Skenario B Blok 19 Gamma.docx

August 28, 2017 | Author: azaliatz | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Skenario B Blok 19 Gamma.docx...

Description

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 19 2016

Disusun oleh: KELOMPOK A Muhammad Fahmi Imam Adli Muhammad Muhammad Aldo Giansyah Sarah Qonitah Nadia Mutiara M. Rifqi Ulwan Hamidin Yudistira Wardana Azalia Talitha Zahra Davin Caturputra Setiamanah Masayu Shavira Rahmadhani S Beverly Ann D Silva Kang Yee Ming Kang yee Lea

(04011381419142) (04011381419143) (04011381419144) (04011381419145) (04011381419181) (04011381419183) (04011381419192) (04011381419193) (04011381419212) (04011381419213) (04011381419217) (04011381419218) (04011381419220)

Tutor : dr. Puji Rizki Suryani, M.Kes FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER 2016

1

KATA PENGANTAR Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario B Blok 19” sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman. Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada : 1

Allah SWT, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,

2

dr. Puji Rizki Suryani, M.Kes selaku tutor kelompok

3

teman-teman sejawat FK Unsri,

4

orang tua ,

5

semua pihak yang telah membantu kami. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan

kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin. Palembang, 18 Agustus 2016

2

Kelompok A4

KEGIATAN TUTORIAL Tutor

: dr. Tri Suciati, M.Kes

Moderator

: Yudistira Wardana

Sekretaris Papan

: Azalia Talitha Zahra

Sekretaris Meja

: Azalia Talitha Zahra

Pelaksanaan

: 22 Agustus 2016 – 29 Agustus 2016

Peraturan selama tutorial: 1 2

Sebelum nyampaikan pendapat harus mengacungkan tangan. Alat komunikasi dan gadget hanya boleh digunakan untuk keperluan diskusi, namun

3 4

dalam mode silent dan tidak mengganggu berlangsungnya diskusi. Minum diperbolehkan, namun tidak untuk makan. Bila ingin izin keluar, diharapkan melalui moderator.

3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................

2

Kegiatan Tutorial.................................................................................................

3

Daftar Isi..............................................................................................................

4

Skenario A Blok 19.............................................................................................

5

I Klarifikasi Istilah................................................................................................. II Identifikasi Masalah................................................................................... III Analisis Masalah........................................................................................ IV Hipotesis ................................................................................................... V Learning Issues.......................................................................................... VI Kerangka Konsep.................................................................................... VII Kesimpulan............................................................................................. Daftar Pustaka.....................................................................................................

4

7 7 8 33 44 70 70 74

Skenario B Blok 19 Tuan R, 65 tahun, pensiunan seorang guru, datang ke klinik umum RSUD dengan keluhan pendengaran berkurang sejak 2 tahun ini. Pendengaran berkurang pada kedua telinga. Pendengaran tururn secara perlahan-lahan. Kadang-kadang disertai bunyi berdenging. Pasien dapat mendengar percakapan tapi sulit memahami maknanya, terutama jika diucapkan dengan cepat di tempat yang bisisng. Pasien tidak ada batuk dan tidak ada pilek. Pasien tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga. Pasien tidak ada riwayat pemakaian/minum obat-obatan dalam jangka waktu lama. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan General: Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit Respirasi : 24x/Menit Suhu : 37o C Pemeriksaan status lokalis Otoskopi : Kanalis akustikus eksternus : Dalam batas normal Membran Timpani : Dalam batas normal Rhinoskopi anteriorr hidung kanan dan kiri : Mukosa Hidung

: Dalam batas normal

Konka inferior

: Eutrofi

Septum nasi

: Ditengah

Sekret

: (-)

Orofaring

: Tonsil T1-T4

: Tenang

Dinding faring posterior

: Tenang

Pemeriksaan Garputala

Telinga Kanan Telinga Kiri

: Test Rinne Positif

Test weber Tidak

Test schwabach terdapat Negatif

Positif

lateralisasi Tidak

terdapat Negatif

5

lateralisasi

6

I.

Klarifikasi istilah a. Tuli sensori neural Ketidak mampuan fungsi pendengaran karena kerusakan telinga dalam b. Test weber Test yang digunakan untuk membandingkan hantaran kedua telinga c. Test rinne Test yang dilakukan untuk membedakan persepsi suara yang dihantarkan oleh konduksi udara dengan suara yang dihantarkan oleh konduksi tulang melalui mastoid d. Test schwabach Test untuk membandingkan hantaran tulang penderita dan pemeriksa e. Pemeriksaan timpanometri Pemeriksaan objektif yang bertuj uan untuk menilai kondisi dari telinga tengah, merupakan petunjuk dari adanya gangguan pendengaran konduktif f. Pemeriksaan garpu tala Test yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi pendengaran individu secara kualitatif dengan menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala frequensi rendah sampai tinggi (128 Hz-2048 Hz) g. Pemeriksaan audiometri Test yang dilakukan untuk mengetahui level pendengaran seseorang, dengan dapat dinilai ketajaman pendengaran seseorang

II.

Identifikasi masalah a. Tuan R, 65 tahun, pensiunan seorang guru, datang ke klinik umum RSUD dengan keluhan pendengaran berkurang pada kedua telinga secara perlahanlahan. sejak 2 tahun ini , disertai bunyi berdenging. *** b. Pasien dapat mendengar percakapan tapi sulit memahami maknanya, terutama jika diucapkan dengan cepat di tempat yang bisisng. ** c. Riwayat medik * i. tidak ada batuk dan tidak ada pilek ii. tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga iii. tidak ada riwayat pemakaian/minum obat-obatan dalam jangka waktu lama. d. Pemeriksaan fisik* i. Pemeriksaan General ii. Pemeriksaan status lokalis iii. Pemeriksaan Garpu tala iv. Pemeriksaan Audiometri v. Pemeriksaan Timpanometri

III.

Analisis Masalah 7

a. Tuan R, 65 tahun, pensiunan seorang guru, datang ke klinik umum RSUD dengan keluhan pendengaran berkurang pada kedua telinga secara perlahanlahan. sejak 2 tahun ini , disertai bunyi berdenging. *** i. Apa yang menyebabkan keluhan yang dialami Tn. R? Keluhan yang dialami Tn. R adalah pendengaran berkurang pada kedua telinga secara perlahan-lahan dan disertai bunyi berdenging. Antara penyebab dari gangguan pendengaran adalah faktor usia, kebanyakan orang mulai sedikit terganggu pendengarannya ketika memasuki usia 40 tahun. Gangguan pendengaran akibat usia juga dikenal dengan nama presbikusis. Paparan suara nyaring berkali-kali dapat menyebabkan bulu-bulu halus koklea jadi tumpul. Kerusakan ini mengakibatkan getaran-getaran suara tidak diterjemahkan sebagaimana mestinya dan bikin Anda sulit membedakan satu suara dengan yang lainnya. Kondisi ini dikenal dengan istilah trauma akustik. Penumpukan kotoran telinga sehingga menghambat gelombang suara untuk masuk ke dalam telinga. Kondisi ini bisa dengan mudah diatasi dengan

membersihkan

kotoran

telinga.

Infeksi

telinga

dan

pertumbuhan abnormal pada telinga (misalnya tumor) yang bisa terjadi di telinga luar atau tengah juga bisa menyebabkan gangguan pendengaran. Kondisi pecahnya gendang telinga dimana suara yang amat kencang, perubahan ekstrim yang mendadak pada tekanan udara, mencolok gendang telinga dengan benda tertentu, serta infeksi, semuanya bisa menyebabkan

pecahnya

gendang

telinga

dan

memengaruhi

pendengaran. Dalam istilah medis telinga berdenging disebut sebagai tinnitus yang berarti bahwa suara yang terdengar pada telinga tanpa adanya sumber suara dari luar (sumber eksternal). Penyebab tinnitus yang paling sering adalah gangguan pendengaran yang terjadi dengan penuaan (presbikusis) dan sering mendengar suara keras atau bising (trauma akustik). Telinga berdenging juga dapat terjadi pada semua jenis

8

gangguan pendengaran dan mungkin merupakan gejala dari hampir semua gangguan telinga. Penyebab lain tinnitus:  Kotoran telinga yang menumpuk.  Obat-obatan, terutama antibiotik atau yang mengandung aspirin.  Minuman beralkohol atau berkafein dalam jumlah berlebihan.  Infeksi telinga atau gendang telinga bocor.  Masalah pada mulut dan gigi, seperti masalah pada sendi rahang 

(temporomandibula joint) Cedera, seperti pukulan atau benturan langsung ke telinga atau



kepala. Cedera pada telinga bagian dalam setelah menjalani operasi atau



terapi radiasi di daerah kepala dan leher. Perubahan tekanan pada lingkungan



(barotrauma). Penurunan berat badan drastis atau kekurangan gizi atau diet yang



berlebihan. Gangguan pada aliran darah (vaskular), seperti aterosklerosis

yang

begitu

cepat

karotid, arteri-vena (AV) malformasi, dan tekanan darah tinggi 

(hipertensi). Gangguan saraf (neurologis), seperti multiple sclerosis atau migrain.

ii. Adakah Hubungan usia , jenis kelamin dan pekerjaan dengan keluhan yang dialami Tn. R? Usia dan Jenis Kelamin Hearing loss sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio 9,5 : 1. Usia rata-rata berkisar pada usia produktif yaitu antara usia 20-50 tahun. semakin bertambahnya umur, tepatnya ketika sudah memasuki masa lanjut usia, maka dikhawatirkan akan terjadi adanya perubahan patologik pada organ auditori akibat proses degenerasi pada geriatri sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. Semakin bertambahnya umur, tepatnya ketika sudah memasuki masa lanjut usia, maka dikhawatirkan akan terjadi adanya perubahan patologik pada organ auditori akibat proses degenerasi pada geriatri sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. Literatur meyatakan pada usia 65 tahun, tuli sensorineural pada geriatric mulai terjadi.

9

iii. Bagaimana anatomi dan fisiologi pendengaran? 1. Anatomi Sistem pendengaran a. Telinga Luar Telinga luar (auris externa) terdiri dari daun telinga (auricula/pinna), liang telinga (meatus acusticus externus) sampai gendang telinga (membrana tympanica) bagian luar. Telinga luar terletak pada pars tympanica ossis temporalis dan pada bagian belakang berbatasan dengan processus mastoideus (Wibowo dan Paryana, 2007).

Telinga luar berfungsi sebagai penyalur suara dan sebagai proteksi telinga tengah. Fungsi telinga luar sebagai penyalur suara tergantung dari intensitas, frekuensi, arah, dan ada atau tidaknya hambatan dalam penyalurannya ke gendang telinga. Sedangkan fungsinya sebagai proteksi telinga tengah yaitu menahan atau mencegah benda asing yang masuk ke dalam telinga dengan memproduksi serumen, menstabilkan lingkungan dari input yang masuk ke telinga tengah, dan menjaga telinga tengah dari efek angin dan trauma fisik (Emanuel dan Letowski, 2009). b. Telinga Tengah Telinga tengah (auris media) berada di sebelah dalam gendang telinga sekitar 3-6 mm. Atap rongga telinga tengah adalah tegmen tympani dari pars petrosa ossis temporalis yang berbatasan dengan cavitas cranii. Dinding lateral telinga tengah berbatasan dengan gendang telinga beserta tulang di sebelah atas dan bawahnya. Dinding depannya berbatasan dengan canalis caroticus yang di dalamnya terdapat arteri karotis interna. Dinding medial telinga tengah ini berbatasan dengan tulang pembatas telinga dalam yang terlihat menonjol karena terdapat prominentia canalis 10

facialis di bagian posterior atas. Telinga tengah ini juga secara langsung berhubungan dengan nasofaring yaitu melalui tuba eustachius (Wibowo dan Paryana, 2007).

Telinga tengah berfungsi untuk menyalurkan suara dari udara dan memperkuat energi suara yang masuk sebelum menuju ke telinga dalam yang berisi cairan. Fungsi telinga tengah dalam memperkuat energi suara dibantu oleh tulangtulang kecil seperti maleus, incus, dan stapes sehingga energi suara tadi dapat menggetarkan cairan di koklea untuk proses mendengar (Sherwood, 2011). c. Telinga Dalam Telinga dalam dibatasi oleh tulang temporal (pars petrosa) (Wibowo dan Paryana, 2007). Telinga dalam terdiri dari koklea dan aparatus vestibularis yang memiliki dua fungsi sensorik yang berbeda. Koklea berfungsi sebagai sistem pendengaran karena mengandung reseptor untuk mengubah suara yang masuk menjadi impuls saraf sehingga dapat didengar. Aparatus vestibularis berfungsi sebagai sistem keseimbangan yang terdiri dari tiga buah canalis semisirkularis, dan organ otolit yaitu sacculus dan utriculus (Sherwood, 2011).

11

2. Fisiologi sistem pendengaran Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak

stereosillia

terdapat

rantai

pengikat

yang

menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi 12

akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004). Pola pergeseran membran

basilaris

membentuk

gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan

meningkatkan

gerakan

membran

basilaris

pada

frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier.

Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, 13

sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia selsel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi

sel

rambut,

sehingga

melepaskan

neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran. (Keith, 1989). iv. Adakah

hubungan penurunan pendengaran secara perlahan dan

keluhan berdenging yang dialamani Tn. R? Penurunan pendengaran secara perlahan disebabkan karena terjadinya degenerasi pada struktur koklea (atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organo corti) dan CN VIII. Pendengaran yang berkurang secara perlahan dapat disebabkan oleh degenerasi pada saraf sentral ataupun degenerasi dari koklea itu sendiri, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor resiko, seperti hipertensi, DM, hiperkolestrol, usia tua, maupun genetik. Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu terdapat pula perubahan, berupa berkurangnya jumlah dan ukuran selsel ganglion dan saraf (termasuk juga myelin akson saraf). Kerusakan saraf-saraf pendengaran ini akan menyebabkan tinnitus nada tinggi dan rasa nyeri apabila telinga terus terpapar pada suara dengan intensitas tinggi karena saraf pendengaran cenderung menjadi mudah lelah (recruitment). v. Bagaimana mekanisme dari penuruan pendengaran secara perlahan? Tuli sensorineural adalah kelainan pada koklea (telinga dalam. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah, dan skala media diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli, sedangkan dasar skala media adalah membran basalin yang terdapat Organ Corti.

14

Organ Corti terletak diatas membrana basilaris yang mengandung organel-organel

yang

penting

untuk

mekenisme

saraf

perifer

pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kirakira 12.000 sel. Pada kasus ini terjadi penurunan jumlah sel rambut dan sel penunjang pada Tn. R sehingga terjadi gangguan pendengaran secara perlahanlahan.

vi. Bagaimana mekanisme bunyi berdenging? Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Keluhan ini dapat berupa bunyi mendengung, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain. Tinitus dapat dibagi atas 2, yaitu : a. Tinitus obyektif, bila suara tersebut dapat juga didengar oleh pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga. Tinitus obyektif bersifat vibritorik, berasal dari transmisi vibrasi sistem vaskuler atau kardoivaskuler di sekitar telinga. b. Tinitus subjektif, bila suara tersebut hanya didengar oleh pasien sendiri, jenis ini sering terjadi. Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh proses iritatif atau perubahan degeneratif traktus auditorius mulai dari sel-sel rambut getar koklea sampai pusat saraf pendengar Pada tinitus terjadi aktifitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun implus yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber implus abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. Implus abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan

15

nada rendah, seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar. Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi, biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa berdenyut (tinitus pulsasi). Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis, dan lain-lain. Tinitus objektif sering ditimbulkan oleh gangguan vaskuler. Bunyinya seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma dan aterosklerosis. Pada tuli sensorineural, biasanya timbul tinitus subjektif nada tinggi (sekitar 4000 Hz). vii. Mengapa penurunan pendengaran terjadi pada kedua telinga? Presbikusis adalah tuli sensorineural (saraf) pada usia lanjut akibat proses degenerasi (penuaan) organ pendengaran. Proses ini terjadi berangsur angsur, dan simetris ( terjadi pada kedua sisi telinga). viii. Apakah keluhan yang dialami Tn. R dapat mengalami komplikasi? Menyebabkan tuli permanen jika tidak ditangani dengan baik. ix. Penyakit apa saja yang dapat menyebabkan bunyi berdenging? – Tuli Sesorieural : (Presbikusis. Cocktail Party Deafness) – Tumor akustik – Hipertensi – Otosklerosis – Syndrome Meniere – Tuli akibat ototoksik – Kemodektroma os. temporalle x. Kelainan pada telinga apa saja yang menyebabkan penurunan pendengaran secara perlahan? – Presbikusis – Sumbatan pada liang telinga (ototoksik, adanya serumen, – –

hematoma pada liang telinga) Sensory neural hearing loss Inner ear malformation 16

– –

Perilimphatic fistula Multiple sclerosis

b. Pasien dapat mendengar percakapan tapi sulit memahami maknanya, terutama jika diucapkan dengan cepat di tempat yang bising. ** i. Apa yang dapat menyebabkan Tn. R kesulitan dalam memahami percakapan walau dapat mendengar percakapan tersebut? Terjadi beberapa proses dalam sistem saraf pusat yang meluputi peningkatan waktu sinaps jarak auditorik dan waktu proses informasi serta penurunan jumlah sel saraf pada koreteks auditorik. Akibatnya, Tn. R sulit membedakan huruf-huruf, makin lanjut Tn. R makin sulit membedakan huruf saat berada dalam keadaan bising. Kemudian sulit memahami pembicaraan atau yang disebut dengan Cocktail party deafness.

ii. Apakah ada hubungan antara tempat yang bising dengan keluhan Tn. R? Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditori), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi bicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.

iii. Apa saja jenis-jenis bising? Jenis-jenis kebisingan berdasarkan sifat dan spektrum bunyi dapat dibagi sebagai berikut: 1. Bising yang kontinyu Bising dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak lebih dari 6 dB dan tidak putus-putus. Bising kontinyu dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:  Wide Spectrum adalah bising dengan spektrum frekuensi yang luas.bising ini relatif tetap dalam batas kurang dari 5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut, seperti suara kipas angin, suara 

mesin tenun. Norrow Spectrum adalah bising ini juga relatif tetap, akan tetapi hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (frekuensi 500, 1000, 4000) misalnya gergaji sirkuler, katup gas. 17

2. Bising terputus-putus Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu bising yang berlangsung secar tidak terus-menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya lalu lintas, kendaraan, kapal terbang, kereta api 3. Bising impulsif Bising jenis ini memiliki perubahan intensitas suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam. 4. Bising impulsif berulang Sama dengan bising impulsif, hanya bising ini terjadi berulangulang, misalnya mesin tempa. Berdasarkan pengaruhnya pada manusia, bising dapat dibagi atas : a. Bising yang mengganggu (Irritating noise). Merupakan bising yang mempunyai intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur. b. Bising yang menutupi (Masking noise) Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas, secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja , karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain. c. Bising yang merusak (damaging/injurious noise) Merupakan bunyi yang intensitasnya melampui Nilai Ambang Batas.Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran. iv. Berapa frekuensi dan intensitas suara yang dapat ditoleransi oleh telinga normal? Frekuensi suara yang dapat diterima oleh telinga manusia adalah 20 Hz – 20.000 Hz. Intensitas suara yang baik diterima oleh telinga manusia adalah dibawah 85 dB. c. Riwayat medik * i. Apa makna klinis dari tidak adanya batuk dan pilek ? Menandakan gangguan telinga yang diderita oleh pasien bukan merupakan komplikasi dari penyakit infeksi ii. Apa makna klinis dari tidak adanya keluar cairan dari telinga? Menyingkirkan diagnosis penurunan pendengaran secara perlahan akibat dari adanya otitis media. 18

iii. Apa makna klinis dari tidak adanya konsumsi obat dalam jangka waktu lama? Untuk menyingkirkan diagnosis banding berupa tuli ototoksik. Obat yang dapat menyebabkan ototoksik adalah golongan aminoglikosida, obat tetes telinga topikal. d. Pemeriksaan fisik* i. Pemeriksaan General 1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan Fisik General? Semua Pemeriksaan Fisik general menunjukan hasil yang normal. ii. Pemeriksaan status lokalis 1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan Fisik Status lokalis? Dalam batas normal 2. Bagaimana melakukan prosedur pemeriksaan Otoskopi? Tujuan otoskopi adalah untuk memeriksa kondisi kanalis auditorius eksterna dan membrane timpani. Langkah yang dilakukan yaitu: 

Jari kelingking kiri dan jari tengah kiri memgang bagian atas



daun telinga lalu menariknya kearah superoposterior. Lalu tangan kanan memasukkan corong ke dalam kanalis

 

auditorius eksterna sambil menarik tragus ke depan. Corong kemudian dipegang dengan tangan kiri. Amati keadaan kanalis auditorius eksterna dan membrane timpani.

19

3. Bagaimana melakukan prosedur pemeriksaan Orofaring? Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut akan terlihat lebih jelas, Pemeriksaan dimulai dengan melihat dinding posterior faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi geligi. Palpasi rongga mulut diperlukan apabila ada massa tumor, kista dan sebagainya. Apakah ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut. 4. Bagaimana melakukan prosedur pemeriksaan Rinoskopi? Rinoskopi Anterior Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan tangan kiri (right handed), arah horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi. Tangan kanan untuk mengatur posisi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka. Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan : Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat dilihat pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan) , adanya sekret, lokasi serta asal sekret tersebut. Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi. Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina. Jika terdapat sekret kental yang keluar daridaerah antara konka media dan konka inferior kemungkinan sinusitis maksila, 20

sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid. Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya. Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lainlain perlu diperhatikan. Rinoskopi Posterior Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no.2-4. Kaca ini dipanaskan dulu dengan lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas supaya kaca tidak menjadi kabur oleh nafas pasien. Sebelum dipakai harus diuji dulu pada punggung tangan pemeriksa apakah tidak terlalu panas. Lidah pasien ditekan dengan spatula lidah, pasien bernafas melalui mulut kemudian kaca tenggorok dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien diminta bernafas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar lampu kepala diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan : - septum nasi bagian belakang - nares posterior (koana) - sekret di dinding belakang faring (post nasal drip) - dengan memutar kaca tenggorok lebih ke lateral maka -

tampak konka superior, konka media dan konka inferior. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior dapat dilihat nasopharing, perhatikan muara tuba, torus tubarius dan fossa rossen muller.

iii. Pemeriksaan Garputala 1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan Garputala?

Telinga kanan Telinga kiri

Tes rinne positif

Tes weber Tes schwabach Tidak terdapat negatif

Normal

positif

lateralisasi Tidak terdapat negatif

Normal

lateralisasi 21

2. Bagaimana melakukan prosedur pemeriksaan Garputala? Uji Rinne Uji ini menunjukkan apakah ketulian bersifat konduktif atau perseptif. Kaki garpu tala diletakkan di depan telinga dan tangkainya kemudian diletakkan pada prosesus mastoid. Penderita diminta untuk membandingkan intensitas bunyi yang terdengar pada kedua posisi itu. Penderita dengan tuli konduktif mendengar bunyi lebih baik bila garpu tala diletakkan di atas prosesus mastoid daripada di depan telinga. Pada tuli perseptif sebaliknya,

Gambar 8. Uji Rinne Jarak waktu yang diperlukan penderita untuk mendengar getaran terhitung dari garpu tala diletakkan pada prosesus mastoid dibandingkan dengan waktu yang didengar oleh pemeriksa.

Pada

tuli

konduktif

jarak

waktu

pcndcrita

mendengar garpu tala memanjang, sedangkan pada tuli persepsi memendek. Uji Weber Tangkai garpu tala diletakkan pada pertengahan dahi. Gelombang bunyi akan melalui tengkorak menuju ke kedua telinga dan akan terdengar sama keras bila pendengaran normal. Tuli konduktif pada satu telinga akan menyebabkan getaran yang terdengar lebih kuat pada sisi yang sakit. Pada tuli perseptif yang unilateral, bunyi akan terdengar lebih baik pada

22

sisi yang sehat. Penghantaran bunyi pemeriksaan ini adalah konduksi melalui tulang terdiri dari dua komponen: - Langsung, bunyi menuju ke koklea - Tak langsung, bunyi menuju ke telinga tengah

Gambar 9. Uji Weber Komponen tak langsung, sebagian langsung ke koklea, tapi sebagian besar menyebar ke telinga luar. Pada penyakit telinga dalam, bagian koklea komponen tak langsung terlalu lemah untuk merangsang koklea sehingga bunyi menjadi lebih keras pada telinga yang baik. Pada penyakit telinga tengah, bagian tengah komponen tak langsung tidak dapat menyebar ke dalam telinga luar sehingga akan bertambah ke bagian koklea. hal ini menyebabkan bunyi terdengar lebih keras dalam telinga yang sakit. Uji Schwabach Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa. Pasien diminta melaporkan saat garpu tala bergetar yang ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan garpu tala ke mastoidnya sendiri dan menghitung berapa lama (dalam detik) ia masih dapat mendengar bunyi garpu tala.

23

Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji Schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus gangguan pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar bunyi garpu tala setelah pasien tidak lagi mendengamya, maka dikatakan Schwabach memendek 3. Apa dasar dilakukannya pemeriksaan garputala? Pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi pendengaran individu secara kualitatif dan menilai hantaran suara melalui udara dan melalui tulang, dengan memakai suatu alat khusus berupa seperangkat garpu tala berfrekuensi rendah sampai tinggi (128 Hz – 2048 Hz). Pemeriksaan garpu tala merupakan tes kualitatif. Terdapat enam jenis di antaranya, yakni Tes batas atas dan batas bawah, Tes Rinne, Tes Weber, Tes Schwabach, Tes Bing,dan Tes Stenger. Tes-tes tersebut memiliki tujuan khusus yang berbeda satu sama lain, dan hasilnya akan saling melengkapi untuk menentukan diagnosis. iv. Pemeriksaan Audiometri 1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan Audiometri? Pada pemeriksaan audiometri didapatkan Tn. R menderita tuli sensorineural sedang kanan dan kiri. Pada pasiel dengan telinga normal, akan didaptkan hasil audiometri yang normal berupa AC dan BC sama atau dibawah 25 dB dan tidak ada air bone gap. Tuli sensorineural pada Tn. R adalah termasuk presbikusis (tuli sensorineural pada geriatri). Presbikusis merupakan tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun. Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih cepat disbanding perempuan. Tuli jenis ini merupakan akibat dari proses 24

degenerasi. Diduga prebikusis mempuyai hubungan dengan faktor-faktor

herediter,

pola

makan,

metabolism,

arteriosclerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau multi-faktor. Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan N.VIII. Koklea mengalami atrofi dan degenerasi sel-sel rambut pada organ corti. Proses atrofi disertai dengan perubahan vascular juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu terdapat pula perubahan, berupa berkurangnya jumlah dan ukuran selsel ganglion dan saraf. Hal tersebut juga terjadi pada myelin akson saraf. 2. Bagaimana melakukan prosedur pemeriksaan Audiometri? Persiapan Alat • Nyalakan Power Audiometer 10 Menit sebelum pemeriksaan • Tombol : – Output : untuk memilih earphone (kiri atau kanan), AC – – – –



atau BC, Frekuensi : Memilih nada Hearing Level : Mengatur Intensitas Tone : Memberikan Sinyal Masking : Memberikan bunyi Masking pada NTE (Non-

Test Ear) apabila diperlukan Persiapan Pasien Pemeriksaan kemampuan komunikasi Penderita sebelum

pemeriksaan – Telinga mana yang mampu mendengar lebih jelas – Telinga mana yang lebih sering digunakan bertelepon – Pemeriksaan Tinitus – Daya tahan terhadap suara yang keras • Pemeriksaan Liang Telinga – Periksa dan bersihkan dahulu liang telinga dari serumen • Memberikan instruksi secara singkat dan sederahana – Penderita menekan tombol (atau mengangkat tangan) saat –

mendengar sinyal yang diberikan. Saat sinyal tidak terdengar, penderita diminta untuk tidak menekan tombol

• • –

Posisi Pemeriksa Penderita duduk dikursi Penderita tidak boleh melihat gerakan pemeriksa Minimal menghadap 30o dari posisi pemeriksa Presentasi Sinyal

25

• • •

• •

Nada harus diberikan selama 1 – 3 detik (bisa diatur dengan “Pulse”) Nada harus diberikan secara acak (ireguler) Pasien tidak boleh : – Melihat gerakan pemeriksa – Menebak interval waktu pemberian sinyal Pemeriksaan Air Conduction (AC) Mulai pada telinga yang lebih baik Frekuensi : – Mulai pada 1000 Hz, kemudian naik setiap 1 oktaf ke –

8000 Hz, dan kembali lagi ke 500 Hz dan 250 Hz. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang pada frekuensi



1000 Hz. Bila terjadi perubahan 20 dB atau lebih, antar oktaf perlu



dilakukan pemeriksaan pada ½ oktaf. Intensitas awal diperoleh dengan memberikan sinyal yang terdengar jelas (50 dB atau 60 dB) – Bila tidak terdengar, naikkan 20 dB secara gradual hingga – –

memperoleh respon Bila ada respon, turunkan 10 dB hingga tidak terdengar Bila telah tidak tidak terdengar, naikkan 5 dB hingga

– –

terdengar. Lakukan berulang hingga diperoleh ambang terendah Ambang terendah diperoleh pada respon terhadap 2 kali perangsangan ulangan dengan cara yang sama (turun 10



dB, naik 5 dB) Lakukan cara tersebut pada semua frekwensi Pemeriksaan Bone Conduction (BC) Hanya dilakukan bila ambang AC meningkat. Bila AC berada



dalam batas normal, BC tidak diperlukan Vibrator harus dipasang pada mastoid pasien dengan baik,



dengan sedikit penekanan Cara pemeriksaan sama dengan AC, tetapi dengan frekuensi



dan intensitas yang terbatas (500 Hz s.d. 4000 Hz, hanya



sampai 45 dB – 80 dB) Masking Pada prinsipnya masking perlu dilakukan apabila salah satu telinga normal dan satu telinga mengalami gangguan



pendengaran (ambang dengan asimetris) AC : perbedaan lebih besar dari 40 dB antara AC TE dan AC NTE 26



BC : Perbedaan lebih besar dari 5 dB antara BC TE dan BC

• •

NTE Pemeriksaan dimulai pada frekwensi 1000 Hz Masking berbeda pada setiap frekuensi :

Frekwensi (Hz)

250

500

1000

2000

Intensitas (dB)

60

50

40

40

3. Apasaja jenis-jenis tuli? Tuli biasanya dibagi menjadi dua tipe: (1) disebabkan oleh kerusakan koklea nervus auditorius, atau sirkuit susunan saraf pusat dari telinga, yang biasanya digolongkan sebagai tuli saraf dan (2) yang disebabkan oleh karena kerusakan struktur fisik telinga yang menghantarkan bunyi ke koklea yang biasanya disebut sebagai tuli konduksi. Jika koklea atau nervus rusak, orang tersebut menjadi tuli permanen. Namun jika koklea dan nervus tetap utuh tetapi sistem tulang pendengaran timpani telah hancur ataupun megalami ankolosis (membeku akibat fibrosis atau kalsifikasi), gelombang bunyi masih dapat dikonduksikan ke koklea melalui konduksi tulang dari pembangkit bunyi yang diletakkan di kepala di atas telinga. Pada

tuli

konduktif

terjadi

gangguan

hantaran

suara,

disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran. Sedangkan pada tuli campur dapat menrupakan suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif). Jadi, jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan.

27

v. Pemeriksaan Timpanometri 1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan Timpanometri?



Gambaran hasil timpanometri tersebut adalah: tipe A mengindikasikan bahwa kondisi telinga tengah

– – –

normal; tipe B terdapat cairan di telinga tengah; tipe C terdapat gangguan fungsi tuba eustachius; tipe AD terdapat gangguan rangkaian tulang pendengaran;



dan tipe AS terdapat kekakuan pada tulang pendengaran

(otosklerosis) Pada hasil pemeriksaan timpanometri Tn. R menunjukkan Tipe A yang berarti kondisi telinga tengah Tn. R normal.

2. Bagaimana melakukan prosedur pemeriksaan Timpanometri? Timpanometri adalah pemeriksaan telinga tengah, yang dilakukan dengan alat yang disebut Tympanometer untuk mendeteksi adanya masalah di telinga bagian tengah. Pemeriksaan dilakukan hanya dengan menempelkan sumbat ke liang telinga selama beberapa detik, dan alat akan secara otomatis mendeteksi keadaan telinga bagian tengah. Tujuan pemeriksaan: a. Menilai kondisi telinga tengah untuk mencari adanya gangguan pendengaran konduktif b. Menilai mobilitas membran timpani c. Menilai perkembangan keadaan telinga tengah pada pasien dengan pengobatan d. Merupakan tes pendahuluan sebelum tes OAE (Otoacoustic Emission) Prinsip kerja: Pada kondisi normal, tekanan udara pada liang telinga sama dengan tekanan udara disekitarnya. Tekanan udara pada telinga tengah juga sama dengan tekanan udara disekitarnya. karena tuba eustachius membuka setiap beberapa saat untuk memberi ventilasi pada telinga tengah dan menyamakan tekanan. Pada kondisi normal, bunyi ditransmisikan secara maksimum melalui telinga

28

tengah saat tekanan udara liang telinga sama dengan tekanan udara di telinga tengah. Kebanyakan gangguan pada telinga tengah disebabkan kekakuan telinga tengah sehingga lebih banyak bunyi yang dipantulkan kembali. Pada orang dewasa atau bayi > 7 bulan digunakan probe tone dengan frekuensi 226 Hz, sedangkan bayi < 6 bulan digunakan probe tone dengan frekuensi tinggi (668, 678, atau 1000 Hz) karena akan terjadi resonansi pada liang telinga. Prosedur: a. Pemeriksaan otoskopi dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada sumbatan pada telinga dan membran timpani tidak perforasi. b. Probe dimasukkan ke dalam liang telinga, timpanometer mengubah tekanan dalam telinga, lalu dialirkan bunyi nada murni, lalu pengukuran respon dari membran timpani terhadap bunyi 1. 2. 3. 4. 5.

dengan tekanan yang berbeda. Tipe A  Normal Tipe AD diskontinuitas tulang-tulang pendengaran Tipe AS kekakuan rangkaian tulang pendengaran Tipe B  cairan di dalam telinga tengah Tipe C gangguan fungsi tuba eustachius

29

IV.

Hipotesa Tn. R 65 tahun datang ke klinik umum RSUD dengan keluhan berkurang sejak 2 tahun menderita Tuli sensori neural a. Diagnosis Banding (1) b. Penegakan diagnosis dan diagnosis kerja



Anamnesis

30

Anamnesis menunjukkan gejala penurunan pendengaran, baik yang terjadi secara mendadak maupun yang terjadi secara progresif.Gejala klinis sesuai dengan etiologi masing-masing penyakit. 

Pemeriksaan Fisik Penderita tuli sensorineural cenderung berbicara lebih keras dan mengalami gangguan pemahaman kata sehingga pemeriksa sudah dapat menduga adanya suatu gangguan pendengaran sebelum dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Pada pemeriksaan otoskop, liang telinga dan membrana timpani tidak ada kelainan. Pemeriksaan lain yang biasa digunakan adalah : 

Tes Penala Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif dengan menggunakan garpu tala 512 Hz. Terdapat beberapa macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach.



Tes Rinne Tujuan : membandingkan hantaran melalui udara dengan hantaran melalui tulang pada satu telinga penderita. Cara kerja : garpu tala digetarkan, letakkan tangkainya tegak lurus pada prosesus mastoid penderita sampai penderita tidak mendengar, kemudian cepat pindahkan ke depan liang telinga penderita kira-kira 2,5 cm. Interpretasi : * Bila penderita masih mendengar disebut Rinne positif * Bila penderita tidak mendengar disebut Rinne negatif Pada tuli sensorineural, Tes Rinne positif.



Tes Weber Tujuan : Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita. Cara kerja : Garpu tala digetarkan, letakkan di garis tengah kepala (verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). * Apabila bunyi garpu tala terdengar keras padasalah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut. * Bila tidak dapat dibedakan, kearah mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada leteralisasi. Pada tuli sensorineural, lateralisasi kearah telinga yang sehat.



Tes Schwabach 31

Tujuan : Membandingkan hantaran tulang penderita denganpemeriksa yang pendengarannya normal. Cara kerja : Garpu tala digetarkan, letakkan garpu tala pada prosesus mastoideus penderita sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus pemeriksa. Interpretasi : * Bila pemeriksa masih mendengar getaran garpu tala, disebut schwabach memendek. Ini mempunyai arti klinis tuli semsorineural. * Bila pemeriksa tidak mendengar getaran garpu tala, maka pemeriksaan diulangi dengan garpu tala diletakkan terlebih dahulu di prosesus mastoideus pemeriksa. Jika penderita masih dapat mendengar disebut schwabach memanjang (tuli konduktif) dan jika penderita tidak mendengar disebut schwabach normal.

c. Epidemiologi Pada tahun 2000 dilaporkan terdapat 250 juta penduduk dunia yangmenderita gangguan pendengaran. Indonesia termasuk dalam empat besar negaradengan prevalensi gangguan pendengaran cukup tinggi (4,6%). Berdasarkan hasilSurvei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran di 7 provinsi tahun19931996

ditemukan

prevalensi

ketulian

0,4%

dan

gangguan

pendengaran

16,8%.Penelitian di Shuan, China tahun 2001 menemukan dari 4.164 sampel yang diteliti,20.39% atau sebanyak 849 responden menderita tuli konduktif. Sesuai dengan definisinya, penyebab tuli konduksi dapat berasal dari telingaluar atau telinga tengah baik berupa trauma, infeksi atau keadaan lain seperti plak serumen. Manifestasi

klinis

tuli

konduktif

sangat

beragam

dan

tidak

selalu

timbul bersamaan. Yang pasti pasien dengan penyakit ini akan sulit mendengar orang lain berbicara sedangkan manifestasi lainnya tergantung dari apa penyebab tulikonduksi itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan penulisan referat ini adalah mengenali beberapa penyebab tuli konduktif sehingga penyakit ini dapat didiagnosis secaradini dan menghindari terjadinya misdiagnosis sehingga terapi yang diberikan tepat. 32

d. Etiologi dan faktor resiko i. Etiologi Proses Degenerasi Koklea dan N. VIII ii. Faktor resiko 1. Herediter 2. pola makanan 3. metabolisme 4. arteriosklerosis 5. infeksi 6. bising 7. gaya hidup atau bersifat multiple faktor e. Patogenesis dan/atau patofisiologi Mekanisme Nuro-Presbikusis Neuron tipe I manusia mempunyai pertahanan yang kuat untuk mengalami degenerasi yang buruk setelah hilangnya hair sel. Penyebab dari penurunan pendengaran merupakan faktor yang menentukan pertahanan hidup dari (Spiral Ganglion Neurons) SGNs. Kerusakan yang lambat, dan umumnya menghentikan dendrit perifer. Neuron akan terus berdegenerasi dengan koneksi ke batang otak yang tidak rusak. SGNs pada manusia akan terus menerima implus listrik walaupun tanpa dendrit. 1. Sel soma tipe I tidak dilapisi oleh myelin. 3,65% dari tipe I neuron dilapisi oleh sebuha layer yang mengandung Myelin Based Pritein (MBPpositive). Ketidak adanya myelin berlanjut sepanjang ditstal dan proximal segmen dari akson. 2. Tipikal dari tipe I SGNS pada manusia adalah membentuk tumpukan formasi.

33

Gambar

2.

Gambaran Kondisi Normal Koklea,

dan

Kondisi Koklea setelah degenerasi. Keterangan gambar: Kondisi

A.

normal: SGNs dilapisi oleh SGCs, sementara pre dan post axon somatik segmen dibatasi oleh Non-Myelinated Schwann Cells (NMSC). Axon dibungkus oleh Schwann sel reguler. B. Tuli berhubungan dengan menurunnya

HC

(degenerasi

IHC).

Perlindungan dari sel supporting menjaga integritas dendrit perifer. C. Degenerasi dendrit menyebabkan atrofi dari sel epithel sensory. Pembungkus sel (SGCs dan NMSC) menggabungkan neuron menjadi mono-polar (ampulated) sel dengan tanpa kerusakan pada koneksi kebatang otak. 3. Badan-badan sel neuron yang dilapisi oleh Satellite Ganglion Cells (SGCs) terdapat Gap Junction (GJs) mengekspresikan connexin 43 (Cx 43). GJs merupakan channel-channel interseluler untuk transport ion-ion dan second messengers (Ca2+, inositol triposphate, cAMP, cGMP), metabolit (glukosa as. Amino, glutathione (Glycine), ATP) dan neuroprotekon (adenosine). Ion-ion tersebut ditemukan diantara SGCs dan antara SGCs yang berdekatan dengan badan sel tipe I. Cx43 dikenali sel-sel SGCs di ganglion terminal, dorsal root ganglia dan autonomic ganglia. Peran yang dilakukan SGCs untuk proteksi neuron-neuron dari ganglion sensorius yang bervariasi. Ketika rusak SGCs akan mengalami perubahan struktural dan peningkatan ekspresi dari Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). Efek tersebut menyebabkan nyeri neuropatik. perubahan yang sama dapat terlihat setelah degenerasi. RNA yang membentuk ekspresi Cx43 di sel-sel glia menurun disebut koklear GJs tinnitus. Kesimpulannya, Cx43-mediated memberi signal kepada SGCs 34

memberikan peran penting dalam perlindungan terhadap N.VIII setelah penurunan hair cells.

Patofisiologi: 

Patofisiologi Presbikusis yang Menyebabkan Tinnitus: Degenerasi hair cells dan degenerasi dendrit  atrofi sel epithel sensory  Pembungkus sel (SGCs dan NMSC) menggabungkan neuron menjadi monopolar (ampulated) sel dengan tanpa kerusakan pada koneksi kebatang otak  SGCs rusak mengalami perubahan struktural dan peningkatan ekspresi dari Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) “terdeteksi meningkat pada pasien dengan trauma astrocyte”  penurunan GJs  sel-sel yang mensekresikan neutransmitter inhibitor “Glycine” menurun  signal dari neuron yang satu dengan neuron yang lain meningkat  tinnitus sensorik et causa degenerasi hair cells



Patofisiologi Tinnitus Akibat Noise Exposure: Pada organ corti terdefleksi  stereosilia pada organ corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam  jika sumber suara tersebut berhenti  stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure)  mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia  hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus ke ganglion saraf pendengaran  mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis.



Patofisiologi Mendengar Tapi Sulit Mengerti Kata-kata Degenerasi sel-sel rambut pada koklea dan degenerasi dendrit  atrofi sel epithel sensory  SGNs mampu menerima implus listrik walaupun tanpa dendrit dan implus sampai ke batang otak  mampu mendengar getaran suara tapi tidak mampu memahami kata-kata jika diucapkan secara cepat

f. Manifestasi klinis 35

Gangguan pendengaran mungkin timbul secara bertahap atau tiba-tiba. Gangguan pendengaran mungkin sangat ringan, mengakibatkan kesulitan kecil dalam berkomunikasi atau berat seperti ketulian. Kehilangan pendengaran secara cepat dapat memberikan petunjuk untuk penyebabnya. Jika gangguan pendengaran terjadi secara mendadak, mungkin disebabkan oleh trauma atau adanya gangguan dari sirkulasi darah. Sebuah onset yang tejadisecara bertahap bias dapat disebabkan oleh penuaan atau tumor. Gejala seperti tinitus (telinga berdenging) atau vertigo (berputar sensasi), mungkin menunjukkan adanya masalah dengan saraf di telinga atau otak. Gangguan pendengaran dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kehilangan pendengaran unilateral yang paling seringdikaitkan dengan penyebab konduktif, trauma, dan neuromas akustik. Nyeri di telinga dikaitkan dengan infeksi telinga, trauma, dan obstruksi pada kanal. Infeksi telinga juga dapat menyebabkan demam. g. Pemeriksaan penunjang 

Audiometri Pada pemeriksaan audiometri, dibuat grafik (audigram) yang merupakan ambang pendengaran penderitalewat hantaran tulang (bone conduction = BC) dan hantaran udara (air condation = AC) dan pemeriksaan audiometri ini bersifat kuantitatif dengan frekuensi suara 125, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 Hz. Pada Tuli sensorineural, dari penilaian audiogram didapatkan : - AC dan BC lebih dari 25 Db - AC dan BC tidak terdapat gap dapat menentukan jenis tuli yang diderita, dengan audiogram kita juga menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya dengan ambang dengar (AD) hantaran udaranya (AC) saja. Ambang dengar (AD) : AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz Interpretasi derajat ketulian menurut ISO : 0 – 25 dB : normal >25 – 40 dB : tuli ringan 36

>40 – 55 dB : tuli sedang >55 – 70 dB : tuli sedang berat >70 – 90 dB : tuli berat >90 dB : tuli sangat berat 

Brainstem Evoked Respone Audiometry (BERA) BERA merupakan suatu pemeriksaaan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N.VIII. Cara pemeriksaan ini bersifat objektif, tidak invasif. Pemeriksaan

ini

bermanfaat

terutama

pada

keadaan

dimana

tidak

memungkinkannya dilakukan pemeriksaan pendengaran biasa, misalnya pada bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensi rendahdan kesadaran menurun. Pada orang dewasa juga bisa digunakan pada orang yang berpura-pura tuli (malingering) atau pada kecurigaan tuli sensorineural retrokoklea. Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan potensial listrik di otak setelah pemberian rangsangsensoris berupa bunyi. Rangsang bunyi yang diberikan melalui headphone akan menempuh perjalanan melalui N.VIII di koklea (gelombang I), nucleus koklearis (gelombang II), nucleus olivarius superior (gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V) kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus temporal otak. Perubahan potensial listrik di otak akan diterima oleh elektroda di kulit kepala, dari gelombang yang timbul di setiap nucleus saraf sepanjang jalur saraf pendengaran tersebut dapat dinilai bentuk gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat pemberian rangsang suara sampai mencapai nucleus-nukleus saraf tersebut. Dengan demikian setiap keterlambatan waktu untuk mencapai masing-masing nucleus saraf dapat memeri arti klinis keadaan saraf pendengara, maaupu jaringan otak disekitarnya. Penilaian BERA : - Masa laten absolute gelombang I, III, V - Beda masing-masing masa laten absolute (interwave latency I – V, I – III, III – V) - Beda masa laten absolute telinga kanan dan kiri (interneural latency)

37

- Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity function) - Rasio amplitudo gelombang V/I yaitu rasio antara nilai puncak gelombang V ke puncak gelombang I yang akan meningkat dengan menurunnya intensitas.



Otoacustic Emittion / Oae (Emisi Otoakustik) Emisi otoakustik merupakan respon koklea yang dihasilkan oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut eferen yang mempunyai elektromobilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi depolarisasi sel. Pergerakan mekanik yang besar diinduksi menjadi besar, akibatnya suara yang kecil diubah menjadi lebih besar. Hal inilah yang menunjukkan bahwa emisi otoakustik adalah gerakan sel rambut luar dan merefleksikan fungsi koklea. Sedangkan sel rambut dalam dipersarafi serabut aferan yang berfungsi mengubah suara menjadi bangkitan listrik dan tidak ada gerakan dari sel rambut sendiri. Emisi Otoakustik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : a. Emisi Otoakustik Spontan (Spontaneus Otoacustic Emission / SOAE) SOAE merupakan emisi otoakustik yang dihasilkan koklea tanpa stimulus dari luar, didapatkan pada 60% telinga sehat, bernada rendah dan mempunyai nilai klinis rendah. b. Evoked Otoacustic Emissin / EOAE EOAE merupakan respon koklea yang timbul dengan adanya stimulus suara, ada tiga jenis : Stimulus Frequency Otoacustic Emission (SFOAE), adalah respon yang dibangkitkan oleh nada murni secara terus-menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis dan jarang digunakan Transiently-evoked Otoacustic Emission (TEOAE), merupakan respon stimulus klik dengan waktu cepat yang timbul 2 – 2,5 ms setelah pemberian

38

stimulus, TEOAE tidak dapat dideteksi dengan ambang dengar lebih dari 40 dB. Distortion-product Otoacustic Emission (DPAOE), terjadi karena stimulus dua nada murni dengan frekuansi tertentu. Nada murni yang diberikan akan merangsang daerah koklea secara terus menerus. h. Penatalaksanaan i. Farmakologi ii. Non Farmakologi Tuli sensorineural tidak dapat diperbaiki dengan terapi medis atau bedah tetapi dapat distabilkan. Tuli sensorineural umumnya diperlakukan dengan menyediakan alat bantu dengar (amplifikasi) khusus. Volume suara akan ditingkatkan melalui amplifikasi, tetapi suara akan tetap teredam. Saat ini, alat bantu digital yang di program sudah tersedia, dimana dapat diatur untuk menghadapi keadaan yang sulit untuk mendengarkan. Tuli sensorineural yang disebabkan oleh penyakit metabolik tertentu (diabetes, hipotiroidisme, hiperlipidemia, dan gagal ginjal) atau gangguan autoimun (poliartritis dan lupus eritematosus) dapat diberikan pengobatan medis sesuai penyakit yang mendasarinya. Beberapa individu dengan tuli sensorineural yang berat, dapat dipertimbangkan untuk melakukan implantasi bedah perangkat elektronik di belakang telinga yang disebut implan koklea yang secara langsung merangsang saraf pendengaran. i. Hearing aids.

39

ii. Implan koklea. Implan koklea merupakan alat yang secara pembedahan di implant ke dalam telinga bagian dalam yang membantu fungsi pendengaran kepada orang yang tuli atau kesulitan mendengar. iii. Bone anchored hearing systems. BAHS merupakan bypass dari liang telinga ke telinga tengah. BAHS menggunakan kemampuan natural tubuh untuk mentransfer suara melalui konduksi tulang. Prosesor suara menerima suara, lalu mengubahnya menjadi getaran, kemudian getaran tersebut berjalan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. iv. Assistive listening devices v. Lip reading atauspeech reading. Lip reading merupakan opsi yang membantu orang dengan masalah pendengaran. Orang yang menggunakan metode ini memperhatikan mulut dan gerakan tubuh orang saat dia berbicara.

i. Pencegahan i. Menghindari suara yang terlalu keras ii. Menggunakan proteksi telinga apabila hendak berpergian ke lokasi yang bersuara keras, seperti earplugs (terbuat dari karet atau foam, menutupi liang telinga, dapat mengurangi suara sekitar 15-30 dB) iii. Hindari merokok, merokok dapat meningkatkan resiko penurunan gangguan pendengaran.

40

iv. Membersihkan telinga secara teratur, namun jangan menggunaakn cotton swab karena dapat mendorong kotoran lebih dalam. v. Hindari pemakaian jangka panjang obat yang menyebabkan penurunan fungsi pendengaran, seperti antibiotik dan obat anti kanker, dosis tinggi aspirin juga dapat beresiko. Apabila akan mengonsumsi obat tersebut dalam jangka waktu panjang, konsultasikan ke dokter untuk memeriksa pendengaran dan keseimbangan tubuh sebelum dan selama pengobatan. vi. Kurangi faktor resiko yang dapat menyebabkan presbikusis, seperti hipertensi, DM, hiperkolestrolemia. vii. Periksa fungsi pendengaran untuk pencegahan dini j. Prognosis Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural yang berat mungkin dapat mendengar suara setelah melakukan implantasi koklea. Jika tinitus disebabkan oleh tumor akustik, otosklerosis, atau kondisi tekanan telinga meningkat dalam hidrolik (sindrom Meniere), operasi untuk mengangkat lesi atau menyamakan tekanan dapat dilakukan. Tinitus berkurang atau sembuh sekitar 50% dari kasus yang berat setelah menjalani operasi. k. Standar Kompetensi Dokter Indonesia V.

Learning Issues a. Gangguan Sistem pendengaran (tuli) I. Definisi Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salahsatu atau kedua telinga. Salah satu jenis gangguan pendengaran adalah tulikonduktif. Tuli konduktif adalah tuli yang disebabkan karena suara tidak dihantarkan secara efisien mulai dari kanalis, membran timpani sampai ke tulang pendengaran di telinga bagian tengah. Menurut Khabori dan Khandekar, gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga.Tingkat penurunan gangguan pendengaran terbagi menjadi ringan, sedang, sedang berat, berat, dan sangat berat.

41

Tabel 1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA)

II.

Epidemiologi Pada tahun 2000 dilaporkan terdapat 250 juta penduduk dunia yangmenderita gangguan pendengaran. Indonesia termasuk dalam empat besar negaradengan prevalensi gangguan pendengaran cukup tinggi (4,6%). Berdasarkan hasilSurvei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran di 7 provinsi tahun1993-1996 ditemukan prevalensi ketulian 0,4% dan gangguan pendengaran 16,8%.Penelitian di Shuan, China tahun 2001 menemukan dari 4.164 sampel yang diteliti,20.39% atau sebanyak 849 responden menderita tuli konduktif. Sesuai dengan definisinya, penyebab tuli konduksi dapat berasal dari telingaluar atau telinga tengah baik berupa trauma, infeksi atau keadaan lain seperti plak serumen. Manifestasi klinis tuli konduktif sangat beragam dan tidak selalu timbul bersamaan. Yang pasti pasien dengan penyakit ini akan sulit mendengar

orang

lain berbicara

sedangkan

manifestasi

lainnya

tergantung dari apa penyebab tulikonduksi itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan penulisan referat ini adalah mengenali beberapa penyebab tuli konduktif sehingga penyakit ini dapat didiagnosis secaradini dan menghindari terjadinya misdiagnosis sehingga terapi yang diberikan tepat. III.

Etiologi

42

Tuli Konduksi

Tuli Sensorineural

Tuli Retrkokleal Tuli Campuran

Kelainan

Kelainan

Telinga Luar - Atresia liang

telinga - Sumbatan oleh serumen - Otitis eksterna -

Kelainan Koklea

Kelainan pada

Telinga Tengah (Tuli koklea) Tuba katar - Aplasia (Kongenital) Otitis media - Labirinitis Otoskelrosis (bakteri/virus) Timpanosklerosis - Intoksikasi obat Hemotimpanum (streptomisin, Dislokasi dengan

sirkumkripta - Osteoma liang

-

kanamisin,

pendengaran

Otak Neuroma akustik Tumor sudut pons serebellum Mieloma multiple Cedera otak Perdarahan otak Kelainan otak

garamisisn, neomisin,

telinga

Kombinasi antara tuli konduksi dan sensorineural

lainnya

kina, asetosal) - Tuli mendadak - Trauma akustik - Pajanan bising Tabel 2. Etiologi Tuli Berdasarkan Klasifikasinya (Dapat Terjadi Disemua Umur)

Tuli Konduktif

Berkurangnya elastisitas

dan

Telinga Dalam -

bertambah besarnya ukuran pinna daun -

telinga Atrofi

dan

Sensorineural

(Prebiskus) Proses Degenerasi

Proses Degenerasi Telinga Luar -

Tuli

-

Penumpukan serumen Membran timpani bertambah

tebal

kaku Kekakuan

sendi-sendi

tulang pendengaran

dan

-

dan N. VIII Herediter pola makanan metabolisme arteriosklerosis infeksi bising gaya hidup atau bersifat multiple faktor

bertambah kakunya

liang telinga Tabel 3. Etiologi Tuli Pada Geriatri Berdasarkan Klasifikasinya IV.

Mekanisme Pendengaran Normal

43

Koklea

Gambar 1. Fisiologi Pendengaran Normal Gelombang suara dari daun telinga dalam  dialirkan melaui udara atau tulang ke koklea  menggetarkan membran timpani  energi getar diamplifikasi oleh tulang pendengaran (melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian pembagian luas tulang membran timpani dan tingkap lonjong)  energi getar diteruskan ke stapes

yang

menggerakkan tingkap lonjong (oval window)  perilimfe pada skala vestibuli bergerak  getaran diteruskan melalui mebrana Reissner  mendorong endolimfe  menimbulkan gerak relatif antara membrana basilaris dan membrana tektoria  deflekasi stereosillia sel-sel rambut (inner hair cell)  mengubah getaran suara menjadi reseptor potensial  mengeluarkan neurotransmitter glutamate  kanal ion terbuka  K+ bermuatan listrik keluar dari badan sel  mengaktivasi tipe I neural ganglia spiral dendrit (Axon dari bentuk neuron inin merupakan N. VIII “Vestibulochoclearis Nerve”  implus saraf mesuk ke nukleus koklea 44

pada medulla spinalis (fungsinya untuk menerima masuknya neural ganglia spiral)  melintasi garis tengah medulla spinalis dan sinaps di superior olivary complex  implus saraf menuju ke mesenfalon pada inferior colliculus  menuju ke lemniscal pathway yang terjadi pada corpus geniculata media di thalamus sebelum signal ditransmisikan ke korteks auditorius: 1. Lemniscal pathway yang tersusun tonotopic: sel rambut dalam koklea merespon 1 karakteristik frekuensi  impuls saraf dihantarkan ke medulla spinalis  korteks auditory primer (“top right panel” area 39-40 di lobus tempral) 2. Ekstra-lemniscal pathway yang tidak tersusun secara tonotopic: dari nukleus koklea  saraf-saraf kecil terkoneksi dengan formasi retikuler  signal auditory bergabung mengenai seluruh saraf sensorik  kemudian neuron memproyeksikan suara ke non-medullary-spesifik nukleus thallamus sebelum ditransmisikan ke lobus temporal *) Dalam proses perkembangan bicara, suara atau kata-kata yang diterima di pusat pendengaran di otak, akan diterjemahkan untuk kemudian di ubah ke dalam aktivitas motorik pernafasan dan traktus vokalis sehingga dapat menirukan suara atau kata-kata seperti yang di dengar. Produksi kata-kata dalam berbicara mencangkup fase respirasi, fonasi. Dan resonansi tidak akan sempurna apabila tidak disertai peran serta input sensorik dari organ pendengaran. V.

Klasifikasi Tuli 1. Tuli Konduksi Definisi Tuli Konduktif atau Conductive Hearing Loss (CHL) adalah jenis ketulian yang tidak dapat mendengar suara berfrekuensi rendah. Misalnya tidak dapat mendengar huruf U dari kata susu sehingga penderita mendengarnya ss. Biasanya gangguan ini “reversible” karena kelainannya terdapat di telinga luar dan telinga tengah.

45

Tuli kondusif adalah kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga. Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli kondusif adalah otalgia, atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna maligna, dan osteoma liang teliga. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli kondusif ialah sumbatan tuba

eustachius,

otitis

media,

otosklerosis,

timpanisklerosia,

hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran. Patofisiologi Saat terjadi trauma akan menimbulkan suatu peradangan bias saja menimbulkan luka, nyeri kemudian terjadi penumpukan serumen atau otorrhea. Penumpukan serumen yang terjadi dapat mengakibatkan transmisi bunyi atau suara yang terganggu sehingga penderita tidak dapat mempersepsikan bunyi atau suara yang di dengarnya. Manifestasi Klinik a. b. c. d. e.

rasa penuh pada telinga pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar rasa gatal trauma tinnitus Tatalaksana Liang telinga di bersihkan secara teratur. dapat diberikan larutan asam asetat 2-5 % dalam alcohol yang di teteskan ke liang teling atau salep anti jamur. Tes suara bisikan, Tes garputala.

2. Tuli Sensorineural Definisi Tuli sensorineural adalah kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan saraf otak yang terbagi atas tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.Tuli sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirinitis, intoksikasi obat ototaksik atau alkohol.Dapat juga disebabkan tuli mendadak, tauma kapitis, trauma akustik dan pemaparan bising tuli 46

sensorineural retrokoklea disebabkan neuoroma akustik, tumor sudut pons serebellum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya. Patofisiologi Faktor-faktor resiko tinggi yang penyebab tuli sensorineural yaitu: a. b. c. d.

Tuli Bawaan (Genetik). Tuli Rubella. Tuli dan Kelahiran Prematur Tuli Ototosik. Manifestasi Klinik Rasa tidak enak di telinga, tersumbat, dan pendengaran terganggu. Rasa nyeri akan timbul bila benda asing tersebut adalah serangga yang masuk dan bergerak serta melukai dinding liang telinga. Pada inspeksi telinga dengan atau tanpa corong telingaakan tampak benda asing tersebut. Klasifikasi

a. Tuli sensori neural coclea -

Aplasia (kongenital) Labirintitis oleh bakteri/virus Intoksikasi obat streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina,

-

asetosal atau alkohol. Trauma kapitis Trauma akustik Pemaparan bising Presbicusis

b. Tuli sensori neural retrokoklea 3.

Neuroma akustik Tumor sudut pons serebellum Cidera otak Perdarahan otak Tuli Konduksi pada Geriatri Pada telinga luar dan telinga tengah proses degenerasi dapat menyebabkan perubahan atau kelainan berupa:

1. Berkurangnya elastisitas dan bertambah besarnya ukuran pinna daun telinga 47

2. 3. 4. 5.

Atrofi dan bertambah kakunya liang telinga Penumpukan serumen Membran timpani bertambah tebal dan kaku Kekakuan sendi-sendi tulang pendengaran Pada usia lanjut kelenjar-kelenjar serumen mengalami atrofi, sehingga produksi kelenjar serumen berkurang dan menjadi lebih kering, sehingga sering terjadi serumen prop yang akan mengakibatkan tuli konduktif . Membran timpani yang bertambah kaku dan tebal juga menyebaabkan gangguan konduksi, demikian pula halnya dengan kekakuan yang terjadi pada persendian tulang-tulang pendengaran.

4. Tuli Sensorineural pada Geriatri (Prebiskus) Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun , simetris pada telinga kiri dan kanan. Presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000 Hz atau lebih . Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih cepat dibandingkan perempuan. Dengan makin lanjutnya usia terjadi degenerasi primer di organ corti berupa hilangnya sel epitel saraf yang dimulai pada usia pertengahan. juga dilaporkan bahwa keadaan yang sama terjadi pula pada serabut aferen dan eferen sel sensorik dari koklea. Terjadi pula perubahan pada sel ganglion siralis di basal koklea. Di samping itu juga terdapat penurunan elastisitas membran basalais di koklea dan membrana timpani. Di samping berbagai penurunan yang terjadi pada organ pendengaran, pasokan darah dari reseptor neurosensorik mungkin mengalami gangguan, sehingga baik jalur audotorik dan lobus temporalis otak sering terganggu akibat lanjutnya usia. 

Etiologi Presbikusis merupakan akibat dari proses degenerasi. Mempunyai hubungan deengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multiple faktor.

48

Menurunnya fungsi pendengaran secara berangsunr merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor tersebut diatas. 

Patologi Proses degenerasi  perubahan struktur koklea dan N. VIII: Pada koklea perubahan yang mencolok adalah atrofi dan degenerasi selsel rambut penunjang pada organ corti. Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis . Selain itu daapat pula perubahan berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf. Hal yang sama juga terjadi pada myelin akson saraf.



Klasifikasi Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi, Shucknecht dkk menggolongkan presbikusis menjadi 4 jenis, yaitu:

Jenis Sensorik

Patologi Lesi terbatas pada koklea. Atrofi organ Corti, jumlah sel-sel rambut dan sel-sel penunjang berkurang Sel-sel neuron pada koklea

Neural

dan

jarak

auditorik

Metabolik

berkurang Atrofi stria

vaskularis.

(Strial

Potensial

mikrofonik

presbycusis

menurun

) Mekanik

Terjadi perubahan gerakan

(cochlear

mekanik duktus koklearis.

presbycusis

Atrifi ligamentum spiralis.

)

Membran basilaris lebih

kaku Tabel 4. Klasifikasi Prebiskus Berdasarkan Jenisnya Klasifikasi Presbicusis Berdasarkan Patofisiologinya:

49

-

Neuro presbiakusis: yang terganggu yaitu neuron-neuron kokhlea. Pada kasus ini yang mengalami gangguan adalah pengertian terhadap kata-

-

kata. Presbiakusis ceria: proses degenerasi yang dapat menyebabkan tuli sedang hingga berat, dalam hal ini stria vaskularis tampak berdegenerasi

-

dan menciut. Kokhlea konduktif: populasi sel-sel rambut dan neuron yang normal tanpa adanya kerusakan stria, namun ketulian diduga berkaitan dengan keterbatasan gerak membrana basilaris.

VI.

Patofisiologi Tuli Sensorineural pada Geriatri Mekanisme Nuro-Presbikusis Neuron tipe I manusia mempunyai pertahanan yang kuat untuk mengalami degenerasi yang buruk setelah hilangnya hair sel. Penyebab dari penurunan pendengaran merupakan faktor yang menentukan pertahanan hidup dari (Spiral Ganglion Neurons) SGNs. Kerusakan yang lambat, dan umumnya menghentikan dendrit perifer. Neuron akan terus berdegenerasi dengan koneksi ke batang otak yang tidak rusak. SGNs pada manusia akan terus menerima implus listrik walaupun tanpa dendrit. 4. Sel soma tipe I tidak dilapisi oleh myelin. 3,65% dari tipe I neuron dilapisi oleh sebuha layer yang mengandung Myelin Based Pritein (MBP-positive). Ketidak adanya myelin berlanjut sepanjang ditstal dan proximal segmen dari akson. 5. Tipikal dari tipe I SGNS pada manusia adalah membentuk tumpukan formasi.

50

Gambar 2. Gambaran Kondisi Normal Koklea, dan Kondisi Koklea setelah degenerasi. Keterangan gambar: D. Kondisi normal: SGNs dilapisi oleh SGCs, sementara pre dan post axon somatik segmen dibatasi oleh Non-Myelinated Schwann Cells (NMSC). Axon dibungkus oleh Schwann sel reguler. E. Tuli berhubungan dengan menurunnya

HC

(degenerasi

IHC).

Perlindungan dari sel supporting menjaga integritas dendrit perifer. F. Degenerasi dendrit menyebabkan atrofi dari sel epithel sensory. Pembungkus sel (SGCs dan NMSC) menggabungkan neuron menjadi mono-polar (ampulated) sel dengan tanpa kerusakan pada koneksi kebatang otak. 6. Badan-badan sel neuron yang dilapisi oleh Satellite Ganglion Cells (SGCs) terdapat Gap Junction (GJs) mengekspresikan connexin 43 (Cx 43). GJs merupakan channel-channel interseluler untuk transport ion-ion dan second messengers (Ca2+, inositol triposphate, cAMP, cGMP), metabolit (glukosa as. Amino, glutathione (Glycine), ATP) dan neuroprotekon (adenosine). Ion-ion tersebut ditemukan diantara SGCs dan antara SGCs yang berdekatan dengan badan sel tipe I. Cx43 dikenali sel-sel SGCs di ganglion terminal, dorsal root ganglia dan autonomic ganglia. Peran yang dilakukan SGCs untuk proteksi neuron-neuron dari 51

ganglion sensorius yang bervariasi. Ketika rusak SGCs akan mengalami perubahan struktural dan peningkatan ekspresi dari Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). Efek tersebut menyebabkan nyeri neuropatik. perubahan yang sama dapat terlihat setelah degenerasi. RNA yang membentuk ekspresi Cx43 di sel-sel glia menurun disebut koklear GJs tinnitus. Kesimpulannya, Cx43-mediated memberi signal kepada SGCs memberikan peran penting dalam perlindungan terhadap N.VIII setelah penurunan hair cells.

Patofisiologi: 

Patofisiologi Presbikusis yang Menyebabkan Tinnitus: Degenerasi hair cells dan degenerasi dendrit  atrofi sel epithel sensory  Pembungkus sel (SGCs dan NMSC) menggabungkan neuron menjadi mono-polar (ampulated) sel dengan tanpa kerusakan pada koneksi kebatang otak  SGCs rusak mengalami perubahan struktural dan peningkatan ekspresi dari Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) “terdeteksi meningkat pada pasien dengan trauma astrocyte”  penurunan GJs  sel-sel yang mensekresikan neutransmitter inhibitor “Glycine” menurun  signal dari neuron yang satu dengan neuron yang lain meningkat  tinnitus sensorik et causa degenerasi hair cells



Patofisiologi Tinnitus Akibat Noise Exposure: Pada organ corti terdefleksi  stereosilia pada organ corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam  jika sumber suara tersebut berhenti  stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure)  mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia  hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terusmenerus ke ganglion saraf pendengaran  mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis.

52



Patofisiologi Mendengar Tapi Sulit Mengerti Kata-kata Degenerasi sel-sel rambut pada koklea dan degenerasi dendrit  atrofi sel epithel sensory  SGNs mampu menerima implus listrik walaupun tanpa dendrit dan implus sampai ke batang otak  mampu mendengar getaran suara tapi tidak mampu memahami kata-kata jika diucapkan secara cepat.

VII.

Tinnitus Penyebab tinnitus sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tinnitus dapat disebabkan oleh adanya penurunan kemampuan pendengaran, antara lain: presbiacusis, penurunan pendengaran yang diakibatkan oleh suara (noise induced hearing loss), Meniere’s syndrome, atau neuroma akustik. tinnitus menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus subyektif. Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya terdengar oleh penderita saja Subyektif tinnitus juga dapat disebabkan oleh beberapa keadaan sebagaimana yang tertera pada. Tinnitus subyektif bias disebabkan oleh karena berasal dari gangguan telinga (otologic), karena efek dari medikasi ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan neurologist, gangguan metabolisme, ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik. Sedangkan tinnitus obyektif dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan vaskularisasi, gangguan neurologist ataupun gangguan pada tuba auditiva atau Eustachian tube. Etiologi tinnitus subyektif antara lain adalah : presbiakusis, paparan suara bising yang lama, trauma akustik yaitu terpapar suara dengan intensitas

tinggi

sewaktu,

otosklerosis

yaitu

terjadinya

proses

pengapuran pada tulang pendengaran di telinga tengah ataupun 53

pengapuran pada cochlea, infeksi, autoimun, ataupun predisposisi genetic, dan juga trauma pada kepala ataupun leher. Sedangkan tinnitus obyektif merupakan tinnitus yang sangat jarang ditemui. Berdasar klasifikasi etiologi tinnitus obyektif. Maka tinnitus obyektif dibagi menjadi dua (2) sub bagian yaitu pulsatil dan non pulsatil. Tinnitus obyektif type pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang sering ditemukan. Tinnitus pulsatil pada umunya diakibatkan oleh adanya turbulensi aliran darah arteri (percabangan arteri carotis interna) ataupun adanya aliran darah yang sangat cepat pada pembuluh darah lain di sekitar organ pendengaran. Kelainan aliran darah tersebut akan menyebabkan hantaran gelombang melalui tulang ataupun didnding pembuluh darah yang terhubung kepada cochlea, dan menghasilkan interpretasi suara. Sedangkan tinnitus obyektif tipe non-pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang paling jarang ditemukan. Major cause dari tinnitus non-pulsatil adalah adanya palatal myoclonus yang diakibatkan adanya kontraksi ritmik pada palatum mole atau soft palatal. Patofisiologi a. Tinnitus Subyektif Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss) karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya. Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber 54

suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran. Meniere’s syndrome dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging dan tinnitus suara bergemuruh. b. Tinnitus Obyektif Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga tengah. Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube) akan menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala dalam keadaan bebas atau tergantung melebihi tempat tidurnya. Pulsatile Tinnitus Tinnitus pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri ataupun aliran darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang berhubungan dengan arteriosklerosis dan penuaan 55

meningkatkan prevalensii tinnitus pulsatil, adanya stenosis arteri juga banyak ditemukan pada penderita dengan tinnitus jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat menyebabkan turbulensi aliran darah pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis. Sementara itu stenosis arteri carotis merupakan tempat yang umum ditemukan, padahal arteri carotis tempatnya berdekatan dengan bagian proximal cochlea. Sehingga melalui tulang getarab turbulensi aliran darah mempengaruhi cochlea dan menyebabkan tinnitus obyektif. Non-pulsatile Tinnitus Tinnitus jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga merupakan kasus yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus non-pulsatil tinnitus adalah sangat jarang ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus jenis ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab etiologi sebelumnya. Tinnitus jenis ini juga sering berhubungan dengan kontraksi periodik abnormal pada otot-otot faring, mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan mempengaruhi kerja tuba auditiva. VIII.

Tatalaksana Terdapat

beberapa

pilihan

terapi

untuk

penderita

presbikusis,

diantaranya: 1. Kurangi paparan terhadap bising 2. Gunakan pelindung telinga (ear plegs atau ear muffs) untuk mencegah kerusakan lebih lanjut 3. Gunakan alat bantu dengar 4. Lakukan latihan untuk meningkatkan keterampilan membaca gerak bibir dan latihan mendengar 5. Berbicaralah kepada penderita presbikusis dengan nada rendah dan jelas. Dengan memahami kondisi yang dialami oleh para lansia dan memberikan terapi yang tepat bagimereka, diharapkan kita dapat membatu mengatasi masalah sosial yang mungkin mereka alami akibatadanya keterbatasan fungsi pendengaran mereka. IX.

Diagnosis 1. Tes Garputala (Secara kuantitatif) 56

A. Tes Rinne Garpu tala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar lagi, garpu tala dipegang di depan liang telinga + 2,5 cm. Bila masih terdengar  Rinne (+), bila tidak terdengar lagi  Rinne (-) B. Tes Weber Garpu tala digetarkan dan tangkainya diletakkan di garis tengah kepala (verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri, dagu). Bila bunyi terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat membedakan ke arah mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada lateralisasi. C. Tes Swacbach Garpu tala digetarkan, tangkainya diletakkan pada prosesus mastoid sampai tidak terdengar bunyi, kemudian garpu tala segera dipindahkan ke prosesus mastoid telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Swabach memendek. Bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, bila pasien masih dapat mendengar bunyi maka disebut Swabach memanjang, bila sama disebut Swabach sama dengan pemeriksa Diagnosa Ketulian Kuantitatif

57

Tabel 5. Diagnosa Ketulian Kuantitif

2. Tes Audiometri (Secara kualitatif) Perlu dipahami hal-hal seperti: a. Nada murni Bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi yang dinyatakan dalam jumlah getaran per detik b. Bising NB (Narrow Band) Bising yang memiliki banyak frekuensi dengan spektrum terbatas c. Bising WN (White Noise) Bising yang memiliki banyak frekuensi

dengan

spektrum

luas d. Frekuensi Nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis e. Intensitas bunyi Kekuatan bunyi dalam satuan desibel f. Ambang dengar bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi

tertentu

yang

masih dapat didengar oleh telinga g. Nilai nol audiometrik Intensitas nada murni terkecil pada suatu frekuensi

yang masih dapat

didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda normal Tehnik pembacaan audiometri nada murni:

58

- Notasi pada audiogram a. Grafik AC dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa 125-8000 Hz) b. Grafik BC dibuat dengan garis putus-putus (intensitas yang diperiksa 250-4000 Hz) c. Telinga kiri  warna biru d. Telinga kanan  warna merah -

Jenis dan derajat ketulian (indeks Fletcher)

a. Ambang dengar (AD) = AD

500

Hz

+ AD

1000

Hz

+ 2000

Hz+ AD

4000

Hz

4 b. Derajat ketulian menurut ISO: 0-25 dB

Normal

26-40 dB

Tuli ringan

41-60 dB

Tuli sedang

61-90 dB

Tuli berat

>90 dB

Tuli sangat berat

AC: 0 BC: 0 Tanpa gap AC dan BC < 25 dB

59

AC: 68,57 dB BC: 50 dB Dengan gap AC dan BC > 25dB

AC: 38,3 dB BC: 10 dB Dengan gap AC > 25 dB BC25 dB

Gambar 3. Hasil-Hasil Pemeriksaan Audiometri

60

3. Tes Timpanometri AUDIOMETRI IMPEDANS Memeriksa kelenturan membran timpani dengan tekanan tertentu pada M.A.E Istilah: a. Timpanometri Mengetahui keadaan dalam kavum timpani (cairan, ossicular chain, kekakuan/kelenturan Membran Timpani) b. Fungsi tuba eustachius terbuka atau tertutup c. Refleks stapedius - Normal  refleks muncul pada rangsangan 70 80 dB diatas ambang -

dengar Lesi koklea  refleks stapedius menurun Lesi retrokoklea  refleks stapedius meningkat

Prosedur Pemeriksaan 1. Pastikan Liang telinga bersih (Otoskopi) 2. Pilih telinga yang akan diperiksa 3. Pilih jenis pemeriksaan yang diminta 4. Pilih “probe” yang sesuai dengan besarnya liang telinga 5. Masukkan gagang pompa kedalam liang telinga hingga menutup secara sempurna (lampu indikator berwarna hijau) 6. Tunggu sampai lampu indikator berhenti menyala 7. Periksa telinga sebelahnya 8. Cetak hasil pemeriksaan

61

Gambar 4. Hasil Pemeriksaan Audiomotri Berdasarkan Tipenya

BERA (Brainstem evoke response audiometry)

62

-

Anak kecil/bayi Dewasa (sakit/orang pura-pura tuli)

AUDIOMETRI TUTUR (Speech audiometry) 90-100% = Normal 75-90% = Tuli ringan 60-75% = Tuli sedang 50-60% = Kesukaran pembicaraan sehari-hari Contoh: S, R, N,C,H,CH Kadar  Kasar

Pasar Padar

a. SRT (Speech Reception Test) Kemampuan mengulang kata-kata yang benar sebanyak 50% (20-30 dB diatas ambang pendengaran) b. SDS (Speech Discrimination Test) Skor tertinggi yang dapat dicapai pada intensitas tertentu

. AUDIOMETRI BEKESSY Menilai ambang pendengaran seseorang Bekessy tipe I = normal II = Tuli perseptif koklea III = Tuli perseptif retrokoklea IV = III  amplitudo lebih kecil

63

AUDIOMETRI KHUSUS Istilah: 1. Rekrutment Peningkatan sensitifitas pendengaran menurun

berlebihan di atas

ambang dengar Kelainan Koklea  dapat membedakan bunyi 1 dB, sedangkan normalnya 5 Db 2. Kelelahan (decay/fatique) Adaptasi abnormal  saraf pendengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus dan akan pulih kembali setelah istirahat Terdapat pada tuli retrokoklea 1) Test SISI Pasien dapat membedakan bunyi 1dB  Rekrutmen (+) Contoh: Cari ambang dengar 20 dB diatas ambang rangsang

misal 50 dB,

kemudian ditambah 5 dB, 4dB, 3 dB, 2 dB, 1 dB Bila bisa dibedakan SISI (+) , tuli koklea Cara lain: tiap 5 detik naikkan 1 dB sampai 20 kali Apabila: 20 kali benar 100% 10 kali benar 50% Rekrutmen (+) bila sisi 70-100% 0-70% tidak khas  normal/perseptif lain 2) Test A.B.LB Diberi intensitas tertentu pada frekuensi yang sama di kedua telinga sampai mencapai persepsi yang sama  balance (-) Balance tercapai  rekrutmen (+)  koklea 3) Tone Decay Kelelahan saraf karena perangsangan terus menerus T.T.D ( Treshold Tone Decay) Cara Garhart,misal: -

Rangsang terus 40 dB, bila 60 detik: Masih dengar  decay (-) Tidak dengar  decay (+) Intensitas +5  45 dB  dengar lagi Dalam 60 detik hitung penambahan intensitas 0-5 dB = normal 10-15 dB = ringan (tidak khas) 64

20-25 dB = sedang (tidak khas) >30 dB = berat (kelelahan) X.

Manifestasi Klinik Gejala klinik bervariasi antara masing-masing pasien dan berhubungan dengan perubahan yang terjadi pada koklea dan saraf sekitarnya. Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan dan progresif, simetris pada kedua telinga, yang saat dimulainya tidak disadari. Keluhan lain adalah adanya telinga berdenging ( tinnitus ). Pasien dapat mendengar suara percakapan, tetapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan secara cepat dengan latar belakang yang riuh ( cocktail party deafness). Terkadang suara pria terdengar seperti suara wanita. Bila intensitas suara ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga, hal ini disebabkan oleh faktor kelelahan ( recruitment ).

VI.

Kerangka Konsep Terlampir

VII.

Kesimpulan Tn. R 65 tahun datang ke klinik umum RSUD dengan keluhan pendengaran berkurang menderita mixed presbikusis (sensory and neural)

65

LAMPIRAN I. Kerangka Konsep Tn. R, 65 tahun Proses penuaan Degenerasi hair cells dan degenerasi

Penurunan pendengaran secara perlahan

Atrofi sel epithel sensory SGCs

Perubahan struktural

Jejas

↓ glycine

Tuli

Impuls listrik ↑ Tinnit

Degenerasi organ corti pada basiller membrane

Rusaknya serabut saraf afferent Tuli

Sulit memahami makna suara jika penyampaiannya cepat

DAFTAR PUSTAKA 66

Suwento R, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada geriatri. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th Ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007. p. 10-43. Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000. Indro Soetirto, Hendarto Hendarmin, Jenny Bashiruddib. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Gangguan Pendengaran (Tuli). Edisi ke-VII. Jakarta: FK UI; 2012.h.10-14. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21550/4/Chapter%20II.pdf. (Diakses pada 14.34 tanggal 22 agustus 2016) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21550/4/Chapter%20II.pdf 20.33 tanggal 22 agustus 2016 )

(Diakses

pada

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/presbiakusis.pdf (Diakses pada 22.45 tanggal 23 agustus 2016) http://eprints.undip.ac.id/31380/3/Bab_2.pdf (Diakses pada 18.45 tanggal 23 agustus 2016) http://fk.uns.ac.id/static/file/GABUNGAN_MANUAL_SMT_5-2012-ED.pdf

pada 22.55 tanggal 23 agustus 2016)

67

(Diakses

68

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF