Serat Anglingdarma 1
April 28, 2017 | Author: Topan | Category: N/A
Short Description
Tentang Anglingdarma...
Description
TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011
Serat ANGLINGDARMA 1
Alih Bahasa
SUJADI PRATOMO
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Balai Pustaka
D i t e r b i t k a n oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Hak pengarang dilindungi u n d a n g - u n d a n g
KATA PENGANTAR Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang. Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya. Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya. Saling pengertian antardaerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antarsuku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia. Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Jawa, yang berasal dari Sasana Pustaka, Kraton Surakarta, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas. Jakarta, 1981 Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
PNRI
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Mijil Durma Pangkur Dandanggula Durma Asmarandana Pangkur Kinanti
171, 177, 182, 185, 190, 193, 197, 200,
PNRI
424 432 439 442 449 454 460 463
KATA PENDAHULUAN
Cerita Prabu Anglingdarma sangat terkenal di kalangan rakyat Jawa Timur, khususnya di daerah Bojanegara dan sekitarnya. Selain mengandung banyak petunjuk dan pedoman bagi para calon pemimpin, para perjurit dan para wanita, jalan ceritanya sangat menarik dan tertulis dalam sastra daerah yang baik. Dalam masyarakat daerah Jawa cerita Anglingdarma kerap kali digunakan untuk bahan lakon pertunjukan teater rakyat, misalnya kethoprak atau sandiwara, diambil sebagian yang digemari oleh masyarakat setempat. Atas kerja sama yang baik dengan pihak Sasana Pustaka Surakarta, maka Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen P dan K, kini menerbitkannya dalam bentuk buku, yang semula berupa naskah tulisan tangan berhuruf daerah Jawa menjadi buku berhuruf Latin serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat hendaknya. Jakarta, 1981
n Penyunting
7 PNRI
PNRI
1. ASMARANDANA 1. Dalam pupuh Asmarandana ditulis awal sebuah buku bernama Anglingdarma. Milik paduka Sri Baginda, yang bertahta ke sepuluh di negeri Surakarta. Beliau berkenan menghimpun buku-buku Babad dan bukuPetunjuk. 2. Semua tulisan tersimpan baik-baik dalam ruang Sana Pustaka. Waktu dimulainya penulisan ini jatuh pada hari Senin, tanggal 10 bulan Dulka'idah, tahun Jimakir. Diberi catatan Sangkala LUHUR TATA NGESTI NATA. (1859 Caka). 3. Meskipun cerita yang dipaparkan tentang ihwal Pulau Jawa ketika jaman Budha, tetapi telah dipilih Budha yang baik, yang patut dilestarikan. Riwayatnya berlangsung pada waktu seorang Raja bernama Anglingdarma bertahta di Malawa. 4. Tidak ada negara lain yang kewibawaannya seimbang selama Baginda bertahta. Raja-raja di tiga benua takut bermusuhan, tidak satu pun yang berani. Kehendak Baginda direstui oleh para Dewa. Maka benar-benar Anglingdarma termashur dan disebut sebagai Ratu Bathara. 5. Adapun nama negara Sang Baginda ialah Malapati. Letaknya melingkupi daerah bukit dan pantai. Membelakangi pegunungan dan menghadap ke muara sungai. Segala yang ditanam di sana tumbuh subur, sehingga rakyatnya hidup dengan rasa tenteram. 6. Diceritakan, bahwa penduduk negara Malapati sangat banyak, petugas negaranya beijumlah lebih dari 800 orang. Terdiri dari punggawa yang pandai berulah perang. Mereka tersebar di daerah-daerah. Para manggala serta para pemimpinnya mempunyai pengalaman dalam memperluas daerah taklukan. 9 PNRI
7. Adapun nama julukan Sri Baginda ialah Maharaja Anglingdarma, berwajah bagus tiada bercela dan memiliki kesaktian yang luar biasa, Beliau memegang tampuk kekuasaan penuh wibawa, mendapat restu dari kedua ayah-bunda serta neneknda yang telah melakukan darma sebagai pertapa. 8. Baginda berasal dari keturunan ahli tapa yang berdarah bangsawan. Yang berbuat baik menolong sesama Diceritakan bahwa wajah Sang Baginda Anglingdarma sangat tampan lagi rupawan, seperti wajah Bathara Marmata. 9. Baginda mengangkat seorang Patih bernama Batik Madrim, seorang keluarga dekat darah bangsawan. Kesaktiannya pun luar biasa. Mahir dalam berulah perang, oleh karenanya Sang Baginda mampu memiliki angkatan yang terdiri dari sesama raja. 10. Semuanya karena jasa dan hasil peijuangan Patih Batik Madrim. Yang memperoleh tambahan daerah jajahan dengan jalan perang. Semua raja-raja takluk kepada Sang Baginda. Mereka menyerahkan puteri-puterinya sebagai isteri yang dipertuan. 11. Jumlah puteri-puteri itu mencapai delapan ratus orang. Semuanya dipersembahkan kepada Sang Baginda, berwajah cantik lagi muda-muda usianya. Sang Patih menerima pula hadiah seorang puteri keluarga dekat Sang Baginda yang cantik rupanya. 12. Ia bernama Dewi Ranggawati. Ada adiknya seorang berwajah tampan laki-laki bernama Arya Wijanarka. Oleh Baginda dia ditangkap menjadi penggawa kerajaan dan kepadanya diberi tanah seluas dua ribu bahu. 13. Diceritakan bahwa Patih Batik dan Sang Baginda sama-sama berguru pada seorang pertapa yang sama. Oleh karenanya keduanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Wajah Sang Patih mirip dengan wajah Sang Baginda. Muda perwira dan tampan. Sayang ia bersuara parau dan kurang jelas didengar orang. 10 PNRI
14. Guru yang mendidik Sang Baginda bertempat tinggal di Rasamala. Sebuah daerah pegunungan termashur. Dahulunya beliau juga seorang raja yang setelah berusia lanjut bertapa dan bergelar Begawan Maniksutraku. Kesaktiannya tidak ada ubahnya dengan dewa. 15. Sang Pendeta mempunyai seorang puteri rupawan bernama Ambarawatya. Ia biasa disebut Dewi Setya. Tiada terkira kecantikannya, sampai-sampai sesama perempuan pun termangu apabila memandang kecantikan Sang Puteri. 16. Kerling matanya tajam dan sangat memikat hati menjadi buah percakapan orang. Apabila kecantikannya digambarkan dengan kata-kata, maka orang akan kesulitan menperoleh kata-kata yang tepat. Ibarat kecantikan Dewi Ratih di Kahyangan tak mampu mengimbangi kecantikan Sang Puteri. 17. Seandainya orang berkeliling seribu negeri untuk mencari wanita yang secantik dia pasti nihil. Ia paling cantik di seluruh Tanah Jawa meskipun kelahiran dari gunung. Tiada yang patut untuk dibuat perbandingan, benar-benar ratu wanita. 18. Diceritakan bahwa Puteri yang berparas bidadari itu telah beberapa lamanya diperisteri oleh Sang Baginda Anglingdarma di negeri Malawa. Ia diboyong masuk ke dalam istana dan dijadikan Ibu Suri, yang menguasai seisi istana. 19. Semua puteri yang dijadikan isteri Sang Baginda diperintah oleh puteri yang berasal dari pertapaan di gunung. Namun demikian selama ia menjadi isteri raja belum pernah tidur bersama dengan Sri Baginda. 20. Diceritakan bahwa Sang Puteri memiliki tabiat yang sulit ditebak. Karena selama menjadi permaisuri Baginda belum pernah duduk bercakap-cakap seperti biasa. Bahkan ia melarang semua isteri dan simpanan wanita mendekati Sang Raja. 21. Yang diperkenankan menghadap Sang Raja hanyalah wanitawanita pengasuh yang telah berusia tua, yang telah melampaui 11 PNRI
masa haid. Sudah tiga bulan lamanya peristiwa itu berlangsung hingga menyebabkan Sang Raja sangat berduka. Pagi hari Baginda duduk di balai penghadapan. 22. Baginda tidak mengenakan pakaian kebesaran dan tidak pula berhias, akibat duka yang sangat mendalam. Tampak wajahnya hijau memendam rasa, akibat kurang santap dan beradu. Namun Sang Raja kelihatan semakin bagus bagaikan Bathara Marmata. 23. Cahayanya seperti menyala, ibarat Dewa Asmara yang turun ke bumi. Demikianlah para penggawa segera menghadap Sang Raja, para manggala yang bertanggungjawab akan segala bahaya. Penuh semua penggawa duduk menunggu perintah di balai penghadapan. 24. Tidak kecuali semua mantri, para demang, rangga dan ngabei, berderet duduk di antara para keluarga dekat Baginda. Paling depan duduk Arya Wijanarka di samping Raden Dayaningrat. Keluarga Raja duduk berjajar dengan sesama keluarga. 25. Raden Tumenggung Amongpraja duduk berdampingan dengan Demang Ngurawan dan Adipati Mataun. Lengkap sudah semua penggawa Kerajaan di Malawa, baik yang berpangkat tinggi maupun yang rendah. Tak terhitung banyaknya mantri yang ikut menghadap di Balairung penuh sesak seperti kuncup daundaunan. 26. Patih Batik Madrim maju ke penghadapan Baginda mohon kiranya dapat memajukan sesuatu kepada Baginda. Baginda mengisaratkan agar Patih lebih dekat lagi menghadapnya. Sesudah Patih menyembah dan duduk lebih dekat maka Baginda pun bersabda, 27. "Ketahuilah wahai Patih mengapa kau kuperintahkan menghadap sekarang. Hatiku sangat gundah akibat cobaan yang saya terima. Bagimana sebaiknya untuk mengatasi rasa hati yang tidak keruan. Sesungguhnya saya seorang Raja Agung yang memiliki kekurangan yang jarang teijadi. 12 PNRI
28. Yang telah dikenal oleh banyak orang di Pulau Jawa, bahwa saya Raja yang berwibawa seperti bathara. Namun ada kurangnya ialah ditampik cintanya oleh wanita. Celaka sungguh nasib saya karena selama saya mempunyai permaisuri belum pernah tidur bersama dia. 29. Kehendak hati ingin marah dan mengajar yang benar, tetapi hatiku tak sampai, mengingat dia sangat saya sayang. Ia anak Sang Pendeta dan masih keluarga dekat saya, ialah puteri Begawan Maniksutra sendiri." Sang Patih berdatang sembah. Seyogyanya Paduka suka bersabar. 30. Karena telah sama-sama kita ketahui, bahwa wanita mempunyai tabiat angkuh. Kita harus pandai melayani kehendaknya sampai terkena hatinya. Pasti dia akan menuruti kehendak Baginda. Apabila Baginda sampai hati memurkai permaisuri sendiri, maka tidak patut tindakan itu bagi seorang Raja." 31. Mendengar kata-kata Sang Patih terhiburlah hati Sang Baginda. Selanjutnya berkatalah Sang Raja kepada Patih, "Kehendakku Patih, ingin bercengkerama ke Taman Bagenda. Untuk itu siapkan gajah kendaraanku dan aturlah pengawal secukupnya." Sang Patih menjawab "siap" melaksanakan perintah. 32. Gajah telah siaga, dengan alas beludru merah di atas punggungnya, bertepi kain suter kuning dengan umbai-umbai manis di ekornya. Pada leher gajah itu tergantung untaian kalung berhias emas berseling intan berlian, sinar intan itu sangat cemerlang. 33. Indah dan bagus tampaknya gajah kendaraan Baginda berbelalai yang terbalut oleh sutra berwarna merah dan hijau. Bagaikan pelangi pagi jika ia berdiri, melengkung tampak seperti bianglala, malang bagaikan sinar senja dan bila melenggang kelihatan seperti celeret tahun. 34. Naik sudah Sang Baginda di atas gajah kerajaan. Raja Anglingdarma tampak seperti bukan manusia biasa, tetapi mirib dengan dewa di suralaya yang bernama Bathara Cakra. Yang 13 PNRI
turun ke bumi untuk memerangj kejahatan yang dilakukan oleh Raja Raksasa bernama Kawaca, seorang raja raksasa di negeri Manikmantaka. 35. Semua bala tentara bertolak dari pusat negara dengan serentak beijalan beriringan. Rapi dan bagus kelihatannya. Bermacammacam barisan melengkapi upacara. Barisan yang membawa senjata berseragam merah tua. Bergerak-gerak dalam barisan seperti bunga-bunga di dalam taman. 36. Barisan yang membawa senapan disebut Sarageni dan barisan yang membawa panah disebut Nyutra. Masing-masing mendapat tempat khusus dalam barisan. Ada yang membawa pedang terhunus serta bertutup kulit berwarna hitam. Ada yang bertugas membawa bendera dan umbul-umbul, berkibaran tertiup oleh angin tampak meriah. 37. Sebagai penunjuk jalan bertindak Demang Ngurawan lebih dulu membawa beberapa orang peijurit untuk menyiapkan gerogol, tempat berburu; menggiring binatang liar seperti banteng, kerbau, kijang, kancil dan menjangan. Tidak lama kemudian Baginda beserta rombongan pun tiba di tempat berburu. 38. Segera setelah Raja melihat banteng dan menjangan (rusa), minta untuk disiapkan kuda wilisan. Dengan menyandang panah di tangan Baginda mulai berburu. Banyak rusa yang terkena oleh anak-panah Sang Raja. 39. Para mantri pun diperintah untuk naik kuda masing-masing, untuk melawan kerbau dan banteng. Para panglima dan mantri menyambut perintah dengan gembira. Sementara ada yang menyerbu binatang liar itu dan menusuknya dengan tombak. 40. Tak terhitung jumlah binatang yang tewas, kerbau dan rusa terkena oleh tombak. Malah-malah tangkai tombak Ki Arya Wijanarka patah akibat serangan keras seekor babi hutan, Dengan tangan kosong dipukulnya hancur kepada binatang itu. 14 PNRI
41. Sangat senang Baginda menyaksikan keterampilan para punggawa. Mereka berani-berani dan mahir menggunakan senjata. Begitu juga peijurit yang menyaksikan tampak gembira, mereka bersorak-sorak gemuruh tanda kegirangan.
15 PNRI
2. SINOM
1. Ki Patih Batik Madrim menghadap ke pada Sri Nata, mohon agar Baginda segera berkenan pulang. Sembahnya dengan khidmat, "Marilah kita kembali ke istana. Hambamu kawatir kalaukalau Paduka mendapat marabahaya di hutan. Sembah hamba mohon diperhatikan, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak kita inginkan." 2. Maka kembalilah Baginda pulang ke istana. Semua peijurit dan para pengawal diperintah menuju langsung ke Taman Bagenda. Paling depan berbaris bagian pengawal raja, yang selama perjalanan membunyikan tanda kebesaran. Bumi terasa terbelah oleh riuhnya derap kaki barisan pengiring, berbaur dengan ringkik kuda-kuda serta gajah. 3. Adapun barisan bersenjata dipimpin oleh Raden Handayaningrat. Mereka mengenakan pakaian seragam yang indah. Jumlahnya sebanyak dua ribu orang, terdiri dari peijurit-peijurit pilihan. Mereka berasal dari keturunan para ahli senjata, berbadan tegap dan berwajah tampan. 4. Tiap-tiap peijurit membawa tombak pendek dan perisai, serta perlengkapan yang lain. Bendera Merah dan Putih berkibar di barisan depan, dibawa oleh Sarageni. Di belakang barisan bersenjata berbaris para punggawa, kemudian di belakangnya menyusul barisan para mantri yang mengapit gajah Sri Baginda di kanan dan kiri. 5. Semua peralatan upacara Baginda dibawa oleh punggawa Gandek Muda. Banyak sekali perlengkapan upacara itu tampak seperti gunung bunga. Juga senjata milik Sri Nata tampak di dalam barisan. Berkilau-kilau pakaian para peijurit terkena 16 PNRI
oleh sinar matahari, gemerlapan bagaikan kilat. Sementara itu dari kejauhan tampak sudah gerbang masuk ke dalam kota. 6. Semuanya berjalan dengan bagus dan lancar, begitulah iringiringan tiba di luar pintu masuk. Sekonyong-konyong barisan terhenti, mereka tidak berani meneruskan perjalanan, masuk ke dalam Taman Bagenda. Di dalam gerbang terdapat seekor ular besar tengah bersanggama dengan ular tampar. Barisan terhenti menunggu keputusan dari raja. 7.
Sambil marah Baginda menanyakan sebab mengapa para pengawal tidak langsung masuk tetapi terhenti di depan pintu gerbang. Arya Manunjaya mendapat perintah untuk mengadakan pemeriksaan ke barisan depan. Dengan khidmat Mangunjaya menyembah kemudian mengadakan pemeriksaan.
8.
Tak lama kemudian ia kembali memberikan laporan, "Baginda, hamba telah mengadakan pemeriksaan seperlunya, sembahnya sambil duduk bersila. Ada seekor ular naga besar yang tengah bersanggama dengan seekor ular kecil di dalam Taman. Setelah mendengar laporan Baginda cepat-cepat turun serta memerintahkan agar para pengawal menyingkir ke samping.
9. Saya ingin menyaksikan sendiri, kata Baginda, bagaimana mungkin seekor ular besar bersenggama dengan seekor ular kecil. Para pengawal pun bergeser ke ke samping memberikan jalan kepada Sang Raja. Setelah tiba di tempat kejadian maka tahulah Baginda bahwa ular naga yang sedang makrida tidak lain adalah Nagagini, betina Nagapratala, naga sahabat tua Sang Raja sendiri. 10. Nagapratala adalah sahabat baik dan sangat erat dengan Sri Nata; ia telah menjadi saudara seperguruan tidak beda dengan saudara sekandung. Melihat kejadian itu sangat marahlah hatinya. Wahai Nagagini, kata di hati Sri Nata, bukan sepatutnya kau berbuat serong dengan jenis ular tampar yang kecil. 11. Seandainya kau memang berhendak serong, sepatutnya kau
memilih sama-sama ular naga. Jadi tidak menyakitkan hati. 17 PNRI
Sedang si ular kecil pun tidak tahu diri merasa bahwa samasama dirinya besar. Baiklah kalian pasti celaka. Baginda mengambil busur dengan anak-panahnya. Dipentangnya dan terlepaslah anak-panah dari busur. 12. Kenalah ular tampar itu, tepat mengenai lehernya dan putus kepalanya. Sedang Sang Nagagini terkena pucuk ekornya. Ia terperanjat dan melihat ke arah datangnya panah. Tahulah ia bahwa Raja Anglingdarma yang telah berbuat melepaskan anak panah kepadanya. Cepat-cepat ia lari menembus barisan. 13. Ia merasa malu bukan kepalang. Di dalam hati mengutuk Baginda, mengapa sampai hati membunuh makhluk yang tengah berpadu kasih. Perlakuan itu tak dapat ia terima dengan rela. Ia akan mengadukannya kepada jantannya Sang Nagapratala dan minta agar pelakunya dihukum pati. Melihat kelakuan Nagagini Baginda Anglingdarma heran. 14. Mengapa Sang Naga lari tunggang-langgang ketakutan. Maka berteriaklah Sang Baginda, minta agar Sang Nagagini mau kemali dan diobati luka pada ekor yang terkena panah. Namun Sang Nagagini tidak mau berpaling kembali dan menjawab panggilan Baginda. Ia lari terus melompati pagar bata. 15. Melihat semuanya itu Baginda berpikir di dalam hati. Pasti akibatnya akan membuat diriku dalam bahaya. Sekiranya Nagagini tiba di tempat tinggalnya, ia pasti mengadu kepada jantannya dengan dalih yang tidak benar. Apa yang diceritakan tidak sesuai. Nagapratala bagaimana ia bisa tahu yang sesungguhnya teijadi. Namun begitulah peristiwanya. 16. Bagina melanjutkan perjalanan dengan perasaan sedih. Kemudian melihat-lihat tanaman bunga-bunga yang tumbuh indah di dalam taman sari. Selanjutnya Baginda berkenan mandi di kolam taman. Semua pengawal menjaga dengan ketat di sekitar taman. 17. Hanya para keluarga dekat dan Patih Raja yang diperkenankan turut serta masuk ke dalam taman. Melihat berbagai bunga-bu18 PNRI
nga Baginda sangat senang. Dipetiknya sekuntum untuk sunting telinga. Kemudian beliau melihat wajah beliau di permukaan air. Aku Raja muda lagi tampan, katanya dalam hati, tidak sepatutnya ditolak oleh seorang perempuan. 18. Jika demikian halnya aku lebih baik mati, begitu cipta di dalam hati Baginda. Maka dihiburnya hati yang gundah dengan bercengkerama melihat bunga-bunga indah, seperti: Argula, Nagasari, Tanjung, Sumarsana dan Bunga Tutur. Angin bertiup melanda bunga hingga beijatuhan, menyebarkan bau harum. Ada yang jatuh ke air tampak seperti buih yang terapung. 19. Berbagai macam bunga terdapat di sana. Bunga Jelamprang, Jati Kemuning, Pudak, Kenanga, Noja, Menur, Mandakaki, Andul, Gambir dan Melati. Juga terdapat bunga Srigading, Pacar-air, Seruni. Tanjung serta Pacar, di samping Walikadep dan Nagasari. Banyak sekali jika disebut satu persatu.
19 PNRI
3.
DANDANGGULA
1. Kumbang-kumbang banyak berdatangan, terbang dan hinggap di atas bunga-bunga. Suaranya terdengar dari jauh. Bermaksud menghisap madu di dalam bunga. Ada yang hinggap pada daun bunga berair. Terpeleset si kumbang jatuh, segera ia terbang di udara. Tersenyum Baginda melihat ulah Si Kumbang. Berpikir di dalam hati, keadaan Baginda seperti keadaan si Kumbang itu. 2. Berterbangan di atas dengan bunyi yang ramai kemudian hinggap pada dahan batang Nagasari, seakan-akan binatang itu mengetahui keresahan hati Sang Baginda yang sedang dirundung asmara. Demikian pikir burung-burung di bagian lain taman bunga. Burung Ketangga berbunyi keras, seolah-olah memberitahukan kepada burung yang lain siapa yang sedang berada di bawah sana. 3. Janganlah kalian berani terbang di atas tempat Raja Anglingdarma berada, kalian akan menemui bahaya besar. Dan semua burung pun terbang meninggalkan pohon Nagasari. Mereka takut kepada Sang Baginda. Tinggal sepasang burung Kutilang masih hinggap di atas cabang Nagasari, tengah saling bercumbu. 4. Sri Baginda melihat Kutilang tersebut dengan perasaan marah. Dalam hatinya berkata mengapa burung itu berani berada di atas saya, sedang yang lain takut semuanya? Sekarang kalian pasti mati. Cepat-cepat Baginda mengambil panah dan dilepaskan ke arah burung. 5. Dada Kutilang betina tadi terkena oleh anak panah dan matilah ia seketika. Yang jantan terbang menjauh. Maka terdengar20 PNRI
lah oleh Sang Baginda suara seperti berikut, "Sungguh kejam kau Baginda, membunuh orang sedang bercumbu. Kini istriku mati karena panahmu. Kelak kau akan mendapat balasan seperti saya ialah ditinggal mati oleh permaisurimu." 6. Itu terjadi di kala Baginda sedang memadu kasih. Maka suara itupun tidak terdengar lagi, sebab bukan suara dari burung biasa. Sesungguhnya burung Kutilang itupun jelmaan Sang Hyang Guru dengan Dewi Uma. Yang membuat jebakan terhadap Sang Baginda. Maka semangkin rusuhlah hati Baginda, karena banyak rintangan yang dihadapi selama bercengkerama. Bersabdalah Sri Baginda, 7. "Kakakku Patih Madrim, aku tidak berkehendak pulang. Ingin tidur dan menginap saja di dalam taman." Perintah Baginda dilaksanakan tanpa ragu-ragu oleh Sang Patih. Matahari pun tenggelam diganti oleh terbitnya bulan. Sang Patih minta diri dari penghadapan Baginda, kemudian ia memperingatkan kepada para prajurit agar semuanya beijaga lebih ketat. 8. Mereka diperintahkan selalu waspada dan jangan sampai lupa membawa senjata. Kata Sang Patih, "Kalian ketahui bahwa Baginda telah menghalang-halangi maksud Sang Nagagini ketika asyik bercumbu dengan ular Tampar. Diduga Sang Ular pasti sakit hatinya, oleh karena kekasihnya telah dibunuh dengan panah oleh Sri Baginda. 9. Pasti dia akan mengadu kepada jantannya dan jantannya akan mempercayai apa yang dikatakan betinanya, karena bila tidak tahu asal mulanya. Akibatnya si jantan pasti marah kepada Sang Baginda. Itulah sebabnya mengapa para punggawa harus siap siaga menghadapi bahaya, mengingat Nagapratala sangat sakti, mampu mengubah dirinya menjadi binatang besar atau kecil. Kesaktiannya sungguh luar biasa." 10. Semua mantri beijanji akan tetap siaga, demikian juga segala peijurit bawahan. Kita tinggalkan sebentar cerita Sang Baginda. Tersebutlah Raja Raksasa yang lain, yang terkenal pula kesaktiannya. Kedatonnya bernama Negeri Baka. Sang Raja Raksasa tersebut bernama Maharaja Kalawerdati. 21 PNRI
11. Ia adalah keturunan dari Maharaja Kalasrenggi, yang mati terbunuh oleh Sang Dananjaya. Diceritakan bahwa Kalawerdati bermaksud hendak membalas hukum terhadap anak keturunan Dananjaya. Ia bertiwikrama mengubah dirinya menjadi seorang puteri yang cantik jelita. Lengkap dengan pengawalnya sebanyak empat puluh orang. Bertolaklah mereka ke negeri Malawa. Didapatinya bahwa Baginda sedang bercengkerama. Hal yang diharapkan. 12. Raja raksasa telah tahu di mana Baginda berada dan iapun menuju ke taman untuk membunuh Baginda secara diam-diam. Dipilihnya waktu tengah malam, Batik Madrim, Patih Seri Baginda Anglingdarma merasa gelisah di dalam hati. Bertanya ia kepada diri sendiri mengapa sepanjang sore hari hatinya merasa tidak enak dan rusuh. Ia turun ke halaman taman. 13. Dilihatnya semua penjaga tidur nyenyak, seolah-olah terkena oleh mentera yang sangat mujarab. Berkata Sang Patih perlahan-lahan, apakah sebab-musababnya sampai-sampai semua penjaga tertidur? Apakah si Nagapratala yang telah mengucapkan menteranya untuk menidurkan semua penjaga? Dengan demikian ia dapat menghabisi nyawa Baginda secara diamdiam. Awas-awaslah kau akan celaka jika ku temui dirimu. 14. Di mana gerangan engkau bersembunyi. Aku sama sekali tidak takut terhadap ular naga. Sambil berkata demikian Sang Patih meningkatkan kewaspadaannya. Diambilnya panahnya tanpa ada perjuritnya yang terbangun langsung menuju ke luar taman. Ia merasa bimbang di hati. Maka tibalah kemudian di tempat itu Prabu Kalawerdati yang mengubah dirinya sebagai seorang wanita cantik. 15. Berpapasanlah Raja Raksasa itu dengan Sang Patih. Batik Madrim segera menegurnya perlahan-lahan. Apa maksud perempuan itu malam-malam datang ke sana. Yang ditanya menjawab bahwa ia berasal dari gunung. Maksud kedatangannya ke kota untuk dapat diterima oleh Sang Baginda sebagai calon isteri. Ia ceritakan bahwa berita yang tersebar di gunung dari 22 PNRI
mulut ke mulut, bahwa Raja Anglingdarma tidak lain adalah keturunan Aijuna. 16. Patih Madrim menjawab dengan kata manis, "Benar akulah Raja Anglingdarma yang kau cari. Sungguh anak keturunan Aijuna. Jika kau sungguh-sungguh berkeinginan menjadi istriku maka menyembahlah dikau dan ciumlah kakiku." Mendengar itu wanita gadungan tertawa terbahak-bahak. Kembali rupanya menjadi seorang raksasa besar beserta balanya sejumlah empat puluh. 17. Raja Kalawerdati telah kembali menjadi berupa raksasa kuat dan tegap, rambut lebat tumbuh melingkar di mukanya dan dadanya penuh berbulu. Matanya besar seperti matahari terbit, bertaring putih tajam ke luar dari bibir. Kelihatannya seperti senjata yang tajam. Ia berkata seperti meraung, "Untunglah aku Anglingdarma, dapat bertemu kau satu lawan satu. Itulah yang saya harapkan selama ini. 18. Kedatanganku kemari perlu menagih utangmu kepadaku. Dulu kau berhutang pati karena nenek moyangmu telah membunuh moyangku. Namanya Kalasrenggi dan moyangku telah dibunuh oleh Dananjaya yang menjadi leluhurmu. Kini aku menagih kepadamu dan serahkan segera mati hidupmu. Sang Patih sangat terkejut, jawabnya, 19. "Wahai kau raksasa tunjukkan semua kesaktianmu untuk melawan saya seorang diri. Segala senjatamu hunjamkanlah ke dalam diriku." Maka raja raksasa itupun beringas. Dan dengan geramnya menerkam meraung sambil menggigit. Ia berusaha mematahkan leher Batik Madrim. 20. Sambil tertawa Madrim berkata, "Anjing kau lepaskan leherku. Geii rasanya dan aku tak tahan oleh air liurmu yang mengahr ke mana-mana. Kau ambil saja senjata kerismu tusukkan ke tubuhku. Gigi taringmu tak mampu melukai diriku. Mendengar itu Kalawerdati menjadi semakin beringas. Segera ia mencabut senjata dan menyerang Batik Madrim bertubi-tubi. Namun Sang Patih tidak luka sedikit pun. 23 PNRI
21. Akhirnya Sang Kalawerdati ganti diserang oleh Madrim, Dipukul remuk mukanya pecah mengeluarkan darah merah. Matilah raja raksasa itu. Pengawalnya sebanyak empat puluh maju bersama hendak mengeroyok Sang Patih. Mereka mengepung Madrim dari segala jurusan hingga membuat Sang Patih terkejut. Berkatalah Madrim kepada empat puluh raksasa yang dengan gigih mengerubutinya, 22. "Jangan kalian hindari anak panahku ini," katanya seraya melepaskan anak panah ke arah raksasa raksasa itu. Semuanya mati tidak ada yang dapat meloloskan diri. Sementara itu tibalah waktu pagi dan Sang Patih kembali pulang ke dalam taman. Para peijurit telah bangun tetapi seorang pun tidak tahu bahwa Sang Patih habis berperang melawan raksasa. Matahari telah terbit sementara para mantri siap menghadap di depan tempat bersemayam raja. 23. Gajah, kenaikan Baginda, telah siap dilengkapi pelana sementara para peijurit mengira bahwa Sang raja berkehendak kembali pulang ke istana. Diceritakan Sang raja telah bangun dan terkenang kepada istrinya. Baginda memerintahkan untuk segera menyiapkan gajah kenaikannya. Patih pun segera menjalankan perintah untuk menyiapkannya. 24. Tanda berangkat dibunyikan dan barisan segera bergerak maju, sepanjang jalan kelihatan gembira meliputi semua punggawa dan para mantri. Baginda dengan gajah kenaikannya dikelilingi beberapa peijurit kelihatan sangat indah. Tak lama Sang raja bersama barisan pengawal tiba di negara. Selanjutnya para dipati diperintahkan semuanya agar tidak tidur di dalam rumah mereka. 25. Mereka mendapat tugas beijaga di dalam istana. Hati-hatilah, kata Sang Patih, Nagapratala sangat sakti mampu menjelma berbagai macam binatang. Bila kau lihat binatang senuk, banteng, kijang, serta kancil, atau pun berupa ular bunuhlah itu. Pasti dia penjelmaan Sang Nagapratala yang sangat sakti serta mampu mewujutkan segala ciptanya. Semuanya menjawab siap melaksanakan perintah. 24 PNRI
26. Tidak seorang pun punggawa yang pulang ke rumah sementara itu Baginda telah sampai di Balai tempat mengadakan pertemuan. Beliau turun dari gajah kenaikannya. Diceritakan bahwa permaisuri raja yang bernama Dewi Setia tengah duduk di dalam ruang dalam yang khusus untuk permaisuri raja. Sang putri dikelilingi oleh banyak dayang-dayang. Ketuanya bernama Niken Inya Mandhala. Ia selalu duduk menghadap di dekat Sang Puteri. Berkatalah Sang Puteri, 27. Mamanda Inya kemanakah pergi Baginda raja? Niken Inya melaporkan bahwa Sri Baginda pergi bercengkerama ke luar kota, berburu rusa dan banteng di tengah-tengah hutan. Sang Puteri melanjutkan pertanyaannya mengapa ia tidak diperintahkan mengikuti Sang raja. Setelah Baginda meninggalkan istana, Sang Puteri merasa sangat rindu hatinya dan mengharapkan setelah Baginda kembali agar diperkenankan menyampaikan sesuatu. 28. Saya menyadari sudah bahwa Baginda adalah suami saya. Mendengar itu Inya Mandhala sangat gembira, ia menyembah menyampaikan berita tentang kedatangan Baginda yang baru saja turun dari gajah. Seyogyanya Sang Puteri menjemput Baginda di pintu gerbang masuk. Sang Puteri menerima saran permohonan Niken Inya. Dalam pada itu Baginda telah tiba di depan pintu gerbang dielu-elukan oleh hamba sahaya yang memenuhi halaman di luar istana. Permaisuri siap menjemputnya di depan pintu. 29. Baginda berdiri termangu menyaksikan permaisurinya tiba-tiba menunduk dan mencium kaki Baginda. Dengan segera disambutnya tangan Sang Puteri dibimbing perlahan-lahan menuju ke ruangan puteri. Baginda dan Sang Puteri berkenan duduk di atas permadani. Beijejal-jejal para dayang dayang para nyai dan para bibi menghadap di sekeliling Sri Baginda. 30. Apabila para puteri itu diibaratkan bintang-bintang, maka Si Puteri Gunung, adalah merupakan bulannya. Cahayanya berkilau-kilauan, dan duduk tak terpisah dengan Paduka Raja. 25 PNRI
Hati Baginda sangat senang, permaisuri dicium berulang-ulang sambil mengatakan kata-kata yang manis. Tak lama kemudian Sang Puteri dibawanya menuju ke tempat peraduan. Dan bubarlah semua dayang-dayang mundur dari pesebaan ke tempat masing-masing.
26 PNRI
4. DURMA
1. Kita tinggalkan yang sedang memadu kasih. Kita ceritakan kembali peijalanan Nagagini yang dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Di penghadapan suaminya ia menangis, membuat lakinya bertanya-tanya. Mengapa sebabnya sang isteri tiba sambil menangis? 2. Kata Sang Suami, "Janganlah engkau menangis, katakan apa yang telah teijadi. Sang Nagagini menjawab, "Aku menuju ke Taman Bunga, ketika itu Baginda sedang minum air. Tibatiba sahabatku itu mengejar saya dan berkehendak untuk membunuhku. 3. Aku lari menghindari bahaya dengan melompat pagar bata. Namun Baginda melepaskan panahnya dan mengenai ekorku. Dalam pada itu semua peijuritnya bersorak meneriakkan katakata kegirangan dan mengira bahwa saya telah mati oleh panahnya. Tidak rela adinda menerima perlakuan seperti itu, lagi pula ekorku terluka karenanya. 4. Cepat-cepat kakanda mengambil putusan peradilan terhadap peristiwa ini. Balaskan hukuman pati kepada Sang Raja Anglingdarma. Ia sungguh-sungguh kejam sampai hati berbuat jahat kepada orang yang baik. Dan apabila kakanda tidak bersedia membunuh kepada Baginda Raja. 5. Tak sampai hati membunuh Raja di Malawa itu, maka adinda mohon pamit kakanda, akan masuk ke dalam perapian saja. Aku malu terhadap para dewa karena hidupku tidak ada faedahnya. Sia-sia disengsarakan oleh orang yang tidak bersedia memberikan pertolongan. 27 PNRI
6. Jika begitu halnya kakanda lebih berat cintanya kepada Anglingdarma. Apa gunanya mempunyai isteri? Sang Nagapratala mendengar jelas kata-kata isterinya. Ia tersentak dan terasa sakit di hati, mengingat selama ini isterinya belum pernah berbuat tidak baik. 7. Telinganya serasa dipotong dengan pisau tajam. Ia menjadi beringas dan marah sehingga matanya tampak sangat merah seperti bola matahari. Satu di kiri satu di kanan sangat menakutkan. Tubuhnya seolah-olah membesar, ekornya bergetar sangat cepat. 8. Sisiknya sangat tajam bagaikan pisau cukur, bisa yang berada di lidah bagaikan mirah berwarna kuning tua. Kedua matanya seperti matahari. Lidahnya bagaikan petir berlalu, sedang gigigiginya menyerupai bintang-bintang yang beredar; adapun besar ekornya sama dengan batang pohon tal. 9. Giginya tajam merata dan sangat kuatnya, bertaring seperti taring gajah. Bentuk wajahnya seperti belahan pedang sedang hidungnya berlubang bagaikan mulut gua sepasang. Dibukanya mulutnya dan keluarlah suara yang menakutkan. Tinggallah kau Nagagini, katanya keras-keras. 10. Keluarlah Nagapratala dari tempat tinggalnya, ia terapung di atas pantai sambil menjulurkan lidah ke kanan kiri dibarengi oleh desisan suara keras.Berputer sebentar di atas pasir kemudian keluar dan langsung pergi menuju ke arah negara Malawati. 11. Ia iupa sudah akan segala kasih sayangnya terhadap sahabat baiknya, ialah Sang Baginda. Kehendaknya Sang Baginda hendak dibunuhnya oleh karena telah berbuat jahat terhadap isterinya. Isteri Sang Nagagini yang cintanya tak terkatakan terhadap suaminya. 12. Peijalanan Sang Nagapratala sangat cepat, seperti kilat, sebentar kemudian telah sampai di negara Malawati. Ia masuk ke dalam kota dan terhenti sejenak di balai penghadap yang penuh 28 PNRI
dengan orang-orang beijaga. Memang para peijurit telah menjalankan perintah Patih Batik Madrim. 13. Para peijurit dan para nayaka semuanya beijaga-jaga, siap dengan peralatan perang. Demikian perintah Sang Patih, "Wahai para penggawa, kalian semua harus siap siaga dan berhati-hati. Jangan sampai ada seorang pun yang lalai. Ketahuilah olehmu bahwa Nagapratala itu sangat sakti." 14. Nagapratala tersenyum mendengar perintah Sang Patih Dalam hatinya berpikir, "Benar Sang Raja Anghngdarma telah berbuat jahat, tandanya semua penggawa dikerahkan untuk berjaga-jaga. Mereka kini siap siaga. Macam-macam ulahnya. 15. Jika ada keinginan Nagapratala hendak berbuat jahat terhadap para penggawa raja, pastilah mereka dengan mudah dikalahkan dan mati semuanya. Tetapi Nagapratala tidak bermaksud membunuh-bunuh. Para perjurit tidak bersalah, jika mereka terbunuh ia akan dikutuk oleh para dewa. 16. Maka undurlah Nagapratala, kemudian ber"tiwikrama" berdiri ia di atas pohon Beringin kembar. Ia mampu mengelilingi jagad, kesaktiannya menyamai para dewa dan pendeta. Maka seorang pun tidak ada yang melihat ketika ia masuk ke dalam pura Sang Raja. 17. Berkat kesaktiannya yang luar biasa, ia tidak memerlukan bantuan berupa jalan ataupun diiringi oleh suara yang berisik. Tahutahu telah berada di balai bangunan indah tempat bersemayam Baginda. Ia telah dapat memastikan di mana Sang Raja berada ketika itu. 18. Tiba-tiba timbul rasa ragu-ragu di dalam hati Nagapratala. Ia teringat janji-janji dengan Baginda ketika sama-sama menuntut ilmu di hadapan guru yang sama. Teringat ketika sama-sama duduk, saling mengikat janji sebagai sahabat seperguruan yang lebih erat daripada s a h a b a t yang lain. 29 PNRI
19. Tersebutlah Baginda sedang memadu kasih dan berada di dalam tempat peraduan bersama-sama dengan Dewi Setia. Keduanya duduk-duduk membicarakan sesuatu. Berdatanglah sembah Sang Puteri dengan lemah-lembut. 20. Paduka Sri Baginda, sesungguhnya rasa hati hamba selalu cemas. K arena sedatang Paduka dari cengkerama seolah'-olah terbelenggu oleh rasa duka. Hamba takut kalau-kalau telah berbuat khilaf. Melampaui batas-batas yang boleh dilakukan oleh seorang wanita. 21. Hamba berasal dari gunung, banyak yang hamba ketahui dengan baik sehingga membuat hati hamba selalu was-was janganjangan hambamu telah berbuat salah. Mohon paduka sudi memberi petunjuk bagaimana seharusnya hamba harus keijakan, mengingat hamba dilahirkan di daerah pegunungan. 22. Baginda menjawab dengan panuh kasih sayang seraya memeluk tubuh Sang Puteri, "Wahai jiwa kakanda sayang. Janganlah kau keliru menanggapi apa sebab aku tampak murung setelah kembali dari berburu. Sepulang saya dari cengkerama, saya ingin menuju ke Taman Bagenda. 23. Saya bermaksud mandi di dalam Taman, jika malam telah datang. Tiba-tiba para peijurit gaduh melihat sesuatu yang aneh. Seekor ular naga besar telah memadu kasih di dalam taman bunga. Besar naga itu bukan kepalang, membuat terheranheran semua yang menyaksikan. 24. Yang jantan adalah jenis Ular Tampar, hanya satu ranting besamya. Meskipun mendapat ejekan dan disoraki oleh para perjurit, bahkan ada yang melempar dia supaya pergi, namun keduanya tak menghiraukan, enak memadu kasih. Perjuritku ketakutan. setelah aku melihat, ternyata Nagagini yang berbuat. 25. Aku segera mengambil anak bunuh, kupentang busur kuarahkan kepada si ular Tampar. Terputus lehernya dan mati. Namun ekor Nagagini terkena sementara ia berusaha lari. Ia ter30 PNRI
jang saja apa yang ada di dekatnya tidak memperdulikan sesuatu dan tak mau mendengarkan seruanku agar kembali.." 26. Sang Puteri nyela kata, "Paduka telah keliru bertindak, menghalang-halangi orang yang tengah berpadu kasih." Dijawab oleh Sang Raja, "Memang benar kata-katamu itu sayang. Tetapi hendaknya kau ketahui, bahwa Si naga betina, tidak lain adalah Nagagini. 27. Isteri dari naga besar Nagapratala. Dia telah menjadi sahabat karibku, kuangkat menjadi saudaraku tua. Tidak lagi membedakan pangkat dan kedudukan, seperti saudara sendiri. Bagaimana bila kuberdiam diri menyaksikan isterinya berbuat serong dengan ular kecil? 28. Dan jika aku tak berani menghukum kepada si ular Tampar, apa kata orang terhadap diriku? Belum terhadap ular besar, sedang terhadap ular kecil saja aku tidak berani bertindak. Apalagi terhadap ular lain yang berkehendak serong terhadap isteri sahabatku. 29. Itu berarti merendahkan martabat sahabatku. Begitulah pikiranku. Maka kupanah Si Ular Tampar hingga mati. Namun aku kira Nagagini pasti berkata tidak sesungguhnya kepada lakinya, apabila dia telah tiba di rumah. Ia akan mengadu kepada sang suami tentang kebaikannya. 30. Sungguh-sungguh sulit terjadi bila ia mengatakan telah berbuat serong. Ia pasti memburuk-burukkan saya. Dan jika Kakak Naga bertindak gegabah tidak mengadakan pemeriksaan lebih dulu, tentu aku mati karenanya. Itulah sebabnya aku merasa pedih hati." 31. Sangatlah heran Sang Puteri di dalam hati setelah mendengarkan cerita Baginda. Air matanya berlinang-linang, dan segera ia mencium kaki Sang Raja. Baginda sangat kasihan melihat permaisuri duduk di bawah sambil mengeluarkan bercucuran.
31 PNRI
5. MIJIL
1. Segera dipegangnya tangan permaisuri, sambil berkata perlahan-lahan. Wahai intanku, janganlah kau cemas di hati. Percayalah kepada Dewa pengasih. Siapa pun tidak dapat menghindar, apabila saat kematiannya telah datang. 2. Sang Nagapratala mendengar semua percakapan Baginda, Ia tidak jadi bertindak. Tak habis dia berfikir, bagaimana jika ia terlanjur membunuh sahabatnya. Hukum apa yang ditimpakan jika gigitannya membuat orang mati. 3. Yang pasti ia kehilangan sahabat dan mendapatkan murka dari Dewa. Utang pati besar dosa yang dipikulkan kepada si pelaku. Sedang orang yang berbuat baik, bagaimana pun juga akan menemui kebajikan. Baiklah adinda Raja. 4. Telah nyata Nagagini berdusta terhadap diriku. Apa yang diceritakan semuanya bohong. Bercerita yang bukan-bukan agar supaya dirinya terlindung. Ah seandainya adinda Raja terbunuh, tak urung Nagagini pun saya beri hukuman mati. 5. Sementara itu Nagapratala telah pergi menuju ke luar ruangan di mana Sang Raja beradu. Ia kembali berupa seekor ular naga dan bersuara keras mendesis-desis. Seluruh penghuni gedung menjadi ketakutan karena bunyi ular tersebut. 6. Mereka berfikir bahwa ajalnya telah sampai. Hiruk pikuk seisi istana memberitahukan tentang kedatangan Nagapratala. Berkata Nagapratala kepada adinda Raja dari halaman bagian belakang Taman Bunga. 32 PNRI
7. Wahai adinda Raja, demikian seru Nagapratala. Harap adinda keluar sebentar barang sejenak saja. Suara berulang-ulang diucapkan oleh ular besar itu sehingga membuat Sang Raja terkejut. Tak salah itulah suara Nagapratala. 8. Baginda ingin segera keluar ruangan tetapi Sang Puteri menghalangi maksudnya. Puteri itu sambil menangis berdatang sembah, "Aduh Paduka Raja akan pergi ke mana?" Maka dijawab oleh Baginda, "Aku ingin pergi ke luar gedung. 9. Kakak Nagapratala berada di luar gedung ini, dan berseru kepadaku agar menemuinya." Sang Puteri menyambung perlahan, "Janganlah Paduka cepat-cepat menemui Si Naga. Hamba kawatir jikalau dia menggigit Paduka. 10. Dia tentu tak akan memeriksa benar tidaknya, sebab tidak sembarang orang memiliki nalar dan lebih dulu mengadakan pemeriksaan." Sang Raja menjawab, "Janganlah adinda berpi. kir demikian. Oleh karena Nagapratala adalah sahabatku sendiri. 11. Ia benar-benar rindu terh'adap diriku, dan kerap kali datang langsung dari kayangan ke tempatku. Kalau toh aku harus menemui 'ajalku tidaklah aku takut menghadapinya. Karena aku tetap percaya kepada Dewa yang Agung. 12. Ketahuilah olehmu, bahwa kakakku sangat sakti tidak terhambat segala kehendaknya. Ia bisa menjelma menjadi besar atau menjadi cair sekalipun. Bahkan andai kata aku bersembunyi di dalam gedung besi, tak urung pasti tertangkap olehnya, apabila ia sedang marah." 13. Sang Puteri menarik pucuk kain Baginda, seraya mengucurkan air matanya. Sementara itu terdengar lagi Nagapratala berseru, "Wahai adinda Raja, harap adinda ke luar sebentar saja, aku sahabatmu datang berkunjung." Maka Sang Raja segera berlalu. 33 PNRI
14. Tangan permaisuri dikesampingkan dan cepat menghindar pergi. Di luar gedung bertemu Baginda dengan sahabatnya. Ular naga itu merapatkan tubuhnya seolah-olah memangku Sang Raja. Tampak keduanya saling menyayangi, Nagaraja berkata, 15. "Bagaimana jadinya adinda jika kakanda benar-benar berbuat tidak baik terhadap adinda Raja. Terbukti sudah kelacuran Nagagini. Aku tidak dapat membalas budi baik adinda, yang telah menghapuskan noda paoa mukaku." 16. Menjawablah Maharaja Anglingdarma, "Kakak aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena adinda memberanikan diri mengurungkan niat kakanda. Kakanda tidak jadi melampiaskan hati yang dikendalikan oleh amarah." 17. Sang Naga berkata lebih lanjut, "Janganlah adinda memikirkan hal yang telah lalu. Benar-benar aku berterimakasih kepada adinda. Di dunia dan akhirat tidak ada lagi saudaraku selain adinda seorang. Hanya adinda Raja sahabatku sejati. 18. Tak salah semua orang menyembah kepada adinda. Bagus rupanya lagipula muda belia, saktinya luar biasa tahu akan kebenaran yang harus diagungkan, setia pada janji dan rela memberikan segalanya kepada sahabat. Aku tak bisa membalas. 19. Sepadan dengan pemberianmu kepadaku. Adalah kakanda memiliki aji Suleman, yang besar sekali manfaatnya. Karena siapa yang memiliki aji tersebut akan mampu mengetahui bahasa satwa, di manapun satwa itu hidup. Sudah kehendak Dewa Agung kiranya. 20. Adinda Raja yang memiliki ilmu tersebut. Ketahuilah wahai Sang Raja, bahwa tidak seorang pun kecuali adinda boleh mendengar dan mengetahui. Marilah kita pergi sebentar ke tempat yang sunyi. Ke dalam hutan belantara, selain itu hendak kupesankan kepada adinda. 21.Jangan sekali-kali mengajarkan ilmu ini kepada isteri. Serta 34 PNRI
kepada sanak keluarga yang lain, itulah pesanku sungguhsungguh. Sebab jika adinda sampai mengajarkannya kepada orang lain. Akibatnya tidak baik, aku akan menemui ajalku." 22. Sang Baginda Anglingdarma menyanggupi segala pesan Nagapratala dan berjanji akan melaksanakannya. Ibaratnya seperti terikat erat di pucuk rambut, sebagai ajimat yang dikeramatkan untuk selama-lamanya. 23. Berkatalah Sang Naga lebih lanjut, "Adinda Raja, apabila telah adinda setujui syarat-syaratnya dengan jelas. Marilah kita pergi ke dalam hutan yang sunyi. Adinda boleh naik di atas punggung kakanda." 24. Sang Raja tak menolak ajakan Sang Naga, segera tubuhnya mendekat dan dinaikkan ke atas punggung Sang Ular Besar. Nagapratala menuju ke luar istana. Cepat jalannya bagaikan bintang beralih. 25. Hanya sebentar mereka telah tiba di tengah hutan. Maka berkatalah Sang Naga kepada Baginda, "Marilah adinda turun dari punggung, kita telah sampai di tengah hutan. Jauh dari Utara dan Selatan, tiada makhluk lain yang tahu. 26. Di sinilah tempat yang paling baik." Maka turunlah Sang Raja dari punggung Sang Ular kemudian duduk di hadapannya. Berkatalah Sang Naga pelan-pelan, "Wahai adinda terimalah aji-aji saya bernama Aji Suleman yang sangat keramat. 27. Dekat-dekatlah duduk adinda dan pejamkanlah mata." Baginda pun mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Sang Naga saling mendekat dan saling memejamkan mata mereka. Nagapratala berkata perlahan-lahan sambil mencucurkan air mata, diperhatikan oleh Baginda dengan penuh perasaan.
35 PNRI
6. ASMARANDANA
1. Maka diturunkanlah ilmu Suleman kepada Sang Raja Anglingdarma. Sang Naga membisikkan rapal ke telinga Baginda. Tidak begitu lama berlangsung, Sang Raja telah menanggapi segala kata-kata keramat dalam hati, seolah-olah masuk ke dalam dada Sang Raja. 2. Perasaan di dada terasa lain dari sebelum menerima ilmu itu Raja Anglingdarma merasakan sesuatu yang lain dari biasanya, berkat aji Suleman yang telah diturunkan kepadanya. Pendengarannya terasa mampu menjangkau jauh. Maka bertanyalah Nagapratala kepada Raja Anglingdarma, 3. Apakah telah adinda pahami segala tanda-tanda yang terasa lain di dalam hati adinda?" Yang ditanya memberikan jawaban, "Kakanda berkat ajaran kakanda adinda telah menangkap segalanya. Perasaan hati adinda berbeda dengan sebelumnya. 4. Sangat berlainan dengan sebelum kudapat ilmu Suleman, langsung ke dalam pendengaran." Sang Nagapratala sangat senang mengetahui Baginda telah terbuka hatinya dan betul-betul memahami hingga sedalam-dalamnya. Marilah adinda, katanya lebih lanjut, kita sama-sama pulang ke tempat tinggal kita masing-masing. 5. Baginda hanya memikirkan keadaan Sang Permaisuri yang menunggu kedatangannya di istana. Langkahnya dipercepat. Dalam hati Baginda berkata, "Apabila hari ini saya tidak tiba di istana, saya tak dapat mengira-ngirakan bagaimana akibatnya. 6. Saya kira isteriku akan bunuh diri dengan menusuk tubuhnya 36 PNRI
sendiri. Ia berada di dalam istana dan mengira bahwa Nagapratala telah membunuh diriku. Di dalam hutan. Kupinta kepada Dewa Agung, semoga permaisuriku tidak membunuh dirinya sendiri dengan keris. 7. Semoga ada yang memberinya peringatan dan menghibur hatinya." Begitulah perasaan Baginda sambil menuju kembali ke istana. Maka diceritakan keadaan Sang Puteri yang ditinggalkan, ialah permaisurinya anak Sang Pendeta di gunung. 8. Ketika itu Sang Dewi sedang bersemayam di kelilingi oleh dayang-dayang dan para isteri Sang Raja. Duduk paling depan ialah Inya Mandala. Tidak terkecuali para penghuni istana yang lain, semua babu dan inya-inya. Berkatalah Permaisuri kepada Inya Mandala. 9. "Ibu Mandala bagaimana gerangan kabar Paduka Sri Baginda? Hatiku sangat sedih karena hingga sekarang belum juga kembali. Apabila Sri Baginda tidak datang pada hari ini, pasti telah termakan oleh tipu daya Nagapratala dan dilarikan pergi ke dalam hutan belantara. 10. Dibunuh Baginda di dalam hutan itu oleh Si Nagapratala. Apabila benar-benar Baginda berpulang, aku akan bela mati pula. Tak ada faedahnya aku hidup terus, lebih baik bunuh diri." Sang Puteri berkata sambil berlinang air matanya. 11. Inya Mandala bersembah sambil menyambung kata-kata "Meski hambamu hanya pelayan yang terendah, tetapi jika Tuan Puteri bela diri ikut mati Sang Raja, pasti hambamu tak ingin tinggal. Ingin juga bela bersama-sama, hamba tidak bisa mengabdikan diri pada orang lain." 12. Demikian pula halnya dengan penghuni keputerian itu, semuanya menyampaikan hasratnya untuk ikut bela pati. Namun, kata Inya Mandala, sebaiknya Puteri bersabar dan menanti sampai hari ini. Mohon kiranya Puteri menuruti saran hamba ini. 37 PNRI
13. Baiklah Inya Mandala, saut Puteri. sekarang telah pukul berapa? Dijawab, bahwa hari telah rembang petang. Maka diajak lah Sang Puteri menghibur hati, menuju ke Pintu Selatan. Mungkin Baginda sebentar lagi tiba, semua telah siap untuk menyongsongnya. 14. Dengan perasaan semakin duka Sang Puteri beserta para dayang-dayang pergi menuju ke Pintu Selatan. Jalannya bergontai, tidak bergairah, karena rasa hati yang sangat gundah. Tak henti para dayang-dayang menjaga jangan sampai Sang Puteri terjatuh hampir semuanya tidak dapat menahan jatuhnya air mata. 15. Mereka merasa kasihan menyaksikan penderitaan tuannya. Tibalah para dayang-dayang di Pintu Selatan. Rombongan berhenti di bawah pintu. Puteri tak henti-henti mengharap kedatangan Sri Baginda dengan hati rindu. Sementara para babu dan inya mengawal di dekat Sang Puteri. 16. Sang Puteri berkata sambil menahan airmatanya: Mamanda telah bulat dalam hatiku aku akan menusukkan keris ini ke tubuhku, apabila sampai sore hari Sang Baginda tidak tiba di istana. Aku tujukan tepat ke arah ulu hatiku. 17. Semua yang berada di dalam puri tergerak rasa sedih yang mendalam mendengar kata-kata Sang Puteri. Mereka bergumam satu sama lain membicarakan yang sedang di rundung duka. Tiba-tiba Sang Baginda muncul berjalan ke arah pintu sambil memegang ujung kainnya, bagaikan Hyang Asmara. 18. Dewa Asmara yang tengah mencari Dewi Ratih. Begitu keadaan Maharaja Anglingdarma, tampak parasnya bercahaya seperti bulan yang sedang purnama. Tampan dan menarik. Baginda sangat terkejut melihat permaisuri berada di pintu dikerumuni oleh semua isi puri. 19. Apalagi permaisuri menggegam keris pendek siap untuk bunuh diri. Tidak salah penglihatan Sang Puteri, bahwa Sang 38 PNRI
Raja sendiri yang datang. Pandangan keduanya bertemu, saling berdebar-debar ibarat piling jatuh ke atas batu, pecah berkeping-keping. 20. Gemetar lunglai rasa tubuh keduanya, tak kuat untuk berdiri maka larilah cepat-cepat Sang Puteri seraya membuang senjata. Menunduk dan mencium kaki Sang Baginda sambil mencucurkan air mata. Ratapnya mengundang belas kasih, "Wahai Tuan Sembahan hamba. 21. Tak mengira sedikitpun hambamu, bahwa masih dapat bertemu dengan Paduka. Hamba telah siap untuk mati sebab mengira Paduka dibunuh oleh Naga di tengah hutan. Hamba semua telah bersepakat, untuk bela pati. 22. Sekiranya Baginda tidak kembali pada hari ini, maka semua penghuni keputrian telah siap membela Paduka. Tidak kecuali semua babu dan inya. Tak seorang pun yang ingin ditinggal hidup sendiri. 23. Bersabdalah Sang Baginda dengan tenang, "Percayalah selalu kepada Dewa Agung. Tidak ada sesuatu yang menyebabkan Nagapratala menjadi murka. la bahkan mengakui saya sebagai saudaranya yang paling erat, baik selama hidup di dunia maupun sampai di akhirat nanti. 24. Oleh karena itu kalian bersyukurlah, bergembiralah dengan menampilkan bedaya." Baginda langsung berjalan sambil membawa Sang Permaisuri di atas kedua tangannya. Tak hentihentinya diciumnya dengan rasa kasih sayang. Permaisuri yang cantik bagaikan ratna juita. 25. Terkejut Sang Raja sekonyong-konyong mendengar dengan jelas kata-kata seekor semut kepada yang lain, "Hai temantemanku semua, hati-hati dan menyingkirlah segera. Kalau tidak pasti kalian terinjak oleh para dayang-dayang pelayan Raja Anglingdarma. 26. Tak ada faedahnya mengetahui yang sama-sama benar. "Men39 PNRI
dengar kata-kata semut Baginda tersenyum sendiri tak menghiraukan pandangan Sang Puteri. Bertanya Puteri kepada Baginda mengapa tersenyum tanpa sebab, adakah sesuatu yang luar biasa? Maka menjawablah Sang Raja Anglingdarma, 27. Aku tersenyum sayang, demikian kata Sang Raja, teringat peristiwa yang terjadi di dalam hutan. Aku dengan Nagapratala berkeliling di dalam hutan. Melihat berbagai macam pohonpohonan. Kami tidak tahu kegunaan pohon-pohon itu barang sedikit saja. 28. Itulah sebabnya aku tertawa sendiri. Mendengar jawaban Baginda puaslah hati Sang Puteri. Maka sampailah mereka di ruang dalam istana. Tempat Sang Raja duduk-duduk bersama. Baginda bersemayam di samping permaisuri di atas permadani. 29. Hidangan pun disajikan untuk dahar Sang Raja bersama permaisuri. Semuanya merasa gembira, demikian juga isteri-isteri Baginda yang lain. Melimpah banyaknya hidangan tanda rasa senang karena Sang Raja telah kembali selamat. Tidak seorang pun merasa susah. 30. Sementara itu terdengar suara gamelan yang merdu, yang dipukul para penabuh di ruang pendapa. Mengiringi dua barisan bedaya penari istana. Sampai selesai menghibur Sang Baginda. Maka permaisuri dibawa Sang Raja ke peraduan. 31. Nyi Inya menutup kain tirai dan membiarkan Sang Raja berdua memadu cinta. Terdengar rayuan Sang Raja terhadap Sang Puteri, ibarat kumbang mencium bunga guna memperoleh madunya. Banyak dayang-dayang yang tergiur hatinya mendengarkan, yang tidak tahan segera keluar meninggalkan ruangan.
40 PNRI
7. MIJIL
1. Tak henti-henti permaisuri dirayu, kemudian dibawa ke dalam peraduan. Ulah Sang Puteri seperti belalang tak kenal lelah. Masih sangat muda lagi pula benar-benar sayang terhadap suami. Baginda tak kalah pandainya. 2. Ah kiranya dikau penjelmaan bunga indah yang ditakdirkan menjadi orang, demikian kata Baginda. Hampa semua isi sari bunga di dalam taman, berhimpun menjadi satu padamu sayang. Itulah sebabnya mengapa kakanda selalu merindukan dirimu. 3. Kain Sang Puteri dikendurkan, demikian pula kain penutup dadanya. Baginda memeluk pinggangnya. Puteri memalingkan mukanya sambil mencubit. Ia melempar pandang maka dipeluklah ia oleh Baginda. 4. Tiada lagi hati dapat disabarkan untuk bermain asmara antara berdua. Ibarat wayang Sang Puteri berulah tak menentu. Nafas tersegun-segun seperti orang sedang menangis. Ketika hendak diselesaikan Sang Puteri menghindari. 5. Berulang-ulang Baginda ingin menghabisi kerja dan dengan sabar melepas kainnya. Ibarat bunga yang mekar semerbak baunya. Puteri menghindar dan menangkis dengan tangannya. Tak urung terpancar keras hasrat di hati. Mengaduhlah puteri berdesah lemah. 6. Diceritakan pada waktu itu terdapat dua ekor cicak yang berada di langit-langit. Putih warna kulitnya. Yang jantan bernama Ki Srepana, yang betina bernama Ni Srepani. Keduanya berada di dalam ruangan peraduan Sri Baginda. 41 PNRI
7. Berkatalah Ki Srepana kepada betinanya, "Marilah isteriku, kita memadukasih sebentar. Aku ingin sekali menirukan ulah Baginda." Betinanya menolak tidak mau menuruti kehendak hati sang jantan. datum keadaan hamil tua. 8. Berkata Ni Srepani dengan nada minta dikasihani, "Duh lakiku, aku tak dapat menuruti kehendakmu. Karena perutku sedang berisi telur. Bagaimana jadinya jika kita memadu kasih. Maafkanlah aku kali ini, mengingat keadaan perut yang buncit dan menonjol." 9. Namun demikian Ki Srepana memaksa isterinya untuk melayani maksudnya. "Marilah perempuan," katanya, "janganlah kau takut mendapat celaka. Aku akan melakukan pelanpelan, sehingga kamu tidak menderita. Kubuat kau geli, supaya segera keluar." 10. Dengan nada yang keras betinanya menjawab, "Janganlah berbuat yang kurang senonoh. Bukankah kukatakan bahwa aku tidak sampai hati melakukannya demi telur yang ada di dalam perut. Jika sampai pecah telur itu pasti meninggal akibatnya." 11.Maka cicak jantan itu memaksakan kehendaknya untuk meniduri betinanya, biarpun betinanya menolak dengan keras. Ia berusaha melarikan diri dan menghindar. Segera jantannya mengejar dan menangkapnya. Akibat pergeseran yang keras itu maka terputuslah ekor si betina. 12. Kesakitan karena terputus ekornya Ni Srepani menangis seraya memaki-maki jantannya, "Laki-laki tak tahu aturan baik. Tidak patut untuk dipelihara keturunannya. Karena sedikitpun tidak menaruh belas kasihan terhadap isterinya. Lebih baik jika aku mati saja, daripada hidup malu tidak berekor. 13. Baginda tersenyum di kulum, tidak jadi melanjutkan tidur. Dilihat pekerti Baginda itu oleh permaisuri, hati bertanyatanya. Ia salah menerka kehendak Baginda hingga membuat 42 PNRI
hatinya marah. Dikiranya pasti Sang Raja tidak puas oleh layanan yang telah diberikan. 14. Segera Sang Puteri bangun dan duduk dengan wajah cemberut. Ia berdatang sembah katanya, "Mengapa Baginda tersenyum di kulum sehabis mencumbu diri saya? Apakah tidak selayaknya Baginda telah tidur bersama dengan hamba? 15. Hamba akui bahwa hamba adalah anak kelahiran gunung yang diperisteri oleh Baginda. Jadinya membuat repot orang saja tidak patut untuk menjadi isteri seorang raja. Sekiranya hamba tidak layak untuk menjadi abdi raja, sebaiknya Tuan pulangkan kembali ke gurfung. 16. Bukankah banyak jumlahnya isteri Paduka Raja, yang terdiri dari puteri-puteri pilihan. Sedang hamba sendiri perempuan dari keturunan rendah." Berkatalah Sang Baginda dengan manis, "Wahai adik intan juwitaku. Ketahuilah. 17. Biarpun banyak jumlah wanita yang berparas cantik, puteriputeri raja di sekitar. Tidak seorang pun yang menyamai adinda sayang. Kuibaratkan sekuntum bunga untuk sumping di telinga kakanda. Pantas dan kuhormati selalu. 18. Aku akan senantiasa setia terhadapmu, sampai akhir hayatku. Menjelmalah sampai tujuh keturunan, penjelmaanku selalu akan mempersuntingmu. Aku tak takut membelinya dengan nyawa, demi untuk tetap berada di sampingmu. 19.Janganlah adinda keliru menanggapi ulah kakanda, karena kakanda tersenyum sendirian. Aku telah melihat sepasang cicak yang bertengkar, yang menyebabkan kakanda tersenyum. Ki Srepana nama cicak yang jantan, betinanya bernama Srepani. Si Jantan minta betinanya melayani kehendaknya. Tetapi betinanya enggan melakukannya. 20. Ia ingin melakukan sanggama seperti yang kita lakukan. Betinanya sedang mengandung tua, maka tidak mau menurutinya. Si Jantan terus saja memaksakan kehendaknya sehingga terjadilah kecelakaan. Pada waktu betinanya menghindari sergapan ia terjatuh di atas bantal dan putuslah ekornya. 43 PNRI
21. Sekiranya adinda kurang percaya terhadap cerita kakanda, mari kutunjukkan ekor yang putus itu, ia bergerak-gerak di dekat bantal saya. Melihat sepotong ekor yang bergerakgerak di samping bantal sang suami, Sang Puteri pun turut tersenyum. Dengan rendah hati ia berkata sendiri, 22. "Aduhai Dewa pujaanku. Baru sekarang adinda tahu bahwa Tuanku mengetahui bahasa-bahasa satwa. Dari mana kiranya ilmu itu datang?" Baginda dengan manis menjawab, "Sesungguhnya aku telah memperoleh aji tentang bahasa Satwa. Dengan ilmu itu akan dapat mengetahui kehendak satwa yang diucapkan dengan bahasanya. 23. Yang menurunkan ilmu Satwa itu kepada kakanda, tidak lain adalah kakak Nagapratala. Ialah guru kakanda." Maka Sang Putri berkata lebih lanjut, "Hanyalah kepada Baginda seorang tempat patik berlindung dan mengabdikan diri patik, sampai kelak hambamu meninggalkan dunia ini. 24. Tak ada pilihan lain sesungguhnya hanya Baginda yang akan memiliki hamba untuk selama-lamanya. Akan tetapi perkenankanlah hamba juga mengetahui aji Baginda yang mampu mengetahui bahasa-bahasa segala yang hidup di dunia ini." 25. Terperanjatlah Sang Baginda mendengar kata-kata permaisuri, bersabdalah perlahan-lahan, "Aduhai ratna juwitaku sayang. Segala sesuatu yang kau kehendaki pasti kukabulkan, tetapi janganlah adinda minta aji yang satu itu. 26. Karena sama sekali kakanda tidak mempunyai wewenang untuk mengajarkannya kepada seorang wanita." Sang Puteri mendesaknya sungguh-sungguh, katanya, "Duhai Sang Baginda, kasihanilah hamba. Sudilah Baginda menurunkan pula aji luhung itu kepada patik." 27. Berkatalah Sang Raja Anglingdarma, "Adinda kakanda sangat takut melanggar larangan yang dipesankan oleh Naga pratala kepadaku tempo hari. Aku tidak dibenarkan menurunkan ilmu kepada isteri. Ataupun kepada anak-anak saya. Mariiah adinda kuberi ilmu yang lain. 44 PNRI
28. Yaitu ilmu Janurwenda, yang sangat besar manfaatnya. Karena meniru dan mengambil ilmu dari Sang Dyah Srikandi yang terkenal mahir memanah dan menggunakan bedil. Puteri dari Cempala tersebut sangat mahir memanah. Itulah guna ilmu Janurwenda yang akan kuberikan kepadamu. 29. Sebelumnya Aji Janurwenda itu berasal dari suaminya ialah Sang Arjuna, satria yang sangat sakti. Tak ubahnya Srikandi dengan dirimu sayang. terimalah aji Danurwenda saja." Sang Ratna menjadi marah karenanya, katanya, "Aku tak ingin menerimanya. 30. Tak ada keinginanku untuk bermain senjata. Aku tidak menjadi peijurit, apa gunanya menerima ilmu Janurwenda. Jangan disamakan dengan isteri Sarageni hambamu ini. Adapun yang aku inginkan adalah ilmu yang Baginda miliki itu. 31. Agar supaya hamba dapat pula bahasa-bahasa binatang yang hidup di dunia. Ah alangkah bahagia rasa hati hamba, sesuai dengan janji Baginda sendiri. Bahwa Baginda enggan melihat wanita yang lain sampai saatnya kita sama-sama meninggal dan diperabukannya bersama-sama. 32. Kini ternyata tidak benar dan tidak secara tulus memberikan segala kasih sayangnya." Berkatalah Sang Baginda," Duhai juitaku. Apakan buktinya bahwa kakanda tidak mencintaimu setulus hati?" Maka berkatalah Sang Puteri, 33. "Mengapa Baginda. banyak berdalih untuk meluluskan permohonan hamba agar sudi menurunkan Ilmu Suleman yang luhung itu?" Menjawab Sang Raja, "Sebenarnya aku telah mendapat larangan keras untuk tidak memberikan kepada orang lain. Itulah alasannya, perintah yang kuterima. 34. Dari kakanda Nagapratala langsung kepadaku disertai ancaman berat; seandainya kuberikan ilmu itu kepadamu sayang. Aku mengingkari janjiku kepada guru. Pasti berakibat celaka yang kutemui nanti. Ada lagi aji yang kumiliki, sekiranya adinda ingin menerimanya. 45 PNRI
35. Besar guna dan manfaat aji yang akan kuberikan kepadamu. Jika kau ingin bepergian jauh, kau dapat menjelma menjadi apa yang kauinginkan, baik besar maupun kecil. Itulah sebaiknya kau miliki aji yang utama. Marilah adinda sayang kuturunkan aji itu kepadamu." 36. Dewi Setiawati menolak keras dan tidak mau menerima aji utama yang akan diturunkan oleh Baginda. Ia hanya minta aji Suleman untuk diturunkan kepadanya. Demikianlah diceritakan Sang Puteri senantiasa minta kepada Baginda selama tujuh hari, namun Baginda tetap memegang janjinya.
46 PNRI
8. SINOM
1. Tak terkirakan rusuh hati Sang Baginda berusaha menenangkan hati Sang Puteri yang tetap minta aji Suleman. Selama tujuh hari Baginda tidak menerima laporan para penggawa di Balai Penghadapan. Marah Sang Puteri semakin menjadi-jadi, parasnya seakan-akan berwarna merah dan bibirnya selalu bergetar hendak mengatakan sesuatu yang tertahan. 2. Maka keluarlah kata-katanya penuh rasa marah dan kasar, "Apa jadinya Baginda tidak mengindahkan kata-kata hamba. Apa gunanya Paduka beristerikan hamba, rupa jelek tak tahu diri. Pulangkanlah hamba ke gunung saja. Tidak ada faedahnya orang bersuami tetapi tidak mendapatkan cinta kasih." Sembari memeluk pinggang Sang Puteri bersabdalah Raja, 3. "Sampai kauhancur luluh di tanganku, kau tak akan kubawa pulang ke gunung asalmu." Maka berkatalah Puteri sambil menangis, "Jika demikian kehendak Baginda lebih baik hamba mohon pamit untuk mati. Sekiranya hamba tidak diperkenankan pulang kembali ke gunung, maka izinkanlah hamba masuk ke dalam perapian. 4. Hamba sangat malu terhadap Dewa serta tak tahan melihat pandangan orang terhadap hamba." Maka Sang Baginda mengusap dada seraya berkata, "Aduhai juwita hatiku. Aku masih selalu ingat pesan Sang Tapa orang tuamu, agar aku selalu di sampingmu, biarpun dikau masuk ke dalam api sekali pun. Jangan kakanda disebut orang yang mengingkari janji. 5. Seandainya dikau hancur dimakan api jangan sampai kita terpisah satu sama lain." Berkatalah Sang Puteri, "Segeralah 47 PNRI
Baginda memanggil datang Patih Baginda. Untuk Baginda perintahkan agar membuat gunung api di tengah alun-alun, Telah menjadi tabiat Raja Sakti, tak mengingkari kata yang terucapkan, telah diperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat." 6. Percakapan itu didengar oleh Nyi Inya Mandala, apa yang dititahkan Sri Baginda, maka semuanya menangis meraungraung, meratapi diri Sang Raja. Demikian juga para dayangdayang, turut menangis keras setelah mendengar peristiwanya. Tak menentu rasa di hati, semua penghuni istana tak terkendali tangisnya bagaikan suara guruh sambung-menyambung. 7. Aduhai Gusti yang kami suhun-suhun, ratap mereka, siapa lagi yang akan kami jadikan perlindungan. Para isteri yang dirahasiakan banyak yang bingung tak tahu apa yang akan dikerjakan. Mereka memukul-mukul paha sendiri tidak sadar pakaiannya tidak teratur, selendang berjuntai, gelung lepas bunganya berhamburan. Baginda menenteramkan mereka dan minta agar jangan menangis lagi. 8. Dewa telah memastikan kehendaknya, bahwa saya harus mati karena membela tuan puteri masuk ke dalam perapian. Wahai kau Nyai Inya segeralah menghadap Sang Patih Batik Madrim, mohon kehadirannya ke mari. Sang Baginda ingin bicara langsung dengan Sang Patih. Nyai pun segera meninggalkan balai penghadapan dan menyampaikan perintah Baginda. 9. Mendapat perintah dari Baginda untuk masuk ke istana, maka Sang Patih bersama-sama dengan Inya segera pula kembali menghadap Baginda. Sang Raja melambaikan tangan agar Patih duduk lebih dekat. Ketika Patih menyembah Baginda segera menghampiri dan memeluknya. Berbisiklah Raja, "Kakakku buatkan untukku gunung api dan panggung di alun-alun. 10. Perintah ini kaukerjakan secepat mungkin, aku ingin perapian besar itu terwujud pada hari ini." Maka menyembahlah 48 PNRI
Patih keheran-heranan, "Paduka sudilah menjelaskan perintah Paduka, hamba belum dapat menangkap. Paduka menghendaki adanya perapian besar lengkap dengan panggung. Siapa yang akan masuk ke dalam api itu?" Bersabdalah Raja Anglingdarma, 11. "Ketahuilah Kakak Patih, adinda Sang Ayu Setiawatilah yang bermaksud masuk ke dalam api. Dan saya akan membela dia." Mendengar kata-kata itu Ki Patih menyembah sambil mencucurkan air mata, "Aduh Sang Dewa Malawa. Paduka adalah Raja besar dan termashur. Tidak sepantasnya membela mati isterinya. Pekerti demikian adalah nista di mata orang banyak. 12. Telah jamak bagi perempuan umumnya, berbuat macammacam terhadap laki-laki, tetapi itu tidak dimaksudkan dengan sungguh. Jika hati tidak dikekang dengan teguh. Wahai Tuanku Puteri yang cantik. Janganlah diperturut kehendak hawa nafsu. Akibatnya tidak baik. Ibarat putri yang utama pasti dia akan tunduk dan patuh terhadap kehendak lakinya. 13. Banyak lagi saran dan permintaan Sang Patih Batik Madrim kepada Puteri Raja untuk menangguhkan kehendaknya. Namun Sang Kesuma menjawab dengan lantang, "Diamlah kau Patih janganlah banyak bicara. Bila tidak kaukeijakan perintah Baginda. Aku lebih baik mati dengan jalan yang lain. 14. Pasti Dewa yang Agung telah menggariskan nasib kami." Sang Raja tak tahu apa yang hendak dilakukan, kata Baginda pelan-pelan," Hanya pesanku kepadamu Patih, apabila aku telah tiada, kaulah yang menggantikan diriku menjadi Raja. Perintahlah selanjutnya negara Malawapati ini. 15. Patih bukan orang lain, kaulah sahabatku sendiri. "Maka menangislah Ki Patih mendengar pesan-pesan Baginda itu. Ia mencium kaki Sang Raja meratap seperti wanita." Hamba tidak mampu menjadi raja," sembahnya," pengetahuan hamba nihil, bagaimana hamba dapat menguasai para perjurit Malawapati. Apalagi hamba takut terhadap kutukan Dewa. 49 PNRI
16. Hamba bukan pewaris mahkota, akibatnya mengundang bahaya besar jika hambamu diangkat sebagai Raja. "Baginda menyambung, "Bukankah kau keluargaku sendiri? Lagi pula seperguruan dengan diriku. Kukira kau kuat melaksanakan dan dijauhi bahaya. Maka terimalah tugas ini dengan baik." Semakin keraslah tangis Sang Patih didesak oleh perasaan duka. 17. Sang Baginda melanjutkan perintahnya, "Segeralah kau keluar menuju tanah lapang." Dan menyembahlah Batik Madrim mohon diri, beijalan sambil mencucurkan air mata. Semua heran menyaksikan peristiwa itu, para punggawa dan para peijurit. Mengapa Sang Patih kembali dari penghadapan Raja mencucurkan air mata? 18. Hati mereka bergetar penuh dengan tanda tanya. Pasti Ki Patih mendapat murka dari Baginda. Soal apa? Tiba di Balai penghadapan Sang Patih berkata dengan berat, "Perintah Sang Baginda tegas wahai semua punggawa. Buatlah segera perapian yang besar beserta dengan panggung. Keijakanlah secepat mungkin. 19. Di alun-alun tak jauh dari tempat rakyat menghadap raja. Baginda berhasrat akan masuk ke dalam perapian, membela isterinya. Dan kalian para menteri siapkan segera minyak dan ijuk secukupnya. Sekiranya Baginda mangkat dalam melakukan belapati terhadap isterinya, maka akulah diperintahkan Baginda untuk menggantikannya. 20. Memerintah semua punggawa di Melawa, "demikianlah perintah Sang Baginda." Aku sangat pusing mendapat perintah yang berat dan mendadak ini, maka aku tidak bisa menahan tangisku." Tidak terkirakan rasa haru para mantri dan punggawa, mereka hanya menjawabnya dengan kata"ya tuanku" bersama-sama. Mengapa Sang Raja berkehendak masuk ke dalam api besar? 21. Dan apa sebabnya bersama-sama dengan permaisuri? Maka berkatalah Patih Batik Madrim kepada semua punggawa dan 50 PNRI
mantri, "Permaisuri bersikeras untuk dibuatkan gunung api. Baginda tidak mampu mencegah dan aku pun dibentaknya," Semua punggawa menjadi terheran-heran mendengarkannya. Mereka memajukan saran kepada Sang Patih, sebaiknya biarlah Sang Puteri yang melakukan sendiri, Sang Raja jangan. 22. Marilah kita sampaikan hal itu kepada Raja untuk mencegahteijadinya maut yang sia-sia. Banyak wanita yang lain yang lebih cantik dan pandai, puteri raja yang pantas untuk dijadikan penggantinya. Kita lamar puteri itu untuk Sri Baginda. Dan kita perangi mereka jika berani menolak lamaran Raja, kita hancurkan negaranya. 23. Hamba sekalian minta diadu di dalam perang, biarkan kami menemui ajal kami dengan senang demi menjalankan perintah Sang Raja. Berkatalah Raden Dayaningrat, "Wahai Kakak Batik Madrim, jika benar demikian sangatlah hina Paduka Raja, karena mati membela isterinya. Jika kakanda Patih setuju, marilah kita rebut saja Raja Anglingdarma dengan paksa.
51 PNRI
9.
DANDANGGULA
1. Bila Baginda tak mau mendengarkan saran yang baik, kita rebut saja bersama-sama. Baik para peijurit, maupun para keluarga Raja sendiri harus ikut serta merebut Sang Baginda. Mencegah teijadinya rencana membakar diri. Khusus Sang Raja saja yang kita rebut." Ki Patih Madrim membenarkan saran-saran tersebut, tetapi tidak berani berbuat lebih lanjut. 2. Aku takut dikutuk oieh Baginda. Saran dan permohonanku tidak ada yang diterima sedikit pun. Mengapa Baginda sampai berbuat demikian? Pertama Dewi Setiawati adalah puteri guru nata yang kini bertapa di gunung. Kedua, Sang Raja sendrii telah bersumpah sebelumnya akan mati bersama-sama. Yang ketiga, keduanya sedang dirundung asmara, saling berkasih-kasihan tidak dapat dipisahkan. 3. Para Bupati tidak mampu pula menahan deras air mata yang bercucuran, tidak terkecuali para keluarga yang mendengar penegasan itu. Batik Madrin melanjutkan perintahnya, "Mari janganlah kalian terus-terusan menangis, tidak patut dilihat. Jangan lagi membicarakan soal ini. Kita serahkan kepada kehendak Dewata. Bekerjalah dengan cepat-cepat agar panggung segera terwujud. 4. Kalau-kalau Baginda nanti murka melihat kelalaian kita semua." Maka mulai para perjurit dan punggawa bekeija sambil menangis. Panggung beserta dengan gunung api telah siap seperti yang dikehendaki. Ki Patih segera menuju ke istana melaporkan tugasnya kepada Baginda. Panggung beserta gunung api telah selesai disiapkan di depan Balai Penghadapan. 5. Sang Raja serta permaisuri mengambil air "jamas" untuk meng52 PNRI
awali upacara membakar diri. Tak lupa mengenakan pakaian kebesaran Raja lengkap dengan wangi-wangiannya. Beranting-anting dan berjamang terbuat dari emas. Bertutup lembaran emas di atas perut, berkilau-kilau cahayanya. Celananya putih bersalut benang keemasan. Ikat pinggangnya berupa kain gringsing, tampak sangat anggun dan bersinar-sinar. 6. Baginda tidak lupa memulas bibir, giginya tampak hitam mengkilat seperti sayap kumbang. cahayanya terbias pada bibir. Banyak wanita tergila-gila melihatnya, parasnya sangat bagus. Bahkan para jin, peri dan manusia bunian termangu serta tergiur oleh ketampanan Sri Baginda. Benar-benar Sang Raja memiliki wajah sangat bagus, sayang bahwa beliau tidak memerintah selamanya. 7. Permaisuri pun telah berganti pakaian, mengenakan pakaian puteri Raja, bagaikan Dewi Ratih rupanya. Berkata ia kepada Inya Mandala, "Marilah mamanda kita menuju ke ruang penghadapan." Maka menyembahlah Nyi Inya diikuti oleh semua isi istana menyongsong Sang Baginda. Permaisuri disambut tangannya oleh Baginda dan beijalan menuju tempat upacara. 8. Dayang-dayang dan dara-dara manis penghuni istana mengenakan pakaian putih-putih berjalan beriringan paling depan. Tak ada ketinggalan ikut melakukan upacara masuk gunung api. Bahkan mereka bertekat untuk turut mati di dalam api karena sangat cinta dan besarnya bakti terhadap Sang Raja. Dengan senang mati dan hancur bersama. Riuh suara tangis orang-orang istana. Patih dan emban menyusul Raja di pintu pertama. 9. Raja Anglingdarma manis bersabda, "Kakak Madrim, keijakan pesanku sungguh-sungguh, janganlah kau bimbang hati. Semuanya Kakak duduklah di bawah panggung, setelah aku berada di dalamnya." Perintah Baginda pasti dilaksanakan oleh Sang Patih. Maka Sang Raja melanjutkan beijalan menuju ke pagelaran seraya menghapus airmata yang meleleh. 53 PNRI
10. Panggung telah disiapkan dengan baik, bertangga naik tiga tingkat. Sang Raja pun naik ke atas panggung melalui tangga bersama-sama Sang Permaisuri. Panggung itu dikelilingi oleh pagar yang terjadi dari daun-daun kelapa muda, berwarna kuning. Sang Puteri berkata, "Apakah yang kita tunggu lagi? Mengapa gunung api tidak segera disulut?" 11. Sang Baginda menjawab manis, "Janganlah adinda marah terus menerus. Agaklah sabar sedikit sayang," Berkata Sang Puteri, "Hamba tak mempunyai keinginan yang lain, sekali berkata jadilah." "Aku pun tidak akan mempunyai keinginan yang lain," kata Baginda," ucapanku hanya sekali." Maka disampaikan perintah kepada Sang Patih, 12. "Cepat-cepatlah wahai kakaku Madrim. Perintahkan agar gunung api segera disulut." Menyembahlah Patih sambil memberikan isyarat kepada Lurah gandek untuk mengerjakan perintah. Maka menyalalah gunung api, tinggi seakan-akan menyentuh langit Berkobar-kobar menakutkan, bergulung-gulung bak lautan api. Berkatalah Sang Puteri mengajak Baginda untuk masuk ke dalam perapian, "Marilah Baginda kita masuk bersama-sama. 13. Gunung api telah menyala besar. "Raja Anglingdarma menjawab, "Janganlah adinda tergesa-gesa." Tangannya membelai-belai sayang tubuh permaisuri yang berada di pangkuannya." Sebentar lagi kita sama-sama masuk supaya lebur bersama. Lagi pula api belum cukup besarnya, " Demikian ktakata Baginda menyabarkan hati Sang Permaisuri. 14 Diceritakan kini keadaan di Jonggring Selaka, tempat Sang Hyang Surapati bertakhta. Sang Dewa sedang dihadap oleh segenap dewa di Balai Penghadapan. Berkata Sang Hyang Narada, "Wahai adinda Bathara Indra, apakah yang menyebabkan teijadinya huru-hara di Suralaya. Banyak macamnya huruhara yang kita alami di sini. Angin taufan datang dari lima penjuru, besarnya bukan kepalang. 15. Lumpur Blegedaba di kepundan mendidih sangat menakutkan, 54 PNRI
demikian juga Kawah Candradimuka bergumpal-gumpal mengeluarkan suara keras, bayu-bajra menyerang bertubi-tubi kuatnya, sehingga menyebabkan pohon-pohon besar tumbang atau patah cabangnya maupun terbelah batangnya. Sedang Kayu Dewandaru tak kecuali, patah terpenggal batangnya oleh tiupan angin. Banyak Dewa berlari-larian karena bumi Suralaya berguncang oleh gempa. 16. Bidadara dan bidadari pergi mengungsi membawa peralatan tidur mereka. Tahukah adinda Endra sebab-musababnya? "Sang Surapati menjawab, "Jika kakanda setujui sebaiknya kita ke atas mohon kepada Hyang Guru petunjuk selanjutnya." Keduanya pergi menuju ke kamuksan tempat Hyang Guru bersemayam dan menyampaikan pertanyaan. Maka bersabdalah Sang Hyang Guru menanyakan maksud kedatangannya. 17. "Apakah gerangan maksud kalian menghadap dengan tiba-tiba?" Resi Narada menjawab dengan khidmat, "Pukulun adinda Guru, hamba laporkan teijadinya huru-hara di kediaman para dewa. Kami tidak tahu yang menjadi sebabnya, sehingga dewasa ini keadaan di Suralaya bagaikan di guncang-guncang. Berilah kami keterangan." 18. Dengan manis Hyang Guru bersabda, "Ketahuilah Kakak Narada asal-mula teijadinya huru-hara sehingga terasa perbawanya. Ada Raja yang ingin bunuh diri bersama-sama dengan permaisurinya. Mereka sedang saling bercinta satu sama lain. Nama raja itu Anglingdarma, terkenal kesaktiannya dan menjadi kesayangan Sang Hyang Tunggal. Raja yang bertakhta di Malawapati itu tidak ada yang menyamai di seluruh jagad. 19. Ia diperanakkan dari keturunan yang istimewa sebagaimana telah ditulis dan diuraikan dalam purwa-wasana." Narada sangat tercengang mengetahui sebab terjadinya kekalutan itu. Maka bersabdalah Sang Hyang Guru, "Kakak segera turun ke Marcapada dan bawalah serta Bathara Indra. Ketahuilah bahwa Anglingdarma merupakan penerus raja-raja di Jawa. Apabila ia meninggal, akan terputuslah jalur keturunannya." 55 PNRI
20. Begitulah perintah Sang Bathara Guru kepada Narada dan Indra. Keduanya mohon diri bersama-sama pergi turun ke bumi. Kembali diceritakan Raja Anglingdarma dan permaisurinya. Permaisuri mendesak kepada Sang Raja agar supaya segera masuk ke dalam perapian. Apa lagi yang masih kita tunggu? begitu desak Sang Permaisuri. 21. Sekiranya Baginda memang tidak ingin masuk ke dalam api, hamba sendirilah yang masuk. Tinggallah Baginda di dunia, memerintah negara Malawapati. Dikelilingi para wanita, kawinlah dengan puteri yang cantik dari keturunan raja-raja. Apa gunanya kawin dengan orang gunung yang kasar, tak tahu sopan-santun. Jahat dan berhati angkara. 22. Cepat-cepat Sang Dyah ingin teijun ke bawah dan masuk api yang berkobar-kobar. Namun Sang Raja tidak melepaskannya. semakin erat permaisuri dipeluk pinggangnya. Seraya berkata, "Tunggulah sebentar sayang. Sebaiknya kau ingat-ingat pesan ayahanda Wiku bagaimana seorang yang akan meninggal dunia harus berbuat. Jangan sampai keliru yang diucapkan Itulah maka saya terhenti, bukan karena takut mati. 23. Demi mengindahkan pesan dan petunjuk Sang Pendeta, menghindari kekeliruan dalam moksa. Mengingat banyaknya orang yang tidak tahu jalan benar dalam menghadapi maut. Tidak melihat dengan awas mana sesungguhnya yang dituju." Dewi Setiawati menjawab, bahwa semuanya itu telah direnungamalkan ketika di istana. Segala petunjuk ayahanda yogi tentang moksa dan maut telah dihafalkan dengan baik. 24. Tiba-tiba Sang Raja dikejutkan oleh munculnya sepasang kambing berkulit putih. Entah dari mana datangnya, kambing sepasang itu telah berada di luar pagar janur kuning. Percakapan kedua binatang itu didengar jelas oleh Sang Raja. Si betina bertanya, "Wahai jantanku, aku ingin menanyakan kepadamu. Apakah maksudnya orang membuat api sebesar ini? 25. Besarnya bagaikan gunung yang tinggi, dikelilingi oleh pagar dari daun kelapa muda berwarna kuning. Bertangga tingkat 56 PNRI
tiga menuju panggung. Mengapa orang-orang yang hadir menahan tangis, berlinang-linang airmatanya?" Menjawablah kambing jantan, "Ketahuilah, bahwa permaisuri Sang Raja ingin bunuh diri masuk ke dalam gunung api itu." "Mengapa ia berbuat begitu?" sela kambing betina. 26. "Apa sebab-musababnya hingga ia memutuskan kehendak akan mati membakar diri?" Kambing jantan menjawabnya perlahan-lahan, "Wanita cantik itu minta kepada Sang Raja agar sudi menurunkan aji kepadanya. Tetapi Sang Raja tidak mau menurunkannya. Itulah sebabnya hati permaisuri menjadi marah dan kini ingin masuk ke dalam perapian. Sedang Sang Raja ingin bela mati isterinya. 27. Sebenarnya Raja Anglingdarma raja yang sakti luar biasa, di cintai oleh semua peijuritnya karena budinya yang luhur." "Hai jantanku," sela kambing betina, "aku ingin tahu kesetiaanmu. Aku sedang hamil dua bulan lebih sedikit. Aku menginginkan sesuatu untuk bayi kambing kita. Ambilkan daun janur muda hiasan pagar itu cepat-cepat, ingin kumakan sebagai pelepas "nyidam". Maka menjawablah si jantan agak keras, 28. "Aku telah tahu kebiasaan semua betina, kurang tepat mengetahui yang benar dan yang saiah. Yang bukan-bukan selalu dimintanya. Bagaimana kau kehendaki janur itu? Itu milik Sang Raja lagi pula untuk keperluan upacara. Aku tidak berani mengambilnya. Silakan makan makanan yang lain, jangan kau perturut bisikan setan. Jangan berbicara yang tidak-tidak, lebih baik jika kita makan rumput dan daun-daunan." 29. Agak membentak kambing betina mengucap kasar, "Jika kau jantan tidak berani mengambil janur kuning itu, pasti aku akan menemui ajalku." Dijawablah kata-kata itu oleh si jantan dengan bengis, "Akan mati matilah, apa manfaatnya bagiku? Kau mati atau tidak sama saja bagi ku. Masuklah kau sendiri ke dalam api biar kau mati. Aku bisa kawin lagi. Aku tidak akan melakukannya. 57 PNRI
30. Mengikuti dan menurut saja apa permintaan perempuan bukan tabiatku. Tidak seperti Raja Anglingdarma, raja besar tetapi nista, menurut saja kehendak isterinya. Akibatnya diri sendiri yang mendapat bahaya." Kambing betina berkata, "Jika begitu tinggal selamat kau, aku akan masuk ke dalam api." Dijawab oleh si jantan, "Ya silakan masuk dengan segera. 31. Biar tubuhmu meletus dimakan api peduli apa dengan kau. Seolah-olah aku tidak diterima oleh betina yang lain," Maka kambing betina itu pun masuk ke dalam api. Dilihat oleh jantannya dengan rasa senang, terlontar ucapan si jantan, Nah kau rasakan akibatnya, tubuhmu hancur dimakan api Semua percakapan dan akhir peristiwa kedua kambing itu diketahui oleh Raja Anglingdarma dari atas panggung. 32. Tak terasa Sang Raja berbicara sendiri perlahan-lahan, Sedangkan makhluk hewan saja bertabiat demikian, kambing jantan mampu menguasai diri. Mengapa aku Raja besar harus menurut saja terhadap kehendak isteriku, alangkah nistanya. Aku tidak mempunyai dasar tabiat sebagai yang dipertuan oleh sesama raja. Maka kendorlah pelukan tangan Sang Raja terhadap tubuh permaisurinya dan terlepas. 33. Sekejap tampak tubuh permaisuri melompat dari atas panggung, terjadinya begitu cepat dan langsung masuk ke dalam api besar. Badannya terbakar habis oleh gunung api yang berkobar. Nyawanya diterima oleh dewa agung. Tertegun Sang Raja menyaksikan kejadian itu, hatinya terasa bagai dipotongpotong, air mata keluar bercucuran tidak terasa.
58 PNRI
10. MIJIL
1. Ki Patih Batik Madrim yang berada di bawah panggung, air matanya mengalir dengan deras, Di sampingnya duduk pula Arya Wijanarka dan Raden Nayaningrat. Ketiganya melihat kejadian itu dengan jelas. 2. Yang mereka lihat terjun ke dalam gunung api hanyalah seorang. Ki Patih merasa hatinya belum puas, mengira bahwa Sang Baginda yang telah terjun ke dalam api. Oleh karena itu ia segera naik ke atas panggung. 3. Di atas panggung ditemuinya Baginda duduk termenung tiada berkata sepatah, pandangannya terarah kepada api yang menyala-nyala sambil mencucurkan airmata. Tak ayal Ki Patih mendapatkan Gusti dan memeluknya erat-erat. 4. Ratap tangis Ki Patih tak dapat ditahan lagi, "Aduh Gusti sembahanku. Sukur Baginda masih selamat. Hamba sangat susah karena teijadinya musibah ini." Baginda berkata, "Dewa agung benar-benar menaruh kasihan kepadaku. 5. Seandainya bukan karena kasih sayang Dewa pastilah maut telah merenggutku, terdorong membela sang puteri." Yang mendengar semakin menjadi-jadi tangisnya, mohon dengan sangat agar supaya Sang Baginda melupakan peristiwa itu. 6. "Jangan lagi Baginda memikirkan yang telah mati," sembahnya, "perintahlah hambamu ini untuk mencari penggantinya. Puteri mana yang dikehendaki. Seandainya ditolak lamaran Paduka hambamu sanggup menyelesaikannya. 7. Biarlah hamba memukul negaranya dengan perang. Hamba 59 PNRI
akan merasa bahagia bila menemui ajal dalam menjalankan perintah Sang Raja. Meskipun harus hancur hamba dan bercampur tanah, hamba tak akan mengelak perintah Baginda." 8. Berkata demikian Sang Patih seraya memandang Sang Raja. Matanya tidak berkedip. Maka mengangguklah Sang Raja, "Kuterima Patih janji setiamu. Mudah orang mencari wanita untuk isteri. Wahai Ki Patih beginilah kehendakku. 9. Abu dan sisa jenazah adikmu yang meninggal, kumpulkan dan rawatlah sebaik-baiknya. Untuk itu perintahkan kepada semua punggawa untuk membangun sebuah candi. Keijakanlah ini secepat-cepatnya. 10. Lagi pula semua bupati dan keluarga dekat yang mencintai diri saya, agar bersama-sama menjaga diri saya di sekeliling panggung. Selama empat puluh hari lamanya. Aku tidak akan pulang ke istana. 11. Ingin aku mengheningkan hati, mohon kepada Dewa yang agung, petunjuk yang harus kulakukan selanjutnya." Yang diperintah turun dari panggung memerintahkan semua pesan Baginda kepada para bupati. 12. Abu dan jenazah Sang Retna dibawa ke Candi yang telah selesai dibuat. Kembali kita menceritakan keadaan Sang Raja, yang masih berada di panggung tujuh hari lamanya. Baginda lupa minum, bersantap maupun beradu. Hatinya teringat selalu. 13. Tak ada yang dikenang di hati selain Sang Permaisuri, deras mengalir air matanya jika memikirkan Dewi Ambara. Baginda kerap kali mengesah dan merintih sedih, "Aduh Pujaanku seorang, mengapa aku kautinggalkan sendiri. 14. Aku sama sekali tak mempunyai keinginan kawin lagi. Kecuali dengan yang telah meninggal. Ingin aku menghamba seterusnya. Tak mencintai yang lain kecuali dikau saja. Biar aku kawin sepuluh ribu kali, kau sendiri yang paling unggul." 60 PNRI
15. Kita tinggalkan yang sedang dirundung rindu Sang Raja Anglingdarma di atas panggung. Lupa diri tak henti-henti mohon petunjuk kepada Dewa. Diceritakan keadaan di kahyangan Suranadi, tempat yang dilindungi rahasianya oleh Dewa yang Agung. 16. Bidadari bernama Dewi Uma dan Dewi Ratih sedang duduk berdua. Dihadap oleh semua dayang-dayang Suranadi. Berkatalah Dewi Uma, "Adikku Ratih. Aku mendengar berita dari madyapada tentang seorang raja di Malawapati. 17. Raja di madyapada tersebut bernama Raja Anglingdarma. Ia terkenal sangat sakti dan dikasihi oleh para Dewa. Berparas bagus tak terperi. 18. Kesaktiannya termashur di seluruh jagad. Luar biasa kemampuannya dalam berbagai ulah perang. Pandai menguraikan segala sesuatu yang pelik-pelik. Lagi pula dicintai oleh semua keluarga istana serta para punggawanya. Sayang dewasa ini sedang menderita terputus cinta. 19. Beliau ditinggal mati oleh permaisurinya tersayang, yang membakar diri sendiri. Itulah sebabnya Raja Anglingdarma sangat duka hatinya. Tidak ingin Baginda melihat wanita yang lain kecuali Ambarwati, biar telah mati namun senantiasa terbayang di tengah-tengah jantung. 20. Aku ingin mencoba keteguhan hati raja yang paksa luhur, dan yang sangat cinta terhadap isterinya. Aku akan berbuat seperti mendiang isterinya itu." Ratih menyetujui kehendak Dewi Uma, dan menawarkan diri untuk menggoda lebih dahulu. 21. Tetapi Dewi Uma menjawab manis, "sebaiknya saya saja dahulu jika aku mendapat kesulitan kau pasti kuajak untuk menyertainya." Demikianlah Sang Ratih tidak keberatan atas kehendak Dewi Uma dan mempersilakannya m e l a k s a n a k a n kehendaknya menuju ke tempat Raja Anglingdarma. 61 PNRI
22. Sekejap saja Dewi Uma terbang ke bumi dan tibalah ia di tempat Sang Raja. Baginda masih bertahan tidak makan dan tidak tidur. Melihat itu Dewi Uma tersenyum, diperhatikannya sikap duduk Sri Nata yang tenang dan merunduk sepenuh hati. 23. Tak tahu Baginda akan kedatangan Sang Dewi karena tenggelam dalam ketenangan dan kebulatan ciptanya. Berkatalah Dewi Uma perlahan-lahan, "Wahai Sri Bupati sembahanku. Dayang-dayangmu menghadap, sapalah dia dengan kata-kata. 24. Jangan selalu mengingat dan mengenang yang telah meninggal, hingga lupa hati Sang Raja. Tidak melihat kedatanganku kemari. Tidak tahu bahwa ada perempuan duduk di dekatnya." Maka Sang Raja menjawab, "Aku benar-benar tidak mengetahui. 25.Perihal kedatanganmu ke mari. Di manakah negara tempat asalmu? Dan siapakah nama sebutanmu cantik? Hendak ke mana kau, tempat yang engkau tuju?" Maka menjawab si ward ta itu. 26. "Baginda belum mengetahui tempat asal-usulku. Aku adalah seorang bidadari, berasal dari kahyangan. Dari kumpulan bidadari yang tertarik oleh keadaan Baginda." Sang Anglingdarma bertanya, "Apakah maksud kedatanganmu ke mari pada waktu siang hari naik ke atas panggung?" 27. Ni Dewi menjawab dengan pelan, "Aku mencari teman manusia, sekiranya Baginda dapat menerima saya sebagai teman." Berpikir Sang Raja di dalam hati, "Sesungguhnya wanita ini terampil dan menarik, meskipun tidak begitu cantik. 28. Baiklah kuajaknya bercakap-cakap dengan baik. "Maka berkatalah Sang Nata, "Aduhai kesuma, hingga saat ini aku belum ada keinginan untuk kawin lagi. Aku masih selalu teringat kepada isteriku yang telah mati." 29. Sang Hyang Uma kembali minta belas kasih kepada Baginda. 62 PNRI
Ia berkata seraya tersenyum-senyum dan penuh sopan-santun merendahkan dirinya, "Wahai Sang Aji jangan Baginda berkata demikian kepada hambamu. Hamba sungguh-sungguh mohon sedikit belas kasih Paduka. 30. Rajalah yang dapat memberikan obat hatiku yang sedang dirundung rindu. Mengingat Paduka adalah orang yang luhur. Hamba datang dari tempat yang jauh; mohon paduka sudi memberi obat pelerai demam hati yang lara." 31. Berkata lagi Baginda, "Kukatakan padamu, bahwa sekarang ini aku belum mempunyai keinginan untuk kawin. Hatiku betul-betul menderita dan tidak hendak melihat kepada wanita yang lain. Satu-satunya yang mengisi dalam jantungku hanyalah Ken Setiawati." 32. Sang Kesuma bertanya lagi, "Betulkah apa yang Baginda katakan? Bahwa selain isteri yang telah meninggal, Ni Setiawati, Paduka tak akan sudi melihat kepada wanita yang lain?" "Benar, aku tidak akan bohong." kata Sang Raja. 33. "Besok di kemudian hari aku baru bersedia kawin jika kutemukan titisannya." Dewi Uma pun menyela, "Jika demikian halnya hamba mohon pamit kembali ke Suranadi." Maka terbanglah Dewi Uma meninggalkan panggung. 34. Setibanya di kahyangan ditemuinya Dewi Ratih masih duduk seorang diri, tertegun hatinya terasa tak menentu. Maka bidadari yang lain, Warsasini dan Prabasini, menyongsong kedatangan Dewi Uma. Barulah Ratih tersadar dan bertanya, 35. "Mengapa begitu cepat kembali kakanda? Apakah berhasil?" Dewi Uma memberikan jawaban, "Aduh adikku Ratih, aku tak berhasil menarik minat Sang Raja. Ditolaknya lamaranku, aku tidak berharga sedikit pun bagi Baginda. 36. Anglingdarma berkata bahwa ia tidak akan kawin dan tidak akan melihat wanita lain, kecuali kekasihnya yang telah mati. Hanyalah kekasih yang membakar dirinya itulah yang selalu direnungkan selama ini." 63 PNRI
37. Dewi Ratih tak kuasa menahan senyum, katanya, "betulkah cerita kakanda itu? Apakah dia benar-benar sangat bagus?" Yang ditanya menjawab segera," Sungguh bagusnya luar biasa, di seluruh Tanah Jawa dialah paling atas." 38. Maka dyah Ratih pun mengutarakan rencananya, "Oleh karena Sang Raja hanya mengharap kedatangan kembali permaisuri, maka adinda akan mengubah warna adinda seperti wajah Setiawati." Dewi Uma sangat setuju, ujarnya, 39. "Baik sekali adinda, kau tiru wajah Setiawati yang mirib dengan pakaiannya sekali. Dan jangan sampai ketahuan cara mu menggoda dia. Saya akan kembali ke sana menyerta adinda dengan menyamar sebagai seorang nenek-nenek." 40. Maka terbanglah kedua bidadari tersebut dan sekejap mereka telah tiba di panggung, tempat Raja Anglingdarma berada. Ken Uma berpesan kepada Dewi Ratih sebelum mereka masuk ke dalam panggung, 41. "Adinda, sebaiknya akulah yang masuk ke dalam panggung lebih dulu. Sekiranya Sang Baginda sedang tidur, akan kubangunkan dan lakukanlah tugasmu sebaik-baiknya, Jangan ketahuan rahasia kita." Seraya masuk panggung berkatalah Kusuma yang menyamar sebagai nenek-nenek, 42. "Wahai tengoklah kami Baginda. Sangatlah hambamu merasa kasihan melihat keadaan Sri Nata. Seorang raja agung ditinggalkan mati oleh permaisuri tersayang." Maka terperanjatlah Baginda, kemudian menengok ke arah datangnya suara. 43. Dilihatnya ada seorang nenek-nenek yang datang dan naik ke panggung, giginya telah habis tanggal, rambutnya seluruhnya beruban putih seperti kapuk dibersihkan. Baginda bertanya, "Wahai nenek tua, dari mana datangmu dan siapa yang menunjukkan jalan kau datang kemari?"
64 PNRI
11. KINANTI
1. Ken Uma menjawab perlahan, "Hamba datang dari Suralaya^ sengaja untuk meninjau keadaan Sang Raja. Sangatlah kasihan hati hamba menyaksikannya, bahwa Paduka tak sempat makan dan tidur. Lupa segalanya selain duduk merenung tiap hari. 2. Alangkah besar cinta Baginda kepada Sang Isteri almarhum." Anglingdarma menjawab, "Memang benar, cintaku kepada almarhum tidak terperi. Tiada lain yang saya pikirkan siang dan malam, kecuali adinda Setiawati." 3. Nenek perempuan itu melanjutkan bicara, "Hamba hendak menyampaikan berita gembira. Bahwa isteri Paduka yang meninggal ketika masuk ke dalam api besar, telah ditarik dengan tiba-tiba oleh Dewa, kemudian diterbangkan ke Suralaya. 4. Jadi dia tidak meninggal sungguh-sungguh. Maka sekiranya Baginda kehendaki hamba sanggup untuk mendatangkan dia kemari. Bahkan pada waktu sekarang juga apabila upahnya cukup memadai." Mendengar kata-kata itu berfikirlah Sang Raja. 5. Hatinya terasa sejuk, seperti disiram dengan air mujarab; apakah yang nenek kehendaki? Sekiranya nenek menghendaki negara sebagai imbalannya. Pasti permintaan itu kupenuhi. 6. Berkatalah Si Nenek bidadari, "Hal imbalan adalah perkara yang mudah. Itu bisa dibicarakan pada hari lain. Hamba percaya bahwa Baginda tidak akan ingkar janji. Baiklah hamba berangkat ke Suralaya untuk memanggil isteri SangNata." Dengan rasa senang Baginda pun berkata, 65 PNRI
7. "Baiklah nek segeralah nenek panggil dan bawa kemari dan akan kutunggu kedatangannya." Bidadari yang mengubah diri menjadi nenek tua keluar untuk mendapatkan Dewi Ratih. "Cepat-cepat Ratih," katanya, "Masuklah ke dalam panggung. 8. Taklukkan tabiat Sang Prabu Malawa yang seialu merasa diri paling istimewa. Buatlah segala tindakmu yang menarik hati." Setelah sudah diatur sebaik-baiknya, kedua bidadari itu pun bersama-sama masuk ke dalam panggung menemui Sang Nata. 9. Begitu masuk berkatalah Dewi Uma, "Inilah Sri Narendra permaisuri Dewi Setiawati, Paduka tegur segera. Sang Nata melihat dengan jelas, bahwa benar-benar Dewi Setiawati yang datang ketika itu. 10. Pandangan keduanya bertemu bergetar rasanya di hati. Secepat itu Baginda bangun dan berdiri, sambil berkata minta belas kasih, "Wahai intan juitaku. Aku tidak mengira sedikit pun kalau adinda masih hidup. 11. Aku semula berkeyakinan bahwa adinda benar-benar telah meninggal. Hancur lebur bersama api yang menggunung. Oleh karenanya aku tunggu penjelmaanmu. Aku telah bersumpah tidak akan kawin, kecuali dengan wanita penjelmaan adinda kelak." 12. Sang penyamar tiba-tiba menjawab sambil tersenyum dan menarik alisnya, "Begitulah tabiat laki-laki. Janji-janji kasih dan sayang kepada isteri. Tapi kenyataannya kasih-sayang itu tidak terbukti." 13. Baginda berusaha ingin memeluk Sang Kesuma, tetapi Ratih segera menghindar dengan gesit. Berulang-ulang dicoba oleh Sang Raja menangkapnya namun tak berhasil. Bidadari itu tersenyum sambil menarik alisnya. Ulahnya membuat hati panas Sang Raja menjadi beringas. 14. Beberapa kali Baginda menerkam Si Cantik, namun seialu dapat dihindari sambil membuang lirikan. Akhirnya berkata66 PNRI
lah bidadari itu keras-keras, "Wahai Sang Raja. Lihatlah diriku baik-baik. Tidaklah tampak oleh Baginda siapakah saya. Mengapa ingin memeluk diriku? Sebaiknya Sang Raja cuci muka yang bersih iebih dahulu. 15. Kata Baginda tadi tidak akan kawin lagi. Itu tidak betul, terkutuk oleh Dewa Agung, akibatnya celaka menimpa Baginda Raja. Sebelumnya telah dicoba lebih dulu sampai seberapa jauh keteguhan hati Raja. Sesungguhnya tidak ada orang yang mati bisa kembali lagi." 16. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ken Umamengajak Ratih untuk kembali ke Suralaya, katanya, "Mari kita pulang Ratih, jangan menemui Raja yang tidak dapat dipercaya. Kau bisa menemui bahaya, tertarik hatimu karena kebagusannya." 17. Selanjutnya berseru Uma "Terkutuklah Baginda kini paikah titahnya. Baginda sebagai Raja sampai dengan
kepada Sang Raja Anglingdarma, oleh dewa, akulah yang menyamtidak diperkenankan memerintah waktu yang telah ditetapkan.
18. Adapun lama tenggang waktu yang ditentukan ialah delapan tahun. Selama itu Baginda akan kabur pandangan matanya, melihat negaranya sebagai daerah yang berhutan belukar. Kutuk itu dibarengi oleh suara gegar gemuruh bersaut-sautan dari berbagai penjuru." 19. Selesai sudah Ken Uma melampiaskan marah, keduanya kembali pulang ke Suralaya. Kembali ke tempat kediaman para bidadari dengan rasa hati yang berat. Dan tibalah keduanya di Suralaya dengan selamat. 20. Diceritakan keadaan Sang Raja Anglingdarma di Malawapati. Tak terperi derita yang menimpa Baginda, serasa mati tiada lagi mampu berpikir akibat susah hati yang sangat mendalam. Dalam pada itu pandangan matanya mulai kabur. Negaranya tampak seperti hut&n belukar dari atas panggung. 67 PNRI
21. Sedang istananya yang bagus tiada tampak lagi. Tertutup oleh pemandangan yang lain, ialah semak belukar. Ingatlah Baginda bahwa Dewa telah mencoba keteguhan hatinya. Maka berkatalah di dalam hati, "Kiranya telah dikehendaki oleh Dewa Agung, bahwa negaraku berubah menjadi hutan sepeninggal bidadari.
68 PNRI
12. PANGKUR
1. Mungkin semua peijuritku telah menemui ajalnya sesuai dengan suratan takdir. Dan habislah riwayat negara Malawapati. Itu semuanya Dewalah yang mengatur," demikianlah pikir Baginda. Maka Baginda pun turun dari panggung, menuju ke alun-alun dan berjalan entah ke mana. 2. Sementara itu di sebelah Timur Sang Matahari terbit. Sang Anglingdarma terus saja melanjutkan beijalan tidak tahu yang dituju, seperti layang-layang yang terputus talinya. Siang dan malam Baginda tidak berhenti, tidak pula makan dan minum, sehingga tubuhnya kurus kering seperti mayat beijalan. 3. Berkatalah Baginda di dalam hatinya, "Aku ini semula adalah seorang Raja yang besar, yang memerintah banyak raja-raja. Dewasa ini terlunta-iunta tak menentu oleh karena ditinggal mati isteri tercinta. Alangkah nistanya. Lebih baik aku tidak lagi hidup di dunia apabila aku tidak kembali menjadi raja." 4. Demikianlah Sang Nata melupakan segalanya, di dalam hati hanya satu tujuannya ialah mati di dalam belantara. Tiba-tiba peijalanannya terhenti. Ia terheran-heran menyaksikan adanya sebuah kota besar di depan mata, namun sunyi-senyap keadaannya. Kiranya kota itu kediaman raksasa. 5. Berpikir Baginda di dalam hati, "Kemana gerangan aku dapat menanyakan sesuatu kepada penghuni kota ini. Tidak terdengar batuk seseorang." Maka tampak sebuah rumah di kejauhan, Raja pergi ke tempat itu. Tiba-tiba keluarlah seorang nenek-nenek dari bawah balai-balai. Ia tidak mengetahui kedatangan Raja. 69 PNRI
6. Digamitnya Si Nenek oleh Baginda hingga terkejut, berkatalah ia, "Siapa yang menggamit tangan saya ini? Tak mungkin ada orang yang datang kemari. Apakah dia itu jin atau setan penjaga hutan? Di sini tidak ada lagi menusia yang hidup, semuanya telah mati." 7. Sang Nata berkata pelahan-lahan, "Nenek Tua, sesungguhnya kau telah menjadi buta dan tuli." Dalam pada itu berpikir Raja selanjutnya, bahwa tak mungkin nenek-nenek itu meraberi keterangan. Ia telah sangat tuanya apalagi berpenyakitan. Ia harus disembuhkan lebih dahulu. 8. Jika demikian Baginda tak dapat memperoleh yang dikehendaki. Sekonyong-konyong Baginda ingat, bahwa dahulu pernah diberi pengetahuan oleh Sang Pertapa di gunung, tentang pengobatan orang yang lumpuh. Orang yang sakit buta maupun orang sakit tuli. Maka di "ciptanya" aji yang diperolehnya dari Sang Pertapa. 9. Didekatinya Si Nenek Tua, ditiupnya perlahan-lahan ubunubun Si Nenek itu dan sembuhlah ia seketika. Tercengang ia melihat seorang laki-laki berdiri di depannya. Nenek itu cepatcepat menyembah, katanya, '.Aduh hamba baru sekali ini bertemu dengan Paduka anaknda. Cahaya Tuan bagaikan pelangi di waktu pagi, siapakah gerangan nama Paduka? 10. Kemanakah tujuan perjalanan anaknda dan dari manakah anaknda berasal?" Sang Raja pun menjawab, "Ketahuilah Nenek. Aku adalah Raja di negeri Malawa. Namaku Anglingdarma." Mendengar kata-kata itu nenek tua cepat-cepat mencium kaki Baginda, menyatakan terimakasih yang sebesarbesarnya. 11. Ia merasa diberi hidup oleh Sri Baginda, karena kini dapat melihat kembali dan mampu mendengarkan orang-orang berbicara. Tak terhingga rasa terima kasihnya kepada Sang Raja. Apakah gerangan yang harus hamba perbuat untuk membalas Baginda Raja? Permohonan hamba hanyalah satu saja. 70 PNRI
12. Semoga Dewa mengabulkan permohonan hamba. Baginda tetap menjadi Raja Besar yang memerintah seluruh Tanah Jawa ini. Lestari hendaknya sampai kepada anak cucu dan cicit keturunan Baginda di kemudian hari. Tidak ada orang lain yang menggantikannya. Maka berkatalah Sang Baginda, 13. "Baik nenek pujimu terhadap Dewa Agung saya terima, Dewalah yang mengatur segalanya. Kini aku hendak bertanya kepadamu negara mana kota ini? Mengapa keadaannya sunyi senyap tiada penghuninya seorang pun?" Maka nenek menyembah dengan khidmatnya, katanya, 14. "Negeri ini dahulu bernama Mlayakusuma. Sunyi-senyap keadaannya karena Sang Nata kalah perang, dihancur-binasakan oleh Raja Raksasa yang sakti dan banyak peijuritnya. Para punggawanya gagah dan perkasa dan ditakuti oleh musuh. Adapun sebutan raja tersebut ialah Prabu Kalawerdati. 15. Semua penghuni Mlayakusuma habis terbunuh. Mati membela rajanya dan hancur bersama-sama. Kemudian raja Raksasa itu menempati istana yang telah dikalahkannya. Tetapi dewasa ini Raja Kalawerdati telah berubah menjadi siluman. Tiada lagi beritanya setelah selama sebulan lebih meninggalkan istana bersama-sama empatpuluh perjuritnya." 16. Berkatalah Raja Anglingdarma, "Apakah dewasa ini Raja Kalawerdati berada di dalam kedaton?" Dijawab oleh si Wanita tua tersebut, seraya menyembah dengan khidmat, "Sang Raja telah meninggalkan kota ini bersama dengan perjurit pengawal sebanyak empat-puluh orang kira-kira sebulan yang lalu. Diduga keras raksasa itu pergi ke negara Malawapati. 17. Raja Kalawerdati bermaksud hendak membunuh Nata di Malawapati sebagai pembayar utang pati, yang dilakukan oleh neneknda Raja Malawa terhadap neneknda Raja Raksasa. Adapun sekarang ini yang masih tinggal di dalam kota hanyalah puteri Raja sebanyak tiga orang. Masing-masing bernama Retna Wiyata yang sulung, Retna Wiyati yang nomor dua, sedang puteri yang bungsu bernama Retna Wintarsih. 71 PNRI
18.Ketiga puteri Raja tersebut berparas cantik." Sambil tersenyum Baginda berkata, "Saya ingin melihat mereka nenek. Menyaksikan kecantikan Puteri ketiganya." Mendengar itu Nenek tua menyembah, "Baginda jangan sekali-kali masuk ke dalam kedaton, kalau-kalau Tuan mendapat bahaya. 19. Oleh karena ketiga puteri raksasa tersebut semuanya mempunyai kesaktian yang luar biasa. Ia biasa makan daging manusia, mengingat mereka keturunan raksasa yang tidak menaruh belas kasihan sedikit pun." Berkatalah Raja Anglingdarma, "Saya sangat berterima kasih nenek, atas saran kasih sayang yang kau persembahkan kepadaku. 20. Saya sangat bersyukur, apabila saya nanti menemui ajalku, agar dengan demikian berakhir penderitaanku selama ini. Tinggallah nenek selamat di sini saja." Nenekpun menyembah tanda setuju. Maka bexjalanlah Sang Nata menuju ke istana raksasa. Sementara di angkasa terdengar bunyi burung hantu bersaut-sautan, berbaur dengan bunyi burung-burung bubut. 21. Seekor buiung Merak tiba-tiba bersiul di cabang pohon yang dilalui oleh Baginda. Seolah-olah menyapa kepada Sang Nata dan memberi tahukan agar Baginda jangan masuk ke dalam istana. Demikian pula halnya dengan burung-burung yang lain, ingin pula memberitahukan kepada Sang Nata, seperti burung Cangak serta burung Cucur bak mencucurkan airmata. 22. Satwa-satwa itu seolah-olah mengetahui penderitaan Sang Baginda. Burung elang melayang-layang bagaikan membayangbayangi raja dari kejauhan. Raja Anglingdarma terus saja beijalan menuju ke tempat penghadapan, langsung masuk ke dalam bangunan istana seraya berkata di dalam hati, 23. Benar juga apa yang diceritakan oleh nenek Tua. Sangat baik dan bagus pengaturan pura ini. Sementara itu matahari hampir silam di langit sebelah barat, cahyanya dipantulkan oleh mega di atas daun-daunan. Baginda sangat senang melihat pemandangan yang indah, bunga-bungaan yang teratur baik dan daun-daunannya yang lebat. 72 PNRI
13. SINOM
1. Di dalam hati Baginda berkata, "Sayang sekali, bahwa pura ini kosong tiada penghuninya. Dan mungkin telah lama dibiarkan terlantar sehingga rusak di mana-mana. Bahkan rumah besar tidak lagi tampak nalamannya, tertutup oleh rumput ilalang. Berbagai tumbuh-tumbuhan liarmerambat pada dinding pura." 2. Berkeliling Baginda di dalam pura itu seluruhnya, dan tertarik minatnya oleh cahaya lampu yang datang dari sebuah bilik. Baginda menuju ke arah cahaya yang terang sambil beijalan hati-hati. Ulahnya sebagai seorang pencuri. Tiba beliau di bawah teritis kemudian mengintip dari sela-sela daun pintu, maka sangat terkejut Baginda melihat kecantikan sang ratna. 3. Tampak oleh Sang Raja Anglingdarma wajah gemilang seperti boneka emas yang diukir. Hati Sang Nata terkena oleh asmara, teringat oleh keadaan di istana sendiri. Rasa hatinya semakin gundah melihat pandangan molek di depan mata. Ibarat orang yang meninggal dengan tiba-tiba tanpa menderita sakit, begitulah hati raja tergiur oleh kemolekan tubuh sang puteri. 4. Ketika itu, Retna Wiyata sedang duduk-duduk di dalam ruangan, menghadapi sebuah cermin besar. Wajahnya bulat bagaikan bulan purnama, berkain cinde hijau dan memakai penutup dada berwarna merah dari sutera yang halus. Pada tehnganya bergantungan subang natabranta, berikat pinggang kain mandala giri. Ia bermangir serta berpilir di dahi berbentuk bulan sabit. 5. Berbagai macam bunga tampak menghiasi rambut kepalanya, seperti kenanga, gambir dan melati. Rambut keningnya terurai 73 PNRI
manis di atas pipi yang berbedak tipis. Berkatalah Baginda dalam hati, "Benar-benar cantik puteri Si Raja Raksasa ini. Sayang makanannya daging manusia." Sekonyong-konyong berhembuslah angin dari halaman meniup ke dalam pura. 6. Terciumlah bau Sang Baginda oleh si puteri raksasa. Puteri Raksasa segera tahu, bahwa ada manusia yang mendekati tempat tinggalnya. Aneh, pikirnya, selama aku tinggal di sini belum pernah seorang manusia berani mendekat ke puraku. Sementara itu Raja Anglingdarma telah membuka pintu sambil berbatuk-batuk kecil. 7. Sang Retna tertegun sebentar melihat seorang laki-laki masuk ke dalam ruangannya. Ia tidak dapat menduga, dari mana asal manusia yang sedang dilihatnya. Bagusnya tidak terperi, seperti Dewa Asmara turun ke dunia. Mungkinkah orang itu ingin mencari kematian, sehingga berani masuk ke istana raksasa. Sayang ia terlalu berani dan kurang memperhitungkan mara-bahaya. 8. Di mana gerangan asal kedatangannya, dan apa maksudnya ia datang kemari? Jika ia berkehendak tidak baik, pasti tidak akan menemui diriku. Lagi pula raut mukanya kelihatan hendak bersahabat. Sepatutnya sayalah yang harus menegur lebih dulu kepada pendatang itu, karena akulah si empunya rumah. Maka bertanyalah Ken Wiyati dengan tegur sapa yang manis, 9. "Silakan Tuang duduk. Tidak baik seorang yang bagus rupanya duduk di tanah." Baginda tidak menolak permintaan itu, beliau segera mengambil tempat duduk. Sementara itu Sang Retna sangat terpesona oleh ketampanan tamu yang baru datang. Sampai-sampai tak terasa bahwa gelung rambutnya terurai, dan kain penutup dadanya bergantung sebelah. 10. Kepada tamunya dihidangkan tempat makan sirih, yang diterima dengan mengambil pinang pemerah, bertanyalah Ken Retna Wiyata, "Bagaikan pelangi di waktu pagi hari, yang dibawa oleh seorang berhati mulia. Hamba baru melihat wajah 74 PNRI
Tuan pertama kali. Kemana gerangan tujuan Tuan, serta siapakah nama Tuan. Dari manakah asal negara tempat tinggal Tuan?" 11. Baginda menjawab, "Rumahku jauh dari sini. Akulah Raja di Negara Malawapati. Adapun namaku Maharaja Anglingdarma." Sementara itu Sang Ayu tidak berbicara sepatah pun. Di dalam hatinya telah menduga, pasti ayahanda telah menemui ajalnya di Negara Malawapati, Ke sanalah tujuan ayahnya pergi tempo hari. 12. Dahulu ayahanda ingin membunuh raja, yang kini malahan datang ke mari dengan selamat. Bagaimana ayahanda bisa terkalahkan? Apakah yang datang ke mari ini anak Baginda? Maka bertanyalah Ken Retna kepada Anglingdarma, "Apakah sebabnya Sang Baginda sampai hati meninggalkan negara." "Aku telah terputus cinta," begitu jawab Sang Raja. 13. "Isteriku tercinta telah mati membakar diri. Ia bernama Ambarawati. Itulah sebabnya saya tinggalkan negara, karena amat gundahnya perasaan hati, ingin untuk mencari kematian. Aku tak tahu arah tujuan sampai tiba di puramu ini. Apakah nama negerimu ini dan di manakan ayahmu yang menjadi raja di negeri ini?" 14. Ken Retna tersenyum kemudian menjawab pertanyaan Baginda, "Malaya nama negeri ini Baginda. Sedang ayahanda telah sebulan lamanya meninggalkan pura pergi ke negeri Malawapati." Berkatalah raja Anglingdarma, "Ayahmu telah meninggal di negaraku, dibunuh oleh Patih Kerajaan Batik Madrim. Oleh karenanya kini aku ingin membalasnya dan menghukum dirimu. 15. Ingin saya tonjok hatinya, pasti tidak akan luput. Kerisku yang kunamai Lalijiwa tidak biasa membuat orang yang terkena mati, namun bisanya sangat mujarab, dapat membengkakkan perut besar. Aku sebaliknya ingin mengetahui namamu anak manis, demikian juga nama adik-adikmu yang tinggal di sini." 75 PNRI
16. Tersenyum lagi Ken Retna, wajahnya kelihatan manis, alisnya tertarik ke atas, katanya, "Adik saya yang kedua bernama Wiyati, ada pun yang bungsu bernama Witarsih. Masingmasing memiliki ruang tinggal dan mengatur rumahnya sendiri. Bolehkah saya mengajukan pertanyaan kepada Baginda? Kemanakah sesungguhnya tujuan perjalanan Sang Nata sekarang? 17. Sekiranya Baginda berkenan di hati, sebaiknya beristirahatlah di sini sebentar. Biar hamba dapat belajar mengabdi kepada Raja. Syukur sekiranya Baginda menerima diri hamba sebagai kekasih." Menjawablah Sang Raja dengan manis, "Kakanda tidak bisa menolak kehendak baik Sang Kesuma, asal saja benar-benar adinda ingin menolong orang yang sedang dirundung. malang." 18. Baginda tidak sabar menunggu lagi segera mendekati tempat duduk Ken Retna. Dipeluknya wanita itu seraya diciumnya berulang-ulang. Selanjutnya dibawa masuk ke peraduan. Teijadi sudah pertemuan antara manusia laki-laki dan perempuan secara alam. Baginda sangat mahir berulah cinta. Lawan jenisnya telah dewasa dan baru pertama bersanding dengan laki-laki, ia menyerah tak tentu ulahnya. 19. Sampai dengan terbitnya hari siang, maka berhentilah keduanya bersanggama. Mereka masih meneruskan tidur ketika matahari muncul di langit timur. Dalam pada itu Retna Wiyati telah bangun tidur. Dilihatnya pintu ruangan kakaknya masih tertutup. Ia bertanya-tanya apa sebabnya? Lagi pula semalam suntuk kakaknya tidak memanggil dirinya seperti biasa. 20. Mungkinkah ia sedang tidak enak badan? Mengapa hari telah siang masih juga tidur nyenyak? Tidak seperti hari-hari biasa. Maka Wiyati pun menuju ke rumah kakaknya. Setibanya di halaman dipanggilnya kakaknya pelan-pelan, "Kakanda hari telah siang. Bangunlah adikmu datang, ingin melihat kakanda kalau-kalau tidak enak badan." 21. Suara itu terdengar oleh kakaknya. Tahu dia bahwa adiknya berada di halaman rumah. Ia harus ditemui di luar, sementara 76 PNRI
tamunya masih tidur di dalam rumah. Keluarlah ia segera mendapatkan adiknya kemudian diajaknya si adik duduk-duduk di tengah pendapat, ruang menerima tamu. 22. Melihat wajah kakaknya, Retna Wiyati tersenyum, kemudian berkata, "Aneh sekali kuperhatikan wajah kakak, hampirhampir adik tidak kenal, karena tampak lesu dan pucat seperti bunga gugur dari tangkainya. Selain itu adikmu mencium bau manusia, sangat tajam berada di dalam rumah. Dan agaknya bau laki-laki." 23. Si Kakak menjawab dengan kata-kata manis, "Bagaimana mungkin adinda. Bahwa manusia berani datang kemari, ke tempat tinggal kakanda; kecuali mereka yang ingin menemui kematiannya." Namun adiknya tetap bersikeras pendapat, dan pertanyaannya ingin membenarkan adanya manusia. Si kakak diam berpikir lebih lanjut. 24. Apa pun dalih saya pasti ketahuan, begitu pikirnya. Sebaiknya ia kuberitahu saja, katanya, "Hai, adinda, janganlah kau bicara keras-keras. Sebetulnya telah tiba di tempat kakak kemarin petang seorang laki-laki bagus dan masih muda. Ia menjawab pertanyaanku, konon bernama Raja Anglingdarma dari negeri Malawa. 25. Tetapi aku sama sekali tidak percaya, jika ia benar-benar seorang raja. Mengapa ia hanya datang seorang diri. Ia bercerita bahwa terpaksa meninggalkan negerinya, akibat kematian isterinya. Hatinya merana dan merasa selalu sunyi. Ia baru datang kemarin sore." Mendengar jawab itu Ken Wiyati tidak dapat menahan senyumnya. 26. Bolehkah adinda bertanya lebih lanjut," sekiranya adinda tidak salah, kakanda semalam telah tidur bersama dengan dia bukan?" Maka dicubitnya Ken Wiyati sambil dibisikkan katakata, "Benar, semalam suntuk dia kupeluk. Dia sangat manja, tak mau meninggalkan tempat tidur. Apa kehendaknya kupenulii agar dia tidak pergi. 77 PNRI
27. Sayang, dia bagus dan kuat. Segala ulahnya membuat diriku tergila-gila." Kembali Ken Wiyati tersenyum mendengar katakata kakaknya. Lincah dan pandai bermain asmara. Semakin tertarik Ken Wiyati, katanya sambil tersenyum, "Ah seperti pengantin baru di malam pertama saja. Bolehkah aku melihat Raja Malawati itu," kata adiknya. Dan Si kakak tidak ada alasan untuk menolaknya. 28. Keduanya meninggalkan tempat duduk, sementara Ken Wiyati langsung menuju ke dalam ruangan dan membuka tirai penutup. Dilihatnya wajah tampan bagai dewa pujaan pujangga sedang nyenyak tidur. Cahayanya cemerlang seperti bulan, membuat hati Sang Wiyati terpesona. Ia tidak dapat mengendalikan hasratnya ingin tidur bersama Sang Raja.
78 PNRI
14. KINANTI
1. Cepat-cepat ia kembali ke tempat duduk, disambut oleh pertanyaan kakaknya, "Bagaimana adinda? Telah kaulihat sendiri wajah iparmu?" "Benar kakak kata-katamu. Adinda telah melihat sendiri "suamimu". 2. la sungguh bagus tidak terkira, seperti Sang Kamajaya yang menitis ke dalam tubuhnya. Baru sebentar aku melihat keadaannya, aku tak tahu perasaan yang bergejolak di dalarn hati. Mungkinkah aku telah terkena oleh guna-guna dan sihir? 3. Ibarat menyaksikan buah asam muda, ingin sekali aku bisa mencicipnya Wahai kakakku sayang, berilah aku kesempatan membeli, meskipun harganya kaunaikkan sedikit. Adikmu sanggup melayani permintaannya." 4. Kakaknya cepat menangkap kehendak adiknya, katanya, "Sekiranya memang adik benar-benar menginginkannya, akan kakanda luluskan. Hanya saja aku berpesan, hematlah biar berlangsung lama." Hati adiknya senang bukan main, segera ia kembali berganti pakaian. 5. Kain yang dikenakan bercorak limar menarik. Juga sampur pelengkapnya diganti dengan yang baru serasi dengan penutup dada. Ia beijalan bagai pohon pinang tertiup angin. Anggun seperti puteri Banuwati. 6. Keduanya masuk ke dalam ruang tempat Sang Baginda sedang nyenyak tidur, cantik-cantik bagai Dewi Ratih dan Dewi Supraba. Mereka mengambil tempat duduk tidak jauh dari tubuh, menunggu yang tidur terbangun. 79 PNRI
7. Sang Raja duduk dan sangat terkejut. Karena dilihatnya ada dua perempuan berada di sana. Rupanya mirib satu sama lain. Bilamana katanya terucapkan, apakah dua orang ini wanita kembar? 8. Menurut penglihatanku keduanya warnanya serupa. Maka berkatalah Anglingdarma, "Betulkah adikmu itu serupa?" Ken Wiyata menjawab, "Benar inilah adik saya yang nomor dua rupanya mirib dengan rupa saya. Namanya Retna Wiyati. 9. Adapun maksud kami berdua menghadap Sang Baginda. Mengantarkan dia yang ingin pula dapat menjadi ceti Sang Raja. Jika Baginda berkenan di hati dapatkah menjadi isteri ke dua." Baginda menjawab dengan tersenyum." Baiklah jika adinda setuju melakukannya." 10. Menyambung Retna Wiyati, "Sekiranya Tuan setuju, singgahlah di tempat kediaman patik. Bagaimana kehendakmu aku turuti. Kakanda pasti datang bersama mengantarmu." 11. Setelah itu Baginda pun turun dari pelaminan. Dipegangnya tangan Sang Wiyati kemudian berdua beijalan menuju ke wisma samping. Berdua langsung memasuki ruang dalam tempat Ken Wiyati tidur. Mereka saling memadu kasih. 12. Baginda sangat mahir berulah asmara, rayuannya memikat hati siapa pun, membuat hati Sang Ayu sangat senang. Semalam suntuk keduanya bermain cinta, hingga terbitnya matahari pagi. Maka diceritakan keadaan Retna Witarsih puteri raksasa yang bungsu. 13. Paras mukanya cantik bukan kepalang, seperti kumala yang diukir. Ia mengenakan kain bercorak bunga cinde. Dilengkapi dengan sampur corak gadung melati. Pada rambutnya terselip bunga gambir serta bunga cempaka, dan bergantung pada daun telinganya subang besar terbungkus emas. 14. Ia telah dua hari tidak bertemu muka dengan kakak-kakaknya. Katanya di dalam hati, "Aku harus meninjau kakak-kakakku. 80 PNRI
Selama dua hari aku tidak melihat keduanya." Ditinggalkannya ruang tempat tinggalnya dan setibanya di halaman ia memanggil keras-keras. 15. "Apakah kakak masih tidur?" Demikian terdengar suaranya memecah kesunyian. Suara itu didengar oleh Ken Wiyati dan ia pun segera keluar ruangan mendapatkan adiknya di halaman rumah. 16. Sementara itu Baginda masih tidur nyenyak. Ken Wiyati menunduk menjabat tangan adiknya dibawa duduk. Namun tidak mengucapkan sesuatu kata seperti biasa. Ken Witarsih heran melihat keadaan kakaknya, seperti orang yang sangat kelelahan. 17. Katanya di dalam hati, "Mengapa kakak kelihatan sangat kelelahan mukanya tampak hijau? Mungkin dia bersanggama dengan laki-laki. Aku ingin tahu siapa gerangan lawannya memadu kasih. "Maka sambil tersenyum ia bertanya, "Apakah kakanda sedang sakit?" 18. Perlahan-lahan kakaknya menjawab, "Memang benar dugaanmu adinda. Kakanda sedang menderita suatu penyakit. Berulang-ulang mendapat serangan. Aaapun penyakitnya bermacam-macam. Pusatnya pada ulu hati 19. Semalam suntuk aku tidak dapat memejamkan mata." Tersenyum adiknya, kemudian berkata, "Kakanda hidungku mencium sesuatu. Bau manusia berasa dari tempat kakanda tidur." Berkata kakaknya menyela. 20. "Janganlah adik bicara yang bukan-bukan. Mungkinkah di sini terdapat manusia? Siapa lagi berani datang ke negara ini, jika ia ingin selamat." Tetapi Ni Ken Witarsih tetap pada dugaannya. Ia ingin menyaksikan sendiri ke dalam rumah. 21. Maka berkatalah Niken Wiyati, "Aku akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Kakanda telah menemukan laki-laki bagus dan masih muda. Namanya Raja Anglingdarma. Konon ia berasal dari negeri Malawapati. 81 PNRI
22. Semalam Raja tersebut saya minta kehadirannya di rumah ini. Kau lihat sendirilah orangnya. Ia sedang nyenyak tidur." Ken Witarsih segera menuju ke tempat tidur kakaknya, kemudian membuka tirai penyekat. 23. Tampak olehnya paras laki-laki yang tampan, Tak dapat Ken Witarsih mengucapkan sesuatu kata. Apa yang dilihatnya sungguh-sungguh luar biasa. Pikirannya telah melayang lebih jauh, mengendorkan pucuk kain. Cepat-cepat ia mendapatkan kakaknya. 24. Sambil duduk disamping kakaknya ia berkata,"Aku ingin pula menjadi isteri Raja Anglingdarma." Ken Wiyati bertanya, "Kau telah melihat sendiri, bagaimana laki-laki itu?" 25. "Ya, aku benar-benar ingin melamarnya. Dan bersedia untuk dijadikan isterinya yang ketiga," kata Ken Witarsih. Keduanya pun menuju ke tempat Baginda. Ditemuinya Sang Raja telah duduk. 26. Sang Wiyati duduk di depan Ken Witarsih, menunggu isyarat Raja. "Siapakah wanita itu adinda?" Tanya Baginda." Mengapa ia ikut kau di belakangmu." Maka menjawablah Ken Wiyati, 27. "Inilah adik hamba yang bungsu, bernama Ken Witarsih. Sekiranya Baginda setuju mengabulkan permohonannya, dia pun ingin mengabdi kepada paduka. Sukur dapat dijadikan sebagai isteri." 28. Seraya tersenyum Baginda menjawab, "Jika memang dikehendaki aku terima permohonannya, sebaiknya memang ketiga-tiganya menjadi isteriku. Lakukanlah itu dengan hati yang tulus." Ken Witarsih kemudian mempersilakan Sang Raja untuk berkunjung ke rumahnya. 29. Harap Baginda sudi berkunjung ke pondok hamba, demikian pintanya. Raja segera berdiri dan menggandeng tangan Ken Witarsih. Keduanya meninggalkan Ken Wiyati sendiri. Me82 PNRI
reka bersama-sama berjalan menuju ke tempat tinggal Witarsih, langsung masuk ke peraduan. 30. Sang Kusuma tidak henti-henti dirayu dengan kasih mesra. Mereka menikmati malam itu dengan saling memadu cinta. Maka ganti diceritakan keadaan Ken Wiyata, anak yang sulung. Telah dua hari Anglingdarma tidak kembali pulang ke tempatnya. 31. Adiknya ternyata tidak menepati janji, yang sama-sama disepakati. Ialah "meminiam" Sang Raja selama satu malam. Ia tidak membenarkan jika Anglingdarma hendak dimiliki sendiri. Dengan maksud menjemput Sang Raja ia pergi ke tempat adiknya. 32. Didapatinya Si Adik duduk termenung seorang diri. Bertutup kain sampur berwajah murung. Bertanyalah Ken Wiyata kepadanya, "Hai, mengapa termenung sendiri? Di mana suamimu? Ia berusaha menutupi kemarahannya." Maka Retna Wiyati menjawab apa adanya. 33. "Maaflah adinda, kakak. Kakanda Sang Raja dipinjam oleh adik Ken Witarsih. Ia ingin pula menghamba kepadanya. Aku tidak mampu menolak kehendaknya mengabdi kepada Raja Anglingdarma." 34. Retna Wiyati menjawab pertanyaan kakaknya dengan polos, tanpa menaruh rasa segan. Si Kakak pun menyetujui putusan adiknya. "Sukur jika demikian," katanya. "Apa salahnya kita sama-sama menjadi madu/isteri Baginda Anglingdarma. Marilah kita tengok bersama ke sana." 35. Tak berapa lama kemudian keduanya tiba di tempat Ken Witarsih. Didapatinya Baginda sedang duduk berdampingan dengan si Bungsu. Baginda mempersilakan mereka mengambil tempat duduk. 36. Silakan kalian duduk sayang. Keduanya segera menyembah dan mengambil tempat. Baginda selanjutnya berkata terha83 PNRI
dap puteri yang sulung, "Ken Wiyata isteriku, kaulah besok memperoleh giliran untuk menerima kunjunganku. 37. Lamanya satu hari satu malam aku akan berada di tempat tinggalmu." ICetiga puteri itu menunduk tanda setuju. Tidak ada yang memajukan keberatan atas kehendak Sang Raja." Jika demikian, "kata Baginda," kini tinggalkan saya sendiri. Aku ingin beristirahat." 38. Hampir bersama-sama ketiga puteri itu mengucapkan kata-kata siap menjalankan perintah. Mereka turun ke luar tempat peraduan, sementara Baginda melepaskan lelah di dalam ruang tersendiri. 39. Ketika ketiga puteri itu mengetahui bahwa Baginda telah lelap tertidur, berkatalah Ken Witarsih pelan-pelan kepada kakaknya, "Aku sangat lapar. Marilah kita mencari makanan daging manusia, selagi Baginda nyenyak tertidur." 40. Setuju mereka bertiga untuk berganti pakaian berburu. Masingmasing membawa senjata, berupa keris, tombak dan lembing. Yang dituju ialah hutan Setramandala. Maka berangkatlah ketiganya ke sana. 41. Diceritakan bahwa Raja Anglingdarma telah bangun dan turun dari tempat peraduannya. Dicarinya ketiga isterinya, tak seorang pun tampak. Ke manakah mereka gerangan, ketiganya tidak berada di tempat. 42. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Baginda untuk membuktikan cerita Si Nenek Tua. Bahwa puteri-puteri itu makan manusia. Dipusatkan ciptanya kepada aji pemberian Sang Tapa, ayah dari Ken Setiawati almarhum. 43. Dulu Baginda pernah menerima aji itu ketika berguru kepada Bagawan Maniksutra, yang kemudian menjadi mentuanya. Maka berubahlah Baginda menjadi seekor burung Gagak. Terbang Si Nila ke arah asap yang mengepul di tengah-tengah hutan. 84 PNRI
44. Tak lama ia sampai ke tempat asap berasal. Dilihatnya banyak burung gagak yang beterbangan di sana, memperebutkan makanan. Di tengah-tengah tergeletak sosok mayat manusia teraniaya.
85 PNRI
15 . ASMARANDANA
1. Baginda yang menjelma sebagai burung hitam hinggap kemudian pada sebatang cabang pohon untuk melihat ulah isteriisterinya. Betulkah ia sungguh-sungguh makan daging manusia? Seperti yang diceritakan oleh Nenek Tua. 2. Tampak ketiga isterinya bersama-sama menikmati mayat seorang manusia. Mereka saling memotong bagian-bagian tubuh yang disukai, dipanggang kemudian di atas api untuk dimakan. Menyaksikan kejadian itu Si Burung Nila percaya akan cerita Sang Nenek Tua. 3. Sangat terharu hati Baginda melihat ulah ketiga isterinya. Kata di dalam hatinya, "Sayang sekali kalian berparas cantik namun bertabiat tidak baik." Sang Burung ingin mencoba isteri-isterinya dan turunlah ia mendekati tempat mereka. 4. Pertama-tama dihampirinya Ken Wiyata puteri yang paling tua, berlalu Si Burung di sampingnya. Kemudian berdiri di depan Si Puteri. Sekiranya burung Hitam itu berkata, "Wahai puteri kekasih kakanda, sebaiknya dinda jangan makan daging manusia." 5. Sang Puteri berkata seorang diri, "Banyak jumlah burung gagak di tempat ini. Tetapi tidak seperti burung ini. Ia sangat malas terbang, tidak mau pindah tempat, mengganggu orang sedang makan. Sebaiknya kepalamu diunjamkan ke tanah." Dan dilemparlah burung itu dengan sekerat daging. 6. Kiranya yang dilemparkan sekerat hati. Segera dicengkeram oleh Burung jadian itu di kaki kanan. Setelah itu pergilah Si Burung ke sebelah Utara, ke tempat Ken Wiyati berada. Juga 86 PNRI
di sana ia minta daging seperti semula. Maka dilemparlah ia dengan sekerat jantung manusia. Cepat-cepat jantung itu diterimanya. 7. Kaki kiri mencengkeram jantung, kaki kanan mencengkeram hati. Begitulah Si Burung pergi ke tempat Ken Witarsih. Ken Witarsih merasa terganggu karena adanya Si Burung jadian. Ia pun segera melemparkan sekerat limpa. Dicocoknya limpa itu dengan paruhnya yang tajam kemudian diterbangkan ke angkasa. 8. Tidak berapa lama terbang tibalah Maharaja Anglingdarma di tempat tinggal Puteri bungsu, Ken Witarsih. Ia telah mengubah rupanya kembali menjadi manusia. Dibukanya tempat pakaian untuk menaruh limpa, kemudian ditutupnya kembali. 9. Limpa itu ditaruh di tengah-tengah kotak hias, di mana puteri biasa menaruh wangi-wangian dan bedak-bedak. Setelah ditutup rapat Sang Raja keluar terus menuju ke rumah Ken Wiyati. Di sana pun diambilnya tempat Ken Wiyati menyimpan peralatan mencuci muka. 10. Kerat jantung yang dibawanya dimasukkan ke dalam kotak hias, kemudian ditutupnya kembali. Ditujunya rumah tempat tinggal Kusuma Wiyata untuk mengambil tempat membersihkan muka. Setelah didapatnya lalu dibukanya. 11. Hati manusia yang masih tersisa dimasukkan ke dalam cupu wangi-wangian. Setelah itu ditutupnya kembali dengan baik. Selesai mengeijakan peringatan agar perempuan-perempuan itu menghentikan kebiasaan makan daging manusia Sang Raja kembali ke tempat peraduannya. 12. Sementara itu di dalam hati Baginda menyesali dirinya, mengapa telah memperisteri anak-anak raksasa. Dalam hatinya ia bertanya, "Belum berakhirkah marah dewata kepadanya. Sehingga menghadapi masalah yang tidak bisa dibayangkan kesudahannya. 87 PNRI
13. Benar juga apa yang dikatakan oleh Nenek Tua. Aku sendiri yang sengaja tidak mempercayai petuahnya." Demikianlah pikir Maha Raja Anglingdarma di tempat peraduan. Hatinya sangat menderita, namun ia berbuat seolah-olah sedang tidur nyenyak. 14. Maka diceritakan kembali puteri-puteri yang berada di Setra Mandala. Mereka telah makan sampai puas dan kenyang. Berkatalah Ken Wiyata, "Bagaimanakah kehendak adinda sekarang. Sudahkah adinda kenyang dan merasa puas? 15. Sebaiknya kita jangan terlalu lama berada di sini, aku takut kalau-kalau Baginda telah bangun." Retna Wiyati menyetujui saran kakaknya untuk segera pulang kembali ke rumah. " Marilah kita kembali dengan segera," katanya. Dan ketiganya pun pulang bersama-sama, melalui jalan yang ditempuh sebelumnya. 16. Ketika ketiga puteri raksasa tiba di puri mereka Sang Raja masih tidur. Maka senanglah ketiga puteri itu. Mereka segera mandi dan ingin memakai wangi-wangian. Alangkah terkejut hatinya ketika mereka mengambil kotak hias serta membuka cupu tempat wangi-wangian. 17. Di sana ditemuinya hati manusia di dalam cupu, bercampur dengan minyak wangi. Di dalam hati puteri bertanya, "Apakah sebabnya minyak ini bercampur dengan hati mentah. Pada hematku hati ini pernah juga saya berikan kepada gagak putih di pasetran. 18. Tidak salah lagi bahwa aku .telah memberikan hati mentah ini ketika di pasetran kepada gagak putih." Maka tahulah puteri mengapa hati itu sekarang sampai di sana. Ia kemudian pergi ke tempat adiknya, Ken Wiyati. Didapatinya adiknya sedang mengambil kotak hias, ingin memakai wangiwangian. 19. Sang Puteri sangat terperenjat, karena di dalam cupu minyak terdapat jantung manusia. Jantung yang dilemparkan kepada 88 PNRI
burung ketika ia berada di dalam Setramandala. Tahulah bahwa rahasia mereka telah diketahui oleh orang lain. Hatinya merasa sangat terharu dan menyesal atas perbuatannya. 20. Tidak berapa lama kakaknya, Retna Wiyata tiba di tempat mereka, Keduanya menyongsong kedatangannya di halaman. Kata Ken Wiyata, "Adinda, aku merasa malu dan menderita batin. Karena kudapati sisa hati manusia di dalam cupu hias. Sesaat sesudah aku selesai mandi. 21. Aku ingat pasti bahwa hati itu sebelumnya telah kulemparkan kepada burung gagak putih." Retna Wiyati menyela, "Aku pun mengalami peristiwa yang sama seperti kakanda. Aku temukan jantung manusia di tempat kotak hias bersama dengan wangi-wangian. 22. Jantung itulah yang kulemparkan kepada burung gagak putih di pasetran. Aku tak salah dan sangat sakit karenanya." Berkata Retna Wiyata, "Baiklah adinda, jika demikian halnya kita berdua menengok ke tempat Witarsih. Dari sana kita menyepi agak jauh untuk berbicara. 23. Biar kita bicarakan segalanya di sana." Mereka pun segera menengok ke tempat Witarsih. Didapatinya adiknya duduk termenung memendam rasa sedih. Ia tidak habis berfikir mengapa terdapat daging limpa di dalam kotak hias dan bedak wangi. 24. Ia masih ingat benar bahwa limpa itu adalah yang dilemparkan dan dicocok oleh burung gagak di hutan. Tiba-tiba datanglah kedua kakaknya ke tempat itu. Keduanya mengambil tempat duduk masing-masing, berkatalah Ken Wiyata perlahanlahan, 25. "Ketahuilah adik-adikku. Saat ini di dalam cupu tempat wangiwangianku terdapat hati manusia yang masih mentah." Disambung oleh Ken Wiyati bahwa di dalam cupunya terdapat pula keratan jantung yang bercampur dengan minyak. 89 PNRI
26. Ken Witarsih mengutarakan kemudian bahwa minyak wanginya bercampur dengan limpa manusia. Ketiga puteri itu tahu sudah bahwa rahasianya telah diketahui orang. Maka berkatalah Ken Wiyata, "Wahai adik-adikku. Kita tahu sudah sesungguhnya Maharaja Anglingdarma yang telah mengetahui rahasia kita. 27. Baginda hanya pura-pura tidur, tetapi terus melihat-lihat keadaan kita bertiga. Tahu bahwa kita adalah anak raksasa. Dan dia pandai mencari jalan mengikuti segala langkah kita." Kedua adiknya belum juga percaya, bagaimana Baginda tahu hal itu? 28. Bukankah dia masih tidur ketika ditinggal pergi? Berkata Retna Wiyata, "Ketahuilah adikku. Burung Gagak putih itulah penjelmaan Sang Raja Anglingdarma. Hati, limpa, serta jantung manusia semuanya bercampur dengan minyak akibat perbuatan kita sendiri. 29. Kita semua merasa dibuat malu besar dan menyakitkan hati. Bagaimana kehendakmu sekarang?" Kedua adik itu menjawab hampir bersamaan. "Mari kita bunuh saja Anglingdarma itu." Dijawab oleh kakaknya, "Bukan maksud saya membunuh Anglingdarma. 30. Dia bukan berhutang pati kepada kita. Dia membuat kita malu dan cemar, sebab itu harus kita bayar dengan membuatnya malu dan cemar pula. Kita tidak akan membuat dia mati, hanya sekedar pembayar utangnya. Mari kita usir dia jangan lama-lama kita dibuatnya malu." 31. Retna Wiyata kemudian memetik sehelai daun tal, ditulis di atasnya dengan kuku sebuah aji kemayan, panjang daun itu dua jari tangan (sekilan). Selain itu diambilnya pula daun tal yang lain sebagai penguat (salang). 32. Dalam helai daun itu dibuatnya gambar manusia yang terbalik, kemudian digantungkannya daun itu di tengah pintu masuk, yang menuju ruangan tempat tidur Maharaja Anglingdarma. 90 PNRI
Berdiri tegak Retna Wiyati di dekat Raja yang tengah tidur. 33. Puteri mengheningkan ciptanya mengucapkan aji dan dikabulkan oleh dewa. Kata Retna Wiyata, "Rasailah wahai Anglingdarma. Balasan kami ini." Sambil mengucapkan katakata tersebut Ken Wiyata mencocok gelung Sang Raja dengan daun tal yang bertulis rajah jahat. 34. Sang Baginda terbangun dan sangat terkejut sambil meraba gelung kepalanya. Ia tak mampu melepaskan daun tal yang melekat pada rambutnya. Bahkan makin melilit dengan kuat. Bingung hati Anglingdarma karenanya. Berkata Sang Raja, 35. "Tolong cabutlah adinda, apa yang melilit pada rambut kepalaku ini." Dijawab'oleh puteri dengan suara kasar, "Aku tidak kenal kamu sama sekali, mengapa kau panggil aku adik. Pergilah kau segera meninggalkan tempat ini. Kalau tidkak kucukil mata kakimu. 36. Sekarang ini juga kau pergi, dan jangan sekali-kali menjejakkan kaki di negeriku. Aku sama sekali tak senang dan tidak rela negeriku kau datangi." Begitulah ketiga puteri itu bersama-sama mengusir Sang Raja. Berkatalah Sang Raja, 37. "Apakah gerangan dosa yang telah kuperbuat adinda. Sampai hati kalian mengusir aku pergi dari sini dengan semena-mena." Sang Puteri keras menjawab, "Masih juga kau pura-pura menanyakan dosamu kepadaku. Akuilah, bahwa kau telah mengintip kami di kala kami sendang makan daging manusia. 38. Kau merupakan diri sebagai gagak putih dan mengganggu kami bertiga yang tengah makan bukan? Itu namanya tindakan yang salah. Sebab itu kau mendapat celaka. Seorang Raja yang berbuat jahat, namun pura-pura menanyakan dosa dan berlagak seperti kau sendiri yang berparas bagus."
91 PNRI
15. DURMA
1. Semakin amarah ketiga puteri itu dan mengancam Sang Raja dengan bentakan keras, "Lekas pergilah kau, jika tidak kulemparkan senjataku." Sang Raja menjawab, "Baiklah, lemparkan senjatamu segera. 2. Kiranya kalian bosan kepadaku, tidaklah perlu kalian mengusir diriku, pasti aku akan pergi." Ken Wiyata berkata, "Janganlah kau banyak bicara. Aku tidak mengakui kau sebagai suamiku, demikian juga adik-adikku. 3. Tidak ada yang ingin memiliki suami yang bertabiat jahat terhadap isteri sendiri.'' Mendengar kata-kata itu insaflah Anglingdarma, bahwa ulahnya menjelma menjadi binatang diketahui oleh ketiga puteri itu. 4. Ia pun segera menuruni tangga rumah dengan perasaan sedih. Ketika Baginda berada di bawah pintu masuk maka ketiga puteri.itu dengan serentak bersama-sama mengucapkan kutuk terhadap Raja Anglingdarma. 5. Suaranya keras, "Semoga kau berubah ujudmu menjadi burung Belibis putih." Hati Sang Raja bergetar mendengar kutukan itu. Ia tak sadar beijingkat dan kepalanya menyentuh bingkai pintu di atas, dan setelah keluar dari pintu ia berubah rupa menjadi burung. 6. Seluruh tubuhnya penuh dengan bulu berwarna putih. Bahunya berubah menjadi sayap. Berkacalah ia di permukaan air jambangan. Ia serasa mimpi melihat tubuhnya. Bukan lagi sebagai manusia tetapi berubah menjadi burung Belibis yang berbulu putih. 92 PNRI
7. Dalam hati ia sangat heran dan tak terperi rasa malu yang dideritanya. Katanya di dalam hati, "Aku adalah seorang Raja yang tersohor sebagai batara. Disembah oleh sesama raja. Aku tinggalkan kemuliaan dan negaraku. Kini aku malahan berubah menjadi belibis. 8. Kiranya telah menjadi kehendak Hyang Kuasa, bahwa diriku kini memegang peran dalam perjalanan hidup yang penuh derita." Di dalam hati Raja Anglingdarma merasa dirinya tak berarti lagi. Tercetus pengharapan dalam hatinya untuk membiarkan dirinya menemui ajalnya, apabila dirinya tidak kembali berupa manusia dalam waktu yang dekat. 9. Demikianlah Belibis Putih cepat-cepat menjejakkan kakinya pada tanah, terbang menuju ke langit tinggi. Ketiga puteri raksasa mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak, "Nah rasakan balasan kami Anglingdarma. Ibarat dirimu bagaikan emas yang terapung-apung tak tentu akhir sudahnya."
93 PNRI
17. MASKUMAMBANG
1. Barang siapa membuat malu orang seperti kamu, kini kamu pun mendapat balasannya dan menjelma menjadi burung. Sesungguhnya sangat disayangkan mengapa harus teijadi atas Raja Anglingdarma. 2. Almarhum sungguh sangat pandai merayu hingga meruntuhkan hati yang ditinggalkan pergi. Mereka sebenarnya sangat kecewa kehilangan teman yang selalu terbayang di kala mata lelah tertidur. 3. Diceritakan Sang Raja yang berubah rupa menjadi Belibis. Terbang setinggi-tingginya seraya memejamkan kedua matanya. Ia malu memandang sinar matahari. 4. Tak henti-henti ia terbang, melewati mega-mega dengan mata tertutup. Tidak tahu arah mana yang dituju. Belibis Putih menutup matanya rapat-rapat. 5. Yang diharapkan hanyalah petunjuk lebih lanjut dari dewa yang agung tentang kelanjutan nasib dirinya. Maka dibukanya matanya, tampak di bawah wilayah penuh rawa-rawa. 6. Di tengah-tengah rawa yang lebar tampak sebuah pulau menonjol. Di sebelah timur rawa-rawa terbentang sawah-sawah kelihatan indah, menarik hati Raja yang berubah rupa. 7. Maka meluncur ke bawah Sang Belibis Putih dan hinggap pada tanah di tengah rawa. Kata di dalam hatinya, "Tanah ini terletak di wilayah mana? 94 PNRI
8. Banyak sekali kulihat telur belibis di sini. Jumlahnya ratusan. Sekiranya ada orang yang mengetahui, pasti diambil manfaatnya." 9. Belibis Putih berada di tengah rawa itu selama satu hari satu malam. Membuat terkejut semua belibis yang menghuni pulau itu. Baru pertama melihat hadirnya belibis berbulu putih. 10. Mereka saling berkata kepada sesama belibis, "Lihatlah kawankawan. Di sebelah timur. Hadir di tengah-tengah kita seekor belibis berbulu putih dan parasnya bercahaya gemilang. 11. Tiada yang tahu kapan ia berada di tengah-tengah kita. Begitu saja entah dari mana. Marilah kita angkat dia menjadi raja kita. Sebagai kepala yang kita junjung segala perintahnya. 12. Segala keperluan makannya, kitalah yang mengadakan tiaptiap hari." Semua belibis setuju. Mereka terbang ke arah timur, saling dulu mendahului. 13. Tiba di depan Belibis Putih belibis semuanya menghadap dengan rasa takut. Yang tertua menyembah dan berkata, "Hamba sangat senang menerima kedatangan Tuan yang berbulu bagus. 14. Sekiranya berkenan di hati Tuan hamba ingin menjadikan Tuan sebagai Raja kami. Apa pun kehendak paduka, hamba semua yang mengadakan. Semua belibis di sini menjadi bawahan paduka." 15. Sang Belibis Putih menjawab dengan suara nyaring, "Baiklah aku terima kasih-sayangmu kepada ku. Aku sekarang ini sedang menderita. 16. Oleh karena itu aku tidak dapat menerima permohonanmu untuk menjadi Rajamu. Akibatnya hanya membuat kalian susah. Aku hanya mampir sebentar di sini, sebelum meneruskan perjalanan. 95 PNRI
17. Melihat-lihat pemandangan yang menarik hati." Sehabis bicara demikian Belibis Putih segera terbang kembali ke angkasa, melintasi sawah-sawah yang datar. 18. Yang terletak di pinggiran desa. Di sana tempat para petani bekerja. Dilihatnya sebidang yang bertanaman hijau. Pohon padi muda sangat subur daunnya. 19. Luas sawah itu tidak kurang dari satu jung *), berdekatan dengan desa tempat Bapak Tani. Bernama Dukuh Wanasari, yang terjadi dari tujuh buah rumah kepala keluarga. 20. Wilayah tersebut termasuk daerah Negara Bojanegara. Dikepalai oleh seorang Demang bernama Kalungsur. Ia semua menjadi pegawai mantri yang berpusat di Bojanegara. 21. Tetapi ia mendapat murka Raja kemudian ditempatkan jauh di luar kota. Jauh dari keramaian kota, diikuti oleh beberapa keluarga dekat yang membuat rumah di dekatnya. 22. Mereka adalah keluarga kurang mampu, tetapi menaruh kasih kepada Demang Kalungsur. Hartanya hanya berupa sepasang kerbau, digunakan untuk bersawah bergantian. 23. Isteri-isteri mereka berjualan daun jati, demikian juga isteri Demang Kelungsur sendiri. Berjualan daun jati juga dibantu oleh kemanakannya laki-laki bernama Jaka Gedug. 24. Ketika itu Jaka. Gedug sedang menggembala di sawah. Ia membawa sebuah jaring penangkap burung. Dilihatnya seekor belibis putih berada di pinggir sawah. 25. Ia bertengger di atas pematang dan sibuk menyisir bulu sayap. Cepat-cepat Jaka Gedug menghampiri burung belibis tersebut, dihalau ke arah jaring yang telah dipasangnya. *) 1 jung = 4 bau = + 2,8 ha.
96 PNRI
26. Si Belibis bersikap tenang, hatinya tidak merasa takut melihat kedatangan Jaka Gedug. Seolah-olah ia berkata, "Janganlah berbuat yang bukan-bukan. 27. Sebab aku ingin mengabdikan diri kepadamu." Begitu kehendak Belibis, teringat akan pelayanannya dulu ketika menjadi raja. Rupa pelayan itu mirib Jaka Gedug yang kini dilihatnya. 28. Seperti anak yang kembar, baik rupa maupun ulah perbuatannya dengan pelayan di Istana Malawapati. Itulah sebabnya mengapa Belibis suka kepada Joko Gedug. 29. Maka dengan sengaja jaring itu diterjang oleh Si Belibis. Kakinya yang kiri dimasukkan, sementara Ki Joko Gedug mengeluarkan suara keras untuk menghalau agar si burung terbang. 30. Mengetahui bahwa Belibis Putih terkena oleh jaring. Ki Joko senangnya bukan main. Kedua tangannya direntangkan ke kiri dan ke kanan sambil berlari ke arah jaring. 31. Tiba di sana kaki belibis dilepaskan dari jaring, kemudian didekapnya burung itu dengan kedua tangan di dadanya. Kerbaunya ditinggalkan begitu saja di sawah. 32. Dengan rasa girang ia berlari pulang. Di dalam hatinya ia berkata, "Pasti paman akan sangat gembira, apabila ia tahu aku telah menangkap seekor belibis putih yang bercahaya gemilang." 33. Setiba di rumah Ki Joko berteriak-teriak kegirangan, "Pamanpaman, lihatlah ananda berhasil menangkap seekor belibis berbulu putih, cahayanya sangat cemerlang."
97 PNRI
18. DANDANGGULA
1. Demang Kelungsur menyambutnya dengan tersenyum, katanya, "Tak banyak manfaatnya jika kita sembelih, tidak seimbang dengan kecantikan bulunya. Sebaiknya kaubuatkan kurungan saja, untuk kita pelihara, mengingat rupanya yang bagus." Maka berkatalah Belibis Putih, "Wahai Ki Demang janganlah aku dikurung. Aku tidak akan pergi melarikan diri." 2. Seperti orang mimpi Ki Demang tercengang-cengang mendengar kata Belibis Putih. Dalam hatinya ia berkata, "Selama ini aku belum pernah mendengar adanya burung yang dapat berkata-kata seperti manusia." Maka berkatalah ia kepada isterinya, "Wahai isteriku. peliharalah Belibis Putih dengan kasih sayang. Ia berhendak baik terhadap keluarga kita. Semoga membawa untung." 3. Sang Belibis berkata lagi, "Sesungguhnya aku sengaja masuk ke dalam jaring, oleh karena ingin menumpang hidup pada paman. Lagi pula aku kasihan melihat nasib Joko Gedug serta nasib paman berdua. Tiap-tiap hari memasang jaring burung di sawah. Bagaimana mungkin dapat mencukupi kebutuhan makan paman sekeluarga. Bahkan hanya menambah penderitaan saja." 4. Tak habis-habis isteri Ki Demang menyaksikan kecantikan Belibis Putih. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Pasti ini bukanlah sembarang burung, begitu kata-kata dalam hatinya. Kukira seorang pertapa yang salah dan menjelma menjadi burung. Ia sangat gembira mendengarkan Belibis Putih itu bicara. Kata Belibis lebih lanjut, 98 PNRI
5."Hendak kusampaikan sesuatu kepadamu Kiyai. Janganlah Kiai menjaring burung-burung lagi. Dengan jalan itu hasilnya tak akan cukup bagimu." Demang Kelungsur menyela, "Lalu apa yang harus kukeijakan untuk dapat makan?" Berkata Si Belibis, "Sebaiknya kita lebih baik bersawah saja yang tekun. Lagi pula isteri demang jangan lagi beijualan daun jati, sebaiknya jualan telur. 6. Marilah aku antarkan mengambil telur-telur belibis, jumlahnya cukup banyak. Sekarang saja pergi dengan Joko Gedug dahulu, biar dia mengetahui tempatnya. Saya tunjukkan tempat telur-telur itu di tengah rawa-rawa." Maka dituruti kehendak Si Belibis oleh Joko Gedug dan Nyi Demang dan sampailah mereka di tempat telur berserakan di tengah rawarawa. 7. Belibis Putih menunjukkan beberapa tempat yang banyak telurnya. Bertindih satu sama lain. Tak terkira girang hati Nyi Demang. Telur-telur itu dikumpulkan dan dibawa pulang, berpikul-pikul banyaknya. Ki Joko Gedug sendiri, pergi pulang balik sebanyak lima kali. Demikian juga Ki Demang, ia turut memikul telur dua kali pulang balik. Maka penuhlah lantai teras rumah dengan telur. 8. Berkata Ki Demang kepada isterinya, "Pergilah ke pasar beserta anakmu. Juallah telur-telur itu semua. Uangnya kaubelikan cangkul dan sabit, untuk perlengkapan mengeijakan sawah. Apa petunjuk belibis akan kukeijakan dengan baik, tidak lagi aku menjaring burung-burung. Manfaatnya tidak ada. Lagi pula aku malu dipanggil Demang Jaring." 9. Nyi Demang pun pergi ke pasar, diikuti oleh Joko Gedug yang membawa pikulan penuh telur. Tidak memakan waktu lama mereka menjual telur. Malahan Nyi Demang kembali pulang untuk mengambil telur yang masih di rumah. Ia diikuti oleh sepuluh orang pemikul. Toh kesepuluh orang itu merasakan bebannya terlalu berat. Semuanya diborong oleh pembeli. 99 PNRI
10. Tidak terhingga senang hati Nyi Demang. Menghitung hasil penjualan telurnya. Jumlahnya mencapai dua puluh lima reyal. Ia membeh kain seketika, penutup dada beserta ikat pinggang. Tidak lupa suaminya pun dibelikan kain serta alat pertanian berupa sabit dan cangkul. Dibelinya beras agak banyak, minyak kelapa serta ragi. Ia ingin mengadakan selamatan "bersih desa" 11. Nyi Demang tahu benar kegemaran suaminya. Sebagai isteri yang setia ia membeli pula ketupat, ampas minyak (cabuk), kerupuk dan minyak. Banyak juga yang dibeli, sampai dua bakul penuh. Diserahkan kepada pemikul untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Joko Gedug masih berada di pasar. Ia membeh sapu tangan berwarna merah pinggirnya dan ikat pinggang dua warna (bangun-tulak). 12. Tiba sudah Nyi Demang di rumah. Ia menghampiri Belibis Putih tanpa Joko Gedug. Ditanya di mana Si Joko Gedug, ia memberikan jawab bahwa Joko banyak permintaannya. Antara lain minta dibelikan sapu tangan berwarna merah. Mendengar itu Sang Belibis minta diri untuk menjemput Joko Gedug. Bertemulah ia dengannya di tengah jalan. Sehelai sapu tangan merah menutup dadanya. 13. Belibis Putih hinggap pada pundaknya (atas bahu), seraya bertanya, "Lama benar adikku pergi ke pasar. Apa saja yang kau beli?" Joko Gedug menjawab, "Aku telah membeli sapu tangan, berwarna jingga harga lima suku. Juga kubeli ikat pinggang bangun tulak seharga satu setengah suku. Jumlah semuanya menjadi tujuh suku." 14. Nyi Demang telah selesai memasak-masak. Oleh-oleh dari pasar dihidangkan semua kepada suaminya. Bertanya Ki Demang, "Berapa semua hasil penjualan telur Nyai? Cepat benar lakunya." Nyi Demang menjawab, "Semuanya laku dua puluh lima reyal, duapuluh delapan/reyal." Tidak pernah Ki Demang merasakan bahagia seperti saat itu, mengingat lamanya kedua laki isteri itu hidup menderita. 100 PNRI
15. Selama ia tidak bekerja di negara, kehidupannya tidak menentu. Kini apa yang dikehendaki terbeli. Ia dapat makan ketupat kegemarannya, beserta cabuk dan krupuk. Mereka tidur dengan rasa puas. Sang Belibis tidak bisa tidur. Ia minta petunjuk kepada dewa, lama-lama ia merasa mengantuk. 16. Keluar ia ke halaman rumah, lalu terbang dan hinggap di bubungan. Ia siap ingin tidur, terlena oleh embusan angin malam. Didengarnya suara dalam keadaan tidur, "Wahai Raja Anglingdarma. Ketahuilah olehmu, bahwa isterimu tercinta Dewi Setia, kini telah menitis di Bojanegara, bernama Ni Ken Srenggana. 17. Sebabnya engkau berubah rupa menjadi burung belibis. Oleh karena engkau telah melanggar hukum dewa sebanyak empat kali. Pertama kau telah memanah Sang Nagagini ketika sedang memadu kasih, keduanya kau bunuh si burung kutilang, yang ketiga kautolak permintaan Ken Uma. Dan yang keempat kautelah menyakitkan hati ketiga puteri raksasa. 18. Engkau memang telah ditakdirkan kelak untuk kawin dengan puteri dari Bojanegara. Tetapi kau harus tetap waspada. Janganlah kaulupakan pesan ini, bahwa jangan sekali-kali berhutang pati kepada sesama hidup, baik manusia ataupun binatang, Janganlah kau merasa kurang menerima kasih-sayang Hyang Pramesthi. Sesungguhnya kau sedang menjalani tugas memerankan suatu peristiwa." 19. Terbangun Sang Belibis dan telah memahami isi suara yang didengarnya dalam tidur. Ia sangat bersyukur seraya berkata, "Maaflah Dewa Agung akan segala kekhilafan hamba. Semoga hamba selalu diingatkan sebelumnya." Demikianlah hari telah menjelang pagi. Kedua laki-isteri Demang telah bangun. Sang Belibis berada di halaman rumah. 20. Demang Kalungsur menegurnya, "Apakah gerangan kerjamu di halaman rumah?"Dijawab oleh Belibis, "Semalam suntuk aku berada di halaman rumah menjaga pencuri." Tersenyum Ki Demang lalu berkata, "Ah kalau-kalau ular menggigitmu. 101 PNRI
Sebaiknya kau tidur bersama kami nanti malam. Aku takut di sini banyak sekali musang berkeliaran." 21. Beberapa lama kemudian Ki Demang membuat kandang untuk tempat sepasang kerbau dan anaknya. Tiap-tiap hari ia meluku sawah. Belibis bermaksud ingin ikut menggembala kerbau sambil menunggu tanaman padi. Tetapi Ki Demang melarangnya. Ia takut belibisnya diambil oleh orang negara, oleh karenanya ia minta agar belibis menjaga rumah saja. 22. Telah berlangsung agak lama Sang Belibis bertempat di dukuh Wanasari. Suatu ketika ia beijemur diri di halaman. Datanglah burung Sikatan jantan dan betina kemudian hinggap pada pohon Soka. Si Jantan berkata, "Sungguh bodoh si pemilik rumah itu. Tidak tahu bahwa terdapat dua guci emas di rumahnya. Ia lebih baik bekerja keras." 23. Si betina menjawab seakan-akan bertanya kepada jantannya, "Hai Kakak di mana tempat emas itu," Si Jantan menjawab, bahwa emas itu terpendam di dalam tanah. Di bawah tiang di dalam kandang. Tiang yang berdiri di sebelah timur. Mendengar percakapan itu Sang Belibis tersenyum, karena ia dapat mengetahui segala percakapan satwa hidup. Kemudian ia masuk ke dalam rumah. 24. Berkata ia kepada Ki Demang dengan suara pelan-pelan, "Aku beri tahu kepadamu Ki Demang. Di bawah tanah di dalam kandang terdapat emas, sebanyak dua guci. Galilah segera emas itu, di bawah tiang paling timur. Begitu kataku." Agak kasar Ki Demang menjawab, "Tidakkah kau mengada-ada Belibis? Bisa saja kau membuat berita." 25.Namun Nyi Demang menjawab dengan manis, "Apakah jeleknya kita gali sebentar sesuai dengan petunjuknya. Bagaimana kalau betul katanya?" Ki Demang menjawab agak keras, "Apakah kau kanak-kanak hatimu, tak tahu begitu saja percaya ucapan burung. Ia bunyi asal berbunyi. Lain dengan manusia, bicaranya mengandung arti, namun begitu banyak juga yang berkata bohong." 102 PNRI
26. Maka menyambunglah Joko Gedug dalam pembicaraan, "Paman, bagaimana mungkin kakakku berkata bohong. Marilah kita gali segera. Berapa sukarnya pekeijaan itu, saya sendiri yang akan menggali." Ki Demang tertawa mendengar ucapan Joko Gedug, katanya, "Bila nanti kugali dan kosong, sebaiknya kaupukul saja kemaluan si belibis dengan linggis." 27. Menjawab Joko Gedug, "Baiklah paman saksikan nanti setelah kita buktikan terlebih dulu. Tidak pernah aku bohong disebabkan menuruti bunyi burung." Ki Demang kemudian mengambil pacul beserta linggis seraya berkata, "Nah di mana tempat emas itu, tunjukkan kepadaku." Maka Sang Belibis pun menunjukkan tempat di bawah tiang timur. Ki Joko dengan keras mengayunkan paculnya ke tanah dan berhamburanlah emas keluar dari guci yang pecah. 28. Ki Demang tertegun tak berkata sepatah, melihat banyaknya emas terserak di depan matanya. Paculnya diletakkan, tangan direntangkan karena kegirangan. Sedang Joko Gedug menjatuhkan diri, kepalanya beijungkir balik di tanah, bergulingguling tak terperi girang hatinya. Sementara itu Nyi Demang keluar dari dalam rumah datang ke tempat tanpa bisa berkatakata, menyaksikan emas yang banyak. 29. Dua guci penuh dengan emas kencana. Rasa hati Nyi Demang seperti mimpi. Tak keruan rasa di dalam hati. Emas itu segera dijamahnya, kemudian diangkut ke dalam rumah. Katanya, "Kini kau percaya tidak terhadap bicara Belibis. Memang benar kata Joko, bahwa segala kata-kata Belibis Putih tidak ada yang tidak benar." 30. Dalam pada Ki Demang segera menghampiri si Belibis Putih. Dipeluk dan ditempatkan di atas kepalanya. Di bawanya mondar-mandir. Kata Belibis, "Baik turunkan aku ke tanah. Tidak patut ditenggerkan di atas kepala." Ki Demang menjawab, "Sepatutnya aku tempatkan di atas kepala, sebagai nadarku. Karena kau dapat mampu melihat jauh seperti pekerti pendeta sakti. Pandanglah aku ini sebagai bapakmu." 103 PNRI
31. Berkata Ki Demang selanjutnya kepada isterinya, "Sekali-kali jangan kau berani kepada Belibis Putih. Kita bersama-sama menyanjungnya, memelihara sesuai dengan kemauannya. Dan kau Joko Gedug kawallah dia, jangan berpikir yang bukanbukan. Biarpun dia berupa seekor belibis, namun ia mempunyai kelebihan, maka sepatutnya bila kita bakti kepadanya." 32. Sang Belibis berkata perlahan-lahan, "Wahai Ki Demang aku memberi pesan kepadamu dan harap kau ingat dan kau kerjakan; ialah ; Sebagai manusia hendaknya melestarikan budi pekerti yang baik, lagi pula Ni Demang bertabiatlah rahayu, kasihanilah orang-orang yang miskin." Ki Demang dan Ni Demang menerima petunjuk itu dan berjanji akan melaksanakannya. 33. Setelah beberapa waktu lamanya Belibis bertempat tinggal di Wanasari. Tampak kehidupan Ki Demang makin meningkat. Ia menjadi tetua di desa itu. Penduduk di Wanasari bertambah banyak. Waning desa berubah menjadi pasar besar. Banyak pedagang yang berdatangan berasal dari berbagai tempat. Bahkan beberapa orang memilih Wanasari sebagai tempat tinggal yang baru. Jumlah penduduknya lebih dari tiga ratus keluarga. 34. Desa-desa di sekitarnya kelihatan erat persaudarannya. Masingmasing pekarangan dibatasi oleh pagar-pagar hidup. Meniru tata-pekarangan di negara. Demikianlah Dukuh Wanasari. Ki Demang kini telah menjadi orang kaya. Memiliki banyak kerbau dan sapi, tidak lagi dikurung dalam kandang karena tidak muat tempatnya. Suatu hari Ki Demang mengenakan pakaian bagus lengkap dengan kain pilihan, ditangannya tergantung sejumlah uang reyal. 35. Hanya seorang yang mengiring dia dari belakang. Menuju ke rumah seorang saudagar kaya bernama Ki Byantara. Setelah mereka duduk berhadapan, maka berkatalah Saudagar itu, "Apakah maksud Ki Demang datang di rumah saya?" Jawab Ki Demang, "Aku datang ke mari hendak membeh salah satu dari rumahmu, sekiranya kau setuju." 104 PNRI
36. Berkata Ki Byantara agak mer.yindir; di dalam hati ia menghina kemampuan beLi Ki Demang, katanya seraya tersenyum, "Harga rumahku seribu reyal, termasuk rumah di muka dan di belakang. Namun yang satu jika kau yang akan membeli aku berikan harga dua ratus reyal. Kau tidak melihat diri, seperti pekerti orang mabuk. Kainmu saja sudah robek-robek, bagaimana mungkin mendapat uang sebanyak dua ratus reyal. 37. Pekexjaan isterimu beijualan daun jati. Penghidupanmu dari menjaring burung." Tanpa menghiraukan kata-kata Ki Demang segera menyerahkan uang sebanyak dua ratus reyal. Maka Ki Byantara duduk mundur dan berkata, "Aku tidak menjual rumahku, tidak kuperbolehkan kau beli." Maka membentaklah Ki Demang, "Sampai hati kau jika kuadukan hal ini kepada Ki Patih? 38. Karena kau sendiri telah mengatakan akan menjual kepadaku. Aku laporkan segalanya kepada Kyai Jaksa. Pasti kamu yang disalahkan, akhirnya mendapat hukuman yang setimpal." Takut juga Ki Byantara, katanya, "Baiklah kau pindahkan rumahku, asal tidak kau melapor pemerintah." Cepat-cepat Ki Demang kembali pulang, minta bantuan tenaga kepada orang kalang. 39. Orang-orang kalang di desa itu berdatangan ikut membantu memindahkan rumah dengan menerima upah. Dibawah pimpinan ketuanya. Selesailah tugas memindahkan rumah dalam waktu sehari. Kemudian didirikan kembali rumah Ki Demang yang baru dibeli oleh para undagi.Tinggidanbagus. Ki Demang kaya raya sudah, banyak memberi makan kepada orang-orang miskin, dananya banyak. 40. Demikian pula Nyi Demang tak bosan-bosan memberikan sumbangan kepada orang yang sedang keputusan rejeki. Banyak yang kemudian bangkit menjadi orang kaya. Dagang niaganya berkembang menghimpun banyak pedagang. Masingmasing diberi pekeijaan sesuai dengan keinginannya hingga 105 PNRI
menjadi pusat pengungsian orang banyak. Suami-isteri berhati lapang, tak terbilang penghuni yang mendirikan rumah di tanah milik Ki Demang. 41.1barat sungai, aliran air tak pernah putus. Maka bertambah ramai pasar tempat berkumpul para pedagang dan terwujudlah sebuah bandar penuh dengan berbagai bangunan para pedagang besar. Beberapa rumah penghuni telah berada di pinggir sungai. Diceritakan bahwa suatu ketika Belibis berada di pangkuan Ki Demang. Ia telah diangkat sebagai anak oleh Ki Demang dan untuk tempat tidurnya telah dibuat khusus dari emas. 42. Berkata Belibis Putih kepada Ki Demang, "Ketahuilah Paman, bahwa aku akan meninggalkan Desa Wanasari." Dijawab oleh Ki Demang, "Janganlah tuanku pergi meninggalkan kami. Lebih baik mintalah segala sesuatu yang indah dan bagus. Apa pun yang dikehendaki akan kuusahakan. Dan sekiranya ada kesalahan yang kami perbuat sudilah memberikan maaf. 43. Sekiranya ananda ingin mempunyai isteri sebagaimana layaknya seorang manusia. Bapakmu akan mengawinkannya dengan gadis yang berparas cantik-cantik. Sekali pun jumlahnya sebanyak lima orang akan sanggup kulaksanakan. Apalagi yang dikehendaki?" Tertawa Belibis sambil menjawab, "Segala kasih-sayangmu kuterima, aku tidak ingin kawin. 44. Kelak aku akan kawin lagi dengan seorang puteri di Bojanegara. Namanya Srengganawati. Tetapi keadaan diriku seperti ini bagaimana untuk melaksanakannya? Diriku berupa satwa burung. Permohonanku kepada Dewa Agung, sekiranya aku tidak berhasil mengawini puteri Bojanegara tersebut, aku lebih baik mati saja." 45. Dengan pelan-pelan Sang Belibis turun dari pangkuan Ki Demang, kemudian beijemur diri di halaman. Adalah sepasang burung kepodang datang, kemudian hinggap pada ranting pohon. Betinanya bersiul-siul seolah-olah bertanya kepada jantannya, "Wahai kakak apakah sebab-musababnya tampak 106 PNRI
cahaya terang di bawah pohon kemuning yang tumbuh di halaman? Beri tahulah saya. 46. Lagi pula tampak sinarnya sampai pada pohon-pohon sekitarnya. Apakah sebenarnya rahasianya?" Kepodhang jantan bersiul-siul seakan-akan memberi jawaban, "Ketahuilah adinda, bahwa di tempat itu terdapat emas terpendam, persis di bawah pohon kayu, jumlahnya dua peti." Mendenger percakapan kedua burung itu Belibis Putih tersenyum senang. 47. Ia tahu apa arti percakapan kedua burung itu. Kemudian terbanglah ia ke balai-balai di depan rumah. Dipanggilnya agar Ki Demang datang dan duduk di dekatnya. Maka keluarlah Ki Demang dari dalam rumah, diikuti oleh Joko Gedug. Apakah gerangan maksud ananda, memanggil saya menghadap? Belibis berkata, " Harap Ki Demang mengambil alat penggali. 48. Dan Joko ambillah sebatang linggis untuk menggah tanah di bawah pohon Kemuning. Segera kaulakukan. Ada emasnya terpendam di. sana, banyak dua peti penuh." Tergopoh-gopoh Ki Demang mengambil alat-alat penggali. Sedang Joko Gedug cepat-cepat pergi mengambil linggis tanpa rasa curiga sedikit pun. *
49. Mereka gali bersama-sama tempat yang ditunjuk oleh Belibis Putih, lebarnya sekitar dua hasta. Tak lama tutup peti tertusuk oleh linggis. Ki Demang pun berteriak keras, "Aduh-aduh Gusti Belibis Putih. Benar-benar tajam dan jauh penglihatannya. Apa yang dikatakan menjadi kenyataan." Joko Gedug telah merentangkan kedua tangannya, sementara Ki Demang memanggil istrinya. 50. Ny Demang pun segera datang. Pandangannya berkunangkunang menyaksikan gemerlapnya emas di dalam peti. Ia segera lari untuk menutup pintu pagar di luar. Jangan sampai dilihat orang.. Menjaga jangan sampai kedatangan perampok. Maka diangkutlah emas temuan itu ke dalam rumah dan disimpan menjadi satu dengan permata. 107 PNRI
51. Kedua suami-isteri bukan kepalang gembiranya. Kini mereka benar-benar menjadi kaya-raya, tak terbilang hartanya. Terkabul segala kehendaknya. Ia mampu bersaing dengan pedagangpedagang kaya dari Bugis, Makasar, Bali, Ambon maupun dari Buton. Kini pintu pagarnya diberi penjagaan khusus, bertingkat tiga dilengkapi dengan cendela yang tinggi. Seperti kediaman bupati. 52. Enak dan terpandang kehidupan Ki Demang. Wanasari berubah menjadi kota, yang memiliki bandar besar dengan pekerja cukup banyak. Pedagang dari mana-mana berdatangan. Dalam pada itu Belibis tidak diperbolehkan keluar rumah. Ki Demang melarangnya. Semuanya sangat kawatir jika diketahui Belibis itu oleh Raja. Pasti akan diminta oleh Raja dan akibatnya tidak baik.
108 PNRI
19. ASMARANDANA. 1. Kita tinggalkan cerita Demang Kelungsur yang hidup bahagia dan membangun kemakmuran desanya. Kita ceritakan peristiwa yang lain di negeri Bojanegara. Tanahnya subur, tenteram dan banyak penduduknya. Para peijurit dan rakyat kecil hidupnya senang. 2. Tanahnya subur berkat aliran air sungai, kotanya meluas dari pantai hingga pegunungan, menghadapi sungai besar. Tenteram kehidupan para penggawa kecil, karena sandang dan pangan melimpah dan murah. Tidak ada orang mencuri. Adapun nama Sang Baginda ialah Maharaja Darmawasesa. 3. Diceritakan, bahwa Sri Baginda tidak berputera laki-laki. Hanya berputera seorang wanita yang cantik rupanya tiada tandingannya. Parasnya seperti Dewi Ratih yang turun ke dunia. Ia bernama Retna Srenggana. 4. Kemana pun kita mencari wanita seperti dia, tidak akan bersua. Tingginya cukup lurus menarik, dikenal oleh hampir seluruh jagat. Karena kecantikan Puteri Bojanegara benarbenar tiada yang menyamainya. 5. Banyak sudah para menteri pejabat tinggi di dalam Jawa maupun di luar Jawa (Seberang) yang melamarnya untuk menjadi suami Sang Retna, tetapi ditolak beralasan masih ingin sendirian saja. Ia dimanja sepenuhnya oleh paduka ayahanda dan ibunda. 6. Puteri itu memiliki ketrairtpilan yang luar biasa, mahir pula dalam ilmu sastra. Suaranya demikian merdu apabila ia membaca buku. Kawan sejenisnya pun tergila-gila padanya. Diceritakan ketika matahari tenggelam di langit barat. 109 PNRI
7. Waktu itu harinya Anggara (Selasa), bulan bersinar penuh di langit. Retna Srenggawati dihadap oleh para dayang-dayang berada di halaman istana. Mereka bercanda sampai jauh malam. Emban dan inya duduk di tempat paling depan. 8. Sang Puteri tidak mau masuk kembali ke dalam istana, meskipun semua dayang-dayang telah kelelahan dan tertidur di halaman. Akhirnya puteri pun tertidur sambil duduk. Di dalam tidur ia seolah-oleh melihat nyala api di depannya. Serta terdengar suara nyaring. 9. Ketahuilah bahwa nyala api ini tidak lain adalah nyala api puteri yang meninggal masuk ke dalam perapian. Puteri dari negeri Malawa bernama Ambarawati. Bersamaan dengan itu nyala api tadi hilang masuk kemudian ke dalam hidung Sang Puteri. 10. Sang Retna sangat terkejut karenanya. Ia terbangun dan sadar bahwa ia hanya bermimpi. Ia sangat heran dan berkata di dalam hatinya. Sesungguhnya dewa telah memberi sesuatu yang baik bagi dirinya. Ia sangat berterima kasih. Semua hambasahaya dibengunkannya. 11. Semua hamba-sahaya telah bangun. Mereka mencuci muka masing-masing, kemudian menghadap kembali kepada Sang Retna. Hampir semuanya bertanya-tanya. Apa gerangan maksud Sang Retna. Lagi pula mereka heran mengapa paras tuannya seperti bunga layu. 12. Sangat menarik hati, cahayanya mirib bulan sedang purnama sangat berlainan dengan wajah sebelumnya. Mereka saling berbisik diketahui oleh Sang Retna, katanya, "Apakah yang kalian bicarakan itu." Menyembahlah Inya dan berkata, 13. "Adapun yang kami bicarakan semua tidak lain keadaan Sang Puteri. Sangat berlainan dengan sebelumnnya. Kini wajah Sang Puteri seperti bunga layu, cahaya seperti bulan. Menambah kecantikan yang membangkitkan rasa rindu." Sang Puteri tersenyum mendengarnya, 110 PNRI
14. "Itulah hasilnya orang yang tidur semalam suntuk. Tidak mendapat bagian cahaya. Aku bangun sendirian, duduk sambil memejamkan mata sekejap. Tiba-tiba segumpal cahaya masuk ke dalam diriku." Sementara itu hari telah pagi, maka bersiaplah Sang Kesuma menghadap ayahanda. 15. Tiba di penghadapan ayahanda Sang Raja, ia lihat ayahanda melambaikan tangan untuk mendekat. Sampai di depan ayahanda iapun berjongkok mencium kaki. Sementara Sang Ayah memeluk leher puterinya, kemudian mencium ubun-ubunnya. 16. Berkatalah Sang Baginda kepada puteri jantung hatinya, "Mengapa ananda sayang, selama tiga hari kau tidak menghadap ayahanda. Ayahanda sangat kawatir, jangan-jangan ananda terserang penyakit. Ayahanda telah bermaksud untuk mengirimkan suiuhan ke sana. 17. Dan sungguh heran ayahanda hampir-hampir tidak kenal wajah ananda sendiri. Sangat hijau tampaknya seperti bunga yang layu, bercahaya lembut menambah kecantikan ananda. Aku tidak dapat memastikan mungkinkah karena ananda pandai bersolek diri." 18. Sang Puteri menyembah sambil berkata kan segala sesuatu yang dialami, ketika seolah-olah menerima gumpalan cahaya dari awal hingga akhir. Sang Baginda tak kan rasa heran, katanya,
perlahan, menceritaia merasakan dirinya di dalam tubuhnya, dapat menyembunyi-
19. Wahai Sebetan kau undangkan segera kepada seisi istana, bahwa ananda puteri sekarang bernama Dewi Ambarawati. Sampaikan berita ini kepada Sang Patih, agar diumumkan pula kepada semua penduduk di negara ini." 20. Yang mendapat perintah segera keluar setelah menyembah kepada Baginda. Diundangkan berita itu oleh menteri yang berwenang, serta disampaikan pula kepada Sang Patih. Begitulah Sang Retnayu Srenggana sejak itu berganti namanya. 111 PNRI
21. Namanya kini menjadi Dewi Ambara. Berita itu segera tersebar ke seluruh negara, termasuk para pegawai tinggi di Bojanegara sendiri. Diceritakan, ketika itu bertempat seorang pendatang dari seberang bernama Bremana dan Bremani, yang tinggal di Giringwana. 22. Ia diberi kedudukan sebagai petinggi di sana, bertempat di pekarangan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Tidak banyak orang yang tinggal sedesa dengan dia. Isterinya sedang mengidam. Ia minta kepada suaminya untuk dicarikan madu lebah. 23. Aku ingin sekali makan lebah yang muda serta madunya, kata isteri Bramana. Hendak kubuat pecal lebah. Seraya mencium kening isterinya Bramana minta kepada isterinya untuk menjaga rumah. Ia sendiri akan pergi mencari madu. 24. Maka pergilah Bramana ke hutan membawa bumbung serta kudhi, yang digantungkan di bahu. Diceritakan bahwa belum lama Bramana pergi ke hutan datanglah ke rumah Bramana seorang penjelmaan jin (gandarwa). Ia baru turun dari pohon. 25. Kepergian Bramana telah diketahuinya, sebab itu ia hendak meniduri isteri Bramana dengan merupakan dirinya seperti rupa suami Bremani. Lengkap dengan pakaiannya sekali. Iapun membawa bumbung dan mendekati rumah kediaman Bremani. 26. Tiba di rumah ia pun duduk di balai-balai seperti biasanya. Bremani sama sekali tidak tahu bahwa manusia itu bukan lakinya, tetapi gandarwa yang menjelma. Apalagi dibawanya lebah beserta madu. Rupanya tidak berbeda dengan Bramana. 27. Bramani bertanya agak tercengang, "Alangkah cepatnya kau tiba kembali dengan membawa madu dan lebah." Yang menjelma menjawab, "Sudah untungmu adinda. Sebab di hutan sebelah pinggir itu terdapat sebungkah sarang lebah. 28. Maka kuambil dengan lebahnya sekali. Sangat banyak madu di dalamnya. Aku cepat-cepat pulang karena merasa rindu 112 PNRI
kepadamu. Marilah kita tidur. Dan dipeluknya Bramani dibawa ke dalam tempat tidur." 29. Selesai mereka bersanggama, maka yang menjelma pura-pura keluar rumah dan pulang kembali ke tempat asalnya, di pohon besar. Tak lama kemudian datanglah Ki Bremana dari hutan. Ia membawa madu dan lebah. Langsung masuk ke dalam rumah. 30. Dijumpai isterinya serta diciumnya dengan kasih mesra. Katanya, "Adinda sayang. Aku telah membawa pesananmu lebah dan madu. Tak terkira rindu hatiku kepadamu. Marilah kita sebentar bertiduran." 31. Nyi Bremani tak menjawab sepatah. Ia menundukkan kepada sambil mencucurkan air mata. Baru saja suaminya tidur bersama, kini mengulang permintaan untuk tidur. Aku tidak bisa mengerti, siapa tadi yang mengajak tidur, sambil disapunya airmata. 32. "Baru saja kau mengajak aku tidur dan belum kering aku mencuci tangan." Maka membentaklah si laki-laki," Betulkah kata-katamu? Biar aku mati, tak akan kukatakan yang tidak benar, jawab isteri Bremana sungguh-sungguh. 33. "Inilah buktinya masih utuh. Lebah dan madu yang kaubawa tadi," sambungnya seraya terbata-bata. Sementara airmatanya mengalir deras seperti keluar dari perian, akibat hatinya yang gundah. Bremana sangat marah mendengar kata-kata isterinya. 34. Ia dengan geram berteriak-teriak, "Siapa orangnya berani mengganggu isteriku. Tidakkah ia tahu, aku bukan penduduk di sini. Aku orang perantau, tidak takut berkelai maupun adu tusuk, Berani dia berbuat jahat terhadap Bramana. 35. Aku akan pura-pura bersembunyi agar si "busuk" kembali lagi ke rumah ini. Katakan kepada siapa saja yang bertanya, bahwa aku pergi ke kota." Tak lain yang diharapkan agar orang yang menyerupai rupa Bramana segera datang kembali. 113 PNRI
36. Biarlah dia dapat leluasa bertemu dengan aku bertanding satu lawan satu. Tak akan aku mundur sekali pun dia mempunyai kesaktian, sebab ia telah berbuat jahat. Ikut makan kepunyaanku. Pasti akhirnya akan mendapat balasan apa sesungguhnya yang diandalkan. 37. Baiklah kau tinggal di rumah seperti biasa, aku akan bersembunyi." Ki Bramana keluar sambil membawa pedang terhunus. Begitulah setelah dilihat oleh gandarwa, bahwa Ki Bramana meninggalkan rumah ia segera turun dari pohon besar. 38. Kehendaknya ingin menjelma lagi sebagai tuan rumah dan berubahlah ia menjadi ujud Bramana, lengkap dengan pakaiannya sekali. Dapat berkesan di hatinya ketika bersanggama dengan Bramani, oleh sebab itu ia ingin mengulangi perbuatannya.
114 PNRI
20. DURMA
1. Setiba di rumah ia pun duduk di balai-balai, mendampingi Bramani. Kakinya ditarik agak ke atas, punggungnya bersandar pada tiang. Hatinya senang duduk bersanding dengan isteri Bramana. 2. Tiba-tiba Bramana asli muncul setelah dilihatnya ada orang laki-laki lain masuk ke pekarangan. Kini yang dilihatnya duduk bersanding dengan isterinya. Timbullah amarahnya, pedangnya ditarik seraya menggigit gigi. 3. Ia telah berada di depan Braman palsu. Gemertak suaranya menunjuk mukanya, "Orang mana kau, anjing berani duduk bersanding dengan isteri orang lain. Tak tahu aturan kau, pantas ditempeleng kepalamu." 4. Bramana palsu tak kurang garangnya, "Kau itu orang dari mana. Masuk ke rumah orang sambil menghunus pedang. Pantasnya kau ditelanjangi orang macam kau tak tahu sopan-santun." 5. Berkata demikian Bramana palsu sambil memutar-mutar senjata tusuk, diimbangi oleh Bramana asli yang memutar pedangnya. Keduanya bertempur dengan berani, saling bersumbar, saling mengerahkan kepandaiannya. Keduanya memang tak kenal takut. 6. Ulah Bramana setan seperti burung perenjak dengan penusuk berputar di tangan. Bersama-sama menyerang, saling menangkis pedang melawan penusuk. Berganti-ganti menyerang dan menangkis, sangat ramainya. 115 PNRI
7. Keduanya ingin saling inerobohkan lawannya, tusuk-menusuk dan pedang-memedang. Tak seorang pun yang terluka. Berganti mereka saling menggunakan lembing namun tak seorang pun yang kalah. Keduanya memang perwira. Maka bergelutlah mereka tanpa senjata. 8. Berbagai macam senjata tidak ada yang bisa melukai mereka. Maka keduanya saling memukul dengan kayu, hingga patah semuanya, namun tidak juga jatuh salah satu. Mereka bergelut dan bertinju, saling tarik dan saling naik di atas punggung lawan. 9. Ken Bremani sangat bingung. Ia tidak bisa membedakan mana suami dan mana yang bukan; yang sedang berkelai sama-sama rpa dan suaranya. Demikian juga segala tindak dan ulahnya. Putus asa ia mengeluh, "Manakah sebenarnya suami saya?" 10. Lama-lama hatinya kesal dan kaku. Ia mengeluh dan meratap kepada Dewa, "Bagaimana harus kulakukan ya Batara. Siapa di antara mereka yang bukan palsu. Aku tidak bisa memilih suamiku. Hatiku sangat kawatir karenanya. 11. Kalau-kalau suamiku yang benar yang meninggal dunia, harus bagaimana kulakukan? Bagaimana aku tahu bahwa yang palsu yang mati? Ah benar-benar pilihan yang sulit bagiku." Maka pergilah Bramani mendekati yang sedang ramai mengadu kekuatan. 12. Ia berteriak keras ditujukan kepada keduanya, "Berhentilah sebentar. Jangan berkelahi lagi. Janganlah aku diperebutkan. Kalian berdua bukan suami saya. Kuminta kalian minta peradilan kepada negara. 13. Aku tahu, bahwa Raja Bojanegara terkenal sangat bijaksana. Mahir dalam segala hukum dan perundangan. Siapa yang menang dalam perdata itulah suami saya. Kita semua harus tunduk kepada keputusan Sang Baginda. 116 PNRI
14. Bukankah Raja itu pengganti dari Dewa. Beliaulah yang mampu bertindak secara adil. Kalian berdua bertengkar karena memperebutkan diriku. Sekiranya kalian berdua sama-sama meninggal dalam perkelahian, maka orang lain yang mengambil keuntungan. 15. Jika kalian berdua benar-benar sayang kepada diriku. Rebutlah saya jangan dengan kekerasan. Turutilah kata-kata saya, marilah kita bersama-sama ke kota." Bramana asli berkata, "Apa yang saya takutkan, karena sayalah yang mempunyai isteri." 16. Demikian juga Bramana setan berkata keras, "Aku pun tidak takut membawa kau ke perdata, karena dia sungguh benar isteriku. Keduanya dan Bramani segera pergi menuju ke kota. Tak henti-henti mereka selalu bertengkar sepanjang perjalanan. 17. Untuk menenangkan keduanya Bremani berjalan di tengah. Bramana asli memegang tangan kanannya, yang palsu memegang tangan kiri. Sampai bosan Bramani melerai keduanya. Bramana asli berkata manis, 18. "Janganlah adinda kawatir tentang diriku. Akulah lakimu yang benar. Bersakit-sakit kita pada waktu di tanah seberang, sampai kita bertempat tinggal kemudian di Tanah Jawa. Akhirnya kau diaku isteri oleh seseorang yang memalsukan dirinya." 19. Bramana setan menyela pembicaraan itu, "Jangan kaudengarkan kata-kata itu adinda, bisa-bisa kau tertipu karenanya. Akulah suamimu yang sungguh." Bramani sudah bosan melerai mereka. Ia diam menjadi tontonan orang selama perjalanan.
117 PNRI
21. DANDANGGULA
1. Setiba mereka di dalam kota langsung menghadap ke kepatihan. Mereka menunggu di depan pintu pagar, Sang Patih tengah bercakap-cakap dengan isterinya. Sekonyong-konyong seorang pelayan datang menghadap, memberitahukan bahwa di luar pagar terdapat tamu yang saling bertengkar. Mereka adalah Petinggi Bramana yang datang dari luar kota. 2. Katanya, mereka minta pengadilan Sang Patih. Sang Patih mengisyaratkan agar tamu-tamunya diminta untuk menghadap dan diperintahkan agar masuk. Kedua Bramana duduk menundukkan kepala di hadapan Sang Patih. Terbengong-bengong Sang Patih melihat keduanya. Karena rupa dan pakaian mereka kembar tidak berbeda.
3. Lebih-lebih setelah mendengarkan laporan mereka dari awal hingga akhir, semakin tercengang sang Patih. Diperintahkannya untuk memanggil para penggawa yang lain khususnya petugas perdata beserta. para jaksa semuanya. Mereka semuanya segera tiba di kepatihan, lengkap dengan pembesar, karena mendapat perintah dari Nayaka pertama. Berkatalah Sang Patih Purwanegara, 4. "Saudara-saudara semua diminta untuk memberikan keputusan mengenai sengketa Petinggi Ngrandulawe. Keduanya saling mengaku menjadi suami yang sah dari isterinya. Yang bohong dihukum pati. Semua penggawa tidak ada yang mampu memberikan saran, bingung belum pernah menghadapi perkara serupa. Begitu pula para jaksa tidak ada yang sanggup dan mengembalikan perkaranya. 118 PNRI
5. Mereka sepakat untuk membawa peristiwa tersebut ke hadapan Sang Baginda. Mengingat Sang Baginda terkenal berpandangan jauh. Di hari Senin mendatang semua diharapkan menghadap di bawah pohon beringin kembar. Patih Purwanegara menyetujui usul tersebut. Maka pertemuan hari itu dibubarkan, menunggu tibanya hari Senin. 6. Pada hari yang ditentukan Sang Baginda menerima para penggawa menghadap. Para nayaka dan bupati serta para satriya duduk memenuhi balai penghadapan. Tidak terkecuali para tumenggung, .demang, arya serta para ngabehi. Paling depan duduk Ki Patih Purwanegara dan Tumenggung Natapraja. Didampingi oleh Ki Arya Kumitir serta Demang Kulan dara di belakangnya. 7. Di samping agak sebelah kiri, berturut-turut duduk Demang Padasarana, Arya Wahana, Demang Sabawinarna, serta Rangga Janur. Disambung selanjutnya oleh Arya Jurudemung. Tak lama kemudian Sang Baginda tampak memasuki ruangan pangrawit dari arah manguntur. Siap sudah Baginda menerima pelaporan. 8. Maka bersiagalah semua peijurit yang mengawal, semuanya mengambil tempat masing-masing. Sementara Sang Baginda langsung menuju ke kursi berwarna kuning terbuat dari emas dan dihiasi dengan bermacam permata indah. Di atas hamparan permadani, dikelilingi oleh dayang-dayang lengkap dengan peralatan upacara. Di hadapan Baginda duduklah para neyaka. 9. Semuanya yang menghadap duduk dengan menunduk. Demikian rendah mereka menunduk seolah-olah berdekatan kepalanya dengan tanah. Maka berdatang sembahlah Sang Patih, "Maafkanlah hamba Baginda karena hamba menghadapkan seorang penggawa Paduka bernama Bramana yang berasal dari seberang. Dewasa ini ia bertempat tinggal di Randulawang dan berkedudukan sebagai petinggi. 119 PNRI
10. Ia memperisteri seorang perempuan bernama Bramani, namun diaku isteri oleh orang lain yang rupanya serupa dengan dia. Tiada penggawa yang mampu memberikan keputusan siapa sebenarnya suaminya yang asli, karena tak ada perbedaan rupa biarpun hanya sedikit. Itulah sebabnya para nayaka mohon ampun dan maaf atas kekurangmampuannya memutuskan perkara." 11. Bersabdalah Sri Badinga, "Kau panggil ketiganya untuk menghadap lebih dekat. Aku ingin menyaksikan rupanya." Ki Patih meneruskan perintah Baginda untuk menghadapkan Bramana dengan isterinya. Maka datanglah Bramani bersama kedua orang laki-laki, seorang di kiri dan seorang di kanan. Ketiganya menyebah kepada Sang Nata. 12. "Wahai perempuan Bramani, laki-lakimu yang mana?" Demikian tanya Sri Nata. Bramani segera menyembah dan berkata, "Hamba mohon marah dan maaf paduka, karena hamba tidak mampu melakukannya. Sekiranya hamba memilih yang kiri. Bagaimana jadinya kalau laki-laki sayang yang kanan. Sebaliknya jika hamba pilih yang kanan, bagaimana kalau yang kirilah yang benar?
13. Itulah mengapa hamba sangat mohon marah untuk memilihnya. Terserah kepada keputusan Baginda, mana kiranya yang paling tepat." "Sebaiknya kuadu keduanya," kata Baginda. "Berperang satu lawan satu, siapa yang menang itulah yang memiliki dirimu." Maka menyembahlah Bramani,
14. "Hamba mohon keadilan yang tepat Baginda. Tidak berguna hamba bawa laki-laki itu menghadap Paduka sekiranya hanya demikian keputusan yang diperoleh. Sama saja dengan keputusan orang gunung, cukup apabila diadu keduanya seperti pekerti anak-anak. Sebelumnya mereka telah berkelai, maka hamba mohon peradilan perdata, hamba hentikan mereka saling berkelahi." 120 PNRI
15. Bramana asli berdatang sembah, "Mohon maaf Baginda, bahwa isteri hamba bawaan dari seberang. Dan kini di Tanah Jawa diakui oleh orang lain. Hamba mohon keadilan Paduka." Bramana setan menyambung berdatang sembah, "Hambamu Sri Paduka. 16. Bramani benar-benar isteri hamba. Sejak kecil hingga menjadi dewasa ia, kemudian menjadi isteri saya. Sekarang ada orang yang mengaku dia. Maka hamba mohon keadilan." Mendengar pembicaraan kedua laki-laki itu Bramani menyembah mohon belas kasih, "Siapa lagi yang hamba harapkan untuk menghilangkan kegelapan yang menimpa diri hamba, selain Paduka." 17. Sri Baginda tidak segera dapat memecahkan masalah itu, terlalu pelit. Tiba-tiba bersabda ia keras-keras, "Patih Purwanegara. Kau bawa mundur ketiga orang ini. Jagalah mereka sebaikbaiknya." Kemudian Baginda meninggalkan pasewakan, kembali ke istana. Maka bubar semua yang menghadap. Setiba Sang Raja di istana, beliau langsung menuju ke ruang pamelengan, tempat menyepi. 18. Beliau memuja kepada Dewa mohon petunjuknya. Selama tujuh hari tidak diadakan pasewakan, karena Baginda sedang memusatkan ciptanya guna memecahkan masalah rumit. Perbawanya terasa di seluruh negeri. Para nayaka ikut prihatin, sunyi suasana di kota. Diceritakan peristiwa yang lain, tersebutlah Sang Belibis Putih tengah bertengger di dalam hutan, tidak memberi tahukan kepergiannya kepada Ki Demang. 19. Ia berada di atas pohon besar, membersihkan bulu-bulunya. Tak lama kemudian datang sepasang burung gagak dan beristirahat tak jauh dari tempat hinggap belibis. Betina gagak berkata kepada jantannya, "Kulihat keadaan Bojanegara suram dan sunyi, gelap menakutkan hati. Tahukah kakak sebabnya? Lain benar keadaannya dengan keadaan sebelumnya." Menjawablah gagak jantan, 20. "Tentu saja keadaan negeri itu tampak suram dan gelap. Karena rajanya sedang berduka hati. Ada Bramana bertengkar 121 PNRI
dua orang memperebutkan isteri. Serupa dan sama suaranya. Sampai perkara itu ke hadapan Sang Raja, namun Baginda Darmawasesa sendiri sangat kesulitan untuk memecahkan perkaranya, melerai pertengkaran kedua Bramana. 21. Sesungguhnya seorang di antaranya benar-benar manusia, sedang yang lain setan yang mengubah rupa dan mengaku menjadi suami Bramani. Sekiranya aku yang diminta memecahkan persoalan, akan kuselesaikan dengan mudah." "Bagaimana mungkin kau melakukannya," tanya betina gagak." Mencari siapa yang asli di antara Bramana yang kembar?" Dandang jantan pun memberi tahukan caranya. 22. Apa yang dikatakan kepada betina memang segera dapat menyelesaikan persoalan. Semuanya itu didengar oleh belibis, sebelum kedua gagak terbang lagi meninggalkan tempatnya. Tak ada kata-kata Dandang yang terlupa, segalanya dihimpun oleh Belibis Putih. Maka pulanglah kembali ia ke desa Wanasari. Kedatangannya dilihat oleh Nyi Demang. 23. Agak lama ia tidak melihat Belibis itu, ia mencari ke sana ke mari dengan hati yang rusuh. Kemana gerangan gustiku pergi, dimintanya Ki Demang untuk turut mencari. Suaminya telah menegurnya, tidak membenarkan sikapnya yang kekanak-kanakan. "Itu karena cintaku kepadanya tidak ada taranya," begitu jawab Nyi Demang. 24. Maka sangat girang hati mereka menyambut kedatangan Belibis Putih. "Itulah anakmu datang," kata Ki Demang sambil tersenyum. Bisa saja kau membuat hati kita kawatir. Kemana saja puteraku pergi, tanpa memberi tahukan kepada kita di rumah." Sang Belibis menjawab, "Tinggal di rumah saja aku merasa bosan. Aku pergi ke hutan dan mendengar berita penting. 25. Dewasa ini Kanjeng Narapati di Bojanegara sedang dalam keadaan beduka cita. Karena tidak dapat memecahkan persoalan yang mengganggu ketenangan hatinya. Ada dua orang Bramana yang mempunyai rupa sama saling memperebutkan 122 PNRI
isteri. Semua nayaka dan jaksa tak seorang pun yang mampu memberi keputusan nasib Bramana itu. Menghadaplah paman segera kepada Baginda, masuklah ke kota. 26. Jika pamanda dapat menyelesaikan masalah ini dan membedakan Bramana yang kembar, pasti Sang Raja akan sangat gembira." Ki Demang menjawab, "Apakah yang kuandalkan." "Aku akan memberitahukan sesuatu kepada paman," kata Belibis. Seraya dibisikkan kata-kata yang membesarkan hati Ki Demang, segala yang didengarnya dari burung gagak di tengah hutan. 27. Setelah Ki Demang berganti pakaian, ia minta diri pergi menuju ke kota Bojanegara. Tiba di sana terus saja berjemur diri di bawah pohon beringin kurung, menunggu panggilan Sang Baginda. Ketika itu Baginda sedang menerima laporan para penggawa. Bersemayam di pasewakan di hadap lengkap oleh semua nayaka. Bramani juga telah duduk paling depan, diapit oleh dua laki-laki di kiri dan kanan yang tak henti-henti bertengkar. 28. Menyembah Bramani seraya berkata, "Dewaji hamba mohon paduka dengan sangat menitahkan adanya keadilan yang tepat. Jika tidak hambamu akan cepat-cepat mati, akibat bersuami dua orang. Malam-malam minta tidur kedua-duanya. Bagaimana harus hamba turuti mereka. Masing-masing minta kepada saya untuk meninggalkan salah satu."
12? PNRI
22. PANGKUR.
1. Demikian sembah Bramani sambil meratap, membuat hati semua yang mendengar menjadi terharu. Sangat kacau dalam hati Baginda, memandang beliau ke luar. Tampak seseorang beijemur di bawah pohon beringin kerajaan. Maka bersabdalah beliau kepada Ki Patih, "Siapakah gerangan yang berjemur itu? 2. Apakah maksudnya beijemur di sana?" Sang Patih segera mengadakan pemeriksaan. Ia berdatang sembah kemudian, "Ki Demang Kalungsur ingin dapat menghadap Baginda." Baginda memberi idzin dan dipanggillah Demang Kelungsur untuk segera menghadap. Ia menunduk di hadapan Baginda, menunggu perintah, 3. "Wahai Demang, agak lama kau tidak menghadap ke mari. Di manakah kau sekarang? Demang Kelungsur menyampaikan laporan, bahwa kini bertempat tinggal di tepi hutan. Ia menghadap Baginda setelah mendengar berita dari orang banyak tentang keresahan Baginda hingga menyuramkan negara." 4. Sang Nata bersabda, "Benar berita yang kaudengar. Hatiku sangat kacau menghadapi masalah Bramana kembar yang saling memperebutkan isterinya. Aku tidak bisa mengatasinya. Demikian juga semua jaksa dan penggawa pradata tidak seorang pun yang mampu. 5. Apabila Ki Demang mampu memberikan keputusan yang adil mengenai masalah perebutan isteri ini. Kuhadiahkan kepadamu sesuatu yang besar." Menyembah Demang Kelungsur, "hamba sekedar menjalankan perintah paduka. Semoga dapat berhasil karena restu Baginda." 124 PNRI
6. Enak hati Baginda mendengar sembah Ki Demang, seperti mendapat air penyejuk, sabdanya, "Kau laksanakan rencanarau." Maka Ki Demang mohon disediakan sebuah kendi tanah serta laka penutup. Barang yang diminta telah disiapkan di pasewakan. 7. Mulailah Ki Demang melaksanakan peradilannya. Berkata ia tertuju kepada kedua Bramana, "Wahai siapa di antara kalian yang bisa masuk ke dalam kendi tanah ini. Itulah Bramana yang asli. Dialah yang memenangkan perkara ini, dan menjadi suami Bramani. 8. Tetapi jiak tidak bisa mengeijakan, tidak bisa masuk ke dalam kendi, itulah Bramana pencuri, hanya mengaku-aku saja." Berkatalah Bramana asli, "Sesungguhnya Bramani adalah isteri saya." Dia dari seberang saya bawa ke mari. Namun tentang masuk ke kendi. 9. Selama ini hamba belum pernah melakukannya." Ki Demang membentak, Jika demikian kau bukan Bramana asli. Kau hanya mengaku-aku saja. Tak bisa dibayangkan perasaan hati Bramana. Bercucuran airmatanya mengalir sambiJ bengong tiada berkata. 10. Ia memandang kepada isterinya sambil berpikir di dalam hati, "Mungkinkah telah dikehendaki oleh Dewa. Bramani berpisah kau dengan aku. Kau diperisteri oleh orang lain." Dalam pada itu Si Bramana Setan tertawa gembira. "Sesungguhnya orang yang mengaku-aku, jahat tetapi mengaku orang baik-baik. 11. Manakah tanda-buktinya jika kau memang orang yang baik mengapa tidak mampu masuk ke dalam kendi. Aku bisa masuk ke dalam lubang semut sekali pun jika atas perintah jaksa. Sedikit pun aku tidak mempunyai rasa takut. 12. Itulah dia maling hutan, jelek dan keji tidak bisa masuk kendi." Bramana asli tidak mampu menjawab kecuali menundukkan kepalanya, sambil mencucurkan airmatanya amat deras. Se125 PNRI
mentara itu Bramana setan segera masuk ke dalam kendi dan Ki Demang menutupnya. 13. Cepat-cepat kendi itu dengan laka yang rapat. Kemudian ia menyembah kepada Baginda, "Itulah Sri Baginda, tanda bahwa ia bukan manusia. Kecuali setan bisa mengubah diri sekehendaknya. Manusia biasa tidak mungkin bisa masuk ke dalam kendi. 14. Kini mohon kendi berikut isinya dibakar saja, mengingat setan takut kepada api." Menyaksikan kejadian itu Sri Raja heran tidak terkira pula girangnya. Api yang dikehendaki Ki Demang telah disiapkan di tengah alun-alun. Kendi dibakar, setan berteriak keras. 15.Terdengar jeritan dari dalam kendi. Setan tidak bisa mati hanya terkena rasa sakit. Kemudian lenyap tak terdengar jeritan, ia kembali pulang ke tempatnya. Baginda senang seraya memuji kepandaian Ki Demang. Semua yang hadir tercengang menyaksikannya. 16. Demang Kelungsur mendapat anugerah Baginda berupa pangkat Patih, serta dijuluki Patih Jeksanegara. Ia memperoleh daerah tanah seluas tujuh ribu karya (bahu). Berdampingan dengan Purwonegoro, yang sama-sama menduduki jabatan mantri. 17. Bramana dan Bramani tidak terkira senang hatinya. Keduanya mohon pamit pulang kembali ke rumahnya. Jasa Ki Patih Jeksanagara sangat besar bagi dirinya. Suami-isteri itu mohon kepada dewa supaya Ki Patih tetap wibawa dan bahagia. 18. Tersebutlah Nyi Demang yang masih tinggal di dukuh. Suaminya diangkat menjadi Patih. Diperintahkan dua orang utusan untuk menjemput Nyi Demang dengan sebuah tandu. Nyi Demang belum tahu, ia mengkawatirkan suaminya. Berkatalah Si Belibis Putih, 126 PNRI
19. "Janganlah Bibi Demang was-was dalam hati, karena Ki Demang kini telah diangkat menjadi priyayi. Kukira paman diangkap menjadi Patih. Sekiranya paman tetap memegang jabatannya, kuingatkan Nyi Demang jangan melupakan nasib si miskin, sayangi mereka. 20. Dan bila sungguh-sungguh paman telah menjadi Patih di Bojanegoro, saya dan Joko Gedug tetap tinggal di Wanasari, menjaga dukuh. Berdua-duaan dengan Joko Gedug." Tibatiba mereka dikejutkan oleh tibanya utusan yang mengiringkan tandu untuk isteri Ki Patih. 21. Suara para pengawal hiruk-pikuk, mereka menunggu di luar pintu. Pimpinan rombongan masuk ke dalam pekawangan, maka terbanglah Belibis Putih menghindari orang banyak. Nyi Demang menyongsong kedatangan pimpinan dan diberitahukan bahwa kini Ki Demang telah diangkat menjadi Patih oleh Sri Baginda. r
22. Nyi Demang mempersiapkan sesuatu kemudian naik joli (tandu) diiringkan oleh beberapa orang pengawal. Lengkap dengan bunyi-bunyian (gamelan) seperti orang mengiringkan pengantin. Ni Demang mencucurkan air mata bahagia teringat kepada jasa Si Belibis. 23. Peijalanan lancar tibalah Nyi Patih di Bojanegoro dan bertemu dengan suaminya. Ki Patih pertama-tama menanyakan keadaan anak-emasnya Belibis Putih. Dijawabnya, bahwa Belibis Putih tetap tinggal di dukuh bersama-sama Joko Gedug. Ki Patih hanya menunduk sedih tidak meneruskan bicara.
24. Belibis putih telah dianggap seperti anak sendiri, meskipun berupa seekor burung. Tersebutlah cerita yang ditinggalkan di dukuh tempat Ki Demang sebelumnya. Joko Gedug menunggu kedatangan kakak-emas Belibis Putih. Yang ditunggu tiba-tiba turun ke tanah. 127 PNRI
25. Joko Gedug menyongsongnya dengan gembira. Keduanya bermain-main hingga malam datang. Bertanya Belibis kepada adiknya, "Apakah adinda tahu wanita yang cantiknya luar biasa?" "Tahu, aku ketika masih kanak-kanak pernah diajak bibi masuk ke dalam istana raja. 26. Di sana, di dalam istana, aku dapat melihat puteri Sri Baginda yang bernama Srengganawati. Kini namanya diubah menjadi Ambarawati. Kecantikannya luar biasa, seperti Dewi Ratih yang menjelma ke kota Bojanegoro." Maka bertanya Sang Belibis, 27. "Jika benar demikian adinda, besok aku bermaksud berkunjung ke sana." "Baiklah, tetapi jangan lama-lama pergi ke sana," kata Joko Gedug. "Langsung saja menuju ke taman Bandarandap tempat Sang Puteri biasa bercengkerama." "Aku tidak akan lama," kata Belibis. 28. Esok harinya ketika telah rembang tengah hari Belibis terbang ke angkasa dan menuju ke arah timur. Berputar-putar sebentar di atas istana kemudian menuju ke taman Bandarandap. Ia hinggap pada cabang pohon Cempaka dan tertarik hatinya oleh keindahan tata taman dengan tanaman bunga-bunga.
128 PNRI
23. KINANTI.
1. Maka diceritakan kini, puteri Sri Baginda di Bojanegoro yang bernama Srengganawati. Kecantikannya tiada bandingan, berparas seperti bulan purnama. 2. Senyumnya bagaikan manisnya madu, berkulit kuning bagai irisan benle-(jenis kunyit). Tubuh lurus dan tegap, pandangannya manis dan kocak. Ia penjelmaan Dewi Setiawati. 3. Ketika itu Sang kusuma pergi ke Tamansari beserta para dayang-dayang. Semuanya berjalan jauh di belakang, kecuali Emban Jalamprang yang mengikuti di belakangnya. 4. Diikuti oleh para parekan ceti, yang membawa perlengkapan mandi dalam bokor kencana. Terdiri dari lulur (bedak) dan wangi-wangian, beserta kain basahan. Belibis sangat terkejut melihat kedatangan mereka. 5. Pandangannya tertuju kepada Sang Puteri, maka teringatlah ia kepada almarhum isterinya. Airmatanya jatuh tidak terasa. Benar-benar cantik perempuan ini, begitu kata di dalam hati. 6. Kiranya almarhum telah menitis di Bojanegoro. Tiada berbeda sedikit pun, hanya selisih umur sedikit. Aku mohon kepada dewa semoga saya dapat tetap mengabdi kepadanya. 7. Dan kini kepada penjelmaannya kusuma di Bojanegoro. Kuharap aku dapat pula mengabdikan diri. Ketika itu Sang Puteri tengah melihat-lihat telaga, berdiri di bawah pohon cempaka. 8. Para dayang-dayang setia menghadap di sekelilingnya. Biarlah dia melihat kepadaku, begitu harapan Belibis Putih, Ia pun mencocok sekuntum bunga. 129 PNRI
9. Dijatuhkan bunga cempaka itu di depan Sang Puteri. Dan dipungutlah bunga itu segera. '"Biang, aku memperoleh bunga jatuh di depanku," kata Sang Puteri. 10. "Kubuat sebagai sunting di rambutku." Melihat itu Sang Belibis memetik lagi bunga cempaka sepasang, kemudian dijatuhkan di pangkuan Puteri. Berkatalah Sang Puteri, 11. "Tiada angin dan tiada hujan, mengapa bunga berjatuhan satu persatu? Mengapa teijadi demikian?" Sambil menengadah ke atas maka tampaklah giginya putih bersih. Ia tidak melihat burung yang menjatuhkan bunga. 12. Sebab terhalang oleh daun-daunan. Maka berpikirlah Sang Belibis, "Benar-benar cantik puteri ini. Alangkah bahagianya orang yang berhasil menyunting puteri Bojanegoro, 13. Senyumnya manis bukan kepalang, kerling matanya seperti kilat menyambar. Apakah dia belum melihat saya ketika menengadah. Akan kubuat dia marah puteri Raja ini." 14. Maka dipilihnya bunga yang banyak dikerumuni oleh semut merah. Dicocoknya dan dijatuhkan di atas dada Sang Puteri, persis mengenai buah dadanya. 15. Beijingkat Sang Puteri karena terkejut, tidak tahu asal jatuhnya bunga itu. Merayaplah semut merah di dadanya, cepat dibuangnya kain penutup, ia berlari ke sana ke mari tak menghiraukan gelungnya yang terlepas. 16. Tak henti-henti buah dadanya digaruk. "Biang tolonglah saya, habis hancur payudaraku. Bengkak-bengkak duapuluh buah digigit oleh semut merah, kiranya setan si burung belibis. 17. Telah menjatuhkan semut merah kepadaku. Di mana asal si belibis" semoga disambar geledeg dia, dipukul dengan lembing. Dihajar dengan empat buah kayu pemukul dan diunjamkan kepalanya. 130 PNRI
18. Menyaksikan ulah Sang Puteri Belibis berpikir di dalam hati, Sungguh cantiknya luar biasa, tetapi umpatnya tak terbilang, namun malah membuat orang tertarik, membahagiakan yang punya." 19. Para dayang-dayang melihat seekor Belibis Putih. Mereka berteriak-teriak serta menunjuk ke arah burung. Demikian pula Puteri pun menengadah dan tampak olehnya si Belibis Putih. 20. Begitu pandangannya terarah kepada burung, maka Si Burung segera mencipta aji pengasih yang bernama asmara tantra, ditujukan kepada Sang Puteri. Tepat mengenai pusat jantung hati. 21. Hilang sudah rasa marah cita-citanya, tinggal satu keinginan yang ada ialah didekati oleh Belibis Putih. Terhentak Sang Puteri di dalam hati, tak bisa berkata-kata. 22. Kemudian keluarlah kata-katanya, "Biang kiranya si Belibis Putih yang menjatuhkan semut merah. Tangkaplah dia beramai-ramai sampai kena, jika tidak aku pasti mati." 23. Menyaut Nyi Jelamprang, "Ah jika begitu sungguh-sungguh, lebih baik kupanggil pengawal Sarageni. Biar dipanah burung itu." Sambil marah-marah Sang Puteri membentak, 24. "Biarlah mukamu saja yang mati kena senjata." Tampil kemudian seorang pelayan dan diperintahkan untuk memanjat pohon. Ketakutan ia naik pohon menangkap Si Belibis Putih. 25. Rasanya payudara seperti diparut bergeser ia dari atas dan jatuh di tanah. Sang Puteri senantiasa melihat ke atas, memperhatikan burung belibis yang tiba-tiba terbang ke air. Maka berserulah dia, 26. "Itu dia burung belibis terbang ke air kolam. Tangkaplah bersama-sama di tengah kolam. Usahakan agar dia tertangkap, jangan seorang pun takut basah. 131 PNRI
27. Jika sampai terlepas dia, kalian kupenggal leher masingmasing." Semuanya beramai-ramai terjun ke kolam, ingin menangkap belibis, yang tidak dapat berenang terminum air. 28. Belibis kelihatannya jinak, tetapi menghindar cepat jika didekati. Dalam hatinya ia merasa senang menyaksikan para dayang-dayang yang tak berdaya terminum air kolam. 29. Ada dayang yang berseloroh, "Mungkin belibis setan yang membuat kita semua kelelahan. Ulahnya memanaskan rasa hati." Yang lain pun menyaut, "Jika tertangkap nanti olehku. 30. Kuputar lehernya biar mampu dia. Kubenamkan tubuhnya dalam lumpur. Jika ditanya oleh Puteri, kukatakan dia hilang di dalam taman." Mendengar kata-kata itu Belibis keluar suaranya, 31. "Tidak enak kudengarkan suara-suara kalian terhadap diriku. Apakah dosaku. Aku tidak berhutang tidak juga meminjam, mengapa kau kejar-kejar diriku?" Semuanya terbengongbengong. 32. Seseorang terlompat kata-katanya, "Baru kali ini aku tahu. Seekor belibis bisa bicara. Lagi pula anehnya ia berbulu putih. Kiranya dia seorang pertapa yang khilaf, menjelma menjadi belibis." 33. Sementara itu Belibis mengira bahwa ajinya asmara tidak mengenai sasaran, tandanya Sang Puteri sendiri tidak ikut serta terjun ke kolam, bukti cintanya tidak terbalas. 34. Lebih baik aku kembali pulang, demikian pikir Sang Belibis. Maka terbanglah ia ke angkasa, pulang ke dukuh Wanasari. Tertegun para dayang menyaksikan, ucapan mereka bercampur tangis. 35. Entah bagaimana marah Sang Puteri, ternyata lepas terbang belibis putih. Dia punya sayap, saut yang lain, bagaimana 132 PNRI
mungkin kita tangkap. Manusia melawan belibis, kita tak punya sayap. 36. Kalau kita punya sayap maka bisa kita kejar. Sementara itu Puteri Srengganawati dengan putus asa melihat Belibis Putih terbang ke langit. Ia tak bisa berbuat apa-apa. 37. Maka menyembahlah Nyi Jelamprang, "Menurut pengawasan kami Gusti, burung putih itu bukan burung yang benar-benar. Ia bisa berbicara seperti layaknya seorang manusia. Mungkin kira hamba. 38. Dia penjelmaan orang halus, setan atau gandarwa yang menjelma menjadi burung." Puteri tidak menanggapi kata-kata itu. Ia jatuh pingsan, tak lain yang terpateri di hati hanyalah Si Putih. 39. Tiba-tiba ia menangis, ia mengajak pulang dengan perasaan sedih. Penutup dadanya kedodoran. Berjalan ia sambil menghapus air mata. Kehendaknya melapor kepada paduka ayahanda raja. 40. Baginda tengah berada di pasewakan, dihadap lengkap oleh para keluarga. Asyik bercakap-cakap dengan permaisuri, ketika tiba-tiba puterinya datang menghadap. Terus saja menangis dan mencium kaki ayahanda. 41. Baginda dan semua yang hadir terkejut melihatnya. Puterinya dipeluk dan bertanya mengapa puteri tiba-tiba menghadap sambil menangis. Mungkinkah ada berita yang penting?
133 PNRI
24. MIJIL
1. Atau puteri menginginkan perhiasan yang bagus-bagus, isi kotak hias yang jarang ditemui serta pakaian yang serba indah. Diamlah dan jangan menangis, sayang, sabda Baginda menghibur. 2. Mendengar kata-kata Baginda tangis Puteri semakin keras, membuat Baginda kesal. Bertanya beliau kepada Jelamprang agak marah, "Apa permintaan puteri, hingga ia menangis tersedu-sedu?" 3. "Ampunilah hamba Baginda," sembah Jelamprang. "Sang puteri tidak memohon perhiasan atau pakaian. Asal mula puteri menangis karena minta belibis berwarna putih. 4. Burung itu ditemukan di dalam Tamansari. Membekas dalam hati Tuan Puteri karena pandai berkata-kata. Kira hamba bukan burung yang sungguh. Jinak-jinak menarik, tetapi enggan ditangkap." 5. Meledak tertawa Baginda, dihiburnya Sang Puteri, "Hapuslah air matamu puteri sayang. Aku tak bisa menduga bahwa puteri yang telah berusia dewasa menangisi seekor burung. 6. Baiklah, kuperintahkan nanti untuk mencari burung itu. Berhentilah menangis." Maka Baginda memerintahkan Sebetan agar memanggil Sang Patih Jaksanegara. Yang diperintah pun berlalu. 7. Tak lama Ki Patih tiba bersama-sama menghadap diiring oleh Sebetan. Terus saja ia masuk ke dalam istana. Sesampai di hadapan Baginda ia berdatang sembah. 134 PNRI
8. Ki Patih mengadap dengan rasa takut. Ia tunduk dan menantikan perintah Baginda sambil duduk tegap. Seolah-olah mukanya menyentuh tanah. Sabda Baginda kemudian, 9. "Ki Patih kuminta datang menghadap ke mari untuk suatu tugas ke luar kota. Carilah seekor burung belibis yang bisa berbicara seperti manusia. Jangan sampai kau pulang tanpa hasil. 10. Pulanglah jika telah berhasil, bagaimana pun usahamu agar burung itu tertangkap hidup. Semula burung itu berada di Tamansari dan dilihat oleh Puteriku. Tetapi kemudian terbang menghindar. 11. Itu sebabnya puteriku sedih hatinya, semakin menjadi-jadi tangisnya dan mendesak kepadaku untuk mencarikannya." Ki Patih menyembah siap untuk melaksanakan perintah Sang Raja. 12. Setelah Ki Patih ke luar dari istana, beliau mulai merencanakan upaya. Berpikir beliau, bahwa "anaknya" sendiri, si belibis Putih pasti telah bermain-main di dalam Tamansari. 13. Segera saja menuju ke kepatihan kemudian duduk bercakapcakap dengan isterinya. Apa kiranya berita yang dibawa oleh Ki Patih dari istana? Tanya sang isteri kepadanya. Mengapa langsung menghadap ke istana. 14. Apakah yang terjadi di dalam pura. Ki Patih bercerita, bahwa Baginda telah memerintahkan kepadanya untuk mencari dan menangkap burung belibis putih yang bisa bicara. Puterinya yang mendesak. 15. Puteri mendesak Baginda sambil menangis. Nyi Patih menyela, "Di mana Sang Puteri tahu burung belibis bisa bicara. Di mana ia ketemu dia?" Ki Patih meneruskan bicaranya, 16. "Ketika itu Sang Puteri mandi di Tamansari, menjelang hari 135 PNRI
petang. Burung Belibis terdapat di taman bunga, tetapi tidak berhasil ditangkap oleh dayang-dayang. Bahkan terbang pergi, maka menangislah Sang Puteri. 17. Perkiraanku pasti burung itu ananda Belibis Putih sendiri. Yang kebetulan mencari angin ke taman bunga. Bagaimanapun sampai mati kita cari, tak akan kita temui belibis yang bisa bicara seperti manusia. 18. Hanya ananda satu-satunya, tiada duanya. Rupa bulunya putih membuat orang kaya." Keluarlah airmata Nyi Patih, menduga sebelumnya pasti Burung itu akhirnya diminta, 19. Oleh Sri Baginda. Bagaimana harus dikeijakan selanjutnya. "Mengapa kau menangis?" Kata suaminya. "Hendaknya kau terima dengan ikhlas kehendak Dewa yang agung. 20. Sedangkan patimu dan patiku, akan kami serahkan seandainya diminta oleh Sri Baginda. Mengingat Raja adalah wakil batara adi. Itu sudah menjadi kewajiban orang menghamba raja. 21. Maka tinggallah di rumah dan jangan menangis. Aku akan pergi mengambil anakmu sendiri." Setelah berkata demikian Ki Patih berangkat menuju ke dukuh Wanasari. 22. Diceritakan bahwa Joko Gedug dan Burung Putih tengah duduk berduaan. Gedug menanyakan kepergian Belibis waktu kemarin. "Lama nian," begitu katanya, hingga Joko Gedug hampir-hampir menangis." 23. "Saya pergi mencari angin," jawab Belibis. "Ke taman dan dilihat oleh pemiliknya. Sang Puteri tengah berangkat mandi di kolam. Benar-benar cantik puteri Sang Baginda. 24. Ceritamu kepadaku tiada salah mengenai keindahannya. Lagi pula tegap dan cukup tingginya. Tiada mahal jika orang memperebutkan dengan mengadu maut. Sedikit celakanya, ia senang mengumpat. 136 PNRI
25.Kemarin diriku dikejar-kejar oleh para dayang-dayang. Dikerahkan banyak pelayan hingga aku masuk ke air kolam. Hampir saja aku tertangkap. Terbanglah aku terus kembali pulang." 26. Joko Gedug menyesal sekali atas teijadinya peristiwa itu. Ia kawatir kalau-kalau tertangkap. Tetapi bagaimana nanti jika mereka menggunakan getah pelekat untuk menangkapnya? 27. Ia akan tinggal seorang diri di rumah, begitu katanya. Sekonyong-konyong tibalah Ki Patih di sana. Ia terus saja lari mendapatkan Belibis Putih. Dipeluknya dengan mesra. Katanya, 28 "Aduh ananda Ki Belibis, jantung hati ayahanda." Belum habis Ki Patih bicara, Belibis menyela, "Apakah gerangan maksud Ki Patih keluar dari istana? Apakah Sri Baginda murka kepada ayahanda? 29. "Sebenarnya bukan karena dimurkai aku pergi ke mari," jawab Ki Patih. "Baginda telah memerintahkan kepadaku untuk mencari seekor burung belibis yang berbulu putih. 30. Lagi pula belibis itu mampu bicara seperti manusia. Itu adalah kehendak puterinya. Ia sangat jatuh cinta kepada Si Burung yang dilihatnya ketika tempo hari puteri berada di tamansari. 31. Burung itu ditangkapnya tetapi tidak berhasil. Sebab itu aku diperintah Baginda untuk mencarinya sampai ketemu dan tidak diperkenankan kembali tanpa membawanya pulang. Bagaimana kehendakmu? 32. Hanya kepada kau kuminta kebijaksanaan. Aku tidak tahu apa-apa. Dan menjadi Patih pun karena jasamu, saya hanya sekedar melakukannya. Kini mendapat tugas yang sulit. 137 PNRI
33. Sekiranya ananda tidak mampu mencari permintan Baginda. Marilah kita sama-sama pergi dari sini. Karena pasti saya dihukum mati jika tidak dapat berhasil. 34. Membawa pulang belibis yang mahir berbicara manusia. Paling tidak dipenggal leherku." Melihat bapaknya menderita susah, Belibis segera mengucap, "Harap ayahanda bersabar. 35. Mari kita pikir bersama, jangan cepat-cepat ingin angkat kaki dari sini. Sebab yang kemarin berada di tamansari adalah saya. Dan Sang Puteri melihatnya, begitulah seterusnya.
138 PNRI
25. DANDANGGULA
1. Akulah yang membuat dosa," lanjutan kata Belibis. Maka sampaikan ke penghadapan raja. Aku bersedia menerima hukuman mati dari Baginda." Ki Gedug segera berteriak, "Ah bagimana aku nanti, hidup sendiri tanpa kakak. Marilah kita pergi saja dari Bojanegoro." Ki Patih menangis sejadi-jadinya. 2. Tak perlu diceritakan bagaimana ketiga-tiganya menanggung duka, akibat perpisahan itu. Ki Patih telah tiba kembali di kota, dengan membawa Si Behbis Putih. Di rumah ia disongsong oleh isterinya. Ia segera memeluk erat-erat behbis tercinta sambil mencucurkan airmata." Kau satu-satunya tambatan hatiku, tak ubahnya seperti anak yang kulahirkan. 3. Jika kau jadi dipisahkan dengan aku, bagaimana ulahku nanti?" "Janganlah Nyai menangis," Behbis menghibur," telah menjadi kehendak dewata, aku harus memerankan hidup yang penuh dengan derita." Nyi Patih berhenti menangis. Behbis Putih itu kemudian dipangkunya dengan sayang serta diciumnya berulang-ulang. 4. Setelah itu Ki Patih pergi menghadap Sri Baginda, disertai oleh Nyi Patih. Keduanya berhenti sebentar di pintu Sripanganti, menyampaikan maksudnya kepada ajudan raja. Baru setelah diizinkan oleh raja keduanya masuk ke dalam istana. Ki Patih duduk sambil menundukkan kepala menunggu perintah. "Agaknya kau berhasil tugasmu Patih," Sabda Raja," engkau cepat kembali ke istana." 5. Menyembahlah Ki Patih, "Sebelumnya hamba mohon maaf, karena kekhilafan hamba. Permintaan paduka berupa burung behbis putih, sesungguhnya telah hamba piara agak lama. Burung itu kini hamba persembahkan kepada Baginda, sekira139 PNRI
nya dapat berkenan di hati. Dan apabila tidak berkenan hamba akan mencarikan yang lain." 6. "Pasti saja akan ku terima apabila belibis putih itu mampu berbicara seperti manusia." Ki Patih menyambung, "Memang dia sebelumnya dapat bicara ketika berada di rumah hamba. Tetapi hamba tidak dapat memastikan jika ia berada di dalam istana. Sebab keadaan di istana tidak sama. Jangan-jangan ia takut bicara di depan paduka Sang Raja." 7. Baginda kemudian memerintahkan kepada ajudan raja, agar supaya Ni Patih dan burung belibis menghadap dengan segera. Setelah mendapat perintah Ni Patih pun menghadap sambil mengemban burung belibis yang berbulu putih. Baginda sangat tertarik oleh kecantikan burung itu, lama beliau memperhatikan burung jelmaan manusia. 8. Seluruh tubuhnya berbulu putih bersih, matanya bersinar-sinar bagaikan mutiara. Maka bersabdalah Sang Baginda; sambil tersenyum, "Selamat datang engkau Belibis Putih." "Terimakasih Dewaji. Hamba sangat bahagia menerima kasih paduka. Hamba junjung tinggi dan hamba ikat pada bulu jambul kepala dan hamba siap menerima perintah paduka." 9. Sangat berkenan hati Baginda mendengar ucapan belibis seperti seorang manusia. Kembali Baginda bertanya, "Bagaimana kau belibis, sekiranya kuminta kepadamu untuk kami tempatkan di dalam istana. Adapun kehendakku, anggaplah di rumahmu sendiri." Maka sembah si Belibis, 10. "Sebelumnya hamba mohon banyak ampun atas kekhilafan hamba, mengingat hamba sangat bodoh tak tahu bagaimana seharusnya. Hamba masih dari desa tak mengenal tata-krama." Tersenyum Sri Baginda bertanya lebih lanjut, "Darimana asal negaramu dahulu hingga kau pandai sekali berkata-kata." 11. Belibis putih berdatang sembah dengan menghiba-iba, "Sebetulnya Baginda, hamba dahulu piaraan ananda Raja di negara Malawapati, ialah Maharaja Anglingdarma. Hamba tiba di 140 PNRI
Bojanegoro, karena mencari beliau, yang telah meninggalkan negara secara diam-diam. Belum ketemu hingga sekarang." 12. Masih juga Baginda bertanya lebih lanjut, "Apa sebabnya maka Raja Anglingdarma meninggalkan negara dengan diam-diam? Beliau raja yang besar, sakti tak terkalahkan dan berpasukan raja-raja." Belibis pun berkata, "Paduka, ananda Raja Anglingdarma secara diam-diam meninggalkan negara akibat terputus cintanya. 13. Permaisurinya telah bunuh diri masuk ke dalam perapian yang menyebabkan beliau berduka-cita. Tak tahan menanggung rindu maka pergilah beliau diam-diam pada waktu malam. Hamba telah lama mengembara mencari Baginda, masuk desa dan kota karena besarnya cinta hamba. Dan tersesatlah hamba di Bojanegoro." 14. Raja Darmawasesa kemudian bersabda, "Pasti ananda Raja Anglingdarma sangat sayangnya kepada belibis, ulah dan geraknya membuat orang senang. Aku yang baru saja mengenal, telah jatuh sayang kepadanya. Selanjutnya Baginda memerintahkan agar Patih kembali ke Kapatihan dan meninggalkan Burung Belibis tanpa rasa kawatir akan keselamatannya. Perintah Baginda pun dilaksanakan. 15. Berdua dengan isterinya Patih mohon diri pulang kembali ke Kepatihan, dengan mengeluarkan air mata sepanjang perjalanan teringat akan besarnya jasa Sang Burung. Baginda memerintahkan kemudian kepada seorang Sebetan (ajudan) untuk memanggil Puteri. Segera ajudan menyembah sebelum meninggakan istana, menuju ke kediaman Puteri yang senantiasa dirundung rindu kepada Sang Burung Belibis. 16. Beliau sampai-sampai lupa makan dan lupa tidur, hanya merenung kepada Sang Burung. Apa pun yang dikerjakan untuk melupakannya tidak berhasil. Ketika itu Puteri tengah berada di atas kursi keemasan, di hadapannya lengkap menghadap para dayang dan para inya. Asyik membicarakan masalah se141 PNRI
hari-hari. Tiba-tiba datanglah utusan Baginda ke ruang keputerian. 17. Berdatang sembahlah Ken Sebetan kepada puteri, bahwa Tuan Puteri diharap kedatangannya segera oleh Ayahanda Baginda. Puteri pun bersiap-siap memenuhi panggilan, para dayang yang membawa upacara beijalan di depan. Begitu menarik iringiringan para dayang-dayang, seperti Dewi Supraba yang ingin menghadap Hyang Surapati. Maka tibalah mereka di balai penghadapan. 18. Menunduklah Puteri kemudian menyembah kepada Ayahanda serta mencium kakinya. Baginda pun mencium ubun-ubun puterinya. "Wahai puteriku," sabda Baginda. "Kupanggil engkau menghadap karena ayah ingin membicarakan sesuatu. Tentang permintaanmu Burung Belibis berbulu putih yang dapat berbicara seperti manusia. Permintaan nini itu sekarang telah dapat kutemukan. 19. Cobalah kau cocokkan Belibis itu, yang sedang berada di taman samping. Betulkah ia yang ananda lihat tempo hari?" Puteri tak terkira gembira hatinya setelah memperhatikan Sang Belibis Putih. "Betul itulah burung yang hamba cari"' sembahnya. Setelah itu puteri menuju ke tempat burung yang tengah beijalan di taman. Didekatinya dan dicubitnya paha si burung. 20. Puteri berkata agak keras, "Nah akhirnya kau tertangkap juga dan ketemu dengan aku di sini. Ketika kau kukejar kauterbang tinggi di langit dan tak menghiraukan kepada ku. Aku telah kawatir kalau-kalau kau terus pergi ke hutan. Sekarang kutemukan dikau di dalam istana, pasti kulipat lehermu." 21. Baginda tak terperi senangnya, beliau tertawa, sabdanya, "Kau sekarang kuberikan kepada anakku, nini puteri Ambarwati. Bagaimana?" "Aduh baginda, hamba mohon maaf sebesarbesarnya." Sembah Sang Belibis." hamba tidak bisa mengabdi kepada seorang pem'oesar wanita." Baginda cepat menyela, 142 PNRI
22. "Mengapa demikian Belibis? Apa sebabnya kau tidak bersedia diabdikan kepada puteriku?" "Hamba benar-benar mohon maaf, karena pada umumnya pembesar wanita kurang tanggap dalam memberikan ampunan kepada sesama. Banyak sekali mengucapkan kata-kata kasar. Hamba tak merasakan kenikmatan sedikit pun. Tak urung hamba pasti pergi dari istana, akibatnya paduka menjadi murka." 23. Puteri tersenyum mendengar kata-kata Sang Belibis, "ah", katanya, "manja sekali kau belibis. Memangnya aku banyak mengumpat ya? Maka pertama-tema kau buat itu menjadi alasan." Belum lagi selesai puteri bertanya, maka belibis telah melanjutkan kata-katanya, "Lagi pula hamba takut kepada para dayang-dayang. Ketika kami berada di kolam bunga, hamba diburu-buru dengan kejam." 24. Puteri dengan rasa kasih membelai-belai Sang Belibis", katanya, "Kau adalah kekasihku seorang, janganlah banyak bicara yang bukan-bukan, nanti hatiku semakin pilu. Sedapat-dapat orang memelihara binatang kau akan kumanjakan. Sebab itu jangan sekali-kali kau meninggalkan diriku. Sebab jika kau pergi tiada lagi temanku yang mendampingi, aku akan menangis terus-menerus."
143 PNRI
26. KINANTI
1. Pendek kata Sang Belibis kemudian dibawa pulang ke keputerian. Ia diemban oleh Sang Puteri dengan sayang, diikuti oleh segenap dayang-dayang. Semuanya tampak bergembira menyaksikan Sang Puteri telah memperoleh yang diharapkan. 2. Tak lama iring-iringan itu tiba di keputrian. Para pengiring meninggalkan puteri dengan belibis kesayangannya. Puteri tampak sangat sayang terhadap belibis dan selalu berada di dekatnya. 3. Tangan puteri tak henti membelai-belai bulunya. Bahkan diberinya wangi-wangian, bulunya tampak agak kekuning-kuningan akibat banyaknya minyak jebat dan kesturi. Baunya sangat harum sekali. 4. Belibis dipangkunya dengan kasih mesra. Didekatnya tersedia makanan berupa buah-buahan aneka macam yang serba manis. Demikianlah keadaan di keputrian beberapa lamanya. 5. Suatu ketika Sang Puteri berada di dalam rumah. Hari telah petang, para dayang-dayang menghadap Sang Puteri. Semuanya tampak senang melihat Sang Puteri yang tak terpisahkan dengan Belibis Putih. 6. Segala gerak dan ulah Belibis itu sangat berkesan di hati para dayang-dayang. Mungkin dia seorang pertapa sakti yang menitis menjadi binatang, pikir mereka. Tiba-tiba Belibis berkata kepada mereka, 7. "Marilah para Nyai. Daripada kita menganggur, sebaiknya kita saling menebak teka-teki." Maka menjawablah Nyi Jalam144 PNRI
prang, "Baiklah. Apakah imbalannya belibis. Kau merasa diri pandai binatang melawan manusia. 8. Apakah kau bersedia jaika nanti ternyata kau kalah bertekateki? Kucabut bulu-bulumu. Nah apakah maksudnya: Pohon besar tetapi buahnya kecil, sedang pohon kecil buahnya besar. Cepat kaujawab. 9. Jika kau salah menebaknya, pasti bulu-bulu sayapmu kucabut habis." Maka menjawablah Si Belibis sambil tertawa di dalam hati, "Ya ya tetapi jangan keras-keras mencabut bulu-bulu saya Nyai. 10. Aku berikan tebakannya. Adapun pohon besar tetapi berbuah kecil, itu tidak lain adalah Pohon Beringin. Bukankah pohon beringin itu pohonnya besar tetapi buahnya kecil-kecil? 11. Adapun pohon kecil yang berbuah besar itulah pohom semangka. Semangka pohonnya kecil namun buah-buahnya besarbesar. Itulah jawabanku mengenai teka-teki yang Nyai katakan." 12. Ni Jalamprang tidak menjawab sepatah pun. Ia merasa malu, dan berpikir, "Jika aku tidak takut terhadap Puteri pasti burung ini kuputer lehernya biar mampus. Ucapannya memanaskan hati." 13. Maka berkatalah ia kepada teman-temannya. "Wahai para Nyai semua. Katakanlah teka-tekimu, kita hadapi bersama Si Belibis Putih. Jika kalah dia, kita cabut habis bulu-bulunya." 14. Agak keras Nyi Jelamprang mengemukakan teka-tekinya, "Tebaklah belibis sekarang, adalah tangis yang minta kasih berada di pangkuan, meratap ia sejadi-jadinya, tetapi bukan tangis seorang anak. 15. Setelah ia berhenti menangis, kemudian tidur nyenyak tak terdengar suaranya. Tebaklah itu wahai burung." Tersenyum Belibis memberik£;i jawaban, "Itulah rebab, maka berhenti ia menangis." 145 PNRI
16. Belibis berganti memberikan tebakan, "Mari kau beri jawabannya tebakanku ini. Ada tangis yang mengharapkan sa'kit, ketika malam tiba. Jika sakitnya telah datang maka berhentilah tangisnya. 17. Ada lagi sebuah tebakanku. Terdapat makanan yang berasal dari dubur, tampak sebagai sarana memperoleh makan. Apakah jawabannya?" Menunduklah Nyi Jelamprang. Sementara itu Si Belibis Putih. 18. Beijalan-jalan di depan Sang Puteri. Gembira ia mengembangkan bulu sayap, sambil menyindir, "Aduh habis sudah bulubuluku tercabut tak satu pun tinggal di badan. 19. Biarpun aku berupa seekor burung. Aku tak pernah mencari makan di rawa, sebab aku bukan burung liar. Sekiranya aku alah beradu pandang dengan wanita. Apa faedahnya berada di dalam istana. 20. Puteri membenarkan ucapan Si Belibis, sambil minta kepada para dayang-dayangnya untuk memberikan jawaban teka-teki Sang Burung. Maka menyembahlah Nyi Dayang, "Baiklah Tuan Puteri. 21. Yang menangis tak henti-henti, kata Nyi Jelamprang. Itulah Gareng, jenis sadpada di pohon. Sedang makanan berasal dari dubur, itulah musang. Nah kalah sekarang kau belibis." 22. Sang Belibis berteriak kecil, "Aduh putus buluku Nyai, karena kau putar ke bawah." Sang Puteri pun menyela, "Baru aku tahu sekarang Nyi manusia dikalahkan oleh burung. Aku sendiri yang akan menjawab teka-teki si Belibis Putih. 23. Wahai Belibis Putih. Kini aku yang akan menjawab teka-tekimu. Jika kau kalah nanti, apa yang kaujadikan barang serahan? Maka menjawab Sang Belibis, "Hanya diri hamba Gusti. 24. Bila Tuan Puteri benar jawabannya, jadikanlah hamba abdi Puteri. Puterilah yang memiliki badan hamba." Mulailah Sang 146 PNRI
Puteri mengutarakan jawabannya: Adapun makanan yang berasal dubur. 25. Itulah binatang laba-laba. Capung/kupu teijaring disarangnya dan menjadi makanan baginya. Itulah buktinya. Sedang tangis yang minta sakit aku memberikan jawaban: anak ayam. 26. Jika anak ayam belum memiliki bulu-bulu, ia tiap malam tak berhenti menangis. Ia tidak menangis lagi setelah bulunya tumbuh. Maka berkatalah Sang Belibis, "Tepat sekali jawaban tuan Puteri." 27. Selanjutnya Tuan Puteri bertanya, "Aku ingin bertanya kepadamu Belibis. Dari manakah asalmu sebelum tiba di sini?" "Hamba datang dari negeri Malawa, piaraan dari Sri Baginda. 28. Rajabesar di Malawapati, bernama Anglingdarma. Beliau telah meninggalkan negerinya. Hamba telah mencarinya beberapa tahun lamanya belum dapat beijumpa. Pada hal Baginda dulu ketika di Malawa. 29. Sangat kasih dan sayangnya kepada hamba. Begitu sayangnya sehingga para dayang-dayangnya yang menyelimuti diri hamba, jika tertidur. Pada siang hari hamba diperkenankan santap bersama-sama dan apabila Baginda bersemayam di Balai Penghadapan. 30. Maka hamba ikut serta duduk di kursi keemasan dihadap oleh segenap penggawa raja. Maka hmba kini mohon kepada tuan puteri memperlakukan hamba seperti yang sudah-sudah. 31. Memanjakan hamba seperti Baginda, pastilah hamba tetap akan mengabdi kepada Tuan Puteri. Jika tidak demikian halnya, maka hamba mohon pamit hendak melanjutkan usaha mencari Sri Baginda yang meninggalkan istana. 32. Meskipun hamba berupa belibis, namun hamba tidak suka makan ikan sungai." Sang Puteri pun menyela, "Sedikit-sedikit 147 PNRI
minta langsung pamit. Jangan terlalu manja meninggikan harga pribadi. 33. Apa yang kauminta pasti akan kupenuhi. Oleh karenanya janganlah kau berdusta, dan tetaplah mengabdi kepadaku." Belibis menyanggupi, bahwa ia akan senantiasa patuh mengabdi kepada Puteri. 34. Maka Puteri masih melanjutkan bertanya, "Apakah gustimu Sri Baginda pandai pula membaca-baca? Dan apakah beliau pandai pula melagukan gending?" Jawab si Belibis Putih, Kakanda Sri Baginda sangat mahir. 35. Dan pandai membaca berbagai macam sastra. Mahir pula mengucapkan kalimat-kalimat gending, kidung, kekawi dan perlambang. Suaranya merdu bulat dan manis terdengar. Banyak orang terserang kerinduan jika Beginda membaca." 36. Tersenyum Puteri berkata sendiri, "Sungguh pantas Si Belibis jika memuji gustinya. Bola matanya sampai melotot." Bisa juga belibis tertawa, dan Puteri melanjutkan pertanyaannya. 37. "Surat apakah yang menjadi kegemaran gustimu?" Menjawab Sang Belibis, "Beliau senang sekali membaca Serat Ramayana, lebih-lebih ketika Sang Ra-gotama kawin dengan Dewi Sinta. 38. Puteri yang berasal dari Mantilidiija, ananda Raja Janaka. Lagunya Maduretna, diucapkan jelas dan terang. Apalagi jika Baginda menyuarakan Gandakusuma, banyak perempuan yang tergiur. 39. Para dayang-dayang banyak yang tergila-gila akibat menahan rindu yang bergejolak dalam hati. Ada yang memeluk tiang rumah." Maka tertawalah Puteri, katanya, "Coba Belibis kau tirukan Gustimu ketika mengucapkan salah satu tembang." 148 PNRI
40. "Baiklah jika demikian," Dan Belibis Putih segera mengalunkan suara membawakan irama tembang pamijil. Suaranya manis bagaikan madu, masuk menyentuh hati Sang Puteri cantik. 41. Rasanya diri seperti mati terduduk, menikmati irama lagu yang membuat seluruh sendinya lunglai. Keringat keluar sangat deras dari tubuh membayangkan wajah dan kemudaan Sang Anglingdarma.
149 PNRI
27. SINOM
1. Setelah beberapa lamanya Belibis Putih berada di istana Bojanegoro, Sang Puteri semakin sayang kepadanya. Sampai lupa Puteri kepada ayahanda dan ibunda. Siang dan malam burung ajaib itu selalu berada di sampingnya. Tidur pun burung berada dekat ujung kaki. 2. Jika tiba waktu makan Si Burung makan sama-sama dalam sebuah piling. Suatu ketika Puteri bertanya, "Wahai burung belibis. Ingin kutanyakan kepadamu. Apakah sebab-musababnya Gustimu meninggalkan istana." Belibis menceritakan mengapa Anglingdarma pergi meninggalkan istananya. 3. Karena terputus cintanya dengan permaisuri yang tercinta yang bernama Dewi Setiawati. Setiawati telah masuk ke dalam api dan hal itu menyebabkan hati Baginda sangat duka. Yang meninggal cantiknya luar biasa, melebihi dari semua isterinya. Disela oleh Puteri, "Bagaimana pun alasan Baginda meninggalkan negara tidaklah patut. 4. Beliau termasuk raja yang semena-mena, membuat rakyatnya menderita. Jika hanya ditinggal mati oleh isterinya, mengapa tidak seperti lazimnya raja-raja yang lain. Beliau dapat kawin lagi, apalagi beliau adalah seorang raja." "Aduh,"kata Belibis, "jumlah isterinya delapan ratus, semuanya terpilih dan cantikcantik. 5. Namun semuanya itu dianggap tidak ada. Baginda memilih jalan meninggalkan negaranya. Menurut hemat hamba, paras Sang Puteri Setiawati banyak mirib dengan wajah paduka. Sebenarnya beliau tidak perlu mencari ke mana-mana." Puteri pun menyela, "ah kamu bicara yang bukan-bukan, belibis. 150 PNRI
6. Sangatlah mustahil kalau diriku dapat menjadi obat pelerai rindu. Bagaimanakah wajah puteri yang masuk ke dalam api itu?" "Oh, seperti Kresna dengan Wisnu, gusti hamba Ken Dewi Setia wajahnya sama dengan wajah Puteri dari Kota Bojonegoro." Berkata Sang Puteri, 7. "Hai Belibis, apakah gustimu Anglingdarma berwajah tampan? Tua atau masih mudakah beliau?" Oh, gusti hamba sangat tampan sekali. Usianya baru duapuluh Uma tahun." Sang Puteri menyela, "Hampir sama usianya dengan aku. Umurku sekarang sudah delapan belas tahun." 8. Menyembah lagi Belibis, "Namun walaupun banyak jumlah raja-raja yang bertempat tinggal di atas bumi dan bernaung di bawah langit, hamba kira tak ada yang menyamai gusti Anglingdarma. Kesaktiannya luar biasa lagi pula segala perbuatannya terpuji dan suka hati menolong sesama. 9. Dalam arena perang kesaktiannya tak terlawan oleh siapa pun. Beliau memerintah banyak raja. Adil segala darmanya dan semua hambanya merasa tenteram. Mahir dalam berbagai ilmu dan ahli dalam masalah asmara. Tiada tara keteguhannya memegang janji. Keturunan ahli tapa serta berdarah bangsawan. 10. Sekiranya kelak Tuanku Puteri ingin kawin, maka pilihlah laki-laki yang termasuk dalam kelompok empat besar. Pertama kesatria yang seperti ratna, keduanya yang seperti burung, ketiga yang seperti keris. Itulah yang patut puteri pilih. 11. Adapun yang keempat ialah kesatria yang seperti wanita." "Apakah maksudmu belibis? Berilah keterangannya sekali." "Hamba ibaratkan seperti burung, maksudnya ialah burung siang, yang biasa tampak pada siang hari. 12. Burung itu bagus dan pandai bersiul-siul. Sedang seperti wanita maksudnya yang lincah dan halus budinya. Adapun seperti keris, maksudnya yang bagus bentuknya (dapur) yang tangguhnya mantap. Sedangkan seperti ratna maksudnya yang berpikiran tenang dan berbudi sentosa." 151 PNRI
13. Tak terkira senang hati puteri mendengarkan petuah Belibis. Seperti kata-kata pujangga, mampu menyentuh rasa. Melanjutkan ceritanya behbis berkata, "Keempat perkara itu Tuanku terdapat dalam diri Baginda Anglingdarma. 14. Baginda seorang raja yang bagus tetapi tenang. Gesit dan gerakgeriknya memikat. Pandai mengutarakan maksud yang membuat orang lain merasa terlindungi. Jauh berpandangan ke depan dan cepat menangkap kehendak orang, Berani berulah perang dengan perhitungan matang. Keturunan pertapa dan bersaudara kesatria. 15. Para dewa merestui segala langkahnya, karena beliau adalah kekasih dewa. Itulah sebabnya para wanita menaruh kasih kepada Baginda sebulat hati." "Ah, kau tak habis memuji Gustimu," sela Sang Puteri. "Sudah selayaknya kau sanjung beliau. Tetapi mengapa ia sampai hati meninggalkan negaranya? 16. Masih juga behbis berkata, "Aduhai Puteri bunga istana. Kelak jika Sang Kusuma kawin janganlah memilih orang yang kecil dan pendek. Umumnya bertabiat kikir. Dan jangan memilih orang yang bertengkuk lebih (punuk) ia suka menurutkan kehendak sendiri. Kata-katanya kasar dan keji seperti tampak pada tengkuknya." 17. Sambil tertawa Belibis Putih dibawanya ke ruang tidur. "Ah si pandai bicara marilah tidur di dekat saya. Bukankah kau kekasihku? Jangan jauh-jauh kautunggu di sampingku sebelah atas." Sambil membaringkan tubuhnya, bertanya Sang Puteri, "Apakah yang dilakukan oleh Gustimu dulu. 18. Jika malam telah datang?" "Beliau menyenandungkan kidung agar isterinya tertidur," jawab Behbis Putih, "Baiklah Belibis kau tirukan Baginda menyenandungkan kidung, agar supaya aku tertidur." Perintah Sang Puteri dan Behbis pun mulai bersenandung manis. 19. Suaranya terdengar merdu dan enak, membangkitkan rasa birahi Sang Puteri. Sendi-tulangnya terasa lunglai, mendengar 152 PNRI
irama kidung. Tak mengira bahwa burung seperti manusia mahir merangkai kata. Diteruskan dengan cerita-cerita menarik, yang menambah rasa hati Sang Puteri semakin gundah tak terkira. 20. Sang Puteri Bojonegoro tergolek di atas peraduan dengan rasa hati tidak karuan. Dalam hatinya ia berfikir, "Alangkah mahirnya Sri Raja Malawa berdendang membawakan kidung. Sedang burung piaraannya saja mampu menyentuh rasa hati. Tentu Gustinya sangat pandainya." 21. Puteri telah tidur dengan pulas, akibat kantuk yang tak tertahan. Lama beliau lupa makan dan minum serta tidur. Hatinya terserang rasa rindu asmara. Ia sangat lelah tak tahu diri, hingga penutup dadanya terkuak dan tampaklah payudaranya separo, seperti buah maja kekuning-kuningan. 22. Sang Belibis melihatnya, rasa hatinya tak keruan bagaikan mati tanpa menderita luka. Bagaimana harus kuperbuat? Katanya dalam hati. Jika terlalu lama kulihat, bisa hatiku menjadi membara. Lebih baik kuberitahukan, agar aku sendiri bisa lekas istirahat. Maka penutup dada itupun dicocoknya. 23. Disebabkan oleh rasa hati yang harnpir-hampir meledak, melihat yang menonjol di dada lalu digigitlah pucuknya. Terkejut bangunlah Sang Dewi. "Jangan kauganggu aku, belibis. Aku baru bisa tidur, kantukku tak tertahan. Jangan mencucuk yang bukan-bukan." Maka berkatalah Sang Belibis Putih, 24. "Maaflah Gusti, hamba tidak sengaja mencucuknya. Hamba sedang membersihkan bulu-bulu. Tak tahu tercocok penutup dada. Benar-benar tidak sengaja, karena hamba seekor burung. Maaflah hamba dan sekiranya tiada ampun bagi hamba. Lebih baik hamba mohon pamit akan mencari Raja Anglingdarma." 25. Maka mengucaplah Retna Srenggono, "Heran aku memikirkan, sedikit-sedikit minta pamit. Harap jangan terlalu manja. Ya sedapat-dapat kululuskan permintaanmu. Kapankah kau men153 PNRI
dapat marah. Marilah sayang kau kembali tidur di dekat ujung kakiku. 26. Lagi pula kuampuni ulahmu, bukankah kau kekasihku? Nah aku ingin tidur sungguh-sungguh, janganlah kaucucuk pucuk payudaraku. Aku jadi gemetar, maka jangan mengganggu lagi. Lebih baik kautidur di dekat kakiku, syukur-syukur kau tembangkan aku sebuah kidung pamijil.
154 PNRI
28. MIJIL.
1. Maka tidurlah Sang Puteri dengan gaya naga meliuk. Tampak sangat cantik. Tangan yang kiri menutup bagian rahasia, sedang tangan kanan menjaga kedua payudaranya. Cara tidur demikian patut ditiru. 2. Menembang lirih Belibis Putih, membawakan kidung Pamijil, Sang Puteri enak tidurnya, dibuai oleh suara kekawin, diseling oleh kata rayuan, Belibis memang mahir. 3. Begitulah Sang Juita tertidur nyenyak, kainnya terkuak dan tampaklah pahanya yang mengkilat rupanya. Bagaikan bunga kelapa sedang mekar menyebar bau harum. Yang berupa burung, menarik nafasnya. 4. Siapa yang kuat melihat benda yang bercahaya. Sebaiknya saya tutup, begitu pikir Belibis sambil mencocok kain dengan maksud menutup paha Sang Cantik. 5. Terkejut Puteri bangun sambil meraba kainnya, katanya, "Hai belibis, mengapa kau cucuk kainku? Janganlah kau menggangu yang bukan-bukan. Setelah kau kumanjakan. 6. Seperti ulah orang yang mabuk buah pucung." Berkatalah Si Belibis, "Aduh Gusti hambamu mohon maaf. Tak hamba sengaja hamba mohon diberi marah. Hamba serahkan mati dan hidup, hamba betul-betul menyesal. 7. Hamba teringat ketika di tengah rawa mencucuk ke sana-ke mari, di sela-sela rumput dan bunga teratai. Celakanya ketika mimpi, maka kucucuk kain. Maka mohon dimarahi yang banyak. 155 PNRI
8. Jika tidak ada maaf bagi hamba, maka izinkanlah hamba mohon pamit mencari Sang Raja Anglingdarma. Entah kemana?" Tersenyum Sang Puteri, hatiku sakit, sedikit-sedikit patah semangat, katanya. 9. Tidak dibenarkan orang lain menegur. Gustinya untuk tameng, perisai agar bisa menghindar pergi. Mencari yang telah meninggalkan istana. Jika sudah kantuk, tidurlah." 10. Berkata Behbis Putih dengan nada manis, "Aduh Gustiku yang muda. Hamba kantuk bukan karena kurang tidur, tetapi badanku terasa dingin." Sang Puteri tersenyum, tahu akan maksud Si Behbis. 11. "Betul katamu, akulah yang lupa kepada kekasihku." Puteri pun turun menarik sepotong kain batik yang tersampir. Baunya harum dan wangi, diselimutkan kepada behbis. 12. "Sudah-sudah. Kau tidur sekarang burung. Kusehmuti dikau dengan kain panjang (dodot). Jangan kau cocor sana cocor sini. Membuat aku terkejut. Jika kau kantuk, tidurlah sejajar dengan guling." 13. Burung pun diselimuti dengan kain dodot. Kain itu dicocornya sebentar saja sobek compang-camping, akibat cocoran yang keras. Mehhat itu Puteri mengucap keras, 14. "Katamu kau kantuk, mengapa tidak juga tidur?" Behbis bertanya, "Kain macam apa itu ananda, gatalnya di kuht bukan main." Sang Dyah menjawab, "Baik-baik, kau tinggi hati benar. 15. Apalagi orang yang memeliharanya dulu. Sedang piaraannya saja begini baiknya. Baiknya terlalu manja," maka menyela Behbis, "Bagaimana hamba bisa tidur, jika kainnya gatal di badan. 16. Betul-betul kampuhnya menyebabkan rasa gatal." Bertanya 156 PNRI
Sang Puteri, "Katakanlah Belibis, kampuh yang mana yang kau kehendaki?" akan kuberikan padamu." Menjawab Sang Burung, 17. "Jika dikabulkan permohonan hamba, hamba tidak minta selimut kain dodot. Hamba lebih senang berselimut kain penutup dada (langkin) yang berdasar warna jingga di tepinya." "Kemarilah," jawab Puteri dengan kata yang manis. 18. "Kuberi selimut kau dengan kain pelangkin ku. Bukankah kau kekasihku sendiri? Sambil berkata demikian Sang Dyah mengambil pelangkin berwarna jingga yang tersampir." Kata Belibis, 19. "Maaflah puteri, hamba tidak mau." Bertanya Sang Sinom, "Lalu kain apa yang kaukehendaki? Katamu kauminta pelangkin baru yang bertepi warna jingga. Itu belum pernah dipakai. 20. Kutahu pasti kain itu tak membuat kau gatal, karena belum pernah dipakai." Sang Belibis halus sembahnya, "Kain yang baru biasa membuat gatal. Dulu yang sudah-sudah hamba gunakan selimut lain. 21. Tidak lain penutup dada gadis remaja, yang masih dipakai. Meskipun tidak lebar tetapi terasa kehangatannya. Terasa di seluruh tubuh sampai ke dalam hati. Hamba mohon maaf, terlalu berani." 22. Berkatalah Sang Puteri pelahan, "Baiklah kekasihku, kau mendekat dan kuselimuti dikau dengan langkinku. Kulihat kau ingin pergi saja." Si belibis segera mendekat dan masuk .ke bawah pelangkin. 23. Katanya menarik kasih, "Aduhai Sang Ayu yang manis, hamba mohon maaf karena kerap kali berisik dalam tidur, lupa mengais-ngais." "Tak apalah kekasihku," sela Puteri. 24. "Biarpun kau berisik sebentar aku tak terganggu. Asal saja jangan mencocor, marilah kau tidur di sampingku. Kuselimuti 157 PNRI
dengan pelangkinku. Apa bedanya, kain, kampuh atau pun pelangkin?" 25. Pelahan Sang Belibis menjawab, "Sangat besar bedanya antara kampuh dengan pelangkin Tuan. Biarpun sempit kutempelkan tubuhku, rasa hangatnya sampai di hati. Apalagi dipakai oleh Tuan Puteri. 26. Meskipun sama-sama pelangkin, apabila kupakai sendiri pasti terasa dingin. Sebaiknya kita gunakan bersama-sama dengan Gusti. Jadibisa merata." Berkata Sang Puteri, 27. "Engkau bertambah manja. belibis, Kauminta pelangkin yang kupakai. Apakah bedanya dengan selimut kain yang lain." Sedang Si Belibis Putih segera saja tidur. 28. Sesungguhnya burung itu hanya pura-pura tidur. Tiada lain yang dipikirkan hanyalah Sang Ayu. Ia mengharap agar supaya Puteri cantik itu cepat tertidur. 29. Sang Puteri berada di sebelah barat guling sedang si belibis berada di sebelah timur. Sang Ayu sangat berhati-hati, mengingat kata si burung ia kadang-kadang terbangun sendiri. 30. Minta Sang Ayu kepada Si Burung, "Janganlah kau berada di atas guling sayangku. Kudorong kaujatuh nanti." Si Belibis pura-pura terbangun, katanya, 31. Bagaimanapun hamba tak akan sengaja, sudah menjadi kebiasaan hamba, kadang-kadang terbangun tanpa sadar. Sekali lagi hamba minta maaf. Dulu pernah hambamu terbangun tanpa sadar. 32. Ketika hamba berada di istana Malawa. Tiba-tiba dibangunkan oleh para dayang-dayang isteri Sang Raja Anglingdarma. Akibatnya hamba jatuh sakit selama tiga tahun. Hampir saja meninggal. Murkalah Raja kepada para dayang-dayang." 33. Sementara itu Sang Kusuma telah jatuh tidur, seperti terkena 158 PNRI
oleh jampi-jampi. Gelungnya terurai harum baunya. Melihat itu Sang Belibis hatinya semakin hancur. 34. Lebih-lebih menyaksikan bibir puteri yang bergaris-garis kecil, terbuka sedikit tampak giginya yang putih mengkilat. Pilis pada dahinya tergeser semakin manis. Wajah seperti bulan. Berkata dalam hati Si Belibis, 35. "Inilah seorang wanita cantik lagi menarik, warna kulitnya kuning mengkilat. Sesuai dengan ulah-geraknya. Kiraku ia penjelmaan Ratih Mampu membuat orang tergila-gila, meremasremas jantung. 36. Si Belibis tiada lagi dapat menahan hatinya yang gundah gulana, tak sabar ditinggalkannya tempat beralih ke tengah-tengah payudara puteri dan mendekam di sana. 37. Pelangkin ditendangnya terjatuh jauh di bawah. Tak ampun dicocornya muka puteri sambil bertumpu pada tengah payudara. Diciumnya puteri berulang-ulang. Rasa hati seperti menemukan madu yang manis sekali.
159 PNRI
29. DANDANGGULA
1. Begitu pulas tidur Sang Puteri, hingga tak ingat segala sesuatu. Bibirnya dicocor oleh belibis berkali-kali. Dan merata dicocornya seluruh badan Sang Ayu. Semua bagian tak ada yang terlupa. Bahkan subang Sang Kusuma sampai terjatuh. lepas dari daun telinganya. Belibis kemudian mencocor hidung dan terkejut sang puteri hingga terbangun dan terus duduk. Marahnya tiada terkira. 2. Setengah kantuk ia membentuk dengan rasa marah, "Minum tuakkah kau? Ulahmu seperti tidak wajar. Mabuk gadung dan ganja, mungkin minum air lendir. Apakah kau belibis yang ke sasar. Ulahmu tak keruan sodok sana-sini, melanggar perjanjian. Apa maksudnya kau lewati guling untuk menjamah tubuhku? 3. Alasan apa kaucocor telingaku, rasanya nyeri bagai disengat oleh kelemayar. Gila tahun memang dikau. Mengapa pula kaucocor hidungku, sehingga nafasmu keluar dari kuping. Bukankah kau binatang bukan manusia, mengapa berbuat sekehendak hati tak patut dilihat dan tidak pada tempatnya, sampai-sampai kauberani menjamah tubuhku. Kau anggap siapa aku ini?" 4. Sang Puteri meraih patrem, kemudian ditariknya keris kecil itu, siap untuk ditusukkan. Bentaknya keras, "Mari kutoreh isi perutmu. Keluarlah engkau segera, jangan dekat-dekat dengan aku. Tempatmu di lantai." Dan cepat-cepat Belibis turun sambil mengibaskan sayapnya. Ia mengaduh, 5. "Aduh kemana gerangan Gustiku Anglingdarma pergi? Bawalah diri patik bersama Tuan. Tidak enak mengabdi kepada 160 PNRI
Tuan baru, lagi pula wanita. Mudah tersinggung hatinya, tiada mau memberi maaf dan selalu marah-marah. Hampir-hampir diriku mati tertusuk kens patrem yang bukan main tajamnya. 6. Sungguh tidak enak perasaan di hatiku akibat berganti majikan. Memang beginilah nasib saya. Dulu aku telah bertekad tidak akan mengabdi kepada wanita. Lebih enak bertani dan bertempat tinggal di desa Wanasari. Ee, tahu-tahu diambil oleh Sang Raja di Bojonegoro dan dibawa ke istana. Kini diriku menderita. 7. Aduh Gustiku Anglingdarma dari Malawa, kemana gerangan perginya? Dulu beliau sangat sayang kepadaku, sekarang diriku ditinggalkan sendiri. Sekiranya Tuanku telah meninggal, bawalah serta Si Behbis Putih. Semoga Dewata Agung mengambil nyawaku." 8. Sang Puteri hatinya bagaikan disayat-sayat mendengar ratapan Si Behbis. Keris kecil dimasukkan kembah ke dalam sarungnya. Ia turun ke lantai mendekati Si Burung Behbis. Digamitnya burung itu, dibelai-belai sambil mengucapkan kata perlahan-lahan, "Wahai Behbis kekasihku. Janganlah kau sebutsebut lagi nama gustimu. Hatiku bagai tersayat sembilu mendengar ratapanmu. 9. Heran aku mehhat peringaimu, sedikit-sedikit mengimbau Tuannya yang pergi entah kemana? Mungkin ia telah hancur berkeping-keping Rajamu itu. Ia telah menjalani suratan takdir tidak diketahui di mana rimbanya. Jika kumarahi dikau, langsung minta pamit pergi. Bukankah kita hanya bergurau, apa saja yang telah kaulakukan? 10. Sang Behbis masih mengiba-iba, "Hamba cepat-cepat melompat dan turun kelantai, menghindari saat-saat yang genting. Jika waktu ada setan yang lewat, keris kecil itu pasti minta korban. Dan sekiranya terlanjur teijadi pembunuhan, tak ada lagi yang dibicarakan. Memang suka duka orang mengabdi, sedikit berbuat salah langsung mendapat marah, jarang yang diusut lebih dulu. 161 PNRI
11. Esok hari patih mohon pamit dan mohon dimaafkan segala kesalahan hamba. Patik akan pergi mencari Baginda Anglingdarma entah ke mana? Mati atau hidup hamba kan mengikuti Baginda." Sang Puteri sangat takut kehiiangan Si Belibis. "Dan aku pasti tidak akan membiarkan dikau pergi," katanya sambil memeluk tubuh burung itu. 12. "Aku berjanji padamu, tidak akan marah-marah lagi. Kuharap jangan sekali-sekali meninggalkan istana ini. Benar aku merasa jera, tidak akan berbuat dua kali. Bagaimana ulahku jika dikau pergi dari sini. Kosong isi di dalam dada. Semoga kita selamat dan dilindungi oleh Dewa." 13. Maka dibawalah Sang Belibis naik ke atas tempat tidur. Berkata Sang Puteri setengah berbisik, "Tidurlah dikau di atas kasur. Kutaruh guling di kanan-kirimu. Kulengapi dengan bantal bersusun berbau harum." Si Belibis berkata, "Dulu ketika masih di negara Malawapati patik mempunyai kebiasaan tak seorang pun membangunkan hamba selagi enak tidur. 14. Biarpun Baginda sendiri, tidak berani membangunkan diriku, sampai waktunya patih bangun sendiri. Mungkin selama setahun. Dan mungkin hanya sebentar sama dengan orang makan sirih lamanya patik pun segera bangun. Jika hamba dibangunkan dengan tiba-tiba bisa menyebabkan sakit dan bisa meninggal. Itulah kelemahan patik. 15. Dahulu," cerita Si Belibis, "ketika hamba masih di Malawapati. jika Baginda menginginkan hamba lekas tidur, maka para isteri Raja bergantian mengipasi diri hamba." Sang Puteri menyela, "Aku sendiri yang mengipasi, tetapi kau harus berjanji, tidak mudah cepat patah hati. Semuanya ini kulakukan hanya karena kasih dan sayangku kepadamu." 16. Sang Belibis segera pura-pura tidur. Dan tibalah waktu pagi hari. Puteri telah lama bangun. Namun ia takut membangunkan Si Belibis. Hatinya telah lama menanggung rasa rindu kepasa Sang Raja Anglingdarma, akibat dari cerita-cerita Si Burung. Dalam hatinya hanya satu yang terpikir, yaitu Raja Malawa. 162 PNRI
17. Berpikkr Sang Puteri di dalam hati, "Bagaimana aku harus membangunkan burung ini? Jika tubuhnya kugoyang pasti ia terkejut dan patah hati. Apabila kupeluk dia, tabiatnya suka nakal, Jika dia kubiarkan saja, aku takut dia merintih lagi dan akhirnya jatuh sakit. Akulah yang kehilangan." 18. Seperti orang yang dimabuk cinta, begitulah Puteri seialu memandang muka Si Belibis Putih. Terlompatlah kata-katanya, Bila kuperhatikan rupa Si Belibis, mukanya bercahaya terang. Apalagi Gustinya, raja di Malawa, tentu bagus dan tampan. Wahai Belibis bangunlah, hari telah pagi. Antaran makananmu telah tersedia, segera kau makan." 19. Sang Belibis tidak bergerak sedikit pun, ia enak-enak pura-pura tidur. Semua gerak-gerik Puteri diliriknya. "Bangunlah kau segera wahai kakak belibis. Aku hendak pergi mandi ke Taman Sari. Dibangunkan tidak mau, apalagi rajanya di Malawapati. Bagaimana beliau jika pulas beradu. 20. Sedangkan piaraaan belibisnya saja terlalu kolokan, tak mudah membangunkan tidurnya." Sang Ratna menjadi kesal hatinya. Ia berpaling kemudian duduk menahan dagu, katanya dalam hati, "Tak tahu aku ke mana almarhum pergi, mengapa tidak segera datang ke mari, dan membangunkan si belibis sendiri. 21. Aku sudah menyerah memelihara kekasih paduka Sang Raja Malawapati. Sangat tinggi hati dia seperti pekerti seorang temenggung. Tak dibenarkan membuat dia terkejut sedikit pun. Jika ia sampai terkejut pasti kembali patah hatinya. Siapa yang saya mintai bantuan." Tak keruan perasaan hati sang Srengganawati. Duduknya pun tidak jenak, seperti ayam akan bertelur. 22. Karena sangat tertekan perasaannya ia bicara sendiri, meratap ditujukan kepada Raja Anglingdarma, "Pukulun bangunlah, katanya sambil melihat Si burung sebagai sasaran, segenap menteri dan penggawa tinggi telah siap menghadap di pasewakan. Segera keluarlah ke pesewakan. "Sang Belibis mendengar kata-kata itu. 163 PNRI
23. Dalam pada itu Sang Puteri tiba-tiba berdiri, pura-pura tergelincir dari tempat tidur, membuat terkejut Si Belibis Putih, ia bertanya, "Apa sebabnya Tuan jatuh." Dijawab oleh Sang Puteri, "Pandanganku kunang-kunang dadaku terasa sempit. Aku ingin membetulkan kainku, dan terpijaklah bagian ujungnya." 24. "Aduh, syukurlah jika Tuanku tidak mendapat luka. Jika sampai terjatuh dan patah tulang, pasti ayahanda akan murka kepada patik. Mungkin malahan hamba dibunuh, karena lalai menjaga Tuan. Berkata Sang Puteri lebih lanjut, "Saya ingin pergi mandi ke kolam di dalam taman. Engkau kubawa untuk kumandikan dan kubersihkan kepalamu. 25. Aku sendiri yang akan mencuci rambut di kepala kekasihku." Pelahan Belibis berdatang sembah, "Patik hanya siap melakukan perintah. Tetapi mohon agar seorang pun tidak ada yang melihat Puteri mencuci rambut kepala hamba. Sebaiknya berada di tempat tertutup." Sang Puteri merasa, tentu ada sesuatu rahasia. Maka dibawanya Sang Burung keluar. 26. Para dayang-dayang diperintahkan agar menyiapkan segala keperluan mandi di dalam taman. Seperti bedak pelumas serta air pencuci dari tangkai padi yang dibakar (landa). Kain basahan dan kain untuk ganti. Setelah itu rombongan dayangdayang siap mengiringi Sang Puteri. Belibis Putih terbang rendah di atas Kusuma Srengganawati. 27. Rombongan dayang-dayang beserta Sang Puteri dan burung belibis tiba di dalam Tamansari. Di sana terdapat kolam yang luas, kanan-kirinya tertutup oleh pagar bata yang tinggi. Sang Belibis hinggap agak jauh dari Sang Puteri. Pintu Kolam dibuat seperti kupu-kupu yang bertarung. Dilengkapi dengan kumuda.
164 PNRI
30. KINANTI
1. Jika kedua daun itu tertutup tampak seolah-olah saling berdekapan. Dan jika kedua daunnya terbuka, tampak seperti saling membuat janji. Srengganawati kemudian masuk ke dalam pagar melalui pintu yang terbuka. 2. Belibis ikut di belakangnya, tidak pernah berpisah dengan Tuannya. Setelah itu daun pintu pun tertutup, segera dikunci dari dalam oleh Sang Puteri. Semua dayang-dayang berada di luar, tidak seorang pun diperkenankan turut masuk. 3. Ada yang pergi ke utara kolam ada yang berada di selatan. Ada pula yang mengumpulkan bunga-bunga, sebagian saling mencari kutu rambut. Yang lain bermain dakon atau bermain sengguring. Tersebutlah Sang Puteri yang mandi di kolam. 4. Berkata Sang Puteri kepada Si Belibis, marilah kau dekat padaku untuk saya cuci jambul di kepalamu. Sang Behbis bersiap melakukan perintah, "Silakan Tuanku Puteri jika benarbenar puteri mengasihi Patik. 5. Tariklah kuncung hamba pelan-pelan tetapi sedikit keras." Maka dipeganglah kuncung Si Behbis, dicuci dan disisir hingga terlepaslah daun tal tertuhs yang melekat pada kuncung Si Behbis Putih. 6. Gelungnya telah terlepas dan lenyaplah rupa burung behbis, berubah kembali menjadi seorang manusia. Tercengangcengang Puteri tak dapat mengucapkan kata-kata. Apakah ia tidak mimpi, mehhat seorang kesatria tampan di depannya. 165 PNRI
7. Parasnya seperti Hyang Kamajaya yang turun ke bumi, tampak sangat memikat hati. Kesatria dari mana ia, batin Sang Kusuma, tiba-tiba saja duduk di depan saya. Tak tahu aku dari mana ia masuk dan berada di sini? 8. Lagi pula mengapa -kekasihku Si Belibis Putih sekonyongkonyong lenyap tanpa sebab. Tak tahu apa yang akan dikerjakan lebih lanjut. Ia segan menanya lebih dulu, mengingat tabiat seorang wanita tak boleh mendahului. 9. Baginda dapat menangkap keadaan, tahu bahwa Puteri sangat malu. Maka berkatalah dengan manis, "Wahai Gusti yang bagai bidadari. Silakan mencuci jambulku lebih lanjut. Mengapa puteri tidak lagi mengenal patik? 10. Bukankah hamba kekasih piaraan Tuan Puteri Si Belibis Putih? Kini menjelma kembali menjadi manusia, berkat pertolongan Sang Puteri. Apakah yang dapat saya berikan sebagai balasan kepada Tuanku Puteri? 11. Biarpun menjelma tujuh kali belumlah seimbang pembalasan budi yang akan hamba berikan. Patik masih mempunyai hutang. Maka permohonan hamba kepada Tuan, perkenankan hamba mengabdi seumur hidup hamba." 12. Sang Kusuma berpikir di dalam hati," Benarkah laki-laki ini penjelmaan dari si burung belibis. Alangkah ajaib kejadian ini, seorang manusia bisa berubah menjadi belibis. 13. Maka menggumamlah Puteri agak keras, "Aku baru mengalami sekarang, bahwa seekor burung belibis bisa berubah menjadi manusia. Wahai laki-laki, katakanlah dengan sungguh-sungguh. Siapakah kamu ini? Jin atau peri perayangan atau dewa dari suralaya? 14. Sekiranya kau benar-benar seorang manusia, dari manakah asal negaramu. Dan hendak ke mana tujuanmu? Siapa pula nama panggilanmu?" Sang Bagus menjawab," Hamba datang dari negara Malawapati. 166 PNRI
15. Tiada tujuan tertentu dalam hati. Yang mau memanggil namaku ialah Maharaja Anglingdarma. Karena dahulunya pernah menjadi raja. Tetapi kini sangat kasihan nasibnya, karena berubah rupa menjadi seekor burung belibis. 16. Disebabkan oleh tenung raksasa perrempuan terhadap diri hamba. Kini hamba kembali kepada rupa semula berkat pertolongan Tuan." "Jika demikian betul perkiraaan saya sebelumnya," pikix Puteri. 17. Ketika masih berupa burung, manjanya bukan buatan. Meskipun kecil tetapi akalnya banyak. Petunjuknya sangat tepat, maka semakin berkobarlah api asmara dalam hati Sang Puteri. 18. Hatinya tergerak mendengar cerita Sang Raja Anglingdarma, badannya terasa lunglai akibat usianya yang telah dewasa. Seorang puteri berdekatan duduk dengan laki-laki tampan. 19. Ia tenggelam dalam kata-kata manis yang diucapkan dari seorang laki-laki yang telah lama diimpikannya. Bagai mati terduduk, pikirannya terbang ke alam bahagia karena senangnya. Maka ia pun menyembah sambil berkata, 20. "Sekiranya Tuanku setuju atas saran hamba. Marilah kita berdua menghadap kepada ayahanda dan bunda. Pasti beliau sangat berkenan hatinya mendapat menantu Tuan. Beliau tidak akan murka." 21. Raja Anglingdarma menjawab, "Wahai Kusumaku sayang. Aku tidak dibenarkan bertempat tinggal di kota oleh para Dewa. Dahulu aku pernah mendapat kutukan Dewi Uma dan Dewi Ratih. 22. Selama delapan tahun aku dilarang berada di dalam negara. Oleh sebab itu jika memang kau menaruh kasih kepadaku dan setuju hatimu, siang hari aku berupa burung dan pada waktu malam aku berupa seorang manusia biasa." 167 PNRI
23. Maka tunduklah Sang puteri tidak segera memberikan jawaban. Ia bingung karena berbagai pertimbangan yang rumit. Raja tak sabar. Maka diembannya Sang Kesuma. Dirayunya dengan kasih mesra dan diciumnya berulang-ulang. Diucapkan kalimat dari syair-syair yang indah. 24. Aduhai Gusti perutusan Dewa. Orang yang benar-benar cantik lagi manis, menarik hati dan lincah membuat yang melihat menjadi terpesona. Hati terkuasai oleh pandangan yang memikat. 25. Pandangan mata yang tampak sangat manis seperti manisnya madu. Madu dari segala bunga di dalam taman telah hampa. Semuanya terisap dan terkumpul padamu gustiku seorang. 26. Hamba serahkan jiwa dan ragaku kepadamu Gusti. Terserah apa yang akan Gusti perbuat. Hamba mohon mengabdikan diri dan sanggup di caci dan dimarahi, belahlah dan potonglah diri hamba. Sementara Puteri berusaha membebaskan dari pelukan. 27. Baginda mencium lebih keras, terhalang oleh gelung. Lepaslah gelung puteri dan tercium bau yang harum. Keringatnya keluar banyak karena meronta-ronta diemban Baginda. Lamalama lunglai tubuh Sang Ayu. Ia tidak lagi mencubit atau menangkis. 28. Ia pelan-pelan menyebut ayahanda dan ibunda dan semakin rapat desakan baginda, seraya mengucapkan kata-kata yang memikat. Ibarat kumbang menghisap madu bunga yang masih kuncup, dengan sabar menunggu keluarnya cairan manis. 29. Wahai buah hati pujaan kanda. Hamba mengembara ke seluruh bumi. Keliling menaklukkan beberapa negara. Sesungguhnya hanya untuk mencari dirimu. Penjelmaan Ken Dewi Setiawati. Permata di Bojonegoro. Demikianlah Baginda merayu Puteri di pinggiran kolam Taman Sari. 168 PNRI
30. Tak henti-henti Sang Puteri dicium dengan perasaan sayang. Baginda mampu menahan nafsunya. Keduanya mandi dan berganti kainlah Sang Puteri yang telah dibawakan oleh dayangdayang dari istana sebelumnya. 31."Marilah Gustiku," demikian permintaan Anglingdarma," kembalikan segera daun tal yang bertulis pada kepalaku. Biar aku kembali berupa behbis." Sang Puteri menyembah," Apa perlunya harus berubah rupa binatang 9 32. Aku telah bosan melihat burung behbis beijambul. Lebih bagus tetap menjadi manusia saja. Mari kita menghadap paduka ayahanda. Hamba selanjutnya yang bertanggung jawab sekiranya ayahanda murka kepada Baginda." Maka menyela Sang Anglingdarma, 33. "Jika kakanda merupakan diri sebagai manusia, akibatnya tidak akan berlangsung lama kita hidup bersama-sama. Tetapi jika berupa behbis maka akan senantiasa berdampingan dengan dikau. Sampai selama-lamanya aku mengabdi kepadamu. 34. Marilah adinda sayang, segera kaukembalikan daun tal di gelung kakanda. Kemudian ikatlah erat-erat dengan rambutku." Setelah menyembah Srengganawati meraih daun tal yang bertulis. 35. "Mohon maaf hamba Baginda," sembahnya, " semoga hamba terhindar dari bahaya. Setelah terpasang tenung raksasa itu berubahlah diri Baginda menjadi behbis putih." Teheran-heran Sang Puteri menyaksikan kejadian itu, katanya, 36. "Biarpun berubah burung behbis, namun tetap pantas menjadi raja, pantas dihadap oleh para bala tentara. Cahayanya gemilang jernih. Hanya sayang ada satu cacadnya, suka mencocor pipi." 37. Selanjutnya Srengganawati mohon maaf kepada Baginda, sembahnya, "Maafkanlah kesalahan hamba selama ini, yang besar 169 PNRI
atau yang kecil." Sang Belibis menjawab, agar Puteri jangan mengulang-ulang lagi permintaan tersebut. 38. Kita pulang segera ke istana. Jangan terlalu lama berada di kolam. Dan diembanlah Belibis Putih oleh Sang Puteri dibawa keluar di mana para ceti dan parekan telah siap berjaga di tepi pintu. 39. Bolehkah hamba mengemban Belibis Putih itu, sembah Inya Jelamprang. Hamba ingin membelai burung kekasih Tuan. Puteri pun menjawab, "Jangan-jangan, nanti kita susah jika ia patah hati dan pergi meninggalkan Bojonegoro. 40. Ia gampang sekali marah-marah. Baru saja ia berontak, habislah buah dadaku dipukul oleh kepakan sayapnya. Aku lelah melerainya, maka aku segera keluar dari taman sari.
170 PNRI
31. MIJIL
1. Marilah kita kembali ke istana." Maka berangkatlah rombongan menuju ke istana. Puteri berjalan paling depan sambil mengemban burung belibis sendiri. Para dayang-dayang saling berbisik bersartia teman, 2. "Aku tak tahu sebabnya. Mengapa Gustiku Sang Puteri sampai lupa menghadap Sang Raja. Terserap waktunya penuh untuk memelihara Belibis Putih, baik siang hari maupun malam hari." 3. Semuanya tidak ada yang tahu. Mereka sampai sudah di pura. Puteri memerintahkan kepada para dayang-dayang untuk membuat rangkaian bunga-bunga yang ditempatkan di atas balai terapung. Puteri hendak tidur semalam di tengah kolam dalam Taman Sari. 4. Mohon kepada Dewa Agung, demikian kata Puteri, semoga aku kelak dipersunting oleh seorang Raja yang berusia muda lagi tampan rupanya. Dayang-dayang tersenyum, sembahnya, 6. Semua saja tidak terkecuali, baik parekan atau ceti. Tidak diperbolehkan ikut dan tetap tinggal di istana besar. Aku hendak tidur sendiri di atas balai kambang. Para inya dan bibi menjawab siaga. 5. "Aduh-aduh Gustiku tengah birahi penuh, cantiknya bukan kepalang. Perlukah harus kawin dengan raja sayang?" Sang Puteri tersenyum mendengar kata-kata itu. Aku akan semadi, katanya, tidak seorang pun diperkenankan turut ke kolam. 7. Mereka beramai-ramai menyiapkan sebuah balai terapung, dihias dengan pelbagai untaian indah. Begitulah hari petang menjelang datang. Matahari telah berada di atas bukit. Bulan sabit di ufuk timur mengganti menerangi bumi dengan sinar lembut. 171 PNRI
8. Tempat tidur terapung telah selesai. Sang Puteri berkata, "Sekarang hanya burung belibis saja yang menemani saya tidur di atas balai terapung." Sang Belibis pun menjawab bahwa telah siap siaga. 9. Kemudian berjalanlah Ken Srengganawati ke arah kolam di dalam taman mengemban burung belibis. Para dayang-dayang mengikuti dari belakang sampai di pintu masuk. Mereka kembali ke istana sementara Sang Puteri mengunci pintu dari dalam. 10. Puteri kini tinggal berdua dengan burung belibis. Berkatalah Sang Puteri, "Ah bosan aku melihat jambul belibis." "Ini, jambul bukan sembarang jambul, tetapi jambul menunggu umur," jawab Belibis. 11. Sang Puteri menyembah sambil menahan tawa, "Maaflah aku kakanda, memberanikan diri memegang jambul." Sambil diambilnya tenung yang melekat. Maka berubahlah rupa binatang itu, menjelma kembali berupa manusia bagus seperti Hyang Asmara yang turun ke bumi. 12. Kehadirannya yang tiba-tiba mengejutkan hati Sang Puteri. Sebentar tak bisa mengucapkan sesuatu. "Apakah kehadiranku tidak menyenangkan hatimu," tukas Baginda," Kelihatannya seperti kecewa? 13. Atau cemburu tidak setuju aku berada di depanmu." Menyembah Sang Puteri, "Janganlah kakanda berpikir yang bukan-bukan." Dan dicubitnya pupu Baginda." Hamba heran memikirkan kesaktian Si Raksasa. 14. Lebih-lebih anak-anak perempuan raja raksasa itu. Melebihi kesaktian yang dimiliki oleh manusia biasa." Maka disela oleh Sri Baginda dengan kata-kata manis," Telah menjadi tabiat raksasa membuat pekerti jahat. 15. Manusia mampu berbuat lebih hebat, tetapi tidak ditujukan untuk menganiaya orang lain sama-sama manusia." Sang Puteri mengangguk seraya melirik. Baginda mendekat rapat dan mencium payudara. 172 PNRI
16. Puteri pun undur membuat hati panas. Dibaringkanlah Sang Kusuma. Ia tengah merindukan kasih. Gadis remaja belum kenal laki-laki, keringatnya keluar deras. Kini bertemu dengan seorang duda tampan. Ulahnya seperti kupu-kupu yang memadu kasih. 17. Sang Kusuma tak mampu mengelak rayuan yang tak kunjung henti. Badannya menjadi lelah dan terbaring lunglai di atas kasur bunga. Hatinya takut-takut menghadapi desakan tubuh Baginda. 18. Baru pertama kali Sang Kusuma melayani sanggama, ulahnya tak keruan di atas balai terapung. Gelungnya terlepas dan kainnya terlipat, akibat paduan kasih antara laki-laki dan wanita. 19. Sang Puteri merasakan kebahagiaan yang penuh di samping Baginda. Matanya tampak sayu, seperti ayam jantan terkena taji di kepala, tiba-tiba ia jatuh pingsan. Ia pertama-tama melaksanakan tugas melayani suami. 20. Hingga beberapa lamanya Puteri tak sadarkan diri. Baginda menjadi ketakutan. Paras Sang Puteri dibelai-belai sambil diciumi berulang-ulang. Puteri siuman kembali, maka tunduklah kepala Baginda didekatkan di tengah-tengah payudara. 21. Bangunlah kekasihku, dewa peraduan yang manis. Ampunilah hambamu sayang. Jadikanlah sahaya selamanya. Maaflah hambamu karena telah berani menyerbu yang terlarang. 22. Akibat terlalu lelah Sang Puteri tidak menjawab sepatah kata. Pikirannya melayang-layang, bagaikan bunga yang jatuh tertiup angin ia segera diangkat oleh Baginda dari tempat tidur, kemudian dipangkunya. 23. Diciumnya kening dan paras mukanya merata. Puteri tetap tidak berbicara dan pulas tertidur di pangkuan Sang R.aja. Baginda bersenandung lirih dengan kata-kara merayu, mendendangkan Kidung-Pamiiil. 173 PNRI
24. Begitulah Sang Kusuma tidur lelap di pangkuan dan disenandung oleh irama kidung. Kemudian dipindahkan dari pangkuan ke atas balai, diapit oleh guling di kanan-kirinya. 25. Sampai hari pagi keduanya bangun tidur dan menuju ke ruang mandi untuk berganti pakaian. Selesai mandi Baginda membawa Sang Kusuma kembah ke tempatnya. 26. Demikianlah kehidupan Sang Kusuma bersama Sang Raja Anglingdarma. Siang hari Sang Raja berupa burung behbis putih. Jika malam hari Sang Raja berubah menjadi manusia. Tak terhingga kasih sayang puteri kepadanya. Puas memadu kasih. 27. Semua dayang-dayang tiada yang tahu bahwa gustinya telah berlambangsari. Mereka hanya tahu bahwa gustinya tidur sendirian. Mereka tidak menduga gustinya bermain cinta dengan laki-laki sampai mengandung sebulan usianya. 28. Sementara Nyai berbisik-bisik, "Aku melihat suatu yang tidak wajar. Sang Ratna kini tubuhnya mengembang loyo parasnya berwarna hijau. Jarang sekali ia keluar, mungkinkah jatuh sakit?" 29. Lama sudah kedua insan itu saling memadu kasih di atas balai terapung, menyebabkan rusaknya pemandangan akibat banyaknya bunga layu di dalam kandaga. Demikian pula keadaan Sang Puteri. 30. Parasnya pucat agak kehijau-hijauan, mengembang tulang pinggulnya. Sedang jarak jari-jarinya bertambah lebar. Dadanya menonjol ke depan. Lambungnya mengendor, sementara payudaranya bertambah besar. 31. Pada suatu ketika Raja Darmawasewa duduk-duduk di halaman tengah bersama dengan permaisuri. Dipilihnya tempat di bawah pohon Nagasari. Para dayang-dayang lengkap menghadap Sri Baginda. 174 PNRI
32. Para manggung dan para ketanggung semuanya tidak ada yang ketinggalan. Bersabda Sang Raja kepada permaisuri, Adinda Ibu Suri apakah gerangan sebabnya, puterimu telah lama tidak datang menghadap. Mungkin teijadi sesuatu. 33. Hatiku kawatir kalau-kalau ia terserang penyakit. Maka perintah Sebetan untuk melihat ke sana." Segera diperintahkan seorang Sebetan menengok ke keputrian tetapi kosong. Sang Puteri tidak berada di rumah. 34. Disusulnya Sang Puteri ke Taman Sari,, namun Sebetan tidak diperkenankan bertemu. Alasannya Sang Puteri sedang sakit. Oleh karenanya Sebetan cepat-cepat menghadap Baginda kembali dan memberitahukan masalahnya. Bersabdalah Baginda. 35. Sebaiknya adinda Suri sendiri yang meninjau ke sana. Agar supaya jangan berkepanjangan ia sakit. Dan Permaisuri pun berangkat diiringkan oleh para ceti menuju ke keputrian. 36. Setelah mengetahui kedatangan ibu Suri maka Sang Puteri segera menyosongnya. Permaisuri melihat wajah puterinya yang pucat, beliau bertanya, "Sakit apakah anakku, sampaisampai ibumu tidak mengenal rupamu? 37. Pucat pasi warna wajahmu agak kehijau-hijauan. Mekar tulang pinggulmu. Sakit apakah kau ini hingga terbuka sela-sela jarijemarimu." Menyembahlah Sang Putri, "Patik tidak sakit. 38. Telah lama hamba mengurangi makan dan minum, karena badan terasa berat." Namun Permaisuri tahu di dalam hati, bahwa Puterinya telah mengandung. Lemahlah rasa di dalam hati Sang Ibu. 39. Mengingat bahwa. puterinya belum kawin. Aduhai anakku sayang, kata Sang Ibu, marilah kuraba tubuhmu. Puterinya menghindar. Maka Sang Ibu memaksanya dengan pandangan yang marah. 40. Puterinya segera didekati dan dipegangnya, meskipun ia meng175 PNRI
elak. Namun terpegang sudah bagian pinggul yang mengembang. Terperanjat Sang Ibu berteriak, "Aduh Nini Puteri, tidak salah dugaanku. 41. Sejak tadi aku telah menduga. Jika ini diketahui oleh Sang Raja, pasti beliau sangat marah." Puteri pun sangat malu dan menangis seraya meratap, "Bunuhlah patik ini." 42. Permaisuri bertanya sambil mendesak, "Wahai nini anakku. Jangan menangis, beritahukan siapa yang telah berbuat. Apakah dia seorang mantri, bupati atau seorang tumenggung? 43. Apakah dia kepala orang-orang yang terpilih, ataukah seorang jejaka keturunan kesatria? Marilah kaukatakan yang sesungguhnya." Makin bertambah keras tangis Sang Puteri, ia tidak mau menjawab pertanyaan Sang Permaisuri. 44. Lama Permaisuri berusaha memperoleh jawaban puterinya. Namun tidak berhasil. Puterinya duduk di tanah. Sang Ibu putus asa, menyaksikan puteri terus menangis. Ia tidak tahan, kemudian pulang kembali ke istana besar.
176 PNRI
32. DURMA
1. Begitu tiba di hadapan Baginda Permaisuri langsung mencium kaki sambil menangis mengiba-iba, "Aduhai Dewa, aduhai Baginda paduka mendapat musibah besar. Bunga di Tamansari yang dijaga tiap hari, berisi keranda. Seseorang telah masuk tanpa idzin." 2. Mendengar laporan Permaisuri Sang Baginda sangat terkejut. Marah tak terperi. Seperti akan menusuk mati siapa pun yang tidak bersalah. Semua tertunduk diam, tiada yang berani memandang ke muka. 3. Melenguh bagai binatang buas mendapat mangsa. Segera dipanggil menghadap semua wanita yang melayani Sang Puteri. Inya dan parekan lengkap tiada yang sisa. Bersabdalah Sang Baginda, "Wahai semua wanita. 4. Jikalau kalian ingin terus hidup maka katakanlah apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa-siapa yang berkunjung ke Taman istana?" Semua wanita menyembah ketakutan mohon diampuni oleh Baginda. 5. "Tiada laki-laki yang berkunjung ke pura," sembah mereka," kami tidak tahu sebab musababnya. Mungkin jin atau peri yang berkunjung serta mengajak puteri bermain asmara. Sebab putranda gemar bersemedi. 6. Apabila Dewa dari Suralaya yang turun ke bumi kemudian menghamili puteri Paduka, itu mungkin. Sebab bila seorang manusia biasa pasti kami tahu kedatangannya." Maka bingunglah Baginda. Tiada gunanya menghukum para pelayan Sang Puteri. 177 PNRI
7. Mereka belum tentu berbuat salah, apalagi jika sampai menemui ajalnya. Akulah sendiri yang menanggung salah karena terlalu mempercayakan puteriku kepada mereka. Baginda kemudian memerintahkan supaya Patih Jaksanegara datang menghadap. 8. Setelah Ki Patih duduk menghadap dengan tegap, Baginda bersabda, "Ketahuilah wahai Patih. Di dalam istana telah kemasukan pencuri ulung yang meniduri Ni Puteri. Maka undangkan kepada semua mantri dan tentara. Siapapun yang berhasil menangkap pencuri itu, 9. Pasti kuberi hadiah wilayah Bojonegoro separo kerajaan. Dan kuangkat dia menjadi Raja Muda. Kukawinkan dengan seorang puteri kerajaan dan kubuatkan istana di sebelah utara pasar." Ki Patih mohon idzin untuk melaksanaakn perintah Sri Baginda. 10. Kepada semua penggawa disampaikan perintah Baginda Bojonegoro. Semua yang mendengar menjadi kecewa atas ulah Si Pencuri sakti. Para peijurit dan para mantri bersiap untuk melaksanakan perintah. Mereka melengkapi peralatan bertempur untuk dapat berhasil dalam sayembara menangkap pencuri asmara. 11. Mereka masing-masing ingin menunjukkan kebolehannya. Sebagian penjaga membawa pedang, perisai dan tombak kecil. Ada pula yang membawa lembing. Seorang pemberani memihn-milin kumisnya. 12.Begitulah setelah matahari terbenam, semuanya telah siap menjaga istana. Para mantri, penjaga dan para perjurit semuanya beijaga-jaga dengan membawa alat-alat serta senjata masing-masing. 13. Semua peristiwa itu diketahui oleh Sang Puteri dan Raja Anglingdarma. Bertanya Sang Puteri, "Bagaimana kehendak paduka menghadapi penjagaan ketat oleh para mantri dan barisan tentara. 178 PNRI
Mereka menjalankan perintah Ayahanda untuk menangkap pencuri yang berani memasuki istana." Maka menjawablah Sang Anglingdarma, "Saya akan menemui mereka semuanya. Yang ingin menangkap diriku." 15. Sang Puteri tidak menyetujui, takut kalau-kalau Baginda terbunuh. Namun Sang Anglingdarma tetap pada kemauannya. Beliau keluar dari rumah seraya mencipta aji "sirep" dan aji tidak terlihat oleh orang lain yang disebut "palimunan" 16. Setelah Baginda menterapkan aji "sirep pulunggana", maka semua orang yang berjaga-jaga terkena rasa kantuk yang keras. Baik para mantri maupun kajineman tidak kuasa menahan rasa kantuk. Semuanya tertidur di tanah tak beraturan. Melihat semua itu Raja tersenyum. 17. Pisau milik seorang kejimenan dipungutnya. Dan dicukurnya separo cambangnya dan jenggotnya. Keris-keris yang disiapkan untuk menangkap pencuri dilucuti. Malahan ada yang dahi mukanya diberi tulisan. 18. Dengan kapur sirih, kunir maupun abu arang, muka peijurit banyak yang coreng-moreng. Ada pula yang giginya menjadi hitam dan ada yang dicukur habis bulu mata, alis maupun rambut di kepala. Ada yang hanya dicukur separo saja. 19. Para mantri banyak yang kehilangan kain. Tinggal memakai celana dalam. Namun tak seorang pun terjaga dari tidur. Semua itu dikerjakan hanya untuk membuat mereka malu. Semuanya terperenjat ketika mereka bangun pada esok hari. Karena senja mereka tidak di tempat dan mereka banyak yang hanya bercelana dalam. 20. Satu sama lain saling menuduh, namun sebagian tertawa senang menyaksikan teman-temannya kehilangan rambut dan tampak kepalanya yang gundul. Sungguh-sungguh si pencuri memiliki kesaktian yang tinggi. Semuanya menjadi ketakutan. 179 PNRI
21. Mereka berjumlah empat puluh orang, namun tak seorang yang masih memiliki keris di pinggang. Maka diperoleh kata sepakat untuk melaporkan semuanya kepada Ki Patih ke istana. Si Pencuri yang masuk ke dalam istana sungguh bertenaga luar biasa. 22. Para kajineman keluar dari pura dan langsung menghadap kepada Ki Patih. Menyerahkan mati dan hidup karena tak berhasil menangkap pencuri. Patih marah-marah, "Kalian semuanya anjing yang tidak berguna. Gerak-geriknya saja menakutkan orang. 23. Siang hari tampaknya seperti harimau, bercambang hingga telinga. Membuat anak-anak ketakutan melihat ulahnya seperti barongan. Bila sedang menerima hadiah, janjinya tak terkirakan sampai meluap-luap. Kumisnya dipilih-pilin. Begitu Ki Patih melampiaskan nafsu." 24. Semua kajineman tidak ada yang berani memandang wajah Ki Patih. Tunduk dan takut, tiada mampu menjawab sepatah kata. Dalam pada itu Ki Patih segera memerintahkan menjaga pura lebih ketat lagi dikerahkan para mantri beijaga di dalam, sedang para peijurit di luar pintu pura. 25. Selama tujuh hari tujuh malam pura dijaga luar dan dalam. Namun demikian masih juga teijadi bermacam peristiwa yang tidak bisa dimengerti. Banyak teijadi perkelaian antara kawan sendiri, atau malahan sampai meninggal dipukul oleh pencuri yang sakti. 26. Sangat bingung Ki Patih mendengar laporan berbagai kejadian dari para mantri. Maka diputuskan untuk menghadap Baginda dan mengutarakan lebih lanjut tentang kegagalan tugasnya. Begitulah Ki Patih berdatang sembah, 27. "Baginda Raja, hamba laporkan bahwa pencuri sangat sakti, dan bukan pencuri sembarangan." "Memang Patih," sabda Baginda," hanya saya benar-benar heran, mengapa dia raemadu kasih dengan puteri. Kesatria dari mana ia gerangan? 180 PNRI
28. Akibat perbuatannya negeriku menjadi tercemar, menonjolkan kepandaian dan kesaktiannya. Oleh karena itu wahai Patih, kuperintahkan kepadamu untuk mencari upaya ke luar Bojonegoro. Siapa pun yang mampu menangkap si pencuri. Kuberi hadiah negara beserta puteri. 29. Kupercayakan segalanya kepadamu Patih. Dan semoga kau lekas berhasil memperoleh bantuan. Biarpun kau harus bekerja keras. Kamu jangan pulang kembali. Naiklah kau ke atas gunung dan datangilah pertapaan di gunung Srenggana. 30. Kepada semua pertapa, ajar serta jejanggan, ataupun para wasi, mohonlah kesediaannya untuk menangkap si pencuri. Bawalah mereka cepat-cepat ke negara Bojanegoro." Patih menyembah dan mohon diri. 31. Ki Patih hanya mampir sebentar ke rumah Kepatihan untuk menyiapkan sesuatu. Ia berganti pakaian yang telah kumal, berwarna hitam-hitam menyerupai rakyat biasa dan pergi tidak membawa pengawal. 32. Ia tinggalkan kota pada waktu malam hari. melalui perbatasan kota dan langsung menerobos hutan belukar. Menyusur tepi jurang dan lereng-lereng gunung. Terkadang menuruni jurang yang terjal. 33. Mantri pertama itu tidak takut menerobos jalan-jalan yang sulit dilalui, meski kadang-kadang terpaksa naik gunung atau pun merambah hutan yang penuh bahaya. Akhirnya ia tinggalkan daerah kerajaan Bojonegoro.
181 PNRI
33. PANGKUR
1. Kita tinggalkan cerita Ki Patih yang tengah dalam peijalanan. Kini dikisahkan keadaan di Negara Malawapati sepeninggal rajanya. Setelah Sang Raja bertolak dengan diam-diam dari Malawati, terjadilah kekacauan di desa-desa. Semua punggawa dan rakyat susah hatinya. 2. Akibatnya negeri Malawapati mengalami kemunduran. Para keluarga dekat raja dan para punggawa tinggi mendesak kepada Patih Batik Madrim untuk menghadap kepada Raja Anglingdarma. Keputusan itu disampaikan kepada Patih dalam suatu pertemuan yang dihadiri pula oleh para tumenggung dan peijurit. 3. Sebagai kita maklum, begitu kata sepakat mereka, selama Raja berkabung, apa yang kita tanam gagal sehingga menyebabkan mahalnya pangan. Menyusul mahalnya sandang sehingga menyusahkan hati segenap penduduk. Laporkan itu kepada Sang Raja. 4. Sekiranya Sang Raja menginginkan kawin dengan puteri cantik dari seberang. Kami semua bersedia melamar biarpun harus mati akibatnya. Sebab jika terlalu lama Baginda tidak memegang langsung pemerintahan, mundur dan rusaklah Negara Malawapati. Kami semua punggawa dan tentara pedih hati karenanya. 5. Kini telah agak lama berlalu, kami kira Baginda tidak lagi merenungkan permaisuri pertama. Batik Madrim tidak menjawab ia setuju dalam hatinya akan permohonan semua punggawa tinggi. Maka naiklah ia ke atas panggung hendak menghadap Sri Baginda. 182 PNRI
6. Turut serta bersama dia Raden Handayaningrat. Keduanya tidak menemukan Sang Raja di atas. Dan kiranya Sang Raja telah meninggalkan panggung itu agak lama. Ki Patih segera turun kembali. Di bawah panggung ia duduk termenung beberapa lamanya, ia menangis di dalam hatinya. 7. Kemudian berbicara kepada diri sendiri, "Inilah kesalahanku yang besar. Tiada guna aku menjabat Patih yang bertugas menjaga Raja. Beliau lenyap tanpa kuketahui." Begitu para mantri tahu bahwa rajanya telah pergi meninggalkan negara maka ributlah mereka. Mengapa sampai hati rajanya pergi tanpa pamit. 8. Semua keluarga dekat menangis dan meratap seperti perempuan. Ada yang tak mampu bicara, karena sangat tertekan hatinya. Lain lagi dengan Arya Wijariarka, ia berteriak-teriak. Hatinya kesal. Sedang Raden Dayaningrat dan Arya Mangunjaya saling berpelukan sambil menangis sejadi-jadinya. 9. Berita lenyapnya Baginda Raja disampaikan kepada para isteri raja maka gemuruhlah suara tangis datang dari dalam pura. Menangisi Baginda yang pergi. Baik isteri maupun selir semuanya kebingungan, mondar-mandir ke sana ke mari. Semuanya merata tidak ada yang keliahtan senang. Di mana-mana orang berdukacita. 10. Maka pusinglah Ki Patih mendengarkan suara tangis tak berkeputusan dari dalam pura. Keras-keras ia berkata, "Wahai dengarkanlah dan diamlah semua. Saksikan tanda-tanda yang akan kubuat." Sambil berteriak ia keluar dan menemui para bupati. Ia berteriak kembali, 11. "Wahai semua rakyat di Malawapati. Lihatlah Pohon Tal ini. Aku buat sebagai sayembara dan tanda kepergian Sang Raja. Jika aku masih kuat dan mampu mencabutnya, tanda bahwa Sang Baginda hidup. Tetapi jika aku tak kuat mencabutnya, itu tandanya bahwa Baginda telah wafat." Batik Madrim segera mencabut pohon tal itu. 183 PNRI
12. Ternyata pohon itu tercabut disertai oleh sorak sorai segenap yang melihat. Dilemparkan pohon tal itu ke atas sampai tidak terlihat dan jatuhlah di tengah alun-alun. Kira-kira sepanjang sepuluh asta terunjam di dalam tanah. Rombongan orangorang dan Patih Madrim pergi mendekati pohon tersebut. 13. "Sekali lagi kubuat pasang giri mengenai pohon tal ini. Kalian semua menyaksikan. Jika setelah aku pergi mencari raja pohon tal ini mati, itu tandanya bahwa aku kembali pulang tidak bersama-sama dengan Sri Baginda. Tetapi jika ia tetap hidup, tandanya aku akan kembali mengiringkan Sri Baginda."
184 PNRI
34. DANDANGGULA
1. Setelah itu Batik Madrin memanggil ketiga keluarga dekat yaitu Raden Handayaningrat dan Raden Wijanarka serta Raden Mangunjaya. "Aku akan pergi mencari Baginda, kata Ki Patih. Kepada kalian bertiga kupercayakan penjagaan negara. Lagi pula kutitipkan para teruna untuk dididik bekeija sesuai dengan pengetahuannya. 2. Yang kedua, hendaknya kalian tetap waspada, mengingat banyaknya masalah yang teijadi di dalam negara. Memerintah para penggawa. Carilah kata sepakat dalam menangani suatu perkara. Dan jika datang musuh menyerang kota. Jagalah dengan ketat di sekeliling kota. Dan janganlah kalian keluar kurang perhitungan didorong oleh nafsu muda, berani tidak memikirkan keselamatan umum. Kalian bisa mati sia-sia." 3. Ketiga kesatria itu menyembah. bersama-sama. Sanggup melaksanakan segala pesan Ki Patih. Setelah selesai memberikan pesan-pesannya Batik Madrim berganti pakaian serba hitam. Ia tinggalkan kota kota pada waktu malam hari. Bulan telah terbit menggantikan tugas matahari, dalam pada itu Ki Patih telah meninggalkan Malawapati. Setengah bulan sudah Ki Patih mengembara mencari Sang Raja. 4. Ia beijalan siang dan malam, menuruni jurang dan mendaki gunung Jalannya tidak menentu arah yang dituju akibat hatinya yang rusuh. Ia sangat kelelahan dan terduduk di bawah sebatang pohon. Ia terlelap karena kantuknya. Tiba-tiba ia mendengar suara, "Batik Madrim, ketahuilah. Jika kau benar benar ingin mencari gustimu. 185 PNRI
5. Maka temuilah dan terimalah apa yang dikatakan oleh seorang Patih bernama Jaksanegara dari Negara Bojonegoro. Itulah jalan yang harus kaulaksanakan agar kau bertemu dengan gustimu. Maka beijalan kau ke arah Barat Daya. Keijakanlah dengan patuh." Bangunlah Batik Madrim, ia segera melanjutkan perjalanan ke arah Barat Daya, 6. Tidak lama kemudian Batik Madrim bertemu dengan Jaksanegara. Ia dilihat dulu oleh Jaksanegara, yang bicara di dalam hati," Orang dari mana pemuda ini. Beijalan seorang diri, gagah dan berpakaian serba hitam. Membawa tongkat rotan kuning. Wajahnya sangat bagus. 7. Meski tampannya sangat muda tetapi dikenakannya pakaian pendeta. Aku tegur dia," katanya, "Berhentilah sebentar saudara. Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Dari mana saudara datang dan akan menuju ke mana?" Batik Madrim pun berpikir di dalam hati, "Mungkin orang inilah yang dimaksudkan dalam pesan yang kudengar. 8 Ia Patih Bojanegara sesuai dengan wajahnya. la bukan orang biasa." Maka ia pun berhenti dan mengambil tempat duduk saling berhadapan. Batik Madrim berkata, "Aku bertanya kepadamu Patih, apa yang Patih cari di dalam hutan seorang diri, tanpa pengawal? 9. Apakah melaksanakan perintah Raja untuk mencari ban tuan kepada siapa pun?" Berpikir di dalam hati Patih Jaksanegara, "Sungguh awas pendeta muda ini. Ia telah tahu apa yang kulaksanakan." jawabnya, "Memang benar segala kata-kata Tuan. Bolehkah saya bertanya? 10. Pemuda tampan di mana tempat tinggalnya? Dan siapakah nama sebutan ananda?" "Rumahku di gunung," jawab Batik Madrim." Saya turun ke lembah untuk mengetahui cara kehidupan di kota." Maka Ki Patih Jaksanegara melanjutkan kata-katanya, 186 PNRI
11. "Aku sangat bersyukur bertemu dengan anak pendeta. Janganlah bekerja setengah-setengah pergi ke kota, untung jika berhasil ananda membantu kami. Kami mohon bantuannya untuk menangkap pencuri sakti di dalam pura. Ia terlalu tinggi ilmunya, rnampu mengalahkan para menteri tanpa melalui pintu masuk. 12. Meskipun telah dijaga dengan ketat namun tak seorang melihat kedatangannya. Raja Bojonegoro sangat besar duka nestapanya. Itulah sebabnya aku mohon bantuan." Batik Madrim terdiam, memikirkan si pencuri sakti. Siapa gerangan dia? Ingin ia mengadu kesaktiannya dengan pencuri yang berani masuk ke pura itu. 13. Jika aku nanti kalah bertanding dengan pencuri, biarlah aku mati. Atau aku bisa bertemu dengan Sri Baginda. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah aku menyanggupi akan membantu Sang Raja. Untuk bertanding dan menangkap si pencuri, bagaimanapun saktinya pencuri itu." Segera dipeluknya Ki Madrin oleh Ki Patih karena girangnya, "Aduhai anakanda. 14. Hadiahnya pasti ananda akan dikawinkan dengan puteri istana. Selain diberikan sebutan Raja Muda yang menguasai separo wilayah kerajaan. Maka berangkatlah keduanya menuju kembali ke Bojonegoro. Peijalanan mereka cepat tiba di kota dan langsung masuk ke dalam istana. 15. Ketika itu Sang Raja Bojonegoro tengah berada di balai pasewakan dihadap lengkap semua punggawa. Sang Baginda bersabda kepada Patih Purwanegara, "Bagaimana kabar beritanya Patih Jaksanegara? Ia telah kuperintahkan untuk mencari bantuan ke mana pun yang sekiranya bisa mengatasi kekacauan yang teijadi di istana dewasa ini. Bukankah telah agak lama ia meninggalkan pura?" 16. Patih Purwanegara menyembah, "Menurut laporan yang hamba terima Hamba paduka Patih Jaksanegara pergi tanpa membawa pengawal dan tidak diketahui ke mana tujuannya." Belum selesai Patih melapor maka tiba-tiba Patih Jaksa187 PNRI
negara telah datang diiringkan oleh seorang laki-laki muda. Seluruh punggawa dan mantri menjadi gaduh, ingin menyaksikan Patih Jaksanegara yang baru datang. 17. Ia menghadap Baginda bersama-sama dengan seorang pendeta muda. Gagah dan berwajah tampan. Keduanya segera berdatang sembah. Selanjutnya Ki Patih Jaksanegara melaporkan peijalanannya yang didengarkan Baginda dengan hati gembira. Apalagi ketika memandang wajah Sang Pendeta serta mendengar sembahnya, bahwa ia seorang pendeta yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. 18 Pendeknya Ki Batik Madrim telah menerima tawaran Baginda, dan menyanggupi untuk menangkap Si Pencuri ulung. Mudahmudahan hamba dapat menangkap pencurinya besok, sembah Batik Madrim. Biar si pencuri mampu bersatu dengan an gin sekalipun hamba tidak akan khilaf. Jangan lagi orang menyebut hamba wewasi apabila gagal menangkap si pencuri. 19. Patik telah menjalankan tapa brata agak lama. Jika tidak mampu menangkap pencuri, sayang berkumis lebat, lebih baik Batik Madrim menemui ajalnya. Patik biasa mengalahkan tetua raksasa. Kini patik mohon kepada Baginda untuk membubarkan barisan yang menjaga istana, karena si pencuri dapat menyelinap di antara orang banyak. 20. Ia tak akan bisa meninggalkan pura. Maka sekiranya Baginda berkenan patik akan menangkapnya pada waktu siang hari. Kepandaian si pencuri telah berada di tangan hamba, sembah Madrim. Mendengar sembah Batik Madrim yang tegas Baginda merasa senang diperintahkan kepada Ki patih untuk membubarkan barisan. 21. Semua barisan segera diperintahkan untuk kembali ke kesatuan sesuai dengan permohonan Batik Madrim. Baginda selanjutnya bertanya, "Apa yang kaukehendaki sekarang, setelah semua barisan dibubarkan?" Menyembahlah Batik Madrim, "Hamba mohon agar supaya semua binatang yang berada di dalam pura dipindahkan tempatnya di luar istana. 188 PNRI
22. Kalau-kalau si pencuri ulung menjelma dalam tubuh binatang serta unggas, biar dikumpulkan di depan Sri Narpati." Baginda pun segera memerintahkan untuk memindahkan binatang piaraan dari dalam istana. Maka dilaksanakan perintah Baginda tersebut sehingga sebentar saja di hadapan Sang Raja telah dipenuhi oleh ayam, itik dan burung-burung. 23. Bersabda Sang Raja, "Batik Madrim kauperhatikan semua binatang piaraan itu, mungkin ada yang kaucari, segera tangkaplah. Aku ingin sekali melihat wajah si pencuri sakti." Batik Madrim menyembah, "Menurut pengamatan hamba pencuri sakti tidak terdapat di antara binatang-binatang itu. Patik mengira masih bersembunyi di dalam pura. Mohon binatang-binatang ini dikembalikan."
189 PNRI
35. DURMA 1. "Bagaimana kehendakmu sekarang Madrim?" "Sekiranya Baginda setuju", sembah Bathik Madrim," hamba mohon diperkenankan berjaga di dalam puri. Mungkin pencurinya bersembunyi di bunga-bunga. 2. Atau di tanam-tanaman hias di pinggir kolam. "Aku berikan kau izin untuk berjaga nanti malam bersama-sama dengan Ki Patih. Kuperkenankan pula kau membawa pengawal yang kauperlukan." 3. Begitulah pada waktu sore setelah matahari terbenam, kedua patih itu telah siap untuk berjaga di pura. Baginda telah lama meninggalkan pesewakan dan masuk ke dalam istana besar. 4. Baginda lama menunggu berita lanjutan hasil berjaga-jaga dari dari kedua patihnya. Maka diperintahkannya untuk memanggil keduanya dengan segera. Ketika mereka tiba bersabdalah Baginda. 5. "Bagaimana Batik Madrim? Adakah pencurinya di dalam pura?" Maka menyembahkalah Madrim, "Benar Gusti, di dalam pura paduka telah kemasukan pencuri. 6. Dewasa ini pencurinya masih berada di dalam pura." "Apa tandanya," tanya Baginda." Hamba dapat mengetahui dari bau yang tercium." "Nah, jika demikian, tangkaplah dia cepatcepat. 7. Wahai Patih bawalah serta semua Bupati. "Bathik Madrim menyela sembah", Mohon ampun Baginda, pencuri itu akan hamba tangkap sendiri saja. Mohon semua nayaka hanya menunggu di sini. 190 PNRI
8. Hanya permohonan patik jangan seorang pun di antara para penjaga yang tidur." Baiklah jika begitu kehendakmu Madrim." Cepat kautangkap." Madrim pun meninggalkan tempat sambil memegang sebuah sisir. Sisir itu disipkan di rambut mencari bau pencuri. 9. Bau pencuri itu datang dari kanan dan kiri, membuat Bathik Madrim kebingungan. Ia diam mngheningkan ciptanya, menterapkan aji pemberian Sang Yogi guna menyatukan bau dari berbagai arah. 10. Kemudian diikutinya dengan tepat. Ternyata berasal dari dalam kolam taman, tempat kediaman Sang Puteri. Baliklah Bathik Madrim akan mohon izin terlebih dulu. Pagi merekah, terbitlah matahari. 11. Menghadaplah Bathik Madrim kepada Sang Raja. Belum lagi menyembah Sang Raja telah bertanya,"Bagaimana Madrim? Mana pencurinya? "Mohon ampun Baginda," sembah Madrim," pencurinya sakti. 12. Dia bersembunyi di dalam balai terapung yang ditempati oleh Sang Puteri tiap hari." Baginda diam sejenak mendengar laporan Bathik Madrim. Patih Purwanegara membenarkan laporan itu." Benar Gusti. 13. Sebelum Madrim memperoleh izin Paduka dia tidak berani bertindak lebih lanjut. "Lalu," sabda Baginda, "apa maksudmu sekarang?" Bathik Madrim menyembah." sekiranya Paduka perkenankan, Puteri dipanggil. 14. Biar Puteri berada di hadapan Paduka, lengkap dengan semua pelayan. Tidak ada yang diperbolehkan tinggal. Oleh karena si pencuri benar-benar ulung dan mahir menjelma dalam bermacam binatang dan benda. 15. Meskipun semuanya telah berada di hadapan Paduka, orang lain tidak akan melihatnya, jika ia menjelma kepada binatang yang menjadi piaraan. Hamba sendiri yang tidak akan khilaf. 191 PNRI
16. Semua saja yang dimiliki oleh Puteri paduka, jika nanti hamba kehendaki mohon diberikan, meskipun Puteri tidak setuju. Di sanalah pencuri itu bersembunyi." Maka Baginda pun memerintahkan kepada Sebetan untuk memanggil Tuan Puteri. 17. Dipesankan dalam perintah agar semua binatang piaraan Sang Puteri maupun benda-benada kesayangannya agar dibawa serta. Demikian utusan itu tiba di kediaman Sang Puteri. 18. Beliau sedang duduk bersama Si Belibis Putih, sembahnya," Patih beritahukan bahwa kini ayahanda telah memperoleh bantuan seorang sakti untuk menangkap paduka. 19. Seorang Wasi berasal dari Gunung Rasamala. Ia telah sanggup untuk menangkap paduka. Hamba sangat kawatir karenanya. Marilah kita pergi saja dari sini." Sang Belibis tersenyum. 20. "Wahai Kesuma yang cantik jelita. Jangan dikau takut-takut. Biar datang lagi wasi yang lain yang membantu ayahanda. Mereka tidak akan melihat dan menemukan saya, sayang. 21. Nanti, apabila dikau dipanggil oleh paduka ayahanda, janganlah ragu-ragu, segeralah menghadap. Bawalah saya, karena saya ingin melihat bantuan raja yang menghendaki kawin dengan puteri." 22. Sebentar kemudian utusan Baginda pun datang. Sembahnya, "Duhai Tuanku Puteri, paduka dipanggil oleh ramanda untuk menghadap, dipesankan agar membawa serta burung piaraan paduka. 23. Juga perhiasan-perhiasan yang paduka pakai, jangan ada yang ketinggalan." Puteri melaksanakan perintah. Belibis ikut serta bersama para dayang-dayang, tidak jauh dari Sang Puteri.
192 PNRI
36. ASMARANDANA
1. Setelah rombongan tiba di hadapan Baginda, segera Sang Puteri mencium kaki ramanda. Beliau duduk di kursi kuning diapit kiri dan kanan oleh kedua patih. 2. Baginda tampak murka, bentaknya, "Janganlah dikau menyembah kepadaku. Dikau anak yang mursal, tidak mau kukawinkan dengan baik-baik. Kini ternyata menyimpan pencuri. Tidak selayaknya kau dilahirkan dengan patut, melihat sinarnya matahari. 3. Aku samasekali tidak mau lagi mengakui dikau sebagai puteriku." Maka menyembahlah Sang Retna, "Bagaimanapun kehendak Baginda hamba terima. Tidak ada gunanya memelihara orang jahat. Lebih baik bunuhlah, hamba agar hidup kami tidak mencampuri kejahatan. 4. Patik seorang sundal anjing yang mencemarkan nama negara. "Baginda kembali bersabda, "Aku heran memikirkan. Apabila ia mendapat marah terus saja minta untuk dibunuh." Puteri malu mendengar sabda Baginda. 5. Puteri undur sedikit berlindung di belakang pohon Nagasari. Maka bersabda Baginda kepada puterinya, "Jika dikau meninggal dunia, siapa yang akan mewarisi negara Bojonegoro?" Dalam pada itu Bathik Madrim memperhatikan wajah Sang Puteri. 6. Ia teringat kepada almarhum Dewi Setiawati, katanya dalam hati, "Jika puteri ini diketahui oleh Gustiku pasti sembuhlah penyakit rindu-asmaranya. Mungkinkah ia penjelmaan dari Dewi Setiawati yang membakar dirinya waktu lalu?" 193 PNRI
7. Setelah itu Baginda memerintah kepada Madrim, "Nah sekarang tangkaplah pencuri itu Madrim." Menyembah Bathik Madrim, "Sebenarnya Patik takut melaksanakan, karena dia tidak mau berpisah sebentar pun dengan Tuan Puteri. 8. Ia sangat dikasihi oleh puteri Paduka. Ketika Sang Belibis melihat wajah Bathik Madrim, katanya dalam hati, " Mungkin kehendak Dewa Madrim tidak kenal lagi kepadaku. Dan kini bermaksud menandingi kesaktianku. 9. Mungkin ia bermaksud kawin dengan puteri, janganlah gegabah kau mengemban puteri istana." Maka menyembahlah Madrim tertuju kepada Sang Puteri, "Hamba mohon diberikan Si Burung berbulu putih. Itulah pencurinya, yang mampu berupa burung belibis." 10. Menjawab Sang Puteri, "Aku tidak akan memberikannya. Ini behbis milikku, mengapa kaukatakan pencuri ulung? Sangat tidak masuk akal. Kau berlebih-lebihan sombongmu, sehingga minta burung kekasihku." 11. Bathik Madrim menyembah kepada Sang Raja, "Mohon Baginda tahu Sang Puteri enggan memberikan burung kesayangannya. Tandanya beliau menyimpan dan melindungi pencuri." Baginda memerintah, "Segera kauberikan, jangan sampai aku sendiri yang mengambil." 12. Cepat-cepat Sang Belibis membisikkan kata-kata kepada Sang Retna, "Segera serahkan diriku kepada ayahanda. Aku akan menjelma ke bunga tunjung yang berwarna kuning itu. Bunga tunjung kegemaranmu." Menyembah Puteri kepada Ramanda. 13."Silakan ayahanda mengambil si burung putih, hamba tidak akan mempertahankan sesuatu. Maka diterima burung itu oleh Baginda dan matilah ia." Bathik Madrim cepat-cepat menyembah, "Baginda Raja, pencurinya kini berpindah ke bunga tanjung kuning. 14. Hamba mohon Tuan Puteri memberikan bunga tunjung itu, 194 PNRI
karena digunakan bersembunyi oleh pencuri." Sang Puteri berkata keras, "Benar-benar Madrim kurang ajar. Berkata asal membuka mulut. Bunga tanjung dikatakan tempat pencuri. Tidak tahu aturan." 15. Berbisik yang menjelma di bunga tanjung, agar puteri menyerahkannya. Ia akan pindah tempat kekancing gelung. Janganlah puteri takut dan ragu-ragu melaksanakannya. Kata Sang Puteri. 16. "Mari kaupegang segera bunga tanjung kuning." Dilemparkan bunga itu ke arah Madrim. Maka layu dan tiada lagi bercahaya. Ki Madrim berseru, "Hampir tertangkap pencurinya. Kini dia Gusti, pindah ke tempat lain. Ke kancing gelung Sang Puteri. 17. Tak salah hamba minta kancing gelung Sang Kusuma sekarang." Sekali lagi bengis kata Sang Puteri," Sungguh Madrim mabuk dan gila, ulahnya tidak wajar. 18. Ini bukan pemberian ramanda. Aku tidak boleh jika kauminta. Ki Madrim menjawab agak keras," Biar boleh atau tidak boleh hamba minta benda itu gusti." Baginda pun membentak, "berikan benda itu cepat-cepat." 19. Sang ganti rupa berbisik, "Adinda berikanlah segera, aku ingin beralih tempat ke subangmu." Maka dilepaslah kancing gelung Sang Retna dan disampaikan kepada ramanda. 20. Suram kancing itu tiada lagi bersinar. Menyembah kemudian Bathik Madrim, "Sudah pergi dia berpindah tempat ke dalam subang Sang Puteri." Baginda memerintahkan agar Puteri menyerahkan subangnya yang sebelah kiri. 21. Karena dibuat sembunyi si pencuri. Sang Dyah hatinya menjadi kesal. Ia tiada lagi menahan air matanya. Sementara Sang ganti warna membisikkan agar ia menyerahkan subangnya. Dan akan beralih tempat ke cincinnya. 22. Yang berada di jari manis. Dalam pada itu Baginda bersabda, 195 PNRI
"Jika dapat kutangkap ditangkap di tanganku pasti kuhancurkan tubuhnya. Kiranya ia dewa yang mampu menjadi halus maupun menjadi cair membuat kesulitan hati orang lain." 23. Subang telah disampaikan kepada Baginda, maka pudahlah sinar subang itu. Subang pun diteruskan kepada Bathik Madrim. Hamba mohon maaf Baginda, sembahnya, pencurinya pindah ke cincin bermata merah muda. 24. "Hamba mohon puteri sudilah menyerahkan cincin bermata merah yang paduka kenakan pada jari manis. Di situlah pencuri bersembunyi. Boleh atau tidak boleh sudilah puteri memberikan cincin itu cepat-cepat. 25. Akan hamba bakar cincin itu, karena di sanalah pencuri bersembunyi". Sang Puteri tajam dan keras jawabnya," Ini bukan pemberian Baginda. Aku telah menemukan sendiri. Biar di beli dua ribu tidak akan kuberikan. 26. Lebih baik kepalamu Madrim, dibakar dengan api agar supaya meletus." Maka Sang Puteri pun menangis meratap mengibaiba," Bunuhlah saya, jangan memperpanjang rasa malu di depan orang. 27. Madrim berlagak sebagai orang yang sakti. Ia mengada-ada menunjuk yang bukan-bukan. Bagaimana mungkin cincin untuk tempat bersembunyi." Baginda menyambung keraskeras," Aku kira betul kata Ki Madrim. 28. Mana pencurinya Madrim? Jika kau tidak berkata benar, pasti kupenggal lehermu. "Bathik Madrim menyembah," Tinggal sekali lagi Baginda. Pencurinya telah terpojok, Jika hamba gagal terserah kehendak paduka. 29. Paduka cepat-cepat minta cincin permata itu." Dan Baginda pun memerintahkan kepada puterinya," Hai puteriku segera kau serahkan cincinmu kepada Madrim. Maka bingunglah hati Sang Puteri ia berpaling sebentar. 196 PNRI
37. PANGKUR
1. Yang masuk di dalam cincin berbisik agar puteri menyerahkan cincin dengan jalan membantingnya di batu di tepi kolam. Dan waspada serta amatilah segala ulahku. Aku akan beradu kesaktian dengan Si Batik Madrim. 2. Sang Puteri pun melepas cincin yang berada di jari manis dicampakkannya keras-keras di batu yang berada di tepi kolam. Sambil berkata bengis, "Inilah yang kaukatakan pencuri, tangkaplah dia." 3. Cincin itu tergelincir masuk ke dalam air dan berubah menjadi seekor katak. Segera Bathik Madrim mengubah diri menjadi burung dara putih terbang di atas kolam. Dipatuknya katak itu berulang-ulang, tetapi tiada mengena, seperti mematuk bayang-bayang di air. 4. Tiba-tiba katak itu berubah menjadi burung elang dan disambarnya burung dara hingga jatuh di atas tanah. Burung dara berubah menjadi tikus dan siap menggigit burung elang yang menyambar. Tidak kena tikus menangkap si burung elang ia berubah menjadi kucing dan siap menangkap si tikus. 5. Berlarilah tikus itu mendapat kesulitan karena serangan kucing, ia berubah menjadi anjing dan siap menyerang si kucing. Kini si kucing yang menjadi repot. Semuanya itu disaksikan oleh Raja dan segenap menteri Bojonegoro dengan rasa heran. Keduanya sama-sama sakti. 6. Anglingdarma yang menjadi kucing mengubah dirinya menjadi harimau putih. Disrangnya anjing dengan keras, ia jatuh terpelanting. Bathik Madrim kemudian mengubah diri menjadi seekor singa dan menghindari serangan si harimau putih. 197 PNRI
7. Bersorak gemuruh semua menteri dan bupati. Anglingdarma merasa malu, ia mengheningkan cipta membuat kabut tebal sehingga keadaan di istana menjadi gelap gulita. Semua orang geger mengira teijadi gerhana, pergi ke sana kemari. Segera Bathik Madrim menciptakan angin besar. 8. Bertiuplah angin besar itu, suaranya menakutkan orang. Kabut tebal tertiup oleh angin itu hilang dan teranglah kembali. Sangatlah sakit dan malu hati Anglingdarma karena kesaktiannya dapat dialahkan. Ia terbang di udara dan mengheningkan ciptanya. 9. Menutup kesembilan lubang anggota badannya. Diceritakan bahwa kala itu salah seorang isteri Aijuna yang bernama Dewi Dresanala melihat keadaan Anglingdarma yang sedang mengadu ke;saktian dengan Bathik Madrim. Anglingdarma tidak berhasil mengalahkan kesaktian lawannya. 10. la bermaksud membantu Anglingdarma. Karena pertimbangannya demi kelangsungan keturunan suaminya. Jika Anglingdarma mati maka terputuslah jalur keturunan Aijuna. Tiada lagi yang menjadi raja di Tanah Jawa. Maka datanglah api bergunung-gunung. 11. Tertiup angin menutup udara di atas pura Bojonegoro. Dan gegerlah semua menteri. Demikian pula seisi istana menjadi kalang kabut mengira istana terbakar. Baginda sendiri tak tahu apa yang harus dikerjakan, beliau menjadi bingung. Ki Bathik Madrim siap akan menyusul terbang ke atas udara. 12. Namun hatinya merasa ragu-ragu, ia gemetar melihat kesaktian lawannya dan berpikir tak mungkin bisa mengalahkan pencuri itu. Ia pasti mati jika menyusul ke udara akibat panasnya api. Bathik Madrim berhenti mencari upaya lain, namun buntu. Sejenak ia tak tahu apa yang harus dikerjakan. 198 PNRI
13. Maka Sang Maharaja Anglingdarma menantang Bathik Madrim untuk mengajarnya masuk ke dalam api, "Wahai wasi muda susullah saya pencuri yang akan kautangkap, Kehendakku direstui oleh para sakti tak sembarang orang mampu melawan kesaktianku. 14. Marilah hai Bathik Madrim, susullah diriku ke angkasa. Kau berani melawan diriku, lanjutkanlah kehendakmu itu, jika kau menghendaki puteri Bojonegoro. Tidaklah mudah engkau mengemban dia selama aku masih berada di sampingnya."
199 PNRI
38. KINANTI
1. Mendengar suara menantang itu Ki Patih Bathik Madrim teringat kembali kepada suara Gusti Maharaja Anglingdarma. Tidak salah lagi itulah tuannya Raja Anglingdarma dari Malawapati. 2. Ia berpikir di dalam hati, "Biarpun beberapa tahun aku tidak mendengarkan suaranya, aku masih mengenalnya dengan baik." Ia merasa tenteram hatinya, sejuk dan berharap hidup kembali. 3. Maka berteriaklah ia keras-keras, sambil menangis dan memandang lurus ke arah langit." Aduhai Ambara Dewa dan Raja patik Anglingdarma. Hamba mencari tuan setengah mati. 4. Saya turuni jurang yang terjal dan saya daki gunung yang tinggi. Kuterobos segala hutan hanya untuk mencari paduka raja. Dari desa ke desa kuamati satu persatu, tanpa takut sakit dan maut yang mengancam. 5. Belum juga dapat hamba temui. Kini di kota Bojonegoro hamba tidak cepat mengenal gusti, karena lamanya hamba dalam peijalanan sepeninggal paduka dari Malawapati. 6. Maxa hamba mohon ampun dan menyerahkan pati dan hidup hamba. Terserahlah kepada kehendak Paduka, karena Patik telah memberanikan diri beradu kesaktian dengan paduka. 7. Hamba akan merasa bahagia pabila paduka berkenan menusukkan keris paduka ke tubuh patik." Mendengar ratap Ki Patih Maharaja Anglingdarma timbullah rasa kasihan, hilanglah murkanya. 200
PNRI
8. Tiada lagi merasa diri bertanding kesaktian dan api pun kembali pulang ke Kahyangan Suralaya. Sang Raja Anglingdarma turun dan. berdiri di bawah pohon angsana. Madrim melihatnya. 9. Tergopoh-gopoh ia lari mendapatkan Baginda. Tiba di depannya segera ia mencium kaki Raja sambil menangis seperti perempuan, "Hamba sedikit pun tidak mimpi, bahwa Paduka Raja yang menjelma pencuri ulung. 10. Sebab dalam hati hamba harapkan sekiranya hamba menang perang akan menghaturkan puteri Bojonegoro kepada Paduka, sebagai pelipur duka asmara." Maka bersabdalah Baginda. 11. "Diamlah kamu jangan menangis, sambil dipeluknya Ki Madrim. Sekarang kau kembali duduk yang baik dan ceritakan sebab-musababnya kautinggalkan negara. Adakah musuh yang menyerang?" 12. Hamba susul Paduka Gusti, sembah Ki Madrim, atas permohonan semua mantri dan punggawa. Selama hamba diperintahkan untuk menjaga negara. Banyak terjadi serangan penyakit. 13. Berpuluh-puluh orang telah menemui ajalnya, akibat datangnya musibah penyakit. Sakit pagi hari sorenya meninggal dunia, demikian sebaliknya. Banyak sawah-sawah yang kosong, desanya sunyi." 14. Sembah Patih Madrim menyayat perasaan hati Baginda. Bersabda Sang Baginda, "Rusaknya kehidupan rakyat Malawapati karena aku dikutuk oleh Dewa." Menyembah Ki Patih, 15. "Janganlah Paduka memikirkan rusaknya negara Malawapati dewasa ini. Masih ada waktu untuk itu. Kini sebaiknya Paduka menyerah kepada Raja Bojonegoro. 16. Sebagai jalan untuk minta Sang Puteri sebagai isteri. Sekiranya Sang Raja menolak patiklah yang akan menggempur negara ini, 201 PNRI
biarpun hamba menemui ajal. "Aku malu," sabda Baginda sambil tersenyum. 17. "Jika Baginda tidak memanggil diriku aku enggan bertemu. Sebab aku telah berbuat tidak baik, merusak bunga tanaman yang indah. Demi untuk mengobati sakit rindu, telah kunodai kembang terlarang. 18. Dan terobatilah rinduku terhadap gustimu yang telah tiada. Kini terlupakan beralih ke puteri dari Bojonegoro. Hanya dialah yangmengisi hatiku." 19. "Jika demikian halnya," begitu sembah Bathik Madrim," hambalah yang menyampaikan sendiri kepada Raja Bojonegoro. "Dan disambut dengan senyuman oleh Sang Baginda Anglingdarma. 20. Setelah menyembah Bathik Madrim minta diri dan terus menghadap Baginda Raja Bojonegoro. Ditanya Madrim, "apa kehendaknya sekarang. Mengapa datang seorang diri saja. 21. Di mana pencuri ulung itu?" Maka Batik Madrim pun melaporkan kepada Baginda tentang perkembangan terakhir dalam usahanya menangkap pencuri ulung. 22. Sembahnya, "Ampun Baginda, sesungguhnya pencuri ulung itu tidak lain adalah Maharaja Anglingdarma dari Malawapati. Beliau yang hamba cari selama ini di segenap hutan dan negara dan kini bertemu di sini. 23. Hamba telah khilaf karena bingung dan kepayahan, hingga tidak lagi mengenal, bahwa gusti hamba yang menjadi pencuri sakti dan menjelma belibis putih. Itulah ananda Raja bumi Malawapati." 24. Sejenak Baginda tidak mengucap sepatah pun. Heran dan gembira bercampur mendengarkan laporan Bathik Madrim. Akhirnya Baginda bertanya, "Di mana beliau sekarang?" 202 PNRI
25. "Beliau berdiri di bawah pohon angsana," sembah Madrim. Baginda memanggil Patih Jaksanegara dan Patih Purwanegara. Keduanya diperintahkan untuk menjemput Raja Anglingdarma. 26. Turut-serta para bupati mengikuti Sang Patih menjemput Raja Malawapati. Mereka semua tak bisa berkata sementara menyaksikan ketampanan raja. Bagaikan orang bermimpi. 27. Tak puas-puas mereka memandang kepada wajah Sang Nata Malapati. Aduh, siapa gerangan, kata mereka di hati, perayangan, jin, atau Hyang Kamajaya yang turun dari Suralaya? 28. Tidak salah Sang Puteri sayang kepadanya, sebab bagusnya luar biasa. Sang Patih segera menyembah menjalankan tugasnya, "Hamba menghadap paduka atas perintah ayahanda Baginda. 29. Menjemput paduka untuk. bersama-sama masuk istana. Telah lama paduka ayahanda mengharapkan paduka. Baginda ingin bertemu dan kini menunggu di pasewakan." Bersabda Anglingdarma. 30. "Baiklah, aku telah siap. Dan berjalanlah Raja Anglingdarma diiringkan oleh kedua patih beserta para punggawa mantri. Dari istana datang Raja Darmawasewa menyambut Sang Anglingdarma mempersilakan Sang Tamu. 31. Digandengnya tangan Sang Tamu yang menerimanya dengan merendah. Keduanya telah mengambil tempat duduk di atas kursi keemasan. Sementara itu permaisuri raja datang hadir bersama-sama dengan Sang Puteri. 32. Berkenan hati Baginda memandang wajah yang tampan dan bercahaya-cahaya seperti Sang Hyang Asmara. "Aduhai ananda Raja," sabda Baginda dengan manis, kedatangan ananda di Bojonegoro ini. 33. Kami rasakan seperti jatuhnya "daru" dan gunung emas dari 203 PNRI
langit. Tergenang oleh lautan madu. Ayahanda merasa hati gembira tiada terkira, i'barat kedatangan dewa Suralaya." 34. Sang Anglingdarma dengan kata-kata manis menjawab merendah, "Hamba sangat merasa bersalah, karena telah berbuat terlalujauh. Untuk itulah hamba mohon dimaafkan. 35. Karena mendahului kehendak paduka" " Janganlah ananda masukkan dalam hati, sela Baginda, semua rakyat di negara Bojonegoro ikut gembira. Ayahanda harapkan ananda terima puteriku sebagai ceti ananda." 36. Sang Anglingdarma menerimanya dengan hormat. Dan didudukkanlah Puteri Ambarwati di samping Sang Raja Malawapati. Tampak seperti Dewi Ratih dan Kamajaya, mempesona semua yang melihatnya. 37. Permaisuri raja berseri-seri senang memandang puterinya, juga Sang Baginda gembira tiada tara melihat menantunya yang sangat tampan. Bertanya Baginda dengan ucapan yang manis, 38. "Harap ananda suka bercerita, mengapa dulu ananda tinggalkan negara Malawapati, kemudian menjelma menjadi seekor burung belibis?" "Hamba telah dikutuk oleh Dewa," sembah Sang Anglingdarma." Hamba harus tinggalkan negara hamba. 39. Tersesat hamba di tempat kediaman raksasa yang mengakibatkan diri terkena oleh guna-guna puteri raksasa tersebut. Itulah sebabnya ananda berubah menjadi belibis." Begitulah Anglingdarma melanjutkan cerita penderitaannya dari awal hingga akhir. 40. Sang Baginda Bojonegoro dengan sangat menyarankan agar Anglingdarma bersedia menggantikan beliau sebagai raja di Bojonegoro. Baginda sendiri bermaksud menjadi pendeta di gunung. 41. Untuk mohon kepada Dewa Agung sambil menanam tanaman padi dan lain-lain. Baginda merasa telah cukup lama menik204 PNRI
mati kehidupan istana, maka saatnya telah tiba untuk menjadi pertapa. Namun Anglingdarma menolak saran Baginda tersebut. 42. Pemberian ayahanda hamba junjung tinggi, namun hamba tidak dapat dan belum diperkenankan menerima hadiah itu oleh para Dewa. Begitu sembah Anglingdarma. Hamba belum diperbolehkan menjabat Raja kembali. 43. Selama jangka waktu dua belas tahun hamba tidak dibenarkan menjadi raja, akibat kutukan Dewi Uma dan Dewi Ratih. Oleh karena itu pula sekarang hamba mohon diperkenankan meninggalkan negara Bojonegoro ini. 44. Perkenankanlah hamba untuk melanjutkan pengembaran hamba. Masih selama sembilan tahun lagi, ujarnya. Adapun puteri paduka yang sedang mengandung, untuk sementara hamba titipkan dan tinggalkan di sini. Dengan sangat Baginda Darmawisesa mencegah serta menahan menantunya. 45. Namun Raja Anglingdarma tak mungkin dicegah kehendaknya. Cepat-cepat beliau berhanjak dari penghadapan ayahanda mentua, menggandeng isterinya yang cantik bagai bunga. Maka habislah kegembiraan Sang Baginda beserta permaisuri. 46. Belum puas Baginda memandang menantunya, tiba-tiba beliau mohon diri pergi mengembara. Keduanya sangat bersedih hati, ingin kiranya turut pergi bersama. Dalam pada itu tampak Sang Permaisuri deras mengalirkan air mata. Dilanjutkan pada buku ke II.
205 PNRI
PNRI
Serat ANGLINGDARMA
1
PNRI
PNRI
1. ASMARADANA
1. Asmareng tyas nawung kingkin, nurat serat Anglingdarma, kagungan dalem sang katong, kang jumeneng ping sadasa, ing nagri Surakarta, kapareng karsa kaklumpuk, serat babad miwah wulang. 2. Sadaya rinuwat mungging, jro kamar Sana-pustaka, duk murwani panitrane, ri Soma kaping sadasa, ing wulan Dulkangidah, Jimakir sangkaleng taun, Luhur Tata Ngesthi Nata. 3. Sanadyan crita puniki, carita ing jaman Buda, Pulo Jawa pituture, nadyan Budha kang utama, linuri kang carita, duk jenengira Sang Prabu, Anglingdarma ing Malawa. 4. Tan ana kang nyenyiringi, jenengira Sang Pamasa, tribuwana kekes kabeh, ratu winong ing jawata, kinatujon sakarsa, tuhu kalamun pinunjul, sinebut Nata Bathara.
209 PNRI
5. Negarinira Narpati, in gar an Malawapatya, pasir mawukir prajane, angungkuraken aldaka, ngajengaken muwara, tulus kang sarwa tinandur, eca manahing kawula. 6. Negari Malawapati, kalangkung gemah raharja, kacarita punggawane, dhomas cacahing nagara, sami prawireng yuda, manggala para gul-agul, tate angelar jajahan. 7. Bisikanira Narpati, Maharaja Anglingdarma, tan kuciwa ing baguse, dibya sekti mandraguna, prawira kinawasa, rama-ibu raja-ratu, pan aeyang binagavvan. 8. Kadang sinangarya sami, ratu wijiling atapa, terahing andana-wareh, rembesing madu kusuma, Maharaja Nglingdarma, warnane anom abagus, kadya Bathara Marmata. 9. Pepatihira narpati, santana anaking sanak, Bathik Madrim kekasihe, dibya sekti mandraguna, prawira ngadilaga, milanira sang aprabu, abala samining raja. 210 PNRI
10. Inggih Patih Bathik Madrim, ingkang angelar jajahan, pinrep ing yuda antuke, dadya anungkul sedaya, kang para raja-raja, sumuyud turputrinipun, sedaya sampun kagarwa, 11. Dhomas cacahe pra putri, kang katur ing Srinarendra, citrane sami yu anom, Ki Patih wus tinariman, sentananing narendra, kaprenah misan lan prabu, ayu endah warnanira. 12. Wasta Dewi Ranggawati, adarbe ari sajuga, jalu abagus warnane, sampun kinula-wisudha, jumenengken punggawa, rong-ewu lelungguhipun, aran Arya Wijanarka. 13. Cinarita Bathik Madrim, tunggil paguron lan nata, mila kelangkung sektine, citrane mirip Sang Nata, bagus prawira truna, nanging awon swaranipun, radi celat yen ngandika. 14. Gurunira Sribupati, anenggih nata pandhita, ing ardi padhepokane, winastan ing rasa mala jejuluking sang tapa, begawan Maniksutreku, sampun amindha jawata. 211 PNRI
15. Adarbe putra sasiki, sira sang maha-pandhita, Dewi Setya panengrane, jejuluk Ambarawatya, ayu datanpa sama, sami estri lengleng mangu, umiyat ing sang kusuma. 16. Liringe galak amanis, asring karya ela-ela, yen cinandra suwarnane, kurang candra luwih warna, nadyan Ratih ing swarga, jinajara lan sang ayu, kandhih atandhinga raras. 17. Midera sasra negari, ngulari mangsa antuka, kang mirip ing suwarnane, kusumadi ing aldaka, punjul satanah Jawa, tan ana upaminipun, tuhu ratuning kusuma. 18. Kacatur sang lir apsari, ngaldaka sampun alama, kagarwa marang Sang Katong, Anglingdarma ing Malawa, binekta ing jro praja, kinarya garwa tetunggul, amumpuni dalem pura. 19. Sakathahe para putri, garwane Srinaranata, sadaya wus sami kareh, marang kusumeng aldaka, nging salami kagarwa, dereng acarem salulut, kalawan Srinaranata. 212 PNRI
20. Risang kusumaning puri, ketarda cembruwanira, selamine pepenganten, dereng kenging sapocapan, para putri sadaya, tan kena celak sang prabu, miwah selir pepingitan. 21. Kang kena marek sang aji, para babu inya tuwa, ingkang sampun luwas geteh, ing mangke wus tigang candra, denya panggih sang nata, langkung sungkawa Sang Prabu, enjing miyos siniwaka. 22. Tan pepaes Sribupati, datan asalin busana, sangking sru rentenging tyase, wenes ijo anglong jiwa, atajin dhahar nendra, citranya wuwuh abagus, kadya Bethara Marmata. 23. Murub ingkang cahya wingit, lir Hyang Asmara tumedhak, sawiyosira Sang Katong, pinarak ing sitibentar, pepak para punggawa, para manggalaning kewuh, sumiweng ngarsa Narendra. 24. Supenuh kang para mantri, andher aneng pagelaran, Demang Ngabehi Ranggane, sinangarya kandhuruwan, sirarya Wijanarka, Raden Dayaningrat ngayun, ajajar sami santana. 213 PNRI
25. Tumenggung Amongprajeki, jajar lan Demang Ngurawan, Adipati Metaune, pepak punggawa Melawa, geng alit asewaka, mantri tan kena ingetung, kadi trunaning udaya. 26. Kyai Patih Bathik Madrim, ngandika mring sitibentar, prapteng ngarsa tur sembahe, ngandika Srinaradipa, den kepareng ing ngarsa, nembah sandika turipun, Sang Nata malih ngandika. 27. Marma sira sun timbali, kakang marang ngarsaningwang, tyasingsun sru rencakane, kaya paran reh manira, tambuh rasaning driya, ingsun iki ratu agung, amung cacade sepala. 28. Kasusra ing Nungsa Jawi, ingsun ratu binathara, ranging sawiji cacade, tinampik marang wanodya, lawan gyaningsun krama, durung acarem salulut, apes jenengsun narendra. 29. Akersa ingsun dukani, kakang patih ipenira, asanget pangemaningong, dene putrane Sang Dwija, Begawan Maniksutra, Patih Madrim awotsantun, pukulun sampun gya duka. 214 PNRI
30. Sampun jamaking pawestri, dewaji ambeg wisuna, kedah ingemong solahe, manawi sampun kajiwa, yekti sumanggeng karsa, nistha panjenengan ratu, yen dukaa marang garwa. 31. Lipur tyasira narpati, myarsa ature apatya, dadya ris pangandikane, kakang sun arsa cangkrama, marang taman Bagendha, saosna dipangganingsun, sandika aturing patya. 32. Swandana sampun sumaji, pepayon baludru rekta, apalisir sutra jene, apus buntut kuswaraga, kekalung mas rinengga, pinatik inten jumerut, murub jwalaning retna. 33. Dipangga dinulu asri, kang tulale ingulesan, sutra rekta lawan ijo, yen angadeg kadi teja, malang kadi lengkawa, malengkung kadi kekuwung, moiah lir calorot warsa. 34. Sampun awahana hesthi, Maharaja Anglingdarma, kadya nir kamanungsane, tinon lir Bathara Cakra, tumurun mangun laga, lan ditya Kawaca prabu, ratu ing Manikmantaka. 215 PNRI
35. Sumrek kang bala lumaris, budhale sangking nagara, sri tinon upacarane, jajaran awarna-warna, wadya sikep gegaman, binusanan abra murub, lir pendah sekar sataman. 36. Sarageni sikep bedhil, wong nyutra sikep warastra, datan kaliru prenahe, waos-binang reruwitan, cemeng kumbala badhag, dwaja lawan umbul-umbul, daludak lelayu abra. 37. Demang Ngurawan rumiyin, lampahira saha wadya, mring wana karya gerogol, anggiring bantheng maesa, sangsam kancil lan kidang, laju lampahira prabu, wus rawuh ing pagrogolan. 38. Entyarsa para narpati, umiyat bantheng menjangan, gya amundhut wahanane, wilisan anggrit sang nata, wus angagem warastra, andaka kathah kacundhuk, linepasan ing Sang Nata. 39. Sigra ingkang para mantri, ingundhangan nitih kuda, ngembari maesa bantheng, gembira para manggala, myang para mantri sura, nander asru ngembat lawung, winatang ponang andaka. 216 PNRI
40. Akathah samya ngemasi, maesa danu andaka, Ki Arya Wijanarkane, malah putung watangira, andaka sru nerajang, pejah tinampiling mawur, mukanira ting palesat. 41. Kalangkung suka sang aji, umiyat ing pra punggawa, prawira sura tandange, miwah kang wadya sedaya, sami suka tumingal, gumuruh suraking wadu, gambira wong kasinoman.
217 PNRI
2. SINOM
1. Ki Bathik Madrim apatya, marek ing Srinarapati, umatur ing Srinarendra, suwawi kundur ing puri, kathah watiring ati, ratu kulineng wana gung, keni ing ila-ila, tan sayogi kang pinanggih, kadhahara pukulun atur kawula. 2. Gya kondur Srinaranata, wadya sampun den undhangi, lajeng mring taman Bagendha, lampahira Sribupati, umyang tengara muni, budhal kang wadya pangayun, lir belah kang pratala, gadebeging wong lumaris, asauran panjriting turangga liman. 3. Gegaman dalem lumampah, ingkang minangka tetindhih, Rahaden Handayaningrat, saha busananira sri, sikep dalem wetawis, kalih-ewu kathahipun, sedaya pepilihan, warnane asigit-sigit, trahing kartiyasa wong anrang kusuma. 4. Asikep watang lan dhadhap, sadaya bujaneng kulit, 218 PNRI
bandera gula kalapa, ing ngarsa wong sarageni, punggawa ingkang keri, gegamanira neng ngayun, tengranira neng wuntat, sakathahing para mantri, samya ngapit kanan-keringe dipangga. 5. Wong agandhek mantri mudha, angampil upacara Ji, asawang prawata sekar, gegamanira Sang Aji, busananing prajurit, dinulu pating palancur, kasongan ing raditya, ujwalane kadi thathit, sampun kongas gapurane kang udyana. 6. Yen tinon asri kawuryan, mangkana lampahira Ji, Prapteng jawining gapura, kandheg sakathahing baris, manjing udyana ajrih, ing jro wonten teksaka gung, kirda lan ula tampar, milane kendel kang baris, bebeg andher kapita Sirinaranata. 7. Ngandika asemu duka, apa ta karane iki, padha mandheg aneng jaba, datan abanjur lumaris, Mangunjaya den aglis, pariksanen wong pengayun, gya Arya Mangunjaya, manembah nander mring ngarsi, pan asampun Ki Arya denya mariksa.
219 PNRI
8. Gya wangsul marek Sang Nata, makidhupuh mangenjali, Dewaji atur kawula, milane kadheg kang baris, jroning udyana gusti, wonten sarpa naga agung, kirda lan ula tampar, sigra tumedhak Sang Aji, angandika singgahna wadya pengarsa. 9. Ingsun akersa uninga, polahe sarpa kang lagi, akirda lan ula tampar, piyak sakathahing baris, lajeng Srinarapati, sapraptane prenahipun, kang kirda katingalan, de Sang Nata Nagagini, somahira kang raka Nagapratala. 10. Nenggih Sang Nagapratala, sumitranira Sang Aji, dahat samya sih-sinihan, wus manjing sudara-wedi, esmu duka Sang Aji, angunandika ing kalbu, heh Nagagini sira, culika alaku sari, lawan ula tampar dudu saminira. 11. Nadyan ulah a miruda, amiliha kang prayogi, samanira padha naga, mora katon mejanani, lah adene kang alit, datan wrin ing alitipun, iya bilai sira, Sang Nata mundhut jemparing, wus amenthang gandhewa kang hru lumepas, 220 PNRI
12. Ula tampar kawatgata, tenggakira tigas panting, Sang Nagagini mangkana, kasarempet ponang pethit, kagyat agya anolih, Sang Nagagini andulu, yen raja Anglingdarma, ingkang angagem jemparing, Nagagini lumayu nrajang laleyan. 13. Sakelangkung wirangira, tiptanira Nagagini, Anglingdarma kaniaya, mateni wong padha asih, tan lila awak mami, nora wurung sun wewadul, mring Kang Nagapratala, sun anjaluk ukum pati, Prabu Anglingdarma angungun tumingal. 14. Ing solahira Sang Naga, aniba-niba kepati, asru denira ngandika, abaliya Nagagini, age sun usadani, buntutira ingkang tatu, malumpat pager bata, Sang Naga datan anolih, tan sumaur inguwuh-uwuh sang nata. 15. Angartika jrone nala, tan wurung ingsun bilai, si Nagagini yen prapta, pasthi wadul mring kang laki, mangsa tutura yekti, dhandhang den uneken kontul, ginugu mring Si Kakang, Nagapratala tan uning, ing purwane lah iya kinapakena. 221 PNRI
16. Laju lampahe sang nata, esmu sungkawa ing galih, miyat langening puspita, dadya anamur wingit, mider ing tamansari, akersa siram sang prabu, sakehing wadyabala, sadaya amagersari, baris kubeng mider sajeron ing taman. 17. Amung kang para santana, tumut mring jro lan apatih, Sang Nata langkung kacaryan, tumingal langening sari, Sang Nata asesumping, angilo marang ing ranu, ngandika ing wardaya, sun Ratu anom apekik, tan aguna tinampik marang wanodya. 18. Baya ta angur matiya, mangkana ciptanira Ji, sinamur langening taman, anjrah ingkang sarwa sari, Argula Nagasari, Sumarsana Tunjung Tutur, katempuh ing maruta, ruruh gandanira minging, tibeng toya yen tinon kadi jaladha. 19. Sangkep saliring puspita, Jelamprang-Jati Kemuning, Dangan Pudhak lan Kenanga, Noja Menur Mandhakaki, Andul Gambir Malathi, Srigadhing lan Pacar-banyu, Saruni Tanjung Pacar, Walikadhep Nagasari, kathah lamun winarna angguladrawa. 222 PNRI
3.
DHANDHANGGULA
1. Kang bremara umung anamberi, angrarengih swarane kapyarsa, amrih madu sesarine, wasana ingkang santun, tibeng bang we bremara ngukih, niba muluk ing tawang, mesem Sang Aprabu, miyat solahing bremara, pan ginagas lelakonira pribadi, nora pae mangkana. 2. Ana ing luhur wurahan muni, sami mencok ing pang Nagapuspa, mawijah-wijah ing tyase, sami asuguh guyu, wikan lamun Sang Nata pingit, lir anglipur Sang brangta, wau ciptanipun, .peksi Ketangga jrit munya, amemangsit dhateng sagung ingkang peksi, atur pemalung maha. 3. Aywa sira wani angungkuli, Raja Anglingdarma ing Malawa, kena ing cintraka gedhe, yata sakehing manuk, kesah sangking pang Nagasari, ajrih ngungkuli marang, sira Sang Aprabu, kantun kang peksi Kuthilang, meksih mencok sasomah neng Nagasari, lagi apepasihan. 223 PNRI
4. Srinarendra awas aningali, esmu duka mring peksi sasomah, yen angucapa driyane, akathah ingkang manuk, nora ana wani ngungkuli, marang sariraningwang, mung iki kang purun, tibane antakanira, Srinarindra, sigra nambut ing jemparing, kang peksi linepasan. 5. Keni dhadhane Kuthilang estri, kapisanan kang lanang ngumbara, yata na swara mangkene, kapyarsa ing Sang Prabu, kaniaya sira Sang Aji, wong lagi pepasihan, mengko rabiningsun, mati sira kang nanjata, besuk sira nemuwa wales lir mami, tinilar ing garwanta. 6. Rikalane sedheng sami asih, ingkang swara sakedap wus sirna, dede peksi sayektine, jatine Sang Hyang Guru, la wan Dewi Uma awarni, peksi karya rencana, mring sira Sang Prabu, saya rencaka ing driya, denya acengkrama keh sangkalanya Sri, Naranata ngandika. 7. Kakang Madrim sun tan arsa mulih, nginep ana ing taman Bagendha, apatih atur sembahe, datan wiyang ing kayun, surup Sang Hyang Kulundaragni, ginantyan ing sasangka, Apatih gya mundur, 224 PNRI
saking ngarsaning Narendra, asuwara mring wadya heh pra dipati, kabeh padha saosa. 8. Dipun sami prayitna ing westhi, aja pisah sagegainanira, heh weruha sira kabeh, gustinira sang prabu, angalangi Sang Nagagini, denya ulah miruda, ing wetaranipun, lara atine Sang Sarpa, bedhangipun mati keni ing jemparing, ira Srinaranata. 9. Datan wandewadul mring kang laki, yekti ginugu satuturira, mring priya tan wruh purwane, krodha ing temahipun, Sang Pratala mring Sribupati, sagung para nayaka, den prayitneng kewuh, Nagapratala kawasa, anung dibya bisa ngambah agal rempit, asekti mandraguna. 10. Sami sandika ature mantri, para nayaka sami sawega, miwah para prawirane, enengena Sang Prabu, wonten ingkang winarna malih, Nata Sura denawa, asekti pinunjul, kang kedhaton Nagri Baka, ajejuluk Maraja Kalawerdati, mengkana cinarita. 11. Tedhakira Mraja Kalasrenggi, kang pejah dening Sang Dananjaya, Sang Kalawerdati mangke, karsa amales ukum, 225 PNRI
mring tedhake Arjunapati, atiwikrama warna, wanodya yu luhung, sabature kawandasa, sapraptane Melawa kepasang yogi, Sang Nata apepara. 12. Aneng udyana sampun udani, Kalawerdati jujug ing taman, anyidra Nata sedyane, ing way ah tengah dalu, Patih Bathik Madrim Winarni, datan eca ing driya, ngartika ing kalbu, apa wahanane baya, rasaning tyas sasore asenak-senik, Ki Patih gya tumedhak. 13. Kang akemit sedaya wus guling, sami kena ing pangaribawa, sanget mandi sesirepe, Apatih alon muwus, lah ta apa wadine iki, dene kaya tinuba, wong kabeh aturu, apa si Nagapratala, masang sirep arsa nyidra Sribupati, iya bilai sira. 14. Lah ing ngendi genira pinanggih, lawan Naga sun mangsa wediya, medal Apatih yitnage, anyangking larasipun, datan ana wadya udani, prapteng jawining taman, teka rangu-rangu, yata ingkang kawarnaa, sira Prabu Kalawerdati gya prapti, maksih warna wanodya. 226 PNRI
15. Wangwang cundhuk ing rekyana patih, alon atanya sira wong apa, dalu-dalu prapteng kena, kang tinanya sumaur, ingsun iki Endhang ing wukir, mila mudhun mring praja, nenggih sedyaningsun, arsa ngunggahi Maraja, Anglingdarma kacarita sangking wukir, yen tedhaking Arjuna. 16. Patih Madrim angandika aris, iya ingsun Raja Anglingdarma, tuhu trailing Aijunane, yen sira tuhu-tuhu, angunggahi ing jeneng mami, lah sira manembaha, nukemana suku, kang mindha estri alatah, sampun mulih warnane raseksa angrik, sawadya kawandasa. 17. Raja Kalawerdati wus mulih, warna denawa gora prakosa, godheg wok simbar jajane, netra lir surya metu, prastha pethak mingis den isis, tin on lir braja tikana, sarya ngrik amuwus, kemayangan Anglingdarma, sira panggih lawan ingsun padha siji, lawan sun pinta-pinta. 18. Praptaningsun sira arsa nagih, marang sira dhingin utang pejah, leluhuringsun patine, Kalasrenggi raningsun, leluhurira kang mateni, kang aran Dananjaya, 227 PNRI
yekti mengko ingsun, anagih marang ing sira, ulungena pati uripira aglis, kagyat apatih mojar. 19. Mara sira tekakna raseksi, budinira ngayoni maringwang, iya sun kembari dhewe, apa ta gegamanmu, tamakena ing awak mami, reksesandra bramantya, asru denya nubruk, anggero sarwi angerah, penyaute kang den angkah gulu iring, Bathik Madrim alatah. 20. Uculena guluningsun anjing, keri timen ingsun nora sotah, ilerira ting dalewer, balik kanta katgamu, lah tariken tamakna mami, siyungmu tan tumama, marang awak ingsun, Kalawerdati bramantya, sigra narik bedhama merang anitir, Bathik Madrim tan pasah. 21. Dyan winales Sang Kalawerdati, tinampiling mukanira bencah, mawur abrit ludirane, sang denawendra lampus, wadyanira kawandasa glis, nerajang mring Apatya, Madrim ginarumung, kinembulan ing denawa, kawandasa sareng anerajang wani, kagyat apatih mojar 22. Tadhahana jemparingsun iki, linepasan sakehing denawa, 228 PNRI
kawandasa tumpes kabeh, rekyana patih wangsul, mring udyana wus bangun enjing, wadya tangi sedaya, tan ana kang weruh, yen Apatih Mangun yuda, Hyang Haruna wus mijil sakehing mantri, saos ing ngarsa nata. 23. Kang dipangga wus den pelanani, yitnaning wadya bilih sang nata, karsa kondur mring purane, kawarnaa sang prabu, lagya wungu genira guling, ngraos kangen ing garwa, ngandika Sang Prabu, kakang Madrim saosena, gajahingsun sandika ature patih, sumaos kang swandana. 24. Sigra tengara umyang kang dasih, budhal asukan-sukan samarga, punggawa pra mantri akeh, anggarebeg ing prabu, neng srengganing esthi pan asri, lampahira narendra, tan adangu rawuh, ing praja sigra Ki Patya, aparentah ing sagung para Dipati, aja n a sare wisma. 25. Padha saosa ing dalem puri, den prayitna si Nagapratala, sekti manjing ajur-ajer, yen ana rupa senuk. bantheng kidang kelawan kancil, miwah yen rupa sarpa, terajangan iku, pasthi si Nagapratala, pan sinekti barang saciptane dadi, sami matur sandika. 229 PNRI
26. Para nayaka tan wonten mulih, srinarendra prapteng penangkilan, tedhak sangking wahanane, kawarnaa Sang Ayu, Dewi Setya garwanireki, putri sangking aldaka, lenggah panti arum, ingayap dening pawongan, Niken Inya mandhala datana tebih, angandika sang retna. 27. Biyang Inya Sang Nata aneng di, matur anembah kesah pepara, anggerit sangsam lan bantheng, dhateng ing wana agung, angandika Sang lir apsari, ingsun den timbalana, milu ing sang prabu, sapungkure gustinira, rasaning tyas oneng kaya gaya prapti, kapengin sapocapan. 28. Ingsun angrasa yen laki gusti, Inyamandhala suka tur sembah, yen rawuh sang nata mangke, paduka yogya methuk, neng wiwara pareng Sang Dewi, saha ture ni inya, kasaru Sang Prabu, rawuh kang wadya gumerah, aneng jaba ngedhaton Srinarapati, garwa mapag ing lawang. 29. Paregolan mandheg nikel warti, Sang Dayinta angaras pada Sang, Srinata kapiteng tyase, garwa lajeng sinambut, astanira kinanthi-kanthi, binekteng kenyapura, pinarek neng babut, 230 PNRI
atarap para biyada, sami marak Sang Nata myang para bibi, andher aneng byantara. 30. Upami lintang sakehing putri, kusumeng arga upama wulan, anelahi ujwalane, tansah ing pangkon Prabu, sakemantyan suka Sang Aji, Sang Dyah tansah kinuswa, rinoban pangungrum, sinambut binekteng tilam, para inya sigra denya tangkep samir, mundur para biyada.
231 PNRI
4. DURMA
1. Enengena kang lagi among asmara, warnanen Nagagini, enggal lampahira, prapteng ngarsaning priya, sarwi tawan-tawan tangis, angling Sang Naga, lah ana apa yayi. 2. Aja nangis babo sira wawartaa, lingnya Sang Nagagini, sun maring udyana, Bagendha nginum toya, sumitranira nututi, Raja Nglingdarma, asikara mrih pati. 3. Ingsun lunga malumpat ing pager bata, tinututan jemparing, kena buntutingwang, wadyana padha surak, sami ngelokaken mati, ingsun tan lila, buntutku nandhang kanin. 4. Lah den age adilana raganingwang, walesena ukum pati, Raja Anglingdarma, ika ratu dursila, angalani ing wong becik, kalamun sira, nora kolu mateni. 232 PNRI
5. Maring Raja Anglingdarma ing Malawa, lah uwis ingsun amit, alebu tumangan, awirang marang dewa, tan dreman ingsun aurip, den kaniaya, ing wong tan anulungi. 6. Yen mangkono abot marang Anglingdarma, pedah apa pawestri, Sang Nagapratala, Myarsa sambating garwa, kalangkung angresing galih, pan durung ana, cidrane Nagagini, 7. Lir sinebit talinganira Sang Naga, krodha yayah sinipi, netranira rekta, dinulu kadi surya, kembar kalangkung ngajrihi, mageng bisana, rikang buntut kumitir. 8. Lir panyukur sisike Nagapratala, upas lir mirah kuning, netra lir raditya, ilat asawang kilat, untu kadya lintang ngalih, sabongkoting tal, gengira ingkang pethit. 9. Untu rangah ki braja wuluh wongwang, siyungira lir gadhing, muka kadi parang, grana lir guwa kembar, ngakak swarane ngajrihi, asru angucap, keriya Nagagini. 233 PNRI
10. Duk umedal sira Sang Nagapratala, ngambang mider ing tasik, ilat ngalat-alat, ing ngling swara angakak, mider saambaning pasir, sigra umedal, marang Melawapati. 11. Sampun lali trisnanira amemitra, lawan Srinarapati, arsa pinatenan, de Sang Nagapratala, sing wisuneng Nagagini, ingkang kaetang, trisnanira mring rabi. 12. Kadi kilat lampahe Nagapratala, sakedhap nulya prapti, sajerone kitha, kandheg ing panangkilan, kathah punggawa kang kemit, pan ingundhangan, mring Patih Bathik Madrim. 13. Pra nayaka sawadyanira sawega, sabusananing jurit, Ki Patih lingira, heh sagunging punggawa, den padha angati-ati, aja na lena, Nagapratala sekti, 14. Teka mesem Nagapratala miyarsa, angling sajroning galih, tandhane yen ala, Sang Raja Anglingdarma, sakeh punggawa kang kemit, atine jaga, padha pating bathithit. 234 PNRI
15. Yen arsaa Nagapratala sikara, maring punggawa mantri, pasthi tetumpesan, nanging Nagapratala, datan arsa memateni, wong tanpa dosa, jrih dukaning Dewadi. 16. Yata mundur sang naga atiwikrama, ngadeg ing wringin rakit, sajembaring jagad, kuwasa ngiderana, wus awor lan Dewaresi, manjing jro pura, datan wonten udani, 17. Langkung sekti sira Nagapratala, datan amawi margi, denya manjing pura, datan amawi swara, neng bangsal wangunan asri, sampun waspada, ing prenahe Sang Aji. 18. Teka rangu-rangu Sang Nagapratala, karasa jrone ati, denya amemitra, lawan Srinaranata, rikalanira alinggih, aneng paheman, jangji kadang sayekti. 19. Kawarnaa kang lagya among asmara, pratistheng tilam-sari, Raja Anglingdarma, kelawan Dewi Setya, sampunira pulangresmi, lenggah kaliyan, sang dyah matur wotsari.
235 PNRI
20. Dhuh dewaji tan eca raosing driya, sarawuh Paduka Ji, sangking acangkrama, kadi wong dukacipta, abdine kelangkung ajrih, dereng uninga, sesikune pawestri. 21. Kathah tuna-dungkape tetiyang arga, tan wruh dugi-prayogi, sru maras kawula, menawi kalepatan, ing tindak-tanduking estri, den uningakna, rehning itikan wukir. 22. Angandika sang nata amengkul madya, dhuh atma jiwa mami, aja salah tampa, sungkawaning tyasingwang, duk ingsun cangkrama yayi, banjur mring taman, Bagendha sedya mami. 23. Arsa siram sapraptaningsun ing taman, panuju tengah wengi, ana kang teksaka, kirda jroneng udyana, gawok sakeh kang umaksi, marang gengira, kanang bujangga estri. 24. Lanangane ula Tampar mung sacarang, tansah sru den suraki, sinawatan lunga, eca apepuletan, wadyanira padha ajrih, bareng sun miyat, kang kirda Nagagini. 236 PNRI
25. Tan derana sun yayi amenthang langkap, ula Tampar sun ungkih, pedhot gulunira, nging Nagagini kena, pethite kampat lumaris, nrajang laleyan, sun uwuh tan anolih. 26. Sang dyah matur jeng paduka salah karya, dadya ngalang-alangi, ing wong padha karsa, sang nata ris ngandika, bener ujarira yayi, weruhanira, iya si Nagagini. 27. Ingkang duwe somah si Nagapratala, iku wus manjing dadi, kadangingsun tuwa, tan na rasa-rumangsa, sumitra sudarawedi, somahe lambang sari lan ula cilik. 28. Lamun ingsun ora wani arnadhema, mring ula Tampar yayi, wong apa kayengwang, mendahane gedheya, yen wani ya sun mateni, marang teksaba, ingkang amejanani. 29. Mring si Kakang mengkono pangesthiningwang, mulane sun jemparing, ya si ula Tampar, nanging panduganingwang, si Nagagini yen prapti, ngarsane priya, wewadul ngaku becik. 237 PNRI
30. Anglengkara yen atutura culika, yekti mung ala mami, kang tinuturika, yen kuranga pariksa, kang naga mring awak mami, pasthi sun pejah, sumarma ngong prihatin. 31. Sang Dyah asru angungun ing manahira, myarsa pangandika Ji, kumembeng kang waspa, sarya nungkemi pada, Sang Nata awlas ningali, dene sang retna, waspanira dres mijil.
238 PNRI
5. MIJIL
1. Wangwang cinandhak astane rabi, saha wecana Ion, dhuh mas mirah aja maras angger, den pracaya marang ing Dewa sih, tan kena gumingsir, yen wus jangjinipun. 2. Sang Naga kanggeg amiyarsa ling, ira Sang Akatong, mantibanta angungun ing tyase, dadi apa agahana mami, ngong wetara mati, sidaa sun saut. 3. Yekti kelangan kadang amanggih, dedukane Manon, utang pati kena dosa gedhe, samargane wong agawe becik, pasthi manggih becik, iya yayi prabu. 4. Si Nagagini cidra ring mami, saujare goroh, gawe-gawe amrih ing dudune, yen sidaa yayi Aji mati, yekti Nagagini, ingsun ukum lampus, 5. Nagapratala wus medal sangking, pasareyan Katong, Warna pulih kadya ing ngunine, swara ngakak kumer ing jro puri, 239 PNRI
wong dalem samya jrih, myarsa swaranipun. 6. Ciptanira datan darbe urip, sagung wong kedhaton, nguwuh-uwuh Nagapratalane, dhateng kang rayi Srinarapati, prenahipun mungging, kebon alas pungkur. 7. Panguwuhira kang teksaka Ji, mijila riningong, marang jaba ing sapangu bae, kagyat Sang Nata amiyarsa ngling, ira teksakaji, wanti-wanti nguwuh. 8. Arsa medal arsa den bundheti, marang Sang lir sinom, esmu tangis Sang Dyah alon ture, dhuh dewaji arsa dhateng pundi, ngandika Sang Aji, yayi ingsun metu. 9. Kakang Nagapratala neng jawi, anguwuh marang ngong, Sang lir apsari alon ature, sampun age paduka manggihi, maras ingkang ati, menawi den saut. 10. Mangsa nganggea pariksa malih, pae silih uwong, duwe nalar akeh pariksane, Sang Nata ngling y wa mangkono yayi, Nagapratalaji, kadangingsun sepuh. 11. Sangking onenge mring awak mami, saben-saben rawoh, 240 PNRI
sangking kayangan ika jujuge, nadyan ingsun amanggiha pati, tan arsa gumingsir, pracayeng Dewa gung. 12. Wruhanira si Kakang asekti, tan kewran pakewoh, agal-alit manjing ajur-ajer, umpetana jroning gedhong wesi, pasthi sun kapanggih, sikakang yen bendu. 13. Sang Dyah bondheti kuncaning laki, waspa dres umiyos, Sang Pratala asru pamuwuse, yayi prabu mijila den aglis, kadangira prapti, yata Sang Aprabu. 14. Sigra ambenggang astaning rabi, melajar tan alon, prateng jawi panggih lan mitrane, pinangku wau Srinarapati, sedhengnya samya sih, Sarpendra amuwus. 15. Dadi apa agahana mami, mring sira riningong, si Nagagini estu alane, datan bisa males ingsun ing sih, ira angulapi, ing kalilipingsun. 16. Maraja Anglingdarma nauri, wecana rum alon, Kakang den ageng pangaksamane, arinta purun anguniyani, karsanta nuruti, sumuking tyas bendu. 241 PNRI
17. Sang naga ngling aja sira pikir, geng tarimaningong, mring sira tan duwe kadang maneh, ing dunya ing delahan ri Aji, kadangingsun yekti, Anglingdarma prabu. 18. Tan awiwang sinembah ing dasih, bagus citranya nom, sekti mandraguna wruh ing agel, setya ing ujar legaweng pati, sih mring mitraneki, nora bisa ingsun. 19. Amales marang sihira yayi, ana ajiningong, aji Suleman ageng sawabe, wikan basane salir kumelip, baya wus pinasthi, kersane Dewa gung. 20. Lamun sira ingkang anduweni, yayi ajiningong, tan kena ngrungu jalma liyane, payo lunga marang don sepi, menyang ing wanadri, lawan wekasingsun. 21. Aja amuruk marang ing rabi, poma wekasingong, miwah putra kawula-wargane, lamun sira muruka yayi, pasthi ngong ngemasi, tan sae tinemu. 22. Amituhu Sang Anglingdarma Ji, wasana ngalap sor, kalinggamurda ing pasihane, kacancang munggeng pucuking weni, dadyaa paripih, sihing kang dhumawuh. 242 PNRI
23. Sang Nagapratala muwus malih, yayi ariningong, lamun uwis terang ing karsane, nedha marang alas kang asepi, ngong lilani yayi, nitih gigiringsun. 24. Lenggana Sang Anglingdarma aji, gya sinambut alon, tinitihaken aneng gigire, Nagapratala anulya mijil, sangking dalem puri, lampahe lir daru. 25. Sakedhap prapta madyeng wanadri, sang naga ngling alon, Yayi Prabu tumuruna age, lki wus prapta madyeng wanadri, lor-kidul atebih, tan ana kang weruh. 26. Wus prayogi ing kene asepi, tumedhak Sang Katong, sangking gigir lenggah ing ngarsane, risang Nagapratala sabda ris, iki Aji mami, Suleman linuhung. 27. Den aparek gyanira alinggih, merem a riningong, Sang Nata tan wiyang ing kersane, samya merem Nagapratala ngling, waspanya dres mijil, kasmaran sang prabu.
243 PNRI
6. ASMARADANA
1. Anulya winejang aris, sira Raja Anglingdarma, lah yayi iki emele, apan ora pati dawa, sang nata binisikan, limpat tyasira sang prabu, sakedhap sampun kadhadha. 2. Sanes surasane galih, Maharaja Anglingdarma, beda lan saben-sabene, sawabe aji Suleman, terus ingkang pamyarsa, Nagapratala muwus, yayi aji sun atanya. 3. Apa ta wis paham yayi, tengere yen sira bisa, kang manah sanes raose, kang tinanya aturira, kakang barkat paduka, kawula paham satuhu, sanes sotaning wardaya. 4. Kalawan ing uni-uni, trus pamyarsa kawula, Sang Nagapratala linge, sokur yen sampun kabuka, neng guwagarbanira, payo yayi padha mantuk, sowang-sowang manjing pura. 244 PNRI
5. Ingkang kacipteng Narpati, amung kusumeng aldaka, mila sineru lampahe, pangunaandikanira, yen ingsun tan praptaa, saari iki kedhatun, ingsun wetara ing nala. 6. Garwaningsun tuweg ragi, kang keri sajroning pura, anyengguh kalamun ingong, pinaten ing kakang Naga, pratala aneng wana, sun tedha marang dewa gung, aja kongsi tuweg raga. 7. Anaa kang mituturi, rabiningsun Dewi Setya, byatitanen Sang Akatong, kang umentar marang pura, ganti ingkang winarna, garwanira Sang Aprabu, kusumadi ing aldaka. 8. Lagya pinarak Sang Dewi, Inya Mandhala neng ngarsa, para garwa pepak kabeh, myang sagung wong dalem pura, para babu lan inya, andher ngarsane Sang Ayu, Dewi Setya angandika. 9. Biyang kaya paran iki, gustimu nora na prapta, kang manah sru sungkawane, yen tan rawuh Srinarendra, biyang sadina mangkya, saestu kena ing apus, winaweng Nagapratala. 245 PNRI
10. Pinaten aneng wanadri, Sang Prabu marang si Naga, yen estu seda Sang Katong, biyang manira abela, apan atuweg raga, tan dreman ingsun tumuwuh, sang dyah kumembeng kang waspa. 11. Inya umatur wotsari, ratumas atur kawula, nadyan silih gegebale, yen gusti bela ing Nata, abdi mangsa kantuna, sedaya bela tumuntur, tan saged angabdi liya. 12. Miwah wong sadalem puri, umatur bela sedaya, nanging atur kawula ngger, inggih sadinten punika, prayoga den antosna, kadhahar saaturipun, sira si Inya Mandhala. 13. Biyang wayah apa iki, kang dinangu matur sembah, sampun ing ngandhap wayahe, yen suwawi Jeng ratumas, anglelipur ing driya, tedhaka mring kori kidul, lelingse methuk ing raka. 14. Sang dyah sangking sru prihatin, tedhak ingiring pawongan, srimpang-srimpung ing lampahe, sangking darpaning sungkawa, samarga jinaganan, ing para emban lan babu, sami kumempeng kang waspa. 246
PNRI
15. Angres ing manah myat gusti, ing dwara kidul wus prapta, jumeneng aneng tirahe, sang dyah sanget ngarsa-arsa, ing raka Srinarendra, wong dalem aglar neng ngayun, tan adoh emban lan inya. 16. Sang retna angandika ris, sarwi kumembeng kang waspa, biyang inya karsaningong, saupama nora prapta, sang nata sore mangkya, patremku pasthi cumundhuk, biyang ing jaja manira. 17. Sakehing wong dalem puri, angres manahe tumingal, eca imbal wacanane, kasaru sang nata prapta, aris ing lampahira, sarwi ngrimong kuncanipun, lir Hyang Asmara tumedhak. 18. Lagya kasmaran ing Ratih, Maharaja Anglingdarma, alum awenes citrane, cahyanya kadi sasangka, sedhengira purnama, sang nata kaget andulu, lamun kusumeng aldaka. 19. Tedhak amethuk neng kori, angagem patrem pambelan, Sang Retna prastaweng panon, yen sang nata ingkang prapta, sareng pagut ing tingal, kadi panjang-putra ruru, ing sela kumepyurira. 247 PNRI
20. Swuh rempu sarira kalih, gupuh lumajeng sang retna, sarwi ambuwang patreme, sigra anungkemi pada, sarya maca udrasa, sesambatira mlas-ayun, Pangeran Gusti kawula. 21. Tan anyana ingkang abdi, yen apanggih lan Paduka, kang manah sanget marase, kawula sidhep palastra, den mangsa ingkang Naga, aneng madyane wana gung, Pangeran cipta kawula. 22. Yen tan praptaa Sang Aji, inggih sadinten punika, kawula salah kepaten, ambelani Jeng Paduka, myang wong sadalem pura, cethine tan wonten kantun, tumuntur bela antaka. 23. Sang Nata ngandika aris, den pracaya marang dewa, aja na dadi sekele, si Kakang Nagapratala, sedya becik maringong, angaku sadulur tuhu, ing dunya prapteng delahan. 24. Balik kesukana sami, angirabena bedhaya, laju lampahe Sang Katong, sarwi angemban kang garwa, tansah kinuswa-kuswa kelangkung sihira prabu, ing garwa kang kadi retna. 248 PNRI
25. Kagyat Sang Srinarapati, miyarsa semut rerasan, mekaten ing pangucape, batur kanca suminggaha, menawa ta kaidak, marang ing wong puranipun, abdine Raja Nglingdarma. 26. Tuna wruh ing bener sami, Sang Nata mesem ngandika, Sang Dyah atampi manahe, umatur marang Kang Raka, dhuh Dewa paran marma, mesem tanpa keraneku, Raja Nglingdarma ngandika. 27. Milaningsun mesem yayi, kerasa duk aneng wana, yayi mider-mider ingong, lan kakang Nagapratala, ingsun ningali wreksa, aneng madyane wana gung, tanbuh gawene kang wreksa. 28. Iku esemingsun yayi, Sang Ayu lega tyasira, wus prapta ing dalem gedhe, munggeng made palenggahan, sira Srinaranata, apinarak aneng babut, sarimbit lawan kang garwa. 29. Nulya pepundhutan prapti, Sang Nata dhahar kaliyan, wong dalem suka manahe, myang sakehe para garwa, sesugun sru gumelar, dene gustinira rawuh, asuka-suka sedaya. 249 PNRI
30. Gamelan munya ngrerangin, mungguh ing panti pandhapa, kalih lajur bedhayane, wus linorod kang begsan, wangwang Srinaranata, anambut ing garwanipun, binekta mring pekasutan. 31. Ni Inya wus tangkep samir, Maharaja Anglingdarma, angungrum marang garwane, lir bremara nguswa sekar, mrih maduning puspita, kathah pawongan kayungyun, saweneh medal ing jaba.
250 PNRI
7. MIJIL
1. Sang dayinta tansah rinaremih, winaweng paturon, lir walang krek Sang Dyah dres gitele, dhasar kenya susila tur lagi, asih marang laki, abaut Sang Prabu. 2. Baya sira panjalmaning sari, pinasthi dadi wong, sekar setaman sepi sarine, angalumpuk marang sira gusti, karane kang dasih, kelangkung ngulangun. 3. Sang dyah sinjange dipun waoni, kekemben kinendhon, Sirinarendra angayuh madyane, Sang Dyah mengo anjiwit calekit, angadohi liring, Srinata angrangkul. 4. Datan darana ing tyas angungkih, asmara kalangon, kusuma yu lir wayang polahe, mingsak-mingsek kadya wong anangis, lagyarsa tinatih, sang dyah miwal kayun. 5. Mawanti arsa amurweng gati, mangrurah wastra Ion, anglir kembang amekar gandane, sang dyah tangkis asta anginggati, 251 PNRI
sru amiwal kapti, ngeses sambat lampus. 6. Yata kocapa wisuna kalih, lanang lawan wadon, Ki Srepana kang lanang wastane, ingkang wadon wasta ni Srepani, wonten ing lelangit, putih warnanipun. 7. Ki Srepana angucap ing rabi, lah payo wong wadon, padha karesmen sadhela bae, ingsun kapengin tinuru sang aji, canggeh ingkang estri, anayuti kayun. 8. Ni Srepani linge melas-asih, dhuh lenggana ing wong, weteng ingsun lagyana endhoge, kaya priye yen apulangresmi, alimana mami, wetengku anjendhul. 9. Ki Srepana ameksa ing rabi, lah payo wong wadon, aja maras sun irih-irihe, pasthi sira nora angemasi, ingsun kekerihi, dimene glis metu. 10. Wisunestri sugal amangsuli, bok aja anguthoh, apan ingsun lenggana karsane, lagi meteng maras ingkang ati, pecah endhog mami, neng jero yen lampus. 11. Yata pineksa wau kang estri, ingajak peturon, ni Srepani asru lengganane, 252 PNRI
sigra lumajar dipun tututi, sinaut kang estri, tugel buntutipun. 12. Ni Srepani pan lara anangis, wong lanang anguthoh, nora layak binibit turune, datan welas marang ing pawestri, ngur matiya mami, wirang dene buntut. 13. Mesem Sang Nata atutup lathi, sandeya maturon, kusumayu kapita driyane, salah tampi mantihanta runtik, manggraiteng galih, winada ing lulut. 14. Aglis wungu seksana alinggih, netya rengu celom, Dewi Setyawati Ion ature, mila mesem paduka Narpati, baya nora sudi, asare lan ingsun. 15. Nyata kawula tetiyang wukir, ' akrama lan Katong, dadya nyenyampuri kawulane, tan pantes dadi garweng Narpati, yen tan kangge mami, ulihna mring gunung. 16. Pan akathah garwa Paduka Ji, sami putri kaot, raganingsun terahing wong cere, Sri Narendra angandika aris, sarya ngasih-asih, dhuh mas mirahingsun. 253 PNRI
17. Nadyan akeh wanodya kang adi, atmajane katong, nora siring lan andika angger, ingsun pindha pindha puspita di, kinarya sesumping, ap antes sun suhun. 18. Setyanana kawula mas gusti, den tumekeng layon, anjalmaa kongsi ping saptane, pan dadiya dasihmu mas gusti, tan jrih nuku pati, sumiweng sang ayu. 19. Aja sira salah tampa yayi, dene guyuningong, aningali wisuna yektine, Ki Srepana lanange kang estri, awasta Srepani, den ajak ing kakung. 20. Kapengin solahira lan mami, lenggana kang wadon, ingkang lanang asru pameksane, kadrawasan sinaut kang estri, tiba ing geguling, tugel buntutipun. 21. Yen sira tan piyandel ing mami, dulunen mas ingong, iku wisuna wadon buntute, muget-muget tiba ing geguling, mesem raden Dewi, tumingal ing buntut. 22. Matur sang retna saha wotsari, dhuh dewa sang katong, dingaren dene wikan basane, Sang Nata ngling sun winejang yayi, ing aji dipati, sumarmane putus. 254 PNRI
23. Kakang Nagapratala kang misik, iku guruningong, Dewi Setyawati Ion ature, amung paduka Srinarapati, gen kawula nyethi, den tumekeng lampus. 24. Dahat tan arsa mengeng ing gusti, ngamungna jeng katong, kang darbeya dasih selamine, nanging kawula aminta Aji, kang weruh basaning, saliring tumuwuh. 25. Esmu ngungun Sang Srinarapati, andikane alon, dhuh mas mirah jiwaningsun angger, kabeh pundhutan sakehing aji, sumangga maskwari, nanging aja iku. 26. Nora wenang ngong muruka yayi, marang ing wong wadon, sang dyah asru ameksa ature, dhuh Sang Nata kawula minta sih, wejangen tumuli, ing aji dipeku. 27. Angandika Sang Srinarapati, yayi ajrih ingong, kakang naga dahat pepacuhe, ingsun pinenging mejang ing rabi, tenapi mring siwi, payo ingsun wuruk. 28. Janurwenda kewala kang aji, sawabe waspaos, amemanah miwah pambedhile, Sang Srikandhi, putri Cempala ji, 255 PNRI
yen manah patitis, sawabe puniku. 29. Aji Janurwenda sangking laki, Sang Aijuna kaot, sun wetara mirah swarnane, kaya sira kang aran Srikandhi, Sang Dyah esmu runtik, kawula tan ayun. 30. Nora kudu bisa ambebedhil, tan dadi meranggo, Janurwenda arsa winuruke, dene lir bojone Sarageni, kawula puniki, kapengin Sang Prabu. 31. Wruha basane sarwa kumelip, mendah bungahingong, dene nguni akeh prasetyane, datan arsa mulat ing Dyah malih, malah tekeng pati, anunggal lelarung. 32. Mangke cidra tan tulus ingkang sih, ngandika Sang Katong, dhuh mas mirah kang endi tandhane, yen pun kakang tan tulus ingkang sih, marang Sang Retna di, Sang Dyah Ion umatur. 33. Denten kawula ayuwun aji, Suleman kinaot, tan sinungan akeh sengadine, menggah Sang Nata ngandika aris, yen aja na mawi, wewaler kang dhawuh. 34. Kakang Nagapratala mring mami, sinupatan ingong, 256 PNRI
yen muruka marang sira angger, cidreng guru tan manggih basuki, lamun sira apti, ana ajiningsun. 35. Lawan akeh sawabe kang aji, yen lumaku adoh, tan kangelan manjing ajur-ajer, iku prayoga aji linuv/ih, lah mara maskwari, sira ingsun wuruk. 36. Dewi Setya asru dahat apti, winuksa ing katong, lamun dede Suleman ajine, cinarita wus angsal sapta ri, denira angudi, srinata akukuh.
257 PNRI
8. SINOM
1. Kelangkung sungkaweng driya, pitung dina pitung bengi, Sang Nata datan sineba, angarih-arih ing rabi, Sang Dyah sangkin angudi, Sang Nata tansah anamur, ing karsane kang garwa, kusumayu saya runtik, wedana bang kumejot padon lathinya. 2. Asugal denira ngucap, kadya punapa Dewaji, tur kula tan sinembadan, karya punapa wak mami, estri ala parunji, ulibna marang gegunung, parandene akrama, datan antuk aminta sih, angandika Sang Nata angrangkul madya. 3. Lebura ing astaningwang, mangsa sun ulihna maring, ngaldaka Sang lir kusuma, matur sarwi esmu tangis, yen makaten Sang Aji, luwung pejah awakingsun, yen Paduka tan suka, kawula mulih mring wukir, raganingsun sukaa lebu tumangan. 4. Wirang ingsun marang dewa, myang mulat sesamaning jalmi, 258 PNRI
Sang Nata angusap jaja, adhuh mirahingsun gusti, welinge Sang Ayogi, sun kinen among sireku, nadyan sira lebuwa, tumangan ingsun belani, datan arsa pun kakang madayang ujar. 5. Lebura awor dahana, aja pisah ngong kekalih, Sang Retna matur ing raka, animbalana pun Patih, Paduka ken akardi, gunung agni ngalun-alun, wateke Nata dibya, tan cidra wuwus kawijil, wus s u m u r u p ing h a r u n a r a tetiga
6. Ni emban Inya miyarsa, ing pangandikanira Ji, sadaya anjrit karuna, asambat Srinarapati, sakeh kang para bibi, miyarsa sami sru muhun, tanbuh rasaning driya, miwah sagung para manis, kadya gerah tangise wong dalem pura.
7.
Dhuh Gusti suhunaningwang, sinten kawula ngengeri, para selir pepingitan, kathah ingkang kontrang-kantring, anampel-nampel wentis, gelung lukar layon mawur, sesampur kaleweran, Sang Nata ngandika aris, lah menenga sedaya aja karuna. 259 PNRI
8. Pinasthi karsane dewa, ingsun mati ambelani, Gustimu lebu tumangan, lah biyang Inya den aglis, timbalana Si Patih, kang kinen wus nembah metu, prapta ing pagelaran, tundhuk kelawan ki patih, dhinawuhan Ki Bathik Madrim ngandikan. 9. Ing Nata manjing ing pura, sandika aturira glis, kerit ing Inya apatya, ingawe marang Sang Aji, majeng saha wotsari, prapta ing ngarsa rinangkul, ing Nata binisikan, kakang akaryaa wukir, dahana lan panggungan ing pagelaran. 10. Den enggal nuliya dadya, padha samengko Apatih, Madrim umatur anembah, pukulun nuwun warti, ulun dereng andugi, Paduka amundhut gunung, dahana lan panggungan, sinten ingkang lebu geni, angandika Maharaja Anglingdarma. 11. Kakang patih arinira, kusumayu Setyawati, arsa alebu tumangan, ingsun melu ambelani, ki patih awotsari, esmu waspa alon matur, dhuh Sang Dewa Melawa, Jeng Paduka nata luwih, langkung nistha seda ambelani garwa. 260 PNRI
12. Sampun wiyah ing wanita, akarya beka ing laki, nanging tan dhateng ing prana, yen tineguhan kang ati, •dhuh Gusti Sang lir Ratih, sampun anuruti nepsu, tan yogi kang pinanggya, pepindhane estri adi, yekti anut punapa karsaning priya. 13. Akathah-kathah turira, Ki Apatih Bathik Madrim, dhateng kusumeng aldaka, Dewi Setya asru angling, lah menenga ta patih, aja kakehan celathu, lamun ora tinekan, goningsun anjaluk aji, raganingsun suka tumekeng antaka. 14. Pasthi karsane ing Dewa, Sang Nata emeng ing galih, aris denira ngandika, poma wekasingsun Patih, yen ingsun angemasi, sira jumenenga Ratu, sun wenangaken uga, sumilih keprabon mami, amengkuwa praja ing Malawapatya. 15. Apan sira kadangingwang, kang sinung ujar anangis, sarwi anungkemi pada, amular kadi pawestri, tan saged dados Aji, pun patih langkung balilu, datan saged anjuma, ing wadya Melawapati, lawan ajrih papa-cintrakaning dewa. 261 PNRI
16. Lan dede wans kawula, sayekti aglis kasarik, kawula madega raja, Sang Nata ngandika malih, pan sira sanak mami, kapindhone tunggal guru, mangsa silih antuka, cintraka sira dadya Ji, Bathik Madrim anangis dahat sungkawa. 17. Ngandika'malih Sang Nata, lah uwis metuwa aglis, Bathik Madrim nembah medal, sangking pura sru prihatin, meksih anemu tangis, sapraptanireng manguntur, kagyat sagung punggawa, miyat Ki Apatih mijil, sangking pura dene asemu karuna. 18. Geter manahing punggawa, anarka kelamun patih, kadukanan ing Srinarendra, prapteng pagelaran patih, aseret denira nghng, timbalan dalem kang dhawuh, heh sagunging punggawa, akaryaa gunung agni, lawan panggung den enggal nuli dadiya. 19. Ing ngarsane pagelaran, Sang Natarsa malbeng geni, ambelani ingkang garwa, heh sakehe para mantri, padha saosa nuli, kayu lenga lawan eduk, lamun estu Sang Nata, dening anganyut urip, ingsun ingkang gumanti jumuneng Raja. 262 PNRI
20. Angreh punggawa Melawa, pangandikane Sang Aji, mulane ingsun karuna, kalangkung putek kang ati, sagung punggawa mantri, gegetunira kapiluh, samya matur kukila, punapa kang dados galih, Srinarendra arsa alebu tumangan. 21. Dene kaliyan kang garwa, agya Patih Bathik Madrim, warta mring para punggawa, purwa madya wesaneki, sagung punggawa mantri, kang myarsa sami angungun, matur para punggawa, mring Ki Patih Bathik Madrim, sakarsane Sang Retna nanging Sang Nata. 22. Suwawi sami ingaturan, sampun ngantos anemahi, mangsa kiranga wanodya, kang ayu adi lunuwih, para putrining Aji, kang pantes dadi leliru, suwawi linamara, tumuli lamun tinampik, ginitik ing yuda rinurah kang praja. 23. Kawula dipun abena, suka pejah ingkang abdi, nglampahi karya Narendra, Raden Dayaningrat angling, heh kakang Bathik Madrim, langkung nistha Sang Aprabu, seda bela ing garwa, yen kuwawi kakang patih, Srinarendra rinebat ing guladrawa. 263 PNRI
9.
DHANDANGGULA
1. Yen tan arsa ngaturan prayogi, lah suwawi rinebat ing kathah, inggih pra santana kabeh, lan punggawa gung-agung, kang ngrebata ing Sribupati, aywa kongsi tumeka, denya nganyut tuwuh, inggih Sang Nata kewala, Ki Apatih Madrim anauri aris, ya bener karsanira. 2. Nging sun ajrih yen den upatani, aturingsun wus akathah-kathah, datanpa pinirsakake, marma bela Sang Prabu, dene Dewi Ambarawati, putrane guru Nata, kaping kalihipun, Sang Prabu wus aprasetya, kaping tiga sedhengira padha asih, marma tan kena benggang. 3. Sami karuna para Bupati, myang sentana ingkang amiyarsa, Ki Bathik Madrim delinge, ing pagelaran amung, Ki Apatih asru denya ngling, uwis padha menenga, aja na grumrumung, pan wus karsaning Bathara, age padha tumandanga nambut kardi, panggung nuliya dadiya. 264 PNRI
4. Yen kadukan ing Jeng Sribupati, para mantri gya sami tumandang, tan pegat ngusapi luhe, tan adangu kang panggung, dadi lawan prawata agni, wus samekta sedaya, kyapatih tumanduk, mring pura atur uninga, yen kang gunung dahana panggung wus dadi, ngarsaning pagelaran. 5. Sigra kujamas Srinarapati, lan kang garwa sampun ageganda, miwah salin busanane, kaprabon wus rinasuk, jamang emas lan anting-anting, bebadhong kebomenggah, ujwalanya murub, akampuh seta pinarmas, lan paningset gringsing sanguhanta kadi, kenghis nayaka muncar. 6. Sampun lelathi Srinarapati, waja keseng anglaring kombang, asorot-sorot lathine, kathah estri kayungyun, miyat citranireng Narpati, ejim peri prayangan, sami ngengleng mangu, kasmaran ing Srinarendra, tuhu lamun bagus Jeng Srinarapati, eman tan tulus wirya. 7.
Risang Dayinta sampung asalin, angrasuk raja kaputrenira, lir Dewi Ratih putrane, angandika Sang Ayu, payo biyang padha umijil, 265 PNRI
marang ing pagelaran, Ni Inya wotsantun, kerig wong sadalem pura, sami ngiring ing Sang Dyah sinambut aglis, dening Srinaranata. 8. Sagung pepingitan para manis, nyandhang seta sami aneng ngarsa, angampil upacarane, kabeh tan ana kantun, sedya tumut alebu geni, bote tisna Sang Nata, suka sareng lebur, gumer tangise wong pura. Patih emban sumungsung ing Sribupati, aneng wijil kapisan. 9. Raja Anglingdarma ngandika ris, kakang Madrim poma estokena, ywa nganggo malang tumoleh, ing sawawekas ingsun, yen mungguh ing panggungan mami, kakang sira linggiha, sangisoring panggung, kang kinen matur sandika, sarwi angusapi waspa lampahnya Ji, wus prapteng pagelaran.
10. Katingalan dening Sribupati, wus sumaji ingkang pepanggungan, tundha tiga jajarane, prapta minggah Sang Prabu, marang panggung lawan Sang Dewi, mubeng ingkang gegawar, janur kuning tepung, Sang Ayu matur ing Nata, angentosi punapa tan den suledi, ingkang wukir dahana. 266 PNRI
11. Angandika aris sribupati, den arereh mirah karsanira, aja ngugung nepsu bae, Sang Dyah alon umatur, tan adarbe cipta kekalih, muhung ujar sapisan, kang raka lingnya rum, ingsun iya datan arsa, aduweya ujar loro dyan Sang Aji, angandika mring Patya. 12. Kakang Madrim payo den agelis, konen anyuled kanang dahana, kang kinen atur sembahe, lurah gandhek tinuduh, lumampah glis anyuled agni, lir sundhul ing akasa, ngajrihi kang urub, muntap-muntap lir samudra, Sang Dyah matur mring Rakendra lah suwawi, sareng rnalbeng dahana. 13. Ingkang wukir agni wus andadi, Raja Anglingdarma angandika, tansah ing pangkon garwane, sarya rinapu-rapu, aja age-age mas yayi, mengko bareng lan ingwang, abarenga lebur, lawan malih kang dahana, durung pati andadi urube yayi, kuneng Srinaradipa. 14. Kawarnaa Sang Hyang Surapati, kang ngedhaton ing Jonggring Selaka, lagya siniwaka andher, kang para jawata gung, Hyang Nerada umatur aris, heh yayi Betharendra, 267 PNRI
paran kersanipun, gegeiing ing Suralaya, gara-gara akathah ingkang dhatengi, lesus gang pancawara. 15. Endhut blegdaba umob ngajrihi, tuwin kawah pun Candradimuka, sanget kumrangsang umobe, bayu bajra sru nempuh, wreksa ageng kathah rug dening, barat suh pugel sempal, kayu dewadaru, katempuh epangnya sempal, reh prakempa Suralaya lir ginonjing, dewa keh kang gegeran. 16. Widadara lawan widadari, sami ngili anggendhong kelasa, yayi Endra paran rehe, Sang Surapati muwus, yen sembada lawan sireki, nedha marang kamuksan, matur ing Hyang Guru, sigra kalih sareng mentar, mring kamuksan Sang Hyang Guru wus kapanggih, alon denya ngandika. 17. Sira padha baya ana kardi, dene lumebu tanpa larapan, Resi Narada ature, pukulun ari Guru, katiwasan atur upeksi, seke kadewatan, tan uninga ulun, punapa kang dadya purwa, Suralaya ing mangke kadi ginonjing, pun Kakang jarwanana. 18. Sang Hyang Guru angandika aris, kakang Nerada lamun tan wikan, 268 PNRI
kang karya prabawa kiye, ratawarsa nganyut tuwuh, lan garwane sedheng lagya sih, bisikan Anglindarma, Narendra dibya nung, kekasihe Sang Hiang Tunggal, kang jumeneng nata ing Melawapati, ing rat tanpa sisihan. 19. Yeku terahing kusuma luwih, wus tinutur ing purwa wasana, Nerada sru pangungune, Hyang Pramesthi amuwun, kakang sira muduna aglis, akanthiya si Endra, heh wruhanireku, yen lenaa Anglingdarma, yekti cupet kang nedhakken para Aji, kang mengku Nungswa Jawa. 20. Wus wineling Sang Hyang Surapati, Hyang Nerada wangwang sareng mentar, datan kawarna lampahe, yata ingkang winuwus, ingkang arsa anganyut urip, Maharaja Nglingdarma, lawan garwanipun, Dewi Setya aturira, dhuh Dewaji suwawi tumameng agni, kang den antos punapa. 21. Yen tan arsa Paduka Dewaji, kawula amalebet priyangga, kariya mukti sarine, amonga para arum, mengku praja ing Mlawapati, kramaa putri endah, kang samining ratu, karya punapa wong arga, 269 PNRI
digsura tur parunji tan wruh ing niti, cendhala beg angkara. 22. Sang Dyah arsa tumedhak tumuli, mring dahana Sang Nata tan suka, angapithing panyikepe, angandika Sang Prabu, mengko mirah dipun aririh, yen ana kang wewekas, rama Sang Awiku, ing reh kamuksaning pejah, ywa kaliru'milaningsun kendel yayi, taha ajrih ing lena. 23. Angestokken wulange Sang Yogi, aywa korup ing reh kamuksan, ing pati ewuh margane, akeh wong kadalurung, yen tan awas mring tingal jati, Dewi Setya turira, duk aneng kedhatun, sampun kaesthi sedaya, sawuruke Kangjeng Rama Sang Ayogi, kamuksan ing antaka. 24. Yata sang nata kagyat umaksi, wonten menda apethak sasomah, datanpa sangkan praptane, neng jawi gawar janur, kuning ingkang kambing samya ngling, Srinarendra uninga, sawicaranipun, wedhus wadon atetanya, marang ingkang lanang sun atanya yekti, iki dahana apa. 25. Dene gedhene kagiri-giri, inaweran ing jejanur jenar, tundha tiga jajarane, lan sadaya kapiluh, 270 PNRI
jalma ingkang samya jajari, sumaur mend a priya, wruhanira iku, Prameswarine Narendra, ingkang arsa tumameng agni puniki, kambing estri Ion ngucap. 26. Apa karane Sang Prameswari, dene arsa alebu tumangan, kang lanang alon saure, Sang Putri anjejaluk, aji maring Srinarapati, nanging nora tinekan, iku marmanipun, dadi runtike sang retna, marma arsa lebu tumangan ing mangkin, Sang Nata arsa bela. 27. Raja Anglingdarma ratu luwih, sudibya nung paramarteng wadya, marma sami gung trisnane, kambing estri amuwus, heh wong lanang sun arsa uning, manira iki nyidham, rong sasi kelangkung, kapengin mulat ing gawar, janur kuning sira jupukna den aglis, ingkang lanang angucap. 28. Baya wus jamakipun pawestri, datan wruh ing bener andaluya, kang ora-ora den ame, anjaluk janur iku, kagungane Sang Narapati, tur kinarya serana, nora wani ingsun, mangsa kuranga pangan, suket miwah godhongan aywa daleming, nuruti ati setan. 271 PNRI
29. Kambing estri sugal denya angling, lamun sira tan wani ngambilna, gegawar janur kuninge, sayekti ingsun lampus, kambing jalu bengis denya ngling, modar oraa sira, pedah apa ingsun, lah den age lumebuwa, mring dahana sira mati ingsun rabi, lan ingsun ora arsa. 30. Anuruti ujaring pawestri, nora kaya Raja Anglingdarma, ratu kaliwat nisthane, anut ing estrinipun, nora wurung manggih bilai, kambing estri lingira, keriya rahayu, manira lebu tumangan, kambing lanang ika sru denira ngling, mara ge tumomaa. 31. Maledhosa pinangan ing agni, ingsun mangsa kuranga wadonan, age lumajar estrine, manempuh dahana gung, ingkang lanang suka ing ati, asru denira ngucap, lah rasakna lebur, sira pinangan dahana, Raja Anglingdarma neng panggung mangerti, kambing sawicaranya. 32. Dadya Sang Nata ngandika aris, ika kang tinitah sato-kewan, menda mangkana ambege, ingsun Narendra Agung, yen anuta karsaning estri, kelangkung nisthaningwang, 272 PNRI
tanpa sila ingsun, sinembah samaning Raja, dadya kendho pangrangkulira Sang Aji, dhumateng ingkang garwa. 33. Datan antara Sang Prameswari, anjlog sangking panggung kadya kilat, manibeng dahana gedhe, wandanira wus lebur, pinangan ing prabata agni, yitmanira kinuncang, dening jawata gung, Maharaja Anglingdarma, kadya wong kandhuhan manahira rujit, tan wruh wijiling waspa.
273 PNRI
1. Kang aneng soring panggung Kya Patih, waspanya dres miyos, Bathik Madrim lan Dayaningrate, Arya Wijanarka tan atebih, punggawa tri sami, awas deny a dulu. 2. Ingkang anjog ing prabata agni, yen amung sawiyos, Patih Madrim eca ing driyane, anarka Sri wus tumameng agni, agupuh Kya Patih, minggah maring panggung. 3. Prapteng panggung gustine kapanggih, anjetung Sang Katong, tanpa ngucap mawas dahanane, lenggah pitekur waspa dres mijil, gupuh Kyana Patih, Gustine rinangkul. 4. Sarya sesambat asru anangis, dhuh Gusti Sang Katong, sokur meksih rahaija jenenge, ingkang abdi kelangkung rudatin, ngandika Sang Aji, Dewa sih maringsun. 5. Yen aja na dewa ingkang asih, sida mati ingong, ambelani mring Ari nak angger, sang inujaran waspa dres mijil, matur ngasih-asih, dhuh gusti Sang Prabu. 274 PNRI
6. Sampun kadriya ingkang wus lalis, balikan Sang Katong, amundhuta dhateng gegebale, putri pundi paduka karsani, k'alamun tinampik, kawula kang sanggup. 7. Ngrurah praja pinukul ing jurit, suka raganingong, pejah anglampahana karyane, nadyan lebura awor pratiwi, tan arsa gumingsir, ing karsa Sang Prabu. 8. Tan kumedhap tingale pun Patih, ngandika Sang Katong, sun tarima kakang prasetyane, agampang wong ngulari pawestri, heh kakang Apatih, mene karsaningsun. 9. Tetilase rinira kang lalis, kukupana gupoh, para punggawa sapanekare, para mantri undhangan kardi, candhi kang prayogi, poma den agupuh. 10. Lawan sakehingpara bupati, kang asih maringong, padha mekajangana kabeh, atungguwa mring sun datan mulih, patangpuluh ari, sun ana ing panggung. 11. Arsa angeningaken tyas mami, neges karseng Manon, ingkang kinen gya tumurun age, sangking panggung sigra andhawuhi, mring para bupati, satimbalan Prabu. 275 PNRI
12. Layoning Dyah anulya cinandhi, tan antara dados, Srinarendra kang winarna maleh, aneng panggung wus antuk sapta ri, supe tadhah guling, tansah kapirangu. 13. Mung garwane kacipta ing galih, dres umijil kang loh, amung Dewi Ambara neng tyase, ngesah asambat Srinarapati, dhuh Gusti Maskwari, tan atolih mring sun. 14. Tan anyipta kawula akrami, kalawan Sang Sinom, sedya andasih ing satuwuke, tan angesthi ing dyah malih-malih, kramaa sakethi, sira kang panunggul. 15. Enengena kang anandhang wingit, Nglingdarma sang katong, mesu anoraken sarirane, kocap ing kahyangan Suranadi, kang tansah winingit, ing para Dewa gung. 16. Dewi Uma lawan Dewi Ratih, pinarak karongron, siniweng ing suranggana kabeh, Dewi Uma wuwusira aris, yayi jeneng mami, myarsa wartanipun. 17. Ing madyapada ana Narpati, kasusra kinaot, Raja Anglingdarma panengrane, nagarane ing Melawapati, kekasih dewadi, citrane abagus. 276 PNRI
18. Kentar ing rat kalokeng negari, dibya nung Sang Katong, sekti mandraguna wruh ing angel, tur kinasihan ing raja-niti, nanging mangke yayi, kapegatan apus. 19. Tinilar ing garwane kekasih, pralilane obong, Anglingdarma asru sungkawane, tan arsa myat Sang Dyah saliyaning, mung Ambarawati, gumantung neng jantung. 20. Sun jajale ratu peksa luwih, kang asih ing wadon, sun tandhane kayapa tingkahe, Ratih angling ubaya tumeki, lah inggih suwawi, kawula rumuhun. 21. Dewi Uma anauri aris, palihbaya ingong, ingkang dhingin yen ana angele, yekti sira yayi sun parani, tan wiyang sang Ratih, sumangga ing kayun. 22. Uma mesat sakedhap wus prapti, enggenira katong, ingkang meksih anahen wirage, Dewi Uma mesem aningali, marang Sribupati, alenggah pitekur. 23. Datan uning Sang Srinarapati, praptane Sang Sinom, Dewi Uma alon ing wuwuse, Dok aja kogungan Sribupati, cethinira prapti, tan nambraweng wuwus. 277 PNRI
24. Pijer angangen-angen kang lalis, kapita tyas katong, dyan anolih prapta wong dulune, lamun ana pawestri alinggih, ngandika Sang Aji, katambetan ingsun. 25. Dhateng kusuma kang lagya prapti, tan wikan sayektos, lah ing pundi kusuma prajane, sin ten ingkang pinudya ing krami, myang sinedyeng pundi, sang tinanya matur. 26. Yen Sang Nata tan wikan ing mami, surenggana ingong, kang kahyangan ing pawidadaren, Sri Anglingdarma ngandika aris, lah punapa kardi, rina marang panggung. 27. Ni Dewi Uma umatur aris, amawongan ingong, amarekan ing nata yen kangge, gaijita tyasira Narapati, anggandes wong iki, nora pati ayu. 28. Sun sanggane ing krama wong iki, Sang Nata lingnya Ion, dhuh kusuma kawula ing mangke, dereng mantra yen arsa akrami, amung kang wus lalis, tansah aneng kalbu. 29. Sang Hyang Uma matur ngasih-asih, arda angalap sor, winor ing esem-esem wuwuse, sampun uga mekaten Sang Aji, kawula puniki, sih marma satuhu. 278 PNRI
30. Dhateng paduka Srinarapati, dene ratu kaot, kateman ing wiyoga driyane, adoh-adoh manira lampahi, bok iya ngecani, manah ing wulangun. 31. Sang Nata ngling sakalaning mangkin, datan arsa ingong, ingkang manah asanget rentenge, tan arsa mulat ing dyah liyaning, mung Ken Setyawati, tuntunge pandulu. 32. Sang Dyah angling punapa sayekti, ngandikane katong, datan arsa myat ing dyah liyane, rabi andika Ni Setyawati, Sang Nata nauri, tan lirwa ing wuwus. 33. Benjang krama yen ingsun apanggih, titise kang layon, Dewi Uma asendhu wuwuse, lah kantuna kawula mit mulih, marang Suranadi, mesat lampahipun. 34. Prapta kayanganipun apanggih, lan Ratih alunggoh, lengleng mangu Sang Dewi driyane, Warsasini lawan Prabasini, samya nungsun warti, ni Ratih amuwus. 35. Palihbaya apa angsal kardi, dene aglis rawoh, Dewi Uma aris ing wuwuse, yayi Ratih katiwasan mami, ngunggahi tinampik, ingsun ora payu. 279 PNRI
36. Anglingdarma tan arsa arabi, ujare kawiyos, datan arsa mulat wruh liyane, pan mung sundele ingkang wus lalis, pinangan ing geni, kang den amu-amu. 37. Dewi Ratih mesem anauri, lah punapa yektos, Sang Anglingdarma bagus rupane, ingkang tinanya umatur aris, tuhu yen apekik, ngrat Jawa pinunjul. 38. Sang Dyah Ratih matur wecana ris, rehning sang akatong, kedah angarsa-arsa garwane, kula ingkang mindha-mindha warni, Dewi Setyawati, Sang Uma sumaur. 39. Iya tirunen den angepleki, lan ingkang penganggo, aja ketara ing panggodhane, iya ingsun milu bali maning, sun asalin warni, nini-nini pikun. 40. Citra mesat surenggana kalih. lampahira karo, datan antara dangu praptane, ing panggungan prenahira Aji, Ken Uma anuli, angandika arum. 41. Yayi ingsun kang lumebu dhingin, yen sare sang katong, sun gugahe Ken Ratih delinge, den prayoga amemasang wadi, 280 PNRI
kang amalih warni, tumanduk anguwuh. 42. Anoleha sakedhap Sang Aji, welas temen ingong, aningali marang sarirane, ratu agung tinilar ing rabi, kapita Sang Aji, nolih awas dulu. 43. Yen ana wong nini-nini prapti, untune wus ompong, kadya kapuk winuson remane, Sang Nata ngling sun atanya nini, heh nika wong ngendi, lah sapa kanthimu.
281 PNRI
11. KINANTKI
1. Ken Uma aris umatur, kawula wong Suranadi, maninjen dhateng"Paduka, kawlas kawula ningali, supe tadhah lawan nendra, tansah pitekur alinggih. 2. Baya sih temen Sang Prabu, mring garwane kang wus lalis, Sri Anghngdarma ngandika, sakamantyan ingsun asih, tan ana kacipteng driya, amung gusti Setyawati. 3. Ni tuwa alon umatur, kawula asuka warti, rabi andika kang lena, rikala alebu geni, sinendhal mayang ing Dewa, winawa mring Suranadi. 4. Boteri pralaya satuhu, yen wonten karsa Sang Aji, kula sagah andhatengna, inggih ing sami samangkin, sok agenga ingkang opah, Sang Nata gaijiteng galih. 5. Kadya siniram ing ranu, tyasira Srinarapati, aris denira ngandika, apa sira jaluk nini, 282 PNRI
senadyan mundhuta praja, yekti ingsun minangkani. 6. Sang malih warna lingipun, gampang kapanggih ing wingking, mangsa Sang Nata cidraa, kawula mring Suranadi, ngaturi garwa Paduka, sukeng tyas Sang Nata angling. 7. Lah iya nini den gupuh, sun anti nuliya prapti, wisata Sang malih warna, apanggih lan Dewi Ratih, Ken Uma ris wuwusira, heh Ratih mara den aglis. 8. Turunana Sang Aprabu, Melawa kang peksa luwih, den agandhes solahira, Ken Ratih sampun wineling, wisata kalih gya prapta, ing pepenggungan apanggih. 9. Lan ataken Uma muwus, puniki Srinarapati, rabi dika Dewi Setya, andika sapa tumuli, Sang Nata awas umiyat, lamun Dewi Setyawati. 10. Pyuhing wardaya kadaut, jumeneng Srinarapati, saha ngandika ngrarepa, dhuh mas mirah jiwa mami, datan andipe kawula, yen andika meksih urip. 11. Sun sidhep sira dewa rum, sirna awor prabatagni, sun adhang panitisira, 283 PNRI
kawula nora akrami, yen tan nora kapanggiha, panukmanira Mas Ari. 12. Sang malih warna amuwus, mesem alise cinincing, baya wus jamaking priya, sanggupe asih kepati, dene lirwa ing wecana, sanggupe asih kepati. 13. Arsa pinondhong Sang Ayu, Ken Ratih gupuh nginggati, cinandhak-candhak tan lcena, mesem sarwi ngincang alis, polahe memanas manah, gumreget Srinarapati. 14. Tinubruk-tubruk Sang Ayu, nginggati ngedohi liring, Sang Dyah asru angandika, apa sira tesmak dhingklik, arsa ngrangkul ingsun sapa, reraupa den abresih. 15. Ujarmu mau Sang Prabu, tan arsa arabi malih, oleh dedukaning dewa, cilakanira nemahi, de sira kena ing coba, tan ana wong mati bah. 16. Ken Uma asru amuwus, yayi Ratih payo mulih, aja ngadhep Ratu dora, menawa anerawasi, bok uga sira kagiwang, ing baguse Sribupati. 17. Hyang Uma angandika sru, heh kita Anglingdarma Ji, 284 PNRI
kena ing papa-cintraka, ing mengko sun upatani, nora kena madeg Raja, yen durung tekeng ing wangkit. 18. Sun wangeni wolung taun, sira Sang Anglingdarma Ji, prajamu katona alas, bawura tingalireki, sinauran gora-gora, geter pater akeh mUni. 19. Hyang Uma sigra umabur, tenapi Ni Dewi Ratih, samya mulih mring kayangan, awirandhungan samargi, esmu wiyadi ing driya, wus prapta ing Suranadi. 20. Mangkana wau Sang Prabu, Malawa kang nahan wingit, kadya pejah tanpa krana, kelangkung ngenes ing galih, wus bawur paningalira, prajane katon wanadri. 21. Kadhaton keksi garumbul, emut cobaning dewadi, Sang Nata micareng nala, baya ta uwis pinesthi, negaraku dadi alas, sapungkure widadari.
285 PNRI
12. PANGKUR
1. Baya wus karsaning dewa, sirnanipun praja Melawapati, kabeh wadyabalaningsun, baya wus padha pejah, wus kersane dewata ingkang angracut, panjenenganingsun nata, tumedhak Srinarapati. 2. Mijil Sang Hyang Prabangkara, datan kandheg lampahira Narpati, nuruti liwunging kalbu, lir lelayangan pegat, datan kandheg raina-wengi lumaku, salira sawang kunarpa, atilar tadhah lan guling. 3. Angandika jroning nala, ingsun iki dhingin Narendra luwih, tate angreh para ratu, ing mangke kajantaka, margane tinilar garwa kawlasayun, luhung sun dhatenga pejah, yen tan madeg ratu malih. 4. Sang Nata anglampus jiwa, ciptanira matiya ing wanadri, yata kesasar Sang Prabu, mring dhangkaning denawa, Srinarendra kendel lampahira mangu, ngungun umiyat ing praja, ageng kalangkung asepi. 286 PNRI
5 Sang nata micareng nala, lah ing ngendi goningsun amemarti, wangwang miyarsa wong watuk, ing wisma gya pinaran, mring Sang Nata wong nini-nini kang watuk, lagi mijil sangking longan, tan wikan marang Narpati. 6. Jinawil dening Sang Nata, nini tuwa kaged angucap aris, sapa anjawil maringsun, mokal yen ana jalma, apa ejim prayangan anjawil mringsun, apan nora ana jalma, ingjaman kene wus en ting. 7. Sang Nata aris ngandika, nini tuwa dhasar wuta lan tuli, anggarjita Sang Aprabu, wikan yen nini tuwa, sakit jempeng ciptanira Sang Aprabu, yen nini tan waluyaa, sapa kang ingsun takoni. 8. Dadya tan oleh pawarta, yata enget ing driya Narapati, rikala nguni winuruk, mring panembahan arga, aji sawabipun marasken wong lumpuh, tuli wuta mulya awas, sigra winatek kang aji. 9. Nini tuwa dinamonan, embunira mulya kang wuta tuli, kaged mulat Sang Aprabu, ni tuwa gya mangrepa, matur nembah tigas kawuryan Pukulun, angger teja suleksana, ing wingking pundi kang nagri. 287 PNRI
10. Ing ngajeng pundi sinedya, sarta sinten ingkang pinudyeng krami, kang tinanyan ngandika rum, sun Ratu ing Melawa, Raja Anglingdarma nini wastanipun, nini tuwa ngrangkul pada. kelangkung nuwun kang esih. 11. Ing gusti Sang Srinarendra, aprasasat pejah ginanjar urip, padhange paningal ulun, tuli kawula mulya, sangking barkat paduka gusti Sang Prabu, punapa ulun walesna, amung panedhaning dasih. 12. Tulusa jumeneng Nata, ing rat Jawa ngrehaken para aji, marang siwi wayah buyud, canggah satedhak-tedhak, amengkuwa sa-jawa saturun-turun, paduka sampun kaliya, Sang Nata ngandika aris. 13. Ya nini ingsun narima, pamujinta dewa ingkang naidi, heh nini tetany a ingsun, ngendi araning praja, lan maninge apa ta karane suwung, asepi tan ana jalma, Ni tuwa matur ngabekti. 14. Winastan Mlayakusuma, mil a suwung Sang Nata kawon jurit, binedhah ing raja diyu, prawira sugih bala, punggawane gagah prakosa nung-anung, bisikanira Narendra, Sang Prabu Kalawerdati. 288 PNRI
15. Tumpes wong Mlayakusuma, aneng rana sareng lawan Sang Aji, salalisira Sang Prabu, kedhaton ing Melaya, pan ingendhih denira Sang Raja diyu, mangke wus dadya siluman, dhangkane Sang Reksasa Ji. 16. Raja Nglingdarma ngandika, lah ing mengko Raja Kalawerdati, apa ana jro kedhatun, ni tuwa matur sembah, linggar sampun sacandra tan wonten rawuh, lan wadyane kawandasa, dhumateng Melawapati. 17. Sumedya nyidra Sang Nata, ing Melawa anenggih utang pati, kang keri tengga kedhatun, putra estri tetiga, ingkang sepuh Retna Wiyata ranipun, Retna Wiyati pamadya, pamekas Retna Wintarsih. 18. Katri sami endah wama, yata mesem Sang Inujaran angling, ingsun Nini arsa weruh, ing warnane Sang Retna, nini tuwa manembah alon umatur, Gusti sampun manjing pura, menawi manggih bilai. 19. Sang Putri katri prawira, sekti mandraguna memangsa jalmi, wantune putrining diyu, datan adarbe welas, Maharaja Anglingdarma ngandika rum, heh Nini ingong tarima, pangemanira mring mami. 289 PNRI
20. Sokur sun pinatenana, ciptaningsun aywa wet kawlasasih, lah wis keriya rahayu, kang sinung ujar nembah, sang nata gya lumaksana mring kedhatun, dhandhang munya mawurahan, barung lan bubut amuni. 21. Manyura ngungong aneng pang, esthanira kadi ngaruh-aruhi, dhumateng wau Sang Prabu, pangidheping kukila, lah wangsula Gusti sampun mring pura rum, cangak munya hr amenggak, cucur kadya anangisi. 22. Kadarba maweh katresnan, ri kang wulung lumayang lir mayangi, marang ingkang lagya rawuh, yata Sri Anglingdarma, laju lampahira prapteng sitiluhur, wangwang tumameng jro pura, mangu micareng jro ati. 23. Bener tuture Ni tuwa, pura iki pasang rakite becik, Sang Hyang Pratangga meh surup, nitih udayeng cala, srinarendra kacaryan deniran dulu, rakite kang papethetan, ronira sami angrawit.
290 PNRI
13. SINOM
1. Sang nata micareng nala, emane kedhaton iki, suwung tan ana kang ngambah, baya ta uwis alami, rusake pura iki, dene ingkang dalem agung, wus padha karambatan, tarulata atenapi, pelataran katuwuhan alang-alang. 2. Mider sadalem mring pura, Sang Nata kagyad ningali, ing wisma soroting pandam, nelahi den parepeki, lampahnya mindhik-mindhik, lir cara-caraning pandung, prapta ing taretepan, angintip pipining kori, kagyad mulat ing warnanira Sang Retna. 3. Paningalira Sang Nata, kadya kencana ingukir, Maharaja Anglingdarma, ing tyas kataman wiyadi, emut langening puri, tyasira saya kadaut, kamanisen ing tingal, kadya pejah tanpa kanin, wus kagiwang dening manising sarira. 4. Yata si Retna Wiyata, semana lagi alinggih, 291 PNRI
angadhep lancang kancana, warnane amindha sasi, asinjang cindhe wilis, kasemekan jingga alus, asengkang natabrangta, paningset mandhala-giri, wida kuning pepilise nanggal pisan. 5. Rema kebak sinekaran, Kenanga Gambir Malathi, arja pupur lelamatan, pamulu pandam kasisir, Nata micareng ati, nyata yen ayu pinunjul, anake reksasendra, emane amangsa jalmi, Srinarendra kasiliri ing samirana. 6. Gandanira nrus ing wisma, Sang Dyah amicareng ati, mambu gandaning manungsa, iya kadingaran iki, sajeg ingsun neng ngriki, tan ana manungsa purun, angambah prajaningwang, Maharaja Anglingdarma, ngengakaken wiwara sarya adhaham. 7. Kumenyut tyasira Retna, mulat ing wong priya prapti, panglocitaning wardaya, iya manungsa ing ngendi, warnane anom pekik, kadi Hyang Asmara nurun, baya wong nglampus jiwa, kasasar kayangan mami, mung cacade datan weruh ing deduga. 8. Ngendi nagarane baya, apa sedyane wong iki, 292 PNRI
lamun niptaa duskarta, nora amurya ring mami, lan pasemone becik, sabenere iya ingsun, nyapaa mring kang prapta, wit ingsun kang duwe panti, Ken Wiyata arum Wijile wecana. 9. Suwawi paduka lenggah, awon sirnane wong sigit, paduka aneng jerambah, tan wiyang kang sinung angling, sampun tata alinggih, Sang Retna mangu andulu, ing citrane Sang prapta, luluh tyasira Sang Dewi, gelung lukar kekembene kaleweran. 10. Wus sinugateng pawohan, gya mucang-warna dumeling, matur Ken Retna Wiyata, teja suleksana sigih, tejane wong abecik, sulaksana anyar dulu, ngajeng pundi sinedya, sin ten kang sinambating sih, atenapi ing wingking pundi pinangka. 11. Kang tinanya awecana, wisma manira atebih, ingsun Ratu ing Melawa, dene panengeran mami, Maharaja Nglingdarma, Sang Ayu datanpa muwus, ngartika jrone nala, Bapa Ji baya ngemasi, denya mentar mring radyeng Melawapatya. 12. Arsa madham ing Sang Nata, ing mengko prapta ing ngriki, 293 PNRI
mangsa Bapa Ji kalaha, baya ta iki kang siwi, r '' Sang Retna matur aris, lah punapa karanipun, atilar purantara, Sang Nata ngandika aris, raganingsun dhapur kapegatan tisna. 13. Mati tunu garwaningwang, kekasih Ambarawati, mulane sun tilar praja, saking sru liwunging ati, anglampus jiwa mami, kesasar aneng prajamu, lah ing pundi wastanya, puniki ing negari, aneng ngendi ramanira Srinarendra. 14. Mesem angucap Sang Retna, ing Melaya rane nagri, Bapa Ji sampun sacandra, kesah mring Melawapati, angandika Sang Aji, ramanira uwis lampus, aneng negaraningwang, kakang Madrim kang mateni, ing samengko sun males ukum mring sira. 15. Ingsun gocone kang prana, mangsa wurunga ngenani, kerisku si Lalijiwa, nora watak amateni, nanging upase mandi, sok ngabuhaken wadhug, lan maneh ngong tetanya, sapa kekasih ta yayi, lan arinta karo sapa ingkang nama. 16. Umatur ingkang tinanyan, kirang kalih gatra, 294 PNRI
mesem sarwi ngincang alis, pemadya ran Wiyati, Witarsih ingkang waruju, sami wisma priyangga, balik kula nilakrami, jeng paduka pundi ta ingkang sinedya. 17. Lamun sembada ing karsa, kendela wonten ing ngriki, kawula sedya ngawula, amawongan ing Sang Pekik, yen kangge andedasih, aris ngandika Sang Prabu, pun kakang tan lenggana, ing karsa mindha sari, lamun estu amundhut ing kawlasarsa. 18. Sang nata datan darana, 'Sang Ayu den parepeki, sinambut ingaras-aras, binekta ing tilamsari, sampun atangkep samir, Srinarendra langkung baut, dhasar estri diwasa, tembe sinandhing wong pekik, asrah jiwa solahe karagan-ragan. 19. Ing wayah bangun raina, wedhar kang apulangresmi, lajeng asare kalihan, nalika Ywang Arka mijil, yata ingkang winarna, Retna Wiyati wus wungu, angartika ing driya, kangbok ayu durung tangi, ingsun pirsa sawengi tan angandika. 20. Apa ta ragane gerah, wus siyang meksih aguling, kadingarene sikakang, 295 PNRI
Wiyati nulya marani, wismaning raka prapti, ing latar alon amuwus, Kakangbok sampun siyang, wunguwa kawula prapti, atetinjo menawi paduka gerah. 21. Retna Wiyata miyarsa, swaraneng ari neng jawi, lamun ingkang rayi prapta, kang wasta Retna Wiyati, bok iya sun panggihi, mupung sare lakiningsun, Retna Wiyati medal, kepanggih lawan keng rayi, wus alenggah sami neng made pandhapa. 22. Retna Wiyati umiyat, ing raka mesem sarya ngling, kangbok dene mandhanrawa, cahya wenes amanglingi, alum kadi layoning, angsana baya ta angluh, lan malihe kawula, mambu gandaning jalmadi, muleg aneng wisma gandane wong priya. 23. Kang raka ris angendika, alengkara temen yayi, ing kene anaa jalma, sapa ingkang wani-wani, ngambah kayangan mami, apa wong kapengin lampus, ingkang rayi ameksa, petakenira angudi, ingkang raka mendel amicareng nala. 24. Sapolahingsun kawruhan, angur sun waleha nuli, mesem kang raka ngandika, 296 PNRI
heh yayi aja baribin, ing wingi sore yayi, ingsun anemu wong kakung, bagus misih taruna, sanggupe ingsun takoni, Ratu ing Melawa Raja Anglingdarma. 25. Nanging dora yen ratuwa, dene tan aduwe kanthi, pengakune mring manira, sah sangking nagri, tinilar prameswari, liwung atine anglangut, mrene dhapur kasasar, wingi sore denya prapti, Ken Wiyati mesem atakon ing raka. 26. Kakangbok manira tanya, punapa sampun abukti, ing dalu wau paduka, kang raka mesem anjiwit, sewengi sun keloni, yayi kliwat kumalungkung, lyaning kasur tan arsa, arsa nora sun turuti, ingsun ajrih menawa tininggal minggat. 27. Eman baguse sembada, sasolahe maweh brangti, luwes baut ing asmara, Wiyati mesem nauri, kakang-embok apan kadi, penganten anyar kadalu, yen pareng kawularsa, wruh Ratu Melawapati, Ken Wiyata nauri sakarsanira. 28. Retna Wiyati gya mentar, tumanduk ing tilamsari, alon denya miyat gubah, 297 PNRI
keksi citrane kang guling, kadya hyang-hyanging tulis, cahya amindha sitengsu, sang dyah kakenan ing tyas, miyat cahyane kang guling, cipta lalu yen tan kinanthi ing tilam.
298 PNRI
14. KINANTHI
1. Cangkelak anulya wangsul, Retna Wiyata tanya ris, apa sira wus uninga, marang ipemu kang guling, Retna Wiyati lingira, inggih kakang wus udani. 2. Tuhu kelamun abagus, baya Kamajaya nitis, kawula mulat sadhela, tanbuh rasaning kang ati, baya ta sariraningwang, kena ing guna lan dhesthi. 3. Kadya andulu cempaluk, kapengin temen alaki, Kangbok kawula anedha, paduka sunga nanempil, senadyan angundhakana, pangugunge sun kuwawi. 4. Kang raka alon amuwus, sakarsanira ta yayi, ananging wawekas ingwang, panggarapmu den agemi, kang rayi suka ing nala, sasampure den waoni. 5. Asalin wastra Sang Ayu, sampur daragem adi, asinjang limar panggugah, solahe anjung karangin, 299 PNRI
lir Kusumeng Bauwarna, citrane Retna Wiyati. 6. Gya tumameng jinemarum, Retna Wiyata Wiyati, kadi Ratih lan Supraba, sapraptanira alinggih, neng daganing pasareyan, mangkana ingkang aguling. 7. Wus adangu denya wungu, datan saraba tumuli, mangkana anulya lenggah, Sang Nata kagyad ningali, yen angucapa ing driya, dene lir kembar wong iki. 8. Datan asiwah sun dulu, warnane lan sira yayi, maturKen Retna Wiyata, inggih punika kang warni, kadang kawula pemadya, awasta Retna Wiyati. 9. Mila marek ing Sang Prabu, arsa tumut anyenyethi, kalamun kinarsakena, dadosa garwa sumendhi, sang nata mesem ngandika, sokur yayi lamun sudi. 10. Retna Wiyati umatur, dhuh Gusti kula aturi, pinarak ing panti kula, Sang Nata ngandika aris, lah iya sakarsanira, pun kakang dhateng lumiring. 11. Nulya tumedhak Sang Prabu, Retna Wiyati winarni, 300 PNRI
kinanthi dening Narendra, prapta ing wismanira glis, binekta mring pasareyan, pan wus tumangkep kang samir. 12. Sang Nata kelangkung baut, pangrungrume remih-remih, Sang Ayu langkung kacaryan, saratri denya don resmi, prapteng wijiling aruna, warnanem Retna Witarsih. 13. Citranira Sang Retnayu, kadi kumala ingukir, aija sinjang cindhe sekar, asampur Gadhung Malathi, asekar Gambir Capaka, asengkang bapang sinamir. 14. Sang Dyah amicareng kalbu, ing mengko wus kalih ari, kangbok tan ana sesanjan, sun tilikane tumuli, nulya mentar Sang Kusuma, prapta ing natarira glis. 15. Gumendheng denira muwus, kangbok paran meksih guling, Retna Wiyati miyarsa, lamun ingkang rayi prapti, tedhak sangking pasareyan, arsa manggihi kang rayi. 16. Meksih asare Sang Prabu, prapteng natar Ken Wiyati, tundhuk lawan arinira, kinanthi Retna Witarsih, teka mesem ing wardaya, yen angucapa Sang Dewi. 301 PNRI
17. Sikakang pantese angluh, cahyane alum awilis, kaya wong mentas sajiwa, sapa rewange aresmi, mesem denira tetanya, Kangbok punapa sakit. 18. Kang raka alon amuwus, bener panerkamu yayi, sun iki aduwe lara, keneng tuju bola-bali, dene larane neneka, dumunung aneng pok ati. 19. Sawengi tan oleh turn, kang rayi mesem ing ati, aris denira ngandika, Kangbok ingsun mambet jalmi, prenahe neng pesareyan, kang raka aris nauri. 20. Apa nyalemong sireku, angarani ana jalmi, sapa kang wani angambah, prajamu aparsa mati, Niken Witarsih ngandika, kawula arsa udani. 21. Niken Wiyati lingnya rum, heh yayi ingsun tuturi, Kangbok anemu wong lanang, anom warnane apekik, aran Raja Anglingdarma, Ratu ing Welawapati. 22. Ing mengko lagi sinambut, aneng kene mau bengi, iku sira tingalana, aneng pasareyan guling, Ken Witarsih lumaksana, amiyak mandhala-giri. 302 PNRI
23. Keksi warnane abagus, Sang Dyah datan kena angling, kamanisen ing paningal, anyipta langening sari, kendho wekasaning sinjang, emut ing raka glis bali. 24. Sapraptanira alungguh, ngandika Retna Wiyati, apa sira wis tumingal, mring Anglingdarma Narpati, Retna Witarsih lingira, kawula tumut anyethi. 25. Ngawu-awu ing Sang Bagus, tumut amitung sukani, dadosa garwa pamekas, apa karsanira yayi, payo manjing pasareyan, Sang Nata apanggih linggih. 26. Sang Ayu marek ing ngayun, Niken Witarsih ing wuri, Sang Nata ris atetanya, lah ta sapa iku yayi, kang lungguh ing wurinira, umatur Retna Wiyati. 27. Inggih punika ri ulun, awasta Retna Witarsih, punika ingkang pamekas, mila marek ing Sang Aji, kedah tumut amawongan, menawi kangge anyethi. 28. Mesem angling Sang Aprabu, lah iya luwih abecik, katri dadi garwaningwang, den padha legaweng ati, Retna Witarsih tur sembah, suwawi kula aturi. 303 PNRI
29. Pinarak ing wisma ulun, tan wiyang Srinarapati, lumampah kekanthen asta, kelawan Retna Witarsih, sapraptanira ing wisma, lajeng manjing tilamsari. 30. Sang Ayu tansah rinungrum, sadalu denya mong resmi, Retna Wiyata winarna, amicoreng jroning ati, Maharaja Anglingdarma, mulane tan ana prapti. 31. Si Wiyati cidreng wus, basane nyilih sawengi, ing mengko kongsi rong dina, mundur arep andheweki, sun paranane sadhela, gya tumedhak nulya prapti. 32. Kang rayi kepanggih lungguh, mirong kemben asmu wingit, Retna Wiyata tetanya, renguning driya sinandi, ana ngendi lakinira, umatur Retna Wiyati. 33. Kawula anuwun bendu, raka paduka Sang Aji, sinambut dhateng arinta, pun Witarsih tumut ngabdi, dhumateng Raja Nglingdarma, tan kena den suwalani. 34. Retna Wiyata lingnya rum, sokur yen mengkono yayi, alah memaru wong liya, dene padha kadang mami, payo padha tinilikan, wisata sang putri kalih. 304 PNRI
35. Tan adangu nulya rawuh, kapanggih lenggah Sang Aji, kaliyan Sang Dyah pamekas, kang nama Retna Witarsih, Wiyata Wiyati prapta, Sang Nata angacarani. 36. Padha alinggiha masku, Sang sinung ngling awotsari, wus samya lenggah atata, Sang Nata ngandika malih, heh yayi Retna Wiyata, manira kang tampa gilir. 37. Iya sadina sedalu, mring wismanira mas yayi, Sang Dyah katri atur sembah, datan lenggana ing kapti, ngandika malih Sang Nata, yayi ingsun arsa guling. 38. Sang Ayu katri sumaur, inggih paduka aguling, kawula tengga ing dagan, eca tyasira Narpati, dyan minggah mring pasareyan, sampun tumangkep kang samir. 39. Sampun nendra Sang Prabu, umatur Retna Witarsih, bebisik dhateng kang raka, aluwe temen wak mami, Kangbok dawek amemangsa, mupung Sang Nata aguling. 40. Wus rembag putri katelu, asalin busana sami, amusthi katga bedhama, candrasa angandhut sengking, 305 PNRI
mentar mring setramandhala, antara ing don wus prapti. 41. Kawarnaa Sang Prabu, ingkang tinilar aguling, wungu tedhak sangking tilam, angandika jroning guling, marang ngendi garwaningwang, katiga pisan asepi. 42. Sang Nata micareng kalbu, ingsun arsa angyekteni, ujare si Nini tuwa, Sang Nata amatek aji, wasiyatira Sang Tapa, kang rama Ken Setyawati. 43. Begawan Maniksutreku, kang mejang dhateng Narpati, wus arupa peksi Nila, umesat napak wiyati, mulat kukus aratugan, aneng madyaning wanadri. 44. Wangwang pinaranan gupuh, Sang malih warna ningali, dhandhang akeh awurahan, samberan arebut bukti, Sang malih warna tumingal, wangkening jalma akingkin,
306 PNRI
1. Sang malih warna miranti, mencok aneng pang mandera, karsa anginjen garwane, apa nyata mangsa jalma, tuture Nini tuwa, Sang malih warna andulu, mring garwanira tetiga. 2. Aneng pamasaran sami, amberek wangke manungsa, samya milih sasenenge, binakar sigra tinadhah, sira Sang malih warna, amicareng jroning kalbu, bener tuture Ni tuwa. 3. Sru pangunguning Narpati, mulat solahe kang garwa, mangkana osiking tyase, eman temen sira mirah, duwe tekad mangkana, ngong godhane rabiningsun, Sang malih warna gya mara. 4. Wiyata jinujug dhingin, punika putri kang tuwa, winedalan ngiringane, den alup neng ngarsanira, dhandhang yen angucapa, eman temen mirahingsun, bok aja amangsa jalma. 307 PNRI
5. Sang putri ngandika aris, akeh dhandhang ing pasetran, amung dhandhang siji kiye, ambeler kaliwat-liwat, angregoni wong mangan, dipanjer-panjer endhasmu, risaksana inguncalan. 6. Ati ghs denya nampani, cinangkrem ing suku kanan, sang dhandhang sigra angaler, Ken Wiyati pinaranan, ingalup aneng ngarsa, wus inguncalan jejantung, acukat denira tampa. 7. Cinangkrem ing suku kering, KenWitarsih pinaranan, datan beda pam'oekane, pegel ing manah Sang Retna, inguncalan lelimpa, anulya age cinucuk binekta muluk ing wiyat. 8. Tan adangu nulya prapti, Maharaja Anglingdarma, anjujug marang daleme, Retna Witarsih pamekas, sampun awarna jalma, ngungkabi bresihanipun, ingkang lelimpa pinernah. 9. Munggeng cecupu winoring, gegandan lan jejebadan, wus tinutupan maleh, tandyamijil srinarendra, lajeng mring wismanira, Ken Wiyati agya nambut, bresihanira binuka. 308 PNRI
10. Ingkang jejantung tumuli, linebetken ing cupunya, wangwang tinutupan age, laju dhateng wismanira, Sang kusuma Wiyata, sapraptanira anambut, bresihanira binuka. 11. Saksana atining jalmi, linebetken ing cupunya, bresihan tinutup maleh, karsanira srinarendra, mariya mangsa jalma wusnya mangkana gya wangsul, ing prenahira anendra. 12. Darpa pangungunira Ji, anutuh sariranira, sakelangkung kaduwunge, akrama sutaning ditya, apa ta durung telas, dukaning dewa marangsun, dene ta nora kayaa. 13. Bener tuture si Nini, ingsun dhewe kang nemaha, maido tuture nguwong, Maharaja Anglingdarma, wus aneng pesareyan, angles ing tyasira mujung, nanging api-api nendra. 14. Yata kawarnaa malih, kang aneng Setra-mandhala, wus dangu tutug karsane, tuwuk denira memangsa, angling Retna Wiyata, heh yayi paran karepmu, apa ta wus wareg sira. 309 PNRI
15. Aja kasuwen neng ngriki, menawa wungu kang nendra, Retna Wiyati ature, inggih aleres paduka, suwawi dena enggal, Sang Dyah katri sareng mantuk, datan kawarna ing marga. 16. Aglis prapta jroning puri, Sang Nata meksih anendra, Sang Dyah katri suka tyase, wus siram arsa geganda anambut baresihan, nulya ngungkapi cecupu kapiteng driya tumingal 17. Atine jalma kapanggih, ing cupu awor lan lenga, Sang Dyah micareng driyane, apa wadine kang lenga, kaworan ati mentah, ana rasaning tyasingsun, ati iki iya uga. 18. Kang sun uncalaken maring, dhandhang putih neng pasetran, sampun kapanggih wadine, mring wismane arinira, Wiyati sasampunnya, sesotya wangwang anambut, bresihan arsa geganda. 19. Kagyat sang retna ningali, jroning cupu ana ulam, jantung kang den uncalake, mangkya neng cupunira, Sang Dyah gegetun ing kalbu, angraos yen kawirangan. 310 PNRI
20. Kang raka anulya prapti, pinapaken aneng latar, Retna Wiyata delinge, ingsun yayi katiwasan, sawise ingsun siram, ngungkabi bresihaningsun, ana atine manungsa. 21. Rupa rupane ya ugi, kang sun uncalkan mring dhandhang, Retna Wiyati ature, kawula datan prabeda, inggih kadya paduka, amanggih ulam jejantung, awor lawan jejebadan. 22. Kang kula uncalkan maring, peksi dhandhang neng pasetran, tyas kula arda merange, angling ni Retna Wiyata, heh yayi yen mangkana, payo maring wismanipun, yayi Witarsih ing kana. 23. Kang rada adoh asepi, payo padha rerembugan, sigra umentar kalihe, Retna Witarsih winarna, langkung rudatinira, dene jejebadanipun, kaisen ulam lelimpa. 24. Sang Retnayu datan angling, limpa kang pinet ing dhandhang, yata kesaru praptane, Retna Wiyati Wiyata, tundhuk lan arinira, wus tata denira lungguh, Retna Wiyata anabda. 311 PNRI
25. Kang rayi den bebisiki, yayi cecupu manira, ing mengko ana isine, atine manungsa mentah, Ken Wiyati lingira, dhuh yayi cecupuningsun, isi jantung awor lenga. 26. Ken Witarsih Ion nauri, lisah ingwang awor limpa, katri keraos manahe, angucap Retna Wiyata, heh yayi wruhanira, kawanguran solahingsun, Maharaja Anglingdarma. 27. Yen aguling api-api, yayi watara manira, tan samar mring ngong katrine, yayi yen anaking buta, Anglingdarma kuwasa, kang rayi kalih umatur, pundi margane uninga. 28. Duk tinilar maksih guling, Retna Wiyata lingira, wruhanira yayi karo, ika kang arupa dhandhang, ika Sang Anglingdarma, ati limpa lawan jantung, wor lenga sing pakaryanta. 29. Kelangkung wirang kang ati, yayi paran karsanira, ari kalih sareng ture, dawek kakang pinejahan, Maharaja Nglingdarma, kang raka aris amuwus, yayi dudu karsaningwang. 312 PNRI
30. Pan ora utang ngemasi, utang wirang nyaur wirang, nagih sautange bae, sun tan arsa mejahana, mring Raja Anglingdarma, lah yayi payo tinundhung, aja andedawa wirang. 31. Retna Wiyata angambil, roning tal kinarnya surat, cinitra ing kuku bae, aji kamayan tuhsnya, dawane ron sakilan, lan mahh Sang Dyah amundhut, roning tal kinarya salang. 32. Cinitreng kinarya ciri, rerajah jalma anungsang, sesalang cinanthelake, aneng satengahing lawang, Retna Wiyata sigra, amarani kang aturu, umadeg aneng dedagan. 33. Sang Dyah sami matek aji, tinarima dening dewa, Retna Wiyata delinge, Sandhangen sira Nghngdarma, iya wewales ingwang, sigra cinubles kang gelung, ing rontal kang mawi rajah. 34. Kagyat awungu Sang Aji, lajeng anggrayangi rema, rontal kang aneng kiswane, dinudut-dudut tan kena, anggubed aneng rema, lengleng manahira Prabu, aris denira ngandika. 313 PNRI
35. Lah sira duduten yayi, apa kang aneng mastaka, Sang Dyah asugal wuwuse, nora mambu wong sumelap, basa yayi maringwang, lah sira lungaa gupuh, sun cukile tapakira. 36. Lungaa padha samangkin, ingsun dahat nora sotah, aja ngambah prajaningong, ingsun nora suka-lila, prajengsun sira ambah, Sang Dyah katri sareng nundhung, aris ngandika Narendra. 37. Paran dosaningsun yayi, dene sira siya-siya, Sang Putri asru wuwuse, babo dene takon dosa, bok aja ulas-ulas, dosamu yen nora ngaku, anginjen ing ngong mamongsa, 38. Sira rupa Dhandhang putih, ambebeka wong memangan, liwat dene salah gawe, sira kena ing cintraka, ratu alaku cidra, prandene bisa gumagus, mundur ngucap takon dosa.
314 PNRI
•
16. D U R M A
1. Mantihanta bramantya putri tetiga, asru denira angling, glis sira lungaa, tur mengko sun bedhama, Sang Nata ris anauri, mara tibakna, bedhamanira aglis. 2. Dene sira bosen marang raganingwang, ywa tinundhunga yayi, yektining sun lunga, Ken Wiyata anabda, lah aja kakehan angling, estu manira, tan arsa ngaku laki. 3. Atenapi para ari ariningwang, tan arsa duwe laki, wong ulah culika, mangkya Anglingdarma, angartika jroning galih, pan kaweruhan, goningsun malih warni. 4. Gya tumurun Maharaja Anglingdarma, ing tyas semu wiyadi, duk andukap lawang, lagyarsa sumurupa, agupuh Sang Retna katri, sareng anabda, sami anyupatani. 315 PNRI
5. Sarwing getak muga ta sira dadiya, peksi Maliwis putih, gumyur manahira, Maharaja Nglingdarma, ginetak marang Sang Putri, nyundhul sesalang, prapteng latar amalih. 6. Warnanira kang sarira kebak elar, bau dadi suv/iwi, angila Sang Nata, aneng toya jembangan, keksi sarirane dadi, Maliwis seta, tyasira lir angipi. 7. Sakelangkung pangungunira ing driya, wirangira tan sipi, amicareng nala, sun Ratu binathara, siniwi samengsun Aji, atilar praja, mengko dadi Maliwis. 8. Baya ta wus pinesthi karsaning dewa, ing mengko awak mami, dadi lelampahan, Maharaja Nglingdarma, anglampus sajroning ati, leng palastraa, yen tan waluya nuli. 9. Sang malih warna amadal pratala, muluk marang wiyati, Sang Putri tetiga, marudasta sru mojar, sandhangen we wales mami, sira Nglingdarma, lir mas timbul ing warih.
316 PNRI
17. M A S K U M A M B A N G
1. Wong amirangaken marang awak mami, mengko nemu wirang, ragamu dadi maliwis, eman temen Anglingdarma. 2. Pengungrume Sijenat anjait ati, Sang Dyah keri brangta, kaduwung sajroning ati, kagagas langening tilam. 3. Kawarnaa sira Sang malih warni, lir sundhul ing wiyat, miber sarya mrem kapati, merang myat sunaring surya. 4. Sangkin silem andedel Maliwis putih, kongsi pitung dina, denira merem kapati, tan ana ingkang sinedya. 5. Kang kacipta titahing j awata luwih, tan kedhap ing tingal, wus melek Sang malih warni, aningali kang rerawan. 6. Luwih wiyar ing tengah pulone inggil, wetaning rerawan, pesabinan tinon asri, Sang malih warna kacaryan. 7. Gya tumurun sira Sang mancala warni, jumujug ing nusa, manglocitanireng gahh, tanah ngendi iki baya. 317 PNRI
8. Akeh temen endhog maliwis puniki, atusan kawuryan, yen anaa jalma uning, sayektine ingalapan. 9. Sang amalih warna saari-saratri, mandos neng rerawan, kaget sakehing maliwis, umiyat Cakarwa seta. 10. Apocapan sabaturira maliwis, heh ta batur kanca, wetan ika ana mliwis, putih cahyaning gumilang. 11. Tanpa sangkan praptane tan ana uning, lah payo kinarya, raja Sang Maliwis putih, anaa ingkang sineba. 12. Sadhahare payo padha den saosi, wus rembug sadaya, agya mabur keh maliwis, rebut dhucung solahira. 13. Sami marek ngarsane Sang Mliwis putih, matur kang tinuwa, pukulun Sang Adi warni, kelangkung kapasang yogya. 14. Yen sembada Paduka ngong karya Aji, sakarsa Paduka, kawula ingkang nyaosi, Saabdinta mliwis kathah. 15. Angandika Sang amalih warna aris, ya ingsun tarima, asihira marang mami, sun iki lagi apapa. 318 PNRI
16. Nora gelem ingsun sira karya Aji, gawe susahira, sun neng kene lagi mampir, arsa nutugaken lampah. 17. Angulati saenake ati mami, Sang amalih warna, gya mumbul muluk wiyati, pesabinan ingkang rata. 18. Ingkang parek desa sring kambah ing jalmi, samana tumingal, sabin tandure awilis, wayahe lagi gumundha. 19. Ingkang kolah sawah sanjung winatawis, aparek lan desa, aran dhukuh Wanasari, pitung surup wismanira. 20. Nenggih tumut praja ing Bojanegari, dene kang dhedhekah, Demang Kalungsur nameki, mantri ing Bojanegara. 21. Purwanira kadukan dening narpati, pinernah ing desa, Mancapatira atebih, dene kang tumut awisma. 22. Amung sawangsane wong kang padha asih, sanget kaserakat, kebo serakit kinardi, sesawah sewangsanira. 23. Estrinira sami wade godhong jati, myang estrining demang, kaponakan lanang siji, Ki Jaka Gedhug namanya. 319 PNRI
24. Duk semana Ki Jaka angon mring sabin, sarwi mawa kala, sapraptanira ing sabin, ningali Maliwis pethak. 25. Aneng galeng eca denira salisik, trangginas Ki Jaka, galeng samya den pasangi, wusnya anggiring cakarwa. 26. Sang Maliwis eca mesem ing jro ngati, mulat mring Ki Jaka, yen angucapa Sang peksi, bok aja kakehan akal. 27. Ingsun iki sedya ngawuleng sireki, marma ta mangkana, ing nguni Srinarapati, adarbe ameng-amengan. 28. Kadi kembar lan Jaka Gedhug kang warni, sapolahe padha, duk aneng Melawapati, dadya sih Sang malih warna. 29. Sang malih warna putih anerajang aglis, kalane Ki Jaka, linebetan suku kering, Ki Jaka sigra anggetak. 30. Wikan lamun sang Maliwis putih keni, ambapang Ki Jaka, sigra denya melayoni, kelangkung bungah ing nala. 31. Sang Maliwis putih agya den uculi, binopong saksana, sira Sang Maliwis putih, kebo tininggal eng sawah. 320 PNRI
32. Dyan maluya Ki Jaka suka ing ati, sun duga abungah, paman ningali maliwis, putih cahyaning gumilang. 33. Prapta wisma Ki Jaka asru den ya ngling, heh paman kawula, gih angsal Maliwis putih, cahyanira anglir gula.
321 PNRI
18.DHANDHANGGULA
1. Demang Kalungsur sigra nampeni, sarwi wacana lawan Ki Jaka, mangan pira sinambeleh, apelak warnanipun, karyakena kurungan aglis, prayoga inginguwa, adi warnanipun, Sang Maliwis putih mojar, heh Ki Demang sampun andika kurungi, mangsa ingsun minggata. 2. Kagyat Ki Demang kadya wong ngipi, amiyarsa wuwusing cakarwa, anggraita ing jro tyase, durung miyarsa ingsun, peksi bisa ngucap lir jalmi, Ki Demang awecana, marang rabinipun, heh Nyai gumatenana, Sang Maliwis putih semune abecik, menawa nggawa beja. 3. Sang Maliwis awecana malih, manira jarak kena ing kala, ingsun paman nedya ngenger, marang Ki Jaka Gedhug, welas temen ingsun ningali, paman marang andika, myang Ki Jaka Gedhug, saben dina masang kala, mangsa silih cukupa endika bukti, malah wuwuh mesakat. 322 PNRI
4. Nyai Demang anjenger ningali, sapandurat datan awecana, yen angucapa ing tyase, iki wetaraningsun, iya dudu manuk sayekti, baya ta wong tapa salah, anitis ing manuk, Nyai Demang suka ing tyas, denya miyarsa wuwuse maliwis putih, cakarwa malih mojar. 5. Ngong pitutur mring andika Kyai, marenana amemasang kala, mangsa cukupa pangane, Demang Kalungsur muwus, apa ingkang ginawe keskil, mojar sang malih warna, ing prayoganipun, kita nemena sesawah, lan Nyi Demang aja adol godhong jati, angur adola tigan. 6. Daweg kawula ater angambil, endhoging maliwis tur akathah, lan Ki Jaka Gedug bae, kawula Nyai weruh, ing prenahe endhog maliwis, duk ingsun aneng rawan, wruh pakuwonipun, tinurut Sang malih warna, dyan umangkat Ki Jaka kelawan bibi, gya prapta ing rerawan. 7. Wangwang tinuduhaken tumuli, Nyai Demang mring Sang malih warna, prenahing endhog kang akeh, tumpuk angundhung-undhung, Nyai Demang suka ningali, anulya ingusungan, pirang-pirang pikul, 323 PNRI
Ki Jaka bali ping lima, Kyai Demang tumut amikul ping kalih, endhog dadi sajogan, 8. Sira Demang angucap ing rabi, menyanga pasar lawan anakira, endhog sira dola kabeh, yen ana payonipun, atukuwa pacul lan arit, ingsun arsa sesawah, Maliwis sun gugu, sun mareni masang kala, nora becik drapone sinebut malih, aran demang wisaya. 9. Nyai demang umentar tumuli, lan Ki Jaka amikul antiga, prapteng pasar glis payune, Nyai Demang dyan wangsul, mawa buruh sedasa malih, sapraptanireng wisma, antiga ingusung, buruh sedasa kawratan, sapraptaning ing pasar binorong dening, para bakul akathah, 10. Nyai Demang sukane tan sipi, endhoge payu selawe reyal, nulya tuku sinjang age, kemben kelawan sabuk, atanapi nyampinging laki, welinge Kyai Demang, arit lawan pacul, anempur midhe akathah, tuku lenga kelapa kalawan ragi, arsa baresih desa. 11. Nyai Demang dhasar bisa laki, doyanane kang lanang tinumbas, tan lali lenga lan teret, 324 PNRI
kupat cabuk lan krupuk, tetukone dadi rong rinjing, binuruhken mulihnya, angirid bebakul, Jaka tinilar ing pasar, wus atumbas sap-tangan jingga tinepi, lan sabuk bangun tulak. 12. Nyai Demang ing wisma wus prapti, aris mojar Sang amalih warna, Ki Jaka tinakokake, kang tinanya amuwus, kari pasar ing mau budi, anjaluk kacu jingga, Sang Maliwis muwus, sun arsa mapag Ki Jaka, agya miber Jaka kepapag ing margi, sonder sap-tangan jingga. 13. Mencok ing pundhak Cakarwa putih, alon tanya marang kyai Jaka, yayi sira dene suwe, apa kang sira tuku, Jaka Gedhug alon nauri, ingsun tuku sap-tangan, jingga limang suku, lawan sabuk bangun tulak, mung sejampel lan jingga gunggunge dadi, arega pitung seka. 14. Nyai Demang sampun asesaji, oleh-olehira sangking pasar, den sajeken ing lakine, Ki Demang alon muwus, payu pira dene agelis, payu sela we reyal, reyal wolulikur, Ki Demang arseng kanang tyas, dhasare wus lami pailan jalwestri, andhatengaken karsa. 325 PNRI
15. Selamine nganggur sanget miskin, mangke ing sakapti katutugan, mangan kupat kadoyane, lawuh cabuk lan krupuk, wusnya dalu sami aguling, ingkang amalih warna, tan arsa aturu, ananedha ingjawata, denya datan asare Sangmalih warni, lama kraos karipan. 16. Maring natar risang mahh warni, dyan umabur mencok ing wuwungan, salisik arsa asare, ngles kasilir ing bayu, my arsa swara saj roning guling, heh Raja Anglingdarma, yen sira nora wruh, garwanira Dewi Setya, kang atunu nitis mring Bojanegari, aran Niken Srenggana. 17. Marma sira awarni Mahwis, marga kena ing papa cintraka, kaping pat kasisipane, kasiku ing Dewa gung, dhingin manah Sang Nagagini, kapindhone Kuthilang, kaping tiganipun, sira anampik Ken Uma, kaping catur sira nglarakaken ati, ing putri denawendra. 18. Iya sira benjang wus pinesthi, rabi putri ing Bojanegara, nanging den yitna ing tembe, poma ta wekas ingsun, aja waniya utang pati, marang sapadha-padha, manungsa tumuwuh, 326 PNRI
aja kurang panarima, tarimanen pasihane Hyang Pramesthi, kinarya lelampahan. 19. Kagyat wungu sang amalih warni, sampun kaesthi sabdaning swara, asanget panarimane, angartika ing kalbu, apuranen sisiping dasih, muga ingemutena, ing saderengipun, semana wus tatas rina, Kyai Demang jalwestri wus sami tangi, Sang Cakarwa neng natar. 20.Demang Kalungsur amuwus aris, apa gawenira neng natar, Sang malih warna wuwuse, kula sedalu muput, aneng natar ajagi maling, mesem sira ki demang, alon wuwusipun, bilih pinangan ing sarpa, mengko bengi sareya tunggallan mami, samar akeh garangan. 21. Datatitanen sampun alami, Kyai Demang wus akarya kandhang, kebone katelu gudel, saben dina meluku, awecana Sang malih warni, ingsun angon maesa, ngiras tunggu tandur, Ki Demang nauri sabda, aja angon manawa ana priyayi, sira tungguwa wisma. 22. Sang malih warna sampun alami, aneng padhekahan Wanasekar, kacatur lagi adhedhe, 327 PNRI
nulya na peksi rawuh, Sesikatan jalu lan estri, mencok aneng Soka, kang lanang amuwus, balilu kang duwe omah. ana emas rong enceh datan udani, den pilaur kangelan. 23. Sesikatan estri anauri, yen jawane ataken ing priya, heh kakang pundi enggene, ingkang lanang sumaur, pan kapendhem sajroning bumi, ngisor saka ing kandhang, kang wetan genipun, mesem Sang amalih warna, datan samar mring basane kang kumelip, anulya manjing wisma. 24. Alon mojar Sang amalih warni, heh kiyai sun asung nupiksa, soring kandhang ana mase, rong enceh kathahipun, lah andika suwan tumuli, soring saka kang wetan, ujare kang tutur, Ki Demang sugal lingira, apa angrempelu sira Ki Maliwis, bisa agawe warta. 25. Nyai Demang anauri aris, bok ginugu sinuwan sakedhap, menawa temen ujare, Ki Demang asru muwus, kaya lare atimur yayi, tanbuh kang sira gita, wicaraning manuk, yekti sauni-uninya, pae jalma yen muni kelawan arti, prandene akeh cidra. 328 PNRI
26. Jaka Gedhug anambungi angling, paman Si Kakang mangsa goroha, lah daweg sinuwan age, kadar pira puniku, ulun dhewe kang andhudhuki, inggih kangelan pira, ki demang gumuyu, yen ngong suwani tan ana, konthol Wliwis ing mengko manira gitik, ing linggis saurira. 27. Dika yekteni paman rumiyin, dereng karuwan ulun yen dora, dupeh manuk wicarane, Ki Demang agya mundhut, pacul suwan kelawan linggis, lah mara tuduhena, ngendi prenahipun, Sang malih warna atedah, gya pinacul Ki Jaka asru anglinggis, mas mawur enceh pecah. 28. Kyai Demang anjenger tan angling, denya tumingal emas akathah, pacule sinelehake, ambapang sukeng kalbu, Jaka Gedhug niba anjungkir, neng siti gegulungan, bungahe kelangkung, Nyai Demang sigra prapta, sru anjetung dangu datan bisa angling, mulat kehning kencana. 29. Kalih enceh kebak kencana di, Nyai Demang kadi wong supena, karagan-ragan manahe, kancana dyan sinambut, binekta mring wisma sarya ngling, de tan pracayeng dika, marang suteng ulun, 329 PNRI
bener ujare si Jaka, sadulure Ki Emas Maliwis putih, nora watak adora. 30. Wangwang sinambut kang malih warni, sinunggi-sunggi dening Ki Demang, Sang Cakarwa Ion muwuse, mangke udhuna ingsun, boten ilok teka den sunggi, Ki Demang aris mojar, angger kaul ingsun, pantes kawula sunggiya, trusing tingal kadi pandhita linuwih, ulun akunen bapa. 31. Aris angucap dhateng ing rabi, poma sira aja wani marang, Ki Emas Maliwis putih, payo padha den ugung, sasolahe emongen yayi, heh Jaka Gedhug poma, emongen kakangmu, aywa nyipta kumapalang, dumeh Mliwis putih kelamun linuwih, teka kabektenana. 32. Sang malih warna amuwus aris, paman demang mawakas manira, yogyandika estokake, mungguh rehing tumuwuh, ngeluriya kang aijeng budi, miwah pundi Bi Demang, den ambeg rahayu, welasa mring wong melarat, ingkang sinung warah mituhu nauri, inggih angger sandika. 33. Datatitanen sampun alami, Sang malih warna neng Wanasekar, Ki Demang dahat sugihe, 330 PNRI
dadya tungguling dhukuh, langkung gemah ing Wanasari, warunge dadi bandar, bakul akeh rawuh, wong mancapat mancalima, akeh kerut awisma ing Wanasari, wong tigang atus ana. 34. Suyud padesan ing kanan-kering, wus jejaro ing pawismanira, kadya negara rakite, dhukuh ing Wanasantun, sira Demang sampun amukti, kebo sapine aglar, tan ana enggenipun, mangkana Kiyai Demang, salin wastra angangge pating saluwir, nyangking reyal setapas. 35. Muhung wong siki ingkang umiring, umesat mring wismane sudagar, Ki Byantara kekasihe, tundhuk tata alungguh, Ki Byantara wuwusira ris, Ki Demang paran karsa, marang wismaningsun, saurira kang liningan, manirarsa tuku wismanta sawiji, bilih lega ing driya. 36. Ki Byantara mojar esmu wengis, sakelangkung angina Ki Demang, sarya mesem pangucape, regane wismaningsun, sewu reyal ing ngarep-buri, kang siji yen andika, sun wehken rongatus, nora amawang sarira, baya mendem bebede pating saluwir, ngendi olehmu reyal, 331 PNRI
37. Rabinira adol godhong jati, keskilira amung masang kala, Ki Demang gya ngesrahake, reyale kalih-atus, Ki Byantara wau ngingketi, sun ora adol omah, tan aweh tinuku, Ki Demang asru angucap, apa nganti ingsun matur ing Ki Patih, ngong sereg ing parentah. 38. De madayeng ujar wus kawijil, sun pepoyan marang Kyai Jeksa, angaturken sanalare, yekti luput sireku, temah keneng patrapan adil, ajrih sira Byantara, lah andika usung, sampun matur ing Parentah, Kyai Demang saksana pamit umulih, angresaya wong kalang. 39. Kalang padesan dipun opahi, gumarudug selur ngusung wisma, tinindhihan lelurahe, padha sadina rampung, kang ngadegken para undhagi, wismanira Ki Demang, apelak tur unggul, sampun amukti wibawa, sakeh jalma miskin samya den ingoni, kapedhakira kathah. 40. Nyai Demang tansah ambandhani, jalma ingkang kacupetan samya, keh mulur dadi sugihe, tetebusane agung, bakul kathah den urip-urip, sinungan penggaweyan, 332 PNRI
padagange agung, dadi pangungsene kathah, jalu-estri Ki Demang mardaweng budi, magersarine kathah. 41. Agung dene lir toya amili, mila wuwuh-wuwuhing kawiryan, wus dadi bandar pasare, saya keh ingkang kerut, wong awisma wus notog rawi, yata Sang malih warna, semana pinangku, tan pegat sinuba krama, paturone kanthil kancana kinardi, ingangkah putranira. 42. Sang malih warna amuwus aris, manira paman arsa kesah, sangking Wanasari mangke, Kyai Demang sumaur, sampun kesah-kesah Mas Gusti, balik amemundhuta, kang sarya di luhung, punapa kinarsakena, lamun ana kasisipane wak mami, gusti aksamanira. 43. Lamun angger arsa mawi krami, kumacelu solahing manungsa, pun bapa kang ngrabekake, prawan kang ayu-ayu, nadyan lima ingsun sanggupi, sumangga karsanira, gumujeng sumaur, wau kang amalih warna, paman uwis katedha sihira maring, kula tan arsa krama. 44. Benjing kula arsa krama bilih, antuk putri ing Bojanegara, 333 PNRI
Srengganawati wastane, nanging ta raganingsun, lir ngrempelu tan mawang dhiri, mokal yen kelakona, dene ingsun manuk, nanging sun tedha ing dewa, lamun ingsun tan bisa arabi putri, paman angur matiya. 45. Alon tumurun Sang malih warni, adhedhe wonten ing penataran, wonten Kapodhang areren, mencok pratistheng kayu, pan sesomah kang estri muni, atanya mring kang priya, yen jawane muwus, heh kakang karane ngapa, yen sun mulat ing natar ngisor kumuning, sumingeppana ingwang. 46. Lawan senene singer asari, sangandhape kang kajeng aletan, heh kakang apa wadine, Kapodhang lanang muwus, wruhira ing kono yayi, ana pendheman emas, sangisoring kayu, kehe iku rong tabela, yata mesem mau Sang malih warni, myarsa ujare podhang. 47. Tan samar sang malih warna putih, mring jawane Kapodhang pocapan, agya miber marang bale, Ki Demang sinung weruh, paman age dika mariki, Kyai Demang gya medal, lan Ki Jaka Gedhug, Ki Emas wonten punapa, animbali Maliwis putih nauri, andika mendhet suwan. 334 PNRI
48. Jaka sira umalapa linggis, muwah pacul sasoring kajenar, sira dhudhuka den age, pan ana emasipun, sangisore kayu Kumuning, kathahe rong tabela, Ki Demang agupuh, ngambil pacul lan talempak, Jaka Gedhug rangginas anggawa linggis, tan purun maidowa. 49. Gupuh-gupuh sami den suwani, udakara jembare saasta, tutup tabela katojeh, Ki Demang asru muwus, dhuh Gustiku Ki Mas Maliwis, nyata terus ing tingal, saujare tuhu, Ki Jaka Gedhug ambapang, Kyai Demang angawe dhateng kang rabi, heh yayi mareneya. 50. Nyai Demang sigra amarani, dahat tustha denira tumingal, ing tabela kebak mase, bok Demang gya lumayu, koronireng jawi kinunci, menawa kadhatengan, corah akeh weruh, yata sampun ingusungan, emasira sampun winadhahan pethi, awor lawan sesotya. 51. Suka ing tyas demang jalu-estri, sangking karantan ing sugihira, tanbuh enggone bandhane, sakarsanira tutug, anebusi Mekasar Bugis, miwah Bali irengan, Ambon lan Butun, 335 PNRI
lawange mawi pejagan, tundha tiga amawi candhela inggil, kadi wisma Bupatya. 52. Sakelangkung awibawa mukti, ing Wanasari dadi negara, agemah bandar pasare, wong dagang akeh rawuh, Sang Sakarwa tan kena mijil, Ki Demang nora suka. yitnane kelangkung, menawi katur ing Nata, pinundhuta peksi putih mring Sang Aji, temah kingkin ing driya.
336 PNRI
19. ASMARADANA
1. Nengena datan winarni, Demang Kalungsur kang lagya, amangun kawibawane, gyantya ingkang winursita, nenggih Bojanegara, raharja gemah atulus, wadya lit asuka wirya, 2. Negari eloh jinawi, pasir mawukir abandar, wadya lit eca manahe, murah sandhang lawan pangan, tan ana wong duijana, bisikanira Sang Prabu, Maraja Darmawasesa. 3. Kacarita Sribupati, tan darbe atmaja priya, amung satunggal putrane, pewestri ayu utama, ing jagad tanpa sama, lir Dewi Ratih anurun, jejuluk Retna Srenggana. 4. Angular ana tan olih, kang memba kusuma rara, arurus sedheng dedege, kasrusreng rat pramudita, putri Bojanegara, kasembung ayu pinunjul, tan ana ingkang tumulad. 337 PNRI
5. Akathah kang para mantri, ing Jawi lan Tanah Sabrang, samya ngebun-ebun sore, Sang Retna tan arsa krama, lagyarsa mong sarira, dinama-dama ingugung, ing rama putra sajuga. 6. Wasis sekaliring kardi, putus sasmitaning sastra, lir guladrawa swarane, kalane Sang Dyah amaca, padha estri kasmaran, mangkana wau winuwus, surupe Ywang Prabangkara, 7. Kulem gumantya nujoni, purnama dina Anggara, Retna Srengganawatine, pinarak ing palataran, andher para pawongan, emban inya aneng ngayun, prapteng diwasaning rat. 8. Tan arsa kundur Sang Putri, pawongan tilem sadaya, Sang Retna angles alinggeh, jroning anendra umiyat, murub ing ngarsanira, lan ana swara karungu, mangkana ujaring swara. 9. Heh wruhanta urub iki, cahyane putri palastra, lebu tumangan patine, ing Melawa prajanira, aran Ambarawatya, 338 PNRI
saksana wau kang urub, sirna umanjing ing grana. 10. Kagyat Sang Retna atangi, emut kalamun nyupena, ngungun anggarjiteng tyase, rumaos sihing jawata, dhawuh gung anarima, Sang Dyah agya nangi sagung, pawongan emban lan inya. 11. Sadaya sampun atangi, sawusira atetoya, umarek mring Sang lir sinom, sadaya micareng nala, dene amandhanrawa, amanglingi gustiningsun, kadi layoning puspita. 12. Cahya wenes anelahi, amindha wulan purnama, sejen kelawan sabene, bebisik lan rowangira, Sang Retna ris ngandika, apa kang padha korembug, matur anembah Ni Inya. 13. Ingkang dipun gunem gusti, mring abdi-abdi sadaya, dene ewah paduka ngger, warna lir layon angsoka, cahya amindha wulan, langene wimbuh weh yungyun, Sang Dyah mesem angandika. 14. Jer sira padha aguling, nora katurunan cahya, ingsun keri melek dhewe, 339 PNRI
linggih merem-merem ayam, sun katurunan cahya, ing wanci sampuna esuk, sigra kusumaning pura. 15. Umarek ing Sribupati, wus prapta byantaranira, ing rama sigra den awe, agepah marek ing ngarsa, angaras pada Nata, Sri ngrangkul jangganing sunu, ingaras embunanira. 16. Ngandika Srinarapati, mring putra tuntunge driya, heh Nini apa karane, telung dina ora marak, apa ta sira gerah, lalu maras ing tyasingsun, meh ingsun akon mariksa. 17. Lan ingsun pangling ningali, Nini marang cahyanira, wenes ijo angalentreh, kaya layoning saroja, wuwuh raras rumira, apa ta paningalingsun, karoban ing besusira. 18. Sang Dyah matur awotsari, ing rama srinaranata, nutur saparipolahe, kala katurunan cahya, purwa madya wasana, angungun Sang Mahaprabu, arum wijiling wecana. 340 PNRI
19. Heh Sebetan den agelis, wong jro pura undhangana, yen putriningsun ing mangke, jejuluk Dewi Ambara, wati lan Ki Apatya, Purwanegara den gupuh, ngundhangana wong sapraja. 20. Kang kino'n matur wotsari, sundhulan mantri wisesa, dhawuh timbalane katong, Ki Patih matur sandika, sigra suwareng bala, yen ing mangke Sang Retnayu, Srenggana asilih nama. 21. Jejuluk Ambarawati, wus misuwur wong sapraja, miwah wong dalem gedhe, yata na sempalan kandha, Brahmana sangking sabrang, Ni Bramani estrinipun, ngumaheng Bojanegara. 22. Awisma dadi Patinggi, padesan ing Giringwana, pomahan keh kayu gedhe, akedhik rewange wisma, kang estri lagya nyidam, sedheng pepasihanipun, Ni Bramani ambebana. 23 Heh Ki omah sun kapengin, mangan tawon lan madunya, kapengin ingsun pecele, Ki Bramana aris ngucap, sarwi angaras-aras, keriya yayi atunggu, wisma sun mentar mring wana. 341 PNRI
24. Wisata Bramana sarwi, anyangking bumbung mring wana, wus cinekelan kudhine, dereng dangu kesahira, yata kawarnaa, wonten gandarwa nenamur, umedhun sangking mandera. 25. Wruh lamun Bramana sepi, Sang Gandarwa sedyanira, anggoragodha rabine, sampun arupa Bramana, sapanganggone samya, tiniru anyangking bumbung, sapraptanira ing wisma. 26. Linggih ing bale respati, Bramani tan wruh yen ika, gandarwa namur ragane, anyidhep yen priyanira, dene warnane padha, miwah sabusananipun, angsal tawon lan sarkara. 27. Kagyat angling Ni Bramani, dene enggal lampahira, angsal madu lawan tawon, kang mindha warna lingira, yayi wus begjanira, wana ingkang pinggir iku, ana barungkah satunggal. 28. Ana tawone sun ambil, madune liwat akathah, lawan ingsun age-age, akangen temen ing sira, payo padha anendra, Niken Bramani sinambut, binekta mring pasareyan. 342 PNRI
29. Sawusira pulangresmi, gya mijil kang mindha warna, mulih marang kayu gedhe, Ki Bremani sigra prapta, sangking ing wana-wasa, angsal tawon lawan madu, wangwang umanjing ing wisma. 30. Panggih kalawan kang estri, polahe karagan-ragan, angaras aris wuwuse, yayi kekarepanira, tawon lan madu angsal, ingsun akangen kelangkung, mring sira payo anendra. 31. Ni Bremani datan angling, anjenger mijil kang waspa, yen angucapa driyane, ika mau silih sapa, dadya ris awecana, sarya angusapi kang luh, manira ora anduga. 32. Pira suwene saresmi, sun wisuh durung asat, kang lanang sugal saure, apa temen ujarira, Ni Bramani angucap, leng tumekaa ing lampus, tan arsa watak dedora. 33. Cihnane meksih puniki, tawon kelawan sarkara, durung sun olah tawone, megap-megap denya nabda, waspa dres lir turasan, kelangkung buneking kalbu, Ki Bramana sru bramantya. 343 PNRI
34. Denira ngucap awengis, lah iya wong ngendi baya, wani nyidra rabiningong, apa ora kulak warta, wani nyidra Bramana, teka ing sabrang kinaduk, wani tur para sudukan. 35. Ingsun asenetan mamrih, baliya kang laku cidra, lamun ana kang atakon, warahen ingsun neng kitha, lene ingkang manah, muga ta nuliya wangsul, ingkang amindha manira. 36. Sun ujane padha siji, nadyan silih asektiya, mangsa ta kalaha ingong, la wan wong ulah culika, ngembuli darbekingwang, yekti kajog ingkang kantun, durung kinarya pajatan. 37. Lah sira keriya yayi, sun senetan Ki Bramana, sarwi anggabus pedhange, yata wau kawarnaa, sang gandarwa uninga, kalamun Bramana suwung, gya medhun sangking mandera. 38. Sedya anenamur malih, sampun arupa Bramana, tiniru sapanganggone, sanget kacaryaning driya, denira sacumbana, lan Bramani marmanipun, drubiksa tan mundur ing tyas. 344 PNRI
20. D U R M A
1. Sa praptanira ing wisma alenggah, Ni Bramani sinandhing, sarwi ajejegang, linggihe sendhen saka, kalangkung suka ing ati, sang mindha warna, denira sandhing linggih, 2. Sang Bramana-jalma prapta wau mulat, lamun ana wong prapti, alinggih ajajar, kalawan rabinira, madeg kasuraning ati, anarik pedhang, untunira ginigit. 3. Nulya medal kapanggih ayun-ayunan, angling sarwi nudingi, heh wong ngendi sira, dene alinggih jajar, lawan rabiningsun anjing, tanpa deduga, wong pantes tinampiling. 4. Kang amindha warna asru denya nabda, sira iku wong ngendi, lumebu ing wisma, teka angliga pedhang, wong pantes den balojodi, kang kaya sira, datan wrin ing dedugi. 345 PNRI
5. Wus ingikal suduke Bramana-setan, Sang Bramana-jalma glis, ngikal pedhangira, sami sudireng nala, sumbar-sinumbaran kalih, sareng bramantya, sami wong kaduk wani. 6. Lir parenjak tandange Bramana-setan, sudukira kumitir, sareng anerajang, sira Bramana-jalma, pedhang neng asta kumitir, sareng anerang, rame asilih ungkih. 7. Rame serang-sinerang silih marjaya, salin keris-kineris, nyang pedhang-pinedhang, tan ana kang tumama, arame lembing-linembing, sami prawira, kuwel banting-binanting. 8. Wusnya rempu sakathahe kang gegaman, salin gitik-ginitik, sakeh kayu rampak, dadya tunggang-tinunggang, arame bithi-binithi, candhak - cinandhak, sendhal-sinendhal sami. 9. Ken Bramani ketarda emeng ing driya, mulat ingkang ajurit, tan bisa miliya, dene rupane padha, swara myang solah atunggil, yen angucapa, kang endi laki mami. 346 PNRI
10. Ni Bramani kaku ing nala karuna, sesambat amlasasih, dhuh Dewa Bethara, paran olah manira, dene sun tan bisa milih, mring priyaningwang, marase ingkang ati. 11. Iya lamun mati ingkang mindha warna, menawa angemasi, lakiku kang nyata, paran ta polah ingwang, lelakone awak mami, Bramani mara, mring unggyane ajurit. 12. Asru mojar mring kang sami pancakara, kendela kang ajurit, sun aywa rinebat, pan dudu rabinira, karo dudu laki mami, padha mintaa, bebener mring nagari. 13. Ratu Bojanegara luwih kuncara, putus ing rajaniti, sapa ingkang menang, pradata pasthi dadya, laki manira sayekti, apa karsanya, Kangjeng Srinarapati. 14. Apan ratu iku sesilihing dewa, bisa akarya adil, sira padha tukar, angrebut raganingwang, bok manawa sira mati, sampyuh wakingwang, seje kang andarbeni. 347 PNRI
15. Lamun sira karo padha sih maringwang, rebuten kraneng ririh, turuten turingwang, payo marang negara, Bramana-manungsa angling, mangsa wediya, reh ingsun duwe rabi. 16. Asru mojar sira kang amindha warna, nadyan ingsun tan ajrih, mradata lan sira, jer nyata rabiningwang, sigra umangkat lumaris, marang nagara, samarga ting barekis. 17. Ni Bramani lumaku ana ing tengah, Bramana-jalma nganthi, astanira kanan, kang mindha warna kiwa, Bramani kesel anyapih, sira Bramana, jalma amuwus aris. 18. Aja samar yayi marang raganingwang, sun lakimu sayekti, duk ana ing sabrang, rewangmu kawlasarsa, tumeka ing Tanah Jawi, den aku sira, mring wong amindha warni. 19. Sang Bramana-setan sru nambungi sabda, aja kogugu yayi, iku ujar kemat, ingsun lakimu nyata, Bramani kesel anyapih, dadi tontonan, samargi dhandhang muni. 348 PNRI
21. DHANDANGGULA 1. Prapteng praja wau kang lumaris, sami jumujug ing kapatihan, kandheg ing paregolane, Ki Patih lagya lungguh, lawan garwa imbalan angling, kasaru kang parekan, alit nembah matur, kawula tur uninga, pun Pratinggi Bramana wonten ing jawi, amawi pepabenan. 2. Mila sowan arsa nyuwun adil, ngling Apatya sira timbalana, mring ngarsaningsun ing kene, gya tinimbalan malbu, prapteng ngabyantara Ki Patih, Bramana kalihira, alinggih tumungkul, Kyapatih datanpa ngucap, aningali dhateng Bramana kekalih, dene kembar kang warna. 3. Dinangu solah katur ing nguni, purwa madya prapta ing wasana, Apatih ngungun ing tyase, ngagnya nimbali gupuh, pra Nayaka pradata prapti, myang sakathahing Jeksa, pepak aneng ngayun, miwah kang para nayaka, tinimbalan ing ngarsa Anindyamantri, Purwanagara nabda. 349 PNRI
4. Sanak-sanak andika leresi, padune Patinggi Ngrandhulawang, aku-ingaku rabine, pundi ingkang satuhu, ingkang dora sayekti mati, sagung para nayaka, kemengan tumungkul, tenapi sakehing jeksa, datan ana ingkang kaduga mancasi, samya tur nuwun duka. 5. Para nayaka samya ngrembagi, leheng katura ing Srinarendra, pan Ratu padhang tin gale, benjang ari Somesuk, saosena sor wringin rakit, Patih Purwanagara, kalangkung arembug, sampun sami aluwaran, kang sewakeng kepatihan kawarnenjing, praptaning ari Soma. 6. Miyos sineba Srinarapati, pepak sagung punggawa nayaka, satriya prawira andher, myang kang para tumenggung, demang arya rangga ngabehi, Patih Purwanagara, alenggah neng ngayun, lan Tumenggung Natapraja, anepungi sira Ki Arya Kumitir, lan Demang Kulandara. 7. Demang Padasarana tenapi, Arya Wahana jajarira lenggah, Demang Sabawiwarane, pra tuwin Rangga Janur, munggeng keringira Narpati, alenggah sinambungan, 350 PNRI
Arya Jurudemung, tedhak Sang Srinaranata, sing menguntur dhumateng bangsal pangrawit, Sang Nata magelaran. 8. Horeg wadya sagung kang anangkil, tilar lampit epok lan kendhaga, wus samya siningkirake, pinarak Sang Aprabu, ing dhedhampar denta rinukmi, pinatik ing sesotya, alelemek babud, den ayap para biyada, manggung ketanggung ngampil upacara Sri, ngarsa para nayaka. 9. Pra sama andher bukuh alinggih, muka kadya konjem ing pratala, wangwang patih Ion sembahe, umatur ing Sang Prabu, patik Aji anuwun runtik, kawula tur upiksa, dhumateng pukulun, wonten abdi Jeng Paduka, Patinggi ing Randhulawang akekasih, pun Bramana wong sabrang. 10. Somahipun wasta pun Bramani, ingaken dening tetiyang liyan, nanging akembar warnane, tan salisir sarambut, datan wonten saged mancasi, pra nayaka pradata, sadaya anuhun, deduka tadhah mastaka, sumangga ing karsa Paduka Narpati, sangking bodho kawula.
351 PNRI
11. Angandika aris Sribupati, timbalana katri ngarsaningwang, den enggal sun wedakane, Kyapatih sandika wus, ken nimbali Bramana kalih, lawan Bramani prapta, ing byantara Prabu, kaliyan nyepengi asta, kanan-kering dadya sira Ni Bramani, alinggih aneng tengah. 12. Sri ngandika heh wadon Bramani, ingkang endi babo lakinira, mara pilihen den age, Bramani nembah matur, nuwun duka paduka Aji, kawula ta mandhega, amilih ing kakung, yen amba pilih kang kanan, menawi kang kering laki ulun yekti, yen kawula piliha. 13. Ingkang kering menawi Dewaji, laki kawula wonten ing kanan, pukulun langkung ewede, mila kawula nuhun, abdi dalem ingkang patitis, Sang Nata angandika, lah iya sun adu, perang tandhing singa ingkang, menang yuda iya iku kang darbeni, Ni Bramani tur sembah. 14. Nuwun adil paduka kang rumit. tanpa deya umarek Sang Nata, bilih mekaten adile, sami lan tiyang dhusun, yena ngamungaken prang tandhing, adile bebocahan, 352 PNRI
duk inguni sampun, ayuda sami pragalba, marma ulun sapih denira ajurit, pancasa ing pradata. 15. Bramana-jalma matur wotsari, dhuh Dewaji pan rabi kawula, pun Bramani selamine, sangking sabrang rumuhun, mangke wonten ing Tanah Jawi, den aken ing tetiyang, kawula anuwun, adil paduka Narendra, kang amindha warna umatur wotsari, pukulun Srinarendra. 16. Tuhu rabi ulun pun Bramani, alit mila dhumateng ing wayah, sayekti amba lakine, mangke wonten kang ngaku, nyuwun adil paduka Gusti, Ni Bramani mangkana, matur amlasayun, sinten ingkang madhangena, petenging tyasing dasih tan lyan Dewaji, pangruwating duryasa. 17. Emenging tyasira Sribupati, Darmawasesa asru ngandika, kakang Purwanegara ge, katri gawanen mundur, lan reksanen ingkang prayogi, Srinarendra tumedhak, kondur angedhatun, bubar sagung kang sewaka, Naranata sarawuhira jro puri, laju mring pamelengan. 353 PNRI
18. Emenging tyas amuja semedi, saptadina tanpa sinewaka, ing driya darpa rentenge, prabawa praja tedhuh, surem senenira negari, tikbra sagung nayaka, gantya kang winuwus, wau kang amalih warna, Sang Maliwis putih miber mring wanadri, tan warta mring Ki Demang 19. Mencok neng mandira asahsik, nulya anapak si Dhandhang prapta, sesomah mencok aleren, Dhandhang estri amuwus, kadingaren Bojanegari, surem cahyaning praja, adhedhet dinulu, heh kakang karane ngapa, beda lawan saben ujwalane nagri, Dhandhang lanang angucap. 20. Kaya lamun petenga kang nagri, Wityeng ratune lagi sungkawa, yekti asurem prajane, ana Bramana padu, rebut rabi Bramana kalih, tunggal rupa myang basa, katur ing Sang Prabu, Maraja Darmawasesa, emeng dene nora bisa ambeneri, ing padune Bramana. 21. Sajatine kang sawiji jalmi, kang sawiji setan mindha warna, angaku-aku rabine, Bramana kang satuhu, yen mungguha ingsun agampil, bebenere ika, 354 PNRI
Dhandhang estri muwus, kepriye anggone mancas, ing padune Bramana kembar kang warni, Dhandhang lanang awarta. 22. Mring kang estri tingkahe ngrampungi, yata wau wus sira pepoyan, nulya amiber karone, atas pamyarsanipun, kang Cakarwa putih udani, sawicaraning Dhandhang, sadaya kacukup, dyan mulih Sang malih warna, marang padhekahan Wanasari prapti, kawarna Nyai Demang. 23. Mulat ing atmaja tan kaeksi, angulari srangsrangan karuna, amlasasih sesambate, dhuh Dewa gustiningsun, marang ngendi Ki Mas Maliwis, Kiyai ularana, Ki Demang amuwus, mundur teka kaya bocah, witne ingsun atrisna kepati-pati, den asabar ing karsa. 24. Kyai Demang mesem muwus malih, dene iku sutanira prapta, Cakarwa sinambut age, dhuh angger gustiningsun, bisa karya rasaning ati, ligar mring ngendi sira, dene nora tutur, Sang malih warna wecana, kawangkungen neng wisma kula kekaring, mring wana antuk warta. 355 PNRI
25. Ing samangke Kangjeng Narapati, Bojanegara asru kemengan, ing driya de prawitane, wonten Bramana padu, tunggil warna arebut rabi, nayaka para jeksa, tan ana kang sanggup, mancas padune Bramana, paman dipun enggal manjinga negari, sumiwiyeng Narendra. 26. Lamun dika saged angrampungi, ing padune pun Bramana kembar, mendah Sang Nata sukane, Ki Demang alon muwus, bisa apa manira iki, mojar Sang malih warna, manira kang wuruk, agya winisik Ki Demang, wus kadhadha kemantyan suka ing ati, sangking wuruking Dhandhang. 27. Wangwang dandan busaneng anangkil, umangkat marang Bojanegara, prapteng praja lajeng pepe, ing sor waringin kurung, Srinarendra sedheng tinangkil, pinarak ing paglaran, pepak punggawa gung, Bramani wus munggeng ngarsa, kang Bramana kalih ngapit kanan-kering, maksih diya-diniya. 28. Matur anembah wadon Bramani, dewaji nuwun adil paduka, mugi enggala rampunge, tan sande ulun lampus, datan saged alaki kalih, yen dalu nedha sepah, 356 PNRI
sareng kalihipun, yen kawula turutana, lamun dalu ting kathuwil ting kalesik, angajak wewingkingan.
357 PNRI
22. P A N G K U R
1. Sarya alara karuna, melasasih aturira Bramani, emenging driya Sang Prabu, kapita ing tyas mulat, wong apepe sangandhape ringin kurung, angandika naranata, heh wong apa ika patih. 2. Pepe neng waringin kembar, Kyana Patih aken mariksa nuli, matur yen Demang Kalungsur, mangke sumiweng Nata, tinimbalan saksana sumiweng ngayun, muka konjem ing pratala, ngandika Srinarapati. 3. Heh demang dene alawas, sira nora katon ana ing ngendi, kang dinangu nembah matur, wisma wonten ing wana, abdi dalem marma sowan ngarsa Prabu, kawula miyarsa warta, Dewaji dahat rudatin. 4. Buminata ris ngandika, iya liwat buteke ati mami, ana Bramana apadu, kembar rebut wadonan, nora bisa mancasi padune ingsun, para nayaka pradata, tan ana bisa ngrampungi. 358 PNRI
5. Yen sira bangkit amancas, ing padune Bramana rebut rabi, agedhe ganjaraningsun, tur sembah kang hningan, awit Aji darmi kewala pukulun, menawi saged amancas, kelawan idi Narpati. 6. En tyarsa Srinaradipa, hr siniram ing warih sreping gahh, lah benerana gupuh, padha mengko pancasa, tur sandika Ki Demang anyuwun jabung, kelawan kendhi pratala, wus sinaosaken nuh. 7. Ki Demang sigra mradata, asru mojar marang Bramana kalih, heh sapa bisa lumebu, jroning kendhi pratala, iya iku Bramana ingkang satuhu, pasthi yen padune menang, nyata lakine Bramani. 8. Dene lamun nora bisa, manjing kendhi iku Bramana maling, nyata wong angaku-aku, matur Bramana-jalma, pun Bramani rabi kawula satuhu, sangking sabrang angajawa, alim dalem manjing kendhi. 9. Pan dereng nate kawula, manjing kendhi Ki Demang asru angling, yen mengkono sira dudu, Bramana kang sanyata, ngaku-aku kewala sira puniku, gegetun sira Bramana, anjenger ambrebesmili. 359 PNRI
10. Rabine sinambat ing tyas. baya ta wus karsane Dewa luwih, Bramani pisah lan ingsun, dadi semahing liyan, Sang Bramana-setan asuka gumuyu, nyatane wong ngamandaka, culika angaku becik. 11. Endi tandhamu yen nyata, duwe rabi Bramana sira anjing, dene teka nora sanggup, manjing kendhi pratala, ingsun bisa lumebu ing ngeleng semut, yen kinon maring Ki Jeksa, tan ajrih ingsun nanggupi. 12. Puniku kecu alasan, mesum biyas tan bisa manjing kendhi, Bramana-jalma tumungkul, luhnya dres lir turasan, wangwang kinon Bramana tiron agupuh, umanjing kendhi pratala, Ki Demang Kalungsur aglis. 13. Ponang kendhi tinutupan, tur jinabung tumulya mangenjali, punika pratandhanipun, lamun dede manungsa, tuhu setan bangkit manjing ajer-ajur, ingkang sayekti manungsa, tan saged manjing jro kendhi. 14. Yan suwawi binasmiya, sayektine setan ajrih ing geni, Srinata eram kelangkung, darpa sukaning driya, wus sumaos dahana ing alun-alun, pratala gya winelagar, gandarwa asru denya jrit. 360 PNRI
15. Aneng jro kendhi karana, setan nora mati mung kena sakit, sirna tangis tan karungu, mulih mring kayanganta, Srinarendra suka ngalembaneng kalbu, Ki Demang budine lepas, gawok sagung kang ningali. 16. Demang Kalungsur ginanjar, pasilan kinarya Pepatih aji, lawan sinungan jejuluk, Patih Jeksanegara, pinaringan linggih karya pitung-ewu, asisih Purwanegara, pinaro punggawa mantri. 17. Bramana Bramani sigra, atur pamit sukeng tyas jalu-estri, mulih marang wismanipun, sapraptanireng wisma, tansah muja semedi panedhanipun, Ki Patih Jeksanegara, mugi lulusa mukti. 18. Nyata wau Nyai Demang, ingutusan dening rekyana Patih, mantri kekalih lumaku, mawa tandhu jempana, kawarnaa Nyi Demang maras ing kalbu, Sang malih warna uninga, dadya awecana manis. 19. Bibi Demang aywa maras, paman Demang sampun dadya priyayi, inggih ing wetaraningsun, dadi wrangkaning Nata, lamun paman lulus kawibawanipun, Nyi Demang pemut manira, den gumati ing wong miskin. 361 PNRI
23. K I N A N T H I
1. Byatita mangke winuwus, kusuma Srengganawati, putri ing Bojanegara, ayune datanpa siring, wadana sawang sasangka, sedhenge purnama sidi. 2. Eseme lir madu juruh, kuninge ambengle keris, wanda rurus apideksa, tingale manis alindri, panjalmane Dewi Setya, putri ing Bojanegari. 3. Mangkana Sang Retnaningrum, tumedhak mring tamansari, amung pawongan sedaya, kang ngiring rahaden Dewi, tan adoh emban Jelamprang, babu inya aneng wuri. 4. Parekan cethi ing ngayun, nampa bun kencana adi, lulur lawan gandawida, atelesan datan keri, sapraptanira ing taman, kagyad Sang amalih warni. 5. Mulat ing Sang Murtiningrum, kadaut rasaning ati, luh mijil atalethokan, 364 PNRI
yen angucap Sang peksi, iki wong ayu utama, sairip lir garwa mami. 6. Baya ingkang sampun lampus, nitis mring Bojanegari, punapane ingkang siwah, mung anom tuwa sathithik, panedhaningsun kang muga, tulusa ingsun angabdi. 7. Mring sang dyah dewaning ayu, mugi pinarengna ugi, kawula duwe bendara, kusumeng Bojanegari, lagya ningali rerawan, jumeneng Sang ruming sari. 8. Aneng sor Cepaka wungu, den ayap ing para cethi, sira Sang amahh warna, amicoreng jroning ati, sun prihe wikan maringwang, sigra Sang Cakarwa putih, 9 Sekar Cepaka cinucuk, tinibakaken tumuli, ing ngarsanira Sang Retna, agya cinandhak kang sari, biyang aku oleh kembang, tiba aneng ngarsa mami. 10. Ingsun anggone cecundhuk, yata kang amahh warni, amethik malih sepasang, tinibakaken tumuli, ing pangkonira Sang Retna, Sang Dyah angandika aris. 365 PNRI
11. Nora angin nora jawuh, kembang tiba ting talethik, dingarene ana apa, sarya tumenga denya ngling, wajannya kengis gumebyar, tan keksi Sang malih warni. 12. Lapak kalingan ing taru, yata Sang malih warna putih, ngandika sajroning nala, nyata yen ayu linuwih, kusumeng Bojanegara, begjane kang duwe rabi. 13. Eseme apait juruh, liringe asawang thathit, baya mau duk tumenga, durung uninga ing mami, mengko ingsun prihe duka, retnaning Bojanegari. 14. Sigra kang arupa manuk, anocor sekar pinilih, kang akeh karangrangira, tinibakaken tumuli, ing jajanira Sang Retna, wonga-wongane patitis. 15. Sang ayu kagyad anjumbul, tan wruh ruruning kang sari, karangrang lumrang ing j aja, kemben binuwang ing siti, sang ayu akitrang-kitrang, gelung lukar tan katolih. 16. Pijer angremet pambayun, biyang tulungana mami, lebur pambayun manira, bintule rong-puluh sisih, 366 PNRI
dikerah dening karangrang, baya setan cicir belis. 17. Nibani karangrang mringsun, baya ta belis ing ngendi, si disamber ing gegelap, si dipenthung alu lembing, si dilabrak alu papat, si ditanjir molar-malir. 18. Amicareng jroning kalbu, sira Sang malih warna putih, iki wong ayu sembada, mung sosode anderwili, nanging agawe wigena, begjane kang duwe gusti. 19. Parekan padha andulu, marang kang amalih warni, sami alok suraweyan, yen ana Maliwis putih, Sang Ayu sigra tumenga, awas denira ningah. 20. Marang Sang Cakarwa pingul, wangwang Sang amalih warni, matek guna pengasihan, asmara tantra lan dhesthi, sumbaga pun pulunggana, kakenan resmining puri. 21. Bramantyanira wus larud, sirna karkate kang galih, tan ana ingkang kacipta, amung Sang Maliwis putih, sapandurat tan ngandika, lengleng tyasira Sang Dewi. 367 PNRI
22. Wasana ngandika arum, biyang si Maliwis putih, ingkang nibani karangrang, lah wisayanen den keni, yen nora kenaa biyang, Mliwis putih ngong ngemasi. 23. Inya Jelamprang umatur, kalamun suwawi gusti, kawula ngundang sakedhap, abdi dalem Sarageni, kajenge dipun senjata, Sang Putri ngandika runtik. 24. Angur silih reraimu, matiya kena ing bedhil, ana parekan satunggal, kinen amenek tumuli, andekepa Mliwis pethak, tumandang ajrih ing gusti. 25. Pembayun kadi pinarut, kalorod tiba ing siti, Sang Ayu manggung tumenga, Yata Sang Maliwis putih, mibar tumameng segaran, asru ngandika Sang Putri. 26. Lah mara padha den gupuh, burunen maliwis putih, aneng rawan langenan, kepungen tengahing warih, heh poma-poma den kena, aja na wedi ing warih. 27. Padha sun tugel gulumu, luputa Maliwis putih, sadaya ambyuring toya, amburu Maliwis putih, 368 PNRI
malah padha gulagepan, kang nora bisa ngelangi. 28. Meliwis polahe tutut, yen tinubruk angoncati, tansah mesem ing wardaya, sira Sang amalih warni, tumingal ing para inya, gulagepan aneng warih, 29. Saweneh ana amuwus, bayeki maliwis ejim, gawe kangelaning kathah, polahe memanas ati, saweneh pawongan mojar, ing mengko kalamun keni. 30. Sun cekel banjur sun bekuk, gulune dimen ngemasi, pinendhem aneng beloran, lamun dinangu ing gusti, sun matur ilang ing taman, mojar Sang Maliwis putih. 31. Nora layak ingsun rungu, pangucape para nyai, punapa dosa manira, nora utang nora nyilih, binuru mara nyandhaka, kagyad sagung para nyai. 32. Saweneh mentas amuwus, lagi mengko sun ningali, maliwis bisa angucap, tur aneh ulese putih, pantese wong tapa salah, anitis dadi maliwis. 369 PNRI
33. Angucap ing driyanipun, sira Sang Maliwis putih, nora mandi dhesthiningwang, tandhane Sang Putri iki, tan milu ambyur ing toy a, cihnane yen nora asih. 34. Angur ta muliha ingsun, gya mabur Maliwis putih, muluk napak jumantara, mulih marang Wanasari, pra inya keri anggana, pangucape semu tangis. 35. Mendah dukane Sang Ayu, Maliwis putih tan keni, rewange sawiji mojar, ujer keriya suwiwi, paran anggone anyandhak, manungsa marang maliwis. 36. Yekti keri bisa mabur, yata kusumaning puri, putri ing Bojanegara, mulat ing Maliwis putih, muluk marang ing gegana, Sang Dyah anjenger tan angling. 37. Nyai Jelamprang umatur, wetawis kawula gusti, maliwis pethak punika, dede kukila sayekti, saged ngucap cara jalma, wetawis kawula gusti. 38. Gandarwa setan lelembut, arupi Maliwis putih, Sang Ayu tan angandika, sumaput ing tyas makingkin, 370 PNRI
amung Sang Maliwis seta, gumawang keksi ing galih. 39. Sekala Sang Dyah amuwun, kundure dahat wiyadi, arsa umarek ing rama, mireng kasemekan sarwi, samarga ngusapi waspa, semana Srinarapati. 40. Nuju pinarak supenuh, kang para manis sumiwi, Maraja Darmawisesa, lagya ngling lan prameswari, kasaru praptane putra, nungkemi pada anangis. 41. Kagyad ing driya Sang Prabu, gupuh angrangkul ing siwi, agugup denira tanya, adhuh putraningsun nini, wong ayu wartaa paran, daruna mijil ing tangis.
371 PNRI
24. M I J I L
1. Memundhuta sesotya kang adi, babo sutaningong, miwah raja kaputren kang aeng, tuwin busana kang sarwa peni, aranana gusti, menenga wong ayu. 2. Sang Dyah Mangkin asru dera nangis, pegel tyas sang katong, esmu duka wijile sabdane, heh Jelamprang mulane Ni Putri, lara-lara nangis, apa kang jinaluk. 3. Kang dinangu matur awotsari, putri Jeng Sang Katong, datan amundhut raja pengangge, mila amular Sang lir apsari, nangisi maliwis, pethak kadi kapuk. 4. Kapanggih saba ing Tamansari, konengan Sang Sinom, kadi dede peksi sejatine, pun Maliwis saged baseng jalmi, tutut merakati, cinekel umabur. 5. Suka gumujeng Srinarapati, andikanira Ion, lah menenga putraningsun angger, 372 PNRI
lagi tumon kaya sira iki, wus gedhe birai, anangisi manuk. 6. Mengko ingsun utusan ngulati, menenga mas ingong, Srinarendra malih andikane, heh Sebetan undangen si Patih, Jeksanegara glis, mentar kang tinuduh, 7. Tan adangu Kyapatih wus kering, ing caraka katong, prapta ing sripenganti lampahe, Jeksanegara umanjing puri, prapteng byantara Ji, mendhak awotsantun. 8. Ingawe umarek ing ngarsa Ji, Ki Patih mara Ion, prapteng ngarsa manembah lungguhe, bukuh muka lir konjem ing siti, langkung denira jrih, ngandika Sang Prabu. 9. Marma sira kakang sun timbali, marang ngarsaningong, ingsun duta mentara den age, angupayaa mahwis putih, bisa baseng jalmi, poma den katemu. 10. Poma kakang aja mulih-mulih, den acekoh-regoh, lamun nora katemu manuke, mau saba aneng Tamansari, Ni Putri menangi, cinekel umabur. 373 PNRI
11. Karya rudatine Nini Putri, anggujeg maringong, malah dadi asru pamulare, poma sira mentara tumuli, Ki Patih wotsari, sandika turipun. 12. Sigra medal Sang Anindyamantri, sapraptaning wiyos, samengkana pangunandikane, ingsun wetara atmaja mami, kang asaba maring, jroning tamansantun. 13. Wangwang mantuk ing wisma wus prapti, Ki Patih wus lunggoh, rabinira mara Ion ature, punapantuk ulun nungsung warti, dingaren kiyai, ngandikan malebu. 14. Wonten punapa ing dalem puri, kakung lingnya alon, sumarmengsun ingandikan dene, dinuteng Sri ngrurah Mliwis putih, bisa baseng jalmi, Sang Putri kang mundhut. 15. Malah dadi tangise Sang Putri, Ni Patih miraos, mila Sang Dyah wikan ing warnane, mring cakarwa bisa baseng jalmi, kapanggih ing pundi, Ki Patih amuwus. 16. Sang putri siram ing Tamansari, ing wayah sadhawoh, Cakarwa pinanggyeng udyanane, cinekel ing pra inya tan keni, 374 PNRI
umiber tumuli, Sang Dyah keri muwun. 17. Ingsun duga kadi nora sisip, yen atmajaningong, ingkang saba marang udyanane, angulata den kongsi mati, mangsa tuka mliwis, kang bisa amuwus. 18. Mung putranira aneh pribadi, mangsanaa roro, pelak warnane anyugihake, Nyai Patih waspanira mijil, anggaijiteng ati, tan wande sutengsun. 19. Pinundhuta ing Srinarapati, paran Polahingong, Kyai Patih Ion pangandikane, pageneya sira nyai nangis, pupusen ing ati, karsane Dewa gung. 20. Nadyan patinira lawan mami, pinundhut ing Katong, yekti sami sinumanggakake, ratu sesilihing batharadi, ila-ila prapti, wong lengganeng Ratu. 21. Lah keriya babo aja nangis, lunga dhewe ingong, amarani atmajanta mrene, mentar Kyapatih Jeksanegari, marang Wanasari, kuneng kang winuwus. 22. Jaka Gedhug lan Sang malih warni, 375 PNRI
alungguh karongron, Jaka Gedhug alon ing ature, dika wingi kakangmas mring pundi, adangu tan prapti, meh anangis ulun. 23. Risang malih warna anauri, aleledhang ingong, marang taman kepranggul kang duwe, Sang Putri arsa siram mring beji, tuhu yu linuwih, putrine Sang Prabu. 24. Bener tuturmu tan ana sisip, warnane Sang Sinom, raga kerana sedheng dedege, nora larang yen tohana pati, cacade sawiji, asugih pepisuh. 25. Ingsun wingi den beburu yayi, dening para sinom, binutuhaken marang wong akeh, malebu ing tirta den langeni, meh kabutuh mami, miber banjur mantuk. 26. Jaka Gedhug gegetun ing ati, awecana alon, adhuh kakang dene katujone, datan kena marase kang ati, yen den piranteni, yen kena ing pulut. 27. Kaya paran solahingsun keri, eca gun em raos, kesaru Kyana Patih praptane, aneng latar sigra melayoni, 376 PNRI
mring Sang malih warni, agupuh sinambut. 28. Adhuh putraningsun Ki Mahwis, wode driyaningong, Sang malih warna alon wuwuse, wonten punapa andika mijil, baya den runtiki, ing gusti Sang Prabu. 29. Kyai Patih alon anauri, marmane ngong miyos, tan dinukan manira yektine, dinuta marang Srinarapati, ngupaya Mahwis, ingkang warna pingul. 30. Sarta bisa ngucap baseng jalmi, putrane Sang Katong, ingkang mundhut asanget brangtane, purwanira inguni udani, awit kang Mahwis, sabeng Tamansantun. 31. Malah cinekel mabur tan keni, timbalan Sang Katong, ingsun tan kahlan muleh-muleh, lamun nora katemu Mahwis, kang sabeng udyani, lah paran karsamu. 32. Muhung sira sun wawrat ing budi, bisa apa ingong, dadi Patih sangking sira angger, ingsun darma kewala nglampahi, mengko manggih kardi, kang luwih pakewuh. 377 PNRI
33. Lamun sira tan bisa ngulari, pundhutaning Katong, lah payo minggat sing jaman kene, mangsa wurunga ingsun pinatin, dening Sribupati, yen nora katemu. 34 Maliwis kang bisa baseng jalmi, pasthi sun kinethok, Sang malih warna angles manahe, mulad sudarmanira prihatin, dadya wecana ris, den rereh ing kayun. 35. Pened-penede padha pinikir, aywa ge ambolos, de kang saba ing Taman sarine, inggih kula kapranggul Sang Putri, sasolahira ngling, tinutur lir madu.
378 PNRI
25. DHANDHANGGULA 1. Sang malih warna umatur aris, kawula ingkang karya dosa, lah aturna prayogane, suka-lila wakingsun, pinejahan dening Narpati, Ki Gedhug asru mojar, paran polahingsun, kakang pisah lawan dika, nedha minggat sangking tanah Bojanagri, Ki Apatih karuna. 2. Tan winarna solahing prihatin, Kyana Patih wus maluyeng praja, ambekta Maliwis puteh, tan kawarna ing ngenu, prapteng wismanira apanggih, lan rabi nyai Patya, lara-lara muwus, rinangkul Sang malih warna, adhuh amung sira tuntunge tyas mami, kadi geningsun yoga. 3. Kaya paran solah ingsun gusti, yen estuwa pisah lawan sira, Sang malih warna delinge, nyai sampun amuwun, wus kersaning bethara luwih, kinarya lelampahan, mangke raganingsun, kendel denira karuna, atmajane pinangku Sang malih warni, tansah kinuswa-kuswa. 379 PNRI
4. Ki Apatih wisata anangkil, lan rabine enggal lampahira, kandheg ing sripengantine, sigra awehng atur, tinimbalan manjing jro puri, prapteng byantara nata, alenggah mabukuh, Srinaranata ngandika, kakang Patih kaya-kaya oleh kardi, dene ta enggal prapta. 5. Rekyana Pa.tih matur wotsari, abdi dalem anuwun deduka, sing dahat kalimutane, pepundhutan pukulun, nenggih peksi Maliwis putih, kawula sampun gadhah, lami amba ngingu, kelamun kangge sumangga, bilih tan kinarsan ulun ngrurah mahh, ngandika Srinarendra. 6. Yekti kanggo yen Maliwis putih, ingkang bisa ngucap baseng jalma, Ki Patih alon ature, inggih saged rumuhun, kala wonten ing wisma patik, nuwun duka Narendra, wonten jro kedhatun, Narendra dede sesama, wontenipun ing ngarsa Paduka Aji, menawi jrih micara. 7. Angandika aris Sribupati, heh Sebetan sira timbalana, si kakang Patih rabine, lan Maliwise gupuh, kang dinuta wisata mijil, Ni Patih nulya prapta, 380 PNRI
ngarsane Sang Prabu, sarwi angemban cakarwa, srinarendra kacaryan denya ningali, marang Sang malih warna. 8. Dene wulune seta mrakati, netranira mancur hr mutyara, Sang Nata ris andikane, sarya mesem Sang Prabu, lah bagea Mahwis putih, matur Sang sinambrama, Dewaji anuwun, kalangkung kalinggamurda, sih Paduka kacancang ing jambul mami, kang dhawuh pun cakarwa. 9. Srinarendra kakenan miyarsi, ucaping cakarwa kadi jalma, wangwang malih andikane, sireku ingsun pundhut, ngong dunungken sajroning puri, lah paran aturira, dene karsaningsun, aywa sira taha-taha, neng jro puri cakarwa umatur raris, Dewaji tur kawula. 10. Sampun kirang pangaksama Aji, pun mahwis meksih dahat dama, tan wrin dugi prayogine, kawula meksih dhusun, dereng wikan ing tata-krami, mesem Sang Srinarendra, angandika arum, Mahwis ingsun atanya, lah ing ngendi negaranira ing nguni, dene bisa wecana. 381 PNRI
11. Sang Cakarwa matur ngasih-asih, dhuh Dewaji kawula punika, nguni ameng-amengane, putra paduka Prabu, Srinarendra ing Mlawapati Maraja Anglingdarma, marminipun ulun, wonten ing Bojanegara, angulari gusti kawula Sang Aji, anis anilar praja. 12. Srinarendra angandika aris, apa karane Raja Nglingdarma, anis atilar prajane, dene ratu dibya nung, wijayeng prangkuncara sekti, abala para raja, Sang Maliwis matur, pukulun putra paduka, Sri Nglingdarma marma nis tilar nagari, wit kapugutan trisna. 13. Garwanira seda lebu geni, Raja Nglingdarma langkung sungkawa, tan betah nandhang wirage, dadya anis ing dalu, sampun lami ulun ulari, ngelayajajah desa, myang praja tan pangguh, mila kesasar kawula, aneng praja paduka ing Bojanagri, byatning trisna kawula. 14. Raja Darmawasesa ngling malih, kaya yen anak Prabu asiha, marang peksi Cakarwane, sasolahe weh yungyun, ingsun lagi kepanggih wingking, 382 PNRI
kalangkung trisnaningwang, ngandika sang Prabu, mring Patih sira muliha, den pracaya cakarwa aneng jro puri, kang liningan manembah. 15. Wangwang mijil Rekyana Apatih, sangking pura lawan rabinira, samarga adres waspane, angandika Sang Prabu, heh Sebetan timbalana glis, sutengsun nimas rara, kang kinon agupuh, manembah asigra-sigra, kawarnaa Sang Putri tan kena lilih, brangtanireng cakarwa. 16. Wus alami tajin dhahar guling, amung Sang Maliwis kang kadriya, kapirangu sasolahe, sira Sang dewaning rum, lagya lenggah ing made-rukmi, ingayap de pawongan, andher aneng ngayun, tan adoh pra emban inya lagi eca imbal wacana Sang Putri, kesaru duta prapta. 17. Ken Sebetan manembah turnya ris, gusti Paduka ngandikan enggal, de rama Paduka Rajeng. agepah kusumayu, mentar arsa marek ing Aji, ingiring de pra kenya, upacara ngayun, lir pendah Dewi Supraba, arsa marek ing ngarseng Ywang Surapati, praptaning byantarendra. 383 PNRI
18. Sang Juwita mendhak awotsari, asungkemi padanireng rama, Sang Dyah kinusweng embune, dhuh Nini putraningsun, marma sira ingsun timbali, manirarsa pepoyan, yen samene manuk, ingkang sira jaluk prapta, si Maliwis putih ulese prakati, tur bisa baseng jalma. 19. Sira tengerana kang Maliwis, apa iku kang saba ing taman, Sang Dyah awas paningale, kamantyan sukeng kalbu, alon matur ing Sribupati, inggih-inggih punika, kang kawula burn, yata sigra pinarasan, dening sira Sang Retna Ambarawati, jiniwit pupunira. 20. Sarya ngandika Sang lir apsari, dene sira ludhes kudu kena, cengenges katemu kene, kalane ingsun buru, mibur muluk marang wiyati, tan atolih maringwang, marase tyasingsun, menawa banjur mring alas, lah sun temu kuwuk sira neng jro puri, sun bekuk gulunira. 21. Suka gumujeng Srinarapati, angandika marang sang cakarwa, sira ingsun paringake, marang atmajaningsun, nini putri Ambarawati, matur Sang malih warna, 384 PNRI
Dewaji anuwun, kawula atadhah duka, datan saged angabdi priyagung estri, Sang Nata angandika. 22. Ya pagene sira ta Maliwis, nora gelem marang putraningwang, Sang Malih warna ature, mila anuwun bendu, watekipun priyagung estri, kirang ing pangaksama, asugih pepisuh, kamuktene tan pintena, boten wande kawula minggat sing puri, temah dados deduka. 23. Mesem ngandika Sang Raja Putri, ngadi-adi temen sira si Cakarwa, karuwan apa yen sugeh, pepisuh awakingsun, nuli sira nenacad dhingin, matur Sang malih warna, lawan malihipun, ulun jrih dhateng pun inya, kalanira neng taman angincih sami, dhateng badan kawula. 24. Sang dyah ayu angandika sarwi, ngelus-elus Sang malih warna, sira kekasih ngong dhewe, aja kakehan padu, temah pegel rasaning ati, sakelare wong dama, sira ingsun ugung, aja sira minggat-minggat, lamun sira lunga ngong keri anangis, tan ana kanthiningwang.
385 PNRI
26. K I N A N T H I
1. Saksana binekta kundur, mring kaputren Sang Maliwis, pinondhong marang Sang Retna, para pawongan umiring, sadaya suka ing driya, umiyat gusti sang putri. 2. Tan adangu lampahipun, ing kaputren sampun prapti, sakamantyan kinasihan, sira Sang Maliwis putih, dening Sang Retnapura, tansah sinandhing alinggih. 3. Tan pegat ingelus-elus, sira Sang Maliwis putih, binonyo ing gandawida, wulune akongsi kuning, linisahan jejebadan, kesturi amrik awangi. 4. Cakarwa tansah pinangku, denira Sang Rajaputri, sinungan amik-amikan, woh-wohan kang manis-manis, datatitinen wus lama, Sang Maliwis nengjro puri. 5. Kawarna Sang dewaning rum, pinarak sajroning panti, wus surup Sang Hyang Aruna, 386 PNRI
parekan samya sumiwi, sedaya suka tumingal, dhateng Sang Maliwis putih, 6. Sapolahira acucut, bok Inya micareng ati, baya ta wong tapa salah, anitis dadi maliwis, mojar Sang amalih warna, marang sagung para estri. 7. Nyai nedha ala nganggur, cecangkriman lawan mami, sumaur inya Jelamprang, apa tohira Maliwis, dene apeksa prawira, tambelek amungsuh jalmi. 8. Apa tohira maringsun, yen kalah ingsun bubuti, lah badhenen Sang Cakarwa, wite dhakah wohe dhikih, wit adhikih wohe dhakah, mara badhenen tumuli. 9. Lamun sisip pembadhemu, elarmu ingsun bubuti, mojar Sang amalih warna, sarya mesem jroning ati, den aririh nya-inya, ambubuti elar mami. 10. Sang Maliwis putih muwus, wit adhakah wohe dhikih, nyai pembatang manira, punika uga Waringin, uwite ageng kaliwat, uwohe acilik-cilik. 387 PNRI
11. Ingkang dhikih uwitipun, wohe dhakah iku nyai, manira batang Semangka, dene witipun acilik, agedhe-gedhe wohira, punika pambedhe mami. 12. Ni Jelamprang tan amuwus, ing rasa wirang ing ati, yen angucapa ing nala, aja wediya ing gusti, sun bekuk gulune modar, si Maliwis manas ati. 13. Nyai Jelamprang amuwus, heh sakehe para nyai, payo padha cangkriman, kinarubut si Maliwis, lamun kalah binubutan, wulune di kongsi enting. 14. Ni Jelamprang asru muwus, mara badhenen Maliwis, ana tangis kawlasarsa, aneng pangkon angrerintih, sesambate tan karuwan, dudu tangis lare cilik. 15. Meneng denya nangis turu, kepati tan obah osik, lah mara sira badhea, mesem ing tyas Sang Maliwis, bok inya puniku rebab, tumuli mari anangis. 16. Cakarwa malih amuwus, lah andika badhe nyai, ana tangis minta lara, lamun dalu angrerintih, 388 PNRI
yen wus prapta laranira, tumuli mari anangis. 17. Lan malih cangkrimaningsun, ana boja sangking medi, sinawang srananing pangan, lah daweg andika cupi, tumungkul inya Jelamprang, yata Sang Mahwis putih 18. Aneng ngarsane Sang Ayu, suka sarwi asesirik, ambedhodhog wulunira, ngerang-erang denira ngling, dhuh berondhol elaringwang, keri guna den bubuti. 19. Senadyan manuka ingsun, dudu manuk saba rawi, pan dudu manuk urakan, yen kalaha awak mami, ngadu semu lan wanita, tanpa gawe aneng puri. 20. Mesem ngandika Sang Ayu, bener si Mahwis putih, lah ta mara mara biyang, sira badhea tumuli, tur sembah kang sinung ujar, alah inggih mangke gusti. 21. Inya Jelamprang amuwus, kang anangis angrerintih, gareng pembadhe manira, ana pangan sangking saht, rase pembadhe manira, lah kalah sira Mahwis. 389 PNRI
22. Sang malih warna amuwus, adhuh putung gulu mami, binekuk marang bok inya, angandika Sang lir Ratih, biyang inya keri guna, lagi tumon sira iki. 23. Manungsa kalah lan manuk, lah Cakarwa sun pribadi, ambadhe cangkrimanira, kebadhe tohmu punapi, matur Sang Maliwis seta, mung badan kawula gusti. 24. Lamun kebadhea estu, kawula dadosa abdi, paduka ingkang darbea, ing badan kawula gusti, Sang lir apsari ngandika, ana pangan sangking silit. 25. Kemlandhingan ingkang tamtu, sawange sengka ing silit, kinjeng kejaring ing sawang, iku kang minangka bukti, ana tangis minta lara, pembatang ngong pitik cilik. 26. Lamun durung duwe wulu, saben dalu piyak-piyik, yen uwis elare pepak, mari denya piyak-piyik, matur Sang Maliwis pethak, inggih leres kusuma di. 27. Sang Dyah angandika arum, sun tanya Maliwis putih, ngendi angsalmu ing kuna, kang tinanya matur aris, 390 PNRI
sangking Negari Melawa, ameng-amengan Narpati. 28. Ing Mlawapati Sang Prabu, ajejuluk Anglingdarmi, alami tilar negara, punika ulun ulati, wus lami datan kepanggya, nguni Sang Srinarapati. 29. Sihipun kelangkung-langkung, dhumateng kawula gusti, lamun kawula anendra, para garwa kang ngemuli, yen siyang tinunggil dhahar, kalamun miyos tinangkil. 30. Ing mantri punggawa agung, pinarak ing dhampar gadhing, tumut alinggih kawula, mila tur kawula mangkin, mring Paduka Kusumeng Dyah, yen kuwawi animbangi. 31. Angugung kadya Sang Prabu, kawula tulus angabdi, lamun datan kelampahan, amit pun Maliwis putih, ngulari gusti Sang Nata, kang anis sangking negari. 32. Nadyan maliwisa ulun, boten doyan wader pari, Sang Putri alon ngandika, ithik-ithik nuli pamit, sumakeyan kang dinama, bok aja angadi-adi. 391 PNRI
33. Apa ingkang sira jaluk, yekti ingsun minangkani, nanging aja sira cidra, angawula marang mami, umatur Sang malih Warna, inggih sandika Mas Gusti. 34. Ngandika malih Sang Ayu, gustimu Srinarapati, apa bisa amemaca, lan apa bisa anggendhing, umatur Maliwis seta, rakanta Srinarapati. 35. Ing saliring sastra putus, wignya ukaraning gendhing, kidung kekawi pralambang, swara rum manis agilig, kalane Srinaranata, amaca kathah wong brangti. 36. Mesem ngandika Sang Ayu, pantes temen si Maliwis, yen angalem ing gustinya, matane kongsi mendelik, gumujeng Sang malih warna, ngandika malih Sang Putri. 37. Gustinira Sang Aprabu, layang apa den dhemeni, umatur ingkang tinanyan, serat Ramayana gusti, kalane Sang Ragotama, pengantyan lan Sinta Dewi. 38. Putri Manthilidiija nung, Raja Janaka kang siwi, tembangipun Maduretna, pinirsa anggarit-arit, 392 PNRI
yen nyekar Gandakusuma, kathah estri memanisi. 39. Pawongan kathah kayungyun, sanget anahen ing brangti, weneh wonten ngrangkul saka, gumujeng Rahaden Dewi, Maliwis ngura-uraa, tirunen Gustimu Aji. 40. Inggih sandika turipun, sira Sang Maliwis putih, sigra lekas ngura-ura, rerepi sekar Pamijil, swara rum lir guladrawa, kakenan Sang Rajaputri. 41. Kadi pejaha alungguh, trenyuhing driya sru kingkin, sariranira marlupa, swanitanira dres mijil, ketang Raja Anglingdarma, tinutur anom apekik.
393 PNRI
27. S I N O M
1. Kacatur sampun alama, sira Sang Maliwis putih, wonten ing Bojanegara, langkung sihira Sang Putri, marang Maliwis putih, supe dhateng rama-ibu, kasengsem ing cakarwa, tan kena sah siyang-ratri, lamun sare maliwis ana ing dagan. 2. Yen dhahar tinunggil ajang, ngandika Sang liring sari, Maliwis ingsun atanya, apa karane inguni, gustimu Sribupati, lunga tilar prajanipun, Maraja Anglingdarma, matur Sang Maliwis putih, milanipun Gusti atilar nagara. 3. Margi kapegatan trisna, tinilar ing prameswari, seda alebu tumangan, wasta Dewi Setyawati, sanget liwung Sang Aji, sangking ayune kang lampus, punjul ing para garwa, ngandika Sang ruming sari, buh akale ratu atilar nagara. 4. Kalebu Narendra nistha, akarya susahing dasih, 394 PNRI
tinilar ing garwanira, jamake arabi malih, kurang apa Narpati, Maliwis putih umatur, dhomas gunge pra kenya, para pepingitan selir, tur sedaya sami putri ayu endah. 5. Nanging tan wonten kaetang, meksa nis tilar nagari, inggih watawis kawula, inguni wontena mirip, kadi Paduka gusti, yekti tan kongsi anglangut, atilar purantara, ngandika Sang kadi Ratih, embuh-embuh cakarwa sira wicara.
6. Dene teka anglengkara, dadiya tetamba brangti, kaya paran ingkang warna, garwa kang alebu geni, matur Maliwis putih, lir Kresna kelawan Wisnu, gusti Ken Dewi Setya, lan paduka tunggil warni, angandika kusumeng Bojanegara. 7. Lawan gustimu Sang Nata, apa warnane asigid, apa anom apa tuwa, matur Sang Cakarwa putih, langkung dene apekik, yuswane selawe taun, Sang Dyah aris ngandika, meh padha kelawan mami, umuringsun wis ana wolulas warsa. 395 PNRI
8. Umatur Cakarwa seta, nadyan kathaha para Ji, kang kongkulan ing akasa, kang kasangga ing pratiwi, mangsa wontena mirib, gusti kawula Sang Prabu, Maraja Anglingdarma, dibya nung prawireng westhi, wirotama mardawa beg santa-budya. 9. Tur asekti mandraguna, pilih tandhing ing ajurit, angreh para raja-raja, ambeg kasudarman adil, paramarta ing dasih, ketarta saliring kawruh, myang wasis ing asmara, alisetya tanpa tandhing, trahing tapa dhasar rembesing kusuma. 10. Benjang yen Paduka krama, amiliha kakung gusti, kang kalebet ing saloka, kawan prakawis puniki, dhihin satriya kadi, retna kaping kalihipun, ingkang kadi kukila, punika yogya pinihh, kaping tiga satriya kadi curiga. 11. Jangkep kaping sekawan, satriya ingkang pinihh, gusti kang kadi wanita, ngandika sang lir apsari, artenana Mahwis, siji-sijine hripun, matur kang inujaran, tegese kukila peksi, peksi siyang ingkang kinarya upama. 396 PNRI
12. Abagus saged micara, punika liripun malih, satriya kadi wanita, kang luwes alus ing budi, lire curiga gusti, ingkang sae dhapuripun, kang manggon tangguhira, satriya kadi retnadi, ingkang wening driyane budi santosa. 13. Gumujeng Retno Srenggana, my arsa ature Maliwis, dene ta kaya jejanggan, pituture mambu ati, Cakarwa matur malih, gusti kawula Sang Prabu, Anglingdarma kang musna, punika ingkang netepi, sacethane saloka kawan prakara. 14. Narendra bagus jatmika, luwes ing tanaga manis, tanduking wicara marta, lepas ing graita lantip, sura manggaleng jurit, tur asae dhapuripun, trailing andana-tirta, bapa raja ibu sori, eyang binagawan paman sinangarya. 15. Winong ing para jawata, kekasihing dewa luwih, milane para wanodya, samya sih kepati-pati, angandika Sang Putri, layak silih sira gunggung, ujar bendaranira, marma kerep den rasani, buh akale Ratu atilar nagara. 397 PNRI
16. Matur malih Sang Cakarwa, dhuh gusti sekaring puri, benjang yen Paduka krama, ywa arsa wong andhap-alit, watake sok basiwit, lan sampun arsa wong punuk, watake butarepan, sogol sugal lamun angling, budi kasap wus kacetha aneng pundhak. 17. Gumujeng Kusuma rara, ginendeng maliwis putih, dhuh luwes payo anendra, pan sira kekasih mami, aja doh sira kemit, ing dagan nulya Sang Ayu, minggah mring pasareyan ngandika Sang kadi Ratih, nguni gustinira Sang Nateng Melawa 18. Yen dalu apa karyanya, umatur Maliwis putih, angura-gita srengkara, ngandika malih Sang Putri, lah ta mara maliwis, sira anembanga kidung, tirunen gustinira, dimen ingsun aglis guling, tur sandika cakarwa angura-gita. 19. Swara rum lir guladrawa, kasmaran ing tyas Sang Putri, marlupa datanpa jiwa, myarsa swaraning Maliwis, tan raga-raga peksi, pesaja luwes ing tembung, lajeng acecarita, lelampahan mayat miring, amelas-asih memalat asmareng driya. 398 PNRI
20. Sang putri Bojanegara, aniba ing tilam-sari, tanbuh rasaning tyasira, yen angucap Sang Dewi, mendah Srinarapati, wignyane marang kekidung, kekawi baya limpat, kekasihe bae iki, acarita teka bisa ngalap jiwa. 21. Wangwang Dyah kepati nendra, sanget arip wus alami, tan angsal dhahar anendra, labet kandhuhan wiyadi, wantune dahat arip, supe kawiranganipun, klungsur kang kasemekan, pembayun katon sepalih, menthek-menthek asawang maja kancana. 22. Sang malih warna umiyat, kadi pejah tanpa kanin, panglocitaning wardaya, paran polahingsun iki, yen awet aningali, mundhak amanas ing kalbu, angur sun sasaban, dimene ngong aglis guling, risaksana cinocor kang kasemekan. 23. Sangking gumregeding driya, mulat ingkang menis-menis, ginigit panunggulira, kagyat awungu Sang Dewi, ngandika heh Maliwis, aja sira ganggu-ganggu, ingsun lagi anendra, karipan aja nocori, Sang Maliwis pethak alon aturira. 399 PNRI
24. Dhuh gusti boten anedya, kawula wau salisik, tan wruh nucuk kasemekan, boten katemaha yekti, ulun punika peksi, minta aksama pukulun, menawi boten angsal, kawula anuwun pamit, angulari Gusti Raja Anglingdarma. 25. Retna Srenggana ngandika, gawok-gawoke kang ati, ithik-ithik pamitan, bok aja angadi-adi, ing sakuwasa mami, Maliwis sira sun ugung, lawan sun ela-ela, duk apa ingsun runtiki, alah uwis baliya malih mring dagan. 26. Lah iya ingsun apura, maliwis kekasih mami, sun iya arsa anendra, aja sira nocor penthil, mengkarak awak mami, aja sira ganggu-ganggu, balik ta andhekema, ing daganingsun prayogi, ngrerepiya gita anembang pamedal.
400 PNRI
28. MIJIL
1. Sang Dyah asare naga kapuntir, arespati tinon, asta kiwa ngreksa kagungane, kang tengen ngreksa pembayun kalih, rakite aguling, prayoga tiniru. 2. Angura-gita Maliwis putih, ing tembang pamiyos, sang dyah ayu sakeca asare, den uyun-uyun ing kidung kawi, wor sabda malatsih, Sang Maliwis baut. 3. Sang Juwita kepati aguling, sinjange kalongsor, wentis kengis lir thathit gebyare, kadi mayang mekar suganda mrik, kang awarna peksi, menggah-menggah ngadhuh. 4. Sapa silih bisa aningali, maring kang mancorong, angur uga ingsun sasabune, Sang Maliwis agya nucuk tapih, arsa den sasabi, wentise sang ayu. 5. Kagyat wungu anggagapi tapih, sarya ngling Sang Sinom, heh Maliwis apa ta mulane, 401 PNRI
ganggu anocori tapih, saya mejanani, solahe sun ugung. 6. Kaya wuru genje si maliwis, lingnya kang sesendhon, nuwun duka gusti gegebale, tan kajarang ulun tadhah runtik, atur pati urip, kawula ngrempelu. 7. Katingal solak duk aneng rawi, lelangen nenocor, ganggeng lelumut lawan terate, kadrawasan wantune angimpi, dadya nocor tapih, anuwun bebendu. 8. Yen tan ingapura kawula mit, angrurah Sang Katong, Anglingdarma mring pundi parane, mesem ngandika Sang Raja-putri, pegele kang ati, ithik-ithik mutung. 9. Nora kena den aruh-aruhi, nulya rep ambolos, kinarya ojat temen gustine, kang wis murut atilar nagari, lamun sira arip, bok iyaa turu. 10. Sang malih warna umatur aris, dhuh gusti Sang Sinom, ulun mandyarip tan angsal sare, awak kawula kalangkung atis, mesem Sang Sudewi, amicareng kalbu. 402 . PNRI
11. Iya ingsun dhewe ingkang lali, mring kekasih ingong, Sang Dyah tumedhak nyendhal Kampuhe, bathik sawat jalengut sumampir, gandane mrik wangi, kinemulken sampun. 12. Alah uwis turuwa maliwis, sun kemuli dodot, aja sira guramah-gurameh, ngaget-ageti goningsun guling, ujarira arip, wis turuwa mujung. 13. Kinemulan kampuh sang maliwis, tan anggop cinocor, amung kalih panginang suwene, kampuh sawat ajur ting saluwir, asru den cakari, ngandika sang ayu. 14. Ujarmu arip dene tan guling, maliwis turnya Ion, kampuh punapa punika angger, dene gatelipun anglangkungi, Sang Dyah ngandika ris, apik kumalungkung. 15. Mendahane kang aduwe dhingin, apike Sang Katong, ingon-ingone kaya mangkene, apike akanthi ngadi-adi, matur Sang Maliwis, paran bangkit turu. 16. Kampuhipun gatel angrumabi, lingira Sang Sinom, sira matura Maliwis putih, 403 PNRI
kampuh apa kang sira karepi, ya ingsun turuti, Sang Maliwis matur. 17. Lamun angsal panuwune dasih, tan yun kemul dodod, sasaban ing kasemekan bae, ingkang adhasar jingga tinepi, Sang Dyah ngandika ris, mareneya gupuh. 18. Mahwis putih ingsun kemuli, kasemekan ingong, iya sira kekasihku dhewe, Sang Dyah medal kasemekan ngambil, kang jingga sumampir, Cakarwa umatur. 19. Aksamanta kawula tan apti, ngandika Sang Sinom, jarik apa sira karepake, ujarmu kemben jingga tinepi, anyar mentas dadi, durung kanggo iku. 20. Pantese iku tan anggadhigi, dene durung kanggo, Sang malih warna alus wuwuse, jarik anyar wateke ngrumabi, adate rumiyin, yen kawula kemul. 21. Tan lyan kekembene prawan sunthi, ingkang meksih kanggo, nadyan ciut keraos angete, lumreng wanda anerus ing ati, ulun nuwun runtik, dahat kamipurun. 404 PNRI
22. Angandika ris Amindha sari, ya kekasih ingong, marenea ingsun kemulane, sira sun sawang kudu memirik, Sang amalih warni, mring ngarsa suminthul. 23. Arsa umatur angasih-asih, dhuh murtining sinom, nuwun duka gusti gegebale, sok anglindur rongeh anyakari, ngandika Sang Dewi, ya kekasih ingsun. 24. Nadyan nglindura ingsun alimi, nging aja nenocor, mara turuwa sandhingku kene, ingsun kemuli kekemben mami, beda apa jarik, kemben karo kampuh. 25. Alon matur Sang Cakarwa putih, kelangkung aseos, kampuh lawan kasemekan angger, nadyan ciyut ulun kalosodi, anget trusing ati, kang kagyeng dewa rum. 26. Nadyan samiya kekemben gusti, yen kawula anggo, dhewe yekti asanget atise, lamun satunggil sewang lan gusti, anget maradini, ngling kusumaning rum. 27. Simaliwis sangkin ngadi-adi, kekemben sun anggo, kang jinaluk apa ta bedane, bok iyaa singa ingkang jarik, 405 PNRI
Sang amalih warni, saksana aturu. 28. Nanging Sang Maliwis api-api, mung Sang liring sinom, kang kacipta aneng jro nalane, unandikanira Sang Maliwis, sareya tumuli, Sang Dewaning ayu. 29. Sang Juwita aneng kulon guling, Cakarwa seta wor, aneng wetaning guling prenahe, langkung prayitna Sang kadi sari, marma ngati-ati, dene sok anglindur. 30. Retna Dewi angandika aris, Maliwis ing mangko, aja nunggang guling aneng kene, ingsun j engkangake sira yekti, api-api nglilir, Sang Maliwis matur. 31. Inggih mangsa kajaraga gusti, lamun watak ingong, lamun tilem anglindur luwange, yekti minta aksamaning gusti, kawula ing nguni, sapisan anglindur. 32. Aneng Melawa ginugah dening, ingkang para sinom, garwanira Sri Anglingdarmane, agring tigang warsa meh ngemasi, Sang Srinarapati, dukane kelangkung. 33. Duk semana kusumaning puri, gumuling kepatos, 406 PNRI
kadya ketaman ing sesirepe, gelung lukar gandanira amrik, Sang amalih warni, tyasira suh rempu. 34. Mulat ing rengat-rengating lathi, wajane sumorot, amantesi owah pepilise, wedananira asawang sasi, kang warna maliwis, amicareng kalbu. 35. iki si wong ayu merak-ati, kuninge mencorong, amantese lawan lelawane, baya iki panukmaning Ratih, bisa aweh kingkin, angrerujit kalbu. 36. Asayud driya Sang malih warni, swuh tyasira kepon, tan derana sah sangkin enggene, anungkemi sasela-selaning, pembayun kekalih, geguling kapungkur. 37. Kemben pinancal malesat tebih, wangwang nocor sinom, selane pembayun pandhekeme, liniling-liling panguswa weni, ciptanireng galih, lir amanggih madu.
407 PNRI
29. DHANDHANGGULA
1. Sang dyah ayu denira aguling, datan enget ing purwa duksina, cinocor-cocor lathine, wradin badan sakojur, sinalusur den osak-asik, suweng panata-brata, malah kongsi runtuh, cakarwa anocor grana, Sang Retna yu kagyad wungu wangwang linggih, sinipi dukanira. 2. Sumung-sumung ngandika aruntik, baya sira anginum weragang, sakama-kama polahe, mendem genje lan gadhung, baya sira kaworan bari, apa maliwis wiwal, teka angrerangkut, tinggal ebuk prajangjeyan, ya pagene ta sira ngliwati guling, anggepok wandaningwang. 3. Dumeh apa anocori kuping, pedhes lir den antupi kelabang, edan taun sira kuwe, pagene nocor irung, ambeganmu metu ing kuping, aranmu dudu jalma, polahmu ambesur, calunthangan nora prenah, teka wani anggepok sarira mami, 408 PNRI
korengkuh apanira. 4. Nambut patrem saksana tinarik, ingagagaken maring Cakarwa, sarya sru pangandikane, dhuh sun sudhet wadhukmu, lah metuwa sira den aglis, aja sandhing lan ingwang, ing jogan anggonmu, Sang malih warna tumedhak, maring jogan akekipu asalisik, wuwuse melas-arsa. 5. Gustiningsun baya marang ngendi, Anglingdarma Raja ing Melawa, binektaa kawulane, katuwane wakingsun, laraning wong asalin gusti, ngawula ing wanodya, kerenge kelangkung, nora duwe pangapura, emeh bae sun mati sinunduk keris, patrem braja sutiksna. 6. Lara temen rasane kang ati, katuwone wong salin bendara, kaya mengkene dadine, ing nguni raganingsun, nora nedya ngawuleng putri, ana ing Wanasekar, eca adhedhukuh, Sang Nateng Bojanegara, kaniaya ingsun pinundhut mring puri, wekasan pinaroga. 7. Gegebale sanget kawlas-asih, dhuh dhuh Gusti Raja Anglingdarma, baya mring ngendi parane, andikane rumuhun, 409 PNRI
dahat asih mring pun Maliwis, ing mangke kelampahan, tinilar anglangut, yen paduka sampun lena, binektaa gusti pun Maliwis putih, dewa banjuten ingwang. 8. Kusumayu sru angresing galih, amiyarsa wuwuse cakarwa, sinarungaken patreme, risaksana tumurun, amarani ing Sang Maliwis, rinasweng basa marta, sarseng ngelus-elus, alon pangandikanira, heh Cakarwa ywa sira sambat ing gusti, angres ati manira. 9. Dahat gawok-gawoka kang ati, ithik-ithik asambat bendara, kang anis tanbuh parane, baya wis ajur-mumur, bendaramu Srinarapati, Maraja Anglingdarma, kang langkung anglangut, peksine wus basah lungkrah, sun dukani geguyon nuli apurik, kadar sira wis apa. 10. Sang Cakarwa wuwuse mlas-asih, marma ulun medal maring jogan, amung sapala umure, wontena setan ganggu, patrem tiksna yekti mejahi, lamun sampun palastra, punapa pinadu, katuwone wong ngawula, menggah sisip sakedhik tan den maklumi, malah sru rinuntikan. 410 PNRI
11. Benjang raina kawula mit, saliring kalepatan kawula, den aksamaa nah angger, kularsa kesah nglangut, nusul Gusti Srinarapati, Anglingdarma Melawa, pejah-gesang tumut, Sang Putri maras ing driya, ngandika Ion sarwi ngrangkul Sang Maliwis, aku mangsa aweha. 12. Iya ingsun nora maning-maning, andukani mring sira cakarwa, aja lunga-lunga bae, wis kapok temen ingsun, nora mindho anyarengeni, lamun sira tilara, paran polahingsun, agawe rasaning driya, sun tetedha pinrepa ing suka sugih, sinaraba ing bagya. 13. Wus binekta Sang Maliwis putih, minggah umanjing ing pakasutan, Sang Putri ris andikane, mara turuweng kasur, ingsun apit-apit guling, lan sun ukub ing kembang, ingkang bantal sungsun, matur Sang Cakarwa seta, luwangipun duk aneng Melawapati, yen kawula anendra. 14. Srinarendra tan wani anangi, lamun kawula sampun anendra, yen dereng prapteng wangene, datan tangi setaun, yen kepareng agelis tangi, sapanginang kewala, 411 PNRI
geregah awungu, lamun kawula ginugah, kaged lajeng agring malah arsa mati, sanget apes kawula. 15. Duk kawula aneng Mlawapati, lamun lekas nendra kinebutan, dene pra garwa-garwane, sang putri ngandika rum, ingsun dhewe kang angebuti, nanging panjalukingwang, aja sok amutung, kukus gunung kinapakna, kendhal jeram kadereng-dereng wak mami, kuduasih mring sira. 16. Sang Cakarwa api-api guling, kongsi kulandaragni tumambang, Sang Putri kewran ing tyase, denira arsa mungu, miwah sampun kandhuhan brangti, marang Sri Anglingdarma, kasmaran ing kalbu, sangking pawarta kewala, dadya muhung bumi nateng Mlawapati, kang tumunjem ing nala. 17. Sang Juwita amicareng ati, kaya paran goningsun anggugah, Ki Maliwis lagi sare, sun oyog yen anjumbul, yekti temah apurik malih, arsa sun kelonana, adate ambesur, arsa sundeng kewala, bok karangkat runtuh atine melasi, ingsun ingkang kelangan. 412 PNRI
18. Lir wong kunjana-papa Sang Dewi, tansah angliring Cakarwa seta, Sang Dyah aris wecanane, Cakarwa yen sun dulu, wedanane mancur nelahi, mendah nateng Melawa, baya binabagus, Maliwis sira tangiya, wus raina sesaosira prapti, agung sira pangana. 19. Sang Cakarwa datan angulisik, eca denya api-api nendra, Sang Dyah tinon sasolahe, awunguwa den gupuh, sira Ki Mas Maliwis, ingsun arsa siram, marang taman-santun, ginugah nora ngendika, mendahane prabu ing Mlawapati, nalikane anendra. 20. Maliwise bae angluwihi, lembanira ginugah tan obah, Sang Retna pegel manahe, mengo sarwi alungguh, sangga uwang micareng ati, sama Nateng Melawa, dene ta anglangut, sijenat age praptaa, maring wismaningsun Si Maliwise putih, ginugaha priyangga. 21. Nora bisa temen awak mami, dhuh Sang Prabu ing Melawapatya, amomong mring kekasihe, angkuhe lir tumenggung, nora kena kaget sathithik, upama kelakona, 413 PNRI
kaged banjur mutung, apa kang ingsun tempuhna, tambuh polahira Ken Srengganawati, lir sata metaringan. 22. Sing liwunge tyas sabda kang mijil, asambat-sambat Sri Anglingdarma, dadya Sang Cakarwa pinge, pinindha Sang Aprabu, Sang Dyah ayu ngandika aris, pukulun awunguwa, mantri punggawa gung, wus andher neng purwasana, amiyosa siniwakeng para mantri, Cakarwa sru entyarsa. 23. Sigra jumeneng Risang Sudewi, api-api makundhah ing tilam, Sang Cakarwa sru kerdyate, dhuh angger milanipun, dhawah kenging punapa gusti, Sang Dyah aris ngandika, sumingep panonku, sumumpel rasaning driya, arsa amaoni sinjang ngong maliwis, kasarimpet ing wastra. 24. Sokur lamun waluya Mas Gusti, dados punapa lamun pepesa, kang buja mendah dukane, Sang Nata pasthi ulun, pinejahan dening Narpati, tiwas ambaureksa, Sang Dyah ngandika rum, sun arsa siram mring taman, sira ingsun gawa arsa ngong jamasi, aran kekasih ingwang. 414 PNRI
25. Ingsun dhewe ingkang ngujamasi, alon matur Sang Maliwis seta, datan lenggana abdine, nanging paminta ulun, sampun wonten wong kang udani, yen ngujamasi kula, aneng don kang brukut, Sang Dyah anggarjiteng nala, wus binopong Maliwis binekta mijil, sangking jro pasarean. 26. Angandika marang para nyai, ingsun biyang arsa marang taman, asiram saosa age, landha kelawan lulur, patelesan miwah pesalin, trnampa ing pawongan, umentar Sang Ayu, ginarebeg ing parekan, sang Maliwis seta ibere tan inggil, angungkuli Sang Retna. 27. Tan kawarna ing marga wus prapti, jroning taman Risang malih warna, tumuntur adoh enggone, lawan Sang Retnaningrum, wau Sang Retnaning puri, darbe botrawi wiyar, binata linuhung, kinubeng ing pager bata, korinira kupu-tarung ciri panji, anom kanthi kumuda.
415 PNRI
30. KINANTHI
1. Yen minep kadi angrangkul, kalamun menga kang kori, isthane lir hasemayan, Ken Dewi Srangganawati, prapteng jawining gapura, wus menga Sang Dyah umanjing. 2. Sang Maliwis putih tumut, tan kena sah lan Sang Putri, kori wus minep Sang Ratna, sangking jro aglis angunci, pawongan samya neng jaba, tan ana tumut sawiji. 3. Ana ngalor ana ngidul, weneh padha ngalap sari, ana ingkang apepetan, dhedhakon weneh cengguring, warnanen Kusuma Rara, kang siram aneng botrawi. 4. Ngandika Sang Murtiningrum, lah mara Maliwis putih, ingsun kujamas sira, umatur Sang malih warna, dhuh angger inggih sandika, yen gusti asih ing abdi. 5. Kukuncung paduka dudut, sampun taha-taha gusti, sang ayu sigra anyandhak, 416 PNRI
jambule maliwis putih, kinramasan sinurenan, roning tal kang mawi tulis. 6. Kang munggeng gelung kedaut, sirna rupaning maliwis, waluya warna manungsa, Sang Dyah anjenger tan angling, ciptane tan anumpena, mulat satriya apekik. 7. Lir Kamajaya anurun, semune anjetmikani, Sang Ayu micareng nala, iki satriya ing ngendi, aneng kene tanpa sangkan, alinggih neng ngarsa mami. 8. Kelawan kekasihipun, kang aran Maliwis putih, ilange tanpa karana, tanbuh solahe Sang Putri, arsa atetanya merang, rumaos lamun pawestri. 9. Sang Nata wikan ing semu, yen sang dyah merang ing galih, aris denira ngandika, dhuh gusti Sang lir apsari, suwawi kujamasana, baya ta andika pangling. 10. Adarbe dasih maringsun, kawula Maliwis putih, ambabar mulya manungsa, marga sangking Kusumadi, punapa sun walesena, dhumateng kusumeng puri. 417 PNRI
11. Madhema ping sapta durung, timbang wewalesing dasih, niaksih ugi kapotangan, atur kawula maskwari, selamining sun agesang, tulusa ingsun angabdi. 12. Sang Ayu dahat pamuwus, graitanira ing ati, apa temena sijenat, dadine maliwis putih, dene teka anglengkara, maliwis arupa jalmi. 13. Dadya ngandika Sang Ayu, tembe priksa lagi uning, maliwis dadi manungsa, sira pajara sayekti, apa ejim perayangan, apa dewa suranadi. 14. Lamun manungsa satuhu, ing wingking pundi negari, ing ngajeng pundi sineja, sinten kang pinudyeng krami, Sang inujaran lingira, ulun wong Melawapati. 15. Tan wonten sinedyeng kayun, kang sudi arsa mestani, Maharaja Anglingdarma, rumiyin jumeneng Aji, ing mangke kawelas-arsa, malih awarni maliwis. 16. Margi kawula tinenung, dening putrining raseksi, ing mangke kawula mulya, margi sangking kusumadi, 418 PNRI
Sang Dyah amicareng nala, tan linyok rasaning ati. 17. Duk meksih arupa manuk, pangrenahe ngleliwati, cilik nanging sugih akal, pengarahe miyatani, Sang Dyah sangsaya kagagas, brangtanira sampun lami. 18. Trenyuhing tyas myarsa wuwus, ira Sang Anglingdarmaji, sariranira marlupa, kusuma Srengganawati, wanodya sedheng diwasa, sinandhing satriya pekik. 19. Kamanisen ing pandulu, karoban ing sabda manis, lir pejah ing palenggahan, anyipta langening resmi, sakamantyan suka ing tyas, umatur Sang awotsari. 20. Lamun sembada ing kayun, kula matur ing rama Ji, kadi karenan ing nala, mangsa dukaa Bapa Ji, adarbe mantu andika, balik kaharsaning galih. 21. Raja Nglingdarma amuwus, dhuh mas mirah awak mami, tan kulineng praja, sinangsaya ing Dewadi, sun ing nguni sinupatan, dening Uma lawan Ratih. 419 PNRI
22. Winaleran wolung taun, tan kena ngambah negeri, yen sira trisna maringwang, yen sarta panudyeng kapti, siyang ngong warni cakarwa, yen dalu sun rupa jalmi, 23. Sang retna meneng tumungkul, emeng karoban ing kingkin, Sang Nata datan derana, sinambut Sang kadi sari, rinungrum ingaras-aras, kinidungan purwakanthi. 24. Dhuh gusti nayakaningrum, wong ayu respati manis, mrak-ati bisa tenaga, tenagane milangoni, kang ati sampun kejarah, kejarah ing ulat liring. 25. Liringira pait madu, madune sakehing liring, sari ingkang warna-warna, sataman sampun asepi, sepine sampun ngalempak, wus korup ing sira gusti. 26. Gusti kawula tur lampus, sumangga ing reh Sang Dewi, gusti geningsun ngawula, kawulane tadhah runtik, rerujiten raganingwang, Sang Ayu amiwal kapti. 27. Angaras atangkis gelung, layon mawur gandanya mrik, ingemban angayang-ayang, 420 PNRI
swanitanira dres mijil, sariranira marlupa, mari anggarut anjiwit. 28. Ngesah sambat rama-ibu, Sang Nata saya angremih, lir bremara nguswa sekar, marwaseng sari akincip, mamrih rembesing sarkara, sinawung sabda maladsih. 29. Dhuh angger Sang murtiningrum, dasihe ngelaya bumi, mider anjarah nagara, iya sira sun ulati, titise Ken Dewi Setya, sesotyeng Bojanegari. 30. Ingaras-aras sang ayu, munggeng tetirahing beji, lenggana yen kapranata, nata anayuti kapti, ri sampunira siram, asalin wastra Sang Dewi. 31. Dhuh gusti wangsulna gupuh, roning tal kang mawi tulis, dedimene raganingwang, wangsul arupa Maliwis, sang ayu matur manembah, bok sampun amalih warni. 32. Bosen myat Maliwis jambul, wus abagus dadi jalmi, suwawi marek ing Rama, kelamun duka Ramaji, kawula atalangjiwa, lingnya Sang Anglingdarmaji. 421 PNRI
33. Yen arupa jalma ingsun, nora awet andedasih, marang andika kusuma, yen ingsun rupa maliwis, awet atengga andika, tutuga ing pengabdi mami. 34. Lah mara yayi den gupuh, wangsulna ing gelung malih, roning tal kang mawi surat, ugeren lan rema mami, Srengganawati saksana, nyandhak rontal awotsari. 35. Kawula nuwun Sang Prabu, luputna ing tulah-sarik, kang tenung sampun pinasang, sakala warna maliwis, Sang Putri gawok ing nala, dhuh gustiningsun Kyai. 36. Senadyan arupa manuk, apantes dadi Narpati, pantes sineba ing wadya, cahyane mancur awening, nanging medane satunggal, manggung ngarah-arah pipi. 37. Retna Srenggana umatur, ing raka saha wotsari, kawula minta aksama, sisip kawula keh kedhik, Sang malih warna lingira, mirah aja pindho kardi. 38. Lah suwawi sami mantuk, sampun kasuwen neng beji, Sang Ayu sigra angemban, maliwis ginawa mijil, 422 PNRI
cethi parekan atarap, saos neng pipine kori, 39. Inya Jelamprang umatur, dhuh gusti sekaring puri, kawula ingkang angemban, kekasih dalem maliwis, Sang Putri aris ngandika, nora weh menawi purik. 40. Awit cepak nepsunipun, duk mau mentas abudi, biyang payudaraningwang, den sabeti ing suwiwi, alesu sariraningwang, sekar pamijil gumanti.
423 PNRI
31.MI J I L
1. Biyang inya payo padha mulih, mangkat para sinom, Sang Juwita aris ing lampahe, Mliwis seta ingemban pribadi, parekan bebisik, lawan rowangipun. 2. Bibekane apa karaneki, gusti Sang lir sinom, sru kasengsem mring Maliwis putih, malah supe marek ing Narpati, amung Sang Maliwis, syang-ratri pinangku. 3. Tan adangu ing kaputren prapti, Sang Ayu wus lunggoh, angandika heh biyang den age, yasa kambang pajangen tumuli, ingsun mengko bengi, arsa guling ngriku. 4. Anenedha mring dewa linuwih, mugiya wakingong, akramaa Narendra ing tembe, kang anom pekik alus ing budi, inya awotsari, mojar awor guyu. 5. Gustiningsun sedhenge birai, ayune kinaot, daweg amawiya krama angger, 424 PNRI
mesem angandika Sang awotsari, sun arsa semedi, aja na wong melu. 6. Miwah sagung parekan lan cethi, aja milu mring ngong, kabeh keriya neng dalem gedhe, ingsun sare ing kambang pribadi, inya para bibi, sandika turipun. 7. Yasa-kambang pinari-purna di, pinajang sri tinon, Hyang Aruna meh surup wayahe, wusnya anitih udayeng wukir, Sasangka gumanti, padhange sumunu. 8. Wus samekta pesareyan adi, ngandika Sang Sinom, heh Cakarwa amung sira dhewe, ingkang melu mring kambang akemit, Sang amalih warni, sandika turipun. 9. Wus tumedhak Ken Srengganawati, maliwis binopong, para inya samya dherekake, prapteng kambang sadaya wus bali, lawang gya kinunci, sira Sang Dewayu. 10. Akaliyan Sang amalih warni, Sang Dyah ngandika Ion, jeleh bosen sun miyat jambule, Sang amalih warna anauri, punika jeng gusti, jambul tunggu umur. 425 PNRI
11. Mesem Sang ayu matur ngabekti, alimana ingong, kumawani anyandhak jambule, tenung ingalap asalin warni, wus amulya jalmi, lir Asmara nurun. 12. Kagyad ing tyasira Sang Retnadi, umiyat ing Katong, cengeng mulat kasektene, Sang Nata ngling baya tan narjoni, tumingal ing dasih, semune gegetun. 13. Kadi ewa umiyat ing dasih, matur Sang lir sinom, sarwi nyiwel kang raka wentise, sampun paduka kajeron tampi, eram aningali, kasektene diyu. 14. Lan duq'ananira ditya estri, sutaning wil Katong, amunjuh manungsa sektine, Srinarendra angandika aris, uwusa kartining, buta karya edur. 15. Jalma bisa luwih sangking iki, nanging tan anganggo, amrih niaya ing sesamine, Sang Dyah mesem sarya nyendhal liring, kakung angraketi, angaras pambayun. 16. Sang Dyah canggeh amemanas ati, winaweng peturon, dhasar kenya sedheng biraine, gegitelira kadi gurimis, 426 PNRI
manggih dhudha pekik, lir kupu atarung. 17. Ginunturan ing srenggana manis, Sang Ayu kaleson, tan kuwawa gulawat anggane, sinarekaken ing kasur-sari, Sang Dyah kocah-kacih, sru maras ing kalbu. 18. De katemben rinabaseng resmi, rongeh ing paturon, keswa lukar kawingkis sinjange, rinancana de kang marneng kawi, langening aresmi, estri lawan kakung. 19. Sang dyah kapranan asewa resmi, netra sawang layon, dhasar kenya ing lulut katemben, kepyaning driya tana kaeksi, lir sawung kapilis, kantaka Sang Ayu. 20. Kongsi dangu tan ana anglilir, maras tyase Katong, tansah liniling-liling waktrane, kinuswa-kuswa tan dyah anglilir, Sang kakung nungkemi, wongane pembayun. 21. Atangiya musthikaning manis, dewaning paturon, gegebale anuwun duka ger, tan suwala kinaryaa dasih, dene kumawani, angrabaseng lulut. 22. Tanpa wecana ingkang sinung ling, sangking sru kaleson, 427 PNRI
dahat limut ing jiwa-ragane, kadi layoning sekar upami, dyan sinambut dening, Sang kakung pinangku. 23. Sinrenggara kusumaning puri, kinuswa tan anggop, sare munggeng pangkone kakunge, Sang Nata ngura-gita rerepi, asekar pamijil, winor ing pangrungrum. 24. Sangking lulut kang mindha apsari, kang mentas kaluron, sinrenggara eca denya sare, aneng pangkon tumulya ingelih, kaliyan aguling, samadyaning kasur. 25. Prapteng enjing wau kang aguling, awungu kaloron, mring patirtan asalin wastrane, wusnya teturuh sigra Sang Aji, anambut Sang Dewi, wangsul enggenipun. 26. Tan winarna solahe Sang Dewi, kelawan Sang Katong, lamun siyang rupa Mliwis putih, yen dalu amalih warni jalmi, Sang Dyah dahat asih, tutug andon lulut. 27. Embanira tan ana udani, yen gustine andon, lambangsari kamantyan samare, kongsi anyidham angsal sesasi, sagung para bibi, tan ana kang weruh. 428 PNRI
28. Weneh para nyai abebisik, ing panduluningong, bibekane Sang Retna ing mangke, sarira kendho ijo ngalentrih, lawan awis mijil, apa baya angluh. 29. Yata mangkana ing lami-lami, kang alelangon, kaderesan ing madu pamane, isi pandhoga kang pandhan-sari, saya ngetarani, rusaking lelangun. 30. Cahya wenes ijo esmu putih, mekar ingkang wangkong, menga sesupiting jarijine, jaja mungal lambung mari-wangking, wanda kendho tuwin, pembayun agemuh. 31. Enengena ingkang andon-resmi, gantya winiraos, Raja Darmawasesa kalane, pinarak ing natar lan garini, soring Nagasari, siniweng pra arum. 32. Manggung ketanggung tarap sumiwi, ngandika Srikatong, yayi sori apa ta karane, putranira la was tan kaeksi, dingaren Putri, tan marak maringsun. 33. Akongkona mariksa den aglis, melange tyasingong, menawa gerah yayi putrane, 429 PNRI
wadon Sebetan agya tinuding, mring kaputren prapti, tan panggih Sang Ayu. 34. Aneng kambang tan arsa manggihi, asengadi angloh, bok Sebetan wangsul age-age, umatur ing prameswari Aji, Sang Dyah datan kenging, ngandikan Sang Prabu. 35. Yayi sori sira dhewe becik, menyanga tetinjo, bok manawa kadawa larane, lumaksana Risang prameswari, pra cethi umiring, ing kaputren rawuh. 36. Agya amethuk sira Sang Dewi, mring ibu wot sinom, prameswari aris andikane, apa sira gerahake nini, dene amanghngi, warnamu sun dulu. 37. Ijo wenes wadanane putih. mekar ingkang wangkong, apa baya Ni putri larane, padha menga supiting dariji, Sang Dyah awotsari, kawula tan angluh. 38. Lami kawula ngirang-ngirangi, badan sanget abot, prameswari anggraiteng tyase, kaya wong anyidham sun tingah, warnane Ni putri, lampelah tyasingsun. 430 PNRI
39. Dene Ni putri durung akrami, adhuh putraningong, mara ta lah ingsun gerayange, Sang Dyah lenggana Sang Prameswari, ameksa ing siwi, ing netya arengu. 40. Tan derana anyandhak ing siwi, gumingsir Sang Sinom, kena cinandhak lambung lengise, prameswari anjola sarya ngling, adhuh nini putri, tan linyok ujarku. 41. Mau mula wus anyana mami, katura ing Katong, mendahane silih dedukane, Sang Dyah merang pelarasan nangis, sesambat Dewadi, banjuten ragengsun. 42. Prameswari mojar ngarih-arih, nini putraningong, aja nangis mung wartaa bae, sapa rowangira lambangsari, apa ta wong mantri, bupati tumenggung. 43. Apa lelurahe wong kapilih, apa satriya nom, payo sira paweleha bae, Sang Dyah saya sru denira nangis, tan arsa nauri, petanyaning ibu. 44. Adangu denira ngarih-arih, Sang Ayu ngelosot, ingkang ibu apegel manahe, welas ing tenaya nglut anangis, tan bisa ningali, pelarasan mundur. 431 PNRI
32. DURMA
1. Prapteng ngarsa Nata anungkemi pada, lara-lara anangis, dhuh dewa Narendra, paduka katiwasan, pepethetan pandhansari, isi pandhosa, kang sinengker ing puri. 2. Kerdyating tyas Sang Nata tan angandika, duka yayah sinipi, kadya anuweka, ing wong kang tanpa dosa, dhedhep sagung para estri, ajrih umiyat, dukanira Sang Aji, 3. Gereng-gereng kadi mong antuk bayangan, embanira Sang Putri, inya lan parekan, sedaya tinimbalan, andher ing ngarsa Narpati, asru ngandika, heh sakehe pawestri. 4. Lamun sira arep urip umatura, maringsun kang sayekti, payo aranana, kang saba jroning pura, sadaya matur wotsari, anuwun duka, suka dhumateng pati. 432 PNRI
5. Datan wonten priya kang saba ing pura, kawula tan andugi, solahe Sang Retna, bilih jim perayangan, kanthinipun lambangsari, putra paduka, remen muja semedi. 6. Bilih dewa ing suralaya tumedhak, angetengi Sang Putri, lamun manungsaa, yekti wonten uninga, emeng tyasira Sang Aji, sun patenana, pamomonge Sang Putri. 7. Tiwas mati durung karuwan yen ala, sun pupus awak mami, kang tiwas precaya, ing rumaksaning putra, dyan ngagnya nimbali Patih, Jeksanegara, prapteng byantara Aji. 8. Makidhupuh ngandika Srinaranata, heh Patih jroning puri, sinaba ing dhustha, sekti nyidra asmara, undhangna ing para mantri, myang wadya-wadya, sapa kang nyekel maling. 9. Ingsun ganjar ing Bojanagri sasigar, rabiya putri adi, arsa jumenenga, prabu-anom wismaa, loring pasar kyana patih, matur sandika, manembah sigra mijil. 433 PNRI
10. Prapteng pagelaran warta mring punggawa, karsane Sribupati, gegetun sadaya, sektine duratmaka, wus dadya sayembara Ji, dhawuh ing kathah, sedaya sanggup wani. 10a. Para mantri punggawa Bojanegara, mundhi dhawuh Narpati, wus samya sawega, sabusananing yuda, wadya kapetengan kerig, sami agahan, angrasa antuk kardi. 11. Ngandelaken sura digdayanira, kajineman angrakit, ana sikep pedhang, tameng miwah talempak, towok panah lawan lembing, kang rada lancang, babrengose pinidih. 12. Wus samekta dupi suruping raditya, prajurit para mantri, myang wong kajineman, miranti jroning pura, sagung punggawa nengjawi, sawadyanira, samya angati-ati. 13. Kawarna kang tansah andon-asmara, Anglingdarma sinekti, matur Sang Juwita, pukulun paran karsa, ing mangke sajroning puri, gung binarisan, ing wadya lan pra mantri. 434 PNRI
14. Timbalane ramendra kinen nyepenga, maling kang sabeng puri, Raja Anglingdarma, ngandika mung kusuma, aywa sumelang ing ati, para punggawa, sun temonane yayi. 15. Kajineman ingkang sanggup nyekel ingwang, tenapi para mantri, sang ayu tan suka, bilih kapareng tiwas, ameksa Srinarapati, sawedalira, sarwi amatek aji. 16. Ngalimunan lan sirep pun pulunggana, kang arsa nyekel maling, sagung kajineman, myang para mantri aglar, ing siti sami aguling, tan mawi tata, mesem kang lampah sandi. 17. Nambut lading kajineman cinukuran, babrengose sasisih, myang jejenggotira, katgane sinendhalan, sadaya sami gundhili, ingkang satengah, bebathuke tinulis. 18. Kunir apu lawan angus cinorengan, ana kang den sisiki, weneh cinukuran, rambutira sedaya, saweneh amung sasisih, kang pinarasan, alisira baresih. 435 PNRI
19. Para mantri wastranira binuwangan, tan ana kang ngulisik, mrih kawirangannya, sampun tatas-raina, sedaya kagyad atangi, kari saruwal, pedhang keris ngaranting. 20. Sami alok-ingelokken padha rowang, weneh suka ningali, marang rowangira, gundhule pepulasan, kajineman samya giris, dene kang endra, jala kelangkung sekti. 21. Kawandasa kajineman kathahira, siji tan nyangklong keris, wus samya rembagan, kelawan kancanira, payo matur mring Kya Patih, nyata kuwasa, maling kang sabeng puri. 22. Kajineman wus medal sangking jro pura, aglar ngarsaning Patih, atur pejah-gesang, Kya Patih angandika, kabeh kajineman anjing, datanpa karya, tandange angajrihi. 23. Tenagane yen rina lir saradula, babrengos wates kuping, mamedeni bocah, polahe lir barongan, yen ginanjar ing Sang Aji, sanggup maludag, babrengose pinuntir. 436 PNRI
24. Kajineman sadaya konjem ing kisma, tan abisa kumecip, kipatih sawega, dening pandung kawasa, ing saben dalu pra mantri, tugur ing pura, ing jawi pra prajurit. 25. Pitung dina pitung dalu tinuguran, ing jaba den ambengi, akathah kacurnan, kang padha kesamaran, sami rowange pribadi, miwah kang pejah, sinedhep maling sekti. 26. Emenging tyas Apatih Jeksanegara, myarsa aturing mantri, gya tumameng pura, prapteng ing byantarendra, manembah Anindya-mantri, atur tetekan, tiwase ingkang abdi. 27. Sakelangkung sektine kang duratmaka, tan mawi tilas maling, Sang Nata ngandika, gawoke atiningwang, dene sandi andon-resmi, angrusak kenya, baya satriya ngendi. 28. Gawe solah akarya lingsem mring praja, digung dir yen asekti, heh Patih lungaa, sira angupayaa, sraya kang anyekel maling, ganjaraningwang, negara lawan putri. 437 PNRI
29. Ingsun Patih amiyandel marang sira, poma den oleh kardi, asukuwa dhadha, aja muliha patya, yen sira tan oleh kardi, sira banjura, munggah Srenggana wukir. 30. Wong atapa ajar-ajar lan jejanggan. atenapi wewasi, gocara menawa, sanggup anyekel dhustha, gawanen seba den aghs, matur anembah, sandika Patih mijil. 31. Sangking pura darung lampahira enggal, prapteng wisma asahn, busana lungsedan, Patih Jeksanegara, abusana sarwa langking, anamur kwula, tan anggawa wong siji. 32. Sah ing dalu kawingking Bojanegara, nglintangi tepis iring, lepas lampahira, nerajang wanawasa, sumengka ing geger iring, tumurun jurang, rejeng parang tumawing. 33. Murang marga lampahe mantri-wisesa, datan mundur ing westhi, sumengkeng aldaka, tan ngaetang durgama, anasak ing wana giri, tanah ing Boja, negari wus kawingking. 438 PNRI
33. PANGKUR
1. Nengena ingkang lumampah, kawuwus Sang Radyeng Melawapati, saanisira Sang Prabu, sangking ing prajanira, dahat oreg ing praja lan dhusun-dhusun, sekel sagunging punggawa, kawula-warga geng-alit. 2. Rusak nagri ing Malawa, duk semana Apatih Bathik Madrim, dinubel ing punggawa gung, pra santana satriya, ulubalang prajurit para tumenggung, penuh sumiweng Apatya, ature pra samya nunggil. 3. Ing mangke kadya punapa, selamine Sang Nata nandhang wingit, larang pangan kang tinandur, tan ana ingkang medal, larang sandhang susah manahe wadya gung, suwawi andika marak, matur ing gusti Sang Aji. 4. Menawi wonten kinarsan, putri adi sabrang myang Tanah Jawi, kawula tinuduh purun, suka tekeng antaka, yen aweta tan sinewa Sang Aprabu, ing Melawapati rusak, kang sawadya sami prihatin. 439 PNRI
5. Ing mangke sampun alama, kadi nir kayatnanira mring padni, Bathik Madrim tan amuwus, angartikeng wardaya, angrojongi ature kang punggawa gung, dyan minggah ing pepanggungan, arsa marek ing Sang Aji, 6. Lan Raden Handayaningrat, prapteng panggung Sang Nata tan kapanggih, wus alami tilasipun, anisira Narendra, sigra tedhak Ki Patih sangking ing panggung, sapraptanira ing ngandhap, anjetung asemu tangis. 7. Angucap nutuh sarira, tiwas temen goningsun dadi Patih, ambaureksa Sang Prabu, murca datan uninga, para mantri sadaya sami amuwus, dhuh gusti Srinaranata, tega atilar nagari. 8. Sakehe para sentana, samya nangis sesambat lir pawestri, weneh manahe garuwung, anjengir tanpa ngucap, Arya Wijanarka asru denya muwus, tuwin Raden Dayaningrat, Arya Mangunjaya nangis. 9. Sakathahe para garwa, wus winartan mring Patih Bathik Madrim, ing pura tangis gumuruh, sambat-sambat Narendra, akeh solahing wong pating bilulung, selir miwah para garwa, sedaya sanget rudatin. 440 PNRI
10. Bunek ing tyasira Patya, amiyarsa tangis jro Kenyapuri, asru denira amuwus, kabeh padha kendela, padha tingalana panengeraningsun, wangwang Patih Madrim medal, panggih lan sagung bupati. 11. Heh kabeh wong ing Melawa, etal iki sun gawe pasanggiri, yen ngong kawasa anjabut, Nata meksih waluya, lamun etal ngong bedhol nora kedaut, yekti Sang Nata wus laya, sigra ingangkat tumuli. 12. Kabedhol ingkang wreksa tal, samya surak sakehning para mantri, ingumbulaken mendhuwur, silem datan katingal, tibanira neng madyaning alun-alun, wetara sapuluh asta, ingkang tumancep ing siti. 13. Apatih Madrim lingira, iki malih sun karya pasanggiri, lamun etal iki lampus, benjang sapungkuringwang, nora rawuh Sang Nata kelawan ingsun, kelamun iki agesang, pasthi prapta andon manis.
441 PNRI
34. DHANDANGGULA
1. Patih Madrim sigra animbali, Handayaningrat lan Wijanarka, myang Mangunjaya wus dene, Apatih Madrim wuwus, mila katri ingsun timbali, manira arsa lunga, ngulari Sang Prabu, den becik angreksa praja, lawan ingsun titip si Rumaja-gandhi, poma wruhkening karya. 2. Lan maninge den angati-ati, akeh pakewuhe jroning praja, angreh mantri punggawane, ing karsa den aguyup, lamun ana mungsuh nekani, muwera jroning kitha, poma aja metu, menawa kadereng tiwas, wus kaprahe wong anom kurang dedugi, sura tuneng wiweka. 3. Satriya tri samya mangenjali, tan lenggana lumaksaneng karsa, patih salin busanane, angangge sarwa wulung, sampun surup kulandaragni, ginantyan ing sasangka, Kyapatih lumaku, kawingking Nagri Melawa, tan winarna solahira kang lumaris, prapteng samadya candra. 442 PNRI
4. Siyang-dalu denira lumaris, tumurun jurang sumangkeng arga, kalunta-lunta lampahe, darpa emenging kalbu, duk ararywan aneng sasoring, wreksa mandira sarya, angantuk tan dangu, rumungu swara mangkana, Bathik Madrim kelamun arsa kepanggih, kelawan gustinira. 5. Temonana lakune si Patih, Jeksanagara Bojanagara, sanggupana saujare, iku margane besuk, sira panggih kelawan Gusti, sira ngidul-ngulona, pasthi yen ketemu, atas pamiyarsanira, wungu risaksana nutugen lumaris, sineru lampahira. 6. Gancanging carita wus kapanggih, Bathik Madrim lan Jeksanegara, papag-papagan lakune, Jeksanegara dulu, wong sajuga lagya lumaris, apideksa taruna, ngangge sarwa wulung, ateken penjalin tunggal, Patih Jeksanegara micareng ati, wong ngendi iki baya. 7. Warnanira pekik nom respati, nanging panganggone lir pandhita, bok iya ingsun sapane, alon denira muwus, lah mandhega ingkang lumaris, 443 PNRI
manira arsa tanya, pundi kang kapungkur, lan ing pundi kang sinedya, Bathik Madrim anglocita baya iki, wahanane ing swara. 8. Ingkang karsa apanggih lan mami, iya Pepatih Bojanagara, katara ing pasemone, kaya dudu wong dhusun, sigra kendel ingkang lumaris, lenggah ayun-ayunan, Patih Madrim muwus, Kipatih manira tanya, sumarmane paduka aneng wanadri, lumaku tanpa rowang. 9. Baya dinuta dening Narpati, minta sraya ing pundi sineja, Patih Jeksanegarane, amicara ing kalbu, nyata awas anak wewasi, dene ta iki wikan, marang lakuningsun, Kipatih nauri sabda, kasinggihan sabda andika puniki, manira atetanya. 10. Anak bagus wismane ing pundi, lawan sinten Kang pinudyeng krama, Sang tinanya Ion saure, wisma kula ing gunung, dereng nate ngambah nagari Sanget kepengin kula sowan Narapati mudhun akarsa uninga, tataning wong negari sira Apatih, Jeksanegara mojar. 444 PNRI
11. Sokur sewu Ki Anak wewasi, aywa tanggung laku pekenira, beja lamun oleh gawe, yen jengandika sanggup, ingsun minta sraya Ki Wasi, myekel maling aguna, aneng jro pura rum, dhustha digung kinawasa, datan mawa babahan sakehning mantri, pinilih kapetengan. 12. Atugur ing pura tan udani, Buminata ing Bojanegara, dahat merang sudarmane, manira minta tulung, tan angucap Ki Bathik Madrim, angartikeng wardaya, apa warnanipun, kang dadi maling aguna, sun cacake kaprawirane simaling, sekti kang sabeng pura. 13. Yen sun asor sokur tekeng pati, yen kepanggiha Srinarendra, puwara ris wecanane, inggih manira sanggup, nyekel duratmaka sayekti, atandhing kadigdayan, kaninditan purun, Ki Patih Jeksanegara, suka ing tyas sigra rinangkul Ki Madrim, dhuh nyawa sutaningwang. 14. Ganjarane pasthi rabi putri, pinaringan nagara sasigar, sinung jejuluk Prabunom, nulya sami lumaku, maring Nagri Bojanegari, tan wiyang kang sinraya, 445 PNRI
gya sami lumaku, datan kawarna ing marga, enggal praptanira wus manjing nagari, nahan gantya winarna. 15. Nateng Bojanegara tinangkil, pepak sagung satriya punggawa, para mantri prawirandher, angandika Sang Prabu, marang Purwanegara Patih, paran mungguhing warta, Jeksanegareku, rehningsun duta aminta, sraya ingkang yogya angentasi kardi, dene uwis alawas. 16. Patih Purwanegara wotsari, abdi dalem kesah tanpa rowang, datan kantenan puruge, yata ingkang winuwus, Patih Jeksanegara ngirit, Bathik Madrim anulya, pangurakan rawuh, usreg wong Bojanegara, sami apocapan ingkang lunga prapti, Patih Jeksanegara. 17. Ngirid wewasi anom apekik, katur ing nata agya ngandikan, prapteng ngarsa tur sembahe, sasolahira katur, suka ing tyas Nata ningali, ing citrane kang sraya, ngandika Sang Prabu, pandhita sapa ranira, atur sembah kawula pun Bathik Madrim, wong papa tanpa sana. 446 PNRI
18. Ki Bathik Madrim sampun tinari, datan amawi taha ing driya, sumanggup kepara luber, amesthi ingkang pandung, kacepeng ing kawula benjing, nadyan silih sageda, awor lawan lesus, kawula mangsa kilapa, angur aja sinebut-sebut wewasi, luput anyekel dhustha 19. Sampun lami brata tanpa kardi, yen tan bangkit ngregem duratmaka, eman bebrengose lemet, tiwasa nyepeng pandung, Bathik Madrim lare am ben thing, tate kawula nyepak, kekumbine diyu, pamintamba kabibarna, kanang baris pun dhustha kelangkung sekti, saged awor ing kathah. 20. Datan kesah-kesah sangking puri, lamun pedhak ing karsa narendra, ulun cepeng siyang bae, pamesthi amba sampun, kagem aneng asta pun Madrim, entyarsa Srinarendra, amiyarsa atur, ira Bathik Madrim panggah, aris angandika mring Rekyana Patih, baris padha bubarna 21. Matur sandika anindyamantri, angluwarken mring sagung punggawa, ambubaraken barise, ngandika Sang Aprabu, lah ta paran karepmu Madrim, baris wus padha bubar, 447 PNRI
kang liningan m atur, Dewaji panuwun amba, sakathahe sato-kewan kang neng puri, sadaya kawedalna. 22. Pinepeka ing ngarsa Narpati, menawi pandung guna anukma, ing kewan myang pitik iwen, angandika Sang Prabu, payo Patih wetokna aglis, sakehe sato-kewan, kang aneng kedhatun, agnyendra dyan lineksanan, pitik iwen sadaya binekta mijil, aglar ing ngarsa Nata. 23. Angan dika Sang Srinarapati, Bathik Madrim mara awasena, sim aling cekelan age, ingsun agyarsa weruh, ing warnane sim aling sekti, Bathik Madrim anembah, alon aturipun, dewaji maling aguna, datan wonten manawi nyingit jro puri, puniku kaundurna.
448 PNRI
35. DURMA
1. Angandika Sang Prabu Darmawasesa, apa dayamu malih, Ki Madrim turira, yen suwawi ing karsa, kawula saos mring puri, kang duratmaka, bilih awor lan sari. 2.
Atenapi singidan wonten pethetan, ngandika Sribupati, sun lilani sira, mengko bengi saosa, ing jro pura lan si Patih, karo miluwa, anggawaa wong becik.
3. Kang liningan katri sandika turira, kondur srinarapati, manjing dalem pura, bubar kang padha seba, surup hyang pratanggapati, sampun samekta, kyana patih kekalih. 4. Sampun mangkat sagung kang para nayaka, miwah Ki Bathik Madrim, Sang Srinaranata, dangu angarsa-arsa, mring Bathik Madrim Apatih, ngandikan enggal, prapteng byantara Aji. 449 PNRI
5. Tri manembah sang nata aris ngandika, heh paran Bathik Madrim, apa na ing pura, maling kang kinawasa, matur sembah estu Gusti, pura Narendra, kalebetan ing maling. 6. Ing samangke meksih wonten jroning pura, angandika Sang Aji, apa pratandhanya, Bathik Madrim turira, gandanipun kang ketawis, Nata ngandika, mara cekelen nuli. 7. Lah gawanen patih sagunge nayaka, Bathik Madrim tur bekti, Gusti yen sembada, ponang duratmakanya, kawula cepeng pribadi, sagung nayaka, sami kandhega ngriki. 8. Nging sedaya sampun wonten ingkang nendra, ngandika Sribupati, Madrim sakarsanta, age sira cekela, manembah men tar Ki Madrim, angagem jungkat, ganda den parepeki. 9. Tan karuwan ngiwa-nengen ingkang ganda, kongsi kesel Ki Madrim, denya nurut ganda, gya matek ajinira, wasiyat sangking Sang Yogi, ganda kang ura, wus geleng dadi siji. 450 PNRI
10. Tinut wuri lumebet ing petamanan, unggyanira Sang Putri, Bathik Madrim kewran, sigra mundur lon-lonan, arsa matur mring Narpati, wus byar raina, mijil kulandaragni. 11. Bathik Madrim prapta byantara Nata, tetanya Sri heh Madrim, apa labdeng karya, endi kang duratmaka, kang dinangu matur aris, atadhah duka, kang duratmaka sekti. 12. Pratistha ing Yasa kambang jro papreman, ira putri Narpati, kendel, Srinarendra, dangu tan angandika, Purwanegara anuli, matur anembah, leres aturing abdi. 13. Lamun dereng antuk wewenang paduka, yekti ajrih pun Madrim, Sang Nata ngandika, apa sakarepira, sun turuti Bathik Madrim, matur anembah, yen sembada Sang Aji. 14. Putri nata wontena ngarsa paduka, sakelangenane cethi, sami kabektaa, mring ngarsa padukendra, marma makaten pun maling, guna kawasa, bangkit amindha warni. 451 PNRI
15. Nadyan silih tumuntura neng ngarsendra, kadi tan wonten uning, myang kelamun nukma, awor ing kelangenan, kadi datan wonten kang wrin, amung kawula, datan kilap sayekti. 16. Sawarnine kelangenanipun Sang Dyah, yen kawula senengi, Sang Retna tan suka, paduka kang meksaa, punika enggene maling, Nata ngandika, heh Sebetan den aglis. 17. Timbalana Nini putri ing ngarsengwang, lan pacara ywa keri, sakeh kelangenan, dhawuhana anggawa, wisata ingkang tinuding, yata kawarna, sira Sang Rukmisari. 18. Lagya lenggah kelawan Cakarwa seta, Sang Dyah umatur aris, mring kang malih warna, kawula tur uninga, ing mangke kangjeng rama Ji, aminta sraya, kelangkung dening sekti. 19. Sagah wasi sangking ardi Rasamala, berani ananggupi, anyepeng paduka, kawula sanget maras, daweg kesah sangking ngriki, mesem angucap, sira Sang malih warni. 452 PNRI
20. Dhuh mas mirah kang sawang retna pekaja, aywa maras ing ati, senadyan wuwuha, wasi ajar senam bang, srayane ramanira Ji, mangsa idhepa, maring manira gusti. 21. Mengko mirah lamun sira tinimbalan, aywa sandeyeng ati, marek ing ramendra, ingsun sira gawaa, arsa wruh ingsun kang warni, srayaning Nata, kang arsa rabi putri. 22. Tan antara praptane duta narendra, umatur awotsari, dhuh Sang kadi retna, paduka ingandikan, ing ramanta Sribupati, saupacara, paduka sampun keri. 23. Atenapi ingkang warni kelangenan, kabektaa samangkin, Sang Dyah tan lenggana, dyan mentar Sang Cakarwa, ingemban de para manis, datan atebah, lawan Sang nahen kingkin.
453 PNRI
36. ASMARADANA
1. Prapta ing ngarsa narpati, Srinata lagya pinarak, Bathik Madrim neng ngarsane, ajajar lawan Apatya, kalih apit ing Nata, sarawuhira Sang Ayu, agya anungkemi pada. 2. Sang Nata ngandika wengis, aja manembah maringwang, sira wong culika dene, sun tari krama tan arsa, mengko asimpen dhustha, delap-delapmu tumuwuh sae myat padhange arka. 3. Jeneng manira tan apti, angaku anak mring sira, Sang Retna alon ature, sumanggeng karsa Narendra, tiyang dur kinaryapa, leng pinugutan kang tuwuh, gesang nyampuri kewula. 4. Kawula wong sundel anjing, dados kalesaning praja, ngandika malih Sang Katong, gawok-gawoke kang manah, kelamun winarahan, nuli anjaluk linampus, Sang Dyah ayu esmu merang. 454 PNRI
5. Alingan wit Nagasari, Sang Nata malih ngandika, yen sira mati temahe, nagri ing Bojanegara, sapa ingkang duweya, Ki Bathik Madrim andulu, citranira Sang Kusuma. 6. Amicara jroning ati, lamun wruha gustiningwang, marang wanodya mangkene, yekti mari nandhang brangta, baya tunggal anuksma, lawan ingkang seda tunu, Dewi Setya ing Melawa. 7. Asm ngandika Sang Aji, heh mara Madrim den enggal, endi cekelen malinge, Sang inujaran tur sembah, nuwun ajrih kawula, anyepenga kanang pandung, tan kenging benggang sacengkang. 8. Lawan putri paduka Ji, sakelangkung kinasihan, Sang malih wama duk anon, mring Madrim osiking driya, baya karsaning dewa, Si Madrim pangling maringsun, arsa ngayoni bendara. 9. Bay arsa arabi putri, den ririh mondhong biyada, Ki Bathik Madrim ature, kawula tedha Sang Retna, peksi Maliwis seta, inggih punika kang pandung, kawasa warni Cakarwa. 455 PNRI
10. Angandika Sang Suputri, dhuh lae tan aweh ingwang, iya maliwisku dhewe, ingaran maling aguna, destun angayawara, angkuhmu angundhung-undhung, anjaluk kekasih ingwang. 11. Bathik Madrim awotsari, Dewaji kadya punapa, putra paduka tan aweh, estu yen asimpen dhustha, Sang Nata angandika, apa nganti ingsun pundhut, den age sira ulungna. 12. Sigra Sang amalih warni, bebisik marang Sang Retna, manira aturna angger, sun angalih marang sekar, anuksmeng tunjung jenar, kelangenanira iku, Sang Retna matur ing ram a. 13. Sumangga Mahwis putih, ulun kadereng punapa, wus tinampan ing Sang Katong, Maliwis putih dyan pejah, Bathik Madrim turira, sampun angalih kang pandung, anuksma ing Tunjung jenar. 14. Kawula suwun kang sari, tunjung pasenetan dhustha, Sang Dyah asugal wuwuse, Si Madrim nyata yen langar, angucap suleweran, kembang den arani pandung, andaluya nora tata. 456 PNRI
15. Sang nuksmeng sekar bebisik, dhuh gusti sira atuma, ingsun ing mangke angaleh, aja maras atinira, teka sira asungna, sun anuksmeng kancing-gelung, Sang Dyah ayu angandika. 16. Lah enya cekelen aglis, sarya sru nguncalken sekar, wus alum sirna senene, Ki Bathik Madrim anjola, asru wecananira, meh kagem ing asta ulun, gusti pun duraatmaka. 17. Ing mangke sampun angalih, gusti kang pandung aguna, anuksmeng kancing-gelunge, Sang Retna kawula tedha, Sang Dyah sugal turira, Si Madrim nyata kepaung, andeladag nora genah. 18. Dudu paringe Ramaji, sira jaluk nora suka, Ki Madrim senggrang saure, nadyan suka tan sukaa, gusti kawula tedha, Sang Nata ngandika asru, age sira wewehena. 19. Sang malih warna bebisik, yayi den enggal ulungna, manira nuli angaleh, anuksma ing sengkangira, sigra Sang lir kusuma, angrucat kancinge gelung, katur ing rama tinampan. 457 PNRI
20. Surem cahyaning kang kancing, Bathik Madrim atur sembah, sampun kesah ngalih enggen, aneng sengkange Sang Retna, Sang Nata angandika, nini wenehna den gupuh, sengkangira mri ki wasya. 21. Iku panuksmaning maling, Sang Dyah kakuwa tyasira, men del kumembeng waspane, bebisik kang nuksmeng sengkang, yayi enggal aturna, pinundhut ramanta Prabu, sun ngalih aneng kalpika. 22. Kang munggeng suweda manis, Sang Nata aris ngandika, kacandhaka astaningong, sun juwing sawalang-walang, apa ta baya dewa, I dene manjing ajer-ajur, maweh sangsayaning driya. 23. Wus katur ing Sribupati, sengkang ilang cahyanira, seksana pinaringake, mring Bathik Madrim tur sembah, pukulun nuwun duka, sampun ngalih ponang pandung, nuksma wonten seser putra. 24. Kawula pintajeng Gusti, sesupe sotya ludira, kang munggeng driji manise, punika enggening dhustha, suka boten sukaa, kalpika kawula suwun, age mugi pinaringna. 458 PNRI
25. Arsamba besmi wit dening, punika unggyaning dhustha, Sang Ayu sru andikane, dudu paringe Ramendra, oleh ngong amanggya, den tukuwa kalihewu, manira mangsa aweha. 26. Angur endhasira Madrim, den tunuwa ing dahana, dimene iku maledhos, Sang Dyah alara karuna, sesambat melasarsa, leng tumekaa ing lampus, aywa andedawa wirang. 27. Si Madrim angaku sekti, kang ora-ora den angka, adoh uga wetarane, kalpika ingaran dhustha, Sang Nata angartika, sun rasa bener sutengsun, asru denira ngandika 28. Heh ta kaya ngapa Madrim, pasthi tugel gulunira, yen nora ana malinge, Bathik Madrim atur sembah, inggih sumangga karsa, pun pandung sampun kabutuh, kantun sapisan kewala. 29. Paduka pundhut tumuli, sisime Sang lir kusuma, Sang Nata ris andikane, heh nini sira ulungna, murtinira den enggal, apa nganti ingsun pundhut, mungkur sang ayu kemengan. 459 PNRI
37. PANGKUR
1. Ingkang nuksma ing kalpika, ingsun aturena yayi, sarwi bantingen ing watu, kumlasa pinggir toya, prastawakna mengko sapratingkahingsun, ngadu sekti kaninditan, kelawan Si Bathik Madrim. 2. Sang Ayu sigra amecat, murit ingkang munggeng suweda manis, asru bin an ting ing watu, neng tepining balumbang, sarwi muwus abengis wijiling wuwus, kang sira arani dhustha, lah enya cekelen Madirm. 3. Kalpika kalebeng toya, nulya dadi canthuka gya Ki Madrim, dadya dara putih mabur, canthuka cinucukan, nora kena kelangkung prawiranipun, lir anucuk wewayangan, Sang canthuka nulya dadi. 4. Alap-alap ingkang dara, dyan umesat sinamber tibeng siti, sigra malih dadi tikus, jinada arsa ngerah, alap-alap tinubruk luput umabur, dadi kucing candramawa, tikus tinubruk ing kucing. 460 PNRI
5. Lumayu tikus jinada, karepotan dadya tripuru putih, kucing tinubmk lumayu, binuru karepotan, Nateng Bojanagara gawok andulu, solahe kang bandayuda, dene kalangkung asekti. 6. Anglingdarma ingkang dadya, kucing sampun malih pragalba putih, tripuru tinubruk asru, aniba kapisanan, Bathik Madrim agya ngreka warnanipun, mancala singa pragalba, tinubruk indha ngoncati. 7. Suraking mantri gumerah, esmu merang Sri Anglingdarma nuli, semedi nyipta pepedhut, geger sajroning pura, panarkane pan growong pating bilulung, Ki Bathik Madrim kasoran, asemedi nyipta angin. 8. Musus ingkang bayu bajra, swaranira kumrusuk angajrihi, anempuh ingkang pepedhut, wus sirna temah padhang, Anglingdarma kalindhih merang kelangkung, mumbul napak jumantara, anungku maladi ening. 9. Anutupi kang babahan, nawa-sanga yata ingkang winarni, rabine Aijuna dangu, ran Dewi Dresanala, kang kayangan ing Suranadi wus weruh, kalawan Srinaranata, Malawa kandhili ing jurit. 461 PNRI
10. Arsa tetulung ing yuda, ciptanira yen matiya samangkin, ratu ing Malawa puput, turune lakiningwang, nora na ingkang nedhakaken ratu, ing Nungsa J awa saksana, dahana geng andhatengi. 11. Atbuta nungkuli pura, apuyengan gegering para mantri, wong dalem nangis gumuruh, narka atruh dahana, Srinarendra gugup tambuh solahipun, Ki Bathik Madrim winarna, arsa nusul mring wiyati. 12. Kalangan dening dahana, dahat tiksna manahira kumitir, cipta tan kawawa mungsuh, dhustha dibya kawasa, biyas pan driyanira datan wun lampus, anusul ajrih ing panas, tanbuh rehiraKi Madrim. 13. Maharaja Anglingdarma, sum bar-sum bar aneng sajroning agni, lah payo nusula gupuh, iya sun endrajala, kinawasa datanpa tandhing pinunjul, trahing Srinata kusuma, winong ing jawata luwih. 14. Anglelana adikara, anusula mring wiyat Bathik Madrim, sira ngayoni maringsun, lah ta mara tutugna, den aririh sirarsa mondhong dyah ayu, kusumeng Bojanagara, yen meksih ingsun kinanthi. 462 PNRI
38. KINANTHI
1. Atas pamiyarsanipun. Kyai Patih Bathik Madrim, tan samar ing ciptanira, kang sesumbar neng wiyati, Maharaja Anglingdarma, Ratu ing Melawapati. 2. Angartika jroning kalbu, nadyan pisahanem warsi, manira mangsa samara, ing swarane gusti mami, kelangkung asrep ing driya, angraos kelamun urip. 3. Bathik Madrim asru muwus, tumengeng wiyat anangis, manembah marang Ambara, Dewa Susuhunan mami, Maharaja Anglingdarma, sun ulari anderpati. 4. Tumurun ing jurang teijung, sumengkeng anggraning wukir, manusup ing wana-wasa, paduka ulun ulati, milangkori jajah desa, tan etang ing lara-pati. 5. Datan kepanggih Sang Prabu, mangkya neng Bojanegari, kawulane kesamaran, 463 PNRI
dahat tan wikan ing Gusti, kalangkung kawelasarsa, salami katilar Gusti. 6. Kawula anuwun bendu, ngaturaken pati-urip, sumanggeng karsa Narendra, dene dasih kumawani, atandhing prang ngaduyasa, kelawan paduka Aji. 7. Suka pejahana ulun, tuweken ing katga lungit, Maharaja Anglingdarma, nyarsa sesambate Madrim, kelangkung welas ing driya, nir krodhanira Narpati. 8. Sinampyan renguning kalbu, nir kang api sampun mulih, mringKahyangan Suraloka, Sang Nata tumedhak nuli, jumeneng sore Angsana, Bathik Madrim aningali. 9. Nulya melayoni gupuh, prapteng ngarsa anungkemi, tangise kadya wanodya, kawula datan angipi, kalamun paduka Nata, ingkang pindha maling sekti. 10. Cipta kawula pukulun, upaini jaya ingjurit, putri ing Bojanegara, katura ing paduka Ji. dadosa panglipur brangta, angandika Sribupati. 464 PNRI
11. Mring Madrim sarwi angrangkul, menenga ay wa anangis, kang Madrim sira matura, purwanta anis ing nagri, apa ana parangmuka, angrabaseng Mlawapati. 12. Tur sembah ingkang dinangu, milamba nusul ing Gusti, rembaging para nayaka, sangking tiwase kang abdi, tinanggenah tengga praja, mangkya pinerak ing pagring. 13. Akathah tetiyang lam pus, wawelak sru andhatengi, sakit enjing sonten pejah, sakit sonten pejah enjing, pesabinan kathah bera, katliah dhusun kang asepi. 14. Angres ing driya Sang Prabu, myarsa ature Kyapatih, mangkana ngandikanira, rusak wong Melawapati, sun oleh dukaning dewa, umatur Sang Patih Madrim. 15. Sampun ginalih rumhun, risake praja Narpati, Gusti kapanggih ing wuntat, ing mangke paduka Aji, sagyanira tundhuka, lan nateng Bojanegari. 16. Sang Putri paduka pundhut, menawi bangga Sang Aji, kawula kang talang pejah, nanggulang ngrurah negari, 465 PNRI
Sang Nata mesem ngandika, kang Madrim manira isin. 17. Apanggih lan Sang Aprabu,. lamun nora den timbali. dene sun ingkang culika, mangrurah pethetan adi, kang sinengker ing jro pura, dadi tetambaning kingkin. 18. Sumarmane mari wuyung, mring gustinira kang lalis, wus nora karasa-rasa, ing driyaningsun angalih, mring dyah ing Bojanegara, ingkang dumunung ing ati. 19. Patih Madrim alon matur, yen makaten Sribupati, kawula kang umatura, ing Srinateng Bojanagri, Sang Nata mesem lingira, sakarsanta kakang Madrim. 20. Manembah kang sinung wuwus, entyarseng tyas Bathik Madrim, sigra-sigra undurira, prapteng byantaranira Ji, ing Bojanagri tinanya, apa dayanira Madrim. 21. Endi warnane .kang pan dung, umaturKi Bathik Madrim, kawula anuwun duka, lumaksana ing karya Ji, ing mangke atur uninga, ing gusti Srinarapati. 466 PNRI
22. Yen sestunipun kang pandung, putra paduka Dewaji, Raja Nglingdarma Malawa, ingkang kawula ulari, anjajah wana myang praja, mangke kepanggih ing ngriki, 23. Sangking katambetan ulun, tan wikan kalamun Gusti, kang dadya maling aguna, amindha Maliwis putih, punika putra paduka, Buminateng Mlawapati. 24. Sapandurat tan amuwus, Sang Nata ing Bojanagri, gawok mawor sukeng driya, myarsa aturira Madrim, puwara aris ngandika, ing samengko ana ngendi. 25. Ki Bathik Madrim umatur, jumeneng soring wratsari, ngandika Srinaranata, Jeksanegara apatih, karo Si Purwanegara, aturana putra mami. 26. Myarsa gung nayakaningsun, miluwa marang si Patih, manembah sareng umentar, wus prapteng ngarsa Narpati, sadaya lir anupena, sampandurat datan angling. 27. Cengeng denira andulu, ing citranira Sang Aji, yen angucapa mangkana, apa perayangan ejim, 467 PNRI
apa ta HyangKamajaya, linggar sangking Suranadi. 28. Layak asiha Sang Ayu, saestu pekik linuwih, emut kelamun dinuta, Ki Patih matur wotsari, pukulun lampah kawula, ingutus ramanta aji. 29. Nimbali paduka prabu, dhumateng jro Kenyapuri, ramanta srinaradipa, yun-yunen arsa apanggih, dangu ngantyeng palenggahan, Sri Anglingdarma nabda ris. 30. Sandika wangwang lumaku, kerid ing Patih kekalih, ginarebeg ing punggawa, Raja Darmawasesa glis, tedhak sangking padmasana, cundhuk aris ngacarani. 31. Dyang kinanthi astanipun, noraga Sang tarunadi, sampun atata pinarak, munggeng amparan rinukmi, Prameswari Nata prapta, anganthi Sang Raja-putri. 32. Kakenan tyasira Prabu, mulat ing citra linuwih, amindha Sang Hyang Asmara, pangan dikanira aris, dhuh angger prapta andika, ing praja Bojanegari,
468 PNRI
33. Yayah katibanan daru, tenapi prabata rukmi, karoban samodra kilang, esthinipun bapa Gusti, sasat katurunan dewa, tanbuh sukaning tyas mami. 34. Sang sinambrama umatur, noraga tembung mlasasih, kelangkung kalinggamurda, aturnya Anglingdarma Ji, kawula minta aksama, dene dahat kumawani. 35. Ngruhuni karsa pukulun, ngling Nateng Bojanegari, sampun angger wancak-driya, sukarena wong sanagri, pun bapa mandya arsana, Ni Putri kanggea nyethi. 36. Sri Anglingdarma anuhun, ing sih sigra Sang Suputri, linenggahaken ajajar, lan Nateng Melawapati, lir Ratih lanKamajaya, suka sagung kang ningali. 37. Kang ibu suka andulu, atenapi Sribupati, arseng tyas marwata-suta, myat mantu pekik linuwih, dadya ris wijiling sabda, kawula tetanya yekti. 38. Punapa prawitanipun, paduka tilar nagari, lan mawi tilar Cakarwa kang tinanya anauri, 469 PNRI
sinangsaya ing jawata, kawula tilar nagari. 39. Kasasar mring dhangka diyu, tinenung dening putri wil, sumarma kawula dadya, kang peksi Maliwis putih, tinutur sasolahira, purwa madya wesaneki. 40. Kawismaya Sang Aprabu, ing Bojanagri nabda ris, lamun sembada ing karsa, paduka madega Aji, wonten ing Bojanegara, pun bapa arsa gumingsir. 41. Apan neng srengganing gunung, sedeng angulah semedi, sinambi anandur gaga, pan sampun atuwuk mukti, wus sedenge amegawan, Sang pinrih ujar atangkis,
42. Inggih kelangkung anuwun, kalinggamurda ingkang sih, kacancang pucuke rikma, lenggana jumeneng Aji, dereng kalilan ing dewa, kawula jumeneng Aji. 43. Winangenan rolas taun, tan keni madeg Narpati, ingupatan dening Uma, kalawan Ni Dewi Ratih, marma ing mangke kawula, ing paduka nuwun amit. 470 PNRI
44. Arsa nutugaken laku, kirang sangang warsa dening, putra paduka awawrat, kantuna wonten ing ngriki, Sang Prabu Darmawasesa, sanget denya anggendholi. 45. Raja Nglingdarma tan keguh, lumengser sangking ngarsa Ji, mundur akekanthen asta, lan garwa Sang kadi sari, enting sukaning wardaya, Sang Nata lan Prameswari. 46. Wulangun mulat ing mantu, dupyarsa tinilar anis, sami sungkawa ing driya, yayah tumuntura anis, Prameswari tan solah, adres waspanira mijil.
471 PNRI
PNRI
View more...
Comments