi 2011) menyebutkan aset yaitu semua kekayaan yang dimiliki oleh seseorang ataupun perusahaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud serta memiliki nilai sehingga dapat mendatangkan manfaat bagi pemiliknya. Manfaat ekonomi masa depan aset yang dimiliki harus dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi arus kas dan setara kas. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia menyebutkan bahwa sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan diharapkan akan menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan bagi

13

 perusahaan disebut dengan aset. Menurut International Financial Reporting Standards (IFRS) tahun 2008 menyebutkan “an asset is a resource controlled by the ent erprise as a result of past events and form which future economic benefits are expected to flow to the enterprise.” Suwardjono (2013) menyebutkan di dalam bukunya bahwa agar suatu objek dapat disebut sebagai aset, maka tiga karakteristik utama aset harus dipenuhi oleh objek tersebut, yaitu: 1. Objek tersebut harus memiliki manfaat ekonomik masa depan yang cukup pasti. 2. Objek tersebut dikuasai atau dapat dikendalikan oleh perusahaan dan tidak harus dimiliki oleh perusahaan. 3. Objek tersebut timbul akibat transaksi yang dilakukan pada masa lalu. Aset pada neraca secara umum dibagi menjadi dua kelompok, yaitu aset lancar dan aset tidak lancar. PSAK No 1 (Revisi 2009) menyebutkan  bahwa aset lancar dan aset tidak lancar perusahaan disajikan secara terpisah, dan aset lancar disajikan berdasarkan ukuran likuiditasnya. 3. Aset Tetap

SAK No 16 menyebutkan aset tetap yaitu perolehan aset berwujud yang siap untuk dipakai maupun dengan dibangun terlebih dahulu yang akan digunakan untuk kegiatan operasi perusahaan, tidak bermaksud untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun kecuali dalam keadaan tertentu, seperti aset tersebut rusak dan dapat dijual. Kieso et al (2010) menjelaskan bahwa aset tetap yaitu aset

14

 berwujud yang dimilki perushaan untuk digunakan dalam memproduksi  barang maupun jasa sehingga dapat disewakan kepada pihak lain, untuk tujuan administrasi serta memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun. Contoh dari aset tetap yaitu tanah, gedung, kendaraan, mesin, dan sebagainya. Berdasarkan tujuan akuntansi maka aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan dapat digolongkan dalam aset tetap yang pada umumnya tidak terbatas, seperti tanah, lahan perkebunan, lahan pertanian, lahan  peternakan, dan sebagainya. Aset tetap tersebut dapat digunakan secara terus menerus tanpa harus diperbaiki maupun digantikan apabila perusahaan mengehendakinya. Sedangkan aset tetap yang terbatas yaitu aset tetap yang memiliki umur ekonomis terbatas dan dapat diganti oleh aset tetap lainnya yang sejenis apabila masa ekonomis aset tersebut telah habis, seperti mesin, kendaraan, mebel, dan sebagainya. PSAK No 16 (Revisi 2011) menyebutkan biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika memiliki kemungkinan yang  besar bahwa perusahaan akan memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut dan pengukuran secara andal dapat dilakukan terhadap  biaya perolehan aset tersebut. Berdasarkan penyusutannya maka aset tetap dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu: a.  Depreciable assets, yaitu aset tetap yang dapat dilakukan penyusustan. Contohnya bangunan, kendaraan, mesin, dan peralatan.  b.  Nondepreciable assets,  yaitu aset tetap yang tidak dapat dilakukan  penyusutan. Contohnya tanah.

15

Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan pertimbangan dalam  penerapan kriteria dalam pengakuan aset tetap. Prinsip pengakuan aset tetap terhadap semua biaya perolehanan yang terjadi harus dapat dievaluasi oleh entitas, termasuk biaya perolehan awal atau biaya untuk mengkonstruksi aset tetap serta biaya yang dibutuhkan untuk menambah, mengganti, maupun memperbaiki (PSAK No 16 Revisi 2011). Metode penilaian dan penyajian aset tetap memiliki pengaruh pada laporan keuangan perusahaan, hal tersebut diakibatkan oleh nilai aset tetap  perusahaan cukup material dibandingkan dengan total asetnya. Aset tetap yang diakui sebagai aset harus diukur pada biaya perolehan awalnya. IAS 16 mendefinisikan biaya peroleh sebagai: “cost is the amount of cash or cash equivalents paid or the fair value of the other consideration given to acquire an asset at the time of its acquisition or construction or, where applicable, the amount attributed to that assets when initially recognized in accordance with the specific requirements of other IFRSs, eq IFRS 2 Share-based Payment.”

PSAK No 16 (Revisi 2011) menjelaskan bahwa entitas harus memilih metode penilaian awal aset tetap setelah pengakuan awalnya sebagai kebijakan akuntansi yaitu antara model biaya atau dengan model revaluasi dan menerapkannya pada keseluruhan kelompok yang sama dalam aset tetap. Pada model biaya, suatu objek yang telah diakui sebagai aset tetap maka akan dicatat sesuai biaya perolehannya kemudian dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK No 16 Revisi 2011). Sedangkan model revaluasi yaitu pengukuran aset tetap

16

yang nilai wajarnya dicatat dengan jumlah revaluasian yang berupa nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset yang terjadi setelah tanggal revaluasi. 4. Revaluasi Aset Tetap

Peninjauan kembali terhadap nilai dari aset tetap disebut dengan revaluasi aset tetap. IAS 16 mendefinisikan bahwa nilai wajar yaitu jumlah aktiva yang dapat saling ditukarkan antara pihak yang memahami dan memiliki keinginan dalam transaksi yang wajar. Tay (2009) menyebutkan  bahwa revaluasi lebih sering dimaknai terhadap penilaian ulang yang menghasilkan nilai suatu aset menjadi lebih tinggi, padahal revaluasi aset tidak selalu menghasilkan nilai aset yang lebih tinggi, tetapi juga lebih rendah dari aset yang tercatat. Apabila suatu aset tetap direvaluasi maka  jumlah tercatat aset tetap tersebut harus disesuaikan terhadap jumlah revaluasinya (PSAK No 16 Penyesuaian 2015). Dalam setiap periode, tidak harus dilakukan revaluasi. Tetapi apabila terdapat perubahan pada nilai wajar dari aset yang direvaluasi maka perlu dilakukan revaluasi. Apabila terdapat perbedaan yang material dari nilai wajar pada aset yang direvaluasi dengan jumlah tercatatnya maka perlu dilakukan revaluasi lanjutan. Apabila setelah dilakukan revaluasi jumlah aset tercatat mengalami peningkatan, maka peningkatan tersebut langsung dikreditkan pada bagian surplus revaluasi di ekuitas dan pada laporan laba rugi harus diakui pada jumlah penurunan nilai aset revaluasinya yang sebelumnya sudah diakui. Hal tersebut juga berlaku pada penurunan nilai

17

aset akibat revaluasi aset, tetapi penurunan nilai tersebut langsungg didebit  pada bagian surplus revaluasi di ekuitas selama penurunan tersebut melebihi saldo kredit surplus revaluasi aset tersebut. 5. Leverage

Perusahaan memiliki sumber pendanaan yang terbagi dalam dua j enis yaitu pendanaan internal dan pendanaan eksternal. Modal saham yang dimiliki oleh perusahaan merupakan pendanaan internal, sedangkan  pinjaman dari kreditur yang diperoleh perusahaan merupakan pendanaan eksternal. Kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka  panjangnya dapat diukur dengan rasio leverage. Rasio leverage  juga  berfungsi untuk mengukur proporsi aset yang didanai dari hutang dengan yang didanai dari ekuitas (Harahap, 2007). Jika perusahaan memiliki tingkat leverage yang semakin meningkat maka akan menyebabkan biaya agensi yang semakin tinggi terkait dengan  biaya yang dikeluarkan oleh kreditur sebagai pengawas pada perushaan dengan tingkat hutang yang tinggi, apakah perusahaan dapat melunasi hutangnya sehingga akan mendorong kreditur meningkatnya biaya agensinya. Army (2013) menjelaskan apabila suatu perusahaan dalam membiayai investasinya menggunakan struktur hutang yang tinggi maka  perushaan tersebut dinilai memiliki risiko. Terdapat dua rasio leverage yang digunakan oleh para peneliti yaitu debt to total aset  dan debt to equity ratio.  Namun hanya debt to total asset ratio yang digunakan dalam penelitian ini.

18

 Debt to total asset ratio berfungsi untuk menghitung persentase dana dari kreditur yang dihitung melalui total hutang dibagi total aset. 6. F ir m Size

Biaya politik yang semakin besar yang dimiliki oleh perusahaan akan menyebabkan perusahaan cenderung menggunakan kebijakan akuntansi yang dapat menangguhkan pendapatan periode masa kini ke periode masa depan. Penjelasan tersebut didasarkan atas asumsi jika perusahaan yang memiliki biaya politik yang besar maka akan lebih sensitif terhadap mentransferkan kemakmurannya yang lebih besar jika dibandingkan  perusahaan yang memiliki biaya politik yang lebih kecil. Sehingga menurut Watts dan Zimmerman (1986) apabila perusahaan besar dibandingkan pada  perusahaan kecil maka perusahaan besar akan cenderung menurunkan maupun mengurangi laba yang dilaporakan. Biaya politis yaitu fungsi pada tingkat pengawasan politik dan pentingnya perusahaan dalam men yalurakan kekayaannya terhadap dampak dari kegiatan politik masyarakat pada  perusahaan (Mills dkk, 210). Ukuran perusahaan dijadikan sebagai salah satu proksi dari biaya  politis oleh Seng dan Su (2010) dalam penelitiannya. Basis pemegang kepentingan akan menjadi lebih luas apabila ukuran suatu perusahaan semakin besar sehingga akan menyebabkan kebijakan yang diambil oleh  perusahaan besar akan berdampak lebih besar terhadap kepentingan publik  jika dibandingkan perusahaan kecil. Dari sudut pandang investor maka kebijakan yang diambil oleh suatu perusahaan akan memiliki dampak pada

19

arus kas dimasa depan. Sedangkan dari sudut pandang pemerintah sebagai regulator maka akan memiliki dampak pada besarnya pajak yang diterimanya dan efektifitas dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat secara umum. Total aset, penjualan dan kapitalisasi pasar dapat digunakan untuk menyatakan ukuran suatu perusahaan. Apabila suatu perusahaan memiliki total aset, penjualan dan kapitalisasi pasar yang besar, maka ukuran  perusahaan tersebut semakin besar. Total aset, penjualan dan kapitalisasi  pasar dapat mewakili seberapa besar ukuran perusahaan, maka variabel tersebut dapat menentukan ukuran perusahaan. Namun menurut Sudarmadji dan Sulartono (2007), total aset memiliki nilai yang relatif lebih stabil dari ketiga variabel tersebut, oleh sebab itu total aset digunakan untuk menentukan ukuran suatu perusahaan. 7. F ixed Asset I ntensity

Seng dan Su (2010) menggunakan intensitas aset tetap ( fixed asset intensity) sebagai salah satu faktor dari infromasi asimetri. Infromasi asimetri menurut Scott (2009) terjadi apabila informasi lebih dimiliki oleh salah satu pihak dibandingkan pihak lainnya dari suatu transaksi. Untuk mengukur informasi asimetri maka dapat menggunakan intensitas aset tetap ( fixed asset intensity). Tay (2009) menyebutkan bawa intensitas aset tetap ( fixed asset intensity) merupakan proporsi aset perusahaan yang terdiri atas aset

tetap.

Intensitas

aset

tetap

( fixed

asset

intensity)

dapat

20

mempresentasikan proporsi aset tetap perusahaan dibandingkan dengan total asetnya. Intensitas aset tetap ( fixed asset intensity) dihitung dengan nilai buku dari total aset tetap dibagi dengan total aset ( Barać

dan Šodan, 2011) .

Keputusan revaluasi perusahaan dapat dipengaruhi oleh intensitas aset tetap ( fixed asset intensity)  melalui dua cara. Aset tetap merupakan jaminan  perusahaan, sehingga rasio intensitas aset tetap ( fixed asset intensity) yang rendah akan memotivasi manajer dalam mengungkapkan aset tetapnya pada nilai pasar dan yang dapat meningkatkan kapasitas pinjaman. Berdasarkan hal tersebut diharapkan hubungan antara intensitas aset tetap ( fixed asset intensity) terhadap revaluasi adalah negatif. Di sisi lain, semakin banyak aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan maka akan semakin tinggi nilai rasio intensitas aset tetapnya ( fixed asset intensity) dan efek revaluasi yang dihasilkan semakin besar. Berdasarkan hal tersebut diharapkan hubungan antara intensitas aset tetap ( fixed asset intensity) terhadap revaluasi adalah  positif (Barlev et al , 2007). 8. Declini ng Cash F low from Operation

Terdapat tiga aktivitas yang terbagi di dalam laporan arus kas, yaitu aktivitas operasi, aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan. Aktivitas operasi merupakan aktivitas utama perusahaan yang menjadi pusat untuk memperoleh pendapatan bagi perusahaan. Aktivitas investasi dan aktivitas  pendanaan

bukan

merupakan

aktivitas

utama

perusahaan

dalam

memperoleh pendapatan. Arus kas dari aktivitas operasi menggambarkan

21

 besarnya arus kas yang dihasilkan oleh aktivitas operasi. Jumlah tersebut adalah indikator utama yang digunakan untuk menentukan apakah aktivitas operasi yang dilakukan perusahaan menghasilkan arus kas yang dapat digunakan untuk membayar deviden, membayar pinjaman dan menjaga kemampuan operasi perusahaan. Model revaluasi aset tetap dapat menyebabkan nilai yang lebih tinggi terhadap aset jaminan perusahaan sehingga akan meyakinkan debt holders terhadap kemampuan perusahaan dalam membayarkan hutangnya melalui aset perusahaan yang lebih tinggi sesuai nilai pasar yang dapat mengembalikan kapasitas pinjaman perusahaan. Sehingga penurunan arus kas yang terjadi pada perusahaan akan menyebabkan perusahaan cenderung lebih memilih model revaluasi. 9. Ownership Control

Struktur kepemilikan dapat digolongkan dalam dua blok, yaitu blok kepemilikan eksternal dan blok kepemilikan internal. Struktur kepemilikan menunjukkan adanya sumber daya yang dikorbankan secara efisien untuk menghasilkan laba yang maksimal dimana insentif manajer dalam memaksimalkan laba dapat berkurang karena kepemilikan yang tersebar. Menurut Wicaksono (2000) dalam struktur kepemilikan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : a. Porsi kepemilikan perusahaan yang sedikit oleh manajemen akan menyebabkan perusahaan cenderung memaksimalkan nilai pemegang saham dibandingkan mencapai tujuan perusahaan.

22

 b. Pemegang saham mayoritas diberikan insentif apabila kepemilikannya terdifusi sehingga mengakibatkan mereka secara aktif dapat terlibat di  perusahaan. c. Prioritas perusahaan pada tujuan sosial dan pemaksimalan nilai  pemegang saham ditentukan oleh identitas pemilik perusahaan. Pihak-pihak yang memiliki saham perusahaan dijabarkan dalam struktur kepemilikan saham. Struktur kepemilikan saham menggambarkan  pemegang kekuasaan perusahaan melalui jumlah saham yang dimiliki oleh setiap pihak.  Blockholder   didefinisikan oleh Thomsen (2006) sebagai kepemilikan paling sedikitnya 5% oleh para pemegang saham. Konflik keagenan antara manajer dengan para pemegang saham dapat dikurangi melalui

blockholder

ownership.

Hal

tersebut

disebabkan

karena

kepemilikan saham yang terkonsentrasi dapat menyebabkan para pemegang saham menggunakan kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan  pengawasan manajemen (Putri, 2014). B. Hasil Penelitian Terdahulu

Seng dan Su (2010) meneliti alasan yang mendasari manajer memilih melakukan revaluasi menaik atas aset tetap pada perusahaan di New Zealand. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contracting factors yang diproksikan oleh  firm size memiliki pengaruh signifikan terhadap revaluasi menaik. Sedangkan variabel leverage level , declining cash flow from operation, prior revaluation,  growth options, takeover offer , dan bonus issue tidak memiliki  pengaruh terhadap revaluasi aset tetap menaik. Variabel fixed asset intensity

23

dalam pengujian univariate menghasilkan nilai yang signifikan namun dalam  pengujian model regresi logistik menghasilkan nilai yang tidak signifikan.

Barać dan Šoda n (2011) meneliti motif manajer terhadap pemilihan kebijakan revaluasi menaik untuk aset non keuangan jangka panjang pada  perusahaan di Kroasia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel liquidity, debt growth, firm size dan ROE memiliki arah koefisien yang sesuai dengan hipotesis dan memiliki nilai yang signifikan secara statistik pada tingkat 5%. Sedangkan variabel operating income to incomet cost, level of indebtedness,  fixed asset intensity dan cash return on equity  memiliki nilai yang tidak signifikan di tingkat 5%. Cash flow ratios memiliki nilai yang signifikan secara statistik namun arah koefisien yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang dihipotesiskan.  Nurjanah (2013) meneliti faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap pada perusahaan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan variabel leverage, ukuran perusahaan, struktur aset, pertumbuhan perusahaan, investemnt opportunity set (IOS),  penurunan kas dari aktivitas operasi, ownership control, merger dan akuisisi memiliki pengaruh terhadap keputusan revaluasi aset. Namun secara parsial hanya struktur aset, investemnt opportunity set (IOS), dan ownership control yang memiliki pengaruh secara signifikan. Manihuruk

dan

Farahmita

(2015)

meneliti

faktor-faktor

yang

memengaruhi pemilihan metode revaluasi aset tetap pada perusahaan di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan

24

 bahwa variabel intensitas aset tetap dan leverage memiliki pengaruh terhadap revaluasi aset tetap. Sedangkan variabel ukuran perusahaan dan likuiditas tidak memiliki pengaruh terhadap revaluasi aset tetap.Yulistia, dkk (2015) meneliti  pengaruh leverage, arus kas operasi, ukuran perusahaan dan  fixed asset intensity terhadap revaluasi menaik aset tetap pada perusahaan di Indonesia. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa variabel leverage, arus kas operasi, ukuran perusahaan dan  fixed asset intensity memiliki pengaruh terhadap revaluasi menaik aset tetap. Ramadhani (2016) meneliti faktor-faktor yang memengaruhi keputusan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur yang terdapat di Indonesia dan Singapura. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa variabel  fixed asset intensity berpengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Singapura. Namun variabel  liquidity  hanya berpengaruh di Indonesia sedangkan di Singapura liquidity tidak berpengaruh. Variabel firm size, level of indebtedness, dan declining cash flow from operation  tidak berpengaruh di Indonesia dan Singapura. Wicaksana (2016) meneliti faktor-faktor yang memengaruhi keputusan revaluasi aset tetap pada perusahaan di Indonesia. Penelitian ini memberikan hasil bahwa variabel kesehatan keuangan dan karakteristik aset berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap. Sedangkan variabel struktur kepemilikan dan umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap.

25

C. Logika Hipotesis 1. Pengaruh Leverage Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Rasio leverage  yaitu rasio yang berfungsi untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayarkan kewajiban ja ngka pendek dan  jangka panjangnya, serta untuk mengukur proporsi aset perusahaan yang dibiayai dari utang tersebut. Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positifnya menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi terutama yang dekat terhadap pelanggaran perjanjian utang akan menyebabkan kecenderungan manajer untuk memilih metode dan prosedur akuntansi yang dapat menghindarkan perusahaan dari  pelanggaran perjanjian utang. Semakin tinggi tingkat rasio leverage  perusahaan, maka semakin tinggi kecenderungan manajer untuk melakukan revaluasi. Hal tersebut disebabkan karena rasio leverage  yang tinggi akan menyebabkan risiko kerugian yang tinggi terhadap perusahaan sehingga dari sudut pandang kreditor hal tersebut akan berdampak pada menurunnya tingkat kelayakan  perusahaan. Tingkat rasio leverage  yang tinggi akan mendorong manajer  perusahaan untuk memilih metode revaluasi aset tetap karena metode tersebut dapat menghasilkan nilai aset perusahaan yang meningkat dan dapat meningkatkan nilai ekuitas karena metode revaluasi aset tetap mengakui keuntungan hasil revaluasinya. Meningkatnya

nilai

aset

perusahaan

setelah

revaluasi

akan

menyebabkan menurunnya rasio leverage sehingga dapat meyakinkan pihak

26

kreditor bahwa perusahaan memiliki aset bersih yang tinggi yang hal tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan mampu membayar kredit yang diberikan bahkan jika terjadi likuidasi pada perusahaan. Sedangkan meningkatnya nilai ekuitas perusahaan, dapat meningkatkan kelayakan  penerimaan kredit dari sudut pandang pihak kreditor. Menurut Seng dan Su (2010), negosiasi kontrak utang dengan pihak kreditor dapat diperkuat apabila perusahaan melakukan revaluasi aset tetap.  Nurjanah (2013) dan Yulistia, dkk (2015) meneliti perusahaan di Indonesia dan tidak berhasil memberikan bukti bahwa leverage berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap. Namun bukti empiris berhasil ditunjukkan oleh Piera (2007) terhadap perusahaan di Swiss yaitu apabila tingkat leverage suatu perusahaan tinggi, maka akan semakin mendorong  perusahaan dalam menerapkan metode revaluasi untuk asetnya. Hal tersebut disebabkan karena revaluasi merupakan metode yang dapat memberikan signal pada peningkatan kapasistas pinjaman, meningkatkan credit rating , dan mengurangi kemungkinan dilanggarnya debt convenant . Brown et al (1992) mendukung hasil penelitian tersebut dengan melakukan penelitian mengenai revaluasi aset tetap dan insentif manajerial terhadap perusahaan di Australia. Penelitian oleh Brown et al (1992) berhasil menemukan bukti empiris yaitu semakin tinggi tingkat leverage maka kemungkinan manajer memilih menggunakan metode revaluasi akan semakin tinggi.

Barać dan Šodan (2011) meneliti mengenai motif pemilihan kebijakan revaluasi pada perusahaan di Kroasia dan berhasil menemukan bukti

27

empiris bahwa perusahaan dengan growing debt akan melakukan revaluasi aset. Bukti empiris lainnya juga berhasil dibuktikan oleh Lin dan Peasnell (2000) yang meneliti mengenai revaluasi aset tetap dan penurunan ekuitas  pada perusahaan di United Kingdom bahwa leverage memiliki hubungan terhadap tindakan revaluasi aset. Manihuruk dan Farahmita (2015) melakukan

penelitian

terhadap

perusahaan

di

ASEAN

berhasil

membuktikan bahwa leverage memiliki hubungan positif terhadap revaluasi aset. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai  berikut: H1a : Leverage berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia. H1b : Leverage berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia. 2. Pengaruh  F ir m Size Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

 Pilitical factor   yang sering dijadikan proksi dalam penelitian adalah  firm size (ukuran perusahaan). Firm size (ukuran perusahaan) menjadi suatu faktor yang sangat penting terhadap keputusan revaluasi aset tetap. Perusahaan besar cenderung lebih sensitif secara politis dan dikenakan transfer kekayaan yang lebih besar daripada perusahaan kecil dan hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan besar akan menurunkan laba yang dilaporkannya (Watts dan Zimmerman, 1986).

28

Semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka semakin tinggi kecenderungan manajer untuk melakukan revaluasi, karena semakin  besarnya ukuran suatu perusahaan maka akan semakin menarik perhatian dan pengawasan oleh pemerintah dan publik. Berdasarkan biaya politik, semakin besar perusahaan maka perusahaan tersebut akan semakin cenderung mengurangi labanya dengan tujuan untuk mengurangi biaya  politik sehingga tekanan politik dari pemerintah maupun dari serikat buruh yang dihadapi perusahaan dapat berkurang. Melalui metode revaluasi yang dilakukan atas aset tetapnya maka laba periode sekarang perusahaan dapat  berkurang. Karena metode revaluasi aset tetap dapat meningkatkan nilai aset yang dapat menyebabkan biaya penyusutan meningkat serta dibutuhkannya  biaya tambahan bagi perusahaan yaitu biaya untuk penilaian aset.  Nurjanah (2013) dan Yulistia, dkk (2015) tidak berhasil membuktikan  bahwa  size  berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap. Namun penelitian mengenai revaluasi aset tetap dan penurunan ekuitas oleh Lin dan Peasnell (2000) berhasil membuktikan pada perusahaan di United Kingdom bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif terhadap revaluasi. Hasil tersebut didukung oleh Seng dan Su (2010) yang melakukan penelitian mengenai insentif manajerial dibalik revaluasi aset tetap terhadap  perusahaan di New Zealand. Seng dan Su (2010) membuktikan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dan signifikan pada revaluasi menaik karena revaluasi digunakan untuk mengurangi biaya politik.

Barać

dan Šodan (2011) meneliti mengenai motif pemilihan kebijakan revaluasi

29

 pada perusahaan di Kroasia dan membuktikan bahwa perusahaan besar dengan ROE yang besar akan cenderung merevaluasi asetnya untuk mengurangi pelaporan laba dan mengurangi perhatian pemerintah. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai  berikut: H2a : Firm Size berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia. H2b : Firm Size berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia. 3. Pengaruh  F ixed Asset I ntensity Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Informasi asimetri terjadi apabila dalam transaksi salah satu pihak memiliki informasi yang lebih dibandingkan pihak lainnya (Scott, 2009). Seng dan Su (2010) menggunakan fixed asset intensity (intensitas aset tetap) sebagai salah satu dari faktor yang diuji terkait dengan informasi asimetri. Bagian terbesar dalam total aset yaitu aset tetap. Aset tetap dapat menyebabkan nilai perusahaan meningkatkan dan oleh sebab itu potensi yang dimiilikinya besar terhadap peningkatkan basis aset dengan meningkatkan kapasitas pinjaman perusahaan sehingga pemilihan model revaluasi sesuai untuk diterapkan (Tay, 2009). Semakin tinggi proporsi aset tetap perusahaan, maka semakin tinggi kecenderungan manajer untuk melakukan revaluasi. Modal operasi jangka  panjang perusahaan ditunjukkan melalui aset tetapnya, sehingga intensitas

30

aset tetap yang tinggi akan berdampak signifikan terhadap laporan keuangan  perusahaan yang disebabkan oleh perubahan penilaian aset tetapnya. Fixed asset intensity (intensitas aset tetap) dapat menggambarkan kemungkinan kas yang diperoleh apabila aset tetap tersebut dijual. Menurut Manihuruk dan Farahmita (2015), perusahaan yang memiliki intensitas aset tetap yang lebih besar cenderung untuk memilih model revaluasi terhadap pencatatan aset tetapnya. Dimana model revaluasi dapat lebih mencerminkan nilai aset sesungguhnya. Tay (2009) berhasil memberikan bukti empiris pada perusahaan di  New Zealand bahwa perusahaan dengan fixed asset intensity (intensitas aset tetap) yang tinggi akan cenderung memilih metode revaluasi. Hasil tersebut didukung oleh Seng dan Su (2010) yang melakukan penelitian mengenai insentif manajerial dibalik revaluasi aset tetap terhadap perusahaan di New Zealand pada tahun 1999 hingga 2003. Serta Manihuruk dan Farahmita (2015) yang melakukan penelitian pada beberapa perusahaan di negara anggota ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina pada tahun 2008 hingga 2013, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi  pemilihan metode revaluasi aset tetap berhasil menemukan bahwa semakin  besar  fixed asset intensity (intensitas aset tetap) perusahaan maka akan semakin besar perusahaan memilih menggunakan metode revaluasi untuk mencatat aset tetapnya. Yulistia, dkk (2015) meneliti perusahaan di Indonesia dan tidak  berhasil membuktikan bahwa  fixed asset intensity  berpengaruh terhadap

31

revaluasi aset tetap. Namun, penelitian mengenai revaluasi aset tetap dan  penurunan ekuitas oleh Lin dan Peasnell (2000) berhasil memberikan bukti empiris terhadap perusahaan di United Kingdom pada tahun 1989 dan 1991  bahwa semakin tinggi intensitas aset tetap maka kecenderungan manajer untuk melakukan revaluasi akan semakin besar. Nurjanah (2013), Wicaksana (2016), dan Latifa dan Haridi (2016) melakukan penelitian pada  perusahaan di Indonesia dan memberikan hasil bahwa struktur aset  berpengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap. Serta penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani (2016) terhadap perusahaan manufaktur di Indonesia dan Singapura berhasil memberikan bukti empiris bahwa te rdapat hubungan positif dan signifikan antara  fixed asset intensity (intensitas aset tetap) terhadap pemilihan metode revaluasi aset tetap perusahaan. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai  berikut: H3a : Fixed Asset Intensity berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia. H3b : Fixed Asset Intensity berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia. 4. Pengaruh  Declining Cash F low fr om Operation Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Semakin tinggi penurunan arus kas dari kegiatan operasi perusahaan, maka semakin tinggi kecenderungan manajer untuk melakukan revaluasi. Jika perusahaan mengalami penurunan arus kas operasi dibandingkan tahun

32

sebelumnya maka akan menyebabkan kreditur mengalami kekhawatiran yang cukup besar. Hal tersebut terjadi karena arus kas operasi yang semakin kecil akan menyebabkan kemungkinan pengembalian hutang yang diberikan oleh kreditur akan semakin kecil. Revaluasi aset tetap dilakukan oleh perusahaan dengan harapan agar aset yang dimilikinya akan meningkat sehingga kepercayaan perusahaan oleh kreditur akan meningkat. Cotter dan Zimmer (1995) menjelaskan bahwa penilaian kembali aset tetap dapat menyebabkan nilai aset jaminan perusahaan yang lebih tinggi yang akan meyakinkan debtholders mengenai kemampuan perusahaan dalam membayarkan hutangnya melalui potensi perusahaan dalam mewujudkan aset yang nilainya lebih tinggi sesuai dengan nilai pasar. Hal tersebut dapat mengembalikan kapasitas pinjaman yang dilakukan oleh  perusahaan sehingga penurunan arus kas operasi akan berpotensi terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan revaluasi aset yang dimilikinya.  Nurjanah (2013) dan Yulistia, dkk (2015) meneliti perusahan di Indonesia dan tidak berhasil membuktikan bahwa declining cash flow from operation  berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap.Hasil penelitian tersebut didukung oleh

Barać dan Šodan (2011) yang meneliti mengenai

motif pemilihan kebijakan revaluasi pada perusahaan di Kroasia dan menghasilkan bukti empiris yaitu penurunan arus kas operasi ( declining cash flow from operation) berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap.

33

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis menarik hipotesis sebagai berikut: H4a :  Declining Cash Flow from Operation  berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia. H4b :  Declining Cash Flow from Operation  berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia. 5. Pengaruh   Ownership control Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Semakin tinggi jumlah sebaran suatu kepemilikan, maka semakin rendah kecenderungan manajer untuk melakukan revaluasi. Menurut Alemehmeti dan Paletta (2009) derajat pengawasan dan kontrol terhadap manajer akan berkurang apabila jumlah pemegang saham semakin besar dalam hubungan antara agent   dengan  principal. Pemegang saham akan terlibat dalam pengambilan keputusan akuntansi dan ekonomik oleh manajer apabila dalam perusahaan tersebut terdapat pemegang saham major ( significant blockholders). Revaluasi memiliki pengaruh positif terhadap kinerja keuangan di masa depan dengan menggunakan harga saham dan laba operasi sebagai indikatornya (Aboody et al , 1998). Adanya hubungan positif antara revaluasi dengan kinerja keuangan masa depan perusahaan akan mendorong pemegang saham untuk memilih metode revaluasi dimana hal tersebut dapat meningkatkan kemakmuran mereka melalui return yang tinggi. Sedangkan bagi manajer, revaluasi akan  berdampak terhadap penuruanan profitabilitas perusahaan dalam jangka

34

 pendek dimana hal tersebut dapat berdampak terhadap menurunnya bonus yang diterima manajer. Namun manajer adalah agent   perusahaan dalam melaksanakan keputusan revaluasi sehingga hal tersebut akan berdampak  pada perbedaan kepentingan pemilihan metode revaluasi antara manajer dengan pemegang saham. Wicaksana (2016) meneliti perusahaan di Indonesia dan tidak berhasil membuktikah bahwa ownership control  berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap. Namun bukti empiris berhasil ditunjukkan oleh Nurjanah (2013) yang melakukan penelitian pada perusahaan di Indonesia.

Nurjanah (2013)

menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara ownership control  terhadap revaluasi pada manajemen perusahaan dengan saham yang terkonsentrasi oleh pemilik. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai  berikut: H5a : Ownership control berpengaruh negatif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia. H5b : Ownership control berpengaruh negatif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia. 6. Kebijakan Revaluasi Aset Tetap di Indonesia dan Malaysia

Manihuruk dan Farahmita (2015) melakukan penelitian terhadap anggota ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Filiphina pada rentang waktu tahun 2008 hingga 2013. Dari hasil penelitian tersebut terdapat 817 perusahaan yang melakukan revaluasi aset tetap dari total 3.733

35

 perusahaan Hal tersebut menunjukkan bahwa sekitar 21,87% perusahaan memilih melakukan revaluasi aset tetap. Sedangkan di Indonesia dari 1.439  perusahaan hanya 39 perusahaan yang memilih melakukan revaluasi aset tetap atau sekitar 2,7% perusahaan yang memilih melakukan revaluasi aset tetap. Metode revaluasi aset tetap memiliki kecenderungan dilakukan oleh negara yang menganut sistem hukum common law yang disebabkan karena kependingan investor lebih terlindungi dengan sistem hukum tersebut (Manihuruk dan Farahmita, 2015). Malaysia merupakan negara yang menganut sistem hukum common law sedangkan Indonesia menganut sistem hukum civil law (Umar, 2013) Oleh sebab itu lebih banyak perusahaan Malaysia yang lebih memilih melakukan revalusi aset tetap dibandingkan dengan perusahaan Indonesia. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menarik hipotesis sebagai  berikut: H6 : Terdapat perbedaan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia.

36

D. Model Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan tinjauan penelitian terdahulu maka kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1a dan H1b (+)  Leverage (LEV)

H2a dan H2b (+)  Firm Size (SIZE)

 Fixed Asset Intensity (FAI)

H3a dan H3b (+)

 Declining Cash Flow  From Operation (DCFFO)

H4a dan H4b (+)

 Kebijakan Revaluasi Aset Tetap (KEB_REV)

Ownership control (OC) H5a dan H5b (-) Gambar 2.1 Model Penelitian

Penelitian ini akan membandingkan variabel dependen kebijakan revaluasi aset tetap dengan membuktikan bahwa terdapat per bedaan penerapan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia.

Kebijakan Revaluasi Aset Tetap di Indonesia

H6

Gambar 2.1 Model Penelitian

Kebijakan Revaluasi Aset Tetap di Malaysia

BAB III METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Perusahaan Manufaktur yang terdapat pada Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bursa Malaysia. Sedangkan subyeknya adalah Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur yang dipulihkan oleh Bursa Efek Indonesia dan Bursa Malaysia. Data yang digunakan adalah data tahun 2014-2016. B. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan yaitu data dalam laporan keuangan perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar dan aktif pada Bursa Efek Indonesia dan Bursa Malaysia. Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Penelitian ini menggunakan data yang berupa dokumentasi dari sumber data melalui website resmi Indonesia Stock Exchange yaitu www.idx.co.id dan Kuala Lumpur Stock  Exchange www.klse.com.my. C. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu non-probability  sampling dan purposive sampling. Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa teknik  pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama kepada setiap unsur atau anggota populasi yang dipilih menjadi sampel disebut dengan non probability sampling . Sedangkan  purposive sampling yaitu teknik penentuan

37

38

sampel yang ditentukan dengan kiteria tertentu. Kriteria dalam pemilihan sampel yang digunakan di penelitian ini yaitu: 1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Kuala Lumpur Stock Exchange selama tahun 2014-2016. 2. Memiliki aset tetap berupa tanah selama tahun 2014-2016. 3. Memiliki informasi mengenai revaluasi aset menaik untuk perusahaan yang melakukan revaluasi aset tetap. 4. Mengalami penurunan arus kas operasi. 5. Laporan keuangan yang telah di audit. 6. Perusahaan yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang rupiah untuk Indonesia dan ringgit untuk Malaysia. 7. Perusahaan sektor manufaktur tersebut memiliki data lengkap yang dibutuhkan dalam penelitian selama tiga tahun yaitu periode 2014-2016. D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu proses mengumpulkan data yang diperoleh dari media internet dan beberapa data yang telah dipublikasikan dalam www.idx.co.id dan www.klse.com.my. E. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Penelitian ini menggunakan kebijakan revaluasi aset tetap sebagai variabel dependen. Metode dummy digunakan untuk

39

mengukur revaluasi aset tetap. Agar variabel yang bukan merupakan variabel kuantitatif dapat menjadi variabel kuantitatif, maka metode yang digunakan yaitu metode dummy. Revaluasi aset tetap dalam metode dummy dapat dikategorikan berdasarkan perusahaan yang melakukan revaluasi aset tetap dan perusahaan yang tidak melakukan revaluasi aset tetap. Perusahaan yang melakukan revaluasi aset tetap dilambangkan dengan notasi 1, sedangkan perusahaan yang tidak melakukan revaluasi aset tetap dilambangkan dengan notasi 0. 2. Variabel Independen (Variabel Bebas)

Variabel independen yaitu variabel yang mempengaruhi variabel dependen. Ada lima variabel independen dalam penelitian ini, yaitu: a.  Leverage (LEV)  Leverage (rasio utang) menunjukkan sejauh mana utang  perusahaan dapat ditutup oleh aset perusahaan (Sofyan, 2008).  Leverage dapat diukur dengan:

LEV =

Total Utang Total Aset

 b.  Firm Size (SIZE)  Firm Size (ukuran perusahaan) merepresentasikan besar kecilnya suatu perusahaan melalui total aset perusahaan yang diukur melalui logaritma natural total aset (Seng dan Su, 2010). Firm Size dapat diukur dengan:

Ln Total Nilai Aset Perusahaan

40

c.  Fixed Asset Intensity (FAI)  Fixed Asset Intensity (intensitas aset tetap) berfungsi untuk mengukur informasi asimetri ( Barać

dan Šodan, 2011) .  Fixed Asset

 Intensity dapat diukur dengan:

FAI =

Nilai Buku dari Total Aset Tetap Total Aset

d.  Declining Cash Flow from Operation (DCFFO)  Declining cash flow from operation (penurunan kas dari aktivitas operasi) menurut Seng dan Su (2010) yaitu penurunan kas dan setara kas perusahaan dari kegiatan sehari-hari perusahaan.  Declining cash  flow from operation dapat diukur dengan:

DCFFO =

e.

ℎ    2 ℎ Total Aset Tetap

Ownership control (OS)  Blockholder ownership  yaitu pemegang saham yang memiliki kepemilikan paling sedikit 5% atas seluruh saham perusahaan (Thomsen dkk, 2006).  Blockholder ownership  menunjukkan rasio saham yang dimiliki blockholder (Wiliandri, 2011).  Blockholder ownership dapat diukur dengan:

OC =

ℎ    ℎ  ℎ ℎ  

41

F.

Metode Analisis Data 1. Uji Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif merupakan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Statistik yang digunakan dalam menganalisa data dengan mendeskripsikan data yang dikumpulkan sebagaimana adanya tanpa ada tujuan untuk membuat kesimpulan yang  berlaku untuk umum disebut dengan statistik stati stik deskriptif (Sugiyono, 2010). Analisis deskriptif mencakup nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum, dan standar deviasi dari data penelitian.

Over all M odel F i t ) 2. Pengujian Model Fit ( Over Langkah awal yang dilakukan yaitu analisis keseluruhan overall model fit  terhadap   terhadap data. Hal ini berfungsi untuk menilai model yang telah dihipotesiskan fit dengan data. Untuk menilai model fit hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H0 : Model yang dihipotesiskan fit dengan data. Ha : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data. Fungsi likelihood  pada statistik digunakan untuk menilai model fit dalam regresi logistik. Keseluruhan model yang dinilia dalam regresi logistik (-2 log likelihood  log likelihood ) adalah penilaian terhadap -2 log likelihood. log likelihood. Lihat  pada angka -2 log  likelihood di awal blok number = 0, dan angka -2 log  likelihood  pada blok number = 1. Model dapat diterima apabila sesuai dengan data dan regresi yang baik dapat diidentifikasikan melalui hal

42

tersebut, yaitu apabila penurunan terjadi dalam nilai -2 log likelihood log likelihood (blok number = 0 – blok number = 1 ).  ). 3. Uji Kelayakan Model

Uji Homser dan Leweshow Goodness of Fit Test   yang dihasilkan digunakan untuk menguji kelayakan model regresi. Nilai goodness Nilai  goodness of fit test digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan yang diukur dengan menggunakan nilia Chi-Square. Chi-Square. Menurut Ghozali (2016) jika uji Homser dan Leweshow menunjukkan p-value p- value >  > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara model dengan data (model dapat memprediksi nilia data), untuk p- value p- value <  < 0,05, maka terdapat perbedaan yang nyata antara model dengan data (model tidak dapat memprediksi nilia data). 4. Uji Koefisien Determinasi

Uji Koefisien Determinasi (R 2) berfungsi untuk mengukur seberapa  jauh kemampuan model dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen. Cox dan Snell’s R square  square  adalah ukuran yang meniru ukuran  R2  pada multiple regression yang didasarkan pada teknik estimasi likelihood yang nilai maksimumnya kurang dari 1 (satu) sehingga tidak mudah untuk dijelaskan. Negelkerke’s dijelaskan. Negelkerke’s R square adalah modifikasi dari koefisien Cox dan Snell’s yang berfungsi untuk memastikan bahwa nilainya bervariasi dari 0 (nol) hingga 1 (satu). Nilai Negelkerke’s Nilai Negelkerke’s R2 dapat dijelaskan seperti nilai R nilai R2  pada multiple regression (Ghazali,2016).

43

5. Uji Beda t-test 

Uji beda t-test  berfungsi untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak memiliki hubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda (Ghozali, 2016). Rumus uji beda t-test adalah sebagai berikut: t=

−  −     −  

Uji beda t-test ini digunakan untuk menguji perbedaan ketentuan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur di Indonesia dan Malaysia. Jika nilai probabilitas signifikansi (2-tailed) > 0,05 maka variance sama. Jika nilai probabilitas signifikansi (2-tailed) < 0,05 maka variance berbeda. variance berbeda. 6. Uji Hipotesis

 Dummy digunakan untuk mengukur variabel dependen dalam  penelitian ini, oleh karena itu metode regresi logistik (logistic regression) regression) digunakan untuk menguji hipotesis H 1a sampai dengan H 5b. Ghozali (2016) menjelaskan bahwa uji normalitas pada variabel bebas tidak diperlukan dalam regresi logistik, oleh sebab itu uji normalitas tidak dilakukan di  penelitian ini. Penelitian ini menggunakan kebijakan revaluasi aset tetap sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independen dalam  penelitian ini yaitu leverage, firm size, fixed assets intensity, declining cash  flow from operation, operation , dan ownership ownership control. Dengan demikian, persamaan regresi logistik penelitian ini yaitu: Ln

 1−

= α + β1LEV + β2SIZE + β3FAI + β4 DCFFO + β5OC + e

44

Keterangan:  Ln 1−

RA

α β1 – β5 LEV SIZE FAI DCFFO OC e

= Variabel dummy untuk kebijakan revaluasi aset = Probabilitas kebijakan revaluasi aset = Konstanta = Koefisien regresi = Leverage = Firm Size = Fixed Asset Intensity = Declining Cash Flow from Operation = Ownership Cotrol  = Standar Eror

Kriteria penerimaan H1a sampai dengan H5b  yaitu apabila nilai signifikansi yang dimiliki oleh masing-masing hipotesis pada pengujian regresi logistik adalah kurang dari 0,05 dan

memiliki arah β yang sesuai

dengan hipotesis yang diajukan. Hipotesis 1 diterima apabila hasil pengujian regresi logistik memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05 dan memiliki

arah β1 positif. Hipotesis 2 diterima apabila hasil pengujian regresi logi stik memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05 dan memiliki arah β2 positif. Hipotesis 3 diterima apabila hasil pengujian regresi logistik memiliki nilai

signifikansi kurang dari 0,05 dan memiliki arah β3 positif. Hipotesis 4 diterima apabila hasil pengujian regresi logistik memiliki nilai signifikansi

kurang dari 0,05 dan memiliki arah β4 positif. Hipotesis 5 diterima apabila hasil pengujian regresi logistik memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05

dan memiliki arah β5 negatif. Hipotesis 6 diuji dengan menggunakan uji beda independent sample t-test untuk menguji variabel dependen kebijakan revaluasi aset di Indonesia dan Malaysia.  Uji beda ini dilakukan untuk menentukan apakah terdapat  perbedaan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Mala ysia. Dalam

45

independent sample t-test terlebih dahulu dilakukan uji variance dengan melihat nilai sig levene test . Jika nilai sig levene test   leboh besar dari 0,05 maka untuk menguji hipotesis digunakan nilai sig ( 2-tailed)  pada kolom equal variance assume. Apabila nilai sig (2-tailed ) lebih dari alpha 0,05 maka H6 diterima.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Objek penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Malaysia periode tahun 2014 hingga 2016. Dari seluruh populasi perusahaan manufaktur yang ada, h anya diambil sampel  perusahaan

yang

memenuhi

kriteria

yang

telah

ditentukan

dengan

menggunakan teknik purposive sampling . Sumber data yang digunakan dalam  penelitian ini berasal dari laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar dan dapat diunduh melalui website resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) dan Bursa Malaysia (www.myx.co.id). Data dalam variabel  penelitian ini diperoleh dari laporan keuangan perusahaan. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan di Bab III, maka diperoleh hasil pemilihan sampel dengan teknik purposive sampling  adalah sebagai berikut: Tabel 4.1

Prosedur Pemilihan Sampel Keterangan Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Kuala Lumpur Stock Exchange periode tahun 2014-2016 Tidak memiliki aset tetap pada tahun 20142016 Melakukan revaluasi ke bawah Tidak mengalami penurunan arus kas operasi Laporan keuangan tidak diaudit Tidak menggunakan satuan mata uang rupiah dan ringgit

45

Indonesia 420

Malaysia 696

-

-

(6) (27) (90)

(21) (45) -

46

Lanjutan Tabel 4.1 Perusahaan manufaktur yang tidak memiliki data lengkap yang dibutuhkan dalam  penelitian pada periode tahun 2014-2016 Outliers Sampel perusahaan akhir tahun 2014-2016 yang terdiri atas: Model Revaluasi Model Biaya  

(9)

(66)

(12) 276

(21) 543

23 253

45 498

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah perusahaan manufaktur yang melakukan revaluasi ke bawah sebanyak 6 perusahaan di Indonesia dan 21  perusahaan di Malaysia. Perusahaan manufaktur yang tidak mengalami  penurunan arus kas dalam periode 2014 hingga 2016 sebanyak 27 perusahaan di Indonesia dan 45 perusahaan di Malaysia. Di Indonesia terdapat 90  perusahaan yang tidak menggunakan satuan mata uang rupiah pada laporan keuangannya. Terdapat 9 perusahaan di Indonesia dan 66 perusahaan di Malaysia yang tidak memiliki data lengkap yang dibutuhkan dalam penelitian. Sebanyak 12 perusahaan di Indonesia dan 15 perusahaan di Malaysia terkena outliers. Berdasarkan kriteria  purposive sampling   yang telah ditentukan maka disimpulkan data yang dapat digunakan sebagai sampel penelitian ini sebanyak 276 sampel perusahaan untuk Indonesia dan 549 sampel untuk perusahaan Malaysia. Dimana sebanyak 23 perusahaan di Indonesia melakukan revaluasi menaik untuk aset tetapnya dan 253 perusahaan memilih menggunakan model  biaya. Sedangkan di Malaysia terdapat 48 perusahaan yang memilih melakukan revaluasi menaik untuk aset tetapnya dan 501 perusahaan memilih menggunakan metode biaya.

47

B. Uji Kualitas Data 1. Uji Statistik Deskriptif Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Indonesia N

Minimum Maximum

Mean

LEV 276 0.01960 3.03383 0.5199405 SIZE 276 24.41416 33.68331 2.8181358 FAI 276 0.00820 4.81171 0.4198764 DCFFO 276 -1.98299 21.47050 0.0114170 OC 276 0.14418 0.99998 0.7429675 KEB_REV 276 0 1 0.08 Valid N 276 (listwise) Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017

Median

0,46904 2,8016 0,33998 0,00875 0,77530 0

Std. Deviation 0.41740724 1.70577741 0.47114338 2.03972536 0.16362444 0.277

Tabel 4.2 menunjukkan statistik deskriptif masing-masing variabel. Berdasarkan tabel 4.2 jumlah data setiap variabel yang diolah dalam  peneliatian ini sebanyak 276 sampel perusahaan. Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif menunjukkan nilai minimum variabel leverage  adalah sebesar 0.01960. Sedangkan nilai maximum  variabel leverage sebesar 3.03383. Nilai rata-rata (mean) variabel leverage  sebesar 0.5199405, dan memiliki nilai median  0.46904, dengan nilai  standard deviation  sebesar 0.41740724. Variabel leverage memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat leverage  perusahaan manufaktur di Indonesia adalah tinggi. Variabel size memiliki nilai minimum sebesar 24.41416. Sedangkan nilai maximum variabel size adalah 33.68331. Variabel  size memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 2.8181358, dan memiliki nilai median  2,8016,

48

dengan nilai standard deviation sebesar 1.70577741. Variabel size memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata  size (ukuran perusahaan)  perusahaan manufaktur di Indonesia adalah besar. Variabel  fixed asset intensity  memiliki nilai minimum  sebesar 0.00820. Sedangkan nilai maximum  variabel  fixed asset intensity  adalah sebesar 4.81171. Variabel  fixed asset intensity  memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 0.4198764, dan memiliki nilai median 0,33998, dengan nilai  standard deviation  sebesar 0.47114338. Variabel  fixed asset intensity memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata  fixed asset intensity yang dimiliki oleh perusahaan manufaktur di Indonesia adalah tinggi. Variabel declining cash flow from operation memiliki nilai minimum sebesar -1.98299. Sedangkan nilai maximum  variabel declining cash flow  from operation adalah sebesar 21.47050. Variabel declining cash flow from operation memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 0.0114170, dan memiliki nilai median 0,00875, dengan nilai standard deviation sebesar 2.03972536. Variabel declining cash flow from operation memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata perusahaan manufaktur di Indonesia mengalami declining cash flow from operation (penurunan arus kas operasi) yang tinggi.

49

Variabel ownership control memiliki nilai minimum sebesar 0.14418. Sedangkan nilai maximum  variabel  ownership control adalah sebesar 0.99998. Variabel ownership control  memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 0.7429675, dan memiliki nilai median  0,77530, dengan nilai  standard deviation  sebesar 0.16362444. Variabel ownership control memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata perusahaan manufaktur di Indonesia dimiliki oleh pemegang saham major ( significant  blackholder). Variabel revaluasi aset menunjukkan nilai minimum sebesar 0. Sedangkan nilai maximum variabel revaluasi aset sebesar 1. Nilai rata-rata (mean) variabel revaluasi aset sebesar 0.08, dan memiliki nilai median 0,08, dengan nilai  standard deviation sebesar 0.277. Tabel 4.3

Statistik Deskriptif Malaysia N

Minimum

Maximum

Mean

LEV 543 0.0189 1.3406 0.349224 SIZE 543 16.2976 24.4695 1.947879 FAI 543 0.0002 1.5550 0.348526 DCFFO 543 -8.2672 5.5330 -0.004689 OC 543 0.0000 3.4608 0.461890 KEB_REV 543 0 1 0.08 Valid N 543 (listwise) Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017

Median

0.32848 1.92599 0.32938 -0.00620 0.46395 0

Std. Deviation 0.1908754 1.3810757 0.1990136 0.8158811 0.2245400 0.279

Tabel 4.3 menunjukkan statistik deskriptif masing-masing variabel. Berdasarkan tabel 4.3 jumlah data setiap variabel yang diolah dalam  peneliatian ini sebanyak 543 sampel perusahaan. Hasil analisis dengan menggunakan statistik deskriptif menunjukkan nilai minimum variabel

50

leverage  adalah sebesar 0.0189. Sedangkan nilai maximum  variabel leverage  sebesar 1.3406. Nilai rata-rata (mean) variabel  leverage  sebesar 0.348342, dan memiliki nilai median  0,32848, dengan nilai  standard deviation  sebesar 0.1900810. Variabel leverage memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat leverage  perusahaan manufaktur di Malaysia adalah tinggi. Variabel  size  memiliki nilai minimum  sebesar 16.2976. Sedangkan nilai maximum  variabel  size  adalah 24.4695. Variabel  size  memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 1.947831, dan memiliki nilai median 1.92599, dengan nilai standard deviation sebesar 1.3746419. Variabel size memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa  size (ukuran perusahaan) perusahaan manufaktur di Malaysia adalah besar. Variabel fixed asset intensity memiliki nilai minimum sebesar 0.0002. Sedangkan nilai maximum  variabel  fixed asset intensity  adalah sebesar 1.5550. Variabel fixed asset intensity memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 0.345618, dan memiliki nilai median 0.32938, dengan nilai  standard deviation sebesar 0.2005713. Variabel  fixed asset intensity  memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa  fixed asset intensity  perusahaan manufaktur di Malaysia adalah tinggi.

51

Variabel declining cash flow from operation memiliki nilai minimum sebesar -8.2672. Sedangkan nilai maximum  variabel  declining cash flow  from operation  adalah sebesar 5.5330. Variabel declining cash flow from operation memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar -0.004689, dan memiliki nilai median -0.00620, dengan nilai standard deviation sebesar 0.8158811. Variabel declining cash flow from operation memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan

bahwa

rata-rata

perusahaan

manufaktur

di

Malaysia

mengalami declining cash flow from operation (penurunan arus kas operasi) yang tinggi. Variabel ownership control memiliki nilai minimum sebesar 0,0000. Sedangkan nilai maximum  variabel  ownership control adalah sebesar 3.4608. Variabel ownership control  memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 0.461890, dan memiliki nilai median  0.46395, dengan nilai  standard deviation  sebesar 0.2245400. Variabel ownership control memiliki nilai rata-rata (mean) yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai median sehingga dapat disimpulkan bahwa bahwa rata-rata perusahaan manufaktur di Malaysia dimiliki oleh pemegang saham major ( significant  blackholder). Variabel revaluasi aset menunjukkan nilai minimum sebesar 0. Sedangkan nilai maximum  variabel revaluasi aset sebesar 1. Nilai rata-rata (mean) variabel revaluasi aset sebesar 0.08, dengan nilai standard deviation sebesar 0.279.

52

2. Pengujian Model Fit (Overall M odel F it) Tabel 4.4 Perbandingan Nilai -2LL Awal dengan -2LL Akhir Nilai -2 Log likelihood Indonesia Malaysia Awal (Block Number : 0) 158,333 310,303 Akhir (Block Number : 1) 142,236 275.004 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017

Tabel 4.4 menunjukkan nilai -2LL awal (block number = 0) dan nilai -2LL akhir (block number = 1) Indonesia dan Malaysia. Indonesia memiliki nilai -2LL awal (block number = 0) sebesar 158,333 dan nilai -2LL akhir (block number = 1) sebesar 142,236. Terdapat selisih antara nilai -2LL awal dengan nilai -2LL akhir, dimana nilai -2LL awal lebih besar dari nilai -2LL akhir sebesar 16,097. Adanya selisih penurunan sebesar 16,097 maka memiliki arti bahwa model yang dihipotesiskan fit dengan data. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa Malaysia memiliki nilai -2LL awal (block number = 0) sebesar 310,303 dan nilai -2LL akhir (block number = 1) sebesar 275.004. Terdapat selisih antara nilai -2LL awal dengan nilai 2LL akhir, dimana nilai -2LL awal lebih besar dari nilai -2LL akhir sebesar 35,299. Adanya selisih penurunan sebesar 35,299 maka memiliki arti bahwa model yang dihipotesiskan fit dengan data. 3. Uji Kelayakan Model

Model 1 Model 2

Tabel 4.5 Menilai Overall Model Fit Sampel Chidf Perusahaan square Step 16,098 5 Indonesia Block 16,098 5 Model 16,098 5 Malaysia Step 35,300 5

Sig.

0,007 0,007 0,007 0,000

Keterangan Layak Layak

53

Lanjutan Tabel 4.5 Block 35,300 5 0,000 Model 35,300 5 0,000 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017 Tabel 4.5 menunjukkan hasil pengujian kelayakan model dengan menggunakan Omnimbus Tests of Model Coefficients. Indonesia dan Malaysia berdasarkan hasil pengujian Omnimbus Tests of Model Coefficients memiliki model penelitian yang baik. Hal tersebut dilihat dari nilai signifikansi Indonesia dan Malaysia, dimana Indonesia memiliki nilai signifikansi sebesar 0,007 < 0,005 (lebih kecil dari nilai alpha 0,05). Sedangkan Malaysia memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,005 (lebih kecil dari nilai alpha 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia dan Malaysia memiliki data penelitian yang layak untuk diteliti. Tabel 4.6 Hasil Uji Kelayakan Model Sampel Perusahaan Chi-square Sig. Model 1 Indonesia 11,875 0,157 Model 2 Malaysia 11.985 0,152 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017

Keterangan Layak Layak

Tabel 4.6 menunjukkan hasil pengujian  Hosmer and Lameshow Test  dimana Hosmer and Lameshow Test digunakan untuk menguji kelayakan model penelitian yang digunakan dengan melihat hasil dari nilai Chi-square dan nilai signifikansi. Indonesia memiliki nilai Chi-square sebesar 11,875 dan nilai signifikansi sebesar 0,157 > 0,05 (lebih besar dari nilai alpha 0,05). Sedangkan Malaysia memiliki nilai Chi-square sebesar 11.985 dan nilai signifikansi sebesar 0,152 > 0,05 (lebih besar dari nilai alpha 0,05).

54

Berdasarkan nilai Chi-square dan nilai signifikansi maka dapat disimpulkan  bahwa Indonesia dan Malaysia memiliki model yang layak untuk digunakan dalam melanjutkan pengujian penelitian. 4. Uji Koefisien Determinasi Tabel 4.7 Hasil Uji Koefisien Determinasi Indonesia Step

1

-2 Log likelihood 142,236

Cox & Snell R Square

0,057 Malaysia

Nagelkerke R Square 0,130

-2 Log Nagelkerke R Cox & Snell R Square likelihood Square 1 275.004 0,063 0,145 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017 Step

Tabel 4.7 adalah hasil uji koefisien determinasi (R 2) yang berfungsi untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen untuk data perusahaan manufaktur Indonesia dan Malaysia. Nilai Nagelkerke R Square adalah modifikasi dari koefisien Cox dan Snell’s yang berfungsi untuk memastikan bahwa nilainya bervariasi dari 0 (nol) hingga 1 (satu). Indonesia memiliki nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,130. Artinya sebesar 13% keputusan revaluasi aset tetap pada  perusahaan manufaktur di Indonesia dijelaskan oleh variabel leverage, size,  fixed asset intensity, declining cash flow from operation  dan ownership control, sedangkan 87% keputusan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur di Indonesia dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

55

Malaysia memiliki nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,145. Artinya sebesar 14,5% keputusan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur di Malaysia dijelaskan oleh variabel leverage, size, fixed asset intensity, declining cash flow from operation  dan ownership control, sedangkan 85,5% keputusan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur di Malaysia dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. 5. Tabel Klasifikasi Tabel 4.8 Tabel Klasifikasi Indonesia Predicted Observed

KEB_REV M.Biaya

Step 1

KEB_REV

M.Biaya M.Revaluasi

Percentage Correct M.Revaluasi

252

1

99.6

22

1

4.3

Overall Percentage

91.7

a. The cut value is ,500 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017 Tabel 4.8 adalah tabel hasil matriks klasifikasi dimana hasil dari matriks klasifikasi ini dapat menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi yang akan memperkirakan kemungkinan kebijakan revaluasi menaik aset tetap oleh perusahaan manufaktur di Indonesia. Berdasarkan tabel 4.8, kekuatan prediksi dari model regresi untuk memperkirakan kemungkinan  perusahaan memilih menggunakan model revaluasi menaik adalah sebesar 4,3%. Artinya bahwa dengan menggunakan model regresi yang digunakan terdapat

1

perusahaan

(4,3%)

yang

diperkirakan

akan

memilih

56

menggunakan model revaluasi menaik terhadap total 23 perusahaan yang memilih model revaluasi. Kekuatan prediksi dari model regresi untuk memperkirakan kemungkinan perusahaan memilih menggunakan model biaya adalah sebesar 99,6%. Artinya bahwa dengan menggunakan model regresi yang digunakan terdapat 252 perusahaan (99,6%) yang diperkirakan akan memilih menggunakan model biaya terhadap total 253 perusahaan yang memilih model biaya. Berdasarkan hasil dari tabel 4.8 secara keseluruhan kekuatan prediksi dari model regresi penelitian ini adalah 91,7%. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan prediksi dari model dengan variabel leverage, size, fixed asset intensity, declining cash flow from operation dan ownership control secara statistik dapat memprediksi sebesar 91,7%. Tabel 4.9 Tabel Klasifikasi Malaysia Predicted Observed

Step 1

KEB_REV

KEB_REV M.Biaya

M.Revaluasi

Percentage Correct

M.Biaya

498

0

100.0

M.Revaluasi

43

2

4.4

Overall Percentage

92.1

a. The cut value is ,500 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017 Tabel 4.9 adalah tabel hasil matriks klasifikasi dimana hasil dari matriks klasifikasi ini dapat menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi yang akan memperkirakan kemungkinan kebijakan revaluasi aset tetap menaik oleh perusahaan manufaktur di Indonesia. Berdasarkan tabel

57

4.9, kekuatan prediksi dari model regresi untuk memperkirakan kemungkinan perusahaan memilih menggunakan model revaluasi menaik adalah sebesar 4,4%. Artinya bahwa dengan menggunakan model regresi yang digunakan terdapat 2 perusahaan (4,4%) yang diperkirakan akan memilih menggunakan model revaluasi menaik terhadap total 45  perusahaan yang memilih model revaluasi. Kekuatan prediksi dari model regresi untuk memperkirakan kemumgkinan perusahaan memilih menggunakan model biaya adalah sebesar 100%. Artinya bahwa dengan menggunakan model regresi yang digunakan terdapat 489 perusahaan (100%) yang diperkirakan akan memilih menggunakan model biaya terhadap total 489 perusahaan yang memilih model biaya. Berdasarkan hasil dari tabel 4.8 secara keseluruhan kekuatan  prediksi dari model regresi penelitian ini adalah 92,1%. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan prediksi dari model dengan variabel leverage, size, fixed asset intensity, declining cash flow from operation dan ownership control secara statistik dapat memprediksi sebesar 92,1%. 6. Hasil Uji Beda t-test

Uji beda t-test   digunakan untuk menentukan perbedaan penerapan kebijakan revaluasi aset tetap yang diukur dengan menggunakan variabel dependen kebijakan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur di Indonesia dan Malaysia.

58

Tabel 4.10 Hasil Uji Group Rata-Rata Negara

KEB_REV

N

Indonesia

Mean

276

0.08333

Malaysia 543 0.08471 Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017 Berdasarkan tabel 4.10 rata-rata kebijakan revaluasi aset tetap untuk negara Indonesia adalah 0,08333 sedangkan rata-rata kebijakan revaluasi aset tetap untuk negara Malaysia adalah 0,08471. Secara absolut rata-rata  penerapan kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Untuk memastikan perbedaan penerapan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia secara akurat dan  jelas dalam statistik maka dapat dilihat dari output  bagian kedua (independent sample t-test). Tabel 4.11 Hasil Uji t-test  Independent Sample T-Test

Levene's Test for Equality of Variances F KEB_  Equal REV variances assumed Equal variances not assumed

Sig.

t-test for Equality of Means T

0.018 0.893 -0.067

df

Sig. (2Mean Std. Error tailed) Difference Difference

817

0.946 -0.001381

0.020558

-0.067 556.329

0.946 -0.001381

0.020514

Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017 Berdasarkan tabel 4.11 nilai sig levene test adal ah 0,893 > 0,05 (lebih  besar dari 0,05) artinya Indonesia dan Malaysia memiliki variance yang

59

sama. Oleh karena itu uji beda t-test harus menggunakan asumsi equal variance assumed.  Nilai signifikansi (2-tailed) equal variance assumed  adalah 0,946 > 0,05 (lebih besar dari nilai sig 0,05). Artinya variance kebijakan revaluasi aset tetap antara Indonesia dan Malaysia adalah sama. C. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan menggunakan program SPSS  for windows version 16. Hasil regresi logistik penelitian ini dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 4.12

Hasil Uji Hipotesis Indonesia B S.E. Wald df LEV 0.693 0.319 4.715 1 SIZE -0.809 3.964 0.042 1 FAI 0.680 0.281 5.839 1 Step 1a DCFFO 0.417 0.557 0.560 1 OC -1.406 0.778 3.265 1 Constant 1.118 13.176 0.007 1 a. Variable(s) entered on step 1: LEV, SIZE, FAI, DCFFO, OC. Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017

Sig. 0.030 0.838 0.016 0.454 0.071 0.932

Exp(B) 2.000 0.445 1.973 1.517 0.245 3.057

Berdasarkan tabel 4.12 maka model regresi logistik yang diperoleh sebagai berikut:

Ln



  = 1,118 + 0,693LEV  –   0,809SIZE + 0,680FAI + 0,417CFFO  – 

−

1,406OC

60

Tabel 4.13

Hasil Uji Hipotesis Malaysia B S.E. Wald df LEV 0.808 0.331 5.974 1 SIZE -3.863 2.558 2.280 1 FAI 1.305 0.298 19.148 1 Step 1a DCFFO -0.222 0.571 0.152 1 OC 0.260 0.350 0.552 1 Constant 11.460 7.743 2.191 1 a. Variable(s) entered on step 1: LEV, SIZE, FAI, DCFFO, OC. Sumber: Data Sekunder yang diolah dengan SPSS 16, 2017

Sig. 0.015 0.131 0.000 0.697 0.457 0.139

Exp(B) 2.243 0.021 3.688 0.801 1.297 9.489

Berdasarkan tabel 4.13 maka model regresi logistik yang diperoleh sebagai berikut:

Ln



  = 11,460 + 0,808LEV  –   3,863SIZE + 1,305FAI - 0,222CFFO +

−

0,260OC 1. Hasil Pengujian Hipotesis Pertama (H 1a dan H1b)

Berdasarkan tabel 4.12 maka diperoleh hasil pengujian variabel leverage memiliki nilai sig sebesar 0,030 < alpha 0,05 dan arah koefisien  positif 0,693. Hasil pengujian variabel leverage menunjukkan nilai sig kurang dari alpha dan arah koefisien positif artinya variabel leverage (LEV)  berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 1a yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh  positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia diterima. Berdasarkan tabel 4.13 maka diperoleh hasil pengujian variabel leverage memiliki nilai sig sebesar 0,015 < alpha 0,05 dan arah koefisien  positif 0,808. Hasil pengujian variabel leverage menunjukkan nilai sig kurang dari alpha dan arah koefisien positif artinya variabel leverage (LEV)

61

 berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 1b yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh  positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia diterima. 2. Hasil Pengujian Hipotesis Kedua (H 2a dan H2b)

Variabel size diukur dengan menggunakan logaritma natural (Ln) dari total aset perusahaan. Berdasarkan tabel 4.12 maka diperoleh hasil  pengujian variabel  size memiliki nilai sig sebesar 0,838 > alpha 0,05 dan arah koefisien negatif -0,809. Hasil pengujian variabel  size menunjukkan nilai sig lebih besar dari alpha dan arah koefisien negatif artinya variabel  size (SIZE) tidak berpengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 2a  yang menyatakan bahwa  size  berpengaruh  positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia ditolak . Berdasarkan tabel 4.13 maka diperoleh hasil pengujian variabel  size memiliki nilai sig sebesar 0,131 > alpha 0,05 dan arah koefisien negatif 3,863. Hasil pengujian variabel size menunjukkan nilai sig lebih besar dari alpha dan arah koefisien negatif artinya variabel  size (SIZE) tidak  berpengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H2b  yang menyatakan bahwa  size  berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia ditolak . 3. Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga (H 3a dan H3b)

Berdasarkan tabel 4.12 maka diperoleh hasil pengujian variabel  fixed asset intensity  memiliki nilai sig sebesar 0,016 < alpha 0,05 dan arah koefisien positif 0,680. Hasil pengujian variabel  fixed asset intensity

62

menunjukkan nilai sig kurang dari alpha dan arah koefisien positif artinya variabel  fixed asset intensity (FAI) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 3a  yang menyatakan bahwa  fixed asset intensity  berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia diterima. Berdasarkan tabel 4.13 maka diperoleh hasil pengujian variabel  fixed asset intensity  memiliki nilai sig sebesar 0,000 < alpha 0,05 dan arah koefisien positif 1,305. Hasil pengujian variabel  fixed asset intensity menunjukkan nilai sig kurang dari alpha dan arah koefisien positif artinya variabel  fixed asset intensity (FAI) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 3b  yang menyatakan bahwa  fixed asset intensity  berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia diterima. 4. Hasil Pengujian Hipotesis Keempat (H 4a dan H4b)

Berdasarkan tabel 4.12 maka diperoleh hasil pengujian variabel declining cash flow from operation memiliki nilai sig sebesar 0,454 > alpha 0,05 dan arah koefisien positif 0,417. Hasil pengujian variabel declining cash flow from operation menunjukkan arah koefisien yang positif namun nilai sig lebih besar dari alpha artinya variabel declining cash flow from operation (DCFFO) tidak berpengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 4a yang menyatakan bahwa declining cash  flow from operation berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia ditolak .

63

Berdasarkan tabel 4.13 maka diperoleh hasil pengujian variabel declining cash flow from operation memiliki nilai sig sebesar 0,697 > alpha 0,05 dan arah koefisien negatif -0,222. Hasil pengujian variabel declining cash flow from operation menunjukkan hasil yang tidak signifikan karena nilai sig lebih besar dari alpha dan arah koefisien yang negatif artinya variabel declining cash flow from operation (DCFFO) tidak berpengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 4b  yang menyatakan bahwa declining cash flow from operation berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia ditolak . 5. Hasil Pengujian Hipotesis Kelima (H5a dan H5b)

Berdasarkan tabel 4.12 maka diperoleh hasil pengujian variabel ownership control   memiliki nilai sig sebesar 0,071 > alpha 0,05 dan arah koefisien negatif -1,406. Hasil pengujian variabel ownership control  menunjukkan arah koefisien negatif namun nilai sig lebih besar dari alpha artinya variabel ownership control   (OC) tidak berpengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H5a yang menyatakan  bahwa ownership control  berpengaruh negatif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia ditolak . Berdasarkan tabel 4.13 maka diperoleh hasil pengujian variabel ownership control   memiliki nilai sig sebesar 0,457 > alpha 0,05 dan arah koefisien positif 0,260. Hasil pengujian variabel ownership control  menunjukkan nilai sig lebih besar dari alpha dan arah koefisien positif artinya variabel ownership control   (OC) tidak berpengaruh terhadap

64

kebijakan revaluasi aset tetap (KEB_REV). Sehingga H 5b yang menyatakan  bahwa ownership control  berpengaruh negatif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Malaysia ditolak . 6. Hasil Pengujian Hipotesis Keenam (H 6)

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.10 Indonesia dan Malaysia memiliki nilai rata-rata kebijakan revaluasi aset tetap yang berbeda. Indonesia memiliki nilai rata-rata kebijakan revaluasi aset tetap sebesar 0,08333 lebih kecil dari nilai rata-rata kebijakan revalusi aset tetap di Malaysia sebesar 0,08471. Tabel 4.11 nilai sig levene test adalah 0,893 > 0,05 (lebih besar dari 0,05) artinya variance Indonesia dan Mala ysia adalah sama. Oleh karena itu uji beda t-test harus menggunakan asumsi equal variance assumed.  Nilai signifikansi (2-tailed) equal variance assumed  adalah 0,946 > 0,05 (lebih besar dari nilai sig 0,05). Artinya variance adalah sama atau tidak terdapat perbedaan penerapan kebijakan revaluasi aset tetap  pada perusahaan manufaktur di Indonesia dan Ma laysia. Berdasarkan tabel 4.10 dan 4.11 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa H 6 yang menyatakan  bahwa terdapat perbedaan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia.ditolak. D. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh leverage, size, fixed asset intensity, declining cash flow from operation  dan ownership control  terhadap kebijakan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Malaysia tahun 2014-2016.

65

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan terhadap hipotesis dalam  penelitian ini, diperoleh hasil bahwa tidak semua variabel independen  penelitian ini berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen kebijakan revaluasi aset. 1. Pengaruh  Leverage Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Hasil pengujian hipotesis pertama (H1a dan H1b) menunjukkan bahwa variabel leverage  memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. Hasil pengujian ini sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya dan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Piera (2007) yang menyatakan bahwa apabila tingkat leverage suatu perusahaan tinggi, maka akan semakin mendorong  perusahaan dalam menerapkan metode revaluasi untuk asetnya. Hal tersebut disebabkan karena rasio leverage  yang tinggi akan menyebabkan risiko kerugian yang tinggi terhadap perusahaan sehingga dari sudut pandang kreditor hal tersebut akan berdampak pada menurunnya tingkat kelayakan  perusahaan. Hipotesis kontrak hutang (debt covenant hypothesis) yang dijelaskan oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positifnya menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat  leverage  yang tinggi terutama yang dekat terhadap pelanggaran perjanjian utang akan menyebabkan kecenderungan manajer untuk memilih metode dan prosedur akuntansi yang dapat menghindarkan perusahaan dari pelanggaran  perjanjian utang. Oleh sebab itu manajer perusahaan akan memilih metode

66

revaluasi aset tetap karena metode tersebut dapat menghasilkan nilai aset  perusahaan yang meningkat dan dapat meningkatkan nilai ekuitas karena metode revaluasi aset tetap mengakui keuntungan hasil revaluasinya sehingga terlanggarnya perjanjian kontrak utamg perusahaan terhadap pihak kreditur dapat dihindari. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Brown et al (1992) terhadap perusahaan di Australia, Lin dan Peasnell (2000) terhadap perusahaan di United Kingdom, B arać dan Šodan (2011) terhadap  perusahaan di Kroasia, Manihuruk dan Farahmita (2015) terhadap  perusahaan di ASEAN. Penelitian-penelitian tersebut berhasil membuktikan  bahwa leverage  berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan revaluasi aset tetap. 2. Pengaruh  Size Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Hasil pengujian hipotesis pertama (H2a dan H2b) menunjukkan bahwa variabel  size  tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. Hasil pengujian ini tidak sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya yang menyatakan bahwa  size  berpengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan di Malaysia. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Seng dan Su (2010) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dan signifikan pada revaluasi menaik karena revaluasi digunakan untuk mengurangi biaya politik.

67

Revaluasi aset tetap menaik yang dilakukan oleh perusahaan akan menghasilkan

selisih

antara

nilai

buku

aset

tetap

dengan

nilai

revaluasiannya sehingga saldo laba komprehensif perusahaan akan meningkat dimana hal tersebut akan berdampak dikenakannya pajak tambahan oleh pemerintah. PMK No. 191/2015 tentang penilaian kembali aset tetap untuk tujuan perpajakan menjelaskan bahwa selisih atas penilaian kembali aset tetap dikenai pajak final sebesar 3% hingga 6%. Sehingga hal tersebut akan mendorong manajer lebih memilih model biaya dibandingkan model revaluasi menaik agar terhindar dari pembayaran pajak yang lebih  besar. Whittred dan Chan (1992) menjelaskan walaupun laba perusahaan dapat berkurang akibat revaluasi aset tetap namun revaluasi juga meningkatkan nilai aset perusahaan, dimana hal tersebut menyebabkan semakin terlihatnya suatu perusahaan sehingga akan menarik perhatian dan  pengawasan oleh pemerintah dan publik. Menurunnya laba perusahaan karena revaluasi aset tetap mungkin saja ditolak oleh manajer karena revaluasi juga akan meningkatkan depresiasi sehingga akan berdampak  pada menurunnya bonus yang akan diterima oleh manajer. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Firmansyah dan Sherlita (2012), Nurjanah (2013), Yulistia, dkk (2015), Latifa dan Haridhi (2016), serta Ramadhani (2016) terhadap perusahaan di Indonesia dan Singapura. Penelitian-penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa ukuran perusahaan (firm size) tidak berpengaruh terhadap revaluasi aset tetap.

68

69

3. Pengaruh  F ixed Asset I ntensity Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Hasil pengujian hipotesis pertama (H3a dan H3b) menunjukkan bahwa variabel fixed asset intensity memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. Hasil pengujian ini sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya dan sesuai dengan peneliti an yang dilakukan oleh Tay (2009) yang mengungkapkan bahwa aset tetap dapat menyebabkan nilai perusahaan meningkatkan dan oleh sebab itu  potensi yang dimiilikinya besar terhadap peningkatkan basis aset dengan meningkatkan kapasitas pinjaman perusahaan sehingga pemilihan model revaluasi sesuai untuk diterapkan. Hal tersebut disebabkan karena aset tetap merupakan modal operasi jangka panjang perusahaan sehingga intensitas aset tetap yang tinggi akan berdampak signifikan terhadap laporan keuangan  perusahaan. Intensitas aset tetap yang tinggi akan menghasilkan kas yang diperoleh semakin besar apabila aset tetap tersebut dijual. Oleh sebab itu semakin tinggi intensitas aset tetap maka akan mendorong manajer memilih model revaluasi. Dimana model revaluasi dapat lebih mencerminkan nilai aset sesungguhnya (Manihuruk dan Farahmita, 2015). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Lin dan Peasnell (2000), Seng dan Su (2010), Nurjanah (2013), Manihuruk dan Farahmita (2015), Latifa dan Haridhi (2016) serta Ramadhani (2016) yang memberikan hasil penelitian

70

 bahwa intensitas aset tetap berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan model revaluasi aset tetap. 4. Pengaruh  Declini ng Cash F low F rom Operation Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Hasil pengujian hipotesis pertama (H4a dan H4b) menunjukkan bahwa variabel declining cash flow from operation  tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. Hasil  pengujian ini tidak sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya yang menyatakan bahwa declining cash flow from operation berpengaruh  positif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan di Malaysia. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan

Barać dan Šodan (2011) yang

menyatakan bahwa terdapat pengaruh penurunan arus kas terhadap keputusan revaluasi aset. Hal ini disebabkan karena arus kas operasi merupakan bagian dari arus kas keseluruhan perusahaan sehingga penurunan yang terjadi pada arus kas operasi mungkin dapat diimbangi oleh arus kas dari aktivitas pendanaan maupun investasi. Oleh sebab itu pihak kreditur tidak hanya fokus pada  penurunan arus kas operasi namun lebih fokus pada arus kas dari aktivitas keseluruhan perusahaan (Missonier, 2007). Alasan lain pihak kreditur t idak hanya fokus pada penurunan arus kas operasi adalah karena leverage. Jadi selama tingkat leverage suatu perusahaan rendah maka penurunan dari arus kas operasi tidak akan berdampak signifikan terhadap penilaian pihak kreditur. Hal tersebut disebabkan karena apabila perusahaan memiliki aset

71

tetap yang tinggi maka perusahaan akan mampu melunasi hutangnya walaupun terjadi likuidasi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Seng dan Su (2010), terhadap perusahaan di New Zealand, Nurjanah (2013), Yulistia, dkk (2015) serta Firmansyah dan Sherllita (2012) terhadap  perusahaan di Indonesia dan Ramadhani (2016) terhadap perusahaan di Indonesia dan Singapura. Penelitian-penelitian tersebut membuktikan  bahwa declining cash flow from operation  tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap. 5. Pengaruh   Ownership control Terhadap Kebijakan Revaluasi Aset Tetap

Hasil pengujian hipotesis pertama (H5a dan H5b) menunjukkan bahwa variabel ownership control  tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. Hasil pengujian ini tidak sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya yang menyatakan  bahwa ownership control berpengaruh negatif terhadap kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan di Malaysia. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Nurjanah (2013) yang menyatakan bahwa ownership control   berpengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan revaluasi aset tetap. Tidak adanya pengaruh ownership control yang diukur dengan menggunakan adanya pemegang saham major ( significant blockholders) terhadap kebijakan revaluasi aset tetap disebabkan karena adanya motif

72

tertentu oleh manajer. Jadi, walaupun di sebuh perusahaan terdapat  pemegang saham major dimana pemegang saham major ini seharusnya dapat berpengaruh dalam pengambilan keputusan perusahaan namun apabila manajer perusahaan memiliki motif tertentu maka pemegang saham major ini belum tentu dapat mempengaruhi keputusan manajer. Hal tersebut dikarenakan model revaluasi dapat menurunkan profitabilitas perusahaan  jangka pendek yang akan berdampak pada menurunnya bonus yang diterima manajer. Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) yang dijelaskan oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positifnya menjelaskan  bahwa manajer akan memilih suatu metode akuntansi yang dapat meningkatkan

kompensasi

yang

didapatkannya.

Sehingga

adanya

 pemegang saham major tidak akan mendorong manajer untuk memilih model revaluasi karena model revaluasi dapat menurunkan bonus yang diterima oleh manajer. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Piera (2007) terhadap perusahaan di Swiss, Lopes (2012) terhadap perusahaan di Brazil, dan Wicaksana (2016) terhadap perusahaan di Indonesia yang membuktikan bahwa ownership control   (kontrol kepemilikan) tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap. 6. Kebijakan Revaluasi Aset Tetap di Indonesia dan Malaysia

Hipotesis keenam (H6) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia ditolak. Hasil

73

 pengujian dengan menggunakan variabel dependen kebijakan revaluasi aset tetap pada kedua negara menunjukkan bahwa kebijakan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia adalah sama. Dugaan awal bahwa Malaysia yang menganut sistem hukum common law akan memiliki kecenderungan untuk memilih model revaluasi dibandingkan Indonesia adalah tidak benar. Walaupun sistem hukum common law lebih melindungi kepentingan investor namun model revaluasi merupakan model yang rentan untuk dimanipulasi sehingga hal tersebut tidak akan melindungi kepentingan investor (Manihuruk dan Farahmita, 2015).

BAB V SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN

A. Simpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memproleh bukti empiris mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan revaluasi aset tetap dengan melihat hasil dari variabel independen yang diuji. Variabel independen yang diuji dalam penelitian ini adalah leverage, size, fixed asset intensity, declining cash flow from operation dan ownership control . Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Malaysia selama tahun 2014-2016, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: 1.  Leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 2.

Size tidak berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia.

3.  Fixed asset intensity  berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 4.  Declining cash flow from operation tidak berpengaruh positif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia. 5.

Ownership control tidak berpengaruh negatif terhadap keputusan revaluasi aset tetap di Indonesia dan Malaysia.

72

73

6.

Tidak terdapat perbedaan kebijakan revaluasi aset tetap pada perusahaan manufaktur di Indonesia dan Malaysia.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini maka beberapa saran yang dapat peneliti rekomendasikan dan dapat menjadi pertimbangan bagi  penelitain selanjutnya yaitu: 1.

Menambahkan jumlah sampel agar lebih luas sehingga kesimpulan yang dihasilkan memiliki cakupan yang lebih luas lagi baik dengan menambahkan periode tahun penelitian ataupun menambahkan sektor  perusahaan.

2.

Menambahkan variabel independen lain yang kemungkinan berpengaruh terhadap keputusan revaluasi aset tetap, misalnya profitabilitas, bonus, tingkat hutang jaminan, likuiditas, umur perusahaan, pemegang saham  pengendali dan variabel independen lainnya sehingga mampu nilai  prediksi yang didapatkan menjadi lebih luas.

3.

Bagi penelitian selanjutnya dapat menggunakan sampel dari negara ASEAN lainnya yang mengadopsi IAS 16 seperti Filiphina dan Singapura.

4.

Mempertimbangkan ada tidaknya pengaruh pemegang saham manajerial dan pemegang saham pengendali.

5.

Mengganti variabel penurunan arus kas operasi dengan penurunan arus kas dari seluruh aktivitas perusahaan.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF