November 20, 2018 | Author: Jerry Berlianto Binti | Category: N/A
Jerry Berlianto Binti 10.2009.100 Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510 e-mail:
[email protected] e-mail:
[email protected] no. hp : 085252735528
Sesak Napas pada Anak Akibat Asma PENDAHULUAN
Sesak nafas : Penyakit Penyakit saluran saluran pernafasan pernafasan (asma, (asma, bronkitis bronkitis kronis, emfisema, sumbatan laring, tertelan benda asing), Penyakit parenkimal ( pneumonia, gagal jantung kongestif dll), Penyakit vaskular paru (emboli paru, kor pulmonal, hipertensi paru primer, penyakit veno-oklusi paru), Penyakit pleura (pneumotoraks, efusi pleura, hemotoraks, fibrosis), Penyakit dinding paru (trauma, penyakit neurologik, kalainan tulang). Asma merupakan keadaaan inflamasi kronis yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan reversible reversible misalnya misalnya seperti seperti asma bronchial. Asma bronkial bronkial merupakan merupakan suatu penyakit yang ditandai ditandai oleh tanggap tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan bronki terhadap terhadap berbagai berbagai macam rangs rangsang angan an yang yang mani manife fest stas asin inya ya beru berupa pa kesu kesuka kara ran n berna bernapas pas,, kare karena na penye penyemp mpit itan an yang yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitannya dapat dapat berubah berubah-ub -ubah, ah, baik baik secara secara sponta spontan n maupun maupun karena karena pember pemberian ian obat-ob obat-obata atan. n. Kelain Kelainan an dasarnya, tampaknya suatu perubahan status imunologis si penderita.
1
ANAMNESIS
Yang dapat ditanyakan pada pasien adalah:1 1. Gejala-geja Gejala-gejalanya lanya dapat mencakup mencakup batuk, batuk, mengi, mengi, kesulitan kesulitan bernapas, bernapas, dada terasa terasa tertekan. tertekan. 2. Tanyaka Tanyakan n tentan tentang g penyaki penyakitt yang yang menyer menyertai tai:: rhinit rhinitis, is, sinusist sinusistis, is, polip nasal, nasal, dermat dermatiti itiss atopik. 3. Faktor-fakt Faktor-faktor or yang berpengaru berpengaruh h terhadap terhadap asma antara antara lain: infeksi infeksi pernapasan pernapasan atas atas oleh virus, alergen, iritan, emosi, obat, zat aditif pada makanan, udara dingin, olag raga. Esofagiti Esofagitiss refluks refluks merupakan presipitan presipitan yang lazim untuk asma terutama terutama jika gejala nocturnal lebih menonjol. 4. Usia Usia saat saat awitan awitan,, perkemb perkembang angan an penyak penyakit. it. 5. Penanganan, Penanganan, pengobat pengobatan, an, respons respons terhadap terhadap pengobata pengobatan n sebelumny sebelumnya. a. 6. Pengelolaan Pengelolaan sekaran sekarang, g, mencakup mencakup rencana rencana untuk untuk terjadi terjadinya nya eksaserb eksaserbasi. asi. 7. Kunjunga Kunjungan n ke bagian gawat gawat darura daruratt sebelu sebelumny mnya, a, perawa perawatan tan di rumah rumah sakit, sakit, intubas intubasi, i, perawatan di ICU. 8. Tidak Tidak masu masuk k seko sekolah lah atau atau kerja kerja.. 9. Geja Gejala la-g -gej ejal alaa noktur nokturnal nal.. 10. Pengaruh Pengaruh pada gaya hidup, pertumbuhan pertumbuhan,, sekolah, kerja. kerja. 11. Merokok, menjadi perokok pasif, terpapar terpapar akibat pekerjaan. pekerjaan. 12. Riwayat Riwayat keluarga menderita menderita asma atau atopi. atopi.
PEMERIKSAAN FISIK
Setelah penilaian umum keadaan pasien, pemeriksaan dada posterior dilakukan ketika pasien masih duduk. Lengan pasien sebaiknya dilipat dan diletakkan di atas pangkuannya. Bila pemeriksaan dada posterior sudah selesai, pasien p asien diminta untuk berbaring dan pemeriksaan dada anterior dimulai. Selama pemeriksaan, pemeriksa perlu berusaha membayangkan daerah paru paru di bawahnya.2,3 Jika pasiennya pria, pakaiannya harus dibuka sampai sebatas pinggang. Jika pasiennya wanita, pakaiannya harus diatur sedemikian rupa untuk mencegah pemaparan payudara yang tidak perlu dan memalukan. Pemeriksa berdiri menghadapi pasien.
2
Pemeriksaan dada anterior dan posterior mencakup: 1. Inspeksi 2. Palpasi 3. Perkusi 4. Auskultasi
Penilaian Umum Inspeksi Ekspresi Wajah Pasien
Apakah pasien dalam keadaan menderita akut? Apakah cuping hidung mengembang atau bernapas dengan bibir dikerutkan? Apakah ada tanda-tanda pernapasan yang dapat didengar, seperti stridor dan wheezing? Ini berkaitan dengan obstruksi aliran udara.
Inspeksi Sikap Tubuh Pasien
Pasien dengan obstruksi saluran pernpasan cenderung memilih posisi di mana mereka dapat menyokong lengan mereka dan memfiksasi otot-otot bahu dan leher untuk membantu respirasi. Suatu tehnik yang lazim dipakai pasien dengan obstruksi bronkus adalah memegang sisi-sisi tempat tidur dan memakai muskulus latisimus dorsi untuk membantu mengatasi meningkatnya tahanan terhadap aliran keluar selama ekspirasi. Pasien dengan ortopnea duduk atau berbaring di atas beberapa buah bantal.
Inspeksi leher
Apakah pernapasan pasien dibantu oleh kerja otot-otot tambahan? Pemakaian otot-otot tambahan merupakan salah satu tanda paling dini adanya obstruksi saluran pernapasan. Pada distres pernapasan, muskulus trapezius dan sternokleidomastoideus berkontraksi selama inspirasi. Otot-otot tambahan membantu dalam ventilasi, karena mereka mengangkat klavikula dan dada anterior untuk meningkatkan volume paru-paru dan memperbesar tekanan negated di dalam toraks. Ini menyebabkan retraksi fosa supraklavikular dan otot-otot interkostal. Gerakan ke atas klavikula dari 5 mm selama pernapasan berkaitan dengan penyakit obstruksi paru-paru yang berat.
3
Inspeksi Konfigurasi Dada
Berbagai macam keadaan dapat mengganggu ventilasi yang memadai, dan konfigurasi dada mungkin menunjukkan penyakit paru. Peningkatan diameter anteroposterior (AP) dijumpai pada COPD tingkat lanjut. Diameter AP cenderung mendekati diameter lateral, sehingga terbentuk dada berbentuk tong . Iga-iga kehilangan sudut 45o dan menjadi lebih horizontal. Suatu flait chest adalah konfigurasi dada di mana satu sisi dada bergerak secara paradoksal ke dalam selama inspirasi. Keadaan ini dijumpai pada fraktur iga multipel. Kifoskoliosis adalah deformitas tulang punggung di mana terdapat lengkungan tulang punggung abnormal AP dan lateral sehingga pengembangan dada dan paru-paru menjadi sangat terbatas. Pectum excavatum, atau dada corong, adalah cekungan pada sternum, akan menimbulkan masalah restriktif pada paru paru hanya jika cekungannya jelas. Pectus carinatum, atau dada burung merpati, adalah suatu deformitas yang lazim ditemukan, tetapi tidak mengganggu ventilasi.
Gambar 1. Konfigurasi dada yang lazim ditemukan.3
Menilai Laju dan Pola Respirasi
Bila menilai laju respirasi, jangan meminta pasien untuk bernapas “secara normal”. Orang secara volunteer akan mengubah pola dan laju pernapasannya bila mereka menjadi menjadi menyadarinya. Cara yang lebih baik adalah, setelah menghitung denyut radial, arahkan mata Anda ke dada dan mengevaluasi pernapasan pasien sementara masih memegang pergelangan tangannya. Pasien tidak menyadari bahwa Anda sudah tidak menghitung denyut nadi lagi, dan perubahan napas secara volunter tidak akan terjadi. Hitunglah jumlah pernapasan 4
dalam periode 30 detik dan kalikanlah angkanya dengan 2 untuk mendapatkan laju pernapasan yang akurat. Orang dewasa bernapas kira-kira 10-14 kali semenit, Bradipnea adalah perlambatan respirasi secara abnormal; takipnea adalah peningkatan abnormal. Apnea adalah berhentinya pernapasan untuk sementara. Istilah hiperpnea adalah peningkatan dalamnya pernapasan, biasanya berkaitan dengan asidosis metabolik. Dikenal pula sebagai pernapasan Kussmaul . Ada bayak macam pola pernapasan abnormal.
Dada Posterior Sekarang Anda harus pindah ke punggung pasien untuk memeriksa dada posterior. Palpasi adalah “meletakkan tangan”. Palpasi dipakai dalam pemeriksaan dada untuk memeriksa hal-hal berikut ini: •
Daerah nyeri tekan
•
Kesimetrisan pergerakan dada
•
Fremitus taktil
Palpasi untuk Nyeri Tekan
Semua daerah dada harus diperiksa untuk mengetahui adanya daerah-daerah nyeri tekan. Pukul perlahan punggung pasien dengan kepalan tangan Anda. Keluhan “nyeri dada” mungkin hanya dengan penyakit muskuloskeletal setempat dan tidak berkaitan dengan penyakit jantung atau paru-paru. Berlakulah dengan sangat cermat dalam memeriksa daerah-daerah nyeri tekan di dada.
5
Gambar 2. Teknik memeriksa pergerakan dada posterior. A. Penempatan tangan selama ekspirasi normal. B.
Lokasi setelah inspirasi normal. 3
Pemeriksaan Pergerakan Dada Posterior
Derajat simetri pergerakan dada dapat ditentukan dengan meletakkan tangan secara mendatar pada punggung pasien dengan ibu jari sejajar dengan garis tengah kira-kira setinggi iga ke sepuluh dan menarik kulit di bawahnya sedikit ke arah garis tengah. Pasien diminta untuk menarik napas dalam, dan perhatikan gerakan tangan. Penyakit paru setempat dapat menyebabkan satu sisi dada bergerak lebih sedikit ketimbang sisi lainnya. Peletakkan tangan diperlihatkan dalam Gambar 2.
Prinsip Fremitus Taktil
Kata yang diucapkan menimbulkan getaran yang dapat didengar bila seseorang mendengarkannya di dada dan paru-paru. Ini disebut fremitus vokal. Bila orang mempalpasi dinding dada ketika ia sedang berbicara, getaran ini dapat dirasakan. Ini adalah fremitus taktil . Suara dihantarkan dari laring melalui percabangan bronkus ke parenkim paru-paru dan dinding dada. Fremitus taktil memberikan informasi yang berguna mengenai kepadatan jaringan paru paru dan rongga dada di bawahnya. Keadaan-keadaan yang meningkatkan penghantaran fremitus taktil. Jika ada jaringan lemak yang berlebihan di dada, udara atau cairan di dalam rongga dada, atau paru-paru yang mengembang secara berlebihan, fremitus taktil akan melemah.
Pemeriksaan Fremitus Taktil
Fremitus taktil dapat diperiksa dengan salah satu dari dua cara. Pada tehnik pertama pemeriksa meletakkan sisi ulnar tangan kanan pada d inding dada, seperti terlihat pada Gambar 3, dan meminta pasien untuk mengatakan “tujuh puluh tujuh”. Fremitus taktil dinilai, dan tangan pemeriksa di gerakkan ke posisi yang sama pada sisi yang berlawanan. Fremitus taktil kemudian dibandingkan dengan sisi yang berlawanan. Dengan menggerakkan tangan dari sisi ke sisi dan dari atas ke bawah, pemeriksa dapat mendeteksi perbedaan penghantaran suara ke dinding dada. “Tujuh puluh tujuh” adalah salah satu frasa yang dipakai karena ia menimbulkan bunyi vibrasi yang baik. Meminta pasien untuk berbicara laebih keras atau lebih dalam akan meningkatkan
6
sensasi taktil. Fremitus taktil sebaiknya diperiksa pada lima atau enam lokasi seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4. Cara lain untuk memeriksa fremitus taktil adalah memakai ujung jari sebagai pengganti sisi ulnar tangan. Posisi yang dipakai sama seperti diperlihatkan dalam Gambar 4: sisi ke sisi dan atas ke bawah. Anda hanya perlu melakukan pemeriksaan dengan salah satu tehnik ini. Mulamula pemeriksa harus mencoba kedua cara ini untuk menentukan metode mana yang lebih disukainya.
Gambar 3. Teknik memeriksa fremitus taktil. 3
Gambar 4. Lokasi pemeriksaan fremitus
taktil pada dada posterior.3
Tabel 1 memuat daftar beberapa kelainan patologik penting yang meyebabkan perubahan pada fremitus taktil. Tabel 1. Fremitus Taktil. 3
Prinsip Perkusi
Perkusi adalah mengetuk pada permukaan untuk menentukan struktur di bawahnyaa. Sangat mirip dengan radar atau sistem deteksi dengan gema. Pengetukan pada dinding dada
7
dihantarkan ke jaringan di bawahnya, dipantulkan kembali, dan diindera oleh indera taktil dan pendengaran pemeriksa. Bunyi yang terdengar dan sensasi taktil yang dirasakantergantung pada rasio udara jaringan. Getaran yang ditimbulkan dengan perkusi hanya dapat menilai jaringan paru sampai sedalam 5-6 cm, tetapi perkusi berguna karena banyak perubahan rasio udara jaringan segera dapat diketahui. Perkusi di atas organ padat, seperti hati, menimbulkan bunyi redup, berlangsung singkat dan beramplitudo rendah tanpa resonansi. Perkusi di atas struktur yang mengandung udara dan jaringan, seperti paru-paru, menghasilkan bunyi sonor dengan amplitude lebih tinggi dan tinggi nada lebih rendah. Perkusi di atas struktur berlubang yang berisi udara, seperti lambung, menghasilkan bunyi timpani, dengan tinggi nada tinggi, dan bergaung. Perkusi di atas massa otot yang besar, seperti paha, menimbulkan bunyi pekak dengan tinggi nada tinggi. Pada dada normal, redup di atas jantung dan sonor di atas lapangan paru dapat terdengar dan dirasakan. Ketika paru-paru berisi cairan dan menjadi lebih padat, sperti pada pneumonia, sonor digantikan oleh redup. Istilah hipersonor dipakai untuk bunyi perkusi pada paru-paru yang kepadatannya berkurang, seperti pada emfisema. Hipersonor adalah bunyi resonansi dengan tinggi nada rendah, bergaung, dan terus menerus yang mendekati bunyi timpani.
Teknik Perkusi
Perkusi dada memakai jari tengah tangan kiri yang diletakkan dengan kuat pada dinding dada sejajar dengan iga pada sela iga dengan telapak tangan dan jari lain tidak menyentuh dada tersebut. Ujung jari tengah tangan kanan mengetuk dengan cepat dan tajam pada falang terminal jari kirir yang berada di atas dinding dada. Gerakan jari pengetuk harus berasal adari pergelangan tangan, bukan dari siku. Pemain tenis meja memakai gerakan ini, sebagaimana pemain tenis lapangan harus memusatkan perhatiannya dengan menggunakan gerakan pergelangan tangan. Tehnik perkusi ini dilukiskan dalam Gambar 5.
8
Gambar 5. Teknik Perkusi.3
Perkusi Dada Posterior Tempat-tempat perkusi pada dada posterior adalah di atas, di antara dan di bawah scapula di sela iga, seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Tulang skapula tidak diperkusi. Pemeriksa harus mulai dari atas ke bawah, dari sisi ke sisi, dengan membandingkan satu sisi dengan sisi lainnya.
Gambar 6. A. Memperlihatkan posisi tangan kanan yang siap melakukan perkusi. B. Memperlihatkan lokasi jari
setelah mengetuk. Perhatikanlah bahwa gerakannya dilakukan pada pergelangan tangan.3
Memeriksa Gerakan Diafragma
Perkusi dipakai pula untuk mendeteksi gerakan diafragma. Pasien diminta untuk menarik napas dalam dan menahannya. Perkusi pada basis paru-paru kanan menentukan daerah sonor terendah, yang mencerminkan batas diafragma terendah. Di bawah batas ini ada redup hati. Pasien kemudian disuruh untuk mengeluarkan napas sebanyak mungkin, dan perkusinya diulangi. Pada ekspirasi, paru-paru akan mengecil, hati akan bergerak ke atas, dan daerah yang sama akan menjadi redup. Batas pekak telah bergerak ke atas. Perbedaan antara batas pada waktu inspirasi dengan batas pada waktu ekspirasi merupakan gerakan diafragma, biasanya sebesar 4-5 cm. pasien dengan empfisema mempunyai gerakan diafragma yang berkurang. Pasien dengan kelumpuhan nervus frenikus tidak mempunyai gerakan diafragma.
9
Gambar 7. Teknik memeriksa gerakan diafragma. Selama inspirasi, pada gambar kiri, perkusi pada sela iga ketujuh
posterior pada garis midskapular akan sonor karena adanya paru-paru di bawahnya. Selama ekspirasi, pada gambar kanan, hati dan diafragma bergerak ke atas. Perkusi di daerah yang sama sekarang akan menghasilkan bunyi redup, karen adanya hati di bawahnya.3
Tehnik Auskultasi
Auskultasi adalah tehnik mendengarkan bunyi yang dihasilkan di dalam tubuh. Auskultasi dada dipakai untuk mengenali bunyi paru-paru. Stetoskop biasanya mempunyai dua kepala: bel dan diafragma. Bel dipakai untuk mendeteksi bunyi dengan tinggi nada rendah, sedangkan diafrgama lebih baik untuk mendeteksi bunyi dengan tinggi nada lebih tinggi . bel harus ditempelkan secara longgar pada kulit; jika ia ditekan terlalu kuat, kulit akan berlaku sebagai diafragma dan bunyi tinggi nada rendah akan tersaring. Sebaliknya, difragma ditempelkan secara kuat pada kulit. Pada orang yang sangat kakhetik, bel mungkin lebih berguna karena pemakaian diafragma lebih sulit pada pasien-pasien ini disebabkan menonjolnya iga-iga mereka.
Gambar 8. Cara meletakkan kepala stetoskpo. A. Cara meletakkan diafragma yang tepat. Perhatikan bahwa kepala stetoskop tersebut diletakkan dengan kuat pada kulit. B. Cara meletakkan bel. Perhatikan bahwa bel diletakkan secara ringan pada kulit.3
10
Jangan mendengarkan melalui pakaian! Bel atau diafragma stetoskop harus selalu berhubungan dengan kulit.
Jenis Bunyi Pernapasan
Bunyi pernapasan terdengar pada hampir seluruh lapangan paru. Bunyi pernapasan terdiri dari fase inspirasi diikuti dengan fase ekspirasi. Ada empat macam bunyi pernapasan abnormal, yaitu: •
Trakeal
•
Bronkial
•
Bronkovesikular
•
Vesikular Bunyi pernapsan trakeal adalah bunyi yang sangat kasar, keras, dan dengan tinggi nada
tinggi yang terdengar pada bagaian trakea ekstratoraks. Kedua komponennya kira-kira sama panjangnya. Meskipun selalu ada bila didengarkan pada trakea, bunyi ini jarang dievaluasi karena tidak mencerminkan problem klinis apapun juga pada paru. Bunyi pernapasan bronkial adalah bunyi yang keras, dengan tinggi nada tinggi, seperti udara mengalir melalui pipa. Komponen ekspirasinya lebih keras dan lebih lama ketimbang komponen inspirasi. Bunyi ini biasanya ada bila kita mendengarkan dengan cermat, ada jeda yang jelas di antara kedua fase. Bunyi pernapasan bronkovesikular adalah campuran bunyi bronkial dan bunyi vesikular. Komponen inspirasi dan ekspirasinya sama panjang. Dalam keadaan normal bunyi ini hanya terdengar pada sela iga pertama dan kedua di bagian depan dan di atntara skapula di bagian belakang. Ini di dekat karina dan bronkus utama. Bunyi pernapasan vesikular adalah bunyi lemah dengan tinggi nada rendah yang terdengar di atas kebanyakan lapangan paru. Komponen inspirasinya jauh lebih panjang ketimbang komponen ekspirasi, yang jauh lebih lemah dan seringkali tidak terdengar.
11
Gambar 9. Empat macam bunyi pernapasan.3
Auskultasi Dada Posterior
Auskultasi harus dilakukan dalam lingkungan yang tenang. Pasien diminta menarik dan mengeluarkan napas melalui mulutnya. Pemeriksa mula-mula harus memusatkan perhatian pada panjang ekspirasi. Bila bunyi pernapasan sangat lemah, dipakai istilah jauh. Bunyi pernapasan yang jauh lazim ditemukan pada pasien dengan paru-paru hiperinflasi, seperti pada emfisema. Pemeriksaan harus dilakukan dari sisi ke sisi dan dari atas ke bawah, dengan membandingkan satu sisi dengan sisi lainnya. Karena kebanyakan bunyi pernapasan mempunyai tinggi nada tinggi, diafragma dipakai untuk memeriksa bunyi paru-paru.
Dada Anterior Pemeriksa sekarang harus pindah ke depan pasein. Bagian pertama pemeriksaan dada anterior dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk, setelah itu pasien diminta untuk be rbaring.
Evaluasi Posisi Trakea
Posisi trakea dapat ditentukan dengan meletakkan jari telunjuk kanan di incisura suprasternal dan menggerakkannya sedikit ke lateral untuk meraba lokasi trakea. Teknik ini diulangi, dengan menggerakkan jari dari incisura suprasternal ke sisi lain. Ruang di antara trakea dan klavikula harus sama. Pergeseran mediastinum dap at memindahkan trakea ke satu sisi.
12
Pemeriksaan Mobilitas Trakea
Gerakan trakea ke atas dipakai untuk menentukan apakah trakea terfiksasi pada mediastinum. Teknik ini disebut tarikan trakea. Kepala pasien harus agak difleksikan, dan tangan kiri pemeriksa harus menyokong bagian belakang kepala pasien. Tangan kanan pemeriksa harus diletakkan sejajar dengan trakea dengan telapak tangan menghadap keluar. Jari tengah dimasukkan ke dalam ruang krikotiroid, dan laring didorong ke atas. Laring dan trakea biasanya bergerak kira-kira 1-2 cm. setelah menggerakkan laring ke atas, secara perlahan-lahan turunkan sebelum melepaskan jari-jari pemeriksa. Jangan melepaskannya secara tiba-tiba dari posisinya di bagian atas. Trakea yang terfiksasi menunjukkan fiksasi mediatinal, yang dapat terjadi pada neoplasma atau tuberculosis. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tidak meletakkan jari-jari yang memeriksa secara horizontal, mendorong ke belakang atau menjatuhkan trakea. Tindakantindakan ini dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada pasien. Sekarang mintalah pasien untuk berbaring pada punggungnya untuk pemeriksaan dada anterior. Lengan pasien diletakkan pada sisi tubuhnya. Jika pasiennya wanita, mintalah kepadanya untuk mengangkat payudaranya atau pindahkanlah sendiri bila perlu selama palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan di atas jaringan payudara.
Gambar 10. Teknik menentukan posisi trakea.3
Gambar 11. Teknik untuk memeriksa tarikan trakea.3
Pemeriksaan Pergerakan Dada Anterior
Pemeriksaan kesimetrisan pergerakan dada anterior dilakukan dengan meletakkan kedua tangan sepanjang margi iga lateral. Suruhlah pasien untuk menarik napas dalam ketika pemeriksa mengamati gerakan tangannya.
13
Gambar 12. Teknik memeriksa pergerakan dada anterior. A. Memperlihatkan penempatan tangan selama ekspirasi
normal. B. Memperlihatkan lokasinya setelah inspirasi normal. 3
Pemeriksaan Fremitus Taktil
Fremitus taktil diperiksa di fosa supraklavikular dan sela iga anterior secara bergantian, dimulai di klavikula. Teknik pemeriksaan fremitus taktil telah diuraikan di atas. Pemeriksaan mulai dari fosa supraklavikular ke bawah, dengan membandingkan satu sisi dengan sisi lainnya.
Perkusi Dada Anterior
Perkusi dada anterior mencakup fosa supraklavikular, aksila dan sela iga anterior. Bunyi perkusi pada satu sisi selalu dibandingkan dengan posisi yang sama pada sisi lain. Bunyi redup mungkin timbul pada sela iga ketiga sampai kelima di bagian kiri sternum, yang berkaitan dengan adanya jantung. Penting untuk melakukan perkusi pada aksila, karena lobus atas paling baik diperiksa pada posisi ini. Perkusi aksila kadang-kadang lebih mudah dilakukan sementara pasien dalam posisi duduk.
14
Gambar 13. Lokasi perkusi dan auskultasi pada dada anterior.3
Auskultasi Dada Anterior
Auskultasi dada anterior dilakukan pada fosa supraklavikular, aksila, dan sela iga anterior. Teknik auskultasi telah diuraikan di atas. Bunyi pernapasan pada satu sisi dibandingkan dengan bunyi pernapasan dada posisi yang sama di sisi lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:4
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal.
Eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
3. Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru. 15
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
4.
Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma. 5.
Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
6.
Scanning paru Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru. 7. Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
16
DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkitis kronis Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikit terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tandatanda kor pumonal.1 2. Emfisema paru Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi. 3. Gagal jantung kiri Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru. 4. Pneumotoraks traumatik Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma. b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
17
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura. 2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.
DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan laboratorium bahwa itu adalah asma bronchial. Gejalanya timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain: • Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop • Batuk produktif, sering pada malam hari • Napas atau dada seperti tertekan • Gejalanya bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari.
Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe: •
Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang menderita asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan, ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi asma, perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik merupakan keadaan peka bagi penderita. •
Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik).
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial.Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada famili ada yang menderita asma,
18
adanya eksim pada waktu bayi, sering menderita rinitis.Di Inggris jelas penyebabya House Dust Mite, di USA tepungsari bunga rumput •
Asma bronkial campuran (Mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik
EPIDEMIOLOGI
Asma adalah penyebab tunggal terpenting untuk morbiditas penyakit pernapasan dan menyebabkan 2000 kematian/tahun. Prevalensinya, sekarang sekitar 10-15%, semakin meningkat di masyarakat Barat. Insidensi mengi tertinggi pada anak-anak (satu dari tiga anak mengalami mengi dan satu dari tujuh anak sekolah terdiagnosis asma).5
ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.6 a. Faktor predisposisi •
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan. Genetik
diturunkan
dalam
keluarga
dan
berhubungan dengan atopi. Penelitian genetic menunjukkan adanya hubungan reseptor IgE afinitas tinggi dan gen sitokin T-helper (Th2) (kromosom 5)
b. Faktor presipitasi •
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu : ex: makanan dan obat-obatan Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit ex: perhiasan, logam dan jam tangan
19
•
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. •
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati. •
Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. •
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
PATOGENESIS
Meskipun terdapat ketumpangtindihan bermakna antara du kelompok, penyebab asma dapat dibagi menjadi dua kategori utama: ekstrinsik dan intrinsik.6,7 Asma ekstrinsik (alergis) secara umum mempengaruhi anak atau remaja muda yang sering mempunyai riwayat keluarga atau pribadi tentang alergi, bentol-bentol, ruam, dan eczema. Hasil dari tes kulit biasanya positif pada alergen spesifik, yang menunjukkan kemungkinan bahwa asma ekstrinsik adalah alergis. Obstruksi pernapasan akut, tekanan pada aliran udara, dan turbulensi dari aliran udara dikaitkan dengan tiga respons berikut : 1) spasme bronkus, yang melibatkan irama peremasan jalan napas oleh otot yang mengitarinya; 2) produksi mukus kental yang banyak; dan 3) respons inflamasi, yang mencakup peningkatan permeabilitas kapiler dan edema mukosa. 20
Asma intrinsik (idiosinkratik) biasanya mempengaruhi orang dewasa, termasuk mereka yang tidak mengalami asma atau alergi sebelum usia dewasa tengah. Riwayat pribadi atau keluarga negative untuk alergi, eksema, bentol-bentol, dan ruam. Asma ringan sampai sedang dikarakteristikan dengan kontraksi otot polos saluran napas, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan sumbatan mukus dalam lumen saluran napas, yang merupakan faktor yang berkontribusi pada bronkokonstriksi dan hiperaktivitas saluran napas. Hal ini dihasilkan dari hiperrespons otot polos dan trakeobronkial terhadap ransangan mekanik kimia, lingkungan, alergik (asma ekstrinsik), farmakologik, atau ransangan yang tidak diketahui. Hipotesis Mc Fadden (1986) menyatakan bahwa pada perangsangan saluran napas penderita asma akan terjadi reaksi pada sel-sel sasaran, yaitu sel mastosit dan basofil yang membebaskan mediator aktif reaksi alergi yang menyebabkan terjadinya reaksi lambat dan reaksi cepat pada saluran napas. 1. Reaksi cepat , timbul beberapa menit sampai 2 jam (maksimum) berupa pembebasan mediator reaksi alergi dari sel mast . Reaksi cepat terutama menyebabkan bronkospasme. 2. Reaksi lambat , timbul setelah 3-5 jam kemudian. Pada reaksi lambat ini juga terjadi spasme bronkus yang disertai dengan edema mukosa dan inflamasi saluran napas, mencapai maksimum setelah 4-8 jam dan menghilang setelah 8-12 jam atau lebih lama. Reaksi lambat ini berupa reaksi inflamasi (peradangan saluran napas karena infiltrasi sel radang terutama sel eosinofil), hiperreaktivitas saluran napas dan bronkospasme. Peningkatan hiperreaktivitas saluran napas timbul 8 jam setelah perangsangan dengan alergen atau stimulus lain dan menetap atau bertambah berat sampai beberapa hari, bahkan dapat sampai beberapa minggu. Bila terjadi peningkatan hiperreakitvitas bronkus, akan terjadi peningkatan sensitivitas terhadap stimulasi non-alergik , seperti asap, debu, udara dingin, kerja fisik, emosi, histamin, metakolin, dan toluen diisosianat. Inilah yang menyebabkan penyakti asma makin memberat.
21
Gambar 14. Hipotesis terjadinya bronkokonstriksi.7
Asma Sebagai Suatu Penyakit Inflamasi
Sekarang terdapat bukti yang meyakinkan bahwa beberapa jenis sel inflamasi , seperti sel mastosit, makrofag, eosinofil, limfosit dan sel-sel epitel termasuk dalam patogenesis asma. Banyak sekali mediator inflamasi yang telah dibuktikan dalam asma, termasuk histamin, produk siklooksigenase (prostaglandin, leukotrien, dan sitokin), produk lipooksigenase, platelet activating factors, kinin, adenosin, komplemen, serotonin, faktor kemotaktik, dan oksigen radikal, yang memperantarai respons awal asmatik, termasuk bronkokonstriksi, edema mukosa, sekresi mukus, dan respo asma akhir berupa infiltrasi selular, kerusakan epitel, dan hiperaktivitas saluran napas. Pada asma berat terjadi hipertrofi otot polos saluran napas dan kelenjar sekretori, pengelupasan epitelium, dan terlihat pula adanya penebalan lamina propria. Mekanisme yang mendasari patogenesis asma bersifat multifaktorial; tetapi sebagian besar dipicu oleh degranulasi sel mastosit dan diikuti dengan pembebasan mediator-mediator inflamasi. Pada asma ekstrinsik, mekanisme yang mendasari bronkokonstriksi berawal ketika pemicu pertama menyebabkan pasien mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen, seperti inhalasi polen yang kemudian dicerna oleh lisozim mukosa membebaskan protein yang larut dalam air. Absorpsi protein-protein ini menghasilkan pembebasan imunoglobin spesifik (IgE) oleh sel-sel plasma jaringan limfoid dalam saluran napas. IgE yang terbebas ini menempel pada 22
permukaan sel-sel mastosit dan sel basofil. Pada pemaparan berikutnya terhadap polen yang sama pada pasien atopik akan menimbulkan reaksi alergik. Pada waktu ini terjadi, dengan adanya antigen, sel-sel mastosit yang mengandung IgE yang telah disensitisasi membebaskan zat-zat farmakologik aktif (mediator), seperti hisatamin slow reaction substance of anaphylaxis (SRS-A) eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis, serotonin, kinin, dan prostaglandin. Zat ini memberikan efek vasodilatasi, sekresi mukus yang kental, edema mukosa (vasodilatasi), inflamasi, bronkokonstriksi, dan kombinasi dari faktor-faktor ini menimbulkan obstruksi bronkial diikuti oleh gejala-gejala khas asma bronkial. Infeksi juga mempunyai potensi untuk menimbulkan bronkokonstriksi yang disebabkan oleh edema dan inflamasi. Senyawa seperti kromolin natrium yang mencegah pembebasan mediator merupakan zat profilaksis yang sangat berguna dalam pengelolaan asma.
Mekanisme Neurogenik
Sistem saraf otonom juga memiliki peranan penting dalam pengaturan otot polos bronkial, pembuluh darah bronkial, dan kelenjar bronkial. Stimulasi serabut parasimpatik (vagus) menyebabkan vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatkan sekresi kelenjar. Oleh karena itu, jelaslah bahwa obat kolinomimetik; seperti metakolin, dikontraindikasikan pada pasien dengan asma bronkial. Stimulasi serabut simpatik (sisi reseptor beta-2) menimbulkan dilatasi bronkial dan mengurangi sekresi kelenjar. Agonis beta-adrenergik (misalnya terbutalin) merupakan obat antiasma yang paling berguna. Patofisiologi dispnea. Hipoksia dan hiperkapnia menyebabkan dispnea yang berat. Prinsip
utama terapi dispnea adalah pengobatan penyakit dasar. Pada pasien asma, pemberian bronkodilator dapat menghilangkan dispnea secara komplet, namun pada pasien dengan obstruksi saluran napas menahun dispnea tidak dap at dihilangkan secara komplet.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan napas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain:8 1. Dispnea yang bermakna. 2. Batuk, terutama di malam hari. 23
3. Pernapasan yang dangkal dan cepat. 4. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar hanya saat ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah. 5. Peningkatan usaha bernapas, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi, napas cuping hidung. 6. Kecemasan, yang berhubungan dengan ketidakmampuan mendapat udara yang cukup. 7. Udara terperangkap karena obstruksi aliran udara, terutama terlihat selama ekspirasi pada pasien asma. Kondisi ini terlihat denganmemanjangnya waktu ekspirasi. 8. Di antara serangan asmatik, individu biasanya asimtomatik. Akan tetapi, dalam pemeriksaan perubahan fungsi paru mungkin terlihat bahkan di antara serangan pada pasien yang memiliki asma persisten.
Tabel 2. Manifestasi klinis dan patofisiologi dasar asma. 8
PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi asma adalah:2 1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma. 2. Mencegah kekambuhan. 3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya. 4. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukanexercise. 5. Menghindari efek samping obat asma. 6. Mencegah obstruksi jalan napas yang ireversibel. 24
Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang berdasarkan berat penyakit.2
Derajat Asma Asma Persisten
Obat Pengontrol (Harian) Tidak perlu
Obat Pelega Bronkodilator • singkat,
aksi
yaitu
inhalasi
agonis β2 bila perlu. •
Intensitas
pengobatan
tergantung
berat
eksaserbasi. •
Inhalasi agonis β2 atau kromolin dipakai sebelum aktivitas
Asma Persisten Ringan
•
Inhalasi 200-500
•
kortikosteroid μg/
•
kromolin/
atau
pajanan
alergen. Inhalasi agonis β2 aksi singkat
bila perlu
dan
nedokromil atau teofilin
tidak melebihi 3-4 kali
lepas lambat.
sehari.
Bila
perlu
sampai
ditingkatkan
800
μg
atau
ditambahkan bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol asma malam. Dapat diberikan agonis β2 aksi lama inhalasi atau oral Asma Persisten Sedang
•
•
atau teofilin kepas lambat. Inhalasi kortikosteroid
•
Inhalasi agonis β2 aksi
800-2000 μg
singkat
Bronkodilator aksi lama
tidak melebihi 3-4 kali
terutama untuk mengontrol
sehari.
asma
malam,
agonis
β2
25
aksi
berupa lama
bila perlu
dan
inhalasi atau oral teofilin Asma Persisten Berat
•
lepas lambat. Inhalasi ortikosteroid 8002000 μg atau lebih.
•
Bronkodilator aksi lama, berupa agonis β2 inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat.
•
Kortikosteroid oral jangka panjang
Yang termasuk obat antiasma adalah: 1. Bronkodilator. a. Agonis β 2 Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi. Terbutalin, salbutamol, dan feneterol memiliki lama kerja 4-6 jam, sedangkan β 2 long-acting bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol, dan lain-lain. Banyak aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal. b. Metilxantin. Teofilin
termasuk
golongan
ini.
Efek
bronkodilatornya
berkaitan
dengan
konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang. c. Antikolinergik. Golongan ini menurunkan tonus vagus intrinsic dari saluran napas.
2. Antiinflamasi. Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis. a. Kortikosteroid.
26
b. Natrium kromolin ( sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi nonsteroid.
Terapi awal yaitu:
1. Oksigen 4-6 liter/menit. 2. Agonis β 2 ( Salbutamol 5 mg atau Feneterol 2,5 mg atau Terbutalin 10 mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agonis β 2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis Salbutamol 0,25 mg atau Terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan. 3. Aminovilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis. 4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut: •
Respons menetap selama 60 menit setelah pengobatan.
•
Pemeriksaan fisik normal.
•
Arus puncak ekspirasi (APE) > 70%
Jika respons tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Terapi asma kronik adalah sebagai berikut: 1. Asma ringan: agonis β2 inhalasi bila perlu atau agonis β2 oral sebelum exercise atau terpapar alergen. 2. Asma sedang: antiinflamasi setiap hari dan agonis β2 inhalasi bila perlu. 3. Asma berat: steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis β2 long acting , steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis β2 inhalasi sesuai kebutuhan.
KOMPLIKASI
27
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.8
PROGNOSIS
Sejalan dengan bertambahnya usia anak, sebagian besar anak akan mengalami perbaikan. Pada anak-anak prasekolah yang mengalami mengi hanya pada saat pilek, mungkin gejala akan menghilang setelah usia 5-8 tahun. Secara umum, semakin berat suatu asma maka perbaikan akan tercapai pada usia yang lebih tua. Asma mungkin berulang pada masa dewasa, dan remaja sebaiknya tidak merokok dan menghindari alergen potensial di tempat bekerja.9
PREVENTIF
1. Penyuluhan pasien penting untuk keberhasilan penatalaksanaan, khususnya penjelasan mengenai pemicu, penggunaan dan peran obat-obatan dan bagaimana mendeteksi dan bereaksi terhadap perburukan.5 2. Menghindari pemicu lingkungan atau alergen penting, terutama menghindari asap rokok.5
KESIMPULAN
Pengelolaan penderita asma akut dan status asmatikus, apalagi yang menunjukkan tanda yang sudah mengancam jiwa penderita, hendaknya dilaksanakan di Unit Pelayanan Kesehatan yang memiliki tenaga medic yang sudah berpengalaman dan fasilitas yang memadai.4
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Grabber MA, Toth PP, Robert L. Buku saku kedokteran keluarga. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2006.h.151-2. 2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h.456-62. 3. Swartz MH. Bukua ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 1995.h.161-75. 4. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bisang penyakit dalam. Jakarta: EGC; 1999.h.43-51. 5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga;2005.h.178-80. 6. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2008.h.571-86. 7. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC;2000.h.97-100. 8. Corwin EJ. Patofisiologi: buku saku. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h.566-71. 9. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta: EGC;2008.h.126-9.
29