Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung

April 23, 2017 | Author: Aman Damai | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Pengelolaan Pesisir dan Laut, Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut, Pendekatan Sistem Dinamik...

Description

SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR: STUDI KASUS TELUK LAMPUNG Disertasi ABDULLAH AMAN DAMAI, C261040031, SPs-IPB 2012 Dibimbing: MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, dan ERNAN RUSTIADI © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Alamat: Jl. Nusa Indah V No. 5 Taman Cimanggu, Bogor 16131 0251-8343790; 08129483572 [email protected]

SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR: STUDI KASUS TELUK LAMPUNG

ABDULLAH AMAN DAMAI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 !

"

#!$ $

!

"

#!$ $

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir: Studi kasus Teluk Lampung, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Abdullah Aman Damai C261040031

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

ABSTRACT ABDULLAH AMAN DAMAI. Spatial planning system of coastal area: Lampung Bay case study. Under direction of MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, and ERNAN RUSTIADI. Coastal area is complex and dynamic in nature, and also vulnerable against stress. On the other side, it has various resources and environment services, and hence tend to be overexploited. For that reason, conflict of space utilization whether intersectors or internal sector, and various of stakeholders’ interest, became an ordinary problem. The conflict has to be prevailed through a proper administration spatial management based on spatial planning that might accommodate economic and population growth, and also implementable. Through the system approach, comprehensive spatial planning of coastal area could be met, which able to accommodate stakeholders’ interest. Due to its complexity, in which various activities and stakeholders are present, coastal area of Lampung Bay was determined as study area. The research was aimed to develop an approach of spatial planning of coastal area that integrate waters and terrestrial space, in a system framework with participatory features. The research was carried out through system dynamics approach that incorporated with geographic information system. Furthermore, participatory prospective analysis for mapping stakeholders’ need, and regional analysis, was prepared. The result showed that: (1) system approach is able to provide a scenario of coastal area spatial planning comprehensively, in which waters and terrestrial space could be integrated through simultaneous analysis of components of system and their interactions, and further intervention on it; (2) stakeholders involvement through participatory prospective analysis is the key of simplification of spatial policies formulation, in which various of interest in an area could be accommodated; (3) main components of system (i.e. population, economic activities, and space availability) in coastal area of Lampung Bay, are interrelated and interdependent, and in order to achieve sustainable relation among them until the end of analysis (year 2029), consequently it has to be attained and maintained a proportion of protected area as 54,482 ha (42.09%) of land and 4,822 ha (3.02%) of waters; (4) accomplishment of spatial planning of coastal area of Lampung Bay require conversion of a part of production area (50.67%) to become protected area, and development of service centers and infrastructure networks; and (5) Suggestions of space alocation and service center hierarchies, could be prepared based on model simulation of condition and regional capabilities of Lampung Bay coastal area, the scenario could accommodate stakeholders’ need toward the sustainable regional development Keywords: coastal area, spatial planning, system dynamics, Lampung Bay.

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

RINGKASAN ABDULLAH AMAN DAMAI. Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir: Studi kasus Teluk Lampung. Dibimbing MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, dan ERNAN RUSTIADI. Penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wlayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang. Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demikian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan Pendekatan sistem dapat memberikan pemahaman fenomena dunia nyata secara komprehensif. Wilayah pesisir yang kompleks, dapat dipandang sebagai suatu sistem, dengan komponen utama terdiri dari populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang. Melalui pemodelan sistem, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut. Dengan demikian, melalui intervensi terhadap sistem, dapat dihasilkan perencanaan tata ruang terpadu, komprehensif, dan akomodatif terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagai wilayah pesisir yang kompleks dengan beragam aktivitas, Teluk Lampung dipilih sebagai lokasi penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Pendekatan penelitian melalui sistem dinamik dengan pemodelan deterministik, yang mampu mengkaji sistem kompleks. Pemetaan kebutuhan para pemangku kepentingan menggunakan analisis prospektif partispatif, dan penyajian spasial menggunakan sistem informasi geografis. Wilayah penelitian meliputi: (1) daratan kecamatan di Kota Bandar Lampung (Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, dan Panjang), Kabupaten Lampung Selatan (Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni), dan Kabupaten Pesawaran (Padang Cermin dan Punduh Pidada); dan (2) perairan Teluk Lampung antara 105o11’-105o43’ BT dan 5o26’-5o59’ LS. Pemodelan sistem dinamik terdiri dari tiga sub-model, yaitu populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Proses validasi dilakukan meliputi struktur (kesesuaian dan konsistensi dimensi) dan perilaku model. Validasi menunjukkan bahwa terdapat cukup alasan untuk menggunakan model dalam menggambarkan dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung. Simulasi model dilakukan dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2029. Kebutuhan para pemangku kepentingan dipetakan dari analisis prospektif partisipatif melalui forum pertemuan 27 partisipan, yang berlatar belakang: nelayan dan pembudidaya ikan, pengusaha, institusi pemerintah daerah, dan perguruan tinggi setempat. Secara konsensus terpilih 6 variabel yang paling

!

"

#!$ $

berpengaruh, yaitu: kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir, penegakan hukum, pertumbuhan penduduk, infrastruktur wilayah, aktivitas ekonomi kerakyatan, dan zonasi wilayah. Keenam variabel terpilih tersebut merupakan representasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Partisipan juga merumuskan empat skenario berdasarkan kombinasi dari kondisi variabel terpilih. Di dalam pengembangan model, skenario tersebut diterjemahkan dalam variasi nilai parameter peubah “kebijakan”, yaitu: optimis, bernilai 1; moderat, bernilai 0,75; pesimis, bernilai 0,25; dan sangat pesimis, bernilai 0. Kemudian masingmasing skenario disimulasi. Simulasi sub-model populasi, menunjukkan bahwa populasi skenario optimis meningkat lebih besar, pada tahun 2029 mencapai 763 ribu orang, sedangkan pada skenario sangat pesimis hanya mencapai 663 ribu orang. Populasi skenario optimis yang lebih tinggi, disumbang dari imigrasi yang masuk ke wilayah pesisir lebih besar daripada skenario lainnya. Di sisi lain, tingkat pengangguran pada skenario optimis lebih rendah daripada skenario lainnya, karena perekonomian menjadi lebih baik. Simulasi sub-model aktivitas ekonomi menunjukkan perbedaan antar skenario. Aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) pada skenario optimis menjadi sekitar Rp 14,06 triliun pada tahun 2029, pada skenario sangat pesimis hanya meningkat menjadi Rp 7,41 triliun. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan besarnya peubah investasi, yang ditentukan oleh perbedaan ”inkonsistensi tata ruang”, ”degradasi sumberdaya pesisir”, dan ”kendala ruang”. Simulasi sub-model ketersediaan ruang, menunjukkan bahwa lahan pertanian skenario sangat pesimis, relatif tetap, yaitu dari 105,2 ribu ha pada tahun 2003, menjadi 103,4 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan pada skenario optimis menurun tajam menjadi 51,9 ribu ha. Secara keseluruhan, skenario sangat pesimis memerlukan total kebutuhan lahan untuk kawasan budidaya (terutama pertanian) yang paling besar daripada skenario lainnya, yaitu mencapai 120,3 ribu ha pada tahun 2029. Skenario optimis hanya membutuhkan 73,9 ribu ha, karena terdapat kebijakan dihentikannya perluasan lahan pertanian dan dilakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan lindung. Luas pemanfaatan umum perairan antar skenario tidak berbeda tajam, kecuali perikanan budidaya. Perluasan perairan perikanan budidaya terjadi secara signifikan pada skenario optimis, yaitu dari awal simulasi hanya 8,0 ribu ha, meningkat menjadi 11,9 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan untuk skenario sangat pesimis hanya mencapai 8,8 ribu ha. Secara keseluruhan, luas total kawasan pemanfaatan umum perairan (perikanan dan nonperikanan) pada skenario optimis akan berjumlah 133,5 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan skenario sangat pesimis hanya mencapai 130,4 ribu ha. Perbedaan antar skenario tersebut bersumber dari perairan perikanan budidaya. Peubah “kebijakan” pada masing-masing skenario, memberikan inkonsistensi tata ruang (penggunaan ruang untuk kawasan budidaya darat dan/atau pemanfaatan umum perairan yang seharusnya berfungsi lindung) yang berbeda-beda. Inkonsistensi tersebut telah terjadi sejak dimulainya simulasi (tahun 2003), yaitu seluas 38,0 ribu ha. Pada skenario sangat pesimis, inkonsistensi tata ruang akan terus meningkat, hingga pada tahun 2029 akan mencapai luas 46,7 ribu ha. Inkonsistensi tata ruang mempengaruhi kendala ruang, dan terhubung pada sub-model populasi dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan jumlah penduduk, tingkat pengangguran, investasi, dan aktivitas ekonomi yang berbeda-

!

"

#!$ $

beda. Pada akhirnya, sistem secara keseluruhan akan memberikan rente ruang (produk ruang per luas wilayah) kawasan budidaya darat dan pemanfaatan umum perairan yang berbeda-beda pula. Penurunan inkonsistensi tata ruang akan memberikan peningkatan rente ruang. Skenario optimis akan memberikan rente ruang tertinggi, yaitu mencapai Rp 67,80 juta per ha pada tahun 2029. Pada tahun yang sama, skenario moderat, pesimis, dan sangat pesimis, hanya berturut-turut Rp 56,46 juta per ha, Rp 31,56 juta per ha, dan Rp 29,57 juta per ha Pemilihan skenario didasarkan pada 11 kriteria yang merupakan pewakil dari 6 variabel kebutuhan para pemangku kepentingan, dengan menggunakan indeks kinerja komposit (CPI). Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya skenario optimis yang paling mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan, dengan demikian perencanaan pola dan struktur ruang mengacu pada parameter dan nilai awal model skenario optimis. Hasil analisis kesesuaian ruang menunjukkan bahwa kebutuhan ruang daratan dan perairan sampai tahun 2029, dapat dipenuhi. Berdasarkan analisis wilayah yang meliputi location quotient (LQ), localization index (LI), specialization index (SI), dan skalogram, dapat dirumuskan kebijakan struktur dan pola ruang. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan: (1) Pendekatan sistem dapat memberikan skenario perencanaan wilayah pesisir yang komprehensif, yaitu memadukan ruang daratan dan perairan dengan semua komponen sistem dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan serta dilakukan intervensi; (2) Pelibatan pemangku kepentingan melalui analisis prospektif partisipatif, merupakan kunci yang mempermudah perumusan kebijakan tata ruang yang akomodatif terhadap berbagai kepentingan dalam satu wilayah yang sama; (3) Komponen utama sistem berupa populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung menunjukkan keterkaitan dan saling mempengaruhi, untuk menjaga hubungan antar komponen secara berkelanjutan, sampai akhir analisis (pada tahun 2029) harus dicapai dan dipertahankan suatu proporsi kawasan lindung daratan seluas 54.482 ha (42,09%) dan konservasi perairan 4.822 ha (3,02%); (4) Perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung mensyaratkan dilakukannya konversi sebagian kawasan budidaya (50,67%) menjadi kawasan lindung, serta pengembangan pusat-pusat pelayanan dan jaringan prasarana wilayah; dan (5) Arahan alokasi ruang dan hierarki pusat pelayanan dapat dirumuskan sesuai simulasi model berdasarkan kondisi dan kemampuan wilayah pesisir Teluk Lampung, skenario ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam menuju pengembangan wilayah yang berkelanjutan. Disarankan: (1) Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, yang meliputi keseluruhan wilayah pesisir Teluk Lampung, agar dilakukan perencanaan wilayah yang lebih detil, pengaturan zonasi, dan segera melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh; dan (2) untuk pelaksanaan penelitian pada tingkat wilayah yang lebih detil agar dilakukan dengan pemodelan probabilistik, dengan demikian aspek ketidakpastian dapat lebih diakomodasi. Kata kunci: wilayah pesisir, perencanaan tata ruang, sistem dinamik, Teluk Lampung.

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR: STUDI KASUS TELUK LAMPUNG

ABDULLAH AMAN DAMAI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 !

"

#!$ $

Penguji pada Ujian Tertutup :

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Dr. Ir. Setia Hadi, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka :

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc.

!

"

#!$ $

Judul Disertasi Nama Mahasiswa NIM

: Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung : Abdullah Aman Damai : C261040031

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Ketua

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Anggota

Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si. Anggota

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota

Diketahui: Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 16 November 2011

Tanggal Lulus:

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH Alur pelayaran merupakan bagian dari perairan yang alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari. Bakosurtanal = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bapedalda = Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah. Bappeda = Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. BBM = bahan bakar minyak. BOD = biological oxygen demand (kebutuhan oksigen biologis), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk melangsungkan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan zat terlarut dan tersuspensi di dalam air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. BPMD = Badan Penanaman Modal Daerah. BPS = Badan Pusat Statistik. BT = Bujur Timur. CA = cellular automata. CAPSA = centre for alleviation of poverty through secondary crops’ development in Asia and the Pacific. CMARIS = coastal and marine resource information system. COD = chemical oxygen demand (kebutuhan oksigen kimiawi), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk melangsungkan proses kimiawi (oksidasi) zat terlarut dan tersuspensi di dalam air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. CPI = composite performance index (indeks kinerja gabungan). CPO = crude palm oil (minyak kelapa sawit). CRMP = coastal resources management project. DAS = daerah aliran sungai. Dishidros = Dinas Hidrooseanografi. DKP = Departemen Kelautan dan Perikanan. DLKp = daerah lingkungan kepentingan (perairan), merupakan wilayah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. DLKr = daerah lingkungan kerja (perairan), merupakan wilayah perairan pada pelabuhan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan kepelabuhanan.

!

"

#!$ $

DO = disolved oxygen (oksigen terlarut), merupakan jumlah oksigen yang tersedia dalam kolom air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. DUKS = dermaga untuk kepentingan sendiri. ESRI = Environmental Systems Research Institute, Inc. FGD = fish gathering device (alat pengumpul ikan), merupakan alat yang ditanam dalam kolom air secara permanen, yang berfungsi sebagai pengumpul ikan, seperti rumpon. GIS = geographic information systems (sistem informasi geografis, SIG), merupakan sistem perangkat keras dan lunak berbasis komputer, yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi tentang area di permukaan bumi. HAB = harmful algal blooms. HPS = High Performance Systems, Inc. I/D = influence/dependence (pengaruh/ketergantungan). IP = indeks pelayanan. IUU = illegal, unreported and unregulated (ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak mengikuti peraturan). KJA = keramba jaring apung. knot adalah satuan laju, yaitu mil laut/jam (1,85 km/jam), biasa digunakan untuk satuan laju arus laut dan angin. KSN = kawasan strategis nasional. KUD = koperasi unit desa. Lanal = Pangkalan Angkatan Laut. LAPAN = Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. LI = localization index (indeks lokalisasi). LQ = location quotient (quasi lokasi). LS = Lintang Selatan. LSM = lembaga swadaya masyarakat. MCDM = multicriteria decision making (pembuatan keputusan kriteria jamak). MIT = Massachusetts Institute of Technology. Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. MSL = mean sea level. Pasut = pasang surut. Pemangku kepentingan, lihat: stakeholder(s)

!

"

#!$ $

Partisipasi merupakan keterlibatan atau mengambil bagian secara aktif dalam suatu proses. PDRB = produk domestik regional bruto, merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi; PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB-ADHB) merupakan PDRB yang dihitung menggunakan harga pada tahun yang bersangkutan; dan PDRB atas dasar harga konstan (PDRB-ADHK) merupakan PDRB yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai dasar (dalam penelitian ini adalah tahun 2000). Pelindo = Pelabuhan Indonesia, PT. Pendekatan sistem merupakan pendekatan penelitian yang terdiri dari beberapa tahap proses, yaitu penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem. PKL = Pusat Kegiatan Lokal. PKN = Pusat Kegiatan Nasional. PKW = Pusat Kegiatan Wilayah. PKWp = Pusat Kegiatan Wilayah Provinsi. PPA = participatory prospective analysis (analisis prospektif partisipatif) merupakan adaptasi dari berbagai metode komprehensif yang dikemas dalam suatu kerangka kerja operasional yang komprehensif dan cepat, dengan tahapan: penentuan/definisi sistem, identifikasi variabel sistem, definisi variabel kunci, analisis pengaruh antar variabel, interpretasi dari pengaruh dan ketergantungan antar variabel, pendefinisian kondisi (state) variabel di masa datang, pembangunan skenario, serta penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif. PTBA = Bukit Asam, PT. RePPProT = regional physical planning programme for transmigration. RTP = rumah tangga perikanan, merupakan rumah tangga dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan atau pembudidaya ikan. RTRW = rencana tata ruang wilayah. SDA = sumberdaya alam. SDM = sumberdaya manusia. SDSS = spatial decision support system (sistem penunjang keputusan spasial). SDWM = system dynamics watershed model (model sistem dinamik daerah aliran sungai). SHE = sibernetik, holistik, dan efektif. SI = specialization index (indeks spesialisasi).

!

"

#!$ $

Sistem adalah sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem dinamik merupakan suatu metode dalam mempelajari sifat-sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interrelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan penundaan (delay), dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Sistem lahan merupakan pengelompokan lahan berdasarkan tipe fisiografik, yang antara lain meliputi pegunungan, perbukitan, dataran, dan rawa. Di dalam wilayah penelitian terdapat 22 sistem lahan, yang meliputi: AHK (Air Hitam Kanan), BBG (Bukit Balang), BBR (Bukit Barangin), BGA (Batang Anai), BLI (Beliti), BMS (Bukit Masung), BTA (Batu Ajan), BTK (Barong Tongkok), KHY (Kahayan), KJP (Kajapah), KNJ (Kuranji), LBS (Lubuk Sikaping), MBI (Muara Beliti), PKS (Pakasi), PLB (Pidoli-dombang), SAR (Sungai Aur), SKA (Sukaraja), SMD (Sungai Medang), TGM (Tanggamus), TLU (Talamau), TWI (Telawi), dan UBD (Ulubandar). SME = spatial modeling environment (pemodelan lingkungan spasial). SSME = Sulu-Sulawesi marine ecoregion. Stakeholder(s) diterjemahkan sebagai “pemangku kepentingan” adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumberdaya tertentu. STORET-EPA = short for STOrage and RETrieval - Environmental Protection Agency (US). Tidal range (tunggang pasut), merupakan beda tinggi muka air laut antara pasang dan surut. Tide (pasang surut, pasut), merupakan merupakan proses naik turunnya muka air laut, yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. TELPP = Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper, PT. TNI-AL = Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut. TSS

= total suspended solid (padatan tersuspensi total), merupakan jumlah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan organik dan anorganik yang tidak lolols saringan berpori 0,45 m.

UMKM = usaha mikro, kecil, dan menengah. USDA = United States Department of Agriculture. UU = Undang-undang. WWF = World Wide Fund for Nature. ZEE = zona ekonomi eksklusif.

!

"

#!$ $

PRAKATA Berkat limpahan rahmat dan ridlo Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulisnya dalam bentuk disertasi. Melalui disertasi ini penulis berupaya untuk dapat memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan daerah Lampung. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., Prof. Dr. Ir. Marmin, M.Sc., Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si., dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku komisi pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, M.Sc. dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Sc. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing, pada ujian pra kualifikasi. Kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing pada ujian tertutup. Demikian juga kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing pada ujian terbuka. Kepada seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi SPL khususnya, serta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Sekolah Pascasarjana IPB umumnya, yang telah menambah ilmu dan wawasan serta membantu penulis selama menempuh studi, dengan tulus disampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian, Rektor, serta seluruh dosen dan karyawan Universitas Lampung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3. Kepada seluruh unsur Pemerintah Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih. Kepada seluruh lembaga pemerintah dan swasta, serta masyarakat luas dan LSM, di wilayah pesisir Teluk Lampung; yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih. Kepada seluruh teman mahasiswa SPL, penulis ucapkan banyak terima kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan. Kepada seluruh teman di Lampung yang telah memberikan dukungan material dan semangat, dan seluruh pihak yang telah membantu, dengan tulus penulis sampaikan rasa terima kasih. Kepada Buya dan Umi, serta seluruh keluarga besar yang telah mendidik, membesarkan, dan membantu penulis dengan tulus, hanya rasa terima kasih yang dapat disampaikan. Akhirnya secara khusus kepada Icoen, Sha-sha, Abang, dan Adek Tia tercinta, yang terus mendampingi, mendorong, dan membantu penulis, hanya rasa terima kasih dan cinta mendalam yang dapat kupersembahkan. Semoga seluruh amal perbuatan di atas mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amin. Bogor, Januari 2012

Abdullah Aman Damai

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 1 Mei 1965, sebagai anak ke enam dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Abdul Madjid (almarhum) dan Siti Idjabah (almarhumah). Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Nelly, anak ke tujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Ibrahim Hanafiah (almarhum) dan Tuti Dewi Nasution (almarhumah). Penulis telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Amalia Shafira Damai (perempuan, lahir tahun 1995), Farras Naufal Damai (lakilaki, lahir tahun 2004), dan Ashila Meutia Damai (perempuan, lahir tahun 2009). Pada tahun 1989, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebagai dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pendidikan strata satu (S1) diselesaikan pada tahun 1988 dari Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pendidikan strata dua (S2) diselesaikan pada tahun 2003 dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan strata tiga (S3) pada Program Studi SPL, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

!

"

#!$ $

!

"

#!$ $

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ----------------------------------------------------------------

xxix

DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------

xxxi

DAFTAR TABEL LAMPIRAN -----------------------------------------------

xxxv

1

PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------1.1 Latar Belakang --------------------------------------------------------1.2 Tujuan dan Manfaat --------------------------------------------------1.3 Perumusan Masalah --------------------------------------------------1.4 Definisi Operasional -------------------------------------------------1.5 Lingkup Penelitian ---------------------------------------------------1.6 Kerangka Konsepsional -----------------------------------------------

1 1 5 5 8 12 13

2

TINJAUAN PUSTAKA ---------------------------------------------------2.1 Wilayah dan Wilayah Pesisir ---------------------------------------2.2 Teori Sistem -----------------------------------------------------------2.3 Sistem dan Model -----------------------------------------------------2.4 Penelitian Partisipatif ------------------------------------------------2.5 Perencanaan Tata Ruang Partisipatif ------------------------------2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) ---------------------------------2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu ---------------------------------------

23 23 28 31 34 39 43 45

3

METODE PENELITIAN --------------------------------------------------3.1 Pendekatan Penelitian ------------------------------------------------3.2 Wilayah Penelitian ---------------------------------------------------3.3 Kerangka Pemikiran dan Analisis ----------------------------------3.4 Batas Sistem -----------------------------------------------------------3.5 Tahapan Pendekatan Sistem ----------------------------------------3.6 Analisis Prospektif Partisipatif -------------------------------------3.7 Pemodelan Sistem ----------------------------------------------------3.7.1 Faktor-faktor penyusun model -----------------------------3.7.2 Blok bangunan dasar dan persamaan dalam model -----3.8 Analisis SIG -----------------------------------------------------------3.9 Data dan Analisis -----------------------------------------------------3.9.1 Analisis biofisik wilayah -----------------------------------3.9.2 Analisis pemilihan skenario --------------------------------3.9.3 Analisis ekonomi wilayah dan kewilayahan -------------3.9.4 Metode manual alokasi pola ruang -------------------------

49 49 49 49 54 56 57 62 63 64 67 70 71 71 73 80

4

KONDISI UMUM DAN ANALISIS WILAYAH PESISIR TELUK LAMPUNG -------------------------------------------------------4.1 Fisik Wilayah ---------------------------------------------------------4.1.1 Luas wilayah --------------------------------------------------4.1.2 Geologi pantai dan sistem lahan ---------------------------4.1.3 Fisik kimia perairan -----------------------------------------4.1.4 Biologi perairan -----------------------------------------------

83 83 83 84 88 95

!

"

#!$ $

xxvi Halaman 4.2 Kependudukan --------------------------------------------------------4.2.1 Jumlah, kepadatan, dan pertumbuhan penduduk --------4.2.2 Tenaga kerja --------------------------------------------------4.2.3 Keluarga dan keluarga miskin -----------------------------4.2.4 Rumah tangga perikanan ------------------------------------4.3 Ekonomi Wilayah -----------------------------------------------------4.3.1 Produk domestik regional bruto (PDRB) -----------------4.3.2 Struktur perekonomian --------------------------------------4.3.3 Sektor ekonomi basis ----------------------------------------4.3.4 Daya saing sektor ekonomi ---------------------------------4.3.5 Investasi -------------------------------------------------------4.4 Prasarana dan Sarana Wilayah --------------------------------------4.4.1 Jalan dan rel kereta api --------------------------------------4.4.2 Pelabuhan dan dermaga -------------------------------------4.4.3 Prasarana wisata pantai -------------------------------------4.4.4 Armada kapal nelayan ---------------------------------------4.4.5 Koperasi -------------------------------------------------------4.5 RTRW Terkait Teluk Lampung -------------------------------------

99 99 101 102 103 104 104 104 107 108 111 112 112 113 114 115 116 117

5

ANALISIS PROSPEKTIF PARTISIPATIF ----------------------------5.1 Penentuan Variabel Kunci -------------------------------------------5.2 Analisis Pengaruh Antar-Variabel Kunci -------------------------5.3 Penentuan Kondisi Variabel Kunci di Masa Depan -------------5.4 Pembangunan Skenario ----------------------------------------------5.5 Implikasi Strategis dan Aksi Antisipatif --------------------------5.6 Hubungan Analisis Prospektif Partisipatif dengan Pemodelan --

123 123 128 132 134 136 137

6

ANALISIS SISTEM -------------------------------------------------------6.1 Pemodelan Sistem Dinamik -----------------------------------------6.1.1 Sub-model -----------------------------------------------------6.1.2 Nilai awal dan parameter -----------------------------------6.1.3 Validasi model -----------------------------------------------6.2 Informasi Geografis Wilayah ---------------------------------------6.2.1 Penutupan lahan ----------------------------------------------6.2.2 Kemampuan lahan -------------------------------------------6.2.3 Penggunaan perairan ----------------------------------------6.2.4 Jaringan transportasi -----------------------------------------6.3 Kecenderungan Sistem -----------------------------------------------6.3.1 Populasi -------------------------------------------------------6.3.2 Aktivitas ekonomi -------------------------------------------6.3.3 Penggunaan ruang --------------------------------------------

139 139 139 140 144 147 147 148 154 155 159 161 162 165

7

KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR -----------------7.1 Simulasi Skenario ----------------------------------------------------7.1.1 Kebutuhan pemangku kepentingan dari analisis prospektif partisipatif ----------------------------------------7.1.2 Asumsi-asumsi dalam pengembangan model ------------7.1.3 Simulasi sub-model populasi --------------------------------

171 171

!

"

#!$ $

171 174 176

xxvii Halaman 7.1.4 Simulasi sub-model aktivitas ekonomi -------------------7.1.5 Simulasi sub-model ketersediaan ruang ------------------7.1.6 Pemilihan skenario ------------------------------------------7.2 Kebijakan Pola dan Strukur Ruang --------------------------------7.2.1 Kebutuhan dan kesesuaian ruang --------------------------7.2.2 Karakteristik kewilayahan dan pusat pelayanan ---------7.2.3 Arahan pola ruang -------------------------------------------7.2.4 Arahan struktur ruang ---------------------------------------7.3 Strategi Implementasi Kebijakan Tata Ruang ---------------------

178 182 192 195 195 203 206 214 219

KESIMPULAN DAN SARAN -------------------------------------------8.1 Kesimpulan ------------------------------------------------------------8.2 Saran ---------------------------------------------------------------------

223 223 224

DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------

225

LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------1 Perbedaan sistem perencanaan spasial -------------------------------2 Sistem lahan wilayah penelitian---------------------------------------3 Nilai awal dan parameter ---------------------------------------------4 Persamaan dalam model ----------------------------------------------5 Kriteria analisis SIG ---------------------------------------------------6 Daftar investasi langsung swasta ------------------------------------7 Potensi desa untuk skalogram ----------------------------------------8 Validasi model dinamik -----------------------------------------------9 Data simulasi skenario model dinamik -----------------------------10 Pemilihan skenario model dinamik ----------------------------------

235 235 239 243 257 265 269 271 275 277 311

8

!

"

#!$ $

xxviii

!

"

#!$ $

xxix DAFTAR TABEL Halaman 1

Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan -------------

21

2.

Tipologi partisipasi --------------------------------------------------------

36

3

Tahapan dalam analisis prospektif partisipatif ------------------------

59

4

Data dan informasi yang dikumpulkan ---------------------------------

70

5

Luas daratan wilayah penelitian -----------------------------------------

83

6

Luas perairan wilayah penelitian ----------------------------------------

83

7

Satuan geologi lingkungan pantai Teluk Lampung -------------------

85

8

Ringkasan sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------

86

9

Arus pasut di Teluk Lampung -------------------------------------------

89

10

Arah dan tinggi maksimum kejadian gelombang ---------------------

92

11

Kualitas air Teluk Lampung ---------------------------------------------

93

12

Kualitas air Teluk Lampung berdasarkan Metode Storet-EPA -----

95

13

Komponen pertumbuhan penduduk -------------------------------------

100

14

Penduduk usia lebih dari 15 tahun di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

101

Lapangan usaha pekerja di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

102

Jumlah keluarga dan bangunan rumah di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

102

PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung per lapangan usaha -------------------------------------------------------------

106

18

PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung per kecamatan --------------

106

19

Nilai LQ sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung ----------

108

20

Komponen pergeseran-pertumbuhan wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

110

21

Daya saing sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung -------

111

22

Jalan dan rel kereta api di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------

113

23

Lokasi terminal di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------

113

24

Lokasi pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir Teluk Lampung

114

25

Lokasi prasarana wisata pantai di wilayah pesisir Teluk Lampung

115

26

Armada nelayan di wilayah pesisir Teluk Lampung -----------------

116

27

Jenis dan sebaran koperasi di wilayah pesisir Teluk Lampung -----

117

15 16 17

!

"

#!$ $

xxx Halaman 28

Variabel pengaruh yang diidentifikasi oleh partisipan ---------------

124

29

Variabel pengaruh yang diidentifikasi dan didefinsikan oleh partisipan --------------------------------------------------------------

125

30

Variabel yang disimpulkan paling berpengaruh oleh partisipan ----

127

31

Skor pengaruh antar-variabel yang dinilai oleh partisipan -----------

129

32

Skor kekuatan variabel global tertimbang ------------------------------

132

33

Kondisi variabel yang ditetapkan oleh partisipan secara konsensus

133

34

Ringkasan beberapa nilai awal dan parameter model ----------------

143

35

Pengujian nilai tengah data historis dan data pemodelan ------------

147

36

Penutupan lahan wilayah penelitian -------------------------------------

150

37

Kelas kemampuan lahan wilayah penelitian ---------------------------

150

38

Penggunaan ruang perairan Teluk Lampung --------------------------

154

39

Rekapitulasi simulasi sub-model populasi -----------------------------

178

40

Rekapitulasi simulasi sub-model aktivitas ekonomi ------------------

182

41

Rekapitulasi simulasi sub-model ketersediaan ruang -----------------

191

42

Kriteria dan bobot kinerja CPI -------------------------------------------

194

43

Rekapitulasi hasil analisis CPI -------------------------------------------

194

44

Kebutuhan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------

195

45

Kesesuaian ruang wilayah pesisir Teluk Lampung -------------------

196

46

Nilai LQ sektor ekonomi per kecamatan -------------------------------

203

47

Nilai LI sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung ------------

204

48

Nilai SI per kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung ----------

205

49

Nilai IP skalogram per kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------------------------------------

206

Arahan alokasi pola ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang memenuhi skenario optimis ---------------------------------------

207

Arahan hierarki pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

215

50 51

!

"

#!$ $

xxxi DAFTAR GAMBAR Halaman 1

Klasifikasi perencanaan tata ruang -------------------------------------

15

2

Rejim perencanaan spasial di Indonesia -------------------------------

17

3

Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan -------------------------------------------------------------------

19

Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan --------------------------------------------------------------

20

5

Sistematika konsep-konsep wilayah ------------------------------------

24

6

Wilayah pesisir dan sistem sumberdaya pesisir ----------------------

26

7

Prinsip dasar metode analisis prospektif partisipatif -----------------

38

8

Sistem penataan ruang ----------------------------------------------------

40

9

Struktur penyelenggaraan penataan ruang -----------------------------

41

10

Beberapa penelitian terdahulu yang dirujuk dan berkaitan dengan penelitian -------------------------------------------------------------------

48

11

Peta batas wilayah penelitian --------------------------------------------

50

12

Kerangka pemikiran penelitian ------------------------------------------

52

13

Kerangka alur analisis penelitian ---------------------------------------

53

14

Komponen sistem dan interaksinya, serta arah kebijakan dan implikasinya ---------------------------------------------------------------

55

15

Tahap analisis sistem dinamik -------------------------------------------

57

16

Model secara global -------------------------------------------------------

62

17

Bagan alir interpretasi citra satelit --------------------------------------

68

18

Bagan alir analisis sistem informasi geografis (SIG) ----------------

69

19

Peta sistem Lahan ---------------------------------------------------------

87

20

Peta perairan ---------------------------------------------------------------

90

21

Distribusi jumlah dan kepadatan penduduk wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

100

Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dan produksi ikan segar di wilayah pesisir Teluk Lampung -----------------------------------------

103

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung dan wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

105

24

Pangsa sektor terhadap PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung ----

107

25

Investasi langsung swasta di wilayah pesisir Teluk Lampung -----

112

26

Peta RTRW terkait Teluk Lampung ------------------------------------

121

4

22 23

!

"

#!$ $

xxxii Halaman 27

Pengaruh langsung antar variabel PPA --------------------------------

130

28

Pengaruh tidak langsung antar variabel PPA --------------------------

130

29

Pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel PPA ---------

131

30

Sub-model populasi -------------------------------------------------------

141

31

Sub-model aktivitas ekonomi --------------------------------------------

141

32

Sub-model ketersediaan ruang ------------------------------------------

142

33

Hubungan antara populasi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung -------------------------

145

Hubungan antara aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung -------------------------

145

Hubungan antara aktivitas ekonomi dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------

146

36

Peta penutupan lahan -----------------------------------------------------

151

37

Peta kemampuan lahan ---------------------------------------------------

152

38

Peta penggunaan ruang perairan ----------------------------------------

156

39

Peta orientasi transportasi ------------------------------------------------

160

40

Kecenderungan populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------

162

Kecenderungan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) dan investasi di wilayah pesisir Teluk Lampung -------------

163

Dinamika produk sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun 2000 di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------

164

Kecenderungan penggunaan ruang perkotaan dan permukiman di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------

166

Kecenderungan penggunaan lahan pertanian di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------------------------------------------------

166

Kecenderungan penggunaan ruang budidaya pesisir (tambak) dan budidaya laut di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------------

167

Kecenderungan luas lahan total dan lahan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------

168

Kecenderungan luas perairan total dan pemanfaatan umum perairan di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------------------------

169

48

Skenario perkembangan populasi ---------------------------------------

176

49

Skenario perkembangan angkatan kerja -------------------------------

176

50

Skenario perkembangan lapangan kerja -------------------------------

176

34 35

41 42

43 44 45 46 47

!

"

#!$ $

xxxiii Halaman 51

Skenario perkembangan tingkat pengangguran -----------------------

176

52

Skenario perkembangan imigrasi ---------------------------------------

177

53

Skenario perkembangan emigrasi ---------------------------------------

177

54

Skenario perkembangan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) -----------------------------------------------------------------

179

55

Skenario perkembangan investasi --------------------------------------

179

56

Skenario perkembangan sektor pertanian ------------------------------

179

57

Skenario perkembangan sektor perikanan -----------------------------

179

58

Skenario perkembangan sektor pariwisata ----------------------------

180

59

Skenario perkembangan sektor industri --------------------------------

180

60

Skenario perkembangan sektor angkutan laut ------------------------

181

61

Skenario perkembangan PDRB per kapita (berdasarkan harga konstan tahun 2000) ------------------------------------------------------

181

Skenario perkembangan pemanfaatan/penggunaan lahan pertanian --------------------------------------------------------------------

183

63

Skenario perkembangan pemanfaatan/penggunaan lahan tambak -

183

64

Skenario perkembangan lahan permukiman --------------------------

185

65

Skenario perkembangan lahan bisnis dan industri -------------------

185

66

Skenario perkembangan lahan untuk prasarana wilayah ------------

185

67

Skenario perkembangan lahan permukiman dan perkotaan --------

185

68

Skenario perkembangan lahan budidaya -------------------------------

186

69

Skenario penggunaan lahan tidak sesuai kemampuan ---------------

186

70

Skenario kemampuan penyediaan lahan untuk kawasan lindung darat ---------------------------------------------------------------

186

71

Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut ---------

188

72

Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut dan tangkap -----------------------------------------------------------

188

Skenario perkembangan pemanfaatan umum perairan non-perikanan --------------------------------------------------------------

188

Skenario perkembangan total kawasan pemanfaatan umum perairan -------------------------------------------------------------

188

75

Skenario konversi perairan terumbu karang dan padang lamun ----

189

76

Skenario upaya penyediaan kawasan konservasi perairan ----------

189

77

Skenario inkonsistensi tata ruang darat dan perairan ----------------

190

62

73 74

!

"

#!$ $

xxxiv Halaman 78

Skenario rente ruang kawasan budidaya darat dan perairan --------

190

79

Peta kesesuaian lahan tanaman perkebunan (tahunan) ---------------

197

80

Peta kesesuaian lahan tanaman pangan (semusim) -------------------

198

81

Peta kesesuaian lahan tambak -------------------------------------------

199

82

Peta kesesuaian lahan permukiman -------------------------------------

200

83

Peta kesesuaian lahan bisnis dan industri ------------------------------

201

84

Peta kesesuaian kawasan pemanfaatan umum perairan --------------

202

85

Peta alokasi ruang kawasan lindung dan konservasi ------------------

208

86

Peta arahan alokasi ruang -------------------------------------------------

211

87

Peta arahan struktur ruang dan orientasi transportasi -----------------

217

!

"

#!$ $

xxxv DAFTAR TABEL LAMPIRAN Halaman 1

Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum dilakukan dan yang diajukan ---------------------------------------------

235

2

Sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung ----------------------

239

3

Nilai awal dan parameter model -----------------------------------------

243

4

Kriteria kawasan lindung daratan ---------------------------------------

265

5

Kriteria kawasan konservasi perairan -----------------------------------

265

6

Kriteria kesuaian lahan untuk pertanian tanaman pangan

----------

265

7

Kriteria kesuaian lahan untuk pertanian tanaman perkebunan -----

265

8

Kriteria kawasan untuk budidaya pesisir (tambak) -------------------

266

9

Kriteria kesesuaian kawasan bisnis dan industri ----------------------

266

10

Kriteria kawasan permukiman dan prasarana wilayah ---------------

266

11

Kriteria wilayah perairan perikanan budidaya keramba jaring apung (KJA) ----------------------------------------------------------------

267

Daftar investor dan investasi langsung swasta di wilayah penelitian tahun 2000-2007 ----------------------------------------------

269

13

Data analisis skalogram ---------------------------------------------------

271

14

Uji nilai tengah data historis dan model ---------------------------------

275

15

Perbandingan skenario untuk perkembangan populasi ---------------

277

16

Perbandingan skenario untuk perkembangan angkatan kerja -------

278

17

Perbandingan skenario untuk perkembangan lapangan kerja -------

279

18

Perbandingan skenario untuk perkembangan pengangguran --------

280

19

Perbandingan skenario untuk perkembangan tingkat pengangguran --------------------------------------------------------------

281

20

Perbandingan skenario untuk perkembangan imigrasi ---------------

282

21

Perbandingan skenario untuk perkembangan emigrasi --------------

283

22

Perbandingan skenario untuk perkembangan aktivitas ekonomi (PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000) -------------------------

284

23

Perbandingan skenario untuk perkembangan investasi --------------

285

24

Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor pertanian ------------------------------------------------------------

286

Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor perikanan -----------------------------------------------------------

287

Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor industri --------------------------------------------------------------

288

12

25 26

!

"

#!$ $

xxxvi Halaman 27

Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor angkutan laut dan penyeberangan ---------------------------------------

289

Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor pariwisata -------------------------------------------------------------------

290

Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor sektor lain -------------------------------------------------------------------

291

Perbandingan skenario untuk perkembangan PDRB per kapita (berdasarkan harga konstan tahun 2000) -------------------------------

292

31

Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan pertanian ------

293

32

Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan budidaya pesisir (tambak) ------------------------------------------------------------

294

33

Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan permukiman --

295

34

Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan bisnis dan industri -----------------------------------------------------------------

296

35

Perbandingan skenario untuk perkembangan prasarana -------------

297

36

Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan permukiman dan perkotaan ---------------------------------------------------------------

298

Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan budidaya total (terpakai) --------------------------------------------------------------

299

Perbandingan skenario untuk perkembangan penggunaan lahan tidak sesuai kemampuan --------------------------------------------------

300

Perbandingan skenario untuk perkembangan penyediaan lahan untuk kawasan lindung darat ---------------------------------------------

301

Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan perikanan budidaya laut ---------------------------------------------------------------

302

Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan perikanan budidaya laut dan tangkap ------------------------------------------------

303

Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan budidaya non-perikanan --------------------------------------------------------------

304

Perbandingan skenario untuk perkembangan total perairan budidaya ---------------------------------------------------------------------

305

Perbandingan skenario untuk perkembangan konversi perairan terumbu karang dan padang lamun --------------------------------------

306

Perbandingan skenario untuk perkembangan upaya penyediaan kawasan lindung perairan -------------------------------------------------

307

Perbandingan skenario untuk perkembangan inkonsistensi tata ruang darat dan perairan --------------------------------------------------

308

Perbandingan skenario untuk perkembangan rente ruang -----------

309

28 29 30

37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47

!

"

#!$ $

xxxvii Halaman 48

Nilai kriteria CPI tahun 2014 --------------------------------------------

311

49

Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2014 ------------------------------------------------------------------

311

50

Nilai kriteria CPI tahun 2019 --------------------------------------------

312

51

Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2019 ------------------------------------------------------------------

312

52

Nilai kriteria CPI tahun 2024 --------------------------------------------

313

53

Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2024 ------------------------------------------------------------------

313

54

Nilai kriteria CPI tahun 2029 --------------------------------------------

314

55

Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2029 ------------------------------------------------------------------

314

!

"

#!$ $

xxxviii

!

"

#!$ $

1 PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan

wilayah daratan, karena merupakan perpaduan dari daratan dan perairan, bersifat dinamik, dan rentan terhadap berbagai tekanan. Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir, dengan karakteristiknya masing-masing yang berbeda, saling terkait secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, secara umum di wilayah pesisir terjadi konflik pemanfaatan ruang, baik antar-sektor maupun intra-sektor, dengan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) yang mempunyai kebutuhan beragam (Shuisen et al. 2005; Liangju et al. 2010). Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus diatasi dengan penyelengaraan penataan ruang yang mampu mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, serta dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pelaksanaan penataan ruang yang dilandasi dengan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat menjadi instrumen utama dalam pengembangan suatu kawasan seperti wilayah pesisir, agar ekses dari perkembangan ekonomi dan penduduk tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (Rustiadi et al. 2009; Gangai dan Ramachandran 2010; Zacharias dan Tang 2010). Namun demikian, dari pengalaman di wilayah daratan selama ini, instrumen tata ruang belum dapat memainkan peran yang diharapkan dalam pengembangan wilayah. Pengalaman di daratan menunjukkan bahwa kelemahan dari pelaksanaan penataan ruang untuk dapat berperan sebagai instrumen pengembangan wilayah, telah dimulai dari proses perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan hanya melalui pendekatan rasional (rational planning) tetapi tidak melibatkan pemangku kepentingan secara substansial, sehingga tahap implementasi dan pengendalian tata ruang menjadi sulit dilaksanakan (Gilliland et al. 2004; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Gangai and Ramachandran 2010). Di sisi lain dengan berlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan

!

"

#!$ $

2 Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perencanaan spasial di Indonesia dianggap mengalami dikotomi. Terdapat anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007, sedangkan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007. Hal tersebut semakin memperumit proses perencanaan wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (Adrianto 2010). Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang biasa dilakukan pada wilayah daratan akan semakin sulit untuk diterapkan secara efektif di wilayah pesisir. Wilayah pesisir yang memiliki paduan karakteristik ekologis daratan dan perairan tidak dapat diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang umumnya bias daratan. Perencanaan komprehensif yang memadukan karakteristik daratan dan perairan merupakan prasyarat bagi pengembangan wilayah pesisir. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga dapat memberikan arah yang lebih baik dalam pengembangan wilayah secara berkelanjutan (Chua 2006; Liangju et al. 2010). Terlebih lagi wilayah pesisir pada umumnya mengemban berbagai kepentingan yang beragam. Kelemahan dalam proses perencanaan tata ruang di wilayah pesisir harus diatasi melalui pendekatan perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Pendekatan perencanaan rasional, harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan. Pendekatan partisipatif akan menghasilkan suatu perencanaan konsensus (consensus planning), yang pada dasarnya dihasilkan oleh para pemangku kepentingan terhadap wilayah yang bersangkutan (Grimble 1998; Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Rustiadi et al. 2009). Wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi sangat sulit dipahami melalui pendekatan yang bersifat parsial (Wiek and Walter 2009). Upaya pemahaman fenomena kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh. Pendekatan sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dan terpadu. Dengan

!

"

#!$ $

3 karakter yang dikenal dengan SHE (sibernetik atau berorientasi tujuan, holistik, dan efektif), pendekatan sistem menawarkan cara pandang baru dalam pemahaman fenomena dunia nyata (real world) secara lebih komprehensif (Eriyatno 1999; Marimin 2004). Sebagai suatu metode pendekatan sistem, pemodelan sistem dinamik dapat diterapkan dalam kajian sistem alam yang kompleks, yang memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. (Forrester 1998 dan 2003; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik dapat diterapkan dalam perencanaan wilayah pesisir yang kompleks, melalui intervensi sistem dalam bentuk kebijakan tata ruang. Teluk Lampung merupakan salah satu teluk yang terletak di ujung selatan Provinsi Lampung, pada mulanya termasuk dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Dengan adanya pemekaran Kabupaten Lampung Selatan menjadi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2007, wilayah Teluk Lampung termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran. Sebagai wilayah pesisir, wilayah Teluk Lampung meliputi daratan dan perairan (laut). Wilayah tersebut merupakan lokasi beragam aktivitas yang meliputi permukiman dan perkotaan, pertanian, kehutanan dan perkebunan, industri manufaktur, perikanan tangkap dan budidaya, transportasi laut, militer, dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Pemerintah Provinsi Lampung 2001; Pemerintah Provinsi Lampung 2009). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah tersibuk dan terpadat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, dan pelayanan lainnya bagi wilayah Provinsi Lampung, terletak menghadap ke Teluk Lampung. Beragam aktivitas tersebut menunjukkan bahwa Teluk Lampung memiliki arti dan peran strategis bagi pengembangan wilayah Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, perhatian terhadap Teluk Lampung harus diberikan lebih baik, agar kawasan tersebut dapat lebih berkembang dan menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

!

"

#!$ $

4 Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memperbesar kebutuhan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung, baik daratan maupun perairan. Dalam kurun waktu 2004-2007, pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir di atas 5%; dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,32% (BPS Lampung 2008a; BPS Bandar Lampung 2008a; BPS Lampung Selatan 2008a; BPS Pesawaran 2008a). Peningkatan kebutuhan ruang, menimbulkan ekses berupa ketidakharmonisan, ketidaknyamanan dan konflik pemanfaatan ruang antar-berbagai kepentingan. Konflik tersebut ditunjukkan oleh gejala yang meliputi pencemaran pantai, reklamasi pantai tidak terencana, kerusakan terumbu karang, dan belum adanya zonasi pemanfaatan perairan bagi bagan, kapal nelayan, alur pelayaran, keperluan militer dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Damar 2003; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2007). Beberapa catatan yang menunjukkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Teluk Lampung meliputi konflik antar sektor dan konflik di dalam sektor yang sama. Alokasi penggunaan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung untuk pengembangan kota juga akan menggusur permukiman nelayan. Konflik antar nelayan di Teluk Lampung juga semakin serius, dan pada gilirannya menyebabkan kerusakan ekosistem perairan dan semakin tersisihnya nelayan kecil. Di sisi lain, pencemaran yang bersumber dari daratan dan perairan dan praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan semakin memperburuk kualitas air, merusak ekosistem, menumbuhkan harmful algal blooms (HAB), menguras sumberdaya ikan, dan menurunkan potensi pariwisata di Teluk Lampung (CRMP 1998a; Wiryawan et al. 1999). Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif, diharapkan dapat menghasilkan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, dapat dibangun suatu pendekatan baru bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat kompleks. Sebagai suatu wilayah pesisir yang kompleks, seperti disajikan di atas, Teluk Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian.

!

"

#!$ $

5 1.2

Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian adalah mengembangkan suatu pendekatan perencanaan

tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Terkait dengan penelitian yang dilaksanakan di wilayah pesisir Teluk Lampung, tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut: 1) Memetakan secara komprehensif wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh, yang mengkaitkan kondisi ekologis daratan dan perairan, dan kondisi ekologis yang dikehendaki pada masa mendatang. 2) Memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan serta titik temu diantara kepentingan tersebut sebagai dasar dari suatu perencanaan tata ruang. 3) Merancang peruntukan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Manfaat hasil penelitian adalah: 1) Sebagai informasi komprehensif bagi para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. 2) Sebagai masukan bagi berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan Teluk Lampung secara berkelanjutan. 1.3

Perumusan Masalah Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan yang khas sebagai interaksi

ekosistem terrestrial (daratan) dan perairan (laut). Pada dasarnya kondisi tersebut sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, sehingga membutuhkan perlindungan yang cukup untuk menjaga keberlanjutannya secara ekologis. Namun demikian, secara ekonomi wilayah ini memiliki daya tarik besar karena posisi geografis, kandungan sumberdaya, dan jasa lingkungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, wilayah pesisir umumnya menjadi sentra bagi beragam aktivitas ekonomi, dan sebagai konsekuensi logisnya juga terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi, seperti halnya wilayah pesisir Teluk Lampung.

!

"

#!$ $

6 Interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penduduk (populasi) secara simultan memberikan

tekanan pada wilayah pesisir Teluk Lampung. Wujud

tekanan tersebut berupa peningkatan kebutuhan ruang yang menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar berbagai kepentingan. Dengan kata lain terdapat suatu kesenjangan (gap) antara rencana tata ruang dan kebutuhan ruang berbagai pemangku kepentingan, dapat saling bertentangan dan menimbulkan ekses negatif, dan akan berujung pada kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Ekses negatif tersebut harus dikelola dengan penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, dan salah satu pilarnya adalah pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang hanya akan berjalan dengan baik jika didasari dengan perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan dan diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perencanaan tata ruang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung secara berkelanjutan. Secara formal, wilayah pesisir Teluk Lampung telah dimasukkan sebagai salah satu wilayah perencanaan dalam berbagai dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yaitu: RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan RTRW Kabupaten Pesawaran. Namun pada kenyataannya, perencanaan tata ruang tersebut masih menunjukkan kelemahan, kurang diindahkan oleh para pemangku kepentingan, dan perkembangan wilayah pesisir Teluk Lampung terus mengindikasikan terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan. Sumber kelemahan tersebut adalah bahwa perencanaan yang telah ada belum memperlakukan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai suatu kawasan yang terintegrasi dengan kompleksitasnya yang khas, dan belum disusun secara partisipatif. Perencanaan yang ada menjadi bias daratan, bias sektor, bias wilayah administratif, masih bersifat formal, belum bersifat substansial dan operasional. Dengan mengacu pada tujuan penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Oleh karena itu penelitian mengenai pendekatan sistem yang bercirikan SHE (sibernetik atau

!

"

#!$ $

7 berorientasi tujuan, holistik, dan efektif) yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan, perlu dilakukan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang ada. Berdasarkan kondisi lokasi penelitian yang dipilih (Teluk Lampung), dan tujuan penelitian untuk mengembangkan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang komprehensif dan partisipatif, dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1) Sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung mewakili daratan dan perairan yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda, namun saling terkait secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, perbedaan dan keterkaitan antara wilayah daratan dan perairan merupakan permasalahan yang harus dipahami secara menyeluruh. 2) Kondisi ekosistem wilayah daratan dan perairan merupakan suatu ambang yang akan menentukan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kondisi eksisting sumberdaya hayati (ekologis) saat ini dan kondisi yang diinginkan merupakan permasalahan yang harus dikaji sebagai masukan dasar bagi penyusunan rencana tata ruang yang berkelanjutan. 3) Perencanaan tata ruang harus dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan pemangku kepentingan agar tahap pelaksanaan dan pengendaliannya dapat dilakukan. Oleh karena itu, permasalahan pemetaan berbagai kebutuhan pemangku kepentingan harus dikaji secara komprehensif, dan dicari titik temu antar kepentingan tersebut untuk dijadikan dasar penyusunan suatu perencanaan tata ruang yang partisipatif. 4) Wilayah pesisir Teluk Lampung yang kompleks, serta kebutuhan pemangku kepentingan harus dapat dianalisis secara holistik dalam suatu kerangka metodologi yang komprehensif. Oleh karena itu, permasalahan metodologis merupakan kajian yang harus dilakukan, yaitu melalui pendekatan sistem untuk mendapatkan keluaran yang memuaskan bagi penyusunan rencana tata ruang. 5) Pada akhirnya permasalahan yang dikaji adalah bagaimana membangun skenario perencanaan tata ruang yang partisipatif dan komprehensif,

!

"

#!$ $

8 sehingga dapat berkelanjutan dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. 1.4

Definisi Operasional Sebagian besar istilah yang berhubungan dengan tata ruang yang

digunakan dalam penelitian ini, didefinisikan dengan mengacu pada UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi operasional dari berbagai istilah yang dipakai adalah sebagai berikut: 1) Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. 2) Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. 3) Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. 4) Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. 5) Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil secara berkelanjutan. 6) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 7) Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. 8) Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi

!

"

#!$ $

9 kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 9) Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 10) Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 11) Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12) Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 13) Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. 14) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 15) Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam penataan ruang. 16) Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 17) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 18) Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 19) Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.

!

"

#!$ $

10 20) Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 21) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 22) Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 23) Prasarana wilayah adalah kelengkapan dasar fisik wilayah yang memungkinkan wilayah tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 24) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 25) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 26) Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 27) Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan. 28) Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. 29) Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 30) Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air

!

"

#!$ $

11 laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. 31) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 32) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 33) Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 34) Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. 35) Makna dari simbol-simbol bagan alir yang digunakan dalam penjelasan sistem adalah sebagai berikut: Data Dokumen Dokumen jamak Ekstraks Entitas Keputusan (decision) Objek Pemaparan (display) Penghubung Penjumlahan bercabang (summing junction), menunjukkan percabangan jamak yang menuju proses tunggal

!

"

#!$ $

12 Proses Proses yang dilakukan sebelumnya (predefined) Simpanan (storage) internal Titik terminal untuk awal dan akhir bagan alir 1.5

Lingkup Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menyajikan suatu pendekatan

perencanaan tata ruang yang memadukan wilayah daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif, yang dilakukan di wilayah pesisir Teluk Lampung, lingkup penelitian adalah meliputi aktivitas sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung secara holistik dari aspek-aspek biofisik (ekologi), ekonomi, dan sosial, serta menentukan kondisi yang dikehendaki pada masa mendatang sebagai ambang batas kemampuan kawasan dalam mendukung pemanfaatan ruang. Aktivitas ini dilakukan berdasarkan data dan informasi sekunder (terutama dokumen RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan analisis citra satelit) yang selanjutnya divalidasi dengan observasi dan penelitian lapangan. 2) Menganalisis sistem dinamik yang terintegrasi dengan analisis spasial dengan sistem informasi geografis (SIG) berdasarkan data dan informasi yang didapat dari berbagai kajian yang dilakukan, kemudian menyusun indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. 3) Memaparkan kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung dan indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, dalam suatu pertemuan ahli menggunakan metode prospektif partisipatif. Aktivitas ini ditujukan untuk memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam rangka mencari titik temu yang dapat mendasari suatu perencanaan tata ruang yang akomodatif terhadap kepentingan tersebut.

!

"

#!$ $

13 4) Menyusun skenario perencanaan tata ruang Teluk Lampung yang bersifat partisipatif,

komprehensif

dan

mampu

mengakomodasi

berbagai

kebutuhan para pemangku kepentingan. 1.6

Kerangka Konsepsional Secara konsepsional, penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh

kekhasan wilayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang (Dahuri et al. 2001; Tyldesley 2004; Gangai dan Ramachandran 2010). Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, atau sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi et al. 2009). Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demkian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan. Sesuai dengan hukum geografi pertama dari Tobler (1970), yang menyatakan bahwa “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan yang lebih dari lainnya”. Oleh karena itu, ruang daratan dan perairan yang berbatasan langsung di wilayah pesisir akan saling terkait dan mempengaruhi secara lebih erat. Dengan demikian, paduan karakteristik ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir harus dapat diakomodasi dalam suatu perencanaan tata ruang yang komprehensif. Penataan ruang dan perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan proses "pembelajaran" yang berkelanjutan sebagai buah pengalaman manusia dan bersifat iteratif (Rustiadi et al. 2009). Dalam perkembangannya, perencanaan tata ruang tidak terlepas dari berbagai teori dan metode yang terkait dengan ilmu kewilayahan dan ekonomi wilayah, dan terus berevolusi. Teori fundamental dari ekonomi wilayah dimulai dari karya von Thünen (pada tahun 1826), yang dikenal

!

"

#!$ $

14 sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru yang digagas Krugman (pada awal 1990-an). Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas (Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010). Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu (Rustiadi et al. 2009): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan (2) adanya kemauan politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting. Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi. Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan. Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan strategis (kawasan tertentu maupun kawasan andalan). Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupaten/kota di bawahnya. Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.

!

"

#!$ $

15 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Umum

Rencana Tata Ruang Rinci RTR Pulau / Kepulauan

RTRW Nasional Fungsional

RTR Kawasan Strategis Nasional

RTRW Provinsi

RTR Kawasan Strategis Provinsi

RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota RTRW Kabupaten/ Kota Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)

Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang (Rustiadi et al. 2009) Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008) yaitu: (1) populasi (penduduk), (2) aktivitas ekonomi, dan (3) penggunaan ruang (tata ruang). Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi. Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.

!

"

#!$ $

16 Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh (holistik) dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut (Deal dan Schunk 2004; Wiek and Walter 2009; Faure et al. 2010). Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan (Brown et al. 2001). Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir. Analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA), memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif (Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010). Terdapatnya

anggapan

yang

tidak

tepat

dan

cenderung

saling

bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik (sebagai lex generalis) bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kekhasan tersendiri (sebagai lex specialis) (Adrianto 2010), seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.

!

"

#!$ $

17 Berdasarkan kondisi khas wilayah pesisir, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung menghendaki pendekatan yang dapat memadukan ruang daratan dan perairan, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam perencanaan tata ruang umumnya adalah pendekatan rasional, parsial, dan baru bersifat partisipatif secara prosedural. Oleh karena itu, diajukan konsep pemikiran pendekatan sistem yang dapat memberikan pandangan keutuhan antara ruang daratan dan perairan, dan bersifat partisipatif secara substansial.

Pesisir

Garis pantai

Batas ke darat Non-Pesisir

Arah ke laut Arah ke darat

Rejim UU 26 / 2007

Rejim UU 27 / 2007

Lex specialis

Lex generalis

Gambar 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia (Adrianto 2010) Penelitian mengenai perencanaan wilayah yang menerapkan sistem dinamik, sudah pernah dilakukan. Pendekatan sistem dinamik yang diterapkan untuk mengkaji dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS), menunjukkan hasil yang memuaskan (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005). Dalam perencanaan kota dan wilayah, pendekatan sistem dinamik dapat menunjukkan dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik, dan sangat membantu dalam perencanaan (White dan Engelen 2000; Deal dan Schunk 2004; Yufeng dan ShuSong 2005). Demikian juga dalam perencanaan wilayah pesisir, pendekatan sistem dinamik dan analisis spasial, dapat

!

"

#!$ $

18 menunjukkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap wilayah pesisir, dan dapat diterapkan untuk kepentingan pengelolaan wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004; Gangai dan Ramachandran 2010). Dari beberapa penelitian di atas, terlihat pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam mengkaji kompleksitas wilayah. Namun demikian, di sisi lain, aspek partisipatif yang melibatkan pemangku kepentingan di wilayah yang bersangkutan, masih kurang mendapatkan porsi yang cukup. Padahal pada dasarnya pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah, merupakan aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian mengenai perencanaan wilayah pesisir yang kompleks dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, akan menjadi suatu kebaruan dan penting dilakukan. Kebaruan (novelty) yang diajukan adalah pada penerapan metode sistem dinamik dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yang memungkinkan komponen sistem (di darat maupun di perairan) dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan, serta dilakukan intervensi, sehingga analisis lebih bersifat komprehensif yang memadukan daratan dan perairan; penyusunan analisis kebutuhan

pemangku

kepentingan

dilakukan

secara

partisipatif;

serta

mengakomodasi rejim perencanaan spasial yang dilingkup dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memadukan ruang daratan dan perairan. Dengan demikian diharapkan perencanaan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan, serta tidak terjadi dikotomi dalam perencanaan spasial wilayah pesisir. Ringkasan pendekatan perencanaan tata ruang yang umum dilakukan disajikan pada Gambar 3, dan pendekatan perencanaan yang diajukan pada Gambar 4. Ringkasan karakateristik pendekatan perencanaan yang diajukan disajikan pada Tabel 1, adapun perbedaan dengan metode yang umum dilakukan, secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

!

"

#!$ $

Persiapan: Administratif Kajian informasi sekunder Teknis

Pemberian informasi ke masyarakat

Pengumpulan data dan Informasi Primer dan Sekunder: Peta-peta Kebijakan sektoral Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam Sumberdaya buatan dan prasarana/ sarana wilayah Kependudukan dan sumberdaya manusia Perekonomian dan sosial budaya Kelembagaan Data lainnya….

Analisis: Identifikasi daerah fungsional perkotaan Sistem pusat-pusat permukiman (perkotaan) Daya dukung dan daya tampung wilayah serta optimalisasi pemaanfaatan ruang

Penyerapan informasi dari masyarakat

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah: Penyusunan Konsep Pengembangan dan Pemilihan Konsep

Penetapan Peraturan Daerah

Penyusunan Rencana

Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah

Penyampaian opini dan informasi masyarakat

Penyampaian sanggahan masyarakat

Gambar 3 Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan (Kep. Men. Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327 tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang; yang telah diperbaharui dengan Per. Men. Pekerjaan Umum No. 15, 16, dan 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota)

!

"

#!$ $

19

Masukan

Keluaran

Proses

Komponen Sistem: Penduduk Ekonomi Ketersediaan Ruang ….

Sektor dan pemangku kepentingan: Perikanan Pertanian Angkutan Pariwisata Industri Permukiman Prasarana wilayah ………

Intervensi sistem dan Skenario

Sistem dan Pemodelan

Interaksi Penawaran dan Perminataan

Saling Berinteraksi

Kompleksitas Wilayah Pesisir: Perpaduan Ekosistem Daratan dan Perairan

Saling Berinteraksi

Keberlanjutan sistem

Partisipasi substantif

Kebutuhan pemangku kepentingan

Pemenuhan kebutuhan

Gambar 4 Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan

20

!

"

#!$ $

Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir

21 Tabel 1 Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan

1.

Karakteristik Perencanaan Aspek analisis

2.

Substansi rencana

3.

Kerangka analisis

4.

Corak sektoral

5.

Sifat partisipatif

No.

Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian Ekonomi dan sektor unggulan, tidak dilakukan penekanan pada sektor tertentu; Sumberdaya buatan, diperjelas prasarana yang berhubungan dengan penggunaan perairan seperti pelabuhan, dan pelabuhan perikanan; Sumberdaya alam, memberikan keseimbangan perhatian antara sumberdaya pesisir (perairan) dan daratan; Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan; Arahan pengelolaan kawasan diperjelas untuk ruang perairan; Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan keseimbangan pada ruang daratan dan perairan.. Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; termasuk pada sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Analisis dilakukan secara holistik, dimana proyeksi pada masing-masing aspek analisis dilakukan secara simultan dengan menggunakan analisis sistem. Bebas terhadap kecenderungan sektoral, dan menekankan pada objektivitas rencana. Dilakukan oleh para pemangku kepentingan secara langsung dan bersama-sama melalui analisis kebutuhan. Penyusunan rencana merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan.

!

"

#!$ $

22

!

"

#!$ $

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Wilayah dan Wilayah Pesisir Pada dasarnya pengertian wilayah mengacu pada unit geografis, dan dapat

didefinisikan

dengan

batas-batas

spesifik

(tertentu)

dimana

komponen-

komponennya memiliki arti di dalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tidak ada batasan spesifik dari luas suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat "meaningful" untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubahubah), dengan komponen-komponen yang mencakup biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaannya. Dengan demikian

istilah

wilayah

menekankan

interaksi

antar manusia

dengan

sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Salah satu kerangka klasifikasi yang cukup mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah adalah (Rustiadi et al. 2009): (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region); seperti disajikan pada Gambar 5. Wilayah pesisir dapat dimasukkan dalam konsep wilayah sistem kompleks, memiliki beberapa sub-sistem penyusun yang meliputi sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial, dan sistem ekonomi. Secara sederhana, wilayah pesisir dipahami sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan laut. Pada dasarnya pemahaman mengenai wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (laut) telah diterima secara luas, namun demikian masih belum ada definisi wilayah pesisir yang bersifat baku dan dapat diterima semua pihak. Dalam konteks pesisir, pengertian wilayah dapat dirunut pada dua istilah yang bermiripan yaitu zone dan area, dan dikenal adanya coastal zone dan coastal area. Perbedaan keduanya terletak pada implikasi yang mengikutinya, yaitu coastal zone berimplikasi pada adanya proses pengelolaan yang dibatasi secara artifisial; sedangkan coastal area lebih bersifat alami. Perbedaan tersebut masih menjadi fokus perdebatan dalam konteks pengelolaan pesisir, terutama di negaranegara sedang berkembang, dimana masih terdapat banyak bagian pesisir yang

!

"

#!$ $

24 belum termasuk dalam suatu zona pengelolaan tertentu. Oleh karena itu, penggunaan istilah coastal area dalam pembicaraan dan pembahasan mengenai pesisir, menjadi pilihan yang lebih netral dan konsisten (Kay dan Alder 1999). Konsep Alamiah / Deskriptif Nodal (Pusat – Hinterland)

Homogen Sistem Sederhana

Desa – Kota Budidaya – Lindung

Wilayah

Sistem Fungsional

Sistem Ekonomi: Kawasan Produksi, Kawasan Industri Sistem Kompleks

Sistem Ekologi: DAS, Hutan, Pesisir Sistem Sosial Politik: Kawasan Adat, Wilayah Etnik

Konsep Non-Alamiah

Perencanaan /Pengelolaan

Perencanaan Khusus: Jabodetabekjur, KAPET Wilayah Administratif Politik: Provinsi, Kabupaten, Kota

Gambar 5 Sistematika Konsep-konsep Wilayah (Rustiadi et al. 2009) Merujuk pada Kay dan Alder (1999), secara umum dalam disertasi ini istilah wilayah pesisir diasosiasikan dengan coastal area, kecuali dari sumbersumber yang dikutip atau dirujuk memang menunjuk pada coastal zone. Dengan kata lain, istilah zone dan area dalam disertasi ini akan dirujuk secara sama menjadi “wilayah”. Dengan demikian “wilayah pesisir” menjadi padanan bagi coastal area bila berbicara dalam batas-batas alami; dan menjadi padanan bagi coastal zone bila berbicara dalam batas-batas artifisial pengelolaan. Terdapat banyak definisi wilayah pesisir yang berbeda antar berbagai negara; atau antar disiplin seperti perikanan, biologi laut, tenik pantai, hukum, dan militer. Keragaman definisi tersebut bersumber dari penentuan seberapa jauh batas definitif wilayah pesisir ke arah laut dan ke arah darat.

!

"

#!$ $

25 Dahuri et al. (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak arbitrer dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide) dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara. Kay dan Alder (1999) memberikan tiga elemen bagi definisi ilmiah wilayah pesisir, yaitu bahwa wilayah pesisir harus mengandung: 1) komponen daratan dan perairan; 2) batas antara daratan dan perairan harus ditentukan berdasarkan tingkat pengaruh daratan terhadap perairan, dan pengaruh perairan terhadap daratan; dan 3) batas wilayah tidaklah seragam dalam dimensi lebar, kedalaman, maupun ketinggian. Adapun untuk orientasi kebijakan, Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa terdapat empat cara yang mungkin dalam mendefinisikan wilayah pesisir, yaitu: 1) batasan jarak yang tetap; 2) batasan jarak variabel; 3) batasan yang disesuaikan dengan penggunaannya; dan 4) merupakan kombinasi (hibrid) atara ketiga cara tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara formal wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sebelum adanya Undang-undang tersebut, DKP (2002) telah mendefinsikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut yang memiliki empat karaketristik khas yaitu: 1) Merupakan wilayah pertemuan antara berbagai aspek yang ada di darat, laut dan udara. Bentuk wilayah ini merupakan hasil keseimbangan dinamis dari suatu proses penghancuran dan pembangunan dari ketiga unsur tersebut; 2) Memiliki fungsi sebagai zona penyangga dan habitat dari berbagai jenis burung yang bermigrasi serta merupakan tempat pembesaran, pemijahan dan mencari makan bagi berbagai jenis biota. 3) Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada skala yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 4) Memiliki tingkat kesuburan yang tinggi yang menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan laut.

!

"

#!$ $

26 Chua (2006) mendeskripsikan wilayah pesisir dengan memasukkan pentingnya aspek aktivitas manusia, karena sebagian besar wilayah pesisir telah dimanfaatkan oleh manusia. Deskripsi tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 6. Dengan adanya aktivitas manusia, pembicaraan wilayah pesisir menjadi lebih penting karena merupakan suatu sistem sumberdaya yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan wilayah pesisir haruslah memasukkan aspek aktivitas manusia, yaitu aspek ekonomi dan sosial.

Aktivitas manusia

Lingkungan daratan

Lingkungan perairan

Wilayah pesisir Sistem sumberdaya pesisir

Gambar 6 Wilayah Pesisir dan Sistem Sumberdaya Pesisir (Chua 2006) Dengan adanya beragam definisi mengenai wilayah pesisir, perlu dibuat suatu definisi khusus sebagai acuan dalam penelitian yang dilakukan. Perumusan definisi wilayah pesisir yang diacu dalam penelitian ini didasarkan pada aspek penentu definisi wilayah pesisir yaitu batas ke arah darat dan laut, dan tujuan penelitian yaitu perencanaan wilayah. Pertimbangan dalam perumusan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Lampung adalah sungai-sungai kecil dengan daerah aliran sungai (DAS) yang sempit (Wiryawan et al.

!

"

#!$ $

27 1999), sehingga secara ekologis batas ke arah darat berdasarkan DAS hanya beberapa km saja dari garis pantai (maksimal 20 km). 2) Secara administratif, perairan Teluk Lampung dibatasi langsung oleh kecamatan-kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran. Dengan pertimbangan ketersediaan data dan satuan wilayah terkecil, secara administratif batas ke arah darat dapat ditetapkan sebagai batas administratif kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 3) Secara ekologis, Perairan Teluk Lampung merupakan suatu kesatuan, karena relatif tertutup dan hanya dipengaruhi oleh perairan laut lepas melalui Selat Sunda (CRMP 1998a dan 1998b); sehingga kondisi oseanografis fisik dan biologis perairan ini relatif seragam. Kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa Teluk Lampung merupakan suatu bioekoregion, yaitu bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang dibatasi oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai dan perairan teluk. Dengan demikian, secara ekologis dapat ditetapkan batas ke arah laut wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi keseluruhan perairan Teluk Lampung, dengan luas sekitar 1.600 km2. 4) Secara administratif berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, batas kewenangan pengelolaan perairan laut adalah 12 mil laut untuk provinsi dan 1/3-nya (4 mil laut) untuk kabupaten/kota, yang diukur tegak lurus garis pantai. Pada perairan Teluk Lampung, jarak tegak lurus dari garis pantai yang terjauh adalah 18,01 km atau 9,73 mil laut (Wiryawan et al. 1999). Dengan demikian, batas ke arah laut dari wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi keseluruhan perairan teluk, dan dapat dipandang sebagai kewenangan pengelolaan Provinsi Lampung karena bersifat lintas kabupaten dan kota, dan sebagian wilayah perairan berjarak lebih dari 4 mil laut. 5) Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk menyusun perencanaan wilayah pesisir Teluk Lampung yang komprehensif, wilayah perairan Teluk

!

"

#!$ $

28 Lampung harus dipandang sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan, bersama dengan wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan perairan teluk. Berdasarkan pertimbangan di atas, definisi wilayah pesisir Teluk Lampung yang diacu dalam penelitian ini adalah: Wilayah yang meliputi perairan dan daratan, dengan batas ke arah laut adalah meliputi keseluruhan wilayah perairan Teluk Lampung, dan batas ke arah darat adalah mengikuti batas-batas administrasi kecamatan-kecamatan di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 2.2

Teori Sistem Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan

interpretasi beragam, tetapi tetap berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” (Eriyatno 1999). Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forrester (1968) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. O’Connor dan McDermott (1997) mendefinisikan sistem sebagai suatu entitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya. Haaf et al. (2002) mendefinisikan sistem sebagai koleksi dari elemen-elemen dalam suatu keseluruhan dengan hubungan di antaranya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004). Dari beragam definisi yang ada terlihat bahwa sistem memiliki karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut (Sushil 1993): 1) Dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi. 2) Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” (wholeness). 3) Memiliki satu atau segugus tujuan. 4) Terdapat proses transformasi input menjadi output.

!

"

#!$ $

29 5) Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. Kajian mengenai teori sistem tidak terlepas dari tiga akar utama yang berkaitan dengan sistem dan kompleksitas, yaitu teori sistem umum, sibernetika, dan sistem dinamik. Ketiga akar tersebut berkembang relatif hampir bersamaan, dan sekarang dianggap sebagai pilar teori kompleksitas (complexity theory) (Abraham 2002). Sepanjang abad 20, secara paralel telah berkembang teori sistem umum (general system theory), sibernetika (cybernetics), dan sistem dinamik (system dynamics) (François 1999; Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Teori sistem umum mulai mengemuka sejak publikasi artikel Ludwig von Bertalanffy yang berjudul General system theory pada tahun 1956, terutama dalam bidang teknik dan sains. Teori sistem umum didasarkan pada ide biologi, dimana von Bertalanffy merumuskan formula abstrak yang dibahasakan secara matematis dan dapat menjelaskan kompleksitas yang terorganisir secara umum. Ide utama dari teori sistem umum adalah keutuhan, pengorganisasian, dan sistem terbuka yang ada di dalam biologi, dan kemudian digeneralisasi oleh von Bertalanffy ke dalam berbagai disiplin termasuk sistem sosial dan budaya. Teori sistem umum dimaksudkannya dapat menjadi suatu teori universal, sebagai suatu kerangka analitik yang dapat memberikan penjelasan abstrak dari fenomena alam (Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002). Di penghujung abad 20 teori dan pendekatan sistem umum telah berkembang pada berbagai disiplin (Haaf et al. 2002). Sibernetika diperkenalkan oleh Norbert Wiener pada tahun 1946, yang intinya berkaitan dengan controlled feedback systems, yaitu sistem yang mampu mempertahankan kondisi homeostatis melalui “perlawanan” (counteracting) deviasi dari variabel kritis akibat adanya umpan balik negatif (negative feedback). Kata cybernetics sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu kubernetes yang berarti “teman” (mate) atau juga dapat berarti “pengatur” (governor). Dua konsep utama dari sibernetika adalah kontrol (control) dan komunikasi (communication). Pandangan sibernetika lebih kepada “software” dari suatu sistem, misalnya sistem biologis dan sistem artifisial (servo-mechanisms) dipandang mirip satu sama lain,

!

"

#!$ $

30 karena sifat-sifat mereka dalam mengendalikan entropi positif dengan adanya umpan balik negatif, meskipun ”hardwares” mereka dapat sangat berbeda (Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Pandangan tersebut telah menjadikan sibernetika sebagai pemacu perkembangan ilmu komputer seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) (François 1999 ; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Perkembangan sistem dinamik (system dynamics) dimotori oleh Jay Forrester bersama koleganya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) sejak tahun 1950-an (Abraham 2002). Sistem dinamik merupakan cara pemahaman sifat dinamis dari suatu sistem yang kompleks. Metode

sistem

dinamik berlandaskan pada cara pandang bahwa struktur suatu sistem (bentuk hubungan antar komponen seperti hubungan sirkular, saling tergantung, dan timedelayed adalah penentu dari sifat sistem. Menurut Forrester (1968) sistem dinamik merupakan suatu metode dalam mempelajari sifat-sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interrelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan delay, dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Metodologi

sistem

dinamik

telah

berkembang,

terutama

dengan

berkembangnya komputer digital berkemampuan tinggi, dan telah diterapkan pada berbagai bidang untuk menganalisis sifat-sifat sistem kompleks seperti masalah sosial-ekonomi dan teknologi. Salah satu kelebihan sistem dinamik adalah kemampuannya menggambarkan tingkah laku sistem menurut waktu. Kata dinamik (dynamics) memiliki arti perubahan atau variasi, dan suatu sistem yang dinamik adalah sistem yang menunjukkan sifat bervariasi menurut waktu (François 1999; Sterman 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002; Forrester 2003). Perkembangan ilmu sistem sampai di penghujung tahun 1960-an menunjukkan bahwa teori sistem umum (general system theory), sibernetika (cybernetics), dan sistem dinamik (system dynamics), telah mengalami saling keterkaitan. Kerja dari Kelompok Roma (The Club of Rome) pada akhir dekade 1960 dan awal 1970 yang mempublikasikan The Limits to Growth dan World Dynamics, pada dasarnya telah menggabungkan antara general system theory, cybernetics, dan system dynamics (Meadows et al. 1972; Abraham 2002; Smil 2005). Sampai dengan dekade 1990, ilmu sistem semakin diramaikan dengan

!

"

#!$ $

31 pencabangan teori kompleksitas seperti cellular automata, fractal geometry, dan chaos theory. Perkembangan ilmu sistem yang terpayungi dalam teori kompleksitas di masa depan masih sangat mungkin akan bertambah (Abraham 2002), sebagaimana dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan perkembangan teori sistem, jelas bahwa terdapat upaya intelektual yang terus-menerus untuk memahami berbagai fenomena dunia nyata secara sistematis. Dari perkembangan yang ada, terlihat bahwa penerapan ilmu sistem merupakan metode baru dalam pemahaman dan pengelolaan sistem kompleks, yang sangat sulit dilakukan secara monodisiplin. Oleh karena itu, upaya penerapan ilmu sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks seperti wilayah pesisir, tampaknya menjadi suatu keniscayaan. Fenomena dunia nyata seperti wilayah pesisir, yang menunjukkan kompleksitas tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk mamahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno 1999). Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forrester 1968), dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno 1999). Dengan demikian kajian mengenai fenomena kompleks dapat dilakukan melalui pendekatan sistem (Nichols dan Monahan 1999; Sterman 2002), seperti membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, 2.3

Sistem dan Model Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem, yang dapat memiliki

beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forrester 1968; Sterman 2002). Dalam pengertian yang relatif sama, Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model

!

"

#!$ $

32 merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (assumptions) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang bersifat aneka ragam (Meadows et al. 1972; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dalam mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya; namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno 1999) yaitu: 1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikontsruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik. 2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses. 3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Contoh dari model matematis adalah persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi. Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (modelling atau pemodelan) merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mepelajari sistem secara keseluruhan (Sterman 2002). Melalui pemodelan akan diketahui karakteristik sistem, sehingga dapat dijadikan sebagai titik masuk (entry point) bagi intervensi terhadap sistem, sesuai dengan yang diinginkan. Pemodelan

!

"

#!$ $

33 akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model. Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik dapat sangat membantu pemahaman terhahap sistem kompleks dalam rentang waktu tertentu. Dalam upaya mendapatkan skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat komprehensif, dapat digunakan metodologi sistem dinamik berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar variabel yang dikaji dan mensimulasikan prilaku sistem bila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Sistem dinamik cukup powerful digunakan dalam mengkaji sistem alam yang kompleks (Forrester 1998; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005), seperti wilayah pesisir. Selain itu, sistem dinamik memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. Dengan adanya pemahaman mengenai pengaruh dari kebijakan, pengambilan keputusan dapat lebih mudah dilakukan dalam selang waktu simulasi; dan jika didapatkan sifat sistem yang tidak diinginkan, maka dapat dengan mudah mudah diperbaiki (Forrester 1998 dan 2003). Berbeda dengan banyak metode lain yang mengkaji permasalahan dengan pemilahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi, konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain. Sistem dinamik merupakan metode untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks (Forrester 1998 dan 2003), seperti wilayah pesisir. Menurut Sushil (1993), sistem dinamik merupakan struktur metode yang dilatarbelakangi oleh prinsip ilmu manajerial tradisional, sibernetika, dan simulasi komputer. Ketiga prinsip tersebut saling bersinergi dan saling menutup kelemahannya masing-masing dalam memberikan suatu solusi permasalahan secara holistik. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat berfungsi efektif sebagai metode kajian sistem kompleks seperti dinamika wilayah ekologis (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005), kota dan wilayah (White dan Engelen 2000; Winz 2005; Yufeng dan ShuSong 2005), wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004), dan

!

"

#!$ $

34 juga aspek manajerial suatu pabrik (Rohmatulloh 2008). Sistem dinamik berkemampuan dalam mengkaji sistem yang berciri kompleks, dinamik, dan probabilistik (Sushil 1993; Forrester 1998; Sterman 2002). Kemampuan sistem dinamik yang demikian, sangat membantu dalam penyusunan skenario kebijakan dan pengambilan keputusan dalam kajian sistem kompleks. Dengan demikian dapat dipelajari sifat sistem wilayah pesisir Teluk Lampung. Kemampuan tersebut memudahkan penyusunan skenario perencanaan sistem kompleks, yaitu perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung ditentukan oleh tiga komponen utama yaitu populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Upaya pemahaman yang utuh dan terpadu dari ketiga komponen adalah sangat penting untuk membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dalam penelitian ini, pendekatan sistem dinamik ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada untuk menyelesaikan masalah, dan (2) membuat model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Untuk itu, pendekatan sistem dinamik dilakukan dalam beberapa tahap proses yang terdiri dari penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem (Grant et al. 1997; Eriyatno 1999). Pemodelan sistem dinamik dilakukan secara determinsitik, untuk membatasi kompleksitas metodologi. Pilihan tersebut dilakukan sebagai kompromi ata keterbatasan ketersediaan data yang diperlukan dalam pemodelan sistem dinamik. 2.4

Penelitian Partisipatif Terminologi partisipasi (paticipation) di dalam penelitian, aktivitas

perencanaan, dan pengambilan keputusan, semakin banyak digunakan pada berbagai artikel ilmiah. Partisipasi berkonotasi pada keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan (pemangku kepentingan) terhadap suatu objek. Namun demikian, makna yang dimaksudkan pada berbagai artikel, seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Keberbedaan tersebut bersumber dari sifat dan kedalaman

!

"

#!$ $

35 “keterlibatan” pemangku kepentingan dalam berbagai aktivitas seperti penelitian, perencanaan, ataupun pengambilan keputusan. Seperti dalam penelitian, terutama penelitian sosial, secara umum akan melibatkan pemangku kepentingan, baik sebagai responden, pengamat, ataupun pelaksana (Cornwall dan Jewkes 1995; Sutherland 1998; Wiber et al. 2004; Walz et al. 2007). Permasalahannya adalah seberapa jauh keterlibatan pemangku kepentingan, sehingga suatu penelitian dapat dikategorikan sebagai penelitian partispatif. Berkaitan dengan kedalaman partisipasi, Bigg (1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995) menyatakan bahwa partispasi dalam penelitian dapat dibedakan ke dalam empat kelompok, yaitu: 1) Kontraktual, masyarakat dikontrak ke dalam proyek penelitian, dan mengambil peran sebagai objek di dalam penelitian, terutama yang menggunakan percobaan (experiment). 2) Konsultatif, masyarakat ditanya opininya oleh peneliti sebelum dilakukan suatu intervensi. 3) Kolaboratif, peneliti dan masyarakat bekerja bersama pada suatu proyek penelitian, namun penelitian tersebut sepenuhnya dirancang, digagas, dan dikelola oleh peneliti. 4) Kolegiat, peneliti dan masyarakat bekerja bersama sebagai kolega dengan masing-masing

keahlian

yang

berbeda,

di

dalam

pembelajaran silang (mutual learning), dan masyarakat

suatu

proses

mempunyai

kontrol terhadap proses tersebut. Dari keempat kelompok di atas, penelitian kolegiat merupakan tingkat partisipasi yang paling dalam. Lebih lanjut Cornwall dan Jewkes (1995) menyatakan bahwa penelitian partisipatif pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan hak masyarakat sebagai pemilik dan sekaligus objek penelitian, serta memungkinkan masyarakat menyusun agenda-nya sendiri dalam pembangunan. Dengan demikian, penelitian partisipatif dapat menjadi koridor bagi penyusunan kebijakan yang bersifat dari bawah ke atas. Brown et al. (2001) mendefinsikan partisipasi sebagai mengambil bagian atau terlibat secara aktif dalam suatu proses. Oleh karena itu, sesuatu proses dikatakan bersifat partisipatif, hanya bila terdapat keterlibatan aktif dari berbagai

!

"

#!$ $

36 pelaku. Berdasarkan pengalaman penelitian dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir,

Brown et al. (2001) memberikan tipologi partisipasi sesuai

dengan tingkat keterlibatan masyarakat, mulai dari yang sangat dangkal (pasif) sampai pada bentuk partispasi mandiri. Tipologi partisipasi tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Tipologi partisipasi Bentuk Partisipasi Partisipasi pasif

Partisipasi pemberian informasi Partisipasi melalui konsultasi

Partisipasi untuk insentif material Partisipasi fungsional

Partisipasi interaktif

Partisipasi mandiri (self mobilization)

Karakteristik Masyarakat diberi tahu proses yang akan dilakukan atau proses yang sedang berlangsung, melalui pemberitahuan tanpa adanya mekanisme respon. Masyarakat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan yang diajukan. Masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mempengaruhi proses yang sedang atau akan berlangsung. Masyarakat diajak berkonsultasi dan keinginannya didengar, sehingga proses yang akan atau sedang berlangsung dapat sedikit dipengaruhi. Akan tetapi dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Masyarakat berpartispasi hanya untuk tujuan mendapatkan pangan, uang, atau insentif material lainnya. Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk merumuskan suatu tujuan, dan kelompok atau lembaga masyarakat tersebut terus terlibat dalam proses yang sedang atau akan berlangsung. Masyarakat berpartisipasi dengan melakukan analisis bersama untuk mendapatkan penguatan pengetahuan mereka tentang proses yang akan atau sedang berlangsung, sehingga masyarakat memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Masyarakat mengambil inisiatif independen untuk mengubah sistem.

Sumber: Brown et al. (2001)

Pengertian pemangku kepentingan (stakeholder) adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumberdaya tertentu (Grimble 1998; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Wiber et al. 2004). Pemangku kepentingan dapat sangat berpengaruh, sedikit berpengaruh, atau bahkan hanya menjadi penerima dampak dari suatu isu atau proses. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, pemangku kepentingan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimilikinya, ke dalam tiga kelompok besar, yaitu (Brown et al. 2001): 1) Pemangku kepentingan primer, yaitu kelompok yang hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap suatu pengambilan keputusan pengelolaan

!

"

#!$ $

37 sumberdaya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka sangat dipengaruhi secara langsung oleh hasil keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan mengantungkan kehidupannya dengan sumberdaya pesisir, yaitu nelayan dan pembudidaya ikan. 2) Pemangku

kepentingan

sekunder,

yaitu

kelompok

yang

dapat

mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumberdaya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka tidak terpengaruh langsung oleh keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah

pesisir

tetapi

tidak

secara

langsung

menggantungkan

kehidupannya dengan sumberdaya pesisir, misalnya pedagang, buruh, pengusaha, dan lain-lain yang bertempat tinggal di kawasan pesisir, . 3) Pemangku kepentingan eksternal, yaitu individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi

pengambilan suatu keputusan pengelolaan

sumberdaya pesisir melalui lobi, akan tetapi kehidupan atau kepentingan mereka sama sekali tidak berhubungan dengan keputusan tersebut. Kelompok ini dapat berupa organisasi massa, keagaaman, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehubungan dengan penelitian dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir, pelibatan pemangku kepentingan dari kelompok primer menjadi penting, karena mereka akan menjadi kelompok yang paling dipengaruhi oleh kebijakan dan perencanaan yang akan dibuat (Brown et al. 2001). Oleh karena itu, keterwakilan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, menjadi penting. Untuk menjaring kebutuhan para pemangku kepentingan, dibutuhkan alat analisis yang secara efektif mampu mempertemukan

beragam

pemangku

kepentingan,

termasuk

pemangku

kepentingan primer di wilayah pesisir Teluk Lampung. Menurut Godet dan Roubelat (1998) dan Bourgeois dan Jesus (2004), alat analisis yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA). Analisis prospektif partisipatif merupakan adaptasi dari berbagai metode komprehensif yang dikemas dalam suatu kerangka kerja operasional yang

!

"

#!$ $

38 komprehensif dan cepat. Sifat kognitif dari metode tersebut adalah berupa tipologi “focus on interactions and consensus building”, yang mampu menghasilkan suatu konsensus dari interaksi antara pemangku kepentingan, yang dapat digunakan untuk kepentingan perencanaan Metode ini didasarkan pada beberapa prinsip yaitu: partisipasi, transparansi, konsistensi, keefektifan, relevansi, dapat diulang, beralasan, dan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan (Godet dan Roubelat 1998; Bourgeois dan Jesus 2004). Tingkat kedalaman pelibatan pemangku kepentingan dalam analisis prospektif partisipatif, dapat memenuhi tingkat partisipasi kolegiat sebagaimana perspektif Bigg (1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995); serta termasuk dalam tipologi partisipasi interaktif menurut Brown et al. (2001). Secara ringkas prinsip analisis prospektif partisipatif disajikan pada Gambar 7

Gambar 7

Prinsip dasar metode analisis prospektif partisipatif (Bourgeois dan Jesus 2004)

!

"

#!$ $

39 2.5

Perencanaan Tata Ruang Partisipatif Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007, penataan ruang didefinisikan

sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut (Rustiadi et al. 2009), penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan baru yang "lebih baik". Sebagai proses perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan. Penataan ruang dibutuhkan karena pentingnya intervensi publik terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Adanya intervensi publik akan mencegah degradasi lingkungan (sebagai kegagalan pasar) seperti terjadinya kerusakan sumberdaya. Penataan ruang perlu dilakukan untuk: 1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktivitas, 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan 3) menjaga keberlanjutan pembangunan (Rustiadi et al. 2009). Pada dasarnya penataan ruang merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu perencanaan, pemanfaatan (implementasi rencana), dan pengendalian (Rustiadi et al. 2009). Sistem penataan ruang sendiri merupakan bagian penting dari penyelenggaraan penataan ruang, yaitu berupa pelaksanaan penataan ruang. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, hanya akan dimungkinkan bila sub-sistem perencanaan tata ruang telah dilakukan dengan baik. Secara sederhana sistem penataan ruang disajikan pada Gambar 8, dan secara struktural, penyelenggaraan penataan ruang disajikan pada Gambar 9. Sub-sistem perencanaan tata ruang merupakan bagian penting yang memerlukan berbagai tahapan yang didasari oleh pendekatan-pendekatan tertentu, namun pada kenyataannya seringkali perencanaan tata ruang menjadi titik lemah dalam penataan ruang. Secara umum terdapat dua tahap dalam proses perencanaan yang harus dilakukan secara objektif dan rasional, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data. Kedua tahap tersebut akan sangat menentukan dalam tahapan

!

"

#!$ $

40 berikutnya, yaitu: (3) menetapkan kebijakan, (4) implementasi, dan (5) monitoring. Bila kedua tahapan proses yang pertama tidak dapat dilakukan secara objektif dan rasional, maka tahapan berikutnya akan menjadi bias dan menghasilkan kebijakan yang salah (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996; Taussik 2004; Rustiadi et al. 2009).

Gambar 8 Sistem Penataan Ruang (Rustiadi et al. 2009) Diketahui bahwa selama ini data merupakan titik lemah dalam perencanaan, dimana sangat sulit untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat (Fedra 2004; Håkanson dan Duarte 2008; Martin dan Hall-Arber 2008). Sistem informasi yang handal seharusnya dapat memberikan data yang berkualitas bagi proses perencanaan, namun sayangnya justru sistem informasi tersebut belum tersedia. Data yang ada umumnya hanya bersifat “resmi” seperti yang dikeluarkan oleh

BPS,

namun

kelengkapan

dan

kualitasnya

sering

diragukan.

Ketidaktersediaan data dan informasi yang memadai tersebut merupakan salah

!

"

#!$ $

41 satu permasalahan mendasar yang menjadikan proses perencanaan tata ruang selama ini menjadi titik lemah dalam penataan ruang.

Gambar 9 Struktur Penyelenggaraan Penataan Ruang (Rustiadi et al. 2009) Di sisi lain proses perencanaan selama ini dilakukan adalah melalui pendekatan perencanaan rasional, yang didasari pada logika rasional dan teoriteori. Pendekatan rasional pada dasarnya sangat bersifat ilmiah dan lintas disiplin, sehingga sangat dipercaya akan mampu menghasilkan suatu perencanaan yang baik dan komprehensif. Namun demikian, pendekatan rasional membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang lengkap untuk dapat membuat keputusankeputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif. Pendekatan rasional yang

!

"

#!$ $

42 juga disebut sebagai pendekatan komprehensif, menjadi tidak berarti tanpa ketersediaan pengetahuan (data dan informasi) yang lengkap, dan akan sulit menghasilkan suatu perencanaan yang baik. Pada kenyataannya, justru prasyarat harus tersedianya data dan informasi yang lengkap tersebut tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu penekanan pada pendekatan rasional semata, juga memberikan sumbangan signifikan, sehingga menjadikan ” proses” sebagai titik lemah dalam perencanaan tata ruang. Pada gilirannya, perencanaan yang dihasilkan berkualitas buruk dan tidak dapat diimplementasikan. Untuk menanggulangi lemahnya proses perencanaan tata ruang, maka harus disediakan data dan informasi yang lengkap dan handal dengan cara menggalinya secara langsung dari pemangku kepentingan. Untuk mengakses data dan informasi dari pemangku kepentingan, maka pendekatan perencanaan rasional harus dimodifikasi menjadi lebih bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan, sehingga membentuk suatu perencanaan konsensus. Dengan demikian, data dan informasi primer yang diperlukan bagi proses perencanaan akan dapat dipenuhi (Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Taussik 2004; Walz et al. 2007; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Schumann 2010). Filosofi dibalik perencanaan tata ruang yang umum dipraktekkan adalah sangat mengarah pada konsep perencanaan induk tetap (fixed master plan). Dalam filosofi tersebut perencanaan dipandang sebagai kegiatan produksi rencanarencana yang ditunjukkan dengan pernyataan detil kondisi masa depan yang disusun dalam urutan sekuen yang sederhana, dan akan dicapai dalam waktu tertentu. Pada kenyataannya pendekatan tersebut dalam banyak hal menemui kegagalan, karena tingginya kompleksitas masing-masing komponen dan interaksi yang terlibat di antaranya, sehingga harus selalu direvisi dan disesuaikan dengan kenyataan (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996). Pendekatan sistem dalam perencanaan diturunkan dari konsep sibernetika yang dikembangkan oleh Wiener (1948 in Hall 1996). Dalam pendekatan ini, fenomena sosial, ekonomi, biologi, dan fisik, dipandang sebagai sistem kompleks yang saling berinteraksi (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996; O’Connor dan McDermott 1997; Taussik 2004), dengan demikian semua bagian

!

"

#!$ $

43 sistem dan interaksinya tersebut dapat dipelajari secara tegas sekaligus menyeluruh. Cara pandang tersebut membuka peluang untuk mengubah prilaku sistem ke arah tujuan yang diinginkan, melalui mekanisme kontrol tertentu. Dalam cara pandang sistem, wilayah akan “ mengembangkan” diri sesuai dengan wujud respon dari beragam pengaruh perencanaan tata ruang yang dibuat (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Walz et al. 2007). Konsep dari perencanaan dengan pendekatan sistem adalah ide dasar interaksi antara dua sistem paralel yaitu sistem perencanaan itu sendiri, dan sistem yang ‘akan’ mengontrol perencanaan yang dibuat (Hall 1996). Keberadaan dua sistem paralel tersebut membentuk lingkaran (loop), oleh karena itu perencanaan tata ruang dalam pandangan sistem merupakan suatu proses siklikal (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996). Melalui pendekatan sistem, wilayah pesisir yang kompleks dengan paduan daratan dan perairan, dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh, dengan komponen utama terdiri atas populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang (tata ruang). Perilaku sistem dapat dipelajari secara komprehensif melalui pemodelan sistem, dan dilakukan intervensi yang mendasari penyusunan perencanaan (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010). Dengan demikian, pendekatan sistem diajukan sebagai suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan secara komprehensif. 2.6

Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan sistem perangkat keras dan

lunak berbasis komputer, yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi tentang area di permukaan bumi (ESRI 1995; Chrisman 1997). Pada dasarnya SIG merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi, dan geografis. Dengan penggabungan ketiga unsur pokok tersebut, SIG akan memberikan “ informasi geografis” (Prahasta 2001). Informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempattempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-

!

"

#!$ $

44 keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Chrisman 1997; Prahasta 2001). Sistem informasi geografis memerlukan data masukan agar dapat berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya (Blaschke 2001). Menurut Prahasta (2001), terdapat tiga komponen yang dapat diperoleh dari informasi kenampakan geografis yaitu posisi geografis, atribut, dan hubungan keruangan. Kekuatan utama dari SIG terletak pada kemampuannya memadukan berbagai

jenis

data,

baik

data

spasial

(yang

berkaitan

dengan

keruangan/posisi/lokasi) maupun data tekstual/atribut (non-geografis), menjadi suatu informasi yang dapat membantu memecahkan masalah secara terorganisasi dalam kaitan keruangan (posisi/lokasi). Adanya SIG memungkinkan beberapa keperluan yang kompleks dapat dilakukan menjadi lebih mudah dan cepat, dibandingkan jika dilakukan dengan cara konvensional. Ada tiga tugas utama yang diharapkan dapat dilakukan oleh SIG yaitu (ESRI 1995; Prahasta 2001): 1) penyimpanan, manajemen dan integrasi data spasial dalam jumlah besar; 2) analisis yang berhubungan secara spesifik dengan komponen data geografis; 3) mengorganisasikan dan mengatur data dalam jumlah besar, sehingga informasi tersebut dapat digunakan pemakainya. Kemampuan SIG dapat ditunjukkan dalam lima bentuk kemampuan analisis spasial sebagai berikut (ESRI 1995; Prahasta 2001): 1) Menyajikan apa yang terdapat pada suatu wilayah dalam beragam cara, dilengkapi dengan referensi geografis seperti garis lintang dan bujur. 2) Menyajikan letak suatu aktivitas dalam wilayah sebagai hasil analisis ruang, misalnya lokasi yang memenuhi kriteria yang diinginkan. 3) Menyajikan perubahan ruang secara temporal atau kecenderungan (trend). 4) Menyajikan hasil analisis spasial yang lebih rumit, seperti dampak spasial suatu kegiatan tertentu. 5) Menyajikan hasil analisis spasial yang lebih rumit lagi, yaitu berupa pemodelan yang dapat memadukan informasi spasial dan informasi lainnya termasuk sosial budaya dan hukum.

!

"

#!$ $

45 Dengan kemampuan yang tinggi, maka sebagai alat SIG sangat bermanfaat dalam perencanaan tata ruang wilayah. Informasi yang didapatkan dari pendekatan sistem dan pemodelan akan dapat diintegrasikan dengan SIG. Peranan SIG adalah sebagai alat analisis spasial bagi informasi yang dihasilkan dari pemodelan yang dibangun (Blaschke 2001; Shui-sen et al. 2005; Martin dan HallArber 2008). Dengan demikian pendekatan sistem dinamik dan pemodelan akan dapat menyajikan informasi spasial yang diperlukan bagi perencanaan tata ruang Teluk Lampung. 2.7

Tinjauan Penelitian Terdahulu Pendekatan penelitian yang menggunakan sistem dinamik semakin

berkembang dan telah banyak dilakukan (Fedra dan Feoli 1998; Deal dan Schunk 2004). Publikasi penelitian kewilayahan yang menggunakan pendekatan sistem dinamik sudah cukup banyak ditemukan, terutama dalam studi dinamika dan perencanaan wilayah. Namun demikian penerapan sistem dinamik dalam perencanaan wilayah di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal perencanaan wilayah memerlukan suatu metodologi yang komprehensif untuk merangkum kompleksitas wilayah yang tinggi. Penelitian ini pada dasarnya terinspirasi oleh kondisi tersebut, dan dengan mengacu pada beberapa penelitian terdahulu dicoba untuk menerapkan metodologi sistem dalam suatu proses perencanaan tata ruang wilayah. Secara singkat, penelitian terdahulu yang dan berkaitan dengan rencana penelitian ini, disajikan pada Gambar 10. Studi mengenai dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS) telah dilakukan oleh Haie dan Cabecinha (2003), Aurambout et al. (2005), dan Elshorbagy et al. (2005). Dalam kajiannya, Haie dan Cabecinha (2003) menggunakan perangkat lunak STELLA 5.0 untuk mengembangkan dan mensimulasikan model kondisi ekosistem pada DAS di Portugal. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa model dinamik yang dikembangkan dapat menggambarkan ekosistem DAS tersebut secara memuaskan, dan dapat teruji secara statistik dengan data empiris selama 10 tahun. Aurambout et al. (2005) mengkaji model spasial dan dinamik perkembangan wilayah dan tekanan terhadap ekologi, dengan menggunakan

!

"

#!$ $

46 perangkat lunak STELLA 7.0.1 dan yang diintegrasikan dengan program sistem informasi geografis yaitu pemodelan spasial lingkungan (SME). Mereka mendapatkan bahwa penerapan metode tersebut sangat memuaskan untuk merumuskan kebijakan lingkungan dalam upaya maksimalisasi kehidupan liar baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil kajian tersebut dapat diterapkan dalam perancangan perlindungan alam, misalnya detil peletakan koridor satwa. Elshorbagy et al. (2005) mengkaji keberlanjutan upaya reklamasi suatu sistem DAS yang telah rusak pasca kegiatan penambangan, dengan menerapkan sistem dinamik model DAS (SDWM). Dalam kajian tersebut didapatkan bahwa sistem dinamik dapat sangat membantu dalam menyusun strategi reklamasi untuk pemulihan kondisi hidrologi, serta penyusunan skenario pengelolaan DAS yang rusak akibat kegiatan penambangan. Studi mengenai perencanaan kota dan wilayah dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik telah dilakukan oleh White dan Engelen (2000), Deal dan Schunk (2004), dan Yufeng dan ShuSong (2005). White dan Engelen (2000), mengkaji pemodelan sistem dinamik perencanaan kota dan wilayah dengan menerapkan otomata selular (cellular automata, CA). Mereka menyatakan bahwa model kota dan wilayah berbasis CA dapat menghadirkan suatu dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik. Dalam perencanaan kota dan wilayah, sistem tersebut akan sangat membantu. Deal dan Schunk (2004), mengkaji pemodelan spasial dinamik transformasi penggunaan lahan dalam

kawasan perkotaan kota. Mereka

menunjukkan bahwa sistem dinamik memiliki kemampuan efektif dalam memodelkan kawasan perkotaan, dan memberikan manfaat yang besar dalam pemahaman transformasi penggunaan lahan yang membentuk perkembangan kawasan perkotaan ke perdesaan (urban sprawl). Yufeng dan ShuSong (2005) mengkaji rencana pengembangan kota Hsinchu Science Park di Taiwan dengan menggunakan sistem dinamik. Dalam penelitian tersebut digunakan perangkat lunak STELLA yang diintegrasikan dengan metode fuzzy Delphi untuk mengakomodasi aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa pendekatan sistem dinamik mampu memberikan arahan kebijakan untuk pembangunan kota secara

!

"

#!$ $

47 berkelanjutan. Secara lebih tajam, hasil simulasi sistem dapat memberikan arahan strategi pengelolaan ekonomi, sosial, dan lingkungan kota. Studi mengenai perencanaan wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan sistem dan analisis spasial telah dilakukan oleh Villa et al. (2002) dan Ramos (2004). Agak berbeda dengan kajian dinamika wilayah serta perencanaan kota dan wilayah, perencanaan wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan sistem masih relatif sedikit, dan lebih terfokus pada perencanaan pengelolaan kawasan lindung. Villa et al. (2002) melakukan penelitian perencanaan zonasi daerah perlindungan laut di Pulau Asinara, Itali. Dalam penelitian tersebut, dilakukan analisis spasial kriteria ganda yang diintegrasikan dengan GIS. Penelitian menunjukkan

bahwa

metodologi

spasial

mempunyai

kemampuan

yang

memuaskan dalam hal pengaturan ruang wilayah perlindungan laut, dengan tingkat perlindungan yang beragam. Hasil penelitian tersebut kemudian berhasil diterapkan secara operasional dalam zonasi wilayah perlindungan laut di Perlindungan Laut Nasional Pulau Asinara, Italia. Ramos (2004) mengkaji pendekatan sistem spasial untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagai suatu ekoregional. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu penelitian jangka panjang, yang terintegrasi dengan pelaksanaan the Sulu-Sulawesi marine ecoregion (SSME), sebuah program kegiatan World Wide Fund for Nature (WWF) di segi tiga Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Program ditunjang dengan pengembangan sistem the coastal and marine resource information system (CMARIS) yang mendukung suatu sistem pengambilan keputusan secara spasial (spatial decision support system, SDSS). Dari hasil kajian yang dilakukan, Ramos (2004) menyimpulkan bahwa pendekatan sistem sangat berperan dalam perencanaan wilayah laut dan pesisir, yaitu dalam hal koleksi, organisasi, akses, dan pengiriman informasi sumberdaya pesisir dan laut, sehingga secara spasial dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan khusus bagi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut. Gangai dan Ramachandran (2010) mengkaji peran tata ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir. Mereka menunjukkan bahwa tata ruang (sebagai instrumen hukum) dapat menyelamatkan wilayah pesisir dari penggunaan lahan

!

"

#!$ $

48 (ruang) eksisting yang tidak konsisten. Hal tersebut dapat menjamin suatu stabiltas bagi terlaksananya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ada, tampak bahwa pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah telah menjadi suatu kecenderungan, karena memiliki kemampuan menyajikan kompleksitas wilayah. Dengan karakteristik wilayah pesisir yang memilki kompleksitas tinggi, maka sangat beralasan untuk menerapkan pendekatan sistem dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaannya. Dinamika wilayah ekologis:

Perencanaan kota dan wilayah:

Perencanaan wilayah pesisir:

1. Haie dan Cabecinha (2003) mengkaji pemodelan dinamik suatu sistem daerah aliran sungai (DAS). 2. Aurambout et al. (2005) mengkaji model spasial dan dinamik perkembangan wilayah dan tekanan terhadap ekologi 3. Elshorbagy et al.(2005) mengkaji keberlanjutan upaya reklamasi suatu sistem daerah aliran sungai (DAS) yang telah rusak, dengan menerapkan sistem dinamik.

1. White dan Engelen (2000), mengkaji pemodelan sistem dinamik perencanaan kota dan wilayah. 2. Deal dan Schunk. (2004) mengkaji pemodelan spasial dinamik transformasi penggunaan lahan dalam kawasan perkotaan kota. 3. Yufeng dan ShuSong (2005) mengkaji rencana pengembangan kota menggunakan sistem dinamik

1. Villa et al. (2002) menggunakan analisis multi kriteria dan pemodelan spasial untuk perencanaan wilayah perlindungan laut. 2. Ramos (2004) mengkaji pendekatan sistem spasial untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagai suatu ekoregional. 3. Gangai dan Ramachandran (2010) mengkaji peran tata ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Penelitian: Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung

Gambar 10 Beberapa penelitian terdahulu yang dirujuk dan berkaitan dengan penelitian

!

"

#!$ $

3 METODE PENELITIAN 3.1

Pendekatan Penelitian Penelitian

menggunakan

metodologi

sistem

dinamik

digunakan

berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar variabel yang dikaji dan mensimulasikan prilaku sistem bila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Penerapan sistem dinamik dapat membantu dalam penyusunan skenario kebijakan dan pengambilan keputusan dalam kajian sistem kompleks. Dengan demikian dapat dipelajari sifat sistem wilayah pesisir Teluk Lampung. Kemampuan tersebut memudahkan penyusunan skenario perencanaan sistem kompleks, seperti perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Untuk mendapatkan penyajian spasial terhadap skenario perencanaan tata ruang, hasil simulasi sistem dinamik dikaitkan dengan dengan sistem informasi geografis (SIG). 3.2

Wilayah Penelitian Perumusan definisi wilayah pesisir yang diacu dalam penelitian ini

disusun berdasarkan pertimbangan yang telah disajikan pada sub-bab 2.1. Dari pertimbangan tersebut, lingkup wilayah penelitian meliputi wilayah daratan dan perairan Teluk Lampung (Gambar 11), yaitu: 1) Wilayah daratan adalah meliputi semua kecamatan pesisir di dalam administrasi Kota Bandar Lampung (Kecamatan Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, dan Panjang), Kabupaten Lampung Selatan (Kecamatan Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni), dan Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada), yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 2) Wilayah perairan adalah Teluk Lampung dengan posisi geografis terletak antara 105o11’-105o43’ BT dan 5o26’-5o59’ LS. 3.3

Kerangka Pemikiran dan Analisis Pada dasarnya perencanaan tata ruang wilayah pesisir merupakan bagian

dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang mengandung tiga dimensi yaitu

!

"

#!$ $

50 sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 2001; Kay dan Alder 1999; Gangai dan Ramachandran 2010). Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu menghendaki kesamaan visi antar pelaku. Menyadari arti penting visi pengelolaan wilayah pesisir, Pemerintah Provinsi Lampung telah mempelopori perumusan visi bersama. Visi pengelolaan wilayah pesisir Lampung yang disepakati antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, dirumuskan sebagai berikut (Pemerintah Provinsi Lampung 2001).

Gambar 11 Ibukota Kab./Kota

PETA WILAYAH PENELITIAN

Ibukota Kecamatan Wilayah Penelitian

!

"

#!$ $

51 “Terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat”. Mengacu pada visi tersebut, strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Provinsi Lampung harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, lingkungan, hukum, tata ruang, dan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, penataan ruang wilayah pesisir memiliki peran strategis sebagai salah satu upaya perwujudan visi. Namun pada kenyataannya telah terdapat permasalahan kompleks di wilayah pesisir Teluk Lampung, yang meliputi aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Jika permasalahan tersebut tidak mendapatkan solusi yang tepat dan cepat, maka upaya perwujudan visi menjadi semakin sulit dicapai. Berdasarkan visi sebagai tujuan utama pengelolaan wilayah pesisir, disusun kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan kompleks yang meliputi aspek-aspek

ekonomi,

ekologi,

dan

sosial,

bersumber

dari

lemahnya

penyelengaraan penataan ruang. Seperti diketahui bahwa penyelenggaraan penataan ruang harus ditopang oleh pilar pengaturan, pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang menempati posisi penting dalam penyelenggaran, karena bersentuhan langsung dengan berbagai dimensi kepentingan masyarakat dan dunia usaha, dan pada dasarnya merupakan domain pemerintah bersama masyarakat. Pelaksanaan penataan ruang merupakan suatu sistem proses yang meliputi sub-sistem pengendalian, perencanaan, dan pemanfaatan ruang. Ketiga sub-sistem tersebut saling berinteraksi dan menentukan performa sistem secara keseluruhan. Perencanaan tata ruang sebagai suatu sub-sistem, akan menentukan performa pelaksanaan penataan ruang, karena perencanaan merupakan titik tolak bagi pengendalian dan pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penataan ruang hanya akan berjalan dengan baik bila didasari dengan perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan dan dapat diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perencanaan tata ruang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung secara berkelanjutan.

!

"

#!$ $

52

Kantung kemiskinan

Permukiman kumuh

Kawasan lindung dan budidaya belum jelas

RTRW belum mengakomodasi peekonomian masyarakat

Konflik pemanfaatan ruang

RTRW bias darat dan kota

Permasalahan Ekonomi

Permasalahan wilayah pesisir

RTRW belum partisipatif dan operasional

Pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem pesisir

Permasalahan Ekologis

Permasalahan Sosial

Pengendalian Ruang

Perencanaan Tata Ruang

Pemanfaatan Ruang

Visi pengelolaan wilayah pesisir Lampung

Belum ada perencanaan tata ruang yang komprehensif dan partisipatif

Manfaat

Komprehensif dan akomodatif terhadap kepentingan ekonomi masyarakat kecil (nelayan) dan usaha skala besar, secara berimbang. Berbasis pada pelestarian sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir. Akomodatif terhadap kepentingan berbagai pelaku secara berimbang.

Perlu kajian sistem

Ekonomi masyarakat yang berbasis pada sumberdaya pesisir. Pengembangan ekonomi wilayah pesisir berkelanjutan yang mengakomodasi kepentingan ekonomi masyarakat dan usaha skala besar, secara berimbang. Keterkaitan antara aspek ekonomi dan sosial terhadap aspek ekologi dan kerusakan ekosistem pesisir. Kondisi ekologis wilayah pesisir yang dikehendaki pada masa mendatang. Pemetaan berbagai kepentingan stakeholders. Konflik penggunaan ruang antar pelaku (stakeholders). Wilayah pesisir sebagai suatu kawasan terpadu yang meliputi daratan dan perairan.

Gambar 12 Kerangka pemikiran penelitian

!

Tujuan penelitian

Domain pemerintah dan masyarakat: Pengawasan Pelaksanaan

Penguatan penyelenggaraan penataan ruang

Skenario perencanaan

Domain pemerintah: Pengaturan Pembinaan Pengawasan

Isu utama

Penyelenggaraan penataan ruang masih lemah

"

#!$ $

Kajaian penelitian melalui pendekatan sistem

Pendapatan penduduk rendah

53

Visi Pengelolaan Pesisir Lampung

Data Atribut Sekunder: Biofisik dan Sosial Ekonomi

RTRW Provinsi dan Kabupaten / Kota

Citra Satelit

Data Spasial (Peta Tematik) Sekunder: Biofisik dan Sosial Ekonomi

Interpretasi Citra Satelit

Stakeholders

Indikasi Tata Ruang

Penelitian Lapangan

Isu Tata Ruang Pesisir

Analisis Prospektif Partisipatif

Analisis Sistem Informasi Geografis

Analisis Ekonomi Wilayah, Analisis Kewilayahan

Keterkaitan

Basis Data

Analisis Sistem Dinamik

Arahan/Rekomendasi Pola dan Struktur Ruang Wilayah Pesisir Teluk Lampung

Gambar 13 Kerangka alur analisis penelitian Kerangka pemikiran penelitian, dibangun dengan pandangan bahwa perencanaan tata ruang harus disusun secara komprehensif dan partisipatif dengan menggunakan pendekatan sistem. Pada akhirnya perencanaan tata ruang yang baik akan dapat mendukung penguatan penyelenggaraan penataan ruang dan menuju perwujudan visi sebagai tujuan utama. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian, disajikan pada Gambar 12.

!

"

#!$ $

54 Untuk

melaksanakan

penelitian

sebagaimana

digambarkan

dalam

kerangka pemikiran, dibutuhkan berbagai data dan informasi, yang harus dirangkum dalam suatu kerangka analisis. Kerangka analisis menggunakan pendekatan sistem dinamik dan partisipatif, yang diintegrasikan dengan sistem informasi geografis (SIG), ditujukan untuk membangun skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat komprehensif, partisipatif, dan akomodatif terhadap berbagai kebutuhan pemangku kepentingan. Secara ringkas kerangka alur analisis penelitian disajikan pada Gambar 13. 3.4

Batas Sistem Sistem yang dibangun dibatasi oleh lingkungan sistem, yaitu semua

elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan. Secara fisik sistem dibatasi hanya pada wilayah penelitian, secara non-fisik sistem dibatasi hanya pada komponen-komponen utama di wilayah penelitian yaitu populasi, aktivitas ekonomi, serta kebutuhan dan ketersediaan ruang (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008), serta interaksi di antara komponen tersebut. Aspek lain di luar ketiga komponen dan interaksinya tersebut, dimasukkan sebagai lingkungan sistem, antara lain adalah aspek sosial budaya, agama, etnis, kebijakan pemerintah pusat, perubahan perekonomian akibat resesi, dan lain-lain. Sub-komponen pengguna ruang di wilayah pesisir yang dimasukkan di dalam sistem meliputi: 1) Kawasan lindung daratan dan kawasan konservasi perairan 2) Kawasan budidaya daratan (perikanan budidaya pesisir (tambak), pertanian, pariwisata pantai, permukiman perkotaan dan perdesaan, bisnis dan industri, dan prasarana wilayah); serta pemanfaatan umum perairan (perikanan tangkap, perikanan budidaya laut, transportasi laut, dan kawasan militer TNI-AL). Secara ringkas komponen sistem dan interaksinya, serta arah kebijakan dan implikasinya, disajikan pada Gambar 14.

!

"

#!$ $

!

!

# ("

"

"

"

#

! #

*

)

! !

! )

#

)

. !

(

#

)

$

"

& ' ""

) )

$ #

,

!

%

#

(" -

+ )

+

-

#

Gambar 14 Komponen sistem dan interaksinya, serta arah kebijakan dan implikasinya !

"

#!$ $

55

56 3.5

Tahapan Pendekatan Sistem Pendekatan sistem dilakukan dalam beberapa tahap proses yang terdiri

dari penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi., yang secara ringkas disajikan pada Gambar 15. Dalam analisis kebutuhan dilakukan inventarisasi kebutuhan dan opini segenap pemangku kepentingan yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Inventarisasi kebutuhan dilakukan secara objektif menggunakan metode prospektif partispatif. Kebutuhan diinventarisasi melalui pendapat pemangku kepentingan dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan pakar (expert) mengenai wilayah Teluk Lampung, dalam suatu forum pertemuan pakar. Partisipan berasal dari berbagai latar belakang, yaitu meliputi: masyarakat, pengusaha, institusi pemerintah daerah, perguruan tinggi setempat, dan lembaga swadaya masyarakat. Tahap formulasi permasalahan merupakan perumusan permasalahan tata ruang Teluk Lampung. Tahap identifikasi sistem didasarkan pada komponen utama yaitu populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, serta interaksi di antaranya. Setelah identifikasi, selanjutnya dilakukan pemodelan dan simulasi sistem. Tahap simulasi akan memberikan informasi mengenai performa model yang dibangun apakah memuaskan atau tidak, jika tidak maka akan dilakukan perbaikan yang diperlukan. Pada akhirnya, hasil dari pendekatan sistem akan memberikan informasi mengenai dinamika komponen penyusun struktur wilayah Teluk Lampung yaitu ketersediaan ruang, populasi penduduk, dan aktivitas ekonomi. Selanjutnya dengan bantuan sistem informasi geografis (SIG), informasi tersebut digunakan dalam analisis spasial guna menyusun berbagai skenario bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung.

!

"

#!$ $

57

Gambar 15 Tahap analisis sistem dinamik 3.6

Analisis Prospektif Partisipatif Pelaksanaan analisis prospektif partisipatif dilakukan melalui temu pakar

(expert meeting), yang dihadiri oleh partisipan. Temu pakar dilakukan pada tanggal 23 Juli 2009 bertempat di Wisma Tamu Universitas Lampung, Jalan Sumantri Brojonegoro No.1, Gedong Meneng, Bandar Lampung. Sebelum dilakukan temu pakar, terlebih dahulu telah dilakukan kontak secara personal

!

"

#!$ $

58 kepada masing-masing pakar (perwakilan pemangku kepentingan) untuk memberikan informasi mengenai materi, tujuan, dan metode dari pertemuan tersebut. Pertemuan dihadiri oleh 27 orang pakar, yang meliputi: (1) aparat Pemerintah Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, dan TNI-AL (Lanal Panjang); (2) nelayan dan pembudidaya ikan; (3) masyarakat dan pengusaha; dan (4) perguruan tinggi setempat (Universitas Lampung). Jumlah pakar yang dapat menghadiri pertemuan tersebut dianggap cukup, sebagaimana pernah dilaksanakan dalam penelitian: “Crop research and development prospects in Asia and the Pacific” oleh The centre for alleviation of poverty through secondary crops’ development in Asia and the Pacific (CAPSA) di Bogor pada tahun 2002, telah dianggap cukup dengan dihadiri oleh 13 orang pakar (Bourgeois dan Jesus 2004). Jenis data yang digunakan dalam analisis ini merupakan semua data, informasi, dan opini yang dikemukakan pakar dalam temu pakar. Adapun dimensi waktu analisis ditetapkan selama 20 tahun ke depan, dengan mengacu pada UU No, 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Analisis data dilakukan secara simultan dalam pengumpulan data pada saat temu pakar dilaksanakan. Tahapan analisis disajikan pada Tabel 3. Uraian tahapan analisis prospektif partisipatif adalah sebagai berikut (Bourgeois dan Jesus 2004): Penentuan/definisi sistem dilakukan sebagai tahap awal dalam temu pakar, dan dilakukan melalui diskusi. Tahap ini penting sebagai pengembangan eksplorasi masa depan, yang terfokus pada wilayah pesisir Teluk Lampung (sesuai dengan batas sistem yang telah didefinisikan sebelumnya). Identifikasi variabel sistem dilakukan melalui brainstorming, yang dimulai dengan identifikasi variabel yang memiliki pengaruh terhadap susunan dan evolusi sistem, dari sudut pandang peserta. Untuk menjamin terjadinya partisipasi yang sama, diterapkan teknik visualisasi menggunakan kartu berwarna. Partisipan diminta menulis secara bebas variabel-variabel yang dianggapnya penting, sebanyak satu variabel untuk setiap kartu. Kemudian kartu dikumpulkan dan dipajang pada papan tulis. Kartu yang berisikan

!

"

#!$ $

59 opini yang sama persis, dibuang dari pajangan dan diganti dengan satu kartu pengganti. Dalam hal ini, harus terdapat konsensus dari seluruh peserta untuk membuang atau mempertahankan kartu yang dipajang tersebut. Pada tahap ini belum dilakukan diskusi mengenai relevansi dari masing-masing variabel, baru merupakan opini dan konsensus dari partisipan. Tabel 3 Tahapan analisis prospektif partisipatif No. 1.

Tahapan Penentuan/Definisi Sistem

2. 3. 4.

Identifikasi variabel sistem Definisi variabel kunci Analisis pengaruh antar variabel

5.

Interpretasi dari pengaruh dan ketergantungan antar variabel

6.

Pendefinisian kondisi variabel di masa datang. Pembangunan skenario Penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif

7. 8.

Pendekatan Persiapan awal dan diskusi kelompok Curah pendapat Diskusi kelompok terstruktur Analisis struktural dan kerja kelompok Diskusi kelompok yang didukung dengan grafik dan tabel hasil analisis Analisis morfologis dan diskusi kelompok Curah pendapat Diskusi terstruktur

Sumber: Bourgeois dan Jesus (2004)

Definisi variabel kunci dilakukan melalui diskusi terstruktur, yang membahas relevansi dari masing-masing variabel yang telah disepakati sebelumnya. Aturan sederhana yang digunakan dalam mendiskusikan kandungan dari opini yang diajukan oleh peserta merupakan variabel atau bukan, adalah: (1) bukan merupakan sebuah kalimat; (2) tidak berbentuk negatif; dan (3) secara umum bukan ekspresi fisik. Jika terdapat variabel yang tidak dapat dinyatakan dalam berbagai kondisi yang berbeda, maka dianggap sebagai variabel yang tidak relevan. Biasanya suatu kondisi dideskripsikan dengan menggunakan kata kualifikasi seperti adjektif, sedangkan

variabel

bersifat

substantif.

Teladan

sederhana untuk

menentukan variabel relevan dan kondisi yang dapat diidentifikasi, adalah sebagai berikut:

!

"

#!$ $

60 o “Hubungan buruk antara petani dan pedagang” bukanlah suatu variabel; yang dimaksud variabel adalah “Hubungan antara petani dan pedagang”. Variabel ini dapat mengambil berbagai kondisi di dalam sistem yang sama, seperti “tidak saling percaya” atau “saling percaya”; o “Psikologis petani”, adalah variabel tidak relevan, karena tidak dapat dideskripsikan dalam kondisi yang berbeda-beda. Dari tahap ini ditetapkan daftar akhir dari keseluruhan variabel sistem, kemudian variabel didefinisikan. Semua variabel yang sudah ditentukan dan didefinisikan, langsung dimasukkan dalam paket lembar kerja perangkat lunak “Microsoft Excel” yang telah diprogram (hak cipta Bourgeois dan Jesus 2004), untuk analisis selanjutnya. Analisis pengaruh antar variabel dilakukan melalui analisis struktural dan kerja

kelompok,

peserta

diminta

untuk

menganalisis

pengaruh/ketergantungan langsung influence/dependence (I/D) setiap variabel dengan variabel lainnya, dengan menggunakan pendekatan valuasi konsensual. Valuasi pengaruh langsung masing-masing variabel terhadap variabel lainnya, menggunakan skala dari “0=tidak ada pengaruh” sampai “3 = berpengaruh sangat kuat”. Nilai-nilai tersebut didiskusikan oleh peserta, dan setelah tercapai kesepakatan, dimasukkan di dalam matriks I/D. Jumlah valuasi tergantung pada jumlah variabel yang telah diidentifikasi, jika terdapat n buah maka ada n2 – n hubungan antar variabel yang harus didiskusikan dan divaluasi. Interpretasi hubungan pengaruh antar variabel dilakukan berdasarkan hasil olahan paket perangkat lunak Microsoft Excel, dengan output berupa tabel dan grafik. Interpretasi tabel skor kekuatan variabel global tertimbang, adalah untuk menentukan peringkat variabel. Variabel yang memiliki skor tertinggi merupakan variabel terkuat, yang memiliki pengaruh tertinggi dan ketergantungan terendah. Grafik pengaruh langsung dan tidak langsung, juga menunjukkan tingkat kekuatan variabel. Kuadran I (kiri atas) merupakan wilayah variabel penggerak. Kuadran II (kanan atas) merupakan wilayah variabel kontrol.

!

"

#!$ $

61 Kuadran III (kanan bawah) merupakan wilayah variabel keluaran, yang bersifat sangat tergantung dan hanya sedikit pengaruh. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan wilayah variabel marjinal, kelompok ini akan dikeluarkan dari analisis. Variabel yang berada pada kuadran I dan II merupakan variabel kuat, dan akan dipilih sebagai variabel penentu dalam analisis selanjutnya. Tahap pendefinisian kondisi variabel di masa depan disebut juga sebagai analisis morfologi, yang bertujuan untuk menjajaki domain masa depan yang mungkin terjadi, serta mengemukakan alternatif-alternatif yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk masing-masing variabel yang telah dipilih, peserta diminta mengidentifikasi beberapa kondisi variabel yang akan terjadi di masa depan, dan fokus terhadap alternatifalternatif yang kontras dan saling bebas. Suatu kondisi merupakan sebuah deskripsi dari variabel di masa depan; dan bukan sebagai ukuran dari variabel tersebut. Variabel dan kondisi-nya disusun dalam bentuk tabel, yang menyajikan dasar bagi penyusunan kombinasi untuk melakukan elaborasi skenario. Peserta juga diminta untuk membuat daftar kombinasi kondisi yang tidak dapat atau sangat sulit terjadi, kemudian dikeluarkan dari pilihan untuk membangun skenario. Untuk mempermudah proses tersebut, masing-masing variabel diberi simbol (misalnya huruf besar) dan masing-masing kondisi diberi simbol angka. Tahap pembangunan skenario, dilakukan melalui penyusunan kombinasi variabel dengan kondisi yang berbeda-beda. Peserta diminta untuk menyusun sejumlah skenario, dengan menyusun kombinasi kode variabel dan kondisinya (hurup dan angka). Penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif, dilaksanakan dengan menggunakan skenario yang telah dibangun. Masing-masing skenario didiskusikan secara terstruktur dalam suatu kerangka yang meliputi deskripsi skenario, implikasi terhadap varibel kunci lainnya, unsur strategis (yang dapat mempengaruhi evolusi sistem), dan aksi yang mungkin dilakukan. Informasi yang dihasilkan merupakan suatu peta jalan

!

"

#!$ $

62 bagi pemangku kepentingan untuk menghadapi perkembangan dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Rencana aksi yang dapat disusun oleh para pemangku kepentingan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi di masa datang (pro-aktif). Selain itu, eksplorasi kondisi masa datang juga dapat membantu dalam menyiapkan aksi yang bersifat re-aktif. Melalui identifikasi dan perbandingan skenario, para pengambil

keputusan

dan

pemangku

kepentingan

dapat

lebih

mampu

merencanakan masa depan suatu wilayah. Tingkat kedalaman pelibatan pemangku kepentingan dalam analisis prospektif partisipatif, dianggap dapat memenuhi tingkat partisipasi kolegiat sebagaimana perspektif Bigg (1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995); serta termasuk dalam tipologi partisipasi interaktif menurut Brown et al. (2001). 3.7

Pemodelan Sistem Dalam membangun sistem perencanaan tata ruang Teluk Lampung,

dilakukan pengembangan model guna mempresentasikan peubah populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, serta interaksi di antaranya. Berdasarkan karakteristik wilayah pesisir yang kompleks dan multidimensi, ditetapkan penggunaan model simbolik, yang menggunakan persamaanpersamaan matematis. Perangkat lunak komputer yang digunakan sebagai alat bantu dalam pemodelan sistem adalah Stella 7.r. dari HPS Inc. (2001). Tenaga Kerja

Sub-Model Populasi

Lapangan Kerja

Penyediaan Ruang

Kebutuhan Ruang

Sub-Model Aktivitas Ekonomi

Penyediaan Ruang

Sub-Model Ketersediaan Ruang

Kebutuhan Ruang

Gambar 16 Model secara global !

"

#!$ $

63 Secara global model menggambarkan interaksi antara komponen populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang yang bersifat timbal balik. Masingmasing komponen mempunyai gugus formula sendiri-sendiri, namun saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu. Oleh karena itu, model global disusun oleh tiga sub-model yang meliputi sub-model populasi, sub-model aktivitas ekonomi, dan sub-model ketersediaan ruang, yang dikembangkan secara terpisah. Secara ringkas model global disajikan pada Gambar 16. 3.7.1

Faktor-faktor penyusun model Sub-model populasi menggambarkan dinamika penduduk (populasi), yang

ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor penyusun sub-model populasi adalah meliputi: jumlah populasi, kelahiran, imigrasi, kematian, emigrasi, angkatan kerja, fraksi angkatan kerja, fraksi kelahiran, fraksi kematian, nomal imigrasi, normal emigrasi,

pengangguran,

pertambahan

penduduk,

dampak

penganggur,

kemudahan tenaga kerja, percepatan imigrasi, dan percepatan emigrasi. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Dari berbagai faktor di atas, dapat disintesis model dengan menggunakan perangkat lunak Stella. Sub-model populasi dihubungkan dengan sub-model aktivitas ekonomi melalui faktor lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan dihubungkan

investasi. melalui

Terhadap faktor

sub-model kendala

ketersediaan

ruang-percepatan

ruang,

populasi

emigrasi,

serta

pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana. Sub-model aktivitas ekonomi menggambarkan dinamika perekonomian, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang terlibat dalam submodel ini meliputi: aktivitas ekonomi (produk domestik regional bruto, PDRB), pertumbuhan ekonomi, sektor industri, pertumbuhan sektor industri, investasi, laju investasi, kebangkrutan investasi, sektor perikanan laut, pertumbuhan sektor perikanan, sektor transportasi laut, pertumbuhan sektor transportasi laut, sektor pariwisata, pertumbuhan sektor pariwisata, sektor lain, pertumbuhan sektor lain, kebutuhan tenaga kerja, lapangan kerja, fraksi pertumbuhan sektor industri, fraksi pertumbuhan sektor perikanan, fraksi pertumbuhan sektor transportasi laut, fraksi

!

"

#!$ $

64 pertumbuhan

sektor pariwisata,

fraksi

pertumbuhan

sektor lain,

fraksi

pertumbuhan investasi, tingkat kebangkrutan investasi, dan percepatan investasi. Sub-model aktivitas ekonomi dihubungkan dengan sub-model populasi melalui faktor lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan investasi. Terhadap sub-model ketersediaan ruang, aktivitas ekonomi dihubungkan melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Sub-model ketersediaan ruang menggambarkan dinamika kebutuhan dan penggunaan ruang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang terlibat dalam sub-model ini meliputi: lahan total, kawasan lindung daratan, konversi kawasan lindung daratan, lahan tersedia, penggunaan lahan perkotaan, penggunaan lahan perdesaan, penggunaan lahan pertanian, penggunaan lahan lain, perairan total, perairan tangkap, kawasan lindung perairan, perairan daerah kerja pelabuhan, perairan daerah kepentingan pelabuhan, alur pelayaran, perairan kepentingan TNI-AL, perairan untuk pariwisata, perairan tersedia, konversi kawasan lindung, permukiman per kapita, prasarana per kapita, reklamasi pantai, degradasi sumberdaya pesisir, fraksi ruang terpakai, kendala ruang, inkonsistensi tata ruang, dan laju konversi pantai. Sub-model ketersediaan ruang dihubungkan dengan sub-model populasi melalui faktor kendala ruang-percepatan emigrasi, serta pertambahan pendudukkebutuhan permukiman dan prasarana; sedangkan terhadap sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. 3.7.2

Blok bangunan dasar dan persamaan dalam model Blok bangunan dasar dalam bahasa Stella yang digunakan adalah meliputi

stok (stocks), aliran (flows), pengubah (converter), penghubung (connectors), dan awan (sink/source). Masing-masing blok dasar tersebut mempunyai simbol dan arti sebagai berikut. Stok merupakan akumulasi dari materi yang mencerminkan kondisi atau keadaan sistem pada titik waktu tertentu. Aliran merupakan aliran materi, sebagai indikasi aktivitas dalam sistem, dari atau yang atau ke luar stok; atau dari dan ke awan.

!

"

#!$ $

65 Pengubah merupakan pengkonversi input menjadi output, dapat mewakili baik materi maupun informasi.

Penghubung merupakan alur informasi sebagai penghubung antara stok ke pengubah, stok ke aliran, antaraliran, pengubah ke aliran, atau antarpengubah. Awan merupakan sumber dari materi yang tidak didefinisikan, dan juga merupakan tempat mengalirnya materi yang tidak didefinisikan. Semua persamaan yang digunakan dalam pengembangan model bersifat deterministik. Bentuk persamaan dasar yang digunakan dalam pengembangan model adalah sebagai berikut: Persamaan stok Persamaan stok menghitung akumulasi dari suatu aliran terhadap waktu, dengan bentuk dasar diberikan pada persamaan berikut (HPS 1990 dan 1994):

stock =

tn

flow dt

…………………………….………………….(1)

t0

Persamaan stock merupakan integral definit yang dibentuk dari aliran dalam rentang waktu awal (t0) sampai waktu akhir (tn). Di dalam model, persamaan stok memiliki bentuk dasar sebagai berikut: STOCK(t) = STOCK(t - dt) + (INFLOW – OUTFLOW)*dt

..…..………(2)

Persamaan di atas menyatakan bahwa nilai stok saat ini (t) merupakan jumlah dari nilai stok di masa lalu (t - dt) ditambah dengan perubahan akibat aliran yang mempengaruhi stok tersebut selama selang waktu (dt). Lama waktu (dt) disebut dengan waktu komputasi, atau interval solusi. Persamaan aliran Persamaan aliran digunakan untuk menghitung nilai dari suatu aliran masuk atau keluar dari atau ke dalam stok, dengan persamaan dasar diberikan sebagai berikut (HPS 1990 dan 1994):

!

"

#!$ $

66

flow = d ( stock)/dt

.……………………………………….……... (3)

Persamaan aliran merupakan turunan (diferensial) dari persamaan stok. Di dalam model, persamaan aliran dapat dibentuk dari beragam persamaan seperti aditif, multiplikatif, eksponensial, ataupun bentuk lainnya, dengan input dari pengubah, stok, ataupun aliran yang lain. Di dalam model, persamaan aliran tidak memiliki bentuk standar tertentu, dan tergantung pada struktur kebijakan yang ada pada sistem. Panduan untuk pendefinisian persamaan aliran, adalah: •

Pada umumnya persamaan aliran tidak dapat mengandung unsur dt, kecuali dalam pemodelan akhir tahun, pemodelan deret waktu, dan sebagai pembatas.



Dependensi antar aliran harus dihindari, karena menimbulkan kesalahan melingkar, yaitu kesalahan pendefinisian sistem akibat ketergantungan antar variabel yang bersifat siklis, sehingga program tidak dapat menentukan variabel mana yang dijadikan acuan awal dan simulasi tidak dapat dijalankan.

Persamaan pembantu Persamaan pembantu (auxiliary) merepresentasikan komputasi informasi dalam sistem umpan balik. Persamaan pembantu di dalam model diberikan oleh blok dasar pengubah, yang dapat merupakan suatu konstanta, ataupun persamaan yang dapat berbentuk aditif, multiplikatif, eksponensial, ataupun bentuk lainnya, dengan input dari stok, aliran, ataupun pengubah yang lain. Dalam melakukan representasi sistem ke dalam persamaan matematis, persamaan pembantu sulit ditentukan tanpa mengetahui informasi yang mempengaruhi variabel pembantu tersebut. Sama halnya dengan persamaan aliran, persamaan pembantu tidak memiliki bentuk standar, namun ada batasan yang harus diperhatikan : •

Persamaan pembantu tidak dapat mengandung unsur dt pada sisi kanan persamaan.



Sebuah peubah pembantu secara umum bergantung pada stok atau pembantu lainnya.

!

"

#!$ $

67 •

Perumusan sekumpulan persamaan pembantu secara simultan, misalnya susunan peubah pembantu yang membentuk lingkaran tanpa ada stok, akan menimbulkan pesan kesalahan.

Penundaan •

Dalam sistem informasi-umpan balik, adanya penundaan (delay) akan menciptakan karakteristik dinamis dari suatu sistem. Terdapat dua bentuk penundaan, yaitu: penundaan fisik/material dan penundaan informasi.

3.8

Analisis SIG Analisis sistem informasi geografis (SIG) dilakukan untuk mendapatkan

penyajian spasial dari skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Analisis SIG dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Arc/Info dan Arc View dari ESRI (2001). Tahap analisis dimulai dengan pembentukan basis data yang disusun dari data atribut dan spasial, serta informasi tata ruang saat ini. Data dan informasi tersebut dilengkapi dengan interpretasi citra satelit, dan selanjutnya dilakukan penelitian lapang, untuk validasi dan melengkapi data lapangan. Data dan informasi dari citra satelit sangat diperlukan, karena dapat menyajikan informasi kondisi fisik wilayah eksisting secara lengkap dalam satu kesatuan. Citra yang digunakan adalah Landsat-7 ETM path 123 row 64, tahun 2001 dan 2009. Tahapan interpretasi citra secara ringkas disajikan pada Gambar 17. Berdasarkan basis data yang telah dibangun, analisis SIG dilakukan malalui tahap dijitasi data spasial (peta) yang berasal dari peta tematik berbentuk cetakan, yang dilengkapi dengan data atribut untuk yang menghasilkan peta dijital. Peta yang dihasilkan meliputi peta dasar (administrasi) dan tematik (kelas lereng, penggunaan lahan, batimetri, dan sebagainya). Selanjutnya analisis dilakukan untuk mendapatkan kawasan lindung. Tahap analisis adalah dengan melakukan tumpang tindih antarpeta dasar dan tematik, kemudian dilakukan penyanggaan dengan memasukkan kriteria kawasan lindung baik untuk daratan maupun perairan.

!

"

#!$ $

68

Gambar 17 Bagan alir interpretasi citra satelit Setelah didapatkan kawasan lindung, kawasan lain di luar kawasan lindung merupakan kawasan budidaya (baik pertanian, perkotaan, ataupun perairan). Kawasan budidaya selanjutnya dianalisis untuk menentukan kesesuaian bagi berbagai peruntukan ruang kawasan budidaya daratan dan perairan. Tahap analisis dilakukan dengan cara tumpang tindih antarpeta dasar dan tematik, kemudian memasukkan kriteria untuk masing-masing kesesuaian peruntukan ruang.

!

"

#!$ $

69 Pada akhirnya dari analisis SIG yang diintegrasikan dengan analisis sistem, didapatkan arahan kebijakan perencanaan tata ruang wilayah pesisir pada keseluruhan wilayah penelitian yang disajikan dalam bentuk peta, dengan skala perencanaan tingkat provinsi yaitu minimal 1:250.000. Secara ringkas bagan alir analisis SIG, disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Bagan alir analisis sistem informasi geografis (SIG) !

"

#!$ $

70 3.9

Data dan Analisis Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data biofisik dan sosial

ekonomi, baik yang bersifat spasial maupun atribut yang berhubungan dengan pemanfatan ruang wilayah pesisir. Secara ringkas, data dan informasi yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Data dan informasi yang dikumpulkan No. Data dan Informasi Sumber 1. Dokumen RTRW Provinsi Bappeda Lampung, Kota Bandar Lampung, dan Kabupaten Lampung Selatan 2. Peta Perairan skala 1:75.000, Dishidros TNI-AL 1:25.000, dan 1:20.000 3. Peta Peta land systems, land Bakosurtanal suitability, dan 1:250.000. Peta Lingkungan Pantai Indonesia Skala 1:250.000. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250.000. 4. Data hidrooseanografi dan kualitas Dishidros TNI-AL, PT. Pelindo II, perairan Teluk Lampung Bappeda, Bapedalda 5. Data ekosistem utama pesisir, Dinas Perikanan, Bapedalda perikanan, degaradasi sumberdaya, serta informasi lain yang relevan. 6. Dokumen perencanaan dan hasil- Bappeda, Bapedalda, PT. Pelindo II, hasil penelitian yang relevan Dinas Perikanan dan Kelautan. 7. Informasi kepelabuhan, lalu lintas PT. Pelindo II barang dan manusia, peta alur pelayaran, kepadatan pelayaran 8. Demografi dan sosial ekonomi BPS 9. Produk Domestik Regional Bruto BPS (PDRB) dan perekonomian wilayah 10. Investasi dan pertumbuhannya Badan Penanaman Modal Daerah 11. Kepariwisataan BPS dan Dinas Pariwisata 12. Reklamasi pantai dan degradasi Bappeda, Bapedalda, Dinas sumberdaya pesisir Perikanan 13. Kawasan terbangun dan belum Bappeda, Bapedalda, BPN, Dinas terbangun Tata Kota, Analisis SIG 14. Citra satelit LAPAN 15. Kondisi eksisting aspek biofisik Penelitian lapang; analisis citra satelit dan sosial ekonomi wilayah dan ground check 16 Kebutuhan pemangku kepentingan Participatory prospective analysis

!

"

#!$ $

71 Sebagian besar data dan informasi yang disajikan pada Tabel 4, merupakan data dan informasi sekunder. Data dan informasi primer dikumpulkan dari penelitian lapang dengan melakukan observasi yang meliputi: kondisi sosial ekonomi wilayah. Secara umum, untuk mendapatkan data primer, dilakukan untuk pengamatan kondisi sosial ekonomi pada desa nelayan di wilayah pesisir. 3.9.1

Analisis biofisik wilayah Analisis biofisik wilayah meliputi analisis kesesuaian ruang (lahan dan

perairan) untuk kawasan lindung dan konservasi, serta kawasan budidaya dan pemanfaatan umum perairan. Alat utama analisis biofisik wilayah adalah sistem informasi geografis (SIG) yang menggunakan data sekunder (sebagaimana digambarkan pada Sub-Bab 3.8). Kriteria yang digunakan dalam analisis biofisik wilayah, disajikan pada Lampiran 5, yang meliputi: kesesuaian kawasan lindung (daratan) dan kawasan konservasi (perairan) berupa (terumbu karang dan padang lamun); kesesuaian kawasan budidaya pertanian pangan (tanaman semusim) dan perkebunan (tanaman tahunan), kawasan budidaya pesisir (tambak), kawasan bisnis dan industri, kawasan permukiman, dan prasarana wilayah; serta kawasan pemanfaatan umum (perairan) untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap. 3.9.2

Analisis pemilihan skenario Dalam analisis analisis prospektif partisipatif, partisipan menyusun

beberapa skenario yang mungkin terjadi di wilayah Teluk Lampung. Semua skenario dari partisipan, selanjutnya akan dipresentasikan ke dalam model dinamik dan disimulasi. Salah satu dari hasil simulasi skenario tersebut, selanjutnya dipilih yang dianggap paling mampu mengakomodasi kebutuhan partisipan (pemangku kepentingan), dan dijadikan sebagai dasar dalam kebijakan pola dan struktur ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Alat yang digunakan dalam memilih skenario adalah analisis pembuatan keputusan multikriteria (MCDM), berupa pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja. Indeks kinerja merupakan berbagai kriteria dari suatu sistem, yang diolah dengan berbagai teknik atau metode perhitungan, sehingga menghasilkan nilainilai numerik sebagai indeks. Indeks tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar bagi pengambilan suatu keputusan. Metode yang digunakan dalam pengambilan

!

"

#!$ $

72 keputusan berbasis indeks kinerja, adalah indeks kinerja komposit (composite performance index, CPI), karena dapat menggunakan berbagai kriteria yang tidak seragam (Marimin 2004). CPI merupakan indeks komposit dari berbagai kriteria, yang didapat dari pemodelan. Hasil perbandingan kriteria yang ditransformasi dapat digunakan untuk menentukan penilaian atas peringkat dari berbagai alternatif. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:

A ij =

X

⋅ 100

ij (min)

X

A ( i +1 j ) =

ij (min)

X X

Ii =

i =1

( i +1 j )

ij (min)

I ij = A ij ⋅ Pij n

…………………..………........….……... (4)

( I ij )

⋅ 100

………………………………..……... (5)

………………………….………………….……... (6) …………………………………..……….……... (7)

Keterangan : Aij

=

nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j

Xij (min)

=

nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j

A(i + 1j)

=

nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j

X(i + 1j)

=

nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j

Pij

=

bobot kepentingan kriteria ke-j

Iij

=

indeks altenatif ke-i

Ii

=

indeks gabungan kriteria pada altenatif ke-i

Untuk pengambilan keputusan peringkat nilai alternatif, dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai alternatif dan simpangan bakunya. Skenario dengan peringkat nilai alternatif tertinggi (I) merupakan skenario yang akan dipilih. Penentuan peringkat nilai alternatif adalah sebagai berikut: 1) Peringkat I adalah: Jika nilai alternatif>dari rata-rata nilai alternatif+ simpangan baku; 2) Peringkat II adalah: Jika rata-rata nilai alternatif40%), dengan elevasi beragam mulai dari 10 sampai dengan >1.000 m dpl. Kelompok relief pada wilayah ke arah laut tergolong dataran (flat); dan ke arah daratan beragam yaitu berombak (undulating), bergelombang (rolling), dan berbukit (hummocky, hillocky, dan hilly) (Wiryawan et al., 1999). Satuan geologi lingkungan wilayah ke arah pantai meliputi pedataran (GL-1, GL-2, dan GL-5) dan kaki perbukitan dan pergunungan (GL-3 dan GL-4), yang secara ringkas disajikan pada Tabel 7. Topografi pesisir Teluk Lampung sangatlah beragam, mulai dari dataran pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan ketinggian permukaan 0 sampai 1.281 m dpl. Daerah dengan topografi perbukitan hingga bergunung membentang dari arah utara ke selatan dengan puncak tertinggi pada gunung Rajabasa di Kabupaten Lampung Selatan, dengan ketinggian 1.280 m dpl; dan Gunung Ratai di Kabupaten Pesawaran, dengan ketinggian 1.681 m dpl. Sistem lahan (land system) di wilayah pesisir Teluk Lampung sangat beragam, mulai dari dataran rawa pantai sampai pada pegunungan terjal. Berdasarkan Peta Land systems and sand suitability Sumatra, Series RePPProt 1988 (Sheet 1110 Tanjungkarang), dapat diidentifikasi 22 sistem lahan di dalam wilayah penelitian. Sistem lahan dominan adalah Bukit Balang (BBG) dan Tanggamus (TGM), yang keduanya merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng yang sangat curam (41-60%). Adapun sistem lahan dataran yang dominan adalah Sungai Aur (SAR) dan Muara Beliti (MBI), dengan kemiringan lereng 915%. Berdasarkan klasifikasi Soil Taxonomy, tanah di wilayah pesisir Teluk Lampung meliputi 5 ordo, yaitu Entisols (Fluvaquents, Hydraquents, Sulfaquents, Troporthents, dan Tropofluvents), Inceptisols (Dystropepts, Humitropepts, Tropaquepts, Dystrandepts, Eutropepts, dan Hydrandepts), Alfisols (Tropudalfs),

!

"

#!$ $

85 Ultisols (Tropudults, Tropohumults, dan Paleudults), serta Oxisols (Haplorthox). Jenis tanah dominan adalah Dystropepts dan Tropudults, yang terutama terdapat pada sistem lahan BBG, TGM, SAR, dan MBI. Ringkasan informasi mengenai sistem lahan di disajikan pada Tabel 8, dan secara lengkap pada Lampiran 2. Adapun sebaran spasial sistem lahan disajikan pada Gambar 19. Tabel 7 Satuan geologi lingkungan pantai Teluk Lampung No. 1.

2.

3.

4.

Penciri

GL-1 Morfologi Pedataran rendah, lereng 0-3%, muara sungai dan sekitarnya Litologi Aluvium: lempung, lanau, dan pasir tufaan Endapan rawa: lumpur, lanau dan pasir, batu pasir sisipan, dan batu lempung Jenis pantai Relief rendah, melengkung halus Karakteristik Endapan lumpur, pasir, lanau setempat, terdapat koral

5.

Sifat fisik

6.

Proses geologi

7.

Air tanah

GL-2 Pedataran rendah

Aluvium: kerikil, lempung, dan sisa organisme laut.

Satuan Geologi GL-3 GL-4 Kaki Kaki perbukitan, gunung lereng 3-25%

Batuan tersier breksi, dasitik, lava, tufa andesitik

Batuan quarter breksi, lava, tufa, andesitikbasaltik

Relief rendah Relief tinggi Relief tinggirendah Pasir pantai, Pasir, kerikil, Pasir, sisa kerakal, kerikil, organisme bongkah, kerakal, laut, batuan dasar bongkah, berlumpur. batuan dasar, pecahan koral Lumpur lembek, Pasir pantai, Breksi Daya daya dukung putih berbongkah, dukung rendah kekuningan, daya dukung sedang halus-kasar, sedangdaya dukung tinggi rendah Sedimentasi Sedimentasi Runtuhan Runtuhan muara sungai, sungai, dan bongkah tanah/batuan gosong pasir abrasi tebing pantai di tebing pantai pantai Akuifer Akuifer Akuifer Air tanah produktif potensi produktif produktif sedang, intrusi sedang, sedang, dari air asin muka air muka air pegunungan tanah 0-1 m, tanah 1-3 m payau

Sumber: Wiryawan et al. (1999)

!

"

#!$ $

GL-5 Pedataran rendah

Tufa, batu apung, batu lempung, batu pasir, batu gamping koral

Relief rendah Pasir pantai dan lumpur, bongkah batuan

Pasir putih kekuningan, daya dukung rendah Sedimentasi sungai

Akuifer produktif

86 Tabel 8 Ringkasan sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung No.

Simbol

Nama

Kelompok Tanah

1

AHK

Air Hitam Kanan

2

BBG

Bukit Balang

3

BBR

Bukit Barangin

4

BGA

Batang Anai

5 6

BLI BMS

Beliti Bukit Masung

7

BTA

Batu Ajan

8

BTK

Barong Tongkok

9 10 11

KHY KJP KNJ

Kahayan Kajapah Kuranji

12

LBS

Lubuk Sikaping

13

MBI

Muara Beliti

14

PKS

Pakasi

15 16

PLB SAR

Pidoli-dombang Sungai Aur

17 18 19

SKA SMD TGM

Sukaraja Sungai Medang Tanggamus

20

TLU

Talamau

21

TWI

Telawi

22

UBD

Ulubandar

Dystropepts, Haplorthox, Tropudults Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults Dystropepts, Tropudults, Haplorthox Dystropepts, Eutropepts, Tropudults Tropaquepts, Fluvaquents Dystropepts, Tropudults, Troporthents Tropudults, Humitropepts, Troporthents Dystropepts, Eutropepts, Tropudalfs Tropaquepts, Fluvaquents Hydraquents, Sulfaquents Dystropepts, Dystrandepts, Tropaquepts Tropaquepts, Tropofluvents, Fluvaquents Tropudults, Dystropepts, Haplorthox Dystropepts, Dystrandepts, Haplorthox NA Dystropepts, Haplorthox, Paleudults Tropudults, Paleudults Tropudalfs, Tropudults Dystrandepts, Humitropepts, Hydrandepts Dystrandepts, Tropudults, Eutropepts Tropudults, Dystropepts, Troporthents Dystropepts, Dystrandepts, Troporthents Jumlah

Luas ha 2.209 36.510

28,55

2.029

1,59

2.557

2,00

382 7.245

0,30 5,66

1.661

1,30

987

0,77

746 5.710 4.399

0,58 4,46 3,44

527

0,41

10.892

8,52

299

0,23

755 12.593

0,59 9,85

51 7.709 25.019

0,04 6,03 19,56

2.467

1,93

2.699

2,11

456

0,36

127.902

100,00

Keterangan: NA = tidak tersedia data Sumber: Peta land systems and land suitability Sumatra, Sheet 1110 Tanjungkarang Series RePPProt (1988)

!

"

% 1,73

#!$ $

Gambar 19 PETA SISTEM LAHAN

!

"

#!$ $

87

88 4.1.3

Fisik kimia perairan Batimetri Teluk Lampung merupakan salah satu dari dua teluk di ujung paling

Selatan Pulau Sumatera, Kota Bandar Lampung terletak pada pangkal teluk, dan bagian mulut teluk (arah Selatan-Tenggara) berhadapan langsung dengan Selat Sunda yang merupakan perairan penghubung antara Laut Jawa di sebelah utara dan Samudera Hindia di selatan. Deskripsi batimetri Teluk Lampung didasarkan pada Peta Sumatera-Pantai Selatan, Teluk Kalumbayan hingga Pulau-pulau Tiga skala 1:75.000 dengan inset Pelabuhan Panjang skala 1:25.000 dan Pelabuhan Batubara Tarahan skala 1:20.000 (Dishidros TNI-AL 1998). Dasar laut di sisi utara teluk (pangkal teluk) relatif landai, dengan kedalaman -5 sampai dengan -20 m LWS. Semakin ke arah selatan, kedalaman dasar laut semakin meningkat, dan cenderung semakin curam, di Tanjung Tua dan arah selatan Pulau Legundi (Kabupaten Pesawaran), dasar laut menjadi sangat curam dengan kedalaman mencapai -100 m LWS pada jarak sekitar 1 km dari pantai. Pada sisi timur teluk (Kabupaten Lampung Selatan), dasar laut masih relatif landai, dengan kedalaman terdalam sekitar -40 m LWS, seperti disajikan pada Gambar 20. Pasang surut Deskripsi mengenai pasang surut (pasut) Teluk Lampung didapatkan dari informasi Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), PT. Pelindo II Cabang Panjang (2001), serta pengolahan data pasut dari Dishidros TNI-AL (2003). Karakteristik pasut Teluk Lampung adalah sebagai berikut: Tipe pasut semi diurnal campuran, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Pasang dan surut pertama akan berbeda dengan yang kedua, yang biasa disebut sebagai ketidaksamaan harian. Dalam satu bulan terjadi dua kali pasang tinggi dan dua kali pasang rendah. Pada saat pasang tinggi maka akan terjadi pasang yang sangat tinggi dan surut yang sangat rendah. Sedangkan pada saat pasang rendah akan terjadi pasang dan surut yang sangat kecil. Pasut di kawasan pantai Teluk Betung, Bandar Lampung mempunyai kisaran tunggang pasut maksimal sebesar 143,8 cm.

!

"

#!$ $

89 Satu periode pasut di kawasan pantai Teluk Betung, Bandar Lampung adalah antara 10 jam hingga 14,5 jam. Arus dan Sedimen Arus di Teluk Lampung utamanya dibangkitkan oleh pergerakan massa air Samudera Hindia dan Laut Jawa. Massa air laut pasang Samudera Hindia dan Laut Jawa, masuk ke dalam teluk dari arah selatan ke arah utara dengan volume massa air yang cukup besar. Pulau-pulau yang berada di selatan menyebabkan terjadinya pembelokan arah massa air, sebagian kecil berbelok ke barat daya (sisi kiri teluk) dan sebagian besar ke timur laut (sisi kanan teluk) dengan arah akhir barat daya. Pembelokan gerakan massa air pasang sisi kanan membentur sisi kanan teluk, dan selanjutnya, terjadi pembelokan dengan arah timur-barat. Pada waktu air laut surut massa air akan keluar dari teluk (Helfinalis 2000). Arus di Teluk Lampung terdiri dari arus pasut yang dibangkitkan oleh pasut, dan arus non pasut yang utamanya dibangkitkan oleh angin. Data mengenai arus pasut yang diacu dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Arus pasut di Teluk Lampung No. Kedalaman Kondisi Pasut 1 0,2 D Surut Pasang 2 0,5 D Surut Pasang 3 0,8 D Surut Pasang

Arah (o) 258 344 206 294 103 334

V maks (knot) 0,34 0,40 0,26 0,36 0,34 0,34

Keterangan: D = kedalaman -16 m, lokasi perairan pantai di Kel. Srengsem, Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung Sumber : Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999)

Berdasarkan hasil kajian pada Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung (Wiryawan et al. 1999), iklim di perairan pesisir, terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin muson dan curah hujan yang tinggi. Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret. Berlawanan dengan arah angin, arus musim di Pantai Barat Lampung sepanjang tahun mengalir ke arah tenggara hingga barat daya.

!

"

#!$ $

Gambar 20 PETA PERAIRAN

90

!

"

#!$ $

91 Kondisi angin musim tersebut mempengaruhi gradien tekanan antara perairan di barat laut dan tenggara dari pantai barat Sumatera. Kekuatan arus berkisar antara 0,02-0,87 knot. Pada musim barat antara bulan november hingga maret, arus mengalir dengan kecepatan 0,52-0,87 knot dan mencapai kecepatan maksimum pada bulan desember. Arus pada musim barat ini mengalir dengan tetap menuju ke arah tenggara. Sedangkan arus pada musim timur antara bulan april hingga oktober melemah dengan kisaran kecepatan 0,02-0,70 knot. Pada bulan juli arus mencapai minimum, berkisar antara 0,02-0,10 knot. Pada mulut Teluk Lampung, kekuatan arus rata-rata bulanan berkisar antara 0,02-0,87 knot, dimana kecepatan maksimum terjadi pada bulan januari dan februari, dan kecepatan minimum pada bulan maret dan april. Arus rata-rata bulanan di Selat Sunda ini umumnya mengalir ke arah Samudera Hindia, kecuali pada bulan maret, agustus, dan oktober. Pada bulan maret, arus mengalir ke timur laut (dari Samudera Hindia menuju Laut Jawa) dengan kecepatan rata-rata 0,02 knot. Pada bulan agustus dan oktober, arus mengalir ke timur dengan kecepatan 0,45 knot pada agustus dan 0,10 knot pada oktober. Sebaran sedimen di Teluk Lampung cukup bervariasi mengikuti pola arus yang terjadi (Helfinalis 2000; Witasari dan Wenno 2000). Hasil penelitian Helfinalis (2000) di Teluk Lampung, menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dasar perairan yang dipengaruhi oleh arus pasut yang cepat akan didominasi pasir; dan sebaliknya yang dipengaruhi oleh pergerakan arus pasut lemah akan didominasi sedimen lumpur. Sedimen pasir yang berasal dari aliran sungai akan diendapkan di sekitar muara sungai, sedangkan lanau dan lempung diendapkan di dasar perairan lepas pantai. Gelombang Informasi gelombang di Teluk Lampung didasarkan pada hasil survei Dishidros TNI-AL (1994) di Teluk Ratai (bagian dari Teluk Lampung), serta data pengamatan gelombang dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999). Hasil survei Dishidros TNI-AL (1994) menunjukkan bahwa gelombang di Teluk Ratai pada musim barat memiliki ketinggian antara 0,5-0,75 m, dan pada saat cuaca buruk dapat mencapai lebih dari 1,5 m. Pada musim timur, tinggi gelombang antara 0,3-0,6 m. Menurut pencatatan Dishidros TNI-AL antara

!

"

#!$ $

92 tanggal 8 Januari sampai dengan 16 Februari 1994, menunjukkan tinggi gelombang berkisar antara 0,2-1,0 m. Berdasarkan data pengamatan tinggi gelombang maksimum dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), didapatkan informasi tambahan informasi gelombang Teluk Lampung. Pergerakan gelombang dominan yang terjadi adalah dari arah tenggara dan selatan dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 26,48% dan 31,83%. Tinggi gelombang maksimum yang paling dominan adalah >50 cm dengan persentase kejadian sebesar 58,59%. Secara ringkas data gelombang disajikan pada Tabel 10. Arah tenggara merupakan arah dominan berhembusnya angin. Hal ini terkait dengan orientasi Teluk Lampung yang menghadap ke arah Tenggara. Dengan kata lain, jika arah angin terbesar adalah dari barat laut misalnya, maka untuk pembangkitan gelombang di kawasan pantai Teluk Betung Bandar Lampung, tidak akan berpengaruh banyak. Oleh karena itu, pada pangkal teluk (Kota Bandar Lampung), gelombang mejadi relatif rendah, disebabkan semakin dangkalnya kedalaman air (batimetri). Dalam perambatan ke arah pantai, gelombang akan mengalami proses refraksi, shoaling (pendangkalan), difraksi, serta refleksi. Proses refraksi merupakan pembelokan arah gelombang untuk mendekati ke arah tegak lurus terhadap kontur dasar pantai. Hal ini menyebabkan gelombang yang datang di pantai akan mempunyai orientasi yang mendekati tegak lurus terhadap garis pantai. Proses pendangkalan adalah berkurangnya secara berangsur-angsur tinggi gelombang sebagai akibat pendangkalan kontur laut ke arah pantai. Dengan demikian proses refraksi dan pendangkalan berkait erat dengan profil pantai. Tabel 10 Arah dan tinggi maksimum kejadian gelombang Tinggi Gelombang H maks (cm)

Utara

Timur Laut

25-30 30-40 40-50 >50 Jumlah (%)

0,00 0,56 0,26 0,00 0,85

0,00 0,00 1,41 4,51 5,92

Arah Datang Gelombang TengSelaBarat Timur gara tan Daya Persentase Kejadian (%) 0,00 0,28 0,56 0,28 0,85 2,82 4,23 3,66 1,69 9,58 7,89 3,94 7,32 13,80 19,15 9,86 9,86 26,48 31,83 7,75

Barat

Barat Laut

0,28 0,86 2,25 3,94 7,32

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Jumlah (%)

1,41 12,96 27,04 58,59 100,00

Keterangan : Lokasi perairan pantai di Kel. Srengsem, Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung Sumber: Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999)

!

"

#!$ $

93 Kondisi fisik dan profil pantai terbentuk sebagai akumulasi pengaruh kondisi-kondisi batas yang ada seperti gelombang, arus dan transportasi sedimen baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pantai. Pengaruh kondisikondisi batas ini akan menentukan bentuk pantai, keberadaan vegetasi penutup pantai, kemiringan pantai, dan sebagainya. Proses difraksi adalah proses yang dialami oleh gelombang jika menemui suatu rintangan. Rintangan tersebut bisa berupa bangunan pemecah gelombang penghalang akan menjadi kecil dibanding tinggi gelombang datang. Di Teluk Lampung terdapat banyak pulau dengan beraneka ragam ukuran. Dengan demikian pulau-pulau tersebut juga berfungsi sebagai rintangan yang akan menyebabkan terdifraksinya gelombang yang datang dari laut lepas. Tinggi gelombang yang sampai di pangkal teluk (Bandar Lampung) tidak akan terlalu besar karena telah tereduksi oleh proses difraksi. Sedangkan proses refleksi atau pemantulan adalah terpantulnya gelombang oleh karena mengenai suatu lereng tertentu. Jika pengembangan kawasan pesisir Bandar Lampung dengan menggunakan tanggul yang berdinding tegak maka gelombang yang dipantulkan akan relatif besar, sedangkan jika menggunakan dinding dengan sisi miring maka gelombang yang dipantulkan akan relatif sedikit dan sebagian besar gelombang akan berubah menjadi gelombang rayapan. Kualitas air Kualitas air Teluk Lampung ditunjukkan dengan penggambaran beberapa parameter yang dirujuk dari berbagai sumber, seperti disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kualitas air Teluk Lampung No. Parameter 1 Suhu 2 Salinitas 2 Padatan tersuspensi (TSS) 3 Oksigen terlarut (DO) 4 Kebutuhan oksigen biologi (BOD) 5 Kebutuhan oksigen kimiawi (COD)

Satuan Kisaran Nilai Baku Mutu 3) o C 28,0-31,5 1) alami ‰ 32-35 1) alami 2) mg/l 35,0-55,4 5 2) mg/l 22,8-29,2
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF