SK Pelayanan Pasien Di Akhir Kehidupan
October 13, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download SK Pelayanan Pasien Di Akhir Kehidupan...
Description
RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA Jalan Raya Pondok Ge Gede de Jakarta Ti Timur mur Telp. (021) 8000693 – 95, 8000701 – 702, Fax. (021) 8000702
Certificate No : JKT 0500123
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT HAJI JAKAR JAKART TA Nomor : 081 /R /RSHJ /D /DIR /S /SK K / /AKR AKRE/IX/ E/IX/2012 2012
TEN TE NTAN ANG G KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN DI AKHIR KEHIDUPAN DAN PENANGANAN PASIEN AKAN MENINGGAL DUNIA (E ND O OF F LIFE ) DI RUMAH SAKIT HAJI JAKAR JAKART T A DIREKTUR RUMAH SAKIT HAJI JAKAR JAKART T A Menimbang
:
a.
b.
bahwa bahwa setiap p pasien asien yang telah memasuki tahap terminal/akhir kehidupan berhak mendapatkan pelayanan terbaik yang mengarahkan kepada ketenangan, kehormatan pasien, dan keluarga bahwa dalam m mengantisipasi engantisipasi pesatnya pembangunan perumahsakitan tersebut, maka Rumah Sakit Haji Jakarta perlu meningkatkan mutu pelayanan maupun pengelolaannya termasuk pelayanankesehatan pasien di akhir hidupnya;
Memperhatikan :
c.
bahwa dalam rangka m melaksanakan elaksanakan upaya tersebut perlu adanya keputusan Direktur tentang pelayanan pasien pada akhir kehidupan di Rumah Sakit Haji Jakarta;
d.
bahwa mempertimbangkan butir a, b, dan c di atas perlu ditetapkan Keputusan Direktur Tentang Kebijakan Pelayanan Pasien Pada Akhir Kehidupan dan Penanganan Pasien Akan meninggal Dunia (End (End of Life) Life) di Rumah Sakit Haji Jakarta.
1.
Undang-Undang Kesehatan
2.
Undang-Undang RI No.44 Tahun 200 2009 9 Ten Tentang tang Rum Rumah ah Sakit
3.
Undang-Undang RI No.29 Tahun 2004 ten tentang tang Praktek Kedokteran
4.
Permenkes RI No.519 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit
5.
Surat Tugas Menteri Kesehatan Nomor: KP/Menkes/285/VIII/2012 tanggal 16 Agustus 2012 tentang penugasan Pelaksana Rumah Sakit Haji Jakarta
6.
Surat Tugas Menteri Kesehatan Nomor: KP.02.07/I/1548/12 tanggal 23 Agustus 2012 tentang
RI
No.36
Tahun
2009
Tentang
Penugasan Pelaksana Tugas Wadir 7. Surat Tugas Menteri Kesehatan Nomor: KP.02.07/I/1549/12 tanggal 23 Agustus 2012 tentang Penugasan Pelaksana Tugas Tugas Wadir SDM dan Yankes MEMUTUSKAN Menetapkan KESATU
:
KEDUA
:
KETIGA
: KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN DI AKHIR KEHIDUPAN DAN PENANGANAN PASIEN AKAN MENINGGAL DUNIA (END OF LIFE) DI RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA JAKARTA Pelayanan Pasien Pada A Akhir khir Keh Kehidupan idupan dan Penanga Penanganan nan Pasien Akan meninggal Dunia (End (End of Life) Life) di Rumah Sakit Haji Jakarta sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu terlampir dalam lampiran keputusan ini. :
Pasien yang telah memasuki masa terminal/akhir kehidupan di Rumah Sakit Haji Jakarta berhak mendapatkan pe pelayanan layanan terbaik yang mengarah kepada ketenangan, keluarga dalam upaya mencapai khusnulkehormatan Khatimah. pasien dan
KEEMPAT
:
Semua pelaksanaan pasien pada akhir hidup yang diberikan di Rumah Sakit Haji Jakarta merupakan pelayanan yang dipandu dengan kebijakan dan prosedur yang mengarah pada ketenangan pasien, keluarga dan meningkatkan kenyamanan dan kehormatannya.
KELIMA
:
Semua pelaksanaan kegiatan pelayanan pasien pad pada a ak akhir hir hidup yang dilakukan di Rumah Sakit Haji Jakarta dari tujuan meningkatkan ketenangan, kenyamanan, dan kehormatan secara rinci harus mengacu kepada kebijak kebijakan an dan prosedur yang berlaku di Rumah Sakit Haji Jakarta sebagaimana sebagai mana tersebut dalam lampiran keputusan ini.
KEENAM
:
Keputusan ini mulai berlaku sej sejak ak tang tanggal gal d ditetapkan itetapkan d dan an apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. DITETAPKAN DI PADA TANGGAL
: JAKARTA : 03 SEPTEMBER 2012
DIREKTUR
RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA
dr. H. Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, K-GEH, FINASIM, FACP, M. Kes.
Lampiran 1 : Keputusan Direktur RSHJ Nomor : 081/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 081/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 Tanggal : 03 September 2012
KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN PADA AKHIR KEHIDU DUP PAN AN DI RUMAH SAKIT HAJI JAKAR JAKART T A
A.
PENDAHULUAN PENDAHULUAN Kondisi pasien sedang kritis ditandai dengan kesadaran yang menurun tekanan darah dan nadi tak teraba, napas
tidak ada,
denyut jantung
melemah (bradikardi). Pada kondisi seperti inilah peranan bimbingan sakaratul maut sangat diperlukan. Pasien
yang
memasuki
tahap
terminal
atau
tahapan
akhir
kehidupannya berhak mendapat kualitas asuhan yang sama di rumah sakit. Untuk melaksanakan prinsip “kualitas asuhan yang setingkat” mengharuskan pimpinan merencanakan dan mengkoordinasi pelayanan pasien. Secara khusus, pelayanan yang diberikan k kepada epada pasien tahap term terminal inal sama pada berbagai unit unit kerja, dipandu oleh kebijak kebijakan an dan prosedur yang meng menghasilkan hasilkan pelayanan yang seragam. Sebagai tambahan, pimpinan harus menjamin bahwa rumah sakit menyediakan tingkat kualitas asuhan yang sama setiap hari dalam seminggu dan pada setiap shift. Kebijakan dan prosedur tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku yang membentuk
proses
pelayanan
pasien
pada
akhir
kehidupan
yang
mengutamakan ketenangan, kenyamanan kenyamanan dan kehormatan pasien. Pasien dalam proses kematian mempunyai kebutuhan khusus untuk dilayani dengan penuh hormat dan kasih,untuk mencapai semua ini semua staf harus sadar akan uniknya kebutuhan pasien dalam akhir kehidupannya. Perhatian terhadap kenyamanan dan martabat pasien mengarahkan semua aspek asuhan selama stadium akhir hidup. Asuhan akhir kehidupan yang diberikan oleh rumah sakit meliputi meli puti beberapa hal sebagai berikut :
1. Pemberian pengobatan yang sesuai dengan gejala dan ke keinginan inginan pas pasien ien serta keluarga, meliputi: a. Melakukan pengobatan sesuai diagnosis pasien
b. Mencegah gejala
–
gejala dan komplikasi sejauh yang dapat
diupayakan c. Melakukan interve intervensi nsi untuk m mengurangi engurangi rasa nyer nyerii dan gejala primer atau sekunder d. Melakukan intervensi dalam masalah psikososial, emosional, dan spiritual dari pasien dan keluarga, menghadapi kematian dan kesedihan e. Menyampaikan informasi kondisi pasien
tahap terminal termasuk
menyampaikan isu yang sensitif seperti autopsi dan donasi organ f.
Mengikutsertakan pasien dan ke keluarga luarga dalam mengambil keputusan terhadap asuhan
g. Kualitas asuhan pasien pada akhir kehidup kehidupan an d dievaluasi ievaluasi oleh staf dan keluarga pasien
2. Menghormati nilai yang dianut pasien, agama dan preferensi budaya, meliputi: a. Semua staf berkewaj berkewajiban iban menghorm menghormati ati pasien dan keluarga dengan agama yang dianutnya b. Dalam melakukan kegiatan pemulasaraan jenazah pasien muslim, Rumah Sakit Haji memiliki fasilitas yang memadai c. Dalam rangka m menghormati enghormati hak pas pasien ien dalam m melakukan elakukan keg kegiatan iatan pemulasaraan jenazah bagi pasien non muslim, Rumah Sakit Haji Jakarta menyerahkan sepenuhnya kepada keluarga pasien. d. Pemulasaraan jenazah dilakukan sesu sesuai ai dengan SPO tersendiri yang berlaku di Rumah Sakit Haji Jakarta e. Kualitas pelayanan pas pasien ien pada akhir kehidupan dieva dievaluasi luasi oleh staf dan keluarga pasien (Format survey terlampir).
3. Pelaksanaan Pemulasaran Jenazah, meliputi: a.
Rumah Sakit Haji Jakarta tidak dapat memberikan pelayanan suntik formalin. Dan apabila terdapat pasien yang memerlukan pelayanan tersebut akan diarahkan sesua sesuaii prosedur yang berlaku.
b.
Pemulasaraan jenazah pasien muslim dan pasien non muslim diatur menurut prosedur tersendiri
c.
Pemulasaraan jenazah pasien dengan penyakit menular diatur menurut prosedur tersendiri
DITETAPKAN DI PADA TANGGAL
: JAKARTA : 03 SEPTEMBER 2012
DIREKTUR
RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA
dr. H. Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, K-GEH, FINASIM, FACP, M. Kes.
Lampiran 2 : Keputusan Direktur RSHJ Nomor : 081/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 081/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 Tanggal : 03 September 2012
KEBIJAKAN TENTANG PENANGANAN PASIEN AKA AKAN N MENINGG MENINGGAL AL DUNIA / SAKARATUL MAUT (E ND OF LI LIFE FE ) A. LATAR BELAKANG BELAKANG Pasien menjelang meninggal dan keluarganya memerlukan pelayanan yang terfokus pada kebutuhan yang unik dari masing-masing pasien. Pasien yang menjelang meninggal bisa mengalami gejala lain yang berhubungan dengan proses penyakit atau terapi kuratif atau membutuhkan bantuan dalam menghadapinya secara psikososial, spiritual dan kultural berhubungan dengan kematian dan sekarat. Pasien dapat pula merasakan nyeri berkaitan dengan terapi atau prosedur seperti nyeri pasca operasi, nyeri saat sesi fisioterapi atau nyeri yang berhubungan dengan penyakit penyakit kronis atau nyeri akut. Tujuan rumah sakit dalam manajemen nyeri atau pelayanan pasien menjelang
meninggal
termasuk
menentukan
setting
dari
pelayanan
yg
disediakan (seperti unit pelayanan paliatif atau hospice hospice), ), jenis pelayanan yang disediakan, dan populasi pasien yang dilayani. Rumah sakit menyusun proses manajemen nyeri nyeri dan pelayanan pasien menjelang meningga meninggal. l. Proses ini : 1. Meyakinkankan pasien bahwa nyeri dan gejala-gejala lain akan dikaji dan dikelola dengan tepat. 2. Memastikan pasien yang berad berada a dalam keadaan nyeri atau terminal akan diperlakukan dengan menjunjung menjunjung tinggi harga diri dan respek. 3. Merencanakan pend pendekatan ekatan prevent preventif if dan terapetik untuk manaj manajemen emen nyeri dan gejala lain. 4. Mengedukasi pasien dan st staf af mengenai m manajemen anajemen nyeri dan gejala lain. Untuk
mengatur
hal-hal
tersebut,
maka
disusunlah
kebijakan
tentang
penanganan Pasien Pasien Akan Meningga Meninggall Dunia / Sakaratul Maut ((End End Of Life Care). Care).
B. TUJUAN TUJUAN Sebagai acuan dalam penanganan pasien menjelang meninggal, termasuk penanganan berbagai berbagai keluhan yang mengganggu kualitas kualitas hidup (terutama nyeri).
C. KEBIJAKAN KEBIJAKAN 1. Kehendak langsung dari pasien (Advanced Directives) Directives) Kebijakan : a.
Rumah Sakit Haji Jakarta menghormati seluruh kehendak langsung dari pasien, sejauh pasien berada dalam kondisi yang secara hukum memenuhi persyaratan untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri.
b.
Rumah Sakit Haj Hajii Jakarta menghormati kehendak langsung pasien sejauh tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Pernyataan pasien tidak mampu secara kejiwaan untuk pengambil keputusan harus dikeluarkan setelah konsultasi dengan dokter spesialis kesehatan jiwa.
c. Pernyataan pasien tidak m mampu ampu mengambil ke keputusan putusan karena tingkat kesadarannya harus berdasarkan konsultasi dengan dokter spesialis Saraf. d.
Selain kedua hal di atas, maka pasien yang d dinyatakan inyatakan mamp mampu u mengambil keputusan untuk dirinya sendiri berhak membuat keputusan tertulis mengenai penanganan dirinya, dan Rumah Sakit Haji Jakarta akan menghormati keputusan tersebut.
2.
Kebijakan Do Not Rescucitate (DNR) (DNR) a. Pengertian dan batasan Do Not Rescucitate (DNR) adalah perintah yang dikeluarkan oleh dokter setelah melakukan pengkajian, penjelasan ke pasien/keluarga pengambil keputusan untuk pasien (surrogate (surrogate)) dan telah mendapatkan persetujuan TERTULIS mengenai penolakan TINDAKAN RESUSITASI. DNR berarti dalam kondisi henti napas dan henti jantung, tenaga kesehatan di Rumah Sakit Haji Jakarta tidak akan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) b. Landasan Kebijakan. Resusitasi Jantung Paru (RJP)/Cardiopulmonary (RJP)/Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) yang dilakukan di rumah sakit pada pasien-pasien terminal walau sukses mengembalikan denyut jantung dan pernapasan spontan, namun kurang berhasil untuk membuat pasien bertahan hingga pulang. Survival to
hospital discharge rate following CPR yang rendah membuat upaya CPR pada kasus-kasus di bawah ini (lihat tabel) tidak terlalu dirasakan manfaatnya, baik bagi pasien maupun keluarga. Untuk itu, dokter perlu memberikan penjelasan yang proporsional sesuai dengan prognosis pasien, dengan mempertimbangkan kehendak pasien maupun keluarga sesuai dengan ketentuan persetujuan tindakan medik, yang akan diatur secara terpisah dari kebijakan ini. Tabel Survival to hospital discharge rate following CPR Condition with highest surv survival ival rates Ventricular Fibrillationpost MI
26 – 46%
Drug reaction or Overdose Overdose
22 – 28%
Ventricular Arrythmia Arrythmia
19 – 50%
Condition with lowest surv survival ival rates rates Malignancy 1)
0 – 3,5%
Neurologic disease
0 – 6,7%
Renal Failure
0 – 10%
Respiratory disease
0 – 7%
Sepsis Sepsis
0 – 7%
Out-of Hospital Cardiopulmonary arrest 2) 2)
0,6%
1) Survival sebesar 0% pada keg keganasan anasan den dengan gan metastase pada 9 studi yang dilakukan. 2) Jika tidak terjadi kembali ke sirkulasi spontan dalam waktu 25 menit pasca henti jantung henti napas. (Current Medical Diagnosis & Treatment 2003, p : 63) 63)
c. Kewenangan pengeluaran perintah DNR Kewenangan pengeluaran perintah DNR berada di Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) setelah mendapat persetujuan pasien / keluarga pengambil keputusan untuk pasien (surrogate), atau atas permintaan pasien yang kompeten untuk mengambil keputusan, setelah pasien tersebut mendapat penjelasan yang menyeluruh mengenai konsekuensi dari keputusan tersebut.
d. Prosedur pengeluaran DNR 1) Ada minimal satu indikasi meng mengeluarkan eluarkan order DNR s sebagai ebagai berikut : a) Terminal illness b) GCS 3 dengan s satu atu atau lebih organ failure failure 2) Indikasi tersebut dilakuka dilakukan n oleh 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi dan 2 (dua) orang dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit. 3) Indikasi tersebut dikom dikomunikasikan unikasikan ke pas pasien ien / keluarga, dan pasien / keluarga diberikan waktu tanpa batas untuk mengambil keputusan. 4) Keputusan dari pasien / keluarga diberikan dalam bentuk tertulis, berupa PENOLAKAN TINDAKAN RESUSITASI JANTUNG PARU e. Keterlibatan keluarg keluarga a dalam mengeluarkan perintah D DNR NR 1) Persetujuan pas pasien ien yang d dinyatakan inyatakan m mampu ampu merupakan pertimbangan utama. 2) Bilamana pasien tidak berada dalam kondisi mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, maka keluarganya akan dapat mengambil keputusan untuk dirinya. 3) Keluarga yang berhak mengambil keputusan mengikuti SK Direktur tentang informed consent maupun peraturan pemerintah terkait. 4) Sedikitnya 2
anggota keluarga terdekat menanda-tangani form
PENOLAKAN TINDAKAN RESUSITASI JANTUNG PARU f.
Pengumuman DNR Pasien yang telah dinyatakan DNR diberikan tanda pada rekam medik. Pemberian tanda ini diatur dalam kebijkan tersendiri terkait dengan standarisasi lambang, simbol dan penandaan dari rekam medik pasien.
g. Pencabutan status DNR Status DNR dapat dicabut bila : 1) Ada anggota keluarga dengan tingkat kedekatan kedekatan 1 lev level el yang merasa keberatan dengan status DNR tersebut, kecuali kehendak langsung dari pasien. 2) Dokter berdasarkan perkembangan klinis pasien
menilai bahwa
prognosis pasien telah berubah dan bahwa pasien secara klinis
memiliki prognosis setidaknya Quo ad vitam dan Quo ad Functionam Dubia at Bonam. 3. Kebijakan menahan / mengh menghentikan entikan tindakan Li fe S upport upport “
”
a. Pengertian dan batasan 1) Menahan tindakan life support adalah kelompok tindakan yang meliputi a) Tidak memasang ventilator b) Tidak merubah setting ventilator (jika pasien sudah terpasang) c) Tidak
menaikkan
/
merubah
dosis
obat
inotropik
maupun
menambah jenis obat inotropik. 2) Menghentikan tindakan life support adalah kelompok tindakan yang meliputi : a) Menghentikan ventilator b) Menurunkan dosis obat inotropik pada pa pasien sien / menghentikan obat inotropik padahal fungsi kardiovaskular pasien masih belum optimal atau menurun. 3) Tidak termasuk dalam kategori ini adalah menghentikan tindakan resusitasi jantung paru sesuai indikasi b. Tujuan Untuk memfasilitasi penanganan dan pelayanan yang nyaman dalam proses penghentian. Kebijakan ini berlaku untuk pasien yang telah dinyatakan DNR atau dinyatakan akan dihentikan support kehidupannya. Kebijakan ini berlaku pula bagi pasien yang terintubasi dan terpasang ventilasi mekanik yang : 1) Berada dalam keadaan terminal dimana
“ life life
suppor t” t” ini hanya
menunda kematian yang tidak terhindarkan. 2) Keluaran / outcome terbaiknya adalah k kondisi ondisi kesehatan yang yang tidak sesuai dengan kehendak pasien yang didokumentasikan dalam rekam medik atau dipahami oleh keluarga atau walinya. c. Kebijakan menahan
pemasangan alat/
tindakan
penunjang hidup
(Withholding Life Support ) 1) Menahan life support dilakukan sesuai indikasi pada poin 3.2 di atas, namun di mana keluarga memilih pilihan ini daripada menghentikan life support.
2) Keputusan m menahan enahan pem pemasangan asangan alat / tindakan penunjang hidup ada di tangan DPJP setelah melakukan konsultasi dengan 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi dan 2 (dua) orang dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit. 3) Keputusan menahan pemasangan alat / tindakan penunjang hidup adalah keputusan medis dan etis, dan telah dikomunikasikan pada keluarga dengan hubungan 1 level, (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung), dan pihak keluarga telah memberikan persetujuan tertulis. 4) Bila perlu pihak dokter / rumah sakit dapa dapatt mengundang Komite Etik dan/atau Medikolegal untuk pengambilan keputusan ini. 5) Bila perlu, keluarga dapat meminta kehadiran rohaniawan dalam pengambilan keputusan ini. 6) Sebelum menahan tindakan penunjang hidup, dipersiapkan obat-obat yang menjamin kenyamanan pasien dalam proses ini, hingga pasien meninggal, termasuk di antaranya obat sedatif dan pain killer. 7) Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan pasien (sedatif dan pain killer), sesuai instruksi tertulis dokter (bisa dokter anestesi, DPJP atau dokter lain) dan didokumentasikan di rekam medik. Adapun tanda-tanda ketidaknyamanan ketidaknyamanan adalah : a. Penggunaan otot b bantu antu pernapasan. b. Respiratory rate lebih da dari ri 35/ 35/menit menit c. Gasping, gaduh batuk/tercekik.
dan/atau
peningkatan
respiratory
effort ,
d. Agitasi, gerakan yang ttidak idak perlu dari kepa kepala la lengan m maupun aupun tubuh, atau mimik wajah. e. Peningkatan heart rate atau m mean ean arterial pr pressure essure lebih da dari ri 20% diatas
kondis
sebelum
pencabutan/penghentian life
support
sebelum sedasi 8) Apabila dalam proses penaha penahanan nan tindakan penunjang hidup in inii ffungs ungsii vital pasien menurun, maka keluarga dihubungi untuk mendampingi, dan ditawarkan rohaniawan bilamana dirasa perlu oleh keluarga. Doa juga dapat dilakukan pada pasien yang ditahan life supportnya.
9) Pasien dapat dilanjutkan ke pencabutan/pengh pencabutan/penghentian entian life support atau dipertahankan sampai terjadi kematian alaminya. 10)Keluarga dapat memilih membawa pulang pasien yang belum dinyatakan meninggal, dan pemulangan diatur dengan ambulans yang memang telah dipersiapkan sebelum sebelumnya. nya. 11)Bila pasien meninggal di RS Haji Jakarta, maka berlaku prosedur penanganan pasien meninggal d. Kebijakan m mencabut encabut / menghentikan tindakan penunjang hidup 1) Keputusan menc mencabut abut / menghentikan ttindakan indakan penunjang hidup ada di tangan DPJP setelah melakukan konsultasi dengan 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi dan 2 (dua) orang dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit. 2) Keputusan
mencabut/meng mencabut/menghentikan hentikan
tindakan
penunjang
hidup
didasarkan indikasi medik yang jelas, dan telah dikomunikasikan pada keluarga dengan hubungan 1 tingkat, (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung), dan pihak keluarga telah memberikan persetujuan tertulis. 3) Bila perlu pihak dokter/Rumah Sakit dapat mengundang Komite Etik dan/atau Medikolegal untuk pengambilan keputusan ini. 4) Bila perlu, keluarga dapat meminta kehadiran rohaniawan dalam pengambilan keputusan ini. 5) Sebelum
pencabutan/penghen pencabutan/penghentian tian
tindakan
penunjang
hidup,
dipersiapkan obat-obat yang menjamin kenyamanan proses penghentian ini, hingga pasien meninggal, termasuk di antaranya obat sedatif dan pain killer. e. Pencabutan/penghentian tindakan penunjang hidup ini disaksikan oleh keluarga / wali (bila mana diinginkan), dokter maupun perawat Rumah Sakit Haji Jakarta, rohaniawan (bila mana diperlukan oleh keluarga / wali dapat dilakukan doa sebelum pencabutan). f.
Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan pasien (sedat (sedatif if dan pain killer), sesuai instruksi tertulis dokter (bisa dokter anestesi, DPJP atau dokter lain) dan didokumentasikan di rekam medik.
g. Pada saat obat tersebut diberikan ke pasien, monitor tanda-tanda ketidaknyamanan.
Bila
ada
tanda
ketidaknyamanan,
dokter
perlu
memerintahkan untuk meningkatkan pemberian obat yang memberikan kenyamanan
pasien.
Jangan
menghentikan
obat
yang
bertujuan
kenyamanan pasien walau terjadi bradikardi, hipotensi maupun penurunan kesadaran dalam. Adapun tanda-tanda ketidaknyamanan adalah : 1) Penggunaan otot ba bantu ntu pe pernapasan. rnapasan. 2) Respiratory rate leb lebih ih dari 35/menit 3) Gasping, gaduh dan/atau pen peningkatan ingkatan respiratory effort, ba batuk/tercekik. tuk/tercekik. 4) Agitasi, gerakan yang ttidak idak perlu dari kepala lengan maupun maupun tubuh, atau mimik wajah 5) Peningkatan hea heart rt rate atau mean arterial pr pressure essure lebih dari 20% di atas kondis sebelum pencabutan / penghentian life support sebelum sedasi i.
Dokumentasikan waktu proses pengentian / pencabuta pencabutan n life support dan juga alasan / indikasi penambaha penambahan n dosis obat yang meningkatkan kenyamanan.
j.
Monitoring pasien dapat dihentikan sesuai situasi kondisi atau jika dikehendaki oleh keluarga / wali.
k. Setelah life support dicabut / dihentikan, ditunggu respons fisiologis tersisa, dapat masih ada nafas yang tidak adekuat, ataupun denyut jantung yang tidak adekuat. Bilamana sudah berhenti, maka dapat dicek apakah pasien telah meninggal. l.
Keluarga da dapat pat m memilih emilih membawa membawa pulang p pasien asien yang belum dinyatakan meninggal, dan pemulangan diatur dengan ambulans yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.
m. Bila pasien meninggal di Rumah Sakit Haji Jakarta, maka berlaku prosedur penanganan pasien meninggal.
4. Kebijakan Menyatakan Mati Batan Batang g Ota Otak k a. Pengertian dan batasan Yang dimaksud Mati Batang Otak (MBO) adalah : 1) Suatu keadaan yang ditandai oleh m menghilangnya enghilangnya fungsi batang otak.
2) Diskontinuitas sys system tem neuronal saraf perifer ke kortek (syarat mutlak mutlak untuk kesadaran). b. Prosedur menyatakan Mati Batang O Ottak 1) Sebelum Tes Refleks Batang Otak Harus ada tanda-tanda fungsi batang otak telah hilang : a) Pasien koma b) Tidak ada sika sikap p abn abnormal ormal (dekortikas (dekortikasii atau deserebrasi) c) Tidak ada refleks batang otak : refleks okulosefalik d) Tidak ada sentakan epileptik e) Tidak ada nafas spontan Bila salah satu (+), batang otak : refleks otak masih hidup, maka tidak perlu tes refleks refl eks batang otak. 2) Lima Tes R Refleks efleks Batang Otak a) Tidak ada respon terhadap cahaya b) Tidak ada refleks kornea c) Tidak ada refleks v vestibule estibule - okuler d) Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik e) Tidak ada refleks m muntah untah (gag refleks) atau refleks batuk terhad terhadap ap rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan kedalam trakea. 3) Tes Apneu a) Pre oksigenas oksigenasii d dengan engan 100 % O2 selama 10 menit. b) Beri 5 % CO2 dalam 95% selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2 awal : 53 Kpa (40 torr). 4) Pengulangan Tes a) Tes ulang perlu dilakukan untuk m mencegah encegah kesalahan pengam pengamatan atan dan perubahan tanda-tanda. b) Interval waktu 25 menit - 24 jam tergantung rumah sakit dan rekomendasi yang dianut. c. Kewenangan menyatakan mati batang otak. Yang berhak menyatakan seorang pasien mati batang otak adalah dilakukan oleh 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi, dokter spesialis syaraf dan 1 (satu) dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit.
d. Penanganan setelah pas pasien ien dinyatakan Mati Batang Otak 1) Pengkomunikasian kepada keluarga merupakan langkah awal setelah pasien dinyatakan Mati Batang Otak (MBO). Keluarga yang diberi penjelasan adalah keluarga terdekat denga urutan prioritas mulai dari suami/istri, orang tua kandung, anak kandung dan terakhir saudara kandung. 2) Keluarga diberi penjelasan bahwa setelah pasien dinyatakan mati batang otak, maka akan dilakukan penghentian seluruh tindakan dengan sebelumnya sebelumny a mengkomunikas mengkomunikasikan ikan dengan keluarga. 3) Bilamana keluarga pas pasien ien belum dapat menerima, ma maka ka pihak rumah sakit memberi waktu kepada keluarga untuk melalui “fase denial ”. 4)
“Second
opinion” dapat diminta oleh pihak keluarga dalam fase denial ,
dan dalam hal ini, DPJP akan berkomunikasi dengan dokter yang diminta oleh pihak keluarga sebagai “second opinion” sesuai kebijakan RS Haji Jakarta tentang “second opinion”. 5) Selama “fase denial ” dokter dapat menolak melakukan tindakan medik invasif yang tidak sesuai dengan etika kedokteran bilamana perlu, namun dengan tetap mengomunikasikan mengomunikasikan kepada pihak keluarga. 5. Kebijakan pasien terminal yang memilih meninggal di rumah (tidak di di rumah sakit) sakit) a. Kebijakan 1) Pasien atau walinya yang sah dapat memutuskan untuk meninggal tidak di rumah sakit karena alasan agama/kepercayaan, budaya, adat istiadat, pertimbangan sosio-ekonomi lain dan geografis. 2) Keputusan untuk meninggal tidak di rumah sakit dilakukan secara tertulis dengan menanda tangani form
“informed
consent ” berupa
PERSETUJUAN MENGHENTIKAN PERAWATAN setelah mendapat penjelasan yang lengkap dari DPJP / tim dokter yang merawat mera wat mengen mengenai ai prognosis dan konsekuensi keputusan tersebut. 3) Rumah sakit menghormati keputusan pasien / walinya yang sah tersebut. 6. Kebijakan Euthanasia Euthanasia RS Haji Jakarta mengikuti k kebijakan ebijakan pemerintah RI untuk tidak mengijinkan dilakukannya euthanasia.
7. Pengelolaan ny nyeri eri (P ain Ma Mana nagg ement ement ) Nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan pada pasien terminal. Karena sifatnya yang menurunkan mutu sisa hidup pasien, maka nyeri harus mendapat penanganan secara tepat. Berbagai aspek terlibat dalam penanganan nyeri, seperti masalah ketergantungan fisik maupun psikologis, psikologis, membuat
dokter
ragu dalam penanganan nyeri yang adekuat. Untuk itu disusun kebijakan ini, yang dapat dijadikan pijakan bagi dokter Rumah Sakit Haji Jakarta dalam penanganan nyeri pada pasien terminal. a. Pengkajian Nyeri 1) Skrining nyeri Seluruh pasien baik rawat jalan maupun rawat inap dilakukan skrining terhadap nyeri. Skrining dilakukan dengan cara menanyakan apakah pasien merasakan nyeri. 2) Pengkajian ny nyeri eri meliputi lokasi, kualitasny kualitasnyeri, eri, derajat derajat nyeri. 3) Pengkajian derajat pengkajian pasien.
nyeri
sesuai dengan SK
Direktur
tentang
4) Pengkajian ulang nyeri dilakukan untuk menilai apakah penanganan penanganan nyeri yang diberikan adekuat atau tidak. b. Strategi penanganan nyeri Dilakukan sesuai kebijakan penanganan nyeri yang tertuang pada Kebijakan Penanganan Nyeri Nyeri Rumah Sakit Haji Jakarta.
DITETAPKAN DI :: 03 JAKARTA PADA TANGGAL SEPTEMBER 2012 DIREKTUR
RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA
dr. H. Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, K-GEH, FINASIM, FACP, M. Kes. Kes.
View more...
Comments