Sastra, Punk, dan Media Alternatif

February 12, 2018 | Author: Irwan Bajang | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Zine ini berisi beberapa artikel menulis, juga penerbitan secara Independent. Mengacu pada tradisi DIY yang di populerka...

Description

Ptah! Zine Vol. 3

SASTRA, PUNK, INDIE DAN LOGIKA FIKSI

Catatan Editor Ptah! Zine Akhirnya bikin zine lagi. Sudah lumayan lama setelah edisi kedua dan pertama. Berbeda dengan 2 zine sebelumnya yang saya isi dengan tulisan saya sendiri, kali ini ada beberapa kontributor yang bersedia dimasukkan tulisannya di zine ramping ini. Isu kali ini masih tidak jauh berbeda dengan isu-isu sebelumnya, masih seputar buku, sastra, penerbitan dan dunia di sekelilingnya. Saya rasa saya tidak perlu menjelaskan apa saja isi dan siapa saja penulisnya. Nanti terkesan terlalu formal seperti koran, majalah atau jurnal sungguhan. Sungguhpun pengantar ini ditulis hanya untuk memenuhi selembar kertas yang masih kosong. Hehe. Saya hanya ingin berterima kasih buat para kontributor, buat para pembaca dan para tukang fotokopi yang semoga harganya jangan nik lagi. Semoga zine ini asik selalu dan makin banyak digandakan dan dibagikan oleh siapa saja. Oh ya, tentu gambar-gambar di dalam zine ini semuanya diambil di internet. Seperti prinsi sederhana zine, gunting, tempel, fotokopi dan bagikan! Selamat menikmati Salam sehat selalu. Irwan Bajang| www.irwanbajang.com

DAFTAR ISI

Sastra Punk dan Media Alternatif—3 Seksinya Penerbitan Indie—9 Daya Pikat Buku yang Menjual—15 Catatan Singkat Soal Logika Penyuntingan Naskah—18 Sesungguhnya Anda Tak Pernah Membaca Karya Nonfiksi—21

2

Sastra Punk dan Media Alternatif —IRWAN BAJANG Punk dan Media Alternatif JIKA kita berbicara tentang media alternatif, maka kita tak bisa lepas dari sejarah dan perkembangan gerakan punk di dunia. Mungkin punk selalu identik atau popular dengan potongan rambut mohawk, pakaian berantakan, musik berisik dan tradisi nyeleneh lainnya. Namun ada tradisi penting lain yang menjadi identitas punk, yakni Zine! Tradisi Zine Punk, meskipun tidak murni berasal dari kalangan Punker* (sebutan bagi penganut ideologi punk), namun di kalangan punkerlah zine mendapat tempat yang kian luas dan berkembang. Zine dimulai oleh sekelompok anak punk yang memulai menyebarkan gagasan lewat potongan-potongan kertas berisi protes terhadap situasi. Potongan kertas ini kadang dilipat dengan model tertentu. Satu lembar dilipat 8 atau 16 lipatan bolak-balik untuk menghemat ruang kertas. Selain dilipat, zine ini juga ditempel berupa poster, selebaran dan lain sebagainya. Sistem pengerjaan media alternatif ini adalah dengan memakai sistem cut and paste, yakni mengumpulkan bahan dari koran, majalah atau selebaran, kemudian disusun 3

kembali pada selembar kertas kosong, ditempel dengan lem sehingga membentuk sebuah media yang menarik. Dalam pengerjaan zine tersebut, punker mengusung semangat DIY, Do It Yourself. DIY tidak hanya dipakai dalam hal zine, tetapi juga musik, film, bahkan pakaian. Mereka menyebarkan gagasan dengan kerja-kerja personal atau kerja kelompok kecil dan membaginya ke banyak orang. Dengan zine, sesungguhnya mereka menemukan sebuah cara yang kreatif bukan hanya dalam menyebarkan gagasan, tapi juga menggandeng banyak orang di sekitar mereka untuk bekerjasama. Dengan landasan kerja DIY, yakni Do ItYourself, mereka mencoba melepaskan diri dari banyaknya ketergantungan kerja, juga ketergantungan pada banyak orang. Mereka mandiri dalam melakukan banyak hal dan tidak harus terkekang pada akuran-aturan baku yang dibuat banyak orang. Punker generasi itu tentu saja tidak memiliki banyak alat produksi, seperti komputer dan mesin cetak untuk penggandaan. Oleh karena itu, zine yang sama bisa muncul dalam banyak versi, dengan gambar yang berbeda, layout dan media yang berbeda pula. Niat mereka yang terbatas oleh alat, tak mematahkan semangat berekspresi mereka. Tradisi kreatif cut and paste mereka terapkan. Dengan hanya bermodal gunting, lem dan koran bekas, mereka berhasil membuat media sendiri. Belakangan zine bukan hanya menjadi tradisi punk, tetapi menjadi tradisi popular di kalangan banyak orang hingga saat ini. 1970 adalah sebuah tonggak baru bagi media aternatif semacam zine. Perkembangan teknologi makin massif dan akhirnya sampai pada sebuah terobosan baru, yakni fotokopi. Dengan ditemukannya mesin fotokopi, maka perubahan besar dalam duplikasi dan penyebaran zine pun mengalami transformasi besar. Zine yang sudah dibuat masternya makin gampang diproduksi, digandakan dan diperbanyak. Perkembangan ini juga berimbas pada media-media lain seperti misalnya kelahiran penerbit-penerbit alternatif yang melahirkan buku di luar mainstream masyarakat kebanyakan. Sebelumnya, apa yang disebut penerbitan independent sebenarnya masih bersifat dependen, para penerbit masih tergantung pada teknologi mesin cetak yang masih terbatas pada waktu itu. Harga yang mahal dan pengerjaan yang memakan waktu lama membuat independensi penerbit alternatif susah maju dan berkembang. Tapi dengan menggunakan mesin fotokopi, pembuatan dan penggandaan zine menjadi lebih mudah, cepat dan rapi hingga pembuatan media sendiri menjadi lebih mudah lagi. Belakangan, para 4

pembuat zine dan penerbit mandiri kontemporer menciptakan medianya dengan bantuan software grafis seperti corel draw, pothoshop, indesign dan lain sebagainya. Fotokopi pun makin berkembang ke arah yang lebih sempurna dalam membantu perkembangan media-media ini. Sekarang zine semakin berkembang dengan pesat. Bentuk-bentuk yang ada selama ini, tidak lagi seperti di awal kelahirannya. Banyak zine yang kini lebih mirip mini majalah dengan sentuhan personal. Banyak juga yang beredar lebih luas dan mulai dikelola secara profesional. Tapi hal yang tetap dipertahankan dari perkembangan yang ada adalah semangat di awal kelahirannya, sebagai media alternatif. Banyak zine yang berubah menjadi webzine di antaranya, Boingboing, Dead Sparrow, Noise Attack. Ada juga yang berbentuk e-zine. Zine-zine ini tidak lagi membutuhkan kertas, gunting, koran bekas, lem dan tinta. Hal yang membedakan antara webzine dan e-zine adalah webzine berbasis website dan tampilannya hanya bisa dilihat di internet, sedangkan e-zine bisa didownload dan dicopy sebagai file data.

Media Kontemporer Saat Ini Semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, menciptakan sebuah sistem kehidupan yang kian kompleks. Munculnya banyak aktor lain dalam tata kemasyarakatan, juga makin banyaknya persoalan tentu saja menjadikan makin banyak isyu yang berkembang dan harus disikapi. Perkembangan 5

media dengan banyak ragam kepentingan juga menjadikan sebuah kasus atau isyu makin bisa ditinjau dari banyak perspektif. Perkembangan dunia yang kian maju, terutama dalam hal teknologi informasi dan komunikasi makin membuat arus isyu makin cepat. Bahkan jejaring sosial dan web 2.0 menjadikan sebuah berita langsung datang ke hadapan pembaca, sekaligus mengajaknya berkomunikasi dua arah. Pembaca berita online bisa membaca, dan berkomentar bahkan merespons balik sebuah berita atau opini. Semua itu dilakukan saat itu juga. Langsung dan singkat. Create and Publish! Fenomena kerusuhan di Inggris beberapa waktu lalu yang merebak melalui jejaring sosial twitter bisa menjadi contoh, betapa cepatnya media berkembang, betapa makin derasnya informasi yang langsung masuk kepada konsumen dalam waktu yang sangat singkat. Kasus Prita Mulyasari, fenomenalnya Shinta dan Jojo adalah contoh paling dekat yang sempat menjadi konsumsi publik kita belakangan ini. Berkembangnya web 2.0 dengan model citizen jurnalistik banyak sekali memberi kelonggaran masuk bagi kita untuk berkontribusi menyampaikan fakta dan gagasan untuk dibaca banyak orang. Peran Sastra dalam Perkembangannya Sastra adalah sebuah cara lain menyampaikan gagasan dan mempengaruhi banyak orang. Sejarah sastra ‘biasanya’ selalu ikut berkembang mengikuti fenomena masyarakat saat itu. Di zaman perang, biasanya muncul sastrasatra dengan genre perang, heroisme dan genre lain yang serupa. Begitu juga dengan masa krisis politik, masa kejayaan sebuah negara dan lain sebagainya. Secara sederhana, setidaknya perkembangan laju masyarakat, bisa dianalisa lewat perkembangan karya sastra dan genre yang berkembang dari waktu ke waktu. Dalam contoh beberapa kasus perkembangan media seperti di atas, sastra seharusnya semakin mendapat banyak ruang apresiasi.Terutama sastra dalam dunia semodern saat ini. Dalam kancah dunia digital yang bahkan telah jauh meninggalkan dunia fotokopi dan print on demand, penyebaran gagasan bukan lagi masalah rumit yang harus dipikirkan. Kita tak perlu lagi harus menulis opini, cerpen atau puisi hanya kepada media mainstream seperti tv, majalah dan koran raksasa di Indonesia. Media sudah ada di depan mata, ada di genggaman kita, bahkan berupa ponsel dan gadget lain yang bisa dibawa ke mana saja.

6

Permasalahan sastra saat ini bisa terjadi akibat kurangnya gagasan. Atau reproduksi ulang gagasan sastra kita yang tidak sekreatif atau secepat media berkembang seperti paparan di atas. Oleh karena itu, transformasi gagasan yang lebih maju dan cepat penting sekali dalam merespons perubahan, isyu terkini bahkan sekaligus memberi sumbangan pada laju zaman yang semakin bergerak ke depan. Dunia maya yang menghadirkan portal-portal dan website 2.0 bisa jadi adalah sebuah media baru yang paling bisa dipakai secara gencar memajukan perkembangan kesusastraan kita. Hal ini juga akan memberi peluang besar pada kemandirian kita dalam bersastra, tanpa ada tendensi atau tekanan pihak lain yang menginginkan seorang pelaku sastra tidak menulis sesuai hati nuraninya. 7

Di dunia instan semacam ini, produktivitas memang kerap kali menjadi bumerang bagi banyak penggiat sastra. Tak ada penyaring yang kuat, juga akses yang gampang menjadikan sebuah gagasan bisa berseliweran tanpa terkontrol dengan rapi. Kita bisa menulis apa saja dan membaca apa saja secara bersamaan. Kualitas hanya bisa dinilai secara personal oleh pembaca. Dengan makin banyaknya layanan tersebut, bergabung di milis sastra, website atau portal yang banyak membicarakan bahasa dan sastra bisa jadi ruang apresiasi baru bagi pelaku sastra. Publikasi akan makin luas dan gampang. Efeknya adalah penemuan banyak genre atau bahkan bentuk baru dalam dunia sastra kita. Jejaring sosial dan semacam twitter bahkan telah memunculkan genre sastra baru, misalnya fiksi mini. Dan barangkali setelah ini akan lahir model ekspresi dan apresiasi baru, juga tema dan genre yang akan terus berkembang. ____________ *Zine berasal dari kata Fan Zine yang pada awalnya lahir di kalangan para penggiat fiksi ilmiah. Mereka memiliki kemampuan di atas rata-rata tapi mempunyai kemampuan komunikasi yang rendah. Zine dipakai untuk melarikan diri dari realita yang mengucilkan mereka.

8

Seksinya Penerbitan Indie —FANDY HUTARI PENULIS dan sastrawan Sunda,Ajip Rosidi, seperti yang dikutip Heru Sutadi dalam artikelnya berjudul “Sejarah Kelahiran Buku dan Perkembangannya di Indonesia”, berpendapat bahwa penerbitan buku dibagi menjadi tiga jalur, yakni usaha penerbitan buku pelajaran, umum, dan agama. Di zaman Belanda, penerbitan buku pelajaran dikuasai oleh orang-orang Belanda. Sedangkan buku-buku agama, dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang diusahakan oleh orang-orang Arab. Penerbitan buku umum yang berbahasa Melayu berada di tangan orang-orang Cina. Orang-orang pribumi 9

sendiri bergerak diusaha penerbitan buku umum berbahasa daerah. Dari sini, perkembangan terjadi. Pemerintah Belanda yang waktu itu khawatir karena perkembangan ini akhirnya mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat, yang di tahun 1908 menjadi Balai Pustaka. Pada 1950-an, penerbit swasta nasional mulai menjamur. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mencatat, penerbit yang menjadi anggotanya yang semula hanya berjumlah 13 di tahun 1965, membengkak sampai menjadi 650-an lebih. Di Bandung sendiri berdiri puluhan penerbit swasta, baik yang sudah punya nama maupun yang masih berkembang. Kini, penerbit bergerak sesuai segmentasinya masing-masing. Ada yang mengkhususkan diri dengan produksi buku-buku pelajaran, sejarah, sastra, filsafat, ilmu alam, agama, anak-anak, hingga buku terjemahan. Namun, tak jarang juga yang cuma mengekor penerbit-penerbit besar nasional. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, istilah penerbitan mengalami perluasan makna, dengan memasukan unsur-unsur buku elektronik, seperti e-book di dalam website atau blog pribadi. E-book bisa dibaca secara praktis di depan layar monitor komputer atau laptop. Sistem penerbitan kini mengalami perluasan, menjadi penerbitan swasta (major) yang konvensional dan penerbitan dengan sistem indie, di mana penulis bertindak pula sebagai penerbitan. Menjadi “penerbit”  Penolakan naskah menjadi semacam “hantu” yang menakutkan bagi penulis, terutama penulis pemula. Berkali-kali karya yang diajukan selalu mentok di meja redaksi. Sudah menjadi pemandangan yang biasa jika para penulis menjajakan karyanya ke pintu-pintu penerbit. Ada pula yang mengeluhkan kurang transparannya penerbit, jika karya kita diterbitkan. Misalnya saja soal pembagian royalti. Bila buku kita sudah diterbitkan di pasaran dan terjual, penulis kerap dipusingkan dengan royalti yang tidak bisa dinikmati langsung. Ada yang mengemplang hasil royalti, ada pula yang memberikannya “setetes demi setetes”. Masalah ini juga pernah saya alami sendiri. Waktu pertama kali menulis novel, saya mencoba mengirimkan ke beberapa penerbit besar di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tapi, hasilnya nihil. Naskah novel 10

pertama saya itu ditolak, dengan alasan klasik: tidak memenuhi selera pasar. Akhirnya, novel saya cuma bisa diterbitkan oleh sebuah penerbit kecil yang baru saja berdiri. Hasilnya, tentu saja mengecewakan. Selain tidak ada penyuntingan, desain cover, dan tata letaknya pun berantakan. Selain itu, dalam hal transparansi royalti dan “akal-akalan” surat kontrak saya pun pernah mengalaminya. Bayangkan betapa jengkelnya kita jika mengalaminya. Hal ini disebabkan karena selama ini, para penulis sudah terbentuk suatu pemikiran bahwa untuk dapat melahirkan naskah menjadi buku perlu bantuan penerbit besar. Namun, saat ini, hal-hal menjengkelkan tadi secara perlahan mulai dapat teratasi oleh mereka yang membentuk sebuah penerbitan indie. Inti dari penerbitan indie atau self publishing adalah menerbitkan naskah sendiri, tidak bergantung pada penerbit besar yang telah mapan. Penerbit indie bisa dibilang sebuah alternatif untuk menerbitkan buku yang dilakukan oleh penulis independen. Beberapa keuntungan dari penerbitan indie, yaitu kita tidak perlu mengikuti seleksi naskah yang biasanya ketat, berbelit, dan lama; penyuntingan, desain cover, sampai metode berpromosi ada di tangan penulis; kalau bukunya laris, keuntungan yang kita peroleh bisa lebih besar 50 sampai 100 persen. Namun, di samping keuntungan tadi, kita juga harus melihat beberapa kerugiannya, yaitu kita lebih kerepotan, karena selain menulis, kita pun harus mengurusi penerbitannya, dan mungkin pemasaran; jika buku kita tidak laku, maka kerugiannya ditanggung sendiri; tidak ada seleksi naskah berarti tidak ada ukuran soal kualitas naskah kita. Penerbitan indie mulai terlihat peningkatan seiring dengan kemajuan teknologi penerbitan, misalnya fotokopi, print on demand (mencetak atau menerbitkan sesuai permintaan), website, dan blog pribadi. Meskipun memiliki persentase pasar yang kecil dalam hal pemasaran, dibandingkan dengan penerbit pada umumnya, tetapi ini menjadi sebuah bentuk baru dalam bidang penerbitan buku. Memilih menerbitkan buku sendiri bisa dikatakan kita menjadi “penerbit” pula.

11

Peluang Cerah Sundea, seorang penulis indie dari Bandung, yang menerbitkan tulisantulisannya di blog pribadinya menjadi sebuah buku berjudul Salamatahari mengatakan bahwa untuk menerbitkan bukunya, ia sisihkan uang tabungannya. Kemudian, ia mencari bahan kertas yang murah, percetakan yang murah, dan barter promo. “Biasanya saya mengandalkan hubungan pertemanan untuk mengetahui informasi-informasi tadi,” katanya. Menurut Sundea, prosesnya pun tidak terlalu rumit. “Mudah, tinggal menulis. Kemudian mencari informasi seputar produksi dan distribusi. Detail naskahnya relatif, bergantung dengan kondisi saja,” ungkap Sundea yang pernah menerbitkan buku Dunia Adin di bawah sebuah anak perusahaan penerbit besar di Bandung. Strategi pemasarannya dilakukan Sundea dengan menjual dan berpromosi di internet dan titip jual di beberapa toko buku. “Lebih banyak online di toko buku online. Tapi ada juga yang ditaruh di toko-toko tertentu, misalnya Reading Lights. Terkadang juga kita jajakan sendiri, seperti sales,” terang Sundea. Memang proses menerbitkan indie karya tulis kita cukup sederhana. Pertama, tentu saja yang harus dilakukan adalah menulis naskahnya. Kedua, proses menyunting (mengedit). Kalau masih ragu oleh kemampuan mengedit, kita tinggal membayar editor profesional atau meminta bantuan teman yang berkompeten. Ketiga, mengatur tata letak (layout). Keempat, mendesain sampul (cover). Proses layout dan desain cover juga bisa memanfaatkan editor profesional atau meminta bantuan teman. Kelima, mencetak naskah, lalu mencari nomor International Standart Book Number (ISBN). ISBN sendiri dapat diperoleh di Perpustakaan Nasional dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 25.000, atau Rp. 60.000 untuk barcode dan nomor ISBN. Proses terakhir adalah distribusi atau memasarkan. Untuk promosi bisa memanfaatkan situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, atau mendiskusikannya kecil-kecilan. Ada beberapa cara untuk menerbitkan naskah secara indie. Pertama, terbitkan sendiri sepenuhnya. Kedua, terbitkan bersama komunitas. Dan ketiga, terbitkan dengan kerja sama penerbit indie.

12

Bagaimana dengan peluang penerbitan indie ini? Sundea mengatakan, peluangnya terbilang baik. “Baik. Yang penting dia (penulis) percaya sama karyanya, sekalipun perjalanannya lambat,” ungkap Sundea. Kata Sundea, peluang penerbitan indie di Bandung juga cukup cerah. “Lumayan baik, soalnya orang Bandung passion dan semangat berkaryanya juga tinggi,” katanya. Senada dengan Sundea, Irwan Bajang pendiri Indie Book Corner, mengatakan hal yang sama. “Kalau di Bandung ada beberapa teman yang sudah kami bantu, setidaknya ada lima penulis lebih. Peluang di Bandung justru sangat besar. Di sana banyak industri kreatif, desainer banyak. Nah, kalau ada jasa print in demand mungkin bisa lebih asyik. Selama ini desainer Indie Book Corner malah dari Bandung ada dua orang,” katanya. Irwan juga meyakini, suatu saat penerbitan indie akan mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan mampu menggeser penerbitan-penerbitan konvensional. “Saya masih mencari cara, bagaimana buku itu bisa kita produksi semuran mungkin. 13

Kalau mengungkap bagaimana menerbitkan buku dan ‘menidaksucikan’ penerbit besar, saya sudah memulai dan sudah terlihat agak berhasil. Karena kapital belum kuat, solusi ini yang saya belum temukan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Irwan berencana menyisihkan beberapa persen dari hasil penjualan buku-buku indie, di mana nanti penulis bisa meminjam dan mengembalikan uangnya untuk mencetak bukunya sendiri. “Kalau misalnya begitu, sepertinya tidak akan ada kesusahan diakses kapital penulis dalam mempublikasikan karyanya,” ujar Irwan yang juga sudah menghasilkan beberapa karya berupa kumpulan puisi dan novel ini. Irwan sedikit membuka strateginya dalam hal kapital tadi. Ia mengungkapkan, dana itu merupakan dana bersama. Misalnya, anggap saja tiga juta. Lalu, uang itu bisa dimanfaatkan oleh tiga penulis, masing-masing satu juta untuk menerbitkan bukunya. Jika bukunya sudah jadi, mereka harus mengembalikan satu juta itu untuk memberikan kesempatan penulis keempat, kelima, dan seterusnya mendapat giliran meminjam. “Yang sudah meminjam bisa saja melebihkan, mungkin sepuluh atau dua puluh ribu, supaya bisa berkembang dan saling support,” terangnya. Contoh sukses penulis yang menerbitkan karya-karyanya secara indie adalah Dewi Lestari yang punya nama pena Dee. Buku-bukunya pun laris-manis di pasaran. Namun, yang perlu menjadi catatan kita adalah, menerbitkan buku indie bukan berarti cara instan untuk menjadi seorang penulis terkenal dan menjamin karya kita laku di pasaran. Penerbitan indie boleh jadi merupakan sebuah alternatif lain bagi penulis yang sudah terlanjur kecewa terhadap penerbit-penerbit besar. Selanjutnya, biar waktu yang akan menjawab, apakah penerbit-penerbit besar akan tergusur oleh geliat penerbit indie, atau penerbit indie yang mati di tengah jalan. [] Penulis adalah esais, cerpenis, novelis, penulis, dan editor buku. Esai dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Bukunya yang sudah terbit: Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), Ingatan Dodol (IMU, 2010), Imajinasi Bumi (Hasfa Arias, 2011), dan Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (INSISTPress, 2011). Tinggal di Bandung. 14

Daya Pikat Buku yang Menjual “Jadi, bukumu tentang apa, sih?” Itu adalah sebuah pertanyaan yang bagus sekaligus mengerikan. Rasa-rasanya hampir mustahil memproduksi sebuah buku yang dapat memenuhi semua kriteria menakjubkan, dari nuansa plot atau nasihat yang cerdas hingga resume kilat yang memikat atau promosi persuasif dalam lima menit. Jika kamu menjawab pertanyaan itu dengan benar, si penanya akan jadi sangat tertarik pada bukumu. Jika salah menjawab, maka kamu menyesatkan pembaca dan tidak akan diacuhkan lagi.

15

Mau sebagus apa pun isi bukumu, buku itu tidak akan laku kecuali kamu memberinya sesuatu yang menyentil. Kamu harus membuat konsep untuk mengemas ringkasan bukumu supaya pembaca tertarik, entah itu dalam bentuk verbal, proposal penulisan buku, atau tulisan di sampul belakang buku. Semua bagian dalam bukumu harus menarik, tapi ingat, menarik tidak sama dengan menjual. Hal-hal yang membuat bukumu menjual pastilah menarik perhatian, namun hal-hal yang menarik perhatian tidak selalu menarik orang untuk membeli buku tersebut. Cara sederhana untuk meningkatkan daya pikat adalah  membuat tulisanmu spesifik dengan membubuhkan contoh-contoh pengalaman manusia, namun jangan tenggelam dalam detildetil yang tidak perlu. Jika hendak mempromosikan sebuah buku panduan (petunjuk) melakukan sesuatu,  ketimbang menggeneralisasi isu-isu yang dimuat di dalam buku, lebih baik tentukan satu contoh spesifik yang menggambarkan apa yang mau kamu sampaikan.  Kebanyakan orang lebih tertarik pada sesuatu yang membuat penasaran sehingga mereka harus bergelut untuk mencari tahu tentangnya. Dengan memberikan sebuah contoh pengalaman individual (tidak harus pengalamanmu sendiri), calon pembaca bukumu akan mencoba mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka (tapi jangan buat mereka terlalu bingung, cantumkanlah contoh yang spesifik lagi dapat diaplikasikan secara luas). Hal ini tidak hanya akan membuat pesanmu melekat di benak pembaca, tapi mereka juga akan menjadi lebih peka dengan sendirinya. Bukankah itu tujuan penulisan buku-buku panduan? Sebuah contoh personal dalam deskripsi yang memuat isi bukumu juga akan membuktikan bahwa buku tersebut benar-benar bermanfaat! Apabila kamu menulis sebuah novel fantasi dengan latar sangat detil, kamu mungkin akan tergoda untuk merangkai sejarah politik, geografi atau informasi latar belakang negara imajinermu. Nah, sebaiknya jangan. Coba ganti fokus daya pikat bukumu, fokuskan pada karakternya. Hal yang memikat calon pembaca bukanlah latar cerita, melainkan bagaimana 16

karakter berinteraksi dengan latar dan menegaskan kesadaran dirinya sebagai pelaku di dalamnya. Itulah yang akan membedakan bukumu dari buku-buku lainnya. Mengapa Mordor itu begitu lekat di ingatan? Hal yang membuatnya demikian adalah petualangan yang dilewati oleh para karakter dalam cerita itu untuk dapat tiba di Mordor. Kamu hanya cukup memberikan informasi singkat yang padat tentang dunia dalam bukumu.  Pembaca harus terlebih dahulu jatuh cinta pada seorang karakter sebelum mereka peduli sedikit pun pada keseluruhan dunia dalam buku tersebut. Cobalah mengambil jarak dari tulisan dalam bukumu sejauh mungkin. Lalu lihatlah, apakah inti dari bukumu adalah sebuah cerita cinta? Sebuah novel tentang pendewasaan diri? Sebuah cara untuk membuat orang bahagia?  Pahami inti ceritamu, pesan utama yang akan ditarik oleh pembaca, lalu kembangkanlah. ________ Dari “Create the Hook That Sells Your Book”, http://alturl.com/x982q. Diterjemahkan oleh Maria Puspita Munthe @pitantus, Editor Indie Book Corner.

17

Catatan Singkat Soal Logika Penyuntingan Naskah –AHMAD KHADAFI Jika ada yang bilang ke Anda menulis itu mudah, maka sejatinya orang itu sedang mencoba membohongi Anda. Meski kebohongan itu ditutupi dengan beragam asumsi dan logika yang sepertinya menarik. Kemudian ketika ia bilang menyunting adalah pekerjaan sepele—sehingga tidak perlu dilakukan setelah Anda menulis, maka jelas orang itu bukan dan tidak akan pernah jadi—penulis yang baik. 18

Kalau begitu,  seberapa pentingkah proses penyuntingan dalam tahapan penulisan?  Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan; seberapa penting Indonesia memerlukan MPR/DPR untuk seorang Presiden? Ya. Sepenting itu. Mengerti? Proses penyuntingan adalah tahap di mana naskah kita dikoreksi, dicari kesalahannya, kemudian dilakukan eksekusi pembenahan. Sekilas memang tidak sulit, sederhana sekali, tapi yang sederhana itu belum tentu mudah. Dalam proses penyuntingan, penulis tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri, mau dia sehebat apapun dalam pemahaman EYD atau tata kalimat, paling tidak ia perlu orang lain untuk mengoreksi. Logikanya semacam ini; kita akan sedikit sulit mengkritik diri sendiri daripada harus mengritik orang lain. Dan tentu saja menulis dan menyunting adalah dua pekerjaan yang berbeda. Menulis memakai insting dan kecakapan mengolah kata dalam kepala, sementara menyunting adalah pemusatan kedisiplinan dan ketelitian pada tulisan yang sudah jadi. Penyuntingan di sini berarti memperbaiki logika kalimat, alur cerita, serta pembenahan kata-kata yang  dianggap tidak efisien. Tugas editor memang terkait dengan hal-hal tersebut, namun sebagai catatan, lebih baik tidak melakukan (semacam) penulisan ulang untuk memperbaiki naskah yang sedang diedit. Resikonya style penulisan awal akan jadi bias sehingga karakter penulis asli akan sedikit “hilang” pada poin-poin yang diubah oleh si editor. Tentu saja ada beberapa pengecualian, misalnya memang sudah dikomunikasikan terlebih dahulu dengan penulis, dan penulis menyetujui. Hanya saja, secara etika hal itu sebaiknya tetap dihindari. Sebab hal ini adalah soal penghargaan seorang editor tehadap penulis. Lalu bagaimana eksekusi di tahap penyuntingan? Usahakan untuk mengubah beberapa kata atau posisinya—atau bahkan kalau memang diperlukan— lakukan saja penghapusan. Sekali lagi, setidaknya jangan mengubahnya terlalu banyak, paling tidak untuk bagian satu kalimat. Itu batas maksimal. Jika Anda ingin melakukan lebih, maka komunikasikan dulu dengan penulis. Bisa jadi penulis merasa keberatan karena merasa batas-batas ekspresinya dilampaui. Nah, sampai tahap itu, berdiskusilah dengan penulis, agar efisiensi dan logika kalimat bisa selaras dengan style yang diinginkan oleh penulis. Jadi jngan main eksekusi paksa. 19

Beda soal untuk penulis yang memberi kuasa penuh kepada editornya untuk mengeksekusi.Tahapan ini sejatinya lebih berat dari pekerjaan penyuntingan, karena sudah masuk pada tataran revisi naskah; naskah ditulis ulang dengan narasi penceritaan editor. Lalu, jika Anda masih bertanya dan berkomentar; Oh semudah itu? Maka cobalah Anda membaca naskah yang pernah Anda tulis satu atau dua tahun yang lalu. Bukankah pasti ada rasa gatal yang hinggap karena merasa ada saja yang kurang “pas”. Nah, begitulah rasanya menjadi editor yang membaca naskah orang lain. Celah kesalahannya terasa begitu lebar—hal yang sering luput dari penulisnya sendiri. ____________

AHMAD KHADAFI, Mantan Pemred Ekspresi UNY, Editor di Indie Book Corner.

20

Sesungguhnya Anda Tak Pernah Membaca Karya Nonfiksi –AHMAD KHADAFI

Buku  Tetralogi Pulau Buru  Pramoedya Ananta Toer sudah jamak dikenal, apalagi kalau Anda pernah “bertapa” cukup lama di kampus untuk menahan diri agar tidak segera lulus karena alasan jadi aktivis. Pleidoi yang kemudian membenarkan bahwa 21

mahasiswa setidaknya harus lulus lebih dari empat tahun. Hal ini ditularkan secara berkala oleh senior-senior aktivis di kampus. Ritme yang juga akan menggunakan satu “kitab suci” yang sama. Kitab suci yang disabdakan oleh Nabi Pram. Paling tidak, saya salah satu “korban”-nya. Membaca buku yang ditulis ketika Pram ditahan di Pulau Buru tahun 1973 ini adalah sebuah upgrade status sosial dalam dunia kampus. Jika Anda belum membacanya, maka jangan harap Anda bisa “bergaul” satu level dengan aktivis lain yang sudah lumutan dan jamuran. Tentu saja kita tidak mengikutsertakan aktivis “kanan” di sini, karena pijakan dan ideologinya berbeda—mereka harus menunggu lampu merah sedangkan kita (baca: kiri) tetap bisa jalan terus. Nah, buku yang merupakan hasrat terpendam Pram dalam meninjau kembali sejarah Nusantara yang sudah lama ditekuninya ini sudah lama dijadikan sebagai acuan fakta sejarah mengenai Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh pers Indonesia. Itu kalau kita merujuk pada klaim Takashi Shiraishi lewat Zaman Bergerak yang juga menyinggung soal Tirto sebagai bukan hanya tokoh pers, namun juga tokoh nasional. Berbeda dengan cara Takashi, cara Pram lebih enak dan nyaman. Pram melahirkan tokoh fiksi dengan balutan latar dan kedekatan dengan apa yang dianggap “fakta”. Hal yang kemudian menjebak tetralogi Pram sebagai bagian dari rujukan sejarah. Kita semua tahu, dengan akses yang begitu terbatas dan minimnya data—maklum saja—semua arsip dan manuskrip yang Pram kumpulkan tidak bisa masuk menemaninya ke penjara. Alhasil, Pram mengandalkan ingatan yang masih bisa ditangkap. Daripada mengambil risiko dengan absennya satu atau dua poin data, maka 22

penulisan fiksi dipandang realistis karena lebih lunak dengan aturan-aturan kebenaran sejarah. Bukan berarti meragukan kedekatan fakta yang ada dalam tetralogi Pram, namun jika mau sedikit “nakal”, maka dengan menggunakan buku ini untuk rujukan sejarah, rasanya makin kabur batasan apa yang disebut fiksi dan apa yang disebut nonfiksi dalam sebuah karya penulisan. Kita bisa saja sepakat. Dengan menimbang dari berbagai aspek teori sastra, karya Pram adalah sebuah karya fiksi yang didasari oleh fakta-fakta sejarah. Kita memang tidak bisa membantah hal itu. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa sehebat apapun sebuah karya fiksi, sejatinya ia tetaplah fiksi. Kebenarankebenaran yang ada di sana hanyalah sebuah perpaduan titiktitik kejadian dengan penambahan-penambahan dan penceritaan yang—bisa saja—sedikit dilebih-lebihkan. Kalau kemudian Anda membantah bahwa apa yang diceritakan Pram melalui “karya fiksi”-nya adalah memang benar adanya, maka bisa jadi hal itu karena memang Anda menilai periode sejarah nusantara akhir abad 19 menuju awal abad 20 berpijak dari karya Pram semata. Okelah, bukan jadi satu-satunya, namun tetap saja buku itu jadi rujukan awal untuk membaca arsip-arsip lain yang mendukung. Sampai pada titik itu, tetralogi Pram sudah menjadi kacamata Anda dalam memandang kultur, kondisi sosial, hingga peristiwaperistiwa yang terjadi di era-era tersebut. Wacana-wacana dan gagasan yang lain soal fakta-fakta lain yang sama komprehensifnya akan (hanya) dianggap sebagai pembanding dan menjadi oposisi dalam grand design berpikir Anda. 23

Bukan berarti saya sok dan merasa mempunyai kapabilitas untuk mengkritisi karya Pram. Saya hanya merasa aneh bagaimana— tanpa kita sadari—sebuah karya fiksi tidaklah selalu dipandang sebagai sebuah karya yang fiktif. Pandangan yang juga berlaku sebaliknya, bahwa tidak semua karya nonfiksi adalah memang benar adanya. Dua dikotomi ini (fiksi dan nonfiksi) tidaklah segaris lurus semacam itu. Semua bisa berbeda dengan bagaimana karya fiksi itu dimanfaatkan. Sebagai Propaganda Kalau masa kanak-kanak Anda berada pada era antara tahun 1984 sampai 1997, sudah barang tentu Anda akrab dengan film Pengkhianatan  G 30 S PKI. Film yang disutradarai dan ditulis 24

oleh Arifin C. Noer ini adalah sebuah epik sejarah yang “wajib” ditonton oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia era tersebut.Wajib, karena saban tanggal 30 September, seluruh stasiun televisi akan menyiarkannya. Karena seluruh stasiun televisi menyiarkannya, maka jelas kita akan “terpaksa” menontonnya. Setiap dari kita sudah tahu isi film itu, jadi saya tidak perlu repot untuk menceritakan isinya. Bagi yang lahir di era sesudah reformasi, Anda bisa mengunduhnya saja dari layanan internet. Jangan khawatir, Anda tidak akan dipenjara karena dianggap sebagai sisa simpatisan Pak Harto. Tenang saja, saat ini film G 30 S PKI dianggap hanya sebagai sebuah “karya fiksi”. Tak lebih. Pascareformasi, film yang menceritakan kepahlawanan Pak Harto itu dianggap sebagai bagian dari “pemalsuan sejarah”. Dianggap sebagai “karya propaganda” untuk melanggengkan kekuasan Presiden Indonesia saat itu. Saat menontonnya di era 1990-an, di mana saya masih anak-anak waktu itu, yang kemudian ditangkap adalah bagaimana film dokumentasi sedang dinarasikan. Tanpa sadar kita melihat bagaimana fakta-fakta sejarah sedang dibawakan dengan apik dalam cerita film yang menarik. Karena akses sejarah kita mengenai pemberontakan PKI berlandaskan pada film itu, maka cara pandang kita pun akan seperti itu terhadap PKI. Begitu reformasi pecah dan kerusuhan melanda antara tahun 1997 sampai 1998, pemerintah tak lagi punya kuasa untuk mewajibkan seluruh stasiun televisi menyiarkan film tersebut. Selain itu, akses informasi lebih terbuka, cara pandang lebih beragam, dan cara berpikir jadi makin variatif. Hal yang sekaligus menggeser cara pandang film G 30 S PKI.

25

Jika di tahun-tahun awal sesudah reformasi film itu begitu dibenci dan dinilai sampah karena dianggap memutarbalikkan sejarah, maka “tidak” ketika masuk ke periode-periode belakangan ini. Film itu malah dicari, ditonton kembali, dan dinikmati lagi. Bukan sebagai nostalgia, namun ditonton dengan kacamata pemikiran yang baru. Pemikiran yang menganggap bahwa G 30 S PKI hanyalah sebuah karya fiksi. Dengan dipandang sebagai sebuah karya fiksi, maka penilaian pun jadi berbeda. Sekarang justru banyak yang memuji film yang dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa ini. Sebagai sebuah film, G 30 S PKI dipandang sebagai sebuah film dengan sinematografi terbaik pada eranya. Terlepas dari adanya konspirasi untuk memenangkan tujuh penghargaan film ini pada Festival Film Indonesia 1984, film ini memang yang terbaik. Hanya jika kita melihatnya sebagai sebuah karya fiksi semata. Titik. Fiksi dan Nonfiksi Fiksi dan nonfiksi dipandang sebagai dikotomi struktural yang membagi dua tipe karya penulisan. Jika acuannya fakta di lapangan, maka hal itu dianggap nonfiksi, lalu jika acuannya adalah imajinasi, maka dianggap fiksi. Semudah itu, sesederhana itu. Tapi, tunggu dulu, benarkah? Jika kita mau merujuk ke awal filsafat bermula, di mana Plato menggagas mengenai sebuah dunia “idea”, maka sejatinya imajinasi adalah sebuah kreasi yang muncul karena penangkapan indra kita dalam memahami dunia. Imajinasi kita bukanlah karya orisinal yang muncul begitu saja. Imajinasi membutuhkan rujukan pengalaman empiris. Sesuatu dibayangkan karena sesuatu pernah ada. 26

Anda tidak akan pernah bisa membayangkan sesuatu yang tidak pernah ada. Tidak per­caya? Baiklah. Mungkin Anda bisa men­ debat mengenai kemun­­­culan bayangan imajinasi-imajinasi dalam karya imajinatif macam karya J.K. Rowling, namun benarkah Anda mendapatkan hal yang tidak ada? Ah, ada. Oke, Hipogriff. Itu baru. Benarkah? Hewan dalam cerita Harry Potter bernama hipogriff itu memang tidak pernah ada di dunia karena hewan yang dicomot dari mitologiYunani ini adalah gabungan-gabungan hewan-hewan yang sudah ada di bumi ini. Kepalanya rajawali, badannya gabungan antara singa dan kuda, lalu sayapnya, lalu bla-bla-bla. Rowling tetap membutuhkan sebuah penggambaran hewan-hewan yang “nyata” untuk memberi jembatan imajinasi ke pembaca. Ia tahu bentuk kuda seperti itu, sehingga ia ambil bentuk kuda. Ia tahu bentuk kepala elang seperti itu, maka ia ambil bentuknya. Dengan begitu, bentuk hewan absurd macam hipogriff bisa sampai ke pembaca sebab pembaca pun pernah menangkap fakta empiris serupa. Jika tidak, maka hancur sudah bentuk hewan tersebut karena tidak bisa dibayangkan oleh pembaca. Hal tersebut juga berlaku dengan kitab-kitab suci. Bahwa kemudian penggambaran surga adalah sesuatu yang indah, maka penggambaran itu haruslah bisa diwakilkan oleh benda-benda yang ada di dunia. Sungai-sungai, daerah yang sejuk, bidadari, dan lain sebagainya. Semuanya adalah hal yang jamak kita temui dalam dunia ini. Jika tidak, maka manusia tidak akan pernah bisa membayangkannya. Jika tidak bisa dibayangkan, maka jelas hal itu tidak akan menggiurkan lagi bagi kita. Dan bisa jadi kita sudah tidak beragama lagi sejak dahulu kala. 27

Hal yang sama juga berlaku dengan tetralogi Pram dan film G 30 S PKI karya Arifin C. Noer. Keduanya menangkap fakta yang ada di bumi ini. Pram melalui manuskrip yang ia temukan kemudian susun dalam mengungkap sejarah Nusantara akhir abad ke-19 dan Arifin C. Noer melalui cerita pemberontakan PKI yang ia coba kombinasikan dengan realitas versinya. Keduanya tidaklah sedang menciptakan fakta objektif. Keduanya sama-sama menciptakan fakta subjektif. Keduanya tidaklah sedang menciptakan karya nonfiksi, keduanya menciptakan sebuah karya fiksi dengan argumentasi menarik yang membuatnya seolah-olah nyata. Nah, sekarang Anda dibikin bingung. Lalu bagaimana sebuah karya nonfiksi? Berarti tidak ada karya nonfiksi? Jangan khawatir, apa yang Anda baca ini sejatinya juga merupakan sebuah karya fiksi. Sebab kebenaran adalah soal bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain untuk menganggap gagasan Anda dianggap benar. Kebenaran tunggal itu tidak ada. Semuanya saling berkelindan berjejal dan merebut dominasi menjadi yang tunggal. Jadi buat apa repot-repot mencari karya nonfiksi. Karena Anda tidak akan pernah menemukannya. Sekalipun itu koran-koran yang Anda baca tiap pagi maupun sebuah kitab suci yang Anda baca di kala malam hari. ____________ AHMAD KHADAFI, Mantan Pemred Ekspresi UNY, Editor di Indie Book Corner.

28

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF