Sejarah Penelitian Kualitatif Menurut Vidich Dan Lyman
July 25, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Sejarah Penelitian Kualitatif Menurut Vidich Dan Lyman...
Description
Sejarah Penelitian kualitatif menurut Arthur Vidich dan Lyman
Sejarah penelitian kualitatif menurut Vidich dan Lyman dimulai pada abad ke 17 oleh peneliti etnografi. Etnografi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat, kelompok etnis, formasi etnis, budaya material. Selama abad tersebut peneliti kualitatif melibatkan para peneliti Barat yang melakukan penelitian tentang adat istiadat, praktik, dan perilaku masyarakat primitif untuk memahami pihak lain (the others). Etnografi sering diterapkan untuk mengumpulkan data empiris tentang masyarakat dan budaya manusia. (Raharjo M, 2017)
Vidich dan Lyman membagi penelitian etnografi menjadi periode-periode sebagai berikut:
1. Etnografi Awal (hingga abad ke 17)
Berawal dari minat para ilmuwan barat pada asal-usul kebudayaan dan peradaban. Bentuk peradaban tersebut muncul sebagai s ebagai akibat dari problema mendasar yang dipicu oleh penjelajahan Colombus dan para penjelajah berikutnya ke belahan bumi bagian barat (dunia baru) dan kebudayaan kebudayaan pulau di lautan selatan. selatan.
2. Etnografi Kolonial (abad XVII-XIX)
Berawal pada abad XVII hingga pada abad XIX. Para pakar etnografi kolonial menyuarakan pluralism (paham atas keberagaman) kolonial sehingga membiarkan warga pribumi menentukan nasibnya sendiri sepanjang pemimpinnya tunduk pada pemerintah kolonial. Banyak tulisan pada masa itu yang berusaha mencari jalan untuk mengubah dunia menjadi masyarakat yang lebih beradab, tetapi pemerintah kolonial menciptakan antropologi baru dan tidak lagi memusatkan perhatian kepada penduduk asli serta proses social mereka. mereka.
3. Etnografi suku indian Amerika: bangsa lain (other) pribumi (akhir abad XIX-awal abad XX) XX)
Laporan-laporan penelitian etnografi tentang kebudayaan indian ditulis dari sudut pandang penjajah/penduduk Eropa-Amerika dan sekutu misionarisnya. Pergeseran sudut pandang etnografi dari sudut pandang yang dirumuskan secara
ekslusif oleh kalangan antropolog muncul bersamaan dengan pembentukan disiplin etnolologi. Dalam hal ini alam kehidupan “primitif” dipandang sebagai jendela untuk melihat menggambarkan dan memahami masa lampau prasejarah. prasejarah.
4. Etnografi “Civic Other” (awal abad XX-awal XX -awal tahun 1960-an)
Untuk pertama kalinya penelitian masyarakat kualitatif dilaksanakan yang kemudian tumbuh subur sejak awal 1900-an hingga 1960-an yang meliputi E. Franklin Frezier, Robert Park, Robert Redfield serta para pengikutnya. pengikutnya.
5. Etnografi Asimilasi: The other tetaplah other (1950-1980an)
Pengkajian ulang asimilasi secara umum dan siklus hubungan ras secara khusus menghasilkan paparan kritis metodologis yang dikatakan menyangsikan inti dari hipotesis itu sendiri. Asimilasi yang artinya pembauran 2 budaya disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli hingga membentuk kebudayaan baru. Dimana warga pribumi Amerika, Latin, Asia Amerika dan Afrika Amerika berupaya untuk mengambil alih penelitian terhadap warga mereka sendiri.
6. Etnografi Hari ini (pertengahan tahun 1980-hari ini)
Metode etnografi pada masa ini menjadi sangat halus dan beragam serta alasan untuk menekuni etnografi pun telah bertambah banyak. Tidak lagi terikat nilai-nilai yang telah memandu dan memfokuskan penelitian bagi kalangan etnografi sebelumnya. Etnografi yang baru ini mencakup tema garapan yang sangat luas, hanya dibatasi oleh keragaman pengalaman dalam kehidupan modern, sudut-sudut yang digunakan untuk melakukan observasi etnografi sama banyaknya dengan pilihan gaya hidup yang tersedia dalam masyarakat modern. (Raharjo M, 2017)
5 Kurun Sejarah Penelitian Kualitatif (Normon K Dezin & Yvonna S. Lincoln)
1. Periode Tradisional (1900-1950) Para peneliti kualitatif periode tradisional(1900 – 1950) 1950) masih bekerja dalam tradisi paradigma positivistik. Kendati sudah menggunakan hasil pengalaman dan
pengamatan lapangan sebagai data, mereka masih mengukur validitas, reliabilitas, dan objektivitas dalam menginterpretasi data, sebagaimana dalam tradisi positivistik. Halhal di luar yang tampak dan teramati masih dianggap aneh dan asing. Peneliti kualitatif periode ini masih sangat diwarnai oleh tradisi positivistik yang mendasarkan analisisnya pada data objektif yang tampak. (Raharjo M, 2017)
2. Periode Kejayaan (Golden Age, 1950-1970) Setelah periode tradisional, metode kualitatif memasuki masa kejayaan dan periode suram dan berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga 1970-an. Periode ini dikaitkan dengan kelahiran post-positivisme. Pada saat yang sama perspektif baru dalam penelitian kualitatif seperti hermeneutika, strukturalisme, semiotika, fenomenologi, studi budaya, interaksionisme simbolik, konstruktivisme, etnometodologi, teori kritis, neo-Marxisme, dan feminisme muncul dan menjadikan metode penelitian kualitatif sangat kompleks. Kompleksitasnya tidak saja disebabkan oleh wilayah kajiannya berupa fenomena sosial yang memang rumit, tetapi juga karena keragaman perspektif yang dipakai. Itu sebabnya penelitian kualitatif tidak memiliki pola yang baku, sebagaimana penelitian kuantitatif, lebih-lebih pada model analisis datanya. Tetapi di sisi lain, periode ini dikenal sebagai masa kejayaan keja yaan ilmu-ilmu sosial. (Raharjo M, 2017)
3. Periode Suram (1970-1986) Pada periode suram (blurred period), ilmu-ilmu humaniora menjadi wilayah kajian utama teori-teori interpretif kritis. Akibatnya,peneliti kualitatif harus belajar bagaimana mengambil mengambil perspektif dari disiplin lain. Ini bukan pekerjaan gampang. Pada periode tersebut juga mulai dikenalkan metode penelitian kualitatif terapan(applied qualitative research). Penelitian grounded, studi kasus, dan metode historis, biografi, etnografi, dan penelitian klinis juga mulai dikenalkan. Komputer juga mulai dipakai untuk menganalisis data kualitatif, berupa teks, catatan lapangan, dan transkrip. (Raharjo M, 2017)
4. Periode Krisis Representasi (1986-1990) Periode berikutnya disebut periode krisis representasi (crisis of representation) dimana peneliti berjuang keras bagaimana meletakkan diri mereka di tengah-tengah terjadinya diaspora metodologis. Sebab, para peneliti humaniora pindah ke ilmu-ilmu
sosial untuk menemukan teori-teori sosial baru, dan mencari cara baru bagaimana mengkaji budaya populer dan konteks etnografik lokalnya. Sebaliknya, para ilmuwan sosial justru melihat ilmu-ilmu humaniora sebagai lahan kajian yang menarik. Dari ilmu-ilmu humaniora, para ilmuwan sosial juga belajar bagaimana teks-teks sosial tidak bisa dipahami secara linier dan simpel. (Raharjo M, 2017)
5. Periode Post Modernisme (1990-1995) 6. Periode Eksperimental & Etnografi Baru (1990-1995) 7. Periode Post Eksperimental (1995-2000) 8. Periode Pertarungan Metodologis (2000-2004) 9. Periode Kini (2005-Sekarang) Para ilmuwan social menekankan pentingnya tujuan “keadilan social” di dalam dimensi penelitian, yang kemudian melahirkan berbagai keilmuan social yang mem”pribumi” (indigenous); (indigenous); dekolonisasi akademi melalui riset-riset kesarjanaan (graduate research) research) dan kultur di berbagai fakultas, para ilmuwan social mentransformasi institusi mereka melalui metodologi yang “membebaskan” (liberation methodology). (Santana S, 2010) methodology). (Santana
10. Periode “Fractured Future” Future” Para akademisi bekerja dalam kerangka praksis politik, memunculkan generasi baru di dalam hal etika, estetika, dan teleologis yang menglobalisasi dunia. (Santana S, 2010)
Paradigma Sejarah Penelitian Kualitatif
11. Paradigma Positivisme Merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologirealisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian adalah untuk mengungkap kebenaran yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Postivisme muncul abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, kemudian dikembangkan oleh Jhon Stuart Mill, dan Emile Durkheim. (Santana S, 2010)
12. Paradigma Postpositivisme Paradigm ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan kelemahan -kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuanpengamatanlangsung dari objek yang diteliti. Secara ontologism aliran ini bersifat critical realism yang memandang sama bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam metode, sumber data, dat a, peneliti dan te teori. ori. Tokoh yang terkenal dalam penelitian ini adalah Max Weber. (Santana S, 2010)
13. Paradigma Interpretif/fenomenologi Paradigma ini lebih menekankan pada makna atauinterpretasi seseorang terhadap sebuah simbol. Tugas dari teori ini adalahmemaknai (to interpret atau to understand) jadi bukanto explain dan to predict sebagaimana paradigmapositivisme. Kualitas teori dalam paradigma ini adalahdiukur kemampuannya
memaknai
bukan
pada dari
padakemampuannya untuk menjelaskan dan
meramalkan.Paradigma ini memiliki kesadaran konstektual yangtinggi,
di
mana
paradigma ini tidak untukmenggeneralisasikan temuan penelitian atau teori. Teoriini tidak memiliki perhatian pada hukum yang universal. Paradigma interpretif memahami bentuk funda-mental dari dunia sosial pada level pengalaman subjektif seseorang. Dengan kata lain paradigma inimencari penjelasan dalam realisme tentangsubjektivitas t entangsubjektivitas dan kesadaran individu, dalam kerangkaacuan mengenai partisipan parti sipan berhadapan dengan penelitimengenai tindakan. Pendekatan ini, bagi ilmu sosial,cenderung nominalis, anti positivistik, voluntaris, danideografik (Burrell dan Morgan, 1979). Paradigma inimemandang realitas sosial sebagai sesuatu yangbersifat subjektif, diciptakan (ditemukan), danditafsirkan. Paradigma tersebut memahami hakikatmanusia sebagai pencipta
dunianya,
menciptakansistem
makna.
Ilmu
Pengetahuan
yang
dibangunnyabersifat common sense, induktif, ideographic,menekankan pada makna, tidak bebas nilai. (Paranoan N, 2015)
14. Paradigma Konstruktivisme Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas realit as yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada
paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai
pesan.
Konstruktivisme
justru
menganggap
subjek
(komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan hubungan-hubung an sosial. sosi al.
15. Paradigma Kritis Awal mula munculnya penelitian dengan paradigma teori kritis merupakan reaksi terhadap kelemahan perspektif objektif dalam penelitian sosial. Para penganut aliran teori kritis menyadari bahwa perkembangan ilmu sosial didominasi paradigma positivistis yang mengedepankan obyektivitas dalam analisisnya. Aliran teori kritis memandang bahwa paradigma positivistis dalam penelitian sosial sesungguhnya berkeinginan
untuk
mempertahankan
kemapanan.
Kesadaran
ini
mendorong
munculnya gerakan yang menolak cara pandang positivistis yang dinilai tidak mampu mengembangkan ilmu sosial secara utuh. (Halik A, 2018)
DAFTAT PUSTAKA Rahardjo M, Sejarah penelitian kualitatif: penelitian etnografi sebagai titik tolak. tolak. Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang. 2017 Santana S. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Kualitatif . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; 2010. Halik A. PARADIGMA KRITIK PENELITIAN KOMUNIKASI (PENDEKATAN KRITISKRITISEMANSIPATORIS DAN METODE ETNOGRAFI ETNOGRAFI KRITIS) KRITIS) Jurnal Jurnal Tabligh. Tabligh. Desember 2018; 19(2):162 – 19(2):162 – 178 178 Paranoan N. RISET NON POSITIVISTIK AKUNTANSI DALAM TIGA PARADIGMA: INTERPRETIF, KRITIS DAN POSMODERNISME. Jurnal POSMODERNISME. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis.. Januari 2015: 10(1). Bisnis Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS
View more...
Comments