satu

April 2, 2017 | Author: Adeano Dean | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download satu...

Description

SULTHONUL AWLIYA‟ SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI AL-BAGHDADI Monday, November 8, 2010 12:47:56 PM raja seluruh wali SULTHONUL AWLIYA‟ SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI AL-BAGHDADI

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah seorang Sufi agung “Al-Ghautsul A‟zham” yaitu Waliullah Agung yang senantiasa mendengar rintihan orang-orang yang memohon pertolongan dan memberikan bantuan kepada mereka yang memerlukan pertolongannya. Selain itu, ia juga disebut “Al-Quthbul-A‟zham” yang berarti poros, puncak keruhanian, pemerintah keruhanian di dunia (dizamannya), sumber hikmah, penggores ilmu, contoh Mukmin dan Muslim sejati, pewaris kesempurnaan Nabi Muhammad SAW, Insan Kamil, dan peletak dasar Tharekat Qadiriyah (tharekat yang tersebar luas di seluruh dunia dengan jutaan pengikut hingga sekarang). Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 Hijrah (1077 Masehi) di daerah yang bernama Al-Jil di Parsi (sekarang Iran). Beliau berpulang kerahmatullah pada tahun 561 Hijrah (1168 Masehi) pada saat berusia 91 tahun. Sufi besar ini disemayamkan di kawasan Madrasah Bab ad-Daraja di Baghdad. Makam ini menjadi tempat yang paling populer dikunjungi oleh para Sufi dan umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Silsilah (nasab) beliau adalah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani atau Abu Muhammad Abdul Qadir à Abi Shalih Musa à Abdillah al Jiily à Yahya az Zahid à Muhammad à Daud à Musa à Abdullah al Mahdli à Hasan al Mutsanna à Hasan à Ali bin Abi Thalib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ra. yang merupakan khalifah keempat adalah menantu Rasulullah SAW yaitu suami dari Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Abul Hasan An-Nadawi, dalam kitabnya “Rijalul Fikri wal da‟wah wal Islam” (Tokoh-tokoh Intelektual Da‟wah dan Islam) mengisahkan tentang Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sebagai berikut : “Majelis beliau (Abdul Qadir) dihadiri oleh tujuh puluh ribu orang. Di tangannya lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam, dan lebih dari seratus orang yang sesat bertaubat. Beliau buka pintu bai‟at dan taubat di bawah bimbingannya. Maka masuklah ke dalam bimbingannya orang-orang yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah, sehingga keadaan umat semakin membaik dan keislaman mereka pun semakin mendalam. Syeikh Abdul Qadir terus menerus mendidik, membimbing dan mengontrol perkembangan masyarakat. Sehingga mereka menyadari tanggung jawab yang mereka pikul setelah mereka berbai‟at, bertaubat dan memperbaharui keimanan. Kemudian Syeikh Abdul Qadir memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang cerdas, istiqomah, dan punya kemampuan untuk mentarbiyah. Murid-murid beliau kemudian menyebar ke seluruh pelosok bumi. Mengajak umat manusia ke jalan Allah, mentarbiyah jiwa mereka dan memberantas syirik, bid‟ah, nifaq dan berbagai bentuk kejahiliahan lainnya. Maka tersebarlah da‟wah Islamiyah dan berdirilah markasmarkas keimanan, madrasah-madrasah kebaikan, barak-barak jihad, dan perkumpulanperkumpulan ukhuwah Islamiyah di seluruh penjuru dunia Islam … Para pengikut Syeikh Abdul Qadir, murid-muridnya, dan generasi berikut yang mengikuti

langkahnya dalam da‟wah dan perbaikan jiwa manusia; mempunyai peran yang sangat besar dalam menjaga semangat Islam, pelita iman, da‟wah, dan jihad, serta kemampuan menolak syahwat dan cinta kekuasaan. Mereka pun memiliki andil sangat besar dalam menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang tak bisa dicapai oleh pasukan Islam atau tak bisa ditundukkan secara militer. Atas andil mereka Islam menyebar di Afrika hitam, Indonesia, kepulauan lautan Hindia, Cina, India dan negeri-negeri lain.” Penulis terkenal Syakib Arselan rahimahullah dalam bukunya „Hadirul „Alam Islami‟ (Dunia Islam Masa Kini) dalam sub judul “Nahdlotul Islam fil-Afriqiya Wa Asbabuha” (Kebangkitan Islam di Afrika) menulis sebagai berikut : “Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang tinggal di daerah Jaelani merupakan seorang mursyid agung yang tumbuh brilian. Beliau mempunyai pengikut yang tak terbilang jumlahnya, thoriqah (bimbingan) nya sampai ke Asbania (Spanyol). Ketika pemerintahan Arab (Islam) lenyap dari Spanyol, madrasah Qodiriyah pindah ke Fas. Berkat cahaya yang terpancar dari madrasah ini, berbagai bentuk bid‟ah yang ada pada orang-orang Barbar berhasil dilenyapkan. Untuk selanjutnya mereka berpegang teguh pada ajaran Ahli Sunnah Wal Jama‟ah.” Dibawah ini kami mengutip beberapa wejangan yang sangat berharga dari Sulthonul Awliya‟ Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di dalam kitab Rahasia Sufi (Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilaihi alAbrar) yang diterjemahkan oleh Abdul Majid Hj. Khatib tentang : Ilmu, Taqwa kepada Allah, Pembersihan Diri, Shalat, Zakat, Puasa, Ibadah Haji dan Mencapai derajat insan kamil. Semoga sangat besar sekali manfaatnya untuk kita lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah yang tentunya dapat memberikan motivasi dan kontribusi pada kita dalam rangka meraih kejayaan dan keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia wal akhirat. A. T E N T A N G I L M U (Mengenai ilmu („ilm) ini Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani) Monday, November 8, 2010 12:51:42 PM A. T E N T A N G I L M U (Mengenai ilmu („ilm) i Mengenai ilmu („ilm) ini Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani membagi ke dalam empat bagian diantaranya : 1. Ilmu Syari‟at, yang berkenaan dengan hukum agama yakni ilmu yang berisi perintah dan larangan Allah. 2. Ilmu Hikmatut-Tasyri‟, yang berkenaan dengan hikmah di balik hukum atau syari‟at agama. 3. Ilmu Hakikat, yang berkenaan dengan ruh atau hakikat yang tersembunyi. 4. Ilmu Ma‟rifah, yaitu ilmu yang berkenaan dengan pengenalan terhadap Zat bagi segala zat atau Hakikat dari segala hakikat. Insan atau manusia yang sempurna hendaknya wajib mengetahui peringkat-peringkat ilmu tersebut. Bila mereka belum mengenalnya hendaknya mereka harus mencari jalan untuk mempelajari ilmu itu. Al-Qur‟an dengan segala tafsir, penjelasan, interpretasi, dan perumpamaan-perumpamaannya, mengandung semua bagian ilmu tersebut. Tafsir Al-Qur‟an pun menjelaskan maksud ayat-ayat AlQur‟an itu bagi orang awam. Selain itu, terdapat pula penafsiran lain yang dibuat dengan berbagai perumpamaan, yakni penjelasan makna batin ayat-ayat tersebut. Penjelasan seperti ini biasanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu atau orang-orang pilihan. Konkretnya, penafsiran semacam itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang dalam tingkatan ruhani tertentu memiliki keyakinan atau keimanan yang kuat dan teguh pemahamannya serta memiliki kemantapan ilmu sehingga membolehkan mereka membuat penilaian dan pertimbangan tentang sesuatu yang hakiki. Tingkat keruhanian mereka ibarat sebatang pohon, urat akarnya teguh terbenam di dalam tanah, sedangkan pangkalnya membujur di bumi dan pucuknya menjulang ke langit ke tujuh. Tidak ada

keraguan dalam hati mereka tentang Allah. Ibarat kalimat Laa Ilaha Illallah yang akarnya dibumi ketujuh dan pucuknya menerawang ke langit yang ketujuh pula, bahkan lebih tinggi dari itu. Inilah satu perumpamaan tentang keruhanian orang-orang pilihan Allah. Hanya Allah yang tahu tentang Keesaan yang mereka hayati, atau Tawhid yang tumbuh mengerucut di dalam hati mereka. “Dialah yang menurunkan al-Kitab (Alqur‟an) kepada kamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat mahkamat yang merupakan pokok-pokok isi Alqur'an, sedangkan yang lain berupa ayat-ayat mutasyabihat. Bagi orang-orang yang dalam hatinya lebih condong kepada kesesatan, maka sebenarnya mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari ta‟wilnya (yang keliru), padahal tidak ada yang mengerti ta‟wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran : 7) Seorang penafsir Alqur'an pernah berkata tentang ayat tersebut : “Jika pintu ayat ini terbuka maka semua pintu ilmu rahasia yang ada dalam batin akan terbuka pula.” 1. Hamba Allah yang Sejati Monday, November 8, 2010 12:54:01 PM 1. Hamba Allah yang Sejati Hamba Allah yang sejati haruslah melaksanakan segala sesuatu apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarangan-Nya. Hendaknya ia berusaha untuk menundukkan hawa nafsunya yang berupa amarah dan serakah. Hawa nafsu yang berlawanan dengan perintah agama itu ada dalam khayalan dan fikiran yang berlawanan dengan yang hakikat. Segala perbuatan yang dibenarkan oleh agama, itulah yang suka ditentangnya. Dan segala perbuatan yang bertentangan dengan agama, dengan senang hati dilakukannya. Itulah peranan hawa nafsu dalam diri manusia. Dalam tingkat thariqah, ego atau nafsu itu mendorong seseorang untuk mengikuti ajaran-ajaran agama yang palsu dan seolah-olah para pengamal thariqah itu telah berjalan di atas ajaran yang benar, yakni ajaran dari Allah. Padahal seringkali jalan thariqah yang dianggapnya benar itu sebenarnya salah dan bathil, karena penuh dengan kekeliruan, berbenturan dengan tuntutan syari‟at dan petunjuk Islam yang hakiki. Dalam tingkat hikmah atau hakikat, masalah yang dihadapi lebih berat lagi, karena ego dan keinginan yang ada dalam diri seseorang selalu mendorong hasrat untuk mendakwa mereka sebagai Waliyullah. Bahkan, ada pula yang mau mengaku dirinya sebagai “tuhan”. Inilah dosa yang paling besar. Allah berfirman : “Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ?” (Q.S. Al-Furqan: 43) Peringkat-peringkat tersebut sangat berbeda dengan peringkat ma‟rifah. Peringkat ini tidak pernah dapat dijamah oleh nafsu dan iblis. Bahkan malaikatpun tidak mampu mencapainya. Apa dan siapa pun selain Allah bila dapat sampai ke dalamnya, niscaya ia akan hangus. Malaikat Jibril pernah berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Jika selangkah saja aku masuk ke situ, maka hanguslah aku.” Hamba Allah yang sebenarnya ialah hamba yang bebas dari gangguan ego dan nafsu setan, karena dirinya dilindungi oleh perisai keikhlasan dan kesucian hati dalam berma‟rifah kepada Allah SWT. Seorang alim berkata, “Jika sang hamba itu mentaati Allah dengan sepenuh hati dan perasaan, niscaya Allah akan mengaruniakan ma‟rifah untuknya. Bahagialah ia memandang rahasia-rahasia Tuhan di balik Alam Malakut. Namun, bila kemudian ia berbalik hati, ingkar kepada syaratsyaratnya, karunia itu akan dicabut-Nya kembali. Hatinya yang penuh dengan cahaya ma‟rifah akan kembali suram, gelap gulita seperti semula. Karena itulah, orang yang hatinya telah dipenuhi cahaya ma‟rifah sangat khawatir bila cahaya itu akan dicabut seperti keadaannya yang dulu karena suatu kesalahan yang dibuatnya. Iblis laknatullah selalu menanti peluang untuk masuk dalam diri manusia. Apabila manusia lalai, mereka akan membelitnya dengan belalainya dan dijerumuskannya manusia ke lembah kehinaan sehingga semua amalan yang pernah diperolehnya dengan susah payah akan menjadi abu dan sia-sia.

Firman Allah : “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku bersungguh-sungguh akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (yaitu orang yang ikhlas) di antara mereka.” (Q.S. Shaad: 82 – 83). Lihatlah, betapa Iblis laknatullah sendiri mengaku di hadapan Allah SWT, bahwa ia tidak mampu menggoda orang yang mengikhlaskan dirinya hanya kepada Allah, sebagaimana bunyi ayat tersebut di atas. Manusia tidak akan sampai ke peringkat tertinggi itu selagi ia belum suci, karena nafsu-nafsu dunia tidak akan melepaskannya hingga Zat Yang Maha Esa itu terlahir padanya. Inilah yang disebut dengan keihklasan. Zat itu hendaknya dikenali dengan sempurna. Kejahilan akan hilang dari diri manusia bila ia menerima ilmunya secara langsung dari Allah. Ilmu yang semacam ini tidak dapat dicapai dengan cara belajar, karena ilmu itu adalah karunia dari Allah yang diberikan khusus kepada hamba pilihan (Waliyullah) tanpa perantara atau wasilah. Apabila Allah SWT menjadi gurunya maka Dia akan memberikan berbagai sumber ilham ke dalam diri mereka, segala rahasia-rahasia yang halus akan dilontarkan Allah ke dalam hati mereka. Maka menjelmalah ia seperti Nabi Khidir atau hamba-hamba shaleh yang lain, yang selalu menerima sumber ilmu dari Yang Pemilik ilmu itu. Keadaan semacam inilah yang disebut telah mencapai tingkat makrifah. Mereka telah mengenali Tuhan Penciptanya, dan senantiasa mengabdi kepada Tuhan yang sudah dikenali-Nya. Orang yang mencapai peringkat ini akan melihat Ruh al-Quds (Ruh Suci) dan kekasih Allah, yaitu Nabi Muhammad SAW. Ia boleh berbincang-bincang dengan kekasih Allah tentang segala perkara dari awal hingga akhir, dan Nabi-Nabi lainnya memberinya tanda atau isyarat yang baik tentang janji bahwa ia akan berkumpul bersama kekasih Allah itu. Hal ini tidak mengherankan karena mereka yang telah mencapai peringkat ini, semua keinginannya akan terpenuhi dengan kehendak Allah. Firman Allah : “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersamasama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang paling baik.” (Q.S. AnNisaa‟: 69) 2. Peringkat Khusus bagi Orang-orang Terpilih Monday, November 8, 2010 12:56:01 PM 2. Peringkat Khusus bagi Orang-orang Terpilih Barangsiapa yang tidak memperoleh ilmu di peringkat yang khusus, maka mereka tidak akan paham bagaimana orang yang di peringkat itu diizinkan melihat Ruh al-Quds, Nabi Muhammad SAW, dan „berbincang-bincang dengan Nabi Muhammad‟. Mereka melihat dan berbincang-bincang tidak dengan mata dan mulut yang zahir, karena mata dan mulut yang zahir ini tidak mungkin mampu berbuat demikian. Perkara ini adalah perkara ruhaniah, perkara gaib, perkara yang berhubungan dengan ruh suci dan yang disucikan dengan zikrullah dan riyadah (latihan) para Awliya‟ Allah. Barangsiapa yang tidak mendapat ilmu ini, maka tidak akan menjadi orang yang bijaksana dan arif, walaupun ia membaca sejuta kitab. Mungkin ganjaran yang diperoleh oleh mereka yang alim dalam ilmu zahir ialah surga di tempat dimana yang tampak adalah penzahiran sifat-sifat Ketuhanan dalam bentuk Nur (cahaya). Walau begitu tinggi dan sempurnanya ilmu zahir seseorang, ilmu itu tidak akan membantunya memasuki Majelis Ketuhanan atau Hazirah al-Quds, yaitu sebuah tempat „bersama‟ Allah. Mereka perlu terbang ke Hazirah al-Quds. Hamba Allah yang benar-benar berniat terbang ke peringkat itu sebenarnya memerlukan dua „sayap‟, yaitu ilmu zahir dan ilmu batin (ilmu syariat dan ilmu hakikat). Kedua „sayap‟ ini mereka kepakkan tanpa henti dalam perjalanannya. Mereka terbang tanpa peduli terhadap hal-hal yang menggoda mereka selama dalam perjalanan. Tujuan akhir yang mereka tuju adalah Allah. Allah perlu dikenal dengan perkenalan yang penuh dengan kesungguhan.

Allah berfirman dalam sebuah Hadis Qudsi, “Wahai hamba-Ku! Jika kamu ingin memasuki MajelisKu, maka janganlah kamu tumpukan perhatianmu kepada dunia ini, kepada alam Malaikat, atau alam yang lebih tinggi dari itupun !” Tegasnya, orang yang berma‟rifah kepada Allah, cukuplah ma‟rifah ditujukan semata-mata kepada Allah, tidak kepada selain Dia . Dunia nyata ini dalam pandangan orang-orang yang berilmu adalah penggoda atau penipu, musuh atau setan. Di peringkat Alam Malaikat pun ditemui penggoda atau musuh bagi ahli ruhani, dan di peringkat sifat-sifat Allah muncul pula penggoda dan musuh bagi ahli hakikat. Barangsiapa yang tergoda dan dapat terkalahkan oleh penggoda-penggoda atau musuh-musuh itu, niscaya ia tidak akan mendapat nikmat „bersama‟ atau „bersatu‟ dengan Allah. Barangsiapa tergoda oleh rayuan penggoda dan dikalahkan oleh musuh, pasti langkahnya akan terhenti hanya sampai di situ dan tidak akan dapat maju lebih tinggi dan lebih jauh lagi dalam perjalanan menuju tujuan akhir, yaitu Zat Yang Maha Tinggi. Meskipun tujuannya ingin „bersatu‟ dengan Zat itu namun ia tidak akan pernah sampai. Perjalanannya akan terhenti sampai di tempat itu. Mereka yang seperti ini adalah orang-orang yang terbang hanya dengan satu sayap, sedangkan sayapnya yang sebelah telah patah. Orang-orang yang tidak menyimpang dari tuntunan jalan Allah dan tidak tergoda oleh penggoda dan musuh dalam perjalanannya menuju Allah, niscaya akan menerima hadiah dari Allah SWT yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran. Di tempat itulah surga „bersama Allah‟ berada. Di surga itu tidak ada intan permata, tidak ada bidadari, tidak ada mahligai, dan sebagainya. Di tempat itulah ia mengenal dirinya dan tidak menginginkan sesuatu yang bukan diperuntukkan baginya. Sayyidina Ali pernah berkata, “Mudah-mudahan Allah SWT mencurahkan rahmat kepada siapa yang mengenal dirinya yang tidak melanggar batas, yang menjaga lidahnya, dan yang tidak menyia-nyiakan hidupnya di dunia ini.” Dunia ini bukan negeri yang kekal dan mengharuskan manusia menumpukan segala perhatian kepadanya. Dunia adalah tempat ujian, tempat menanam kebajikan, sedangkan akhirat adalah tempat menuai hasilnya. 3. Pancaran Ruh Suci Ruh al-Quds Monday, November 8, 2010 12:58:03 PM 3. Pancaran Ruh Suci Ruh al-Quds Orang yang berma‟rifah kepada Allah menyadari bahwa „anak ruh‟ atau „anak hati‟ (yakni pancaran Ruh Suci atau Ruh al-Quds) yang zahir di dalam hati adalah makna kemanusiaan atau insan yang sebenarnya. Itulah insan hakiki. Karena itu, manusia hendaknya mendidik „anak hati‟ itu agar tumbuh dan berkembang sehingga bersinar cerah terang benderang. Dengan sinar itu mereka dapat menyadari hakikat Keesaan Tuhan (tauhid) sehingga terhapuslah dalam diri mereka sifat menyekutukan Tuhan (syirik). Sadarlah mereka tentang apa yang dikatakan oleh alam ruhani dan tersingkirlah segala ingatannya tentang alam kebendaan. Kini masuklah kesadaran itu ke dalam rahasia yang didalamnya tidak ada ingatan lain, selain Zat Allah Yang Maha Esa. Pada hakikatnya itulah tempat atau alam tanpa batas yang tidak mengenal awal dan akhir. Anak ruh (anah hati) terbang menjelajah di alam maha luas dan melihat pemandangan yang belum pernah dilihat sebelumnya, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tempat itulah tempat tinggal bagi mereka yang meninggalkan ghairullah (selain Allah). Ingatan mereka hanya terpusat pada kehendak mendapat karunia berupa kemampuan melihat dengan mata Ketuhanan, yaitu mata Keesaan dan Tauhid sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa Hadis Qudsi. Apabila mereka dapat melihat keindahan dan kebesaran Allah, maka fana‟-lah mereka dari ghairullah. Jika kita melihat matahari, hal-hal yang lain tidak akan tampak, tak terkecuali diri kita sendiri. Apabila keindahan dan kebesaran Allah terzahirkan, apa lagi yang mungkin tertinggal pada kita ? Kosong semata, sepi, sunyi. Tiada yang lain lagi.

Itulah rahasia manusia, rahasia insan. Ia lahir melalui pencampuran ilmu manusia tentang agama dengan kesadaran manusia tentang hakikat, seperti bayi yang lahir dari percampuran dua titik air. Firman Allah :“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitik mani yang bercampur, yang hendak Kami uji. Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Q.S. Al-Insan: 2) Seluruh isi dunia ini pada hakikatnya hanyalah setetes air jika dibandingkan dengan lautan alam ruhani. Hanya dengan mamahami kekuasaan dan cahaya ruhani ini, rahasia Ketuhanan dan hakikat yang sebenarnya akan melimpah ke alam nyata tanpa huruf dan tanpa suara. Dengan kata lain, setelah hati dan jiwa kita direvolusikan dengan ilmu ruhani dan Ketuhanan, maka muncullah kesadaran kita tentang hakikat segala sesuatu dan rahasia Ketuhanan. 4. Pancaran Ilham dari Hazirah al-Quds Monday, November 8, 2010 12:59:00 PM 4. Pancaran Ilham dari Hazirah al-Quds Orang-orang Sufi dikenal juga dengan Ahlullah (orang kesayangan Allah), orang yang selalu menjadi saluran iradah Allah. Karena hati mereka telah bersih suci dan bercahaya cemerlang, terbukalah pintu dan jendela hati itu untuk menerima Nur dari rahasia-rahasia halus yang memancar dari Majelis Ketuhanan (Hazirah al-Quds). Di situlah tersimpan segala rahasia Ketuhanan sebagai perbendaharaan ilmu ladunni dan ilham. Kebun hati itu juga menjadi lembah bermuaranya semua ketentuan Allah, yakni takdir-Nya. Apabila Sirr mengelilingi kawasan takdir itu, terlahirlah dari berkas cahaya dan berbagai ilmu dan rahasia. Seorang Sufi yang telah berpangkat Wali, pada umumnya memiliki bermacam-macam pengetahuan yang sulit ditelusuri melalui ilham komputer kebatinannya. Dengan kehendak Allah SWT, ia dapat mengatakan hal-hal yang pelik dan terkadang ajaib. Perkara-perkara yang ghaib itu tidak dapat dijangkau oleh kecerdasan fikiran manusia biasa. Seringkali ia menyampaikan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi melalui isyarat-isyarat yang jelas, dan kadangkala dengan isyarat yang sulit diterima oleh akal manusia. Sebagai contoh, simaklah kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa „alaihima as-salam. Semua yang dilakukan oleh Nabi Khidir adalah hal-hal yang luar biasa peliknya, namun semua merupakan takdir yang diilhamkan kepadanya. Ilmu ini dinamakan ilmu ladunni, ilmu yang terus mengalir dari Majelis Ketuhanan yang tidak perlu dipelajari, bahkan tidak ada jalan untuk mempelajari. Ilmu itu adalah karunia yang datang kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Ada kalanya ilham-ilham yang ringan datang melalui cahaya yang menembus jendela hati seseorang apabila hati mereka suci dan sedang giat bekerja dengan berzikir dan mengingat Allah. Sebenarnya, bila hati seluruh manusia tidak terselubung daki-daki dunia yang menutup jendela hati itu, niscaya semua manusia pun akan menerima ilham yang halus ini dan menerima ilmu ladunni yang dikaruniakan Allah kepada para hamba-Nya. Di antara ilham-ilham yang biasa itu terdapat ilham dalam diri sendiri. Tanda yang paling nampak untuk mengenal ilham ini adalah tatkala manusia akan makan, yang kemudian terdengar suara kecil dari dalam diri mereka. Kita tentu dapat merasakannya. Dan apabila kita mendengar suara hati yang meminta makan, misalnya, sebaiknya kita segera melaksanakan keinginannya, yakni makanlah. Allah telah berfirman di dalam Alqur'an : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaan.” (Q.S. Asy-Syams: 8) Jadi, kedua ilham itu kerap dilalaikan oleh batin manusia. Maka disinilah peran akal untuk menunjukkan hati ke tempat seharusnya ia menambatkan terajunya ; apakah ke arah kefasikan yang diilhamkan atau ke arah ketaqwaan. Tuhan telah memberikan solusi agar dipilih oleh manusia, dan memberi penjelasan untuk setiap nasib yang dipilihnya supaya manusia tidak menuntut bila nasibnya menjadi buruk karena ilham itu. Allah kemudian melanjutkan firman-Nya itu : “Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa)nya itu, dan rugilah (hampalah) orang yang mengotorkannya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)

Orang yang membersihkan jiwanya adalah orang yang kelak beruntung di hari pertemuan dengan Tuhan, karena dia telah menerima dengan baik keterangan Tuhannya yang memang seringkali benar terjadi, jika dia membersihkan dirinya dengan memperbanyak amalan shaleh, dan memalingkan dirinya dari segala hal yang dapat membahayakan dirinya, serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat dan sia-sia. Karena Dia juga memberitahukan bahwa orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat serta melakukan pekerjaan yang sia-sia, niscaya dia akan merugi di hari akhirat kelak. Kerugian itu datang karena dia telah kembali menemui Tuhannya dengan tangan kosong tanpa pahala. Malah yang dipikulnya adalah dosa dan maksiat yang akan membinasakan dirinya sendiri. Tegasnya, kita tidak akan mampu mengamalkan kedua ayat diatas, selagi kita berada di luar gerbang Tuhan. Orang yang akan memasuki gerbang ini mestilah terlebih dahulu mensucikan dirinya sehingga dia dapat diterima menjadi ahli-Nya. Adapun orang yang masih kotor dengan daki-daki dunia, mungkin mengira ia dapat mendengar suara bathinnya itu, dan ia dapat benar dan salah dalam dakwaannya itu. Belum tentu gerbang yang dimasukinya itu adalah gerbang Allah. Sebab syaitan pun membuat gerbang juga, dan berdaya upaya mengajak manusia untuk memasuki gerbangnya. Jelasnya, orang itu harus dapat membedakan antara kedua bisikan itu, yaitu bisikan bathin Ketuhanan dan bisikan ilham dari setan. Ilham dari Tuhan adalah ilham yang sejak awal telah bersih, dan bukan ilham yang seakan-akan (berpura-pura) bersih. Ilham dari setan adalah ilham nafsu yang kotor dan penuh tipu daya, wallahu-a‟alam. B. TENTANG TAQWA KEPADA ALLAH Monday, November 8, 2010 1:00:53 PM B. TENTANG TAQWA KEPADA ALLAH “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali Imran: 102) “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyir: 18) Dari dua ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa taqwa adalah sebaik-baik bekal di akhirat. Orang yang berjalan menuju Allah SWT, sangat perlu memiliki ketaqwaan dalam dirinya. Tanpa ketaqwaan itu, ia akan mendapatkan kesulitan dalam perjalanannya menuju kepada Allah SWT. Ia akan lebih mudah binasa daripada selamat dalam perlindungan Allah SWT. Karena itu, Allah SWT telah mengingatkan kepada seluruh hamba-Nya agar membekali diri dengan iman dan taqwa kepada-Nya karena keimanan dan ketaqwaan itu merupakan satu-satunya jaminan keselamatan dalam perjalanan menuju ke akhirat. Menurut pendapat para Salik (orang yang berjalan menuju Allah), taqwa bukan saja diperlukan sebagai bekal akhirat, bahkan taqwa mesti disimpan di dalam hati agar mudah bagi mereka untuk mengumpulkan sifat-sifat baik dalam dirinya dan menolak sifat-sifat buruk yang menggoda mereka. Taqwa ibarat sebuah penyaring yang dapat menepis semua tingkah laku si Salik (orang yang berjalan menuju Allah). Dengan taqwa mereka dapat menghimpun semua perbuatan baikbaik yang mendatangkan manfaat bagi diri mereka. Intinya, semua perbuatan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya dapat diselipkan dalam kantung mereka. Selain itu, ia dapat menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang mendatangkan bahaya pada agamanya. Karena itu, mereka menjauhkan diri dari perbincangan-perbincangan yang tidak perlu (omong kosong), atau menyantap makanan atau minuman yang tidak perlu, atau mengharapkan atau mencita-citakan harta dan pangkat yang tidak perlu, atau melakukan perkara yang mubah (diperbolehkan), meskipun dalam syariat dianggap zahir. Perbuatan-perbuatan itu dapat menjauhkan mereka dari dosa. Perbuatan-perbuatan yang sia-sia itu dipandang momok oleh para Salik (orang yang berjalan

menuju Allah) dan ahli Sufi karena mereka khawatir semua itu akan memalingkan mereka dari penyerahan diri kepada Allah, atau dapat menarik minat mereka dari ingatan selain Allah. Bukankah yang demikian itu akan menjauhkan mereka dari kedekatannya dengan Tuhan Penciptanya Yang Maha Mengetahui segala yang tampak maupun yang tersembunyi darinya ? Perbuatan-perbuatan itu benar-benar akan merugikan para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) yang sedang melakukan perjalanan menuju Allah SWT dan mempertipis kemungkinan untuk mencapai ma‟rifah Tuhan yang mesti dicari dan dikenali-Nya. Bagaimana mungkin mencapai hakikat taqwa apabila hati masih belum beranjak dari Zahrah alHayah ad-Dunya ( keindahan hidup dunia). Hati demikian masih tertumpu pada hasrat untuk menumpuk harta dunia sebanyak mungkin dan mengecap kenikmatannya. Dalam pikiran orangorang yang terjerat Zahrah al-Hayah ad-Dunya, pangkat dan sanjungan dari manusia merupakan suatu kenikmatan yang harus dicari. Mereka yang hidupnya dipenuhi hasrat untuk mengejar kenikmatan dunia ini niscaya akan berpaling dari penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Ingatannya kepada dunia akan melemahkan derajat kepatuhannya sebagai hamba Allah. Karena itu, Allah SWT telah mewasiatkan para hamba-Nya yang terdahulu dan yang kemudian dengan sebuah firman penting di dalam Alqur'an : “Dan Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang telah diberikan Kitab sebelum kamu dan kepada kamu yang hidup sesudahnya untuk bertaqwa (patuh) kepada Allah.” (an-Nisaa‟: 131) Apabila di sana terdapat sesuatu yang lebih utama daripada taqwa, niscaya Allah SWT telah mengingatkannya kepada hamba-Nya. Namun, yang diingatkan oleh Allah sendiri adalah taqwa yang memberikan banyak manfaat dan pahala yang besar. Allah menginginkan mereka mendapatkan manfaat dan pahala itu. Karena itu, kemudian diwasiatkan-Nya taqwa kepada hamba-Nya yang terdahulu dan yang hidup kemudian. 1. Derajat Taqwa dan Tingkatan-tingkatannya Monday, November 8, 2010 1:15:16 PM 1. Derajat Taqwa dan Tingkatan-tingkatannya Taqwa memiliki beberapa derajat, diantaranya : a) Taqwa dari dosa syirik atau menyekutukan Allah Taqwa dari dosa syirik adalah taqwa untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu selain Allah walau dengan isyarat sekalipun. Apabila suatu amalan ditujukan kepada selain Allah maka tercemarlah amalan itu karena Allah tidak akan menerima amalan yang dibuat bukan untuk mendapat keridhaan Allah. Padahal amalan yang ikhlas adalah amalan yang ditujukan hanya kepada Allah semata. Amalan yang tidak disertai dengan keikhlasan sama artinya dengan amalan yang dibuat untuk memamerkan diri atau riya‟, sedangkan riya‟ merupakan perbuatan yang dicela oleh Allah dan merupakan perbuatan syirik khofi. b . Taqwa dari dosa-dosa besar Taqwa ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Allah. Bukan hanya untuk para Salik, yakni orang-orang yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya ke jalan Allah, taqwa dari dosa besar ini juga diperuntukkan bagi orang-orang yang mengakui keberadaan Allah dan menyembah kepada-Nya. Keta‟atan kepada perintah Allah adalah bukti utama bagi mereka yang beriman. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengakui beriman kepada Allah, sementara ia juga melakukan larangan-larangan-Nya ? Dan ia masih juga bersenang-senang melakukan larangan itu. Bukankah itu sama halnya dengan mempermainkan Tuhan ? Karena itu dikatakan bila kematian datang menjemput seseorang yang tengah melakukan dosa besar maka cahaya keimanan akan tercabut dari hatinya sehingga bahaya besar akan jatuh kepadanya. Coba bayangkan bagaimana keadaan seorang mukmin yang tengah menghadapi kematian, sedangkan keimanan berada di luar hatinya ! Allah SWT tidak ingin hamba-Nya mudah terdorong oleh hawa nafsu yang menyebabkan mereka dengan mudah pula melakukan dosa besar. Karena itu, Allah menjatuhkan hukuman yang berat

kepada pelaku dosa-dosa besar ini, misalnya dengan memberi hukuman potong tangan bagi para pencuri, memberlakukan hukum rajam atau mencambuk sebanyak 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah, memberlakukan hukum cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum arak, dan sebagainya. Hukuman berat ini diberikan bukan karena Islam senang melihat manusia teraniaya, tetapi untuk mencegah bahaya yang akan menimpa umatnya akibat dari perbuatanperbuatan yang sangat tercela itu. Selain itu, perbuatan dosa besar bertentangan dengan konsep iman yang telah diakui oleh orangorang yang mengakui dirinya Islam. Jika mereka tetap melakukan dosa tersebut, secara tidak langsung ia telah menanam bibit kufur di dalam dirinya, karena perbuatan dosa besar selalu dibuat oleh orang-orang kafir secara sewenang-wenang tanpa ada hukum yang mencegahnya dan mereka tidak pernah melakukan pelarangan untuk semua perbuatannya. Tegasnya, dengan dosa kufur saja, seseorang dapat menerima laknat Tuhan. Karena itu, ia akan dihukum dengan balasan neraka untuk selama-lamanya apabila dosa-dosa lainnya terkumpul di dalam dosa kufur itu. c. Taqwa dari dosa-dosa kecil Dosa kecil yang dilihat dari segi hukum memiliki takaran dosa lebih ringan daripada dosa besar, namun pada hakikatnya adalah dosa yang dalam pandangan Islam harus dijauhi. Karena itu, dosa ini pun harus segera dikikis dan dibersihkan dari dalam diri seseorang dengan cara bertaubat yang sesungguh-sungguhnya. Selain bertaubat, seseorang yang berdosa dapat menghapus dosa itu dengan melakukan berbagai macam ibadah dengan harapan semoga Allah mengampuninya. Namun, hukum di atas berbeda dengan pandangan para Salik tentang penyucian hati. Tugas utama para Salik adalah menyucikan diri dari segala daki-daki dunia yang dianggap mengotori jiwanya. Karena itu, tindakan melanggar perintah Allah, walau sekecil apapun tetap merupakan dosa bagi mereka. Perbuatan dosa adalah pantangan utama mereka karena berbuat dosa sama halnya dengan berbuat sesuatu yang tidak diridhai Allah. Perbuatan ini tentu tidak pantas oleh mereka yang menyediakan dirinya untuk menuju ke pintu Ilahi. Biasanya bila seseorang pernah berbuat dosa dan lolos dari hukuman maka akan sering terbit godaan dalam hatinya untuk mengulanginya kembali. Nafsu tidak henti-hentinya menggoda diri seseorang. Bila nafsu itu terpenuhi maka ia akan selalu menuntut meraih keuntungan yang lebih dari itu, dan tidak akan tinggal diam sehingga mendapat apa yang dituntutnya itu. Dan hal ini bertentangan dengan konsep seorang Salik yang mencari kesucian diri dalam perjalanannya menuju ke gerbang Ilahi. d. Taqwa dari yang Makruh dan Mubah. Sesuatu yang makruh tetap dibenci oleh syariat Islam, meskipun tidak ada hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya. Namun perkataan „benci‟ dalam syariat itu sudah cukup untuk menjadikannya sebagai hukuman yang berat bagi orang yang berpikiran jernih. Jika kita dibenci orang, apa lagi hukuman yang lebih berat selain itu ? Terlebih lagi, bila yang membenci itu adalah agama yang kita anut sendiri. Padahal dalam agama itu terkandung perintah dan larangan Allah yang sepatutnya kita junjung tinggi. Sungguh malang bila kita menyia-nyiakannya. Apakah setelah mengetahui semua itu kita masih dapat membanggakan diri sebagai seorang yang patuh terhadap perintah Tuhan ? Dalam hal mubah ini, ketaqwaan seseorang dapat diukur dengan wara‟. Bila seseorang memiliki wara‟ yang kuat dalam memperhatikan larangan agama maka kuatlah keinginannya untuk meninggalkan mubah yang tidak perlu. Setiap orang dapat mengukur apa yang sesuai menurut dirinya. Wara‟ tidak memiliki batasan yang tetap. Meskipun hukuman dari perkara yang mubah adalah boleh dilakukan, tetapi batasan boleh itupun bila dilakukan berlebihan akan menarik seseorang kepada perkara yang dilarang agama. Bukankah bila kita melakukan perkara yang mubah secara berlebihan dapat menarik kita kepada hal yang makruh, dan yang makruh itu dapat menarik kita kepada hukum perbuatan yang lebih tercela yaitu haram. Berbuat sesuatu secara berlebihan sama halnya dengan mubazir, sedang sikap mubazir itu sendiri dilarang oleh Tuhan. Orang yang melakukannya diibaratkan seperti sekawanan setan. Setan

adalah makhluk yang kufur kepada Tuhannya. Allah melaknatnya kekal hingga di hari kiamat. Wajarkah kita berteman dengan setan dan mengikuti petunjuknya, setelah Allah mengingatkan kita bahwa setan adalah musuh yang jahat terhadap bani Adam ? Namun alhamdulillah, tidak ada suatu jiwa pun yang tidak didampingi pengawal yang diutus oleh Allah SWT untuk menjaganya agar setan tidak mampu mencengkramnya. Ini dapat terjadi apabila hamba-Nya itu dapat menunjukkan „ubudiyyahnya atau penghambaannya secara mutlak kepada uluhiyyah Tuhannya. Dan karena itu, setan tidak akan terus mengganggunya. Tetapi harus diingat bahwa setan tak pernah putus-putusnya mengintai manusia untuk mencari peluang untuk menjerumuskan mereka. Karena itu, sudah semestinya manusia berhati-hati dan menjaga diri agar tidak menjadi mangsa setan. 2. Taqwa dalam Kacamata para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) Monday, November 8, 2010 1:16:19 PM 2. Taqwa dalam Kacamata para Salik (orang yang ber Bagi para Salik, taqwa adalah semacam obat yang tanpa kehadirannya mereka tidak akan pernah sampai kepada apa yang mereka cari. Orang yang bertaqwa adalah orang yang tidak lepas dari perbuatan mensucikan diri, orang yang selalu berusaha membenamkan dirinya dalam semua hal yang diridhoi Allah serta menjauhkan diri dari semua perbuatan yang dimurkai Allah. Jelaslah disini bahwa taqwa merupakan syarat utama bagi orang yang mengaku dirinya sebagai seorang Salik. Karena manusia hidup di dunia, niscaya ia harus terlibat dengan masalah-masalah keduniaan. Dalam urusan keduniaan itu kerap kali hawa nafsu menjadi raja bagi dirinya. Dialah yang memerintah dan melarang manusia berbuat sesuatu. Apabila hawa nafsu itu dibebaskan untuk bertindak menurut kehendaknya dan merajalela, niscaya manusia akan terdorong pada jurang kebinasaan, karena semua kehendak hawa nafsu akan membawa manusia pada kecelakaan. Karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan dikendalikan agar ia tidak membawa manusia ke jurang kebinasaan. Taqwalah yang menjadi penawarnya, yang dapat diibaratkan sebagai obat. Orang yang sakit memerlukan obat, dan harus menelannya selama penyakit masih bersarang di badannya. Seperti halnya obat, ia selalu terasa pahit, bertentangan dengan selera manusia. Sepahit apapun obat, orang yang sakit harus menelannya jika ia menginginkan kesembuhan dari penyakit yang menyerangnya. Jika penyakit diabaikan tanpa diperangi dengan obat maka penyakit itu akan semakin berat menyerang tubuh manusia. Penyembuhannyapun memerlukan waktu yang panjang karena penyakit terlanjur kronis. Demikianlah perumpamaan pengendalian hawa nafsu manusia. 3. Dunia adalah Penjara orang-orang beriman Monday, November 8, 2010 1:18:17 PM 3. Dunia adalah Penjara orang-orang beriman Nabi Besar Muhammad SAW pernah bersabda : “Dunia ini adalah penjara bagi orang mu‟min!” Sabda di atas mengingatkan bahwa kita jangan sampai mengharapkan kebahagiaan yang mutlak selama hidup di dunia ini, karena dunia adalah penjara bagi seorang mu‟min. Bila kita memiliki iman yang teguh, seharusnya kita bersabar dalam menempuh segala kesulitan ketika berada di dalam penjara dunia karena setelah alam dunia terlewati, kita akan menemui kehidupan yang hakiki, kehidupan yang kekal, kehidupan yang penuh dengan segala kenikmatan dan kesenangan. Itulah yang disebut sebagai kebahagiaan sejati. Dalam setengah bagian riwayat di atas terdapat penambahan kata “Dan surga bagi orang kafir!” Artinya, segala kenikmatan yang dirasakan oleh orang kafir itu, hanyalah kebahagiaan yang diberikan Allah untuk kehidupan dunia yang sementara ini. Bila ia kembali ke kampung akhirat, siksalah yang akan ditemuinya, dan siksa itu akan kekal abadi, tidak pernah berakhir. Para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) telah menangkap maksud dari sabda ini. Mereka menganggap kesulitan hidup yang sementara di dunia ini lebih ringan daripada kesulitan yang akan dirasakan di akhirat kelak walau hanya sekedip mata. Kesulitan di akhirat tidak ada bandingnya dengan kenikmatan yang dirasakan di dunia. Karena itu, mereka mampu bersusahsusah di dunia untuk mencapai kenikmatan puncak di akhirat nantinya.

4. Istiqamah sebagai jalan keluar Monday, November 8, 2010 1:20:11 PM 4. Istiqamah sebagai jalan keluar Untuk mencari jalan keluar dari penjara dunia, manusia harus terus beristiqamah, yakni meluruskan diri dengan bergantung kepada pohon taqwa agar petunjuk Allah SWT dapat memimpin mereka ketika menjalani hidup di dunia. Biarlah rezeki yang bercampur noda-noda dunia, rezeki itu berupa kenikmatan yang berbaur dengan kesusahan maupun nikmat yang diiringi kemewahan, namun yang terpenting adalah rezeki itu berasal dari segala yang diridhai Allah. Ikhlaskanlah semua yang diperoleh itu menjadi kehendak Allah SWT, asalkan mereka terlindung dari jalan yang salah agar Allah selalu memberikan keridhaan-Nya kepada mereka. Allah telah berfirman : “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya akan ditunjukkan padanya jalan keluar dari kesusahan, dan diberikan-Nya rezeki yang tanpa diduga-duga. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya keperluannya akan dicukupi oleh Allah.” (Q.S. At-Thalaq: 2-3) Menurut pandangan para Salik (orang yang berjalan menuju Allah), „jalan keluar‟ dan „rezeki‟ yang dicukupi Allah itu adalah terbebasnya keinginan mereka dari pandangan tentang dunia dan segala keindahannya yang bersifat sementara itu. Kemudian Allah akan menarik mereka masuk ke dalam „Gerbang Allah‟ untuk mengecap segala kenikmatan ruhani yang disediakan Allah ketika di dunia dan kelak di akhirat. Selain itu, Allah akan menambahnya dengan puncak kenikmatan hakiki yang telah dijanjikan-Nya kepada siapa pun yang meniti jalan ini. Dalam menempuh jalan suluk ini, kegembiraan terbayang pada wajah si Salik (orang yang berjalan menuju Allah). Padahal banyak kesusahan yang ditanggungnya dalam perjalanannya itu, namun disimpan di dalam hati. Tetapi, apabila ma‟rifah telah bersemayam di dalam hatinya, sementara ia baru pertama kali berkenalan dengan alam yang baru ditempuhnya, keadaannya berubah dari yang sebelumnya. Yang terbayang pada wajahnya dulu adalah wajah orang yang susah karena mengenangkan keadaan manusia disekelilingnya yang terus lupa dan lalai. Namun kini ia merasakan kegembiraan di dalam hatinya, tenang di dalam pikirannya karena telah diberi petunjuk oleh Allah sehingga ia terbebas dari keadaan alpa dan lalai itu. Semoga kita dapat memahami ini baik-baik, wallahu-a‟lam. 5. Terbukanya Pintu yang Diketuk Tuesday, November 9, 2010 11:26:10 AM 5. Terbukanya Pintu yang Diketuk Keadaan „susah‟ dan „senang‟ dalam kacamata para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) adalah sama, yaitu berupa „ujian‟. Bahkan ujian dalam masa „senang‟ menurut mereka lebih berat daripada ujian pada masa „susah‟. Manusia yang hatinya senang sebenarnya tengah menanggung tanggung jawab yang berat, yang kerap kali dilupakannya. Kesenangan itu sering kali dianggap sebagai hasil jerih-payahnya sendiri. Bila ia tidak bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan kesenangan kepadanya, maka sebenarnya ia berada dalam bahaya yang besar. Sebenarnya, rasa syukur kepada Allah dapat disalurkan dalam bentuk memberikan kesenangan pada orang lain yang sedang kesusahan, misalnya dengan memberikan sedekah dalam bentuk uang, membrikan makanan kepada fakir miskin, memberikan kebutuhan sandang berupa pakaian kepada yang membutuhkannya, dan lain sebagainya. Apabila ia bersyukur dengan apa yang ditunjukkan oleh agama, niscaya hartanya akan diberkati Allah dan kenikmatan yang telah diperolehnya akan terus mengalir dalam bentuk rezeki yang melimpah. Bagi mereka yang mengalami kesusahan, Allah memberikan ujian berupa kesabaran, karena semua kesulitan adalah kehendak Allah. Bila Allah menginginkan mereka menjadi kaya, dalam sekedip mata Allah akan mengubah hidup mereka menjadi kaya. Tetapi di balik takdir-Nya yang berlawanan itu sebenarnya terkandung hikmah yang tak seorang pun dapat mengetahuinya, selain Allah. Maka hendaklah mereka menerima takdir itu dengan hati yang lapang. Mereka yang ditimpa kesusahan seharusnya tidak boleh pasrah menerima ujian itu. Mereka harus banyak mengingat Allah lebih banyak dari mereka yang diberi kenikmatan oleh Allah. Mereka

akan selalu berdoa dan memohon kepada Allah. Mereka akan bertahan berdiri di pintu Tuhannya. Semua ini akan membimbingnya untuk memperoleh pahala berlipat ganda di akhirat. Kadangkala permintaan mereka dikabulkan oleh Allah. Allah akan memberikan apa yang dimintanya untuk dunianya. Dalam hal ini, mereka telah mendapat faedah dunia dan akhirat. Pintu yang tertutup bila terus menerus diketuk dan dirayu oleh sang penghuni, akhirnya akan terbuka. Namun, untuk membuka pintu itu diperlukan kesabaran yang panjang. Cara ini merupakan pendidikan Allah kepada hamba-Nya, agar selalu meminta pertolongan kepada-Nya, tidak kepada yang lain karena Dialah Yang Memberi dan Menahan. Bila ada sesuatu hendak diberikan Allah kepada hamba-Nya, tak ada seorangpun yang mampu menahannya, begitu pula sebaliknya. Pandangan ini biarlah selalu berkobar di dalam hati hamba-Nya. Janganlah mereka lupa diri apabila Allah telah memberi kenikmatan, tidak lagi menengadahkan tangan kepada-Nya, tidak lagi ingin mengetuk pintu-Nya. Hamba yang melupakan Allah di tengah kenikmatan yang telah diperolehnya adalah hamba yang tidak tahu berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan kepadanya. Akhirnya, Allah akan murka kepadanya. Bila Allah telah murka maka rugilah ia, serugi-ruginya. 6. Jangan Menyembah Harta Kekayaan Tuesday, November 9, 2010 11:27:44 AM 6. Jangan Menyembah Harta Kekayaan Ada orang yang menjadikan harta kekayaan dan keindahan dunia sebagai pusat perhatiannya. Uang merupakan sesuatu yang dipuji dan didambakan. Bila uang itu hilang sedikit saja darinya, seolah-olah dunia ini telah kiamat. Hatinya akan sedih dan wajahnya tampak sangat muram. Namun, bila ia meninggalkan shalat, tidak ada sedikitpun rasa sesal dalam hatinya. Demikian pula bila ia menghadapi kematian anak istrinya, atau salah seorang sanak keluarganya yang tercinta, maka sibuklah ia mengadu dan meratap ke sana ke mari. Berbeda dengan para Salik (orang yang berjalan menuju Allah), bagi mereka mati dan hidup ada di dalam qada dan qadar Allah. Dialah yang menentukan semua itu di dalam Azal. Tiada yang akan berubah sesudah itu. Kalaupun mereka ingin mengadukan sesuatu, mengadulah mereka kepada yang berada di sampingnya, yaitu para malaikat yang mengiringinya. Setiap hal yang disampaikan kepada mereka, kelak akan mereka dapatkan jawabannya secara rahasia. Harus diakui bahwa banyak orang yang mencari kenikmatan dunia dan memusatkan perhatiannya kepada sesuatu yang fana ini. Sangat sedikit orang yang bergerak mencari akhirat. Orang-orang yang mencari Allah dan ingin berdampingan dengan-Nya dapat dihitung dengan jari. Siang dan malam mereka bekerja dengan giat untuk dunia, dan akhirnya dunia akan menguasai mereka. Orang-orang semacam ini selalu berada dalam kerugian. Ia telah salah pilih. Bila manusia telah tercengkeram dalam pengaruh dunia, tidak ada yang dapat melepaskan dirinya, melainkan ilmu dan agama. Karena itu, tuntutlah ilmu pengetahuan yang dapat mengenalkan batas-batas yang halal dan haram, kemudian bertaqwalah kepada Allah dari semua urusan dunia. Harta kekayaan yang dimiliki manusia bukanlah mutlak milik mereka. Harta kekayaan itu juga milik yang lainnya. Saudara-saudara kita juga berhak atas harta kita. Tetangga kita juga mempunyai hak terhadap harta kita. Fakir miskin pun memiliki hak atas harta tersebut. Karena itu, berbagilah harta dengan mereka. Berilah mereka uang untuk menutup keperluan mereka, beri mereka makan apabila mereka lapar, beri mereka pakaian apabila mereka tidak memilikinya. Pendek kata, bagilah harta yang telah Allah berikan kepada kita, semoga Allah memberkati apa yang menjadi milik kita itu. Ingatlah, bahwa apa yang kamu sedekahkan itu, sebelum jatuh ke tangan si penerima, terlebih dahulu harta berada di tangan Allah yang menjadi Pemilik asalnya. Karena itu, berilah segala yang baik karena Allah adalah Baik, dan senang kepada yang baik. Itulah tanda kesyukuranmu terhadap Allah atas nikmat yang diberikan-Nya. Dan barangsiapa yang bersyukur, niscaya Allah akan menambahkan nikmatnya. Tetapi waspadalah, jagnan sampai engkau kufur. Maka ingatlah bahwa sesungguhnya siksa Allah sangat besar sekali. Allah telah

berfirman : “Bila kamu bersyukur, Aku akan menambah lagi nikmatmu, dan bila kamu kufur (tidak bersyukur), ingatlah bahwa siksa-Ku teramat berat!” (Q.S. Ibrahim: 7) Kami memohon kepada-Mu, ya Allah, untuk memimpin kami ke jalan-Mu yang benar, menghargai segala nikmat yang Engkau berikan kepada kami, mendorong kami untuk menjalankan tugas yang perlu, memberikan hak yang wajib, dan bersyukur kepada-Mu atas semua nikmat yang telah Engkau berikan. Sesungguhnya Engkau Maha Pembalas dan Mahakaya. Amin ! C. TENTANG PEMBERSIHAN DIRI Tuesday, November 9, 2010 12:30:08 PM C. TENTANG PEMBERSIHAN DIRI “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10) Manusia yang hidup pasti memerlukan kebersihan diri. Manusia yang hidupnya kotor, tidak seorangpun yang ingin berkawan dengannya, atau menghampirinya, atau bermuamalah dengannya. Tegasnya, ia dibenci orang dan senantiasa dipandang sebagai orang yang menjijikkan di mata orang banyak, sehingga ia merasa dirinya terpencil dari mereka. Karena itulah, apabila badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran, ia akan segera membersihkannya atau menukarnya dengan yang lain. Demikian yang dianjurkan oleh syari‟at Islam supaya manusia senantiasa berada dalam keadaan bersih suci, baik secara lahir maupun batin. Tetapi yang selalu diutamakan dan menjadi perhatian manusia selama ini hanyalah yang tampak secara lahir, sedangkan yang ada di dalam batin sering kali dilalaikan dan dibiarkan tidak terurus. Karena itu, pembicaraan dalam bagian ini akan mencoba memberikan petunjuk ke arah tersebut. Ada dua cara untuk membersihkan diri kita dari hal-hal yang dijauhi oleh agama : 1. Pembersihan diri yang zahir (jasmani) dengan menggunakan air mutlak (air suci yang mensucikan) sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat Islam. 2. Pembersihan diri secara batin dan jiwa. Kita hendaknya sadar akan adanya kotoran dalam jiwa atau batin kita. Kotoran itu adalah dosa dan kesalahan kita sendiri. Cara menyucikannya adalah dengan bertaubat sebenar-benarnya taubat (taubatan nasuha). Cara menyucikan batin kita ialah dengan masuk atau menempuh suatu jalan ruhani atau thariqah yang dibimbing oleh guru ruhani atau Mursyid. Menurut hukum syariat, wudhu akan batal bila kita membuang air kecil atau membuang air besar, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau jari, mabuk dan sebagainya. Setelah bersetubuh atau selepas haid dan nifas, diwajibkan pula kepada kita untuk mandi membersihkan hadas besar dari badan, yaitu dengan berwudhu dan mandi. Mengenai wudhu, ada yang mengatakan bahwa Nabi SAW pernah berkata, “Setiap kali seseorang memperbarui wudhunya, maka Allah akan memperbarui imannya pula, dan cahaya imannya akan berkilau seperti semula dan menjadi semakin terang,” atau yang sama maksudnya dengan hal ini. Apa yang dikatakan Nabi SAW itu sudah jelas karena bukankah wudhu itu juga menggugurkan kesalahan-kesalahan kecil, yang dilakukan oleh manusia, baik disengaja atau sebaliknya. Karena itu pula beliau pernah menyatakan lebih lanjut bahwa pembersihan, yakni wudhu dan mandi dari hadas itu apabila dilakukan berulang kali akan menjadi cahaya di atas cahaya, wallahua‟lam. Karena itu, syariat Islam menganjurkan tajdid wal-wudu‟ atau senantiasa memperbarui wudhu ketika akan melaksanakan ibadah shalat ataupun sesudah membuang hadas kecil. Dalam mimpinya Nabi SAW pernah mendengar bunyi terompah sahabatnya, Bilal (mu‟azzin beliau) di dalam surga. Kemudian beliau bertanya kepada Bilal, “Hai Bilal ! Apa yang engkau lakukan sehingga aku mendengar bunyi terompahmu di dalam surga ?” Bilal menjawab, “Hai Rasulullah! Tidak ada yang aku lakukan, selain sering memperbarui wudhuku setiap kali aku berhadas, dan kemudian aku bershalat sunnah al-wudu‟ atau sunnah

wudu‟ selepas itu.” Kini kita mengerti bahwa kebersihan diri amat penting bagi setiap muslim. Selain itu, manfaatnya sungguh besar bagi orang yang melakukannya, yang seharusnya tidak boleh kita abaikan. 1. Membersihkan Ruh atau Jiwa Tuesday, November 9, 2010 12:33:29 PM 1. Membersihkan Ruh atau Jiwa Hakikat batin atau keadaan hati kita juga bisa tercemar, jika kita terus melalaikan diri kita dan tidak menjaga gerak-geriknya. Sebagaimana yang tampak pada fisik kita yang bisa saja menjadi kotor, demikian pula batin kita. Ia dapat dikotori oleh perangai dan perbuatan yang jahat, serta tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Semua tingkah laku yang buruk akan membahayakan batin kita, termasuk sifat-sifat negatif, seperti sombong, takabur, dengki, congkak, suka mengadu domba manusia, fitnah, marah, hasad, syirik, dan banyak lagi. Ruh atau jiwa juga bisa kotor karena memakan makanan haram, lisan yang mengeluarkan katakata culas dan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati, telinga yang suka mendengar fitnah dan mengumpat orang, tangan yang suka melakukan perbuatan buruk, kaki yang melangkah ke tempat maksiat atau mengikuti orang-orang yang zalim, kemaluan yang melakukan zina, dan sebagainya. Zina dalam hal ini berlaku umum, bukan hanya berlaku untuk kemaluan, tetapi dapat pula berlaku untuk mata, telinga, hidung, kaki dan tangan, dan lain sebagainya. Zina mata dilakukan dengan memandang yang terlarang, yakni yang haram, zina telinga dilakukan dengan mendengarkan hal-hal yang culas, zina hidung dilakukan dengan mencium, zina tangan dilakukan dengan memegang, dan zina kaki dilakukan dengan berjalan ke arah kemaksiatan. 2. Bila Kebersihan Batin Tercemar Tuesday, November 9, 2010 12:34:21 PM 2. Bila Kebersihan Batin Tercemar Apabila kebersihan batin atau ruhani tercemar dan „wudhu keruhanian‟ batal, maka penyucian diri perlu (wudhu‟ atau mandi keruhanian) diperbarui dengan taubat, yaitu menyadari dosa yang telah dilakukan dengan penuh penyesalan hingga mengeluarkan air mata, dan dengan berazam dan bertekad tidak akan mengulangi kembali kesalahan atau dosa yang sama, serta memohon ampun dan berdoa kepada Allah agar terhindar dari dosa itu. Masalah ini tampaknya mudah, namun pada hakikatnya tidak demikian, taubatan nasuha yang harus dilakukan manusia itu mempunyai beberapa persyaratan yang jika tidak terpenuhi, tidak akan diterima taubat seseorang itu. Penyesalan adalah salah satu syarat taubatan nasuha. Tegasnya, bertaubat dengan lisan semata tanpa diikuti oleh hati dan perasaan menyesal, tidak akan berfaedah sama sekali. Malah hal itu bisa membawa manusia pada celaka dan dosa yang lebih besar. Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati dalam bertaubat. Hati terlebih dahulu harus dibersihkan dari segala yang mengganggu. Pengganggu hati yang pertama adalah tuntutan dalam diri terhadap kebendaan dan keinginan hawa nafsu yang selalu mencemarkan hati. Apabila hati telah bersih, niscaya manusia akan mencari jalan menuju kepada Allah. Ketika itu hatinya akan dipenuhi dengan takut kepada Allah, taqwanya akan terlihat dari segala gerak-geriknya, karena ketakutannya itu telah menariknya dekat kepada Allah. Kini ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saja. Apabila hatinya teringat pada perbuatan yang jahat, tentu sifat takutnya akan menghalangi dan mengingatkannya tentang balasan Allah. Dalam keadaan seperti inilah taubatnya akan terkesan dan kemudian menjadi taubatan nasuha. Mukmin itu harus meninggalkan tabiat yang terdahulu dan bergerak ke arah Tuhannya. Selagi dia mengikuti jalan yang biasa, yakni jalan tabiatnya yang dahulu, niscaya dia akan terjerumus ke dalam pengaruh-pengaruh negatif yang akan mencelakakan dirinya. Dia akan kembali berbuat dosa dan kesalahan yang sudah biasa dilakukannya, karena tabiat sudah melekat pada dirinya. Dosa yang terus-menerus dilakukan itu melanggar perintah syariat, dan perintah syariat juga merupakan perintah Allah. Seandainya dia gagal menahan diri dari perbuatan buruk dan jahat itu, maka hendaknya dia

memohon bantuan kepada Allah dengan jujur dan ikhlas agar Allah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga dia dapat meninggalkan dosa dan maksiat itu. Semua perasaannya seharusnya ditujukan hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang selain Dia. 3. Kesucian Syarat Utama Diterimanya Shalat Tuesday, November 9, 2010 12:36:01 PM 3. Kesucian Syarat Utama Diterimanya Shalat Shalat adalah menghadirkan diri di „hadapan‟ Allah. Bersuci dan berada dalam keadaan suci merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sebelum melaksanakan ibadah shalat. Orang yang bijaksana mengetahui bahwa kebersihan secara zahir saja tidak cukup. Allah melihat jauh ke dalam hati (jiwa atau ruh) manusia. Dan hati perlu disucikan. Penyuciannya ialah dengan cara bertaubat. Hanya dalam keadaan suci, shalat yang kita lakukan akan diterima Allah. Hukum ini adalah simbol yang digunakan oleh ahli tasawuf atau orang-orang Sufi. Apabila shalat itu dilakukan dengan hanya memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki, maka dari segi hukum zahir, shalat itu sah dan benar. Tetapi dari segi hukum batin, shalat yang dilakukan itu masih menimbulkan tanda tanya lagi. Adakah shalat yang tidak disertai dengan kekhusyukan dan merendahkan diri dapat diterima sebagai „shalat‟ ? Shalat yang dipenuhi dengan ingatan tentang sesuatu di luar shalat, misalnya khayalan yang mengganggu dan pikiran-pikiran tentang keduniaan, apakah itu bisa disebut shalat ? Padahal Nabi SAW mengingatkan bahwa dalam shalat kita harus khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, menenangkan pikiran, memfokuskan tujuan, dan sebagainya. Karena itu pula, ada sebagian ulama yang bersikap keras terhadap masalah ini dengan menghukumkan bahwa semua shalat yang tidak disertai kesadaran semua gerakan fisikal, tidak dapat dinamakan „shalat‟. Dan bila tidak dinamakan shalat, maka shalat tidak dapat disebut sebagai shalat yang sesungguhnya. Semua ini muncul dari banyaknya dosa dalam diri orang itu, banyaknya kesalahan yang tidak dipedulikannya, yakni dosa belum dihapus dan dibersihkan dengan cara bertaubat. Karena itu, dirinya kotor, dan bila diumpamakan ia seperti seseorang yang menghadap raja dengan pakaian kotor. Bagaimanakah orang itu nanti ? Ingatlah, bahwa hal ini amatlah penting, yang tidak boleh dilalaikan secara terus-menerus. Segeralah kembali kepada Allah dan menyucikan diri dengan memperbanyak taubat yang sebenar-benarnya. Allah berfirman : “Dan bertaubatlah (kembalilah) kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman sekalian, mudahmudahan kamu akan beruntung !” (Q.S. An-Nur: 31) Allah juga berfirman : “Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu bagi setiap hamba yang selalu kembali bertaubat (bertaubat sebenarnya kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturannya)”.(Q.S. Qaaf : 32) Penyucian badan dengan berwudhu dan mandi adalah perintah menurut syariat dan hukum agama Islam. Penyucian itu berkaitan dengan waktu. Misalnya, orang yang sudah bersuci, tetapi tiba-tiba ia tertidur, maka batallah wudhunya. Karena itu, ia harus berwudhu kembali. Jelasnya, pembersihan zahir ini terikat oleh waktu, malam dan siang, dalam kehidupan di dunia yang nyata ini. Contoh yang lain, orang yang merasakan badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran, maka wajarlah bila dia segera membersihkan badan dan pakaiannya itu. Dia tidak ingin tampak kotor di antara teman-temannya ataupun di antara orang-orang yang duduk bersama-samanya. Kemudian dia segera menyucikan diri. Tetapi penyucian batin atau ruhani tidak terikat oleh waktu. Penyucian ini berlangsung sepanjang hidup di dunia hingga akhirat. Bila selama ini manusia merasakan betapa beratnya membersihkan badan dan pakaian mereka, pembersihan diri secara ruhani justru lebih berat lagi,

karena kotoran batin lebih berbahaya daripada kotoran lahir. Kotoran lahir lebih bertumpu pada keadaan fisik atau jasmani manusia, sedangkan kotoran batin terfokus pada hubungan dengan Tuhan. Jika hati seseorang kotor, maka semua amalannya terhadap Tuhan akan terganggu dan tidak terkawal. Karena itu, wajar sekali bila dia harus memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini agar dia selamat di dunia dan akhirat. 4. Pembersihan Diri Memerlukan Mujahadah terhadap Nafsu Tuesday, November 9, 2010 12:37:27 PM 4. Pembersihan Diri Memerlukan Mujahadah terhadap Nafsu adalah pengeras utama terhadap jiwa dan hati. Jika kita terlalu mengikutkan kehendaknya, akhirnya kita akan binasa, karena sekali saja nafsu dapat mengalahkan kita, maka ia akan terus menuntut setiap waktu sehingga kita tidak berdaya lagi. Terlalu larut dalam hal-hal kenafsuan dan kebendaan dapat mengeraskan hati, melemahkan akal pikiran, menambah banyak tidur dan lalai, menimbulkan tabiat tamak dan serakah, serta menarik manusia kepada angan-angan yang kosong. Tabiat-tabiat ini ibarat penyakit yang kronik, yang apabila menimpa jiwa, alamat kecelakaan akan menimpa diri kita. Kecelakaan itu tidak hanya menimpa kita di akhirat, tetapi juga di dunia. Akan tetapi, apabila hati seseorang tenang dan tentram, hati itu akan dipenuhi dengan ilmu, di mana dengan ilmu itu ia akan mendapat Nur atau cahaya untuk menghapuskan segala maksiat dan dosa, sebagaimana dikatakan bahwa „Api neraka akan padam oleh cahaya orang Mu‟min, ketika si Mu‟min itu mendekati api neraka.‟ Demikianlah perumpamaannya, mudah-mudahan kita mengerti. Para murid Nabi Isa as pernah memohon kepadanya dengan berkata, “Tolonglah ajarkan kepada kami ilmu yang tertinggi manfaatnya !” Nabi Isa as menjawab, “Takutlah kepada Allah, terimalah qadha‟ dan taqdir-Nya dengan penuh ridha, dan cintailah Dia sepanjang masa.” Itulah yang tertinggi martabatnya. Karena itu, balasannya juga sepadan, yaitu hidup kekal di dalam surga, wallahu-a‟lam. D. TENTANG“SHALAT” Tuesday, November 9, 2010 12:39:18 PM D. TENTANG“SHALAT” “Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. AlMu‟minuun: 9-11) Dari ayat tersebut di atas, lebih lanjut Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul “Mencapai Kebahagiaan Hidup dengan Taqwa” menjelaskan bahwa orang yang berbahagia di kalangan kaum mu‟minin itu ialah orang yang benar-benar mengamalkan ibadah shalat dengan khusyu‟, menepati waktu-waktu shalat, memahami makna dan hikmah shalat, mengindahkan syarat dan rukunnya serta memelihara thuma‟ninah dalam seluruh gerakan shalat. Kemudian yang terpenting dari itu ialah buah daripada shalat itu. Apakah dengan mengerjakan shalat itu dapat merubah sifat kita yang kurang baik menjadi baik. Amal kita semakin mendekati kesempurnaan terhadap kehendak Islam atau Allah yang kita sembah itu. Bila demikian jelaslah bahwa shalat kita benar-benar shalat yang membawa kebahagiaan hidup. Dan sebaliknya, bila seseorang sudah mengerjakan shalat tapi amal perbuatannya itu masih kurang baik alias telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam jelaslah disini bahwa orang tersebut belum bisa memahami akan hakekat shalat, dan sekaligus orang yang belum bisa mengambil madu yang terkandung di dalam mengerjakan shalat tersebut. Shalat diwajibkan kepada setiap orang Islam yang baik (sadar) akal pikirannya dan cukup umur. Shalat dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan, yaitu lima kali dalam sehari semalam. Inilah perintah Allah SWT. Firman-Nya :

“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.” (Q.S. Al-Baqarah: 238) Secara zahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca al-Fatihah, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan seterusnya. Gerakan dalam shalat ini melibatkan berbagai anggota badan. Inilah shalat secara jasmani atau fisik. Karena semua gerakan badan itu berlaku dalam shalat lima waktu, maka dalam ayat tadi disebut „salawati‟ (segala shalat), yang mengandung arti „plural‟ atau jamak, bukan „shalat‟, melainkan „salawati‟ (shalat-shalat). Itulah bagian pertama tentang shalat dalam ayat tersebut. Bagian kedua dalam ayat tersebut ialah tentang shalat „wusthaa‟. Shalat ini maksudnya adalah shalat hati. Wusthaa dapat diartikan sebagai pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah yaitu, di tengah „diri‟, maka dikatakan shalat wusthaa itu sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini ialah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, antara atas dan bawah, dan antara baik dan jahat. Hati merupakan titik tengah, poin perimbangan, poin neraca atau „median‟. Hati diibaratkan berada di antara dua jari Allah. Dan Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang Ia kehendaki. Maksud dua jari Allah itu adalah dua sifat Allah, yaitu sifat „Yang Menghukum dan Mengazab‟ dan sifat „Yang Indah, Yang Kasih Sayang, Yang Lemah Lembut‟. Shalat dan ibadah yang sebenarnya ialah shalat dan ibadah hati. Bila hati lalai dan tidak khusyu‟ atau tidak konsentrasi dalam shalat maka shalat jasmaniah akan berantakan dan kocar-kacir. Apabila ini terjadi, kedamaian jasmani yang diharapkan datang melalui shalat jasmaniah itu tidak akan tercapai. Shalat jasmaniah hanya mampu dilakukan dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, bagaimana mungkin dikatakan shalat. Bagaimana mungkin akan dapat memahami apa yang diucapkan, padahal semua ucapan itu ditujukan kepada Tuhan, meskipun puji-pujian diperuntukkan kepada Allah maupun doa-doa untuk dirinya sendiri. Hal ini perlu diperhatikan dengan seksama agar shalat yang dilakukannya menjadi sempurna dan baik. 1. Shalat adalah Doa Tuesday, November 9, 2010 12:42:34 PM 1. Shalat adalah Doa Shalat adalah doa si hamba kepada Khaliq-nya, yakni Allah SWT. Shalat berarti juga pertemuan antara hamba dengan Tuhan. Tempat pertemuan itu ada di dalam hati. Jika hati tertutup, tidak mengindahkan dan tidak peduli, ataupun mati, maka shalat yang dilakukan tidak memberi manfaat kepada dirinya. Shalat yang tidak khusyuk itu tidak mendatangkan faedah kepada diri jasmani, karena hati adalah Zat untuk badan. Anggota badan lainnya yang bertindak dalam shalat itu bergantung kepadanya. Nabi SAW telah bersabda : “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati.” Jelaslah, jika hati seseorang sedang sakit, yakni rusak, maka akan rusaklah seluruh anggota yang lain. Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa shalat seseorang itu baik, jika hatinya tidak baik, yakni rusak ? Shalat yang zahir dilakukan pada waktu-waktu tertentu, lima kali sehari-semalam. Tempat paling baik untuk melakukan shalat ialah di masjid, dan dilakukan dengan berjamaah, karena shalat berjamaah banyak manfaatnya. Allah memberikan pahala yang berlipat ganda untuk mereka yang mengerjakan shalat berjamaah. Selain itu, dia dapat berdoa bersama-sama, yang rahasianya sangat nyata bagi orang yang mengerti. Tetapi banyak orang tidak memperhatikan masalah shalat berjamaah ini, padahal dia dapat melakukannya. Seolah-olah dia tidak mementingkan janji Allah yang akan memberikan pahalanya berlipat ganda; seolah-olah dia tidak mengutamakan anjuran Allah supaya berdo‟a dengan berjamaah; seolah-olah dia tidak mengindahkan perintah syariat supaya selalu mendirikan shalat dengan berjamaah. Jika dia mengingkari perintah ini, berdosalah dia, karena itu sama artinya dengan seperti dia mengingkari perintah Tuhan. Orang yang jahil mungkin dimaafkan, tetapi hati-hatilah dari perintah shalat berjamaah ini ! Berilah perhatian kepadanya, moga-moga Allah merahmati kita !

2. Shalat dari Segi Ruhaniah Tuesday, November 9, 2010 12:45:07 PM 2. Shalat dari Segi Ruhaniah Shalat dari segi ruhaniah atau shalat dari kacamata ruhani tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara ruhaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat secara ruhaniah terletak di dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya ruhaniah yang berzikir dan membaca Asma‟ullah (nama-nama Allah) dalam bahasa alam ruhaniah (alam batin). Imam dalam shalat ini adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat dan kiblatnya adalah Allah. Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayat untuk ibadah. Inilah ibadah orang yang sudah mencapai puncak ma‟rifah dengan Allah SWT, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana‟, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. Ini berlaku sesudah semua shalatshalatnya yang fardhu dan sunnah sudah sempurna dijalankannya. Jangan diartikan apabila mereka berada dalam keadaan seperti ini, mereka tidak perlu shalat lagi seperti orang lain. Malah kadang-kadang dalam shalat itulah mereka ber-fana‟ dalam munajatnya sehingga mengambil masa yang panjang. Pada tingkatan itu tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan sebagainya. Si hamba berbincang-bincang dengan Allah, sesuai dengan firman-Nya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5) Firman Allah itu ditafsirkan sebagai tanda tingginya kesadaran “Insan Kamil”, yaitu mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman ruhani sehingga tenggelam dalam lautan Tauhid atau Keesaan Allah dan „berpadu‟ dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang telah mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan itu. Namun, mereka pun sering tutup mulut, tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang disimpan di lubuk hatinya oleh Allah SWT. Setelah ibadah shalat secara lahir dan batin berpadu, berharmoni dan berdekatan, maka sempurnalah shalat seorang hamba dan ganjarannya sangat besar. Hati dan ruh seperti yang digambarkan diatas, membawa seorang dekat dan masuk ke Hadhirat Allah SWT. Hatinya „berpadu‟ dengan Allah, dan jasmaninya atau keduniaannya mencapai tingkat tertinggi. Dalam alam nyata ia menjadi manusia atau hamba Allah yang wara‟ dan alim. Dalam alam ruhani ia jadi ahli Ma‟rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah SWT. Jika ibadah zahir tidak bersatu atau tidak sejiwa dengan ibadah batin, maka ibadah tersebut belum sempurna dan baik. Bila ibadah zahir yang dilakukan seseorang baik, ibadah itu sebenarnya hanya mengalami kemajuan dalam kacamata dunia, yaitu dari segi pandangan manusia. Ganjaran dunia itu tidak akan membawa seseorang dekat dengan Allah dan „berpadu‟ dengan-Nya, wallahu-a‟lam. 3. Shalat adalah Perjalanan Menuju Allah Tuesday, November 9, 2010 12:46:52 PM 3. Shalat adalah Perjalanan Menuju Allah Ketika kita mendirikan shalat berarti kita sedang menuju ke pintu Allah. Shalat diibaratkan sebagai suatu perjalanan ruhani, karena semua gerak-gerik kita di dalam shalat dikontrol oleh niat kita yang dilafalkan ketika memulai shalat. Karena itu, kita tidak boleh melakukan suatu gerakan atau ingatan lain selain apa yang kita ucapkan di dalam shalat itu. Itulah dasar shalat. Shalat harus dilakukan dengan khusyuk, tenang, dan menghadirkan hati dan pikiran. Akan tetapi, kebanyakan orang dalam melakukan shalat, hanya jasadnya saja yang berdiri tegak, rukuk, dan

bersujud, sedang hatinya lalai dan pikirannya bercabang-cabang. Apakah itu dapat disebut shalat ? Cobalah cari jawabannya sendiri ! Dengan mendirikan shalat, kita telah menempuh setengah perjalanan menuju Allah. Dan ditambah dengan puasa, maka kita telah sampai di pintu Allah. Apabila dilengkapi dengan sedekah, maka kita telah memasuki rumah-Nya. Dalam perjalanan kita menuju Allah dengan shalat, puasa, sedekah, dan amalan lainnya, hendaknya kita memohon bantuan kepada Allah agar Dia mengaruniakan kesabaran dan kekuatan, karena beribadah kepada Allah merupakan ujian yang berat, meskipun secara sepintas tampak mudah. Mendirikan shalat juga berarti suatu menjalin hubungan atau silah dengan Allah. Orang yang menghadapkan wajahnya kepada Allah di dalam shalat, harus berkonsentrasi penuh kepada-Nya. Dia harus melepas seluruh ruh dan jiwanya dari gayrullah, yakni selain Allah. Dalam shalat menghadap Allah, pikirannya tidak boleh terbagi-bagi kepada hal-hal lain selain Allah, yakni kepada makhluk dan kepada Khaliq. Dia harus menghilangkan segala pikiran tentang makhluk, yakni infisal, dan memusatkan pikirannya kepada Khaliq, yakni ittisal. Inilah shalat yang dilakukan oleh golongan ahlullah. Adapun shalat yang dilakukan oleh orang-orang awam, dirumuskan oleh mereka sebagai surga di hati sebelah kanan dan neraka di sebelah kiri, sedangkan sirat (titian) berada di depan, dan Allah sedang memperhatikan semua gerak-gerik hati dan anggota badan. Bila kita merasakan hal itu, apakah mungkin kita menyia-nyiakan shalat dengan hati yang lalai dan pikiran yang menerawang ?! Shalat seorang pecinta (Muhibb) ialah dengan melepaskan diri dan hatinya dari makhluk seraya bersatu dengan Khaliq. Itulah shalat yang sebenar-benarnya shalat. E. T E N T A N G Z A K A T Tuesday, November 9, 2010 12:49:56 PM E. T E N T A N G Z A K A T Zakat terbagi menjadi dua jenis. Pertama , zakat yang di tentukan oleh syari‟at agama Islam. Kedua, zakat menurut pandangan ahli tariqah. Zakat yang ditentukan oleh syari‟at ialah zakat yang dikeluarkan untuk harta kekayaan yang diperoleh secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan asnaf – asnaf zakat. Dan yang berhak menerimanya fakir miskin dan orang orang terlantar lainnya yang membutuhkan. Zakat dari sudut pandang thariqat ialah sebagian dari harta ruhani yang diperoleh seseorang dan dibagikan kepada mereka yang memerlukannya, yaitu fakir miskin dalam bidang ruhani. Allah Swt berfirman : “ Sesungguhnya zakat –zakat itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang – orang miskin, pengurus – pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba abdi (budak), orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (at – Taubah : 60) Apa saja yang diberikan dengan tujuan untuk berzakat, pada hakikatnya terlebih dahulu jatuh di “tangan” Allah Swt. Sebelum zakat itu sampai ke tangan penerimanya. Karena itu, sebenarnya zakat diperintahkan kepada kita agar kita membantu fakir miskin karena Allah sendiri adalah Maha Pemberi segala keperluan, termasuk para fakir miskin itu. Tetapi rahasia sebenarnya yang ada dibalik itu, ialah untuk menjadikan niat pemberi zakat itu diterima oleh Allah Swt. 1. Menghadiahkan Pahala untuk Orang Lain Tuesday, November 9, 2010 12:51:03 PM 1. Menghadiahkan Pahala untuk Orang Lain Mereka yang dekat dengan Allah membagi-bagikan ganjaran ruhaninya, hasil ibadah dan amal salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya itu kepada orang–orang yang

berdosa. Allah dengan Rahmat-Nya mengampuni dosa-dosa hamba–hamba-Nya yamg berdosa dari hasil pembagian sebagian pahala dan ganjaran yang diperoleh hamba–hamba- Nya yang saleh. Tegasnya, orang – orang Sufi dalam kategori ini sangat merahmati orang-orang awam yang lalai dan selalu mensia-siakan dirinya. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar, namun mereka tidak sadar, dan terus hidup dalam kelalaian. Karena itulah kaum Sufi menaruh iba terhadap orang orang yang berdosa ini, sehingga semua amalan baik dan bakti yang dikerjakannya tidak bertujuan untuk meraih pahala yang banyak untuk dirinya sendiri di hari pembalasan. Bahkan, dia menghadiahkan semua pahalanya untuk orang–orang yang lalai dan berdosa tersebut. Mereka dianggap miskin, tidak mempunyai amalan baik yang akan membentengi mereka dari api neraka dan azab siksa di akhirat. Karena itulah mereka dizakati dari amalan–amalan yang dibuat oleh orang–orang Sufi agar timbangannya nanti menjadi berat. Orang–orang Sufi ini mengosongkan dirinya dari harta benda keduniaan. Bahkan, semua pahala yang diraih dari amalan–amalan kebajikannya pun sudah dihadiahkan kepada orang lain. Jadi, mereka tidak lagi memiliki sesuatu apa pun. Ketaatannya di dunia bukan karena harta dan pangkat, melainkan untuk kehidupannya di akhirat kelak ; bukan karena menginginkan balasan atau pahala yang banyak, melainkan untuk Allah dan semata–mata karena Allah. Ia adalah hamba, dan Dia adalah Tuannya. Dan seorang hamba harus menuruti semua perintah „Tuannya‟ , karena menunjukkan kepatuhan adalah hal–hal yang mutlak, bukan karena mencari keuntungan dengan balasan pahala atau sebagainya. Orang yang membelanjakan seluruh hartanya dan tidak mengharapkan balasan apa–apapun, termasuk orang–orang yang dilindungi dan dijaga Allah di dunia dan di akhirat. Seorang Waliyullah perempuan yang bernama Rabi‟ah al-„Adawiyah pernah berdo‟a kepada Allah, yang lebih kurang bunyinya sebagai berikut : ”Wahai Tuhanku ! Berikanlah semua bagianku (hartaku) di dunia ini kepada orang – orang kafir, dan sekiranya ada ganjaran bagiku di akhirat nanti, berikanlah semua ganjaranku itu kepada hamba-Mu. Itu saja yang hamba minta dari-Mu, karena manusia dan apa yang dimilikinya, yang sementara itu, sebenarnya adalah milik – Mu jua.” Itulah yang diminta seorang „Abid yang Sufi, yang merindukan Tuhannya, bukan harta kekayaan dan kemewahan Zahrah al-hayah ad-dunya yang dimintanya untuk mengecap kehidupan yang mewah dan bersenang-senang di dunia ini. Tetapi bila ia memintanya, nicaya Allah akan memberikan apa yang diinginkannya. Dan bukan pula pahala dan ganjaran akhirat yang banyak diharapkannya. Malah yang ada untuknya pun, semuanya sudah dihadiahkan kepada yang lain. Yang dikejar dan dicita-citakannya tidak lain adalah kecintaan dan maghfirah-Nya, perlindunganNya, perhatian-Nya, kedekatan dengan-Nya, dan akhirnya ia melihat Wajah-Nya. Itulah puncak karunia Allah Swt ! Karena itu, hari mereka tidak pernah berhenti untuk merindukan-Nya. Setiap yang diberikan manusia di jalan Allah, yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah, usaha yang dilakukannya itu tidak mungkin sia–sia belaka. Malah ia akan diganti dengan sekurang–kurangnya sepuluh kali dari pahala kita. Bahkan, jika ia benar–benar ikhlas, pahalanya akan dilipatgandakan lagi hingga mencapai tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Allah bersifat murah hati, sedangkan kita, memberipun tidak. Nikmat dan karunia-Nya untuk kita sangat berlimpah, terlebih lagi jika kita memberi sesuatu untuk menunjukkan rasa syukur kepada-Nya. Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi, Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. Allah Swt. Berfirman : “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barang siapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasan, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)” (al-An‟am : 160)

2. Zakat Berfungsi untuk Membersihkan Diri Tuesday, November 9, 2010 12:56:17 PM 2. Zakat Berfungsi untuk Membersihkan Diri Satu lagi faedah zakat yaitu pembersihan. Zakat membersihkan harta dan diri kita. Jika diri kita dibersihkan dari sifar – sifat keegoan maka tujuan zakat dari segi ruhani telah tercapai. Memisahkan diri kita dari sebagian kecil apa yang kita sangka milik kita, akan mendatangkan ganjaran yang berlipat ganda di akhirat kelak, Allah menjanjikan : “Siapakah yang mampu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipaatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak.” (al-Hadid :11) Sebenarnya harta kekayaan di tangan kita itu adalah pinjaman dari Allah. Selama ia ada di tangan kita, kita bisa berbuat apa saja yang kita suka. Tetapi hendaknya kita tidak melupakan haknya dan mengeluiarkan zakat. Dan jangan lupa hak itu bisa dicabut Allah kapan saja. Betapa banyak kita melihat orang yang kaya raya, yang terus asyik bersuka ria, tetapi sesaat kemudian datang musibah menimpanya sehingga hartanya hilang lenyap, ataupun sudah tidak berguna lagi, malah dinikmati orang lain. Ataupun harta itu menjadi milik orang lain dilain waktu, dan kita pula yang menanggung akibatnya. Firman Allah : “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (asy-Syams : 9 ) Pensucian diri dilakukan dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal–amal jariah. Selain ia membersihkan diri dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan dari dari siksa sengsara di akhirat kelak. Betapa beruntungnya pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran–ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nanti. 3. Zakat sebagai Hadiah yang Indah Tuesday, November 9, 2010 12:59:52 PM 3. Zakat sebagai Hadiah yang Indah Zakat ibarat sebuah hadiah yang indah, suatu perbuatan yang baik, yang diambil dari sebagian rezeki yang kita peroleh, baik berupa kebendaan maupun ruhani. Keluarkanlah zakat semata– mata karena Allah kepada hamba–hamba Allah. Meskipun dijanjikan pahala dan ganjaran yang berlipat ganda, janganlah niat kita berzakat itu karena menginginkan pahala. Berzakatlah karena Allah semata–mata, dengan hati yang penuh prihatin, cinta dan kasih sayang terhadap hamba – hamba Allah yang fakir miskin dan memerlukan, bukan mengharapkan sesuatu ganjaran, dan mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun dari penerima zakat. Karena kita mengharapkan sesuatu, sama artinya dengan kita meminta budi kita dibalas. Perbuatan seperti itu tidak bisa dikatakan „kita memberi karena Allah‟, karena kita telah mengatas namakan Allah dengan sesuatu yang lain. Jelasnya, lidah kita berkata „sedekah itu diberikan karena Allah‟ tetapii hati kita meminta sesuatu balasan dari penerima sedekah itu, biar apa saja, sampaikan ucapannya „terima kasih‟, yang mana kalau tidak dikatakan begitu mungkin kita akan bersungut. Ini gambaran sedekah suka rela. Namun pada zakat yang wajib, masalahnya lebih berat lagi, karena zakat itu adalah hak Allah yang diamanahkan-Nya pada tangan kita. Sepatutnya, bila ada orang mau menerima zakat itu, dan kitalah yang mengucapkan terima kasih kepadanya, bukan si penerima zakat itu yang mengucapkan terima kasih, karena dia telah mempu meringankan beban amanat yang dipikul, dengan menerima zakat itu. Walaupun begitu, orang yang menerimanya wajar pula mengucapkan terima kasih kepada si pemberi, yang sama artinya dia berterima kasih kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menggerakkan diri orang itu untuk memberi kepadanya, tidak kepada yang lain. Harap dipahami permasalahan ini dengan baik. Firman Allah :

“Hai orang – orang yang beriman ! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut – nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya‟ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang bertanah di atasnya, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, menjadikan ia bersih (tidak bertanah), lalu mereka tidak mengusai sesuatu pun dan apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang kafir ” (al – Baqarah : 264) Wahai manusia! Janganlah mengharapkan sembarang ganjaran kediniaan dari amalan yang kamu lakukan, karena itu akan merusak amalan kamu sehingga ia menjadi sia –sia, tidak dipandang oleh Allah Swt. Tetapi lakukanlah amalan itu karena Allah semata – mata, tidak ditujukan dengan yang lain, karena amalan yang ditujukan dengan yang lain itu akan ditolak, tidak diterima Allah. Rahasiakanlah amalan kamu itu sehingga jangan ada orang lain yang tahu. Hanya Allah saja yang tahu. Bukankah sudah cukup, jika amalan itu hanya Allah saja yang tahu, tanpa diperlihatkan kepada yang lain, karena amalan yang diperlihatkan itu ialah amalan yang ditujukan untuk sifat riya‟, dan sifat riya‟ sungguh merusak amalan manusia ! Firman Allah : “ Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahui “ (Ali Imran :92) 4. Harta itu adalah harta Tuhan Tuesday, November 9, 2010 1:05:56 PM 4. Harta itu adalah harta Tuhan Semua harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah. Selama berada di tangan kita, harta itu hanyalah pinjaman dari Allah, karena setiap saat Allah dapat mengambilnya kembali. Jadi, sementara harta itu ada di tangan kita, gunakanlah harta itu di jalan Allah, karena apa yang kita infakkan di jalan-Nya akan menjadi harta yang hakiki. Kita harus ingat bahwa setiap infak yang kita berikan akan mendapat balasan di hari akhirat kelak. Infak inilah yang menjadi bekal yang sangat kita perlukan pada waktu itu. Dan balasan yang diberikan Allah itu akan berlipat ganda hingga sepuluh kali amalan yang telah kita lakukan. Demikianlah seterusnya hingga menjadi lebih banyak dari itu, sesuai dengan kehendak-Nya. Jelaslah bahwa apa yang kita infakkan, sebenarnya itulah yang menjadi harta kita. Dan apa yang kita pertahankan mungkin suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan yang memberinya atau mungkin akan menjadi hak orang lain. Betapa banyak malapetaka yang menimpa orang–orang kaya yang telah mengabaikan kewajiban atas hartanya. Harta adalah fitnah, sebagaimana yang diberitahukan oleh Allah di dalam firman-Nya : “Bahwasanya harta kamu dan anak – anak kamu itu adalah fitnah, dan di sisi Allah ada pahala yang besar “ (at – Tagabun : 15) Jadi, jika harta itu tidak diinfakkan di jalan yang benar, seperti yang diperintahkan Allah, maka harta itu akan menjadi fitnah. Artinya, jika si pemiliknya itu tidak lulus dalam ujian tentang harta yang dimilikinya, maka harta harta itu akan menjadi fitnah yang bisa melumatkan pemiliknya. Fitnah yang dijatuhkan kepada hartawan yang lalim itu mengandung dua pengertian. Pertama, ada kalanya fitnah itu menimpa dirinya di dunia dengan berbagai cara yang sudah jelas hukumannya. Kedua, jika tidak di dunia, fitnah itu akan menelan pemiliknya di akhirat berupa ular besar yang akan menyulitkannya dengan berbagai macam siksaan, na‟uzu billahi min zalik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa diantara harta kita terdapat hak fakir miskin dan orang orang terlantar yang membutuhkan bantuan kita, khususnya kaum kerabat dan tetangga dekat. Hak fakir miskin dalam konteks ini bukan berarti zakat yang sudah menjadi kewajiban atas harta kita yang harus dibayarkan. Bahkan selain zakat, adapula kewajiban– kewajiban lain yang harus dikerjakan, yaitu sedelah sukarela untuk membantu orang–orang yang memerlukannya. Selain itu, apabila harta itu tidak digunakan sesuai dengan kehendak syari‟at Islam, maka bila

pemiliknya meninggal dunia, harta itu harus pula ditinggalkannya. Akhirnya harta peninggalannya itu akan menjadi hak orang lain, yakni hak para warisnya. Semoga para warisnya memanfaatkannya di jalan yang baik agar pahalanya terus mengalir kepada pemilik asal. Tetapi jika harta itu dibelanjakan di jalan yang penuh dosa dan maksiat yang tidak diridhai Tuhan, maka bencana yang turun karena harta itu akan mengalir pula kepada pewarisnya. Ia akan ditahan dan diminta pertanggungjawaban atas harta yang diwariskannya itu. Itulah ujian dan fitnah yang berat yang akan ditanggung oleh orang yang mewariskan harta itu. Allah telah berfirman : “………dan Dia akan memberikan kekuasaan kepada kamu di muka bumi ini agar Dia melihat apa yang kamu kerjakan “ (al – A‟raf :126) Itulah peringatan Tuhan kepada hamba-Nya agar mematuhi peringatan itu untuk kebaikan dirinya. Sepintas, berinfak di jalan Allah tampak seperti perbuatan yang merugikan bila dipandang dari ukuran dunia, karena harta itu akan semakin berkurang. Namun, dibalik kerugian itu tersimpan keuntungan yang besar, yang sangat berguna bagi mereka yang rela menyisihkan sebagian hartanya untuk orang–orang yang memerlukannya. Balasan yang akan diterima di akhirat itu tidak dapat disamakan dengan besarnya harta kekayaan di dunia. Kelak harta yang diinfakkan itu akan semakin berkembang, insya Allah, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw. : Artinya : “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah. “ F. T E N T A N G P U A S A Tuesday, November 9, 2010 1:14:37 PM F. T E N T A N G P U A S A Puasa yang ditentukan oleh syari‟at adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, sejak masuk subuh hingga masuk waktu maghrib. Puasa dari segi ruhani bermakna membersihkan semua panca indera dan pikiran dari hal hal yang haram, selain menahan diri dari perkara perkara yang membatalkan yang telah ditetapkan dalam puasa syari‟at itu. Bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan bathinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makanan dan minuman. Puasa dari segi ruhani akan batal, bila niat dan tujuannya tergelincir kepada sesuatu yang haram, walau hanya sedikit. Puasa menurut syari‟at berkaitan dengan waktu, tetapi puasa secara ruhani tidak pernah mengenal waktu, terus menerus berlangsung sepanjang hayat di dunia dan di akhirat. Inilah puasa yang hakiki, seperti yang dikenal oleh orang-orang yang hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah pembersihan di atas pembersihan. Janganlah kita berpuasa jika dalam puasa itu kita hanya mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa mendapat pahala atau kedekatan dengan Allah. Orang awam atau orang kebanyakan akan segera berbuka bila waktu berbuka telah tiba. Tetapi orang yang ruhaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti berpuasa secara ruhani, walaupun secara fisik ia juga berbuka sepertti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, apabila telah datang waktu berbuka. Inilah orang yang membersihkan panca indera dan fikirannya dari perbuatan perbuatan maksiat dan dosa, dan menahan tangan dan lidahnya dari perbuatan atau kata kata yang menyakitkan hati orang lain. Puasa adalah ibadah yang dilakukan untuk Allah. Dan Dialah yang memberi ganjaran kepada orang-orang yang berpuasa, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits Qudsi, yuang artinya, Hamba-Ku telah berpuasa karena Aku, maka Akulah sendiri yang akan memberikan ganjarannya. Tentu itu adalah suatu keutamaan dari Allah Swt. Untuk orang orang yang berpuasa wajib, terlebih lagi jika puasa itu adalah puasa tatawwu‟. Kemudian orang yang berpuasa itu akan menerima dua kegembiraan, sebagaimana bunyi Hadis Nabi Saw, yaitu kegembiraan ketika ia berbuka puasa dan kegembiraan ketika ia menemui Tuhannya. Bunyi sabda ini sangat tepat, karena orang yang tidak kuat imannya, akan kesulitan melaksanakan puasanya dengan baik. 1. Puasa Orang Awam Friday, November 12, 2010 8:05:44 AM

1. Puasa Orang Awam Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kenikmatan. Pertama, kenikmatan ketika berbuka. Kedua, kenikmatan ketika melihat. Orang awam mengatakan bahwa kenikmatan pertama itu berupa kenikmatan menyantap makanan dan minuman ketika waktu berbuka tiba, yakni setelah ia menahan lapar sepanjang hari. Sedangkan kenikmatan „melihat‟ bagi mereka ialah kenikmatan yang diperoleh ketika melihat tanda tanda bulan Syawal setelah berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, yang artinya tak lama lagi mereka akan merayakan hari lebaran. Bagi orang arif yang lebih mengutamakan maksud batin dari puasa, menganggap bahwa kenikmatan berbuka puasa akan terasa ketika ia memasuki surga dan menikmati segala yang ada di dalamnya. Sedangkan maksud kenikmatan „ketika melihat‟ adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat melihat Allah dengan mata hati. Selain kedua jenis puasa yang telah diuraikan di atas, ada pula puasa yang lebih tinggi martabatnya dari pada keduanya, yaitu puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya. Puasaa ini adalah puasa dengan menahan hati dari menyembah, memuja dan memuji ghayrullah (selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan menahan mata hati dari memandang ghayrullah, baik yang lahir maupun yang bathin. Seperti puasa wajib yang harus dikerjakan oleh seorang Mukmin, puasa hakiki pun harus dilaksanakan oleh orang yang telah sampai kepada tingkatan hakikat yang dicarinya. Jika puasa wajib ditinggalkan, berdosalah ia, karena seolah olah ia telah meninggalkan salah satu dari rukun Islam yang lima. Demikian pula dengan puasa yang hakiki. Puasa ini harus pula dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya. Dan puasa ini tidak boleh ditinggalkan atau dibatalkan. Demikianlah maksud puasa hakiki. 2. Puasa Hakiki Friday, November 12, 2010 8:06:30 AM 2. Puasa Hakiki Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan terhadap ghayrullah dan tertuju hanya kepada Allah serta cinta kepada-Nya. Allah menciptakan segala sesuatu untuk insan dan insan diciptakan Allah untuk dirinya sendiri. Insan adalah rahasia Allah dan Allah rahasia bagi insan. Rahasia itu berupa Nur (cahaya) Allah. Nur itu adalah titik tengah (centre) hati yang diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh yang tahu semua rahasia itu. Ruh juga menjadi penghubung rahasia antara Khaliq dan makhluk. Rahasia itu tidak cinta dan tidak tertarik kepada apa dan siapa juga, kecuali Allah Swt. Betapa ia akan mencintai dan terpikat kepada yang lain selain Tuhan ? Padahal, semua yang selain Allah itu akan binasa dan bersifat sementara atau tidak kekal. Pantaskah seseorang meletakkan cinta dan rindunya kepada sesuatu yang akan binasa dan tidak kekal ?! Bukankah cinta itu suci, dan wajarlah bila cinta itu diletakkan ketempat yang suci seperti itu dan tidak ada yang suci dan kekal selain kesucian Allah Swt. Karena itu, wajar bila manusia yang memahami akan kesucian yang kekal ini memberikan cintanya yang suci hanya kepada Allah Swt. Yang kekal dan Abadi Zat-Nya. Karena itu ruh yang telah mengenal hakikat itu akan memberikan cintanya kepada Zat Allah, dan tidak ingin lagi berpisah dengan-Nya, seperti firman Allah : “Bahwasanya Tuahan kamu ialah Tuhan Yang Esa, maka luruskanlah dirimu kepada-Nya ! (Fussilat :6) Luruskanlah jalan dan pandanganmu hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain selain Dia. Itulah yang diperintahkan Allah kepada manusia. Karena itu pula, tak seorang pun yang patut dipuja dan dipuji, yang patut dicintai dan dirindukan, kecuali Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Tidak ada tujuan akhir yang dituju, kecuali Allah. Jika ada setitik zarah pun cinta terhadap ghayrullah yang masuk ke dalam hatimu, maka batallah puasa hakiki itu. Jika puasa hakiki batal. Kita mengulang puasa hakiki itu, dan menyalakan kembali niat dan harapan kepada Allah di dunia dan akhirat, karena puasa yang dilakukan itu tujuannya untuk Allah dan hanya Allah yang akan memberi ganjaran.

3. Puasa adalah hadiah Allah untuk Umat Manusia Friday, November 12, 2010 8:07:07 AM 3. Puasa adalah hadiah Allah untuk Umat Manusia Puasa adalah semacam hadiah yang diberikan Allah kepada setiap umat manusia di muka bumi ini. Setiap manusia diperintahkan Allah untuk menjalankannya. Tetapi, dalam puasa terdapat dua jenis hukum puasa, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Bagi umat Islam, puasa Ramadhan adalah wajib hukumnya yang dilakukan setiap tahun, yakni ketika datang bulan Ramadhan. Maksud berpuasa adalah untuk mensucikan diri dan membrsihkan batin dari kotoran yang ditinggalkan oleh hawa nafsu. Berkaitan dengan amalan puasa, Islam memerintahkan manusia agar mengikut sertakan seluruh anggota Jawarih-nya, yakni anggota badannya untuk berpuasa. Artinya, Islam memerintahkan agar seluruh anggota badan manusia mening galkan semua kebiasaan yang cenderung memperturutkan hawa nafsu dengan cara membersihkan diri dari perbuatan perbuatan tercela, dan menunjukkan jalan yang terpuji agar setelah itu ia terbiasa pula dengan kelakuan-kelakuan yang baik-baik pula. Salah satu cara untuk membersihkan diri dari kotoran dunia adalah dengan menahan makan dan minum tanpa terbatas waktu. Manusia harus menahan diri dari keinginan untuk makan dan minum pada waktu-waktu yang telah ditentukan, yakni waktu siang. Pada waktu-waktu itulah manusia menjadi sangat lapar dan dahaga. Bila perintah Allah telah mengisi perut manusia, maka wajarlah anggota-anggota yang lain mengekang aktivitas-aktivitas yang biasanya dipimpin oleh hawa nafsu. Mata, misalnya, yang biasa suka melihat hal-hal yang haram dan terlarang, hendaklah dipuasakan dari aktivitas biasanya, dan dididik agar menundukkan diri kepada perintah Tuhan yang menciptakannya. Maka beralihlah ia kepada memandang segala yang mendatangkan keridhaan Tuhannya mengikuti puasa perutnya, supaya mudah mudahan aktivitas aktivitas biasanya bertukar dari yang buruk kepada yang baik. Telinga demikian pula, kalau kebiasaannya suka mendengar hal-hal yang terlarang, yang memang sukar dalam kehidupan di dunia ini untuk terlepas dari perkara-perkara yang buruk yang menimpanya, kini dipertukarkan tabiatnya kepada mendengar yang baik-baik yang akan meraih pahala, bukan mengumpulkan dosa dan celaka. Begitu pula dengan anggota-anggota yang lain, seperti kaki, tangan, hidung dan sebagainya, semuanya dalam waktu perut berpuasa, seharusnya dia juga ikut berpuasa dari tabiat tabiatnya yang buruk, dan dipinta diberlakukan hanya hal-hal yang baik dan perkara-perkara yang terpuji yang diridhoi Tuhan Penciptanya. Bila perut selalu kenyang, maka pada kebiasaannya tuntutan hawa nafsu menjadi kuat. Dan kehendak hawa nafsu itu, memang jarang ada orang yang dapat menolaknya. Sekali tuntutan itu didapatinya, maka tidak henti-hentinya dia akan memaksa diri untuk terus mengikuti permintaannya. Samalah seperti anak kecil yang terus dimanjakan ayah atau ibunya, maka jika tuntutannya tidak dipenuhi, dia akan terus menerus menuntut sampai dapat. Bahkan dia akan menggunakan senjata apa saja yang dapat memaksa sang ayah atau ibu untuk memberi apa yang dipintanya. Dia akan menangis, mengancam. Membuat apa saja asalkan akhirnya ayah atau ibunya akan memberikan apa yang dipintanya itu. Dan sebenarnya, apabila keazaman yang kuat dari seseorang hamba untuk melaksanakan puasa itu, biar dia pada perut ataupun anggota-anggota jawarihnya yang lain, Insya Allah dia akan mendapat taufiq dari Tuhan, dan dia akan dapat menjalankan seperti yang dikehendaki dengan baik dan sempurna, karena semua itu adalah dengan takdir Tuhan, sang hamba mestilah menunjukkan kesungguhannya untuk mengikuti perintah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sebab itu pula, pada bulan Ramadhan, orang-orang yang tidak membiasakan diri untuk mengunjungi masjid dapat duduk beramai-ramai di dalam masjid mengerjakan Shalat Tarawih dan Witir dan sabar mengaminkan do‟a–do‟a yang panjang sehingga duduknya disitu mengambil masa berjam jam. Ada yang sanggup duduk lagi untuk mengikuti Tadarus (baca beramai ramai) Al-Qur‟an. Tetapi Kemanakah mereka sekalian itu setelah selesai bulan Ramadhan ? Tidak kelihatan lagi, kecuali mereka yang ditemani taufiq itu terus menerus bersamanya. Beginilah tujuan dan kewajiban puasa itu, yaitu untuk menghijrahkan diri dan kebiasaannya yang

buruk berubah kepada kebiasaan yang baik, padahal yang pertama itu menambah kesalahan dan kekurangan diri dalam pandangan Allah Swt., manakala yang kedua ialah untuk membersihkan diri dari kebiasaan yang tidak baik itu kepada yang baik untuk menambah kesucian diri dan kepatuhan kepada Allah, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan Maha Penciptanya, sehingga puasa yang dikerjakan oleh sang hamba itu menjadi benteng bagi dirinya dari api neraka, sebagaimana bunyi hadits – hadits Qudsi dalam perkara ini, wallahu-a‟lam. 4. Puasa Mematikan Hawa Nafsu Friday, November 12, 2010 8:07:42 AM 4. Puasa Mematikan Hawa Nafsu Allah mencintai hamba-Nya yang meninggalkan hawa nafsunya, dan mengasingkan diri dari makhluk-Nya, semata mata karena ingin mengubah diri menjadi lebih baik. Mereka mencari Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dalam keadaan taqarrub dengan mengerjakan shalat dan berpuasa, serta menghabiskan waktunya dengan bermujaha dah kepada Allah. Mereka tidak pernah lepas untuk membenamkan dirinya dalam taqarrub, sehingga niscaya mereka telah berada dihadapan pintu istana Tuhan. Mereka mengetuk pintu itu. Dan terbukalah pintu itu. Kini mereka disambut oleh Tuan, pemilik istana yang agung, dengan penuh kasih sayang. Demikianlah Syekh „Abdul Qadir al-Jilani menggambarkan orang yang memilih jalan menuju kepada Allah daripada mereka yang menurutkan hawa nafsunya. Kita hendaknya menahan diri dari nafsu amarah dan serakah, dan menahan diri dan tabiat tabiat buruk. Kita harus dapat mengendalikan diri untuk tidak memakan sebutir nasipun tanpa kebenaran Allah, yakni jangan menjamah makanan, kecuali makanan yang telah pasti kehalalannya. Karena makanan semacam itulah yang dibenarkan Allah, sedangkan yang lainnya tidak. Lebih baik kita memperbanyak puasa, supaya perut kita terbiasa dengan merasakan lapar. Bila kita telah terbiasa merasakan lapar, mudahlah bagi kita untuk mengerjakan ibadah tanpa gangguan sedikitpun. Itulah suluk yang dilakukan para sholihin dan syiar orang orang yang berjalan menuju Allah. G. TENTANG HAJI Friday, November 12, 2010 8:08:46 AM G. TENTANG HAJI Menurut syari‟at Islam, ibadah haji dilakukan dengan cara berkunjung ke Ka‟bah di Mekkah. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah ; 1. Berpakaian dengan pakaian ihram yang melambangkan tanggal dan tinggalnya dunia dan keduniaan ini dari sisi kita, dan tiba di Mekkah dalam keadaan suci. 2. Melakukan tawaf sebanyak tujuh kali putaran mengelilingi Ka‟bah yang melambangkan penyerahan yang penuh kepada Allah SWT. 3. Berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali diantara Safa dan Marwah. 4. Singgah di padang „Arafah hingga terbenam matahari. 5. Bermalam di Muzdalifah. 6. Melakukan qurban di Mina, yang kemudian dilanjutkan dengan bercukur. 7. Bertawaf kembali sebanyak tujuh kali mengelingi Ka‟bah. 8. Minum air zam-zam di telaga Zam-Zam. 9. Bersholat dua raka‟at disekitar tempat Nabi Ibrahim as, berdiri yang berdekatan dengan Ka‟bah (Maqam Ibrahim). Apabila semua itu telah dilakukan, maka sempurnalah rukun haji itu dan Allah akan memberikan ganjaran berupa pahala. Namun, bila dalam pelaksanaan ibadah haji itu terdapat kekurangan dan kecacatan, maka ganjaran tidak akan hilang. Allah berfirman : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah, jika terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban itu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada diantara kamu yang sakit atau ada gangguan dikepalamu (kemudian dia bercukur), maka wajiblah atasnya untuk berfidyah, berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah merasa aman, dan ingin mengerjakan umrah sebelum haji (didalam bulan haji) maka (wajiblah kamu menyembelih)

qurban yang mudah diperoleh. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka kamu wajib berpuasa selama tiga hari ketika datang masa haji dan tujuh hari lagi bila kamu telah kembali dari berhaji. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya”. ( Q.S. Al-Baqarah : 196 ). Apabila rukun-rukun itu telah dilakukan dengan sempurna, maka hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan yang diharamkan kepada melakukan ibadah haji, menjadi hal kembali. Dalam keadaan biasa (normal), seseorang boleh bertawaf sekali lagi dan kemudian kembali ke kehidupan seperti hari-hari yang biasa dilakukannya. Ganjaran malakukan ibadah haji itu difirmankan oleh Allah sebagai berikut : “Barangsiapa mamasukinya (Baitullah), maka amanlah ia dalam mengerjakan haji yang menjadi kewajiban manusia terhadap Allah, ibadah yang dibebankan kepada mereka yang sanggup melakukannya “. (Q.S. Ali-Imran : 97). Barangsiapa yang mengerjakan ibadah haji dengan sempurna, maka akan selamatlah dia dari api neraka. Itulah ganjaran untuk mereka yang mampu melakukan ibadah haji. 1. Ibadah Haji Para Sufi Friday, November 12, 2010 8:09:28 AM 1. Ibadah Haji Para Sufi Ibadah haji yang dilakukan oleh para sufi memerlukan bekal yang cukup sebelum berangkat ke tanah suci. Hal yang dilakukan pertama kali oleh mereka adalah mendapatkan pembimbing atau syeikh yang dapat dikasihi, dihormati, dipatuhi dan diteladani. Guru atau syeikh inilah yang akan memberikan bimbingan tentang segala hal yang harus dipersiapkan dalam perjalanan haji mereka. Di tanah suci itulah kelak si Murid atau si Salik akan mempraktekkan semua pelajaran dan bimbingan batin yang telah diterimanya dari syeikhnya. Walau secara fisik mereka menempuh perjalanan jauh, bahkan mungkin dengan berjalan kaki atau dengan menunggang kuda atau unta. Segala gerak-gerik mereka tetap tertumpu pada arahan syeikh yang telah membimbingnya. Ia akan bertindak seperti seorang murid belia yang begitu patuh kepada gurunya , yang hanya mampu bergerak atas perintah telunjuk gurunya. Dalam perjalanan ini, kesetiaannya kepada sang guru akan diuji, sehingga semua tugas-tugas hajinya berjalan dengan baik, maka ia akan dilepaskan dari genggaman tangan sang Syeikh. Setelah dibebaskan untuk mandiri, si Salik mestilah pandai mengelolakan hatinya. Ia harus membangunkan hatinya dari tidurnya dengan membaca Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) dan mengingat Allah dengan merenungkan makna dan maksud kalimat tersebut. Dengan selalu membaca kalimat tersebut,hatinya akan selalu terjaga dari keterlenaan, hatinya akan berkobar oleh sebutan kalimat dalam dzikir itu, dan ketika itulah hatinya akan hidup. Hati itu tak akan pernah berhenti mengingat Allah sehingga seluruh ruhaninya menjadi bersih dari suci dari ghayrullah (selain Allah). Hanya Allah yang mewujud di dalam hatinya. Setelah membersihkan ruhaninya, si Salik hendaklah membaca sifat-sifat Allah agar cahaya keindahan Allah bersinar dalam hatinya. Dalam Nur atau Cahaya itulah si Salik diharapkan dapat melihat „Ka‟bah‟ Zat Yang Rahasia itu. Allah menitahkan Nabi-Nya Ibrahim dan Ismail supaya membuat pembersihan seperti itu. Firman Allah : “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan memfirmankan). Janganlah kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud“. (Q.S. Al-Hajj : 26)

Ka‟bah yang secara lahiriah dapat dilihat dengan mata telanjang di Mekkah selalu dijaga agar kebersihan dan kesuciannya untuk hamba-hamba Allah mengunjunginya dalam ibadah haji. Betapa Ka‟bah itu dijaga kebersihan dan kesuciannya, terlebih-lebih dengan „ka‟bah batin‟ dalam dirinya yang mesti dijaga untuk selalu memandang al-Haq. Maukah kita melihat sesuatu yang kotor dan yang menjijikkan ? Tentu tidak ! Karena itulah kita selalu membersihkan keadaan lahir kita bila terkena kotoran. Akan tetapi, mengapa kita membersihkan batin kita, hati kita, padahal hati itu menjadi tempat bersemayannya cahaya Tuhan yang mencipta kita ? Relakah kita membiarkan kotoran itu menempel di rumah Tuhan dalam hati kita, sementara kita tidak rela membiarkan kotor pada diri kita secara lahir ? Pikirkanlah …!!! 2. Berselubung dalam Cahaya Nama-Nama Allah Friday, November 12, 2010 8:10:00 AM 2. Berselubung dalam Cahaya Nama-Nama Allah Setelah ia mendapat bekal dari sang guru, si Salik hendaknya menyelimuti dirinya dengan cahaya (nur) „Ruh al-Quds‟ (Ruh Suci), mengubah dirinya menjadi sebentuk kaca ruhani, bertawaf mengelilingi „ka‟bah hati‟ , dan menyebut secara ruhaniah nama Allah yaitu “ALLAH” (nama bagi zat-Nya). Ia berputar seperti membentuk sebuah lingkaran, karena jalan menuju Zat itu tidak linear, melainkan berputar seperti sebuah siklus. Tak ada ujung dan pangkal dalam pergerakannya. Semua perjalanan yang dilaluinya terbungkus dalam gerak ruhani atau spritual. Kemudian si Salik menuju „Arafah hati‟ , tempat berdo‟a secara batin yaitu tempat dimana seseorang mengharap dapat mengetahui rahasia-Nya (tidak ada Tuhan melainkan Allah, Yang Maha Esa dan dapat disekutukan dengan-Nya). Di tempat itulah dia berdiri membaca nama Allah “ HU ” (Dia). Disana si Salik tidak hanya seorang diri, karena Allah ada bersamanya, seperti firman Allah : “…. Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada “. (Q.S. al-Hadid : 4) Setelah itu ia membaca nama Allah berikutnya yaitu “AL-HAQQ” (Yang sebenar). Itulah nama bagi Nur Zat Allah. Kemudian ia membaca nama Allah “AL-HAYYU” (Yang Hidup). Dari-Nya muncul segala yang hidup dan segala makhluk, karena Dialah sumber kehidupan. Kemudian disempurnakan nama Allah AL-HAYYU itu dengan nama Allah “AL-QAYYUM” (Yang Berdiri Sendiri dalam mengurus makhluk-Nya). Ini membawa si Salik ke „Muzdalifah hati‟. Setelah itu si Salik dibawa ke Mina, rahasia yang suci di mana ia membaca nama Allah “ALQAHHAR” (Yang Maha Berkuasa dalam berbagai perkara tadbiran-Nya, Yang Maha Perkasa mengatasi seteru-seteru-Nya). Dengan kekuatan nama Allah itu, diri dan ego dikorbankan, tabir kekufuran ditiupkan, dan terbuka lebarlah pintu „kekosongan diri‟ (terasa diri fana dan kosong). Kemudian „kepala Ruh al-Quds‟ dicukur dari semua sifat-sifat kebendaan. Setelah itu dibaca pula nama Allah “AL-WAHHAB” (Maha Pemberi, Yang Memberi tanpa hadd dan syarat). Dengan itu si Salik memasuki „kawasan‟ Maha Suci Bagi Zat. Setelah masuk ke „kawasan‟ maha suci itu, si Salik membaca nama Allah “AL-FATTAH” (Pembuka semua yang tertutup). Si Salik memasuki suatu tempat, disitu ia duduk hampir dengan Allah, berkasih sayang dengan Allah dan jauh dari ghayrullah (selain Allah). Disitu si Salik membaca nama Allah “AL-WAHID” (Yang Maha Tunggal). Disitu si Salik mulai melihat manifestasi (penzahiran) sifat Allah yang bernama “ASH-SHOMAD” (Sumber Yang pada-Nya segala makhluk bergantung dan berharap). Si Salik mulai melihat „harta tersembunyi‟ yang tidak habis-habis, yang dipandang oleh si Salik tanpa bentuk, tanpa rupa dan tiada sesuatu yang seumpama-Nya. Setelah itu, mulailah dia melakukan tawaf yang terakhir. Ia berkeliling sebanyak tujuh kali sambil membaca enam nama Allah yang berikutnya, dan ditambah dengan nama Allah “AL-AHAD”

(Yang Maha Esa). Kemudian si Salik diberi minum, seperti yang tersebut di dalam firman Allah : “Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih” (Q.S. Al-Insan : 21) Tempat yang menampung minuman itu berupa nama Allah yaitu “ASH-SHAMAD” (Sumber tempat segala yang ada bergantung, Yang memuaskan segala keperluan dan kehendak, Tempat untuk kembali). Setelah minum dengan tempat itu, si Salik melihat semua hijab tersingkap dari Wajah Yang Qadim. Si Salik melihat Dia dengan nur yang muncul dari-Nya. Tingkatan ini tidak dapat diperbandingkan dengan yang lainnya, tidak dapat disamakan dengan apapun jua, tidak ada sesuatu apapun yang dapat melukiskannya, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tingkatan ini belum pernah dilihat sebelumnya oleh mata manusia, tidak pernah didengar oleh telinga, tidak pernah terlintas dalam hati. Kalam Allah itu tidak bersuara dan tidak berhuruf. Tidak ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan melihat Allah dan mendengar Allah berkata-kata. 3. Maqam Tawhid Friday, November 12, 2010 8:10:33 AM 3. Maqam Tawhid Setelah si Salik mendapatkan pengalaman haji ruhaniah dalam suluk (perjalanan ruhaniah menuju Allah), maka semua yang sebelumnya salah, akan menjadi benar. Kejahatan yang pernah mereka lakukan akan diganti Allah dengan kebaikan. Sekarang si Salik berada pada tempat (maqam) tawhid yang baru dicapainya, dan perasaan tawhid ini akan berkelanjutan dan kekal bersama si Salik. Firman Allah : “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, kejahatan mereka akan diganti Allah dengan kebajikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “. (Q.S. Al-Furqan : 70) Maka si Salik akan bebas dari semua kesalahan yang datang dari dirinya, dan dia akan terbebas dari rasa takut dan berduka cita. Firman Allah : “Ingatlah ! Sesunguhnya Awliya‟ (para wali) Allah itu, tidak takut dan berduka cita”. (Q.S. Yunus : 62). Akhirnya tawaf selamat tinggal dilakukan dengan membaca semua nama-nama Allah yang telah disebut pada bagian terdahulu. Kemudian si Salik kembali ke tempat asalnya, yaitu „tanah suci‟ di mana Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan paling indah. Setelah kembali, ia membaca nama Allah “ASH-SHAMAD” (Sumber harta, yang dari-Nya semua kebutuhan makhluk dapat dipenuhi). Itulah tempat atau peringkat „bersama dengan Allah‟. Dan disitulah tempat tinggal si Salik dari segi batinnya, dan disitu pula tempat ia kembali. Demikian perjalanan suluk si Salik, lengkap dengan pengalaman-pengalaman ruhaniah yang dialaminya ketika berada di peringkat-peringakt atau maqam-maqam menuju destinasinya kepada Allah SWT. Nama-nama tempat dan maqam dalam perjalanan ruhani itu hanyalah sebuah perumpamaan. Hanya mereka yang mengalaminya, yang mengetahui maksud dan getaran-getaran perjalanan ruhaniah itu. Kebanyakan orang memetik ilmu dari permukaannya saja, yakni dengan berguru (yaitu ilmu yang tersurat). Tetapi orang yang arif memetik ilmu dengan ilmu Ketuhanan, memetik ilmu dari dalam (yaitu ilmu yang tersirat). Hikmah kebijaksanaan si arif adalah rahasia Allah, tidak ada seorangpun yang tahu apa yang diketahui Allah, kecuali Allah sendiri. Ilmu oang arif telah diilhamkan Allah kedalam hatinya, bukan terjadi seperti yang didapat oleh orang yang lain, yang biasanya ditemukan di bangku-bangku sekolah melalui bantuan guru.

Bahkan, jika Allah menghendaki sesuatu ditakdirkan, maka terjadilah hal yang diinginkan Allah itu. Firman Allah : “….sedang mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang Allah kehendaki, kursi (ilmu) Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya karena Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (Q.S. Al-Baqarah : 255) Para Waliyullah adalah orang-orang yang mendapatkan ilmu dari Allah yang berusaha sekuat tenaga masuk ke majelis-Nya. Dan Allah berfirman : “Dan sesungguhnya Dia (Allah) mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi”. (Q.S. Thaahaa : 7) Selanjutnya Allah berfirman : “Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik). (Q.S. Thaahaa : 8) 4. Haji Lahiriah dan Haji Hati Friday, November 12, 2010 8:11:12 AM 4. Haji Lahiriah dan Haji Hati Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalanamalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya akan makanan, minuman, dan pakaian, seolah –olah dia sedang berada di rumah, sebuah prilaku untuk memuaskan hawa nafsunya. Selain itu, ada pula orang yang menjalankan ibadah haji seakan-akan hendak berwisata, bersenang-senang melihat negeri orang, mencari kekurangan negeri itu sebagai oleh-oleh yang akan diceritakannya kepada banyak orang di negerinya setelah ia kembali dari perjalanan haji. Kedua manusia ini tidak jauh berbeda dengan orang yang mengerjakan sholat setiap hari. Begitu ia mengangkat takbir „Allahu Akbar‟, seketika itu pula pikirannya menerawang dan mengembara kepada ingatan-ingatan yang indah-indah dan lucu-lucu, ataupun menghayalkan berbagai peristiwa yang benar atau yang tidak benar terjadi. Otaknya penuh dengan angan-angan yang terkadang menyentuh hal-hal yang dilarang untuk dihadirkan dalam pikiran. Seolah-olah waktu sholat itu menjadi waktu yang penuh ketenangan dan ketentraman untuk memikirkan berbagai hal yang membahayakan syarat sholat. Karena itu sering kita melihat orang yang mengerjakan amalan haji, hanya anggota-anggota badannya saja yang tampak membuat amalan-amalan haji, namun hatinya jauh dari mengingat atau menghayati amalan haji itu sendiri. Haji yang semacam ini termasuk haji yang tidak sempurna, sama seperti sholat yang tidak khusyu‟, yakni sholat yang penuh dengan cacat. Karena itu, menurut pendapat sebagian ulama, sholat seperti itu tidak dapat disebut sebagai sholat yang hakiki (hanya sekedar menggugurkan kewajiban). Demikian pula dengan ibadah haji yang kerap dikatakan orang sebagai „Haji yang Mabrur‟, lawan dari haji yang tidak mabrur. Wallahu-a‟lam. Sepatutnyalah seorang calon haji dalam mengerjakan ibadah haji hatinya harus khusyu‟ dan penuh dengan kekhawatiran bahwa hajinya akan tertolak karena suatu kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya ketika berhaji. Bila hajinya tertolak, maka sia-sialah jerih payahnya selama ini. Rasulullah SAW mengatakan bahwa siapa yang mengerjakan haji dan tidak melakukan perbuatanperbuatan terlarang ataupun berkata cabul, maka luluslah ia dari perjalanan hajinya, seperti seorang bocah yang baru dilahirkan oleh ibunya, yang bersih dari dosa. Rasulullah SAW menganjurkan agar kita sampai pada tingkat „penghapusan dosa‟, sehingga dapat hati kita kembali bersih, seperti tanpa dosa. Tetapi untuk melakukannya tidaklah semudah seperti yang dilakukan calon haji yang hanya mengerjakan manasiknya dengan gerak gerik badan

semata, sementara hatinya masih dipenuhi daki-daki hawa nafsu yang terus mengingatkannya kepada urusan dunia. Kemudian mereka kembali ke negerinya dengan prasangka bahwa ia telah menjadi haji mabrur. Keadaan seperti ini dapat membawa seseorang kepada sifat membanggakan diri bahwa ia telah berhaji. Wallahu a‟lam (hanya Allah yang tahu). Amalan haji yang sempurna mestinya tidak luput dari ingatan bahwa kita adalah „hamba Allah‟ yang kini datang kepada-Nya dengan sehelai kain tanpa jahitan sedikitpun. Dia melihat „Padang „Arafah‟ sebagai „Padang Mahsyar‟, tempat dia akan berkumpul dengan seluruh manusia kelak di Hari Kebangkitan untuk menunggu hari pengadilan Tuhan Yang Maha Adil. Betapa hatinya harus mengingat apabila dia berada benar-benar ditempat semacam itu. Ketika dia menuju „Muzdalifah‟ dia dapat bayangkan keadaan bagaimana dia sedang diseret untuk diadili, dan betapa hatinya merasa bimbang dan takut karena menaggung banyak kesalahan dan dosa. Demikian pula dengan saat-saat melempar batu yang harus diingat sebagai ritual melempar setan yang tak tampak oleh mata. Demikian pula dengan bertawaf dan bersa‟i, dan seterusnya. Berbahagialah orang yang mengerjakan haji dengan tidak melupakan hatinya untuk turut berhaji, sehingga semua amalan manasik haji yang penuh dengan rahasia Ilahi tidak terbuang sia-sia, dan terjaminlah – Insya Allah – menjadi haji mabrur, yang dicita-citakan setiap orang yang pergi berhaji. H. TENTANG MENCAPAI DERAJAT "INSAN KAMIL” Friday, November 12, 2010 8:12:56 AM H. TENTANG MENCAPAI DERAJAT "INSAN KAMIL” Pada bagian ini, kita akan membicarakan tentang peningkatan dan pembersihan diri untuk mencapai derajat Insan Kamil atau Manusia Sempurna, yaitu orang yang telah memisahkan dan melepaskan dirinya dari hal-hal keduniaan. Tujuan pembersihan ini ada dua : 1. Untuk mencapai sifat-sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia. 2. Untuk mencapai Zat Allah, yakni mengenal-Nya me lalui hakikat dan ma‟rifah. Pembersihan diri untuk mencapai sifat Allah memerlukan suatu ajaran yang dapat menunjukkan proses pembersihan cermin hati, yakni dengan cara membaca (dzikir atau wirid) Asma‟ Allah (nama-nama Allah). Dzikir adalah kunci untuk membuka pintu hati. Dan apabila pintu hati telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu. Kemudian mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan. Tanpa dzikir, pintu hati manusia akan terus tertutup dan dipenuhi debu-debu dunia. Selain itu, dengan diabaikannya dzikir, manusia tidak akan pernah lepas dari hasratnya untuk mengejar keinginan dan kecintaan terhadap dunia. Seorang Mu‟min melihat dengan Nurullah. Mu‟min juga merupakan cermin bagi mu'min yang lain. Orang yang berilmu membuat bayangan, tetapi orang yang arif mengkilaukan cermin hati yang di dalamnya terdapat bayangan hakikat. Dan apabila mata hati itu bersih berkilauan dan suci, muncullah dalam cermin itu berbagai rahasia Allah yang berupa hakikat yang dicurahkan kepada hati yang bersih berkilauan dan suci itu. Apabila cermin hati itu sempurna karena selalu dibersihkan dengan zikrullah hingga berkilauan, pemilik hati itu akan sampai kepada sifat-sifat Ketuhanan dan mengenal sifat-sifat itu. Hal ini hanya mungkin terjadi bila cermin hati kita telah bersih berkilau. 1. Ikhtisar Dzikir yang Sempurna Friday, November 12, 2010 8:13:33 AM 1. Ikhtisar Dzikir yang Sempurna

Ketika semua telah lenyap, yakni fana‟ di Hadhirat Allah SWT, yang tertinggal hanya Ruh Suci (Ruh al-Quds). Ia melihat dengan Nur Allah, ia melihat Allah, ia melihat untuk Allah. Tidak ada bayangan dan tidak ada yang menyerupai Allah, sebagaimana firman-Nya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11) Satu yang tertinggal dan mutlak, yakni Nur Suci. Suatu karunia yang tinggi yang diberikan kepada orang yang utama. Tidak ada lagi yang ingin diketahuinya setelah tingkat ini. Inilah peringkat fana‟ (lenyap dan musnah). Tingkat puncak yang dapat dicapai oleh manusia ketika berada di alam fana‟ ini, tidak ada lagi, kecuali Allah. Hanya Allah tempat bertanya, dan hanya Allah pula yang memberikan jawaban. Maka di peringkat itu seseorang sangat dekat dengan Allah hingga tidak ada siapa dan apapun yang menjadi celah di antara dia dengan Allah. Itulah keadaan ketika seseorang menjadi „kosong‟, tanpa diri, kecuali Zat Allah yang wujud. Itulah pula keadaan „bersatu‟ dan „berpadu‟ dengan Allah, karena hati seorang Mu'min adalah rahasia Tuhan. Hal serupa juga diberikan secara khusus sebagai karunia kepada orang-orang yang khusus pula, orang-orang yang mencari-Nya hingga bertemu dengan-Nya, orang yang telah berma‟rifah kepada Tuhan Penciptanya, yang telah mengenali Tuhannya, dan kemudian Tuhan pun mengenalinya, yang telah mencintai dan merindukan Tuhan Penciptanya, kemudian Tuhan Pencipta pun mencintai dan merindukannya. Ucapan-ucapannya sangat sulit dituangkan ke dalam bentuk tulisan karena terlalu sulit dan tidak dapat diuraikan. Peristiwa atau keadaan ini bukanlah omong kosong. Karena itu, setiap orang dapat menginterpretasikannya dengan sesuka hati. Orang yang belum mengetahui hal ini, artinya mereka masih jahil. Dan orang yang jahil tidak boleh membuat interpretasi keraguan dan kekeliruan, yang akhirnya membawa keadaan tindakan saling menuduh, sesat dan menyesatkan. Bagi orang yang belum mengenal keadaan fana‟ ini, sebaiknya menjauhkan diri darinya. Dan orang yang masih berendam di tepi pantai yang dangkal, jangan mencoba-coba menduga lautan yang dalam, karena kelak yang ditemuinya bukan hidayah, melainkan kesesatan. Ini bukan medan permainan untuk menguji nasib. Siapa suka boleh berbicara mengikuti nafsunya, atau menurut akalnya yang sempit. Ini adalah ahwal hakiki yang menghendaki ma‟rifah yang hakiki pula. Akan tetapi, bagi orang yng benar-benar sudah mengenal yang haq dan yang batil, dia tidak akan berhenti. Apa yang dicarinya selama ini telah ditemukannya. Dia telah mengenal dirinya, dan kini dia telah mengenal Tuhannya. Dirinya adalah hamba. Sebagai seorang hamba, dia tidak memiliki apa-apa, karena Zat Ketuhanan itulah Tuannya yang memiliki segala kekuasaan-Nya. Inilah keadaan ketika manusia melepaskan dirinya dari segala perkara, dari segala sesuatu selain Allah, mengosongkan diri dari segala sesuatu, kecuali Allah. Maka, ketika itulah Allah akan memberi pakaian kepada manusia berupa sifat-sifat Ketuhanan, dan tenggelamlah ia di dalam sifat-sifat Ketuhanan itu sehingga semua gerak-geriknya tidak terlepas dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Besar lagi Maha Agung. Semua itu adalah kesadaran ruhani yang sangat dalam artinya, hasil dari mengenang dan memusatkan renungan hati pada maksud dan pengertian batin Asma‟ Allah tersebut. 2. Pintu Istana Raja Friday, November 12, 2010 8:14:11 AM 2. Pintu Istana Raja Pada umumnya pintu-pintu istana Raja tertutup rapi, tidak sembarang orang dapat memasukinya. Orang yang boleh masuk hanyalah mereka yang sudah dikenal oleh Raja atau orang yang memiliki keperluan penting dengan Raja. Dan tidak semua orang yang memiliki keperluan penting dengan Raja akan dibukakan pintu oleh Raja. Ia harus membawa keperluan khusus yang sudah diketahui oleh Raja, dan Raja memang ingin mendengar langsung darinya. Itulah yang dilakukan Raja di dunia, yang bila engkau berurusan kepadanya maka engkau

berurusan dengan dunia. Tetapi jika engkau akan berurusan kepada Raja dari segala Raja, niscaya pintu akan selalu terbuka untukmu. Namun, terdapat beberapa syarat untuk bisa memasukinya, yaitu bila engkau telah berpaling dari pintu-pintu lain di dunia ini, dan kini engkau menuju kepada pintu Raja dari segala Raja itu dengan membelakangi semua pintu, selain pintu-Nya. Kelak akan terbukalah sebuah pintu rahasia dari hatimu, yaitu pintu Sirr yang batin, yang sejak dahulu tertutup, dan saat ini terbuka tanpa upaya darimu. Kini masuklah engkau dan bersenangsenanglah di dalam taman kebahagiaannya, karena tiada taman yang lebih indah dari taman itu. Taman yang tidak sembarang orang yang dapat memasukinya. Engkau akan menikmati keadaan dan hakikat yang telah engkau cari dengan susah payah. Apabila engkau telah mengenal jalan ke sana, engkau tidak akan berbelok ke jalan yang lain. Engkau tidak ingin melupakan jalan itu. Bagaimana mungkin engkau akan melupakannya, sedangkan di dalamnya engkau mengecap segala kenikmatan yang belum pernah engkau kecap. Orang Mu'min harus membuang semua jalan yang telah diikutinya sebelum bertemu dengan jalan yang penuh kenikmatan itu. Jalan yang dulu dilaluinya adalah jalan palsu, karena kenikmatannya hanya sementara. Ia mesti meniti jalan yang mampu membawanya kepada kenikmatan yang hakiki. Ia mesti menghadapkan wajahnya kepada Tuhan yang menciptakan semua kenikmatan itu, yaitu kenikmatan sementara di dunia dan kenikmatan yang hakiki yang ada di sisi-Nya. Tegasnya, ia mesti menuju ke jalan Allah, jalan setiap orang yang diberikan iman oleh Allah untuk mencari dari mana sumber iman itu datang. Bukankah iman merupakan suatu karunia yang utama, yang khusus diberikan kepada orang yang diutamakan Tuhan ? Maka sewajarnyalah ia berusaha keras mencari dan mengenal Tuhan yang telah memberinya iman. Dengan mengenal Tuhan, imannya kelak akan berkembang dan hidup subur, tidak akan digoncang badai dan topan, dan didekati oleh malapetaka serta bencana alam yang akan merusak pohon imannya yang hidup subur itu, karena pohon itu akan dijaga dan dipelihara oleh yang memberinya karena ia telah mengenal siapa pemberinya itu. Dalam perjalanannya menuju Allah, Tuhan yang mencipta dan memberinya iman itu, ia harus menanggung berbagai ujian untuk membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh ingin mencari dan mengenal-Nya dengan hakikat pengenalan. Orang yang sudah bulat niatnya untuk mencapai sesuatu, tidak boleh mundur karena ada sesuatu yang menghalanginya. Malah dia mesti bersikap teguh hati dan pantang mematahkan cita-citanya kepada apa yang ditujuinya. Bukankah dia sedang mencari dan menuju ke tempat yang akan memberinya kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki, yang tiada taranya ? Apakah ia akan mematahkan cita-citanya itu ? Bahkan dia akan terus menuju sehingga dia mencapai hakikat yang dicarinya, walaupun dirintangi seribu satu bencana dan malapetaka. Karena itu, dia harus menerima dengan rela hati segala apa yang ditakdirkan oleh Allah baginya, serta menyerahkan sepenuhnya kepada takdir-Nya, agar dia diterima oleh Allah dan berhasil menempuh semua ujian-Nya. Dengan menanggung semua ujian itu barulah dapat dikatakan bahwa dia benar-benar dan sungguh-sungguh ingin berada di sisi Allah. Hanya dengan cara begitu barulah pintu Tuhannya dibukakan untuknya, sesuai dengan bunyi firman Allah : “ Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Q.S. At-Thalaaq: 2) Ujian ini pasti bertujuan untuk melihat siapa yang menyimpan niat yang benar, dan dapat keluar dari ujian itu dengan kemenangan untuk mencapai cita-citanya. Firman-Nya lagi : “Dan Kami coba mereka dengan (ni`mat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”( Q.S. Al-A‟raaf: 168) Tegasnya, hati anak Adam itu senantiasa mengembara ke jalan yang baik dan ke jalan yang buruk, selalu menempuh jalan yang mulia dan jalan yang hina, jalan kekayaan dan jalan kemiskinan, dan seterusnya, sehingga dia mengakui bahwa semua itu adalah dari Allah, dan ditetapkan oleh Allah. Dia harus bersyukur atas apa yang ditakdirkan Tuhannya, atas yang baik

atau yang buruk, karena Dia lebih tahu apa yang mesti ditakdirkan. Maka apabila yang ditakdirkan itu „baik‟, dia bersyukur sambil berterima kasih, bahwa dia telah diberikan yang „baik‟ itu. Dan jika yang ditakdirkan itu „buruk‟ dia harus bersyukur juga sambil bersabar, mudah-mudahan dengan takdir yang buruk itu akan muncul berbagai macam kebaikan yang tidak terduga datangnya. Kemudian dia tidak lupa memohon kepada Allah, agar yang buruk itu diangkat dan digantikan dengan yang baik. Dia harus sering bersabar dalam keadaan ini, karena apa yang dicita-citakannya itu mungkin terlambat datangnya atau mungkin tidak datang sama sekali. Malah seharusnya dia menyakinkan dirinya bahwa semua takdir Tuhan selalu baik, meskipun dia sulit menerimanya. Begitulah sikap „Insan Kamil‟, bila dia menginginkan agar pintu Tuhan dibuka untuknya. Dia telah mengakui bersyukur dan bersabar, sambil menerima takdir apa saja yang ditetapkan oleh Allah. Dan kini dia masih menunggu di pintu Tuhan yang mentakdirkan semua itu. Itulah taufik yang utama, yang diberikan kepada orang yang paling istimewa. Maka apabila pintu Raja dari segala Raja itu dibuka untuknya, di sana dia akan melihat apa yang tidak pernah dilihatnya, dia mendengar apa yang tidak pernah didengarnya, dan mengalami apa yang tidak pernah dialaminya, atau yang tidak pernah terlintas di dalam hatinya. Semua tindakan baik dan buruk berakhir di sini. Tidak ada lagi yang dikira „baik‟ dan tidak ada lagi yang dikira „buruk‟. Tidak ada waktu lagi. Dan kini yang ada hanya waktu untuk bermesra-mesraan dengan Tuhan Penciptanya, duduk bersama-sama dan berbincang-bincang dengan Tuhan yang dirindukannya. Dia lupa dengan segala macam kenikmatan, karena terlalu asyik dengan Tuhan yang memberi nikmat. Dia tidak ingat lagi kepada segala macam bahaya dan bencana, karena dia sedang sibuk dengan Tuhan yang memberi bahaya dan bencana itu. Dia dekat dengan siapa yang dicarinya. Hati dan pikirannya kini sedang tertumpu kepada karunia-karunia khusus yang akan diberikan Tuhannya, sehingga jika dia menginginkan sesuatu maka terjadilah apa yang diinginkannya itu dengan sendirinya, wallahu-a‟lam. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Friday, November 12, 2010 8:17:08 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr: 27-30) Dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT perlu melalui tanjakan-tanjakan dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi seperti yang lazim dikerjakan oleh kaum Sufi. Jika tanjakantanjakan tersebut dilalui dengan sebenar-benarnya maka akhirnya akan meraih kesempurnaan Agama Islam mulai dari Keimanan yang benar kemudian Islam yang benar dan selanjutnya kemaqom Ihsan. Hal tersebut dapat dilakukan dalam 4 (empat) tingkat/tahapan diantaranya : TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (A. S Y A R I ‟A T) Friday, November 12, 2010 8:19:09 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan dan kemudahan serta syari‟at yang lengkap dan menjamin manusia dalam kehidupan bersih lagi mulia dan menyampaikan mereka kepuncak ketinggian dan kesempurnaan. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh Risalah Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadat kepada-Nya dan mengokohkan hubungan antar sesama manusia serta menegakkannya diatas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Mengerjakan syari‟at itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniah yang menyangkut dari segala hukum-hukum atau aturan-aturan misalnya ; hukum shalat, hukum puasa, hukum zakat, hukum haji dan lain-lain. Tegasnya bahwa syari‟at itu ialah peraturan-peraturan yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Sebagai dasar pegangan, Qur‟an menyebutkan : “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syariat) dan jalan (manhaj) yang terang.” (Q.S. al-Maa-idah: 48)

Difinisi syari‟at secara terminologi, diantaranya ; 1. Menurut Mahmud Syaltut : “ Syari‟at adalah hukum-hukum (tata aturan) yang diciptakan oleh Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya didalam hubungannya kepada Allah, alam semesta, dan keseluruhan hidup “. 2. Menurut At-Tahanawi : “ Syariat adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah yang dibawa oleh salah satu nabi-Nya termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut Far‟iyyah Amaliyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Fiqih, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan Ashliyyah atau I‟tiqadiyyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Kalam “. Kedua definisi tentang syari‟at tersebut sesungguhnya memberikan suatu kejelasan bahwa syari‟at adalah merupakan doktrin Ilahi tanpa campur tangan sama sekali dari manusia. Manusia tidak diberi hak sedikitpun untuk membuat syari‟at itu. Manusia hanya diberi kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah disyari‟atkan kepadanya, berkewajiban untuk memegang teguh aturan-aturannya, sebab dengan adanya syari‟at itu agar manusia menjadi bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam kehidupan kerohanian (tasawwuf) dan orang yang akan berjalan menuju Allah, syari‟at adalah langkah awal untuk memasuki pintu-pintu menuju pada arah kesempurnaan. Dengan demikian kesempurnaan tidak akan tercapai tanpa melalui pintu pertama yaitu Syari‟at. Jadi, Ilmu Tasawwuf yang benar harus berpangkal dari syari‟at yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Sufi Syeikh Abdul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi : “ Ajaran-ajaranku ini diikat kuat dengan kitab dan sunnah. Barangsiapa yang tidak menjaga Al-Qur‟an dan Al-Hadits maka itu tidak boleh diikuti dalam urusan ini (tasawwuf) sebab ilmu kami ini diikat dengan kitab dan sunnah “. Begitu juga Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata : “ Ketahuilah wahai anak-anakku, mudahmudahan Tuhan memberikan taufiq kepada kami dan engkau dan semua ummat Islam, aku wasiatkan kepada kamu bahwa engkau tetap menjalankan syari‟at dan memelihara batasbatasnya. Ketahuilah wahai anak-anakku, bahwa thariqat kami ini didasarkan atas al-Qur‟an dan as-Sunnah “. Kemudian Syeikh Ibrahim An-Nasharbadzi, berkata : “ Asal atau dasar ajaran ini (tasawwuf) adalah menetapi kitab dan sunnah, meninggalkan hawa nafsu dan bid‟ah, berpegang pada imamimam, mengikuti ulama salaf, meninggalkan sesuatu yang diadakan oleh orang-orang belakangan dan berdiri diatas jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu”. Imam Ghazali menegaskan : “ Ketahuilah bahwasanya orang-orang yang menuju jalan Allah adalah sedikit, sedangkan orang-orang yang mengaku-ngaku banyak. Tanda pertama adalah semua perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyah adalah menepati ukuran syarak, berdiri diatas ketentuan pengajaran syarak., baik dalam sikap mendatangkan atau mengeluarkan, maju atau mundur karena menempuh jalan tasawwuf adalah suatu hal yang tidak meungkin dilaksanakan kecuali apabila sudah menjalankan kemuliaan-kemuliaan syari‟at. Dan seorang tidak akan sampai pada jalan tasawwuf kecuali orang-orang yang membiasakan atau melaksanakan dengan tekun terhadap sunnah-sunnah. Maka bagaimanakah akan mencapai jalan sufi seorang yang melupakan (melengahkan) fardhu-fardhu dan padahal seseorang yang menuju pada jalan Tuhan itu berpaling dari dunia dengan sungguh-sungguh. Andaikata orang-orang menyamakan orang sufi (dengan yang lain) maka akan binasalah alam ini “. Dalam syari‟at, apabila seseorang mengerjakan shalat dan sudah ada wudhu, telah menghadap ke Kiblat, ber-takbiratul ihram, membaca Fatihah, rukuk dan sujud dan sampai dengan salam atau dengan kata lain sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun sholat oleh syari‟at sudah dianggap shalatnya telah syah. Tujuan utama syari‟at itu ialah membangun kehidupan manusia atas dasar amar ma‟ruf dan nahi munkar. Ma‟ruf dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu : Fardhu „ain, Sunnat (mustahab), Mubah (harus). Sedangkan yang munkar dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu : Haram dan Makruh. Petunjuk-petunjuk tersebut di atas memberi pegangan yang kuat bagi setiap manusia untuk

dapat memahami dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar dan mana yang salah. Petunjuk-petunjuk itu mengikat manusia sebagai kewajiban moril dalam segala sikap hidupnya. Dalam mengerjakan perkara wajib, sunnat, kebaikan, kebenaran, dianggap sebagai suatu kewajiban moril untuk mengerjakannya yang kelak akan mendapat pahala dan balasannya ialah Surga. Kemudian dalam mengerjakan perkara yang haram, makruh, kemaksiatan atau kejahatan, semuanya itu dipandang sebagai dosa dan balasannya ialah Neraka. Peraturan-peraturan yang diatur oleh syariat seperti tersebut di atas, adalah atas dasar alQur‟an dan as-Sunnah yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan manusia. Tetapi menurut ahli Sufi dan kaum Thariqat, bahwa syari‟at itu baru merupakan tingkat pertama dalam perjalanan menuju kepada Allah. Sebagaimana dalam Ilmu Tasawwuf diterangkan bahwa apabila Syariat dan Thariqat itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah Hakikat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuan terakhir ialah Ma‟rifat yaitu mengenal Allah yang sebenar-benarnya, serta mencintai-Nya dengan sebaik-baiknya. Syariat ialah pengenalan jenis perintah (hukum dan aturan yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah) dan Hakekat ialah pengenalan pemberi perintah. Demikianlah, sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali : “ Jalan ini yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah memerlukan tanjakan-tanjakan bathin. Hal ini perlu mengosongkan bathin manusia dari hal-hal yang merusak dan kemudian mengisinya dengan dzikrullah atau ingat kepada Allah. Tanjakan-tanjakan itu, dimulai dari satu tingkat kemudian selanjutnya ke tingkat yang lebih tinggi (tahap demi tahap).” TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B. T H A R I Q A T) Friday, November 12, 2010 8:20:16 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Kalau jalan menuju arah kesempurnaan yang pertama adalah syari‟at, maka pintu kedua yang harus dibuka dan harus dilalui adalah thariqat. Ibarat sebuah tangga, syari‟at adalah anak tangga pertama dan thariqat adalah anak tangga kedua. Thariqat tidak bisa dilalui dan pintunya tak akan pernah terbuka sebelum melalui dan membuka pintu pertama, yaitu Syari‟at. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B1. Pengertian Thariqat) Friday, November 12, 2010 8:21:50 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Di dalam kitab “Hakikat Thariqat Naqsyabandiah” yang disusun oleh H.A. Fuad Said dijelaskan Thariqat menurut bahasa artinya “jalan (way)”, “cara (methode)”,”suatu sistem kepercayaan (system of belief)”, “garis”, “kedudukan”, dan “agama”. Kata “thariqat” disebutkan Allah dalam Al-Qur‟an sebanyak 9 (sembilan) kali, dengan mengandung beberapa arti ,diantaranya sebagai berikut : 1) Q.S. An-Nisa‟ 168 : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka.” 2) Q.S. An-Nisa‟ 169 : “Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” 3) Q.S. Thaha 63 : “Mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.”

Ayat ini menerangkan kedatangan Nabi Musa as dan Harun ke Mesir, akan menggantikan bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebagian ahli tafsir mengartikan “thariqat” dalam ayat ini dengan “keyakinan” (agama). Menurut Ibnu Manzhur (630-711 H) dalam kitabnya “Lisanul Arab” jilid 12 , arti “thariqat” dalam ayat itu adalah “ar-rijalul asyraf” bermakna “tokoh-tokoh terkemuka”. Jadi ayat itu berarti, kedatangan Nabi Musa as dan Harun as ke Mesir adalah untuk mengusir kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan jamaah atau tokoh-tokoh terkemuka kamu. Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan “hadza thariqatu qaumihi” artinya “inilah tokoh-tokoh pilihan kaumnya”. Al-Akhfasy menyatakan “bithariqatikumul mustla” artinya “dengan sunnah dan agama kamu yang tinggi.” “Thariqat berarti juga “al-khaththu fis-syai-i” artinya “garis pada sesuatu”. “Thariqatul baidhi” artinya “garis-garis yang terdapat pada telur.” “Thariqatul romal” artinya “sesuatu yang memanjang dari pasir – ma imtadda minhu.” “Al-Laits menyatakan “thariqat” ialah “tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian, atau pakaian yang koyak-koyak. Menurut Tafsir “Al-Jamal” juz 3, “bithariqatikumul mutsla” dalam Surat Thoha ayat 63 diatas , artinya “biasyrafikum” bermakna “dengan orang terkemuka kamu”. Kata “Thariqat” itu dipergunakan untuk tokoh-tokoh terkemuka, karena mereka itu menjadi ikutan dan panutan orang banyak, sebagaimana diartikan juga oleh Abu As-Su‟ud. Dalam “Mukhtarus Shihhah”, disebutkan wathariqatul qaumi ialah amatsiluhum dan jiaduhum artinya orang-orang besar dan terbaik di antara mereka. “At-Thariqatu” diartikan juga “syariful qaumi” bermakna tokoh terhormat sesuatu kaum. Didalam Tafsir Ibnu Katsir juz 3 dijelaskan bahwa kalimat “bi thariqatikumul mutsla” itu dengan “wa hia assihru, artinya adalah sihir.” Ibnu Abbas r.a mengartikannya dengan “kerajaan yang mana mereka berdomisili dan mencari kehidupan di dalamnya.” As-Sya‟bi menafsirkannya dengan “Harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak kepada mereka.” Mujahid mengartikannya dengan “orang-orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara mereka.” Abu Shaleh mengartikannya dengan “orang-orang mulia di antara kamu.” Ikrimah mengartikannya dengan “orang-orang terbaik di antara kamu.” Qatadah menyatakan “bithariqatikumul mutsla” mereka pada masa itu adalah Bani Israil.” Abdur Rahman bin Zaid mengartikannya dengan “billadzi antum „alaihi” artinya “dengan yang kamu berada di atasnya.” Didalam Tafsir Al-Kahzin juz 3, menafsirkan ayat itu dengan “yudzhiba bi sunnatikum wa bi dinikum alladzi antum „alaihi.” “Keduanya yakni Musa dan Harun akan melenyapkan sunnah dan agama yang kamu anut.”

Didalam Tafsir Al-Baghawi juz 4, dijelaskan bahwa orang Arab menyatakan “fulanun alat thariqatul mutsla” maksudnya ialah “ala shirathin mustaqim”, berarti “si Anu berada di atas jalan yang lurus.” 4) Q.S. Thoha 77 : “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)".” Kata-kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “jalan” di laut dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan bagi Nabi Musa dan pengikut-pengikutnya. Peristiwa itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya. 5) Q.S. Thoha 104 : “Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: "Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja".” Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalannya di antara orang-orang berdoa itu. 6) Q.S. Al-Ahqaf 30 : “Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” 7) Q.S. Al-Mukminin 17 : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).” 8) Q.S. Al-Jin 11 : “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” Al-Farra‟ mengartikan “kunna thariqa qidada” dalam ayat itu dengan “kunna firaqan mukhtalifah” bermakna “adalah kami beberapa kelompok yang berbeda-beda.” 9) Q.S. Al-Jin 16 : “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benarbenar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” Kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “agama Islam.” Demikian beberapa makna kata “thariqat” dalam segi bahasa ( lughah ). TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B2. Thariqat Menurut Kalangan Sufi) Friday, November 12, 2010 8:23:18 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Adapun “thariqat” menurut istilah ulama Tasawwuf diantaranya sebagai berikut : a. “Thariqat”adalah suatu jalan untuk menuju kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan Tasawwuf. b. “Thariqat”adalah cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu

tujuan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas baik menurut bahasa ataupun menurut istilah ulama Sufi, maka jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawwuf. Atau thariqat ialah suatu sistem (metode) untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan, dalam keadaan mana seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya (ainul bashirah). Sebagaimana pertanyaan Ali bin Abi Thalib ra. kepada Rasulullah SAW : “Manakah thariqat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan ? dijawab oleh Rasulullah SAW : Tidak lain daripada dzikir kepada Allah (dzikrullah).” Oleh karena thariqat adalah merupakan jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka didalam thariqat sebenarnya berisikan tentang riyadhah-riyadhah atau amalan-amalan yang harus dikerjakan dan bukan berisikan tentang ajaran yang mengkaji secara falsafi tentang tasawwuf. Namun demikian suatu thariqat yang diakui syah oleh ulama harus mempunyai lima dasar ; pertama, menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan; kedua, mendapingi guru dan teman sethariqat untuk meneladani; ketiga, meninggalkan rukhsah dan ta‟wil untuk kesungguhan; keempat, mengisi waktu-waktu dengan do‟a dan wirid; dan kelima, mengekang hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan. Begitulah yang dijelaskan oleh Prof. H.Aboe Bakar Aceh dalam kitabnya yang berjudul “Pengantar Ilmu Thariqat”. Selain itu tentunya suatu thariqat harus mengacu kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau dengan kata lain harus tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B3. Beberapa Nama-Nama Thariqat dan Pengaruhnya) Friday, November 12, 2010 8:24:37 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Pada masa permulaan Islam hanya terdapat dua macam thariqat, yaitu : 1) Thariqat Nabawiah, yaitu amalan yang berlaku di masa Rasulullah SAW, yang dilaksanakan secara murni dan langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Thariqat ini dinamakan juga dengan “Thariqat Muhammadiah”. 2) Thariqat Salafiah, yaitu cara beramal dan beribadah pada masa Sahabat dan Tabi‟in, dengan maksud memelihara dan membina Syari‟at Rasulullah SAW. Dinamakan juga “Thariqat Salafus Saleh”. Kemudian sesudah abad ke-2 H, thariqat Salafiah mulai berkembang secara kurang murni. Ketidak murniannya itu antara lain disebabkan pengaruh filsafat dan alam pikiran manusia telah memasuki negara-negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok, sehingga pengamalan thariqat Nabawiah dan Salafiah telah bercampur aduk dengan filsafat. Sejumlah kitab-kitab filsafat asing di salin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sesudah abad ke-2 H itu juga muncullah thariqat Sufiah yang diamalkan oleh orang-orang Sufi, dengan melalui empat tingkat atau tahapan yaitu Syariat, Thareqat, Hakikat, Ma‟rifat. Orang Sufi menganggap bahwa Syari‟at untuk memperbaiki sesuatu yang lahir (nyata). Thariqat untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan Hakikat untuk memperbaiki segala rahasia yang ghaib-ghaib. Tujuan terakhir dari perjalanan ahli Sufi ialah ma‟rifat, yakni mengenal hakikat Allah, Dzat, Sifat, dan perbuatan-Nya. Orang yang telah sampai ke tingkat ma‟rifat, dinamakan Wali, dan biasanya Allah karuniakan

kepadanya kemampuan luar biasa (khariqul-lil‟adah) yang disebut “keramat”. Terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal manusia, baik di masa hayatnya maupun sesudah matinya. Gerakan thariqat baru menonjol dalam dunia Islam pada abad ke XII M, sebagai lanjutan dari kegiatan kaum Sufi terdahulu. Kenyataan ini dapat ditandai dengan setiap silsilah thariqat selalu dihubungkan dengan nama pendirinya dan tokoh-tokoh Sufi lainnya. Setiap thariqat mempunyai Syeikh, kaifiat dzikir dan upacara rituil. Biasanya Syeikh atau Mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan “rumah suluk” atau “ribath”. Mula-mula berkembang di Baghdad, Irak, Turki,Arab Saudi selanjutnya merambah ke Asia Tengah, Tibristan, kemudian sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India dan Tiongkok. Kemudian pada abad ke XII itu muncul pula thariqat Rifa‟iah di Maroko dan Aljazair, thariqat Sahrawadiah dan lainnya yang berkembang di Afrika Utara dan Afrika Tengah, seperti di Sudan dan Nigeria. Perkembangan itu begitu cepat melalui murid-murid yang telah diangkat menjadi Khalifah, mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri-negeri Islam. Dan ada pula melalui pedagang-pedagang. Organisasi thariqat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, sebagaimana dikatakan H. R. Gibb dalam “An Interpretation of Islamic History”, bahwa sesudah direbutnya Khalifah oleh orang-orang Mongol pada tahun 1258 H, maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih ke tangan kaum Sufi. Peranan ahli thariqat dalam percaturan politik di Turki pada masa pemerintahan Ottoman I (1299 – 1326 M) cukup besar. Demikian pula di Sudan, Afrika Utara dan Afrika Tengah, Tunisia dan di negeri kita Indonesia tempo dulu ahli thariqat memegang peranan penting dalam perjuangan melawan penjajahan Barat. Dalam proses Islamisasi Indonesia, sebagian adalah atas usaha dari kaum Sufi dan mistik Islam. Sehingga pada waktu itu pemimpin-pemimpin agama Islam di Indonesia bukanlah ahli-ahli Teology (Mutakallimin) dan ahli hukum (Fuqaha‟), melainkan mereka adalah para syeikh-syeikh thariqat dan guru-guru suluk. Salah seorang pemuka Thariqat Naqsyabandiah yang telah berjasa besar bagi perjuangan bangsa untuk merebut kemerdekaan, adalah Syeikh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi AlIndonesi (1811 – 1926) yang terkenal dengan panggilan “Tuan Guru Babussalam Langkat”; melengkapi namanya dengan “Rokan” karena ia berasal dari daerah Rokan Kabupaten Kampar Propinsi Riau; dinamakan dengan “Al-Khalidi” karena ia menganut thariqat priode Syeikh Khalid sampai pada masanya; dan dinamainya pula dengan “Naqsyabandi” karena ia menganut thariqat yang ajaran dasarnya berasal dari Syeikh Bahauddin Naqsyabandi. Pusaranya berada di desa Babussalam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Ia adalah murid dari Syeikh Sulaiman Zuhdi dan belajar kepadanya selama 6 tahun di Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan thariqat di beberapa kerajaan, seperti wilayah kerajaan Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, dan Siak Sri Indra Pura, Bengkalis, Tembusai, Tanah Putih Kubu di Propinsi Riau. Sampai kini murid-muridnya tersebar luas di Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan thariqat Naqsyabandiah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk dan peribadatan, di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan dan Thailand. Di bawah ini beberapa nama-nama Thariqat dan pendirinya antara lain :

1) Thariqat Qadiriah didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani Al-Baghdadi. Thariqat ini salah satu thariqat sufiah yang paling giat menyebarkan agama Islam di Barat Afrika. Memiliki lima ajaran pokok dan memegang prinsip tasamuh (toleransi), karena Syeikh Abdul Qadir menegaskan kepada pengikutnya : “Kita tidak hanya mengajak diri sendiri tetapi juga mengajak semua makhluk Allah supaya menjadi seperti kita”. Adapun lima ajaran pokoknya adalah : - Tinggi cita-cita, - Memelihara kehormatan, - Memperbaiki khidmat terhadap Allah, - Melaksanakan tujuan yang baik, - Memperbesarkan arti karunia nikmat Allah SWT, Barang siapa yang tinggi cita-citanya, menjadi tinggilah martabatnya. Barangsiapa yang memeliharra kehormatan Allah, maka Allah akan memelihara kehormatannya. Barangsiapa yang memperbaiki khidmat, kepadanya wajib menerima rahmat. Barangsiapa yang berusaha mencapai tujuannya, makan selalu memperoleh hidayah. Barangsiapa membersarkan nikmat Allah dalam arti senantiasa bersyukur kepada-Nya, maka akan memperoleh tambahan nikmat yang dijanjijan Allah SWT. Salah satu ucapan Syeikh Abdul Qadir Al-Jalani yang sangat berharga : “Jika terdapat dalam hatimu benci atau suka kepada seseorang, maka kembalikanlah amalnya kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah. Jika amalnya disukai al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka kasihilah ia. Sebaliknya jika dibenci oleh al-Qur‟an dan as-Sunnah maka bencilah dia, supaya anda tidak mengasihinya dengan hawa nafsu”. Pengikut thariqat Qadiriah terbagai tiga : 1. Al-Qadiriah Al-Bukaiyah, tersebar luas di wilayah Tombouctou sebuah negeri di Sudan (Afrika Tengah), pusat perdagangan Sungai Negeria. 2. Al-Qadiriah, di wilayah padang pasir sebelah Barat yang dinamakan dengan “Ad-Dirar”. 3. Al-Qadiriah Al-Walatih, tersebar di wilayah Sudan Bagian Barat. 2) Thariqat Syadziliah didirikan oleh Syeikh Abu Hasan bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Hormuz As-Syadzili Al-Maghribi Al-Husaini Al-Idrisi. Pokok-pokok yang mendasari ajaran thariqat ini adalah antara lain : * Taqwa kepada Allah lahir dan batin baik dalam keadaan sendiri ataupun dimuka umum, * Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan, * Mengabaikan semua makhluk dalam keadaan disukai atau dibenci mereka (yakni:tidak menghiraukan apakah mereka suka atau benci), * Ridho dengan pemberian Allah baik sedikit atau banyak, * Kembali kepada Allah pada waktu susah dan senang. Menurut thariqat ini pelaksanaan taqwa dilakukan dengan wara‟ (menjauhi dari semua yang makruh, syubhat dan haram) dan istiqomah dalam mentaati semua perintah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan tidak hirau dengan makhluk dengan sabar dan tawakkal (berserah diri kepada Allah), pelaksanaan ridho terhadap pemberian Tuhan dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada (Qana‟ah), dan pelaksanaan kembali kepada Allah dengan bersyukur dalam suka dan berlindung kepada-Nya dalam duka. Dan kesemuanya ini berpokok pada lima hal yaitu : semangat yang tinggi, berhati-hati dari yang haram atau menjaga kehormatan, baik dalam berkhidmat sebagai hamba, melaksanakan kewajiban, dan menghargai (menjunjung tinggi) ni‟mat.

Maka siapa yang tinggi semangat pasti naik tingkat derajatnya. Dan siapa yang meninggalkan larangan yang diharamkan Allah, maka Allah akan menjaga kehormatannya. Dan siapa yang benar dalam ta‟atnya, pasti mencapai tujuan kebesaran-Nya/kemulyaan-Nya. Dan siapa yang melaksanakan tugas kewajiban nya dengan baik, maka bahagia hidupnya. Dan siapa yang menjunjung ni‟mat, berarti mensyukuri dan selalu akan menerima tambahan ni‟mat yang lebih besar. Salah satu ucapan yang sangat berharga dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili, adalah : “ Apabila dzikir terasa berat atas lidahmu, anggota tubuh berkembang menurutkan hawa nafsumu, tertutup pintu berfikir untuk kemaslahatan hidupmu, maka ketahuilah bahwa semua itu adalah pertanda banyaknya dosamu atau karena sifat munafiq tumbuh dalam hatimu. Tiada jalan bagimu selain dari berpegang teguh kepada jalan Allah dan ikhlas dalam pengamalannya”. 3) Thariqat Naqsyabandiah didirikan oleh Syeikh Bahauddin Syah Naqsyabandiah. Prinsip-prinsip dari ajaran thareqat ini diantaranya : * Memegang teguh I‟tiqad Ahlus Sunnah, * Meninggalkan rukhsah membiasakan kesungguhan, * Senantiasa bermuraqabah, * Meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah, Hudur (hadir) terhadap Tuhan, * Mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-sifat yang berfaedah dan ilmu agama, * Mengikhlaskan dzikir, * Menghindarkan kealpaan terhadap Tuhan, * Berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad SAW. Sedang syarat-syaratnya diatur sebagai berikut : I‟tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memperbaiki kezholiman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan sunnah, memilih amal menurut syari‟at yang sah, menjauhkan diri daripada segala yang munkar dan bid‟ah, dari pada pengaruh hawa nafsu dan daripada perbuatan yang tercela. Didalam kitab Hakikat Thariqat Naqsyabandiah oleh H.A. Fuad said dijelaskan bahwa : Thariqat Naqsyaban diah, mempunyai ajaran dasar yang didasarkan atas amal perbuatan yang terdiri dari sebelas perkataan dari bahasa Persi; delapan berasal dari Syeikh Abdul Khalik Al-Ghajudwani dan tiga dari Syeikh Bahauddin Naksyaban diyah sendiri. Adapun maksud yang delapan perkataan itu adalah ; 1. Huwasy dardan, ialah memelihara keluar masuknya napas dari pada kealpaan kepada Tuhan, sehingga hati itu selalu hadir dan ingat kepada-Nya. Sebab setiap keluar masuk napas yang hadir dan ingat kepada-Nya itu berarti hidup yang dapat menyampaikan kepada Allah. Sebaliknya setiap napas yang keluar masuk dengan alpa berarti mati yang menghambat jalan kepada Allah. 2. Nazhar barqadam, ialah orang yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah kaki. Dan apabila duduk tidak memandang kekiri dan kekanan. Sebab memandang kepada aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah. Apalagi orang yang baru berada ditingkat permulaan, karena belum mampu memelihara hatinya. 3. Safar darwathan, ialah berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang tinggi. 4. Khalwat dar anjaman, ialah berkhalwat. Dan berkhalwat itu terbagi dua ; a. Khalwat lahir, yakni orang yang bersuluk mengasingkan diri kesebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai. b. Khalwat batin, yakni mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesama makhluk. 5. Ya dakrad, ialah berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ismuzat (menyebut

Allah, Allah), maupun dzikir nafi itsbat (laa ilaaha illallah), sampai yang disebut dalam dzikir itu hadir. 6. Baz kasyat, ialah sesudah menghela (melepaskan) napas orang yang berdzikir itu kembali munajat dengan mengucap kalimat yang mulia “Ilaahi anta maqshuudi waridhooka mathluubii” (Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhoan Engkaulah yang aku cari). Sehingga terasa dalam qalbunya rahasia tauhid yang hakiki dan semua makhluk lenyap dari pandangannya. 7. Nakah dasyat, ialah setiap murid harus menjaga hatinya dari sesuatu yang melintas walau sekejap, karena lintasan atau getaran qalbu dikalangan ahli-ahli thariqat adalah suatu perkara besar. 8. Bad dasyat, ialah tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Nur Zat Allah Yang Maha Esa, tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada Nur Zat Allah itu tiada lurus kecuali sesudah fana yang sempurna. Kemudian tiga perkara yang berasal dari Syeikh Bahauddin Naqsyabandiah diantaranya adalah ; 1. Wuquf zamani, yaitu orang yang bersuluk memperhatikan keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali. Apabila ternyata keadaannya hadir beserta Allah, maka hendaklah ia bersyukur kepada-Nya. Kemudian ia mulai lagi dengan hadir hati yang lebih sempurna. Sebaliknya apabila keadaannya dalan alpa atau lalai, maka harus segera minta ampun dan tobat, serta hadir kepada kehadiran hati yang sempurna. 2. Wukuf „adadi, ialah memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat ; 3 atau 5 sampai 21. 3. Wukuf qalbi, ialah kehadiran hati serta kebenaran Allah, tiada tersisa dalam hatinya sesuatu maksud selain kebenaran Allah dan tiada menyimpang dari makna dan pengertian dzikir. Lebih jauh dikatakan bahwa hati orang yang berdzikir itu berhenti (wukuf) menghadap Allah dan bergumul dengan lafaz-lafaz dan makna dzikir. 4) Thariqat Tijaniah didirikan oleh Sayid Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad Syarif At-Tijani. Thariqat Tijaniah menganut prinsip tasamuh atau toleransi, menurut jejak pendirinya yang bersikap toleransi terhadap kalangan bukan muslim, dengan tidak mengurangi hak-hak agama dan kehormatan kaum Muslimin. Dasar pokok dari thariqat ini adalah toleransi dengan baik menghadapi orang yang memusuhi mereka. 5) Thariqat Sanusiah didirikan oleh Sayid Muhammad bin Ali As-Sanusi. Dasar thariqat ini adalah ajaran Islam dan lapangan kerjanya mendidik umat supaya dapat mengendalikan hawa nafsu untuk keselamatannya dari dunia sampai akhirat. Dan melatih pengikutnya supaya giat bekerja dan berusaha serta beribadat dengan memiliki akidah yang kokoh. Thariqat Sanusiah juga mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya ketangkasan berkuda, memanah dan berbagai seni bela diri. Selain itu melatih kerajinan tangan seperti ; pandai besi, tukang sepatu, menjahit dan menenun, bertani dan bercocok tanam. Pesan sebagian dari tokoh-tokoh Thariqat Sanusiah : “Jangan menghina seseorang, baik orang Islam maupun Nasrani, Yahudi dan orang-orang kafir lainnya. Mungkin mereka lebih baik dari anda disisi Allah, sebab anda tidak tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya”. Selain thariqat-thariqat tersebut diatas masih banyak lagi thariqat-thariqat yang lain diantaranya : 6)Thariqat Rifa‟iah didirikan oleh Syeikh Ahmad bin Abu al-Hasan Ar-Rifa‟i. 7)Thariqat Sahrawardiah didirikan oleh Syeikh Abu al-Hasan bin Al-Sahrawardi.

8)Thariqat Ahmadiah didirikan oleh Syeikh Ahmad Badawi. 9)Thariqat Maulawiah didirikan oleh Syeikh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi. 10) Thariqat Haddadiah didirikan oleh Syeikh Abdullah Ba‟lawi Haddad. 11)Thariqat Ghazaliah didirikan oleh Syeikh Hujjatul Islam Abu Hamid Ath-Thausi Al-Ghazali (Imam Ghazali). 12)Dan lain-lain, yang jumlahnya lebih dari empat puluh thariqat yang ada didunia ini dan diakui oleh ulama-ulama Sufi (Ulama Thariqat). Thariqat yang paling banyak penganutnya di Indonesia adalah Thariqat Qadiriah dan Thariqat Naqsyabandiah, atau Thariqat Qadiriah Naqsyabandi ( Syeikh Ahmad Khatib Abdul Ghafar asSambasi al-Jawi ). Sedangkan inti dari ajaran thariqat adalah “dzikrullah” yang kaifiat atau cara-caranya diatur oleh masing-masing Mursyid dari thariqat tersebut. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sebuah gerakan thariqat dipimpin oleh seorang pemimpin yang sering disebut sebagai Mursyid atau Syeikh. Tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin gerakan thariqat, karena sebuah thariqat adalah sebuah jalan menuju pendekatan kepada Allah yaitu jalan yang mulia dan tidak main-main. Bila diibaratkan seorang pemimpin thariqat sebagai seorang supir, maka dia sesungguhnya tidak hanya bertanggung jawab untuk menyelamatkan para penumpangnya dari kecelakaan dijalan raya saja, tetapi lebih berat dari itu adalah menyelamatkan para pengikutnya dari kesesatan jalan yang akan membuat sengsara kelak dikemudian hari. Bagi seseorang yang ingin masuk dalam anggota kelompok thariqat, langkah awal yang harus ditempuh adalah mengikat dan mengikrarkan sebuah janji setia kepada Mursyidnya, janji itu disebut dengan Bai‟at/Pengukuhan. Dalam kesempatan itulah sang mursyid menyampaikan amalan-amalan atau dzikir-dzikir yang menjadi pedoman bagi murid untuk berjalan menuju Allah SWT. Secara khusus, aliran-aliran thariqat, sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, yang intinya adalah sebagai berikut : 1. Dengan mengamalkan thariqat berarti mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat terpuji dengan melalui perbaikan budi pekerti dalam berbagai seginya. 2. Selalu dapat mewujudkan rasa ingat kepada Allah, Zat Yang Maha Besar dan Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan wirid dan dzikir dibarengi dengan tafakkur yang secara terus menerus dikerjakan. 3. Dari sini timbul perasaan takut kepada Allah sehingga timbul pula dalam diri seseorang itu suatu usaha untuk menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lupa dengan Allah. 4. Jika semua itu dapat dilakukan dengan penuh ikhlas dan ketaatan kepada Allah, maka tidak mustahil akan dapat dicapai suatu tingkat alam ma‟rifat, sehingga dapat pula diketahui segala rahasia dibalik tabir Cahaya Allah dan Rasul-Nya secara terang benderang. 5. Akhirnya dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup ini. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B4. Rukun, Ajaran, Prinsip Dan Hasil Thariqat)

Friday, November 12, 2010 8:28:07 AM Ajaran, Prinsip Dan Hasil Thariqat), TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Didalam kitab yang berjudul „Awaarif al-Ma‟aarif karya Syeikh Syihabuddin Umar Suhrawardi dijelaskan bahwa thariqat mempunyai berbagai rukun, ajaran, prinsip dan hasil, diantaranya : 1) Rukun-rukun thariqat adalah : Tobat, Kepasrahan (taslim), Kesetiaan pada thariqat (diyaanat), Kerendahan hati dan Ketundukan jasmani (khusyu‟ wa khudhu‟), Keridhoan (ridho), Kemenyendirian (khalwat). 2) Ajaran-ajaran thariqat adalah : Ilmu („ilm), Keder mawanan (sakhaawat), Kedekatan kepada Allah (qurb), Agama (addiin), Meditasi atau renungan (tafakkur), Ketawakalan kepada Allah (tawakkal),. 3) Prinsip-prinsip thariqat adalah : Kebajikan (ihsan), Mengingat Allah (dzikr), Meninggalkan kemaksiatan (tark ma‟ashi), Meninggalkan dunia (tark dun-ya), Takut kepada Allah (khaufullah), Cinta kepada Allah (hubbullah).



4) Hasil–hasil thariqat adalah : Pengetahuan Ilahi (ma‟rifah), Kelembutan hati (hilm), Kesabaran (shabr), Ketaatan (tha‟ah), Tata krama (adab), Ketulusan (shauq). Stumble TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B5. Mengenal Wali Songo) Friday, November 12, 2010 8:29:54 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi yang tergabung dengan Wali Songo. Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlansung pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak). Kata Wali, berarti : pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam hal ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT (Waliyullah). Sedangkan kata Songo (bahasa Jawa) berarti sembilan. Jadi secara umum Wali Songo berarti sembilan Wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT., yang terus menerus beribadah kepada-Nya, dan memiliki kekeramatan (kemuliaan, keistimewaan, atau keluarbiasaan) dan kemampuan diluar kebiasaan manusia. Mereka yang tergolong Wali Songo tersebut adalah : 1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (wapat di Gresik tahun 1441 M). Sebelum datang ke Jawa, ia menetap di Kerajaan Pasai atau Perlak di Aceh. Menurut sumber sejarah, salah seorang raja Kerajaan Campa mempunyai beberapa orang putri. Salah seorang putri itu dijadikan istri Raja Majapahiat, Sri Kertawijaya, yang memerintah Kerajaan Majapahi. Perkawinan itu melahirkan Arya Damar, Adipati Sriwijaya. Putri lain dari Raja Campa itu dikawinkan dengan Maulana Malik Ibrahim, dari hasil perkawinannya itu kemudian melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). 2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat (lahir di Campa, Aceh tahun 1401 dan wapat di Ampel tahun 1481). Beliau adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perancang pertama kerajaan Islam di Jawa, dan dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren pertama di Jawa Timur, yaitu Pesantren Ampel Denta di dekat Surabaya. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi da‟i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Diantara pemuda yang dididiknya antara lain ; Raden Paku yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit) yang menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro (Demak), Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Drajat, Maulana Ishak yang diutus untuk mengislamkan Blambangan. 3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim (lahir di Ampel, Surabaya tahun 1465 dan wapat di Tuban tahun 1525). Ia dianggap sebagai pencipta gending pertama untuk mengembangkan Islam di pesisir utara Jawa Timur. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak dan kebudayaan masyarakat Jawa yang

sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Syair lagu gamelan ciptaan wali berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi syahadatain dan gamelan yang mengiringinya disebut sekaten. 4. Sunan Giri atau Raden Paku atau Sultan Abdul Fakih (lahir di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 dan wapat di Giri tahun 1506). Ia adalah putra Maulana Ishak. Salah seorang saudaranya juga termasuk Wali Songo yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam perjalanan ibadah haji ke Mekkah Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir di Pasai untuk memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai menjadi tempat berkembangnya Ilmu Tauhid, Keimanan dan Ilmu Tasawwuf. Disini ia menemukan Ilmu Laduni sehingga gurunya memberi anugerah gelar „Ainul Yaqin. Ia banyak mengirim juru dakwah ke luar jawa seperti : Madura, Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore. Sunan Giri terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis pada abad ke-15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu bangsa dengan kekuatan meliter dan politiknya, maka Sunan Giri dikenal dengan ilmu dan pengembangan pendidikannya. 5. Sunan Drajat atau Raden Kosim atau Syarifuddin (lahir di Ampel Denta, sekitar tahun 1470 dan wapat di Sedayu Gresik pada pertengahan abad ke-16). Hal paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial sehingga ia dikenal berjiwa sosial. Ia juga dikenal sebagai pencipta tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur yang hingga sekarang masih banyak digemari masyarakat. Pemikiran kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan yang akan mendorong manusia untuk menikmati dunia dengan pola hidup berfoya-foya dan memuaskan nafsu perut. Ia berpendapat, perut adalah sumber segala syahwat dan penyakit jasmani dan rohani. Jika perut diisi makanan dan minuman enak, timbulah nafsu serakah, yang kemudian timbullah nafsu-nafsu yang lain, seperti ; syahwat kelamin, permabukan, perjudian, dan lain-lain. Karena pola hidup mewah harus dicapai dengan jalan menguasai pangkat dan kedudukan, maka orang berlomba mengejar pangkat dan kedudukan meskipun dengan jalan kezholiman, kecurangan dalan politk dan makar. Untuk itulah Sunan Drajat selalu menyuruh santrinya agar memelihara perutnya; makan dan minum sekedar yang dibutuhkan bagi kesehatan jasmani dan rohani dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak sembarangan tetapi yang suci dan halal agar zat-zat darah yang terbentuk darinya menjadi bersih untuk perbuatan anggota badan sehingga menumbuhkan kejernihan berfikir. Diingatkannya, bahwa perut yang kenyang dapat menjadi sumber segala penyakit dan menyebabkan otak menjadi tumpul, malas berfikir, dan malas menjalankan ibadah kepada Allah. Kepada pembesar negara, Sunan Drajat menasihati mereka agar selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat. 6. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid (lahir akhir abad ke-14 dan wafat pada pertengahan abad ke-15). Beliau terkenal sebagai wali yang berjiwa besar, berwawasan luas, berpikiran tajam dan intelek, dan berasal dari suku Jawa asli. Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai muballigh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Karena dakwahnya yang intelek para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati kepadanya, termasuk lapisan masyarakat awam dan penguasa. Dalam melaksanakan pemerintahan Demak, Raden Fatah sangat menghargai nasihat-nasihat Sunan Kalijaga. Ia juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak islami. Ia juga berjasa dalam membuat corak batik bermotif burung (kukula). Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila, yang berarti “Peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”. Pemikiran kesufian yang ditampilkan Sunan Kalijaga adalah tentang konsep zuhud. Pemikiran zuhud-nya bermula dari upaya membangun kesadaran masyarakat pada arti bekerja dan beramal. Orang harus bekerja apa saja asalkan layak bagi martabat manusia. Bekerja untuk memperoleh makanan yang halal dan pantas untuk diri dan keluarganya. Manusia berupaya keras untuk memperoleh kekayaan, tetapi tetap diingatkan agar tidak hidup mewah dan royal terhadap harta. Harta kekayaan yang dimiliki sesungguhnya untuk menunaikan kewajiban zakat, haji, sosial, dan ibadah lainnya.

Mencari harta dan kekayaan tidak boleh menggunakan jalan tercela dan serakah. Oleh sebab itu, sekalipun harta dunia ini penting, tetapi harus diperoleh dengan cara yang halal dan menjuhi cara yang haram, bahkan syubhat. Dibanding dengan keutamaan akhirat maka dunia macam apapun sesungguhnya sangat kecil. Itulah arti sikap zuhud yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. 7. Sunan Kudus atau Ja‟far Sadiq (lahir di Kudus pada abad ke-15 dan wafat tahun 1550). Menurut silsilahnya, Sunan Kudus atau Ja‟far Sadiq masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah lengkapnya adalah Ja‟far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadilkubra bin Zaini alHusein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainal Abidin bin Sayyid Husein bin Ali ra. Diantara para Wali Songo, Sunan Kudus mendapat julukan wali al-„ilmi (orang yang luas ilmunya). Oleh karena itu, ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia juga pernah menciptakan berbagai cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil. 8. Sunan Muria atau Raden Umar Said atau Raden Prawoto (lahir abad ke-15). Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam di pedesaan-pedesaan pulau Jawa. Dijuluki Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya di Gunung Muria. Dalam rangka berdakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti. Sunan Muria mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang sangat kecil pada dunia ini. Oleh sebab itu, ia tidak silau terhadapnya. Tugasnya sehari-hari adalah mengasuh dan mendidik para santri yang ingin menyelami ilmu tasawwuf, didampingi oleh putranya Raden Santri. Seperti halnya sufi-sufi yang lain, Sunan Muria mencermin kan pribadi yang menempatkan rasa cintanya kepada Allah diatas segala-galanya. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia melihat sekeliling dengan empat mata; dua mata di kepala untuk melihat dunia di sekitarnya dan dua mata di hatinya untuk melihat kebenaran dan kemuliaan. Cahaya pandangnya senantiasa jauh menembus ke alam yang tak terjangkau oleh akal pikiran. Ia selalu memohon kepada Allah : “Ya Tuhan, beri aku cahaya dan tambahkan cahaya itu. Beri aku cahaya di hati, telinga, mata, rambut, daging, dan tulang, bahkan disetiap butiran darah dan selsel syaraf sekalipun”. Sunan Muria menumpahkan ibadahnya dengan bermunajat kepada Allah SWT. Dia juga mengajarkan tata krama dzikir kepada kepada Allah. Dibawah bimbingannya orang-orang membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada Allah. Hatinya senantiasa ingat kepada Allah, dan lisannya tak pernah kering mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallah . Tangannya tak hentihentinya menghitung butiran-butiran tasbih, terkadang diiringi goyangan badannya dari kanan ke kiri sebanyak hitungan dzikir yang dilisankan dengan suara pelan dan syahdu. Sunan Muria bersama santrinya mengisi hari-hari senggang nya di Tanjung Jepara yang terpencil dari keramaian duniawi untuk berdzikir dan berdo‟a. 9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (lahir di Mekkah tahun 1448 dan wapat di Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat). Ia banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat. Ia adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah Raden Walangsung sang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara. Dari Nyai Lara Santang lahirlah Syarif Hidayatullah. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan agama Islam kedaerah lain di Jawa Barat seperti ; Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Ia meletakkan dasar pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Sunan Gunung Jati mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang, ia diberi gelar Raja Pandita karena kedudukannya sebagai raja dan ulama. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (C. HAKEKAT) Friday, November 12, 2010 8:31:20 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT

“Hakikat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan, menyaksikan cahaya nan gemerlapan, dari ma‟rifatullah yang penuh harapan “. Begitulah sebuah syair dari Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha dalam bukunya yang berjudul “ Misi Suci Para sufi”. Sebuah syair yang menerangkan tentang hakikat yang sesungguhnya yang merupakan perjalanan tujuan akhir dari dua pengalaman yaitu syari‟at dan thariqat. Pada anak tangga ketiga inilah tujuan akhir dari perjalanan rohani itu ada, yang sudah barang tentu ketika seorang hamba telah mencapai pada tingkat hakikat ini dia akan menemukan tujuan yang didambakan tersebut yaitu Ma‟rifatullah. Pada tingkat hakikat ini seseorang hamba akan merasakan kebenaran yang sejati dan mutlak, yang masih belum diperolehnya lewat syari‟at ataupun thariqat. Memang ada suatu kebenaran dalam syari‟at maupun thariqat, tetapi suatu kebenaran tersebut masih belum mencapai puncaknya. Dan kalau dikaji lebih jauh, sebenarnya dalam syari‟at itupun ada suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui bahwa kesemua hukum-hukum atau aturan yang tertuang dalam syari‟at itu mempunyai suatu tujuan, yaitu pendekatan kepada-Nya. Tetapi upaya dalam syari‟at ini adalah baru pada tahap pertama., dimana tahap berikutnya harus ditempuh dalam jalan thariqat, kemudian setelah kedua tahap ini dilalui maka akan mencapai tingkat hakikat (kebenaran yang hakiki). Menurut syarah Kitab Al-Hikam, Ibnu Ruslan mengemukakan pendapatnya bahwa yang dimaksudkan dengan Ilmu Hakikat itu adalah suatu Ilmu Laduni yang bersifat nurani. Ilmu tersebut itulah yang telah diajarkan kepada semua roh-roh (dialam roh) sewaktu Tuhan berbicara kepada roh-roh itu “Alastu Birobbikum” (bukankah Aku ini Tuhanmu..?) maka rohpun menjawab : “Balaa Yaa Rabbi” (benar Wahai Tuhanku). Itulah pula yang pernah diajarkan lagi kepada Nabi Adam AS sebagaimana firman-Nya “Wa „allama aadamal asmaa‟akullaha” (Allah telah ajarkan kepada Adam semua nama-nama). Akan tetapi pengetahuan tersebut tersembunyi karena manusia pada umumnya tercurah perhatiannya kepada keadaan yang gelap yaitu hanya kepada yang lahir semata-mata, lebih mementingkan hawa nafsunya sendiri. Bilamana semua tutupan kegelapan itu telah hilang sirna kemudian menyatalah hakikat itu dengan terang dan jelas. Inilah juga yang dimaksudkan oleh Hadits Rasulullah : “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan wariskan kepadanya ilmu yang belum pernah diketahui sebelumnya”. Allah berikan taufiq kepadanya, dihormati oleh segala makhluk dan disediakan baginya surga diakhirat. Orang-orang yang cinta dengan dunia dan selalu dalam kungkungan hawa nafsunya, tidak akan menemukan kemantapan ilmu ini (hakikat), meskipun dalam ilmu-ilmu lain dia berhasil. Orang yang mengingkari ilmu ini, bagaimanapun juga tidak pula akan bisa merasakan keindahan ilmu ini, dan tidak mungkin mereka bisa mendapatkan “mukasyafah” (terbuka hijab/dinding) sebagaimana yang dialami oleh para Shiddiqin dan Ahlul-Muqarrabiin. Imam Ghazali memberi gambaran bahwa : “ Syari‟at adalah menyembah kepada Allah sedangkan hakikat adalah melihat kepada-Nya “. Kemudian ditegaskan oleh Imam Al-Qusyairiyah bahwa : “Syari‟at adalah urusan tentang kewajiban-kewajiban peribadatan sedangkan hakikat adalah melihat ketuhanan “. Thareqat dan hakekat adalah sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena itu pelaksanaan agama Islam tidak sempurna jika tidak dikerjakan keempat-empatnya yakni ; Syari‟at, Thariqat, Hakikat dan Ma‟rifat. Maka apabila syari‟at merupakan peraturan, thariqat merupakan pelaksanaan, dan hakikat merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Umpamanya tentang "bersuci/thaharah”, menurut syariat bersih diri dengan air. Menurut thariqat bersih diri lahir dan bathin dari hawa napsu. Menurut Hakikat bersih hati dari selain Allah. Semuanya itu untuk mencapai Ma‟rifat kepada Allah dengan sebenar-benarnya Ma‟rifat. Dengan contoh lain dapat kita sebutkan ; Menurut syari‟at bila seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib menghadap ke kiblat, karena al-Qur‟an menyebutkan : “ Hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram ( Ka‟bah) di Mekkah”. Menurut thariqat, hati wajib menghadap kepada Allah berdasarkan ayat al-Qur‟an yang menyebutkan : Fa‟budunii ( sembahlah Aku ). Menurut hakikat, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya. Berdasarkan sebuah hadits yang berbunyi : “ Sembahlah Tuhanmu seakan-akan engkau melihat-

Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Tuhan pasti melihat kamu “. Selanjutnya menurut Ma‟rifat ialah mengenal Allah untuk siapa dipersembahkan segala amal ibadah itu yang dengan khusyu‟ seorang hamba dalam sholat merasa berhadapan dengan Allah, ketika itu perasaan bermusyahadah berintai-intaian dan bercakap-cakap dengan Allah seolah-olah Allah berkata : “ Innanii Ana Allah “ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, maka kehadiran hati berkata : “ Anta Allah “( Engkaulah Allah). Lalu Allah berkata lagi ; “ Aqimish-sholata lizikrii “ ( Bersholatlah untuk mengingat-Ku). Karena itu seseorang yang sedang dalam bershalat, kemudian tidak ada sama sekali kehadiran hatinya kepada Allah, maka oleh ahli-ahli thariqat dianggap shalatnya itu tidak syah. Demikianlah apa yang dikatakan “hakikat”, ialah membuka kesempatan bagaimana Salik (orang yang berjalan menuju Allah) mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan, Ma‟rifatullah dan Musyahadah Nur yang Tajalli. Dalam pada ini Imam Ghazali menerangkan : “Bahwa Tajalli itu ialah terbuka Nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang dan sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli ialah Mutajalli yang tidak lain daripada itulah Allah”. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (D. MA‟ RIFAT) Friday, November 12, 2010 8:32:33 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Ma‟rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam Al-Ghazali : “ Ma‟rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah SWT “. Ma‟rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma‟rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma‟rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma‟rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “. Ma‟rifat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya ma‟rifat adalah karena terbukanya Hakekat. Taftazany menerangkan dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah (laa maujud ilallah).” Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma‟rifat kepada Allah ialah hati.” Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Madarijus Salikin “ : “Ma‟rifat adalah suatu kedudukan yang tinggi dari kedudukan orang-orang mu‟min (disisi Allah) dan derajat yang tertinggi dari derajat orang-orang yang mendaki menuju alam surgawi “. Selanjutnya beliau berkata : “Bahwa seseorang tidak dikatakan memiliki ma‟rifat terkecuali mengetahui Allah SWT melalui jalan yang mengantarkannya kepada Allah, mengetahui segala bentuk penyakit atau penghalang yang ada pada sisinya, yang mengakibatkan terhambatnya hubungan dirinya dengan Allah, yang mana kesemuanya itu ia saksikan dengan ma‟rifatnya. Jadi, orang ma‟rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya. Berusaha untuk

menanggalkan budi pekerti yang buruk serta penyakit yang merusak. Mensucikan dirinya dari berbagai bentuk kotoran dan kemaksiatan. Bersabar atas hukum-hukum Allah dalam menghadapi segala nikmat-Nya (tidak terlena), dan musibah yang menimpanya (tidak putus asa). Lalu berdakwah menuju jalan Allah berdasarkan pengetahuannya terhadap agama dan ayat-ayat-Nya. Berdakwah hanya menuju kepada-Nya dengan apa yang dibawa utusan-Nya (yaitu Nabi Muhammad SAW), dengan tidak ditambahi dengan pandangan-pandangan akal manusia yang sesat, kecendrungan-kecendrungan mereka dan hasil kreasi mereka, kaidah-kaidah dan logikalogika mereka yang menyesatkan. Dengan kata lain tidak mengukur risalah yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah dengan kesemuanya itu diatas. Orang seperti inilah yang layak menyandang gelar sebagai orang yang ma‟rifat kepada Allah, sekalipun banyak orang memberikan panggilan atau julukan yang lain kepadanya”.

Dibawah ini kami cantumkan beberapa khazanah perbendaharaan ma‟rifat yang dihimpun oleh Prof. Dr. M. Faiz Al-Math dalam bukunya yang berjudul “Puncak Ruhani Kaum Sufi” diantaranya sebagai berikut : 1. Pendekatan kita kepada Allah adalah pendekatan ilmu, sebab mustahil terjadi suatu pendekatan kepada kebenaran Allah tanpa ilmu. 2. Barangsiapa yang mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam segala sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka ia akan melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai Allah, maka ia akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan mencampakkan ajaran lain 3. Jika kita menginginkan pintu rahmat terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita merasa takut akan siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada - Nya. 4. Tanda-tanda seseorang „aulia‟ yang arif adalah senantiasa memelihara rahasia antara dia dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang merintangi kehidupannya. Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia ia selalu membalasnya dengan cara yang lebih bijaksana. Mengingat tingkat intelektual mereka (tiap orang) tidak sama. 5. Barangsiapa menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan, maka artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram. 6. Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi Allah, maka renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam beribadah dan sebagainya. 7. Ma‟rifat terbangun atas tiga fondasi ; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan Cinta kepada Allah. 8. Orang Arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir, tak enggan dalam menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah. Sehingga tercetak dalam lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan hal sia-sia yang tidak dilatarbelakangi manfaat agama. 9. Alangkah janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah, namun dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat perlindu ngan, sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi sepak terjangnya. Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat Allah selalu datang silih berganti kepadanya. 10. Kearifan laksana tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan jatuh kepada teman maupun lawan. 11. Kearifan, adalah bukanlah apa yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru sebaliknya segala sesuatu akan tampak jernih.

12. Ma‟rifat kepada Allah sebagai intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam hatinya, rasa malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan. Sebagaimana tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul rasa berserah diri kepada Zat Yang Maha Pengatur. 13. Ma‟rifat, bila telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih (tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencariannya akan bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya. Rasa takut kepada sesama mahluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada Allah. 14. Orang yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata ma‟rifatnya, walau sesuatu itu dipandang, namun yang tergambar dalam benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, mata boleh menangis lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun hatinya bersukacita lantaran dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan oleh musibah itu. 15. Belum merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua perkara, yaitu ; Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan Kurangnya banyak memuji Tuhannya. Selanjutnya mengenai perjalanan menuju Allah sebagaimana tersebut di atas, dengan tahapantahapan atau tingkatan-tingkatan yaitu Syari‟at, Thariqat, Hakekat, dan Ma‟rifat M. S. Resa menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Kemurnian Tauhid (Keesaan Allah)” sebagai berikut : · Syari‟at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah. · Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan dan menerima cobaan Allah SWT. · Hakekat (nyawa) adalah tujuan untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam Ghaib dan lain-lainnya. · Ma‟rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe narannya (tidak diragukan lagi). Dari bahasan tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa hamba yang akan berjalan menuju Allah swt, harus melalui tahapan-tahapan (marhalah-marhalah) yaitu melalui : Syari‟at, Thariqat, Hakikat dan Ma‟rifat, atau dengan kata lain harus menempuh proses empat tahapan diantaranya : - Pertama : Marhalah Amal Lahir artinya berkekalan melakukan amal ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw atau disebut usaha menghias diri dengan Syari‟at. - Kedua : Marhalah Amal Bathin atau Muraqabah yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mensucikan diri dari maksiat lahir dan bathin (takhalli) dengan cara taubat dan istighfar, memperbanyak dzikir dan shalawat, menunduk kan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan amal terpuji/mahmudah lahir dan bathin (tahalli) atau disebut menjalankan Thariqah. Pada tahap ini, setelah hati dan rohani telah bersih karena terisi oleh taubat dan istighfar, dzikir-dzikir dan shalawat, maka dengan rahmat Allah datanglah Nur yang dinamakan Nur Kesadaran. - Ketiga : Marhalah Riyadhah dan Mujahadah yaitu berusaha melatih diri dan melakukan jihad lahir dan bathin untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani, guna membebaskan jiwa dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga akan beroleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Pada tahap ini, mulailah jiwa sedikit demi sedikit

merasakan hal-hal yang halus serta rahasia, merasakan kelezatan dan kedamaian, dan merasakan nikmatnya iman dan taqwa dalam jiwanya. Kemudian selanjutnya datanglah kasyaf/keterbukaan mata hati, menyusul terbuka hijab sedikit demi sedikit sehingga sampailah ia kepada Nur Yang Maha Agung sebagai puncak tahap/marhalah ketiga. Nur ini dinamakan Nur Kesiagaan yakni kesiagaan dalam muhadarah bersama Allah. Tahap ini juga disebut Tahap Hakikat. -Keempat : Marhalah Fana-Kamil yaitu jiwa si salik telah sampai kepada martabat syuhudul haqqi bil haqqi yakni melihat hakekat kebenaran. Kemudian terbukalah dengan terang berbagai alam rahasia baginya yaitu rahasia-rahasia ke-Tuhanan/Rabbani. Dalam pada itu berolehlah dia nikmat besar dalam mendekati Hadrat Ilahi Yang Maha Tinggi. Tahap ini juga disebut dengan Tahap Ma‟rifat. Dalam situasi seperti inilah dia menemukan puncak mahabbah dengan Allah, puncak kelezatan yang tiada pernah dilihat mata, tiada pernah di dengar telinga, dan tiada pernah terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata-kata. Pada marhalah ini sebagai puncak segala perjalanan, maka datanglah Nur yang dinamakan Nur Kehadiran. TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (E. RINTANGAN - RINTANGAN PERJALANAN MENUJU ALLAH SWT) Friday, November 12, 2010 8:33:43 AM TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT Hendaklah diketahui bahwa perjalanan seseorang hamba yang ingin menuju kehadlirat Allah SWT ia akan menghadapi beberapa rintangan-rintangan atau penghalang-penghalang. Didalam kitab Ad-Durrunnafis (Permata Yang Indah) karya Syeikh M. Nafis Bin Idris Al-Banjarie yang diterjemahkan oleh K.H. Haderanie H.N, dijelaskan bahwa : “Hal-hal yang dapat merusakkan perjalanan menuju Allah SWT itu diantaranya : a.Kasal (Malas), yaitu malas untuk mengerjakan ibadat kepada Allah SWT, padahal sebenarnya anda dapat dan sanggup untuk melakukan ibadat itu. b.Futur (Bimbang/Lemah pendirian), yaitu tidak memi liki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh kehidupan duniawi. c.Malal (Pembosan), yaitu cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadat karena merasa terlalu sering dilakukan padahal tujuan belum juga tercapai. Timbulnya hal-hal tersebut diatas adalah disebabkan kurang kuatnya rasa keimanan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh hawa nafsunya sendiri. Selanjutnya hal-hal yang mengakibatkan gagalnya untuk mencapai tujuan, antara lain adanya penyakit “Syirik Khofi” (syirik tersembunyi) atau dengan kata lain timbulnya suatu tanggapan dalam hatinya bahwa segala amal ibadat yang dilakukannya adalah sepenuhnya dari kemampuannya sendiri, tidak dirasakannya dan diyakininya bahwa apa yang dilakukannya itu semua pada hakikatnya dari pada Allah SWT. Hal-hal yang tergolong dalam syirik khofi antara lain adalah sebagai berikut : 1.Riya‟, yaitu menampak-nampak kan ibadah atau amalnya kepada orang lain dengan maksud tertentu yang lain daripada Allah. 2.Sum‟ah, yaitu sengaja mencerita-ceritakan tentang amal ibadatnya kepada orang lain bahwa dia beramal dengan ikhlas karena Allah dengan suatu maksud agar orang lain memberikan pujian dan sanjungan kepadanya. 3.„Ujub (membanggakan diri), yaitu merasa hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyak amal ibadatnya, tidak dia rasakan bahwa semua itu adalah semata-mata karena karunia dan rahmat Allah. 4.Hajbun (hijab/dinding), yang dimaksud adalah karena terlena dan kagum atas keindahan amalnya, sehingga tertahan pandangan hatinya (syuhudnya) kepada kekaguman itu semata-mata,

atau dengan kata lain terpengaruh kepada keindahan amal ibadatnya sendiri, tidak dirasakannya bahwa semua itu adalah karunia dari Allah swt. Oleh sebab itu agar dapat terlepas dari hal-hal tersebut diatas hal mana dapat membahayakan perjalanan seorang hamba menuju Allah swt, maka tidak ada jalan lain kecuali memantapkan pandangan batin (musyahadah) dengan penuh keyakinan bahwa “ segala apapun yang terjadi pada hakikatnya adalah daripada Allah swt semata ”. Didalam kitab “Minhajul „Abidin” karya Imam Ghazali dijelaskan : ada tujuh rintangan/penghalang yang mesti dilalui seseorang hamba dalam memperoleh yang dicarinya. Hal pertama yang menggerakkan hamba untuk menempuh jalan ibadah ialah sentuhan samawi dan taufiq, khususnya dari Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah SAW : “Apabila cahaya telah masuk kedalam qalbu seseorang, qalbu itu akan terbuka dan menjadi lapang” kemudian beliau ditanya : “Wahai Rasulullah, adakah tanda-tanda untuk mengetahui keterbukaan itu ?” Beliau menjawab : “Menjauhi dunia, negeri yang penuh dengan tipu daya ; kembali ke akhirat, negeri abadi; dan bersiap-siap menghadapi maut sebelum ia tiba “. Dihembuskan kedalam qalbu seseorang hamba Allah bahwa ia mempunyai Rabb yang memberikan berbagai macam nikmat. Dia berkata : “Rabbi menuntutku untuk bersyukur dan mengabdi kepada-Nya. Jika aku lalai, maka Dia akan mencabut nikmat-Nya dariku. Dia telah mengutus seorang rasul kepadaku dengan membawa berbagai mu‟jizat dan memberitahukan bahwa aku mempunyai Rabb Yang Maha Mengetahui lagi Berkuasa. IA akan memberi pahala karena mentaati-Nya dan akan menyiksa karena mendurhakai-Nya”. Rabb telah mengeluarkan perintah dan larangan. Dia (hamba) merasa khawatir terhadap dirinya disisi Rabb. Dia tidak menemukan jalan keluar dari kemelut ini kecuali mencari bukti-bukti yang menunjukkan adanya Maha Pencipta dengan mengetahui ciptaan-Nya. Setelah itu tercapailah keyakinan akan adanya Rabb yang memiliki sifat tersebut. Inilah rintangan pertama, berupa Ilmu dan Ma‟rifat (pengetahuan) yang dijumpainya dipermulaan jalan menuju terbukanya mata hati dengan cara belajar dan bertanya kepada Ulama yang mengerti tentang kehidupan akhirat. Setelah keyakinan tentang adanya Rabb tercapai, ma‟rifat mendorongnya untuk memulai pengabdian. Akan tetapi dia tidak mengetahui bagaimana seharusnya dia beribadah kepada Rabb. Dia mempelajari kewajiban-kewajiban syar‟i, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin. Ketika ilmu dan ma‟rifat telah melengkapi dirinya, maka terdoronglah ia untuk melaksanakan ibadah. Dia menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berdosa sebagaimana halnya kebanyakan orang. Dia berkata : “Bagaimana aku dapat melakukan keta‟atan, sedangkan aku selalu bergelimang dalam berbagai maksiat. Aku wajib bertaubat dahulu kepada-Nya agar Dia melepaskan diriku dari cengkraman dosa, dan membersihkan diriku dari segala kekotorannya sehingga aku pantas untuk mengabdi kepada-Nya”. Disini ia berhadapan dengan rintangan kedua yaitu tobat. Setelah menjalani tobat dengan memenuhi segala hak dan persyaratannya, dia kembali memperhatikan jalan. Tiba-tiba dilihatnya beberapa hal yang menghambat jalan untuk beribadah kepada Allah. Ada empat hambatan yang dihadapinya, yaitu : dunia, makhluk, setan dan nafsu. Kini ia menghadapi rintangan ketiga berupa hambatan-hambatan. Dia harus mendobraknya dengan empat perkara pula, yaitu : Melepaskan diri dari dunia, tidak menggantungkan diri kepada makhluk, dan memerangi setan dan hawa nafsunya. Dari empat hambatan tersebut , maka nafsu merupakan penghambat yang paling berat, karena manusia tidak mungkin melepaskan diri darinya atau mengalahkannya seperti mengalahkan setan, lantaran nafsu merupakan kendaraan dan alat. Jika dia menurutinya, maka ia tidak akan mempunyai keinginan untuk melakukan ibadah, karena nafsu merupakan tabiat yang sangat bertentangan dengan kebaikan. Manusia perlu mengendalikan nafsu dengan taqwa, agar selamat dan dapat menggunakannya dalam berbagai kebaikan serta mencegahnya dari segala kejahatan. Setelah berhasil menerobos rintangan ketiga, kini ia berhadapan dengan rintangan keempat yang membuatnya tidak bergairah (malas) dalam melakukan ibadah kepada Allah swt. Rintangan yang dihadapinya inipun ada empat : Pertama, rezeki yang dituntut oleh nafsu dan memang merupakan suatu keperluan ;

Kedua, berbagai hal yang ditakuti, diharapkan, diinginkan atau dibencinya, sedangkan dia tidak mengetahui kebaikan dan kerusakannya disitu ; Ketiga, berbagai bencana dan musibah yang mengepungnya dari segala sudut, apalagi ia telah bertekad untuk tidak bergantung kepada makhluk, memerangi setan dan mengalahkan nafsu. Keempat, bermacam-macam qadho‟ (ketentuan) Allah. Untuk menerobos keempat penghambat tersebut diapun memerlukan empat perkara, yaitu : Pertama, bertawakkal kepada Allah dalam masalah rezeki. Kedua, menyerahkan masalah bahaya kepada-Nya. Ketiga, bersabar dalam menghadapi berbagai musibah. Keempat, ridho menerima qadho (ketentuan) dari Allah. Setelah berhasil menerobos rintangan keempat, tiba-tiba nafsunya menjadi lesu dan malas, tidak bersemangat dan tidak bergairah untuk melakukan kebaikan sebagaimana mestinya. Nafsunya cendrung lalai dan menganggur, bahkan cendrung kepada hal yang sia-sia dan berlebihan. Disini ia membutuhkan penuntun agar ta‟at dan dapat merobohkan benteng perbuatan maksiat, yaitu berupa harapan (raja‟) dan takut (khauf) ; harapan akan kemuliaan yang telah dijanjikan, dan takut akan berbagai siksaan dan hinaan yang telah diancamkan. Yang dihadapi kali ini rintangan kelima yaitu rintangan pendorong. Untuk menerobosnya dia memerlukan dua perkara tersebut yaitu : harapan (raja‟) dan takut (khauf) seperti tersebut diatas. Setelah berhasil menerobos rintangan kelima, dia tidak melihat satu rintanganpun. Yang dia dapatkan adalah pendorong dan penggerak, sehingga dia melakukan ibadah dengan penuh gairah dan kerinduan. Kemudian dia merenungi ; tiba-tiba tampak olehnya dua bahaya besar menghadangnya, yaitu riya‟ dan „ujub (takabbur). Kadang-kadang ketaatannya ingin dilihat orang lain, dan kadang-kadang dia ingin membanggakan serta memuliakan dirinya. Disini dia berhadapan dengan rintangan keenam, berupa penyakit hati. Untuk menerobosnya, dia harus ikhlas dan ingat bahwa semua ini adalah karunia Allah. Setelah berhasil melaluinya dengan perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Perkasa, maka tercapailah kesempurnaan ibadah sebagai mana yang diharapkan. Akan tetapi ketika dia merenung kembali, tiba-tiba didapati dirinya tenggelam didalam lautan nikmat Allah berupa taufiq dan perlindungan. Dia takut kalau-kalau lalai bersyukur, sehingga terjerumus kedalam kekufuran dan turun dari martabat yang tinggi. Disinilah dia berhadapan dengan rintangan terakhir (ketujuh) yaitu pujian dan syukur. Dia baru akan berhasil melewati rintangan itu jika dia memperbanyak memuji Allah dan bersyukur atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya. Setelah berhasil melewatinya, sampailah dia sekarang kepada maksud dan tujuan. Kini dia hidup dalam kondisi yang paling baik dari sisa-sisa umurnya, dirinya didunia dan qalbunya diakhirat. Hari demi hari dia menantikan kedatangan utusan Allah yaitu malaikat yang akan mencabut nyawanya. Maka muncullah kerinduannya kepada malaikat yang ada dilangit. Tiba-tiba dia mendapatkan utusan Rabb semesta alam itu memberikan khabar gembira kepadanya berupa keridhoan Rabb, bukan kemurkaan-Nya. Utusan itu (malaikat pencabut nyawa) memindahkannya dalam keadaan sebagai diri yang baik dan manusia yang sempurna dari dunia yang fana ini ke hadlirat Ilahi dan taman surga, lalu diperlihatkan kepada dirinya yang fakir itu keindahan surga dan kerajaan Yang Agung. WASHILAH-SILSILAH ( TAWASSUL ), A. PENGERTIAN WASHILAH, B. DASAR HUKUM WASHILAH, C. WASHILAH YANG DILARANG. Friday, November 12, 2010 8:36:57 AM WASHILAH-SILSILAH ( TAWASSUL ), A. PENGERTIAN WASHILAH, C. WASHILAH YANG DILARANG., B. DASAR HUKUM WASHILAH

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (Nuurun „Alaa-Nuur), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memper-buat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur: 35)

Dalam bab ini, kita akan mencoba menguraikan masalah washilah yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam agama Islam, agar supaya mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai Ilmu Tasawwuf, khususnya mengenai Ilmu Thariqat dan Sufi. Para ulama memahami washilah ini berbeda-beda pendapat namun intinya mereka bersepakat bahwa washilah adalah sesuatu yang dibenarkan dan dianjurkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Al-Qur‟an Surah Al-Maidah : 35: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. A. PENGERTIAN WASHILAH 1. Washilah menurut bahasa ialah “Sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain.” 2. Di dalam kamus dinyatakan : Al-wasilah dan Al-Waasilah. “Almanzilatu indal maliki” yang berarti “Satu kedudukan di sisi raja”. Dan diartikan juga dengan “ad-darjatu” (derajat) dan “al-qurbatu” (dekat) “Wa wassala ilalahi tausila (Dia mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah)” 3. Dalam “Al-Mishbah”, dinyatakan : “Wassaltu Ilallahi bil‟amal (Saya mendekatkan diri kepada Allah dengan amal).” “Taqarroba ilaihi bi‟amalin (Dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal).” 4. Didalam tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 dijelaskan : “Wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud.” Dan “nama sebuah tempat kediaman Rasulullah SAW dalam surga, paling dekat dengan „Arasy”. 5. Dalam kamus “Al-Munjid” disebutkan washilah berarti sesuatu yang didekatkan kepada yang lain. Mengenai pengertian kata “washilah” yang tersebut di atas, menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i dalam kitabnya “At-tawashshul ila haqiqatit-tawashshul” sependapat (ijmak) ahli-ahli bahasa menyatakan demikian. Adapun tawashshul menurut hukum Islam ialah pendekatan diri kepada Allah, dengan mentaati dan beribadat kepada-Nya, mengikuti Nabi-Nabi dan Rasul-Nya, dengan semua amal yang dikasihi dan diridhoi-Nya. Ibnu Abbas ra, menegaskan : “Al-washilah hiyal qurbah (Wasilah ialah pendekatan).” Qatadah menafsirkan Al-Qurbah itu : “Dekatkan diri kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan apa saja yang disukai-Nya.”

Demikianlah setiap yang diperintahkan Syara‟, baik yang wajib maupun yang sunnat adalah tawassul atau washilah menurut Syara‟. Adapun washilah terbagi dua : 1. Washilah yang disyariatkan (masyru‟). 2. Washilah yang dilarang (mamnu‟). Adapun washilah yang disyariatkan ialah setiap washilah yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, sehingga dapat mendorong kita untuk melaksanakannya. Dan washilah seperti itu dijelaslah “sesuatu pendekatan kepada Allah dengan taat dan mengerjakan amal-amal saleh yang disukai dan diridhoi-Nya.” Washilah yang disyariatkan itu terbagi pula menjadi 3 (tiga) diantaranya : 1. Washilah seorang Mu‟min kepada Allah dengan zat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi. 2. Washilah seorang Mu‟min kepada Allah, dengan amal-amal shalehnya. 3. Washilah seorang Mu‟min kepada Allah dengan do‟a saudaranya yang Mu‟min. B. DASAR HUKUM WASHILAH Adapun dasar hukum washilah itu antara lain firman Allah SWT dalam al-Qur‟an surah al-Maidah 35 : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ayat ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Jadi ayat ini bukan ditujukan untuk orang-orang yang setengah beriman (ragu-ragu terhadap adanya Tuhan), orang-orang yang musyrik dan orang-orang kafir, sebab mereka ini akan menjadikan jalan (washilah) itu sebagai Tuhan mereka. 2. Untuk mencapai kebahagiaan harus melalui syarat-syarat sebagai berikut : a. Dengan selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan. b. Hendaknya mencari jalan (washilah) untuk menuju kepada-Nya. c. Berjuang pada jalan-Nya itu. d. Jika hal tersebut di atas dijalankan maka akan mendapat keberuntungan atau kemenangan. Pendapat-pendapat ahli tafsir tentang maksud “washilah” dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tafsir Al-Khazin jilid 2 menyatakan : “Carilah (tuntutlah) “pendekatan” kepada-Nya, dengan mematuhi dan mengamalkan sesuatu yang diridhoi-Nya.” 2. Tafsir Ibnu Katsir jilid 2 menyatakan : “Kata Soufyan Ats-Tsauri dari Tholhah, „Atho‟ dan dari Ibnu Abbas, maksud “washilah” itu adalah “pendekatan”. Pendapat itu diperkuat oleh Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir dan Ibnu

Zaid, dan lain-lain. 3. Tafsir “Fi Zhilalil Qur‟an”, jilid 6 menyatakan : “Menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas, ibtaghu ilaihil washilah berarti “ibtaghu ilahil hajah”, artinya “carilah hajat kepada-Nya.” Al-washilah dalam ayat itu bermakna “al-hajat”. 4. Ar-Roghib dalam “Qamus Qur‟annya “Mufrodatul Qur‟an” menyatakan : “Hakikat washilah kepada Allah itu ialah memelihara jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah.” “Si Pulan berwashilah kepada Allah, artinya apabila dia melakukan amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” 5. Tafsir “Al-Futuhatul Ilahiyah” jilid 1 menyatakan : “Sesuatu yang mendekatkan kamu kepada-Nya, dengan mentaati-Nya.” Imam Syeikh Syarbaini Al-Khatib dalam Tafsirnya “Sirojul Munir”, Imam Zamakhsari dalam tafsirnya “Al-Kasysyaf”, Qadhi Al-Baid-dhowi dalam tafsirnya “Anwarut Tanzil” Fakhrur Razi dalam tafsirnya “Al-Kabir” pada umumnya menyatakan bahwa maksud ayat itu adalah “carilah jalan supaya kamu dapat taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.” Jika kita perhatikan pendapat ahli-ahli tafsir itu, dengan seksama, maka maksud ayat 35 surat Al-Maidah itu adalah Allah menyuruh kita mencari jalan (washilah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mentaati semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Washilah dalam ayat itu mengandung pengertian umum. Kalangan ahli thariqat berpendapat salah satu jalan pendekatan diri kepada Allah itu adalah dengan perantaraan rabhithah (pertalian ruhani dengan Mursyid yang selanjutnya sampai ke ruhani Rasulullah SAW dan akhirnya sampai kepada Allah), karena menurut mereka rabithahlah washilah yang sebaik-baiknya, sebab yang dijadikan rabithah itu Nabi SAW, Syeikh-syeikh atau orang yang menempati kedudukan yang tinggi. Namun demikian bukanlah kalangan thariqat mengartikan washilah dalam ayat itu adalah rabithah, sebab arti demikian bertentangan dengan penafsiran kitab-kitab Tafsir yang mu‟tabar. Cuma dari sekian banyak jalan pendekatan, menurut mereka yang paling baik adalah melalui rabithah. 1. Firman Allah Q.S. Al-A‟raf 180 : “Hanya milik Allah asma‟ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa‟ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat itu mengandung perintah supaya kita berdo‟a kepada Allah dengan washilah nama-namaNya yang Agung atau Ismul A‟dham. Dengan berwashilah kepada nama-nama-Nya yang Agung tersebut diharapkan permohonan kita cepat diperkenankan atau dikabulkan oleh Allah SWT. Abu Yusuf berpendapat tidak wajar seseorang berdo‟a kepada Allah tanpa berwashilah kepada nama-nama-Nya yang Agung, dan dengan do‟a-do‟a yang dibenarkan dan diperintahkan. Jelaslah bahwa ayat itu menganjurkan supaya kita berdo‟a kepada-Nya dengan nama-Nya, Sifatsifat-Nya dan Zat-Nya. 2. Firman Allah Q.S. Ibrahim 38 – 40 : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang

kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do`aku.” Ayat itu menerangkan satu di antara beberapa contah washilah Nabi Ibrahim as ketika bermohon kepada Allah. Ia memulai do‟anya dengan menyebut ketinggian ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu di langit dan di bumi. Allah terpuji pada zat, sifat dan perbuatan-Nya. Allah mendengar do‟a hamba-Nya di mana pun mereka berada dan dengan bahasa apa pun mereka pergunakan dan dengan maksud apa pun yang mereka tuju. Dan dia perkenankan do‟a itu jika Dia kehendaki. Nabi Ibrahim as di depan do‟anya berwasilah dengan Ilmu Allah, anugerah-Nya, puji-pujianNya dan pendengaran-Nya. Kemudian baru berdo‟a meminta supaya ia dan anak cucunya menjadi penegak shalat, meminta ampuni dosanya dan dosa ibu bapanya dan dosa-dosa orang mu‟min nanti pada hari kiamat. Ayat itu menjadi dalil kepada kita supaya berwashilah dalam berdo‟a. 3. Hadits Abu Daud dan Turmudzi dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya : “Bahwa Rasulullah SAW, mendengar seorang laki-laki berdoa : “Ya Allah, saya mohon kepada-Mu dengan mengakui bahwa Engkau adalah Allah, tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, yang bergabung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada seorangpun yang setara dengan dia.” Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya ananda telah bermohon kepada Allah „Azza wa Jalla dengan namanya yang Agung (Ismul A‟dham).” 4. Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi dari Anas bin Malik. “Bahwa Anas pada suatu hari duduk bersama Rasulullah SAW. Seorang laki-laki sedang shalat dan kemudian berdoa : “Ya Allah saya mohon kepada-Mu, dengan segala jenis puji bagi-Mu, tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan yang menganugerahi, pencipta langit dan bumi, Wahai Tuhan yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, Wahai Yang Hidup dan Maha Berdiri Sendiri.” Maka beliau pun bersabda : “Sesungguhnya dia telah berdoa dengan nama Allah yang mulia, yang apabila berdoa dengan nama yang mulia itu, niscaya diperkenankan, dan apabila meminta dengannya, niscaya akan diberi.” Dua hadis itu menerangkan bahwa dua orang sahabat telah berdo‟a berwashilah kepada namanama-Nya yang mulia, dan diakui oleh Nabi SAW, bila berdo‟a dengan nama-nama itu niscaya diperkenankan. Pengakuan Nabi SAW itu menunjukkan dibenarkannya berwashilah dalam berdo‟a. 5. Hadis riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya, Abu Nu‟aim dalam “Amalul Yaumi Wal Lailah”, Al-Baihaqi dalam kitabnya “Ad-Da‟awat”, At-Thabrani dalam “Kitabud Du‟a”, Ibnu AsSunni dan Ibnu Majah, menyatakan bahwa Nabi SAW berwashilah dan mengajari kita supaya berwashilah. Beliau berwashilah kepada orang yang meminta-minta, ketika berjalan menuju masjid. Lafadz do‟a Nabi SAW itu menurut Musthafa Abu Saif Al-Hamami seorang tokoh Ulama Al-Azhar dalam kitabnya “Ghautsul „Ibad” adalah : “Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang bermohon kepada-Mu, dan saya bermohon kepada-Mu dengan kebenaran perjalananku ini kepada-Mu, . . . “ dan seterusnya. 6. Hadis Turmudzi dan An-Nasai, Al-Baihaqi dan At-Thabrani, menurut “Ghautsul „Ibad” menyatakan :

“Seorang laki-laki yang buta telah mendatangi Nabi SAW, seraya berkata : “Do‟akanlah kepada Allah, supaya disembuhkan-Nya butaku ini.” Laki-laki itu berkata pula : “Do‟akanlah!” Maka beliau menyuruhnya supaya mengambil wudhu dengan sempurna (baik) dan berdo‟a kepada Allah dengan mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya saya mohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan (perantara) Nabi Muhammad SAW yang beroleh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya saya menghadapkanmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, supaya diperkenankanNya. Ya Allah maka syafaatkanlah ia pada hajatku ini.” Selesai berdo‟a sesuai dengan yang diperintahkan Nabi SAW, maka ia pun menjadi sehat dan dapat melihat kembali sebagaimana semula. Menurut Imam Syaukani dalam kitabnya “Tuhfauz Dzakirin”, hadits yang sama maksudnya dengan itu dikeluarkan oleh Turmudzi (hasan-sahih-gharib), An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Menurut Al-Hakim hadits itu sahih atas dasar syarat Bukhari dan Muslim, dari Utsman bin Hanif. 7. Hadits sahih tentang Umar bin Khatab dan sahabat-sahabat berdo‟a kepada Allah ketika shalat istisqa‟ (minta hujan), dengan berwashilah kepada paman Nabi SAW, Abbas. Menurut hadits Bukhari dalam Sahih-nya dari Anas : “Sesungguhnya Umar bin Khatab, apabila mereka (para sahabat) ditimpa kemarau, ia meminta turunkan hujan dengan washilah Abbas bin Abdul Muthalib, seraya mengucapkan : “Ya Allah, kami telah berwashilah kepada-Mu dengan Nabi kami SAW, lantas Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan sesungguhnya sekarang ini kami berwashilah kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.” Kata Anas : “Maka hujan pun turun, menyirami mereka.” Tiada seorang sahabat pun yang membantah perbuatan Umar itu. Menurut Ibnu Hajar dalam “Fat-hul Bari”, sesudah Umar berwashilah kepada Abbas, maka Abbas pun berdo‟a : “Ya Allah sesungguhnya bala (ujian) tidak turun melainkan karena dosa, dan ia tidak tersingkap, melainkan karena tobat. Sesungguhnya orang banyak telah menghadapkan aku dengan-Mu, karena kedudukanku di samping Nabi-Mu. Inilah tangan-tangan tertadah kepada-Mu, disebabkan dosa-dosa, kami saling nasehat menasehati supaya tobat kepada-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami.” Maka hujan pun turun seperti gunung (lebat).” Abbas berwashilah kepada Allah dengan mengakui kesalahan, kemudian tobat daripadanya. Ini termasuk amal saleh. Abbas berdo‟a, orang banyak mengaminkan, dan sebelum meletakkan tangan (selesai do‟a), hujan pun turun laksana gunung lari dari langit. 8. Hadis Bukhari dan Muslim, muttafaq „alaihi dari Ibnu Umar tentang tiga orang yang terkurung dalam sebuah goa, disebabkan pintunya tertutup oleh sebuah batu besar yang jatuh dari atas sebuah gunung. Ketiganya berdo‟a kepada Allah dengan washilah amal saleh masing-masing. Akhirnya batu penghalang itu pun bergeser, dan mereka pun keluar dengan selamat. Hadits-hadits tersebut menunjukkan berwashilah yang sesuai dengan ajaran syari‟at, tidak dilarang dan bahkan sebaliknya, dianjurkan. 9. Abu Yusuf Musthafa Al-Hamami, seorang tokoh Ulama Al-Azhar, Kairo, dalam kitabnya “Ghautsul „Ibad”, menerangkan bahwa tentang dibenarkannya berwashilah itu, tidak perlu diragukan, karena diamalkan orang dari Timur ke Barat. Sebab menurut beliau, imam madzhab yang empat membenarkannya, tanpa ikhtilaf. Dan kita tidak dapat keluar dari salah satu

pendapat yang empat itu. Seandainya, terdapat kemudharatan, tentu Imam yang empat tidak ijmak dalam masalah ini. Jika ada yang mengatakan bahwa berwashilah itu, membuat perantara di antaranya dengan Allah, dan hal itu tidak boleh, memudharatkan, maka kami mengatakan, siapa yang mengatakan bahwa washilah seperti itu, memudharatkan ? Bagaimana mungkin memudharatkan, sedangkan Allah memerintahkan kepada kita supaya berwashilah, baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat nanti, orang berebut-rebut mendatangi Nabi masing-masing, meminta pertolongan dan menjadikannya washilah diantaranya dengan Tuhan-nya. Adapun di dunia ini, Allah menjadikan para Nabi dan Rasul menjadi perantara (washilah) antaraNya dengan hamba-Nya yang fakir dan miskin, untuk menyampaikan sebagian rezki-Nya kepada mereka. Allah menjadikan para dokter, perantara diantara-Nya dengan penderita sakit, untuk disembuhkan. Allah menjadikan makanan, perantara di antara-Nya dengan hewan-hewan, untuk dapat hidup, untuk memperoleh kenyang dan menolak kelaparan. Allah jadikan air, perantara diantara-Nya dengan hamba-Nya, untuk memuaskan dahaga. Allah menjadikan pakaian, perantara diantara-Nya dengan hamba-Nya, untuk menutupi tubuh, dijadikan-Nya perkawinan untuk mendapat anak, dijadikan-Nya kapal-kapal untuk alat angkutan di lautan. Sekiranya tidak dijadikannya air, tentu kita akan mati kehausan, kalau tidak diadakannya pakaian, tentu kita akan mati kepanasan dan kedinginan. Kalau tidak ada tidur tentu kita akan mati kelelahan, kalau tidak karena adanya anak-anak maka manusia tidak akan berkembang. Kalau sekiranya tidak diadakan-Nya kapal-kapal, niscaya kita akan mati tenggelam. Kalau tidak karena usaha dan ikhtiar, tentu kita tidak memperoleh rezki. Demikianlah seterusnya, semua yang ada ini dibina atas dasar perantara-perantara. Bukan Allah tidak bisa menjadikan anak tanpa kawin, bukan Allah tidak bisa membikin orang sakit menjadi sehat tanpa obat, bukan Allah tidak bisa membuat orang kenyang tanpa makan, semuanya bisa, karena Allah itu Maha Kuasa atas segala-galanya. Tetapi Allah tidak melakukannya secara langsung. Dia buat washilah atau perantaranya. Bahkan orang mati di akhirat tidak akan masuk surga atau neraka, melainkan dengan washilah amalnya. Firman Allah Q.S. Al-A‟raf 8 dan 9 : “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” Jika kalangan yang melarang washilah, berkata “kenapa orang tidak meminta langsung saja kepada Allah, tanpa washilah”, maka itu masalah lain. Bukan itu yang menjadi pembicaraan. Allah menjadikan beberapa sebab untuk menyampaikan hajat hamba-Nya, dan memerintahkan supaya penyebab itu dilaksanakan. Maka berdo‟a kepada Allah untuk sesuatu hajat, adalah satu faktor penyebab. Dan berwashilah kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam memohon hajat itu, adalah menjadi faktor penyebab kedua. Maka orang yang bermohon kepada Allah tentang sesuatu hajat, dengan washilah, berarti ia telah mengerjakan dua faktor penyebab, sedangkan orang yang bermohon kepada Allah secara langsung tidak berwashilah, berarti ia hanya mengerjakan satu faktor penyebab. Tentu saja orang yang mengajukan permohonan-Nya dengan dua faktor penyebab lebih utama dari orang yang bermohon dengan hanya melaksanakan satu faktor penyebab. Oleh sebab itu, berwashilah lebih baik daripada tidak berwhasilah, sebagaimana dilakukan juga oleh Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. C. WASHILAH YANG DILARANG

Adapun washilah yang dilarang, adalah berwashilah kepada sesuatu yang menurut keyakinannya, dapat memberikan manfaat dan mudharat kepadanya. Washilah seperti ini dapat menjerumuskan orang ke dalam syirik, sebagaimana yang dilakukan orang di zaman jahiliah. Dalilnya, antara lain : 1. Firman Allah Q.S. Az-Zumar: 3 : “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” 2. Firman Allah Q.S. Yunus: 18 : “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” Orang di zaman jahiliah meminta kepada patung-patung berhala, karena yakin apa yang mereka sembah itu dapat menolong, dapat memberikan manfaat dan mudharat. Berwashilah seperti itu, jelas dilarang dan syirik. Penganut thariqat tidak berwashilah seperti itu. Menghadirkan rabithah bagi murid atau salik, dimaksudkan supaya selalu ingat kepada Syeikh atau Mursyid, sehingga dengan demikian ia merasa takut berbuat kesalahan. Dan apabila dalam berdzikir, ia mengalami sesuatu perasaan, penglihatan dan pendengaran, dengan terbukanya hijab maka ia dapat meminta petunjuk kepada Syeikh tentang hakikat peristiwa itu. Syeikh senantiasa membayanginya sehingga kehadiran Syeikh dalam pandangannya membuatnya kecut atau malu melakukan sesuatu yang bersifat pelanggaran dari apa yang diajarkan Syeikh. Sedangkan Syeikh mengajarinya tata cara (kaifiat) dan adab dzikir untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadi murid atau salik bukan menyembah Syeikh atau mempertuhan Syeikh. Syeikh atau Mursyid itu sebagai orang yang harus dita‟ati dan yakin Syeikh tidak akan menjerumuskan ke jalan yang sesat. Kehadiran Syeikh dalam pandangannya tidak ubahnya seperti kehadiran Nabi Ya‟kub ayah Nabi Yusuf atau kehadiran suami Zulaikha yang bernama Qithfir dalam pandangan Nabi Yusuf ketika ia dirayu oleh Zulaikha untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, sebagaimana maksud firman Allah Q.S.Yusuf 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” Menurut “Tafsir Ibnu Katsir” juz 2, maksud “Burhana rabbihi” dalam ayat tersebut, adalah rabithah yang dilakukan Nabi Yusuf dengan ayahnya (Ya‟kub) atau pada waktu itu terbayang wajah Qithfir suami Zulaikha. Akibatnya Nabi Yusuf tidak jadi melakukan perbuatan tidak senonoh itu dengan meloncar keluar kamar. Maka selamatlah ia dari bencana itu. Apa yang dilakukan Nabi Yusuf itu yakni mem bayangkan rupa ayah atau rupa suami Zulaikha yang marah-marah, karena mengetahui apa yang akan dilakukannya hanyalah sebagai washilah untuk mempermudah meng hilangkan godaan nafsu syaithaniah yang sedang melandanya.

Walaupun peristiwa itu menyangkut syari‟at Nabi Yusuf namun materinya masih muhkamah (berlaku) bagi umat Muhammad SAW, karena tidak ada keterangan yang membatalkan atau tidak berlakunya sampai habis masa Nabi Yusuf as saja. Jadi rabithah kepada Syeikh bagi ahli thariqat tidaklah sama dengan washilah kepada berhala bagi orang musyrikin di zaman jahiliah. DZIKIR, DO‟A, ISTIGHFAR, SHALAWAT DAN SEKILAS TENTANG AL-QUR‟AN Friday, November 12, 2010 8:40:54 AM ISTIGHFAR, DZIKIR, DO‟A, SHALAWAT DAN SEKILAS TENTANG AL-QUR‟AN “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran: 190-191) Berdzikir, Berdoa, Beristighfar, Bershalawat dan Tilawah Al-Qur‟an adalah amalan-amalan utama yang harus dikekalkan oleh setiap orang-orang mu‟min untuk kesempurnaan iman dan Islamnya. Semuanya itu menjadi penawar bagi hati dan jiwa yang rusuh dan resah gelisah. Ia juga merupakan sarana yang paling efektif dan utama untuk meraih kedamaian dan kasih sayang Allah ( mahabbatullah ). Orang-orang yang meraih kasih sayang Allah maka hidupnya senantiasa dinaungi rahmat dan kedamaian serta keselamatan baik di dunia maupun di akhirat . Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Seseorang yang imannya bersih tidak akan mampu mencapai derajat cinta (mahabbah) sebelum terlebih dahulu melewati langkah-langkah awalnya, dan tidak akan naik derajatnya kepada derajat yang lebih tinggi kecuali telah memperoleh derajat cinta. Apabila seseorang dari kita hendak membuktikan kemurnian cintanya atau memperoleh pondasi cinta tersebut, atau untuk meningkatkan derajatnya, maka ia harus mengaktualisasikan seluruh perintah Allah yang diwujudkan dalam amal perbuatan sehari-hari.” A. D Z I K I R Friday, November 12, 2010 8:41:32 AM A. D Z I K I R Amalan pokok paling mendasar bagi penganut thariqah atau kalangan kaum Tasawwuf adalah dzikrullah (mengingat Allah). Dzikrullah adalah ilmunya iman, dapat membebaskan seseorang dari api neraka, menjaganya dari pengaruh setan, dan membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk. Dengan dzikir hati menjadi tenang dan tentram serta merasakan kedamaian. 1. Pengertian Dzikir Friday, November 12, 2010 8:42:10 AM 1. Pengertian Dzikir Didalam kitab Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa : Dzikir atau mengingat Allah ialah apa yang dilakukan oleh hati dan lisan berupa tasbih atau mensucikan Allah, memuji dan menyanjung-Nya, menyebut kan sifat-sifat kebesaran dan keagungan serta sifat-sifat kein dahan dan kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya. Dalam pada itu dipandang juga dzikrullah dengan mengerjakan segala rupa keta‟atan. Lantaran itu majelis-majelis yang diadakan untuk mempersoalkan agama bisa juga dinamai Majelis Dzikir. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh „Atha : “Majelis-majelis yang dibentuk untuk memper katakan soal halal dan haram dipandang juga sebagai majelis dzikir (majelis menyebut Allah) karena majelis-majelis itu memindahkan kita dari sikap lalai kepada kesadaran.” Al-Hafizh berkata pula : “Juga dinamai dzikir mengerjakan segala tugas agama yang diwajibkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena itu membaca Al-Qur‟an, membaca hadits, mempelajari ilmu-ilmu agama, melaksanakan shalat sunnat dinamakan juga dzikir.”

Ringkasnya, dzikir itu adakalanya mengingat dan mengenangkan nikmat Allah, adakalanya menyebut nama-Nya, menurut kaifiat yang disyari‟atkan. Kemudian yang perlu ditegaskan bahwa menyebut Allah (dzikrullah) hendaknya harus diikuti supaya penyebut itu mem perhatikan Tuhan yang disembah, mengagungkan-Nya, mensucikan-Nya, merasa takut kepada-Nya, mengharap dan meyakini bahwa manusia seluruhnya adalah dalam genggaman-Nya serta menurut kehendak-Nya. Orang yang hidup didunia tanpa mengingat Allah SWT dengan berdzikir kepada-Nya, tidak heran bila hidup menjadi lalai dan terlena. Tanpa mengingat Allah dia akan melupakan kematian yang akan menjemputnya kelak. Ketika itu ia merasa dunia masih terlalu panjang padahal Allah SWT mengingatkan kita bahwa ajal manusia itu lebih dekat dari urat lehernya. Orang yang membiarkan hidupnya terombang ambing di dunia akan menyesali diri sendiri bila ruh telah berpisah dari jasadnya dan menuju ke akhirat. Jiwanya akan kosong dari ma‟rifat karena hatinya telah mati sebelum badannya mati. Hati yang tidak disuburkan dengan dzikrullah lama kelamaan akan mati. Hati yang mati tidak akan dapat menerima cahaya Allah dan dia akan selalu dalam bahaya selama hati itu tidak dipulihkan dan dihidupkan kembali. Cara yang baik untuk menghidupkan hati yang mati ialah dengan menuntut ilmu kepada guru ruhani (Syekh / Mursyid) yang dapat menghidupkan hati. Dengan berguru kepada mereka akan membawa ketenangan hidup di dunia dan di akhirat. 2. Perintah-Perintah Dzikir dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits Friday, November 12, 2010 8:42:47 AM 2. Perintah-Perintah Dzikir dalam Al-Qur‟an dan a. Perintah Dzikir dalam Al-Qur‟an Q. S. Al-Ahzab : 41-42 : “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” Q. S. Al-Baqarah : 152 : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.” Q. S. Ar-Ra‟d : 28 : : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” Q. S. Ali Imran : 190-191 : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Q. S. Az-Zukhruf : 36 : “Barangsiapa yang berpaling dari zikir akan Allah, Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” Q. S. Al-Anfaal : 45 : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”

Q. S. Al-Jumu‟ah : 10 : “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Q. S. Al-Ahzab : 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, lakilaki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, lakilaki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Q. S. Al-A‟raaf : 205 : “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” Q. S. Al-Hasyr : 19 : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Dari beberapa ayat Al-Qur‟an tersebut di atas, sudah jelaslah bahwa Allah SWT memerintahkan kita supaya banyak berdzikir kepada-Nya serta menegaskan bahwa dzikir itu adalah suatu rangka dari kesempurnaan iman yang harus dikekalkan oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan dengan berdzikrulah hati menjadi tenang. Dan orang-orang yang lalai dalam mengingat Allah maka dia akan menjadi temannya setan. Walhasil, orang Mu‟min yang benar-benar beriman kepada Allah dan ingin memperoleh kesempurnaan imannya, maka dia tidak akan melengahkan untuk selalu ber-dzikrullah. b. Perintah Dzikir dalam Hadits Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Allah berfirman : “Aku ini adalah menurut dugaan hamba-Ku, dan Aku menyertainya dimana saja ia berdzikir kepada-Ku, jika ia berdzikir atau ingat pada-Ku dalam hatinya maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, dan kalau ia mengingati-Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatinya pula di depan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku secara berjalan kaki, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda : “Telah majulah orang-orang istimewa !” Tanya sahabat : “Siapakah orang-orang istimewa itu ?” Ujar Rasulullah SAW : “Mereka ialah orang-orang yang berdzikir kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan.” Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda : “Perumpamaan orang-orang yang dzikir kepada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” Hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad juga oleh Hakim, dikatakan bahwa ada

seorang laki-laki bertanya : “Mengenai syariat-syariat Islam telah banyak anda sebutkan padaku sekarang sebutkan pula padaku sesuatu yang harus aku pegang teguh”, maka Rasulullah SAW bersabda : “Mulutmu tidak akan kering disebabkan dzikir kepada Allah.” Dan kepada sahabat-sahabatnya dipesankannya : “Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih utama dan lebih suci di sisi Tuhanmu, lebih meningkatkan derajatmu dan lebih berharga dari menafkahkan emas dan perak, bahkan lebih baik dari menghadapi musuhmu dimana kamu berusaha akan menebas leher mereka, sebaliknya mereka berusaha akan menebas lehermu ?” “Mau, wahai Rasulullah”, ujar mereka. Maka sabdanya : “Yaitu berdzikir kepada Allah !” Hadits yang diriwayatkan oleh Mu‟adz ra, Rasulullah SAW bersabda : “Tidak satupun amal yang dikerjakan oleh anak cucu Adam, yang lebih membebaskannya dari siksa Allah dari pada dzikir kepada Allah „azza wajalla.” Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya apa-apa yang kamu sebut waktu berdzikir tentang keagungan Allah „azza wajalla, baik berupa tahlil, takbir dan tahmid, akan beredar keliling „arasy sambil memiringkan kepala mereka ke kiri dan kanan dan men-dengungkan bagai dengungan lebah menyebutkan irama orang yang mengucapkannya. Nah, tidak sukakah kamu memiliki sesuatu yang akan mengumandangkan namamu itu ?” 2. Perintah-Perintah Dzikir dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits Friday, November 12, 2010 8:42:52 AM 2. Perintah-Perintah Dzikir dalam Al-Qur‟an dan a. Perintah Dzikir dalam Al-Qur‟an Q. S. Al-Ahzab : 41-42 : “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” Q. S. Al-Baqarah : 152 : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.” Q. S. Ar-Ra‟d : 28 : : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” Q. S. Ali Imran : 190-191 : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Q. S. Az-Zukhruf : 36 : “Barangsiapa yang berpaling dari zikir akan Allah, Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” Q. S. Al-Anfaal : 45 :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” Q. S. Al-Jumu‟ah : 10 : “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Q. S. Al-Ahzab : 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, lakilaki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, lakilaki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Q. S. Al-A‟raaf : 205 : “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” Q. S. Al-Hasyr : 19 : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Dari beberapa ayat Al-Qur‟an tersebut di atas, sudah jelaslah bahwa Allah SWT memerintahkan kita supaya banyak berdzikir kepada-Nya serta menegaskan bahwa dzikir itu adalah suatu rangka dari kesempurnaan iman yang harus dikekalkan oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan dengan berdzikrulah hati menjadi tenang. Dan orang-orang yang lalai dalam mengingat Allah maka dia akan menjadi temannya setan. Walhasil, orang Mu‟min yang benar-benar beriman kepada Allah dan ingin memperoleh kesempurnaan imannya, maka dia tidak akan melengahkan untuk selalu ber-dzikrullah. b. Perintah Dzikir dalam Hadits Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Allah berfirman : “Aku ini adalah menurut dugaan hamba-Ku, dan Aku menyertainya dimana saja ia berdzikir kepada-Ku, jika ia berdzikir atau ingat pada-Ku dalam hatinya maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, dan kalau ia mengingati-Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatinya pula di depan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku secara berjalan kaki, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda : “Telah majulah orang-orang istimewa !” Tanya sahabat : “Siapakah orang-orang istimewa itu ?” Ujar Rasulullah SAW : “Mereka ialah orang-orang yang berdzikir kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan.” Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda :

“Perumpamaan orang-orang yang dzikir kepada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” Hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad juga oleh Hakim, dikatakan bahwa ada seorang laki-laki bertanya : “Mengenai syariat-syariat Islam telah banyak anda sebutkan padaku sekarang sebutkan pula padaku sesuatu yang harus aku pegang teguh”, maka Rasulullah SAW bersabda : “Mulutmu tidak akan kering disebabkan dzikir kepada Allah.” Dan kepada sahabat-sahabatnya dipesankannya : “Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih utama dan lebih suci di sisi Tuhanmu, lebih meningkatkan derajatmu dan lebih berharga dari menafkahkan emas dan perak, bahkan lebih baik dari menghadapi musuhmu dimana kamu berusaha akan menebas leher mereka, sebaliknya mereka berusaha akan menebas lehermu ?” “Mau, wahai Rasulullah”, ujar mereka. Maka sabdanya : “Yaitu berdzikir kepada Allah !” Hadits yang diriwayatkan oleh Mu‟adz ra, Rasulullah SAW bersabda : “Tidak satupun amal yang dikerjakan oleh anak cucu Adam, yang lebih membebaskannya dari siksa Allah dari pada dzikir kepada Allah „azza wajalla.” Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya apa-apa yang kamu sebut waktu berdzikir tentang keagungan Allah „azza wajalla, baik berupa tahlil, takbir dan tahmid, akan beredar keliling „arasy sambil memiringkan kepala mereka ke kiri dan kanan dan men-dengungkan bagai dengungan lebah menyebutkan irama orang yang mengucapkannya. Nah, tidak sukakah kamu memiliki sesuatu yang akan mengumandangkan namamu itu ?” 3. Keutamaan Dzikir dan Menghadiri Majelis Dzikir Friday, November 12, 2010 8:44:36 AM 3. Keutamaan Dzikir dan Menghadiri Majelis Dzikir a. Keutamaan dan Fadhilah Dzikir Sebagaimana diketahui bahwa tujuan berdzikir adalah mensucikan jiwa dan membersihkan hati serta membangunkan nurani, dan berdzikir merupakan pokok pangkal amal-amal saleh maka barangsiapa diberi taufiq untuk melakukannya ia telah diberi kesempatan untuk menjadi Wali Allah. Maka dari itu titik berat amalan penganut thariqah adalah dzikrullah secara berkesinam bungan, pada waktu pagi, sore, siang, malam, duduk, berdiri, diwaktu sibuk dan diwaktu senggang. Jika dzikir dengan lidah diperkuat dengan dzikir dalam hati, maka hal itu lebih sempurna. Dan jika diperkuat lagi dengan menghadirkan pengertiannya, maka hal itu lebih sempurna lagi. Jika berharap kepada Allah itu dilakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas, maka itulah puncak dzikir yang paling tinggi. Syeikh Abu Sa‟id Al-Kharraz menyatakan : “Apabila Allah hendak melindungi seseorang, maka dibukakan-Nya pintu dzikirnya. Jika kelezatan dzikir telah terasa, maka dibukakan-Nya pintu pendekatan (taqarrub) dan diangkatkan-Nya di atas tauhid (akidah yang teguh), dan diangkatkanNya pula tabir (hijab), sehingga ia mempunyai pandangan tembus (kasyaf). Kemudian dimasukanNya ke dalam darul fardaniah (alam penuh rahasia). Tersingkaplah dinding jalal (kemuliaan) dan „azhimah (kebesaran). Tatkala pandangannya menembus ke alam jalal dan „azhimah, maka tinggallah dia tanpa dia. Pada waktu itu jadilah ia fana beberapa saat, tenggelam dalam menikmati rahasia kebesaran Allah dan terus dilindungi-Nya.” Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq berkata : “Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah SWT. Sungguh ia adalah landasan bagi thariqat itu sendiri. Tidak seorangpun dapat mencapai Allah SWT kecuali dengan terus menerus dzikir kepada-Nya”. Selanjutnya beliau berkata : “Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir

berarti telah dianugerahi tebaran itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat “. Dikatakan dalam Kitab Risalatul-Qusyairiyah : “Dzikir adalah pedang para pencari yang dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju kepada mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah swt dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga “. Ketika Al-Wasithy ditanya tentang dzikir, beliau menjelaskan : “Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalah kan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa “. Dzun Nun Al-Mishry menegaskan : “Seorang yang benar-benar berdzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesutu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu “. Dzikrullah yaitu mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan adalah merupakan tempat persinggahan orang-orang pilihan, yang di sanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka kembali. Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkannya maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senjata yang digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air yang bisa menghilangkan rasa dahaga ditengah perjalanan, merupakan obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Jika seseorang hamba tidak mendapatkannya, maka hatinya akan mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antara diri hamba dengan alam ghaib. Dengan dzikir seseorang dapat menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, sehingga musibah yang menimpa menjadi ringan. Yang pasti dzikir merupakan taman surga dan modal kebahagiaan. Dzikir mengajak hati yang dirundung kepiluan untuk tersenyum gembira dan menghantarkan pelakunya kepada Dzat yang dizikiri yaitu Allah. Dzikir adalah pembersih dan pengasah hati serta obatnya jika hati sakit. Selagi orang yang berdzikir semakin tenggelam dalam dzikirnya, maka cinta dan kerinduannya semakin terpupuk terhadap Dzat yang diingat. Jika ada keselarasan antara hati dan lisan, maka pelakunya akan lalai terhadap segala sesuatu. Sebagai gantinya Allah akan menjaganya dari segala sesuatu. Dengan dzikir, pendengaran menjadi terbuka, lisan tidak kelu dan kegelapan menyingkir dari pandangan. Dengan dzikir,Allah menghiasi lisan orang-orang yang berdzikir, sebagaimana IA menghiasi pandangan orang-orang yang bisa memandang dengan cahaya. Lisan yang lalai seperti mata yang buta, telinga yang tuli dan tangan yang buntung. Dzikir merupakan pintu Allah yang paling lebar dan besar, terbuka diantara Allah dan hamba-Nya, selagi pintu itu tidak ditutup sendiri oleh hamba dengan kelalaiannya. Dengan dzikir, seorang hamba bisa mengalahkan setan, sebagaimana setan yang dapat mengalahkan orang-orang yang lalai dan lupa diri. Dikatakan : “Jika dzikir ada dalam hati, lalu setan mendekatinya, maka dia langsung kalah”. Dzikir merupakan ruh amal-amal yang sholeh. Jika amal terlepas dari dzikir, maka amal itu seperti badan yang tidak memiliki ruh. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa dzikir kepada Allah mempunyai lebih dari seratus faedah, dibawah ini kami cantumkan beberapa faedah berdzikrullah tersebut, diantaranya ; 1. Dzikir menjauhkan diri dari syaithan dan menghancur kan kekuatannya. 2. Dzikir menyebabkan ia dicintai Allah SWT. 3. Dzikir menjauhkan kegelisahan dan kesedihan hati. 4. Dzikir menjadikan hati lapang, gembira dan berseri-seri. 5. Dzikir menguatkan tubuh dan hati. 6. Dzikir menjadikan bercahayanya rumah dan hati. 7. Dzikir dapat menarik rezeki. 8. Orang yang selalu berdzikir akan dipakaikan kepadanya pakaian kehebatan dan kegagahan yaitu orang yang melihat akan merasa gentar dan akan merasakan kesejukan.

9. Dzikir dapat menumbuhkan perasaan cinta kepada Allah, sedangkan cinta kepada Allah ini merupakan ruh Islam dan jiwa Agama, juga sebagai sumber keberhasilan dan kebahagiaan, keduanya akan mudah dicapai oleh orang yang selalu berdzikir. Barangsiapa yang ingin dapat mencintai Allah dengan benar, hendaklah memperbanyak dzikrullah, karena dzikir merupakan pintu cinta kepada Allah. 10. Dengan dzikir, kita akan mampu bermuraqabah yang akan menyampaikan kita kepada derajat ihsan. Orang yang telah mencapai derajat ihsan dalam ibadahnya seakan-akan melihat Allah SWT. 11. Dzikir merupakan sarana untuk kembali kepada Allah yang akan membawa seseorang berserah diri kepada Allah. Sehingga sedikit demi sedikit, dalam segala urusan, Allah akan menjadi tempat perlindungan, rumah, dan benteng baginya. Dalam menghadapi musibah juga akan cendrung berlindung kepada-Nya. 12. Dzikir dapat menyebabkan seseorang dekat kepada Allah. Semakin banyak seseorang mengingat Allah, ia akan semakin dekat kepada Allah Ta‟ala. Semakin lalai seseorang mengingatNya, ia akan semakin jauh dari Allah Ta‟ala. 13. Dzikir merupakan pintu ma‟rifatullah. 14. Dengan berdzikir, kehebatan dan kebesaran Allah akan masuk ke dalam hati, juga sebagai sarana agar bergairah menghadirkan diri di hadapan Allah. 15. Dzikir merupakan penyebab ingatnya seseorang kepada Allah SWT. 16. Dzikir dapat menghidupkan hati. 17. Dzikir merupakan makanan bagi hati dan ruhani. Jika keduanya tidak memperoleh makanan maka keadaannya sebagaimana tubuh yang tidak memperoleh makanan. 18. Dzikir menjauhkan hati dari karat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa segala sesuatu itu akan berkarat atau kotor. Kotoran hati adalah keinginan hawa nafsu dan kelalaian. Keduanya akan sulit dibersihkan kecuali dengan berdzikir. Untuk itu dzikir bermanpaat untuk membersihkannya. 19. Dzikir menjauhkan diri dari kesusahan dan kesalahan. 20. Dzikir dapat menjauhkan diri dari perasaan takut dan was-was. Apabila seseorang dihinggapi kelalaian, ia akan diselubungi perasaan takut dan was-was. Bila ia berdzikir, semuanya itu akan menjauh. 21. Apabila seseorang berdzikir kepada Allah maka empat penjuru „arsy akan turut berdzikir kepada-Nya. 22. Apabila pada waktu senang seseorang berdzikir mengingat Allah SWT, maka Allah akan mengingat nya ketika dalam keadaan susah. 23. Dzikir merupakan sarana untuk menyelamatkan diri dari adzab Allah SWT. 24. Dzikir menyebabkan turunnya sakinah serta rahmat. Para malaikat akan menaungi majelis dzikir. 25. Dengan berdzikir lidah seseorang akan terjauh dari ucapan-ucapan dosa seperti ; ghibah, memaki, berbohong, perkataan kotor, dan perkataan sia-sia. 26. Majelis dzikir adalah majelis malaikat, sedangkan majelis lalai dan sia-sia adalah majelis syaithan. 27. Dengan berdzikir, seseorang akan menjadi baik dan bahagia. Demikian pula orang-orang yang menyertai nya. Sebaliknya, orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan sia-sia adalah orang-orang yang jahat dan celaka, demikian pula orang-orang yang menyertainya. 28. Pada hari kiamat, orang-orang yang selalu berdzikir akan terhindar dari bencana dan penyesalan. Untuk itu disebutkan dalam sebuah hadits bahwa setiap majelis yang di dalamnya tidak ada dzikrullah akan menyebabkan kesusahan dan kerugian pada hari kiamat. 29. Apabila seseorang berdzikir kepada Allah sendirian sehingga menangis, pada hari kiamat nanti, ia akan memperoleh naungan di bawah „arsy Ilahi, ketika seluruh manusia sedang dihisab dan merasakan panas yang sangat menyiksa. 30. Orang yang menyibukkan diri dengan berdzikir akan mendapatkan karunia lebih banyak daripada orang-orang yang berdo‟a, sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Barangsiapa karena sibuk berdzikir sehingga tidak sempat untuk berdo‟a, maka Allah akan memberikan yang lebih baik daripada orang-orang yang berdo‟a “. 31. Meskipun dzikir merupakan ibadah yang paling ringan, tetapi mempunyai fadhilah yang paling utama karena menggerakkan lidah lebih mudah daripada menggerakkan anggota badan lainnya. 32. Dzikrullah merupakan pohon di surga. 33. Nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepada seseorang karena berdzikir tidaklah diberikan karena amal-amal lainnya. Dalam hadits dijelaskan : “Barangsiapa membaca kalimat „Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalahu lahulmulku walahulhamdu wahuwa „alaa kullisyai‟inqadiir‟ sebanyak seratus kali, maka Allah akan memberikan pahala kepadanya seperti

memerdekakan sepuluh hamba sahaya dan dicatatkan di dalam buku amalannya seratus kebajikan, dihapuskan darinya seratus dosa, dipelihara dari godaan syaithan, dan tidak seorangpun yang lebih utama darinya kecuali orang yang amalannya melebihinya”. 34. Seseorang yang berdzikir secara istiqamah akan selamat dari melupakan dirinya yang menyebabkan kecelakaan dunia dan akhirat. Karena melupakan diri sendiri dan tipu-tipuannya berarti melupakan Allah, dan orang yang melupakan Allah niscaya akan memperoleh kerugian. Sebagaimana Allah memperingatkan dalam firman-Nya : “Dan janganlah kamu seperti orangorang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan kamu seperti orang-orang yang lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyir : 19). 35. Dengan berdzikir seseorang dapat senantiasa menca pai kemajuan dan kejayaan, baik ketika ia beristirahat atau ketika berada di pasar, ketika sehat maupun ketika sakit, ketika sibuk mengecap kenikmatan hidup maupun ketika mengalami berbagai kekurangan. Pendek kata, pada setiap saat dan keadaan ia akan memperoleh kejayaan. Tidak ada sesuatupun yang menyebabkan ia mencapai kemajuan secara terus menerus selain dengan berdzikir. Jika hatinya telah bersinar dengan cahaya dzikir, maka dalam setiap keadaan, ia meningkat ke martabat yang sangat tinggi. 36. Nur dzikir senantiasa bersama orang yang berdzikir, baik di dunia maupun di dalam kubur, dan ia membimbing ketika melewati shirath. Pendek kata di manapun berada, ia tidak akan berpisah. Dengan nur tersebut amal perbuatan seseorang akan bercahaya terang benderang sehingga amal perbuatan yang baik dari seseorang itu dibawa naik ke langit, yang didapati padanya cahaya seperti sinar matahari, dan nur seperti itulah yang akan tampak pada wajahnya pada hari kiamat nanti. # Dzikir adalah intisari ilmu tasawwuf, yang diamalkan oleh setiap ahli thariqah. Jika telah terbuka pintu dzikir bagi seseorang, berarti telah terbuka baginya jalan menuju Allah. Barangsiapa telah menuju kepada Allah niscaya ia akan memperoleh semua yang dikehendakinya, karena khazanah Ilahi tidak akan berkurang sedikitpun. # Di hati manusia terdapat bagian yang tidak subur, dan dapat disuburkan dengan berdzikrullah. Apabila dzikir telah menguasai hati, maka yang menjadi subur bukan hati saja, bahkan menjadikan orang yang berdzikir itu hidup dengan sejahtera walaupun ia tidak berharta benda, ia kan menjadi mulia meskipun tidak berkeluarga, dan ia menjadi seorang penguasa meskipun ia tidak mempunyai kerajaan. Sebaliknya orang yang lalai dari berdzikir pasti akan hina walaupun ia berharta, memiliki kaum keluarga, dan kerajaan yang besar. # Dzikir dapat mengumpulkan kembali yang telah bercerai, dan menceraikan yang telah terkumpul, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Yakni, hati manusia yang diliputi berbagai keraguan duka cita, dan kegelisahan, semuanya itu dapat dilenyapkan seluruhnya sehingga akan muncullah ketentraman dan ketenangan jiwa. Hati atau jiwa manusia yang dikuasai perbuatan keji akan dibersihkan. Dan manusia yang selalu digoda dan dikuasai oleh tentara syaithan akan diceraikan darinya, akhirat yang jauh akan didekatkan, dan dunia yang dekat akan dijauhkan dari jiwanya. # Dzikir menggerakkan hati manusia dari tidur dan menyadarkannya dari lalai. Selagi hati dan jiwa manusia tidak sadar, maka selama itulah ia mengalami kerugian demi kerugian. # Dzikir merupakan pohon yang setiap waktu menghasilkan buah ma‟rifat. Menurut istilah para ulama tasawwuf ; pohon itu mendatangkan buah ahwal, dan maqamat. Semakin banyak berdzikir akar pohon itu akan semakin kokoh, semakin akarnya kokoh, pohon itu semakin banyak menghasilkan buah. # Dzikir mendekatkan kepada Dzat yang kepada-Nya ia berdzikir, sehingga orang yang berdzikir akan disertai oleh-Nya, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur‟an : “Sesungguhnya Allah SWT beserta orang-orang yang bertaqwa.” Diterangkan dalam sebuah hadits qudsi : “Aku (Allah) menyertai hamba-Ku selama ia mengingat-Ku.” Penyertaan Allah SWT yang dapat dicapai dengan berdzikir merupakan penyertaan yang tidak ada bandingnya. Hakikat penyertaan itu tidak mungkin dicatat dan tidak mungkin pula dapat dibicarakan. Kelezatannya benar-benar lezat dan arti kata yang sebenarnya, yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang telah mencapainya. „Ya Allah, berikanlah kepadaku barang sedikit darinya.‟ # Dzikir seimbang dengan memerdekakan hamba, seimbang dengan membelanjakan harta, dan seimbang pula dengan berjuang di jalan Allah. # Dzikir merupakan sumber syukur. Barangsiapa yang tidak mengingat Allah, dia tidak dapat bersyukur kepada-Nya. Dalam sebuah hadits diberitakan bahwa Nabi Musa as pernah berkata kepada Allah, “Ya Allah, Engkau telah menganugerahkan kepadaku nikmat yang sangat banyak, maka tunjukkanlah kepadaku cara-cara bersyukur supaya aku senantiasa dapat bersyukur kepada-Mu.” Allah berfirman kepada Musa as, “Semakin banyak kamu berdzikir, maka semakin banyak engkau dapat bersyukur.” # Yang paling mulia diantara orang - orang yang bertaqwa di sisi Allah ialah orang yang

senantiasa sibuk dengan berdzikir karena natijah taqwa adalah surga sedangakan natijah dzikir adalah penyertaan Allah SWT. # Di hati manusia terdapat semacam kekerasan yang tidah dapat berubah menjadi lembut melainkan dengan berdzikir. # Dzikir merupakan obat penyakit hati. # Dzikir merupakan sumber persahabatan dengan Allah, sebaliknya lalai merupakan sumber permusuhan dengan Allah. # Tidak ada sesuatu apapun yang dapat menambah nikmat Allah dan menyelamatkan dari adzabNya selain dzikrullah. # Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada orang-orang yang berdzikir, dan para malaikat-Nya berdo‟a untuk mereka. # Barangsiapa yang ingin menikmati surga, sedangkan ia masih berada di dunia, hendaklah ia menyertai majelis-majelis dzikir, karena majelis-majelis dzikir itu laksana taman-taman surga. # Majelis dzikir merupakan majelis para malaikat. # llah SWT membangga-banggakan orang-orang yang berdzikir di hadapan para malaikat. # Barangsiapa senantiasa berdzikir, ia akan memasuki surga sambil tersenyum-senyum. # Semua amalan diwajibkan semata-mata karena dzikrullah. # Amalan yang paling utama adalah amalan yang disertai dengan berdzikir sebanyak-banyaknya. Puasa yang paling utama adalah puasa yang disertai dengan berdzikir sebanyak-banyaknya. Haji yang paling utama adalah haji yang disertai dengan berdzikir sebanyak-banyaknya. Demikian juga dengan jihad dan amalan-amalan lainnya. # Dzikir merupakan pengganti ibadah-ibadah nafilah, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh Ahmad dari Abu Hurairoh ra. bahwa orang-orang fakir dari kaum Muhajirin telah datang, lalu mengadukan keadaan mereka kepada Rasulullah SAW dengan berkata ; “Ya Rasulullah, saudara kami yang berharta benda telah mencapat derajat yang setinggi-tingginya karena kekayaan mereka. Mereka sholat seperti kami sholat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Tetapi karena kekayaannya, mereka telah melebihi kami dengan mengerjakan haji, umrah, jihad dan sebagainya. Sebagai jawaban, Rasulullah bersabda : “Mahukah kuberitahukan kepada kalian suatu amalan yang dapat mengejar amalan mereka dan dapat melebihi mereka, bahkan orang-orang tidak dapat melebihi kalian selagi mereka tidak beramal seperti kalian ?”Jawab mereka, “Beritahukanlah kepada kami Ya Rasulullah.” Rasulullah SAW bersabda : “Setiap selesai sholat bacalah oleh kalian, Subhaanallah-Alhamdulillah-Allahuakbar sebanyak 33 kali.” Setelah mengamalkan nasihat Rasulullah SAW tersebut, mereka datang lagi kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Saudara-saudara kami yang kaya mendengar tentang apa yang kami lakukan, lalu mereka juga turut mengamalkannya.” Rasulullah SAW menjawab, “Itu adalah karunia dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” # Dzikir merupakan pendorong ibadah-ibadah lainnya. Dengan berdzikir sebanyak-banyaknya, maka ibadah-ibadah lainnya menjadi mudah dan menyenangkan, dan kelezatan ibadah itu dapat benar-benar dirasakan sehingga semua ibadah dapat dikerjakan dengan mudah dan ringan. # Dengan berdzikir, hal-hal yang berat akan menjadi ringan. Setiap kesukaran akan berubah menjadi mudah. Setiap beban akan menjadi ringan, dan semua bencana akan hilang. # Dzikir akan menghindarkan semua bentuk ketakutan dan kebimbangan. Dzikrullah mempunyai daya khusus untuk menciptakan ketentraman dan menghilangkan ketakutan. Ia mempunyai pengaruh istimewa, yakni dengan semakin banyak berdzikir maka akan semakin diperoleh ketentraman dan akan lenyap ketakutan. # Dzikir menimbulkan kekuatan dan tenaga istimewa pada manusia. Dengan kekuatan tersebut, pekerjaan-pekerjaan yang sulit dapat diselesaikan. Siti Fatimah r.ha. putri Rasulullah SAW, pernah mengadukan keadaannya kepada beliau, “Ya Rasulullah berikan kepadaku seorang hamba (pembantu) agar aku dapat menyelesaikan urusan-urusan rumah tangga. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah engkau ucapkan Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahuakbar 34 kali sebelum tidur pada malam hari.” Kemudian, Rasulullah SAW bersabda lagi, “Ini lebih baik bagimu daripada pembantu yang engkau minta itu.” # Pemberes urusan keakhiratan adalah saling mendahu lui antara satu dengan lainnya. Di dalam saling mendahului ini, yang nampak berada di depan adalah orang yang berdzikir. Diriwayatkan dari Umar Khadam Ghufrah, katanya “Apabila amal perbuatan manusia diberi pahala pada hari kiamat, maka sebagian besar manusia akan menyesal sambil berkata, “Alangkah baiknya jika kita dahulu memperbanyak amalan yang ringan dan sangat mudah, yaitu berdzikir.” Di dalam sebuah hadits diberitakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Mereka yang mufarrid telah mendahului.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang mufarrid Ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Mereka yang mengingat Allah sebanyak-banyaknya, karena dzikir meringankan beban mereka.” # Allah SWT sendiri membenarkan dan memuji orang-orang yang berdzikir. Orang-orang yang

dibenarkan oleh Allah SWT tidaklah akan dibangkitkan bersama-sama orang-orang yang dusta. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa apabila seorang hamba mengucap kan Laa ilaaha illallah wallahuakbar maka Allah Swt berfirman, “Benar ucapan hamba-Ku, tiada Tuhan melainkan Aku, dan Akulah Yang Maha Besar.” # Dzikir menyebabkan terbangunnya rumah di surga. Apabila seorang hamba berhenti berdzikir, maka para malaikat berhenti membangun rumah tersebut. Apabila mereka ditanya, “Mengapa kamu berhenti membangun rumah itu ?” Mereka menjawab bahwa biayanya belum datang. Di dalam sebuah hadits lainnya disebutkan bahwa barangsiapa mengucapkan, Subhanallah wabihamdihi Subhanallahil‟adhiim sebanyak tujuh kali niscaya akan membangun satu menara di surga untuknya. # Dzikir merupakan perisai atau penghalang dari neraka jahannam. Barangsiapa yang dimasukkan ke dalam neraka karena amal perbuatannya yang tidak baik, maka dzikirnya itu menjadi penghalang antara dirinya dengan neraka jahannam. Semakain banyak berdzikir, maka semakin kuatlah penghalang itu. # Para malaikat beristighfar untuk orang yang berdzikir. Amr bin “Ash ra. meriwayatkan bahwa apabila seorang hamba mengucapkan, “Subhanallahi wabihamdihi atau Alhamdulillahirabbil‟aalamiin “ maka para malaikat berkata, “Ya Allah, ampunilah dia.” # Jika seorang berdzikir di atas sebuah gunung atau di tanah datar, maka tempat tersebut akan merasa bangga. Di dalam sebuah hadits diberitakan bahwa gunung-gunung tersebut saling bertanya adakah hari ini orang yang berdzikir lewat di atas mereka. Jika dijawab ya ada yang lewat, maka ia merasa gembira dan bangga. # Memperbanyak dzikir merupakan jalan untuk membebaskan diri dari kemunafikan. Menerangkan tanda kemunafikan, Allah SWT berfirman, “Mereka tidak mengingat Allah, melainkan hanya sedikit.” # Dibandingkan amalan-amalan lainnya, dzikir mempunyai kelezatan yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan lainnya. Jika dzikir tidak mempunyai keutamaan selain kelezatan, ini saja sudah memadai. Malik bin Dinar ra. berkata bahwa seseorang tidak akan merasakan kelezatan apapun selain kelezatan berdzikir. # Di dunia, wajah orang yang berdzikir akan tampak gembira, dan akan nampak nur pada hari kiamat. # Barangsiapa mengingat Allah sebanyak-banyaknya ketika dalam perjalanan, ketika di rumah, dan ketika di kampung, maka ia akan mempunyai pembela yang sangat banyak di yaumil-hisab kelak. # Selain lidah sibuk berdzikir, selama itulah ia terpelihara dari bicara sia-sia, berdusta, ,mengumpat, dan sebagainya. Karena lidah memang tidak bisa diam, kalau ia tidak sibuk berdzikir, tentu ia akan sibuk dengan kesia-siaan. Demikian juga halnya ketika hati tidak sibuk mencintai Khaliq, tentu ia sibuk mencintai makhluk. # Syaithan merupakan musuh manusia yang nyata. Ia menjerumuskan manusia dalam kebimbangan dan kegelisahan dengan berbagai cara. Ia juga mengerumuni manusia dari berbagai penjuru. Orang yang keadaan sedemikian rupa, senantiasa berada di tengah-tengah lingkungan musuh yang selalu berusaha mencelakakannya. Maka, tidak ada jalan lain untuk mematahkan serangan musuh itu melainkan dengan dzikrullah. b. Keutamaan Menghadiri Majelis Dzikir Majelis Dzikir sangat dianjurkankan dan disenangai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang menghadiri majelis dzikir (khalaqah/lingkaran dzikir) maka akan mendapat beberapa keutamaan sebagaimana dijelaskan di dalam hadits-hadits di bawah ini : Diterima dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu lewat ditaman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkrama !” Tanya mereka : “Apakah itu taman-taman surga, ya Rasulullah ?” Ujar Nabi SAW : “Ialah lingkaran-lingkaran dzikir (halaqah dzikir), karena Allah Ta‟ala mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya, mereka akan duduk mengelilinginya.” Diriwayatkan oleh Muslim dari Mu‟awiyah katanya : Rasulullah SAW pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya : “Kenapa kamu duduk di sini?” Ujar mereka : “Maksud kami duduk di sini ialah untuk dzikir kepada Allah

Ta‟ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kami dengan menganut agama Islam.” Sabda Nabi SAW : “Demi Allah, tak salah sekali-kali ! Tuan-tuan duduk hanyalah untuk itu ! Dan saya tidaklah minta tuan-tuan bersumpah karena menaruh curiga kepada tuan-tuan, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah Ta‟ala telah membanggakan tuan-tuan terhadap Malaikat.” Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Sa‟id Khudri dan Abu Hurairah ra bahwa mereka mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada suatu kaumpun yang duduk berzikir kepada Allah Ta‟ala kecuali mereka akan dikelilingi oleh Malaikat, akan diliputi rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah kepada siapa-siapa yang berada didekat-Nya.” 4. Adab dan Tata Tertib Berzikir Friday, November 12, 2010 8:45:16 AM 4. Adab dan Tata Tertib Berzikir Imam Ghazali mengatakan ada empat (4) peringkat zikir. a. Dzikir hanya dengan lisan b. Dzikir dengan lisan disertai hati secara dipaksa-paksakan (takalluf) c. Dzikir dengan hati dan hadirnya pada lisan tanpa dipaksa-paksakan d. Dzikir yang benar-benar terhunjam kedalam hati sanubari sehingga orang yang berdzikir merasa tenggelam didalamnya. Selanjutnya Imam Ghazali menjelaskan bahwa dzikir peringkat pertama sedikit manfaatnya lemah pengaruh dan bekasnya itu adalah dzikir dengan lisan tetapi hatinya lengah. Sudah tentu dzikir hanya dengan lisan tanpa disertai hati amat sedikit kegunaannya dan manfaatnya. Akan tetapi itu masih lebih baik daripada meninggalkan dzikir sama sekali. Dengan demikian orang yang berdzikir dengan lisannya harus berusaha keras menghadirkan hatinya bersama lisannya yang sedang mengucapkan kalimah dzikir. Yang dimaksud dengan dzikir lisan ialah mengucapkan kalimah suci dengan lidah seperti mengucapkan : Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Ilaaha Illallah, Allahu Akbar, Laa haula walaa quwwata illa billah, membaca Asma‟ul Husna, Tilawah Al-Qur‟an dan sebagainya yang bersifat memuji kebesaran Allah. Sedangkan dzikir hati ialah tafakkur mengingat Allah, merenungi rahasia ciptaan-Nya secara mendalam dan merenungi tentang dzat dan sifat Allah Yang Maha Mulia, atau dalam hati selalu menyebut Allah (dzikir Ismuzat). Orang yang berdzikir hendaknya mengindahkan tatakrama atau adab dalam keadaan yang sebaikbaiknya lahir maupun bathin. Adapun adab-adab dzikir secara lahir adalah sebagai berikut : 1. Seyogianya seseorang yang berdzikir itu hendaknya berkelakuan yang baik. Jika ia dalam duduk hendaknya ia menghadap kiblat dengan sikap khusyu‟, menghina kan diri kepada Allah, tenang dan menundukkan kepala. 2. Tempat berdzikir itu harus suci dan bersih terlepas dari segala yang membimbangkan perasaan. 3. Hendaknya orang yang berdzikir itu membersihkan mulutnya sebelum ia mulai berdzikir. Namun secara umum dibolehkan kita berdzikir dari segala keadaan sebagaimana tertera dalam Al-Qur‟an : “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali – Imran : 191) Dan Firman Allah :

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisaa‟:103) Dengan demikian kita dibolehkan berdzikir dalam segala rupa keadaan kita, yakni baik dikala kita sedang duduk, dikala sedang berdiri dan sedang berjalan. Hanya dalam beberapa hal saja yang tiada disukai kita untuk berdzikir yaitu dikala sedang di WC, sedang berjima‟, sedang mendengarkan khutbah dan sedang dalam keadaan sangat mengantuk. Sedangkan adab-adab dzikir secara bathin adalah ; Seseorang yang berdzikir hendaknya ia menghadirkan hatinya dan menghayati makna dzikir itu dikala lidahnya menyebut kalimah dzikir. Berkata Al-Asnawy : “Barang siapa yang berdzikir tetapi lalai dari memperhatikan makna tiadalah dipahalai dzikirnya itu”. Didalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziah, dijelaskan bahwa : Ada tiga derajat dzikir, yaitu : 1. Dzikir secara zhahir, berupa pujian, doa atau pengawasan. Yang dimaksud zhahir adalah apa yang disampaikan lisan dan sesuai dengan suara hati. Jadi tidak sekedar dzikir sebatas lisan semata. Sedangkan pujian seperti Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahuakbar. Do‟a seperti yang banyak disebutkan dalam Al-Qur‟an maupun AsSunnah, dan hal ini sangat banyak jenisnya. Sedangkan pengawasan, seperti ucapan “Allah besertaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku”, dan lain sebagainya yang dapat menguatkan kebersamaannya dengan Allah, yang intinya mengandung pengawasan terhadap kemaslahatan hati, menjaga adab bersama Allah, mewaspadai kelalaian dan berlindung dari syetan serta hawa nafsu. 2. Dzikir tersembunyi, yaitu membebaskan diri dari segala belenggu, berada bersama Allah dan hati yang senantiasa bermunajat kepada Rabb-nya. Yang dimaksud tersembunyi disini ialah dzikir hanya dengan hati. Ini merupakan buah dari dzikir yang pertama. Sedangkan maksud membebaskan diri dari segala belenggu artinya membebaskan diri dari lalai dan lupa, memebebaskan diri dari tabir penghalang antara hati dan Allah. Berada bersama Allah artinya seakan-akan dapat melihat Allah. Senantiasa bermunajat artinya menjadikan hati bermunajat, terkadang dengan cara merendahkan diri, terkadang dengan cara memuji, mengagungkan dan lain sebagainya dari bermacam-macam munajat yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau dengan hati. Ini merupakan keadaan setiap orang yang jatuh cinta dan yang dicintainya. 3. Dzikir yang hakiki, yaitu pengingatan Allah terhadap diri hamba, membebaskan diri dari kesaksian dzikirmu dan mengetahui bualan orang yang berdzikir bahwa ia berada dalam dzikir. Dzikir dalam derajat ini disebut yang hakiki, karena dzikir itu dinisbatkan kepada Allah. Sedangkan dzikir yang dinisbatkan kepada hamba, maka itu bukan yang hakiki. Allah yang mengingat hamba-Nya merupakan dzikir (pengingatan) yang hakiki. Ini merupakan kesaksian dzikir Allah terhadap hamba-Nya dan Dia menyebutnya diantara orang-orang yang layak untuk diingat, lalu menjadikannya orang yang senantiasa berdzikir kepada-Nya. Jadi pada hakikatnya dia orang yang berdzikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena Allah lah yang menjadikan dirinya orang yang berdzikir kepada-Nya, lalu Allah pun mengingatnya. Orang yang berada dalam dzikir lalu dia mempersaksikan terhadap dirinya bahwa dia orang yang berdzikir, merupakan bualan. Padahal dia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat. Bualan ini tidak hilang dari dirinya kecuali jika dia meniadakan kesaksian terhadap dzikirnya. Didalam ajaran thariqat, Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Khani Al-Khalidi Naqsyabandi dalam kitabnya “Al-Bahjatus Saniah”, lebih jauh memperinci adab berzikir itu yang disesuaikan dengan pendapat Imam Sya‟rani dalam kitabnya “Nafahatu Wa Adabuz Dzikri” sebagai berikut : Adapun adab berdzikir itu 20 (dua puluh) macam terdiri dari ; 5 (lima) macam sebelum berdzikir, 12 (dua

belas) macam sedang berdzikir dan 3 (tiga) macam sesudah berdzikir. 5 (lima) macam adab sebelum berdzikir itu adalah : 1. Taubat dari semua kesalahan baik perkataan maupun perbuatan dan kehendak. Barang siapa tidak tabuat, niscaya tiada sesuatu pun yang datang kepadanya. 2. Mandi dan berwudhu. Abu Yazid Busthami bila hendak berdzikir, lebih dahulu berwudhu dan membasuh mulutnya dengan air mawar. 3. Diam dengan perhatian terpusat kepada Allah, sambil mengucap “Laa Ilaaha Illallallah”. 4. Sejak mulai berdzikir, hatinya terus-menerus berhubung an dengan Syeikh (Mursidnya). 5. Berhubungan rapat terus-menerus dengan syeikh itu pada hakikatnya adalah lanjutan dari berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., karena Syeikh harus dianggap washilah (perantara) diantaranya dengan Nabi Muhammad SAW. 12 (dua belas) macam adab ketika berdzikir adalah ; 1. Duduk disuatu tempat atau ruangan yang suci seperti duduk dalam shalat. 2. Meletakkan kedua telapak tangan keatas dua paha. 3. Mewangikan pakaian dan tempat dengan minyak wangi. 4. Memakai pakaian yang bersih dan halal. 5. Memilih tempat yang agak gelap dan sunyi. 6. Memejamkan dua mata, karena dengan mata terpejam itu, tertutup jalan-jalan panca indra lahir, sehingga mengakibatkan terbukanya panca indra hati. 7. Menghayalkan rupa Syekh dihadapannya. Adab inilah yang paling keras tuntutannya dikalangan mereka. 8. Benar dalam dzikir, baik sir maupun dzikir jahar. 9. Ikhlas, yakni membersihkan amal dari campuran dengan sesuatu. 10. Tidak berdzikir menurut sesuka hati, tetapi hendaklah mengamalkan lafaz dzikiir yang diajarkan Syeikh. 11. Menghadirkan makna dzikir dalam hati, sesuai dengan tingkatannya dalam musyahadah, dan melaporkan sesuatu perasaan atau pengalaman selama berdzikir kepada Syeikh. 12. Meniadakan (menafikan) semua yang ada ini dalam Qalbu, kecuali Allah, karena ia tidak menyukai sesuatu selain Allah dalam hati hamba-Nya. Sedangkan 3 (tiga) macam adab setelah berdzikir adalah sebagai berikut : 1. Diam, dalam keadaan khusyu‟ dan tawadhu‟ (rendah hati) menunggu atau mengintip sesuatu yang akan tiba, sebagai akibat dari dzikir itu. 2. Menghela nafas beberapa kali, supaya hati bersinar dan hijab cepat terbuka. Menarik nafas itu dapat memutus kan lintasan setan, dan dilakukan tujuh kali. Setiap kali, tarikan nafas itu lebih lama dari biasanya. 3. Tidak boleh minum selesai berdzikir, karena minum sesudah berdzikir itu dapat memadamkan hati. B. D O „ A , 1. Pengertian Doa, 2. Perintah-Perintah Do‟a dalam Al Qur‟an dan Al Hadits, 3. Adab dan Tata Tertib Berdo'a, 4. Friday, November 12, 2010 8:51:09 AM B. D O „ A, 1. Pengertian Doa, 4., 3. Adab dan Tata Tertib Berdo'a, 2. Perintah-Perintah Do‟a dalam Al Qur‟an dan Allah memerintahkan manusia agar selalu berdo‟a dan merendahkan diri pada-Nya serta menjanjikan akan mengabulkan do‟a dan mewujudkan apa yang diminta itu. Kata-kata „do‟a‟ banyak sekali terdapat didalam Al-Qur‟an dan masing-masing mempunyai makna tertentu. Pertama : dengan makna ibadat, seperti dalam firman Allah ; “Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, yaitu kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepada engkau dan tidak kuasa pula mendatangkan mudharat kepada engkau”. (Q. S. Yunus : 106) Yang dimaksudkan dengan “berdoa” dalam ayat ini ialah beribadat (mengadakan penyembahan)

yakni janganlah kamu beribadah (menyembah) selain daripada Allah yaitu sesuatu yang tidak kuasa memberikan manfaat kepadamu dan tidak kuasa pula mendatangkan mudharat kepadamu. Kedua : dengan makna Istighatsah (memohon bantuan dan pertolongan). seperti dalam firman Allah ; ”…. dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q. S. Al-Baqarah : 23) Yang dimaksud dengan “doa” dalam ayat ini ialah Istighatsah (meminta bantuan atau pertolongan). Ketiga : dengan makna permintaan atau permohonan, seperti dalam firman Allah ; ”…. berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (Q. S. Al-Mu‟min : 60) Yang dimaksud dengan perkataan “doa” (ud‟unii) dalam ayat ini ialah memohon atau meminta. Keempat : dengan makna percakapan, seperti dalam firman Allah ; ” Do`a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahum-ma”. (Q. S. Yunus : 10) Yang dimaksud dengan perkataan “doa” dalam ayat ini ialah percakapan mereka didalam surga. Kelima : dengan makna memuji, seperti dalam firman Allah ; ” Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman”. (Q. S. Al-Isra‟ : 110) Yang dimaksud dengan “doa” dalam ayat ini ialah memuji yaitu memuji Allah atau memuji ArRahman. Berdasarkan pengertian atau makna dari doa yang tertera diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa doa itu ialah „Melahirkan kehinaan dan kerendahan diri serta menyata kan keinginan dan ketundukan kepada Allah SWT.‟ 2. Perintah-Perintah Do‟a dalam Al Qur‟an dan Al Hadits a. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ash-habus Sunan dari Nu‟man bin Basyir bahwa Rasulullah SAW. bersabda ; “Sesungguhnya berdo‟a itu merupakan ibadah,” lalu dibacanya ayat Al-Qur‟an : “Berdo‟alah kamu kepada Ku niscaya Ku kabulkan do‟a mu itu, Orang-orang yang menyombongkan diri hingga tak hendak beribadah kepada Ku sungguh mereka itu akan masuk neraka dalam keadaan terhina”. (Q.S. Al-Mu'min : 60) b. Diriwayatkan oleh Abdur Razak dari Hasan ra. : “ Bahwa para sahabat Rasulullah SAW. bertanya kepadanya : Dimana Tuhan kita itu ?, Maka Allahpun menurunkan ayat : “Dan seandainya hamba-hamba Ku bertanya tentang Aku kepadamu, maka sesungguhnya Aku ini Maha Dekat. Aku akan mengabulkan permohonan dari orang yang berdo‟a, jika ia berdo‟a kepada Ku”(Q.S. Al-Baqarah : 186) c. Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW. bersabda : “Tidak satupun yang lebih dihargai oleh Allah dari pada do‟a”. d. Diriwayatkan Turmudzi dari padanya lagi bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Siapa yang ingin do‟anya dikabulkan Allah Ta‟ala dalam bahaya dan kesusahan, hendaklah ia banyak berdo‟a dalam kesenangan”.

e. Diriwayatkan dalam hadits qudsi oleh Abu Ya‟la dari Anas ra, Rasulullah SAW bersabda dari Allah SWT : “Ada empat perkara : salah satu diantaranya adalah buat Ku, satu lagi buatmu, satu lagi antara Ku denganmu, dan satu lagi antaramu dengan hamba-hamba Ku. Adapun yang buat Ku ialah bahwa kamu tidak akan mempersekutukan Ku dengan sesuatupun juga. Dan yang buatmu, apa juga kebajikan yang kamu lakukan, akan Ku berikan balasan. Mengenai yang antara Aku dengan mu, ialah darimu berdo‟a, sedang dari Ku mengabulkannya. Kemudian mengenai perkara antara mu dengan hamba-hamba Ku bahwa kamu akan menyukai buat mereka, apa yang kamu sukai buat dirimu sendiri “. f. Allah berfirman dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh „Askari dari Abu Hurairah ra.: “Barangsiapa yang tidak berdo‟a kepada Ku, maka Aku akan murka kepadanya”. g. Diterima dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Tidak mempan sikap berhati-hati terhadap takdir, sedang dia itu akan memberi manfaat, baik terhadap hal-hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan sungguh, bala atau malapetaka itu turun, lalu disambut oleh do‟a, maka bergulatlah kedua mereka sampai hari kiamat”. (H.R. Bazzar, Thabrani, juga oleh Hakim yang menyatakan isnadnya sah) h. Diterima dari Salman Farisi bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Tidak dapat menolak qadha kecuali do‟a, dan tidak bisa menambah umur kecuali kebajikan”.(H.R. Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadis hasan lagi gharib). i. Diriwayatkan oleh Abu „Uwanah dan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Jika salah seorang diantaramu berdo‟a, hendaklah ia menunjukkan besarnya keinginan buat memperolehnya, karena tidak satupun yang dianggap besar oleh Allah”. Dari beberapa ayat Al-Qur‟an dan hadits diatas jelaslah bahwa do‟a merupakan suatu ibadah yang sangat dianjurkan dan disukai oleh Allah dan Rasul–Nya. Sampai Allah murka dan menganggap sombong orang yang tidak mau berdo‟a. Orang beriman yang senang berdo‟a dia akan mendapatkan beberapa faedah atau manfaat diantaranya : „Imannya semakin kuat, hatinya menjadi tenang dan jernih, akan terjauh dari sikap putus asa, mengurangi gundah gulana, menggiatkan bekerja, menambah kegemaran beribadah dan beramal soleh, memudahkan rezeki, membuat adab dan akhlaknya menjadi halus, membuat dirinya menjadi sabar, menghilangkan was-was dalam hati, juga sebagai obat dari segala macam penyakit, dan meresapkan rasa keTuhanan karena seseorang yang berdo‟a merasa berkomunikasi dengan Tuhannya.‟ 3. Adab dan Tata Tertib Berdo'a Berdo‟a itu mempunyai adab dan tata tertib yang harus diperhatikan oleh orang yang akan melaksanakannya. Diantara adab dan tata tertib berdo‟a adalah sebagai berikut : a. Mencari yang halal ( memakan dan menggunakan barang yang halal dan menjauhi yang haram ) Diriwayatkan oleh Hafizh bin Mardawaih dari Ibnu Abbas ra, katanya : “Saya membaca ayat di hadapan Nabi SAW yang artinya : “Hai manusia makanlah barang-barang halal lagi baik yang terdapat dimuka bumi”. Tiba-tiba berdirilah Sa‟ad Abi Waqqash, lalu katanya : “Ya Rasulullah! Tolong anda do‟akan kepada Allah, agar saya dijadikan orang yang selalu dikabulkan do‟anya”. Ujar Nabi : “Hai Sa‟ad! Jagalah soal makananmu, tentu engkau akan menjadi orang yang terkabul do‟anya! Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada dalam genggamannya! Jika

seorang laki-laki memasukkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima do‟anya selama empat puluh hari. Dan siapa juga hamba yang dagingnya tumbuh dari makanan haram atau riba, maka neraka lebih layak untuk melayaninya!” Dan dalam musnad Imam Ahmad dari Muslim terdapat riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Hai manusia! Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan tak hendak menerima kecuali yang baik. Dan Allah telah menitahkan kaum Mukminin melakukan apa-apa yang telah dititahkan-Nya kepada para Mursalin, firman-Nya : ”Hai para Rasul ! Makanlah olehmu makanan yang baik, dan beramal solehlah! Sesungguh, terhadap apa juga yang kamu lakukan, Aku Maha Mengetahui !”.(Q.S. Al-Mukminin : 51) Dan firman-Nya lagi : “Hai orang-orang yang beriman ! Makanlah mana-mana rezeki yang baik yang telah Kami berikan padamu !”. (Q.S. Al-Baqarah : 172) Kemudian disebutnya perihal seorang laki-laki yang telah berkelana jauh, dengan rambutnya yang kusut masai dan pakaian penuh debu, sedang makanannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan dibesarkan dengan barang haram. Walaupun ia menadahkan tangannya kelangit sambil berdo‟a : “Yaa Tuhan, Yaa Tuhan….! Bagaimanakah Tuhan akan dapat mengabul kan do‟anya itu !”. b. Menghadap kiblat: Rasulullah SAW. pergi keluar buat shalat istisqa‟ (shalat minta hujan), maka beliau berdo‟a dan memohon kepada Allah supaya turun hujan sambil mengadap ke kiblat. c. Memperhatikan saat-saat yang tepat dan utama Seperti pada hari Arafah, bulan Ramadhan, hari Jum‟at, sepertiga terakhir di malam hari, waktu sahur, ketika sedang sujud, ketika turun hujan, antara adzan dan qomat, selesai habis sholat fardhu, saat mulai pertempuran, ketika dalam ketakutan atau sedang beriba hati, dan lain-lain. 1. Diterima dari Abu Umamah ra. : “Seseorang bertanya : “Ya Rasulullah, do‟a manakah yang lebih didengar Allah?” Ujar Nabi : “Do‟a ditengah-tengah akhir malam, dan selesai shalat – shalat fardhu”. (Riwayat Turmudzi dengan sanad yang sah). 2. Dan diterima dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Jarak yang paling dekat diantara hamba dengan Tuhannya ialah ketika ia sedang sujud. Maka perbanyaklah do‟a ketika itu, karena besar kemungkinan akan dikabulkan”. (Hadits Riwayat Muslim). d. Mengangkat kedua tangan setentang kedua bahu: Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu meminta hendaklah dengan mengangkat kedua tangamu setentang kedua bahumu atau kira-kira sententangnya, dan jika istighfar ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo‟a dengan melepas jari-jemari tangan.” Dan diriwayatkan dari Malik bin Yasar ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Jika kamu meminta kepada Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya” Sedang dari Salman ra, sabda Nabi SAW. : “Sesungguhnya Tuhanmu Yang Maha Berkah dan Maha Tinggi adalah Maha Hidup lagi Maha Murah, ia merasa malu terhadap hamba Nya jika ia menadahkan tangan kepada Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa.” e. Memulainya dengan memuji Allah, memuliakan dan menyanjung Nya, serta bershalawat kepada Nabi SAW.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai, juga oleh Turmudzi yang menyatakan sahnya, dari Fudhalah bin „Ubeid ra, : “Bahwa Rasulullah SAW. mendengar seorang laki-laki berdo‟a selesai shalatnya, tanpa membesarkan Allah dan mengucapkan shalawat Nabi, maka sabdanya : “Orang ini terlalu tergesa-gesa”. Kemudian dipanggilnya orang itu, dan ia (Rasulullah SAW) berkata kepadanya, juga kepada orang-orang lain: “Jika salah seorang diantaramu berdo‟a, hendaklah dimulainya dengan membesarkan Tuhannya yang Maha Agung dan Maha Mulia itu serta menyanjung-Nya, lalu mengucapkan shalawat atas Nabi SAW., serta setelah itu barulah ia berdo‟a meminta apa yang diingininya”. f. Memusatkan perhatian, menyatakan kerendahan diri dan ketergantungan kepada Allah Yang Maha Mulia, serta menyederhanakan tinggi suara, antara bisik-bisik dan jahar Firman Allah Ta‟ala : “Dan janganlah kamu keraskan suaramu waktu berdo‟a, jangan pula berbisik-bisik dengan suara halus, tetapi tempuhlah jalan tengah antara kedua itu “. (Q.S. Al-Isra‟: 110) Dan Firman-Nya pula, ”Bermohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan tidak mengeraskan suara ! Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melewati batas“.(Q.S.Al-A‟raf : 55) Berkata Ibnu Jureir : “Tadharru‟ maksudnya ialah merendahkan diri dan pasrah menta‟ati-Nya. Sedang “khufyah” ialah dengan hati yang khusyu‟ dan keyakinan yang teguh mengenai ke-Esaan dan ke-Tuhanan-Nya dalam hubungan antaramu dengan Nya, jadi bukan dengan suara keras karena riya‟. Selanjutnya dijelaskan dalam sebuah hadits yang diterima dari Abu Musa Asy‟ari bahwa ketika Nabi SAW. mendengar orang-orang mendo‟a dengan suara keras, beliaupun bersabda : “ Hai manusia! Berdo‟alah dengan suara perlahan, karena kamu tidaklah menyeru orang yang tuli ataupun berada di tempat yang kamu seru itu ialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, dan tempat kamu bermohon itu lebih dekat lagi kepada salah seorangmu dari leher kendaraanya ! Hai Abdullah bin Qeis ! Maukah kamu kutunjuki sebuah kalimat yang merupakan salah satu perbendaharaan surga ? yaitu : “Laa haula walaa quwwata illaabillaah”. Dan diriwayatkan pula oleh Ahmad dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Hati itu merupakan gudang-gudang simpanan. Dan sebagiannya lebih tahan lagi simpanannya (ingatannya) dari yang lain. Maka jika kamu hai manusia memohon kepada Allah, maka mohonlah dengan hati yang penuh keyakinan akan dikabulkan-Nya. Karena Allah tidak akan mengabulkan do‟a dari seorang hamba yang hatinya kosong dari ingatan dan perhatian.” g. Hendaklah do‟a itu tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturahim Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa‟id Khudri ra, bahwa Nabi SAW. bersabda : “Tidak seorang Muslimpun yang berdo‟a kepada Allah „azza wa jalla, sedang do‟anya itu tikak mengandung dosa atau bermaksud hendak memutuskan silaturrahim, kecuali akan diberi Allah salah satu diantara tiga perkara : Pertama, akan dikabulkan Nya do‟a itu dengan segera. Kedua, adakalanya ditangguhkan Nya untuk menjadi simpanannya di akhirat kelak. Dan Ketiga, mungkin dengan menghindarkan orang itu dari bahaya yang sebanding dengan apa yang dimintanya”. Tanya mereka : “Bagaimana kalau kami banyak berdo‟a?” Ujar Nabi : “Allah akan lebih memperbanyak lagi”. h. Tidak menganggap lambat akan dikabulkan Tuhan Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW. bersabda : “Tentu do‟a seseorang akan dikabulkan Allah, selama orang itu tidak gegabah mengatakan : “Saya telah berdo‟a, tetapi do‟a itu tidak juga dikabulkan Tuhan”.

i. Berdo‟a dengan keinginan yang pasti agar dikabulkan Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Janganlah salah seorang diantaramu mengatakan : “Ya Allah ampunilah daku jika Engkau mengingininya, ya Allah, beri rahmatlah daku jika Engkau mengingininya” dengan tujuan untuk memperkuat permohonannya itu, karena Allah Ta‟ala, tak seorangpun yang dapat memaksa Nya”. j. Memilih kalimat-kalimat yang mencakup makna yang luas. Umpamanya “Rabbana atina fid dunya hasanah, wafil akhirati hasanah, waqina adzaba nar”, (Ya Tuhan kami, berilah kami di dunia kebaikan, dan juga diakhirat nanti, dan lindungilah kiranya kami dari siksa neraka). Nabi SAW. memandang utama berdo‟a dengan kalimat-kalimat yang mengandung arti yang luas, dan tidak hendak menggunakan yang lain daripada itu. Dalam Sunan Ibnu Majah terdapat : “Bahwa seorang laki-laki datang menemui Nabi SAW, lalu tanyanya : “Ya Rasulullah, manakah do‟a yang lebih utama?”. Ujar Nabi : “Mohonlah kepada Tuhanmu kema‟afan dan keselamatan baik di dunia maupun diakhirat.”. Kemudian orang itu kembali datang kepada Nabi, pada hari kedua dan ketiga, juga buat menanyakan soal ini, yang oleh Nabi tetap diberikan jawaban seperti pada hari pertama. Lalu sabda Nabi pula : “Seandainya kamu diberi kema‟afan dan keselamatan di dunia dan akhirat, maka sungguh, kamu telah beruntung”. Juga dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Tak ada sebuah do‟a pun yang diucapkan oleh hamba, yang lebih utama dari : “Allahuma inni as‟alukal mu‟afata fid dun-ya wal akhirah”. (Ya Allah, saya memohon pada Mu keselamatan, baik didunia akhirat!). k. Menghindari yang tak baik terhadap diri, keluarga dan harta benda sendiri. Diterima dari Jabir ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Jangalah kamu berdo‟a buruk terhadap dirimu, begitupun terhadap anak-anakmu, terhadap pelayan-pelayan dan harta bendamu! jangan sampai nanti do‟amu itu bertepatan dengan suatu saat dimana Allah bisa memenuhi permohonan, hingga do‟a burukmu itu akan benar-benar terkabul !”. l. Mengulangi do‟a sampai tiga kali. Diterima dari Abdullah bin Mas‟ud ra, : “Bahwa Rasulullah SAW. senang sekali berdo‟a dan istighfar tiga kali”. (H.R. Abu Daud) m. Agar mulai dengan diri pribadi, bila berdo‟a buat orang lain. Firman Allah Ta‟ala : “ Ya Tuhan kami ! berilah keampunan bagi kami, dan bagi saudara-saudara kami yang telah lebih dulu beriman daripada kami”.(Q.S. Al-Hasyr : 10). Dan diterima dari Ubai bin Ka‟ab ra, katanya : “Bila Rasulullah SAW. teringat akan seseorang lalu mendo‟akannya maka lebih dulu dimulainya dengan dirinya sendiri “. (H.R. Turmudzi dengan sanad yang sah) n. Menyapu muka dengan kedua belah telapak tangan setelah selesai berdo‟a, setelah memuji dan mengagung kan Allah, dan setelah mengucapkan shalawat Nabi. Mengenai menyapu muka dengan kedua belah tangan ini, ada riwayat yang diterima dari berbagai jalan, tetapi semuanya lemah. Hanya Hafizh mengisyaratkan bahwa keseluruhannya itu dapat meningkatkan hadits tersebut ke derajat hadits hasan.

Adapun adab berdo‟a menurut Imam Ghazali ada 10 (sepuluh) diantaranya : A. Dilakukan pada waktu yang mulia, seperti : hari „Arafah, bulan Ramadhan waktu sahur, dan hari Jum‟at, sepertiga akhir malam dan pada waktu sahur. B. Dilakukan dalam keadaan yang khidmat, seperti : waktu sujud, ketika hati tenang dan bersih dari gangguan syetan. C. Mengahadap kiblat dan mengangkat tangan. D. Merendahkan suara sekedar dapat didengar sendiri atau orang yang ada di sisinya. E. memakai bahsa yang sederhana yang menunjukkan kerendahan hati. Lebih diutamakan do‟ado‟a yang berasal dari Nabi SAW. atau sahabat atau tabi‟in yakni do‟a yang Ma‟tsur. F. Merendahkan diri dan menundukkan hati (khusyu‟ dan khudlu‟) G. Meyakini do‟anya pasti dikabulkan Allah, tidak kecewa atau gelisah apabila do‟anya belum dikabulkan. H. Mengulangi do‟anya sampai tiga kali, dengan penuh yakin. I. Memulai do‟a dengan menyebut Nama Allah, Alhamdulillah, dan shalawat atas Nabi SAW. J. Melaksanakan adab bathin, supaya diperkenankan do‟anya, yaitu melakukan taubat sebelum berdo‟a, mengahadpkan diri sepenuhnya pada Allah, makan minum, dan berpakaian dari yang halal, dan tidak berdo‟a yang mustahil atau mencelakakan orang, kecuali orang dhalim. Berkata Imam An-Nawawy : “Seyogianya do‟a itu dimulai dengan kalimah tahmid (puji-pujian) dan disudahi dengan kalimah tahmid juga.” 4. Waktu – Waktu Mustajab untuk berdo‟a Berkata Ibnu „Atha‟ : “Do‟a itu mempunyai beberapa rukun (sendi) yang menyebabkan teguh dan kuat berdirinya, mempunyai beberapa sayap yang menyebabkan ia naik ke langit tinggi, mempunyai beberapa sebab yang menyebabkan diterimanya. Maka jika do‟a-do‟a itu dilekatkan di atas rukun-rukun (sendi-sendinya), niscaya kokoh dan teguhlah berdirinya. Jika ia mempunyai sayap, maka terbanglah ia ke langit menuju tujuannya dan jika ada sebabnya, maka diterimalah dia.” Menurut Ibnu „Atha‟, rukun-rukun do‟a itu, ialah : kehadiran hati bila berdo‟a, serta utnduk menghinakan diri kepada Allah. Sayap-sayapnya, ialah : berdo‟a dengan sepenuh kemauan dan keikhlasan yang timbul dari lubuk jiwa dan bertepatan dengan waktunya. Sebab ia diterima, ialah : bershalawat kepada Nabi sebelum berdo‟a. Waktu dan tempat secara khusus yang dianjurkan untuk berdo‟a, ialah : a. Ketika turun hujan. b. Ketika akan memulai sholat dan sesudahnya. c. Ketika menghadapi barisan musuh dalam medan peperangan. d. Di tengah malam. e. Diantara adzan dan iqamat f. Ketika i‟tidal yang akhir dalam sholat

g. Ketika sujud dalam shoalat h. Ketika khatam (tammat) membaca Al-Qur‟an 30 juz i. Sepanjang malam, utama sekali sepertiga yang akhir dan waktu sahur. j. Sepanjang hari Jum‟at, karena mengharap bersua dengan saat ijabah (saat diperkenankan do‟a) yang terletak antara terbit fajar hingga terbenam matahari pada hari jum‟at itu. k. Antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Ashar dengan Maghrib. Bersabda Rasulullah SAW. : a. “Tuhan kita turun ke langit dunia, ketika malam telah tinggal sepertiga yang akhir. Maka berkatalah Tuhan : Siapa-siapa mendo‟a kepada Ku, maka Aku perkenankan do‟anya. Siapa yang minta ampun kepada Ku, maka Aku ampuni dia” .(H.R. Bukhari dan Muslim) b. “Pada waktu malam, sesungguhnya ada suatu saat, dimana jika seseorang Muslim memohon kepada Allah sesuatu kebajikan dunia dan akhirat ketika itu, niscaya Allah mengabulkannya.” (H.R. Muslim) c. “Berdo‟alah di saat do‟a itu diperkenankan Tuhan, Yaitu : disaat berjumpa pasukan-pasukan tentara (bertempur), ketika hendak mendirikan sembahyang dan ketika turun hujan”.(H.R. AsySyafi‟ie) d. “Tiada ditolak sesuatu do‟a yang dimohonkan antara adzan dan iqamat”.(H.R.Turmudzi) 5. Orang-Orang yang Tidak Ditolak Doanya dan Cara Allah Mengabulkan Doa Friday, November 12, 2010 8:52:05 AM 5. Orang-Orang yang Tidak Ditolak Doanya dan Cara a. Orang – Orang yang tidak ditolak do‟anya Didalam beberapa hadits diterangkan secara konkrit tentang orang-orang yang dikabulkan Allah do‟anya (yang tidak tertolak do‟anya) diantaranya : 1. Ibu Bapak untuk kebaikan dan keselamatan anak-anaknya, lebih-lebih ibu. Sering kali seorang ibu melontarkan kata-kata yang bernada do‟a, mendo‟akan kecelakaan buat anak-anak sehingga sangat besar akibatnya bagi anak. 2. Orang yang sedang berpuasa diwaktu akan berbuka. 3. Kepala negara (Pemimpin) yang adil, didasarkan kepada pengorbanan untuk kebahagian dan kemakmuran rakyatnya. 4. Orang yang teraniaya (madhlum) dalam segala bentuk kedhaliman (kesewenang-wenangan) dan perkosaan. 5. Musafir dengan niat dan tujuan yang baik, atau orang yang berdo‟a dari jauh mendo‟akan seseorang. 6. Anak shaleh yang mendo‟akan kedua orang tuanya yang telah meninggal. b. Cara Allah mengabulkan Do‟a Do‟a itu kadang-kadang dikabulkan oleh Allah dengan memberikan apa yang kita mohonkan kepadaNya, dan kadang-kadang dengan menolak suatu bencana yang bakal menimpa kita, atau ditunda pemberiannya hingga diakhirat, itu semua menurut kehendak dan kebijaksanaan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya. Bersabda Rasulullah SAW. : “Tidak ada seseorang Muslim di muka bumi ini yang mendo‟a memohonkan sesuatu kepada Allah, melainkan Allah mengabulkannya sebagaimana yang dimohonkannya, atau dipalingkan Allah daripadanya sesuatu kecelakaan selama ia tidak mendo‟akan sesuatu yang mengandung dosa atau memutuskan silaturrahmi. Maka berkata seseorang ; Kalau begitu baiklah kami memperbanyak do‟a. Jawab Nabi : Allah menerima do‟a hamba Nya lebih banyak lagi. (H.R. Turmudzi).

Namun yang perlu kita sadari bahwa salah satu yang dapat membinasakan keampuhan do‟a hingga akhirnya tidak terkabulkan adalah jika seorang hamba minta cepat-cepat diperkenankan dan menganggap lambat dikabulkannya dengan berkeluh kesah, hingga akhirnya ia tidak berdo‟a. Orang seperti ini adalah bagai orang menyemaikan benih atau menanamnya. Setiap saat ia rawat dan siram, lalu karena ia tidak sabar menunggu tumbuh dengan sempurna, ia tinggalkan dan tidak diperlukannya lagi. Dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Salah seorang dari kamu akan dikabulkan do‟anya selama ia tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata : “Aku sudah berdo‟a akan tetapi tidak dikabulkan”. Dan Dalam Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Allah senantiasa memperkenankan do‟a seorang hamba selama do‟a tersebut tidak mengandung dosa atau memutusukan silaturrahim, dan selama tidak minta cepat-cepat diperkenankan”. Lalu, beliau ditanya orang, “apa maksud minta cepat-cepat ?” Jawab beliau, “Umpamanya seorang berkata dalam do‟anya, “Aku telah berdo‟a, aku telah berdo‟a, tetapi aku belum melihat do‟aku diperkenankan, lalu ia putus asa dan berhenti berdo‟a”. Dan dalam Musnad Ahmad disebutkan sebuah hadits diriwayatkan Anas dari Rasulullah SAW. bahwa beliau bersabda : “Senantiasa seorang hamba berada dalam kebaikan selama ia tidak minta cepat-cepat”. para sahbat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana minta cepat-cepat itu?” Jawab beliau : “Yaitu dengan mengatakan “Aku telah berdo‟a kepada Tuhanku, tetapi Dia tidak (belum) juga mengabulkan do‟aku”. 6. Doa dan Ikhtiar Friday, November 12, 2010 8:52:41 AM 6. Doa dan Ikhtiar Orang yang berdoa, adalah orang yang memohon sesuatu yang ia hajati serta berhasrat benar untuk memperolehnya. Sesuatu yang dihajati itu adakalanya merupakan hal-hal yang mustahil terjadi dan adakalanya pula berupa hal-hal yang mungkin terjadi. Hal-hal yang mustahil terjadi, sudah barang tentu tidak boleh kita mohonkan, karena tidak akan diterima dan tidak akan terwujud . Adapun hal-hal yang mungkin terjadi, maka ia mempunyai sebab dan illat akan terjadinya. Akan tetapi dengan tidak berusaha mewujudkan sebab-sebab dan illat-illat itu, samalah halnya dengan seseorang yang hendak sampai ke suatu tujuan, tetapi tidak berusaha melangkahkan kakinya melalui jalan yang harus dilaluinya. Dengan demikian, semakin jelaslah bagi kita, bahwa berdoa itu, ialah : “Memohon kepada Allah semoga Ia menyampaikan maksud kita, seraya kita melaksanakan dan mengusahakan dengan segenap tenaga yang ada, akan sebab-sebab terjadinya sesuatu yang kita hajatkan (doakan) itu.” Doa yang seperti itu, ialah kepercayaan yang sangat teguh, serta harapan yang sangat dalam, bahwa Allah akan menjauhkan segala halangan-halangan yang akan menghalangi tercapainya maksud kita dan hanya Allah yang memberikan petunjuk-petunjuk tentang sebab-sebab yang nyata dan yang tersembunyi yang tidak jelas kelihatan oleh kita. Demikianlah harus kita perbuat, berdo‟a disamping berusaha, selama sebab-sebab masih dapat kita usahakan. Adapun ketika kita telah lemah dan tidak sanggup lagi mengusahakan sebab, barulah kita berserah diri (bertawakkal) kepada Allah Yang Maha Kuasa. Kesimpulannya, hendaklah kita berdoa sambil berusaha, selama jalan usaha itu masih terbentang di hadapan kita dan dapat dilalui. C. I S T I G H F A R, 1. Istighfar Suatu Rangka Iman, 2. Pengertian Istighfar, 3. Letaknya Istighfar, 4. Tempat dan Waktu isti'f Friday, November 12, 2010 8:55:37 AM 2. Pengertian Istighfar, 1. Istighfar Suatu Rangka Iman, 4. Tempat dan Waktu isti'f, 3. Letaknya Istighfar, C. I S T I G H F A R

1. Istighfar Suatu Rangka Iman Untuk mengetahui kedudukan istighfar (memohon ampun dari dosa) dalam rangkaian pembinaan Iman dan Islam, kita perhatikan firman Allah SWT di bawah ini : “Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteriisteri yang disucikan serta keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdo`a: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka, (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta`at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (Q.S. Ali Imran: 15-17) Ayat ini tegas benar menyatakan sifat-sifat orang yang taqwa kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Mereka senantiasa mempergunakan waktu sahur untuk memohon kepada Allah semoga dosa-dosanya diampuni Allah. Maka dengan ayat ini nyatalah bahwa istighfar (memohon ampun dari segala dosa), termasuk salah satu rangka dari rangkaian Iman dan Islam, yang wajib ditegakkan oleh seluruh ummat. Memang Tuhan telah memerintahkan supaya para hamba beristighfar. Diantaranya perintah-Nya yang tersebut dalam ayat-ayat di bawah ini : “Dan mohonlah ampunan kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q. S. Al-Muzammil: 20) “maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (Q. S. An-Nashr:3) Kedua ayat tersebut, menegaskan bahwa di antara tugas yang diperintahkan kepada ummat untuk melaksanakannya dengan sempurna dan sebaik-baiknya, ialah tugas “beristighfar” (memohon ampun kepada Allah dari segala dosa). Sebenarnya memohon ampun itu adalah suatu hal yang tiada perlu kiranya untuk diperintahkan, karena tiap-tiap orang yang berdosa, dengan sendirinya, harus merasa perlu untuk beristighfar itu. Akan tetapi boleh jadi oleh karena sebahagian manusia mungkin sanksi tentang boleh atau tidaknya beristighfar itu, maka untuk menghilangkan kesanksian itu, Allah memerintahkannya dengan tegas sekali. Karena itu berbahagialah kiranya orang yang dapat mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. 2. Pengertian Istighfar Istighfar itu ialah : “Menundukkan jiwa, hati dan pikiran kepada Allah seraya memohon ampun dari segala dosa.” Demikianlah pengertian istighfar. Maka dengan memperhatikan pengertian istighfar itu, nyatalah bagi kita bahwa hanya semata-mata menyebut dengan lisan kalimahkalimah Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah tidaklah ada gunanya, jika tidak disertai oleh hati dan pikiran yang bulat hendak beroleh ampunan dari Allah. Oleh karena itu, hendaklah istighfar itu dilakukan bersama-sama oleh lisan yang mengucapkannya dan oleh jiwa yang benarbenar tunduk dan harap akan beroleh ampunan. 3. Letaknya Istighfar Istighfar itu letaknya sesudah bertaubat. Oleh karena itu hendaklah seseorang yang hendak memohon ampun dosanya, melaksanakan lebih dahulu faktor-faktor yang tersebut di bawah ini yaitu : a. Mencabut diri dari maksiat (meninggalkan maksiat). b. Menyesali perbuatan maksiat yang telah terlanjur dikerjakan. c. Bercita-cita tidak akan kembali melakukannya. Sesudah yang tersebut itu dikerjakan dengan sejujurnya, barulah ia mempergunakan kesempatan istighfar itu. Allah berfirman :

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Q.S. Thaahaa: 82) 4. Tempat dan Waktu Beristighfar Rasulullah SAW telah menunjukkan kepada kita tempat-tempat dan masa-masa beristighfar. Maka seyognyalah kita menjaga tempat-tempat dan masa-masa itu, semoga apabila kita beristighfar, diperkenankan Allah juga hendaknya. Maka tempat-tempat dan masa-masa istighfar itu, ialah sebagai diterangkan di bawah ini : a. Sepanjang hari, sepanjang malam. Rasulullah SAW bersabda : “Bertaubatlah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya aku sendiri bertaubat kepada-Nya tiap-tiap hari seratus kali.” b. Sesudah mengerjakan suatu dosa. Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah ada seseorang hamba yang ddosa, kemudian ia segera berwudhu‟ sebaik-baiknya, sesudah itu mengerjakan sembahyang dua rakaat kemudian ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatan dosanya itu melainkan Allah akan mengampuninya.” (H. R. Abu Daud) c. Ketika hendak meninggalkan suatu majelis. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa duduk di dalam suatu majelis, dan terjadi di dalamnya kesibukan-kesibukan pembicaraan, lalu sebelum ia bangun hendak meninggalkan majelis itu ia membaca : “Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu anla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika”. (Maha Suci Engkau wahai Tuhanku, seraya memuji Engkau, aku mengakui bahwa tak ada Tuhan yang sebenarnya berhak disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada Engkau dan aku bertobat kepada Engkau), niscaya Allah menutup dosanya yang terjadi di dalam majelis itu.” (H. R. At-Turmudzi) d. Di kala sahur. Rasulullah SAW bersabda : “Tuhan kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam, yaitu waktu sepertiga yang akhir dari malam, seraya berfirman : Siapakah yang akan berdoa niscaya Aku perkenankan dan siapakah yang akan meminta, niscaya Aku memberinya dan siapakah yang akan meminta ampun niscaya Aku ampuni ?” (H. R. Muslim) e. Di kala hendak tidur. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membaca Astaghfirullaha„lladzi laa ilaha illa huwa‟l haiyu„l qayyuum wa atuubu ilaihi. (Aku memohon ampun kepada Allah, yang tidak ada Tuhan selain-Nya, lagi berdiri sendiri dan aku bertobat kepada-Nya), tiga kali, niscaya diampunilah segala dosa-dosanya.” (H. R. At Turmudzi) f. Disaat keluar dari WC. Disaat keluar dari WC, Rasulullah SAW selalu membaca Ghufraanaka (Aku memohon ampunan Engkau wahai Tuhanku). (H. R. Ibnu Majah) g. Pada permulaan wudhu‟ atau di pertengahannya. h. Setelah selesai berwudhu‟. i. Ketika terbenam matahari. j. Ketika masuk ke dalam masjid. k. Ketika keluar dari masjid.

l. Sesudah bertakbiratu‟l ihram. m. Ketika ruku‟, sujud, i‟tidal, duduk antara dua sujud, dan sesudah tasyahud akhir. n. Sesudah memberi salam di akhir sholat. o. Ketika sholat jenazah. Yaitu memohon ampun untuk jenazah. p. Sesudah menguburkan mayat. Yaitu memohon ampun untuk mayat yang telah dikuburkan itu. Rasulullah SAW bersabda : “Mohonlah ampun kepada Allah untuk saudaramu yang telah dikuburkan ini dan mohonlah pula keteguhan dalam menjawab soal yang ditanyakan kepadanya karena dia sekarang sedang ditanyai.” (H. R. Abu Daud) q. Ketika berjumpa dengan teman sejawat. Rasulullah SAW bersabda : “Apabila berjumpa dua orang Muslim, kemudian keduanya berjabat tangan, sama memuji Allah dan sama memohon ampun kepada Allah, niscaya diampuni Tuhan kedua-duanya.” “Apabila engkau berjumpa dengan seseorang yang baru pulang dari haji, ucapkanlah salam kepadanya dan jabatlah tangannya, kemudian mintalah kepadanya supaya ia memohon ampun untukmu kepada Allah sebelum ia masuk ke rumahnya, maka sesungguhnya permohonannya itu akan dikabulkan Tuhan.” (H. R. Abu Daud) r. Ketika gerhana matahari. Rasulullah SAW bersabda : “Maka apabila kamu melihat gerhana, segeralah kamu menyebut nama Allah, berdoa kepada-Nya dan memohon ampun.” (H. R. Bukhary) s. Di akhir khutbah. t. Ketika ditimpa kegundahan dan kegelisahan. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membiasakan beristighfar kepada Allah, maka Allah melapangkan kesempatan mereka dan melenyapkan kegelisahan mereka.” (H. R. Abu Daud dan Ibnu Majah) u. Ketika minta hujan. Firman Allah SWT : “maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun--, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Q.S. Nuh: 10-12) 5. Kalimah-Kalimah Istighfar Di antara bentuk-bentuk kalimah istighfar yang sering diucapkan sebagai berikut : a. Astaghfirullah, Astaghfirullah (Saya memohon ampun kepada Allah, saya memohon ampun kepada Allah)”. b. Astaghfirullahal‟adhim (Saya mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung)”. c. Astaghfirullahal‟adhim wa atuubu ilaih (Saya mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung dan bertobat kepada-Nya)”. d. Astaghfirullahal‟adhim minkulli dzanbin wa atuubu ilaih (Saya mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung dari segala dosa dan bertobat kepada-Nya)”.

e. Astaghfirullahal‟adhim alladzii laa ila ha illa huwal hayyuul qayyuum wa atuubu ilaih (Saya mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung yang tiada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri dan saya bertobat kepada-Nya)”. f. Allahummaghfiratuka awsa‟u min dzunuubi wa rahmatuka arjaa min „amalii (Wahai Tuhanku, ampunan Engkau sesungguhnya lebih luas dari dosa-dosaku, dan rahmat Engkau lebih kuharapkan dari amalku sendiri).” g. Rabbighfirlii wa tub „alayya innaka antatawwaabur rahiim (Wahai Tuhanku, ampunilah kiranya aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkaulah Tuhan yang maha menerima taubat lagi maha pengasih).” h. Allahumma anta Rabbi Laa ilaaha illa anta khalaqtanii wa ana abduka wa ana „aala ahdika wa wa‟dika – Mastatho‟tu A-„uudzubika minsyarrimaa shona‟tu abuu-ulaka bini‟matika „alayya wa abuu-„u bidzambii faghfirlii fainnahu Laa yaghfirudz-dzunuu-ba illa anta (Wahai Tuhanku, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak kusembah kecuali hanya Engkau sendiri. Telah Engkau jadikan aku dan aku ini adalah hamba-Mu, dan aku ini senantiasa di dalam genggaman dan ketetapan-Mu. Tidak adalah kesanggupan sedikit juapun padaku, aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan-kejahatan apa yang telah kulakukan. Aku menyadari akan segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan aku tahu pula akan dosaku, maka ampunilah kiranya aku, karena sesungguhnya tiadalah yang mengampuni dosaku itu hanya Engkau.” Kalimat istighfar pada point h disebut oleh Rasulullah sebagai Penghulu Istighfar (Sayyidul Istighfar). Itulah beberapa bentuk kalimat istighfar namun masih banyak lagi yang lainnya. 6. Keutamaan Istighfar Agar para ummat gemar untuk beristighfar, maka Allah telah menerangkan fadhilah (keutamaankeutamaan) istighfar itu di dalam beberapa ayat-ayat Al-Qur‟an : “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. “ (Q.S. Huud: 3) “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Q.S. Ali „Imran: 135) “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nisaa‟: 110). Dari ayat-ayat tersebut di atas, nyatalah bagi kita bahwa Allah akan memberikan kenikmatan bagi orang-orang yang suka memohon ampun kepada Allah terhadap segala dosanya. Dan diantara sifat-sifat orang Mu‟min yang terpuji, yang dapat juga kita kutip dari ayat-ayat itu adalah segera mengingat Allah jika pada suatu waktu terperosok ke dalam perbautan dosa dan tidak membiarkan diri terlalu lama terapung-apung di dalamnya, tetapi segera memohon ampunan kepada-Nya. Dan dengan ayat-ayat itu Allah menerangkan juga bahwa Dia bersedia menerima permohonan hamba-hamba-Nya itu. Kita perhatikan pula pesan-pesan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan istighfar ini : a. “Barangsiapa memperbanyak istighfar, niscaya Allah melepaskan tiap-tiap kegundahan mereka, melepaskan tiap-tiap kesempitan mereka dan memberinya rezki secara tak terdugaduga.” (H. R. Abu Daud). b. “Bahwasanya orang Mu‟min apabila berdosa dengan sesuatu dosa, timbullah suatu titik hitam

di hatinya. Jika ia tobat, menjauhkan diri dari dosa itu seraya memohon ampun, maka licinlah hatinya itu kembali. Tetapi jika ia menambah dosa-dosanya, hatinyapun bertambah hitam hingga seluruhnya menjadi gelap. Itulah yang menutupi hati, telah diterangkan Allah di dalam kitab-Nya : Tidak, sekali-kali tidak, sebenarnya hati mereka telah ditutupi oleh dosa-dosa yang mereka lakukan.” (H. R. an Nasaiy) c. “Bahwasanya hatiku sering benar tertutup : karena itu aku selalu memohon ampun kepada Allah setiap hari seratus kali.” (H. R. Muslim) d. “Apabila berdosa seseorang hamba, lalu segera mengucapkan : Allahummaghfirlii (Wahai Tuhanku, ampunilah kiranya dosaku), berkatalah Allah : Hambaku telah berdosa, tapi ia tahu bahwa Tuhannya akan menyiksanya lantaran dosa dan memberi ampun terhadap dosanya itu. Hambaku berbuatlah engkau apa yang engkau kehendaki dari amalan-amalan yang baik, Aku telah mengampuni dosamu.” (H. R. Al Bukhary Muslim) Dari sekumpulan hadits mengenai soal istighfar dapat diambil kesimpulan, bahwa faedah-faedah istighfar adalah sebagai berikut : 1. Memperoleh keutamaan dari pada Allah dan anugerah-Nya. 2. Meruntuhkan tipu-daya iblis dan menghancurkan kesesatan-kesesatan yang disuruhkannya. 3. Menegaskan bahwa tiap-tiap sesuatu itu hanya hasil dari iradat Allah jua. 4. Menawarkan hati yang gundah karena dosa. 5. Menghilangkan kesusahan, meluaskan rezeki dan memenuhi hajat. 6. Memperoleh bagian yang tertentu dari pada Allah, lantaran beristighfar itu. 7. Mensucikan diri dari kesalahan. 8. Mencegah malaikat menulis kesalahan. Apabila seseorang hamba berdosa, berhentilah malaikat seketika dari menulis kesalahan itu di dalam buku catatan amalan orang, menanti-nanti kalau-kalau orang itu segera beristighfar ketika itu juga. Maka jika benar yang berdosa itu beristighfar, tiadalah jadi ditulis dosanya itu. 9. Membersihkan hati dari lalai dan melicinkan hati dari kelupaan. 10. Mendekatkan diri kepada Allah. 11. Mewujudkan kemuliaan Allah dan menyeru-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna. 12. Mengkafarahkan sepuluh dosa. 13. Menjadi sebab diterima tobat dan memperoleh “husnul khatimah”. 14. Memperoleh keselamatan kesejahteraan. 15. Istighfar anak kepada orang tuanya akan mengangkat derajat orang tuanya ke dalam surga. Rasulullah SAW bersabda : “Bahwasanya Allah mengangkat derajat seseorang hamba-Nya di dalam surga, maka si hamba itu bertanya : dari manakah saya memperoleh derajat ini, ya Tuhanku ? Allah menjawab : “Derajat ini kamu peroleh dari istighfar yang dilakukan oleh anakmu.” (H.R. Ahmad) Demikianlah faedah-faedah istighfar yang telah diterangkan oleh beberapa hadits Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman : “Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Q.S.Thaahaa:123–127) Disukai mengulang-ulangi istighfar tiga kali, sebagaimana seperti doa. Diberitakan oleh Ibnu Mas‟ud ujarnya : “Adalah Nabi SAW suka sekali mengulang-ulangi istighfar dan doanya, tiga kali tiga kali.” (H. R. Abu Daud)

7. Istighfar 14 (Empat Belas) Tempat Friday, November 12, 2010 9:00:54 AM 7. Istighfar 14 (Empat Belas) Tempat Di dalam ajaran thariqah kita akan mengenal istilah Istighfar 14 (empat belas) Tempat yaitu istighfar yang dikhususkan pada empat belas tempat lahir dan batin pada diri manusia yang terdiri dari 7 (tujuh) tempat lahir yaitu : Mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, syahwat dan perut dan 7 (tujuh) tempat batin yaitu : 1) Latifatul Qalby letaknya berada dua jari di bawah susu kiri, di sinilah letak sifat-sifat kemusyrikan, kekafiran, ketahyulan, dan sifat-sifat iblis. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi Iman, Islam, Ihsan, dan Ma‟rifat. 2) Latifatur-Roh letaknya berada dua jari di bawah susu kanan, disinilah letak sifat binatang jinak (bahimiyah) yaitu sifat-sifat menuruti hawa nafsu. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan membuang sifat-sifat tersebut di atas sehingga hidupnya tidak menuruti kehendak hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan namun selalu berada di dalam ketaatan kepada Allah SWT. 3) Latifatus-Sirri letaknya berada dua jari di atas susu kiri, disinilah letak sifat binatang buas (syabiyah) yaitu sifat dhalim, pemarah, pendendam. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat kasih sayang dan ramah tamah. 4) Latifatul-Khafi letaknya berada dua jari di atas susu kanan, disinilah letak sifat-sifat pendengki, khianat (sifat syaithaniah). Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat syukur dan sabar. 5) Latifatul-Akhfa letaknya berada di tengah-tengah dada, disinilah letak sifat-sifat rabbaniyah, yaitu sifat-sifat riya‟, sombong, membanggakan diri, memamerkan kebaikan diri (takabur, ujub, sum-a). Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifatsifat ikhlas, khusyu‟, dan tawadhu‟. 6) Latifatun-Nafsu Natiqo letaknya berada antara dua kening, disinilah letak “nafsu amarah” yaitu nafsu yang selalu mendorong kepada kejahatan. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat tentram dan pikiran tenang. 7) Latifatul-Kullu Jasad yang mengendarai seluruh tubuh jasmani, disinilah letaknya sifat jahil (bodoh) dan ghaflah (malas beribadah). Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi ilmu dan amal. Adapun cara beristighfar untuk ke-14 (empat belas) tempat sebagaimana tersebut diatas yaitu dengan cara membaca “Astaghfirullahal‟adhiim min kulli dzan bin wa-atuubu ilaih” kepada masing-masing tempat baik lahir maupun bathin sambil menghayati keluarnya kotoran-kotoran dosa yang berada pada tempat tersebut. Kalau di dalam bimbingan dzikir yang dilaksanakan di Majelis Ta‟lim dan Zikir Nur Al-Mu‟min setelah membaca 14 istighfar tersebut di atas selanjutnya ditutup dengan membaca “Sayyidul Istighfar” atau Penghulu Istighfar sebagai berikut : “Allahumma anta Rabbi Laa ilaaha illa anta khalaqtanii wa ana abduka wa ana „aala ahdika wa wa‟dika – Mastatho‟tu A-„uudzubika minsyarrimaa shona‟tu abuu-ulaka bini‟ma tika „alayya wa abuu-„u bidzambii faghfirlii fainnahu Laa yaghfirudz-dzunuu-ba illa anta”) Artinya : “Yaa Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak kusembah kecuali hanya Engkau sendiri. Telah Engkau jadikan aku dan aku ini adalah hamba-Mu, dan berusaha sekuat tenaga untuk setia memegangangjanji („ahad)-Mu.Aku berlindung kepada-Mu daripada kejahatan yang terlanjur yang telah aku lakukan. Aku menyadari akan segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan aku tahu pula akan dosaku, maka ampunilah kiranya aku, karena sesungguhnya tiadalah yang mengampuni dosaku itu hanya Engkau.”) Untuk lebih jelas mengenai Istighfar Empat Belas Tempat lihat gambar di bawah ini . . . . !

D. S H A L A W A T 1. Shalawat adalah bagian dari Keimanan, 2. Pengertian Shalawat, 3. Fungsi Bershalawat, 4. Pendapat tambahan sayidina Saturday, January 8, 2011 8:54:30 AM 4. Pendapat tambahan sayidina, D. S H A L A W A T 1. Shalawat adalah bagian dari , 2. Pengertian Shalawat, 3. Fungsi Bershalawat Agar kita mengetahui dengan terang dan pasti apakah kedudukan “shalawat” adalah bagian daripada keimanan, perhatikanlah ayat-ayat Allah yang termaktub dalam Al-Qur‟an yang disebutkan di bawah ini : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56) Sabda Rasulullah SAW : “Bershalawatlah kamu kepada-Ku, karena shalawatmu itu menjadi zakat penghening jiwa pembersih dosa) untukmu.” (H.R. Ibnu Murdaweh, Al-Jami‟) Dari firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW di atas menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa bershalawat untuk Nabi adalah salah satu bagian dari keimanan yang wajib disempurnakan oleh segala kaum Muslimin dengan sepenuh hatinya. Abu Hurairah ra berkata : “Saya mendengar Nabi SAW bersabda : Janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kubur dan janganlah kamu menjadikan kuburku sebagai persidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada.” (H.R. An Nasaiy, Abu Dawud dan Ahmad serta dishahihkan oleh An Nawawi) Hadits ini menyatakan bahwasanya Nabi menyuruh kita bershalawat untuknya serta menyatakan bahwa shalawat kita itu sampai kepadanya dimana saja kita berada. Selain dari itu Nabi melarang kita mengosongkan rumah kita dari shalawat dan zikir, sebagaimana Nabi melarang kita menjadikan kuburnya tempat berkumpul dan bersuka ria apabila kita menziarahinya, karena shalawat kita sampai kepadanya di mana saja kita membacanya. Maka sudah terang bahwa shalawat adalah bagian dari agama yang merupakan ibadah, hendaklah kita para ummat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah SAW sendiri, ditempat-tempat yang dikehendaki oleh syara‟ dan di waktu-waktu yang perlu kita bershalawat, baik yang khusus maupun yang umum. Perintah ayat yang tersebut di atas, dikuatkan lagi oleh dua buah hadits yang telah kita sebutkan diatas, sesudah ayat itu. Diterangkan oleh Abu Dzar Al Harawy, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra‟ dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya‟ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya‟ban dinamai dengan “Syahrush Shalati” karena dalam bulan itulah turunnya surah Al-Ahzab ayat 56. 2. Pengertian Shalawat “Shalawat”, berarti “doa, memberi berkah, dan ibadah.” Maka shalawat Allah kepada hamba-Nya dibagi dua : khusus dan umum. Shalawat khusus, ialah shalawat Allah kepada Rasul-Nya, Nabi-nabi-Nya, istimewa shalawat-Nya

kepada Nabi Muhammad SAW. Shalawat umum ialah shalawat Allah kepada hamba-Nya yang mu‟min. Sesudah itu haruslah diketahui arti perkataan “Shalawat Allah kepada Muhammad SAW”, RasulNya yang penghabisan, ialah “memuji Muhammad, melahirkan keutamaan dan kemuliaannya, serta memuliakan dan mendekatkan Muhammad itu kepada diri-Nya.” Adapun pengertian kita “bershalawat kepada Nabi”, ialah : “Mengakui kerasulannya serta memohon kepada Allah semoga Allah memberikan keutamaan dan kemuliaannya.” Maka setelah memperhatikan makna shalawat dan kewajiban kita bershalawat kepada Nabi, kita memperoleh pengertian bahwa kita berkewajiban untuk berusaha mengembangkan cita-cita Muhammad agar agama Islam tersebar merata ke segala pelosok alam. Karena itu, kita tidak dipandang telah bershalawat dengan sepenuhnya sebelum kita disamping menyebut lafaz shalawat, melancarkan pula usaha-usaha pengembangan agama Islam. Tegasnya, di samping kita mengucapkan shalawat kita wajib untuk berusaha sekuat tenaga sesuai dengan kemampuan kita menyebarkan agama Islam di dunia ini. Demikian juga pengertian shalawat malaikat kepada Nabi. Yakni, memohon kepada Allah supaya Allah mencurahkan perhatian-Nya kepada Nabi (kepada perkembangan agama), agar meratai alam semesta yang luas ini. Berkata Al-Hulaimy dalam Asy-Syu‟ab : “Makna shalawat kepada Nabi ialah membesarkannya. Karena itu, arti Allahumma shalli „ala Muhammadin, ialah Allahumma‟adhim Muhammadan (Ya Tuhanku, besarkan dan muliakanlah kiranya akan Muhammad), dengan menambah berkembangnya agama yang dibawanya, dengan meninggalkan sebutannya, dengan mengekalkan syariatnya di dunia dan dengan menerima syafa‟atnya terhadap ummatnya, serta memberikan washilah dan maqam mahmuda kepadanya di akhirat. Tegasnya, pengertian “shallu „alaihi (bershawalatlah kepadanya),” ialah : “Ud‟u rabbakum bishshalati „alaihi (mohonlah kepada Tuhanmu supaya melimpahkan shalawat kepadanya).” 3. Fungsi Bershalawat Pengarang Syarah Dalaa‟il menukil pernyataan yang diberikan oleh Qadhi „Iyadh di dalam kitab Asy-Syifa, mengatakan : “Maksud pembacaan shalawat dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk : a. Bertabarruk (memohon keberkatan), sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Setiap perbutan penting yang tidak dimulai dengan menyeut nama Allah dan bershalawat kepadaku, niscaya perbuatan tersebut kurang sempurna.” Tentang maksud hadits ini, sebagian ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits dari salah seorang sahabat, Abu Saad ra, bahwa makna ayat tersebut adalah : “Tiadalah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau (Muhammad) pun disebut pula bersama-Ku.” b. Memenuhi sebagian hak Rasulullah SAW, sebab beliau adalah perantara antara Allah SWT dan hamba-hamba-Nya. Semua nikmat yang diterima oleh mereka, termasuk nikmat terbesar berupa hidayah kepada Islam, adalah dengan perantaraan dan melalui Rasulullah SAW. Di dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda : “Belumlah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” c. Memenuhi perintah Allah SWT yang dituangkan-Nya di dalam firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56) 4. Perbedaan Pendapat tentang Tambahan kata “Sayyidina” pada Shalawat

Al-Madju Al-Lughawiy menyebutkan di dalam kitab Al-Qaulul Badi‟ sebagai berikut : “Kebanyakan orang mengucapkan shalawat dengan tambahan kata “Sayyidina” sebelum nama Baginda Nabi SAW, seperti „Allahumma shalli „alaa Sayyidina Muhammad‟. “Dalam kaitan ini perlu dijelaskan, pembacaan shalawat dengan tambahan kata “Sayyidina” itu tidak dilakukan di dalam shalat, karena mengikuti lafaz yang telah disebutkan dalam haditshadits yang sahih. Sedangkan di luar shalat, Rasulullah SAW mengingkari menyebut namanya dengan tambahan “sayyidina” itu. Hal ini mungkin karena dua sebab : pertama karena tawadhu (kerendahan hati) beliau, dan kedua karena beliau tidak mau dipuji atau disanjung secara langsung, atau karena sebab-sebab yang lain. Padahal, Nabi SAW sendiri telah menyatakan di dalam salah satu haditsnya, yang artinya : „Aku adalah sayyid (penghulu) manusia.‟ Dan sabdanya tentang Hasan, cucunya : „Sesungguhnya puteraku ini adalah sayyid‟. Dan sabda baginda untuk Saad bin Mu‟az ra : „Berdirilah untuk Sayyid kalian !‟ “Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan dengan jelas tentang kebolehan hal tersebut, sedangkan mengenai larangan atas hal itu justru masih memerlukan dalil.” Dan Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdussalam, ia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan shalawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunnah). Rasulullah SAW bersabda : “Katakanlah oleh kalian : Allahumma shalli „alaa Muhammad.” Dan sahabat Ibnu Mas‟ud mengemukakan sebuah hadits yang bunyinya : “Perbaguslah shalawat kepada Nabimu.” Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar sepakat, bahwa penambahan lafaz “sayyidina” dalam shalawat atas Nabi SAW, baik dalam shalat maupun di luar shalat, hukumnya sunnah. Dan ketika Imam Suyuthi ditanya orang tentang hadits yang artinya : “Janganlah kamu mensayyid-kanaku dalam shalat !”, beliau menjawab : “Sebenarnya Rasulullah tidak menambahkan kata „sayyidina‟ ketika mengajarkan shalawat kepada para sahabatnya, disebabkan oleh ketidaksukaan beliau pada kemegahan. Karena itulah dalam salah satu hadits, beliau mengatakan : „Aku adalah sayyid (penghulu) manusia, dan tidak angkuh.‟ “Tetapi kita, sebagai ummatnya, wajib menghormati dan mengagungkan beliau. Hal itu telah diajarkan Allah kepada kita dalam firman-Nya, yang melarang kita menyebut Rasulullah SAW dengan nama saja, yakni : “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (Q.S. An-Nuur: 63) D. S H A L A W A T 5. Sebab-Sebab yang menjadikan pahala Shalawat berlipat ganda, 6. Keutamaan Shalawat,7. Waktu-Waktu yang baik untuk shlaw Saturday, January 8, 2011 9:00:34 AM 7. Waktu-Waktu yang baik untuk shlaw, 6. Keutamaan Shalawat, D. S H A L A W A T 5. SebabSebab yang menjadikan Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya‟-nya menga-takan: “Sesungguhnya berlipatgandanya pahala shalawat atas Nabi SAW itu adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya tercakup : a. Pembaharuan iman kepada Allah. b. Pembaharuan iman kepada Rasul. c. Pengagungan terhadap Rasul. d. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya.

e. Pembaharuan iman kepada Hari Akhir dan berbagai kemuliaan. f. Dzikrullah. g. Menyebut orang-orang yang saleh. h. Menampakkah kasih sayang kepada mereka. i. Bersungguh-sungguh dan tadharru‟ dalam berdoa. j. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah. 5. Sebab-Sebab yang menjadikan pahala Shalawat berlipat ganda Inilah sepuluh kebaikan selain dari kebaikan yang disebutkan dalam syariat, bahwa setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh ganjaran, sedang satu kejahatan hanya dibalas dengan satu balasan saja.” Diantara karunia Allah yang diberikan-Nya kepada Nabi-Nya itu adalah menggabungkan dzikir kepada-Nya, dengan dzikir kepada Nabi-Nya di dalam dua kalimat syahadat. Dan menjadikan ketaatan kepada Nabi sebagai ketaatan kepada-Nya, kecintaan kepada Nabi sebagai kecintaan kepada-Nya, juga mengaitkan pahala shalawat atas Nabi dengan pahala zikrullah Ta‟ala, seperti firman Allah : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…..“ (Q.S. Al-Baqarah: 152) Dan di dalam salah satu hadits qudsi disebutkan : “Jika hamba-Ku menyebut-Ku di dalam hatinya, maka Aku pun akan menyebutnya di dalam diri-Ku, dan jika ia menyebut-Ku di khalayak ramai, maka Aku pun akan menyebutnya di khalayak yang lebih baik dari khlayaknya.” Begitu juga yang dilakukan Allah dalam hak Nabi kita SAW, yaitu membalas satu shalawat seorang hamba dengan sepuluh shalawat, dan satu salam dengan sepuluh salam. 6. Keutamaan Shalawat Untuk mengetahui keutamaan apakah yang akan diperoleh orang-orang yang bershalawat kita perhatikan beberapa hadits di bawah ini : a. Barangsiapa bershalawat untukku sekali, maka Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah) b. “Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka menyampaikan kepadaku akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku.” (H.R. Ahmad, An Nasaiy dan Ad Darimy Syarah Al Hishn) c. “Barangsiapa bershalawat untukku di pagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, ia akan mendapatkan syafa‟atku pada hari qiamat.” (H.R. At Thabrany Al Jami‟) d. “Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (H.R. At. Thurmudzy) Apabila kita kumpulkan beberapa hadits yang menerangkan faedah-faedah shalawat dan kita perhatikan satu persatu, tersimpullah bahwa faedah bershalawat itu diantaranya : Satu kali shalawat, Allah akan membalas dengan 10 kali shalawat untuknya. Satu kali shalawat, Allah akan mengangkatnya dengan 10 derajat. Malaikat juga akan turut membaca shalawat ke atas orang yang membaca shalawat untuk Rasulullah SAW. Doa yang disertai dengan shalawat akan diperkenankan oleh Allah SWT tetapi doa yang tidak disertai dengan shalawat ianya akan tergantung di antara langit dan bumi.

Akan mendapat tempat yang dekat dengan Rasulullah SAW di hari qiamat nanti. Akan mendapat syafa‟at dari Rasulullah SAW di hari qiamat nanti. Allah akan memberikan karunia dan rahmat-Nya yang berlimpah-limpah kepada mereka yang bershalawat untuk Nabi SAW. Dapat membersihkan hati, jiwa dan ruh kotor yang berselaput di dalam dada. Dapat membuktikan kecintaan dan kasih sayang kita terhadap Rasulullah. Mewariskan kecintaan Rasulullah terhadap umatnya. Akan terselamat dan terpelihara dari segala apa yang mendukacitakan dari hal keduniaan maupun akhirat. Dengan membawa shalawat akan dapat mengingatkan kembali apa-apa yang telah kita lupa. Akan mendapat nur yang bersinar-sinar di hati bila kita bershalawat 100 kali dengan bersungguhsungguh. Mendapat ganjaran pahala seperti memerdekakan seorang hamba bila kita bershalawat sebanyak 10 kali. Allah akan meluaskan dan melapangkan rezekinya dari sumber-sumber yang tidak diketahui. Allah akan memberatkan timbangan di hari qiamat nanti. Mendapat keberkatan dari Allah bagi dirinya dan juga untuk keluarganya. Mendapat kasih sayang dari hati-hati orang mu‟min terhadapnya. Akan mendapatkan dirinya berada di Telaga Haudh (Telaga Rasulullah SAW) serta dapat pula meminumnya di hari qiamat nanti. Dapat melepaskan diri seseorang itu dari tergelincir semasa melalui sirat dan ia dengan selamat menuju ke surga. 7. Waktu-Waktu yang baik untuk Bershalawat Shalawat atas Nabi SAW itu disunnahkan untuk dibaca pada waktu-waktu yang telah dikemukakan oleh hadits-hadits, seperti : 1) Sesudah menjawab adzan. 2) Pada permulaan membaca doa, pertengahannya dan penutupnya. 3) Pada akhir pembacaan doa qunut. 4) Pada pertengahan takbir „ied. 5) Ketika masuk dan keluar masjid. 6) Ketika bertemu dan berpisah. 7) Ketika berlayar dan datang dari pelayaran. 8) Ketika bangun untuk melakukan shalat malam. 9) Ketika selesai mengerjakan shalat. 10) Ketika selesai membaca Al-Qur‟an. 11) Ketika mengalami kecemasan dan kesedihan. 12) Ketika membaca hadits, menyampaikan ilmu dan zikir. 13) Dan ketika lupa akan sesuatu 14) Ketika mencium hajar aswad di dalam thawaf. 15) Ketika membaca talbiyah. 16) Ketika telinga berdengung. 17) Sehabis wudhu.

18) Dan ketika menyembelih dan bersin. Namun ada pula hadits yang melarang membacanya di dua waktu terakhir ini. Selain itu, waktu-waktu yang khusus untuk dibacakan shalawat padanya berdasarkan nash adalah hari Jum‟at dan malam Jum‟at, sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Perbanyaklah membaca shalawat pada malam Jum‟at dan siang Jum‟at, sebab pada ketika itu shalawat kamu diperlihatkan kepadaku.” (H.R. Al-Thabrany dari Abu Hurairah ra.) Dan diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz ra, bahwa ia menulis : “Sebarkanlah ilmu pada hari Jum‟at, sebab bencana ilmu itu adalah lupa. Dan perbanyaklah oleh kalian membaca shalawat atas Nabi SAW pada hari Jum‟at.” Dan Imam Syafi‟i ra berkata : “Aku suka membanyakkan membaca shalawat dalam setiap keadaan, pada malam dan siang Jum‟at lebih aku sukai, karena ia merupakan hari yang paling baik.” hakikat karomah manfaat sedekah kerna allah swt. KUNCI-KUNCI RIZKI MENURUT AL-QUR'AN & AS-SUNNAH Saturday, June 18, 2011 4:56:46 AM hakikat karomah manfaat sedekah kerna allah swt. K KUNCI-KUNCI RIZKI MENURUT AL-QUR'AN & AS-SUNNAH MUKADIMAH Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunanNya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita. Siapa yang ditunjuki Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Aku ber-saksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat dan segenap orang yang mengikutinya. Amma ba'-du. Di antara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sejumlah umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewa-jiban syari'at Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan dibidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan halal dan haram. Mereka itu lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Khaliq tidaklah mensyariatkan agamaNya hanya sebagai petun-juk bagi umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja. Tetapi Allah mensyariat-kan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia. Bahkan do'a yang sering dipanjatkan Nabi kita , kekasih Tuhan Semes-ta Alam, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi umat ma-nusia adalah: "Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaik-an di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka." Allah dan RasulNya yang mulia tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan dalam usahanya mencari penghidupan. Tetapi se-baliknya, sebab-sebab rizki itu telah diatur dan dijelaskan. Seandainya umat ini mau memahaminya, menyadarinya, berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik, niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi. Didorong oleh keinginan untuk mengingatkan dan me-ngenalkan saudara-saudara sesama muslim tentang berbagai sebab di atas dan untuk meluruskan pemahaman mereka ten-tang hal ini serta untuk mengingatkan orang yang telah ter-sesat dari jalan yang lurus dalam berusaha mencari rizki, maka saya bertekad dengan memohon taufik dari Allah un-tuk mengumpulkan sebagian sebab-sebab untuk mendapat-kan rizki tersebut dalam buku kecil ini. Buku ini saya beri judul

"Mafaatiihur Rizqi fi Dhau'il Kitab was Sunnah" (yang kami terjemahkan menjadi: "Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah"). Hal-Hal Yang Saya Perhatikan Dalam Makalah Ini Diantara hal-hal yang saya perhatikan –dengan karunia Allah– dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Rujukan utama dalam makalah ini adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah RasulNya yang mulia. 2. Saya menukil hadits-hadits dari maraji' (sumber) aslinya. Saya juga menyebutkan pandangan ulama tentang derajat hadits tersebut (shahih, hasan, dha'if, dan lain sebagai-nya, pen.), kecuali apa yang saya nukil dari shahihain (Al-Bukhari dan Muslim). Sebab segenap umat Islam telah sepakat untuk menerima (keshahihannya). 3. Ketika menggunakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits, saya berusaha mengambil faedah (penje-lasan) dari kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah (kete-rangan) hadits-hadits. 4. Saya memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan sebab-sebab yang disyari'atkan dalam mencari rizki dengan bantuan keterangan-keterangan –setelah memo-hon pertolongan dari Allah – dari ucapan-ucapan para ulama, untuk menghilangkan keragu-raguan di dalamnya. 5. Saya tidak bermaksud membicarakan manfaat-manfaat lain dari sebab-sebab yang Allah jadikan selain ma-salah rizki. Kecuali disebutkan secara kebetulan. Mudah-mudahan Allah memudahkan saya untuk membicara-kan hal-hal tersebut di masa yang akan datang. 6. Saya jelaskan beberapa kata asing yang ada di dalam hadits-hadits, untuk lebih menyempurnakan manfaat, In-sya Allah. 7. Saya tuliskan beberapa maraji' (sumber) yang cukup untuk memudahkan siapa saja yang ingin kembali kepadanya. 8. Saya tidak bermaksud menyebutkan sebab-sebab rizki seluruhnya. Tetapi yang saya bahas adalah apa yang dimudahkan oleh Allah padaku untu mengumpulkannya. Daftar Isi Pasal Pertama : Istighfar dan Taubat Pasal Kedua : Taqwa Pasal Ketiga : Tawakkal kepada Allah Pasal Keempat : Beribadah sepenuhnya kepada Allah Pasal Kelima : Melanjutkan Haji dengan Umrah Pasal Keenam : Silaturrahim Pasal Ketujuh : Infak di Jalan Allah Pasal Kedelapan : Berinfak kepada Penuntut Ilmu Syari' Sepenuhnya Pasal Kesembilan : Berbuat baik kepada Orang-orang yang Lemah Pasal Kesepuluh : Hijrah di Jalan Allah Penutup : Terdiri dari Kesimpulan Bahasan dan Pesan Ucapan Terima Kasih dan Do'a Inilah (karya sederhana itu), dan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, tempat bergantung, yang semoga memberi nikmat kepada hambaNya yang lemah ini berupa rahmat, ampunan dan kemuliaan untuk menyelesaikan pembahasan ini. Kami ucapkan terimakasih sekaligus panjatan do'a kepada saudaraku Dr. Sayid Muhammad Sadati Asy-Syinqithi. Saya banyak mengambil manfaat dari beliau dalam penulisan makalah ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga kami sampaikan kepada para pengurus Maktab Ta'awuni lid Dakwah wal Irsyad (Kantor Urusan Kerjasama Dakwah dan Penyuluhan) Divisi Orang-orang Asing di Bathha', Riyadh yang berada di bawah Koordinasi Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Di mana, sebelumnya makalah ini berasal dari dua kali materi ceramah yang saya sampaikan di kantor tersebut. Do'a saya juga untuk putra saya tersayang Hammad Ilahi serta anak-anak saya yang lain. Mereka secara bersama-sama saya memeriksa naskah yang telah disetting dari buku ini. Mudah-mudahan Allah melimpahkan balasan kepada semuanya dengan sebaik-baik balasan di dunia maupun di akhirat. Saya memohon kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, semoga Ia menjadikan pekerjaanku ini benar-benar ikhlas karena mencari ridhaNya. Serta menjadi-kannya sebagai simpanan saya dan simpanan kedua orang tua saya pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. Sebagaimana saya juga memohon kepada Rabb Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, semoga Ia memberi taufik kepada saya, juga kepada saudara-saudara, anak-anak, karib-kerabat saya serta sege-nap umat Islam untuk berpegang dan mengambil manfaat dari sebab-sebab rizki yang disyari'atkan. Semoga pula Ia memudahkan kebaikan bagi kita di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabul-kan. Amin.

Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad , kepada keluarga, sahabat dan segenap pengikutnya. hakikat karomah manfaat sedekah BERINFAK DI JALAN ALLAH Saturday, June 18, 2011 5:00:43 AM hakikat karomah manfaat sedekah BERINFAK DI JALAN BERINFAK DI JALAN ALLAH Di antara kunci-kunci rizki lain adalah berinfak di jalan Allah. Pembahasan masalah ini –dengan memohon taufik dari Allah– akan saya lakukan melalui dua poin berikut: A. Yang dimaksud berinfak. B. Dalil syar'i bahwa berinfak di jalan Allah adalah termasuk kunci-kunci rizki. A. Yang Dimaksud Berinfak Di tengah-tengah menafsirkan firman Allah: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya". (Saba': 39). Syaikh Ibnu Asyur berkata: "Yang dimaksud dengan infak di sini adalah infak yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak kepada orang-orang fakir dan berinfak di jalan Allah untuk menolong agama." B. Dalil Syar'i Bahwa Berinfak di Jalan Allah Adalah Termasuk Kunci Rizki Ada beberapa nash dalam Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang menunjukkan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan diganti oleh Allah di dunia. Di samping, tentunya apa yang disediakan oleh Allah baginya dari pahala yang besar di akhirat. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut: 1. Firman Allah: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang se-baik-baiknya." (Saba': 39). Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Betapapun sedikit apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diper-bolehkanNya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits…" Imam Ar-Razi berkata, "Firman Allah: 'Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya', adalah realisasi dari sabda Nabi : "Tidaklah para hamba berada di pagi hari…." (Al-Hadits). Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa, Maha Tinggi dan Maha Kaya. Maka jika Dia berkata: "Nafkahkanlah dan Aku yang akan menggantinya,' maka itu sama dengan janji yang pasti ia tepati. Sebagaimana jika Dia berkata: "Lemparkanlah barangmu ke dalam laut dan Aku yang menjaminnya." Maka, barangsiapa berinfak berarti dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan ganti. Sebaliknya, siapa yang ti-dak berinfak maka hartanya akan lenyap dan ia tidak berhak mendapatkan ganti. Hartanya akan hilang tanpa ganti, arti-nya lenyap begitu saja. Yang mengherankan, jika seseorang pedagang mengeta-hui bahwa sebagian dari hartanya akan binasa, ia akan menjualnya dengan cara nasi'ah (pembayaran di belakang), meskipun pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia ber-kata, hal itu lebih baik daripada pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya sampai harta itu binasa maka ia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang menjamin orang miskin itu, tetapi ia tidak menjualnya (kepada orang tersebut) maka ia disebut orang gila. Dan sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing tidak menyadari bahwa hal itu mendekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya pasti akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha Tinggi. Allah berfirman: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia pasti manggantinya." Lalu Allah memberi pinjaman kepada setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun, penggilingan, tempat pemandian untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab setiap orang tentu memiliki pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia mendapatkan harta. Dan semua itu milik Allah. Di tangan manusia, harta itu adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan ba-rang-barang tersebut adalah jaminan yang diberikan Allah dari rizkiNya, agar orang tersebut percaya penuh kepadaNya bahwa bila dia berinfak, Allah pasti akan menggantinya. Tetapi meskipun demikian, ternyata ia tidak mau berinfak dan membiarkan hartanya lenyap begitu saja tanpa mendapat pahala dan disyukuri. Selain itu, Allah menegaskan janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak untuk menggantinya dengan rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, Ibnu Asyur berkata: "Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat, dan dengan menjadikan jawaban

dari kali-mat bersyarat itu dalam bentuk jumlah ismiyah dan dengan mendahulukan musnad ilaiah (sandaran) terhadap khabar fi'il-nya ( ÇáúÎóÈóÑ ÇáúÝöÚúáöíøó) yaitu dalam firmanNya: Ýóåõæó íõÎúáöÝõåõ De-ngan demikian, janji tersebut ditegaskan dengan tiga pene-gasan yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar akan merealisasikan janji itu. Sekaligus menunjukkan bahwa ber-infak adalah sesuatu yang dicintai Allah. Dan sungguh janji Allah adalah sesuatu yang tegas, ya-kin, pasti dan tidak ada keraguan untuk diwujudkannya, wa-laupun tanpa adanya penegasan seperti di atas. Lalu, bagai-mana halnya jika janji itu ditegaskan dengan tiga penegasan? 2. Dalil lain adalah firman Allah: "Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan ke-miskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 268). Menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas berkata: "Dua hal dari Allah, dan dua hal dari setan. "Setan men-janjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan." Setan itu berkata, 'Jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya'. "Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir)." (Dan dua hal dari Allah adalah), "Allah menjanjikan un-tukmu ampunan daripadaNya," yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, "dan karunia" berupa rizki. Al-Qadhi Ibnu Athiyah menafsirkan ayat ini berkata: "Maghfirah (ampunan Allah) adalah janji Allah bahwa Dia akan menutupi kesalahan segenap hambaNya di dunia dan di akhirat. Sedangkan al-fadhl (karunia) adalah rizki yang luas di dunia, serta pemberian nikmat di akhirat, dengan segala apa yang telah dijanjikan Allah . Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam menafsirkan ayat yang mulia ini berkata: "Demikianlah, peringatan setan bah-wa orang yang menginfakkan hartanya, bisa mengalami ke-fakiran bukanlah suatu bentuk kasih sayang setan kepa-danya, juga bukan suatu bentuk nasihat baik untuknya. Ada-pun Allah, maka Ia menjanjikan kepada hambaNya ampunan dosa-dosa daripadaNya, serta karunia berupa penggantian yang lebih baik daripada yang ia infakkan, dan ia dilipatgandakanNya baik di dunia saja atau di dunia dan di akhirat." 3. Dalil lain adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah , Nabi memberitahukan kepadanya: "Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadaMu." Allahu Akbar! Betapa besar jaminan orang yang berinfak di jalan Allah! Betapa mudah dan gampang jalan mendapatkan rizki! Seorang hamba berinfak di jalan Allah, lalu Dzat Yang di TanganNya kepemilikan segala sesuatu memberi-kan infak (rizki) kepadanya. Jika seorang hamba berinfak sesuai dengan kemampuannya maka Dzat Yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi serta kerajaan segala se-suatu akan memberi infak (rizki) kepadanya sesuai dengan keagungan, kemuliaan dan kekuasaanNya. Imam An-Nawawi berkata: "Firman Allah, 'Berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadamu' adalah makna dari firman Allah dalam Al-Qur'an: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya." (Saba': 39). Ayat ini mengandung anjuran untuk berinfak dalam ber-bagai bentuk kebaikan, serta berita gembira bahwa semua itu akan diganti atas karunia Allah . 4. Dalil lain bahwa berinfak di jalan Allah adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda: "Tidaklah para hamba berada di pagi hari kecuali di dalamnya terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdo'a, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak ganti (dari apa yang ia infakkan)'. Sedang yang lain berkata, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan (hartanya) kebinasaan (hartanya)'." Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia menga-barkan bahwa terdapat malaikat yang berdo'a setiap hari kepada orang yang berinfak agar diberikan ganti oleh Allah. Maksudnya – sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari– adalah ganti yang besar. Yakni ganti yang baik, atau ganti di dunia dan ganti di akhirat. Hal itu berdasarkan firman Allah: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya. Dan Dialah sebaik-baik Pemberi rizki." (Saba': 39). Dan diketahui secara umum bahwa do'a malaikat adalah dikabulkan, sebab tidaklah mereka mendo'akan bagi sese-orang melainkan dengan izinNya. Allah berfirman: "Dan mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya." (Al-Anbiya': 28). 5. Dalil lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda: "Berinfaklah wahai Bilal! Jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat Yang Memiliki Arsy."

Aduhai, alangkah kuat jaminan dan karunia Allah bagi orang yang berinfak di jalanNya! Apakah Dzat Yang Memiliki Arsy akan menghinakan orang yang berinfak di jalan-Nya, sehingga ia mati karena miskin dan tak punya apa-apa? Demi Allah, tidak akan demikian! Al-Mulla Ali-AlQari menjelaskan kata " ÇöÞúáÇó áÇð " dalam hadits tersebut berkata, "Maksudnya, dijadikan miskin dan tidak punya apa-apa". Artinya, "Apakah engkau takut akan disia-siakan oleh Dzat Yang Mengatur segala urusan dari langit ke bumi?" Dengan kata lain, "Apakah kamu takut untuk digagalkan cita-citamu dan disedikitkan rizkimu oleh Dzat Yang rahmatNya meliputi penduduk langit dan bumi, orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, burung-burung dan binatang melata?" 6. Berapa banyak bukti-bukti dalam kitab-kitab Sunnah (Hadits), Sirah (Perjalanan Hidup), Tarajum (Biografi), Tarikh (Sejarah), bahkan hingga dalam kenyataan-kenyataan yang kita alami saat ini yang menunjukkan bahwa Allah mengganti rizki hambaNya yang berinfak di jalanNya. Berikut ini kami ringkaskan satu bukti dalam masalah ini. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda: "Ketika seorang laki-laki berada di suatu tanah lapang bumi ini, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan, 'Sira-milah kebun si fulan!' Maka awan itu berarak menjauh dan menuangkan airnya di areal tanah yang penuh de-ngan batu-batu hitam. Di sana ada aliran air yang me-nampung air tersebut. Lalu orang itu mengikuti kemana air itu mengalir. Tiba-tiba ia (melihat) seorang lakilaki yang berdiri di kebunnya. Ia mendorong air tersebut dengan skopnya (ke dalam kebunnya). Kemudian ia bertanya, 'Wahai hamba Allah! Siapa namamu?' Ia menjawab, 'Fulan', yakni nama yang didengar di awan. Ia balik bertanya, "Wahai hamba Allah, kenapa engkau menanyakan namaku?' Ia menjawab, 'Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang menurunkan air ini. Suara itu berkata, 'Siramilah kebun si fulan! Dan itu adalah namamu. Apa sesungguhnya yang engkau laku-kan?' Ia menjawab, "Jika itu yang engkau tanyakan, maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku bersedekah dengan se-pertiganya, dan aku makan beserta keluargaku seper-tiganya lagi, kemudian aku kembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya'." Dalam riwayat lain disebutkan: "Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan)." Imam An-Nawawi berkata: "Hadits itu menjelaskan ten-tang keutamaan bersedekah dan berbuat baik kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Juga keutamaan seseorang yang makan dari hasil kerjanya sen-diri, termasuk keutamaan memberi nafkah kepada keluar-ga." MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG SEPENUHNYA MENUNTUT ILMU SYARI'AT (AGAMA) Saturday, June 18, 2011 5:03:23 AM MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG SEPENUHNYA MENUNT MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG SEPENUHNYA MENUNTUT ILMU SYARI'AT (AGAMA) Termasuk kunci-kunci rizki adalah memberi nafkah ke-pada orang yang sepenuhnya menuntut ilmu syari'at (agama). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dan AlHakim dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata: "Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah . Salah seorang daripadanya mendatangi Nabi dan (saudaranya) yang lain bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi maka beliau bersabda: Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia." Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia menje-laskan kepada orang yang mengadu kepadanya karena kesi-bukan saudaranya dalam menuntut ilmu agama, sehingga membiarkannya sendirian mencari penghidupan (bekerja), bahwa ia tidak semestinya mengungkit-ungkit nafkahnya ke-pada saudaranya, dengan anggapan bahwa rizki itu datang karena dia bekerja. Padahal ia tidak tahu bahwasanya Allah membukakan pintu rizki untuknya karena sebab nafkah yang ia berikan kepada suadaranya yang menuntut ilmu agama secara sepenuhnya. Al-Mulla Ali Al-Qari menjelaskan sabda Nabi : "Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia," yang menggunakan shighat majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, 'Yakni, aku berharap atau aku ta-kutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rizki karena berkah-nya. Dan bukan berarti di diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaan-mu kepadanya." Al-Alamah Ath-Thaibi berkata: "Makna 'áóÚóáøó' (mudah-mudahan) dalam sabda beliau 'áóÚóáøóßó' (mudah-mudahan engkau), bisa kembali kepada Rasulullah , sehingga ber-fungsi untuk memberikan kepastian (bahwa dia mendapat-kan rizki karena berkah saudaranya) dan

menegur (bahwa dia mendapatkan rizki bukan karena pekerjaannya). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Bukanlah kalian diberi rizki karena sebab orang-orang lemah di antara kalian?" Tetapi bisa pula kembali kepada orang yang diajaknya bicara untuk mengajakanya berfikir dan merenungkan, sehingga ia menjadi sadar." Demikianlah, dan sebagian ulama telah menyebutkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu agama secara sepenuhnya adalah termasuk kelompok orang yang dising-gung dalam firman Allah: "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (beru-saha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari me-minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 273). Imam Al-Ghazali berkata: "Ia harus mencari orang yang tepat untuk mendapatkan sedekahnya. Misalnya para ahli ilmu. Sebab hal itu merupakan bantuan baginya untuk (mempelajari) ilmunya. Ilmu adalah jenis ibadah yang paling mulia, jika niatnya benar. Ibnu Al-Mubarak senantiasa mengkhususkan kebaikan (pemberiannya) bagi para ahli ilmu. Ketika dikatakan kepada beliau, "Mengapa tidak eng-kau berikan pada orang secara umum?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika hati para ulama itu sibuk mencari kebutuhan (hidupnya), niscaya ia tidak bisa memberi perhatian sepe-nuhnya kepada ilmu, serta tidak akan bisa belajar (dengan baik). Karena itu, membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara sepenuhnya adalah lebih utama."

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF